SLOW LEANERS
DI RUANG FLAMBOYAN RSJ MENUR SURABAYA
1. Tujuan
a. Tujuan Umum
Setelah mengikuti pendidikan kesehatan bersama diharapkan para peserta
dapat mengerti dan memahami bagaimana cara mengatasi anak yang
mengalami kesulitan dalam belajar atau (Slow Leaner).
b. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan tentang pentingnya pengetahuan slow
leaners, diharapkan peserta dapat:
a. Mengetahui pengertian slow leaners
b. Mengetahui ciri-ciri dari slow leaners
c. Mengetahui faktor penyebab dari slow leaners
d. Mengetahui karakteristik dari slow leaners
e. Mengetahui masalah yang dihadapi dari slow leaners
2. Sasaran
Sasaran yang ditujukan pada keluarga pasien poli tumbuh kembang di RSJ Menur
Surabaya
3. Strategi Pelaksana
a. Metode : Ceramah
b. Media : Lembar balik dan Lefleat
1
4. Setting
Peserta pembelajaran duduk berhadapan dengan penyaji :
Keterangan :
= Moderator
= Penyaji
= Fasilitator
= Observer
= Peserta
5. Pengorganisasian Kelompok
a. Moderator : Hendik Eko Saputro
b. Penyaji : Johana Kharismadani
c. Observer & Sekertaris : Mohammad Rohman F dan Latiful Laili
d. Konsumsi & Dokumentasi: Naila Intias H dan Ravica Oktavia Rahman
6. Pelaksanaan Kegiatan
2
Tumbuh Kembang)
1. Pendahuluan
a. Salam pembuka Menjawab salam
b. Perkenalan Menyimak
c. Menyampaikan pokok Menyimak
5 menit
bahasan Menyimak
d. Menyampaikan tujuan
2. Kegiatan Inti
Penyampaian materi tentang:
a. Mengetahui pengertian slow Memperhatikan
leaners Memperhatikan
b. Mengetahui ciri-ciri dari slow Memperhatikan
leaners Memperhatikan
c. Mengetahui faktor penyebab
15 menit
dari slow leaners
d. Mengetahui karakteristik dari
slow leaners
e. Mengetahui masalah yang
dihadapi dari slow leaners
7. Evaluasi
a. Evaluasi Struktural
a. Tenaga pelaksana kegiatan ini adalah mahasiswa profesi ners
3
b. Kegiatan berkerjasama dengan RSJ Menur (ruang poli tumbuh
kembang)
c. 100% peserta menghadiri kegiatan ini
d. Lingkungan yang nyaman dan terbuka membuat kegiatan ini
terlaksana dengan lancar
e. Tersedianya alat, bahan, dan media untuk pelaksanaan kegiatan
b. Evaluasi Proses
a. Mahasiswa dapat melaksanakan kegiatan sesuai perannya
b. Peserta kooperatif dan sangat antusias dengan pembelajaran yang
diberikan
c. Media yang digunakan membuat peserta lebih mudah paham tentang
pentingnya pengetahuan slow leaners bagi anak
d. Kegiatan terlaksana secara sistematis dan sesuai degan rencana
kegiatan
c. Evaluasi Hasil
a. Proses pembelajaran berjalan dengan baik
b. Para peserta sudah dapat memahami pentingnya pengetahuan slow
leaners bagi anak
MATERI
SLOW LEANERS
4
Cooter, Cooter Jr., dan Wiley (Nani Triani dan Amir, 2013) menjelaskan bahwa
anak lamban belajar adalah anak yang memiliki prestasi belajar renah atau sedikit
dibawah rata-rata anak normal pada salah satu atau seluruh area akademik dan
mempuntai skor tes IQ antara 70-90.
Mumpuniarti (2007) mengidentidikasi anak lamban belajar sebagai anak yang
mampunyai IQ antara 70-89. Berdasarkan skala intelegensi Wechsler (Sugihartono,
dkk., 2007) anak dengan IQ 70 sampai 89 termasuk borderline (70-79) dan low
average atau dull (80-89).
Burt (G.L. Reddy, R. Ramar, dan A. Kusuma, 2006) menjelaskan bahwa istilah
backward atau slow learners diberikan untuk anak yang tidak dapat mengerjakan
tugas yang seharusnya dapat dikerjakan oleh anak seusianya. Jenson (G.L. Reddy, R.
Ramar, dan A. Kusuma, 2006) menambahkan anak lamban belajar dengan IQ 80
sampai 90 lebih lambat dalam menangkap materi pelajaran yang berhubungan dengan
symbol, abstrak, atau materi konseptual. Kebanyakan anak lamban belajar mengalami
masalah dalam pelajaran membaca dan menghitung.
Tingkat kecerdasan atau hasil tes IQ anak lamban belajar berhubungan erat
dengan perkembangan intelektual anak. Ditinjau dari perkembangan intelektualnya,
(Pichla, Gracey, dan Currie, 2006) mengemukakan bahwa anak lamban belajar
termasuk anak yng mengalami kelemahan kognitif (cognitive impairment). Anak
dengan kelemahan kognitif membutuhkan pengulangan tambahan untuk memelajari
keterampilan atau ilmu baru, tetapi masih dapat belajar dan berpartisipasi di sekolah
umum dengan bantuan dan modifikasi tertentu. Anak dengan kelemahan kognitif
dapat mengalami gangguan pemusatan perhatian dan berbicara.
Ana Lisdiana (2012) menambahkan bahwa anak lamban belajar mengalami
hambatan atau keterlambatan perkembangan mental. Fungsi intelektual anak lamban
belajar dibawah anak normal seusianya, disertai kekuranmampuan atau
ketidakmampuan belajar menyesuaikan diri, sehingga membutuhkan pendidikan
khusus. Anak lamban belajar membutuhkan waktu yang lebih lama dan berulang-
ulang dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun nonakademik. Anak
lamban belajar sulit diidentifikai karena penamplan luarnya sama seperti anak normal
dan dapat berfungsi normal pada sebagaian besar situasi.
5
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa anak lamban belajar atau slow
learners adalah anak yang mengalami keterlambatan perkembangan mental, serta
memiliki keterbatasan kemampuan belajar dan penyesuaian diri karena IQ sedikit
dibawah normal, yaitu 70 sampai 89, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama
dan berulang-ulang untuk menyesuaikan tugas-tugas akademik dan nonakademik.
6
Ramar dan Kusuma (2006) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan
anak lamban belajar diantaranya :
1. Kemiskinan
Kemiskinan menciptakan kondisi dan kerentanan yang dapat menyebabkan anak
lamban belajar. Misalnya, kemiskinan dapat menganggu kesehatan dan menggurangi
kemampuan belajar anak.
2. Kecerdasan orang tua dan jumlah anggota keluarga
Orang tua yang tidak berkesenpatan mendapatkan pendidikan yang layak dan
jumlah anggota keluarga yang besar dapat menyebabkan anak lamban belajar karena
orang tua cenderung kurang memperhatikan perkembangan intelektual anak, tidak
memiliki waktu belajar bersama dengan anak, dan memiliki keterbatasan dalam
memberikan fasilitas belajar anak, sehingga kesempatan anaj untuk meningkatkan
kecepatan belajarnya hampir tidak ada.
3. Faktor emosi
Anak lamban belajar mengalami masalah emosi berat dan berkepanjangan yang
menghambat proses pembelajaran. Masalah emosi ini menyebabkan anak lamban
belajar dan memiliki prestasi belajar yang rendah, hubungan interpersonal yang
buruk, dan konsep diri yang rendah.
4. Faktor-faktor pribadi
Faktor pribadi yang dapat menyebabkan anak lamban belajar meliputi :
a) Kelainan fisik
b) Kondisi tubuh yang terserang penyakit
c) Mengalami gangguan pengelihatan, pendengaran dan berbicara
d) Ketidakhadiran di sekolah
e) Kurang percaya diri
Lebih runic Triani dan Amir (2013) menjelaskan bahwa faktor yang
menyebabkan terjadinya anak lamban belajar atau slow learner, faktor-faktor tersebut
antara lain :
a) Faktor prenatal (sebelum lahir) dan generic
Perkembangan seorang anak dimulai dari sejak konsepi atau
pembuahan. Seluruh bawaan biologis seorang anak yang berasal dari kedua
orangtuanya (berupa kromosom yang memecah diri menjadi anak tersebut.
Terjadinya pula kelainan yang berhubungan dengan fisik maupun fungsi
kecerdasan.
7
Selain dari kelainan kromosom, anak lamban belajar atau slow learner
juga dapat disebabkan adanya gangguan biokimia dalam tubuh, seperti
galactosemia dan phenylketonuria. Galactosemia adalah suatu gangguan
biokimia dimana terdapat dedisiensi enzim yang dibutuhkan untuk
metabolism galaktosa yang layak. Sedangkan phenylketonuria adalah suatu
gangguan metabolism genetic, dimana oksidasi yang tidak lengkap dari asam
amino yang menyebabkan kerusakan otak.
Anak lahir dengan prematur atau belum cukup waktu disinyalir juga
dapat melahirkan anak-anak lamban belajar karena oragn tubuh bayi yang
belum siap berfungsi secara maksimal sehingga terjadi keterlambanaan dalam
proses perkembangannya yang kurang.
8
lainnya. Radiasi sinar x rawan terjadi pada saat usia kehamilan muda
kemudian berkurang resikonya pada hamil tua.
d) Fator natal
Kondisi kekurangan oksigen saat proses kelahiran saat proses
persalinan yang lama atau bermasalah akan memyebabkan transfer
oksigen ke otak bayi menjadi terhambat. Oleh karena itu untuk
mengantisipasi kondisi seperti ini, sebaiknya pada ibu hamil melakukan
persalinan dirumah sakit atau rumah bersalin yang memiliki alat lengkap.
e) Faktor postnatal
Malnutrisi dan trauma fisik akibat jatuh atau kecelakaan, trauma pada
otak atau beberapa penyakit seperti menginitis dan encephalis haru
menjadi perhatian. Begitu jugan dengan lingkungannya yang ikut
berperan sebgai penyebab terjadinya slow learner. Karena stimulasi yang
salah, anak tidak dapat berkembang secara optimal.
9
atau gagasan maupun dalam memahami percakapan orang lain atau bahasa
reseprif oleh karena itu untuk meminimalisir kesulitas dalam berbahasa anak
slow learner sebaiknya melakukan komunikasi dengan bahasa tertentu,
singkat nanun jelas.
3. Emosi
Dalam hal emosi anak-anak lamban belajar memiliki emosi yang kurang
stabil, mereka cepat marah dan meledak-ledak serta sensitive. Jika hal yang
membatnya tertekan atau melakukan kesalahan, biasanya anak lamban belajar
akan cepat patah semangat.
4. Sosial
Anak-anak lamban belajar dalam bersosialisasi biasanya kurang baik.
Mereka sering memilih menjadi pasif atau penonton saat bermain atau
bahkan menarik diri. Walau pada beberapa anak ada yang menunjukkan sifat
humor. Saat bermain, anak-anak lamban belajar lebis senang bermain dengan
anak-anak sibawah usianya. Mereka merasa lebih aman, karena saat
komunikasi menggunakan bahasa yang sederhana.
5. Moral
Moral seseorang akan berkembang seiring dengan kematangan
kognitifnya. Anak-anak lamban belajar tahu aturan yang berlaku tetapi
mereka tidak paham untuk apa peraturan tersebut dibuat. Terkadang mereka
Nampak tidak patuh atau melanggar aturan. Hal tersebut disebabkan oleh
kemampuan memori merka yang terbatas sehingga seringkali lupa. Oleh
karena itu sebaiknya anak slow learner selalu untuk di ingatkan.
Dengan demikian, anak lamban belajar mempunyai karakteristik
inteligensi, bahasa atau komunikasi, emosi, sosial, dan moral yang berbeda dari
anak normal. Namun, anak lamban belajar mempunyai karakteristik fisik yang
sama seperti anak normal. Menurut Malik, Rehman, dan Hanif (2012)
mengemukakan bahwa secara fisik anak lamban belajar mempunyai penampilan
yang sama seperti anak normal, sehingga karakteristik anak lamban belajar baru
10
akan tampak dalam proses pembelajaran, terutama ketika menghadapi tugas-
tugas yang menuntut konsep abstrak, simbol-simbol, dan keterampilan
konseptual.
11
f) mengubah pandangan hidup yang lebih positif yang tergambarkan dalam
kinetic sand.
Dalam mendampingi anak slow leaners, anak perlu memfokuskan pada
ketrampilan berkomunikasi dengan anak slow leaners. Orang tua tidak
diperkenankan memiliki standart yang sama bagi anak slow leaners dengan anak-
anak normal. Selain itu orang tua perlu di observasi, penggunaan pernyataan dan
pernyataan, memberikan instruksi dan ketrampilan mengakhiri proses diskusi.
Guru BK dan orang tua dapat belajar banyak hal tentang anak dari apa
yang digambarkan anak dalam kinetic sand. Ketika observasi, orang tua perlu
memperhatikan simbol apa yang dipilih anak atau bentuk dan apa yang dibuat
anak dengan kinetic sand, ada atau tidaknya ketidakkonsistenan dalam kisah
yang diungkapkan anak, cermati bagaimana anak memilih simbol apakah hati-
hati atau sembarangan, perhatikan penempatan simbol yang dilakukan anak
dalam Kinetic sand, dan kenali kualitas khusus dan makna yang anak berikan
pada simbol atau bentuk dari Kinetic sand.
Demikian dengan pernyataan dan pernyataan yang disampaikan oleh
orang tua, perlu hati-hati dan dicermati. Pernyataan dapat digunakan untuk
memberikan umpan balik pada anak-anak mengenai apa yang dilihat orang tua
mengenai penempatan simbol atau bentuk pada Kinetic sand, sedangkan
pertanyaan dapat diberikan anak saat sedang berproses membuat bentukan
bangunan dengan Kinetic sand atau memindahkan posisi simbol-simbol dalam
Kinetic sand.
Bentuk-bentuk pertanyaan yang dapat diberikan adalah pertanyaan yang
dapat mengungkapkan alasan perilaku tertentu anak, emosi anak, maupun
pendapat mereka. Alasan mengapa instruksi perlu mendapat perhatian khusus
karena terkadang orang tua tanpa menyadari tidak menggunakan instruksi
sebagai tekhnik yang dapat digunakan orang tua untuk membantu anak
memperluas kisah mereka dengan ekspresi. Pada saat yang tepat, orang tua harus
menyimpulkan apa yang muncul dari konseling dan latihan yang diberikan.
12
Orang tua juga perlu meninjau apa yang harus dilakukan anak untuk
menyelesaikanm konseling maupun latihan yang diberikan (Geldard, 2008).
Pada akhir proses kegiatan, tidak menutup kemungkinan orang tua
memberikan tugas pada anak berupa latihan perilaku baru. Maka orang tua perlu
mengabadikan hasil karya anak dengan kinetic sand lewat foto. Selain itu, orang
tua diharapkan membantu anak membuat perencanaan yang sederhana, konkrit,
terukur dan dapat diukur, serta anak diharapkan untuk segera melaksanakan apa
yang telah menjadi kesepakatan.
Dalam hal ini, Orang tua di kegiatan berikutnya dapat memantau
perkembangan anak dari gambaran yang ada di dalam kinetic sand maupun
bentuk bangunan yang dibuat anak dengan kinetic sand. Oleh sebab itu orang tua
perlu memberikan penguatan pada anak untuk menyelesaikan latihan tersebut
agar apa yang menjadi tujuan awal dari proses pendampingan dapat tercapai
(Wix, 1996).
2. Game
Game memiliki manfaat yaitu melatih anak slow learner mengembangkan
perspektif atau pandangan yang berbeda mengenai dirinya sehingga gambaran
pribadi dan kepercayaan dirinya meningkat. Game dapat membantu anak
menceritakan kisahnya, sehingga membantu memunculkan kesadaran dalam diri
tentang sebab akibat dari sebuah perisiwa.
Oleh karena itu game dapat bermanfaat bagi anak untuk berlatih, berpraktik,
dan bereksperimen dengan perilaku baru yang lebih sesuai. Anak mendapatkan
kemahiran baru dan menghilangkan perilaku lama yang kurang tepat, dengan
pemahaman yang lebih sederhana dan menyenangkan. Dari pengalaman tersebut,
anak slow learner dapat berlatih untuk mengambil keputusan atas setiap
perilakunya dengan lebih baik.
Game merupakan aktivitas yang menyenangkan dan membantu
menstimulasi perkembangan anak slow learner baik aspek fisik, kognitif,
emosional, dan sosial. Penggunaan game dalam mendampingi anak slow learner
13
belajar atau berlatih, menjadi cara yang baik untuk menstimulasi dan
mengembangkan kekuatan ego anak. Di dalam game, anak harus menghadapi
masalah, seperti kekalahan, kecurangan, keadilan, giliran, kehilangan giliran,
berpegang pada aturan, kegagalan, keadilan, ketidakadilan, dan tertinggal.
Selain itu, game menjadikan anak bereksperimen, merasakan, dan melatih
respons atas tugas yang mencakup penyelesaian masalah, komunikasi, dan
interaksi sosial. Game berbeda dengan permainan langsung. Permainan langsung
tidak ada aturan sementara dalam game perilaku anak dibatasi oleh aturan. Dari
aturan tersebut anak mempelajari tujuan, bagaimana memainkan, dan
mempelajari batasan dan konsekuensi yang ada pada game. Oleh sebab itu, yang
perlu diperhatikan dalam pemilihan game sebagai media yang dapat digunakan
dalam layanan bimbingan bagi anak terlebih yang mengalami berkebutuhan
khusus yaitu game yang melibatkan kemampuan motorik dan fisik, melibatkan
strategi, dan bersifat kompetitif.
Metode game cocok untuk diberikan pada anak slow learner. Alasannya
adalah dengan penggunaan game, perkembangan moral-sosial anak slow learner
dapat terstimulasi lewat materi bimbingan yang diberikan lewat jenis game yang
diberikan. Anak slow learner juga berlatih berperilaku yang adaptif atas aturan
yang berlaku dalam game dan konsekuensi dari aturan tersebut. Anak slow
learner yang memiliki kecenderungan temperamen maupun sensitif, hal ini yang
seringkali menjadikan anak slow learner mengalami kesulitan dalam berinteraksi
sosial dan cenderung menutup diri.
Tujuan dari penggunaan game dalam bimbingan adalah melatih anak yang
menutup diri agar mampu membangun hubungan dengan teman sebaya,
membantu anak menemukan potensi diri dan hal-hal yang perlu ditingkatkan
dalam dirinya, melatih anak untuk sigap, berkonsentrasi, dan gigih dalam
menyelesaikan tugas. Selain itu game juga dapat membantu anak meningkatkan
keterampilan sosial seperti kerjasama agar melatih respons yang tepat atas
kekecewaan, kemunduran, kegagalan, dan keberhasilan. Anak juga terlatih untuk
14
meningkatkan keterampilan menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan
(Geldard, 2008).
3. Clay
Clay atau sering disebut dengan tanah liat, menjadi alternatif media yang
dapat digunakan untuk mendampingi anak slow learner. Clay dapat digunakan
untuk anak berusia Sekolah Dasar khususnya kelas atas yaitu klas 4-6, sedangkan
anak dikelas bawah hingga Taman Kanak-kanak dapat menggunakan plastisin.
Clay dapat digunakan untuk membantu anak melepaskan emosi yang kuat secara
tepat. Clay bermanfaat bagi anak slow learner untuk memproyeksikan perasaan,
memahami masa lalu, menemukan sebab akibat dari sebuah peristiwa atau
perilaku tertentu muncul, membantu anak menceriterakan kisah mereka dengan
mengilustrasikanya lewat bentuk cetakan yang dibuatnya dengan clay.
Anak dapat terbantu mengenali dan mengatasi masalah yang sedang mereka
hadapi namun kesulitan dalam menemukan alasan dari sebab akibatnya. Clay
juga bermanfaat bagi anak slow learner untuk mendapatkan pemahaman dan
pengertian atas interaksinya dengan orang lain, meningkatkan rasa kebersamaan,
dan membantu anak mengenali sebab akibat atas perilaku kita dalam pergaulan di
kelompok. Oleh sebab itu, clay sangat cocok untuk membantu anak slow learner.
Penggunaan Clay dapat membantu anak slow learner tersebut
mengekspresikan suasana hati dan perasaan secara tepat dan dapat diterima oleh
orang lain. Pada anak slow learner, clay dapat digunakan sebagai media katarsis
anak mengekspresikan ide-idenya. Clay dapat membantu anak mengkatarsiskan
emosi-emosi yang terbendung, mengingat anak slow learner berkecenderungan
memiliki energi yang berlebih serta tingkat emosi yang sedikit tinggi. Dengan
meremas, menonjok, mengulur, dan membentuk sebuah cetakan lewat clay, anak
slow learner dapat menyalurkan energi berlebihnya secara lebih positif. Hal ini
efektif digunakan dalam membantu anak slow learner yang sedang mengalami
permasalahan pribadi terkait dengan obsesinya yang terkadang cenderung
kompulsif.
15
Orang tua dapat menggunakan clay dalam mengatasi emosional anak slow
learner yang terlihat dari bagaimana anak bereksperimen membuat bentuk dan
bangunan lewat Clay. Ketika anak menyentuh clay dengan tekstur yang lembut
dan kenyal membantu anak untuk mengkatarsiskan apa yang menjadi
ketertekananya. Tekstur clay yang kenyal dan keras, mewakili benda yang dapat
dibanting atau perkataan yang dapat diungkapkan anak atas kejengkelannya. Saat
anak menguleni clay, orang tua dapat menggali secara mendalam apa yang
menjadi permasalahan, khususnya perasaan anak.
4. Buku cerita
Buku cerita merupakan kegiatan membacakan buku cerita yang dapat
dilakukan oleh orang tua pada anak normal maupun anak yang mengalami slow
learner. Kegiatan ini dapat membantu menambah perbendaharaan kata dan
meningkatkan kemampuan membaca. Hal ini sangat efektif bagi anak slow
learner yang memiliki karakteristik dan permasalahan berkaitan dengan
komunikasi, berbahasa dan membaca. Hal ini seperti yang dikemukakan (elster,
dalam Lane&Wright 2011) bahwa selain membantu anak berlatih kosa kata baru
dan mengingatnya, juga melatih anak untuk lebih berkonsentrasi dalam
mendengarkan. Dengan demikian anak akan lebih mudah memahami informasi
atau intruksi yang didengarnya, sehingga anak akan mampu mengungkapkanya
kembali dalam bentuk tulisan.
Tujuan umum penggunaan buku cerita yaitu; membantu anak slow learner
mengenali kecemasan atau tekanan yang mereka rasakan ketika mendengarkan
cerita, membantu anak menemukan tema dan emosi terkait yang muncul dalam
kehidupan mereka dari waktu ke waktu, dan membantu anak memikirkan serta
menggali alternatif-alternatif solusi bagi berbagai permasalahan. Adapun tujuan
khususunya yaitu, membantu anak slow learner menormalkan peristiwa dalam
hidup mereka dengan membuat anak mengetahui bahwa orang lain juga memiliki
pengalaman yang serupa.
16
Kegiatan ini menstimulasi perkembangan hati nurani dan empati pada anak
slow learner. Selain itu, tujuan dari penggunaan buku cerita secara khusus yaitu
membantu anak mengekspresikan harapan, keinginan dan fantasi positif bagi
kelanjutan hidupnya. Membantu anak menyadari bahwa beberapa kejadian tidak
dapat dihindari, maka anak perlu memiliki akal disetiap pengalamanya.
Penggunaan buku cerita menjadikan anak slow learner semakin terbiasa
mengenali tokoh, tema, atau kejadian dalam cerita dan dengan melakukan hal itu
anak dapat diyakinkan untuk merefleksikan situasi kehidupanya. Ketika anak
membuat cerita, ide cerita berasal dari pengalaman hidup anak-anak. Oleh sebab
itu orang tua perlu membantu anak dalam memahami isi ceritera dan
mengkaitkanya dengan pengalaman yang pernah dialami anak dan atau berkaitan
dengan latar belakang anak.
Selanjutnya orang tua memberikan pertanyaan yang akan dijawab oleh anak,
dan segera merespon jawaban tersebut. Hal ini karena jawaban anak menunjukan
tingkat pemahaman anak. Dengan sering berlatih dengan menggunakan buku
cerita, diharapkan anak terstimulasi secara kognisi dan terbiasa berlatih
menyelesaikan masalah maupun memahami suatu hal (Palincsar & Brown, dalam
Doyle & Bramwell,2011).
F. Cara Mengidentifikasi
Menurut Steven R. Shaw (2010) mengidentifikasi beberapa karakteristik anak
lamban belajar yang dapat diidentifikasi dalam proses pembelajaran, di
antaranya:
a) anak memiliki kecerdasan dan prestasi akademik yang rendah, tetapi berbeda
dari anak dengan masalah kognisi atau berkesulitan belajar
b) anak dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi ketika informasi
disampaikan dalam bentuk konkret, tetapi akan mengalami kesulitan
mempelajari konsep dan pelajaran yang bersifat abstrak
c) anak mengalami kesulitan dalam transfer dan generalisasi keterampilan, ilmu,
dan strategi;
d) anak mengalami kesulitan kognitif dalam mengorganisasir materi baru dan
mengasimilasi informasi baru ke dalam informasi sebelumnya
17
e) anak mengalami kesulitan dalam tujuan jangka panjang dan manajemen waktu
f) anak membutuhkan tambahan waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas,
serta latihan tambahan untuk mengembangkan keterampilan akademik yang
setingkat dengan teman sebayanya
g) motivasi belajar siswa hampir selalu berkurang;
h) siswa mempunyai konsep diri yang rendah dan dapat menyebabkan
permasalahan emosi dan tingkah laku
18
mencapai tujuan yang diharapkan di akhir kegiatan belajar. Yatim Riyanto (2009)
mengemukakan “strategi pembelajaran adalah siasat guru dalam mengefektifkan,
mengefisienkan, dan mengoptimalkan fungsi dan interaksi antara siswa dengan
komponen pembelajaran dalam suatu kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pengajaran”. Kemp (Wina Sanjaya, 2011: 126) menjelaskan bahwa
strategi pembelajaran adalah kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru
dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan fisien.
Dari pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa strategi
pembelajaran adalah cara yang paling utama dan efektif untuk membantu siswa
mencapai tujuan pembelajaran tertentu, sehingga menjadi pegangan guru dalam
merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan pembelajaran
19
Senada pendapat tersebut, Wina Sanjaya (2011) menjelaskan pertimbangan
pemilihan strategi pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara
efektif dan efisien adalah sebagai berikut:
1. Pertimbangan yang berhubungan dengan tujuan, meliputi aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor; kompleksitas tujuan pembelajaran; dan keterampilan
akademis untuk mencapai tujuan pembelajaran.
2. Pertimbangan yang berhubungan dengan materi pembelajaran, meliputi
materi berupa fakta, konsep, hukum, atau teori; prasyarat untuk mempelajari
materi; dan sumber belajar.
3. Pertimbangan dari sudut siswa, meliputi tingkat kematangan siswa; minat,
bakat, dan kondisi siswa; dan gaya belajar siswa.
4. Pertimbangan lainnya, meliputi untuk mencapai tujuan apa cukup dengan
satu strategi; apa strategi adalah satu-satunya strategi yang bisa diterapkan;
dan nilai efektivitas dan efisiensi strategi
20
Perumusan Tujuan
Pembelajaran Khusus Penetapan Kondisi/Prasyarat Penentuan Pendekatan
untuk Anak Lamban Anak Lamban Belajar untuk untuk Anak Lamban
Belajar Mencapai Tujuan Belajar dalam Mencapai
Pembelajaran Berbagai Tingkah
Laku/Keterampilan
21
DAFTAR PUSTAKA
Evertson, Carolyn M. dan Edmund T. Emmer. (2011). Manajemen Kelas untuk Guru
Sekolah Dasar (Alih bahasa: Arif Rahman). Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Hidayat. (2009). Model dan Strategi Pembelajaran ABK dalam Setting Pendidikan
Inklusif. Workshop “Pengenalan & Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) & Strategi Pembelajarannya” Balikpapan 25 Oktober 2009.
Balikpapan: Tempat Terapi untuk Anak HARAPAN KU, Ruko Kimia Farma
Klandasan Lantai 2, dan Parents Support Group (PSG).
Munawir Yusuf. (2005). Pendidikan Bagi Anak dengan Problema Belajar. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Direktorat Ketenagaan.
Nani Triani dan Amir. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Lamban
Belajar(Slow Learner). Jakarta: Luxima.
22