Anda di halaman 1dari 12

JURNAL PRAKTIKUM FITOKIMIA

“IDENTIFIKASI SENYAWA
GOLONGAN ALKALOIDA (Ekstrak Piper nigrum L.)”

Disusun Oleh :
Lailatul Wahyuni / 201610410311200
Farmasi E
Kelompok 7

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVESITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
IDENTIFIKASI SENYAWA
GOLONGAN ALKALOIDA (Ekstrak Piper nigrum L.)

1.1 TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan alkaloida dalam tanaman.
1.2 TINJAUAN PUSTAKA
Golongan alkaloid adalah golongan senyawa yang mempunyai struktur heterosiklik dan
mengandung atom N di dalam intinya. Sifat umum yang dimiliki oleh golongan senyawa ini
adalah basa, rasa pahit, umumnya berasal dari tumbuhan dan berkhasiat secara farmakologis.
Struktur golongan alkaloid amat beragam, dari yang sederhana sampai yang rumit. nikotin adalah
contoh yang sederhana (Lexicons, 1896).
Senyawa yang mengandung alkaloid lainnya adalah opium. Opium adalah getah mentah
dari polong biji tumbuhan opium. Jika getah ini dimurnikan, diperoleh dua alkaloid penting,
morfina dan kodeina yang dapat dipisahkan dalam bentuk murni. Morfina adalah obat anti nyeri
paling mujarab, banyak digunakan untuk mengatasi kesulitan manusia. Kodeina adalah
analgetika yang manjur dan penekan batuk. Senyawa ini sejak lama dipakai sebagai obat batuk,
tetapi telah diganti oleh dekstrometorfan, alkaloid sintetik yang sama ampuhnya (Lide, 1981).
A. Klasifikasi Piper nigrum L.
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Trachobionta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper nigrum L. (USDA chapman, 1982)
Tanaman Piper Nigrum (Lada Hitam) adalah tanaman merambat yang berbunga abadi
termasuk dalam keluarga Piperaceae. Tanaman lada tumbuh di tempat teduh, teralis atau kutub
hingga ketinggian maksimum 13 kaki atau 4 meter dan akar keluar dari simpul daun jika
tanaman merambat menyentuh tanah. Tanaman memiliki bentuk daun berbentuk hati dengan
ukuran biasanya 5-10 cm dan lebar 3-6 cm, dengan 5 hingga 7 vena palmate menonjol.
Bunganya kecil, monoecious dengan bunga jantan dan betina yang terpisah tetapi mungkin
poligami yang mengandung bunga jantan dan betina. Bunga-bunga kecil bergantung pada paku-
paku yang terjuntai di simpul daun yang hampir sepanjang daun. Panjang paku mencapai 7-15
cm. (Damanhouri ZA et al,2014)

Piper nigrum L atau lada merupakan raja rempah-rempah, karena memiliki bau yang
sangat menyengat. Lada hitam sendiri mengandung amida fenolat, asam fenolat, dan flavonoid
yang bersifat antioksidan kuat. Selain itu juga mengandung piperin yang diketahui sebagai obat
analgesik, antipiretik, antiinflamasi, serta memperlancar proses pencernaan (Meghwal dan
Goswaml, 2012).
Lada hitam yang belum masak yang mengandung kadar minyak atsiri atau tidak kurang
dari ¼ b/v lada hitam ini memiliki bau aromatic khas dan rasa yang pedas. Simplisia dari piperis
nigri Fructus mengandung minyak atsiri berupa dipanten, limonene, alkaloida piperisa, dll.
Tanaman ini banyak digunakan sebagai local iritan dan karminativ (Materia Medika Indonesia
IV, 1980).
Buah lada hitam berukuran kecil (berdiameter 3 sampai 4 mm) yang disebut drupe dan
buah kering Piper nigrum dikenal sebagai merica. Buah yang matang sepenuhnya berwarna
merah tua dan berdiameter sekitar 5 mm. Buah mengandung satu biji. Tanaman menghasilkan
buah dari tahun ke-4 atau ke-5, dan terus menghasilkan buah hingga tujuh tahun. Satu batang
berisi 20-30 paku buah. Paku yang dikumpulkan adalah matahari yang dikeringkan untuk
memisahkan lada dari paku. Buah-buahan hijau segar yang belum dipanen dapat beku dan kering
untuk membuat lada hijau. Buah hijau segar yang dipanen, dijemur untuk membuat lada hitam.
Kulit merah yang matang adalah yang dikeluarkan dan biji berbatu dijemur untuk membuat lada
putih (Damanhouri ZA et al,2014)
Piperine adalah senyawa aktif farmakologis pertama yang diisolasi dari anggota keluarga
Piperaceae yang berbeda. Banyak peneliti mengisolasi berbagai jenis senyawa yaitu Fenolik,
flavonoid, alkaloid, amida dan steroid, lignan, neoligna, terpena, chalcones dll dan banyak
senyawa lainnya. Beberapa senyawa tersebut adalah Brachyamide B, Dihydro-piperisida, (2E,
4E) -N-Eicosadienoyl-pereridine, N-trans-Feruloyltryamine, N-Formylpiperidine, Guineensine,
pentadienoyl sebagai piperidine, (2E, 4E) - Nisobutydd isobutyl-eicosadienamide, Tricholein,
Trichostachine, isobutyl-eicosatrienamide, Isobutyl-octadienamide, Piperamide, Piperamine,
Piperettine, Pipericide, Piperine, Piperolein B, Sarmentine, Sarmentosine, Retrofractamide.
phytochemical. Piperine dilaporkan memiliki empat isomer yaitu; Piperine, Isopiperine,
Chavicine dan Isochavicine. Piperin adalah senyawa alkaloid yang paling banyak terkandung
dalam lada hitam dan semua tanaman yang termasuk dalam family piperaceae (evan, 1997).
B. Alkaloida
Alkaloida adalah senyawa organik yang terdapat di alam bersifat basa atau alkali karena
adanya atom (N) dalam molekul senyawa tersebut (Ikon, 1996). Alkaloida memiliki beberapa
sifat umum, diantaranya :
1. Tidak larut atau sukar larut dalam air (alkaloida yang bentuk garam mudah larut dalam
air).
2. Alkalida bersifat basa larut dalam ester, CHCL3 atau pelarut organik lainnya.
3. Kebanyakan alkaloida berbentuk Kristal padat, beberapa amorf.
4. Ikatan N dalam alkaloid biasanya dalam bentuk amin primer, sekunder, tersier, kuartener,
ammonium hdroksida dan semua ikatan N ini bersifat basa. ( Ragers MF, Wink M 1998)
C. Fungsi Alkaloid dalam tanaman
Sejumlah penjelasan logis yang baik, teori dan prinsip telah dikedepankan dengan
pertimbangan fungsi alkaloid atau alasan yang memungkinkan mengenai keberadaan alkaloid di
dalam tanaman. Akan sangat penting untuk megetahui lebih dalam dan mungkin memikirkan
dengan lebih baik mengenai kemungkinan pengetahuan tertentu yang telah diperoleh selama
beberapa tahun jika dijelaskan berdasarkan fungsi alkaloid, yaitu :
1. Sebagai zat beracun yang letaknya strategis di tumbuhan sehingga dapat melindungi
tumbuhan tersebut terhadap hewan herbivora atau serangga.
2. Sebagai by product yang mungkin pada berbagai reaksi detoksifikasi yang merupakan
senyawa pelindung metabolik.
3. Sebagai faktor pertumbuhan yang sangat teratur, dan
4. Sebagai zat cadangan pada tumbuhan yang menyuplai nitrogen atau unsur penting
lainnya terhadap pengaturan sumber yang tersedia pada tumbuhan tersebut.
D. Identifikasi Senyawa Alkaloid
Cara identifikasi : sebanyak 5 ml sampel dibasakan dengan laritan amonium 10% (tes dengan
kertas pH) kemudian dipartisi dengan kloroform (2 X 5ml). Fraksi kloroform digabungkan lalu
diasamkan dengan HCl 1 M. Larutan asam dipisahkan dan diuji dengan pereaksi dragendorf atau
mayer. Endapan kuning jingga atau putih menunjukan adanya alkaloid (Materia Medika
Indonesia IV, 1980).
Tujuan penambahan Ammonia berfungsi untuk membasakan dan pengendapan alkaloid agar
dapat diperoleh alkaloid dalam bentuk garam atapun alkaloid dalam bentuk basa bebas.
Kloroform digunakan dengan tujuan dapat menarik senyawa alkaloid karena alkaloid
mempunyai kelarutan yang baik dalam kloroform, alkohol, tetapi tidak larut dalam air meskpun
dapat larut dalam air panas. Setelah itu diberikan pereaksi dragendorf dimana jika terbentuk
endapan kuning jingga berarti terdapat alkaloid atau pereaksi mayer bila terdapat endapan putih
menunjukan adanya alkaloid (Materia Medika Indonesia IV, 1980).
Ekstraksi senyawa alkaloida dilakukan dengan metode maserasi. Metode ini dipilih karena
pekerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diperoleh maseratnya serta proses
perendaman yang cukup lama dapat diharapkan dapat menarik lebih banyak zat aktif yang
terkanddung didalam simplisia. (Materia Medika Indonesia IV, 1980).
Reaksi pengendapan, dibagi dalam 4 golongan sebagai berikut :
1. Golongan I : Larutan percobaan dengan alkaloida membentuk garam yang
tidak larut, asam slikowol franat, asam fosfomolibdat LP, dan asam
fosfowolframat LP.
2. Golongan II : Larutan percobaan yang dengan alkaloida membentuk senyawa
kompleks bebas,kemudian memebentuk endapan; bouchardat LP
dan Wagner LP.
3. Golongan III : Larutan percobaan yang dengan alkaloida membentuk senyawa a
adisi yang tidak larut; mayer LP, dragendorff LP, dan marmer LP.
4. Golongan IV : Larutan percobaan yang dengan alkaloida membentuk ikatan
asam organic dengan alkaloida; Harger LP.
Prosedur :
Meliputi ekstraksi sekitar 20 gram bahan tanaman kering yang disebut dengan 80%
etanol setelah dingin, disaring. Residu dicuci dengan 80% etanol dan kumpulan filtrat diuapkan
residu yang tertinggal dilarutkan dalam air, diasamkan dengan asam klorida 1% dan diendapkan
dengan pereaksi mayer atau dengan bila hasil positif maka konfirmasi test dilakukan dengan cara
larutan yang bersifat asam menghasilkan endapan dengan pereaksi tersebut, berarti tanaman
mengandung alkaloida. Basa berate juga harus diteliti untuk menentukan alkaloid quartener.
( (Materia Medika Indonesia IV, 1980).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan teknik kromatografi yang berdasar prinsip
adsorbsi, bedanya dengan kromatografi kolom yaitu konfigurasi KLT yang berbentuk
planar (plate). Fasa diam berupa padatan yang diaplikasikan berbentuk datar pada
permukaan kaca atau aluminium sebagai penyangganya sedangkan fasa gerak berupa zat
cair seperti yang digunakan dalam kromatografi kolom dan kromatografi kertas.
a) Teknik standar
Untuk melakukan KLT dapat digunakan plat yang sudah jadi dan dapat dibeli lewat
supplier bahan kimia atau dapat kita buat sendiri dengan menyediakan bubur adsorben
untuk diratakan di atas penyangga. Pembuatan plat dapat dilakukan dengan langkah-
langkah berikut :
1. Melarutkan padatan adsorben dengan akuades atau kloroform atau metanol atau
campurannya hingga diperoleh bubur yang homogen.
2. Membuat lapisan tipis dengan teknik pembentangan menggunakan alat khusus
yang dinamakan Stahl-Desaga, penyemprotan dengan alat semprot, penuangan dan
pencelupan untuk membuat plat makro.

Teknik melakukan KLT dapat diringkaskan sebagai berikut :

1. Lapisan tipis adsorben dibuat pada permukaan plat kaca atau aluminium
berukuran 5 cm x 20 cm ; 20 cm x 20 cm. Untuk plat aluminium, ukuran dapat
diperkecil dengan memotongnya sesuai keinginan kita.
2. Tebal lapisan bervariasi tergantung tujuan penggunaan, adapun tebal lapisan yang
standar untuk plat KLT yang diperdagangkan umumnya ± 250 µm.
3. Larutan campuran senyawa diteteskan pada jarak tertentu dari dasar plat (± 1,5
cm) dengan menggunakan pipet mikro atau siringe agar volume totolan dapat
diketahui untuk analisis yang bersifat kuantitatif dan dapat menggunakan pipa
kapiler yang diruncingkan untuk analisis kualitatif.
4. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampai diuapkan dulu dengan
memberikan sejenak plat yang ditotol dengan sampel sebelum dimasukkan ke
dalam bejana pengembang (development chamber) yang berisi fasa gerak (eluen).
5. Plat kromatografi dikembangkan dengan mencelupkannya ke dlaam bejana
tersebut. Fasa gerak yang dipergunakan dapat terdiri atas satu macam atau lebih
pelarut serta dapat menggunakan pelarut yang sama ataupun berbeda dengan
pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel.
6. Komponen-komponen senyawa akan bergerak dengan kecepatan berbeda sesuai
interaksi adsorbsinya dengan fasa diam.
7. Kromatografi diakhiri ketika fasa gerak telah mencapai jarak tertentu dari ujung
plat yang lain. Senyawa-senyawa yang berbeda satu sama lain akan memiliki
perbandingan jarak tempuh senyawa terhadap jarak tempuh fasa gerak yang
berbeda pula. Nilai perbandingan ini dinamakan Rf (retardation factor).
(Rubiyanto, 2017).
b) Fasa Diam
Pada dasarnya jenis padatan yang digunakan pada kromatografi kolom dapat
digunakan pada KLT. Beberapa jenis adsorben dan penggunaanya antara lain :
- Silica gel : asam-asam amino, alkaloid, asam-asam lemak dan lain-lain.
- Alumina : alkaloid, zat warna, fenol-fenol, dan lain-lain.
- Kielsghur (tanah diatomae) : gula, oligosakarida, trigliserida, dan lain-lain.
- Selulosa : asam-asam amino, alkaloid, dan lain-lain.

Adapun dalam perdagangan banyak dijumpai plat KLT yang terbuat dari silica gel
dengan jenisnya antara lain :

- Silica gel G : mengandung 13 % CaSO4, sebagai bahan perekat


- Silica gel H : tanpa kandungan CaSO4
- Silica gel PF : mengandung bahan fluoresensi

Sebelum digunakan, plat KLT dioptimalkan kerja dengan langkah aktivasi terlebih
dahulu dengan cara :

1. Untuk pemisahan senyawa-senyawa netral, plat KLT diaktivasi dengan


memanaskannya dalam oven bersuhu 100 oC selama beberapa menit untuk
menghilangkan air/kelembaban.
2. Untuk pemisahan senyawa yang bersifat basa, sebelum proses kromatografi
pelarut ditambah dengan larutan ammonium hidroksida atau dietil amina.
3. Untuk pemisahan senyawa bersifat asam, pelarut ditambah dengan asam
asetat.

(Rubiyanto, 2017).

c) Fase Gerak
Baik fasa diam dan fasa gerak hanya digunakan bersama-sama dalam KLT ketika
proses kromatografi berlangsung melalui kesetimbangan yang melibatkan lapisan
tipis adsorben, fasa pelarut dan fasa uap pelarut. Dengan demikian, solvent tidak
selalu ekuivalen dengan fasa gerak karena sering komposisi keduanya berbeda
sepanjang jalur plat meskipun digunakan fasa gerak yang sama dengan pelarut.
Sifat-sifat ideal pelarut yang digunakan dalam KLT antara lain :
1. Tersedia dalam bentuk yang sangat murni dengan harga yang memadai.
2. Tidak bereaksi dengan komponen dalam sampel maupun material fasa diam.
3. Memiliki viskositas dan tegangan permukaan yang sesuai.
4. Memiliki titik didih yang rendah untuk memudahkan pengeringan setelah
pengembangan.
5. Mempunyai kelarutan yang ideal pada berbagai campuran solvent.
6. Tidak toksik dan mudah pembuangan limbahnya.

Ada berbagai kondisi KLT yang bertujuan untuk menaikkan kemampuan teknik
kromatografi, salah satunya adalah sistem fasa normal (normal phase system). Sistem
fasa normal yaitu penggunaan fasa diam polar yang dikombinasikan dengan berbagai
fasa gerak non air (non aqueous mobile phases). Tipikal fasa diam yang sering
dikatakan bersifat polar antara lain, silica gel, alumina, dan berbagai material fasa
terikat polar lainnya seperti siano-silika, amino-silika, dan diol-silika di mana proses
adsorbsi memainkan peranan penting dalam pemisahan (Rubiyanto, 2017).

Karakter yang diinginkan dalam pemilihan fasa gerak yang kompetitif untuk KLT antara lain
adalah parameter kelarutan (solubility parameter), indeks polaritas (polarity index), dan
kekuatannya sebagai solvent (solvent strength). Parameter kelarutan menunjukkan
kemampuannya untuk berkombinasi dengan beragam pelarut lain. Indeks polaritas
menunjukkan besaran empiris yang digunakan untuk mengukur ketertarikan antar molekul
dalam solute dengan molekul solvent pada parameter kelarutan solvent yang bersangkutan
dalam keadaan murninya. Sementara kekuratan pelarut dinyatakan sebagai bilangan tanpa
satuan yang berkisar antara -0,25 sampai +1,3 yang ditentukan melalui energi adsorbsi oleh
molekul solvent pada solvent yang bersangkutan (Rubiyanto, 2017).

1.3 PROSEDUR KERJA


a. Preparasi sampel
1. Ekstraksi sebanyak 0,9 gram ditambah etanol ad larut, ditambah 5 ml HCL 2N,
dipanaskan diatas penangas air selama 2-3 menit, sambil diaduk.
2. Setelah dingin ditambah 0,3 gram NaCl, diaduk rata kemudian disaring.
3. Filtrat ditambah 5 ml HCL 2N. Filtrat dibagi tiga bagian dan disebut sebagai larutan
IA, IB, dan IC.
b. Reaksi pengendapan
1. Larutan IA ditambah pereaksi Mayer, larutan IB ditambah dengan pereaksi Wagner
dan larutan IC dipakai sebagai blanko.
2. Adanya kekeruhan atau endapan menunjukkan adanya alkaloid.
c. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
1. Larutan IC ditambah NH4OH pekat 28% sampai larutan menjadi basa, kemudian
diekstraksi dengan 5ml kloroform (dalam tabung reaksi).
2. Filtrat (Fase CHCL3) diuapkan sampai kering, kemudian dilarutkan dalam methanol
(1mL) dan siap untuk pemeriksaan dengan KLT.
Fase diam : Kiesel gel GF 254
Fase gerak : CHCL3 – Etil asetat (1:1)
Penampak noda : Pereaksi Dragendorf
3. Jika timbul warna jingga menunjukkan adanya alkaloid dalam ekstrak.

1.4 BAGAN ALIR

0,9 gram ekstrak +


etanol ad larut + 5 mL
HCl 2N

Dipanaskan di atas penangas air


selama 2-3 menit, sambil
diaduk

Ditunggu sampai dingin + 0,3


gram NaCl, aduk rata lalu disaring

+ 5 ml HCl
2N
Larutan IC
Larutan IA Larutan IB Larutan ID

blanko
+ NH4OH 28% sampai
+ pereakasi Mayer + pereaksi Wagner
basa

Ekstraksi dengan 5 mL
kloroform

Fase kloroform diuapkan

+ 1 mL metanol

Ditotolkan pada plat


KLT dan dieluasi
1.5 SKEMA KERJA

a. Preparasi Sampel

0,9 gram ekstrak Dipanaskan Setelah dingin + 0,3


+ etanol ad larut 2-3 menit, sambil gram NaCl, aduk
+ 5 ml HCl 2N diaduk rata, lalu disaring

Filtrat + 5 ml HCl Disebut sebagai


2N. Filtrat dibagi larutan IA, IB, IC,
menjadi 4 bagian dan ID

b. Reaksi Pengendapan

Larutan IA Larutan IB Larutan IC Larutan ID

+pereaksi Wagner blanko Digunakan


+pereaksi Mayer
untuk KLT

Adanya kekeruhan atau endapan menunjukan adanya alkaloid.


c. Kromatograsi Lapis Tipis (KLT)

-Larutan 1D + NH4OH pekat Filtrat (fase CHCl3)


28% ad larutan menjadi basa. diuapkan sampai kering
-Diekstraksi dengan 5 ml
kloroform.

Dilarutkan dalam etanol


(1 ml) dan siap untuk Plat KLT
pemeriksaan dengan
KLT

Jika timbul warna jingga menunjukkan adanya alkoloid dalam ekstrak


1.6 DAFTAR PUSTAKA

Ashutosh Kar. 2007. Pharmacognosy and Pharmacobiotechnology. Edition 2. EGC. Jakarta.


Balittri. 2007. Teknologi Unggulan Tanaman Lada. http://balittri.litbang.deptan.go.id/ diakses 20
Februari 2019
Baxter, Karen , dkk. 2009. Stockley’s Herbal Medicines Interaction. London: Pharmaceutical
Press.

Depkes RI. (1980). Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Cetakan Pertama. Jakarta:
Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Halaman.

Evan, W.C. 1997. Trease and Evan’s Pharmacognosy. Edition 14. W.B. Saunders. London.
hal.363-364

Hariana, H.Arief. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya seri 2. Jakarta: Penebar Swadaya

Kar. 2003 Pharmacognosy and Pharmacobiotechnology. New Age International Publishers.


New Delhi.
Padmawinata, K. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung
Rubiyanto, Dwiarso. 2017. Prinsip Dasar, Praktikum dan Pendekatan Pembelajaran
Kromatografi. Yogyakarta: Deepublish
Singh, Dr. Amrit Pal. 2002. A Treatise On Phytochemistry. UK: Emedia Science.
Sovia, Lenny. 2006. Senyawa Flavonoid, Fenil Propanoida dan Alkaloida.
http://library.usu.ac.id/download/fmipa/06003489.pdf diakses 20 Februari 2019

Tjitrosoepomo G. 2004. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.
Wahid, P. 1996. Identifikasi Tanaman Lada. Monograf Tanaman Lada. Balittro

Anda mungkin juga menyukai