Anda di halaman 1dari 9

TUGAS ANALISIS FARMASI

KANAMICIN

OLEH :
NAMA : AMELIANUS ANDIANO SARENG
NIM : 19018058
KELAS : TRANSFER B 2019

DOSEN PENGAMPUH : Imrawati, S.Si., M.Si., Apt

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah.Swt, Tuhan Yang Maha Esa. Berkat
limpahan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini tentang Metode
Pemisahan Dan Penetapan Kadar Senyawa Antibiotik Kanamycin.
Tak lupa kami haturkan terima kasih kepada Imrawati, S.Si., M.Si., Apt selaku
Dosen Pembimbing pada mata kuliah analisis farmasi yang dengan senantiasa
membimbing serta membagi ilmunya kepada saya, karena atas pengarahan dan
bimbingannya saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Oleh karena itu, pastinya dalam penulisan makalah ini tidak luput dari kesalahan.
Saya harap pada rekan seperjuangan dapat memberikan kritik dan saran kepada kami
dalam rangka mencapai kesempurnaan. Agar nantinya dapat bermanfaat bagi kami dan
rekan-rekan kita lainnya.

Makassar, 26 Maret 2020

Amelianus Andiano Sareng


BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Kanamycin sulfate adalah antibiotik kelas aminoglikosida yang diperoleh dari kultur
Streptomyces kanamyceticus, yang bekerja sebagai agen bakterisida spektrum luas.
Kanamycin bekerja untuk menghambat sintesis protein dengan mengikat secara
ireversibel ke subunit ribosom 30S . Antibiotik ini, dalam bentuk sulfatnya, digunakan
untuk mengobati berbagai infeksi, terutama tuberkulosis . Persiapannya di pasaran
tersedia dalam bentuk kapsul dan injeksi . Zat mentahnya adalah bubuk kristal putih
yang tidak berbau, higroskopis, mudah larut dalam air, tidak larut dalam aseton, etil
asetat, dan benzena .
Penentuan kuantitatif kanamisin sulfat dalam kompendia dilakukan dengan
menggunakan metode uji potensi antibiotik dan metode kromatografi cair kinerja tinggi
(HPLC) . Selain itu, juga disebutkan reaksi ninhidrin untuk tujuan kualitatif, dalam
prosedur identifikasi zat [8]. Dalam praktiknya, metode uji mikrobiologis memiliki
keterbatasan, termasuk langkah kerja yang cukup banyak dan waktu yang lebih lama.
Sementara itu, metode HPLC memiliki sensitivitas tinggi tetapi membutuhkan
perawatan yang rumit, dan membutuhkan kolom dan fase gerak yang mahal.
Di sisi lain, secara umum, metode FTIR adalah untuk identifikasi dan penentuan
kelompok fungsional secara kualitatif . Penentuan level secara kuantitatif menggunakan
metode ini masih jarang dan tidak banyak dilakukan. Sedangkan, metode getaran
memiliki beberapa keunggulan, termasuk persiapan sampel yang lebih mudah,
penggunaan pelarut minimal, nyaman, cepat, dan tidak merusak. Selain itu, ia
memakan biaya yang relatif lebih ekonomis dan ramah lingkungan.
Sejauh ini, teknik spektrofotometri non-kromatografi lainnya untuk kanamisin sulfat
adalah spektrofotometri atau kolorimetri cahaya tampak tidak langsung, yang telah
dilaporkan sebelumnya. Namun, seperti diketahui, pra-perawatan dengan reaksi kimia
memerlukan beberapa pemeriksaan untuk memastikan stabilitas dan keseluruhan
produk.
BAB II.
ISI
I. Sejarah Penemuan Antibiotik
Sejak zaman dahulu orang kuno telah mempraktekkan fitoterapi dengan jalan
mencoba−coba. Orang Yunani dan Aztec (Mexico) menggunakan masing masing pakis
pria (filix mas) dan minyak chenopodi untuk membasmi cacing dalam usus. Orang
Hindu sudah beribu−ribu tahun lalu mengobati lepra dengan minyak chaulmogra dan di
China serta di Pulau Mentawai (Sumatera Barat) sejak dahulu borok diobati dengan
menggunakan jamur−jamur tertentu sebagai pelopor antibiotika. China dan Vietnam
sejak dua ribu tahun lalu menggunakan tanaman qinghaosu (mengandung artemisin)
untuk mengobati malaria, sedangkan suku−suku Indian di Amerika Selatan
memanfaatkan kulit pohon kina. Pada abad ke-16 air raksa (merkuti) mulai digunakan
sebagai kemoterapetikum pertama terhadap sifilis (Tjay & Rahardja, 2010).
Penemuan antibiotik diinisiasi oleh Paul Ehrlich yang pertama kali menemukan apa
yang disebut “magic bullet”, yang dirancang untuk menangani infeksi mikroba. Pada
tahun 1910, Ehrlich menemukan antibiotika pertama, salvarsan yang digunakan untuk
melawan syphilis. Ehrlich kemudian diikuti oleh Alexander Fleming yang secara tidak
sengaja menemukan penisilin pada tahun 1928. Tujuh tahun kemudian, Gerhard
Domagk menemukan sulfa, yang membuka jalan penemuan obat anti TB, isoniazid.
Pada tahun 1943, anti TB pertama streptomycin, ditemukan oleh Selkman Wakzman
dan Albert Schatz. Wakzman juga orang pertama yang memperkenalkan terminologi
antibiotik. Sejak saat itu antibiotika ramai digunakan klinisi untuk menangani berbagai
penyakit infeksi (Utami, 2011).
Setelah penisilin, mulai banyaknya antibiotik yang ditemukan seperti kloramfenikol
dan kelompok sefalosforin, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida, polipeptida, linkomisin
dan rifampisin. Selain sulfonamida dikembangkan juga kemoterapeutika sintesis,
seperti senyawa nirofuran pada tahun 1944, asam nalidiksat pada tahun 1962, serta
turunannya flurokuinolon pada tahun 1985, obat−obatan TBC (PAS, INH) dan obat
protozoa (kloroquin, progua-nil, metronidazol, dll. Dewasa ini banyak obat antimikroba
baru yang telah dikembangkan yang mampu menyembuhkan hampir semua infeksi
antimikroba (Tjay & Rahardja, 2010).
Antibiotik yang seperti yang kita ketahui saat ini berasal dari bakteri yang telah
dilemahkan, tidak ada yang menduga bahwa bakteri yang telah dilemahkan tersebut
dapat membunuh bakteri lain yang berkembang didalam tubuh makhluk hidup.
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama jamur, yang dapat
menghambat atau membunuh pertumbuhan dari mikroba lain (Katzung, 2007). Namun
seiring berjalannya waktu, satu demi satu bakteri mulai resisten terhadap pemberian
antibiotik. Pada tahun 1950-an telah muncul jenis bakteri baru yang tidak dapat dilawan
dengan penislin. Tetapi ilmuan terus menerus melakukan berbagai penelitian, sehingga
antibiotik−antibiotik baru terus ditemukan. Antara tahun 1950 sampai 1960-an jenis
bakteri yang resisten masih belum menghawatirkan, karena penemuan antibiotik baru
masih bisa membasminya. Namun sejak akhir 1960-an, tidak ada lagi penemuan yang
bisa diandalkan. Baru pada tahun 1999 ilmuan berhasil mengembangkan antibiotik
baru, tetapi sudah semakin banyak bakteri yang resisten terhadap antibiotik
(Bisht,2009).
II. Sediaan yang beredaran dipasaran
Contoh sediaan yang beredar di pasaran :
1. Kanamycin Inj (Hexpharm)
Kanamisin 1 g/vial inj
2. Kanamycin Inj (Meiji)
Kanamycin 500 mg ; 1 g; 2 g
3. Kanarco (Armoxindo Farma)
Kanamisin sulfat 1 g
4. Kanoxin (Alpharma)
Kanamisin sulfat 1 g
(Infomasi Spesialis Obat., 2016)
III. Metode Penetapan Kadar Kualtatif dan kuantitatif secara konvensional dan
modern
III.1. Secara Konvensional
III.1.1. Analisis Kuantitatif (Das.,2017)
Penentuan kadar antibiotik kanamisin sulfat menggunakan kolorimetri.
Dilakukan dengan melakukan pretreatment dengan mereaksikan
kanamisin sulfat menggunakan ninhidrin kemudian dihasilkan warna
ungu yang dapat menyerap rentang panjang gelombang cahaya tampak
564 nm
III.2. Secara Modern (instrumen)
III.2.1. Analisis kualitatif (Farmakope Indonesia ed III)
 Lakukan kromatografi lapis tipis yang tertera pada kromatografi
menggunakan silica gel-P sebagai zat jerap dan larutan segar
ammonium asetat P 3.85%b/v sebagai fase bergerak. Totolkan
terpisah masing-masing 1 ml larutang yang mengandung 2% zat uji,
2.0% kanamisin sulfat dan 1 ml campuran larutan ammonium asetat
3.85% dan kanamisisn 2.0%.
 Angkat lempeng biar kering diudara selama 10 menit, panaskan suhu
105o selama 1 jam, semprot dengan larutan ninhidrina 0.1%dalam
butanol pekat ; air dipanaskan pada suhu 1merh05o selama 5 menit.
Bercak merah utama yang dihasilkan larutan (1) sesuai dengan yang
dihasilkan larutan (2) dan bercak merah utama yang dihasilkan larutan
(3) menunjukan bercak tunggal yang kompak
III.2.2. Analisis kualitatif
Penetapan kadar kanamycin sulfat menggunakan metode
Spektrofotometri Visibel (Das.,2017)
 Persiapan solusi reagen ninhidrin
Larutan ninhidrin dibuat dengan melarutkan 0,2 g ninhidrin dalam 94
ml air suling dan 6 ml aseton sampai terbentuk larutan bening.
Solusinya disimpan dalam wadah tertutup rapat dan terlindung dari
panas atau cahaya.
 Persiapan stok standar kanamisin sulfat
Larutan stok dibuat dengan melarutkan standar 250 mg kanamisin
sulfat dalam 2 ml air suling dan 20 ml ninhidrin. Solusinya kemudian
dipanaskan selama 5 menit pada 80-100 ° C untuk membentuk ungu.
Setelah pendinginan, larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml
dan selanjutnya diisi dengan air suling hingga batas tanda (10 mg /
ml).
 Penentuan panjang gelombang maksimum hasil senyawa 2,5 ml
larutan standar dalam labu volumetrik 10 ml menambahkan air suling
ke tanda batas (2,5 mg / ml). Solusinya kemudian diukur
menggunakan spektrofotometer UV-Vis dalam kisaran panjang
gelombang 200-800 nm dan panjang gelombang yang ditentukan,
yang memberikan absorbansi maksimum.
 Verifikasi metode analisis
Verifikasi metode dilakukan dengan menguji linearitas, akurasi, presisi,
jangkauan, batas deteksi, dan parameter kuantifikasi. Dalam pengujian
linearitas, enam solusi pengujian dibuat dengan variasi konsentrasi 2;
2.25; 2.5; 2,75; 3; dan 3,25 mg / ml kemudian diukur menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum.
Masing-masing dibuat tiga kali. Setelah itu, hubungan antara
absorbansi dan konsentrasi standar kanamisin sulfat digambarkan,
dan linearitasnya ditentukan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Antibiotik golongan aminoglycosida yang diuraikan dalam makalah ini adalah metode
penetapan kadar kanamycin. Metode analisis yang dapat digunakan adalah KCKT,
Kromatografi, FTIR.
B. Saran
Sekiranya makalah ini dapat digunakan sebagai saran untuk mendapatkan ilmu,
terutama antibiotik golongan Aminoglycosida serta menambah pengethuan mengenai
metode metode yang dapat digunakan dalam menganalisis obat obat golongan tersebut
sehingga dapat digunakan sebagaimna kegunaan tujuan dan kegiatan kefarmasian.
DAFTAR PUSTAKA
Bisht, R., Katiyar. A., Singh. R., dan Mittal. P. 2009. Antibiotic Resistance-A Global
Issue of Concern. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research 2(2): 189.
Chan CC, Herman L, Lee YCX. Analytical method validation and instrument
performance verification. Canada: John Wiley and Sons Inc; 2014.
Das V, Kheeci S, Inda SS. Analytical method development and its validation for
estimation of kanamycin sulfate by UV-Visible spectrophotometry as bulk and in the
dosage form. Int J Pharm Res Bio Sci 2017;6:19-26.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi II,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Indonesian Pharmacist Institution. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Vol. 50 th.


Jakarta: Indonesian Pharmacist Institution; 2016
Katzung, B. G. 2007. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. The McGraw-Hill
Companies, Inc. USA. Terjemahan A.W. Nugroho, L. Rendy, dan L. Dwijayanthi.
2010. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi Kesepuluh. EGC. Jakarta.
Tjay, T.H., dan Rahardja, K.. (2010). Obat-Obat Penting, Elex Media Komputindo,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai