Anda di halaman 1dari 60

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan Negara tropis yang kaya akan berbagai macam
tanaman yang tumbuh subur dan menjadi komoditi utama mayoritas penduduk
Indonesia, salah satunya adalah kedelai. Kedelai sudah lama dikenal oleh orang
Indonesia dan sering dimanfaatkan baik untuk diambil minyaknya maupun
dimanfaatkan dalam berbagai macam olahan pangan seperti tempe, tahu, tauco
serta diolah menjadi sari atau susu kedelai. Kedelai dikonsumsi selain mempunyai
kadar protein yang tinggi juga mengandung senyawa – senyawa penting lainnya
seperti isoflavon dan asam – asam amino esensial yang lengkap sehingga
sangat diminati oleh masyarakat luas (Santoso, 1994).
Kedelai secara umum terbagi atas kedelai kuning atau kedelai putih dan
kedelai hitam. Masyarakat Indonesia pada umumnya hanya terbatas
mengonsumsi kedelai kuning atau kedelai putih sedangkan kedelai hitam kurang
mendapat perhatian dimana kedelai hitam hanya dimanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan kecap. Hal ini sangat disayangkan karena menurut Beninger
(2009) kedelai hitam memiliki kandungan gizi yang tidak kalah dengan kedelai
kuning, kedelai hitam menempati daftar teratas yang mempunyai aktivitas
antioksidan yang tinggi dibanding jenis kedelai yang lain. Selain itu kedelai hitam
juga mengandung asam amino glutamat yang lebih sedikit sehingga memiliki rasa
yang lebih gurih, serta kandungan yang tak kalah penting adalah antosianin
(Nurrahman, 2012).
Oleh sebab itu dilakukan inovasi untuk menghasilkan produk olahan lain
dari kedelai hitam dalam bentuk minuman sari kedelai hitam yang memiliki
manfaat dari kedelai hitam sebagai bahan baku pembuatannya. Dimana produk
minuman sari kedelai hitam nantinya tidak hanya berupa minuman yang tidak
hanya kaya protein, akan tetapi juga memiliki sifat fungsional dari antosianin
sebagai aktioksidan yang berperan besar bagi kesehatan tubuh.
Sari kedelai merupakan minuman yang terbuat dari hasil ekstraksi kedelai.
Karena berbahan dasar kedelai, maka sari kedelai yang dihasilkan mempunyai
kandungan gizi yang hampir mirip dengan bahan baku nya yaitu diantaranya
protein, lemak, isoflavon serta antosianin sebagai antioksidan sehingga sering
dijadikan alternatif pengganti susu sapi. Sari kedelai sangat cocok untuk

1
dikonsumsi orang yang alergi terhadap susu sapi (lactose intolerance), yaitu
orang yang tidak mempunyai atau kekurangan enzim laktase (β-galaktosidase)
dalam saluran pencernaannya, sehingga tidak mampu mencerna laktosa yang
terkandung dalam susu sapi (Koswara, 1997).
Kedelai hitam dipilih menjadi bahan baku pembuatan sari kedelai karena
kurangnya pemanfaatan dari kedelai hitam yang diolah menjadi suatu olahan
pangan seperti pada kedelai kuning. Kedelai hitam selain mempunyai kandungan
gizi yang sama dengan kedelai kuning, juga mengandung senyawa pigmen alami
yaitu antosianin yang lebih banyak dari pada kedelai kuning. Warna hitam pada
kedelai hitam merupakan antosianin yang menjadikan kedelai hitam lebih unggul
dari kedelai kuning dimana pada kedelai hitam diidentifikasi memiliki antosianin
sebesar 1,58 – 20,18 mg/g sedangkan pada kedelai kuning 0,02 – 0,45 mg/g
(Choung et al., 2001).
Antosianin bermanfaat sebagai antioksidan dalam tubuh manusia.
Antosianin ini diketahui dapat diabsorbsi dalam bentuk molekul utuh dalam
lambung (Passamonti et al., 2003). Meskipun absorbsinya jauh dibawah 1%,
antosianin setelah ditransport ke tempat yang memiliki aktivitas metabolik tinggi
memperlihatkan aktivitas sistemik seperti antineoplastik, antikarsinogenik,
antiatherogenik, antiviral, dan efek anti-inflamasi, menurunkan permeabilitas,
fragilitas kapiler dan penghambatan agregasi platelet serta immunitas, semua
aktivitas ini didasarkan pada peranannya sebagai antioksidan. Sedangkan
antosianin yang tidak terabsorbsi akan memberikan perlindungan terhadap kanker
kolon (Halliwell et al., 2000).
Antosianin pada kedelai hitam mempunyai potensi besar untuk
dimanfaatkan sebagai minuman fungsional yang menyehatkan dimana antosianin
sebagai antioksidan yang mempunyai beragam sisi manfaat bagi kesehatan.
Namun Antosianin dalam pengaplikasiannya seperti halnya dengan pigmen alami
lainnya, antosianin sangat mudah rusak atau terdegradasi yang disebabkan oleh
beberapa faktor.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin yaitu faktor
enzimatis dan non enzimatis. Faktor non enzimatis antara lain yaitu suhu, pH,
oksigen, paparan cahaya, bahan pelarut dan ion logam (Elbe and Schwartz,
1996). Sedangkan faktor enzimatis adalah kehadiran enzim antosianase atau
polifenol oksidase dapat mempengaruhi kestabilan antosianin karena bersifat

2
merusak antosianin. Menurut Rein (2005) beberapa enzim dapat berperan dalam
proses degradasi antosianin misalnya glukosidase dan PPO (polyphenol oxidase).
Selain itu kedelai hitam juga memiliki senyawa anti gizi yang disebut tanin.
Tanin pada kedelai hitam lebih tinggi dibandingkan pada kedelai kuning. Tanin
merupakan senyawa yang dapat berikatan dengan protein dan zat besi (Fe)
membentuk senyawa yang kompleks dimana tannin tersebut menyebabkan
protein dan zat besi sulit untuk diserap oleh tubuh dan menyebabkan penyakit
anemia atau defisiensi zat besi.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk meminimalisir kehilangan
antosianin selama proses serta menurunkan kadar tanin pada bahan pangan
yaitu kedelai hitam. Salah satu metode untuk meminimalisir degradasi antosianin
serta penurunan kadar tanin adalah dengan melakukan rekayasa proses
pengolahan. Pada proses pembuatan sari kedelai yang perlu difokuskan adalah
perendaman, waktu blanching dan suhu pemanasan.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk
meminimalkan kehilangan antosianin yang disebabkan oleh degradasi antosianin
oleh perendaman dan suhu pada pembuatan minuman sari kedelai hitam. Dalam
hal ini selama proses pengolahan untuk meminimalisir kehilangan antosianin
serta menurunkan kadar taninnya dilakukan rekayasa proses. Harapannya nanti
penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi pelaku industri minuman untuk
menghasilkan suatu produk minuman sari kedelai hitam yang tidak hanya
menonjolkan makro komponennya saja namun juga memiliki sifat fungsional dari
antosianin serta rendah akan senyawa antigizi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah perendaman dan lama blanching memberikan pengaruh terhadap
kadar tanin dan antosianin?

2. Apakah suhu pemanasan memberikan pengaruh terhadap kadar tanin dan


antosianin?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengaruh perendaman dan lama blanching terhadap kadar
tanin dan antosianin pada proses pembuatan minuman sari kedelai hitam.
2. Mengetahui pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar tanin dan
antosianin pada proses pembuatan minuman sari kedelai hitam.

3
1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi pengolahan yang tepat dalam pembuatan minuman
sari kedelai hitam dalam menonjolkan sisi fungsionalnya.

2. Memberikan alternatif produk olahan lain dari kedelai hitam yang selama
ini terbatas sebagai bahan baku pembuatan kecap.

1.5 Hipotesis
Diduga perlakuan perendaman, lama blanching serta suhu pemanasan
pada proses pembuatan minuman sari kedelai hitam berpengaruh nyata terhadap
kadar tanin dan antosianin minuman sari kedelai hitam.

4
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kedelai Hitam


Kedelai hitam adalah salah satu jenis dari tanaman kacang kedelai.
Kedelai secara umum dibedakan menjadi dua yaitu kedelai kuning dan kedelai
hitam. Sama halnya dengan kedelai kuning, kedelai hitam merupakan golongan
dari polong – polongan yang berasal dari Cina utara dimana bangsa Cina
membudidayakan kedelai hitam yang kemudian menyebar ke berbagai negara
seperti Jepang, Korea, Indonesia, Australia bahkan Amerika. Kedelai mulai
tersebar seiring dengan penyebaran agama budha yaitu pada zaman dinasti Zhou
(664 SM). Kedelai hitam secara botani dan nutrisi memiliki banyak kesamaan
dengan kedelai kuning, namun warnanya yang hitam menjadikan kedelai ini
memiliki pemanfaatan yang spesifik yaitu sebagai bahan pembuatan kecap,
tauco, susu kedelai, dan lain-lain. Kedelai hitam ditunjukkan Gambar 2.1

Gambar 2.1 Kedelai hitam (Sugiyono, 1992)

Kedelai memang hitam tidak sepopuler kedelai kuning. Namun, warna


gelap pada kedelai hitam diduga adalah antosianin yang memiliki beragam
manfaat untuk kesehatan (Choung et al.,2001). Kedelai hitam memiliki kandungan
asam amino glutamat yang sedikit lebih tinggi daripada kedelai kuning, sehingga
kedelai hitam memiliki rasa yang lebih gurih. Kedelai hitam mengandung sekitar
15% lemak dan 85% dari jumlah tersebut terdiri dari asam lemak tak jenuh
rangkap (PUFA) yang memiliki efek hipokolesterolemik. Selain itu menurut
Beninger (2003) menyatakan bahwa kedelai hitam merupakan kacang kedelai
dengan aktivitas antioksidan yang paling tinggi diantara semua jenis kedelai yang

5
ada. Serta didalam lemak kedelai terkandung beberapa fosfolipida yang penting
yaitu lesitin, sepalin dan lipositol (Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi
1985).
Di Indonesia, kedelai telah menjadi bahan baku makanan sehari-hari
seperti tempe dan tahu. Selain tahu dan tempe, kedelai sebagai sumber pangan
dapat dikonsumsi melalui berbagai produk olahannya seperti susu kedelai, protein
kedelai, kecap, dan tauco. Perbedaan ini terutama disebabkan karena kandungan
antosianin pada kedelai hitam lebih tinggi dibandingkan pada kedelai kuning serta
mepunyai aktivitas antioksidan tertinggi diantara semua kacang – kacangan
(Beninger, 2003).
Kedelai hitam (Glycine soja (L.) Sieb & Zucc.) selain dapat dimanfaatkan
sebagai bahan dasar pembuatan suatu bahan makanan, kedelai hitam juga
memliki banyak manfaat yang tidak kalah pentingnya bagi kesehatan tubuh
dengan adanya senyawa antosianin sebagai antioksidan dalam tubuh. Dengan
konsumsi antosianin + 50 mg/100g dapat memberikan banyak sekali manfaat
untuk kesehatan tubuh. Berikut adalah manfaat konsumsi antosianin dalam dosis
tertentu antara lain :

1. Penurun kadar kolesterol


Di dalam protein kedelai juga terkandung isoflavon (Harborne and Mabry,
1982) dikatakan dapat menurunkan absorpsi kolesterol dan trigliserida oleh usus,
juga mengurangi reabsorpsi asam empedu yang dapat menyebabkan
peningkatan sekresi sterol netral dan asam empedu dalam feses (Beynen, 1990).
2. Penangkal radikal bebas
Kedelai hitam mengandung antosianin yang berfungsi sebagai
antioksidan. Berdasarkan penelitian dari Takahashi et al., 2005, kedelai hitam
memiliki kandungan polifenol yang lebih tinggi 29 ± 0,56 mg/g dibandingkan
dengan kedelai kuning 0,45 ± 0,02 mg/g. Dimana antosianin berfungsi sebagai
antioksidan primer pengikat radikal bebas dan kemampuan untuk menghambat
inisiasi reaksi kimiawi penyebab karsinogenesis.
3. PencegahAterosklirosis
Fungsi antosianin sebagai antioksidan di dalam tubuh yaitu mencegah
terjadinya aterosklerosis. Antosianin bekerja menghambat proses aterogenesis
dengan mengoksidasi lemak jahat dalam tubuh, yaitu lipoprotein densitas rendah.
Kemudian antosinin juga melindungi integritas sel endotel yang melapisi dinding
pembuluh darah sehingga tidak terjadi kerusakan (Kumalaningsih, 2007).

6
Kerusakan sel endotel merupakan awal mula pembentukan aterosklerosis
sehingga harus dihindari.
Disamping manfaatnya diatas kedelai hitam juga memiliki keunggulan lain
dibandingkan kedelai kuning yaitu konsumsi kedelai hitam mengurangi resiko
penyakit jantung koroner, resiko stroke, aktivitas antikarsinogen, efek anti-
inflammatory, memperbaiki ketajaman mata, dan memperbaiki perilaku kognitif
(Francis, 1999).
Studi klinis di Italy memperlihatkan bahwa 79% dari pasien diabetes yang
mengkonsumsi ekstrak bilberry (160 mg dua kali sehari selama 1 bulan)
menunjukkan peningkatan diabetic retinopathy pada akhir percobaan (Wrolstad,
2004). Komposisi gizi kedelai hitam dibandingkan kedelai kuning dapat disajikan
pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Komposisi Gizi Kedelai Hitam dibanding Kedelai Kuning per 100g
Komponen Kedelai
Kuning Hitam
Energi (kkal) 400 385
Air (g) 10,2 12,3
Protein (g) 35,1 33,3
Lemak(g) 17,7 15,0
Karbohidrat (g) 32,0 35,4
Serat (g) 4,2 4,3
Abu (g) 4,0 4,0
Mineral :
Besi (mg) 8,5 9,5
Kalsium (mg) 226 213
Vitamin :
B1 (mg) 0,66 0,65
B2 (mg) 0,22 0,23
Niacin (mg) 2,2 2,8

Sumber : Somaatmadja (1998)


Selain mengandung berbagai macam kandungan gizi seperti pada tabel
diatas, kedelai juga mengandung asam – asam amino esensial yang penting bagi
tubuh. Atas dasar sumbernya, asam amino dibedakan menjadi 2 yaitu asam
amino esensial dan asam amino non esensial. Asam amino non esensial adalah

7
asam – asam amino yang dapat disintesis (diproduksi sendiri) didalam tubuh
untuk pemenuhan kebutuhan sehari – hari. Asam amino esensial adalah asam
amino yang sangat diperlukan oleh tubuh, akan tetapi tidak dapat disintesis
didalam tubuh dimana dalam pemenuhannya perlu dapatkan dari makanan yang
dikonsumsi oleh tubuh seperti lisin, triptofan, fenilalanin, leusin, isoleusin, treonin,
metionin serta valin.
Kacang – kacangan biasanya biasanya kekurangan metionin, yaitu salah
satu asam amino yang membuat suatu protein lengkap. Namun, kacang kedelai
adalah merupakan satu – satunya leguminosa yang sudah mengandung 8-10
buah asam amino esensial (jika sistein dan tirosin dimasukkan) yang sangat
diperlukan oleh tubuh. Dimana asam amino tersebut tidak disintesis didalam
tubuh, jadi harus didapatkan dari luar. Berikut adalah asam amino esensial pada
kedelai yang ditunjukkan pada Tabel 2.3

Tabel 2.2 Kandungan Asam Amino Esensial Sari Kedelai Kuning (mg/g Nitrogen)

Asam Amino Sari Kedelai (mg)

Nitrogen 0,49
Isoleusin 330
Leusin 470
Lisin 330
Metionin 86
Sistin 46
Metilalanin 330
Treonin 210
Triptofan 85
Valin 360
Arginin 400
Histidin 140
Alanin 280
Asam Aspartat 710
Asam Glutamat 1100
Glisin 310
Prolin 470
Serin 350

Sumber : Santoso, 1994


2.2 Sari Kedelai
Sari kedelai merupakan minuman kaya protein yang terbuat dari kedelai
sebagai bahan bakunya. Karena berbahan dasar kedelai, maka sari kedelai
mempunyai kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan kedelai sebagai

8
bahan bakunya dan mempunyai nilai manfaaat tinggi bagi kesehatan. Sari kedelai
umum juga disebut susu kedelai karena warnanya yang putih mirip dengan susu
(Santoso, 1995).
Sari kedelai atau yang terkadang disebut susu kedelai telah ada di
Tiongkok selama ribuan tahun, tepatnya 1900 tahun lalu. Sari kedelai mempunyai
kandungan gizi yang tak kalah dengan susu sapi utamanya yaitu protein. Selain
itu dalam segelas sari kedelai mengandung lebih kurang 20 mg isoflavon dan
komponen – komponen lain seperti antioksidan, kalsium, vitamin E, fosfor, zat
besi, serat dan vitamin B Kompleks (kecuali B12).
Sari kedelai juga mempunyai susunan asam amino yang mirip dengan
susu sapi jadi sari kedelai bisa dijadikan alternatif lain pengganti bagi yang
mempunyai alergi pada susu sapi atau lactose intolerance. Yaitu orang yang
kekurangan atau tidak memiliki enzim (β-galaktosidase) sehingga tidak dapat
mencerna laktosa pada susu sapi (Koswara, 1997)
Sari kedelai merupakan minuman yang mengandung banyak sekali
manfaat bagi kesehatan namun dengan harga yang tentunya lebih murah
daripada susu hewani (sapi). Sari kedelai dapat dibuat dengan teknologi dan
peralatan sederhana, serta tidak memerlukan keterampilan khusus, sehingga
semua orang dapat membuat sendiri di rumah. Selain untuk konsumsi sendiri,
sari kedelai juga dapat menjadi ladang usaha yang prospektif bila dikelola
dengan baik. Dimana dengan keunggulannya tadi yaitu harga yang lebih murah
daripada susu sapi namun memiliki kandungan gizi yang hampir sama dari segi
proteinnya dengan susu sapi. Kendala utama yang dihadapi produsen sari kedelai
adalah sari kedelai mempunyai bau langu yang tidak disukai oleh kebanyakan
masyarakat di Indnesia serta cepat rusaknya sari kedelai apabila sari kedelai tidak
disimpan dilemari pendingin sehingga diperlukan penanganan selama
penyimpanan.
Sari kedelai yang rusak ditandai dengan berubahnya bau, warna,
rasa, atau mengental, kemudian terjadi pemisahan air dengan endapan sari
kedelai. Kedelai hitam dipilih sebagai bahan baku pembuatan sari kedelai karena
memiliki kandungan gizi yang tinggi namun pemanfaatannya yang sangat kurang.
Diantara kacang-kacangan, kadar protein kedelai memang paling tinggi serta
kandungan antosianin sebagai antioksidan juga tinggi.

9
Pada dasarnya semua biji-bijian dapat diproses menjadi minuman (diambil
sari nya). Dengan diolah menjadi minuman maka akan menaikkan nilai cerna dari
biji-bijian tersebut. Sari kedelai memiliki bentuk menyerupai susu sapi, cara
menyiapkannya mudah sehingga memungkinkan untuk menjadi minuman
bergizi di negara-negara berkembang. Pembuatan sari kedelai pada dasarnya
adalah memproses biji kacang kedelai untuk diambil sarinya.
Proses pembuatan sari kedelai meliputi berbagai tahap – tahap yaitu
dimulai dengan tahapan yang pertama adalah penyortiran, tahapan yang kedua
adalah pencucian lalu selanjutnya dilakukan proses perendaman, selanjutnya
yaitu masuk proses penghancuran biji kedelai yang sudah direndamn hingga
berbentuk bubur kedelai, kemudian dilakukan proses penyaringan untuk
memisahkan filtrat dengan ampas sehingga filtrat tersebut tidak tercampur
dengan ampas dimana filtrat tersebutlah yang nantinya akan menjadi sari kedelai,
setelah diperoleh filtrat kemudian dilakukan proses pemanasan pada suhu
tertentu selama kurang lebih 10 – 15 menit sehingga didapatlah sari kedelai.
Sari kedelai yang dibuat secara tradisional, umumnya memiliki flavor
karakteristik yang tidak disukai konsumen. Beany flavor atau bangu langu ini
sering terjadi pada produk sari kedelai yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan beany
flavor atau bau langu merupakan faktor intrinsik pada kedelai sebagai bahan baku
utama pembuatan sari kedelai dimana beany flavor ini biasanya disebabkan oleh
kerusakan oksidatif asam lemak tak jenuh karena aktivitas enzim lipoksigenase
(Rukmana, 1997).
Salah satu cara untuk menghilangkan beany flavor atau bau langu adalah
dengan merendam biji kedelai dengan larutan natrium bikarbonat (NaHCO3) 1,1%
selama 8 jam (Artha dan Dhira, 2003). Dimana perendaman dalam larutan
NaHCO3 juga bermanfaat untuk melunakkan bahan pangan serta mengurangi
kadar tanin dalam bahan karena tanin dapat berikatan dengan mikro komponen
(Fe) dimana pada NaHCO3 juga terdapat mikro komponen yang dapat berikatan
dengan tanin. Selain itu perendaman pada larutan NaHCO 3 dapat memberikan
efek bebas anti tripsin pada produk sari kedelai yang dihasilkan (Santoso, 1995).
Berikut adalah persyaratan sari kedelai di Indonesia sesuai dengan SNI
No. 01 – 3830 – 1995 yang ditunjukkan oleh Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Persyaratan Sari Kedelai SNI Tahun 1995
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

10
Susu (milk) Minuman
(drink)
1. Keadaan
1.1. Bau - Normal Normal
1.2. Rasa - Normal Normal
1.3. Warna - Normal Normal
2. pH - 6,5-7,0 6,5-7,0
3. Protein %b/b Min 2,0 Min 2,0
4. Lemak %b/b Min 1,0 Min 0,30
5. Padatan jumlah %b/b Min 11,50 Min 11,50
6. Bahan Tambahan Sesuai dengan SNI 01-0222-1995
Makanan
6.1. Pemanis buatan
6.2. Pewarna
6.3. Pengawet
7. Cemaran logam
7.1. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,2 Maks. 0,2
7.2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 2 Maks.2
7.3. Seng (Zn) mg/kg Maks. 5 Maks.5
7.4. Timah (Sn) mg/kg Maks. 40 (250*) Maks. 40 (250*)
7.5. Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,03 Maks. 0,03
8. Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0,1 Maks. 0,1
9. Cemaran Mikroba
9.1. Angka Lempeng Total Koloni/ml Maks. 2 x 102 Maks. 2 x 102
9.2. Bakteri bentuk koli APM/ml Maks. 20 Maks. 20
9.3. Eschericia coli APM/ml <3 <3
9.4. Salmonella - Negatif
9.5. Staphylococcus Koloni/ml 0 0
aureus
9.6. Vibrio sp - Negatif Negatif
9.7. Kapang Koloni/ml Maks. 50 Maks. 50
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI

2.3 Komposisi dan Nutrisi Sari Kedelai


Sari kedelai yang mengandung protein nabati yang tidak kalah gizinya
dengan produk berbasis minuman yang berasal dari hewan (susu sapi) hal ini
dikarenakan sari kedelai terbuat dari kedelai sebagai bahan baku utamanya
dimana kedelai sebagai bahan baku utama memiliki kandungan protein yang
sangat tinggi selain itu juga memiliki asam asam amino yang lengkap. Komposisi
gizi di dalam susu kedelai dan susu sapi dapat dilihat pada Tabel 2.6 Dapat dilihat
bahwa kandungan protein dalam susu kedelai hampir sama dengan kandungan
protein dalam susu sapi.
Tabel 2.4 Komposisi Gizi Sari Kedelai dan Susu Sapi (dalam 100 gram)
Komponen Sari Kedelai Susu Sapi

11
Kalori (Kkal) 41,00 61,00
Protein (g) 3,50 3,20
Lemak (g) 2,50 3,50
Karbohidrat (g) 5,00 4,30
Kalsium (mg) 50,00 143
Fosfor (g) 450 60,00
Besi (g) 0,70 1,70
Vitamin A (SI) 200,00 130,00
Vitamin B1 (mg) 0,08 0,03
Vitamin C (mg) 2,00 1,00
(Rukmana, 1997)

Dari data diatas dapat dijadikan acuan bahwa susu kedelai mempunyai
kandungan tidak jauh berbeda dengan susu sapi yang cocok digunakan sebagai
alternatif pengganti bagi orang yang alergi terhadap susu sapi. Menurut Koswara
(1997) alergi pada susu sapi biasanya disebabkan karena orang tersebut tidak
memiliki atau memiliki sedikit enzim laktase (β-galaktosidase) dalam saluran
pencernaannya sehingga tidak dapat mencerna laktosa yang terdapat pada susu
sapi atau lactose intolerance.
Enzim laktase dalam mukosa usus sangat mempengaruhi ketahanan
tubuh seseorang terhadap susu hewani. Enzim laktase berperan penting dalam
hidrolisis laktosa menjadi gula yang lebih sederhana (glukosa) yang digunakan
sebagai sumber tenaga dalam metabolisme tubuh. Setiap masing – masing orang
mempunyai ketahanan tubuh yang berbeda, bila kekurangan enzim laktase maka
laktosa tidak akan dicerna dengan baik dan sebagai akibatnya laktosa akan
ditimbun dalam tubuh sehingga menyebabkan kerusakan jaringan pada tubuh.
Selain komponen dan nutrisinya yang kaya, sari kedelai juga mengandung
asam- asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Karena kedelai
merupakan satu – satunya leguminosa yang mengandung semua asam amino
esensial (8 – 10 buah jika dimasukkan sistein dan tirosin) yang sangat diperlukan
oleh tubuh. Asam – asam amino tersebut tidak dapat disintesis didalam tubuh, jadi
perlu asupan dari luar. Asam amino esensial sama pentingnya dengan asam
amino non esensial dimana tubuh manusia memerlukannya dalam jumlah
tertentu.
Selain komposisi asam – asam amino esensial diatas, kedelai juga
mengandung asam amino esensial lain yaitu lisin dalam jumlah besar. Lisin
mempunyai peranan penting dalam menutupi kekurangan yang biasa terdapat
pada kacang – kacangan yaitu metionin. Harus diakui bahwa kedelai memiliki

12
sedikit kekurangan yaitu mempunyai kandungan metionin yang sedikit. Metionin
adalah salah satu asam amino yang diperlukan untuk membuat suatu protein
lengkap (Santoso, 1994).

2.4 Antosianin
Antosianin merupakan salah satu bagian penting dalam kelompok pigmen
setelah klorofil. Antosianin berasal dari bahasa Yunani, anthos yang berarti bunga
dan kyanos yang berarti biru gelap. Antosianin merupakan pigmen yang larut
dalam air, menghasilkan warna dari merah sampai biru, dan tersebar luas dalam
buah, bunga, dan daun (Jackman and Smith, 1996).
Antosianin umumnya ditemukan pada buah-buahan, sayur - sayuran, dan
bunga, contohnya pada anggur, stroberi, blackberry, blueberry, raspberry, cherry,
apel merah, bunga ros, bunga/kembang sepatu, kol ungu, pir merah, plum, cabai
merah, dan sebagainya (MacDougall et al., 2002).
Sedangkan menurut Talavera, et al., (2004). Antosianin adalah metabolit
sekunder dari famili flavonoid, dalam jumlah besar ditemukan dalam buah-buahan
dan sayur-sayuran. Antosianin adalah suatu kelas dari senyawa flavonoid, yang
secara luas terbagi dalam polifenol tumbuhan. Flavonol, flavan-3-ol, flavon,
flavanon, dan flavanonol adalah kelas tambahan flavonoid yang berbeda dalam
oksidasi dari antosianin.
Larutan pada senyawa flavonoid adalah tak berwarna atau kuning pucat
(Wrolstad, 2001). Antosianin adalah senyawa flavonoid dan merupakan glikosida
dari antosianidin yang terdiri dari 2-phenyl benzopyrilium (Flavium) tersubstitusi,
memiliki sejumlah gugus hidroksil bebas dan gugus hidroksil termetilasi yang
berada pada posisi atom karbon yang berbeda. Seluruh senyawa antosianin
merupakan senyawa turunan dari kation flavilium, dua puluh jenis senyawa telah
ditemukan. Tetapi hanya enam yang memegang peranan penting dalam bahan
pangan yaitu pelargonidin, sianidin, delfinidin, peonidin, petunidin, dan malvidin
(Nugrahan, 2007).
Warna yang diberikan oleh antosianin bervariasi dari merah, jingga, ungu,
atau biru pada jaringan tanaman. Antosianin terdapat pada vakuola sel bagian
tanaman. Vakuola adalah organel sitoplasmik yang berisikan air, serta dibatasi
oleh membran yang identik dengan membran tanaman (Kimbal, 1993). Zat
pewarna alami antosianin tergolong ke dalam turunan benzopiran. Struktur utama

13
turunan benzopiran ditandai dengan adanya dua cincin aromatik benzena (C6H6)
yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin. Antosianin
merupakan suatu gugus glikosida yang dibentuk dari gugus aglikon dan glikon
(Markakis, 1982).
Antosianin termasuk kedalam komponen flavonoid yang paling umum
terdapat pada tumbuhan. Antosianin memiliki lima subkelas, yaitu peralgonidin,
cyanidin, peonidin, malvidin, dan delphinidin (Lee dan Kevin, 2005). Antosianin
merupakan pigmen larut air yang menyebabkan warna merah, ungu, dan biru
pada tanaman. Warna yang berbeda ini dipengaruhi oleh pH dan interaksi
antosianin dengan kelas flavonoid lain yang tidak berwarna dalam tumbuhan
(dikenal dengan copigmentation).
Antosianin merupakan derivat dari antosianidin yang tidak beraroma
dan hampir tidak berasa. Antosianin terdiri dari dua struktur dasar aglikon,
satu atau lebih gugusan gula, dan terkadang juga memiliki gugusan asil (Wijaya,
2001). Bagian gula pada antosianin, biasanya berupa glukosa, rhamnosa,
xylosa, galaktosa, arabinosa, dan fruktosa.
Antosianidin adalah aglikon antosianin yang terbentuk bila antosianin
dihidrolisis dengan asam. Antosianidin yang paling umum dikenal adalah sianidin
yang berwarna merah lembayung. Warna jingga disebabkan oleh pelargonidin
yang gugus hidroksilnya kurang satu dibandingkan sianidin, sedang warna merah
senduduk, lembayung, dan biru umumnya disebabkan oleh delfinidin yang gugus
hidroksilnya lebih satu dibandingkan sianidin.
Tiga jenis ester metil antosianidin juga sangat umum, yaitu peonidin yang
merupakan turunan sianidin serta petunidin dan malvidin yang terbentuk dari
delfinidin. Masing-masing antosianidin tersebut sebagai sederetan glikosida (yaitu
sebagai antosianin) dengan berbagai gula yang terikat. Keragaman utama adalah
sifat gulanya (sering kali glukosa, tetapi mungkin juga galaktosa, ramnosa, xilosa,
atau arabinosa), jumlah satuan gula (mono-, di-, atau triglikosida), dan letak ikatan
gula (biasanya pada 3-hidroksi atau pada 3- dan 5-hidroksi) (Harborne, 1996).

Struktur kimia dasar pada tujuh sub kelas antosianin ditampilkan pada
Gambar 2.2

14
Gambar 2.2 Struktur umum antosianin (Giusti and Wrolstad, 2003)
Tabel 2.5 Daftar antosianin dan subtitusi
Antosianidin Gugus yang Tersubstitusi Warna
3 5 6 7 3 5
Pelargonidin OH OH H OH H H Orange
Cyanidin OH OH H OH OH H Merah-Orange
Delphinidin OH OH H OH OH OH Merah-Biru
Peonidin OH OH H OH OME H Merah Orange
Petunidin OH OH H OH OME OH Merah Biru
Malvidin OH OH H OH OME OME Merah-Biru
(Jackman and Smith, 1996)

Pada jaringan fotosintesis, antosianin berperan sebagai tabir surya


yang melindungi sel dari kerusakan dengan menyerap cahaya ultraviolet.
Antosianin terdapat pada daun muda yang berwarna merah, pada daun saat
musim panas, dan daun-daun hijau yang berubah merah pada saat musim dingin
Jackman and Smith, 1996).
Panhwar (2005) menyebutkan bahwa antosianin memiliki manfaat
antioksidan dengan berperan sebagai donor elektron atau transfer atom hidrogen
pada radikal bebas. Sumber antosianin yang biasa digunakan dalam industri
biasanya adalah anggur, elderberry dan blackcurrant. Kadar antosianin dalam
buah dapat berkisar antara 0,25 mg hingga 500 mg per 100 gram buah
segar. Woodson (1991) menyebutkan beberapa sumber lain yang belakangan
digunakan, seperti kol merah dan wortel hitam. Dua komoditas ini, menurut
MacDougall et al,. (2002), memiliki antosianin yang lebih stabil terhadap pH dan
cahaya dibandingkan dengan sumber-sumber antosianin yang terlebih dahulu
digunakan.
Antosianin secara kimia merupakan turunan suatu struktur aromatic
tunggal yaitu sianidin yang semuanya terbentuk dari pigmen sianidin yang

15
mengalami penambahan atau pengurangan gugus hidroksil, metilasi atau
glikolisasi (Harborne, 1996). Antosianin adalah senyawa yang bersifat amfoter,
yaitumemiliki kemampuan untuk bereaksi baik dengan asam maupun dalam basa.
Dalam media asam antosianin berwarna merah seperti halnya saat dalam vakuola
sel dan berubah menjadi ungu dan biru jika media bertambah basa. Perubahan
warna karena perubahan kondisi lingkungan ini tergantung dari gugus yang terikat
pada struktur dasar dari posisi ikatannya (Charley, 1970).
Antosianin, seperti halnya pigmen alami lainnya, memiliki stabilitas yang
rendah. Degradasi dapat terjadi selama ekstraksi, pemurnian, pengolahan, dan
penyimpanan pigmen. Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas antosianin
antara lain struktur kimia pigmen, keasaman (pH), suhu, dan jenis pelarut. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Laleh et al., (2006) menunjukkan bahwa
peningkatan pH, suhu, dan paparan cahaya dapat merusak molekul antosianin.
Salah satu karakteristik utama antosianin adalah perubahan warna yang
merespon adanya perubahan pH lingkungan.
Warna dan stabilitas antosianin pada larutan sangat tergantung pada pH.
Antosianin paling stabil pada pH rendah dan perlahan kehilangan warnanya
seiring dengan peningkatan pH dan menjadi hampir tak berwarna pada pH 4,0
sampai 5,0. Menurut Rein (2005), antosianin lebih stabil pada larutan asam
daripada pada larutan netral atau alkali. Namun kehilangan warna dapat bersifat
reversibel. Corak warna merah akan kembali dengan adanya peningkatan derajat
keasaman (Ozela, Stringheta, and Chauca 2007). Stabilitas antosianin juga
dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Proses pemanasan merupakan faktor yang
dapat menyebabkan kerusakan antosianin.
Rahmawati (2011) mengemukakan bahwa proses pemanasan terbaik
untuk mencegah kerusakan antosianin adalah pemanasan pada suhu tinggi
dalam jangka waktu pendek (High Temperature Short Time). Paparan cahaya
juga dapat memperbesar degradasi pada molekul antosianin.
Antosianin memiliki manfaat kesehatan bagi tubuh dan digunakan
sebagai komponen aktif dari beberapa produk kesehatan. Manfaat tersebut
termasuk perlindungan terhadap kerusakan hati, penurunan tekanan darah,
peningkatan kemampuan penglihatan, zat anti peradangan dan antiseptik,
menghambat mutasi akibat mutagen yang berasal dari makanan yang dimasak,
dan menekan poliferasi sel kanker. Berbagai aktivitas fisiologis antosianin dapat

16
memberikan dampak yang signifikan dalam mencegah kanker, diabetes, serta
penyakit kardiovaskular dan syaraf. MacDougall et al., (2002) juga menyebutkan
antosianin memiliki manfaat anti alergi dan antitrombotik.

2.4.1 Sifat Fisika dan kimia Antosianin


Sifat fisika dan kimia antosianin dapat dilihat dari kelarutan suatu
antosianin tersebut terhadap berbagai macam pelarut polar diantaranya yaitu
methanol, aseton atau kloroform dan air yang diasamkan dengan asam klorida
atau asam format (Socaciu, 2007). Antosianin stabil pada pH 3,5 dan suhu 50°C
mempunyai berat molekul 207,08 gram/mol dan rumus molekul C 15H10
(Fennema, 1996). Antosianin dilihat dari penampakan berwarna merah, merah
senduduk, ungu dan biru mempunyai panjang gelombang maksimum 515-545
nm, bergerak dengan eluen BAA (nbutanol-asam asetat-air) pada kertas
(Harborne, 1996).

2.4.2 Warna dan Stabilitas Antosianin


Warna dan stabilitas pigmen antosianin tergantung pada struktur molekul
secara keseluruhan. Substitusi pada struktur gugus hidroksil antosianin akan
berpengaruh pada warna antosianin. Pada kondisi asam warna antosianin
ditentukan oleh banyaknya substitusi pada gugus hidroksil menyebabkan
terbukanya cincin aglikol. Semakin banyak substitusi OH akan menyebabkan
warna semakin biru, sedangkan metoksilasi menyebabkan warna semakin merah
(Arisandi, 2001).
Menurut Belitz and Grosch (1999) penambahan gugus hidroksil
menghasilkan pergeseran ke arah warna biru (pelargonidin sianidin delpinidin),
dimana pembentukan glikosida dan metilasi menghasilkan pergeseran ke arah
warna merah (pelargonidin pelargonidin-3-glukosida; sianidin peonidin).Degradasi
antosianin terjadi tidak hanya selama ekstraksi dari jaringan tumbuhan tetapi juga
selama proses dan penyimpanan jaringan makanan (Fennema, 1996).
Kestabilan antosianin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pH,
temperatur, sinar dan oksigen, serta faktor lainnya seperti ion logam (Niendyah,
2004). Jumlah antosianin yang ada di alam telah diidentifikasi sebanyak 539 jenis
akan tetapi hanya 6 yang ada didalam bahan pangan yaitu pelargonidin, cyanidin,
peonidin, delphinidin, petunidin, dan malvidin (Mateus and Freitas, 2009) dimana

17
antosianin diatas memiliki kestabilan rendah. Degradasi antosianin dapat
disebabkan oleh beberapa faktor dimana secara umum dibedakan menjadi 2
faktor yaitu degradasi secara enzimatis dan non enzimatis (Jackman and Smith,
1996).
Menurut Rein (2005) beberapa enzim dapat berperan dalam proses
degradasi antosianin misalnya glukosidase dan PPO (Polipenol Oksidase). Enzim
glukosidase mampu menstimulasi terjadinya hidrolisis pada ikatan gula antara
gugus aglikon. Hidrolisis tersebut menyebabkan terbentuknya cincin aromatik
yang membentuk senyawa kalkon (Markakis, 1982) Menurut Jackman and Smith
(1996), adanya enzim glukosidase yang sengaja ditambahkan pada jus blueberry
yang mengandung sianidin 3-glukosida akan menyebabkan pemudaran warna
akibat hidrolisis ikatan glikosidik. Enzim PPO banyak terdapat pada jaringan
tanaman (Jackman and Smith, 1996).
Secara umum enzim PPO tidak langsung mendegradasi antosianin.
Namun enzim tersebut mampu mengoksidasi senyawa fenolik menjadi o-
benzoquinon. Hasil oksidasi senyawa fenolik mampu mengalami kondensasi
dengan antosianin yang terdegradasi membentuk senyawa tidak berwarna seperti
kalkon (Markakis, 1982).

2.4.3 Antosianin Sebagai Antioksidan


Antosianin sudah lama dikenal memiliki berbagai macam manfaat bagi
kesehatan tubuh diantaranya adalah sebagai antioksidan. Antosianin didalam
kedelai hitam berperan sebagai antioksidan, yaitu yang memiliki kemampuan
menangkal radikal bebas yang menyebabkan terjadinya peroksidasi lemak
(Stipanuk, 2000; Harborne and Mabry, 1982). Mekanisme kerja dari antioksidan
ini adalah dengan melindungi lemak dan memberikan atom hidrogen pada radikal
bebas dan ketika atom hidrogen berikatan dengan radikal bebas, rantai oksidasi
lemak akan terhenti atau terputus (Matill, 1947).
Antioksidan dibedakan atas tiga macam yaitu: (a). Antioksidan yang dibuat
oleh tubuh kita sendiri yang berupa enzim antara lain superoksida dismutase,
glutathione peroxidase dan katalase. (b) Antioksidan alami yang dapat diperoleh
dari tanaman atau hewan yaitu tokoferol, vitamin C, betakaroten, flavonoid dan
senyawa fenolik. (c) Antioksidan sintetik, yang dibuat dari bahan-bahan kimia

18
yaitu Butylated Hiroxyanisole (BHA), BHT, TBHQ, PG dan NDGA yang
ditambahkan dalam makanan untuk mencegah kerusakan lemak.

Atas dasar fungsinya antioksidan dapat dibedakan menjadi 5 (lima) yaitu:


1. Antioksidan Primer
Antioksidan ini berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru
karena ia dapat merubah radikal bebas yang adamenjadi molekul yang berkurang
dampak negatifnya sebelum sempat bereaksi. Yang termasuk antioksidan primer
adalah tokoferol, BHA, BHT, TBHQ, dll.
2. Antioksidan Sekunder
Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap
radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi
kerusakan yang lebih besar. Contoh yang populer, antioksidan sekunder adalah
vitamin E, vitamin C, dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah-buahan.
3. Antioksidan Tersier
Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan
jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Biasanya yang termasuk
kelompok ini adalah jenis enzim misalnya metionin sulfoksidan reduktase yang
dapat memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk
perbaikan DNA pada penderita kanker.
4. Oksigen Scavenger
Antioksidan yang termasuk oksigen scavenger mengikat oksigen sehingga
tidak mendukung reaksi oksidasi, misalnyavitamin C.
5. Chelators/Sequestrants
Mengikat logam yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi misalnya
asam sitrat dan asam amino. Contohnya adalah EDTA. (Kumalaningsih, 2007).

2.5 Faktor – Faktor Penyebab Degradasi Antosianin


Antosianin, seperti halnya pigmen alami lainnya, memiliki stabilitas yang
rendah. Degradasi dapat terjadi selama ekstraksi, pemurnian, pengolahan, dan
penyimpanan pigmen. Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas antosianin
antara lain struktur kimia pigmen, keasaman (pH), suhu, dan jenis pelarut
(Jackman and Smith, 1996).

19
Stabilitas warna merupakan unsur penting dalam penentuan kualitas suatu
produk pangan. Warna serta stabilitas pigmen antosianin sangat dipengaruhi oleh
struktur molekul secara keseluruhan dimana subtitusi pada struktur antosianin
akan berpengaruh pada warna antosianin. Pada kondisi asam warna suatu
antosianin sangat dipengaruhi banyaknya subtitusi pada cincin yang mana
semakin banyaknya subtitusi OH akan menyebabkan warna semakin biru
sedangkan metoksilasi menyebabkan warna antosianin semakin merah (Arisandi,
2001)
Menurut Belitz and Grosch (1999) penambahan gugus hidroksil menghasilkan
pergeseran ke arah warna biru (pelargonidin menuju sianidin kearah delpinidin)
dimana pembentukan glikosida dan metilasi menghasilkan pergeseran ke arah
warna merah (pelargonidin kearah pelargonidin-3-glukosida atau sianidin menuju
peonidin). Degradasi antosianin terjadi tidak hanya selama ekstraksi dari jaringan
tumbuhan tetapi juga selama proses dan penyimpanan jaringan makanan
(Fennema, 1996).

1. Suhu
Suhu merupakan faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin.
Peningkatan suhu pengolahan hingga penyimpanan dapat menimbulkan
kerusakan dan perubahan antosianin yang dapat terjadi secara cepat melalui
tahapan:
1. Hidrolisis pada ikatan glikosidik antosianin menghasilkan aglikon-aglikon
yang labil.
2. Terbukanya cincin aglikon sehingga terbentuk gugus karbinol dan kalkon
yang tidak berwarna. Degradasi lebih lanjut dari antosianin ini akan
menghasilkan produk yang berwarna kecoklatan terutama apabila
terdapat molekul oksigen (Markakis, 1982)
2. pH
Antosianin umumnya lebih stabil pada larutan asam apabila
dibandingkan dengan larutan netral atau alkali. Antosianin memiliki struktur
kimia yang berbeda tergantung dari pH larutan. Pada pH 1 antosianin
berbentuk kation flavinium yang memberikan warna merah. Pada pH 2-4
antosianin berbentuk campuran kation flavinium dan quinoidal. Pada pH yang
lebih tinggi yaitu 5-6 terdapat dua senyawa yang tidak berwarna yaitu karbinol
pseudobasa dan kalkon (Ovando et al., 2009).
3. Oksigen

20
Oksigen dapat menstimulasi terjadinya proses degradasi antosianin
secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung oksigen mampu
menyebabkan oksidasi antosianin menjadi senywa yang tidak berwarna dan
menurunkan stabilitas antosianin (Rein, 2005). Secara tidak langsung beberapa
senyawa hidroksiradikal mampu menyebabkan oksidasi pada struktur
antosianin sehingga membentuk senyawa tidak berwarna seperti kalkon yang
merupakan indikator degradasi warna antosianin.
4. Gula
Gula merupakan faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin.
Sukrosa merupakan jenis gula yang memiliki efek protektif terhadap
antosianin dibandingkan dengan fruktosa dan laktosa (Markakis, 1982).
Penambahan 10% sukrosa pada model minuman ekstrak bayam merah
terbukti memiliki efek protektif terhadap zat pewarna alami (Cai dan Corke,
1999). Penambahan sukrosa berlebihan (>13%) pada minuman 11 ekstrak
bayam merah cendrung menstimulasi proses degradasi zat pewarna alami.
5. Cahaya
Cahaya merupakan faktor yang berperan dalam proses degradasi
antosianin. Cahaya memiliki energi tertentu yang mampu menstimulasi
terjadinya fotokimia dalam molekul antosianin (Jackman and Smith, 1996).
Reaksi fotokimia dalam molekul antosianin menyebabkan pembukaan cincin
karbon no 2. Pada akhirnya reaksi fotokimia mampu membentuk senyawa
tidak berwarna seperti kalkon sebagai indikator degradasi antosianin
(Markakis, 1982). Degradasi lanjutan dapat membentuk senyawa turunan lain
yang tidak berwarna seperti 2,4,6 trihidroksibenzaldehid dan asam benzoat
yang tersubtitusi (Jackman and Smith, 1996).

2.6 Tanin
Tanin adalah suatu nama umum untuk satu grup substansi fenolik polimer
yang menyamak kulit dan dikenal mempunyai sifat astringensi yaitu kemampuan
untuk mempresipitasi gelatin dari cairan yang hampir dapat kita jumpai pada
setiap bagian tanaman seperti pada kulit kayu, daun, buah dan akar (Hagerman,
1998)
Secara struktural tanin adalah suatu senyawa fenol yang memiliki berat
molekul besar yang terdiri dari gugus hidroksi dan beberapa gugus yang
bersangkutan seperti karboksil untuk membentuk kompleks kuat yang efektif

21
dengan protein dan beberapa makromolekul (Horvart, 1981). Struktur tanin dapat
dilihat pada Gambar 2.3

Gambar 2.4 Struktur Inti Tanin (Robinson, 1995)

Tanin sebagai suatu senyawa metabolit sekunder mempunyai karakteristik


sebagai berikut yaitu :
1. Senyawa oligomer dengan satuan struktur yang bermacam-macam
dengan gugus fenol bebas.
2. Berat molekul antara 500 sampai 20.000.
3. Larut dalam air, dengan pengecualian beberapa struktur yang
mempunyai berat molekul besar.
4. Mampu berikatan dengan protein dan terbentuk kompleks tanin-
protein yang larut dan tidak larut. (Giner-Chavez, 2001)

Secara kimia terdapat dua jenis tanin yang tersebar tidak merata dalam
dunia tumbuhan yaitu tanin terkondensasi (Proantosianidin) dan tanin terhidrolisis
(Hydrolyzable tannin) (Harborne, 1987). Kedua golongan tanin menunjukkan
reaksi yang berbeda dalam larutan garam Fe (III). Tanin terkondensasi
menghasilkan warna hijau kehitaman sedangkan tanin terhidrolisis memberikan
biru kehitaman (Etherington, 2002).

2.6.1 Tanin Terkondensasi


Tanin terkondensasi secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan
cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer
dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Proantosianidin merupakan nama lain
dari tanin terkondensasi karena jika direaksikan dengan asam panas, beberapa

22
ikatan karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer
antosianidin (Harborne, 1987).
Proantosianidin didefinisikan sebagai oligo atau polimer flavonoid (flavan-
3-ol atau flavan-3-4-diol), dimana ikatan C-C tidak mudah untuk dihidrolisis
(Etherington, 2002). Proantosianidin lebih banyak terdistribusi daripada tanin
terhidrolisis, merupakan oligomer atau polimer satuan flavonoid (misalnya flavan-
3-ol) yang terikat oleh ikatan karbon-karbon yang tidak mudah terpecah dengan
adanya hidrolisis (Giner-Chavez, 2001). Proantosianidin dapat dideteki langsung
dalam jaringan tumbuhan hijau dengan mencelupkan ke dalam HCl 2M mendidih
selama setengah jam. Bila terbentuk warna merah yang dapat diekstraksi dengan
amil atau butil alkohol, maka ini merupakan bukti adanya senyawa tersebut
(Harborne, 1987).

2.6.2 Tanin Terhidrolisis


Tanin terhidrolisis merupakan molekul dengan poliol (umumnya D glikosa)
sebagai pusatnya. Tanin terhidrolisis adalah pecahnya karbohidrat dan asam
fenolik oleh asam lemah atau basa lemah (Hagerman, 1998). Gugus hidroksi
pada karbohidrat sebagian atau semuanya teresterifikasi dengan gugus karboksil
pada asam gallat (gallotanin) atau asam ellagat (ellagitanin). Tanin terhidrolisis
biasanya sedikit terdapat dalam tanaman (Giner-Chavez, 2001).

2.7 Natrium bikarbonat (NaHCO3)


Natrium bikarbonat adalah senyawa berbentuk bubuk yang bersifat basa
dan termasuk golongan garam yang bersifat larut air. Natrium bikarbonat sering
juga disebut soda kue dimana natrium bikarbonat berfungsi sebagai bahan
pengembang pada bahan pangan karena dapat bereaksi dengan bahan lain
membentuk karbondioksida penyebab roti mengembang (Wardani, 2013).
Sedangkan menurut Artha dan Dhira (2003) selain berfungsi sebagai bahan
pengembang natrium bikarbonat NaHCO3 juga berfungsi melunakkan dan
menghilangkan bau langu pada kedelai dimana natrium bikarbonat NaHCO 3
ditambahkan pada saat proses perendaman biji kedelai.
Selain itu, NaHCO3 juga berfungsi untuk menekan atau mengurangi kadar
tanin pada bahan pangan karena senyawa tanin dapat berikatan dengan senyawa
mikro komponen seperti zat besi (fe). Pada NaHCO 3 terdapat senyawa mikro

23
komponen yaitu natrium (Na) dimana akan mengikat tanin dan NaHCO 3 bersifat
basa dimana tanin larut dengan senyawa basa (Wardani, 2013).
Menurut Santoso (1995) perendaman kedelai dalam larutan NaHCO 3 0,5%
selama semalam dengan diikuti blanching dengan air mendidih selama 30 detik
dapat memberi efek bebas antitripsin pada sari kedelai yang dihasilkan.

III METODOLOGI

24
3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan dimulai pada bulan Juli 2014
hingga Januari 2014 dan dilakukan disatu tempat yaitu : Laboratorium Kimia dan
Biokimia Pangan Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat
Alat yang digunakan untuk pembuatan sari kedelai antara lain baskom,
kertas saring kasar, timbangan digital, kompor listrik, blender, kain saring, dan
beaker glass.

Alat yang digunakan untuk analisa antara lain gelas ukur, labu ukur,
spatula, mortar, pipet volume, pipet tetes, vortex, bola hisap, tabung reaksi,
sentrifuse, (Universal Model : PLC-012E), spektrofotometer (Spectro 20 D Plus),
kuvet, kertas saring Whatman no. 41, erlenmeyer, kaca arloji, labu takar 50ml,
labu takar 100 ml, vortex, pH meter (Schott Instrument, Lab 850), sentrifuge
(Kubota 6500), waterbath (Memmert), spektrofotometer (Shimidzu UV Vis 1700)
dan beberapa glassware.

3.2.2 Bahan
Analisa kimia menggunakan bahan-bahan dari CV. Makmur Sejati antara
lain Sodium/Natrium bikarbonat, sodium/natrium karbonat, KCL, HCL pekat,
sodium/natrium asetat trihydrat, pereaksi Folin Denis, etanol, larutan standar
asam tanat (0,1 mg asam tanat/1 ml).
Bahan dasar pada penelitian ini yaitu kedelai hitam jenis Detam-1 yang
didapatkan dari Lai Lai caffee and supermarket Jl. Semeru Kota Malang.

25
3.3 Metode Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok 2 faktorial


yang terdiri dari :

 Variasi Penambahan NaHCO3

 Tanpa Penambahan NaHCO3

 Penambahan NaHCO3 0,25%

 Penambahan NaHCO3 1,1%

 Variasi lama waktu blanching

 Blanching selama 10 menit

 Blanching selama 20 menit

 Blanching selama 30 menit

 Pada tahap ini akan diperoleh 9 kombinasi perlakuan yaitu :

1. P1 : Perendaman tanpa penambahan NaHCO3 dengan blanching 10 menit

2. P2 : Perendaman tanpa penambahan NaHCO3 dengan blanching 20 menit

3. P3 : Perendaman tanpa penambahan NaHCO3 dengan blanching 30 menit

4. P4 : Perendaman dengan NaHCO3 0,25% dan blanching 10 menit

5. P5 : Perendaman dengan NaHCO3 0,25% dan blanching 20 menit

6. P6 : Perendaman dengan NaHCO3 0,25% dan blanching 30 menit

7. P7 : Perendaman dengan NaHCO3 1,1% dan blanching 10 menit

8. P8 : Perendaman dengan NaHCO3 1,1% dan blanching 20 menit

9. P9 : Perendaman dengan NaHCO3 1,1% dan blanching 30 menit

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Persiapan Sampel


Pada tahapan ini dilakukan persiapan sampel untuk menentukan proporsi
yang pas antara bahan baku (kedelai hitam) dan masing – masing bahan yang

26
lainnya dalam pembuatan sari kedelai. Pada penelitian ini dilakukan proses
perendaman dan proses penggilingan dimana proses tersebut ditambahkan
variasi perbandingan air. Pada proses perendaman dan penggilingan dilakukan
variasi antara air dan bahan yakni 1:1, 2:1, 3:1, 4:1, 5:1 untuk mendapatkan
perendaman yang optimal dimana bahan baku terendam seluruhnya dalam air
sebagai media dan penentuan kadar NaHCO3 yang ditambahkan yaitu sebanyak
0,25% dan 1,1%. Selain itu juga variasi penambahan air pada saat penggilingan
bertujuan agar mendapatkan viskositas sari kedelai yang diinginkan dalam hal ini
agar sari kedelai yang dihasilkan sesuai dengan standar mutu yang sudah
ditetapkan sesuai SNI tahun 1995.

3.4.2 Penelitian Utama


Pada penelitian ini dilakukan penelitian utama yaitu untuk mengetahui
kadar tanin dan antosianin pada sari kedelai hitam. Yang pertama adalah bahan
baku kedelai hitam dilakukan analiasa awal yaitu analisa kadar tanin dan kadar
antosianin untuk mendapatkan kadar tanin dan antosianin bahan baku kemudian
dilakukan sortasi dan dicuci hingga bersih. Kemudian dilakukan perendaman
dengan air selama 30 menit tanpa penambahan dan dengan variasi penambahan
NaHCO3 lalu dianalisa kadar tanin dan kadar antosianin untuk mengetahui
perubahan kadar tanin dan antosianin pada bahan. Setelah itu dilakukan proses
blanching dengan menggunakan variasi waktu selama 10, 20 dan 30 menit lalu
dilakukan analisa kadar tanin dan kadar antosianin.
Setelah itu dilakukan dilakukan pemanasan dengan variasi suhu 60,70
dan 80°C selama 10-15 menit. Hal ini dilakukan untuk strerilisasi akhir pada sari
kedelai hitam sebelum dilakukan packing. Sterilisasi bertujuan untuk membunuh
mikroba pada sari kedelai serta menginaktifkan enzim dan juga untuk mengetahui
kadar antosianin akhir produk dimana pemanasan adalah merupakan perlakuan
yang menjadi parameter penurunan kadar antosianin.

3.4.3 Proses Pembuatan Sari Kedelai Hitam

Proses pembuatan minuman sari kedelai hitam dimulai dari bahan baku
berupa kedelai hitam yang didapatkan dilakukan proses sortasi dan pencucian.
Hal ini dilakukan untuk memilih dan memilah kedelai yang kualitasnya baik
dengan tingkat kesempurnaan biji yang sesuai serta untuk memisahkan kedelai

27
dari batu kerikil yang nantinya dapat merusak mesin penggiling (blender) dan
membersihkan kedelai hitam dari kotoran atau debu yang mungkin masih
menempel pada biji kedelai hitam yang kemudian kedelai hitam dilakukan proses
perendaman. Perendaman dilakukan bertujuan untuk mempercepat pelapasan
kulit ari serta melunakkan kedelai hitam supaya mudah dalam penggilingannya.
Lama perendaman biasanya dilakukan selama kurang lebih 6 - 8 jam
(Santoso, 1995). Pada penelitian ini dilakukan perendaman dengan penambahan
NaHCO3 yang diberi perlakuan variasi dalam penambahannya dimana NaHCO3
yang ditambahkan yaitu sebesar 0,25% dan 1,1%. Perendaman dengan
penambahan NaHCO3 dilakukan bertujuan untuk menghilangkan bau langu,
mengikat tanin dan menginaktifkan anti tripsin pada kedelai hitam selain untuk
melunakkan kedelai hitam itu sendiri. Menurut Artha dan Dhira (2003)
penambahan sebesar NaHCO3 1,1% dapat menghilangkan bau langu pada
kedelai hitam sedangkan menurut Wardani (2013) senyawa yang bersifat basa
serta tersusun atas karbon dapat digunakan sebagai pengikat tanin dimana
NaHCO3 adalah senyawa yang bersifat basa serta memiliki atom karbon sebagai
penyusunnya.
Bau langu atau beany flavor itu sering terjadi pada pengolahan kedelai
baik kedelai kuning maupun kedelai hitam karena bau langu tersebut merupakan
salah satu faktor intrinsik akibat dari kerusakan oksidatif asam lemak tak jenuh
karena aktivitas enzim lipoksigenase (Smith dan Circle, 1972).
Setelah dilakukan perendaman, proses selanjutnya adalah blanching
dimana pada penelitian ini dilakukan water blanching pada suhu 80°C dengan
variasi lama waktu yaitu 10, 20, dan 30 menit. Blanching dilakukan dengan tujuan
mengkatalisasi reaksi ethil venil keton dengan oksigen di udara dimana reaksi
tersebut akan menyebabkan bau langu pada kedelai. Dengan dilakukannya
blanching maka oksidasi ethil venil keton dapat dicegah sehingga kedelai tidak
akan bau langu selain berfungsi juga untuk lebih melunakkan bahan baku kedelai
hitam agar mudah dalam perlakuan penggilingan (Santoso, 1995).
Selanjutnya adalah perlakuan penggilingan, yaitu ditujukan untuk
memperoleh bubur atau ekstrak dari kedelai hitam tersebut. Pada proses
penggilingan alat yang digunakan adalah blender yang biasa digunakan dalam
penggilingan pada umumnya. Selama proses penggilingan ditambahkan air
hangat dengan perbandingan 1:4 dimana setiap 250 gram kedelai hitam

28
berbanding satu liter air. Perbandingan tersebut selain ditujukan untuk
memperoleh kekentalan sari kedelai yang pas seperti halnya susu sapi juga
bertujuan untuk medapatkan protein yang lebih tinggi pada sari kedelai hitam
(Adnan, 1984).
Setelah dilakukan proses penggilingan selanjutnya masuk dalam proses
penyaringan. Penyaringan dilakukan bertujuan untuk memisahkan antara filtrat
atau sari kedelai dengan ampasnya. Pada penelitian ini yang digunakan dalam
proses penyaringan adalah dengan menggunakan kain saring yang ditambah
dengan penekanan sepaya sari kedelai yang didapatkan lebih banyak karena
apabila tanpa dilakukan penekanan saat penyaringan maka sari kedelai yang
didapatkan lebih sedikit karena masih tertinggal pada padatan atau ampasnya.
Menurut Wardani (2013) penyaringan dilakukan untuk memisahkan komponen
terlarut dan tidak terlarut dimana sebagian komponen yang larut air akan terlarut
dalam sari kedelai sedangkan komponen yang tidak larut akan terpisah dan
tertinggal dalam padatan.
Selanjutnya tahapan terakhir dalam pembuatan sari kedelai adalah
pemanasan. Pada proses pembuatan sari kedelai, pemanasan dilakukan
bertujuan untuk mematikan semua mikroba dan menginaktivasi sisa enzim
penyebab bau langu (Adnan, 1984). Pada penelitian ini digunakan variasi suhu
pemanasan yaitu 60°C, 70°C, dan 80°C selama 10-15 menit dimana perlakuan
variasi suhu pemanasan selain digunakan sebagai strelisasi juga digunakan
dalam penentuan kadar antosianin dalam sari kedelai tersebut. Menurut Wardani
(2013) sari kedelai yang baik adalah sari kedelai yang dimasak atau dipanaskan
pada suhu kurang lebih 65°C selama 10 - 15 menit dengan melakukan
pengadukan supaya tidak terjadi penggumpalan protein yang terdenaturasi
selama pemanasan.

3.5. Pengujian

Parameter yang dianalisa meliputi total antosianin menggunakan metode


pH diferensial (Giusti dan Wrolstad, 2001), aktivitas antioksidan (Kano et al.,
2005) kadar tanin (AOAC, 1995).

29
3.6. Diagram Alir Penelitian

Analisa:
Kedelai Hitam - Kadar Tanin
- Kadar Antosianin

Sortasi dan
Pencucian

Perendaman pada air Perendaman pada air


Analisa : Perendaman pada air Perendaman
tanpa pada air
penambahan Analisa :
dengan penambahan
- Kadar Tanin dengan penambahan dengan penambahan - Kadar Tanin
NaHCO33 0,25% NaHCO3
- Kadar Antosianin NaHCO 0,25%dan 1,1%
30 menit NaHCO 3 1,1% 30 menit - Kadar Antosianin

Blanching 10, 20, dan 30 menit Analisa :


- Kadar Tanin
(water blanching suhu 80°C)
- Kadar Antosianin
Penggilingan
Air Panas 4:1
Blender 1000rpm 5 menit

Penyaringan

Pemanasan
60 C 70Pemanasan
o o
C 80oC 10-15 menit

Analisa :
Sari Kedelai Hitam - Kadar Tanin
- Kadar Antosianin
- Aktivitas Antioksidan

Gambar 3.1 Alur Penelitian Proses Pembuatan Sari Kedelai

30
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku


Pada penelitian ini, bahan baku yang digunakan adalah kedelai hitam yang
diperoleh dari Lai – Lai Supermarket dimana pemilihan jenis bahan baku tersebut
dengan pertimbangan varietas kedelai hitam yang terjamin dari segi kualitasnya.
Kedelai hitam digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan minuman
fungsional sari kedelai hitam dengan pertimbangan karena di Indonesia kedelai
hitam pengolahannya sangat terbatas dimana kedelai hitam hanya digunakan
sebagai bahan baku pembuatan kecap. Sedangkan dibeberapa negara diluar
negeri seperti Jepang dan Korea kedelai hitam juga dimanfaatkan sebagai
minuman fungsional karena kandungan gizinya yang sangat bermanfaat bagi
kesehatan utamanya karena kandungan antosianin sebagai antioksidan yang
tinggi pada kedelai hitam. Hasil analisa bahan baku kedelai hitam dapat dilihat
pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik bahan baku kedelai hitam

Paramater Kedelai Hitam Kedelai Hitam


Literatur

Kadar Antosianin 242,689 mg/100g 222,49mg/100g*

Kadar Tanin 35,95 mg/g 42,31 mg/g**

Sumber : **(Wardani, 2013) *(Nurrahman, 2012)

Dari tabel dapat dilihat bahwa kadar antosianin berdasarkan hasil analisa
adalah sebesar 242,689 mg/100g. Kadar antosianin itu sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar antosianin kedelai hitam menurut literatur. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan jenis varietas kedelai hitam yang
digunakan dalam analisa dimana kedelai hitam hitam varietasnya bermacam
yakni Detam-1, Detam-2, Malika dan Cikurray. Selain itu juga perbedaan kadar
antosianin bisa juga disebabkan oleh penggunaan metode analisa yang berbeda
dalam penelitian dimana berbeda pelarut yang digunakan akan mempengaruhi
hasil kadar antosianin yang didapatkan. Pada penelitian ini metode yang

31
digunakan adalah analisa total antosianin metode pH deferensial (Giusti and
Wrolstad, 2001).
Menurut menurut Gutteridge and Halliwell (2007), efektivitas suatu
antosianin dan juga antioksidan sangat bergantung dengan spesifikasi metode
analisa yang digunakan. Pada saat analisa, faktor jenis pelarut juga memegang
peranan yang penting dimana kesesuaian polaritas dari pelarut berpengaruh
terhadap nilai hasil akhir dari analisa tersebut. Namun hasil analisa tersebut akan
terlihat berbeda jauh antara antosianin kedelai hitam dan kedelai kuning dimana
pada kedelai kuning kandungan antosianinnya berkisar antara 0,02 – 0,45 mg/g
(Choung et al., 2001). Hal ini dapat dijadikan parameter pembanding antara
kedelai hitam dan kedelai kuning dimana perbedaan kadar antosianin yang
sangat signifikan tersebut dapat dijadikan acuan dan pendorong untuk lebih
optimal pemanfaatan kedelai hitam dibandingkan kedelai kuning dimasyarakat.
Pada analisa kadar tanin juga terjadi perbedaan hasil akhir dimana kadar
tanin hasil analisa yaitu sebesar 35,95 mg/g sedangkan kadar tanin kedelai hitam
menurut literatur sebesar 42,31 mg/g (Wardani, 2012). Hal ini bisa dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Yang pertama adalah dipengaruhi oleh jenis atau varietas
kedelai hitam itu sendiri yang digunakan dalam penelitian menggunakan jenis
atau varietas Detam-1. Kadar protein pada kedelai hitam juga sedikit berpengaruh
terhadap kadar tanin hal ini dikarenakan tanin umumnya dapat berikatan dengan
protein. Dimana adanya kadar protein yang tinggi akan membuat tingginya kadar
tanin yang digunakan untuk menyamak protein yang ada dalam bahan pangan
agar sulit dicerna oleh enzim protease.
Didalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan sitoplasma dimana
apabila jaringan tumbuhan itu rusak maka akan terjadi reaksi penyamakan atau
perlindungan diri (Hagerman, 2002 and Harborne, 1996). Selain itu juga metode
analisa yang digunakan juga dapat mempengaruhi hasil analisa dimana pada
penelitian ini menggunakan metode AOAC (1995) sedangkan literatur
menggunakan metode yang berbeda seperti Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Berbeda halnya dengan hasil analisa kadar tanin pada kedelai kuning dimana
kedelai kuning kadar taninnya adalah sebesar 0,63 mg/g.
Perbedaan kadar tanin antara kedelai hitam dan kedelai kuning ini
disebabkan kandungan polifenol pada kedelai hitam lebih tinggi dibandingkan
pada kedelai kuning dimana tanin merupakan bagian dari polifenol. Menurut

32
Sabuluntika (2013) kedelai mengandung polifenol sebesar 6,13 mg/g sedangkan
menurut Takahashi (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kedelai hitam
memiliki kandungan polifenol yang lebih tinggi diantara jenis kacang kedelai
lainnya yaitu berkisar antara 29 + 0,56 mg/g sedangkan pada kedelai kuning
berkisar antara 0,45 + 0,02 mg/g.

4.2 Karakteristik Kimia Sari Kedelai Hitam

4.2.1 Kadar Tanin


Pada proses pengolahan sari kedelai dilakukan perendaman pada air
tanpa penambahan NaHCO3 dan penambahan NaHCO3 dengan konsentrasi yang
berbeda yaitu sebesar 0,25% dan 1,1% serta diberi perlakuan water blanching
dengan variasi lama waktu 10, 20 dan 30 menit pada suhu 80°C. Hasil analisa
kadar tanin setelah dilakukan proses perendaman dengan variasi penambahan
NaHCO3 dan perlakuan variasi lama waktu blanching dapat dilihat pada Gambar
4.1.

Gambar 4.1 Kadar Tanin Selama Perendaman dan Blanching

Dari data diatas menunjukkan bahwa perendaman dengan penambahan


NaHCO3 serta lama waktu blanching berpengaruh terhadap kadar tanin kedelai
hitam. Kadar tanin yang paling tinggi terdapat pada kedelai hitam dengan
perlakuan perendaman tanpa penambahan NaHCO3 dan blanching 10 menit yaitu
sebesar 30,500 mg/g sedangkan kadar tanin yang paling rendah pada kedelai

33
hitam yang diberi perlakuan perendaman NaHCO3 1,1% yaitu sebesar 5,903 mg/g
Hal ini sesuai dengan literatur menurut Wardani (2013) bahwa perlakuan
perendaman akan memberikan pengaruh terhadap kadar tanin dimana semakin
lama perendaman semakin berkurang kadar tanin suatu bahan pangan karena
tanin adalah polifenol yang bersifat larut dalam air dan hal ini dapat dilihat bahwa
tanin yang larut akan memberikan warna gelap atau kecoklatan pada air hasil
perendaman tergantung warna tanin itu sendiri.
Pada saat perendaman terjadi difusi osmosis yaitu perpindahan zat
dengan kelarutan tinggi ke zat dengan kelarutan rendah dalam hal ini yang
dimaksud adalah perpindahan komponen kedelai hitam menuju air dimana proses
difusi osmosis ini akan memberikan warna pada air tergantung dari komponen
penyusunnya. Dalam hal ini komponen tanin pada kedelai hitam akan
memberikan warna gelap kecoklatan pada air.
Selain itu rendahnya kadar tanin juga dipengaruhi oleh adanya
penambahan NaHCO3 dimana tanin juga dapat berikatan dengan NaHCO3. Tanin
dapat berikatan dengan mikro komponen dalam tubuh yaitu zat besi (Fe)
sedangkan didalam NaHCO3 terdapat Natrium (Na) sebagai mikro komponen
penyusunya. Sehingga saat proses perendaman terjadi penurunan kadar tanin
intensitas yang lebih tinggi disamping kadar tanin turun karena perendaman juga
berikatan dengan mikro komponen.
Larutan NaHCO3 adalah larutan yang bersifat basa dimana tanin adalah
senyawa yang larut dalam air dan basa. Hal ini sesuai dengan literatur menurut
(Artha dan Dhira, 2003) yaitu semakin tinggi konsentrasi NaHCO 3 yang
ditambahkan pada saat perendaman dan semakin lama kedelai hitam ada
didalam perendaman maka semakin lama waktu yang digunakan untuk mengikat
tanin dan menurunkan kadar tanin.
Penurunan kadar tanin juga dapat disebabkan oleh perlakuan blanching
dimana pada penelitian ini menggunakan water blanching. Dari data diatas dapat
dilihat bahwa hasil analisa kadar tanin mengalami penurunan selama proses
blanching yakni makin lama waktu blanching maka makin turun kadar taninnya.
Hal ini dapat disebabkan karena pada proses blanching menggunakan jenis water
blanching yakni blanching pada air dengan suhu tinggi yakni 80°C. Menurut
Keenan (1995) menyatakan bahwa variasi waktu blanching memberi dampak

34
kelarutan yang berbeda terhadap komponen legumilin. Hal ini karena kelarutan
zat sangat dipengaruhi oleh jenis pelarut, lama waktu dan suhu.
Menurut Wardani (2013) perendaman yang disertai water blanching akan
mempercepat laju pengikatan tanin sehingga tanin akan cepat berkurang. Pada
saat blanching, menggunakan air sebagai media pelarut serta dibantu oleh suhu
yang tinggi dimana suhu tinggi dapat menyebabkan rusaknya dinding sel
tumbuhan sehingga memudahkan komponen dalam keluar dari dalam sel
tanaman. Peningkatan suhu dari air yang digunakan pada saat blanching akan
menyebabkan meningkatnya tumbukan antar molekul.
Tanin yang terurai menjadi glukosa dan asam galat jika dipanaskan pada
suhu tinggi dan kelarutan atau penurunan kadar tanin akan lebih cepat apabila
dilakukan perendaman pada media air panas (Browning, 1996).

4.2.2 Kadar Antosianin


Pada penelitian ini analisa kadar antosianin dilakukan dalam 3 tahap yaitu
dimana tahapan tersebut adalah langkah dalam pembuatan minuman sari kedelai
yang berhubungan dengan kestabilan antosianin atau degradasi antosianin
menggunakan indikator lama perendaman, lama blanching dan suhu pemanasan.
Tahapan pertama yaitu analisa kadar antosianin kedelai hitam selama
perendaman. Kedelai hitam sebelum dilakukan proses pembuatan minuman sari
kedelai dilakukan langkah perendaman. Perendaman dilakukan dengan bertujuan
untuk penyerapan air kedalam bahan pangan agar bahan menjadi lebih lunak
dimana pelunakan bahan nantinya bertujuan agar kedelai hitam mudah dalam
penggilingannya serta perendaman juga dapat menghilangkan bau langu pada
kedelai hitam dimana pada saat perendaman dilakukan juga penambahan
NaHCO3. Akan tetapi perendaman juga dapat mempengaruhi kadar antosianin
dalam hal ini penurunan atau degradasi antosianin disebabkan karena antosianin
merupakan senyawa pigmen alami dimana antosianin sangat mudah rusak
karena bersifat larut dalam pelarut polar dan air (Socaciu, 2007). Hasil analisa
antosianin selama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.2.

35
Gambar 4.2 Kadar Antosianin Selama Perendaman dan Blanching

Dari data diatas dapat dilihat bahwa perendaman serta blanching


memberikan pengaruh terhadap kadar antosianin kedelai hitam akan tetapi
penambahan NaHCO3 tidak memberikan pengaruh terhadap kadar antosianin.
Pada penelitian ini didapatkan kadar antosianin tertinggi adalah kedelai hitam
yang diberi perlakuan perendaman tanpa penambahan NaHCO3 selama 30 menit
dengan blanching selama 10 menit yaitu sebesar 196,489 mg/100g sedangkan
kadar antosianin terendah adalah kedelai hitam yang diberi perlakuan
perendaman NaHCO3 1,1% selama 30 menit dan blanching selama 30 menit yaitu
sebesar 134,147 mg/100g.
Perbedaan atau penurunan kadar antosianin tersebut dikarenakan
antosianin pada bahan larut dalam air sebagai media perendaman serta
mengalami degradasi (rusak) karena pemanasan selama blanching. Hal sesuai
dengan literatur bahwa antosianin merupakan pigmen alami dimana seperti
halnya pigmen alami lainnya antosianin memiliki stabilitas yang rendah serta
mudah rusak atau degradasi disebabkan adanya beberapa faktor seperti cahaya,
oksigen, gula reduksi, suhu, pH, serta pelarut polar dan air (Jackman and Smith,
1996).
Antosianin merupakan pigmen alami yang sangat mudah rusak atau
degradasi karena beberapa faktor dimana ada 2 faktor penyebab degradasi
antosianin yaitu faktor enzimatis dan non enzimatis.

36
Faktor enzimatis adalah rusaknya atau degradasi antosianin yang
disebabkan suatu enzim tertentu dimana menurut Rein (2005) menyatakan bahwa
beberapa enzim dapat berperan pada proses degradasi antosianin seperti
glukosidase dan PPO (Polipenol Oksidase). Enzim glukosidase tersebut mampu
menstimulasi terjadinya ikatan hidrolisis pada ikatan gula antara gugus aglikon
dan glikon sehingga menyebabkan terbentuknya cincin aromatik yang membentuk
senyawa kalkon (Markakis, 1982).
Selanjutnya adalah faktor non enzimatis penyebab degradasi antosianin
yaitu pH, cahaya, suhu, logam, oksigen, dan gula dimana pada penelitian ini
menggunakan suhu pemanasan yang dapat menyebabkan degradasi antosianin
adalah blanching. Blanching dapat mempengaruhi penurunan atau degradasi
antosianin selama proses pembuatan minuman sari kedelai hitam dimana suhu
blanching dapat menyebabkan hidrolisis ikatan glikosidik menghasilkan aglikon -
aglikon yang labil serta terbukanya cincin aglikon yang menyebabkan
terbentuknya gugus karbinol dan kalkon yang tidak berwarna.
Senyawa kalkon mampu terdegradasi membentuk senyawa yang tidak
berwarna yang lebih sederhana yaitu asam karboksilat seperti asam benzoat
yang tersubtitusi dan senyawa karboksil aldehid yaitu 2,4,6-trihidroksibenzaldehid
(Jackman and Smith, 1996).
Pemanasan sangat berpengaruh terhadap stabilitas pigmen dari
antosianin dan dapat menyebabkan pigmen antosianin menjadi pucat. Menurut
Markakis (1982) menjelaskan bahwa penurunan stabilitas antosianin karena suhu
tinggi terjadi karena dekomposisi pada antosianin dari aglikon menjadi kalkon
tidak berwarna dan akhirnya membentuk alfa diketon yang berwarna coklat. Hal
tersebut didukung oleh Abbas (2003) yang melakukan penelitian pengaruh
perlakuan pH dan suhu pemanasan terhadap antosianin bunga kana yang diberi
perlakuan pemanasan 40°C dan 70°C pada pH 3 dimana pada suhu 70°C
antosianin mulai tidak stabil dan mengalami kerusakan. Pemanasan dengan suhu
dan waktu yang makin meningkat menyebabkan laju berkurangnya antosianin
makin tinggi. Hal tersebut juga didukung oleh Wijaya (2001) yang menyatakan
bahwa pemanasan pada suhu 70°C selama 1 jam menyebabkan penurunan
absorbansi maksimal pada antosianin ekstrak kulit buah rambutan dari 0,95
menjadi 0,73.

37
Pada penelitian ini dilakukan blanching yang tujuannya adalah untuk
melunakkan biji kedelai dan menonaktifkan enzim lipoksigenase dalam
mengkatalisasi reaksi ethyl venil keton (yang menyebabkan bau langu) dengan
oksigen di udara, sehingga oksidasi ethyl venil keton dapat dicegah dan demikian
akan mengurangi bau langu dari sari kedelai yang dihasilkan. Akan tetapi
blanching selain memiliki manfaat diatas juga memiliki kekurangan dimana
blanching juga dapat mempengaruhi kestabilan serta degradasi antosianin.
Tahapan terakhir pengolahan antosianin yang dapat menyebabkan
penurunan kadar antosianin adalah pemasakan. Pada proses pembuatan
minuman sari kedelai ini pemasakan bertujuan untuk sterilisasi akhir sebelum sari
kedelai siap untuk dikemas dimana pemasakan akan menonaktifkan mikroba
serta zat anti nutrisi pada kedelai hitam (tripsin inhibitor) sekaligus meningkatkan
daya cerna. Pada tahap pemasakan dilakukan variasi suhu pemansan yaitu 60°C,
70°C, dan 80°C selama 10 - 15 menit dimana variasi tersebut ditujukan untuk
mendapatkan kadar antosianin yang paling maksimal dari kedelai hiam selain
untuk strelisasi mikroba dan inaktivasi enzim.
Dari data hasil analisa antosianin diatas diketahui bahwa pemanasan yang
paling baik dengan kadar antosianin paling optimum adalah pemanasan dengan
suhu 60°C yaitu sebesar 110,212 mg/100g. Hal ini sesuai dengan literatur dimana
menurut Fennema (1996) antosianin akan lebih stabil pada pH 3,5 dan
pemanasan pada suhu 50-60°C. Antosianin pada bahan pangan akan berkurang
seiring dengan bertambah tingginya suhu selama pemanasan. Menurut Tinsley et
al, (1960) dalam Arifiyanti (2011) menyatakan bahwa suhu mempunyai pengaruh
nyata terhadap destruksi antosianin dan laju destruksi antosianin merupakan
reaksi ordo satu. Sementara dikutip dari Meschter (1953) dalam jurnal yang sama
telah melakukan pemanasan pada sari buah arbei pada suhu 100°C selama 1 jam
menyebabkan destruksi antosianin hingga 50%, hal ini berarti waktu paruh
antosianin pada suhu 100°C adalah 1 jam.
Pemanasan bersifat “irreversible” dalam mempengaruhi stabilitas pigmen
antosianin dimana kalkon yang tidak berwarna tidak dapat kembali menjadi kation
flavilium yang berwarna merah. Antosianin yang terhidroksilasi adalah kurang
stabil pada keadaan panas daripada antosianin termetilasi terglikosilasi atau
termetilasi (Arthey and Ashurst, 2001).

38
4.2.3 Aktivitas Antioksidan
Antosianin telah diteliti memiliki banyak manfaat dan kegunannya
dalam kehidupan sehari – hari dimana antosianin selain bermanfaat sebagai
pigmen alami pemberi warna bagi tumbuhan dan makanan juga mempunyai
manfaat lain yaitu sebagai penangkal radikal bebas. Di dalam kedelai hitam
terdapat antosianin sebagai antioksidan yang memiliki kemampuan menangkal
radikal bebas yang menyebabkan terjadinya peroksidasi lemak (Stipanuk, 2000;
Harborne and Mabry, 1982). Hasil analisa aktivitas antioksidan ditunjukkan oleh
Tabel 4.2

Tabel 4.2 Hasil Analisa Aktivitas Antioksidan Sari Kedelai Hitam


Sari Kedelai Aktivitas Antioksidan IC50 (ppm)
Produk 1 0,480
Produk 2 0,485
Produk 3 0,489
Keterangan:
produk 1 : Perendaman NaHCO3 1,1% 30 menit + blanching 30 menit + 60°C
produk 2 : Perendaman NaHCO3 1,1% 30 menit + blanching 30 menit + 70°C
produk 3 : Perendaman NaHCO3 1,1% 30 menit + blanching 30 menit + 80°C

Dari hasil penelitian ini diketahui kedelai hitam mempunyai aktivitas


antioksidan tertinggi adalah sari kedelai dengan perlakuan perendaman NaHCO 3
1,1% selama 30 menit dengan blanching 30 dan pemanasan pada suhu 60°C
yakni sebesar 0,480 ppm pada IC50. Sedangkan kadar aktivitas antioksidan
terendah adalah produk ke 3 yaitu 0,489 ppm pada IC50 dimana dapat
disimpulkan bahwa aktivitas aktioksidan makin berkurang seiring bertambahnya
suhu pemanasan. Nilai IC50 menunjukkan konsentrasi sampel yang diperlukan
untuk menangkal 50% radikal bebas DPPH dimana semakin rendah nilai IC 50
suatu sampel menunjukkan semakin tingginya aktivitas antioksidan (Pourmorad
et.al.,2006).
Hal ini sesuai dengan literatur menurut Husna dkk., (2013) menyatakan
bahwa aktivitas antioksidan akan semakin berkurang seiring dengan bertambah
tingginya suhu pemanasan hal ini dikarenakan komponen antioksidan tidak tahan
terhadap panas. Selain itu menurut penelitian yang dilakukan oleh Budhiarto
(2003) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan berbanding lurus dengan kadar
antosianin suatu bahan pangan dimana pada penelitian ini kadar antosianin makin

39
berkurang seiring bertambahnya suhu pemanasan. Antosianin merupakan
senyawa alami yang tidak tahan atau rentan terdegradasi karena suhu maka
makin tinggi suhu pemanasan makin berkurang kadar antosianinnya makin
berkurang pula aktivitas antioksidan sari kedelai hitam.
Menurut Syariffudin (2011) melaporkan bahwa sebuah penelitian telah
dilakukan di Universitas Michigan Amerika Serikat menunjukkan bahwa antosianin
dapat menghancurkan radikal bebas lebih efektif dari pada vitamin E yang selama
ini dikenal sebagai antioksidan kuat. Menurut Jusuf., (2008) antosianin pada
kedelai hitam memiliki manfaat potensial sebagai antioksidan pencegah suatu
proses oksidasi dini serta mencegah penyakit degenaratif selain itu antosianin
yang terdapat dalam kulit kedelai hitam mampu menghabat oksidasi LDL
kolesterol pada pembuluh darah yang mana merupakan pemicu penyakit jantung
koroner dan tekanan darah tinggi. Mekanisme kerja dari antioksidan ini adalah
dengan melindungi lemak dan memberikan atom hidrogen pada radikal bebas
dan ketika atom hidrogen berikatan dengan radikal bebas, rantai oksidasi lemak
akan terhenti atau terputus (Takahashi, 2005).

4.3 Pemilihan Perlakuan Terbaik


Pada penelitian ini didapatkan perlakuan terbaik dengan kombinasi
perlakuan perendaman, lama blanching, dan suhu pemanasan. Dalam penelitian
ini dilakukan perendaman dengan variasi penambahan NaHCO3 yang
dikombinasikan dengan blanching dengan variasi lama waktu 10, 20 dan 30
menit. Setelah itu hasil yang didapatkan dilakukan proses pemanasan dengan
variasi suhu 60, 70 dan 80°C selama 10-15 menit.
Perlakuan terbaik didasarkan pada efisiensi waktu yang dibutuhkan dalam
pembuatan sari kedelai hitam serta kandungan kadar tanin dan antosianinnya
lewat rekayasa proses yang ditunjukkan oleh Tabel 4.3

40
Tabel 4.3 Perlakuan Terbaik Sari Kedelai Hitam

Produk Kadar Tanin (mg/g) Kadar Antosianin (mg/100g)


Produk 1 5,903 110,212

Produk 2 5,635 100,193

Produk 3 5,366 82,937

Produk 4 4.01 -

Keterangan:
produk 1 : Perendaman NaHCO3 1,1% 30 menit + blanching 30 menit + 60°C
produk 2 : Perendaman NaHCO3 1,1% 30 menit + blanching 30 menit + 70°C
produk 3 : Perendaman NaHCO3 1,1% 30 menit + blanching 30 menit + 80°C
produk 4 : Sari kedelai Komersial (Wardani, 2013)

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa perlakuan terbaik adalah


produk 3 yaitu sari kedelai dengan perendaman NaHCO3 1,1% selama 30 menit
dengan blanching 30 menit serta pemanasan pada suhu 60°C yaitu menghasilkan
sari kedelai hitam dengan kadar tanin sebesar 5,903 mg/g dan kadar antosianin
sebesar 110,212 mg/g. Pemilihan perlakuan terbaik pada penelitian ini didasarkan
pada kadar tanin dan antosianin yang dihasilkan dimana dapat kita lihat bahwa
kadar tanin yang dihasilkan tidak berbeda jauh atau mendekati kadar tanin sari
kedelai komersial yaitu sebesar 5,903 mg/g dibanding dengan kadar tanin sari
kedelai komersial yang sebesar 4,01 mg/g dengan kadar antosianin yang relatif
cukup tinggi yaitu sebesar 110,212 mg/100g dimana kadar antosianin tersebut
cukup untuk pemenuhan asupan kebutuhan akan antosianin yang mana
antosianin dibutuhkan oleh tubuh.
Antosianin yang tinggi sangat dibutuhkan oleh tubuh hal ini sesuai dengan
pernyataan Clifford et, al. (2000), JEFCA (Joint FAO/WHO Expert Committee on
Food Additives ) telah menyatakan bahwa ekstrak yang mengandung antosianin
efek toksisitasnya rendah. Selain itu juga hal ini didukung oleh pernyataan
Wrolstad (2004) menyatakan bahwa studi klinis di Italy memperlihatkan 79%
pasien diabetes yang mengkonsumsi ekstrak bilberry 160mg duakali sehari
selama 2 bulan menunjukkan diabetic retinopathy pada akhir percobaan.
Menurut beberapa penelitian yang dilakukan di Jepang oleh Nakaishi pada
tahun 2000 menyatakan bahwa konsumsi antosianin dari blackcurrant minimal 50
mg/hari dapat meningkatkan penglihatan mata pada saat malam hari meskipun
tidak semua peneliti setuju akan hal itu. Selain itu juga menurut Sabuluntika

41
(2013) menyatakan bahwa snack bar dengan kadar antosianin sebesar 65
mg/100g sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan asupan antioksidan tubuh per
hari.

V KESIMPULAN

42
5.1 Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:


1. Waktu perendaman, lama blanching, penambahan NaHCO3 dan suhu
pemanasan memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar tanin dan kadar
antosianin sari kedelai hitam.
2. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa produk sari kedelai hitam dengan
perendaman tanpa penambahan NaHCO3 dan blanching 10 menit berbeda
nyata dengan sari kedelai hitam dengan perendaman NaHCO 3 1,1% selama
30 dan blanching 30 menit.
3. Perlakuan terbaik adalah sari kedelai hitam dengan perendaman air dengan
penambahan NaHCO3 1,1% selama 30 menit dan blanching 30 menit serta
pemanasan 60 °C selama 10 – 15 menit dengan kadar tanin sebesar 5,903
mg/g kadar antosianin 110,212 mg/100g dan aktivitas antioksidan sebesar
0,480 ppm dalam IC50. Pemilihan perlakuan terbaik ini dengan
mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan dalam pembuatan sari kedelai
hitam serta dilihat dari sisi kadar tanin yang paling minimum serta antosianin
yang optimum.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan pengukuran kadar tanin dan antosianin dengan metode lain
seperti Kromatografi Lapis Tipis (KLT) untuk mendapatkan hasil pengukuran
yang lebih akurat.
2. Perlu dilakukan pengujian umur simpan dari produk sari kedelai hitam.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai stabilitas antosianin
(kopigmentasi) karena antosianin mudah terdegradasi selama penyimpanan.

DAFTAR PUSTAKA

43
Alvarez, I., Alexandre, J. L.,Garcia, M.J., Lizama V. 2010. Effect of
Prefermentative of Copigments on the polyphenolic Composition of
Tempranillo Wine. Europe Food Research and Technology 228: 501-510.

Aman dan Harjo. 1973. Perbaikan Mutu Susu Kedelai di dalam Botol. Bandung
: Departemen Perindustrian Bogor.

AOAC. 1995. Official methods of Analysis of The Association of Analytical


Chemist. Virginia: Inc Arlington.

Arisandi, Y. 2001. Studi Tentang Pengaruh Kopigmentasi Terhadap Stabilitas


Antosianin dari Kulit Buah Anggur (Alphonso lavalle), Skripsi, Fakultas
MIPA Unibraw, Malang.

Arthey, D., and Ashurst P.R. 2001. Fruit Prossecing, Nutrition Product, and
Quality Management, 2nd Edition, An Aspen Publication, Maryland.
Belitz, H.D., and Grosch, W. 1999. Food Chemistry, 2nd Edition, Springer,
Germany

Beninger, C. W. and Hosfield, G, L. 2003. Antioxidant Activity of Extract,


Condensed Tannin fraction, and Pure Flavonoids from Phaseolus
vulgaris L. Seed Coat Color Genotypes. J. Agric. FoodChem. 51: 7879 –
7883.

Beynen, A.C. 1990. Influence of dietary protein on serum cholesterol and


atherosclerosis. Gizi Indonesia. 15(1):55 – 60.

Brouilard, R. and Dangel, O. 1994. Anthocyanin molecular interaction the frist


step in formation of new pigment during wine aging. Food Chemistry
51: 365 - 371.

Budiarto, H. 2003. Stabilitas Antosianin (Garcina mangostana) dalam


Minuman Berkarbonat. Fakultas Teknologi Pertanian

Buckle. 1987. Ilmu Pangan. (terjemahan oleh Hari Purnomo dan Adiono)
Jakarta : Universitas Indonesia Press. (Buku asli terbit tahun 1979).

Cai, Y. and Corke, H. 1999. Amarthus betacyanin pigment applied in model


food system. Journal of Food Science 65: 1248-1252.

Castaňeda-Ovando, A., Hernandez M. L. P., Hernandez, M. E. P., Rodriguez, J.


A., dan Vidal, C. A. G. 2009. Chemical studies of anthocyanins: A
review. Journal of Food Chemistry, 113: 859–871.

Choung, Myoung-Gun, In-Youl Baek, Sung-Taeg Kang, Won-Young Han, Doo


Chull Shin, Huhn-Pal Moon, and Kwang-Hee Kang. 2001. Isolation and
Determination of Anthocyanin in Seed Coats of Black Soybean
(Glycine max (L.) Merr.). Journal Agric. Food Chem. 49: 5848-5851.

44
Etherington, R. 2002. A Dictionary Of Descriptive Terminology: Vegetable
Tannin. http://palimpsest.standart.edu./don/dt.3686.html. Diakses tanggal
5 Maret 2015.

Fennema, O.R., 1996. Food Chemistry, Thrid Edition. Marcel Dekker Inc, New
York.
Francis, F. J. 1982. Analysis of Anthocyanins dalam Anthocyanins as Food
Colors. Academic Press inc. New York.

Francis, F. J. 1999. Colorants. Eagan Press. Minnesota, USA.

Giner-Chavez, B.I. 2001. Tannins: Chemichal Structural The Struktur Of


HydrolysableTannins.http://www.ansci.cornell.edu/plant/toxicagents/tanni
n/image/int.big.gif. cornert university. Diakses tanggal 3 Maret 2015.

Giusti, M. and Wrolstad, R.E. 2003. Acylated anthocyanin from edible source
and their application in food system. Journal of Biochemical Engenering
14 : 217-225.

Hagerman, A.E. 1998. Tannins Chemistry. hagermae@muohiu.edu. Diakses


tanggal 3 Maret 2015.

Halliwell B, Zhao, K & Whiteman, M. 2000. The gastrointestinal tract: the major
site of antioxidant action?. Free Radical Research. 33. 819 – 830.

Harborne, J.B. Mabry, T.J. and Mabry, H. (eds). 1975, The flavonoids. Chapman
and Hall, London.

Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara Menganalisis


Tumbuhan. Terjemahan Padmawiyata, K. dan Soediro, I. Bandung: ITB.

Horvart. 1981. Tannins: Definition. 2001.


http://www.ansci.cornell.edu/plants/toxicagents/tannin/definition.html.
animal science webmaster, Cornert University. Diakses tanggal 5 Maret
2015

Husna N. E., Novita M., Rohaya S., 2013. Kandungan Antosianin dan Aktivitas
Antioksidan Ubi Jalar Ungu Segar dan Produk Olahannya. Skripsi,
Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Aceh.

Jackman, R.L. and Smith, J.L. 1996. Anthocyanin and Batalains. Natural Food
Colourants. Second Edition. London: Blackie Academic and Profersionals.

Jhonson, D.W. David, J. Mokler. 2001. Lecithin's therapeutic


effects.Continuing Education Module. Central Soya Lecithin Group, pp
2 – 6.

Jusuf, M., Rahayuningsih, St. A. dan Ginting, E. 2008. Ubi jalar ungu. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30: 13-14

45
Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu.
Cetakan ketiga, Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Koswara, S. 1992. Teknologi pengembangan kedelai menjadikan makanan


bermutu. Pustaka Sinar Harapan Jakarta.

Koswara, S. 1997. Susu Kedelai Tidak Kalah dengan Susu Sapi.


http://www.indomedia.com/intisari/diet html.

Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Kedelai (Teori dan Praktek). Ebook


Pangan.com

Kumalaningsih, S dan Suprayogi. 2005, Tekno Pangan Membuat Makanan Siap


Saji, Trubus Agrisarana, Surabaya.

Kumalaningsih, S. dan Suprayogi, (2006), Tamarillo (Terung Belanda) Tanaman


Berkhasiat Penyedia Antioksidan Alami, Trubus Agrisarana, Surabaya.

Kumalaningsih, S. 2007. Antioksidan, Sumber,dan Manfaatnya.


http://www.antioxidantcentre.com/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=14.

Laleh, G H. Frydoonfar, H. Heidary, R. Jameei R. Zare, S. 2006. The Effect Of


Light, Temperature, pH, and Species on Stability of Anthocyanin
Pigment in Four Berberies Species. Pakistan J Nutrition 5 (1): 90-92.

MacDougall D B et.al. 2002. Colour in Food. Boca Raton: CRC Press.

Markakis, P. 1982. Anthocyanin as Food Colors. Academic Press, New York.

Markakis, P. 1992. Editor Fennema. 1996. Dalam Food Chemistry, Marcel


Dekker Inc, New York.

Niendyah, H. 2004. Efektivitas Jenis Pelarut dan Bentuk Pigmen Antosianin


Bunga Kana (canna coccinea mill.) Serta Aplikasinya pada Produk
Pangan, Skripsi, Universitas Brawijaya Malang,
http://digilib.ti.itb.ac.id/go.php?id=jiptumm-gdl-s1-2004-niendyahag-1533

Nugraheni, A. dan Satwika, D. 2003. Pengaruh Penambahan Natrium


Bikarbonat dan Perlakuan Inokulasi dalam Pembuatan Yoghurt Susu
Kacang Tanah. Buletin Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan
Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia. Bogor. TP-86 : 1173 –
1183.

Nurrahman, M. Astuti, Suparmo dan M.H.N.E. Soesatyo. 2012. Pertumbuhan


jamur, sifat organoleptik dan aktivitas antioksidan tempe kedelai
hitam yang diproduksi dengan berbagai jenis inokulum. J. Agritech,
32(1):60 – 65.

46
Ovando, A. C., M. P. Hernández, M. E. P. Hernández, J. A. Rodríguez, and C. A.
G. Vidal. 2009. Chemical studies of anthocyanins. Food Chemistry 113 :
859–871.

Ozela E F. Stringheta P C. Chauca M C. 2007. Stability of Anthocyanin in


Spinach Vine (Basella rubra) Fruits. Cien Inv Agr 34(2):115-120.

Panhwar, F. 2005. Post-Harvest Technology of Mango Fruits, Its


Development, Psychology Patology and Marketing in Pakistan.
http:www.ChemLim.com (15 April 2014)

Passamonti S., Vrhovsek, U., Vanzo, A & Mattivi, F. 2003. The stomach as a site
for anthocyanins absorption fromfood. FEBS Letters. 544. 210–213.

Prior, R. L. 2003. Fruits and Vegetables in The Prevention of Cellular


Oxidative Damage. Am J Clin Nutr 78: 570-578.

Rahmawati, T.R. 2011. Aktivitas Antioksidan Minuman Serbuk Buah Buni


(Antidesma bunius (L.) Spreng) pada Tingkat Kematangan yang
Berbeda [Skripsi]. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.

Rein, M. J. 2005. Copigments Reaction and Color Stability of Berry


Anthocyanins. www. copigments. pdf. com.html. [ 28 April 2014].

Rukmana, R. 1996. Kacang Hijau dan Budi Daya Pasca Panen. Yogyakarta
:Kanisius.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah:


Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB.

Santoso, U. 2006. Antioksidan. Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana Universitas


Gadjah Mada.

Soedjono, 1992. Seri Industri Pertanian Kacangkacangan. Bandung: Penerbit


P.T. Remaja Rosda Karya.

Santoso, B.H. 1994. Susu dan Yogurt Kedelai. Yogyakarta : Kanisius.

Sarwanto A, T, 2005. Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta

Smith, A. K., and Circle, S. J. (1972). Soybean Chemistry and Technology.


Connecticut: The AVI Publishing Co.

Socaciu, C., 2007. Food Colorants: Chemical and Functional Properties. CRC
Press, London.

Takahashi, R. Ohmori, R. Kiyose, C. Momiyama, Y. O h s u z u , F . K o n d o ,


K,. .2005. Antioxidant activities of black and yellow soybeans againts
Low Density Lipoprotein oxidation. J. Agric Food Chem. 53: 4578 – 82.

Talavera, S., Felgine, C., dan Texier, O., 2004. Bioavailability of a bilberry
anthocyanin Extract and its impact on plasma antioxidant capacity in
rats

47
Vargas, F.D., Jimenez, A.R. dan Lopez, O.P. 2000. Natural pigments:
carotenoids, anthocyanins, and betalains - characteristics,
biosynthesis, processing, and stability. Critical Reviews in Food
Science and Nutrition 40: 173–289.

Wardani, I, R. 2013. Eksplorasi Kedelai Hitam (Glycine soja (L.) Sieb. & Zucc.)
Untuk Produksi Minuman Fungsional Sebagai Upaya Peningkatan
Kesehatan Masyarakat. Skripsi, FTP UB, Malang.

Wijaya, S.L.,Widjanarko, B.S.,dan Susanto T., (2001), Ekstraksi dan


Karakterisasi Pigmen dari Kulit Buah Rambutan (Nephelium
lappaceum (L.) var. Binjai, Laporan Hasil Penelitian, Universitas
Brawijaya.

Wrolstad, R., 2001,.The Possible Health Benefits of Anthocyanin Pigments


and Polyphenolics, http://lpi.oregonstate.edu/ss01/anthocyanin.html.

Wrolstad, R. E. 2004. Anthocyanin Pigments—Bioactivity and Coloring


Properties.Journal of Food Science Vol. 69, Nr. 5, C419 – C42

48
LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur Analisa Kimia


1. Total Antosianin Metode pH Diferensial (Giusti and Wrolstad,2001)
 Pembuatan larutan buffer pH 1,0 dan pH 4,5
 Untuk membuat larutan buffer pH 1,0 digunakan KCl sebanyak 1,86 g
dicampur dengan 980 ml air suling (akuades) dan diatur pH-nya hingga
mencapai 1 dengan menggunakan HCl pekat. Selanjutnya larutan
dipindahkan ke dalam labu ukur 1 L dan ditambahkan air suling sampai
volume larutan 1L.
 Untuk larutan buffer pH 4,5 digunakan CH 3CO2Na.3H2O sebanyak 54,43 g
dicampur dengan 960 ml air suling. Kemudian pH diukur dan diatur
dengan HCl pekat hingga diperoleh larutan dengan pH 4,5. Selanjutnya
larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 1 L dan diencerkan dengan air
suling sampai volume 1 L.

 Pengukuran dan Perhitungan Konsentrasi Antosianin Total


a. Faktor pengenceran yang tepat untuk sampel harus ditentukan terlebih
dahulu dengan cara melarutkan sampel dengan buffer KCl pH 1 hingga
diperoleh absorbansi kurang dari 1,2 pada panjang gelombang 530 nm.
b. Selanjutnya diukur absorbansi akuades pada panjang gelombang yang
akan digunakan (530 dan 700 nm) untuk mencari titik nol. Panjang
gelombang 530 nm adalah panjang gelombang maksimum untuk sianidin-
3-glukosida sedangkan panjang gelombang 700 nm untuk mengoreksi
endapan yang masih terdapat pada sampel. Jika sampel benar-benar
jernih maka absorbansi pada 700 nm adalah 0.
c. Dua larutan sampel disiapkan, pada sampel pertama digunakan buffer KCl
dengan pH 1 dan untuk sampel kedua digunakan buffer Na-asetat dengan
pH 4,5. Masing-masing sampel dilarutkan dengan larutan buffer
berdasarkan DF (dilution factor/faktor pengenceran) yang sudah
ditentukan sebelumnya. Sampel dibiarkan selama 15 menit sebelum
diukur.
d. Absorbansi dari setiap larutan pada panjang gelombang 530 dan 700 nm
diukur dengan aquades sebagai blankonya.
e. Absorbansi dari sampel yang telah dilarutkan (A) ditentukan dengan rumus
:
A = [(A530 - A700)pH 1,0 - (A530 - A700)pH 4,5]

49
f. Kandungan pigmen antosianin pada sampel dihitung dengan rumus :
Kandungan antosianin (mg/100 g) = (A x MW x DF x 1000) / (ε x 1)
Keterangan :
A = Absorbansi
MW = Berat molekul (dinyatakan sebagai cyanidin-3-glucoside) = 449,2
DF = Faktor Pengenceran
ε = Koefisien absorptivitas molar = 26900 (dinyatakan sebagai cyanidin-3-
glucoside)

2. Kadar Tanin (AOAC, 1995)

1. Pembuatan Kurva Standar


Sebanyak 2 ml pereaksi Folin Denis dimasukkan ke dalam labu takar 100
ml yang telah diisi 50 ml aquades. Kemudian dimasukkan 2 ml larutan standar
asam tanat (0,1 mg asam tanat/1ml). Ditambahkan Na 2CO3 jenuh dan ditepatkan
sampai dengan 100 ml dengan aquades. Larutan dikocok dan dibiarkan selama

40 menit. Diukur absorbansinya pada nm. Demikian selanjutnya untuk

pembuatan kurva standar dengan mengguakan larutan standar asam tanat 3 ml,
4 ml, 6 ml, dan 8 ml.
2. Ekstraksi Sampel
Sebanyak 50 mg sampel ditambahkan 2,5 ml etanol absolut, kemudian

divorteks selama 2 menit. Lalu disentrifuse pada kecepatan 4000 rpm selama 15
menit. Kemudian filtrat yang jernih diambil sebanyak 1 ml.
3. Analisis Sampel
Sebanyak 1 ml filtrat jernih dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian
ditambahkan 2 ml pereaksi Folin Denis dan 5 ml Na 2CO3 jenuh. Lalu ditepatkan
sampai dengan 100 ml dengan aquades. Larutan dikocok dan dibiarkan selama

40 menit. Diukur absorbansinya pada nm.

Kadar tanin (mg/g) = FP x X (mg) x (100 / berat sampel (g))


Dimana : nilai X adalah konsentrasi sampel yang diperoleh dari kurva standar
Faktor pengenceran yang digunakan adalah 2,5/1 = 2,5

3. Analisa Aktivitas Antioksidan Metode DPPH (Kano et al., 2005)


a. Sampel sebanyak 1 gram dihaluskan dengan mortar.
b. Dibuat 1 seri pengenceran (5X, 10X, dan 15X).
c. Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml etanol (v/v), kemudian
masukkan ke dalam tabung reaksi tertutup. Tambahkan 1 ml 0,2 mM
larutan 1,1-diphenyl-2-pycrilhidrazil (DPPH) dalam etanol (tingkat

50
berkurangnya warna dari larutan menunjukkan efisiensi penangkapan
radikal).
d. Vortex hingga homogen.
e. Saring menggunakan kertas saring. Didiamkan 30 menit pada suhu ruang,
kemudian diukur absorbansinya pada λ=517 nm.
f. Catat hasil dan cari regresi linear tiap sampel.
g. Hitung IC50 (x) dengan persamaan :

y = ax + b
y = absorbansi blanko x 0,5

Kurva Standar Y=16,018 + 8,0752

Lampiran 1. Data Hasil Analisa Kadar Antosianin (mg/100g)


Ulangan Total
Perlakuan Perlakuan Rerata
I II III (P)
P1K1 197.046 195.376 197.046 589.468 196.489
P1K2 170.328 171.998 170.328 512.654 170.885
P1K3 141.940 140.270 140.270 422.480 140.827
P2K1 193.707 188.697 192.037 574.441 191.480
P2K2 168.658 170.328 168.658 507.644 169.215
P2K3 140.270 138.600 138.600 417.470 139.157
P3K1 190.367 187.027 188.697 566.091 188.697
P3K2 165.318 165.318 163.649 494.285 164.762
P3K3 135.260 133.591 133.591 402.442 134.147
Total Ulangan (R ) 1502.89 1491.205 1492.88
Jumlah (S) 4486.975

FK = 745665

51
Tabel dua arah untuk perlakuan dan ulangan P dan K
Rata-
Perlakuan P1 P2 P3 Total (A)
rata

K1 589.468 574.441 566.091 1730.000 192.222

K2 512.654 507.644 494.285 1514.583 168.287

K3 422.480 417.470 402.442 1242.392 138.044

Total (N) 1524.602 1499.555 1462.818

rata-rata 169.400 166.617 162.535

FK = 745664.617

Analisa Ragam
Sumber F Tabel
db JK KT F Hitung notasi
Variasi 5%
Ulangan 2 8.8809365 4.44047 3.1267951 3.633723 tn
Perlakuan 8 13494.829 1686.85 1187.8129 2.591096 *
P 2 214.60082 107.3 75.556535 3.633723 *
K 2 13268.666 6634.33 4671.6245 3.633723 *
PxK 4 11.56172 2.89043 2.035322 3.006917 tn
Error 16 22.722145 1.42013
Total 26 13526.432

BNT
138.044 168.287 192.222
KTG 0,05
138.044 0 * *
168.287 0 * 1.420 2.063
192.222 0
Notasi a b c
Perlakuan P3 P2 P1

52
Absorbansi Analisa Kadar Antosianin
Ulangan I
pH 1 pH 4,5 Total antosianin
Perlakuan
A 520 A 700 A 520 A 700 (mg/100 g)
P1 0.330 0.186 0.190 0.162 193,707
P2 0.215 0.089 0.089 0.064 168,658
P3 0.148 0.048 0.055 0.039 140,270
P4 0.310 0.175 0.178 0.157 190,367
P5 0.210 0.093 0.096 0.078 165,318
P6 0.145 0.043 0.045 0.024 135,260

Ulangan II

53
pH 1 pH 4,5 Total antosianin
Perlakuan
A 520 A 700 A 520 A 700 (mg/100 g)
P1 0.310 0.182 0.191 0.178 188,697
P2 0.220 0.090 0.085 0.074 170,328
P3 0.140 0.048 0.051 0.042 138,600
P4 0.320 0.191 0.198 0.181 187,027
P5 0.212 0.088 0.098 0.063 165,318
P6 0.141 0.042 0.048 0.029 133,591

Ulangan III
pH 1 pH 4,5 Total antosianin
Perlakuan
A 520 A 700 A 520 A 700 (mg/100 g)
P1 0.315 0.184 0.196 0.180 192,037
P2 0.220 0.088 0.98 0.067 168,658
P3 0.140 0.047 0.044 0.034 138,600
P4 0.340 0.195 0.197 0.165 188,697
P5 0.210 0.091 0.098 0.078 163,649
P6 0.143 0.045 0.050 0.032 133,591

Lampiran 2. Hasil Analisa Kadar Tanin (mg/g)


Ulangan Total
Perlakuan Perlakuan Rerata
I II III (P)
P1K1 30.322 31.127 30.053 91.502 30.501
P1K2 28.711 29.248 28.443 86.402 28.801
P1K3 27.101 27.638 27.370 82.109 27.370
P2K1 15.563 15.295 15.831 46.689 15.563
P2K2 14.221 13.953 14.758 42.932 14.311
P2K3 12.705 12.880 13.148 38.733 12.911
P3K1 7.513 7.781 7.513 22.807 7.602
P3K2 6.708 7.245 6.976 20.929 6.976
P3K3 5.903 6.171 5.635 17.709 5.903

54
Total Ulangan (R ) 148.75 151.338 149.727
Jumlah (S) 449.812

Tabel dua arah untuk perlakuan dan ulangan P dan K


Rata-
Perlakuan P1 P2 P3 Total (A)
rata
K1 91.502 46.689 22.807 160.998 17.89
K2 86.402 42.932 20.929 150.263 16.70
K3 82.109 38.733 17.709 138.551 15.39
Total (N) 260.013 128.354 61.445
rata-rata 28.89 14.26 6.83
FK = 7493.73

Analisa Ragam
Sumber F Tabel
db JK KT F Hitung notasi
Variasi 5%
Ulangan 2 0.3803334 0.19017 1.855798 3.633723 tn
Perlakuan 8 2297.8871 287.236 2803.0762 2.591096 *
P 2 2268.154 1134.08 11067.225 3.633723 *
K 2 28.010333 14.0052 136.67355 3.633723 *
PxK 4 1.7227533 0.43069 4.2029992 3.006917 *
Error 16 1.6395466 0.10247
Total 26 2299.9069

BNT
138.044 168.287 192.222
KTG 0,05
138.044 0 * *
168.287 0 * 1.420 2.063
192.222 0
Notasi a b c
Perlakuan P3 P2 P1

55
Analisa kadar tanin

bahan baku 0,133 0,136 0,135 35,688 36,493 36,225 36,135

perendaman tanpa nahco3 0,118 0,121 0,117 31,663 32,468 31,395 31,842

perendaman tanpa nahco3 0,113 0,116 0,112 30,322 31,127 30,053 30,500
blanching 10 menit
perendaman tanpa nahco3 0,107 0,109 0,106 28,711 29,248 28,443 28,800
blanching 20 menit

perendaman tanpa nahco3 0,101 0,103 0,102 27,101 27,638 27,370 27,369
blanching 30 menit

56
perendaman nahco3 0,25% 0.067 0.066 0.065 17,978 17,710 17,441 17,709

perendaman nahco3 0,25% 30 0,058 0,057 0,059 15,563 15,295 15,831 15,563
menit + blanching 10menit
perendaman nahco3 0,25% 30 0,053 0,052 0,055 14,221 13,953 14,758 14,310
menit + blanching 20menit
perendaman nahco3 0,25% 30 0,045 0,048 0,049 12,705 12,880 13,148 12,911
menit + blanching 30menit
perendaman nahco3 1,1% 0,031 0,034 0,032 8,318 9,123 8,586 8,675
perendaman nahco3 1,1% 30 0,028 0,029 0,028 7,513 7,781 7,513 7,602
menit + blanching 10menit
perendaman nahc03 1,1% 30 0,025 0,027 0,026 6,708 7,245 6,976 6,975
menit + blanching 20menit
perendaman nahco3 1,1% 30 0,022 0,023 0,021 5,903 6,171 5,635 5,903
menit + blanching 30menit

Analisa kadar Antosianin

bahan baku 0,147 0,145 0,144 245,473 242,133 240,463 242,689


perendaman tanpa nahco3 0,138 0.137 0.137 230,444 228,774 228,774 229,310
perendaman tanpa nahco3 0,118 0,117 0,118 197,046 195,376 197,046 196,489
blanching 10 menit
perendaman tanpa nahco3 0,102 0,103 0,102 170,328 171,998 170,328 171,441
blanching 20 menit
perendaman tanpa nahco3 0,085 0,084 0,084 141,940 140,270 140,270 140,826
blanching 30 menit
perendaman nahco3 0,25% 0,135 0,131 0,134 225,434 218,755 223,765 222,651
perendaman nahco3 0,25% 0,116 0,113 0,115 193,707 188,697 192,037 191,480

57
30 menit + blanching
10menit
perendaman nahco3 0,25% 0,101 0,102 0,101 168,658 170,328 168,658 169,214
30 menit + blanching
20menit
perendaman nahco3 0,25% 0,084 0,083 0,083 140,270 138,600 138,600 139,156
30 menit + blanching
30menit
perendaman nahco3 1,1% 0,133 0,133 0,132 222,095 222,095 220,425 221,538
perendaman nahco3 1,1% 0,114 0,112 0,113 190,367 187,027 188,697 188,697
30 menit + blanching
10menit
perendaman nahc03 1,1% 0,099 0,099 0,098 165,318 165,318 163,649 164,761
30 menit + blanching
20menit
perendaman nahco3 1,1% 0,081 0,080 0,080 135,260 133,591 133,591 134,147
30 menit + blanching
30menit
produk 1 0,066 0,065 0,067 110,212 108,542 111,882 110,212
produk2 0,060 0,059 0,061 100,193 98,523 101,863 100,193
produk3 0,050 0,051 0,048 83,494 85,164 80,154 82,937

Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian

58
a. Perendaman Kedelai Hitam b. Blanching Kedelai Hitam

c. Mixing d. Penyaringan

e. Persiapan Analisa awal f. Persiapan pembuatan buffer

59
g. Sampel yang Dihaluskan h. Persiapan Analisa

i. Persiapan Analisa j. Tahapan Akhir

60

Anda mungkin juga menyukai