Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cedera otak meliputi trauma kepala, tengkorak, dan otak. Cedera otak merupakan
salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Diperkirakan 100.000 orang
meninggal setiap tahunnya akibat cedera otak dan lebih dari 700.000 orang mengalami
cedera otak berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua pertiga dari kasus ini
berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah 4x lebih banyak laki-laki daripada wanita.
Resiko utama pasien yang mengalami cedera otak yang mengalami cedera otak
adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakaan otak sebagai respon
terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Maka diperlukan
penanganan yang tepat pada seseorang yang mengalami cedera otak. Tindakan
resusitasi, anamnesa, dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus dilakukan
secara detail. ( http://healthreference-ilham.blogspot.com/2008/07/kondas-cedera-
kepala.html. )

B. TUJUAN
Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada kasus cedera otak.
Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengkajian kegawatdaruratan pada kasus cedera otak.
b. Mengetahui diagnosa pada kasus cedera otak.
c. Mengetahui intervensi kegawatdaruratan pada kasus cedera otak.
d. Mengetahui implementasi pada kasus cedera otak.
e. Mengetahui evaluasi pada kasus cedera otak.

C. MANFAAT
a. Agar mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada
klien cedera otak.
b. Agar mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan
cedera otak.
c. Agar mahasiswa mampu merencanakan tindakan sesuai dengan diagnosa
keperawatan.
d. Agar mahasiswa mampu melaksanakan tindakan sesuai rencana yang telah
ditentukan.
e. Agar mahasiswa mampu mengevaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan.
f. Agar mahasiswa mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan keluarga.

1
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. DEFINISI
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa perdarahan
intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak
(Nugroho, 2011).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2001).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma
tumpul maupun trauma tajam. Deficit neorologis terjadi karena robekannya subtansia
alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta edema serebral disekitar
jaringan otak (Batticaca, 2008).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.(
Mansjoer, dkk, 2000 )
.
2. ETIOLOGI
Penyebab cedera kepala antara lain :
1. Kecelakaan mobil
2. Perkelahian
3. Jatuh
4. Cedera olahraga
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )

3. PATOFISIOLOGI
Trauma pada kepala bisa disebabkan oleh benda tumpul maupun benda tajam.
Cedera yang disebabkan benda tajam biasanya merusak daerah setempat atau lokal
dan cedera yang disebabkan oleh benda tumpul memberikan kekuatan dan menyebar
ke area sekitar cedera sehingga kerusakan yang disebabkan benda tumpul lebih luas.
Berat ringannya cedera tergantung pada lokasi benturan, penyerta cedera, kekuatan
benturan dan rotasi saat cedera. ( http://buku-sakuku.blogspot.com/2009/cedera-
kepla.html )

4. KLASIFIKASI
Cedera otak dapat dibagi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS (Glascow Coma
Scale) yaitu:
1. Cedera Otak Ringan (COR)
 GCS 13-15

2
 Tidak terdapat kelainan pada CT Scan otak
 Tidak emmerlukan tindakan operasi
 Lama dirawat di rumah sakit < 48 jam
2. Cedera Otak Sedang (COS)
 GCS 9-12
 Ditemukan kelainan pada CT Scan otak
 Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intracranial
 Dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam
3. Cedera Otak Berat (COB)
 Nilai GCS <8
 Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intracranial.
 Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai GCS <8
( George Dewanto, 2009 )

5. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinisnya yaitu:
 Pada cedera otak, kesadaran seringkali menurun
 Pola nafas menjadi abnormal secara progresif
 Reson pupil mungkin tidak ada atau secara progresif mengalami deteriorasi
 Sakit kepala dapat terjadi dengan segera atau terjadi bersama peningkatan tekanan
intracranial
 Muntah dapat terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial
 Perubahan perilaku, kognitif, dan fisik pada gerakan motorik dan berbicara dapat
terjadi dengan kejadian segera atau secara lambat. Amnesia yang berhubungan
dengan kejadian ini biasa terjadi.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 ).

6. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi yaitu:
 Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral, dapat menyertai
cedera kepala yang tertutup yang berat, atau lebih sering cedera kepala terbuka.
Pada perdarahan diotak, tekanan intrakranial meningkat,dan sel neuron dan
vaskuler tertekan. Ini adalah jenis cedera otak sekunder. Pada hematoma,
kesadaran dapat menurun dengan segera, atau dapat menurun setelahnya ketika
hematoma meluas dan edema interstisial memburuk.
 Perubahan perilaku dan defisit kognitif dapat terjadi dan tetap ada.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Radiograf tengkorak dapat mengidentifikasi lokasi fraktur atau perdarahan atau
bekuan darah yang terjadi.
 CT Scan dan MRI dapat dengan tapat menentukan letak dan luas cedera. CT Scan
biasanya merupakan perangkat diagnostik pilihan diruang kedaruratan walaupun

3
hasil CT Scan mungkin normal yang menyesatkan. MRI adalah perangkat yang
leboh sensitif dan akurat, dapat mendiagnosis cedera akson difus, namun mahal
dan kurang dapat diakses disebagian besar fasilitas.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )

8. PENATALAKSANAAN
Cedera otak ringan dan sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah baring.
 Mungkin diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah melalui pembedahan (
pengeluaran benda asing dan sel yang mati ), terutama pada cedera kepala
terbuka.
 Dekompresi melalui pengeboran lebang didalam otak, yang disebut burr hole,
mungkin diperlukan.
 Mungkin dibutuhkan ventilasi mekanik.
 Antibiotik diperlukan untuk cedera kepala terbuka guna mencegah infeksi.
 Metode untuk menurunkan tekanan intrakranial dapat mencakup pemberian
diuretik dan obat anti inflamasi.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )

4
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada ganguuan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan
cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik, dan pengkajian psikososial.

1. PENGKAJIAN AWAL
Airway : Klien terpasang ETT ukuran 7,5 dengan pemberian oksigen 15 liter
permenit. FIO2 = 81 %, terdapat sumbatan atau penumpukan sekret, adanya suara
nafars tambahan yaitu ronchi +/+.
Breathing : Frekuensi nafas 20x/menit, irama nafas abnormal, nafas tidak
spontan.
Circulation : Perubahan frekuensi jantung (bradikardi), keluar darah dari hidung dan
telinga, perubahan tekanan darah

2. ANAMNESIS
Identitas klien meliputi nama, umur ( kebanyakan terjadi pada usia muda ), jenis
kelamin ( banyak laki-laki, karena ngebut-ngebutan dengan motor tanpa pengaman
helm ), pedidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk
rumah sakit, nomor register, diagnosa medis. Keluhan utama yang sering menjadi
alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh
dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.

3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas,
jatuh dari ketinggian,dan trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang didapat meliputi
tingkat kesadaran menurun ( GCS <15 ), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala,
wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada
saluran pernafasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang. Adanya
penurunan tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan didalam intrakranial.
Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsif, dan koma. Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga
yang mengantar klien ( bila klien tidak sadar ) tentang penggunaan obat-obatan adiktif
dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut-
ngebutan.

4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat
cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung ,anemia, penggunaan
obat-obatan antikoagulan, konsumsi alkohol berlebih.

5
5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Mengkaji adanya anggota terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus.

6. PENGKAJIAN PSIKO,SOSIO,SPIRITUAL
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi
klien terhadap penyakit yang dideritanya. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,
yaitu timbul ketautan akan kesadaran, rasa cemas. Adanya perubahan hubungan dan
peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan
bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif. Karena klein harus menjalani rawat inap
maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi kilen, karena biaya
perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Cedera otak
memerlukan dana pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat mengacaukan
keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan
pikiran klein dan keluarga.

7. PENGKAJIAN FISIK
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat bergguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem ( B1-B6 ).
 Keadaan Umum
Pada keadaan cedera otak umumnya mengalami penurunan kesadran ( cedera otak
ringan GCS 13-15, cedera otak sedang GCS 9-12, cedera otak berat GCS <8 ) dan
terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.

 B1 ( Breathing )
Sistem pernafasan bergantung pada gradasi dari perubahan jaringan serebral
akibat trauma kepala. Akan didapatkan hasil:
 Inspeksi : Didapatkan klien batuk. Peningkatan produksi sputum, sesak
nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan.
 Palpasi : Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
 Perkusi : Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thoraks.
 Auskultasi : Bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, ronkhi pada klein
dengan pengingkatan produksi sekret dan kemampuan batuak yang menuurn
sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan tingkat
kesadaran koma.
Klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien dirawat
diruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil pada klien
dengan cedera otak berat dan sudah terjadi disfungsi pernafasan.

6
 B2 ( Blood )
Pada sisitem kardiovaskuler didapatkan syok hipovolemik yang sering
terjadi pada klien cedera otak sedang sampa cedera otak berat. Dapat ditemukan
tekanan darah normal atau berubah, bradikardi, takikardi, dan aritmia.

 B3 ( Brain )
Cedera otak menyebabakan berbagai defisit neurologi terutama disebabkan
pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma. Pengkajian
tingkat kesadaran dengan menggunakan GCS.

 B4 ( Bladder )
Kaji keadaan urin meliputi waran, jumlah, dan karakteristik. Penurunan
jumlah urine dan peningkatan retensi urine dapat terjadi akibat menurunnya
perfusi ginjal. Setelah cedera kepala, klien mungkin mengalami inkontinensia
urinw karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik
dan postural.

 B5 ( Bowel )
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual, muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan adanya
peningkatan produksi asam lambung. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltik usus.

 B6 ( Bone )
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit. ( Arif
Muttaqin, 2008 )

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah,
edema serebral.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler ( cedera
pada pusat pernafasan otak).
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif.( Doengose, 2010 )

7
C. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Diagnosa 1 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran
darah, edema serebral.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, GCS, tingkat kesadaran,
kognitif, dan fungsi motorik klien membaik.
Kriteria Hasil :
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Tingkat kesadaran membaik.
GCS klien meningkat.
Intervensi :
1. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan perfusi jaringan otak dan
peningkatan TIK.
R/ : Penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam
pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya klien dirawat
diperawatan intensif.
2. Pantau atau catat status neurologis secara teratus dan bandingkan dengan nilai
GCS
R/ : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaatdalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan
saraf pusat.
3. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan
yang tenang.
R/ : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan
meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.

Diagnosa 2 : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan


neurovaskuler.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien mampu
mempertahankan pola pernafasan efektif melalui pemasangan ETT.
Kriteria Hasil :
Pola nafas kembali efektif
Nafas spontan.
Intervensi :
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan
pernafasan.
R/ : Perubahan daoat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan
lokasi / luasnya keterlibatan oyak. Pernafasan lambat, periode apnea dapat
menandakan perlunya ventilasi mekanik.
2. Diposisikan head up (300).
R/ : Untuk menurunkan tekanan vena jugularis
3. Berikan oksigen.
R/ : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan
hipoksia. Jika pusat pernafasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
mekanik.

8
Diagnosa 3 : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien bebas dari tanda-tanda
infeksi.
Kriteria Hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi yaitu kalor (panas), rubor (kemerahan), dolor (nyeri
tekan), tumor (membengkak), dan fungsi ulesa.
Intervensi :
1. Berikan perawatan aseptik,pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan.
R/ : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan
dengan segera dan peegahan teradap komplikasi selanjutnya.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur.
R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan
evaluasi atau tindakan segera.

D. IMPLEMENTASI
Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.

E. EVALUASI
Evaluasi adalah tahap penilaian dari tindakan yang telah direncanakan. Untuk
malsalah kegawatdaruratan hipoglikemi ini adalah kesadaran klien dapat kembali
seperti semula, cairan dalam tubuh terpenuhi dan tanda-tanda vital klien normal.

9
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka penulis dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma
benda tajam maupun benda tumpul yang menimbulkan perlukaan pada kulit,
tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa pendarahan.

B. SARAN
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam keadaan darurat
secara cepat dan tepat, mungkin perlu dilakukan prosedur tetap yang dapat
digunakan setiap hari. Bila memungkinkan , sangat tepat apabila pada setiap unit
keperawatan di lengkapi dengan buku-buku yang di perlukan baik untuk perawat
maupun untuk klien.

10
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, J. Elzabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologis. Edisi revisi 3. Jakarta. EGC
Dewanto, George. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta. EGC
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta. EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta. EGC
http://buku-sakuku.blogspot.com/2009/cedera-kepla.html diakses tanggal 06 November
2012 pukul 15:07 WIB
http://healthreference-ilham.blogspot.com/2008/07/kondas-cedera-kepala.html diakses
tanggal 06 November 2012 pukul 15:19 WIB

11

Anda mungkin juga menyukai