Fasilitator:
Yulis Setiya Dewi, S.Kep., Ns., M.Ng
Disusun Oleh:
Kelompok 3 / A-2
Sucowati Dwi Jatis 131411131032
Roudhotul Jannah 131411131035
Nur Hidayanti 131411131044
Nining Ambarwati 131411131050
Ani Rihlatun Ni’mah 131411131065
Arfa Zikriani 131411133024
Yenis Anggi Prastiwi 131411133033
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok makalah
“Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Hiperparatiroid” dengan baik.
Kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Yulis Setiya
Dewi, S.Kep. Ns., M.Ng., selaku fasilitator yang memberikan bimbingan dan
arahan dalam penyelesaian makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penyusun berharap adaya kritik dan saran yang dapat
membangun agar dalam penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik lagi.
Penyusun juga berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami secara pribadi
serta bagi teman sejawat supaya bisa saling belajar.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................... i
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah definisi dari hiperparatiroid?
1.2.2 Apa sajakah klasifikasi dari hiperparatiroid?
1.2.3 Apa sajakah etiologi dari hiperparatiroid?
1.2.4 Bagaimanakah patofisiologi dari hiperparatiroid?
1.2.5 Apa sajakah manifestasi klinis dari hiperparatiroid?
1.2.6 Apa sajakah pemerikasaan diagnostik pada hiperparatiroid?
1.2.7 Bagaimanakah penatalaksanaan pada hiperparatiroid?
1.2.8 Apa sajakah komplikasi yang ditimbulkan oleh hiperparatiroid?
1.2.9 Apakah perbedaan dari hipoparatiroid dan hiperparatiroid?
1.2.10 Bagaimanakah Web of Caution dari hiperparatiroid?
1.2.11 Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan
hiperparatiroid?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep pembuatan
asuhan keperawatan klien dengan hiperparatiroid secara
komprehensif.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dari hiperparatiroid.
2. Mengetahui klasifikasi dari hiperparatiroid.
3. Mengetahui etiologi dari hiperparatiroid.
4. Mengetahui manifestasi klinis klien dengan hiperparatiroid.
5. Mengetahui patofisiologi dari hiperparatiroid.
6. Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada hiperparatiroid.
7. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pada klien dengan
hiperparatiroid.
8. Mengetahui komplikasi pada hiperparatiroid.
9. Mengetahui perbedaan dari hipoparatiroid dan hiperparatiroid.
10. Mampu menjelaskan Web of Caution dari hiperparatiroid.
2
11. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan
hipoparatiroid dan hiperparatiroid.
1.4 Manfaat
Dapat digunakan sebagai acuan bagi peyusun serta rekan sejawat dalam
praktik memberikan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami
hiperparatiroid. Dan sebagai pedoman untuk memberikan promosi kesehatan
kepada masyarakat dengan tujuan untuk menangani penyakit hiperparatiroid.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
paratiroid. Hiperparatiroid primer biasanya mengenai orang dewasa dan lebih
sering pada perempuan (post menopausal) daripada laki-laki (Pranoto, 2006).
Hasil pemeriksaan ini berdasarkan pada kadar kalsium serum dalam
skrining darah yang rutin. Hal ini akan menyebabkan kadar fosfat dalam
serum menurun dan sebaliknya kadar fosfat dalam urin sangat tinggi. PTH
menyebabkan pelepasan kalsium dari tulang maka kadar alkali fosfatase
mengalami kenaikan sebagaimana pada setiap penyebab destruksi tulang
yang lain (kadar alkali fosfatase dapat mengalami kenaikan sebagimana pada
setiap penyebab destruksi tulang yang lain). Kelebihan hormon PTH akan
meningkatkan cAMP urin (cAMP merupakan second messengger yang
distimulasi oleh banyak reseptor yang di rangsang oleh PTH ) (Aaron, 2013).
Hiperparatiroid primer dibagi dalam 4 kelompok berdasarkan akibat,
yaitu:
1) Hiperkalsemia
2) Kalsifikasi visceral
3) Peningkatan resorpsi tulang
4) Hipertensi, gagal ginjal, ulkus peptikus, sindrom Zollinger Ellison’s,
pankreatitis akut, pankreatitis menahun dan kalkuli, multiple adenomatosis
syndrome, hiperurisemia, gout.
1.2.2 Hiperparatiroid Sekunder Commented [E32]: karena gang. organ lain
5
sehingga menyebabkan stimulasi sekresi parathormone (PTH). Hipokalsemia
pada gagal ginjal disebabkan oleh karena produksi kalsitriol menurun
sehingga terjadi gangguan absorpsi kalsium di usus dan juga akibat dari
retensi fosfat (Pranoto, 2006).
Sekresi PTH seluruhnya diatur oleh kadar kalsium, jadi
hiperparatiroidisme sekunder tidak dikaitkan oleh hipofisa. Penurunan kadar
kalsium dalam darah menyebabkan peningkatan PTH pada tubuh sebagai
homeotasis pada darah. Hal ini disebabkan oleh defisiensi vitamin D atau juga
bisa disebabkan oleh gagal ginjal (Aaron, 2013).
1.2.3 Hiperparatiroid Tersier
Istilah hiperparatiroid tersier digunakan adalah perkembangan lanjut
tipe sekunder, dimana terjadi autonomi kelenjar paratiroid seperti;
hiperparatiroid primer, maka bentuk tersier memerlukan tindakan
pembedahan ekstirpasi adenoma, kecuali bila kegagalan ginjal sudah terlalu
berat, maka dilakukan hemodialisis terlebih dahulu kemudian disusul
ekstirpasi adenoma. Hiperparatiroidisme tersier terjadi oleh karena hiperplasi
atau adenomatosis multiple setelah terjadi stimulasi sekunder yang
berkepanjangan (Pranoto, 2006). Sering terjadi pada penderita gagal ginjal
yang menjalani hemodialisis jangka panjang dan dapat pula disebabkan dari
hiperparatiroid sekunder akibat defisiensi vitamin D. Pemberian vitamin D
kadang-kadang masih diperlukan untuk mencegah terjadinya hipokalsemia.
Kejadian ini dapat dicegah dengan memberikan terapi yang efektif pada
hiperparatiroid sekunder. Pada hiperparatiroid primer maupun tersier terapi
yang paling tepat adalah pembedahan yaitu paratiroidektomi.
6
primer disebabkan oleh adenoma paratiroid jinak, 18% kasus diakibatkan oleh
hiperplasia kelenjar paratiroid; dan 2 % kasus disebabkan oleh karsinoma
paratiroid. Normalnya terdapat empat kelenjar paratiroid. Adenoma atau
karsinoma paratiroid ditandai oleh pembesaran satu kelenjar, dengan kelenjar
lainnya tetap normal. Pada hiperplasia paratiroid, keempat kelenjar membesar
(Hotma, 1999).
Rubenstein (2007) juga berpendapat etiologi hiperparatiroid yaitu:
1) Hiperparatiroid primer (adenoma atau hiperplasia paratiroid).
2) Hiperparatiroid sekunder (peningkatan sekresi PTH terjadi sebagai respons
terhadap hipokalsemia, misalnya pada gagal ginjal, malabsorbsi.
3) Hiperparatiroid tersier, jika hiperparatiroid sekunder menjadi tidak
terkendali akan berkembang adenoma paratiroid otonom, menyebabkan
peningkatan PTH dan kalsium serum.
7
1.4 Patofisiologi Hiperparatiroid
Pada 80% kasus, hiperparatiroidisme primer disebabkan oleh adenoma
paratiroid jinak, 18% kasus diakibatkan oleh hiperplasia kelenjar paratiroid dan
2% kasus disebabkan oleh karsinoma paratiroid. Normalnya terdapat empat
kelenjar paratiroid. Adenoma atau karsinoma paratiroid ditandai oleh
pembesaran satu kelenjar, dengan kelenjar lainnya tetap normal. Pada
hiperplasia paratiroid, keempat kelenjar membesar. Karena diagnosa adenoma
atau hiperplasia tidak dapat ditegakkan preoperatif, jadi penting bagi ahli bedah
untuk meneliti keempat kelenjar tersebut diangkat dan lainnya dibiarkan utuh.
Jika ternyata keempat kelenjar tersebut mengalami pembesaran ahli bedah akan
mengangkat ketiga kelenjar dan meninggalkan satu kelenjar saja yang
seharusnya mencukupi untuk mempertahankan homeostasis kalsium – fosfat.
Hiperplasia paratiroid sekunder dapat dibedakan dengan hiperplasia
primer, karena keempat kelenjar membesar secara simetris. Pembesaran
kelenjar paratiroid dan hiperfungsi adalah mekanisme kompensasi yang
dicetuskan oleh retensi fosfat dan hiperkalsemia yang berkaitan dengan
penyakit ginjal kronis. Osteomalasia yang disebabkan oleh hipovitaminosis D,
seperti pada riketsia, dapat mengakibatkan dampak yang sama.
Hiperparatiroid ditandai oleh kelebihan PTH dalam sirkulasi. PTH
terutama bekerja pada tulang dan ginjal. Dalam tulang, PTH meningkatkan
resorpsi kalsium dari lumen tubulus ginjal. Eksresi kalsium dalam urine
berkurang. PTH juga meningkatkan bentuk vitamin D3 aktif dalam ginjal, yang
selanjutnya memudahkan ambilan kalsium dari makanan dalam usus sehingga
hiperkalsemia dan hipofosfatmia kompensatori adalah abnormalitas biokimia
yang dideteksi melalui analisis darah konsentraisi PTH serum juga meningkat.
Produksi hormon paratiroid yang berlebihan disertai dengan gagal
ginjal dapat menyebabkan berbagai macam penyakit tulang, penyakit tulang
yang sering terjadi adalah osteitis fibrosa cystic, suatu penyakit meningkatnya
resorpsi tulang karena peningkatan kadar hormon paratiroid. Penyakit tulang
lainnya juga sering terjadi pada pasien, tapi tidak muncul secara langsung
(Lawrence, 2005).
8
Kelebihan jumlah sekresi PTH menyebabkan hiperkalsemia yang
langsung bisa menimbulkan efek pada reseptor di tulang, traktus intestinal, dan
ginjal. Secara fisiologis sekresi PTH dihambat dengan tingginya ion kalsium
serum. Mekanisme ini tidak aktif pada keadaan adenoma, atau hiperplasemia
kelenjar, dimana hipersekresi PTH berlangsung bersamaan dengan
hiperkalsemia. Reabsorpsi kalsium dari tulang dan peningkatan absorpsi dari
usus merupakan efek langsung dari peningkatan PTH. Pada saat kadar kalsium
serum mendekati 12 mg/dL, tubular ginjal mereabsorpsi kalsium secara
berlebihan sehingga terjadi keadaan hiperkalsiuria. Hal ini dapat meningkatkan
insidens nefrolithiasis, yang mana dapat menimbulkan penurunan creatinin
clearens dan gagal ginjal. Vitamin D mempunyai peran penting dalam
metabolisme kalsium sebab dibutuhkan oleh PTH untuk bekerja di target
organ.
Pelepasan PTH yang tetap sangat diharapkan, PTH yang tidak
terkendali dengan sempurna dari jaringan paratiroid yang hiperfungsi
menyebabkan respon organ target fisiologis secara berlebihan.
1) Hiperkalsemia
Kelebihan hormon PTH dapat merangsang transport kalsium ke
dalam darah dari rongga usus dan tubulus ginjal demikian juga dari tulang,
usus dan ginjal tidak mampu mengoreksi hiperkalsemia. Jika demikian
maka akan bertentangan dengan keadaan hiperkalsemia lain (non
paratiroid), garis pertahanan pertama terhadap hiperkalsemia, kehilangan
kalsium yang meningkat melalui ginjal dan usus, tidak ada pada pasien
dengan hiperparatiroid primer. Permulaan patofisiologi, ketika nilai kalsium
serum di bawah 11,5 mg/dL (2,88 mmol/L) (normal 8,9-10,1 mg/dL)
kalsium urin dapat relatif rendah untuk derajat hiperkalseminya. Pasien-
pasien dengan nilai kalsium serum lebih besar dari 12 mg/dL (3 mmol/L),
ketika mekanisme tubulus ginjal telah diatasi, atau pada pasien-pasien
dengan penurunan kapasitas tubulus ginjal untuk meresorpsi kalsium yang
tidak ada hubungannya, barulah terjadi mekanisme adaptasi ginjal untuk
mengoreksi hiperkalsemia mulai bekerja dan hiperkalsiuria timbul.
Sayangnya, mekanisme adaptasi terapan yang kronis ini (hiperkalsiuria)
9
bersama-sama dengan perubahan-perubahan lain pada komposisi urin yang
terjadi pada hiperparatiroidi primer (yakni pH meningkat karena
bikarbonaturia), ikut membantu terjadinya urolitiasis dan infeksi saluran
kencing yang sangat sering pada pasien-pasien ini.
Banyak pasien dengan hiperparatiroid mengalami penurunan
reabsorpsi fosfat pada tubulus ginjal, hiperfosfaturia, hipofosfatemia. Pada
orang normal atau pasien normal dengan pengurangan kapasitas untuk
mengkonversi 250 HD₃ menjadi 1,25 (OH)₂D₃, efek tubulus renalis dari
PTH membantu homeostatis mineral dengan merangsang produksi 1,25
(OH)₂D₃ dan dengan membersihkan fosfat darah yang diambil dari tulang
selama resorpsi kalsium. Namun, pada pasien dengan hiperparatiroid,
hiperkalsemia diperhebat oleh peningkatan produksi 1,25 (OH)₂D₃ dan
dengan penurunan jumlah fosfat serum yang tersedia untuk membentuk
kompleks dengan kalsium.
2) Kalsium pada Jaringan Lunak
Mekanisme lain untuk mengoreksi hiperkalsemia dibutuhkan sesuai
dengan berlanjutnya proses penyakit. Hal ini umumnya akan
mengakibatkan suatu keadaan “pertukaran” antara penurunan kadar kalsium
dan perkembangan organ. Salah satu mekanisme semacam ini ialah deposisi
kalsium pada jaringan lunak yang terjadi karena kelarutan normal produk
Ca2+ x PO43- dalam serum (kira-kira 40) berlebihan. Hal ini dapat
menimbulkan gejala-gejala reumatologis akibat kalsifikasi tendinitis dan
kondrokalsinosis, atau dapat pula mempengaruhi fungsi ginjal (sekunder
akibat nefrokalsinosis).
3) Defisiensi vitamin D Commented [E33]: komplikasi
10
Stimulasi oleh hiperkalsemia dari peningkatan degradasi bentuk-
bentuk PTH yang aktif secara biologis di jaringan perifer (misal: Hepar)
dan jaringan paratiroid. Bukti-bukti yang menyokong efek dari kalsium
ionik seperti itu terdapat pada hewan dan manusia. Jadi, mungkin
kalsium plasma tidak hanya mengatur sekresi PTH, tetapi juga
merupakan faktor yang penting untuk menentukan jumlah relatif PTH
yang aktif secara biologis dan fragmen-fragmen hormon yang tidak aktif
dalam sirkulasi. Salah satu mekanisme adaptasi yang diduga berperan
penting untuk mengoreksi hiperkalsemia akibat hiperparatiroid primer
adalah meningkatnya sekresi CT. Namun bukti menunjukkan bahwa hal
ini tidak terjadi pada sebagian besar pasien pada sebagian pasien
(terutama wanita), sekresi cadangan CT sebenarnya mengurang.
5) Asidosis Hiperkloremik
Pasien-pasien hiperparatiroid primer umumnya mengalami
asidosis hiperkloremik ringan sampai sedang, terutama akibat aksi kerja
PTH yang berlebihan, yang menyebabkan penurunan ion hidrogen dalam
urin dan peningkatan ekskresi bikarbonat. Efek ini juga cenderung untuk
memperburuk hiperkalsemia yang sudah ada, pertama dengan
terganggunya kemampuan albumin dalam darah untuk mengikat kalsium
ionik dan kedua akibat disolusi mineral di tulang.
6) Peningkatan cAMP di Urin
cAMP dalam urin yang berasal dari ginjal meningkat sampai
sebanyak 80% pada pasien-pasien hiperparatiroidisme primer. Hal ini
mungkin merupakan pencerminan peningkatan aktivitas adenil siklase
ginjal yang distimulasi PTH. Yang menarik, beberapa penelitian
menunjuk bahwa fosfaturia dan respons cAMP terhadap pemberian PTH
eksogen tidak menunjukkan adanya suatu keadaan refrakter atau
desensitisasi dari satu atau lebih komponen-komponen selular yang
bertanggung jawab terhadap efek tersebut. “Desensitisasi” semacam ini
dan fenomena meningkatnya ekskresi cAMP dalam urin telah digunakan
sebagai uji diagnostik untuk mengetahui adanya hiperparatiroid.
7) Ostetitis Fibrosa Kistika
11
Pasien-pasien yang terbukti secara radiologis menderita osteitis
fibrosa cystica sering mengalami peningkatan kadar isoenzim fosfatase
alkalis tulang dalam serum. Enzim tulang ini diproduksi oleh osteoblast
dan mungkin merupakan salah satu dari sejumlah enzim-enzim yang
terlibat pada proses mineralisasi dalam tulang. Pasien-pasien ini juga
mensekresi hidroksiprolin dalam jumlah yang lebih besar dari normal di
dalam urin. Asam amino ini bersifat unik terhadap kolagen, yang
merupakan struktur protein utama ditulang. Kombinasi peningkatan
semacam ini pada fosfatase alkalis serum dan ekskresi hidroksiprolin di
urin telah diinterpretasikan sebagai refleksi utama dari metabolisme yang
meningkat ditulang pada hiperparatiroid primer.
12
a) Poliuri dan polidipsi
b) Neprolithiasis ginjal
c) Pankreatitis bahkan ulkus peptikum
4) Resorpsi kalsium tulang meningkat sehingga tulang mudah
fraktur di berbagai tempat.
5) Nyeri pinggang karena batu ginjal.
6) Henti jantung karena krisis hiperkalsemia.
7) Depresi refleks tendon profundan.
8) Mual dan muntah
9) Nyeri pada skeletal dan nyeri tekan, khususnya di daerah
punggung dan persendian, nyeri ketika menyangga tubuh, fraktur
patologik, deformitas, dan pemendekan bada.
Hiperparatiroid sekunder biasanya disertai dengan penurunan kadar
kalsium serum yang normal atau sedikit menurun dengan kadar PTH tinggi dan
fosfat serum rendah. Perubahan tulang disebabkan oleh konsentrasi PTH yang
tinggi sama dengan pada hiperparatiroid primer. Beberapa pasien menunjukkan
kadar kalsium serum tinggi dan dapat mengalami semua komplikasi ginjal,
vaskular, neurologik yang disebabkan oleh hiperkalsemia.
Manifestasi klinis dari hiperparatiroid tersier meliputi hiperparatiroid
yang kebal setelah pencangkokan ginjal atau hiperkalsemia baru pada
hiperparatiroid sekunder akut yang ditandai oleh:
1) Gejala apatis
2) Keluhan mudah lelah, kelemahan otot
3) Mual, muntah, konstipasi
4) Hipertensi dan aritmia jantung
Semua hal tersebut berkaitan dengan hiperkalsemia. Manifestasi
psikologis dapat bervariasi mulai dari emosi yang mudah tersinggung dan
neurosis hingga keadaan psikosis yang disebabkan oleh efek langsung kalsium
pada otak serta sistem saraf.
13
2.6 Pemeriksaan Diagnostik Hiperparatiroid
Hiperparatiroid didiagnosis ketika tes menunjukkan tingginya level
kalsium dalam darah disebabkan tingginya kadar hormon paratiroid. Penyakit
lain dapat menyebabkan tingginya kadar kalsium dalam darah, tapi
hanya hiperparatiroid yang menaikkan kadar kalsium karena terlalu banyak
hormon paratiroid.
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah:
1) Pemeriksaan radioimmunoassay PTH, sangat sensitif dan dapat
membedakan hiperparatiroid primer dengan penyebab
hiperkalsemia lain.
2) Tes darah mempermudah diagnosis hiperparatiroid karena
menunjukkan penilaian yang akurat berapa jumlah hormon
paratiroid. Sekali diagnosis didirikan, tes yang lain sebaiknya
dilakukan untuk melihat adaya komplikasi. Karena tingginya
kadar hormon paratiroid dapat menyebabkan kerapuhan tulang
karena kekurangan kalsium, dan pengukuran kepadatan tulang
sebaiknya dilakukan untuk memastikan keadaan tulang dan
resiko fraktura. Hasilnya adalah peningkatan kadar kalsium,
PTH, kreatinin, klorida dan alkali fosfatase; penurunan kadar
fosfor.
3) Penggambaran dengan sinar X pada abdomen bisa
mengungkapkan adanya batu ginjal dan jumlah urin selama 24
jam dapat menyediakan informasi kerusakan ginjal dan resiko
batu ginjal.
4) Pemeriksaan antibodi ganda hormon paratiroid digunakan untuk
membedakan hiperparatiroid primer dengan keganasan, yang
dapat menyebabkan hiperkalsemia.
5) Pemeriksaan USG, MRI, Pemindai Thallium serta biopsi jarum
halus telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi paratiroid dan
untuk menentukan lokasi kista, adenoma serta hiperplasia pada
kelenjar paratiroid.
6) Osteokalsin: meningkat
14
7) Fosfatase asam yang resisten-tartrat: meningkat
8) Sekresi asam basal: dapat meningkat
9) Kimia urin: peningkatan kadar kalsium dan klorida
10) Foto rontgen: memperlihatkan demineralisasi tulang yang difus.
Kista pada tulang, absorpsi tulang bagian korteks, dan erosi
subperiosteum osteum falang serta klavikula distal.
15
obat-obatan. Kebutuhan nutrisi harus dipenuhi meskipun pasien dianjurkan
untuk menghindari diet kalsium terbatas atau kalsium berlebih. Jika pasien juga
menderita ulkus peptikum, ia memerlukan antasid dan diet protein yang
khusus. Karena anoreksia umum terjadi, peningkatan selera makan pasien
harus diupayakan. Jus buah, preparat pelunak feses dan aktifitas fisik disertai
dengan peningkatan asupan cairan akan membantu mengurangi gejala
konstipasi yang merupakan masalah post operatif yang sering dijumpai pada
pasien.
16
(3) Kematian janin intrauteri, yang didahului dengan tetani janin,
termasuk organ vital jantung dan paru.
2) Peningkatan hormon maternal dapat menekan pengeluaran
hormon paratiroid janin sehingga janin mengalami:
(1) Hipokalsemia
(2) Penurunan kadar 1,25 dihroxyvitamine D
Gangguan ini menimbulkan gangguan keseimbangan elektrolit
darah janin dan menimbulkan tetani otot yang diakhiri dengan
kematian akibat gangguan kontraktilitas jantung janin.
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk pencegahan komplikasi:
1) Minum banyak cairan, khususnya air putih. Meminum banyak
cairan dapat mencegah pembentukan batu ginjal.
2) Latihan. Untuk membentuk kekuatan tulang dan menghambat
pengeroposan tulang.
3) Penuhi kebutuhan vitamin D sebelum berusia 50 tahun,
rekomendasi minimal vitamin D yang harus dipenuhi setiap hari
adalah 200 International Units (IU). Setelah berusia lebih dari 50
tahun, asupan vitamin D harus lebih tinggi, sekitar 400-800 IU
perhari.
4) Jangan merokok. Merokok dapat meningkatkan kerapuhan tulang
seiring meningkatnya masalah kesehatan, termasuk kanker.
5) Waspada terhadap kondisi yang dapat meningkatkan kadar
kalsium. Kondisi tertentu seperti penyakit gastrointestinal dapat
menyebabkan kadar kalsium dalam darah meningkat.
17
disebabkan oleh tumor serum kalsium menurun (bisa
menghasilkan terlalu banyak PTH, sampai 5 mg %), serum fosfor
sehingga hypercalesemia dan meninggi (9,5-12,5 mg%).
hypophposphatemia.
Etiologi Salah satu penyebab Adapun etiologi yang dapat
hiperparatiroidisme dari banyaknya ditemukan pada penyakit
hiperfungsi kelenjar paratiroid hipoparatiroid, antara lain :
adalah adenoma soliter (penyakit 1. Defisiensi sekresi hormon
von Recklinghausen). paratiroid, ada dua penyebab
Hiperparatiroidisme yang herediter utama:
dapat terjadi tanpa kelainan • Post operasi pengangkatan
endokrin lainnya tetapi biasanya kelenjar partiroid dan total
bagian dari Multiple Endocrine tiroidektomi.
Neoplasia Syndrome. MENS 1 • Idiopatik, penyakit ini jarang
(Wermer’s syndrome) terdiri dari dan dapat kongenital atau
hiperparatiroid dan tumor dari didapat (acquired).
pituitari dan pankreas, juga 2. Hipomagnesemia.
berhubungan dengan hipersekresi 3. Sekresi hormon paratiroid yang
gaster dan ulkus peptikum tidak aktif.
(Zollinger-Ellison’s syndrome). 4. Resistensi terhadap hormon
paratiroid
(pseudohipoparatiroidisme)
Klasifikasi Klasifikasi Hiperparatiroid: Klasifikasi Hipoparatiroid:
1. Hiperparatiroidisme primer 1. Hipoparatiroid Neonatal
2. Hiperparatiroidisme 2. Simple idiopatik
sekunder hipoparatiroid
3. Hiperparatiroidisme tersier 3. Hipoparatiroid pasca bedah
Manifestasi Asympthomatic Tetani (iritabilitas otot) karena
Klinis
Peningkatan kadar kalsium tingkat normal kalsium
serum Kesemutan daerah periorbital,
Nyeri tulang atau fraktur akibat tangan, dan kaki dari tingkat
excreating kalsium dari tulang kalsium yang abnormal
18
Batu ginjal Kelesuan karena rendahnya
Sering buang air kecil sebagai tingkat hormon paratiroid
akibat dari peningkatan kalsium Katarak developement
dalam urin (hiperkalsiuria) Sawan karena tingkat kalsium
yang rendah akut
19
Jauhkan trcheostomy set dan
suntik kalsium glukonat di
samping tempat tidur untuk
gangguan pernapasan dari
pembengkakan serta untuk
administrasi darurat kalsium
20
2.10 WOC HIPERPARATIROID
Sekunder
Primer
HIPERPARATIROID
21
MK: Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN HIPERPARATIROID
3.1 Pengkajian
Analisa Data :
22
terbentuk kista dan Resorpsi tulang naik
trabekula pada tulang.
Demineralisasi tulang
Resiko cidera
DS: Pasien mengaku sulit Reabsorbsi PTH ginjal Perubahan eliminasi urin
berkemih
Hiperkalsinuria
DO: Hasil pemeriksaan
menunjukkan pasien terkena
batu ginjal Nefrolithiasis,nefrokalsinosis
Oklusi tubulus
23
DO: BB pasien turun, badan
tampak lemah, porsi makan
Pankreatitis
tersisa setengah
Mual,muntah
Pemadatan feses
DO: Bising usus menurun
Konstipasi
3.2 Diagnosa
Diagnosa Keperawatan
3.3 Intervensi
1) Diagnosa: Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan
demineralisasi tulang yang mengakibatkan fraktur patologi
24
Tujuan: Klien tidak mengalami cedera dibuktikan dengan tidak terjadinya
fraktur patologi akibat penipisan tulang yang dialami klien
Kriteria Hasil:
Klien dapat beraktifitas dengan aman (dengan bantuan ataupun
tanpa bantuan)
Klien tidak jatuh dan fraktur tidak terjadi
Hasil pemeriksaan menunjukkan pembentukan kista dan
trabekula pada tulang berkurang
Klien tidak mengalami cedera akibat penipisan tulang yang
dialaminya
No. Intervensi Rasional
2. Kolaborasi:
Pemberian obat anti nyeri dan Nyeri yang dirasakan klien
obat untuk mencegah penipisan dapat berkurang sehingga
tulang yang semakin parah klien mudah beraktifitas dan
tidak merasa takut akibat dari
penipisan tulang yang
dialaminya
25
4. Atur aktivitas yang tidak Aktivitas yang terlalu berat
melelahkan untuk klien akan beresiko menimbulkan
kelelahan dan kelemahan fisik
klien.
Kriteria Hasil:
Klien dapat BAK secara rutin dengan haluaran urin dalam batas
normal
Klien memiliki asupan cairan dan haluaran urin 24 jam yang
seimbang
Fungsi ginjal klien tidak ada masalah
No. Intervensi Rasional
26
4. Monitoring jumlah dan Jumlah dan karakteristik
karakterisitik haluaran urin klien menentukan sudah normalkah
haluaran urin klien
Kriteria Hasil:
Mual berkurang
Berat badan klien kembali normal seperti sebelum masuk rumah
sakit
Mengembalikan pola makan klien dalam keadaan normal
No. Intervensi Rasional
27
tidak sedap akan memicu rasa
mual
5. Kolaborasi:
Pemberian obat anti-emetik Obat anti-emetik bisa
sebelum makan (jika diperlukan) mengurangi rasa mual pada
klien
Kriteria Hasil:
Klien dapat BAB dalam batas normal
Konstipasi yang dialami klien menurun
Intake dan Output sama
No. Intervensi Rasional
4. Kolaborasi:
Pemberian pelunak feses atau Jika konstipasi menetap
laktasif jika diperlukan setelah dilakukan tindakan
28
maka harus dibantu dengan
pemberian obat
3.4 Evaluasi
1) Klien terhindar dari resiko cedera dan fraktur patologi tidak terjadi
2) Pembentukan kista dan trabekula pada tulang berkurang
3) Eliminasi urin klien membaik ditandai dengan asupan cairan dan haluaran
urin seimbang
4) Berat badan klien kembali normal seperti sebelum MRS
5) Nafsu makan klien kembali normal dan klien tidak lagi merasa mual
6) Klien dapat BAB setiap hari, asupan dan haluaran seimbang.
29
BAB 4
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
31