Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM BIOKIMIA
ACARA II
UJI LEMAK/MINYAK DAN BILANGAN PEROKSIDA

Oleh :
ANA TSALISA F
26040117140092
IK-C/2/Kel. 7

Asisten:
WITA KRISTIANTY SIRAIT
26020115120007

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2018
LEMBAR PENILAIAN DAN PENGESAHAN

No. Materi Nilai


1 Pendahuluan
2 Tinjauan Pustaka
3 Materi dan Metode
4 Hasil
5 Pembahasan
6 Penutup
7 Daftar Pustaka
8 Lampiran
TOTAL

Semarang, 26 Maret 2018

Asisten Praktikum Praktikan

Wita Kristianty Sirait Ana Tsalisa F


26020115120007 26040117140092

Mengetahui,
Koordinator Asisten

Nada Kristiani Ginting


26020114140085
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu kelompok senyawa organik yang terdapat dalam tumbuhan,
hewan atau manusia dan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia ialah lipid.
Lipid didefinisikan sebagai senyawa organik yang terdapat dalam alam serta tidak
larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut non-polar seperti suatu hidrokarbon atau
dietil eter.
Lemak dan minyak merupakan salah satu sumber energi yang penting bagi
tubuh untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Lemak digolongkan menjadi dua,
yaitu lemak jenuh, serta lemak tidak jenuh. Minyak goreng berfungsi sebagai
media penghantar panas untuk mempercepat proses pematangan. Penggunaan
minyak untuk pengolahan bahan pangan dapat memberikan tambahan kalori,
memperbaiki tekstur pangan, memberikan tampilan fisik kecoklatan dan
meningkatkan citarasa bahan pangan
Lipid dari sampel didapat dari proses uji lemak atau minyak melalui
prosess titrasi. Proses uji lemak atau minyak dilakukan melalui dua proses yaitu
proses titrasi bilangan penyabunan dan proses titrasi bilangan asam, kegiatan ini
bertujuan dalam melakukan proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif
yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa
aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara
ekstraksi yang tepat.
Sehubungan dengan dilakukannya praktikum uji lemak atau minyak kali ini
bertujuan agar mahasiswa kelautan dapat mengetahui sifat lemak dari berbagai
tumbuhan air yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Pengujian pada
praktikum ini guna mengetahui bilangan asam dan bilangan penyabunan pada
minyak ikan berbentuk tablet, yang banyak dikonsumsi sebagai vitamin. Minyak
ikan ini diketahui mengandung omega yang memiliki banyak sekali manfaat bagi
tubuh konsumennya. Selain itu dilakukan juga penentuan derajat kerusakan atau
degradasi pada minyak jelantah. Minyak jelantah ini sendiri adalah minyak yang
telah digunakan beberapa kali sehingga asam lemak tak jenuh yang dimiliki telah
rusak.

1.2. Tujuan
1. Menentukan bilangan asam dan bilangan penyabunan
2. Menentukan bilangan peroksida

1.3. Manfaat
1. Mengetahui bilangan penyabunan yang terdapat dalam bahan pangan
khususnya minyak ikan.
2. Mengetahui bilangan asam yang terdapat dalam bahan pangan khususnya
minyak ikan.
3. Mengetahui cara menentukan bilangan penyabunan dan bilangan asam
dengan cara titrasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asam Lemak


Lemak/minyak merupakan asam karboksilat/asam alkanoat jenuh alifatis
(tidak terdapat ikatan rangkap C=C dalam rantai alkilnya, rantai lurus, panjang tak
bercabang) dengan gugus utama –COOH dalam bentuk ester/gliserida yaitu
sesuatu jenis asam lemak atau beberapa jenis asam lemak dengan gliserol suku
tinggi. Asam lemak adalah Asam lemak merupakan sekelompok senyawa
hidrokarbon yang berantai panjang dengan gugus karboksilat pada ujungnya.
Asam lemak dibagi menjadi dua berdasarkan kejenuhannya, yaitu asam lemak
jenuh dan asam lemak tak jenuh. Bersama-sama dengan gliserol, asam lemak
merupakan penyusun utama minyak nabati atau lemak dan merupakan bahan baku
untuk semua lipid pada makhluk hidup. (Dewi et al., 2015).
Minyak dan lemak merupakan hal yang kita kenal setiap hari. Lemak yang
lazim meliputi mentega, lemak hewan dan bagian berlemak dari daging. Minyak
terutama berasal dari tumbuhan, termasuk jagung biji kapas, zaitun, kacang dan
biji kedelai, meskipun lemak berwujud padat dan minyak berwujud cair, keduanya
memiliki struktur dasar organik yang sama. Asam lemak yang terkandung dalam
minyak ikan umumnya berupa omega-3. Asam lemak omega-3 merupakan asam
lemak tak jenuh. Asam lemak omega-3 memiliki banyak sekali manfaat untuk
kesehatan tubuh (Gunawan et al., 2014).
Asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid) merupakan asam lemak yang
tidak memiliki ikatan rangkap yang ada pada atom karbon. Hal ini berarti bahwa
asam lemak jenuh tidak peka terhadap oksidasi, dan pembentukan radikal bebas.
Efek dominan dari asam lemak jenuh yaitu peningkatan kadar kolesterol total dan
K-LDL (kolesterol LDL). Asam lemak tak jenuh tunggal (Mono Unsaturated
Fatty Acid ) merupakan jenis asam lemak yang hanya mempunyai 1 ikatan
rangkap pada rantai atom karbonnya. Asam lemak ini termasuk pada golongan
asam lemak rantai panjang, yang kebanyakan ditemukan pada minyak zaitun,
minyak kedelai, dan kanola (Panagan et al., 2012).
2.2. Sifat-sifat Lemak
Menurut Herlina dan Hendra (2012), berdasarkan sifat mengering lemak
dan minyak terbagi menjadi 3, yaitu :
1. Minyak tidak mengering (non-dyring oil)
Minyak ini biasanya terdapat pada tipe minyak zaitun, contohnya
minyak zaitun, minyak buah persik, minyak kacang.
2. Minyak setengah mengering (semi- dryring oil)
Minyak ini memiliki daya mengering yang lebih lambat. Contohnya
pada minyak biji kapas dan minyak bunga matahari.
3. Minyak nabati mengering (drying –oil)
Minyak ini memiliki sifat dapat mengering jika teroksidasi dan akan
berubah menjadi lapisan yang tebal, bersifat kental dan membentuk
sejenis selaput jika dibiarkan pada udara terbuka. Contohnya pada
minyak kacang kedelai dan minyak biji karet.

Menurut Hoiriyah et al. (2016), Asam lemak tak jenuh tunggal dan jamak
termasuk asam lemak omega-3 EPA dan DHA berperanan menurunkan kadar
triasilgliserol dan kadar kolestrol darah serta meningkatkan ekskresinya,
meningkatkan fluiditas membran sel, membentuk eicosanoid yang menurunkan
trombosis dan berperanan penting dalam perkembengan otak dan retina. Minyak
ikan termasuk minyak ikan lele selain mengandung asam lemak tak jenuh, juga
mengandung asam lemak jenuh terutama asam palmitat. Penurunan kandungan
asam lemak jenuh minyak ikan akan meningkatkan peranannya dalam bidang
kesehatan seperti penurunan kadar kolesterol darah dan peningkatan
perkembangan otak dan retina mata pada bayi. Meningkatnya jumlah masyarakat
yang berkolestrol tinggi dan penyakit – penyakit yang menyertainya, maka akan
meningkatkan kebutuhan minyak ikan kaya asam lemak tak jenuh. Konsumsi
asam lemak tak jenuh dalam bentuk konsentrat lebih baik dibandingkan minyak
ikan asalnya.
2.2.1. Sifat Fisis Lemak
Menurut Sari et al. (2013), lemak memiliki beberapa sifat fisik, antara lain:
1. Lemak dari hewan biasanya berupa zat padat, sedangkan lemak dari
tumbuhan berbentuk zat cair jika pada suhu kamar.
2. Lemak yang memiliki titik lebur tinggi mengandung asam lemak
jenuh, sedangkan lemak yang memiliki titik lebur rendah mengandung
asam lemak tak jenuh.
3. Lemak yang mengandung asam lemak rantai pendek akan larut dalam
air, sedangkan lemak yang mengandung asam lemak rantai panjang
tidak akan larut dalam air.
Minyak atau lemak merupakan ester dari gliserol dan asam lemak,
tersusun atas campuran sebagian besar triasilgliserol dan sebagian kecil senyawa
seperti asam lemak bebas, sterol, posfolipid dan lipoprotein. Triasilgliserol
penyusun minyak atau lemak terbentuk dari asam lemak–asam lemak yang saling
berinteraksi satu sama lain sehingga mempengaruhi sifat dan wujud minyak
secara alamiah. Sifat fisik dan kimia lemak sangat ditentukan oleh profil
tiasilgliserol dan komposisi asam lemaknya. Tiasilgliserol dan asam lemak
penyusun minyak secara parsial mempunyai sifat fisik dan kimia tersendiri, oleh
karena itu pengaturan jenis dan jumlah tiasilgliserol dalam minyak akan sangat
merubah sifat alami minyak tersebut (Mursalin et al., 2015).
2.2.2. Sifat Kimia Lemak
Lemak dapat dihidrolisasi dengan dipanaskan pada temperatur dan tekanan
tinggi. Jika didihkan pada tekanan biasa hidrolisis berjalan labat. Hidrolisis yang
umum dilakukan dengan basa kuat akan menghasilkan gliserol dan garam yang
disebut sebagai sabun. Saponifikasi merupakan reaksi hidrolisis lemak menjadi
asam lemak dan gliserol dalam KOH (basa) sampai terhidrolisis sempurna. Pada
proses saponifikasi ini akan terbentuk suatu sabun. Reaksi hidrolisis ini berfungsi
dalam penentuan bilangan penyabunan. Bilangan penyabunan merupakan jumlah
miligram KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu gram lemak ataupun
minyak (Naomi et al., 2013).
Lipid tidak dapat larut dalam air, namun lipid dapat larut dalam pelarut
organik seperti eter, alkohol, dan sebagainya. Selain itu, lipid juga dapat
diekstraksi dari sel hewan ataupun sel tumbuhan. Secara kimia, penyusun
utamanya yaitu asam lemak. Sehingga dalam 100 gram lipid terdapat 95% asam
lemak. Lipid mengandung zat–zat yang dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti
asam lemak essential dari asam linoleat dapat dibuat asam linolenat dan asam
arakidonat (Sari et al., 2013).
Menurut Sukeksi et al. (2017), Hidrolisis dari trigliserida biasanya oleh
enzim lipase akan menghasilkan gliserol dan asam lemak. Fosfolipase merupakan
enzim yang menghidrolisis fosfolipid dan ternyata terdapat beberapa fosfolipase,
diantaranya fosfolipase A, yang dapat mengurai ikatan antara gliserol dan asam
lemak tidak jenuh. Fosfolipase B, menguraikan ikatan antara asam lemak baik
yang jenuh dan yang tidak. Fosfolipase C membebaskan ikatan antara gliserol
dengan fosfat-basa-nitrogen. Fosfolipase D akan membebaskan ikatan antara
basa-nitrogen dengan asam fosfat. Reaksi lemak dengan alkali dinamakan
penyabunan. Beberapa zat pada lipid tidak dapat disabunkan, akan tetapi larut
dalam eter. Karena sabun tidak larut dalam eter, maka kedua zat tersebut dapat
dipisahkan dengan memakai eter. Beberapa zat yang tidak dapat disabunkan
diantaranya, beberapa macam keton, alkohol dengan jumlah atom C yang tinggi,
steroid. Bila lemak dapat disabunkan maka dia mempunyai nilai yang disebut
angka penyabunan. Angka penyabunan ialah banyaknya mg KOH yang
diperlukan untuk menyabunkan 1 gr lemak atau minyak. Gunanya untuk
menentukan berat molekul lemak atau minyak tersebut.

2.3. Degradasi Lemak


Dalam menentukan derajat kerusakan atau degradasi yang terdapat pada
lemak ataupun minyak dapat digunakan dengan beberapa cara seperti penentuan
bilangan asam, bilangan penyabunan, dan bilangan peroksida. Namun, angka
peroksida merupakan nilai yang paling penting untuk penentuan derajat kerusakan
yang terdapat pada minyak. Hal tersebut terjadi karena asam lemak tak jenuh
mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga dapat terbentuk peroksida.
Semakin kecil bilangan peroksidanya maka menandakan kualitas minyak tersebut
semakin baik (Panagan et al., 2012).
Menurut Sari et al. (2013), termasuk kedalam sembilan bahan pokok yang
dikomsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Minyak goreng yang dihasilkan dari
bahan yang berbeda akan memiliki stabilitas yang berbeda pula, hal ini karena
stabilitas minyak goreng dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu fakor yang
mempengaruhi yaitu penyebaran ikatan rangkap, derajat ketidak jenuhan asam
lemak yang dikandungnya, dan bahan-bahan yang dapat mempercepat atau
memperlambat proses kerusakan minyak.
Lintas degradasi terhadap senyawa alkana (salah satu komponen minyak
mentah) terjadi secara aerobik dengan melibatkan oksigen sebagai akseptor
elektron eksternal. Lemak dapat larut dalam pelarut organik. Pelarut organik
tersebut yaitu kloroform, eter, dan benzen. Lemak merupakan kelompok senyawa
organik yang terdapat dalam tumbuhan, hewan, bahkan manusia. Pada kehidupan
sehari-hari lemak dapat terkandung dalam minyak goreng, margarin, dan juga
mentega (Istiqomah et al., 2014).

2.4. Bilangan Peroksida


Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa
oksidasi dan hidrolitik. Diantara kerusakan minyak yang mungkin terjadi ternyata
kerusakan karena autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa.
Usaha untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak dapat dinyatakan sebagai
angka peroksida atau angka asam thiobarbiturat. Bilangan peroksida merupakan
nilai untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak goreng. Bilangan
peroksida dapat meningkat akibat pemanasan minyak yang berlebihan sehingga
minyak akan teroksidasi menghasilkan za–zat radikal bebas. Selain itu adanya
frekuensi penggorengan yang berulang kali akan menghasilkan senyawa yang
dapat mengganggu kesehatan yang menyebabkan penyakit apabila dikonsumsi
dalam waktu yang lama, salah satunya adalah kanker (Islamiah, 2015).
Bilangan peroksida merupakan jumlah senyawa peroksida yang terdapat di
dalam minyak. Bilangan peroksida dapat dinyatakan dengan miliequivalen
oksigen aktif yang terdapat dalam 1 kg minyak. Akibat reaksi oksidasi lemak,
senyawa peroksida akan terbentuk, terutama pada lemak yang mengandung
asam lemak tidak jenuh. Radikal bebas yang terbentuk pada tahap awal
reaksi oksidasi dapat bereaksi dengan oksigen dan menghasilkan senyawa
peroksida. Akibatnya keberadaan senyawa peroksida dapat dijadikan sebagai
indikator kerusakan lemak akibat proses oksidasi (Cahya, 2014).
Peroksida menunjukan suatu tanda ketika terdapat kerusakan pada minyak
akibat oksidasi yang menyebabkan bau aroma tidak sedap pada minyak. Ukuran
dari ketengikan tersebut dapat dicari dengan menentukan bilangan peroksida.
Semakin tinggi suatu bilangan peroksida maka akan semakin tinggi pula
ketengikannya. Prinsip pada bilangan peroksida yaitu senyawa dalam lemak akan
dioksidasi oleh Kalium lodida yang dilepaskan dititrasi dengan do-sulfat.
Bilangan peroksida dapat digunakan untuk menunjukkan derajat oksidasi dari
suatu minyak atau lemak, yakni sejauh manakah minyak atau lemak tersebut telah
mengalami oksidasi (Hutabalian, 2015).

2.5. Bilangan Penyabunan


Bilangan penyabunan adalah jumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk
menyabunkan 1 g lemak. Sedangkan angka penyabunan adalah angka yang
dihasilkan dar proses penyabunan yang menunjukkan berat molekul lemak dan
minyak secara kasar .minyak yang disusun oleh asam lemak berantai karbon yang
pendek berarti mempunyai berat molekul ytang relatif kecil, akan mempunyai
angka penyabunan yang besar dan sebaliknya bila minya mempunyai berat
molekul yang besar ,mka angka penyabunan relatif kecil. Larutan KOH yang
bereaksi dapat diketahui dari alkali yang tertinggal yang ditentukan dengan titrasi
menggunakan HCL. Larutan alkali yang tinggi ditentukan dengan titrasi
menggunakan HCL sehingga KOH yang bereaksi dapat diketahui. Besarnya
jumlah ion yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tak
jenuh (Budimarwanti, 2011).
Angka penyabunan menunjukkan berat molekul lemak dan minyak secara
kasar. Minyak yang disusun oleh asam lemak berantai karbon yang pendek berarti
mempunyai berat molekul yang relatif kecil, akan mempunyai angka penyabunan
yang besar dan sebaliknya bila minyak mempunyai berat molekul yang besar,
maka angka penyabunan relatif kecil. Jika minyak memiliki bobot molekul
rendah, maka nilai bilangan penyabunan yang dimilikinya tinggi. Sedangkan
ketika minyak yang memiliki bobot molekul tinggi, maka akan memiliki nilai
bilangan penyabunan yang rendah. Minyak berantai panjang memiliki bobot
molekul yang lebih tinggi daripada asam lemak berantai pendek. Kenaikan bobot
molekul akan ditandai dengan kenaikan titik didih (Cahya, 2014).
Saponifikasi dapat dikatakan sebagai proses hidrolisis basa terhadap lemak
dan minyak. Reaksi saponifikasi bukan merupakan reaksi kesetimbangan. Hasil
mula – mula dari penyabunan adalah karboksilat karena campurannya bersifat
basa. Karboksilat berubah menjadi asam karboksilat setelah campuran diasamkan.
Produknya yaitu sabun yang terdiri dari garam asam-asam lemak. Fungsi sabun
dalam keanekaragaman cara adalah sebagai bahan pembersih. Sabun menurunkan
tegangan permukaan air, sehingga memungkinkan air untuk membasahi bahan
yang dicuci dengan lebih efektif. Sabun bertindak sebagai suatu zat pengemulsi
untuk mendispersikan minyak dan sabun teradsorpsi pada butiran kotoran. Jika
suhu dinaikkan maka laju reaksi semakin besar karena kalor yang diberikan akan
menambah energi kinetik partikel pereaksi, akibatnya jumlah dari energi
tumbukan bertambah besar (Naomi et al., 2013).

2.6. Bilangan Asam


Menurut Cahya (2014), angka penyabunan menunjukkan berat molekul
lemak dan minyak secara kasar. Minyak yang disusun oleh asam lemak berantai
karbon yang pendek berarti mempunyai berat molekul yang relatif kecil, akan
mempunyai angka penyabunan yang besar dan sebaliknya bila minyak
mempunyai berat molekul yang besar, maka angka penyabunan relatif kecil. Hal
ini juga dapat menyebabkan kerusakan oksidatif lemak karena asam lemak bebas
lebih mudah teroksidasi jika dibandingkan dalam bentuk esternya. Jumlah asam
lemak bebas pada minyak dapat ditunjukkan dengan bilangan asam dan asam
lemak bebas. Bilangan asam ditentukan dengan cara melarutkan asam lemak
bebas yang terdapat pada minyak dengan menggunakan etanol. Setelah jumlah
bilangan asam ditentukan dengan jumlah NaOH yang digunakan untuk
menetralkan larutan tersebut dengan titrasi.
Menurut Nurhasnawati et al. (2015), angka asam menunjukkan banyaknya
asam lemak bebas yang terdapat dalam suatu lemak atau minyak. Angka asam
dinyatakan sebagai jumlah miligram NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan
asam lemak bebas yang terrdapat dalam satu gram lemak atau minyak. Asam
lemak bebas berasal dari suatu proses hidrolisis minyak ataupun dapat dari
kesalahan proses pengolahan. Kadar asam lemak yang tinggi berarti kualitas
minyak tersebut semakin rendah. Penentuan kadar asam lemak bebas dalam
minyak ini memiliki tujuan untuk menentukan kualitas minyak tersebut.
Penentuan asam lemak dapat dipergunakan untuk mengetahui kualitas dari
minyak atau lemak, hal ini dikarenakan bilangan asam dapat dipergunakan untuk
mengukur dan mengetahui jumlah asam lemak bebas dalam suatu sampel.
Semakin besar angka asam maka dapat diartikan bahwa kandungan asam lemak
bebas dalam sample semakin tinggi, besarnya asam lemak bebas yang terkandung
dalam sampel dapat diakibatkan dari proses hidrolisis ataupun karena proses
pengolahan yang kurang baik.

2.7. Pelarut
Menurut Chang (2004), kelarutan merupakan ukuran banyaknya zat
terlarut yang akan melarut dalam pelarut pada suhu tertentu. Ungkapan yang
sejenis melarutkan yang sejenis membantu kita memprediksi kelarutan zat dalam
pelarut. Ungkapan ini menyatakan bahwa dua zat dengan jenis yang sama dan
besar gaya antar molekul yang sama akan cenderung saling melarutkan. Secara
umum kita meramalkan bahwa senyawa ionik akan jauh lebih larut dalam pelarut
polar seperti air, cairan ammonia, dan cairan hidrogen jika dibandingkan dengan
pelarut non polar. Hal ini terjadi karena molekul pelarut non polar tidak memiliki
momen dipol, molekul seperti ini tidak dapat secara efektif mensolvasi ion Na+
dan ion Cl-.
2.7.1. Pelarut Polar
Efektivitas ekstraksi suatu senyawa oleh pelarut sangat tergantung kepada
kelarutan senyawa tersebut dalam pelarut, sesuai dengan prinsip like dissolve like
yaitu suatu senyawa akan terlarut pada pelarut yang memiliki sifat yang sama.
Penggunaan jenis pelarut atau kekuatan ion pelarut dapat memberikan pengaruh
terhadap rendemen senyawa yang dihasilkan. Pelarut polar cenderung universal
digunakan karena walaupun bersifat polar, tetap dapat mencari senyawa-senyawa
dengan tingkat kepolaran yang lebih rendah. Pelarut yang bersifat polar dapat
mengekstrak senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid kuartener, komponen
fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam amino dan glikosida. Pemilihan jenis pelarut
harus mempertimbangkan beberapa faktor antara lain selektivitas, kemampuan
untuk mengekstrak kemudahan untuk diuapkan (Kemit et al., 2012).
Ahli kimia zaman dahulu mencoba menemukan pelarut universal yang
dapat melarutkan segala macam zat. Mereka tidak menemukan zat pelarut yang
lebih baik dari air. Suatu senyawa tidak perlu berbentuk senyawa ionic agar dapat
larut dalam air. Senyawa polar merupakan senyawa yang dapat larut dalam pelarut
polar seperti air. Bahkan molekul sebesar protein dapat larut dalam air jika
memiliki daerah ionic dan daerah polar pada permukaanya. Air yang merupakan
contoh dari pelarut polar memegang peranan penting karena air merupakan
pelarut yang sangat serbaguna (Cairns, 2004).
2.7.2. Pelarut Semi Polar
Pelarut semi polar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan senyawa –
senyawa semi polar dari tumbuhan. Mayoritas metabolit sekunder bersifat semi
polar sehingga larut dalam pelarut organik. Adapun kebanyakan golongan
terpenoid bersifat non polar sehingga larut ke dalam pelarut non polar dan semi
polar. Metode kromatografi baik fase normal atau terbalik yang saat ini diterapkan
dan berkembang kebanyakan kompatibel dengan senyawa semi polar, sehingga
senyawa yang sangat polar atau non polar tidak kompatibel dengan metode
pemisahan kromatografi (Saifudin, 2014).
Pelarut semi polar dapat mengekstrak senyawa fenol, terpenoid, alkaloid,
aglikon dan glikosida. Pelarut semi polar mempunyai tingkat kepolaran yang lebih
rendah dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan
senyawa-senyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah: aseton, etil
asetat, kloroform (Hidayah dan Imaduddin, 2015).
Etil asetat merupakan pelarut yang bersifat semi polar sehingga dapat
menarik senyawa yang bersifat polar maupun non polar seperti contohnya
senyawa aglikon maupun glikon dari kulit buah manggis. Tetapi etil asetat sebagai
pelarut semi polar tidak mampu menarik senyawa yang terlalu polar maupun
terlalu non polar. Etil asetat juga sering disintesis dengan larutan seperti
katalisator cair asam sulfat (Putri et al., 2013).
2.7.3. Pelarut Non Polar
Larutan n-heksana merupakan salah satu contoh dari pelarut nonpolar yang
biasa digunakan dalam sebuah percobaan ekstraksi. Pelarut n-heksana dapat
digunakan untuk mengekstrak senyawa metabolit sekunder yang bersifat nonpolar
seperti lemak, sterol, kumarin dan beberapa terpenoid. Aglikon steroid yang
bersifat nonpolar menyebabkan steroid lebih mudah larut pada pelarut nonpolar,
sehingga steroid terdeteksi pada ekstrak n-heksana (Tanaya et al., 2015).
Pelarut non polar merupakan senyawa yang terbentuk akibat adanya suatu
ikatan antara elektron pada unsur-unsur yang membentuknya. Hal ini terjadi
karena unsur yang berikatan mempunyai nilai elektronegatifitas yang sama.
Senyawa non polar biasanya tidak larut dalam air dan pelarut polar lainnya, tidak
memiliki kutub (+) dan kutub (-). Titrasi yang sangat bagus telah dilakukan dalam
pelarut non polar seperti benzene dan kloroform yang tidak mendorong diasosiasi
ke tingkat yang cukup. Pelarut non polar baik untuk mengekstrak senyawa tidak
larut dalam pelarut polar seperti heksana (Day and Underwood, 2002).

2.8. Titrasi
Menurut Petrucci (2011), titrasi yaitu studi kuantitatif mengenai reaksi
penetralan asam-basa. Titrasi merupakan reaksi yang dilakukan dengan proses
menambahkan satu larutan ke larutan lain yang sangat terkendali. Tujuannya yaitu
untuk mengehentikan titrasi pada titik ketika kedua reaktan telah bereaksi dengan
sempurna, suatu kondisi yang disebut titik ekuivalen (Equivalnce Point). Kunci
pada setiap titrasi adalah terdapat pada titik ekuivalennya saat kedua reaktan telah
bergabung secara sempurna.
Titrasi merupakan suatu proses analisis dimana suatu volum larutan standar
ditambahkan ke dalam larutan dengan tujuan mengetahui komponen yang tidak
dikenal. Larutan standar adalah larutan yang konsentrasinya sudah diketahui
secara pasti. Berdasarkan kemurniannya larutan standar dibedakan menjadi primer
dan sekunder. Larutan standar primer adalah larutan standar yang dipersiapkan
dengan menimbang dan melarutkan suatu zat tertentu dengan kemurnian tinggi.
Larutan standar sekunder adalah larutan yang dipersiapkan dengan menimbang
dan melarutkan suatu zat tertentu dengan kemurnian relatif rendah sehingga
konsentrasi diketahui dari hasil standardisasi (Day dan Underwood, 1999).
Titrasi merupakan suatu prosedur yang bertujuan untuk menentukan
banyaknya suatu larutan dengan konsentrasi yang telah diketahui. Titrasi yang
menyandarkan pada jumlah larutan disebut titrasi volumetri, sedangkan titrasi
yang melibatkan asam dan basa disebut titrasi aside alkalimetri. Titrasi asam–basa
memerlukan indikator untuk menunjukan perubahan warna pada setiap interval
derajat kesamaan (pH). Namun indikator sintesis yang digunakan selama ini
memiliki beberapa kelemahan seperti polusi kimia, ketersediaan dan biaya
produksi yang mahal. Pada titrasi asam–basa larutan indikator yang digunakan
biasanya merupakan larutan dengan pH sekitar 7 (Nuryanti et al., 2013).
2.8.1. Titrasi Asidimetri
Asidimetri merupakan tipe reaksi penetralan yang ada pada titrasi asam
basa. Asidimetri adalah penentuan atau pengukuran konsentrasi larutan asam
dalam suatu campuran. Biasanya dilakukan dengan cara titrasi bersama dengan
larutan basa yang telah diketahui konsentrasinya, yaitu larutan baku dan suatu
indikator untuk menunjukkan titik akhir suatu titrasi. Titik dalam titrasi dimana
titran yang telah ditambahkan cukup untuk bereaksi secara tepat dengan senyawa
yang ditentukan disebut titik ekuivalen. Contoh pelaksanaan yang dilakukan
dengan titrasi asidimetri yaitu untuk senyawa yang tidak dapat larut dalam air
dapat larut dalam pereaksi yang mudah didapatkan. Jadi, untuk menentukan
kadarnya tidak kesulitan mencari pelarut yang lain untuk melarutkannya dan
pegerjaannya tidak memerlukan peralatan khusus (Choiril dan Agustina, 2014).
Analisa titrimetri yang menggunakan asam kuat sebagai titrannya adalah
titrasi asidimetri. Asidimetri menggunakan larutan standar asam untuk
menentukan basa. Asam-asam yang biasanya dipergunakan adalah HCl, asam
cuka, asam oksalat, asam borat. Selain ion kalsium dan magnesium, penyebab
kesadahan juga bisa disebabkan ion logam lain maupun garam–garam bikarbonat
dan sulfat. Metode paling sederhana untuk menentukan kesadahan air adalah
dengan metode penyabunan. Dalam air lunak, sabun akan menghasilkan busa
yang cukup banyak. Pada air sadah, sabun tidak akan menghasilkan busa sama
sekali atau hanya menghasilkan sedikit busa. Cara yang lebih kompleks adalah
dengan melakukan titrasi. Kesadahan air total dinyatakan dalam satuan ppm berat
pervolume (Yurida et al., 2013).
Asidimetri merupakan analisis volmetrik yang menggunakan larutan baku
asam untuk menentukan jumlah basa yang ada. Metode ini digunakan apabila
sampel yang dipakai berupa larutan yang bersifat basa. Basa dapat berupa basa
bebas ataupun larutan garam yang terhidrolisis yang berasal dari asam lemah
dengan menggunakan larutan standart asam. Basa merupakan senyawa yang
apabila dilarutkan dalam air akan teruai menjadi ion hidroksida (Lisnawati, 2015).
2.8.2. Titrasi Alkalimetri
alkalimetri pada prinsipnya adalah analisa titrimetri yang menggunakan
basa kuat sebagai titrannya dan analitnya adalah asam atau senyawa yang bersifat
asam. Titrasi alkalimetri disebut juga sebagai kebalikan dari asidimetri yaitu titrasi
yang menggunakan larutan standar basa untuk menentukan asam. Saat mengukur
berapa ml larutan asam bertitar tertentu yang diperlukan untuk menetralkan
larutan basa yang kadar atau titernya belum diketahui maka dilakukan titrasi
asidimetri (Yurida et al., 2013).
Alkalimetri yaitu metode titrasi yang berdasarkan pada reaksi netralisasi.
Netralisasi adalah reaksi antara ion hidrogen (berasal dari asam) dengan ion
hidroksida (berasal dari basa) yang membentuk molekul air. Selain itu alkalimetri
dapat didefinisikan sebagai metode untuk menetapkan kadar asam dari suatu
bahan dengan mnggunakan larutan basa yang deketahui kadarnya. Asam, menurut
Arrhenius, adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air terurai menjadi ion
hidrogen (H+) dan anion, sedang basa adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam
air terurai menjadi ion hidroksida (OH-) dan kation. Teori ini hanya berlaku untuk
senyawa anorganik yang larut dalam air (Andari, 2013).
Menurut Handayani dan Agustina (2015), alkalimetri termasuk dalam
reaksi netralisasi yaitu reaksi antara ion hidrogen yang berasal dari asam dengan
ion hidroksida yang berasal dari basa untuk menghasilkan suatu air yang memiliki
sifat netral. Netralisasi dapat juga dikatakan sebagai reaksi antara pemberi proton
(asam) dengan penerima proton (basa). Titik akhir titrasi yaitu titik dimana saat
titrasi terjadi perubahan warna yang tetap dan tidak berubah lagi. Titik ekivalen
terjadi pada saat terjadinya perubahan warna indikator.
2.8.3. Titrasi Iodo-Iodimetri
Iodimetri merupakan metode analisis kuantitatif volumetri yang
berdasarkan reaksi oksidasi dimana senyawa dan pereaksinya bereaksi secara
langsung. Dalam proses pentitrasian, titran mengoksidasi titrat maka metode ini
termasuk dalam oksidimetri dan menggunakan penambahan indikator kanji di
awal titrasi. Titrasi iodometri merupakan salah satu jenis titrasi redoks (reduksi-
oksidasi) yang melibatkan iodium. Titrasi iodometri ini termasuk ke dalam titrasi
tak langsung yang dapat dipakai dalam penentuan senyawa-senyawa. Senyawa
tersebut dapat berupa senyawa yang memiliki potensial oksidasi yang lebih besar
bila dibandingkan dengan sistem iodida. Namun berbeda dengan titrasi iodometri
yang mereaksikan sampel dengan menggunakan iodium, sampel yang bersifat
oksidator direduksi dengan menggunakan KI berlebih (Asip dan Okta, 2013).
Menurut Wongkar et al. (2014), menyatakan bahwa titrasi iodometri
adalah metode analisis kuantitatif. Metode ini memiliki tujuan untuk melihat
kadar klorin dalam suatu larutan sampel. Saat metode titrasi ini klorin akan
mengoksidasi iodida yang akan menghasilkan iodium. Dalam reaksi redoks harus
selalu ada oksidator dan reduktor. Jika suatu unsur melepaskan electron, maka
harus ada suatu unsur yang bilangan oksidasinya berkurang atau menangkap
elektron.
Menurtut Masitoh (2014), titrasi iodimetri yaitu titrasi yang berdasarkan
reaksi oksidasi antara iodin sebagai pentiter dengan reduktor yang memiliki
potensial oksidasi lebih rendah dari sistem iodin-iodida. Pengertian Titrasi
iodimetri secara rincinya yaitu suatu titrasi yang berdasarkan reaksi oksidasi
antara iodin sebagai pentiter dengan reduktor yang memiliki potensial oksidasi
lebih rendah dari sistem iodin-iodida di mana sebagai indikator larutan kanji.
Titrasi dilakukan dalam suasana netral sedikit asam (pH 5-8).

2.9. Indikator
Menurut Indira (2015), Indikator artinya penunjuk. Biasanya indikator
asam basa berupa zat kimia yang mempunyai warna yang berbeda apabila
ditambahkan ke dalam larutan asam dan basa. Ada beragam jenis indikator asam
basa yang biasanya digunakan di laboratorium kimia, diantaranya adalah lakmus,
indikator universal, larutan indikator ( seperti fenolftalein, metil merah, brom
timol biru), dan indikator alam. Indikator alam merupakan jenis indikator yang
dibuat dari tumbuhan, baik dari bagian daun, bunga, buah, dan batang. Berbagai
jenis tumbuhan yang telah dimanfaatkan menjadi indikator alam diantaranya
adalah bunga sepatu, bougenvil, kunyit, rosella, dan kubis ungu. Salah satu jenis
tumbuhan yang berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi indikator asam basa
adalah karamunting.
Indikator amilum dipakai untuk titrasi redoks yang melibatkan iodine.
Amilum dengan iodine membentuk senyawa kompleks amilum-iodin yang
bewarna biru tua. Pembentukan warna ini sangat sensitive dan terjadi walaupun I2
yang ditambahkan dalam jumlah yang sangat sedikit. Selain itu indikator amilum
tidak mempengaruhi ph. Titrasi redoks yang biasa menggunakan indikator amilum
adalah iodimetri dan iodometri (Masitoh, 2014).
Menurut Lisnawati (2015), pada setiap reaksi titrasi, indikator merupakan hal
yang perlu diperhatikan. Indikator ditambahkan pada saat proses titrasi untuk
mengetahui titik ekuivalen. Titik ekuivalen adalah titik saat reaksi tepat
berlangsung sempurna. Indikator yang dipakai harus menunjukan ketentuan yang
jelas. Hal itu diperhatikan saat terjadinya titik akhir titrasi. Parameter yang
ditunjukan oleh indikator adalah ketika terdapat perubahan warna atau adanya
endapan yang terbentuk pada sampel.
2.9.1. Indikator Phenolptealin (PP)
Indikator dapat menunjukkan titik akhir dari suatu titrasi atau
menunjukkan jika titrasi sudah mencapai titik kesetimbangan. Indikator asam basa
yang sering digunakan di laboratorium untuk titrasi asam-basa merupakan
indikator sintetis. Contoh dari indikator sintesis sendiri adalah fenolftalein (PP).
Indikator PP ini adalah salah satu indikator asam basa yang mempunyai pH antara
8,2–10,0. Ketika indikator ini ditambahkan pada larutan asam dan netral, indikator
ini tidak akan menimbulkan warna, namun warnanya akan berubah menjadi merah
muda sampai merah muda keunguan apabila dimasukkan ke dalam larutan basa
(Ratnasari et al., 2016).
Phenolftalein adalah indikator titrasi yang lain yang sering digunakan, dan
fenolftalein ini merupakan bentuk asam lemah tidak berwarna dan ion-nya
berwarna merah muda terang.Penambahan ion hidrogen berlebih menggeser posisi
kesetimbangan ke arah kiri, dan mengubah indikator menjadi tak
berwarna.Penambahan ion hidroksida menghilangkan ion hidrogen dari
kesetimbangan yang mengarah ke kanan untuk menggantikannya – mengubah
indikator menjadi merah muda (Yurida et al., 2013)
2.9.2. Indikator Amilum
Indikator adalah suatu bahan yang dapat menunjukkan titik akhir suatu
titrasi. Indikator amilum merupakan salah satu indikator alami yang mudah
ditemukan. Amilum digunakan sebagai indikator karena amilum akan membentuk
ikatan dengan sampel berupa ikatan iod-amilum yang berwarna khas. Warna yang
umumnya akan muncul adalah warna biru, bahkan tidak jarang yang warnanya
biru kehitaman. Jika bahan mengandung karbohidrat, maka saat diberi amilum
akan berubah warna menjadi biru kehitaman (Novitriani dan Sucianawati, 2014).
Indikator amilum dapat digunakan pada percobaan penentuan bilangan
peroksida dan uji karbohidrat. Penambahan indikator amilum dilakukan sampai
terbentuk warna biru atau biru kehitaman pada sampel yang diberi amilum. Warna
biru kehitaman tersebut muncul akibat terbentuknya kompleks iodin-amilum.
Terbentuknya warna biru tersebut terjadi karena struktur molekul amilum yang
berbentuk spiral. Sehingga amilum tersebut akan mengikat molekul iodin dan
terbentuklah warna biru pada larutan sampel (Alfiany et al., 2013).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat


Hari, tanggal : Kamis, 15 Maret 2018
Waktu : 12.40 – 14.20 WIB
Tempat : Laboraturium Kimia Gedung E Lantai 1, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universias Diponegoro, Semarang.

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1. Alat Praktikum
Tabel 1. Alat Praktikum
No Nama Gambar Fungsi
1. Buret dan Statif Alat untuk titrasi

2. Gelas Ukur Untuk mengukur jumlah


larutan yang dibutuhkan

3. Erlenmeyer Tempat minyak dan


larutan lain yang akan
dititrasi

4. Pipet Tetes Alat untuk memindahkan


larutan

5. Pipet ukur Meneteskan larutan KI


6. Corong Alat untuk memindahkan
larutan ke buret

7. Kompor listrik Memanaskan larutan

8. Jarum Untuk memudahkan


membuka minyak ikan

9. Panci Wadah untuk meletakkan


air

10 Botol aquades Tempat aquades

11 Gelas tabung Wadah larutan

12 Penjepit Untuk membantu


memegang erlenmeyer
saat panas
13 Ruang asam Tempat menyimpan
larutan asam

14 Label Memberi tanda

15 Alat tulis Menulis hasil percobaan

16 Kamera Untuk
mendokumentasikan
kegiatan praktikum

17 Neraca Analitik Untuk menimbang sampel


3.2.2 Bahan Praktikum
Tabel 2. Bahan Praktikum
No Nama Gambar Fungsi
1. Minyak Ikan Sebagai sampel 1
bilangan asam dan
penyabunan

2. Minyak bekas Sebagai sampel 2 pada


(jelantah) peroksida

3. Larutan HCl 0,5 Untuk titrasi


N

4. Larutan Sebagai larutan


Na2S2O3 0,1N tambahan dan campuran

5. Larutan NaOH Digunakan untuk titrasi


0,1 N dan larutan blanko

6. Larutan KI Sebagai campuran buatan


jenuh peroksida
7. Indikator PP Sebagai indikator

8. Aquades Untuk kalibrasi buret,


dan membersihkan
Erlenmeyer

9. Etanol Sebagai larutan blanko

10. Asam Asetat Sebagai pelarut minyak


(jenuh) jelantah

11. Kloroform Sebagai pelarut minyak


(jenuh) jelantah

12. Amilum 1% Sebagai indikator

3.3. Metode
3.3.1. Metode uji bilangan penyabunan
1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Minyak ikan ditimbang dan dimasukkan pada salah satu erlenmeyer
menjadi larutan sampel.
3. NaOH 0,1 N diukur sebanyak 15ml pada 2 erlenmeyer.
4. Kedua erlenmeyer dipanaskan menggunakan panci yang berisi air
mendidih selama 2-3 menit.
5. Setelah dingin, larutan ditetesi dengan indikator PP sebanyak 2 tetes.
6. Kedua larutan dititrasi dengan HCl 0,5 N hingga terjadi perubahan
warna menjadi bening.
7. Hasil bilangan penyabunan dihitung dan dicatat
3.3.2. Metode uji bilangan asam
1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Minyak ikan ditimbang dan dimasukkan pada salah satu erlenmeyer
menjadi larutan sampel.
3. Etanol diukur sebanyak 15ml pada 2 erlenmeyer.
4. Kedua erlenmeyer dipanaskan menggunakan panci yang berisi air
mendidih selama 2-3 menit.
5. Setelah agak dingin, larutan ditetesi dengan indikator PP sebanyak 2 tetes.
6. Kedua larutan dititrasi dengan NaOH 0,1 N hingga terjadi perubahan
warna menjadi merah muda.
7. Hasil bilangan asam dihitung dan dicatat
3.3.3. Metode uji bilangan peroksida
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Minyak jelantah ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer
3. Larutan asam asetat + kloroform sebanyak 6 ml dimasukkan ke dalam
erlenmeyer kemudian ditambahkan larutan KI sebanyak 0,5 ml
4. Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dan dihomogenkan
5. Aquades sebanyak 6 ml ditambahkan ke erlenmeyer
6. Larutan Na2S2O3 dimasukkan ke dalam buret
7. Larutan di titrasi dengan Na2S2O3 0,1 N hingga terjadi perubahan warna
menjadi hampir bening
8. Amilum sebanyak 10 tetes ditambahkan kemudian dititrasi kembali
hingga warna kuning hilang
9. Volume hasil titrasi dicatat
10. Hasil titrasi dihitung untuk mendapat nilai bilangan peroksida
3.4. Diagram Alir
3.4.1. Penentuan Bilangan Penyabunan

Mulai

Siapkan alat dan bahan

Timbang minyak ikan dan masukan ke erlenmeyer.

Masukkan larutan NaOH 0,1 N kedalam erlenmeyer, sebanyak 15 ml

Panaskan larutan 2-3 menit diatas panci berisi air mendidih dan
erlenmeyer dipegang menggunakan penjepit

Masukkan larutan sampel dan larutan blanko indikator PP sebanyak 2


tetes

Masukkan larutan HCl ke buret lalu larutan dititrasi

Catat hasil titrasi dengan Vb untuk larutan blanko dan Vs untuk larutan
sampel
menjadi bening
Hitung hasil titrasi untuk mendapat nilai bilangan penyabunan

Selesai

Gambar 1. Metode Penentuan Bilangan Penyabunan


3.4.2.Penentuan Bilangan Asam

Mulai

Siapkan alat dan bahan

Timbang minyak ikan dan memasukannya ke erlenmeyer

Masukkan etanol ke dalam 2 erlenmeyer, masing masing 15 ml

Panaskan larutan selama 2-3 menit diatas panci berisi air mendidih dan
erlenmeyer dipegang menggunakan penjepit

Tambahkan larutan sampel dan larutan blanko, indikator PP sebanyak 2


tetes

Masukkan larutan NaOH 0,1 N ke buret lalu larutan dititrasi.

Catat hasil titrasi dengan Vb untuk larutan blanko dan Vs untuk larutan
sampel

Hitung hasil titrasi untuk mendapat nilai bilangan asam

Selesai

Gambar 2. Metode Penentuan Bilangan Asam


3.4.3. Penentuan Bilangan Peroksida

Mulai

Siapkan alat dan bahan

Timbang minyak jelantah sebanyak 1 gram dan memasukkan ke dalam


erlenmeyer

Masukkan larutan asam asetat + kloroform sebanyak 6 ml ke dalam


erlenmeyer kemudian menambahkan larutan KI sebanyak 6 ml

Tutup erlenmeyer dengan aluminium foil dan menghomogenkan


kemudian menambahkan aquades sebanyak 6 ml

Teteskan amilum sebanyak 10 tetes kemudian dititrasi kembali hingga


warna kuning hilang

Masukkan larutan Na2S2O3 0,1 N ke dalam buret lalu larutan di titrasi


hingga terjadi perubahan warna menjadi hampir bening

Hitung volume hasil titrasi untuk mendapat nilai bilangan peroksida

Selesai

Gambar 3. Metode Penentuan Bilangan Peroksida


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Penentuan Bilangan Penyabunan
(V2 −V1 ). N HCl. BM NaOH
Bilangan penyabunan = Berat Minyak
(5−4,4).0,5.40
= 0,38

= 52,63 gram
Jadi hasil bilangan penyabunannya adalah 52,63

(a) (b)
Gambar 3. (a) Sebelum ditritasi degan HCl, (b) Setelah dititrasi dengan HCl.

4.1.2. Penetuan Bilangan Asam


(V1 −V2 ). N NaOH. BM Etanol
Bilangan asam =
Berat Minyak
(4−2).0,1.46
= 0,43

= 21,39

(a) (b)
Gambar 4. (a) Sebelum dititrasi dengan NaOH, (b) Setelah dititrasi dengan
NaOH.
4.1.3. Penentuan Bilangan Peroksida
(V𝐵 −V𝑆 ). Np.8.100
Bilangan peroksida = Berat Minyak
(16,4−0)0,1.8.100
= 1,17

= 1121,36

(a) (b)
Gambar 5. (a) Sebelum dititrasi, (b) Setelah dititrasi.

4.2. Pembahasan
4.2.1. Penentuan Bilangan Penyabunan
Pada praktikum kali ini dilakukan penentuan bilangan penyabunan, yang
mempunyai tujuan untuk mencari jumlah milligram dari NaOH yang diperlukan
untuk menyabunkan lemak atau minyak. Lemak atau minyak yang digunakan
disini adalah minyak ikan. Prinsip kerja pada praktikum kali ini ialah ketika
minyak ikan dicampurkan dengan NaOH akan terjadi sebuah reaksi penyabunan,
dimana NaOH akan berekasi dengan trigliserida (tiga NaOH bereaksi dengan satu
molekul lemak. Larutan alkali yang tersisa akan ditentukan jumlahnya
menggunakan titrasi dengan larutan HCl.
Metode yang digunakan pada praktikum ini ialah teknik titrasi asidimetri
karena menggunakan larutan standar asam. Titrasi asidimetri adalah titrasi larutan
yang memiliki sifat basa ataupun garam yang terhidrolisis dengan larutan standar
asam. . Larutan blangko bagian penting dalam proses titrasi ini. Larutan blanko
berfungsi sebagai pembanding proses titrasi NaOH yang telah diberikan minyak
ikan dibandingkan dengan larutan NaOH yang tidak ditetesi oleh minyak ikan.
Larutan NaOH yang tidak ditetesi dengan minyak ikan inilah yang disebut dengan
larutan blangko.
Metode titrasi blanko merupakan salah satu cara membandingkan 2 buah
larutan untuk menguji bilangan penyabunan minyak ikan. Proses titrasi untuk
menentukan bilangan penyabunan yaitu dengan cara meneteskan sedikit demi
sedikit larutan HCl ke larutan sampel, dan berlaku untuk kedua larutan blanko.
Larutan NaOH merupakan larutan basa kuat yang memiliki fungsi untuk
menghidrolisiskan lemak/minyak sehingga dapat menghasilkan gliserol dan
garam asam lemak atau sabun. Untuk menghasilkan sabun yang keras digunakan
larutan NaOH, sedangkan untuk membuat sabun cair menggunakan larutan KOH.
NaOH sering digunakan dalam pembuatan sabun keras.
Titran dalam penentuan bilangan penyabunan ini adalah larutan HCL 0,5N
karena merupakan asam kuat dan telah diketahui konsentrasinya secara pasti
(larutan standar). Pengunaan HCl bertujuan untuk menentukan banyaknya NaOH
yang telah terpakai. Selain itu HCl juga digunakan untuk memisahkan produk
sabun dan gliserin.
Pada praktikum kali ini larutan indikator yang digunakan adalah larutan
indikator PP atau fenolftalein yang mempunyai rentang pH 8,3 -10. Penggunaan
PP bertujuan untuk untuk memberi perubahan warna apabila telah mencapai titik
ekuivalen. Pada saat indikator PP diteteskan pada sampel, larutan akan berubah
warna menjadi pink. Ketika larutan NaOH dititrasi dengan HCl maka ia akan
berubah menjadi bening. Hal ini menjadi tanda bahwa titrasi sudah selesai
dilakukan dan banyak NaOH yang tersisa akan didapatkan.
Metode penyabunan menunjukkan hasil berat molekul lemak atau minyak
secara kasar. Jika minyak yang tersusun oleh asam lemak berantai karbon pendek
maka ia akan memiliki berat molekul yang relatif besar, sedangkan jika ia
tersusun oleh asam lemak berantai karbon besar maka angka penyabunan akan
relatif kecil. Berdasarkan hasil yang didapat ialah sebesar 52,63. Maka dapat
disimpulkan bahwa minyak ikan yang digunakan memiliki rantai karbon yang
kecil.
Hasil yang didapatkan sebesar 52,63. Kesalahan yang terjadi pada praktikum
ini dapat terjadi karena human error. Hasil yang didapat dari kelompok kami
terlalu besar. Hal ini memiliki arti bahwa bilangan penyabunan atau jumlah HCl
yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1gram lemak bernilai positif. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa dengan penambahan minyak ikan akan mempengaruhi jumlah
HCl yang dibutuhkan pada proses titrasi, sehingga mempengaruhi nilai bilangan
basanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil praktikum ini ialah kesalahan dalam
meneteskan larutan HCl, hal ini mungkin pada saat NaOH telah mencapai titik
ekuivalen namun tetap dilanjutkan proses titrasinya sehingga larutan blanko lebih
banyak dari larutan NaOH yang sudah ditetesi minyak ikan. Faktor lainnya adalah
kesalahan dalam penuangan volume NaOH pada larutan blangko yang bias lebih
sedikit atau lebih banyak sehingga titik ekuivalen kedua larutan berbeda nilainya
sehingga V2 atau larutan sampel lebih dulu mencapai titik ekuivalen.

4.2.2. Penentuan Bilangan Asam


Pada praktikum kali ini dilakukan penentuan bilangan pengasaman,
penentuan bilangan asam ini mempunyai tujuan yakni untuk menganalisis jumlah
asam lemak bebas dalam suatu sampel sampai mencapai titik ekuivalen dengan
jumlah basa NaOH yang ditambahkan dalam titrasi. Bilangan asam dinyatakan
dalam jumlah mg basa yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas yang
terdapat dalam 1 gram minyak.
Metode yang digunakan pada praktikum ini ialah metode dari titrasi
alkalimetri hal ini dikarekan titrasi alkalimetri menggunakan larutan standar basa.
Metode titrasi yang digunakan adalah titrasi blanko yaitu dengan cara
membandingkan 2 buah larutan untuk menguji bilangan penyabunan minyak ikan.
Proses Titrasi pada saat menentukan bilangan penyabunan yaitu dengan cara
meneteskan sedikit demi sedikit larutan NaOH ke larutan sampel, baik yang sudah
ditetesi dengan minyak ikan maupun yang belum ditetesi oleh minyak ikan. Akhir
tanda pada praktikum ini adalah larutan sampel yang berubah warna menjadi
warna merah muda.
Pada dasarnya lemak adalah golongan lipida yang memiliki sifat non polar
dan hanya dapat larut dalam larutan organik. Etanol yang bersifat non-polar
digunakan sebagai campuran memiliki fungsi sebagai pelarut lemak sehingga
sampel dapat bereaksi dengan NaOH. Sebelum dititrasi dilakukan pemanasan
selama 3 menit yang memiliki tujuan agar lemak dapat lebih cepat beraksi dengan
NaOH.
Larutan basa kuat NaOH memiliki fungsi antara lain menghidrolisis
lemak/minyak sehingga didapatkan gliserol dan sabun. Untuk menghasilkan
sabun yang keras digunakan larutan NaOH, sedangkan untuk membuat sabun cair
menggunakan larutan KOH. Penggunaan NaOH juga sebagai pengukur seberapa
besar asam lemak yang bebas dari minyak.
Indikator yang digunakan iala PP atau fenolftalein. Indikator ini merupakan
asam lemah yang tidak berwarna. Pada larutan asam atau netral, indikator ini tidak
berwarna. Sedangkan jika dicampur dengan basa, ia akan berubah warna menjadi
merah muda. Rentang pH berada pada 8,3-10. Penggunaan PP sendiri ditujukan
untuk memberi perubahan warna apabila telah mencapai titik ekuivalen.
Alkohol rantai tunggal atau etanol dengan rumus kimia C2H5OH digunakan
sebagai pelarut bahan kimia dan juga merupakan stok umpan untuk sintesis
senyawa kimia lainnya. Ketika ditetesi pp etanol berwarna bening karena etanol
cenderung bersifat netral saat berada dalam air. Digunakan sebagai campuran
karena etanol memiliki fungsi sebagai pelarut lemak sehingga sampel dapat
bereaksi baik dengan NaOH. Proses pelarutan dapat semakin dipercepat dengan
proses pemanasan. Sehingga dilakukan pemanasan sekitar 2-3 menit.
Hasil yang diperoleh dari kelompok 7C melalui perhitungan rumus
bilangan pengasaman yaitu sebesar 21,39. Hasil yang didapatkan bernilai positif,
dimana asam lemak itu sendiri diperoleh dari proses penyabunan lemak/minyak
dengan senyawa alkil. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dengan penambahan
minyak ikan akan mempengaruhi jumlah NaOH yang dibutuhkan pada proses
titrasi, sehingga mempengaruhi nilai bilangan asamnya.
4.2.3. Penentuan Bilangan Peroksida
Penentuan bilangan peroksida digunakan untuk menganalisis kualitas dari
minyak. Penentuan bilangan peroksida dilakukan dengan cara mengukur jumlah
peroksida yang terbentuk dan dinyatakan dalam bilangan peroksida. Kerusakan
pada minyak sebagian besar disebabkan oleh proses oksidasi dan hidrolisis pada
minyak tersebut. Metode penentuan bilangan peroksida yang digunakan untuk
menentukan angka peroksida adalah metode titrasi iodometri. Pada percobaan ini
minyak bekas penggorengan dicampur dengan 6 mL larutan asam kloroform yang
berwujud cair tak berwarna. Fungsi dari penambahan kloroform adalah sebagai
pelarut. Karena minyak merupakan senyawa organic yang tidak larut dalam air
dan masuk pada golongan lipid, tetapi larut dalam pelarut organik non-polar
misalnya, Kloroform (CHCl3), benzena dan hidrokarbon lainnya, lemak dan
minyak dapat larut dalam pelarut tersebut. Hal ini disebabkan karena minyak
mempunyai polaritas yang sama dengan pelarut tersebut. Setelah penuangan
larutan ini, erlenmeyer ditutup menggunakan tisu dengan tujuan tidak terjadinya
penguapan yang nantinya mempengaruhi hasil yang akan diperoleh.
Penambahan KI dimaksudkan untuk memperbesar kelarutan pada I2 yang
sukar larut dalam air dan fungsi lain dari KI untuk mereduksi analit sehingga bisa
dijadikan standarisasi. Setelah ditambahkan KI sampel ditutup karena KI bersifat
higroskopis. Setelah penambahan air yang mengubah warna dari kuning jernih
menjadi kuning keruh. Fungsi dari penambahan aquades adalah agar media
bersifat asam sehingga iodida dapat dioksidasikan menjadi iod-iod bebas yang
mudah dititrasi dan supaya larutan tidak mudah menguap.
Na2 S2 O3 atau juga disebut natrium tiosulfat digunakan sebagai penitrasi
yang digunakan untuk menitrasi larutan sampel yang didalamnya mengandung
aquades, KI, dan 1 gram minyak. Na2 S2 O3 akan bereaksi dengan KI. Proses titrasi
dilakukan dengan cepat agar KI tidak menguap sehingga dapat ditemukan warna
titik akhir.
Indikator amilum digunakan pada penentuan bilangan peroksida untuk
memudahkan dalam menentukan titik akhir dari titrasi larutan sampel akan
berubah warna menjadi kuning pucat. Indikator amilum digunakan karena
sensitivitas warna biru tua yang mempermudah pengamatan pada titik akhir titrasi.
Amilum dan iodium memiliki kelarutan yang kecil dalam air. Penambahan dari
indicator dilakukan saat akhir agar amilum tidak mengikat atau membungkus
iodida.
V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1. Pada prakrikum ini dihasilkan bilangan asam sebesar 21,39 dan bilangan
penyabunan sebesar 52,63
2. Dihasilkan juga bilangan peroksida sebesar 1121,36

5.2. Saran
1. Diharapkan untuk praktikum yang akan datang praktikan lebih berhati –
hati dalam menggunakan alat–alat praktikum.
2. Diharapkan untuk kedepannya lebih memperhatikan dan mengikuti
prosedur yang sudah diberikan.
3. Mempelajari terlebih dahulu materi yang akan di praktikum kan hari itu.
DAFTAR PUSTAKA

Asip, F., dan Okta, T. 2013. Adsorbsi H2S Pada Gas Alam Menggunakan
Membran Keramik Dengan Metode Titrasi Iodometri. Jurnal Teknik
Kimia. 4 (19) : 22-30
Alfiany, H., S. Bahri, dan Nurakhirawati. 2013. Kajian Penggunaan Arang Aktif
Tongkol Jagung Sebagai Absorden Logam PB Dengan Beberapa
Aktivator Asam. Jurnal Natural Science. 2(3) : 75-76
Andari Susilowati. 2013. Perbandingan Penetapan Kadar Ketoprofen Tablet
secara Alkalimetri dengan Spektofometri-UV. Jurnal Eduhealth. 3
(2) : 114-119
Budimarwanti, C. 2011. Analisis Lipida Sederhana dan Lipida Kompleks.
Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Cahya, R.A. 2014. Verifikasi Metode Analisis Kimia Minyak Goreng. IPB :
SKRIPSI, Bogor.
Cairns, Donald. 2004. Intisari Kimia Farmasi. London ; Medical Publisher.
Chang, Raymond. 2004. Kimia Dasar. Jakarta ; Erlangga.
Day, R. A. and Underwood. 1999. Kimia Analisis Kuantitatif. Erlangga: Jakarta.
Dewi S. T., I. T. Maulana, dan L. Syafnir. 2015. Penanganan Pasca Panen Kelapa
Sawit (Penyemprotan dengan Natrium Benzoat dan Kalium Sorbat
terhadap Mutu CPO). Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3 (2) : 489-
498.
Gunawan E. R., D. Suhendra,D. Asnawati, I.M. Sudarma, dan I. Zulpiani. 2015.
Sintesis Asam-Asam Lemak Amida dari Ekstrak Minyak Inti Buah
Nyamplung(Calophyllum Inophyllum) melalui Reaksi Enzimatik.
Prosiding Seminar Nasional Kimia.147-154
Handayani T., Agustina A. 2015. Penetapan Kadar Pemanis Buatan (Natrium
Siklamat) pada Minuman Serbuk Instan dengan Metode
Alkalimetri.Jurnal Farmasi Sains dan Praktis. 1(1) :1 – 7
Herlina, N. dan M.H.S. Ginting. 2012. Lemak dan Minyak. USU Digital Library.
Hidayah, F.F., dan M. Imaduddin. 2015. Pemanfaatan Biomassa dan Limbah
Peternakan untuk Pembuatan Pupuk Organik Berasam Humat Tinggi.
PKLH-FKIP UNS. 3(18) : 122-129.
Hoiriyah A., Mappiratu, A. Ridhay. 2016. Optimalisasi Kondisi Pemurnian Asam
Lemak Tak Jenuh dari Minyak Ikan Lele Sangkuriang (Clarias
batracus) dengan Metode Kristalisasi Urea. J. Natural Science. 5(1) :
60-68.
Hutabalian, M. 2015. Perbandingan Bilangan Peroksida pada Minyak Jagung dan
Minyak Curah dengan Metode Iodometri. Program Studi Diploma Iii
Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Indira C. 2015. Pembuatan Indikator Asam Basa Karamunting. Kaunia. 9(1) : 1-
10.

Islamiah S. D. 2015. Efek Lama Pemanasan Terhadap Perubahan Bilangan


Peroksida Minyak Goreng yang Berpotensi Karsinogenik Pada
Pedagang Gorengan. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

Istiqomah, N., Sutaryono, dan F. Rahmawati. 2014. Pengaruh Lama Penyimpanan


Margarin terhadap Kadar Asam Lemak Bebas. Journal of Pharmacy
Science.
Kemit, N., I.W.R. Widarta, dan K.A. Nocianitri. 2012. Pengaruh Jenis Pelarut dan
Waktu Maserasi terhadap Kandungan Senyawa Flavonoid dan Aktivitas
Lisnawati, Y. 2015. Analisis Boraks pada Bakso yang Beredar di Kota Medan.
SKRIPSI, Medan.
Masitoh, S. 2014. Titrasi Iodometri. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Mursalin et al,. 2015. Karakteristik Sifat Fisika Kimia Minyak Kelapa. Jurnal
Teknologi Pertanian.

Naomi, P., A.M.L. Gaol, dan M.Y. Toha. 2013. Pembuatan Sabun Lunak dari
Minyak Goreng Bekas Ditinjau dari Kinetika Reaksi Kimia. Jurnal
Teknik Kimia. 19(2).
Novitriani, K. dan D. Sucinawati. 2014. Analisa Kadar Iodium pada Telur Asin.
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. 12(1) : 236-243.
Nurhasnawati H., Risa S., Nana C. 2015. Penetapan Kadar Asam Lemak Bebas
dan Bilangan Peroksida pada Minyak Goreng yang Digunakan
Pedagang Gorengan di JL. A.W Sjahranie Samarinda. Jurnal Ilmiah
Manuntung. 1(1) : 25-30
Nuryanti, Siti et al,. 2010. Indikator Titrasi Asam – Basa dari Ekstrak Bunga
Sepatu. Jurnal Agritech. 30(3).

Panagan, A.T., H. Yohandini, dan M. Wulandari. 2012. Analisis Kualitatif dan


Kuantitatif Asam Lemak Tak Jenuh Omega-3, Omega-6 dan
Karakterisasi Minyak Ikan Patin (Pangasius pangasius). Jurnal
Penelitian Sains. 15 (3C) : 102-106
Petrucci, R.H., Harwood, W.S., Herring, F.G., dan Madura, J.D. 2011. Kimia
Dasar: Prinsip-Prinsip dan Aplikasi Modern. Jakarta: Erlangga.
Putri, W. 2012. Skrining Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Kulit Buah Manggis
(Garcinia Mangostana L.). Jurusan Farmasi Fakultas Matematika Dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Bali.
Ratnasari, S., D. Suhendar, dan V. Amalia. 2016. Studi Potensi Ekstrak Daun
Adam Hawa (Rhoeo discolor) sebagai Indikator Titrasi Asam – Basa.
1(1) : 39-43.
Saifudin A. 2014. Senyawa dalam Metabolit Sekunder. Yogyakarta ; Deepublish.
Sari, A.P., S. Nurjannah, M.A. Syafar, M. Arman, K. Akbar, R. Adiatma, R.
Massolo, dan Z. Natsir. 2013. Ilmu Nutrisi Ternak Lemak dan Lipid.
MAKALAH, Makassar.
Sukeksi L., A.J. Sidabutar, C. Sitorus. 2017. Pembuatan Sabun dengan
Menggunakan Kulit Buah Kapuk (Ceiba petandra) sebagai Sumber Alkali.
J. Teknik Kimia. 6(3) : 1-6.
Tanaya, V., R. Retnowati, dan Suratmo. 2015. Fraksi Semi Polar Daun Mangga
Katsuri (Mangifera casturi Kosterm). Kimia Student Journal. 1(1) :
778-784.
Wongkar, I.Y., J. Abidjulu, dan F. Wehantouw. 2014. Analisis Klorin Pada Beras
Yang Beredar Dipasar Kota Manado. PHARMACON. 3 (3)
Yurida M., E. Afriani, dan S. Arita R. 2013. Pengaruh Kandungan CaO dari Jenis
Adsorben Semen terhadap Kemurnian Gliserol. Jurnal Teknik Kimia.
19(2) : 33-39.
DOKUMENTASI

Gambar 6. Saat sedang memanaskan Gambar 7. Saat menambahkan larutan


sampel. ke sampel.

Gambar 8. Saat memasukkan etanol. Gambar 9. Saat melakukan titrasi.

Gambar 10. Hasil titrasi yang pertama. Gambar 11. Saat menimbang larutan.

Anda mungkin juga menyukai