Anda di halaman 1dari 10

6.1.

Neraca Bahan Makanan Provinsi Banten Tahun 2017

Neraca Bahan Makanan (NBM) adalah tabel yang terdiri atas kolom-kolom yang memuat
berbagai informasi tentang situasi dan kondisi penyediaan pangan bagi penduduk suatu negara
atau daerah dalam kurun waktu tertentu. Neraca ini terbagi menjadi tiga kelompok penyajian yaitu
(1) Pengadaan atau penyediaan (supply); (2) Penggunaan atau pemakaian (utilization); dan (3)
Ketersediaan per kapita.

Neraca Bahan Makanan (NBM) Provinsi Banten tahun 2017 disusun dengan menggunakan data
produksi, cadangan pangan dan konsumsi pangan tahun 2016 dari Dinas-dinas terkait. NBM dapat
digunakan untuk menggambarkan sumberdaya pangan yang dimiliki Provinsi Banten untuk
memenuhi kebutuhan pangan sebanyak 12.203.148 jiwa penduduk. Ketersediaan pangan di
Provinsi Banten berasal dari hasil produksi pangan, cadangan pangan, serta pasokan/impor dari
wilayah lain.

Tabel 6 menyajikan data produksi pangan di Provinsi Banten tahun 2016. Produksi serealia
didominasi oleh beras dengan produksi GKG 2.188.996,5 ton. Produksi umbi-umbian terbanyak
yaitu ubi kayu dengan jumlah 74.163 ton. Buah-buahan yang diproduksi adalah buah alpokat,
mangga, pepaya, pisang, rambutan, sawo, belimbing, nangka/cempedak, jambu biji, jeruk besar,
jambu air dan lain-lain. Buah yang diproduksi paling banyak adalah buah pisang sebanyak
137.811,7 ton. Sayur yang diproduksi adalah kangkung, bayam, melinjo, petai, dan lain-lain. Sayur
yang paling banyak diproduksi adalah melinjo sebanyak 28.520 ton. Sumber protein hewani yang
diproduksi di Provinsi Banten mencakup hasil peternakan dan perikanan. Ikan bandeng adalah
jenis ikan yang paling banyak terdapat di Banten dengan jumlah produksi sebanyak 10.637,65 ton.
Adapun hasil peternakan paling tinggi produksinya adalah daging ayam ras sejumlah 77.688,3 ton
diikuti oleh produksi telur ayam ras sebanyak 45.981,2 ton. hasil peternakan paling tinggi
produksinya adalah daging ayam ras sejumlah 77.688,3 ton diikuti oleh produksi telur ayam ras
sebanyak 45.981,2 ton.

Produksi peternakan pada tahun 2016 mengalami banyak penurunan dibandingkan dengan
produksi tahun 2015. Hanya daging dan Telur ayam ras yang mengalami peningkatan. Tabel 8.
Hasil Produksi Produk Perikanan
Sebagian besar produksi hasil perikanan mengalami penurunan. Hanya jenis ikan Tuna Tongkol
Cakalang, Bandeng dan kekerangan yang mengalami peningkatan. Peningkatan nilai produksi
kekerangan disebabkan oleh data tahun 2015 hanya mencatat kerang jenis kerang darah. Produksi
perikanan juga ditambahkan dengan kerapu dan rumput laut pada tahun 2016. Selain data
produksi, terdapat pula data pendukung yaitu cadangan pangan yang bersumber dari Bulog. Data
cadangan pangan (beras) stok akhir tahun 2016 yaitu sebanyak 69.898.995 kg dengan stok awal
tahun sebanyak 56.253.530 kg.

6.2. Situasi Ketersediaan Pangan Provinsi Banten

Selanjutnya disusun NBM berdasarkan data produksi untuk mengetahui daya dukung
wilayah Provinsi Banten dalam menyediakan pangan bagi penduduknya atau tingkat kemandirian
pangan. Berdasarkan Tabel 10. diperoleh bahwa ketersediaan energi sebesar 2.502 kkal/kap/hari
(104,3% AKE), hal ini menunjukkan bahwa produksi pangan di Provinsi Banten dapat mencukupi
kebutuhan penduduk. Sumbangan energi terbesar berasal dari kelompok pangan pangan hewani
yaitu sebesar 53,7%. Produksi pangan mampu menyediakan protein sebesar 88,1 gr/kap/hr (68,6%
AKP). Hal itu menunjukkan bahwa produksi pangan di Provinsi Banten hanya mampu
menyediakan 139,8% protein dari kebutuhan ideal. Tabel 10 juga menunjukkan bahwa skor PPH
sebesar 64,7 artinya, pangan yang diproduksi di Provinsi Banten belum beragam jenisnya.

Produksi pangan yang berkontribusi besar terhadap ketersediaan pangan di Provinsi Banten
yaitu padi-padian, dan pangan hewani. Beras adalah salah satu kelompok padi-padian yang utama
diproduksi di Banten. Jenis pangan lainnya adalah jagung. Namun, produksinya belum mampu
memenuhi kebutuhan sumber karbohidrat dari kelompok padi-padian di Provinsi Banten.
Kemampuan produksi padi-padian baru mencukupi 44,5% kecukupan energi dari angka ideal 50%
atau.

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 50% kebutuhan pangan di Provinsi
Banten berasal dari kelompok pangan hewani terutama dari jenis rumput laut. Hal ini sesuai
dengan karakteristik letak geografis Provinsi Banten yaitu dikelilingi oleh lautan dimana bagian
utara, selatan dan barat berbatasan dengan lautan sehingga Provinsi Banten memiliki hasil
kekayaan laut yang melimpah terutama untuk jenis rumput laut dan hasil perikanan laut lainnya.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, sebagian besar rumput laut
yang dihasilkan digunakan untuk bahan baku industri dan diekspor ke Wilayah DKI Jakarta, hanya
sekitar 20% yang diolah di Wilayah Provinsi Banten.

Dengan demikian, untuk mengetahui situasi ketersediaan pangan di Provinsi Banten, tidak
cukup hanya dengan menggunakan data produksi saja. Diperlukan pula data ekspor impor
(perdagangan) pangan dan data cadangan pangan. Data perdagangan pangan belum tersedia di
Provinsi Banten sehingga untuk mengetahui jumlah pangan yang keluar dan masuk digunakan
estimasi dari data konsumsi pangan. Data konsumsi pangan yang digunakan bersumber dari
Susenas Provinsi Banten tahun 2016. Pendekatan yang digunakan yaitu pangan yang dikonsumsi
penduduk namun tidak dapat diproduksi secara mandiri, tentu diperoleh dari wilayah lain. Hal ini
berlaku sebaliknya, dimana jika konsumsi penduduk terhadap jenis pangan tertentu lebih rendah
dari produksinya, maka kelebihan produksi (over supply) akan dijual ke wilayah lain.

Angka konsumsi pangan penduduk diketahui melalui analisis Susenas Provinsi Banten
tahun 2016. Situasi konsumsi pangan Provinsi Banten tahun 2016 disajikan pada Tabel 11 berikut
ini. Berdasarkan tabel 11 diketahui konsumsi energi penduduk Provinsi Banten adalah sebesar
2.400 kkal/kap/hr (111,7% AKE), konsumsi protein 68,9 g/kap/hari (121% AKP) dan skor PPH
85,7 dari skor maksimal 100. Konsumsi tersebut tergolong tahan pangan karena berada pada
kisaran 90-110% AKE. Konsumsi pangan yang berlebih adalah padi-padian dan minyak/lemak
sedangkan konsumsi kelompok pangan lainnya masih belum memenuhi standar ideal.

Estimasi ekspor-impor pangan dapat dihitung dengan mengalikan angka konsumsi


(gr/kap/hari) dengan 110% dan jumlah penduduk. Angka tersebut kemudian dikurangi dengan data
produksi, jika selisihnya positif berarti pangan dipenuhi dari wilayah lain (impor). Jika selisihnya
negatif berarti pangan tersebut berlimpah produksinya sehingga diekspor ke wilayah lain. Tabel
12 menunjukkan estimasi ekspor impor pangan berdasarkan data SUSENAS Konsumsi Pangan.

Berdasarkan Tabel 12 ditunjukkan bahwa bahan pangan yang pemenuhannya antara lain
melalui impor di Provinsi Banten yaitu beras, terigu, ubi jalar, sagu, kentang, ikan, daging unggas,
telur, susu, minyak sawit (minyak goreng), kelapa, kacang kedelai, gula pasir, gula merah, kemiri,
sayuran dan buah-buahan. Adapun jenis pangan yang produksinya lebih besar dari konsumsi
(ekspor) yaitu jagung, singkong, daging ruminansia, minyak kelapa dan kacang tanah.

Data estimasi ekspor- impor tersebut kemudian digunakan untuk menyusun NBM Provinsi
Banten. Tabel 13 menunjukkan situasi ketersediaan pangan Provinsi Banten tahun 2017 yaitu
ketersediaan energi sebesar 2.903 kkal/kapita/hari (121%), ketersediaan protein 87,3
gram/kapita/hari (138,6%) dan skor PPH 94,7.

Ketersediaan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, gula dan minyak lemak telah
mencukupi sedangkan ketersediaan kelompok pangan lainnya perlu ditingkatkan baik melalui
peningkatan produksi, jaminan pasokan pangan, maupun manajemen penyediaan data pokok lintas
SKPD lingkup ketahanan pangan. Ketersediaan umbi-umbian perlu ditingkatkan sebanyak 63,6%,
ketersediaan buah/biji berminyak perlu ditingkatkan sebanyak 90,4%, kacang-kacangan
ditingkatkan sebanyak 14,8%, serta ketersediaan sayur dan buah ditingkatkan sebanyak 1,8%.

Berikut ini disajikan perkembangan situasi ketersediaan pangan di Provinsi Banten.


Ketersediaan energi dan protein pada tahun 2017 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu
2.688 kkal/kap/hari dan 87,1 gr/kap/hari menjadi 2.903 kkal/kap/hari dan 87,3 gr/kap/hari. Skor
PPH ketersediaan pangan pada tahun 2017 juga meningkat dari tahun 2016 yaitu 93,9 dari 94,7.
Skor PPH diatas 90 menunjukkan pangan yang tersedia sudah cukup beragam.

6.3. PPH Ketersediaan Pangan Provinsi Banten dalam Perencanaan PenyediaanPangan

Salah satu ciri terwujudnya ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan yang cukup,
beragam, bergizi, seimbang, dan aman serta terjangkau bagi setiap warga. Pemenuhan pangan
tersebut hanya dapat tercapai apabila pangan tersedia dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan.
Tujuan analisis PPH adalah Untuk menghasilkan suatu komposisi norma (standar) pangan untuk
memenuhi kebutuhan gizi penduduk, yang mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutrition
balance) berdasarkan cita rasa (palatability), daya cerna (digestibility), daya terima masyarakat
(acceptability), kuantitas dan kemampuan daya beli (affordability).

Capaian skor PPH diharapkan meningkat bertahap setiap tahunnya dan ditargetkan dapat
mencapai kondisi ideal pada tahun 2021 dengan peningkatan sebesar 1,2 poin setiap tahunnya.
Skor PPH aktual Tahun 2016 sebesar 93,9 ditargetkan meningkat pada tahun 2017 sebesar 95,1,
pada tahun 2018 sebesar 96,3, pada tahun 2019 sebesar 97,5, pada tahun 2020 sebesar 98,8 dan
pada tahun 2021 sebesar 100. Skor PPH berdasarkan Neraca Bahan Makanan Tahun 2017 sebesar
94,7. Angka ini menunjukkan terjadi peningkatan Pola Pangan Harapan (PPH) Ketersediaan
namun belum mencapai target.

Pencapaian PPH yang ideal perlu didukung oleh produksi dan penyediaan pangan yang
memenuhi norma standar untuk hidup sehat. Menyusun perencanaan ketersediaan pangan dapat
didasarkan pada AKG-PPH yang menerjemahkan angka konsumsi setiap penduduk menjadi
komposisi dan jumlah ideal penyediaan pangan wilayah. Perencanaan penyediaan pangan wilayah
mempertimbangkan Angka kecukupan gizi (Angka Kecukupan

Energi/AKE), Keseimbangan gizi (mengacu pada PPH), Pola konsumsi pangan setempat
(Susenas terakhir), Potensi produksi dan penyediaan pangan setempat. Tabel 15 menggambarkan
perhitungan kebutuhan pangan Provinsi Banten berdasarkan PPH.

Konsumsi beras penduduk Banten saat ini masih melebihi standar kebutuhan berdasarkan
AKG dan PPH sementara konsumsi umbi-umbian masih kurang baik dari segi konsumsi maupun
produksi. Oleh karenanya pemerintah sampai saat ini masih menggalakkan program diversifikasi
pangan dengan fokus program pada penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi umbi.
Program ini sebaiknya didukung oleh peningkatan produksi dan ketersediaan umbi di Provinsi
Banten sehingga memudahkan masyarakat untuk mendapatkan umbi. Jumlah konsumsi tepung
terigu juga masih cukup tinggi yakni 24,6% dari total konsumsi padi-padian. Pola konsumsi
penduduk banten untuk kelompok padi-padian masih didominasi oleh beras dan tepung terigu.

Pola konsumsi penduduk untuk kelompok pangan pangan hewani didominasi oleh daging
unggas dan ikan. Oleh karena itu pemerintah perlu memperhatikan penyediaan ikan dan daging
unggas di Provinsi Banten baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada kelompok buah dan
sayur, pola konsumsi pangan penduduk masih lebih menyukai sayur daripada buah. Karenanya
petani dapat diarahkan untuk beralih pada komoditas hortikultura. Penyediaan pangan yang
didasarkan pada pola konsumsi penduduk akan memberikan jaminan bagi penduduk untuk
mendapatkan jenis pangan yang diinginkan.
6.4. Kebijakan dan program aksi pengembangan penyediaan pangan di Provinsi Banten
tahun 2017– 2021

Secara umum tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah untuk membangun ketahanan
dan kemandirian pangan baik di tingkat makro (wilayah) maupun di tingkat mikro (rumah
tangga/individu). Pembangunan ketahanan pangan merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional yang harus dirumuskan secara terpadu dan serasi. Ketahanan pangan merupakan urusan
wajib non pelayanan dasar yang harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Berdasarkan
lampiran UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diterjemahkan ke
dalam Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2017. terdapat 4 Kebijakan Pemerintah
Daerah dalam Penyelenggaraan Pangan yang terdiri atas:

1. Ketersediaan pangan; Ketersediaan Pangan di Daerah dilakukan untuk memenuhi


kebutuhan dan konsumsi karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang berasal dari
Pangan bagi masyarakat, rumah tangga dan perseorangan secara berkelanjutan. 2. Keterjangkauan
pangan; 3. Pemanfaatan pangan Berdasarkan hasil analisis NBM diperoleh bahwa produksi pangan
Provinsi Banten sudah dapt memenuhih kebutuhan pangan penduduk namun jenis dan
keragamannya masih rendah. Oleh karena itu, sebagian dari kebutuhan pangan Provinsi Banten
dipenuhi oleh daerah lain (pasokan/impor). Beberapa jenis pangan seperti terigu, sagu, kentang,
gula pasir, susu, dan minyak goreng (minyak sawit)

seluruhnya (100%) berasal dari pasokan daerah lain. Adapun beras, ubi jalar, ikan, daging
ungags, telur, kacang kedelai, gula merah, sayur dan buah adalah jenis pangan yang tingkat
ketergantungan dengan daerah produsen bervariasi antara 7% hingga 90%. Oleh karena itu,
diperlukan adanya penguatan perdagangan dan kerjasama antar wilayah terutama daerah produsen
dan tercatat dengan baik dalam waktu mingguan. Selain itu, diperlukan adanya manajemen data
keluar masuk pangan di titik-titik strategis di Provinsi Banten (Bandara, pelabuhan juga wilayah-
wilayah perbatasan). Upaya ini dilaksanakan dengan kerjasama antara Dinas Ketahanan Pangan
bersama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan; Dinas Perhubungan; BULOG; BPS
dibawah koordinasi Dewan Ketahanan Pangan. PP No 17 tahun 2015 mengamatkan bahwa
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab terhadap
distribusi pangan melalui (1) pengembangan sistem distribusi pangan secara efektif dan efisien,
(2) pengelolaan sistem distribusi pangan yang dapat meningkatkan keterjangkauan pangan,
mempertahankan keamanan, mutu, gizi dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat serta (3) perwujudan kelancaran dan keamanan distribusi pangan antara lain
melalui pengaturan arus distribusi pangan dari wilayah surplus ke wilayah defisit.

Kerjasama antara wilayah defisit dan surplus dibutuhkan untuk menjaga agar hasil
produksi pangan Provinsi Banten dapat dinikmati oleh penduduk dan meminimalisir kondisi
keluar bahan pangan ke wilayah lain. Manajemen data stok dan jumlah bahan pangan di retail-
retail besar maupun kecil yang berkembang saat ini juga dibutuhkan sebagai informasi cadangan
dan ketersediaan pangan yang masih ada di wilayah Provinsi Banten. Penguatan dan peningkatan
produksi dan distribusi pangan dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak swasta dimana
Provinsi Banten dikelilingi oleh daerah-daerah industri besar maupun kecil dengan program CSR
yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pengembangan cadangan pangan strategis tertentu juga menjadi penting untuk


mempertahankan kestabilan harga dan pengamanan stok. Sebagai daerah konsumen sekaligus
produsen, Provinsi Banten rentan terhadap kelancaran pasokan pangan dari daerah produsen
pangan yang tidak dapat atau sedikit diproduksi di dalam wilayah.

Pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan juga dapat dijadikan program


unggulan ketahanan pangan di Provinsi Banten untuk menciptakan SDM yang berkualitas melalui
peningkatan IPM. Pengembangan konsumsi pangan dapat dilakukan melalui upaya pendidikan
konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang jalur formal dan non formal, diseminasi teknologi
pengolahan pangan lokal, pengembangan industri pengolahan pangan lokal, hingga advokasi
kampanye, promosi, dan sosialisasi tentang konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan
aman pada berbagai tingkatan kepada aparat dan masyarakat.

Pada akhirnya diperlukan suatu sistem informasi pangan dan gizi yang terintegrasi dan
digunakan untuk perencanaan; pemantauan dan evaluasi; stabilisasi pasokan dan harga pangan;
serta pengembangan sistem peringatan dini terhadap masalah pangan dan kerawanan pangan dan
gizi. Sistem informasi pangan dan gizi tersebut antara lain memuat:
✓ Jenis produk pangan

✓ Neraca pangan

✓ Letak, luas wilayah dan kawasan produksi pangan

✓ Permintaan pasar

✓ Peluang dan tantangan pasar

✓ Produksi

✓ Harga

✓ Konsumsi dan status gizi

✓ Ekspor impor

✓ Perkiraan pasokan

✓ Perkiraan musim tanam dan musim panen

✓ Perkiraan iklim

✓ Kebutuhan pangan
7.1. Kesimpulan

Daya dukung wilayah Provinsi Banten dalam menyediakan bagi penduduknya pada tahun
2017 adalah sebesar 104,3% dari AKE atau setara dengan 2.502 kkal/kapita/hari. Adapun
ketersediaan protein sebesar 88,1 g/kap/hari (139,8% AKP). Kualitas (keanekaragaman) pangan
yang dapat disediakan secara mandiri oleh Provinsi Banten yaitu sebesar 64,7 dari skor maksimal
100. Hasil analisis menunjukkan bahwa Provinsi Banten sudah dapat menyediakan pangan dari
hasil produksi daerah (Mandiri pangan) namun jenis yang dihasilkan masih belum beragam. Hasil
analisis tersebut menunjukkan bahwa penyediaan pangan di Provinsi Banten selain bertumpu pada
produksi sendiri juga ditopang oleh pasokan dari daerah lain (impor). Sehingga situasi ketersediaan
pangan Provinsi Banten tahun 2017 disusun juga dengan menggunakan data eksporimpor pangan
menggunakan pendekatan data estimasi. Berdasarkan data produksi, cadangan pangan dan
estimasi ekspor-impor diperoleh hasil situasi ketersediaan pangan di Provinsi Banten yaitu
ketersediaan energi sebesar 2.903 kkal/kap/hari atau 121% AKE dan ketersediaan protein 87,3
g/kap/hari atau 138,6% AKP. Pangan yang tersedia di Provinsi Banten sudah cukup beragam
dengan skor PPH sebesar 94,7. Pangan yang sudah mencapai skor PPH maksimum adalah padi-
padian (25,0), pangan hewani (24), serta pangan minyak dan lemak (5,0). Pangan yang belum
mencapai skor PPH maksimum adalah umbi-umbian (0,9 dari 2,5), buah biji berminyak (0,1 dari
1), kacang-kacangan (8,5 dari 10), gula (1,7 dari 2,5) serta sayur dan buah (29,4 dari 30).
Ketersediaan pangan di Provinsi Banten harus dijamin melalui jaminan pasokan dan perlindungan
produksi pangan. Komoditas gula pasir, terigu, susu, minyak goreng, kentang dan sagu tidak dapat
diproduksi secara subsisten sehingga harus dijamin pasokannya dari daerah lain. Skor PPH
digunakan untuk perenanaan penyediaan pangan pada tahun berikutnya dengan
mempertimbangkan Angka Kecukupan Gizi, Skor PPH dan Pola Konsumsi pangan masyarakat.

7.2. Rekomendasi

Neraca Bahan Makanan perlu disusun setiap tahunnya untuk monitoring ketersediaan
pangan di wilayah Provinsi Banten dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan penduduk agar
terwujud ketahanan pangan yang optimal. Tabel 16 menunjukkan bahwa arah pengembangan
ketersediaan Provinsi Banten yakni dengan mempertahankan ketersediaan padi-padian, pangan
hewani, minyak dan lemak, serta sayur dan buah. Sementara itu, kelompok pangan umbi-umbian,
buah/biji berminyak, kacangkacangan serta gula harus ditingkatkan.
Adapun program terkait pengembangan ketersediaan pangan yang dapat dilakukan oleh
Provinsi Banten sesuai amanat Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan
Ketahanan Pangan yakni:

1. Mengembangkan produksi pangan yang bertumpu pada sumber daya, kelembagaan dan
budaya lokal; 2. Mengembangankan efisiensi sistem usaha pangan; 3. Mengembangkan sarana
prasarana dan teknologi untuk memproduksi pangan, penanganan pasca panen, pengolahan dan
penyimpanan pangan; 4. Membangun, merehabilitasi dan mengembangkan prasarana produksi
pangan yang meliputi sumberdaya lahan, sumberdaya air, jalan ekonomi sentra produksi, listrik
dan telekomunikasi; 5. Mempertahankan dan mengembangkan lahan produksi pangan; dan/atau 6.
membangun sentra produksi pangan dan sentra pengolahan pangan dengan sistem klaster.
Pemenuhan ketersediaan pangan dilakukan dengan memperhatikan produksi pangan dan
ketersediaan lahan. Kondisi ketersediaan lahan pertanian perlu mendapat perhatian untuk menekan
jumlah alih fungsi lahan dan tetap memperhatikan tata ruang wilayah. Sebagaimana tertera dalam
Perda Nomor 2/2017 Pasal 10 bahwa Pemerintah Daerah mendorong ketersediaan lahan pangan
sebagai lahan pertanian berkelanjutan dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang dan Wilayah.
Penyediaan lahan pertanian berkelanjutan dapat melakukan pembelian lahan, sewa lahan,
membuka atau memanfaatkan lahan tidur menjadi lahan produktif, dan mempertahankan lahan
pertanian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai