INTERNASIONAL
TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA
(Tinjauan Perjanjian ACFTA Terhadap Kepentingan Nasional)
UNIVERSITAS INDONESIA
OLEH:
BINARLYN INDRI RAHAYU - 1806247946
ILHAM RAMDHAN - 1806248072
RESA SURYA UTAMA - 1806248280
BAB 1PENDAHULUAN…......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah.......................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan…........................................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan…......................................................................................4
1.5 Metode Penelitian…......................................................................................4
1.6 Sistematika Penulisan…................................................................................4
BAB 3 PEMBAHASAN….........................................................................................27
3.1 Respon Pemerintah Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional…............. 27
3.2 Respon Pemerintah Indonesia Terhadap ACFTA….......................................28
3.3 Daya Mengikat Perjanjian ACFTA Terhadap Indonesia…............................29
3.4. Dampak Positif Perjanjian ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia…......30
3.5 Dampak Negatif Perjanjian ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesiara…32
BAB 4 PENUTUP…..................................................................................................33
4.1 Kesimpulan….................................................................................................33
4.2 Saran…...........................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA….............................................................................................34
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini marak terlihat berbagai perjanjian kerjasama ekonomi regional untuk
membentuk kawasan perdagangan seperti Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (North
American Free Trade Area), Masyarakat Ekonomi Eropa (European Community), Kerjasama
Ekonomi Negara-negara Asia Pasifik (Asia Pacific Economic Cooperation), Kawasan Daratan
Eropa (European Free Trade Association), Kawasan Perdagangan Bebas Asia Tenggara
(ASEAN Free Trade Area), Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ASEAN-China
Free Trade Area), dan kawasan –kawasan lainnya.1 Perkembangan kawasan perdanagan bebas
tersebut, menuntut negara anggotanya untuk melakukan deregulasi terkait kebijakan
perdangangan sebagai wujud dari komitmen perdangangan bebas mereka.
ASEAN adalah organisasi geo-politik dan ekonomi dari negara - negara di kawasan
Asia Tenggara yang memiliki persamaan letak geografis, dasar kebudayaan, nasib dan
kepentingan di berbagai bidang. ASEAN dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok.2
Organisasi regional ini dibentuk untuk meningkatkan kerjasama multilateral antarnegara di
kawasan Asia tenggara yang meliputi bidang ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan
keamanan dan perdamaian antar negara ASEAN.
Pada 28 Januari 1992 ASEAN Free Trade Area (AFTA) dibuat untuk meningkatkan
daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea dan
halangan non-bea dalam ASEAN, melalui mekanisme the Common Effective Preferential
1
Lihat Johannes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia & Perdagangan,
di dalam Adi Tiara Putri halaman 3, “Implementasi Acfta Dalam Hukum Nasional Indonesia” ,(2011) Tesis,
Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia
2
http://asagenerasiku.blogspot.com/2012/09/latar-belakang-berdirinya-asean.html
1
Tariff (CEPT-AFTA Aggrement). Selain itu, melalui AFTA diharapkan dapat menarik
investasi asing langsung ke ASEAN. Dalam perkembangannya kerja sama dalam mekanisme
AFTA diperluas ke berbagai negara lain yang menjadi counterpart utama ASEAN sehingga
terbentuklah Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Korea-FTA (ASEAN-Korea Free Trade
Area), Kawasan Perdagangan Bebas ANZ-FTA (ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade
Area), Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-India FTA (ASEAN-India Free Trade Area), dan
Kawasan Perdagangan Bebas ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area).3
Saat ini, China merupakan salah satu kekuatan utama ekonomi dunia, dan bersama
dengan dua negara Asia Timur lainnya yaitu Jepang dan Korea Selatan telah menjadi mitra
dagang terpenting Indonesia juga ASEAN dari tahun ke tahun. Menilik asal-usul perjanjian
dalam pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN-China, negara-negara anggota
ASEAN merasa perlu memperhitungkan keikutsertaan China sebagai negara dengan
perekonomian yang mulai berkibar dalam kegiatan perekonomian. Dengan mengadakan
perjanjian ACFTA dengan China maka negara-negara anggota ASEAN berharap dapat
membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN.4
3
Lihat halaman 3, Adi Tiara Putri .2011. “Implementasi Acfta Dalam Hukum Nasional Indonesia” , Tesis,
Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia
4
Ibid
2
tahun 2015 untuk negara-negara anggota baru ASEAN seperti Laos, Myanmar, Vietnam dan
Kamboja.5
Dari latar belakang tersebut, maka dapat diambil rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini sebagai berikut :
a. Bagaiamana respon peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai payung hukum
terhadap perjanjian ACFTA ?
b. Bagaimana dampak peraturan yang dibuat terkait ACFTA terhadap perekonomian
Indonesia?
5
Lihat dalam Pasal 8 ayat 1 Framework Agreement on Comprehensive Economic CoOperation between
ASEAN and the People's Republic of China yang ditandatangi di Phnom Penh, 4 November 2002. Adapun
isi pasalnya yaitu : “For trade in goods, the negotiations on the agreement for tariff reduction or elimination
and other matters as set out in Article 3 of this Agreement shall commence in early 2003 and be concluded
by 30 June 2004 in order to establish the ASEAN-China FTA covering trade in goods by 2010 for Brunei,
China,Indonesia,Malaysia, thePhilippines, Singapore and Thailand, and by 2015 for the newer ASEAN Member
States.“
6
Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South
East Asian Nations And The People’s Republic Of China
3
1.4. Manfaat Penulisan Makalah
Dari tujuan penulisan makalah yang diharapkan dicapai, maka manfaat yang
diharapkan dicapai antara lain sebagai berikut :
a. Mengetahui produk hukum yang telah ditetapkan terkait implementasi ACFTA di
Indonesia
b. Mengetahui dampak dari produk hukum yang telah ditetapkan melalui studi literature
terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah studi literatur dari berbagai sumber
yaitu undang-undang, tesis dan jurnal-jurnal penelitian terkait perjanjian ACFTA.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KONSEP DAN TEORI HUKUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL
7
Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, 1995, “The New Sovereignty: Compliance with International
Regulatory Agreements”, Cambridge; Harvard University Press.
8
Konvesi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Pasal 6.
9
Konvesi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Pasal 2 ayat (1) huruf a.
5
Pasal tersebut bermakna bahwa perjanjian yang dimaksud adalah suatu
persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang
tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrument
tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa
memandang apa pun bentuk namanya.
Para pakar dan sarjana memiliki definisi masing-masing terkait dengan
perjanjian internasional. I Wayan Parthiana berpendapat bahwa perjanjian
internasional adalah kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum
internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk
hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
internasional10. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa perjanjian
internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-
bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu11. Sementara
itu, dalam bukunya Boer Mauna berpendapat bahwa perjanjian internasional
adalah instrumen yuridis yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau
subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama, yang mana
pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan menimbulkan akibat hukum
yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya12.
Dari definisi-definisi tersebut, maka terdapat kriteia-kriteria dasar yang
harus dipenuhi oleh suatu dokumen perjanjian untuk bisa ditetapkan sebagai
dokumen perjanjian internasional menurut Konvensi Wina tahun 1969 13, yang
antara lain:
a. Perjanjian tersebut harus bersifat internasional (an international agreement),
sehingga tidak mencakup perjanjian-perjanjian yang berskala nasional.
b. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional
(by subject of international law), sehingga tidak mencakup perjanjian yang
sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non-subjek hukm
internasional.
10
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional – Bagian 1, Op.Cit., hlm. 12.
11
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Op.Cit., hlm. 117.
12
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT.
Alumni, Bandung, 2008, hlm. 82.
13
Ibid
6
c. Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukume internasional (governed by
international law).
a. Ada maksud untuk menciptkan kewajiban dan hubungan hukum (karena ada
kemungkinan terjadi, terdapat perjanjian yang disepakati antar negara tetapi
tidak menimbulkan kewajiban dan hubungan hukum)14.
b. Tunduk pada rezime hukum internasional (karena dimungkinkan, terdapat
perjanjian yang disepakati antar negara tetapi tunduk terhadap hukum
setempat (hukum privat) dari salah satu pihak yang bersepakat yang memiliki
potensi menimbulkan konflik hukum15.
14
ILC Draft and Commentary on The Law of Treaties, AJIL, Vol.61, 1967.
15
Report of The ILC Special Rapporteur, 1962.
16
Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pasal 38, ayat 1
7
a. Treaty contract, yaitu perjanjian intemasional yang hanya mengikat dan
mengakibatkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengadakan
perjanjian.
b. Law making treaties, yaitu perjanjian yang menghasilkan ketentuan atau
kaidah hukum bagi seluruh masyarakat intemasional.
Perjanjian Intemasional yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam
memutus perkara pada Mahkamah Intemasional, yaitu :
a. Perjanjian antara negara dengan negara.
b. Perjanjian antara negara dengan Vatikan.
c. Perjanjian antara negara dengan organisasi intemasional.
d. Perjanjian antara organisasi intemasional dengan organisasi intemasional.
Menurut pasal 38 (1) Statuta (Piagam) Mahkamah Intemasional, Perjanjian
Intemasional merupakan sumber utama dari sumber-sumber Hukum Intemasional
yang lain. Hal ini dikarenakan perjanjian internasional lebih menjamin kepastian
hukum karena dibuat secara tertulis dan mampu mengatur masalah-masalah
kepentingan Bersama diantara subjek hukum internasional.
17
T. May Rudy, 2006. Hukum Internasional 1. Yang Menerbitkan PT Refika Aditama : Bandung.
8
yang melahirkan ketentuan-ketentuan tentang hukum laut yang berkaitan
dengan laut teritorial dan jalur tambahan, laut lepas, perikanan dan
perlindungan kekayaan hayati laut lepas.
b. Perjanjian Internasional berupa Kontrak (Treaty Contract)
Perjanjian yang serupa dengan kontrak atau perjanjian yang hanya
mengakibatkan hak-hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian itu saja. Pada hakekatnya treaty contract pun secara tidak langsung
dapat membentuk kaedah-kaedah yang berlaku umum yaitu melalui hukum
kebiasaan. Misalnya perjanjian konsuler yang pada mulanya hanya
menimbulkan kaedah-kaedah di bidang konsuler bagi kedua pihak yang
mengadakan kontrak, lama kelamaan dengan semakin banyaknya diadakan
perjanjian mengenai hal serupa, maka timbullah ketentuan-ketentuan hukum
di bidang konsuler yang berlaku umum melalui proses hukum kebiasaan.
Contoh lainnya adalah kesepakatan yang sudah ada antara Indonesia
dengan Malaysia di wilayah perbatasan adalah garis batas Landas Kontinen
di Selat Malaka dan Laut Natuna berdasarkan Persetujuan antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tentang penetapan
garis batas landas kontinen antara kedua negara (Agreement Between
Government of the Republic Indonesia and Government Malaysia relating to
the delimitation of the continental shelves between the two countries),
tanggal 27 Oktober 1969 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun
1969.
18
Konvesi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Pasal 7 ayat (1)
19
Ibid.
20
Konvesi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Pasal 12 ayat (1)
10
c. Bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau
dinyatakan dengan jelas waktu perundingan.
c. Pengesahan
Pengesahan meupakan perbuatan negara yang dalam taraf internasional
menetapkan persetujuannya untuk terikat pada suatu Perjanjian Internasional
yang sudah ditandatangani. Saat ini ratifikasi menjadi praktik yang berlaku
secara umum. Adapun pentingnya ratifikasi antara lain:
1) Perjanjian umumnya menyangkut kepentingan dan mengikat masa depan
negara dalam hal-hal tertentu, karena itu harus disahkan oleh kekuasaan
negara tertinggi.
2) Untuk menghindarkan kontroversi antara utusan-utusan yang berunding
dengan pemerintah yang mengutus.
3) Perlu adanya waktu agar instansi yang bersangkutan dapat mempelajari
naskah yang diterima.
4) Pengaruh rezim parlementer yang mempunyai wewenang untuk
mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif.
a. Traktat (Treaty)
Traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang
sangat penting yang mengikat negara secara menyeluruh yang umumnya
21
Agusman, Damos D. Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia. Bandung: Refika
Aditama, 2010
11
bersifat multilateral. Namun demikian kebiasaan negara-negara di masa
lampau menggunakan istilah Treaty untuk perjanjian bilateral.
Misal:
• Perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Indonesia dengan
negara-negara ASEAN (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast
Asia),
• Southeast Asia Nuclear Weapon-Free-Zone (SEANWFZ) 1995 yang
berlaku tahun 1997.
b. Konvensi (Convention)
Konvensi adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang
penting dan resmi yang bersifat multilateral. Konvensi biasanya bersifat
“Law Making Treaty” dengan pengertian yang meletakkan kaidah-kaidah
hukum bagi masyarakat internasional.
Misal:
• Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang,
• Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut,
• Konvensi Wina 1941 tentang Hubungan Diplomatok
c. Persetujuan (Agreement)
Persetujuan adalah bentuk perjanjian internasional yang umumnya bersifat
bilateral dengan substansi lebih kecil lingkupnya dari dibandingkan dengan
materi yang diatur dalam Treaty atau Convention. Bentuk ini secara terbatas
juga digunakan dalam perjanjian multilateral. Biasanya digunakan pada
perjanjian dibidang ekonomi, kebudayaan, teknologi, ilmu pengetahuan,
keuangan (pecegahan pajak berganda, perlindungan investasi dan bantuan
keuangan).
d. Deklarasi (Declaration)
Suatu perjanjian yang berisikan ketentuan-ketentuan umum dimana pihak-
pihak dalam deklaras tersebut berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-
kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang.
Misal:
• Declaration of Zone of Peace, Freedom and Neutrality 1971 (mengikat
seperti halnya perjanjian internasional lainnya),
12
• Universal Declaration of Human Rights 1948 (bersifat himbauan, tanpa
ikatan hukum).
e. Final Act
Dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu konferensi dan
juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang
dihasilkan oleh konferensi tersebut. Penandatanganan final act bukan berarti
penerimaan terhadap perjanjian internasional atau konvensi yang dihasilkan
(hanya kesaksian berakhirnya tahapan proses pembuatan saja)
Misal:
• Final Act General Agreement on Tarif and Trade (GATT) 1994,
• Final Act Embodying the Result of the Urruguay Round of Multilateral
Trade Negotiating 1994
f. Memorandum of Understanding
Perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian
induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknik, memorandum of
understanding dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian
induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah
penandatangan tanpa memerlukan pengesahan.
g. Pengaturan (Arrangement)
Pengaturan adalah bentuk lain dari perjanjian yang dibuat sebagai pelaksana
teknis dari suatu perjanjian yang telah ada (sering juga disebut sebagai
specific/implementing Arrangement)
Misal:
Studi kelayakan Proyek Tenaga Uap 1979 antara Departemen Pertambangan
RI dengan Canadian International Development Agency
h. Pertukaran Nota (Exchange of Notes)
Exchange of Notes adalah suatu pertukaran penyampaian atau
pemberitahuan resmi posisi pemerintah masing-masing Negara yang telah
disetujui bersama mengenai suatu masalah tertentu. Instrumen bisa menjadi
suatu perjanjian itu sendiri jika para pihak bermaksud untuk itu, yang dikenal
dengan istilah Exchange of Notes.
Exchange of Notes dapat digunakan dalam hal-hal sebagai berikut:
13
1) Pemberitahuan telah dipenuhinya prosedur konstitutional/ratifikasi suatu
perjanjian internasional.
2) Konfirmasi tentang kesepakatan terhadap perbaikan (rectification) dari
suatu perjanjian internasional.
3) Pengakhiran atau perpanjangan masa berlaku dari suatu perjanjian
internasional.
4) Penyampaian aspek-aspek teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian
internasional
5) Bentuk lain dari perjanjian internasional (Exchange of Notes Constitute
Treaty)
i. Modus Vivendi
Modus Vivendi biasa digunakan sebagai instrumen kesepakatan yang
bersifat sementara dan informal. Pada umumnya para pihak akan
menindaklanjuti dengan bentuk perjanjian yang lebih formal dan permanen.
22
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional..., hlm. 33
23
Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN No. 185 Tahun 2000,
TLN 4012, ps. 1 ayat 1.
14
Dalam perundang-undangan sebelumnya Perjanjian Internasional pernah
diberikan definisi dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri yaitu:
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan
apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh
Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi
internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan
hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum
publik.”24
24
Indonesia, Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 37 Tahun 1999, LN No.156 Tahun 1999, TLN
No. 3882, ps. 1 ayat 3
15
berlaku berturut-turut pada periode itu, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1945,
dan UUDS 1950. Periode kedua adalah antara tahun 1960-2000, dimana
sekalipun berlandaskan UUD 1945 perjanjian internasional tunduk pada
ketentuan seperti yang diatur pada Surat Presiden 2826 tahun 1960. Periode
terakhir adalah sejak tahun 2000 sampai saat ini yang ditandai dengan
berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional25.
a. Periode 1945 – 1960
Dalam hal pembuatan perjanjian internasional di Indonesia,
pada saat sebelum adanya perubahan dalam UUD 1945, pasal yang digunakan
adalah Pasal 11 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa:
”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”.
25
Damos Dumali Agusman, Status Hukum Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional RI: Dari Perspektif Praktik Di
Indonesia, Indonesia Jurnal of International Law, Volume 5 Nomor 3 April 2008.
16
kuasa undang-undang.”26
26
Suryono, Edy, 1984, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Remadja Karya, Bandung, hlm.
33-34.
27
Ibid.
28
Pada tahun 1923, Quincy Right menyatakan bahwa “the traditional treatment of international law almost if not wholly
dissociated it from constitutional law, Right, Quincy, International Law in its Relations to Constitutional Law, 17 AJIL
1923, at 234.
29
Deener menilai bahwa konstitusi Negara-negara pasca PD II tidak tertarik pada hukum internasional, Deener,
David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law Review, 1951,
526
17
Surat Presiden tersebut maka perjanjian internasional yang harus disampaikan
kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan adalah yang mengandung materi
sebagai berikut30:
1. Hal-hal politik atau hal-hal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar
negeri seperti halnya perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-
perjanjian persekutuan (aliansi), dan perjanjian-perjanjian tentang
perubahan wilayah atau penetapan tapal batas.
30
Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang "Pembuatan
Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain"
31
Wisnu Ayo Dewanto, Status Hukum Internasional Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, Mimbar Hukum,
Volume 21, Nomor 2, Juni 2009
18
2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.
Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UUPI tersebut diatas, dalam prakteknya ada
dua macam pengesahan perjanjian internasional di Indonesia, yaitu dengan
undang-undang dan keputusan presiden. Dalam menentukan ratifikasi
perjanjian internasional apakah akan diratifikasi dengan Undang- undang atau
dengan keppres, dilihat dari substansi atau materi perjanjian bukan
berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian, dan dilakukan oleh
Departement Luar Negeri.
Pasal 11 UUD 1945 jo Pasal 9 UU No. 24 tahun 2000 merupakan
prosedur hukum internal Indonesia (politik hukum) yang mengatur bagaimana
Indonesia terikat atas perjanjian internasional. Jika ditafsirkan secara
sistematis, pengesahan dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000 merupakan
turunan dari kata “persetujuan DPR” dalam Pasal 11 UUD 1945. Dengan
demikian, pengesahan dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000 harus
dilakukan sebelum adanya pengesahan eksternal yang terdapat dalam Pasal 9
ayat 1.
Dua aliran besar telah terbentuk akibat adanya pandangan yang berbeda
mengenai dasar pengikat berlakunya hukum internasional, khususnya teori
voluntaris dan obyektivis. Aliran-aliran tersebut adalah32:
a. Aliran Monisme
Penganut aliran ini berpendapat bahwa hukum nasional dan hukum
internasional adalah merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum. Semua
hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari aturan-aturan yang mengikat,
apakah itu terhadap negara, individu ataupun subyek lain selain negara. Oleh
karena itu baik hukum nasional maupun hukum internasional adalah bagian
dari satu ilmu hukum yang mengatur kehidupan manusia33.
Akibat pandangan ini adalah dimungkinkannya suatu hubungan hierarki
32
Melda Kamil Ariadno: Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Hukum
Internasional Vol 5 No 3 April 2008 LPHI FHUI hlm. 508.
33
Ibid
19
antara kedua sistem hukum tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya dua
pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara
hukum nasional dengan hukum internasional jika keduanya terjadi suatu
pertentangan/konflik. Paham-paham tersebut adalah:
1) Paham Monisme primat Hukum Nasional
Paham ini menganggap bahwa hukum nasional lebih utama kedudukannya
daripada hukum nasional dan pada hakikatnya hukum nasional adalah sumber dari
hukum internasional. Alasan yang dikemukakan adalah34:
a) Tidak ada satu organisasi dunia yang berada di atas negara-negara dan
mengatur kehidupan negara-negara tersebut.
b) Dasar dari hukum internasional terletak pada wewenang konstitusional
Negara-negara (kewenangan Negara utuk membuat perjanjian
internasional).
Teori ini mempunyai banyak kelemahan, hukum internasional seolah-oleh
hanya berupa hukum tertulis, sehingga didasari pada wewenang konstitusional
negara, padahal hukum internasional juga terdiri dari hukum kebiasaan yang tidak
tertulis.
2) Paham Monisme Primat Hukum Internasional
Paham ini beranggapan bahwa hukum nasional itu bersumber pada hukum
internasional yang pada dasarnya mempunyai hirarkis yang lebih tinggi, maka
supremasi hukum harus dibagikan kepada dari seratus negara-negara di dunia
dengan sistem yang masing-masing berbeda35.
Hukum internasional pada dasarnya dianggap oleh paham ini lebih unggul
daripada hukum nasional. Hal ini didasarkan pada fakta strategis, yaitu 36:
a) Jika hukum internsional tergantung pada konstitusi negara maka apabila
konstitusi negara itu diganti maka hukum internasional tersebut tidak
dapat lagi berlaku. Sejak Konferensi London tahun 1831 telah diakui
bahwa keberadaan hukum internasional tidak tergantung kepada
perubahan atau penghapusan konstitusi ataupun revolusi pada suatu
negara sekalipun
b) Telah diakui bahwa suatu negara baru yang memenuhi masyarakat
34
Ibid
35
Ibid
36
Ibid
20
internasional akan terikat oleh hukum internasional yang berlaku, tanpa
ada persetujuan terlebih dahulu. Apabila persetujuan itu dinyatakan maka
hanya merupakan pernyataan dari kedudukan hukum yang sudah ada. Di
samping itu terdapat kewajiban setiap negara untuk menyelaraskan
hukum nasionalnya, termasuk konstitusinya, dengan hukum internasional.
b. Aliran Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa hukum nasional (state law) dan hukum
internasional adalah dua sistem hukum yang berbeda. Triepel, salah seorang
pemuka aliran ini, mengemukakan dua perbedaan antara system hukum
nasional dan internasional, yaitu37:
a. Subyek hukum, dalam hukum nasional subyek hukum adalah individu
dan badan hukum sedangkan subyek hukum internasional adalah
negara.
b. Sumber hukum, dalam hukum nasional sumber hukum berasal dari
kehendak negara masing-masing sedangkan hukum internasional
berasal dari kehendak bersama negara-negara
c. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan
hukum pada realitasnya terdapat mahkamah dan organ eksekutif yang
hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat
dalam hukum internasional
Akibat yang penting dari teori ini adalah bahwa kaedah-kaedah dari
perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasarkan
perangkat hukum yang lain, dengan kata lain tidak akan ada persoalan hierarki
antara kedua perangkat hukum tersebut. Dengan demikian ketentuan hukum
internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional sebelum
dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional. Hal ini tidak dapat diterima
secara memuaskan karena dalam praktiknya seringkali hukum nasional harus
memperhatikan hukum internasional atau sebaliknya38.
Kedua teori tersebut berlaku apabila ada pertentangan antara hukum
nasional dan hukum internasional Hukum nasional memang mempunyai
kedaulatan penuh, akan tetapi hal ini semata-mata mencerminkan bahwa suatu
37
Ibid
38
Ibid
21
negara akan mempunyai kewenangan dengan hukum internasional sebagai
pembatasnya.
2.3. Tinjauan Umum Perdagngan Internasional dan Perjanjian Asian China Free Trade
Agreement (ACFTA)
2.3.1. Teori Perdagangan Internasional
39
Christian, Edward. 2013. Faktor Yang Mempengaruhi Volume Impor Beras diIndonesia. Jurnal JIBEKA Volume
7 No 2 Aguatus 2013: 38-43
40
Salvatore, D. 2004, International Economics, Eight Edition, Wiley
41
Ibid
42
Ibid
22
naik. Peningkatan dalam hasil komoditas keduanya merupakan ukuran
keuntungan dari spesialisasi dalam produksi yang tersedia untuk dibagi antara
kedua negara melalui perdagangan.
c. Teori Keunggulan Komparatif
David Ricardo memperkenalkan hukum keunggulan komparatif. Dia
mendalilkan bahwa bahkan jika satu negara kurang efisien dibandingkan negara
lain dalam produksi kedua komoditas, masih ada landasan untuk perdagangan
yang saling menguntungkan (asalkan kelemahan absolut negara pertama yang
berkaitan dengan yang kedua adalah tidak dalam proporsi yang sama di kedua
komoditas). Negara yang kurang efisien harus mengkhususkan diri dalam
produksi dan ekspor dari komoditas yang punya kelemahan absolut lebih kecil (ini
yangakan menjadi komoditas yang merupakan keunggulan komparatif) dan
mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian absolut yang lebih besar (ini
yang akan menjadi komoditas dengan kerugian komparatif). Hukum keunggulan
komparatif inilah yang menjadi dasar bagi suatu negara untuk saling menukarkan
komoditi melalui ekspor dan impor.43
43
Ibid
44
Perdagangan Internasional” dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/ perdagangan-
internasional-akuntansi-internasional/ , diakses tanggal 30 Desember 2012
23
permohonan pengembalian bea masuk atau pembebasan bea masuk tambahan.
c. PAKDES (Paket Kebijaksaan Desember) tahun 1987, yaitu tentang
kelonggaran yang diberikan berkaitan dengan ekspor impor.
d. PAKTO (Paket Kebijaksanaan Oktober) tahun 1988, yaitu tentang perubahan
dalam tata cara dan kemudahan ekspor impor.
Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut serta dalam pertemuan
double WTO45, tidak terlepas dari rangkaian kebijakasanaan disektor
perdagangan. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota organisasi
perdagangan internasional , Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-
ketentuan perdagangan internasional yang disepakati dalam perundingan GATT-
WTO. Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan
perundang-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO, artinya
dalam melakukan harmonisasi Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan
nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan WTO46.
Saat menghadapi era globalisasi di bidang ekonomi khususnya perdagangan
internasional, hukum perdagangan internasional sangat diperlukan dalam
melakukan hubungan hukum atau transaksi antar bangsa. Hubungan tersebut
menyangkut kegiatan perniagaan atau pertukaran barang, jasa, modal maupun
tenaga kerja, yang memasukan barang kedalam daerah pabean, dan mengeluarkan
barang dari daerah pabean. Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan perdagangan internasional
antara lain47:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk
Antidumping dan Bea Masuk Imbalan,
45World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang
secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu
persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani
oleh negara-negara anggota. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan
Pembentukan WTO melalui UU Nomor. 7/1994. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 untuk menggantikan
GATT. WTO mempunyai anggota 149 negara serta 32 negara pengamat yang sudah mendaftar untuk jadi anggota. Tugas
utamanya adalah mendorong perdagangan bebas, dengan mengurangi dan menghilangkan hambatan-hambatan
perdagangan seprti tariff dan non tariff
46
“Perdagangan Internasional” dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/ perdagangan-
internasional-akuntansi-internasional/ , diakses tanggal 30 Desember 2012
47
Amir M.S, Kontrak Dagang Ekspor, Penerbit PPM, Jakarta, 2002, hal. 20
24
4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
136/MPP/Kep/6/1996 tentang Pembentukan Komite Antidumping
Indonesia
5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 172/MPP/Kep/10/
2000 tentang Organisasi dan Cara Kerja Tim Organisasi Antidumping.
6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Antidumping Indonesia.
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
428/MPP/kep/10/2000 tentang Pengangkatan Anggota Komite Antidumping
Indonesia.
8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
216/MPP/Kep/7/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian
Nomor 261/MPP/kep/9/1996 tentang Tata Cara Persyaratan Pengajuan
Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi.
9. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37/M-
Dag/per/9/2008 tentang Surat Keterangan Asala (certificate of origin).
Terhadap barang impor yang dikenakan tindakan pengamanan (safeguard).
48
Direktorat Kerjasama Regional Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional
25
Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 Nopember 2002. Protokol perubahan
Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 6 Oktober 2003, di Bali,
Indonesia. Protokol perubahan kedua Framework Agreement ditandatangani pada
tanggal 8 Desember 2006. Indonesia telah meratifikasi Ratifikasi Framework
Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun
2004 tanggal 15 Juni 2004. Setelah negosiasi tuntas, secara formal ACFTA
pertama kali diluncurkan sejak ditandatanganinya Trade in Goods Agreement dan
Dispute Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di
Vientiane, Laos49.
Adapun tujuan yang melatarbelaknagi dibentuknya ACFTA ini antara lain:
1)Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan
investasi antara negara-negara anggota. 2)Meliberalisasi secara progresif dan
meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang
transparan dan untuk mempermudah investasi. 3)Menggali bidang-bidang
kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka
kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota. 4)Memfasilitasi integrasi
ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos,
Myanmar, dan Vietnam –CLMV) dan menjembatani kesenjangan pembangunan
ekonomi diantara negara-negara anggota.
49
Ibid
26
BAB III
PEMBAHASAN
27
3.2 Respon Pemerintah Indonesia Terhadap ACFTA
28
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.011/2007
tanggal 22 Mei 2007 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-
China Free Trade Area;
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008
tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka
ASEAN-China Free Trade Area.
Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional telah mengatur secara ketat
bagaimana suatu Negara dapat menarik diri dari suatu perjanjian dan tidak lagi membuka
ruang bagi tindakan unilateral penarikan diri sepanjang tindakan itu disetujui oleh para
pihak perjanjian. Selain itu, Konvensi ini melarang Negara mengingkari perjanjian dengan
menggunakan tameng hukum nasionalnya. Hal ini juga berlaku untuk perjanjian ACFTA
yang diratifikasi oleh Indonesia.
Dari perspektif nasional Indonesia, perjanjian internasional mendapatkan kekuatan
mengikat berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Namun, keterbatasan pengaturan mengenai perjanjian intenasional dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakibatkan ketidakpastian
dalam menerapkan hukum internasional, khususnya perjanjian internasional ke dalam
ranah hukum nasional Indonesia. Peraturan yang mengatur tentang hierarkhi perundang-
undangan di Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari TAP MPRS
Nomor 20/MPRS/1966, TAP MPR Nomor III/MPR/2000, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tantang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sampai dengan
perubahan yang terbaru dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai pengganti Undang- Undang Nomor
10 Tahun 2004 tantang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dari beberapa
pengaturan tersebut, tidak satupun yang menempatkan perjanjian internasional sebagai
peraturan yang mengikat Indonesia dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan. Dan
kekuatan hukumnya ditegaskan pada pasal 7 ayat 2: “Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
(Puspitawati, 2015).
Sehubungan ratifikasi Indonesia perjanjian ACFTA melalui Kepres Nomo 48
Tahun 2004, sulit rasanya bagi Indonesia untuk menarik diri dari perjanjian tersebut.
29
Sekalipun pada waktu tertentu Indonesia merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut, maka
langkah-langkah yang harus diambil oleh Indonesia tidaklah semudah membatalkan
perjanjian bilateral. Hal ini dikarenakan perjanjian ACFTA adalah perjanjian yang
melibatkan negara-negara di ASEAN yang didalamnya terdapat Indonesia dengan China.
Menurut Prof. Hikmahanto (Guru Besar Hukum Internasional UI), dalam prakteknya sulit
untuk membatalkan perjanjian ACFTA jika tidak ada kesepakatan bersama seluruh negara
yang terlibat. Hal ini sesuai dengan rumusan pasal 14 pada kerangka perjanjian ACFTA
yang berbunyi : “The provisions of this Agreement may be modified through amendments
mutually agreed upon in writing by the Parties”. Dalam rumusan berbeda bermakna sama,
pasal 19 Perjanjian Kerjasama ASEAN-China menegaskan: “This Agreement may be
amended by the mutual written consent of the Parties”. Oleh karena itu, untuk
membatalkan perjanjian ini dibutuhkan kesepakatan dalam bentuk tertulis oleh seluruh
negara yang terlibat.
Dari isi keputusan tersebut dapat bisa dikatakan bahwa walaupun pada peraturan
perundang-undangan Indonesia memungkin untuk dilakukan judicial review kepada
Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang yang diduga bertentangan dengan UUD
1945 dan langkah gugatan terhadap Keputusan Presiden melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN), namun hal ini tidak dapat membatalkan sekaligus menarik diri dari
perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia, dalam hal ini adalah gugatan terhadap
Kepres Nomor 48 Tahun 2004 terkait ratifikasi perjanjian ACFTA.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Indonesia dihadapkan pada
kondisi terikat atas perjanjian tersebut. Langkah-langkah yang memungkinkan dilakukan
oleh Indonesia terkait antisipasi efek nagatif, adalah dengan cara melakukan negoisasi
kepada China atau negara lain yang dianggap merugikan kepentingan nasional Indonesia
serta memperkokoh fundamental ekonomi dalam menghadapi dan meningkatkan daya
saing ekonomi Indonesia terhadapa perjanjian ACFTA.
30
oleh negara tersebut. Hal ini juga yang membuat negara-negara ACFTA termasuk
Indonesia, berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan barang negara lain dari
produk-produk unggulan dalam negeri. Berdasarkan kaidah permintaan dan penawaran
pada ilmu ekonomi, semakin tingginya tingkat permintaan maka secara tidak langsung
juga menjadi trigger pada produsen untuk menghasilkan barang dalam jumlah yang
lebih banyak dari kondisi biasanya. Oleh karena itu, adanya ACFTA dapat membuat
produsen-produsen Indoensia lebih menjalankan faktor-faktor produksinya secara
optimal untuk memproduksi lebih banyak barang dengan terbukanya ekspansi pangsa
pasar melalui ekspor ke negara ACFTA. Kondisi ini dapat membuat perekonomian
Indonesia semakin bergairah.
b. Sumber Devisa Alternatif
Selain arus perdagangan barang, Indonesia juga berpotensi mendapatkan devisa dari
perdagangan jasa, dalam hal ini contohnya adalah pariwisata yang merupakan salah
satu dari Paket Pertama Persetujuan Jasa ACFTA yang dimulai pada tahun 2007 lalu.
Sebagai negara dengan potensi kepariwisataan yang besar dan beragam, Indoensia
dapat menjadi daerah tujuan utama dari arus pariwisata di ASEAN-China.
c. Menciptakan Persaingan
Perdangangan bebas menciptakan iklim persaingan yang semakin ketat. Negara-negara
anggota berlomba untuk menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan oleh negara lain
dengan biaya produksi yang rendah. Hal ini menuntut perusahaan berinovasi untuk
menghasilkan produk yang lebih beragam dengan kualitas yang tetap terjaga. Kondisi
demikian sangat menguntungkan konsumen di Indonesia karena berpeluang untuk
mendapatkan banyak pilihan barang sejenis dengan kualitas dan harga yang diinginkan.
d. Adanya Kepastian Hukum Perdangangan Internasional
Dalam pembangunan ekonomi, hukum itu dapat berperan bila hukum mampu
menciptakan “stability, predictability, dan fairness”. Adapun yang termasuk ke dalam
stability yaitu potensi hukum menyeimbangkan kepentingan yang saling bersaing.
Dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil
khususnya penting bagi negeri yang sebahagian besar rakyatnya untuk pertama kali
memasuki hubungan- hubungan ekonomi melampaui lingkungan tradisional adalah
merupakan fungsi dari suatu hukum dan aspek keadilan (fairness), yaitu seperti
perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah diperlukan untuk
menjaga mekanisme pasar dan birokrasi yang berlebihan (Tahir, 2017).
31
3.5 Dampak Negatif Perjanjian ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia
Sejak awal diberlakukannya perjanjian ACFTA, banyak pakar ekonomi yang khawatir
perjanjian ini akan memberikan banyak dampak negatif dibandingkan positifnya bagi
perekonomian Indonesia. Pendapat ini sangat beralasan mengingat kondisi fundamental dan
kesiapan Indonesia dibandingkan negara anggota lain terutama China terkait ACFTA sangat
berbeda. Ditengah kelesuan pasar produk Indonesia di dalam negeri, produk-produk impor
terutama dari China mulai membanjiri pasar domestik. Hal ini tentu membuat masyarakat
selaku konsumen merasa senang karena memiliki banyak piloihan barang dengan harga yang
relatif murah dibandingkan produk dalam negeri. Namun, di satu sisi membuat produk
Indoensia kalah saing di negeri sendiri. Hal ini diperparah dengan masih rendahnya daya saing
produk Indonesia di negara-negara anggota ACFTA.
Selain terkait daya saing kualitas produk, Indonesia juga harus melawan serangan harga
murah dari produk-produk impor terutama impor abrang konsumsi (non migas) dari China.
Kondisi demikian ditandai dengan pertumbuhan nilai ekspor ke China yang kalah cepat dengan
nilai impor dari negara tersebut. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, terlihat neraca
perdagangan antara Indonesia dan China yang menunjukkan nilai negatif sejak 5 tahun terakhir.
Jika kondisi ini dibiarkan tanpa mitigasi yang komprehensif, bukan tidak mungkin akan
banyak perusahaan dalam negeri, terutama Usaha Kecil Menengah (UKM) tidak mampu
bertahan dan akhirnya ‘gulung tikar’. Pada akhirnya akan menambah angka pengangguran
yang sekaligus dapat menurunkan tingkat pendapatan dan kesehteraan masyarakat.
Secara umum, ada beberapa penyebab kondisi yang tidak menguntungkan bagi
Indonesia dalam ACFTA, yaitu:
• Masih tingginya biaya produksi di Indonesia yang membuat produk Indonesia kalah
dalam persaingan harga di dalam negeri sendiri oleh produk impor;
• Komoditas ekspor andalan Indonesia sebagian besar adalah raw material sehingga nilai
tambah dalam proses produksi bahan tersebut tidak dinikmati oleh negeri sendiri;
• Berkurangnya pangsa pasar produk Indonesia pada negara-negara ACFTA akibat
serangan produk dari China yang memiliki harga yang relatif rendah dan jenis yang
beragam;
• Ketergantungan teknologi dan SDM dari negara lain akibat masih rendahnya kemajuan
teknologi produksi dan skill SDM dalam memproduksi barang yang berkualitas dengan
biaya produksi yang rendah.
32
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
4.2 Saran
33
DAFTAR PUSTAKA
34
Salvatore, D. 2004, International Economics, Eight Edition, Wiley
Suryono, Edy, 1984, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Remadja Karya,
Bandung, hlm. 33-34.
T. May Rudy, 2006. Hukum Internasional 1. Yang Menerbitkan PT Refika Aditama : Bandung.
Wisnu Ayo Dewanto, Status Hukum Internasional Dalam Sistem Hukum Di Indonesia,
Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 2, Juni 2009
35