Anda di halaman 1dari 37

DAYA MENGIKAT PERJANJIAN ORGANISASI

INTERNASIONAL
TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA
(Tinjauan Perjanjian ACFTA Terhadap Kepentingan Nasional)

UNIVERSITAS INDONESIA

OLEH:
BINARLYN INDRI RAHAYU - 1806247946
ILHAM RAMDHAN - 1806248072
RESA SURYA UTAMA - 1806248280

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN EKONOMI DAN KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN
JAKARTA
2018
DAFTAR ISI

BAB 1PENDAHULUAN…......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah.......................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan…........................................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan…......................................................................................4
1.5 Metode Penelitian…......................................................................................4
1.6 Sistematika Penulisan…................................................................................4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA KONSEP DAN TEORI HUKUM MENGENAI


PERJANJIAN INTERNASIONAL 5
2.1 Perjanjian Internasional dan Hukum Internasional…......................................5
2.2 Perjanjian Internasional dan Hukum Nasional Indonesia…...........................14
2.3 Tinjauan Umum Perdagangan Internasional dan Perjanjian ACFTA..............22

BAB 3 PEMBAHASAN….........................................................................................27
3.1 Respon Pemerintah Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional…............. 27
3.2 Respon Pemerintah Indonesia Terhadap ACFTA….......................................28
3.3 Daya Mengikat Perjanjian ACFTA Terhadap Indonesia…............................29
3.4. Dampak Positif Perjanjian ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia…......30
3.5 Dampak Negatif Perjanjian ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesiara…32

BAB 4 PENUTUP…..................................................................................................33
4.1 Kesimpulan….................................................................................................33
4.2 Saran…...........................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA….............................................................................................34
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Globalisasi telah mendorong berbagai negara untuk menjalankan kebijakan liberalisasi,


salah satunya melalui perdangangan internasional. Adapun pasar yang dibentuk pada
perdagangan internasional dapat berupa pasar bersama (common market), maupun dalam
bentuk kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area). Sejak tahun 1990, kawasan
perdagangan bebas pun dibentuk oleh banyak negara melalui perjanjian internasional sebagai
konsekuensi dari meningkatnya interpedensi antar perekonomian di dunia.

Dewasa ini marak terlihat berbagai perjanjian kerjasama ekonomi regional untuk
membentuk kawasan perdagangan seperti Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (North
American Free Trade Area), Masyarakat Ekonomi Eropa (European Community), Kerjasama
Ekonomi Negara-negara Asia Pasifik (Asia Pacific Economic Cooperation), Kawasan Daratan
Eropa (European Free Trade Association), Kawasan Perdagangan Bebas Asia Tenggara
(ASEAN Free Trade Area), Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ASEAN-China
Free Trade Area), dan kawasan –kawasan lainnya.1 Perkembangan kawasan perdanagan bebas
tersebut, menuntut negara anggotanya untuk melakukan deregulasi terkait kebijakan
perdangangan sebagai wujud dari komitmen perdangangan bebas mereka.

ASEAN adalah organisasi geo-politik dan ekonomi dari negara - negara di kawasan
Asia Tenggara yang memiliki persamaan letak geografis, dasar kebudayaan, nasib dan
kepentingan di berbagai bidang. ASEAN dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok.2
Organisasi regional ini dibentuk untuk meningkatkan kerjasama multilateral antarnegara di
kawasan Asia tenggara yang meliputi bidang ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan
keamanan dan perdamaian antar negara ASEAN.

Pada 28 Januari 1992 ASEAN Free Trade Area (AFTA) dibuat untuk meningkatkan
daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea dan
halangan non-bea dalam ASEAN, melalui mekanisme the Common Effective Preferential

1
Lihat Johannes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia & Perdagangan,
di dalam Adi Tiara Putri halaman 3, “Implementasi Acfta Dalam Hukum Nasional Indonesia” ,(2011) Tesis,
Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia
2
http://asagenerasiku.blogspot.com/2012/09/latar-belakang-berdirinya-asean.html

1
Tariff (CEPT-AFTA Aggrement). Selain itu, melalui AFTA diharapkan dapat menarik
investasi asing langsung ke ASEAN. Dalam perkembangannya kerja sama dalam mekanisme
AFTA diperluas ke berbagai negara lain yang menjadi counterpart utama ASEAN sehingga
terbentuklah Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Korea-FTA (ASEAN-Korea Free Trade
Area), Kawasan Perdagangan Bebas ANZ-FTA (ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade
Area), Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-India FTA (ASEAN-India Free Trade Area), dan
Kawasan Perdagangan Bebas ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area).3

Saat ini, China merupakan salah satu kekuatan utama ekonomi dunia, dan bersama
dengan dua negara Asia Timur lainnya yaitu Jepang dan Korea Selatan telah menjadi mitra
dagang terpenting Indonesia juga ASEAN dari tahun ke tahun. Menilik asal-usul perjanjian
dalam pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN-China, negara-negara anggota
ASEAN merasa perlu memperhitungkan keikutsertaan China sebagai negara dengan
perekonomian yang mulai berkibar dalam kegiatan perekonomian. Dengan mengadakan
perjanjian ACFTA dengan China maka negara-negara anggota ASEAN berharap dapat
membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN.4

Proses awal menuju kesepakatan perjanjian ACFTA diawali dengan dilakukannya


pertemuan antar kepala negara ASEAN dan China yang dilakukan di Bandar Seri Begawan,
Brunei Darussalam pada tanggal 6 November 2001 yang kemudian disahkan melalui
penandatanganan “Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh
antara Negara-negara Anggota ASEAN dan Republik Rakyat Cina” di Phnom Penh, Kamboja
pada tanggal 4 November 2002, Dalam Pasal 8 Framework Agreement on Comprehensive
Economic Co-Operation between ASEAN and the People's Republic of China, dinyatakan
bahwa kawasan perdagangan bebas ASEAN-China secara resmi diberlakukan pada tahun
2010. Perjanjian pada sektor barang merupakan bentuk konkret kerjasama ekonomi pertama
antara ASEAN dan China dengan adanya penandatangan kesepakatan Trade in Goods
Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di
Vientiane, Laos. Hal – hal yang meliputi perdagangan barang akan diberlakukan pada tahun
2010 untuk Brunei, China, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, dan pada

3
Lihat halaman 3, Adi Tiara Putri .2011. “Implementasi Acfta Dalam Hukum Nasional Indonesia” , Tesis,
Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia
4
Ibid

2
tahun 2015 untuk negara-negara anggota baru ASEAN seperti Laos, Myanmar, Vietnam dan
Kamboja.5

Pasal 2 dan 3 Agreement on Trade in Goods of the Framework Agreement on


Comprehensive Economic Co-operation between the Association of Southeast Asian Nations
and the People’s Republic of China diatur tentang kewajiban-kewajiban masing – masing
negara peserta yaitu pemerintah masing-masing negara memberi perlakuan nasional (national
treatment) terhadap barang yang berasal dari negara - negara lainnya. Serta kewajiban lain
yaitu kewajiban berupa pengurangan dan penghapusan tarif atas barang-barang dari negara-
negara anggota ASEAN ataupun China.6

Disepakatinya ACFTA (Asean-China Free Trade Area) berarti Indonesia


menandatangani suatu perjanjian international maka ada kewajiban bagi Indonesia untuk
memberlakukan perjanjian tersebut agar mempunyai landasan hukum di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka dapat diambil rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini sebagai berikut :
a. Bagaiamana respon peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai payung hukum
terhadap perjanjian ACFTA ?
b. Bagaimana dampak peraturan yang dibuat terkait ACFTA terhadap perekonomian
Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :


a. Mengetahui peraturan apa saja yang dibuat sebagai respon terhadap perjanjian ACFTA
b. Mengetahui apakah dampak dari peraturan yang dibuat terkait ACFTA terhadap
perekonomian Indonesia

5
Lihat dalam Pasal 8 ayat 1 Framework Agreement on Comprehensive Economic CoOperation between
ASEAN and the People's Republic of China yang ditandatangi di Phnom Penh, 4 November 2002. Adapun
isi pasalnya yaitu : “For trade in goods, the negotiations on the agreement for tariff reduction or elimination
and other matters as set out in Article 3 of this Agreement shall commence in early 2003 and be concluded
by 30 June 2004 in order to establish the ASEAN-China FTA covering trade in goods by 2010 for Brunei,
China,Indonesia,Malaysia, thePhilippines, Singapore and Thailand, and by 2015 for the newer ASEAN Member
States.“
6
Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South
East Asian Nations And The People’s Republic Of China

3
1.4. Manfaat Penulisan Makalah

Dari tujuan penulisan makalah yang diharapkan dicapai, maka manfaat yang
diharapkan dicapai antara lain sebagai berikut :
a. Mengetahui produk hukum yang telah ditetapkan terkait implementasi ACFTA di
Indonesia
b. Mengetahui dampak dari produk hukum yang telah ditetapkan melalui studi literature
terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia.

1.5. Metode penelitian

Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah studi literatur dari berbagai sumber
yaitu undang-undang, tesis dan jurnal-jurnal penelitian terkait perjanjian ACFTA.

1.6. Sistematika Penulisan


Penulisan terdiri dari 4 bagian, yaitu sebagai berikut :
BAB 1 PENDAHULUAN
Berisikan terkait hal-hal yang melatar belakangi penulisan ini, pokok permasalan
yang muncul, tujuan yang akan dicapai, metode penelitian yang dilakukan serta
sistematika penulisan.
BAB 2 KONSEP DAN TEORI HUKUM MENGENAI PERJANJIAN
INTERNASIONAL
Berisikan teori hukum mengenai perjanjian internasional mulai dari perjanjian dan
hukum internasional, keterkaitan antara perjanjian international dengan hukum di
Indonesia serta tinjauan umum perdagangan internasional dan perjanjian ASEAN
China Free Trade Agreement (ACFTA)
BAB 3 PEMBAHASAN
Berisikan ulasan dan analisis singkat terkait produk hukum Indonesia sebagai
respon terhadap ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) dan dampaknya
terhadap perekonomian Indonesia
BAB 4 PENUTUP
Berisikan kesimpulan dari pokok-pokok permasalahan yang muncul pada bab-bab
sebelumnya dan berisi saran perbaikan awal yang diperlukan dalam memperbaiki
sistem yang ada.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KONSEP DAN TEORI HUKUM MENGENAI PERJANJIAN INTERNASIONAL

2.1. Perjanjian Internasional dan Hukum Internasional


Secara normatif, perjanjian internasional diakui sebagai sesuatu yang mengikat
(legally binding) bagi negara yang ikut serta di dalam perjanjian tersebut. Menurut Abram
Chayes dan Antonia Handler Chayes, terdapat tiga alasan utama yang mendorong suatu
negara mengambil tindakan untuk mematuhi perjanjian internasional7. Pertama, faktor
efisiensi dimana sebuah negara akan memperhitungkan biaya dan keuntungan dari
pelaksanaan perjanjian. Kedua, faktor kepentingan karena pada dasarnya perjanjian dinilai
sebagai alat pemenuh national interest suatu negara. Apabila tidak sesuai dengan
kepentingan nasionalnya, negara tidak perlu mengikatkan diri pada sebuah perjanjian.
Ketiga, faktor norma yang berarti bahwa sebuah perjanjian memiliki kekuatan legal untuk
dipatuhi oleh negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut.
Saat ini terdapat dua konvesi yang mengatur tentang perjanjian internasional
menurut keanggotaannya yaitu Konvesi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional
yang dibuat antar negara (Vienna Convention on The Law of Treaties) dan Konvensi Wina
tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara dan Organisasi Internasional
atau antar Organisasi Internasional (Vienna Convention on The Law of Treaties Between
States and International Organizations or Between International Organozation).
Pembahasan dalam makalah ini akan memiliki fokus pada Konvensi Wina tahun 1969
yang menekankan bahwa perjanjian internasional hanya bisa dibuat oleh negara8.

2.1.1. Definisi Perjanjian Internasional


Dalam konvensi Wina tahun 1969, definisi tentang perjanjian internasional
tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, yang menyebutkan bahwa:

“treaty” means an international agreement concluded between States in written


form and governed by international law, whether embodied in a single instrument
or in two or more related instruments and whatever its particular designation 9”.

7
Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, 1995, “The New Sovereignty: Compliance with International
Regulatory Agreements”, Cambridge; Harvard University Press.
8
Konvesi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Pasal 6.
9
Konvesi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Pasal 2 ayat (1) huruf a.

5
Pasal tersebut bermakna bahwa perjanjian yang dimaksud adalah suatu
persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang
tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrument
tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa
memandang apa pun bentuk namanya.
Para pakar dan sarjana memiliki definisi masing-masing terkait dengan
perjanjian internasional. I Wayan Parthiana berpendapat bahwa perjanjian
internasional adalah kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum
internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk
hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
internasional10. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa perjanjian
internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-
bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu11. Sementara
itu, dalam bukunya Boer Mauna berpendapat bahwa perjanjian internasional
adalah instrumen yuridis yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau
subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama, yang mana
pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan menimbulkan akibat hukum
yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya12.
Dari definisi-definisi tersebut, maka terdapat kriteia-kriteria dasar yang
harus dipenuhi oleh suatu dokumen perjanjian untuk bisa ditetapkan sebagai
dokumen perjanjian internasional menurut Konvensi Wina tahun 1969 13, yang
antara lain:
a. Perjanjian tersebut harus bersifat internasional (an international agreement),
sehingga tidak mencakup perjanjian-perjanjian yang berskala nasional.
b. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional
(by subject of international law), sehingga tidak mencakup perjanjian yang
sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non-subjek hukm
internasional.

10
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional – Bagian 1, Op.Cit., hlm. 12.
11
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Op.Cit., hlm. 117.
12
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT.
Alumni, Bandung, 2008, hlm. 82.
13
Ibid

6
c. Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukume internasional (governed by
international law).

Komisi Hukum Internasional (International Law Comitte) yang merancang


Konvensi Wina tahun 1969, menjelaskan bahwa suatu dokumen adalah
“governed international law” apabila memenuhi dua elemen, yaitu:

a. Ada maksud untuk menciptkan kewajiban dan hubungan hukum (karena ada
kemungkinan terjadi, terdapat perjanjian yang disepakati antar negara tetapi
tidak menimbulkan kewajiban dan hubungan hukum)14.
b. Tunduk pada rezime hukum internasional (karena dimungkinkan, terdapat
perjanjian yang disepakati antar negara tetapi tunduk terhadap hukum
setempat (hukum privat) dari salah satu pihak yang bersepakat yang memiliki
potensi menimbulkan konflik hukum15.

2.1.2. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukun Internasional

Menurut Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice)


pasal 38, ayat 1, dinyatakan bahwa tata urutan sumber-sumber material hukum
internasional16, yaitu :
a. Traktat-traktat dan konvensi-konvensi
b. Kebiasaan internasional
c. Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
d. Keputusan-keputusan yudisial dan opini-opini hukum, sebagai alat tambahan
bagi penetapan kaidah hukum.
Dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tidak memasukkan
keputusan-keputusan badan arbitrasi sebagai sumber hukum internasional karena
dalam prakteknya penyelesaian sengketa melalui badan arbitrasi hanya
merupakan pilihan hukum dan kesepakatan para pihak dalam perjanjian.
Perjanjian intemasional yang dapat dijadikan sumber hukum intemasional, antara
lain:

14
ILC Draft and Commentary on The Law of Treaties, AJIL, Vol.61, 1967.
15
Report of The ILC Special Rapporteur, 1962.
16
Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pasal 38, ayat 1

7
a. Treaty contract, yaitu perjanjian intemasional yang hanya mengikat dan
mengakibatkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengadakan
perjanjian.
b. Law making treaties, yaitu perjanjian yang menghasilkan ketentuan atau
kaidah hukum bagi seluruh masyarakat intemasional.
Perjanjian Intemasional yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam
memutus perkara pada Mahkamah Intemasional, yaitu :
a. Perjanjian antara negara dengan negara.
b. Perjanjian antara negara dengan Vatikan.
c. Perjanjian antara negara dengan organisasi intemasional.
d. Perjanjian antara organisasi intemasional dengan organisasi intemasional.
Menurut pasal 38 (1) Statuta (Piagam) Mahkamah Intemasional, Perjanjian
Intemasional merupakan sumber utama dari sumber-sumber Hukum Intemasional
yang lain. Hal ini dikarenakan perjanjian internasional lebih menjamin kepastian
hukum karena dibuat secara tertulis dan mampu mengatur masalah-masalah
kepentingan Bersama diantara subjek hukum internasional.

2.1.3. Sifat Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional yang merupakan salah satu sumber hukum utama


dari hukum internasional memiliki peranan yang sangat penting dalam
memberikan arahan terhadap pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional.
Oleh karenanya, dalam pelaksanaan perjanjian internasional harus dilihat pula
seberapa besar daya ikat yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan
perjanjian internasional tersebut.
Penggolongan perjanjian berdasarkan atas fungsinya dalam pembentukan
hukum (khususnya di bidang hukum internasional), dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu:

a. Perjanjian Internasional yang membuat Hukum (Law Making Treaties)


Perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi
masyarakat internasional secara keseluruhan, yang pada umumnya
merupakan perjanjian multilateral17. Contohnya: Konvensi Jenewa 1958,

17
T. May Rudy, 2006. Hukum Internasional 1. Yang Menerbitkan PT Refika Aditama : Bandung.

8
yang melahirkan ketentuan-ketentuan tentang hukum laut yang berkaitan
dengan laut teritorial dan jalur tambahan, laut lepas, perikanan dan
perlindungan kekayaan hayati laut lepas.
b. Perjanjian Internasional berupa Kontrak (Treaty Contract)
Perjanjian yang serupa dengan kontrak atau perjanjian yang hanya
mengakibatkan hak-hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian itu saja. Pada hakekatnya treaty contract pun secara tidak langsung
dapat membentuk kaedah-kaedah yang berlaku umum yaitu melalui hukum
kebiasaan. Misalnya perjanjian konsuler yang pada mulanya hanya
menimbulkan kaedah-kaedah di bidang konsuler bagi kedua pihak yang
mengadakan kontrak, lama kelamaan dengan semakin banyaknya diadakan
perjanjian mengenai hal serupa, maka timbullah ketentuan-ketentuan hukum
di bidang konsuler yang berlaku umum melalui proses hukum kebiasaan.
Contoh lainnya adalah kesepakatan yang sudah ada antara Indonesia
dengan Malaysia di wilayah perbatasan adalah garis batas Landas Kontinen
di Selat Malaka dan Laut Natuna berdasarkan Persetujuan antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tentang penetapan
garis batas landas kontinen antara kedua negara (Agreement Between
Government of the Republic Indonesia and Government Malaysia relating to
the delimitation of the continental shelves between the two countries),
tanggal 27 Oktober 1969 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun
1969.

2.1.4. Tahap-tahap Pembuatan Perjanjian Internasional


Adapun tahapan-tahapan dalam pembuatan perjanjian internasional antara lai:
a. Perundingan
Langkah pertama yang harus ditempuh oleh suatu negara dalam
membuat perjanjian internasional adalah dengan melakukan negosiasi
dengan negara-negara yang akan terlibat dalam perjanjian internasional
tersebut. Dilakukan oleh utusan yang ditunjuk oleh Presiden atau Menteri
Luar Negeri. Utusan tersebut dilengkapi dengan surat kuasa (full powers),
yaitu suatu dokumen resmi yang dikeluarkan pejabat berwenang dari suatu
negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk mewakili negaranya
dalam perundingan, menerima atau membuktikan keaslian naskah perjanjian,
9
menyatakan persetujuan suatu negara untuk diikat atau melaksanakan
perbuatan lain sehubungan dengan suatu perjanjian.
Berdasarkan Konvensi Wina 1969 pasal 7 ayat 1, negara dapat
menunjuk seseorang yang ditunjuk untuk mewakili negara tersebut dalam
tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional dengan membuat surat kuasa
penuh (full powers). Surat kuasa penuh tidak diperlukan apabila dari praktek
negara yang berunding mereka harus menganggap orang yang bersangkutan
sebagai mewakili Negara pengirim dan melepaskan surat kuasa penuh18.
Selain itu, dalam ayat 2 juga disampaikan bahwa (a) Kepala Negara,
kepala pemerintahan dan menteri luar negeri; (b) kepala perwakilan
diplomatik dalam rangka mengadopsi perjanjian antara Negara pengirim dan
negara penerima misi diplomatik; (c) Perwakilan Negara pada suatu
konfrensi internasional, organisasi internasional dan organnya dalam rangka
mengadopsi perjanjian hasil konferensi, perjanjian dalam organisasi
internasional dan organnya dalam rangka mengadopsi perjanjian hasil
konferensi, perjanjian dalam organisasi internasional dan organnya; tidak
memerlukan surat kuasa penuh19. Delegasi yang dikirim juga dilengkapi
dengan CREDENTIALS atau surat kepercayaan, hal ini untuk mengetahui atau
dapat juga untuk memutuskan delegasi mana yang betul-betul mewakili suatu
negara (terutama bila ada pemerintah tandingan).
b. Penandatanganan
Penandatanganan dimaksudkan sebagai otentikasi naskah keputusan
hasil perundingan. Akibat atau pengaruh penandatanganan tergantung pada
apakah perjanjian itu tunduk pada ratifikasi atau tidak. Dalam Konvensi
Wina pasal 12 tahun 1969 ayat (1), disebutkan bahwa Persetujuan negara
untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tanda tangan
wakil negara tersebut20;

a. Bila perjanjian tersebut yang menyatakannya;


b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang berunding menyetujuinya
demikian;

18
Konvesi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Pasal 7 ayat (1)
19
Ibid.
20
Konvesi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Pasal 12 ayat (1)

10
c. Bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau
dinyatakan dengan jelas waktu perundingan.

c. Pengesahan
Pengesahan meupakan perbuatan negara yang dalam taraf internasional
menetapkan persetujuannya untuk terikat pada suatu Perjanjian Internasional
yang sudah ditandatangani. Saat ini ratifikasi menjadi praktik yang berlaku
secara umum. Adapun pentingnya ratifikasi antara lain:
1) Perjanjian umumnya menyangkut kepentingan dan mengikat masa depan
negara dalam hal-hal tertentu, karena itu harus disahkan oleh kekuasaan
negara tertinggi.
2) Untuk menghindarkan kontroversi antara utusan-utusan yang berunding
dengan pemerintah yang mengutus.
3) Perlu adanya waktu agar instansi yang bersangkutan dapat mempelajari
naskah yang diterima.
4) Pengaruh rezim parlementer yang mempunyai wewenang untuk
mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif.

2.1.5. Bentuk dan Peristilahan Perjanjian Internasional

Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi


yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda
tingkatannya. Namun demikian, secara hukum perbedaan tersebut tidak relevan
dan tidak harus mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam
suatu Perjanjian Internasional.
Adapun nama dan bentuk Perjanjian Internasional yang sering digunakan
antara lain21:

a. Traktat (Treaty)
Traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang
sangat penting yang mengikat negara secara menyeluruh yang umumnya

21
Agusman, Damos D. Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia. Bandung: Refika
Aditama, 2010

11
bersifat multilateral. Namun demikian kebiasaan negara-negara di masa
lampau menggunakan istilah Treaty untuk perjanjian bilateral.
Misal:
• Perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Indonesia dengan
negara-negara ASEAN (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast
Asia),
• Southeast Asia Nuclear Weapon-Free-Zone (SEANWFZ) 1995 yang
berlaku tahun 1997.
b. Konvensi (Convention)
Konvensi adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang
penting dan resmi yang bersifat multilateral. Konvensi biasanya bersifat
“Law Making Treaty” dengan pengertian yang meletakkan kaidah-kaidah
hukum bagi masyarakat internasional.
Misal:
• Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang,
• Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut,
• Konvensi Wina 1941 tentang Hubungan Diplomatok

c. Persetujuan (Agreement)
Persetujuan adalah bentuk perjanjian internasional yang umumnya bersifat
bilateral dengan substansi lebih kecil lingkupnya dari dibandingkan dengan
materi yang diatur dalam Treaty atau Convention. Bentuk ini secara terbatas
juga digunakan dalam perjanjian multilateral. Biasanya digunakan pada
perjanjian dibidang ekonomi, kebudayaan, teknologi, ilmu pengetahuan,
keuangan (pecegahan pajak berganda, perlindungan investasi dan bantuan
keuangan).
d. Deklarasi (Declaration)
Suatu perjanjian yang berisikan ketentuan-ketentuan umum dimana pihak-
pihak dalam deklaras tersebut berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-
kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang.
Misal:
• Declaration of Zone of Peace, Freedom and Neutrality 1971 (mengikat
seperti halnya perjanjian internasional lainnya),

12
• Universal Declaration of Human Rights 1948 (bersifat himbauan, tanpa
ikatan hukum).
e. Final Act
Dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu konferensi dan
juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang
dihasilkan oleh konferensi tersebut. Penandatanganan final act bukan berarti
penerimaan terhadap perjanjian internasional atau konvensi yang dihasilkan
(hanya kesaksian berakhirnya tahapan proses pembuatan saja)
Misal:
• Final Act General Agreement on Tarif and Trade (GATT) 1994,
• Final Act Embodying the Result of the Urruguay Round of Multilateral
Trade Negotiating 1994
f. Memorandum of Understanding
Perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian
induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknik, memorandum of
understanding dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian
induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah
penandatangan tanpa memerlukan pengesahan.
g. Pengaturan (Arrangement)
Pengaturan adalah bentuk lain dari perjanjian yang dibuat sebagai pelaksana
teknis dari suatu perjanjian yang telah ada (sering juga disebut sebagai
specific/implementing Arrangement)
Misal:
Studi kelayakan Proyek Tenaga Uap 1979 antara Departemen Pertambangan
RI dengan Canadian International Development Agency
h. Pertukaran Nota (Exchange of Notes)
Exchange of Notes adalah suatu pertukaran penyampaian atau
pemberitahuan resmi posisi pemerintah masing-masing Negara yang telah
disetujui bersama mengenai suatu masalah tertentu. Instrumen bisa menjadi
suatu perjanjian itu sendiri jika para pihak bermaksud untuk itu, yang dikenal
dengan istilah Exchange of Notes.
Exchange of Notes dapat digunakan dalam hal-hal sebagai berikut:

13
1) Pemberitahuan telah dipenuhinya prosedur konstitutional/ratifikasi suatu
perjanjian internasional.
2) Konfirmasi tentang kesepakatan terhadap perbaikan (rectification) dari
suatu perjanjian internasional.
3) Pengakhiran atau perpanjangan masa berlaku dari suatu perjanjian
internasional.
4) Penyampaian aspek-aspek teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian
internasional
5) Bentuk lain dari perjanjian internasional (Exchange of Notes Constitute
Treaty)
i. Modus Vivendi
Modus Vivendi biasa digunakan sebagai instrumen kesepakatan yang
bersifat sementara dan informal. Pada umumnya para pihak akan
menindaklanjuti dengan bentuk perjanjian yang lebih formal dan permanen.

2.2. Perjanjian Internasional dan Hukum Nasional di Indonesia

2.2.1. Pengertian Perjanjian Internasional dan Perkembangannya di Indonesia

Secara umum, perjanjian internasional dipahami sebagai semua perjanjian


yang bersifat lintas batas negara atau transnasional. Di kalangan publik, tidak
dibedakan antara perjanjian internasional dan kontrak internasional karena
keduanya dipahami sebagai perjanjian internasional tanpa melihat siapa
subjeknya, apa karakter hubungan hukumnya, serta rezim hukum apa yang
menguasainya22. Indonesia sebagai negara hukum juga telah memiliki sebuah
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai
Perjanjian Internasional yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional. Dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional tersebut
Perjanjian Internsional didefinisikan sebagai:
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu,
yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”23

22
Agusman, Hukum Perjanjian Internasional..., hlm. 33
23
Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN No. 185 Tahun 2000,
TLN 4012, ps. 1 ayat 1.

14
Dalam perundang-undangan sebelumnya Perjanjian Internasional pernah
diberikan definisi dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri yaitu:
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan
apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh
Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi
internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan
hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum
publik.”24

Setelah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


Internasional, praktik di Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang
perjanjian namun masih terdapat kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan
dengan “governed by international law”, sehingga semua dokumen sepanjang
dibuat oleh Pemerintah RI dengan subjek hukum internasional masih dianggap
sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum
nasional seperti atau sekalipun perjanjian itu pada hakikatnya tidak menciptakan
kewajiban atau hubungan hukum.

2.2.2. Perkembangan Periodisasi Peraturan Perundang-undangan terkait


Perjanjian Internasional di Indonesia

Indonesiapun sebagai anggota masyarakat internasional memiliki peraturan


perundang-undangan yang merupakan dasar hukum tentang perjanjian
internasional, yakni, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 11 UUD 1945
Perubahan Ketiga (2001) dan Perubahan Keempat (2002) serta Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Namun karena Indonesia
sudah berwujud sebagai negara berdaulat sejak proklamasi 17 Agustus 1945, dan
dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami beberapa kali perubahan bentuk
negara dengan Undang-Undang dasarnya masing-masing, tentu saja dasar hukum
dari perjanjian internasional ini perlu ditelusuri dari awal sesuai dengan Undang-
Undang Dasar yang pernah berlaku hingga kini.
Damos D. Agusman membagi rejim hukum bagi perjanjian internasional
di Indonesia menjadi tiga rejim yang berbeda. Pertama periode tahun 1945-
1960 dimana perjanjian internasional didasarkan pada 3 (tiga) UUD yang

24
Indonesia, Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 37 Tahun 1999, LN No.156 Tahun 1999, TLN
No. 3882, ps. 1 ayat 3

15
berlaku berturut-turut pada periode itu, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1945,
dan UUDS 1950. Periode kedua adalah antara tahun 1960-2000, dimana
sekalipun berlandaskan UUD 1945 perjanjian internasional tunduk pada
ketentuan seperti yang diatur pada Surat Presiden 2826 tahun 1960. Periode
terakhir adalah sejak tahun 2000 sampai saat ini yang ditandai dengan
berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional25.
a. Periode 1945 – 1960
Dalam hal pembuatan perjanjian internasional di Indonesia,
pada saat sebelum adanya perubahan dalam UUD 1945, pasal yang digunakan
adalah Pasal 11 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa:
”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”.

Pasal ini tidak secara khusus mengatur tentang perjanjian internasional,


akan tetapi menempatkannya menjadi satu bagian dengan kekuasaan presiden
lainnya dalam bidang hubungan luar negeri yaitu menyatakan perang dan
membuat perdamaian. Aturan ini sangat singkat dan tidak dimaksudkan untuk
mengatur tentang pembuatan perjanjian internasional itu sendiri melainkan
hanya mengidentifikasi kewenangan presiden sebagai kepala negara antara
lain membuat perjanjian internasional. Oleh karena itu, pasal ini sulit
digunakan sebagai dasar yang kuat untuk mengetahui posisi perjanjian
internasional dalam sistem hukum Indonesia. Demikian halnya, para ahli juga
mengalami kesulitan untuk menemukan latar belakang dirumuskannya pasal
yang singkat tersebut.(Agusman dan Sinta, 2008: 170)
Lebih lanjut, ketika Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat,
pembuatan perjanjian internasional didasarkan pada Pasal 175 Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menyatakan bahwa:

“(1) Presiden mengadakan dan mengesahkan segala perjanjian (traktat) dan


persetujuan lain dengan negara-negara lain kecuali ditentukan lain dengan
undang-undang federal, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan,
melainkan sesudah disetujui dengan undang-undang. (2) Masuk dalam dan
memutuskan perjanjian dan persetujuan lain dilakukan oleh Presiden dengan

25
Damos Dumali Agusman, Status Hukum Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional RI: Dari Perspektif Praktik Di
Indonesia, Indonesia Jurnal of International Law, Volume 5 Nomor 3 April 2008.

16
kuasa undang-undang.”26

Adapun dalam kurun waktu Undang-Undang Dasar Semestara (UUDS) 1950,


pengaturan tentang perjanjian internasional tidak jauh berbeda dengan Pasal
175 Konstitusi RIS. Dalam UUDS dinyatakan bahwa:

“(1) Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian (traktat) dan


persetujuan lain dengan negara- negara lain. Kecuali jika ditentukan lain
dengan undang-undang perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan,
melainkan sesudah disetujui dengan undang-undang. (2) Masuk dalam dan
memutuskan perjanjian dan persetujuan lain, dilakukan oleh Presiden bahwa
dengan kuasa undang-undang.”27
Dengan demikian dasar hukum perjanjian internasional kembali pada Pasal 11
UUD 1945 dengan rumusan yang tidak berubah.

b. Periode 1960 – 2000


Pasal 11 UUD 1945 sangat sederhana dan hanya mengatur kekuasaan
Presiden. Pasal ini tidak menyentuh sama sekali tentang persoalan perjanjian
internasional itu sendiri dan sangat merefleksikan sikap tradisional negara-
negara28 terhadap hukum internasional, apa lagi negara-negara yang baru
merdeka29. Dengan demikian pasal 11 UUD 1945 tidak dapat menjelaskan
tentang apa yang dimaksud dengan perjanjian, membuat perjanjian serta apa
bentuk formal dari persetujuan DPR. Pasal ini belum mampu untuk
menjelaskan tentang bagaimana kedudukan hukum perjanjian dalam sistem
hukum nasional Indonesia.
Ketidakjelasan Pasal 11 ini tentunya melahirkan kesulitan dalam praktik
Indonesia. Amandemen UUD 1945 bukanlah opsi yang tersedia pada periode
sebelum reformasi sehingga guna mengatasi kesulitan ini dikeluarkan
kebijakan yang tertuang dalam produk legislasi di luar UUD 1945. Pertama
adalah Surat Presiden 2826 tahun 1960 yang intinya memuat kriteria tentang
perjanjian yang perlu mendapat persetujuan DPR dan yang tidak. Menurut

26
Suryono, Edy, 1984, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Remadja Karya, Bandung, hlm.
33-34.
27
Ibid.
28
Pada tahun 1923, Quincy Right menyatakan bahwa “the traditional treatment of international law almost if not wholly
dissociated it from constitutional law, Right, Quincy, International Law in its Relations to Constitutional Law, 17 AJIL
1923, at 234.
29
Deener menilai bahwa konstitusi Negara-negara pasca PD II tidak tertarik pada hukum internasional, Deener,
David R, International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36 Cornell Law Review, 1951,
526

17
Surat Presiden tersebut maka perjanjian internasional yang harus disampaikan
kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan adalah yang mengandung materi
sebagai berikut30:
1. Hal-hal politik atau hal-hal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar
negeri seperti halnya perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-
perjanjian persekutuan (aliansi), dan perjanjian-perjanjian tentang
perubahan wilayah atau penetapan tapal batas.

2. Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi


haluan politik luar negeri negara.

3. Hal-hal yang menurut UUD atau berdasarkan sistem perundang-undangan


kita harus diatur dengan Undang-Undang, seperti masalah
kewarganegaraan dan masalah-masalah kehakiman.
Dengan kriteria ini maka tidak semua perjanjian harus mendapat
perstujuan DPR dan oleh para ahli dinilai telah terjadi amandemen substantive
yang terselubung terhadap pasal 11 UUD 1945. Semula Pasal ini tegas
mengartikan bahwa semua perjanjian harus mendapat persetujuan DPR namun
oleh Surat tersebut telah diubah menjadi hanya perjanjian tertentu.
c. Periode 2000 – sampai sekarang
Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960, yang
mengatur mengenai pengesahan melalui undang-undang atau Keputusan
Presiden terkait dengan praktek pembuatan perjanjian internasional di
Indonesia hanya didasarkan atas pertimbangan kecepatan dan kemudahan saja
tanpa mempertimbangkan aspek yuridis lainnya yang lebih penting, sehingga
hal ini mengarah pada praktek fiat accompli yuridis terhadap kekuasaan DPR
dalam hal pembuatan perjanjian internasional31.
Pada tanggal 23 Oktober 2000. Pemerintah Indonesia mengundangkan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
(selanjutnya disingkat UUPI). Pasal 9 UUPI mengatur sebagai berikut:
1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia
dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut.

30
Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang "Pembuatan
Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain"
31
Wisnu Ayo Dewanto, Status Hukum Internasional Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, Mimbar Hukum,
Volume 21, Nomor 2, Juni 2009

18
2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.
Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UUPI tersebut diatas, dalam prakteknya ada
dua macam pengesahan perjanjian internasional di Indonesia, yaitu dengan
undang-undang dan keputusan presiden. Dalam menentukan ratifikasi
perjanjian internasional apakah akan diratifikasi dengan Undang- undang atau
dengan keppres, dilihat dari substansi atau materi perjanjian bukan
berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian, dan dilakukan oleh
Departement Luar Negeri.
Pasal 11 UUD 1945 jo Pasal 9 UU No. 24 tahun 2000 merupakan
prosedur hukum internal Indonesia (politik hukum) yang mengatur bagaimana
Indonesia terikat atas perjanjian internasional. Jika ditafsirkan secara
sistematis, pengesahan dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000 merupakan
turunan dari kata “persetujuan DPR” dalam Pasal 11 UUD 1945. Dengan
demikian, pengesahan dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000 harus
dilakukan sebelum adanya pengesahan eksternal yang terdapat dalam Pasal 9
ayat 1.

2.2.3. Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Dua aliran besar telah terbentuk akibat adanya pandangan yang berbeda
mengenai dasar pengikat berlakunya hukum internasional, khususnya teori
voluntaris dan obyektivis. Aliran-aliran tersebut adalah32:
a. Aliran Monisme
Penganut aliran ini berpendapat bahwa hukum nasional dan hukum
internasional adalah merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum. Semua
hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari aturan-aturan yang mengikat,
apakah itu terhadap negara, individu ataupun subyek lain selain negara. Oleh
karena itu baik hukum nasional maupun hukum internasional adalah bagian
dari satu ilmu hukum yang mengatur kehidupan manusia33.
Akibat pandangan ini adalah dimungkinkannya suatu hubungan hierarki

32
Melda Kamil Ariadno: Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Hukum
Internasional Vol 5 No 3 April 2008 LPHI FHUI hlm. 508.
33
Ibid

19
antara kedua sistem hukum tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya dua
pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara
hukum nasional dengan hukum internasional jika keduanya terjadi suatu
pertentangan/konflik. Paham-paham tersebut adalah:
1) Paham Monisme primat Hukum Nasional
Paham ini menganggap bahwa hukum nasional lebih utama kedudukannya
daripada hukum nasional dan pada hakikatnya hukum nasional adalah sumber dari
hukum internasional. Alasan yang dikemukakan adalah34:
a) Tidak ada satu organisasi dunia yang berada di atas negara-negara dan
mengatur kehidupan negara-negara tersebut.
b) Dasar dari hukum internasional terletak pada wewenang konstitusional
Negara-negara (kewenangan Negara utuk membuat perjanjian
internasional).
Teori ini mempunyai banyak kelemahan, hukum internasional seolah-oleh
hanya berupa hukum tertulis, sehingga didasari pada wewenang konstitusional
negara, padahal hukum internasional juga terdiri dari hukum kebiasaan yang tidak
tertulis.
2) Paham Monisme Primat Hukum Internasional
Paham ini beranggapan bahwa hukum nasional itu bersumber pada hukum
internasional yang pada dasarnya mempunyai hirarkis yang lebih tinggi, maka
supremasi hukum harus dibagikan kepada dari seratus negara-negara di dunia
dengan sistem yang masing-masing berbeda35.
Hukum internasional pada dasarnya dianggap oleh paham ini lebih unggul
daripada hukum nasional. Hal ini didasarkan pada fakta strategis, yaitu 36:
a) Jika hukum internsional tergantung pada konstitusi negara maka apabila
konstitusi negara itu diganti maka hukum internasional tersebut tidak
dapat lagi berlaku. Sejak Konferensi London tahun 1831 telah diakui
bahwa keberadaan hukum internasional tidak tergantung kepada
perubahan atau penghapusan konstitusi ataupun revolusi pada suatu
negara sekalipun
b) Telah diakui bahwa suatu negara baru yang memenuhi masyarakat

34
Ibid
35
Ibid
36
Ibid

20
internasional akan terikat oleh hukum internasional yang berlaku, tanpa
ada persetujuan terlebih dahulu. Apabila persetujuan itu dinyatakan maka
hanya merupakan pernyataan dari kedudukan hukum yang sudah ada. Di
samping itu terdapat kewajiban setiap negara untuk menyelaraskan
hukum nasionalnya, termasuk konstitusinya, dengan hukum internasional.
b. Aliran Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa hukum nasional (state law) dan hukum
internasional adalah dua sistem hukum yang berbeda. Triepel, salah seorang
pemuka aliran ini, mengemukakan dua perbedaan antara system hukum
nasional dan internasional, yaitu37:
a. Subyek hukum, dalam hukum nasional subyek hukum adalah individu
dan badan hukum sedangkan subyek hukum internasional adalah
negara.
b. Sumber hukum, dalam hukum nasional sumber hukum berasal dari
kehendak negara masing-masing sedangkan hukum internasional
berasal dari kehendak bersama negara-negara
c. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan
hukum pada realitasnya terdapat mahkamah dan organ eksekutif yang
hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat
dalam hukum internasional
Akibat yang penting dari teori ini adalah bahwa kaedah-kaedah dari
perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasarkan
perangkat hukum yang lain, dengan kata lain tidak akan ada persoalan hierarki
antara kedua perangkat hukum tersebut. Dengan demikian ketentuan hukum
internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional sebelum
dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional. Hal ini tidak dapat diterima
secara memuaskan karena dalam praktiknya seringkali hukum nasional harus
memperhatikan hukum internasional atau sebaliknya38.
Kedua teori tersebut berlaku apabila ada pertentangan antara hukum
nasional dan hukum internasional Hukum nasional memang mempunyai
kedaulatan penuh, akan tetapi hal ini semata-mata mencerminkan bahwa suatu

37
Ibid
38
Ibid

21
negara akan mempunyai kewenangan dengan hukum internasional sebagai
pembatasnya.

2.3. Tinjauan Umum Perdagngan Internasional dan Perjanjian Asian China Free Trade
Agreement (ACFTA)
2.3.1. Teori Perdagangan Internasional

Menurut Christianto39 pengertian perdagangan internasional secara


sederhana menurut kamus ekonomi yaitu perdagangan yang terjadi antara dua
negara atau lebih. Perdagangan luar negeri merupakan aspek penting bagi
perekonomian suatu negara. Dasar dalam perdagangan internasional adalah
adanya perdagangan barang dan jasa antara dua negara atau lebih yang
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan ini terjadi apabila
terdapat permintaan dan penawaran pada pasar internasional. Menurut
Salvatore ada beberapa teori perdagangan internasional yaitu40 :
a. Teori Merkantilisme
Era merkantilisme mulai muncul sejak abad ke 17 dan 18. Para penganut
merkantilisme percaya bahwa negara bisa mendapatkan keuntungan dari
perdagangan internasional hanya dengan mengorbankan negara-negara lain.
Sebagai hasilnya, mereka menganjurkan pembatasan impor, insentif untuk ekspor,
dan peraturan pemerintah yang ketat untuk semua kegiatan ekonomi41.
b. Teori Keunggulan Absolut Adam Smith
Menurut Adam Smith42, perdagangan antara dua negara didasarkan pada
keunggulan absolute. Ketika satu negara lebih efisien daripada atau memiliki
keunggulan absolut atas yang lain dalam produksi satu komoditas tetapi kurang
efisien daripada atau memiliki kelemahan absolut terhadap negara lain dan
memproduksi komoditas yang kedua, kedua negara dapat mendapatkan manfaat
dengan masing-masing mengkhususkan diri dalam produksi komoditas yang
memiliki keunggulan absolut dan bertukar hasil dengan negara lain untuk
komoditas yang memiliki kelemahan absolut. Dengan proses ini, sumber daya
digunakan dengan cara yang paling efisien dan hasil dari kedua komoditas akan

39
Christian, Edward. 2013. Faktor Yang Mempengaruhi Volume Impor Beras diIndonesia. Jurnal JIBEKA Volume
7 No 2 Aguatus 2013: 38-43
40
Salvatore, D. 2004, International Economics, Eight Edition, Wiley
41
Ibid
42
Ibid

22
naik. Peningkatan dalam hasil komoditas keduanya merupakan ukuran
keuntungan dari spesialisasi dalam produksi yang tersedia untuk dibagi antara
kedua negara melalui perdagangan.
c. Teori Keunggulan Komparatif
David Ricardo memperkenalkan hukum keunggulan komparatif. Dia
mendalilkan bahwa bahkan jika satu negara kurang efisien dibandingkan negara
lain dalam produksi kedua komoditas, masih ada landasan untuk perdagangan
yang saling menguntungkan (asalkan kelemahan absolut negara pertama yang
berkaitan dengan yang kedua adalah tidak dalam proporsi yang sama di kedua
komoditas). Negara yang kurang efisien harus mengkhususkan diri dalam
produksi dan ekspor dari komoditas yang punya kelemahan absolut lebih kecil (ini
yangakan menjadi komoditas yang merupakan keunggulan komparatif) dan
mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian absolut yang lebih besar (ini
yang akan menjadi komoditas dengan kerugian komparatif). Hukum keunggulan
komparatif inilah yang menjadi dasar bagi suatu negara untuk saling menukarkan
komoditi melalui ekspor dan impor.43

2.3.2. Dampak Perdagangan Internasional terhadap Hukum di Indonesia

Perdagangan dapat menguntungkan semua pihak jika suatu negara


membuka pasarnya bagi perdagangan internasional, maka hal itu akan
memunculkan pihak – pihak yang diuntungkan dan pihak – pihak yang
dirugikan, tidak peduli apakah negara tersebut menjadi pengekspor atau
pengimpor. Dalam menggiatkan kegiatan perekonomiannya, Indonesia juga
berperan aktif dalam perdagangan internasional. Dalam mendorong
pertumbuhannya terutama ekspor impor, pemerintah mengeluarkan berbagai
kebijakan sebagai dasar pengaturan. Bentuk kebijaksanaan pemerintah tersebut
diantaranya44:
a. Inpres No. 4 Tahun 1985, yaitu tentang penyempurnaan dalam tata cara
pelaksanaan ekspor impor terutama tentang pemeriksaan barang ekspor
impor.
b. PAKEM (Paket Kebijaksanaan Mei) tahun 1986, yaitu tentang tata cara

43
Ibid
44
Perdagangan Internasional” dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/ perdagangan-
internasional-akuntansi-internasional/ , diakses tanggal 30 Desember 2012

23
permohonan pengembalian bea masuk atau pembebasan bea masuk tambahan.
c. PAKDES (Paket Kebijaksaan Desember) tahun 1987, yaitu tentang
kelonggaran yang diberikan berkaitan dengan ekspor impor.
d. PAKTO (Paket Kebijaksanaan Oktober) tahun 1988, yaitu tentang perubahan
dalam tata cara dan kemudahan ekspor impor.
Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut serta dalam pertemuan
double WTO45, tidak terlepas dari rangkaian kebijakasanaan disektor
perdagangan. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota organisasi
perdagangan internasional , Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-
ketentuan perdagangan internasional yang disepakati dalam perundingan GATT-
WTO. Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan
perundang-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO, artinya
dalam melakukan harmonisasi Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan
nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan WTO46.
Saat menghadapi era globalisasi di bidang ekonomi khususnya perdagangan
internasional, hukum perdagangan internasional sangat diperlukan dalam
melakukan hubungan hukum atau transaksi antar bangsa. Hubungan tersebut
menyangkut kegiatan perniagaan atau pertukaran barang, jasa, modal maupun
tenaga kerja, yang memasukan barang kedalam daerah pabean, dan mengeluarkan
barang dari daerah pabean. Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan perdagangan internasional
antara lain47:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk
Antidumping dan Bea Masuk Imbalan,

45World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang
secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu
persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani
oleh negara-negara anggota. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan
Pembentukan WTO melalui UU Nomor. 7/1994. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 untuk menggantikan
GATT. WTO mempunyai anggota 149 negara serta 32 negara pengamat yang sudah mendaftar untuk jadi anggota. Tugas
utamanya adalah mendorong perdagangan bebas, dengan mengurangi dan menghilangkan hambatan-hambatan
perdagangan seprti tariff dan non tariff
46
“Perdagangan Internasional” dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/ perdagangan-
internasional-akuntansi-internasional/ , diakses tanggal 30 Desember 2012
47
Amir M.S, Kontrak Dagang Ekspor, Penerbit PPM, Jakarta, 2002, hal. 20

24
4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
136/MPP/Kep/6/1996 tentang Pembentukan Komite Antidumping
Indonesia
5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 172/MPP/Kep/10/
2000 tentang Organisasi dan Cara Kerja Tim Organisasi Antidumping.
6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Antidumping Indonesia.
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
428/MPP/kep/10/2000 tentang Pengangkatan Anggota Komite Antidumping
Indonesia.
8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
216/MPP/Kep/7/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian
Nomor 261/MPP/kep/9/1996 tentang Tata Cara Persyaratan Pengajuan
Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi.
9. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37/M-
Dag/per/9/2008 tentang Surat Keterangan Asala (certificate of origin).
Terhadap barang impor yang dikenakan tindakan pengamanan (safeguard).

2.3.3. Sejarah terbentuknya Perjanjian ACFTA

ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara


negaranegara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan
perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan
perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa,
peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama
ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak ACFTA dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China48.
Dalam membentuk ACFTA, para Kepala Negara Anggota ASEAN dan
China telah menandatangani ASEAN - China Comprehensive Economic
Cooperation pada tanggal 6 Nopember 2001 di Bandar Sri Begawan, Brunei
Darussalam. Sebagai titik awal proses pembentukan ACFTA para Kepala Negara
kedua pihak menandatangani Framework Agreement on Comprehensive
Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China di

48
Direktorat Kerjasama Regional Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional

25
Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 Nopember 2002. Protokol perubahan
Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 6 Oktober 2003, di Bali,
Indonesia. Protokol perubahan kedua Framework Agreement ditandatangani pada
tanggal 8 Desember 2006. Indonesia telah meratifikasi Ratifikasi Framework
Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun
2004 tanggal 15 Juni 2004. Setelah negosiasi tuntas, secara formal ACFTA
pertama kali diluncurkan sejak ditandatanganinya Trade in Goods Agreement dan
Dispute Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di
Vientiane, Laos49.
Adapun tujuan yang melatarbelaknagi dibentuknya ACFTA ini antara lain:
1)Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan
investasi antara negara-negara anggota. 2)Meliberalisasi secara progresif dan
meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang
transparan dan untuk mempermudah investasi. 3)Menggali bidang-bidang
kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka
kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota. 4)Memfasilitasi integrasi
ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos,
Myanmar, dan Vietnam –CLMV) dan menjembatani kesenjangan pembangunan
ekonomi diantara negara-negara anggota.

49
Ibid

26
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Respon Pemerintah Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional

Indonesia sebagai negara berdaulat memiliki hubungan dengan dunia internasional


sejak awal proklamasi kemerdekaan negara ini. Hal ini tercermin pada Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 Alinea keempat yang berbunyi “....dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial,...”. Lebih lanjut, pada Pasal 11 UUD 1945 (Amandemen ke-4) dinyatakan bahwa
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”. Pasal 11 tersebut masuk dalam BAB III
tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Oleh karena itu, pasal-pasal di dalamnya
menjelaskan tentang kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan. Meskipun
demikian, pasal 11 ini menjadi salah satu awal keterlibatan Indonesia dalam masyarakat
dunia, khususnya dalam hal perjanjian internasional.
Proses dalam pembetukan perjanjian internasional dimulai dengan tahap
perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. Dalam beberapa situasi, penandatanganan
dapat serta merta mengikat negara yang menandatanganinya. Namun, seringkali
penandatanganan belum bersifat mengikat negara tersebut sampai adanya ratifikasi.
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2000, suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh
Indonesia baik yang bersifat bilateral maupun multilateral dapat berlaku setelah perjanjian
itu ditandatangani atau setelah perjanjian itu disahkan melalui undang-undang atau
keputusan presiden. Ketentuan lanjutan mengenai jenis-jenis perjanjian internasional yang
perlu disahkan oleh undang-undang tercantum pada pasal 10 dan pasal 11 UU No. 24
Tahun 2000. Secara singkat, perjanjian internasional yang harus disahkan melalui undang-
undang apabila berkaitan dengan politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.
Sedangkan pengesahan perjanjian internasional yang tidak termasuk materi sebagaimana
tersebut dalam pasal 10 dilakukan keputusan presiden.

27
3.2 Respon Pemerintah Indonesia Terhadap ACFTA

Dalam membentuk suatu kawasan perdagangan bebas diperlukan suatu landasan


hukum (yang tertuang didalam suatu perjanjian Internasional). Setelah melalui rangkaian
proses pembahasan, Indonesia memastikan diri untuk ikut serta dalam ACFTA Agreement
melalui penandatangan ACFTA di Phnom Penh Tahun 2002 oleh bangsa-bangsa Asia
Tenggara termasuk Indonesia dengan China. (Disepakatinya ACFTA (Asean-China Free
Trade Area) berarti Indonesia menandatangani suatu perjanjian international maka timbul
kewajiban bagi Indonesia untuk memberlakukan perjanjian tersebut agar mempunyai
landasan hukum di Indonesia). Maka sebagai respon terhadap perjanjian tersebut,
Indonesia melakukan ratifikasi persetujuan ACFTA melalui Keputusan Presiden Nomor
48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004 tentang Pengesahan Persetujuan Kerangka Kerja
Mengenai Kerjasama Menyeluruh Antar Negara – Negara Anggota Asosiasi Bangsa –
Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China, (keputusan ini juga sejalan dengan
hasil konvensi Wina tahun 1969 yaitu dengan meratifikasi ACFTA berarti Indonesia
memiliki kewajiban secara internasional terhadap pelaksanaan ACFTA bersama dengan
negara-negara yang telah sepakat untuk melaksanakannya.)
Ratifikasi Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 ini secara otomatis telah
menjadikan perjanjian ACFTA sebagai bagian dari hukum nasional negara Indonesia.
Selain Kepres sebagai perwujudan respon terhadap ACFTA, pemerintah Indonesia
menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait teknis pelaksanaan ACFTA,
yang terdiri dari:
• Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 355/KMK.01/2004
tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang
dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area;
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.010/2005
tanggal 7 Juli 2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal
Track ASEAN-China Free Trade Area;
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.010/2006
tanggal 15 Maret 2006 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka
Normal Track ASEAN-China Free Trade Area;
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 04/PMK.011/2007
tanggal 25 Januari 2007 tentang Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk
dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area;

28
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.011/2007
tanggal 22 Mei 2007 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-
China Free Trade Area;
• Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008
tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka
ASEAN-China Free Trade Area.

3.3 Daya Mengikat Perjanjian ACFTA Terhadap Indonesia

Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional telah mengatur secara ketat
bagaimana suatu Negara dapat menarik diri dari suatu perjanjian dan tidak lagi membuka
ruang bagi tindakan unilateral penarikan diri sepanjang tindakan itu disetujui oleh para
pihak perjanjian. Selain itu, Konvensi ini melarang Negara mengingkari perjanjian dengan
menggunakan tameng hukum nasionalnya. Hal ini juga berlaku untuk perjanjian ACFTA
yang diratifikasi oleh Indonesia.
Dari perspektif nasional Indonesia, perjanjian internasional mendapatkan kekuatan
mengikat berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Namun, keterbatasan pengaturan mengenai perjanjian intenasional dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakibatkan ketidakpastian
dalam menerapkan hukum internasional, khususnya perjanjian internasional ke dalam
ranah hukum nasional Indonesia. Peraturan yang mengatur tentang hierarkhi perundang-
undangan di Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari TAP MPRS
Nomor 20/MPRS/1966, TAP MPR Nomor III/MPR/2000, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tantang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sampai dengan
perubahan yang terbaru dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai pengganti Undang- Undang Nomor
10 Tahun 2004 tantang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dari beberapa
pengaturan tersebut, tidak satupun yang menempatkan perjanjian internasional sebagai
peraturan yang mengikat Indonesia dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan. Dan
kekuatan hukumnya ditegaskan pada pasal 7 ayat 2: “Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
(Puspitawati, 2015).
Sehubungan ratifikasi Indonesia perjanjian ACFTA melalui Kepres Nomo 48
Tahun 2004, sulit rasanya bagi Indonesia untuk menarik diri dari perjanjian tersebut.

29
Sekalipun pada waktu tertentu Indonesia merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut, maka
langkah-langkah yang harus diambil oleh Indonesia tidaklah semudah membatalkan
perjanjian bilateral. Hal ini dikarenakan perjanjian ACFTA adalah perjanjian yang
melibatkan negara-negara di ASEAN yang didalamnya terdapat Indonesia dengan China.
Menurut Prof. Hikmahanto (Guru Besar Hukum Internasional UI), dalam prakteknya sulit
untuk membatalkan perjanjian ACFTA jika tidak ada kesepakatan bersama seluruh negara
yang terlibat. Hal ini sesuai dengan rumusan pasal 14 pada kerangka perjanjian ACFTA
yang berbunyi : “The provisions of this Agreement may be modified through amendments
mutually agreed upon in writing by the Parties”. Dalam rumusan berbeda bermakna sama,
pasal 19 Perjanjian Kerjasama ASEAN-China menegaskan: “This Agreement may be
amended by the mutual written consent of the Parties”. Oleh karena itu, untuk
membatalkan perjanjian ini dibutuhkan kesepakatan dalam bentuk tertulis oleh seluruh
negara yang terlibat.
Dari isi keputusan tersebut dapat bisa dikatakan bahwa walaupun pada peraturan
perundang-undangan Indonesia memungkin untuk dilakukan judicial review kepada
Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang yang diduga bertentangan dengan UUD
1945 dan langkah gugatan terhadap Keputusan Presiden melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN), namun hal ini tidak dapat membatalkan sekaligus menarik diri dari
perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia, dalam hal ini adalah gugatan terhadap
Kepres Nomor 48 Tahun 2004 terkait ratifikasi perjanjian ACFTA.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Indonesia dihadapkan pada
kondisi terikat atas perjanjian tersebut. Langkah-langkah yang memungkinkan dilakukan
oleh Indonesia terkait antisipasi efek nagatif, adalah dengan cara melakukan negoisasi
kepada China atau negara lain yang dianggap merugikan kepentingan nasional Indonesia
serta memperkokoh fundamental ekonomi dalam menghadapi dan meningkatkan daya
saing ekonomi Indonesia terhadapa perjanjian ACFTA.

3.4 Dampak Positif Perjanjian ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia

Perjanjian ACFTA berpeluang menimbulkan dampak positif bagi perekonomian


Indonesia, antara lain:
a. Booster Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Salah satu dampak positif dari perdagangan internasional adalah memberikan peluang
kepada setiap negara untuk memenuhi kebutuhan barang yang tidak dapat diproduksi

30
oleh negara tersebut. Hal ini juga yang membuat negara-negara ACFTA termasuk
Indonesia, berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan barang negara lain dari
produk-produk unggulan dalam negeri. Berdasarkan kaidah permintaan dan penawaran
pada ilmu ekonomi, semakin tingginya tingkat permintaan maka secara tidak langsung
juga menjadi trigger pada produsen untuk menghasilkan barang dalam jumlah yang
lebih banyak dari kondisi biasanya. Oleh karena itu, adanya ACFTA dapat membuat
produsen-produsen Indoensia lebih menjalankan faktor-faktor produksinya secara
optimal untuk memproduksi lebih banyak barang dengan terbukanya ekspansi pangsa
pasar melalui ekspor ke negara ACFTA. Kondisi ini dapat membuat perekonomian
Indonesia semakin bergairah.
b. Sumber Devisa Alternatif
Selain arus perdagangan barang, Indonesia juga berpotensi mendapatkan devisa dari
perdagangan jasa, dalam hal ini contohnya adalah pariwisata yang merupakan salah
satu dari Paket Pertama Persetujuan Jasa ACFTA yang dimulai pada tahun 2007 lalu.
Sebagai negara dengan potensi kepariwisataan yang besar dan beragam, Indoensia
dapat menjadi daerah tujuan utama dari arus pariwisata di ASEAN-China.
c. Menciptakan Persaingan
Perdangangan bebas menciptakan iklim persaingan yang semakin ketat. Negara-negara
anggota berlomba untuk menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan oleh negara lain
dengan biaya produksi yang rendah. Hal ini menuntut perusahaan berinovasi untuk
menghasilkan produk yang lebih beragam dengan kualitas yang tetap terjaga. Kondisi
demikian sangat menguntungkan konsumen di Indonesia karena berpeluang untuk
mendapatkan banyak pilihan barang sejenis dengan kualitas dan harga yang diinginkan.
d. Adanya Kepastian Hukum Perdangangan Internasional
Dalam pembangunan ekonomi, hukum itu dapat berperan bila hukum mampu
menciptakan “stability, predictability, dan fairness”. Adapun yang termasuk ke dalam
stability yaitu potensi hukum menyeimbangkan kepentingan yang saling bersaing.
Dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil
khususnya penting bagi negeri yang sebahagian besar rakyatnya untuk pertama kali
memasuki hubungan- hubungan ekonomi melampaui lingkungan tradisional adalah
merupakan fungsi dari suatu hukum dan aspek keadilan (fairness), yaitu seperti
perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah diperlukan untuk
menjaga mekanisme pasar dan birokrasi yang berlebihan (Tahir, 2017).

31
3.5 Dampak Negatif Perjanjian ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia

Sejak awal diberlakukannya perjanjian ACFTA, banyak pakar ekonomi yang khawatir
perjanjian ini akan memberikan banyak dampak negatif dibandingkan positifnya bagi
perekonomian Indonesia. Pendapat ini sangat beralasan mengingat kondisi fundamental dan
kesiapan Indonesia dibandingkan negara anggota lain terutama China terkait ACFTA sangat
berbeda. Ditengah kelesuan pasar produk Indonesia di dalam negeri, produk-produk impor
terutama dari China mulai membanjiri pasar domestik. Hal ini tentu membuat masyarakat
selaku konsumen merasa senang karena memiliki banyak piloihan barang dengan harga yang
relatif murah dibandingkan produk dalam negeri. Namun, di satu sisi membuat produk
Indoensia kalah saing di negeri sendiri. Hal ini diperparah dengan masih rendahnya daya saing
produk Indonesia di negara-negara anggota ACFTA.
Selain terkait daya saing kualitas produk, Indonesia juga harus melawan serangan harga
murah dari produk-produk impor terutama impor abrang konsumsi (non migas) dari China.
Kondisi demikian ditandai dengan pertumbuhan nilai ekspor ke China yang kalah cepat dengan
nilai impor dari negara tersebut. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, terlihat neraca
perdagangan antara Indonesia dan China yang menunjukkan nilai negatif sejak 5 tahun terakhir.
Jika kondisi ini dibiarkan tanpa mitigasi yang komprehensif, bukan tidak mungkin akan
banyak perusahaan dalam negeri, terutama Usaha Kecil Menengah (UKM) tidak mampu
bertahan dan akhirnya ‘gulung tikar’. Pada akhirnya akan menambah angka pengangguran
yang sekaligus dapat menurunkan tingkat pendapatan dan kesehteraan masyarakat.
Secara umum, ada beberapa penyebab kondisi yang tidak menguntungkan bagi
Indonesia dalam ACFTA, yaitu:
• Masih tingginya biaya produksi di Indonesia yang membuat produk Indonesia kalah
dalam persaingan harga di dalam negeri sendiri oleh produk impor;
• Komoditas ekspor andalan Indonesia sebagian besar adalah raw material sehingga nilai
tambah dalam proses produksi bahan tersebut tidak dinikmati oleh negeri sendiri;
• Berkurangnya pangsa pasar produk Indonesia pada negara-negara ACFTA akibat
serangan produk dari China yang memiliki harga yang relatif rendah dan jenis yang
beragam;
• Ketergantungan teknologi dan SDM dari negara lain akibat masih rendahnya kemajuan
teknologi produksi dan skill SDM dalam memproduksi barang yang berkualitas dengan
biaya produksi yang rendah.

32
BAB IV
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Sesuai amanat perundang-undangan, Indonesia merespon perjanjian internasional


melalui dua bentuk produk hukum, yait penerbitan Undang-Undang atau Keputusan
Presiden sesuai dengan materi perjanjian internasional seperti yang dijelaskan pada
pasal 10 dan pasal 11 UU Nomor 24 Tahun 2004.
2. Dalam hal perjanjian ACFTA, respon pemerintah Indonesia adalah dengan terbitnya
Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004 tentang Pengesahan
Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Menyeluruh Antar Negara – Negara
Anggota Asosiasi Bangsa – Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China. Selain
itu juga terbit beberapa peraturan terkait teknis pelaksanaannya seperti Keputusan
Menteri dan Peraturan Menteri;
3. Sesuai Konvensi Wina Tahun 1969, Indonesia wajib terikat dan memiliki kewajiban
secara hukum internasional terhadap ACFTA. Selain itu, sulit bagi Indonesia untuk
manarik diri dari perjanjian tersebut karena amandemen atau pembatalan perjanjian
ACFTA harus mendapat kesepakatan tertulis dari seluruh negara anggota yang terlibat;
4. Perjanjian ACFTA berpeluang menjadi booster perkonomian Indonesia jika kondisi
perekonomian Indonesia telah siap sepenuhnya untuk bersaing di negara-negara
ASEAN dan China.
5. Berdasarkan data neraca perdagangan antara Indonesia dan China menunjukkan bahwa
Indonesia belum optimal memanfaatkan kerangka perjanjian ACFTA, karena terlihat
dominasi impor produk dari China masih realtif besar pada perdagangan internasional
Indonesia.

4.2 Saran

1. Memberi ketegasan terkait posisi perjanjian internasional dalam peraturan perundang-


udangan Indonesia dalam kaitannya dalam menjaga kepentingan nasional.
2. Pemerintah Indonesia harus membuat aturan maupun kebijakan yang secara khusus
sejalan dengan peningkatan daya saing produk domestik dan secara umum terhadap
stabilitas perekonomian nasional yang tidak bertentangan dengan persetujuan ACFTA,
seperti SNI (Standar Nasional Indonesia) dan Undang-undang 20 tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
3. Menggiatkan kembali semangat pemakaian produk dalam negeri yang diiring dengan
peningkatan kualitas dan harga yang bersaing dengan produk impor.

33
DAFTAR PUSTAKA

______. Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN No.


185 Tahun 2000, TLN 4012, ps. 1 ayat 1.
______. Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 37 Tahun 1999, LN No.156
Tahun 1999, TLN No. 3882, ps. 1 ayat 3
______. Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960
tentang Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain.
______. Konvesi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Ps.2 ayat (1) huruf a,
Ps.6, Ps.7 ayat (1), Ps.12 ayat (1)
______. Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pasal 38, ayat 1
Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, 1995, “The New Sovereignty: Compliance with
International Regulatory Agreements”, Cambridge; Harvard University Press.
Agusman, Damos D. Status Hukum Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional RI: Dari
Perspektif Praktik Di Indonesia, Indonesia Jurnal of International Law, Volume 5
Nomor 3 April 2008.
Agusman, Damos D. Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia.
Bandung: Refika Aditama, 2010
Amir M.S, Kontrak Dagang Ekspor, Penerbit PPM, Jakarta, 2002, hal. 20
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, PT. Alumni, Bandung, 2008, hlm. 82.
Christian, Edward. 2013. Faktor Yang Mempengaruhi Volume Impor Beras diIndonesia. Jurnal
JIBEKA Volume 7 No 2 Aguatus 2013: 38-43
Deener, David R. International Law Provisions in the Post-World War II Constitutions, 36
Cornell Law Review, 1951, 526
ILC Draft and Commentary on The Law of Treaties, AJIL, Vol.61, 1967.
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional – Bagian 1, Op.Cit., hlm. 12.
Melda Kamil Ariadno: Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional,
Jurnal Hukum Internasional Vol 5 No 3 April 2008 LPHI FHUI hlm. 508.
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Op.Cit., hlm.
117. Report of The ILC Special Rapporteur, 1962.
Perdagangan Internasional. dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/ perdagangan-
internasional-akuntansi-internasional/ , diakses tanggal 13 Oktober 2018
Perdagangan Internasional. dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/ perdagangan-
internasional-akuntansi-internasional/ , diakses tanggal 13 Oktober 2018
Right, Quincy. International Law in its Relations to Constitutional Law, 17 AJIL 1923, at 234.

34
Salvatore, D. 2004, International Economics, Eight Edition, Wiley
Suryono, Edy, 1984, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Remadja Karya,
Bandung, hlm. 33-34.
T. May Rudy, 2006. Hukum Internasional 1. Yang Menerbitkan PT Refika Aditama : Bandung.
Wisnu Ayo Dewanto, Status Hukum Internasional Dalam Sistem Hukum Di Indonesia,
Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 2, Juni 2009

35

Anda mungkin juga menyukai