Anda di halaman 1dari 24

Visi

Pada tahun 2020 menghasilkan ahli madya keperawatan yang unggul


dalam penguasaan asuhan keperawatan dengan masalah kesehatan
neurosains melalui pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi

“PENERAPAN PROSEDUR AROMATERAPI LAVENDER TERHADAP


KUALITAS TIDUR LANSIA DENGAN INSOMNIA DALAM KONTEKS
KELUARGA”

PROPOSAL
KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:
ERVIANA YULIANTI
P3.73.20.1.16.170

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA III


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
BEKASI, 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut UU No. 13 Pasal 1 ayat (2) tentang kesehatan, lanjut usia (lansia) ialah
seseorang yang berusia 60 tahun ke atas. WHO (2009) menyatakan masa lanjut usia
menjadi empat golongan, yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia
(elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very old) di
atas 90 tahun. (Naftali dkk, 2017)
WHO mengatakan bahwa usia harapan hidup di Indonesia meningkat yaitu 72
tahun. Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 28 juta jiwa atau
sekitar delapan persen dari jumlah penduduk Indonesia. Pada tahun 2025 diperkirakan
jumlah lansia membengkak menjadi 40 jutaan dan pada tahun 2050 diperkirakan akan
melonjak hingga mencapai 71,6 juta jiwa. (Madeira dkk, 2019)
Peningkatan jumlah lansia secara langsung maupun tidak akan memberikan
pengaruh terhadap aspek sosial, ekonomi, politik, hukum, keamanan, dan kesehatan
karena seiring bertambahnya usia seseorang akan terjadi pula proses penuaan. Dengan
terjadinya proses penuaan tersebut lansia akan mengalami kemunduran fungsi fisiologis
yang akan menimbulkan berbagai keluhan, salah satunya adalah gangguan tidur.
Gangguan tidur yang sering muncul dapat digolongkan menjadi 4 yaitu : (1) insomnia;
gangguan masuk tidur dan mempertahankan tidur, (2) hypersomnia; gangguan
mengantuk atau tidur berlebihan, (3) disfungsi kondisi tidur seperti somnabolisme, night
teror, dan (4) gangguan irama tidur. (Nurdianningrum, 2014)
Menurut National Sleep Foundation sekitar 67% dari 1,508 lansia di Amerika usia
di atas 65 tahun melaporkan mengalami gangguan tidur dan sebanyak 7,3% lansia
mengeluhkan insomnia. Di Indonesia gangguan tidur menyerang sekitar 50% orang yang
berusia 60 tahun. Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan
pada lansia, setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% lansia melaporkan adanya
insomnia. (Madeira dkk, 2019)
Sebagian besar lansia beresiko mengalami gangguan tidur salah satunya adalah
insomnia. Faktor yang menyebabkan lansia mengalami insomnia misalnya pensiun dan
perubahan pola sosial, kematian pasangan atau teman dekat, peningkatan penggunaan
obat-obatan, penyakit yang baru saja dialami, perubahan irama sirkadian. (Ernawati,dkk
2017). Hal tersebut menyebabkan kualitas tidur pada lansia terganggu. Kualitas tidur
adalah dimana seseorang mendapatkan kemudahan untuk memulai tidur, mampu
mempertahankan tidur dan merasa rileks setelah bangun dari tidur. Kualitas tidur pada
lansia mengalami perubahan yaitu tidur Rapid Eye Meovement/REM mulai memendek.
Penurunan progresif pada tahap NonRapid Eye Meovement/NREM 3 dan 4 dan hampir
tidak memiliki tahap. Perubahan pola tidur lansia disebabkan perubahan sistem saraf
pusat yang mempengaruhi pengaturan tidur. (Ernawati dkk 2017)
National Heart, Lung, and Blood Institut dari United States Department of Health
and Human Services pada tahun (2009) menginformasikan bahwa insomnia pada lansia
dapat meningkatkan resiko terjadi hipertensi, penyakit jantung, dan kondisi medis lainnya
dan gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi
penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah, koordinasi neuromuskular buruk,
proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan ketidakstabilan tanda vital
Sedangkan dampak psikologi meliputi depresi, cemas, tidak konsentrasi, koping tidak
efektif sehingga keadaan tersebut dapat mengganggu pola tidur sehingga mengurangi
produktivitas dan mempengaruhi status kesehatan pada lansia dengan insomnia. (Madeira
dkk, 2019).
Insomnia bila tidak diatasi dapat mengganggu kualitas hidup, produktivitas, dan
keselamatan lansia. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan terapi farmakologis atau
memberikan obat-obatan dan non farmakologis dengan teknik relaksasi seperti pijatan,
meditasi, aromaterapi, mandi air hangat, melakukan olahraga teratur, menghindari
kebiasaan tidur siang, pergi tidur dan bangun sesuai jadwal yang sama, serta
menghilangkan rasa kecemasan. Terapi non farmakologis yang dapat diterapkan pada
lansia dengan insomnia yaitu dengan menggunakan mandi air hangat dan pemberian
aromaterapi. Pernyataan ini juga didukung bahwa penerapan prosedur aromatherapy
bunga lavender terhadap kualitas tidur lansia dengan insomnia yang sebelumnya telah
dilakukan penelitian oleh M. Ricky Ramadhan dan Ocsi Zara Zettira (2017),
menunjukkan bahwa aromaterapi bunga lavender dapat menurunkan risiko insomnia pada
lansia.
Penggunaan aromateraphy bunga lavender (Lavandula angustifolia) salah satunya
dengan cara inhalasi, kemudian melalui hipotalamus sebagai pengatur maka aroma
tersebut akan dibawa kedalam bagian otak yang kecil tetapi signifikannya yaitu nukleus
raphe. Efek dari nukleus raphe yang terstimulasi yaitu terjadinya pelepasan serotonin
yang merupakan neurotransmitter yang mengatur permulaan untuk tidur (Ramadhan,
2017)
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk
mengambil judul Penerapan Prosedur Aromaterapi Terhadap Kualitas Tidur lansia dengan
Insomnia dalam Konteks Keluarga. Diharapkan dengan adanya penelitian ini keluarga
dengan lansia yang mengalami masalah insomnia dapat menerapkan prosedur
aromaterapi untuk meningkatkan kualitas tidur dan mengatasi masalah insomnia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah Bagimana gambaran penerapan prosedur aromatherapy terhadap kualitas tidur
lansia dengan insomnia dalam konteks keluarga?

C. Tujuan Studi Kasus


Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh
gambaran penerapan prosedur aromatherapy terhadap kualitas tidur lansia dengan
insomnia dalam konteks keluarga

D. Manfaat Studi Kasus


1. Bagi keluarga dan subjek
a. Bagi keluarga dan subjek, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan
menambah informasi mengenai penerapan aromaterapi terhadap kualitas tidur
lansia dengan insomnia
b. Keluarga dan subjek mendapatkan keterampilan penerapan aromaterapi terhadap
kualitas tidur lansia dengan insomnia
2. Penulis
Memperoleh pengalaman dalam mengimplementasikan prosedur aromaterapi
terhadap kualitas tidur lansia dengan insomnia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Aromaterapi
1. Pengertian
Menurut Jaelani (2009) Aroma terapi berasal dari kata aroma yang berarti harum
atau wangi dan therapy yang dapat diartikan sebagai cara pengobatan atau
peneyembuhan. Sehingga aroma terapi dapat diartikan sebagai: “suatu cara perawatan
tubuh dan atau penyembuhan penyakit dengan menggunakan minyak esensial
(essensial oil) yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau pohon.
Aromaterapi adalah teknik pengobatan dengan aroma minyak esensial dari proses
penyulingan berbagai bagian tanaman, bunga, maupun pohon yang masing-masing
mengandung sifat terapi yang berbeda. (Ramadhan, 2017)
Aromaterapi merupakan suatu metode yang menggunakan minyak atsiri sebagai
komponen utama untuk meningkatkan kesehatan fisik dan juga mempengaruhi
kesehatan emosi seseorang. Aromaterapi adalah terapi yang menggunakan essential
oil atau sari minyak murni untuk membantu memperbaiki atau menjaga kesehatan,
membangkitkan semangat, menyegarkan serta membangkitkan jiwa raga (Jaelani,
2009)
Aromaterapi didefinisikan dalam dua kata yaitu aroma yang berarti fragrance dan
therapy yang berarti perlakuan pengobatan, jadi secara ilmiah diartikan sebagai
fragrance yang memiliki pengaruh terhadap fisiologis manusia. (Muchtaridi, 2015)
Aromaterapi didefinisikan sebagai perlakuan dengan menggunakan bau-bauan
atau keharuman, biasanya essential oil sering digunakan untuk membantu pemijatan.
(Muchtaridi,2015)
Berdasarkan uraian definisi diatas dapat disimpulkan bahwa aromaterapi adalah
suatu metode pengobatan atau penyembuhan dengan menggunakan minyak essensial
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan untuk membantu menjaga kesehatan dan
meningkatkan kesehatan fisik.

2. Jenis-jenis aromaterapi
Menurut Jaelani (2009) Wangi dan jenis yang dihasilkan aromaterapi memberikan
dampak terapis yang berbeda. Jenis dan manfaat aromaterapi yaitu:
a. Citronella
Citronella bermanfaat untuk mengurangi ketegangan, meredakan hidung
tersumbat, mengatasi insomnia, dengkur dan migrain.
b. Kayu putih (Eucalyptus)
Kayu putih bermanfaat untuk melegakan pernapasan, meringankan masalah
hidung sensitive, bronchitis, asma, batuk, pilek, demam, dan juga flu.
c. Lavender
Lavender membantu mengatasi insomnia, meredakan kegelisahan,
mengatasi masalah depresi, mengurangi perasaan ketegangan.
d. Teh hijau (green tea)
Teh hijau bermanfaat untuk memperbaiki sistem peredarahan darah, membantu
mengeluarkan dahak dan membersihkan paru-paru. The hijau juga dipercaya
untuk memperlambat penuaan.
e. Cendana (Sandalwood)
Cendana bermanfaat untuk menghilangkan rasa cemas dan aromanya sangat
bermanfaat untuk meditasi.
f. Bunga Mawar (Rose)
Mawar bermanfaat untuk menciptakan suasana romantic dan penuh gairah,
memperbaiki metabolism dan sistem peredaran darah, menyeimbangkan hormon,
meringankan kepekaan kulit sensitif dan alergi.
g. Bunnga Kenanga (Ylang-ylang)
Bunga kenanga berguna unuk meringankan tekanan darah tinggi. Aroma yan
menyegarkan, membangkitkan suasana, mengurangi sakit perut, ketegangan dan
menyembuhkan sakit kepala.

3. Hubungan Aromaterapi lavender dengan Insomnia


Nama lavender berasal dari bahasa Latin “lavera” yang berarti menyegarkan.
Bunga lavender (Lavandula angustifolia) berbentuk kecil, berwarna ungu kebiruan,
dan tinggi tanaman mencapai 72 cm berasal dari wilayah selatan Laut Tengah sampai
Afrika tropis dan ke timur sampai India. Proses pengelolaan aromaterapi bunga
lavender (Lavandula angustifolia) dengan penyulingan (distilation) sehingga
menghasilkan minyak esensial.
Penggunaan aromaterapi bunga lavender (Lavandula angustifolia) salah satunya
dengan cara inhalasi untuk mendapatkan manfaat langsung kedalam tubuh.
Aromaterapi bunga lavender (Lavandula angustifolia) ini mengandung linool yang
berfungsi sebagai efek sedatif.
Ketika seseorang menghirup aromaterapi bunga lavender maka aroma yang
dikeluarkan akan menstimulasi reseptor silia saraf olfactorius yang berada di epitel
olfactory untuk meneruskan aroma tersebut ke bulbus olfactorius melalui saraf
olfactorius. Bulbus olfactorius berhubungan dengan sistem limbik. Sistem limbik
menerima semua informasi dari sistem pendengaran, sistem penglihatan, dan sistem
penciuman. Limbik adalah struktur bagian dalam dari otak yang berbentuk seperti
cincin yang terletak di bawah korteks serebri. Bagian terpenting dari sistem limbik
yang berhubungan dengan aroma adalah amygdala dan hippocampus. Amygdala
merupakan pusat emosi dan hippocampus yang berhubungan dengan memori
(termasuk terhadap aroma yang dihasilkan bunga lavender) kemudian melalui
hipotalamus sebagai pengatur maka aroma tersebut akan dibawa kedalam bagian otak
yang kecil tetapi signifikannya yaitu nukleus raphe. Efek dari nukleus raphe yang
terstimulasi yaitu terjadinya pelepasan serotonin yang merupakan neurotransmitter
yang mengatur permulaan untuk tidur.
Sejauh ini tidak terdapat kontraindikasi serta tidak menimbulkan sensitisasi dan
iritasi saat digunakan di kulit maupun tidak mengiritasi mukosa sehingga aromaterapi
bunga lavender (Lavandula angustifolia) aman untuk menurunkan risiko insomnia.
(Ramadhan, 2017)

4. Manfaat aromaterapi
Menurut Jaelani (2009) berdasarkan pengalaman empiris pada masa lampau, aroma
terapi memiliki banyak kahsiat dan manfaat yang cukup banyak. Adapun manfaat
yang diperoleh dari metode aroma terapi adalah sebagai berikut:
a. Merupakan bagian utama dari parfume keluarga, yaitu dengan memberikan
sentuhan keharuman dan suasana wewangian yang menyenangkan ketika sedang
berada di rumah maupun berpergian.
b. Dapat digunakan sebagai pelegkap kosmetika seperti body lotion, body scrub,
body mask, message oil, herbal bath, dan sebagainya, sehingga dapat menjadikan
kulit tubuh lebih halus, bersih, segar dan tampak aura kecantikannya.
c. Merupakan salah satu metode perawatan yang tepat dan efisien dalam menjaga
tubuh agar tetap sehat.
d. Banyak dimanfaatkan dalam pengobatan, khususnya untuk membantu
penyembuhan beragam penyakit, meskipun lebih ditunjukkan sebagai terapi
pendukung (support theraphy)
e. Dapat membantu kelancaran fungsi sistem tubuh (improving body functions),
antara lain, dengan cara mengembalikan keseimbangan bioenergy tubuh.
f. Membantu meningkatkan stamina dan gairah seseorang, walaupun sebelumnya
tifak atau kurang memiliki gairah dan semangat hidup.
Sedangkan menurut Muchtaridi (2015) manfaat dari aromaterapi yaitu:
a. Mengobati insomnia
Zat yang terdapat pada aromaterapi diantaranya Hipnotik-Sedatif yaitu zat yang
dapat mendepresi struktur pascasinaptik disertai dengan pengurangan jumlah
transmitter kimia yang dilepaskan oleh neuron prasinaptik, sehingga aktivitas
lokomotor mengalami penurunan dan efeknya akan menimbulkan rasa kantuk
pada penderita insomnia.
b. Relaksan
Konvulsi dapat dianggap sebagai gerak motorik yang abnormal karena kontraksi
otot yang berlebihan dan tak terkendali. Kontraksi otot tersebut diakibatkan oleh
meningkatnya eksitabilitas sistem syarafnya sampai pada suatu ambang kritis
tertentu. Salah satu mekanisme anti konvulsi adalah spasmolitik atau anti kejang
kontraksi otot. Aromaterapi mempunyai aktivitas spasmolitik yang dapat
meregangkan otot sehingga aromaterapi bermanfaat sebagai relaksan.
c. Mengurangi rasa nyeri
Analgesik didefinisikan sebagai zat yang memiliki aktvitas menekan atau
mengurangi rasa nyeri terhadap rangsangan mekanik, termik, listrik, atau kimiawi
di pusat dan perifer atau dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin
sebagai mediator sensasi nyeri. Aromaterapi memberikan khasiat analgesik untuk
mengurangi rasa nyeri.
d. Antibakteri
Aromaterapi memiliki kemampuan untuk membersihkan udara yang kita hirup.
Ketika aromaterapi berdifusi didalam ruangan , senyawa ini melepaskan molekul
oksigen ke atmosfir sehingga molekul tersebut tersuspensi selama beberapa jam
untuk membunuh bakteri, jamur, menghilangkan debu, dan menjadikan udara
lebih segar. Aromaterapi memungkinkan kita untuk menghirup udara yang lebih
bersih dari debu, antibakteri, antijamur, antivirus, dan antiseptik.
e. Sistem kekebalan
Kemampuan aromaterapi membantu pembentukkan sistem kekebalan tubuh.
Fragrances yang terdapat dalam aromaterapi mempengaruhi
neurommunomodulatory dalam waktu yang panjang akan menurunkan Plaque
Forming Cell (PFC). Selain itu, penderita penyakt flu dapat disembuhkan 70%
dengan cepat menggunakan aromaterapi.
f. Antioksidan
Antioksidan dari aromaterapi memberikan pengaruh positif untuk tubuh agar
terhindar dari antioksidan.

5. Alat dan Bahan Aromaterapi Inhalasi


a. Alat
1) Mangkok/wadah
2) Handuk kecil

b. Bahan
1) Essential oil lavender
2) Air panas

6. Prosedur Pelaksanaan Aromaterapi


Menurut Muchtaridi (2015) prosedur pelaksanaan aromaterapi yaitu:
A. Aromaterapi Eksternal
1) Aromaterapi tanpa sentuhan (inhalasi)
Aromaterapi tanpa sentuhan meliputi metode inhalasi langsung dan tidak
langsung.
a) Inhalasi langsung berarti minyak atsiri yang digunakan, ditunjukan secara
langsung pada pasien. Hal ini, dapat dilakukan dengna memasukan satu
sampai lima tetes minyak atsiri pada tissue dan menaruhnya pada indra
penciuman pasien tersebut untuk menghirupnya perlahan-lahan secara
teratur selama lima sampai sepuluh menit. Penguapan dapat meningkatkan
khasiat minyak atsiri yang dihirup secara langsung jika minyak atsiri
tersebut diteteskan pada mangkuk yang berisi air panas. Metode ini sangat
berguna untuk pasien yang menderita insomnia dan infeksi saluran
pernafasan bagian atas.
b) Inhalasi tidak langsung meliputi penggunaan nebulizer dan vaporizer yang
digerakkan oleh baterai atau listrik atau tanpa menggunakan air. Minyak
atsiri disemprotkan sehingga tersebar merata keseluruh ruangan dalam
beberapa menit. Spritzer adalah campuran minyak atsiri dengan air,
campuran harus dikocok dahulu sebelum digunakan karena minyak atsiri
tidak larut dalam air. Inhalasi tidak langsung dapat menjadi metode yang
baik untuk mendapat respon psikologi seperti depresi
2) Aromaterapi dengan sentuhan (Kompres, mandi, pijat)
Aromaterapi dengan sentuhan sangat penting untuk mengatasi rasa sakit.
Penggunannya tergantung pada kebudayaan, pendidikan, pengalaman, dan
keinginan. Beberapa pasien psikopat atau pasien yang menderita demensia
atau alzeimer tidak boleh menggunakan aromaterapi dengan cara ini.
Aromaterapi dapat digunankan topikal yaitu dengan cara mengkompres
bagian tubuh tertentu yang sakit atau dengan mandi dan pemijatan. Setiap cara
yang digunakan memerlukan satu sampai lima tetes minyak atsiri yang
dilarutkan sebelum digunakan. Pada pengompresan dan pengobatan minyak
atsiri harus dilarutkan dalam minyak nabati dingin, krim atau gel untuk
mendapatkan larutan 1% sampai 5%. Sedangkan untuk mandi, minyak atsiri
harus dilarutkan dalam sedikit susu sebelum digunakan langsung pada kulit
tanpa dilarutkan terlebih dahulu. Pemijatan dapat mempercepat absorbsi
minyak atsiri melalui kulit ke dalam pembulu darah. Sebagai contoh,
komponen aroma dari lavender diabsorbsi dalam waktu 20 menit dalam kulit
melalui pemijatan.
Sentuhan digambarkan sebagai dasar pertama dan utama dalam
komunikasi. Keadaan kritis beberapa pasien semakin berkurang setelah
mendapatkan sentuhan. Sanderson dan Carter dan Haoedyshell menuliskan
bahwa melalui sentuhan, perawat dapat meraih menenangkan, dan
merilekskan pasien pada saat pendekatan lain digunakan.

B. Tidur
1. Pengertian
Tidur oleh Johnson dianggap sebagai salah satu kebutuhan fisiologis dasar
manusia. “Tidur terjadi secara alami, dengan fungsi fisiologis dan psikologis yang
melekat. Tidur merupakan suatu proses perbaikan tubuh. (Stanley dan Beare, 2007)
Tidur adalah suatu proses yang sangat penting bagi manusia, karena dalam tidur
terjadi proses pemulihan, proses ini bermanfaat mengembalikan kondisi seseorang
pada keadaan semula, dengan begitu, tubuh yang tadinya mengalami kelelahan akan
menjadi segar kembali. Proses pemulihan yang terhambat dapat menyebabkan organ
tubuh tidak bisa bekerja dengan maksimal, akibatnya orang yang kurang tidur akan
cepat lelah dan mengalami penurunan konsentrasi (Ulimudiin, 2011).
2. Jenis-jenis tidur
Menurut Stanley dan Beare (2007) jenis tidur dibedakan menjadi:
a. Tidur Rapid EyeMovement (REM)
Tidur REM merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur paradoksial. Hal
tersebut berarti tidur REM ini sifatnya nyenyak sekali, namun fisiknya yaitu
gerakan kedua bola mata bersifat sangat aktif. Tidur REM ditandai dengan mimpi,
otot rileks, tekanan darah bertambah, gerakan mata cepat (mata cenderung
bergerak bolak – balik), dan sekresi lambung meningkat.
b. Tidur Non-Rapid Eye Movement (NREM) Tidur NREM merupakan tidur yang
nyaman dan dalam. Gelombang otak lebih lambat dibandingkan orang yang sadar.
Tanda – tanda tidur NREM antara lain mimpi berkurang, keadaan istirahat,
tekanan darah turun, kecepatan pernafasan turun, metabolisme turun, dan gerakan
bola mata lambat. Tidur NREM terbagi menjadi 4 tahap, yaitu:
1) Tahap I
merupakan tahap transisi antara bangun tidur dengan ciri rileks, masih sadar
dengan lingkungan, merasa ngantuk, bola mata bergerak dari samping ke
samping, frekuensi nadi dan napas sedikit menurun, dan dapat bangun segera.
Tahap ini berlangsung selama 5 menit.
2) tahap 2
tahap 2 adalah tahap tidur sesungguhnya yang pertama, dan mentasi selama
tahap ini terdiri dari pemikiran singkat, biasa dan terpecah-pecah.
3) Tahap 3 terjadi segera setelahnya dan merupakan tahapan tidur dalam
menengah.
4) Tahap 4 yaitu tahap tidur dalam dengan ciri kecepatan jantung dan pernapasan
turun, jarang bergerak dan sulit dibangunkan, gerak 15 bola mata cepat,
sekresi lambung turun, dan tonus otot menurun. Siklus tidur individu melalui
tahap NREM dan REM. Siklus tidur komplit biasanya berlangsung 1,5 jam.

3. Siklus tidur
Setelah pergi tidur, seseorang terlebig dahulu melewati tahap terjaga rileks yang
dicirikan dengan gelombang alfa. Orang tersebut kemudian melewati tahap-tahap
tidur dengan urutan 1,2,3,4,3,2, REM. Kemudian, tahap 2 dimulai kembali kecuali
jika orang tersebut terbangun. Jika orang itu terbangun. Jika orang itu terbangun, dan
kembali tidur, yang merupakan hal yang sering terjadi pada lansia, maka tahap 1 akan
dimulai kembali. Dalam pola tidur normal, sekitar 70 sampai 90 menit setelah awitan
tidur, dimulailah periode REM pertama, bergantian dengan tidur NREM pada siklus
70 sampai 90 menit setelah awitan tidur, dimulailah periode REM pertama,
bergantian dengan tidur NREM pada siklus 90 menit selama periode tidur nocturnal.
Konsekuensi dari terbangun, seperti yang terjadi untuk ke toilet di malam hari atau
prosedur keperawatan, dapat menimbulkan efek buruk pada fisiologis dan fungsi
mental lansia . (Stanley dan Beare, 2007)

C. Insomnia
1. Pengertian
Secara bahasa, insomnia berarti tidak dapat tidur pada saat jam tidur. Insomnia
berasal dari bahasa Latin Insomnium. Ciri khas dari insomnia adalah sulit memulai
tidur dan mempertahankan tidur dan terjaga terlalu dini. (Islamiyah, 2018)
Insomnia adalah ketidakmampuan atau kesulitan untuk tidur. Kesulitan tidur ini
bisa menyangkut kurun waktu (kuantitas) atau kelelapan (kualitas) tidur. Penderita
insomnia sering mengeluh tidak bisa tidur, kurang lama tidur, tidur dengan mimpi
yang menakutkan, dan merasa kesehatannya terganggu. Penderita insomnia tidak
dapat tidur pulas walaupun diberi kesempatan tidur sebanyak-banyaknya. (Purwanto,
2014)
Secara definisi menurut International Classification of Sleep Disorder (ICSD),
insomnia adalah persepsi subjektif terhadap rasa sulit memulai tidur, durasi,
konsolidasi atau kualitas tdur, meskipun pasien diberi kesempatan waktu yang cukup
untuk tidur. Kriteria insomnia menurut DSM-V adalah:
a. Keluhan utama berupa rasa tidak nyaman dengan kuantitas dan kualitas tidur
disertai satu atau lebih gejala berikut
1) Kesulitan memulai tidur.
2) Kesulitan mempertahankan tidur, ditandai dengan sering terjaga atau sulit
tidur kembali setelah terjaga.
3) Terbangun terlalu dini dan tidak dapat tidur kembali.
b. Gangguan tidur menyebabkan distress atau gangguan signifikan dalam bidang
sosial, pekerjaan, pendidikan, akademik, perilaku, atau area penting lainnya
c. Kesulitan tidur terjad minimal tiga malam per minggu
d. Kesulitan tidur terjadi minimal tiga bulan
e. Kesulitan tidur terjadi meskipun diberi kesempatan untuk tidur
f. Insomnia tidak dapat dijelaskan atau dihubungkan dengan adanya gangguan tidur
lain seperti narkolepsi, gangguan pernafasan saat tidur, gangguan irama sirkadian,
parasomnia.
g. Insomnia bukan karena efek psikologis dari obat tertentu (seperti ketergantungan
obat)
h. Gangguan medis dan mental lain tidak cukup adekuat menimbulkan keluhan
pasien.

2. Klasifikasi Insomnia ICSD-2


Insomnia dapat dibagi berdasarkan durasi menjadi akut (sesaat, hanya beberapa hari
hingga 3-4 minggu) atau kronis (bertahap lebih dari 1-3 bulan). Insomnia juga dapat
diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya, yaitu ringan, sedang, berat. Pembagian
klasifikasi berdasar derajat berat ini merujuk pada The International Classification of
Sleep Disorders (ICSD).
Tabel 2.1. Klasifikasi Insomnia Berdasarkan Durasi
Durasi Karakteristik
Akut Kurang dari 1 bulan
Transient-beberapa hari
Short term-hingga 3-4 minggu
Kronis Bertahan lebih dari 1-3 bulan

Tabel 2.2 Klasifikasi Insomnia Berdasarkan Derajat Berat


Derajat Berat Kejadian Gangguan sosial atau fungsi pekerjaan
Ringan Hampir tiap malam Tidak pernah atau jarang
Sedang Tiap malam Ringan-sedang

Berat Tiap malam Berat atau sangat mengganggu

Tabel 2.3 Klasifikasi Insomnia Berdasarkan Etiologi


Etiologi Karakteristik
Insomnia Primer Insomnia idiopatik, tidak berhubungan dengan penyakit
medis lain, kelainan neurologi, gangguan psikiatri atau
penggunaan obat atau efek putus obat
Insomnia Komorbid Insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis, gangguan
neurologi, gangguan psikiatri, gangguan obat atau efek
putus obat.
3. Etiologi
Faktor internal yang menyebabkan lansia mengalami insomnia diantaranya karena
hormonal, obat-obatan, dan kejiwaan sedangkan faktor eksternal misalnya tekanan
batin, suasana kamar tidur yang tidak nyaman, ribut atau perubahan waktu karena
harus kerja malam. Selain itu kopi dan teh yang mengandung zat perangsang susunan
syaraf pusat, tembakau yang mengandung nikotin, obat pengurus badan yang
mengandung amfetamin, adalah contoh bahan yang dapat menimbulkan kesulitan
tidur.
Banyak ahli menyatakan, gangguan tidur tidak langsung berhubungan dengan
menurunnya hormon. Namun, kondisi psikologis dan meningkatnya kecemasan,
gelisah, dan emosi yang sering tak terkontrol akibat menurunnya hormon estrogen,
bisa menjadi salah satu sebab meningkatnya risiko gangguan tidur. (Purwanto, 2008)
Sedangkan menurut Islamiyah (2018) penyebab dari insomnia antara lain:
a. Insomnia Sesaat (Transient)
Penyebab insomnia sesaat yaitu: stressor dalam kehidupan yang akut, perubahan
rutinias keluarga atau jadwal tidur. Berikut ini beberapa gangguan tidur yang
menyebabkan munculnya insomnia transient
1) Adjustment sleep disorder
Adjustment sleep disorder adalah suatu stressor akut dapat menyebabkan
peningkatan ambang bangun (arousal) dan menyebabkan penurunan
kenyamanan seseorang. Insomnia juga dapat dipicu oleh gerakan atau kondisi
keluarga yang penuh stressor (perceraian, dipecat, dan pekerjaan), dan
perubahan lingkungan tidur (dirawat dirumah sakit).
2) Jet lag
Perjalanan cepat melintasi berbagai zona waktu dapat menimbulkan insomnia,
karena irama sirkardian dalam tubuh pengendara mengalami sinkronisasi
dengan kondisi zona waktu setempat. Faktor lain yang turut terlibat pada
kejadian insomnia yang dialami selama penerbangan jauh adalah kondisi duduk
yang tidak nyaman.
3) Shift works sleep disorder
Insomnia dapat terjadi pada seseorang yang bekerja dengan sistem rotasi diluar
jam kerja normal (di luar jam 08.00-17.00). watu tidur menjadi berubah dan
seringkali tidak sesuai dengan lingkungan dan waktu tidur sosial disekitarnya.
b. Insomnia kronis
1) Insomnia primer
Insomnia yang dialami pasien disebut insomnia primer jika keluhan insomnia
tersebut sudah pasti bukan disebabkan oleh karena gangguan tidur lain,
penyakit medis, kelainan neurologis, atau psikiatri, serta bukan karena efek
obat atau penyalahgunaan obat. Ada 3 subkelompok yang termasuk insomnia
primer yaitu
a) Insomnia idiopatik
Insomnia idiopatik ditandai dengan gangguan tidur jangka lama yang
muncul sejak usia anak-anak dan tidak ditemukan penyebabnya. Pasien
insomnia idiolpatik mengeluh sulit memulai tidur atau mempertahankan
tidur atau durasi tidurnya kurang. Gangguan tersebut seringkali
menyebabkan gangguan konsentrasi.
b) Insomnia paradoksikal (kesalahan presepsi tidur dalam)
Pasien mengeluhkan insomnia berat kronis akan tetapi bila dilakukan
pemeriksaan polisomnografi tidak ditemukan adanya kelainan dan tidak ada
efek terhadap fungsi sehari-hari pasien. Hasil pemeriksaan tidak sesuai
dengan keluhan pasien. Gangguan tidur tidur yang kronis ini akan
menimbulkan gangguan mood seperti depresi, anxietas, dan penggunaan
obat hipnotik yang berlebihan.
c) Insomnia psikofisiologi
Pada insomnia pskiofisiologi, terjadi kesalahan adaptasi perilaku yang
mencegah seseorang untuk tidur dan seringkali berkembang menjadi faktor
yang memperburuk gangguan tidur sehingga insomnia jenis ini seringkali
menimbulkan distress dan gangguann fungsional sehari-hari serta menetap
lebih dari 1 bulan.
2) Gangguan Irama Sikardian
Irama sirkardian adalah sebuah ritme biologis dengan lama priode (dari puncak
hingga kembali ke puncak) sekitar 24 jam. Gangguan ini terjadi akibat adanya
desinkronisasi antara irama biologis endogen yang mengontrol bangun dan
tidur dengan kondisi lingkungan. Meskipun siklus terang-gelap memiliki
peranan terpenting pada irama sirkardian, akan tetapi ada faktor lain yang juga
berpengaruh terhadap irama sirkardian, yaitu pola sosisal, penyakit dan
perilaku pasien.
Tabel 2.5 Gangguan Irama Sirkadian Penyebab Insomnia
subkelompok Gangguan tidur
Delayed sleep-  Habitual late sleep onset, pasien kebiasaan mulai tidur di awal
phase syndrome pagi hari
 Pasien tida kesulitan untuk mempertahankan tidur
 Bangunnya lambat
 Hasil pemeriksaan polisomnografi menunjukkan peningkatan
latensi tidur
Advanced sleep-  Habitual early sleep onset, pasien terbiasa bangun lebih awal
phase syndrome (jam 1 atau 3 pagi)
 Hasil pemeriksaan polisomnografi menunjukkan hasil yang
normal bila pasien tidur pada priode waktu yang normal (yang
diinginkan pasien). Akantetapi bila priode pemeriksaan
dilakukan lebih sore, maka akan ditemukan pemendekan latensi
tidur dan pasien terjaga lebih awal dari waktu yang diinginkan
Non-24-hour-  Pasien memulai tidur dan bangun lebih lambat setiap hari dan
sleep-wake progresif
syndrome  Pola gangguan tidur ditandai dengan insomnia dan kantuk yang
berlebihan
 Jika pemeriksaan polisomnografi dikerjakan dalam waktu yang
tetap selama beberapa hari maka akan ditemukan pemanjangan
latensi tidur yang progresid dan total waktu tidur menjadi lebih
singkat
Irregular sleep-  Insomnia di malam hari atau mudah mengantuk di siang hari
wake pattern  Pada pemeriksaan polisomnografi 24 jam ditemukan hilangnya

syndrome bangun-tidur normal/ jika dilakukan pemeriksaan selama


beberapa hari, tampak jadwal yang tidak regular (atau
bervariasi)

3) Behavioral Disorders
Gangguan tidur terjadi akibat adanya perilaku tidak kondusif untuk tidur.
Berbagai perilaku yang dapat menyebabkan insomnia adalah sebagai berikut:
a) Inadequate sleep hygine
Insomnia yang terjadi akibat kebiasaan buruk pasien seperti konsumsi
kafein yang berlebihan, merokok, olahraga berat di malam hari, dan
aktivitas yang menstimulasi mental pada jam mendekati waktu tidur
b) Limit-setting sleep disorder
Limit-setting sleep disorder sering dijumpai pada anak-anak yang menolak
ketika diminta atau disuruh untuk tidur. Penolakkan inibisa terjadi berulang
dan seringkali menyebabkan mereka baru tidur setelah larut malam.
c) Sleep-onset association disorder
Pasien tidak dapat memulai tidur jika tidak menjumpai suatu barang yang
diinginkan. Kondisi ini sering dijumpai pada anak-anak yang tidak dapat
tidur tanpa botol susunya atau tanpa memegang mainan kesayangannya.
d) Nocturnal eating (drinking) syndrome
Sindrom ini ditandai dengan keluhan terjaga beberapa kali ketika malam
hari, karena dipicu oleh adanya perilaku makan atau minum di malam hari.
Keinginan makan atau minum sebelum tidur ini bukanlah disebabkan oleh
karena pasien lapar atau haus, akan tetapi disebabkan oleh kebiasaan pasien.
4) Faktor lingkungan
a) Environtmental sleep disorder
Kondisi lingkungan seperti suara yang berisik, bau busuk yang menyengat,
lampu yang terlalu terang, suhu ruangan yang terlalu ekstrim, pasangan tidur
yang mendengkur tentu saja akan menyebabkan seseorang sulit tidur. Orang
lanjut usia lebih sensitive terhadap kondisi lingkungan tersebut, sehingga
seringkali mereka mengalami insomnia.
b) Food allergy insomnia
Konsumsi makanan atau minuman tertentu dapat menyebabkan gangguan
tidur dan menyebabkan pasien tetap terjaga. Gejala alergi lain bisa dijumpai
pada pasien, seperti iritasi dan ruam di kulit, gangguan gastrointestinal atau
distress nafas.
c) Gangguan tidur akibat toksin
Keracunan bahan kimia atau toksin tertentu (arsenic, timbal ata merkuri)
dapat menyebabkan gangguan tidur. Berbagai bahan tersebut dapat
merangsang eksitasi sistem saraf pusat sehingga pasien mengalami insomnia
atau bisa juga menyebabkan pasien menjadi hipersomnolens akibat depresi
sistem saraf pusat.
d) Insomnia karena ketinggian
Penyebab utama gangguan tidur adalah adanya priode apnea sentral
sepanjang periode nafas pasien ketika tidur. Kondisi ini menyebabkan
hipoksia dan alkalosis respiratorik.
5) Penyakit Medis
a) Gangguan pernafasan
Gangguan pernafasan dapat menyebabkan gangguan tidur. Keluhan
insomnia dapat disebabkan oleh karena adanya obstructive sleep apnea,
central sleep apnea, central alveolar hypoventilation syndrome, penyakit
paru obstruktif kronis dan sleep-related asthma
b) Penyakit kardiovaskuler
Baik penyakit jantung iskemik maupun gagal jantung kongestif dapat
menyebabkan gangguan tidur
c) Penyakit gastrointestinal
Berbagai penyakit gastrointestinal dapat menyebabkan insomnia kronis .
6) Kelainan neurologis
Beberapa kelainan neurologis yang seringkali menyebabkan gangguan tidur
adalah demensia, parkinsonism, gangguan degenerative serebral, nyeri kepala,
dan kejang. Kelainan neurologis seperti tumor otak, stroke, sindroma
neuromuscular, dan cedera otak traumatik juga dapat mnimbulkan gangguan
tidur.
7) Gangguan psikiatri
Beberapa gangguan psikiatri yang seringkali berhubungan dengan insomnia
adalah gangguan mood, gangguan anxietas, gangguan panik, post-traumatic
stress disorder, psikosis, eating disorder, alkoholnism, dan gangguan
personality.
8) Kehamilan dan Menstrusi
Baik kehamilan maupun siklus menstruasi dapat menimbulkan keluhan
insomnia pada wanita (menstrual-associated sleep disorder dan pregnancy-
associated sleep disorder)

4. Manifestasi klinis
Dampak serius gangguan tidur pada lansia misalnya
a. Mengantuk berlebihan di siang hari
b. Gangguan memori,
c. Gangguan mood
d. Depresi
e. Sering terjatuh
f. Penggunaan hipnotik yang tidak semestinya
g. Penurunan kualitas hidup.
D. Peran Keluarga Terhadap Klien Dengan Insomnia
Peran keluarga terhadap klien lansia dengan insomnia yaitu mengenali masalah-
masalah kesehatan yang terjadi di antara anggota keluarga dan memberikan perawatan
pada anggota keluarga yang sakit. Tugas keluarga terdiri dari lima tugas yaitu
1. Mengenali masalah kesehatan lansia
Keluarga-keluarga Indonesia cenderung berupaya menghilangkan gejala yang
dirasakan bila mengalami sakit dengan melakukan cara-cara tradisional atau minum
obat yang dijual bebas. Upaya untuk memahami masalah kesehatan belum dilakukan
oleh banyak keluarga. Sering pula terjadi anggapan yang salah karena informasi yang
diperoleh secaara turun temurun atau pengaruh dari aspek budaya yang terjadi kurang
memperhatikan perubahan kondisi kesehatan.
a. Kurang pengetahuan mengenai masalah kesehatan anggota keluarga (lansia) yang
mnegalami insomnia
b. Menyangkal tentang keberadaan atau keparahan penyakit akibat rasa takut tentang
konsekuensi dari diagnosis atau masalah. Keluarga menyepelekan masalah
kesehatan lansia karena menganggap proses degeneratif yang terjadi pada lansia
adalah proses wajar. Faktor lain yang menyebabkan keluarga belum memahami
masalah insomnia pada lansia yaitu:
1) Stigma sosial yang menyatakan bahwa masalah kesehatan lansia merupakan
masalah yang wajar.
2) Implikasi ekonomi, biaya
3) Konsekuensi fisik
4) Keadaan psikologi dan emosional

2. Membuat keputusan yang berkaitan dengan upaya pengobatan/perawatan


Keputusan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan pada lansia dengan insomnia
seringkali terkendala karena Ketidakmampuan kelarga dalam membuat keputusan, hal
tersebut dapat disebabkan oleh
a. Kegagalan mengenali sifat dan cakupan masalah
b. Rendahnya kepentingan masalah
c. Perasaan bingung dan pasrah akibat kegagalan menyelesaikan masalah
d. Kurangnya pengetahuan
e. Ketidakmampuan memutuskan usaha dari pilihan penyelesaian masalah
f. Konflik opini antar anggota keluarga tentang pilihan penyelesaian masalah
g. Kurang pengetahuan tentang sumber layanan kesehatan di komunitas
h. Ketakutan tentang konsekuensi usaha yang diambil, missal:
1) Sosial
2) Ekonomi
3) Fisik
4) Emosi dan psikologis
i. Perilaku negative terhadap kondisi kesehatan atau masalah, mengacu pada
perilaku yang mengganggu rasional pembuatan keputusan
j. Tidak mempunyai akses terhadap layanan kesehatan yang sesuai, missal:
terhambat secara fisik, terhambar secara finansial
k. Kurangnya rasa percaya pada tenaga kesehatan
l. Pemahaman yang salah tentang usaha atau intervensi yang akan diberikan
3. Melakukan upaya perawatan untuk menghilangkan kondisi sakit pada anggota
keluarga. Keluarga perlu mengenali berbagai kondisi yang dapat menyebabkan
munculnya penyakit, kecelakaan atau kegagalan mengenali potensi kesehatan lansia,
seperti contoh berikut:
a. Adanya faktor risiko terkait penyakit, missal:
b. Faktor yang menimbulkan stress:
1) Hubungan keluarga yang tidak harmonis
2) Konflik interpersonal antar anggota keluarga
3) Pemberi layanan yang merasa terbebani
c. Sanitasi lingkungan yang buruk
1) Ruangan rumah yang sempit
2) Terdapat tempat bersarang vector penyakit, seperti nyamuk, kecoa, lalat dan
tikus
3) Tempat pembuangan yang kurang bersih
4) Ventilasi dna penerangan yang buruk
5) Polusi udara
4. Pemeliharaan kesehatan pada lingkungan rumah yang kondusif.
Keluarga diharapkan mampu melakukan pemeliharaan lingkungan di dalam dan
sekitar rumah sehingga dapat mengoptimalkan lingkungan dalam memelihara
kesehatan. Ketidakmampuan keluarga melakukan pemeliharaan kesehatan lingkungan
dapat disebabkan oleh :
a. Sumber keluarga yang tidak memadai (kendala keuangan dan sumber daya yang
terbatas)
b. Kurangnya pengetahuan tentang sanitasi lingkungan
c. Kurangnya pengetahuan tentang pencegahan penyakit
d. Kurangnya kemampuan dalam meningkatkan lingkungan yang sehat
e. Komunikasi tidak efektif dalam keluarga
f. Sikap negative dalam kehidupan yang tidak kondusif untuk pemeliharaan
kesehatan dan pengembangan pribadi
5. Memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
Keluarga diharapkan memiliki pengetahuan tentang fasilitas kesehatan di sekitar
rumah dan menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan tersebut untuk pemeliharaan
kesehatan lansia seperti mengunjungi posbindu atau pelyanan kesehatan yang
tersedia.

BAB III
METODOLOGI STUDI KASUS

Pada bab ini penulis akan diuraikan tentang desain atau rancangan studi kasus, subyek studi
kasus, fokus studi kasus, definisi operasional, instrument studi kasus, prosedur pengumpulan
data, waktu dan tempat studi kasus, analisis data dan penyajian data serta etika studi kasus

A. Rancangan Studi Kasus


Studi kasus ini merupakan studi kasus kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang bersifat
deskriptif guna memperoleh gambaran penerapan prosedur aromaterapi lavender terhadap
kualitas tidur lansia dengan insomnia dalam konteks keluarga.

B. Subyek Studi Kasus


Subyek yang digunakan pada studi kasus ini adalah dua orang pasien dengan kriteria inklusi
dan eksklusi . kriteria inklusi dalam subyek studi kasus ini yaitu pasien yang berjenis kelamin
perempuan atau laki-laki, memiliki masalah gangguan tidur insomnia, pasien lansia berusia 60
tahun atau lebih, pasien yang menyetujui dilakukan prosedur aromaterapi lavender. Adapun
kriteria eksklusinya yaitu pasien yang berumur dibawah 60 tahun, pasien tidak bersedia
diberikan tindakan prosedur aromaterapi lavender dan pasien yang tidak memiliki masalah
gangguan tidur insomnia.

C. Fokus studi
Fokus studi kasus ini adalah penerapan prosedur aromaterapi lavender terhadap kualitas tidur
lansia dengan insomnia dalam konteks keluarga di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan
Jatiwarna.

D. Definisi Operasional
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan definisi perasional sebagai berikut:
1. Prosedur aromaterapi lavender adalah intervensi keperawatan untuk meningkatkan
kualitas tidur lansia dengan insomnia dengan cara membantu klien untuk
inhalasi/mengirup uap aromaterapi lavender.
2. Insomnia adalah persepsi subjektif terhadap rasa sulit memulai tidur, durasi, konsolidasi
atau kualitas tdur, meskipun pasien diberi kesempatan waktu yang cukup untuk tidur.
E. Instrumen Studi Kasus
Jenis instrument yang digunakan penulis dalam studi kasus ini berupa standar operasional
prosedur (SOP) aromaterapi lavender (terlampir) dan format pengkajian wawancara skala
Insomnia Severiry Index dengan masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka
(score) antara 0-4, lalu masing-masing nilai angka (score) dari 7 kelompok gejala
dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat insomnia seseorang,
yaitu total nilai (score): 0-7= tidak ada insomnia yang signifikan, 8-14= batasan susah tidur,
15-21= clinical insomnia (keparahan sedang), 22-28= klinis insomnia (parah)

F. Prosedur Pengumpulan Data


1. Wawancara
Penulis menggunakan metode ini untuk menggali keluhan terkait tingkat insomnia yang
dialami klien menggunakan pedoman wawancara.
2. Observasi
Penulis menggunakan metode ini untuk mengobservasi kemampuan klien dalam
melaksanakan prosedur aromaterapi lavender dan menggali keluhan insomnia klien
menggunakan lembar Insomnia Severity Index

G. Tempat dan Waktu Studi Kasus


1. Tempat
Penulis melakukan studi kasus di rumah warga daerah kerja Puskesmas Kelurahan
Jatiwarna.
2. Waktu
Penulis melaksanakan studi kasus ini selama 5 hari, mulai dari hari senin hingga jum’at
pada tanggal 15-19 April 2019

H. Analisis Data dan Penyajian Data


Analisis data yang digunakan adalah analisis dalam kualitatif dengan menggunakan pola
berpikir induktif. Hasil wawancara akan disertakan narasi cuplikan data yang penting terkait
fokus kasus. Adapun lingkupnya mencakup profil kasus, hasil pengkajian data fokus,
implementasi atau penerapan prosedur serta hasil implementasi, dapat juga disajikan dalam
bentuk table, diagram, dan grafik.
I. Etika Studi Kasus
Dalam melakukan studi kasus ini, penulis menerapkan prinsip etik, yaitu:
1. Respect
Klien berhak menentukan kehendaknya sendiri, klien memiliki hak untuk dihargai
tentang apa yang mereka lakukan dan apa yang dilakukan terhadap mereka serta
memberi kebebasan kepada klien dalam mengambil keputusan.
2. Confidentialty
Dimana semua informasi yang didapat dari klien harus dijaga dengan sedemikian rupa
sehingga informasi individual tertentu tidak bisa langsung dikaitkan dengan klien, dank
lien juga harus dijaga kerahasian atas keterlibatannya dalam studi kasus ini.
3. Justice
Hak terhadap penanganan yang adil yaitu memberikan individu hak yang sama untuk
dipilih atau terlibat tanpa diskriminasi.
4. Benerficience and Non-Malaficience
Hak untuk mendapatkan perlindungan diri dari ketidaknyamanan dan kerugian yaitu
mengharuskan agar klien dilindungi dari eksploitasi dan menjamin bahwa semua usaha
dilakukan untuk meminimalkan bahaya atau kerugian.
5. Informed Consent
informed consent merupakan suatu hal yang sangat penting dalam melakukan studi kasus
ini untuk mendapatkan persetujuan dari subjek studi kasus. Informing adalah
penyampaian ide dan isi penting dari peneliri kepada calon subjek peneliti. consent
adalah persetujuan dari calon subjek peneliti untuk berperan dalam stud kasus penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Ernawati, Syauqy, A., Haisah, S. (2017). Gambaran Kualitas Tidur Dan Gangguan Tidur
Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi. Diakses dari
http://repository.unja.ac.id/2381/1/JURNAL.pdf , tanggal 9 April 2019

Jaelani. (2009). Aromaterapi. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Madeira, A., Wiyono, J., Ariani, N.L. (2019). Hubungan Gangguan Pola Tidur Dengan
Hipetensi Pada Lansia. Diakses dari
https://publikasi.unitri.ac.id/index.php/fikes/article/download/1471/1045, tanggal 9
April 2019.

Muchtaridi, & Moelyono. (2015). Aromaterapi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Naftali, A.R., Ranimpi, Y.Y., Anwar, M.A. (2017). Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia
dalam Menghadapi Kematian. Diakses dari
https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/view/28992, tanggal 11 April 2019.

Nies, Mary A., McEwen, Melanie. (2019). Keperawatan Kesehatan Komunitas dan
Keluarga. Singapore: Elsevier.

Nurdianningrum, B., Purwoko, Y. (2016). Pengaruh Senam Lansia Terhadap Kualitas Tidur
Pada Lansia. Diakses dari https://docplayer.info/78795060-Pengaruh-senam-lansia-
terhadap-kualitas-tidur-pada-lansia.html, tanggl 11 April 2019

Rahmatul. I. Wardah. (2018). Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur. Jakarta: Sagung Seto.

Ramadhan., M.R., Zettira, Z.O (2017). Aromaterapi Bunga Lavender (Lavandula


angustifolia) dalam Menurunkan Risiko Insomnia. Diakses dari
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/1089, tanggal 10
April 2019

Stanley, Mickey. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Alih bahasa Juniarti dan
Kurnianingsih. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Ulumuddin, B.A. (2011). Hubungan Tingkat Stres dengan Kejadian Insomnia. Pada
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas. Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai