PROPOSAL
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh:
ERVIANA YULIANTI
P3.73.20.1.16.170
A. Latar Belakang
Menurut UU No. 13 Pasal 1 ayat (2) tentang kesehatan, lanjut usia (lansia) ialah
seseorang yang berusia 60 tahun ke atas. WHO (2009) menyatakan masa lanjut usia
menjadi empat golongan, yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia
(elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very old) di
atas 90 tahun. (Naftali dkk, 2017)
WHO mengatakan bahwa usia harapan hidup di Indonesia meningkat yaitu 72
tahun. Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 28 juta jiwa atau
sekitar delapan persen dari jumlah penduduk Indonesia. Pada tahun 2025 diperkirakan
jumlah lansia membengkak menjadi 40 jutaan dan pada tahun 2050 diperkirakan akan
melonjak hingga mencapai 71,6 juta jiwa. (Madeira dkk, 2019)
Peningkatan jumlah lansia secara langsung maupun tidak akan memberikan
pengaruh terhadap aspek sosial, ekonomi, politik, hukum, keamanan, dan kesehatan
karena seiring bertambahnya usia seseorang akan terjadi pula proses penuaan. Dengan
terjadinya proses penuaan tersebut lansia akan mengalami kemunduran fungsi fisiologis
yang akan menimbulkan berbagai keluhan, salah satunya adalah gangguan tidur.
Gangguan tidur yang sering muncul dapat digolongkan menjadi 4 yaitu : (1) insomnia;
gangguan masuk tidur dan mempertahankan tidur, (2) hypersomnia; gangguan
mengantuk atau tidur berlebihan, (3) disfungsi kondisi tidur seperti somnabolisme, night
teror, dan (4) gangguan irama tidur. (Nurdianningrum, 2014)
Menurut National Sleep Foundation sekitar 67% dari 1,508 lansia di Amerika usia
di atas 65 tahun melaporkan mengalami gangguan tidur dan sebanyak 7,3% lansia
mengeluhkan insomnia. Di Indonesia gangguan tidur menyerang sekitar 50% orang yang
berusia 60 tahun. Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan
pada lansia, setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% lansia melaporkan adanya
insomnia. (Madeira dkk, 2019)
Sebagian besar lansia beresiko mengalami gangguan tidur salah satunya adalah
insomnia. Faktor yang menyebabkan lansia mengalami insomnia misalnya pensiun dan
perubahan pola sosial, kematian pasangan atau teman dekat, peningkatan penggunaan
obat-obatan, penyakit yang baru saja dialami, perubahan irama sirkadian. (Ernawati,dkk
2017). Hal tersebut menyebabkan kualitas tidur pada lansia terganggu. Kualitas tidur
adalah dimana seseorang mendapatkan kemudahan untuk memulai tidur, mampu
mempertahankan tidur dan merasa rileks setelah bangun dari tidur. Kualitas tidur pada
lansia mengalami perubahan yaitu tidur Rapid Eye Meovement/REM mulai memendek.
Penurunan progresif pada tahap NonRapid Eye Meovement/NREM 3 dan 4 dan hampir
tidak memiliki tahap. Perubahan pola tidur lansia disebabkan perubahan sistem saraf
pusat yang mempengaruhi pengaturan tidur. (Ernawati dkk 2017)
National Heart, Lung, and Blood Institut dari United States Department of Health
and Human Services pada tahun (2009) menginformasikan bahwa insomnia pada lansia
dapat meningkatkan resiko terjadi hipertensi, penyakit jantung, dan kondisi medis lainnya
dan gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi
penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah, koordinasi neuromuskular buruk,
proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan ketidakstabilan tanda vital
Sedangkan dampak psikologi meliputi depresi, cemas, tidak konsentrasi, koping tidak
efektif sehingga keadaan tersebut dapat mengganggu pola tidur sehingga mengurangi
produktivitas dan mempengaruhi status kesehatan pada lansia dengan insomnia. (Madeira
dkk, 2019).
Insomnia bila tidak diatasi dapat mengganggu kualitas hidup, produktivitas, dan
keselamatan lansia. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan terapi farmakologis atau
memberikan obat-obatan dan non farmakologis dengan teknik relaksasi seperti pijatan,
meditasi, aromaterapi, mandi air hangat, melakukan olahraga teratur, menghindari
kebiasaan tidur siang, pergi tidur dan bangun sesuai jadwal yang sama, serta
menghilangkan rasa kecemasan. Terapi non farmakologis yang dapat diterapkan pada
lansia dengan insomnia yaitu dengan menggunakan mandi air hangat dan pemberian
aromaterapi. Pernyataan ini juga didukung bahwa penerapan prosedur aromatherapy
bunga lavender terhadap kualitas tidur lansia dengan insomnia yang sebelumnya telah
dilakukan penelitian oleh M. Ricky Ramadhan dan Ocsi Zara Zettira (2017),
menunjukkan bahwa aromaterapi bunga lavender dapat menurunkan risiko insomnia pada
lansia.
Penggunaan aromateraphy bunga lavender (Lavandula angustifolia) salah satunya
dengan cara inhalasi, kemudian melalui hipotalamus sebagai pengatur maka aroma
tersebut akan dibawa kedalam bagian otak yang kecil tetapi signifikannya yaitu nukleus
raphe. Efek dari nukleus raphe yang terstimulasi yaitu terjadinya pelepasan serotonin
yang merupakan neurotransmitter yang mengatur permulaan untuk tidur (Ramadhan,
2017)
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk
mengambil judul Penerapan Prosedur Aromaterapi Terhadap Kualitas Tidur lansia dengan
Insomnia dalam Konteks Keluarga. Diharapkan dengan adanya penelitian ini keluarga
dengan lansia yang mengalami masalah insomnia dapat menerapkan prosedur
aromaterapi untuk meningkatkan kualitas tidur dan mengatasi masalah insomnia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah Bagimana gambaran penerapan prosedur aromatherapy terhadap kualitas tidur
lansia dengan insomnia dalam konteks keluarga?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aromaterapi
1. Pengertian
Menurut Jaelani (2009) Aroma terapi berasal dari kata aroma yang berarti harum
atau wangi dan therapy yang dapat diartikan sebagai cara pengobatan atau
peneyembuhan. Sehingga aroma terapi dapat diartikan sebagai: “suatu cara perawatan
tubuh dan atau penyembuhan penyakit dengan menggunakan minyak esensial
(essensial oil) yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau pohon.
Aromaterapi adalah teknik pengobatan dengan aroma minyak esensial dari proses
penyulingan berbagai bagian tanaman, bunga, maupun pohon yang masing-masing
mengandung sifat terapi yang berbeda. (Ramadhan, 2017)
Aromaterapi merupakan suatu metode yang menggunakan minyak atsiri sebagai
komponen utama untuk meningkatkan kesehatan fisik dan juga mempengaruhi
kesehatan emosi seseorang. Aromaterapi adalah terapi yang menggunakan essential
oil atau sari minyak murni untuk membantu memperbaiki atau menjaga kesehatan,
membangkitkan semangat, menyegarkan serta membangkitkan jiwa raga (Jaelani,
2009)
Aromaterapi didefinisikan dalam dua kata yaitu aroma yang berarti fragrance dan
therapy yang berarti perlakuan pengobatan, jadi secara ilmiah diartikan sebagai
fragrance yang memiliki pengaruh terhadap fisiologis manusia. (Muchtaridi, 2015)
Aromaterapi didefinisikan sebagai perlakuan dengan menggunakan bau-bauan
atau keharuman, biasanya essential oil sering digunakan untuk membantu pemijatan.
(Muchtaridi,2015)
Berdasarkan uraian definisi diatas dapat disimpulkan bahwa aromaterapi adalah
suatu metode pengobatan atau penyembuhan dengan menggunakan minyak essensial
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan untuk membantu menjaga kesehatan dan
meningkatkan kesehatan fisik.
2. Jenis-jenis aromaterapi
Menurut Jaelani (2009) Wangi dan jenis yang dihasilkan aromaterapi memberikan
dampak terapis yang berbeda. Jenis dan manfaat aromaterapi yaitu:
a. Citronella
Citronella bermanfaat untuk mengurangi ketegangan, meredakan hidung
tersumbat, mengatasi insomnia, dengkur dan migrain.
b. Kayu putih (Eucalyptus)
Kayu putih bermanfaat untuk melegakan pernapasan, meringankan masalah
hidung sensitive, bronchitis, asma, batuk, pilek, demam, dan juga flu.
c. Lavender
Lavender membantu mengatasi insomnia, meredakan kegelisahan,
mengatasi masalah depresi, mengurangi perasaan ketegangan.
d. Teh hijau (green tea)
Teh hijau bermanfaat untuk memperbaiki sistem peredarahan darah, membantu
mengeluarkan dahak dan membersihkan paru-paru. The hijau juga dipercaya
untuk memperlambat penuaan.
e. Cendana (Sandalwood)
Cendana bermanfaat untuk menghilangkan rasa cemas dan aromanya sangat
bermanfaat untuk meditasi.
f. Bunga Mawar (Rose)
Mawar bermanfaat untuk menciptakan suasana romantic dan penuh gairah,
memperbaiki metabolism dan sistem peredaran darah, menyeimbangkan hormon,
meringankan kepekaan kulit sensitif dan alergi.
g. Bunnga Kenanga (Ylang-ylang)
Bunga kenanga berguna unuk meringankan tekanan darah tinggi. Aroma yan
menyegarkan, membangkitkan suasana, mengurangi sakit perut, ketegangan dan
menyembuhkan sakit kepala.
4. Manfaat aromaterapi
Menurut Jaelani (2009) berdasarkan pengalaman empiris pada masa lampau, aroma
terapi memiliki banyak kahsiat dan manfaat yang cukup banyak. Adapun manfaat
yang diperoleh dari metode aroma terapi adalah sebagai berikut:
a. Merupakan bagian utama dari parfume keluarga, yaitu dengan memberikan
sentuhan keharuman dan suasana wewangian yang menyenangkan ketika sedang
berada di rumah maupun berpergian.
b. Dapat digunakan sebagai pelegkap kosmetika seperti body lotion, body scrub,
body mask, message oil, herbal bath, dan sebagainya, sehingga dapat menjadikan
kulit tubuh lebih halus, bersih, segar dan tampak aura kecantikannya.
c. Merupakan salah satu metode perawatan yang tepat dan efisien dalam menjaga
tubuh agar tetap sehat.
d. Banyak dimanfaatkan dalam pengobatan, khususnya untuk membantu
penyembuhan beragam penyakit, meskipun lebih ditunjukkan sebagai terapi
pendukung (support theraphy)
e. Dapat membantu kelancaran fungsi sistem tubuh (improving body functions),
antara lain, dengan cara mengembalikan keseimbangan bioenergy tubuh.
f. Membantu meningkatkan stamina dan gairah seseorang, walaupun sebelumnya
tifak atau kurang memiliki gairah dan semangat hidup.
Sedangkan menurut Muchtaridi (2015) manfaat dari aromaterapi yaitu:
a. Mengobati insomnia
Zat yang terdapat pada aromaterapi diantaranya Hipnotik-Sedatif yaitu zat yang
dapat mendepresi struktur pascasinaptik disertai dengan pengurangan jumlah
transmitter kimia yang dilepaskan oleh neuron prasinaptik, sehingga aktivitas
lokomotor mengalami penurunan dan efeknya akan menimbulkan rasa kantuk
pada penderita insomnia.
b. Relaksan
Konvulsi dapat dianggap sebagai gerak motorik yang abnormal karena kontraksi
otot yang berlebihan dan tak terkendali. Kontraksi otot tersebut diakibatkan oleh
meningkatnya eksitabilitas sistem syarafnya sampai pada suatu ambang kritis
tertentu. Salah satu mekanisme anti konvulsi adalah spasmolitik atau anti kejang
kontraksi otot. Aromaterapi mempunyai aktivitas spasmolitik yang dapat
meregangkan otot sehingga aromaterapi bermanfaat sebagai relaksan.
c. Mengurangi rasa nyeri
Analgesik didefinisikan sebagai zat yang memiliki aktvitas menekan atau
mengurangi rasa nyeri terhadap rangsangan mekanik, termik, listrik, atau kimiawi
di pusat dan perifer atau dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin
sebagai mediator sensasi nyeri. Aromaterapi memberikan khasiat analgesik untuk
mengurangi rasa nyeri.
d. Antibakteri
Aromaterapi memiliki kemampuan untuk membersihkan udara yang kita hirup.
Ketika aromaterapi berdifusi didalam ruangan , senyawa ini melepaskan molekul
oksigen ke atmosfir sehingga molekul tersebut tersuspensi selama beberapa jam
untuk membunuh bakteri, jamur, menghilangkan debu, dan menjadikan udara
lebih segar. Aromaterapi memungkinkan kita untuk menghirup udara yang lebih
bersih dari debu, antibakteri, antijamur, antivirus, dan antiseptik.
e. Sistem kekebalan
Kemampuan aromaterapi membantu pembentukkan sistem kekebalan tubuh.
Fragrances yang terdapat dalam aromaterapi mempengaruhi
neurommunomodulatory dalam waktu yang panjang akan menurunkan Plaque
Forming Cell (PFC). Selain itu, penderita penyakt flu dapat disembuhkan 70%
dengan cepat menggunakan aromaterapi.
f. Antioksidan
Antioksidan dari aromaterapi memberikan pengaruh positif untuk tubuh agar
terhindar dari antioksidan.
b. Bahan
1) Essential oil lavender
2) Air panas
B. Tidur
1. Pengertian
Tidur oleh Johnson dianggap sebagai salah satu kebutuhan fisiologis dasar
manusia. “Tidur terjadi secara alami, dengan fungsi fisiologis dan psikologis yang
melekat. Tidur merupakan suatu proses perbaikan tubuh. (Stanley dan Beare, 2007)
Tidur adalah suatu proses yang sangat penting bagi manusia, karena dalam tidur
terjadi proses pemulihan, proses ini bermanfaat mengembalikan kondisi seseorang
pada keadaan semula, dengan begitu, tubuh yang tadinya mengalami kelelahan akan
menjadi segar kembali. Proses pemulihan yang terhambat dapat menyebabkan organ
tubuh tidak bisa bekerja dengan maksimal, akibatnya orang yang kurang tidur akan
cepat lelah dan mengalami penurunan konsentrasi (Ulimudiin, 2011).
2. Jenis-jenis tidur
Menurut Stanley dan Beare (2007) jenis tidur dibedakan menjadi:
a. Tidur Rapid EyeMovement (REM)
Tidur REM merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur paradoksial. Hal
tersebut berarti tidur REM ini sifatnya nyenyak sekali, namun fisiknya yaitu
gerakan kedua bola mata bersifat sangat aktif. Tidur REM ditandai dengan mimpi,
otot rileks, tekanan darah bertambah, gerakan mata cepat (mata cenderung
bergerak bolak – balik), dan sekresi lambung meningkat.
b. Tidur Non-Rapid Eye Movement (NREM) Tidur NREM merupakan tidur yang
nyaman dan dalam. Gelombang otak lebih lambat dibandingkan orang yang sadar.
Tanda – tanda tidur NREM antara lain mimpi berkurang, keadaan istirahat,
tekanan darah turun, kecepatan pernafasan turun, metabolisme turun, dan gerakan
bola mata lambat. Tidur NREM terbagi menjadi 4 tahap, yaitu:
1) Tahap I
merupakan tahap transisi antara bangun tidur dengan ciri rileks, masih sadar
dengan lingkungan, merasa ngantuk, bola mata bergerak dari samping ke
samping, frekuensi nadi dan napas sedikit menurun, dan dapat bangun segera.
Tahap ini berlangsung selama 5 menit.
2) tahap 2
tahap 2 adalah tahap tidur sesungguhnya yang pertama, dan mentasi selama
tahap ini terdiri dari pemikiran singkat, biasa dan terpecah-pecah.
3) Tahap 3 terjadi segera setelahnya dan merupakan tahapan tidur dalam
menengah.
4) Tahap 4 yaitu tahap tidur dalam dengan ciri kecepatan jantung dan pernapasan
turun, jarang bergerak dan sulit dibangunkan, gerak 15 bola mata cepat,
sekresi lambung turun, dan tonus otot menurun. Siklus tidur individu melalui
tahap NREM dan REM. Siklus tidur komplit biasanya berlangsung 1,5 jam.
3. Siklus tidur
Setelah pergi tidur, seseorang terlebig dahulu melewati tahap terjaga rileks yang
dicirikan dengan gelombang alfa. Orang tersebut kemudian melewati tahap-tahap
tidur dengan urutan 1,2,3,4,3,2, REM. Kemudian, tahap 2 dimulai kembali kecuali
jika orang tersebut terbangun. Jika orang itu terbangun. Jika orang itu terbangun, dan
kembali tidur, yang merupakan hal yang sering terjadi pada lansia, maka tahap 1 akan
dimulai kembali. Dalam pola tidur normal, sekitar 70 sampai 90 menit setelah awitan
tidur, dimulailah periode REM pertama, bergantian dengan tidur NREM pada siklus
70 sampai 90 menit setelah awitan tidur, dimulailah periode REM pertama,
bergantian dengan tidur NREM pada siklus 90 menit selama periode tidur nocturnal.
Konsekuensi dari terbangun, seperti yang terjadi untuk ke toilet di malam hari atau
prosedur keperawatan, dapat menimbulkan efek buruk pada fisiologis dan fungsi
mental lansia . (Stanley dan Beare, 2007)
C. Insomnia
1. Pengertian
Secara bahasa, insomnia berarti tidak dapat tidur pada saat jam tidur. Insomnia
berasal dari bahasa Latin Insomnium. Ciri khas dari insomnia adalah sulit memulai
tidur dan mempertahankan tidur dan terjaga terlalu dini. (Islamiyah, 2018)
Insomnia adalah ketidakmampuan atau kesulitan untuk tidur. Kesulitan tidur ini
bisa menyangkut kurun waktu (kuantitas) atau kelelapan (kualitas) tidur. Penderita
insomnia sering mengeluh tidak bisa tidur, kurang lama tidur, tidur dengan mimpi
yang menakutkan, dan merasa kesehatannya terganggu. Penderita insomnia tidak
dapat tidur pulas walaupun diberi kesempatan tidur sebanyak-banyaknya. (Purwanto,
2014)
Secara definisi menurut International Classification of Sleep Disorder (ICSD),
insomnia adalah persepsi subjektif terhadap rasa sulit memulai tidur, durasi,
konsolidasi atau kualitas tdur, meskipun pasien diberi kesempatan waktu yang cukup
untuk tidur. Kriteria insomnia menurut DSM-V adalah:
a. Keluhan utama berupa rasa tidak nyaman dengan kuantitas dan kualitas tidur
disertai satu atau lebih gejala berikut
1) Kesulitan memulai tidur.
2) Kesulitan mempertahankan tidur, ditandai dengan sering terjaga atau sulit
tidur kembali setelah terjaga.
3) Terbangun terlalu dini dan tidak dapat tidur kembali.
b. Gangguan tidur menyebabkan distress atau gangguan signifikan dalam bidang
sosial, pekerjaan, pendidikan, akademik, perilaku, atau area penting lainnya
c. Kesulitan tidur terjad minimal tiga malam per minggu
d. Kesulitan tidur terjadi minimal tiga bulan
e. Kesulitan tidur terjadi meskipun diberi kesempatan untuk tidur
f. Insomnia tidak dapat dijelaskan atau dihubungkan dengan adanya gangguan tidur
lain seperti narkolepsi, gangguan pernafasan saat tidur, gangguan irama sirkadian,
parasomnia.
g. Insomnia bukan karena efek psikologis dari obat tertentu (seperti ketergantungan
obat)
h. Gangguan medis dan mental lain tidak cukup adekuat menimbulkan keluhan
pasien.
3) Behavioral Disorders
Gangguan tidur terjadi akibat adanya perilaku tidak kondusif untuk tidur.
Berbagai perilaku yang dapat menyebabkan insomnia adalah sebagai berikut:
a) Inadequate sleep hygine
Insomnia yang terjadi akibat kebiasaan buruk pasien seperti konsumsi
kafein yang berlebihan, merokok, olahraga berat di malam hari, dan
aktivitas yang menstimulasi mental pada jam mendekati waktu tidur
b) Limit-setting sleep disorder
Limit-setting sleep disorder sering dijumpai pada anak-anak yang menolak
ketika diminta atau disuruh untuk tidur. Penolakkan inibisa terjadi berulang
dan seringkali menyebabkan mereka baru tidur setelah larut malam.
c) Sleep-onset association disorder
Pasien tidak dapat memulai tidur jika tidak menjumpai suatu barang yang
diinginkan. Kondisi ini sering dijumpai pada anak-anak yang tidak dapat
tidur tanpa botol susunya atau tanpa memegang mainan kesayangannya.
d) Nocturnal eating (drinking) syndrome
Sindrom ini ditandai dengan keluhan terjaga beberapa kali ketika malam
hari, karena dipicu oleh adanya perilaku makan atau minum di malam hari.
Keinginan makan atau minum sebelum tidur ini bukanlah disebabkan oleh
karena pasien lapar atau haus, akan tetapi disebabkan oleh kebiasaan pasien.
4) Faktor lingkungan
a) Environtmental sleep disorder
Kondisi lingkungan seperti suara yang berisik, bau busuk yang menyengat,
lampu yang terlalu terang, suhu ruangan yang terlalu ekstrim, pasangan tidur
yang mendengkur tentu saja akan menyebabkan seseorang sulit tidur. Orang
lanjut usia lebih sensitive terhadap kondisi lingkungan tersebut, sehingga
seringkali mereka mengalami insomnia.
b) Food allergy insomnia
Konsumsi makanan atau minuman tertentu dapat menyebabkan gangguan
tidur dan menyebabkan pasien tetap terjaga. Gejala alergi lain bisa dijumpai
pada pasien, seperti iritasi dan ruam di kulit, gangguan gastrointestinal atau
distress nafas.
c) Gangguan tidur akibat toksin
Keracunan bahan kimia atau toksin tertentu (arsenic, timbal ata merkuri)
dapat menyebabkan gangguan tidur. Berbagai bahan tersebut dapat
merangsang eksitasi sistem saraf pusat sehingga pasien mengalami insomnia
atau bisa juga menyebabkan pasien menjadi hipersomnolens akibat depresi
sistem saraf pusat.
d) Insomnia karena ketinggian
Penyebab utama gangguan tidur adalah adanya priode apnea sentral
sepanjang periode nafas pasien ketika tidur. Kondisi ini menyebabkan
hipoksia dan alkalosis respiratorik.
5) Penyakit Medis
a) Gangguan pernafasan
Gangguan pernafasan dapat menyebabkan gangguan tidur. Keluhan
insomnia dapat disebabkan oleh karena adanya obstructive sleep apnea,
central sleep apnea, central alveolar hypoventilation syndrome, penyakit
paru obstruktif kronis dan sleep-related asthma
b) Penyakit kardiovaskuler
Baik penyakit jantung iskemik maupun gagal jantung kongestif dapat
menyebabkan gangguan tidur
c) Penyakit gastrointestinal
Berbagai penyakit gastrointestinal dapat menyebabkan insomnia kronis .
6) Kelainan neurologis
Beberapa kelainan neurologis yang seringkali menyebabkan gangguan tidur
adalah demensia, parkinsonism, gangguan degenerative serebral, nyeri kepala,
dan kejang. Kelainan neurologis seperti tumor otak, stroke, sindroma
neuromuscular, dan cedera otak traumatik juga dapat mnimbulkan gangguan
tidur.
7) Gangguan psikiatri
Beberapa gangguan psikiatri yang seringkali berhubungan dengan insomnia
adalah gangguan mood, gangguan anxietas, gangguan panik, post-traumatic
stress disorder, psikosis, eating disorder, alkoholnism, dan gangguan
personality.
8) Kehamilan dan Menstrusi
Baik kehamilan maupun siklus menstruasi dapat menimbulkan keluhan
insomnia pada wanita (menstrual-associated sleep disorder dan pregnancy-
associated sleep disorder)
4. Manifestasi klinis
Dampak serius gangguan tidur pada lansia misalnya
a. Mengantuk berlebihan di siang hari
b. Gangguan memori,
c. Gangguan mood
d. Depresi
e. Sering terjatuh
f. Penggunaan hipnotik yang tidak semestinya
g. Penurunan kualitas hidup.
D. Peran Keluarga Terhadap Klien Dengan Insomnia
Peran keluarga terhadap klien lansia dengan insomnia yaitu mengenali masalah-
masalah kesehatan yang terjadi di antara anggota keluarga dan memberikan perawatan
pada anggota keluarga yang sakit. Tugas keluarga terdiri dari lima tugas yaitu
1. Mengenali masalah kesehatan lansia
Keluarga-keluarga Indonesia cenderung berupaya menghilangkan gejala yang
dirasakan bila mengalami sakit dengan melakukan cara-cara tradisional atau minum
obat yang dijual bebas. Upaya untuk memahami masalah kesehatan belum dilakukan
oleh banyak keluarga. Sering pula terjadi anggapan yang salah karena informasi yang
diperoleh secaara turun temurun atau pengaruh dari aspek budaya yang terjadi kurang
memperhatikan perubahan kondisi kesehatan.
a. Kurang pengetahuan mengenai masalah kesehatan anggota keluarga (lansia) yang
mnegalami insomnia
b. Menyangkal tentang keberadaan atau keparahan penyakit akibat rasa takut tentang
konsekuensi dari diagnosis atau masalah. Keluarga menyepelekan masalah
kesehatan lansia karena menganggap proses degeneratif yang terjadi pada lansia
adalah proses wajar. Faktor lain yang menyebabkan keluarga belum memahami
masalah insomnia pada lansia yaitu:
1) Stigma sosial yang menyatakan bahwa masalah kesehatan lansia merupakan
masalah yang wajar.
2) Implikasi ekonomi, biaya
3) Konsekuensi fisik
4) Keadaan psikologi dan emosional
BAB III
METODOLOGI STUDI KASUS
Pada bab ini penulis akan diuraikan tentang desain atau rancangan studi kasus, subyek studi
kasus, fokus studi kasus, definisi operasional, instrument studi kasus, prosedur pengumpulan
data, waktu dan tempat studi kasus, analisis data dan penyajian data serta etika studi kasus
C. Fokus studi
Fokus studi kasus ini adalah penerapan prosedur aromaterapi lavender terhadap kualitas tidur
lansia dengan insomnia dalam konteks keluarga di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan
Jatiwarna.
D. Definisi Operasional
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan definisi perasional sebagai berikut:
1. Prosedur aromaterapi lavender adalah intervensi keperawatan untuk meningkatkan
kualitas tidur lansia dengan insomnia dengan cara membantu klien untuk
inhalasi/mengirup uap aromaterapi lavender.
2. Insomnia adalah persepsi subjektif terhadap rasa sulit memulai tidur, durasi, konsolidasi
atau kualitas tdur, meskipun pasien diberi kesempatan waktu yang cukup untuk tidur.
E. Instrumen Studi Kasus
Jenis instrument yang digunakan penulis dalam studi kasus ini berupa standar operasional
prosedur (SOP) aromaterapi lavender (terlampir) dan format pengkajian wawancara skala
Insomnia Severiry Index dengan masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka
(score) antara 0-4, lalu masing-masing nilai angka (score) dari 7 kelompok gejala
dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat insomnia seseorang,
yaitu total nilai (score): 0-7= tidak ada insomnia yang signifikan, 8-14= batasan susah tidur,
15-21= clinical insomnia (keparahan sedang), 22-28= klinis insomnia (parah)
DAFTAR PUSTAKA
Ernawati, Syauqy, A., Haisah, S. (2017). Gambaran Kualitas Tidur Dan Gangguan Tidur
Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi. Diakses dari
http://repository.unja.ac.id/2381/1/JURNAL.pdf , tanggal 9 April 2019
Madeira, A., Wiyono, J., Ariani, N.L. (2019). Hubungan Gangguan Pola Tidur Dengan
Hipetensi Pada Lansia. Diakses dari
https://publikasi.unitri.ac.id/index.php/fikes/article/download/1471/1045, tanggal 9
April 2019.
Naftali, A.R., Ranimpi, Y.Y., Anwar, M.A. (2017). Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia
dalam Menghadapi Kematian. Diakses dari
https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/view/28992, tanggal 11 April 2019.
Nies, Mary A., McEwen, Melanie. (2019). Keperawatan Kesehatan Komunitas dan
Keluarga. Singapore: Elsevier.
Nurdianningrum, B., Purwoko, Y. (2016). Pengaruh Senam Lansia Terhadap Kualitas Tidur
Pada Lansia. Diakses dari https://docplayer.info/78795060-Pengaruh-senam-lansia-
terhadap-kualitas-tidur-pada-lansia.html, tanggl 11 April 2019
Rahmatul. I. Wardah. (2018). Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur. Jakarta: Sagung Seto.
Stanley, Mickey. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Alih bahasa Juniarti dan
Kurnianingsih. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Ulumuddin, B.A. (2011). Hubungan Tingkat Stres dengan Kejadian Insomnia. Pada
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas. Diponegoro.