Anda di halaman 1dari 3

A.

Fase pertama (1821-1825)


Pada fase pertama, dimulai gerakan kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap
patroli-patroli Belanda. Bulan September 1821 pos-pos Simawang menjadi sasaran serbuan
kaum padri. Juga pos-pos lain seperti Soli Air, Sipinang dan lain-lain.

Sementara itu pasukan Belanda setelah berhasil menguasai seluruh lembah Tanah Datar,
kemudian mendirikan benteng di Batusangkar yang kelak terkenal dengan sebutan Front Van der
Capellen. Perlawanan kaum Padri muncul di berbagai tempat. Tuanku Pasaman memusatkan
perjuangannya di Lintau dan Tuanku Nan Renceh memimpin pasukannya di sekitar Baso.

Pada tahun 1823 pasukan Padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di Kapau. Kemudian
kesatuan kaum Padri yang terkenal adalah yang berpusat di Bonjol. Pemimpin mereka adalah
Peto Syarif. Peto Syarif inilah yang dalam sejarah Perang Padri dikenal sebagai Tuanku Imam
Bonjol.

Karena merasa kewalahan dalam melawan kaum Padri, maka Belanda mengambil strategi damai.
Pada tanggal 26 Januari 1824 tercapailah perundingan damai antara Belanda dengan kaum Padri
di wilayah Alahan Panjang. Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang.

Belanda memanfaatkan perdamaian tersebut untuk menduduki daerah-daerah lain. Tindakan


Belanda tersebut telah menimbulkan amarah kaum Padri Alahan Panjang dan menyatakan
pembatalan kesepatakan dalam Perjanjian Masang. Tuanku Imam Bonjol menggelorakan
kembali semangat untuk melawan Belanda.

Fase kedua (1825-1830)


Pada tahun 1825 di Jawa mulai berkobar perang Diponegoro. Belanda menilai bahwa perang
Diponegoro lebih berbahaya dari pada Perang Padri. Bagi Belanda tahun tersebut digunakan
untuk sedikit mengendorkan ofensifnya dalam Perang Padri. Upaya damai diusahakan sekuat
tenaga. Kolonel De Stuers penguasa sipil dan militer di Sumatera Barat berusaha mengadakan
kontak dengan tokoh-tokoh kaum Padri untuk menghentikan perang dan sebaliknya perlu
mengadakan perjanjian damai.
Belanda kemudian minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan Arab yang bernama
Sulaiman Aljufri. Sulaiman Aljufri menemui Tuanku Imam Bonjol agar bersedia berdamai
dengan Belanda. Tuanku Imam Bonjol menolak. Kemudian menemui Tuanku Lintau ternyata
merespon ajakan damai itu. Hal ini juga didukung Tuanku Nan Renceh. Pada tanggal 15
November 1825 ditandatangani Perjanjian Padang. Isi Perjanjian Padang itu antara lain :

1. Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk


Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
2. Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
3. Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan
perjalanan
4. Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.

Fase ketiga (1830 – 1837/1838)


Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan Belanda dikonsentrasikan
ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Pada pertempuran fase ketiga ini
kaum Padri mulai mendapatkan simpati dari kaum Adat. Tahun 1831 Gillavary digantikan oleh
Jacob Elout. Elout ini telah mendapatkan pesan dari Gubernur Jenderal Van den Bosch agar
melaksanakan serangan besar-besaran terhadap kaum Padri.

Elout segera mengerahkan pasukannya untuk menguasai beberapa nagari, seperti Manggung dan
Naras. Termasuk daerah Batipuh. Setelah menguasai Batipuh, serangan Belanda ditujukan ke
Benteng Marapalam. Benteng ini merupakan kunci untuk dapat menguasai Lintau. Pada Agustus
1831 Belanda dapat menguasai Benteng Marapalam tersebut. Dengan jatuhnya benteng ini maka
beberapa nagari di sekitarnya ikut menyerah.

Dengan kekuatan yang berlipat ganda Belanda melakukan penyerangan terhadap pos-pos
pertahanan kaum Padri. Banuhampu, Kamang, Guguk Sigandang, Tanjung Alam, Sungai Puar,
Candung dan beberapa nagari di Agam.

Di samping strategi militer, Van den Bosch menerapkan strategi winning the heart kepada
masyarakat. Pajak pasar dan berbagai jenis pajak mulai dihapuskan. Penghulu yang kehilangan
penghasilan akibat penghapusan pajak, kemudian diberi gaji 25-30 gulden. Para kuli yang
bekerja untuk pemerintah Belanda juga diberi gaji 50 sen sehari. Elout digantikan oleh E. Francis
yang tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau.

Kemudian dikeluarkan Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah pernyataan atau janji khidmat yang
isinya tidak akan ada lagi peperangan antara Belanda dan kaum Padri. Setelah pengumuman
Plakat Panjang ini kemudian Belanda mulai menawarkan perdamaian kepada para pemimpin
Padri

Dengan kebijakan baru itu beberapa tokoh Padri dikontak oleh Belanda dalam rangka mencapai
perdamaian. Tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan
Imam Bonjol di Bonjol. Tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol dihujani meriam oleh serdadu
Belanda. Agustus 1835 benteng di perbukitan dekat Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Belanda juga mencoba mengontak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Imam Bonjol mau
berdamai tetapi dengan beberapa persyaratan antara lain kalau tercapai perdamaian Imam Bonjol
minta agar Bonjol dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan nagari itu tidak diduduki Belanda.

Justru Belanda semakin ketat mengepung pertahanan di Bonjol. Sampai tahun 1836 benteng
Bonjol tetap dapat dipertahankan oleh pasukan Padri. Bulan Oktober 1837, secara ketat Belanda
mengepung dan menyerang benteng Bonjol. Akhirnya Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya
terdesak. Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Imam Bonjol sendiri
kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Tanggal 19 Januari 1839 ia dibuang ke Ambon dan
tahun 1841 dipindahkan ke Manado sampai meninggalnya pada tanggal 6 November 1864.

Anda mungkin juga menyukai