Anda di halaman 1dari 66

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi

Struktur intra-artikular di lutut memiliki 4 ligamen mayor yang berfungsi


untuk membantu lutut dalam pergerakkannya yang terutama adalah fleksi dan ekstensi
sehingga sendi patellofemoral tetap berada pada tempatnya.

Gambar 1. Lutut dalam posisi fleksi (kiri) dan ekstensi (kanan)

Anterior cruciate ligamen (ACL) memiliki fungsi utama yaitu untuk


mengontrol translasi anterior dari tibia dan sebagai penahan sekunder terhadap rotasi
tibia dan juga stres varus atau valgus. ACL berasal dari posteromedial dari kondilus
femoralis lateralis dan berjalan ke arah distal secara anterior dan medial menuju
anteromedial daripada tibia diantara kondilus. ACL memiliki 2 bundel: bundel
anteromedial yang kencang saat fleksi dan bundel posterolateral yang kencang saat
ekstensi. Perdarahan dari ACL berasal dari cabang arteri geniculata medialis dan
inervasi berasal dari nervus articularis posterior yaitu cabang dari nervus tibialis.1

Posterior cruciate ligament (PCL) adalah ligamen intra-artikuler yang terbesar


dan terkuat, berasal dari batas lateral dari kondilus femoralis medialis dan memiliki
insersio di posterior tibia di bagian fovea centralis. PCL merupakan ligamen intra-
artikuler teteapi ekstra sinovial karena adanya selubung sinovium yang melapisi
ligamen. Lokasi ekstra sinovial ini menjelaskan pembengkakan yag minimal pada
trauma PCL terisolasi.2

PCL dibagi menjadi 2 bundel yang berbeda yaitu anterolateral (AL) dan
bundel yang lebih kecil yaitu posteromedial (PM). PCL bekerja sama dengan ligamen
meniskofemoral yang membentuk kompleks PCL. Fungsi utama dari kompleks PCL
adalah membatasi translasi posterior dari tibia terhadap femur dan juga menjadi
penahan sekunder terhadap rotasi eksternal. PCL juga melindungi lutut yang
terekstensi dari stres varus dan valgus. Peran PCL dalam melindungi stabilitas lutut
posterior meningkat seiring lutut diposisikan dalam keadaan fleksi. PCL memberikan
95% stabilitas posterior saat lutut difleksikan diantara 30-90 derajat. Bundel AL akan
menjadi tidak tegang saat ekstensi tapi menjadi lebih kencang saat fleksi sedangkan
bundel PM sebaliknya.2

Kompleks posterolateral (PLC) terdiri dari ligamen kolateral lateral (LCL),


iliotibial band (ITB), tendon popliteus, ligamen popliteofibular, ligamen arkuata dan
kapsul sendi posterolateral. PLC merupakan penahan sekunder yang penting terhadap
translasi tibia posterior dengan fungsi primer yaitu menahan stres varus dan rotasi
eksternal.2

Ligamen kolateral medial (MCL) atau sering disebut juga dengan ligamen
kolateral tibial merupakan kompleks kapsuloligamen yang menyokong lutut medial
yang terdiri dari komponen statis (kapsul, ligamen) dan dinamis (otot). Stabilisasi
dinamik dibantu oleh otot vastus medialis, semimembranosus, gracilis dan sartorius.
MCL berfungsi untuk memberikan tahanan terhadap stres valgus dan rotasi tibial. 3

Ligamen kolateral lateral (LCL) bekerja sama dengan struktur jaringan lunak
dari ligamen arkuata untuk memberikan stabilitas lutut di bagian posterolateral.
Struktur-struktur utama yang memberikan stabilitas di posterolateral adalah LCL,
tendon popliteus dan ligamen popliteofibular (PFL). LCL berfungsi untuk menjadi
penahan terhadap instabilitas varus di segala sudut dari fleksi lutut. LCL juga dapat
bekerjasama dengan struktur posterolateral lainnya untuk mencegah translasi posterior
dan eksternal rotasi dari tibia terhadap femur saat fleksi lutut awal (0-30 derajat). Saat
sudut lutut meningkat diatas 60 derajat, LCL memberikan tahanan yang kurang kuat
terhadap rotasi eksternal dibandingkan dengan PFL dan diatas 70 derajat, LCL tidak
memberikan resistensi yang signifikan terhadap rotasi eksternal.4
Kedua meniski lutut yang terletak di sendi lutut adalah bantalan yang
berbentuk kresentik yang terdiri dari fibrokartilago diantara kedua kondilus femoralis
dan plateau tibialis. Mereka memiliki fungsi untuk meredamkan stres yang diletakkan
ke lutut, menstabilisasi lutut saat rotasi dan melubrikasi sendi lutut. Meniski
mendapatkan suplai darah dari arteri geniculate namun perdarahan ke arah medial
terbatas dibandingkan dengan perdarahan di lateral.5

2. Anterior Cruciate Ligamen

A. Epidemiologi
Anterior cruciate ligamen (ACL) adalah ligamen lutut yang paling sering
mengalami cedera. Dilaporkan bahwa di Amerika Serikat terdapat 100,000 hingga
200,000 ruptur ACL per tahun dengan insidensi per tahun di populasi umum sekitar 1
dari 3500 orang walaupun insidensi secara aktual dapat lebih tinggi lagi. 6,7 Di Rumah
Sakit Kepresidenan Gatot Soebroto (RSPAD) Gatot Soebroto tercatat 45 pasien yang
mengalami cedera ACL terbanyak selama 3 bulan terakhir Maret – Mei 2015.8
Mayoritas dari robekan ACL terjadi pada atlet dengan trauma non kontak dan
perempuan memiliki angka kejadian yang lebih tinggi untuk cedera ACL per eksposur
dari olahraga.9,10 Seorang atlet yang berpartisipasi dalam sebuah pertandingan atau
latihan dihitung sebagai sebuah eksposur. Tipe-tipe olahraga yang dapat
meningkatkan resiko trauma ACL adalah olahraga yang melibatkan lari yang
eksplosif, loncat atau pergantian arah secara mendadak seperti sepakbola, American
football, bola basket, bola voli, gimnastik, bola tangan atau ski. Olahraga seperi
gimnast, sepak bola dan bola basket menempatkan perempuan untuk lebih rentan
secara signifikan menderita robekan ACL dibanding laki-laki.11

B. Faktor Resiko
Olahraga yang mengharuskan perempuan untuk bertumpu pada kaki akan
menempatkan perempuan pada resiko yang jauh lebih tinggi untuk cedera ACL
dibangingkan laki-laki. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti:

 Deselerasi dominan dari quariceps


 Peningkatan angulasi dari lutut yang valgus saat bertumpu, deselerasi
atau pendaratan
 Estrogen
 Perbedaan antara sudut Q dan panjang tulang
 Lebar intercondylar notch yang lebih sempit

Dominansi quadriceps mengacu kepada kelompok otot (quadriceps) yang


lebih digunakan untuk mengontrol deselerasi dan pada perempuan quadriceps lebih
digunakan untuk mengontrol deselerasi sedangkan laki-laki cenderung untuk
menggunakan hamstring.12 Quadriceps tidak seefektif hamstring dalam mencegah
translasi tibial anterior sehingga meningkatkan tekanan yang diberikan pada ACL.
Selain itu, perempuan juga memiliki hamstring yang lebih lemah sehingga terjadi
ketidakseimbangan yang lebih besar diantara kedua otot tersebut dan mengakibatkan
peningkatan instabilitas dari lutut.13,14

Perempuan juga lebih rentan terhadap trauma ACL karena perempuan lebih
condong untuk mengambil posisi angulasi valgus lutut yang lebih besar saat
mengganti arah pada saat olahraga. Peningkatan posisi angulasi valgus dari lutut saat
mengganti arah secara mendadak atau mendarat dari ketinggian dan kekuatan yang
signifikan meningkatkan stress yang harus ditanggung oleh ACL.10 Kelemahan otot
relatif dan biomekanika yang lemah juga menjadi faktor resiko untuk cedera ACL
yang dibuktikan dengan penari perempuan lebih jarang terkena cedera ACL karena
mereka melakukan latihan yang memperkuat otot di lutut, panggul serta torso saat
berlatih meloncat dan mendarat.16

Efek estrogen terhadap cedera ACL secara langsung maupun efeknya secara
tidak langsung terhadap kekuatan jaringan disekitarnya masih menjadi perdebatan.
Serum estrogen dan relaxin dipostulasikan dapat meningkatkan kekuatan dan
fleksibilitas dari jaringan lunak termasuk ligamen dan juga mempengaruhi fugsi
neuromuskular.15,17 Hal ini dibuktikan dari beberapa penelitian observasional dimana
pemberian kontrasepsi oral dapat menurunkan ruptur ACL.15,18

Sudut Q terbentuk dari menarik sebuah garis dari spina iliaka anterior superior
ke arah patella dan garis kedua ditarik dari patella ke tuberkel tibialis. Wanita
memiliki sudut Q yang lebih besar karena wanita memiliki pelvis yang relatif lebih
lebar dan femur yang lebih pendek. Beberapa peneliti mengatakan bahwa ada asosiasi
antara sudut Q yang lebih besar dengan peningkatan cedera ACL namun tidak ada
bukti yang kuat untuk mendukung pernyataan ini.15,19 Perdebatan juga masih terjadi
antara lebar intercondylar notch femur distal yang menurun diasosiasikan dengan
cedera ACL.20,21

Gambar 1 dan 2. Sudut Q pada laki-laki dan perempuan

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi ruptur ACL faktor eksternal


seperti kontak permukaan dengan sepatu serta faktor internal seperti kelemahan otot
hamstring ataupun sendi, ACL yang lebih kecil, angka BMI yang lebih besar,
proprioseptif yang terganggu, kelelahan otot, genetik dan kelemahan otot rangka
utama15,22. Antara faktor eksternal yang dapat mempengaruhi ruptur ACL, pemakaian
alas kaki dan permukaan yang diinjak telah diteliti beberapa kali dan dikonklusikan
bahwa kemungkinan ruptur ACL akan meningkat ketika traksi antara alas kaki dan
permukaan tanah meningkat.15

C. Mekanisme Trauma

Trauma ACL dapat terjadi akibat mekanisme yang melibatkan energi tinggi
(kecelakaan lalu lintas antar kendaraan) atau energi rendah (olahraga yang tidak
melibatkan kontak). Trauma kontak pada mekanisme energi rendah dapat
mengakibatkan trauma ACL (contohnya pukulan ke lutut lateral) tetapi trauma non-
kontak lebih sering mengakibatkan trauma ACL. Mekanisme yang paling sering
mengakibatkan trauma ACL adalah trauma dengan mekanisme energi rendah tanpa
melibatkan kontak saat aktivitas olahraga misalnya saat seorang atlet melakukan
deselerasi, pergantian arah secara mendadak atau mendarat yang melibatkan rotasi
atau pembengkokan lutut kearah lateral.23 Mayoritas trauma melibatkan posisi valgus
lutut dengan fleksi lutut yang minimal serta rotasi internal dari tibia.24 Mekanisme
kontak dapat menyebabkan trauma ACL dengan cara hiperekstensi atau deformasi
valgus dari lutut akibat pukulan langsung seperti pada American football atau motor
vehicle collision (MVC) dalam kecepatan tinggi.25

D. Tanda dan Gejala

Pasien akan mengeluhkan sensasi "pop" di lutut pada saat cedera,


pembengkakan akut setelah itu dan sensasi bahwa lututnya tidak stabil atau akan
segera copot. Hampir semua pasien trauma ACL akan bermanifestasi dengan efusi
lutut dari hemarthrosis dan sebaliknya bahwa 67-77% pasien dengan hemarthrosis
lutut akut akibat cedera memiliki trauma ACL.26 Setelah pembengkakan mereda,
pasien dapat menopang berat badan namun merasa tidak stabil pada saat melakukan
pergerakan yang mengharuskan pasien untuk menopang berat badan pada lutut yang
cedera seperti naik atau turun tangga.
Struktur lain seringkali juga mengalami trauma seperti meniskus, kapsul sendi,
tulang rawan pada artikular, tulang subkondral dan ligamen lainnya.27 Hal ini dapat
lebih mungkin terjadi apabila mekanisme trauma melibatkan mekanisme kekuatan
yang besar.

E. Pemeriksaan Fisik

Anamnesis harus meliputi kapan trauma terjadi, mekanisme, pembengkakan


sendi, apakah masih dapat melakukan fungsi (berjalan, menaiki tangga), instabilitas
dari sendi (merasakan sendi seperti ingin copot) dan apakah ada cedera lainnya.
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, mobilitas, kekuatan, stabilitas dan tes
khusus ACL namun pemeriksaan lutut dapat terbatas akibat nyeri atau hemarthrosis.
Walaupun ruptur ACL dapat didiagnosis secara klinis, MRI biasa digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis.
Terdapat 3 pemeriksaan khusus untuk mengecek ACL yaitu Lachman, Pivot
Shift serta Anterior Drawer.28 Tes Lachman dilakukan dengan cara meletakkan lutut
pada posisi fleksi 30 derajat kemudian menstabilkan distal femur dengan satu tangan
sambil menarik tibia proksimal ke arah anterior dengan tangan satunya lagi sehingga
mencoba untuk menghasilkan translasi anterior dari tibia. ACL yang intak akan
membatasi translasi anterior dan memberikan hasil ujung yang jelas dimana
peningkatan translasi dibandingkan lutut yang tidak cedera dan hasil ujung yang tidak
jelas menandakan trauma ACL.29

Gambar 3. Tes Lachman


Tes Pivot Shift sulit untuk dilakukan pada pasien yang sadar akibat adanya
resistensi dan hanya sensitif pada pasien yang sepenuhnya relaks dan kooperatif. Tes
ini sangat spesifik namun tidak sensitif untuk ruptur ACL.28Tes ini dilakukan dengan
meletakkan lutut pada posisi ekstensi kemudian salah satu tangan memegang kaki
bagian bawah dan merotasi tibia ke arah internal sambil memberikan tekanan valgus
pada lutut dengan tangan satunya. Pada pasien dengan trauma ACL, manuver ini akan
menyebabkan subluksasi. Sambil mempertahankan tekanan yang diberikan, klinisi
memfleksikan lutut dan pada pasien dengan trauma ACL, terjadi reduksi dari tibia
yang tersubluksasi yang terasa sebagai "clunk".29
Gambar 4. Tes Pivot Shift
Tes Anterior Drawer dilakukan dengan kaki terfleksi pada 90 derajat kemudia
tibia proksimal dipegang dengan kedua tangan dan ditarik ke arah anterior untuk
mengecek translasi anterior. Untuk menambah stabilitas, klinisi dapat duduk di atas
kaki pasien. Tes dianggap positif apabila ada translasi anterior pada kaki yang
mengalami trauma ACL atau translasi anterior pada satu kaki lebih dominan
dibanding kaki yang sehat.28

Gambar 5. Tes Anterior Drawer


Klinisi harus mengevaluasi translasi posterior dari tibia sebelum melakukan
tes drawer karena dapat terjadi hasil positif palsu pada tes anterior drawer apabila ada
trauma posterior cruciate ligamen (PCL). Jatuhnya tibia ke arah posterior pada trauma
PCL akan memberikan sensasi translasi anterior padahal tibia hanya kembali ke posisi
netral. Jatuhnya tibia dianggap positif bila satu tibia lebih jatuh dibanding tibia yang
sehat saat mengobservasi kaki dari samping dengan kaki difleksi 90 derajat.28
Tes Pivot Shift memiliki sensitivitas 24% dan spesifitas 98%, tes anterior
drawer memiliki senstivitas 92% dan spesifisitas 91% pada kondisi kronis namun
tidak terlalu akurat pada kondisi akut sedangkan tes Lachman merupakan tes yang
paling berguna dengan sensitivitas 85% dan spesifisitas 94% untuk ruptur ACL.
Kombinasi dari tes Lachman positif dan tes Pivot Shift negatif dapat menandakan
bahwa ACL ruptur parsial.30
KT-1000 knee ligament arhtrometer merupakan sebuah alat yang dapat
memberikan pengukuran objektif dari translasi anterior-posterior lutut dan sering
digunakan dalam penelitian untuk mengevaluasi ruptur ACL.25 Klinisi juga harus
menilai struktur lain yang dapat cedera selain ACL dengan mengetes stabilitas
ligamen kolateral medial dan lateral dengan memberikan tekanan ke arah valgus dan
varus. Tes Posterior Drawer serta menilai trauma meniskus dengan palpasi garis
sendi medial dan lateral serta manuver khusus meniskus harus dilakukan.

F. Pencitraan Diagnostik

X-ray dapat digunakan untuk mengekslusi fraktur namun tidak dapat


digunakan untuk mendiagnosis trauma ACL. Pada beberapa kasus, fraktur Segond
(fraktur avulsi pada anterolateral tibial plateau pada insersi ligamen kapsular lateral)
dapat diidentifikasi dan fraktur ini mengindikasikan adanya trauma ACL.31
Gambar 6. Fraktur Segond
Ultrasound dapat digunakan untuk membantu diagnosa terutama pada ruptur
ACL komplit namun MRI adalah modalitas primer yang digunakan untuk
mendiagnosis ruptur ACL. Arthrogram lutut hanya dilakukan pada pasien dengan
pemeriksaan fisik dan MRI yang inkonklusif. MRI memiliki sensitivitas 86% dan
spesifisitas 95% namun tidak begitu akurat dalam membedakan ruptur komplit atau
parsial serta dalam mendeteksi ruptur kronis.32

Gambar 7. Gambar A dan B adalah proyeksi sagittal dari lutut menggunakan


sekuens densitas proton dengan saturasi lemak. Gambar A menunjukkan ACL
normal sedangkan gambar B menunjukkan ruptur komplit dan untaian ligamen
dari komponen proksimal dan distal. Gambar C menggunakan teknik T2
weighted, fast spin echo dan menunjukkan avulsi komplit dari ACL pada
insersi tibia dan ligamen proksimal yang normal

G. Klasifikasi
Trauma ACL dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu32:
1. Derajat I
o Ligament ACL tertarik namun tidak robek (mikroskopis)
o Nyeri dan pembengkakan minimal
o Tidak ada sensasi copot atau tidak stabil pada lutut
2. Derajat II
o Serabut-serabut ligament robek sebagian
o Nyeri dan pembengkakan minimal
o Mulai ada sensasi copot atau tidak stabil pada lutut
3. Derajat III
o Ligament robek sepenuhnya menjadi 2 bagian
o Nyeri dapat minimal namun tidak begitu sakit, pembengkakan
dapat minimal atau masif
o Ligamen sudah tidak dapat mengendalikan gerakan dan lutut
mulai merasa tidak stabil dalam kondisi tertentu

Gambar 8. Klasifikasi Trauma ACL

H. Terapi

Penanganan akut terdiri dari PRICE-M (protection, rest, ice, compression,


elevation dan medication) dan tongkat dapat digunakan untuk menghindari
penumpuan berat badan terutama apabila lutut tidak stabil. Analgesik over the counter
(OTC) cukup untuk meredakan nyeri. NSAIDs dapat meredakan nyeri secara efektif
namun efek terhadap penyembuhan ligamen dan tulang masih diragukan.11
Penanganan ruptur ACL dapat dilakukan secara operatif atau non-operatif.
Sebagian besar pasien muda aktif dan atlet yang masih berkompetisi dalam level
tinggi memilih untuk melakukan operasi. Secara general, pasien dengan trauma ACL
seharusnya dirujuk ke ahli ortopedi. Pasien yang memilih untuk tidak dioperasi dapat
dirujuk ke ahli fisioterapi untuk rehabilitasi.11
Faktor-faktor yang mempengaruhi operasi adalah level aktifitas pasien, level
aktifitas dan stress yang dialami oleh lutut, ada atau tidaknya trauma terhadap
meniskus atau ligamen lain serta umur dan pekerjaan. Pasien dengan trauma terhadap
struktur multiple pada lutut membutuhkan operasi akibat ketidakstabilan lutut yang
mengakibatkan limitasi terhadap aktivitas, simptom mekanik (terkunci, copot) dan
resiko osteoarthritis.11
Translasi anterior lebih dari 5 mm dengan menggunakan KT1000 atau alat lain
yang komparatif merupakan kriteria operasi pada jaman dahulu namun beberapa studi
mempertanyakan keakuratan alat yang menilai translasi statis ini. Beberapa ahli juga
menyatakan bahwa tes pivot shift positif 3 bulan setelah trauma juga memprediksikan
kebutuhan operasi yang akan datang.34
Faktor-faktor yang memprediksi kembalinya status pasien ke sebelum trauma
adalah performa simetris dari olahraga loncat dengan satu kaki, usia muda, laki-laki,
bermain olahraga dalam kompetisi tinggi dan mempunyai pandangan psikologis
positif. Atlet yang muda atau bermain dalam kompetisi tinggi biassanya tidak dapat
mentolerir penanganan non-operasi.35
Pasien dengan status aktivitas yang tidak terlalu berat dan tidak terlalu
menumpu pada lutut dapat diterapi secara nonoperatif dengan modifikasi aktivitas dan
rehabilitasi.31 Prinsip dari rehabilitasi adalah setelah pasien melalui operasi
rekonstruksi ACL, pasien diinstruksikan untuk menggerakan sendi lutut ke seluruh
arah (range of motion) terutama ekstensi lutut karena ketidakmampuan untuk
mencapai pergerakkan kaki normal diasosiasikan dengan peningkatan resiko
osteoarthritis.37
Latihan closed kinetic chain dapat meningkatkan kekuatan otot hamstring dan
quadriceps secara efektif dan dianjurkan untuk rehabilitasi dini. Latihan open kinetic
chain dapat ditambahkan ke program rehabilitasi tidak lebih awal dari 6 minggu
setelah operasi.32 Latihan yang dapat meningkatkan keseimbangan, propriosepsi dan
core strength dapat ditambahkan ke program rehabilitasi postoperasi.38
Seorang atlet dapat kembali berolahraga setelah lutut yang telah dioperasi
dapat menunjukkan kekuatan, propiosepsi dan fungsi yang kurang lebih sama
dibandingkan dengan lutut yang tidak terkena cedera. Dibutuhkan 6-12 bulan untuk
seorang atlet kembali ke aktivitas penuh setelah olahraga namun 18 bulan mungkin
dibutuhkan supaya ligamen yang ditransplan dapat terinkorporasi secara sempurna
dan rehabilitasi komplit telah teracapai.38 Walaupun beberapa atlet telah melakukan
aktivitas seperti biasa 6 bulan setelah operasi atau bahkan lebih awal, hal ini tidak
disarankan karena resiko trauma ulang atau kegagalan graft dapat terjadi serta resiko
untuk osteoarthritis lutut juga meningkat.39
I. Komplikasi
Komplikasi dari lutut yang kehilangan ACL adalah peningkatan resiko robek
meniskus, cedera kartilago artikular, nyeri lutut kronis dan penurunan aktivitas.40
Walaupun osteoarhtitis sebagai komplikasi trauma ACL masih menjadi perdebatan,
beberapa studi observasional menunjukkan bahwa faktor mayor yang dapat
menentukan resiko osteoarthritis adalah seberapa parah trauma sendi lutut yang
dialami saat trauma pertama kali yang menyebabkan ruptur ACL. Ada studi juga yang
menyarankan bahwa resiko osteoarthritis multifaktorial dan meliputi seberapa parah
trauma inisial, ruptur meniskus, biomekanika lutut dan aktivitas pasien.41
Studi-studi menunjukkan bahwa prevalensi osteoarthritis lutut dengan trauma
ACL terisolasi 0-13% dimana prevalensi meningkat menjadi 21-48% apabila ruptur
ACL diasosiasikan dengan trauma lainnya, terutama ruptur meniskus.42 Pasien yang
menjalani operasi biasanya memiliki aktivitas yang lebih tinggi sehingga
meningkatkan resiko osteoarthritis. Selain itu, operasi juga lebih sering diindikasikan
untuk pasien yang memiliki trauma ekstensif yang tidak terbatas hanya kepada ACL
dan meningkatkan resiko osteoarthritis.42

J. Prevensi

Terdapat beberapa program olahraga yang dapat mengurangi resiko cedera


ACL seperti latihan melompat tinggi dengan intensitas tinggi (pylometric exercises),
latihan dengan analisa biomekanis yang dapat memberikan masukan secara langsung,
latihan kekuatan yang digabungkan dengan latihan-latihan lainnya dan latihan
keseimbangan. Latihan-latihan ini harus dilakukan setidaknya 2 kali seminggu selama
6 minggu secara berturut-turut untuk mendapatkan manfaatnya.43

Menurut beberapa penelitian, perempuan yang masih remaja atau sebelum


memasuki remaja adalah grup yang paling diuntungkan dengan latihan prevensi ini.
Walaupun begitu, semua latihan yang telah disebutkan diatas apabila dilakukan secara
benar dan rutin dapat membantu semua atlit baik laki-laki maupun perempuan dalam
mencegah trauma ACL.43
3. Posterior Cruciate Ligamen

A. Epidemiologi

Insidensi trauma posterior cruciate ligamen (PCL) berkisar antara 1-44% dari
seluruh trauma lutut44,45 dan trauma PCL yang terisolasi memiliki prevalensi sekitar
3.5-7.5%46 Bagian lutut lainnya yang sering terkena cedera bersamaan dengan PCL
adalah sudut posterior lateral, ACL dan ligamen mendial kolateral. Banyak atlet yang
mengalami cedera PCL terisolasi tetap dapat berolahraga dan tidak datang berobat
sehingga menurunkan insidensi yang tercatat.47

B. Mekanisme Trauma

Penyebab tersering trauma PCL adalah trauma dengan kekuatan tinggi yang
biasanya melibatkan MVC. Olahraga adalah penyebab tersering kedua dari trauma
dan lebih jarang untuk menyebabkan trauma ligamen multipel.45 Penyebab trauma
PCL dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu akibat trauma dengan energi tinggi atau
rendah. MVC dapat menyebabkan trauma PCL ketika kekuatan yang ditransmisikan
ke arah posterior mengenai kaki yang sedang tertekuk misalnya pada trauma
dashboard dimana selain PCL, struktur lateral atau posterolateral juga dapat cedera.48

Gambar 9. Trauma dashboard yang dapat menyebabkan trauma PCL


Trauma PCL yang dialami oleh atlet diakibatkan ketika seorang atlet terjatuh
dengan lutut dalam posisi fleksi ketika kaki berada dalam posisi plantarfleksi atau
akibat hantaman langsung ke kaki anterior. Selain itu, PCL dan kapsul posterior dapat
robek akibat mekanisme hiperfleksi atau hiperekstensi dengan atau tanpa kekuatan
yang mengarah ke arah posterior.46

Gambar 10. Mekanisme trauma PCL pada atlet

C. Presentasi Klinis
Trauma PCL yang disebabkan oleh mekanisme trauma kekuatan tinggi
seringkali diasosiasikan dengan trauma lutut lainnya seperti kerusakan ada sudut
posterolateral, ACL dan ligamen medial kolateral. Trauma PCL dapat dibagi sesuai
dengan timing (akut atau kronis) dan derajat keparahan (terisolasi atau multi-
ligamen).49

Trauma PCL yang disebabkan oleh mekanisme trauma kekuatan rendah


seperti olahraga dapat datang dengan keluhan instabilitas terutama apabila struktur
sudut posterolateral sudah terkena. Presentasi pasien dengan trauma yang terisolasi
pada PCL saja agak sedikit berbeda karena pasien tidak mengeluhkan atau merasakan
adanya sensasi "pop" ketika trauma terjadi. Selain itu, bisa terdapat efusi lutut
minimal hingga sedang, cara berjalan yang agak sedikit pincang, nyeri di belakang
lutut (terutama saat jongkok atau berlutut) dan ketidakmampuan untuk fleksi kaki (10-
20 derajat terakhir). Keluhan instabilitas sendi lebih sering terjadi dengan trauma
ligamen multipel dibandingkan dengan trauma PCL yang terisolasi.50 Keluhan yang
dapat diberikan oleh seorang atlet hanyalah sensasi bahwa bagian lututnya mengalami
masalah dan tidak dapat lebih rinci daripada itu.46
Pasien yang mengalami trauma PCL kronis dapat mengeluhkan nyeri lutut
anterior generalisata yang dapat terlokalisir di bagian kompartemen medial atau sendi
patellofemoral. Lutut yang mengalami cedera PCL akan mengakibatkan kinetik lutut
yang berubah berupa subluksasi anterior yang terfiksir dari kondilus femoral medial
yang berhubungan dengan medial tibial plateau dan ini dipostulasikan dapat
meningkatkan resiko perubahan degeneratif pada lutut bagian medial.51
Pasien dengan trauma PCL kronis dapat mengeluhkan disabilitas lebih
menganggu daripada instabilitas yang lebih terasa saat terjadi perubahan derajat
misalnya saat menaiki tangga. Seorang atlet dengan trauma PCL kronis dapat
mengeluhkan nyeri saat melakukan lari cepat atau melakukan deselerasi serta
mengeluhkan instabilitas ringan. Banyak pasien yang mengalami trauma PCL kronis
memiliki riwayat MVC.49

D. Pemeriksaan Fisik

Pasien dengan trauma PCL terisolasi akut memiliki gaya berjalan antalgik.52
Hilangnya tahanan terhadap rotasi eksternal tibia (dievaluasi dengan tes dial)
dikombinasikan dengan tibia vara atau genu recurvatum dapat menghasilkan gaya
berjalan varus thrust atau hiperekstensi lutut yang diombinasikan dengan gaya
berjalan varus thrust yang lebih terlihat di fase stance dari siklus gaya berjalan.52
Pada pasien-pasien dengan trauma PCL kronis, penemuan klinis menjadi lebih
sulit. Pemeriksaan yang mungkin ditemukan adalah tibia vara atau genu recurvatum.
Tibia vara dapat diinspeksi dengan jelas ketika melihat pasien sedang menumpu berat
badannya dari belakang sedangkan genu recurvatum dapat terlihat dengan jelas saat
mengobservasi alignment lutut sagittal ketika menumpu berat badan.46
Pemeriksaan khusus untuk mendeteksi trauma PCL ada tiga yaitu tes posterior
drawer, tanda posterior sag (tes Godfrey) dan tes qudriceps aktif. Tes posterior
drawer adalah tes yang paling akurat untuk mendeteksi trauma PCL.53 Sebelum
melakukan tes posterior drawer, klinisi harus memastikan posisi tibia relatif terhadap
femur. Subluksasi posterior dari tibia karena trauma PCL dapat menganggu tes ini.
Cara melakukan tes ini adalah dengan lutut difleksikan 90 derajat dan kaki
distabilisasikan dengan cara duduk diatas kaki pasien, tibia proksimal digenggam
dengan kedua tangan dan tibia didorong kebelakang untuk melihat apakah ada
kerenganggan dibandingkan kaki sebelah.29
Gambar 11. Tes posterior drawer
Tes posterior sag positif apabila salah satu tibia lebih jatuh dibandingkan
dengan lutut yang disebelahnya.29,46 Tes quadriceps aktif dimulai dengan pasien
berbaring supine dan lutut difleksikan 90 derajat. Tangan klinisi memegang kaki
sehingga kaki terfiksasi diatas meja pemeriksa, pasien diminta untuk mengkontraksi
otot quadriceps. Pada pasien dengan PCL yang intak, lutut tidak bergerak kedepan
namun pada pasien dengan trauma PCL, tibia bergerak ke arah anterior saat kontraksi
quadiceps karena saat kontraksi, quadriceps menarik patella, tendon patella dan
akhirnya tuberkel tibia sehingga mengembalikan tibia kembali ke posisi semula.46

Gambar 12. Tes Godfrey positif


Gambar 13. Tes quadriceps aktif

E. Klasifikasi

Klasifikasi standar dalam menilai trauma PCL adalah sebagai berikut:

1. Derajat I
o Batas anterior dari plateau tibial medial dapat didorong ke
posterior namun tetap berada anterior dari kondilus femoral
medial (0-5mm perpindahan posterior)
2. Derajat II
o Batas anterior dari plateau tibial medial dapat didorong ke
posterior sampai sejajar dengan kondilus femoral medial (5-10
mm perpindahan posterior)
3. Derajat III
o Batas anterior dari plateau tibial medial dapat didorong ke
posterior melebihi batas anterior dari kondilus femoral medial
(>10 mm perpindahan posterior)

Derajat 1 dan II merupakan robek PCL parsial sedangkan derajat III


merupakan robek PCL komplit. Ketika robek PCL derajat III terjadi, klinisi harus
memikirkan trauma kompleks yang melibatkan struktur kapsuloligamen dari kaki
terutama yang merupakan bagian dari sudut posterolateral (Posterolateral corner
[PLC]).
Gambar 14. Derajat Keparahan Trauma PCL

F. Pencitraan Diagnostik

Pada pasien-pasien dengan trauma sedang hingga berat sehingga trauma PCL
dicurigai beserta adanya efusi sendi, tender pada tulang, penurunan range of motion
(ROM) atau pincang, pencitraan sinar X pada kaki merupakan pencitraan diagnosik
inisial dimana sinar X dapat menunjukkan fraktur atau trauma avulsi. Ottawa knee rule
(OKR) atau Pittsburgh knee rule (PKR) dapat digunakan untuk menentukan pasien apa
saja yang membutuhkan pencitraan diagnostik kaki.54 Kriteria Ottawa knee rule adalah
sebagai berikut:

 Usia ≥ 55 tahun
 Nyeri terisolasi pada patella
 Nyeri pada kepala fibula
 Ketidakmampuan fleksi lutut 90 derajat
 Ketidakmampuan untuk menopang berat badan sendiri setelah 4 langkah
(atau setelah 2 kali mentransfer berat badan dari kiri ke kanan)

Ottawa knee rule memiliki sensitivitas yang hampir 100% tapi spesifitasnya
hanya 49%.55 Kriteria PKR meliputi trauma tumpul atau jatuh sebagai mekanisme
trauma diikuti dengan:

 Usia < 12 tahun atau > 50 tahun


 Ketidakmampuan untuk menopang berat badan sendiri setelah 4
langkah (atau setelah 2 kali mentransfer berat badan dari kiri ke kanan)
tanpa memandang usia

PKR memiliki sensitivitas yang hampir sama dengan OKR namun dengan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan OKR.56 Apabila trauma PCL dicurigai
dengan alasan klinis seperti trauma pada lutut yang terfleksi dengan tes posterior
drawer positif setelah cedera akut maka pemeriksaan MRI disarankan.52

Sinar X merupakan pilihan inisial pada pasien dengan cedera lutut akut dan
cedera PCL dimana posisi anteroposterior (AP) dan lateral digunakan untuk
mengekslusi fraktur plateau tibia, kondilus femoralis dan patella. Gambar lateral
digunakan untuk melihat avulsi tulang dari insersi tibial PCL dan posterior sag dari
tibia yang menandakan adanya trauma PCL.50

Gambar 15. Gambar A menunjukkan diskontinuitas dari plateau tibial posterior sekunder
akibat avulsi PCL distal. Gambar B menunjukkan gambar sagittal T1 yang menunjukkan
avulsi tulang dari PCL distal.
Gambar 16. Gambar A menunjukkan foto lateral normal dimana sebuah garis ditarik dari
batas anterior tibial memotong kondillus femoralis medial yang menandakan tidak adanya
perpindahan posterior. Gambar B mennjukkan adanya perpindahan posterior yang
menunjukkan adanya trauma PCL.
Pada pasien dengan trauma PCL kronis (lebih dari 6 minggu), foto AP
weightbearing, gambar lateral dan sunrise dari patella digunakan untuk menilai
kondisi lutut. Foto sinar x dinilai apakah ada posterior sag dari tibia, fraktur avulsi
dari insersi PCL dan gambaran degeneratif dari kompartemen medial dan
patellofemoral. 50

Gambar 17. Foto sunrise dari patella


MRI dapat digunakan pada trauma PCL akut karena sensitif dan spesifik
namun kurang akurat dalam mendeteksi trauma PCL kronis. PCL dapat dilihat dengan
jelas pada MRI pada tampilan sagittal dengan ligamen normal tampak sebagai
gambaran gelap, struktur curvilinear pada sekuens T1 dan T2.50 Trauma PCL kronis
dapat terlihat normal secara relatif karena kemampuan ligamen untuk dapat
regenerasi.57 Akurasi MRI untuk menilai trauma PCL kronis diprediksikan hanya
sekitar 57%.58

Gambar 18. Gambar A menunjukkan ligamen normal yang ditandai dengan oval merah
sebagai gambaran curvilinear gelap pada sekuens T1 dan T2. Gambar B menunjukkan ruptur
PCL yang ditandai dengan oval merah yang diasosiasikan dengan hilangnya densitas dan
kontour normal

Pada pasien dengan trauma PCL kronis yang diasosiasikan dengan nyeri dan
instabilitas, pindai tulang radionuklir (radionuclide bone scan) dapat mengidentifikasi
perubahan degeneratif pada patelloffemoral atau kompartemen medial dari lutut. Namun,
tes ini tidak digunakan untuk trauma PCL akut.50 Ultrasound juga dapat digunakan untuk
menilai PCL walau dalam batas tertentu seperti pembesaran ligamen dibandingkan
dengan lutut kontralateral dan pada beberapa kasus disrupsi fokal dari kontinuitas
ligamen.50

G. Diagnosis

Diagnosis definitif dari ruptur ACL akut atau subkaut dapat ditegakkan dengan
bantuan MRI atau arthroskopi walau arthroskopi tidak dilakukan untuk penegakkan
diagnosis. Diagnosis presumptif dapat dibuat berdasakan mekanisme trauma dan
pemeriksaan fisik.53
Terdapat kriteria yang digunakan untuk menilai trauma PCL yang terisolasi
yaitu59:

 Tes posterior drawer menunjukkan translasi kurang dari 10mm


 Translasi rotasional kurang dari 5-10 derajat ketika tes dilakukan dengan
posisi lutut fleksi pada posisi 30 dan 90 derajat (tes dial negatif)
 Tidak ada tanda tanda trauma ligamen lainnya
H. Terapi
Penanganan inisial dari trauma PCL sama seperti trauma ACL yaitu
menggunakan prinsip PRICE-M. Setelah itu, lutut yang mengalami cedera
dipertahankan di posisi ekstensi penuh dengan hinged knee brace selama 2 minggu
untuk mengurangi translasi posterior. Setelah 2 minggu, brace dapat dilepaskan
sehingga latihan ROM dapat dilakukan. Pada pasien dengan trauma PCL kronis tidak
memerlukan bracing kecuali pasien melaporkan instabilitas yang berat.51
Trauma PCL sendiri tidak mengakibatkan nyeri yang signifikan atau efusi
sendi namun hal-hal ini dapat terjadi akibat kontusio tulang sehingga alat bantu jalan
mungkin dibutuhkan untuk mengistirahatkan kaki yang terkena walau alat bantu jalan
bukanlah terapi yang wajib dilakukan. Pemakaian es ke lutut yang terkena, elastic
compression wraps dan elevasi kaki diatas level jantung mungkin dibutuhkan untuk
mengurangi pembengkakan dan ketidaknyamanan. Obat antinyeri yang dapat
digunakan adalah asetaminofen jangka pendek atau NSAIDs; opioids jarang
dibutuhkan.51

Konsultasi ke ahli bedah ortopedi dilakukan apabila pasien datang dengan


kondisi berikut60:

 Trauma PCL derajat III


 Trauma PCL yang diasosiasikan dengan fraktur atau trauma jaringan
lunak lainnya
 Disrupsi PCL setelah avulsi inseri ligamen dari tibia
 Ketika gambaran klinis meragukan atau pasien adalah atlet profesional
 Ketika penanganan non-operatif derajat I atau II tidak berhasil setelah
12 bulan
 Trauma PCL terisolasi kronis yang mengalami instablitas fungsional
atau gejala seperti efusi berulang atau nyeri yang bertambah parah

Rehabilitasi dapat dimulai ketika pembengkakan telah menurun dan nyeri


dapat dikontrol dengan baik. Pasien dapat memulai mobilitas dini secara general dan
latihan open-chain quadriceps sebagai bagian dari rehabilitasi seperti ankle pumps
dan quads sets. Target dari rehabilitasi dini adalah mencegah kekakuan sendi dan
mempromosikan pergerakkan quadriceps yang terkadang sulit dialami oleh pasien
karena efusi sendi atau nyeri.61
Rehabilitasi tahap lanjut dapat dimulai 4-6 minggu setelah cedera awal ketika
nyeri dan pembengkakan telah hilang dengan tujuan untuk terus memproteksi lutut,
memperoleh ROM penuhh dan menguatkan otot yang bertanggungjawab melindungi
PCL. Rehabilitasi PCL lebih lama dari ACL dimana rehabilitasi membutuhkan 26-52
minggu dimana rehabilitasi trauma PCL yang ditangani secara non-operatif dapat
selesai dalam 13-26 minggu.62
Seorang atlet dapat kembali beraktivitas dan melanjutkan olahraganya ketika
kekuatan dan propriosepsi di kedua lutut kurang lebih sama yaitu 10% dibandingkan
lutut kontralateral yang sehat. Pasien-pasien yang tidak berolahraga dapat kembali
bekerja setelah nyeri dan disabilitas fungsional menghilang dan biasanya ini ditempuh
dalam waktu 2-4 minggu.63
Gambar 19. Algoritma Penanganan Trauma PCL Akut

Gambar 20. Algoritma Penanganan Trauma PCL Kronik


I. Komplikasi dan Prognosis

Hampir sebagian besar pasien diekspektasikan memilki hasil subjektif dan


fungsional yang baik walaupun ditangani secara non-operatif. Walaupun begitu, resiko
osteoarthritis sekunder masih merupakan sebuah komplikasi yang cukup menganggu
akibat adanya gangguan struktur lutut internal.64 Penanganan operatif dari PCL tidak
sebaik ACL dan juga PCL memiliki kemampuan penyembuhan natural yang lebih baik
dari ACL.65

4. Ligamen Medial Kolateral (Medial Collateral Ligament [MCL])

A. Epidemiologi

Trauma MCL merupakan trauma ligamen lutut kedua tersering dengan insidensi
7.9% dari seluruh cedera lutut.66 Atlet sepakbola dan basket memiliki prevalensi tinggi
untuk trauma MCL atau sering juga disebut trauma ligamen tibial kolateral. Selain dua
olahraga tersebut, pegulat, hoki dan pemain rugby memiliki prevalensi yang cukup tinggi.
Beberapa studi menandakan bahwa perempuan memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan
laki-laki untuk mengalami cedera.67

Faktor resiko lainnya adalah trauma sebelumnya, level permainan olahraga yang
lebih kompetitif dan tipe olahraga. Trauma MCL sering diasosiasikan dengan trauma
lainnya seperti robeknya meniskus medial sebesar 5% dan trauma terhadap ligamen
lainnya sebanyak 20-78%.68

B. Mekanisme Trauma
Trauma MCL seringkali terjadi pada olahraga, yang sering terjadi tabrakan
atau olahraga yang membutuhkan perputaran dan torque yang signifikan seperti
sepakbola, tenis, basket dan ski. MCL dapat cedera akibat stres valgus secara
langsung, dari trauma lateral lutut atau secara tidak langsung seperti abduksi atau
rotasi dari kaki bawah. Trauma secara langsung dapat menyebabkan trauma yang
lebih hebat.68

Trauma melalui mekanisme yang tidak langsung biasanya terjadi ketika


permukaan sepatu mengalami pergesekkan yang kuat dengan permukaan lantai ketika
atlet berusaha untuk mengganti arah yang mengakibatkan stres valgus pada lutut
dengan rotasi tibial eksternal. MCL juga dapat cedera ketika lutut dipaksa untuk
hiperekstensi dimana mekanisme ini bisa menyebabkan cedera ligamen multipel dan
terkadang nervus peroneus.69
MCL mengalami penyembuhan dengan fase klasik yaitu perdarahan,
inflamasi, perbaikan (repair) dan remodeling. Jaringan fibrous dapat terbentuk dan
batas jaringan fibrous ini tergantung dari seberapa parah trauma yang dialami. Pada
percobaan di binatang, trauma di tengah MCL menunjukkan perbaikan yang lebih
baik dibandingkan dengan trauma di proksimal atau distal ligamen.70

C. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik secara ideal dilakukan dalam waktu 20-30 menit setelah
trauma sebelum nyeri, pembengkakan dan spasme otot terbentuk dan membuat
pemeriksaan sulit. Terkadang, penanganan simptomatik dan menganjurkan pasien
untuk kembali untuk reevaluasi setelah gejala hilang dianjurkan.29

Nyeri fokal di segmen MCL dilaporkan 78% akurat dalam mendiagnosis


robeknya MCL namun terkadang sulit untuk membedakan robeknya MCL dibagian
tengah dari robeknya meniskus medial.63 Nyeri dari trauma pasien MCL terisolasi
dapat membatasi pergerakan aktif terutama di saat ekstensi lutut terminal dan fleksi
setelah 100 derajat namun biasanya tidak membatasi pergerakkan pasif.29

Pemeriksaan fisik khusus untuk trauma MCL adalah tes stres valgus (abduksi)
ketika lutut dalam fleksi 0 dan 30 derajat untuk menilai laksitas sendi dan
dibandingkan dengan lutut kontralateral.29 Tes valgus dilakukan dengan cara pasien
supine, panggul dalam posisi fleksi sedikit dan abduksi dan kaki sedikit difleksi.
Setelah itu, berikan tekanan stres valgus di sendi lutut dengan cara mendorong sendi
pergelangan kaki sambil memegang kaki proksimal dengan tangan. Apabila tes stres
valgus menunjukkan adanya laksitas 30 derajat fleksi, MCL superfisial dapat
mengalami cedera. Laksitas pada 0 derajat menunjukkan adanya cedera MCL yang
lebih dalam dan menandakan adanya kemungkinan disurpsi pada ligamen kruksiat
(ACL dan PCL merupakan penahan sekunder dari stres valgus). Sudut posterior
medial dan ligamen posterior oblik dapat mengalami cedera ketika terjadi cedera ACL
dan MCL secara bersamaan.29
Gambar 21. Tes Stres Valgus

D. Klasifikasi

Klasifikasi dari trauma MCL dinilai dari seberapa besar joint opening dan ada
atau tidaknya titik akhir yang jelas saat melakukan tes stres valgus70:

1. Derajat I (Mild)
o <5 mm joint opening dengan titik akhir yang jelas
o Beberapa serabut ligamen robek namun MCL tetap intak
2. Derajat II (Moderate)
o 5-9 mm joint opening dengan titik akhir yang jelas atau
setidaknya masih jelas
o MCL robek sebagian namun masih ada beberapa integritas
ligamen
3. Derajat III (Significant/Severe)
o ≥ 10 mm joint opening dengan tidak adanya titik akhir yang
jelas
o MCL robek sepenuhnya dan dapat menandakan ligamen
lainnya juga cedera.
Gambar 22. Klasifikasi Trauma MCL

E. Pencitraan Diagnostik

Pencitraan sinar X diindikasikan ketika pasien tidak mampu menopang berat


badan tubuh atau ada nyeri fokal pada tulang, deformitas atau ada efusi. Pada trauma
MCL yang terisolasi, sinar X tidak terlalu dibutuhkan kecuali pada kondisi trauma
mayor atau pada anak-anak dengan tulang yang belum matur untuk mengevaluasi fisis
tulang. Ketika sinar X diambil, posisi yang digunakan adalah AP, lateral, patellar
(fleksi lutut 45 derajat) atau dalam kondisi tertentu tunnel view serta stress view
terutama untuk trauma MCL derajat III.71 Tanda Pellegrini-Stieda merupakan
kalsifikasi berbentuk setengah bulan di MCL bagian kondilus femoralis medial yang
diasosiasikan dengan trauma kronis atau insufisensi dari MCL. Kalsifikasi ini dapat
menyebabkan nyeri fokal namun tidak diasosiasikan dengan temuan klinis yang
spesifik.72
Gambar 23. Stress radiograph yang menunjukkan pembukaan sendi medial yang menandakan
robeknya ligamen kolateral medial, anterior dan PCL.

MRI jarang dibutuhkan pada trauma MCL terisolasi namun dapat digunakan
untuk menentukan seberapa parah trauma MCL dan melihat apakah ada trauma
lainnya terutama trauma ACL apabila pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda-
tanda trauma struktur lutut lainnya. MRI sangat berguna dalam kondisi trauma derajat
III yang digunakan untuk melihat lapisan superfisial atau dalam yang dapat
menentukan kebutuhan untuk operasi.73
Temuan MRI dapat menunjukkan pembengkakan bursa diantara lapisan
superfisial dan dalam, pembengkakan jaringan lunak subkutan serta perdarahan dan
robeknya serabut MCL. Kerusakan serabut dapat berkisar dari gangguan internal
hingga disrupsi total. Penemuan lainnya adalah hemarthrosis, kontusio dari kondilus
lateral femoral atau plateau tibial, trauma meniskus, trauma ligamen lainnya dan
avulsi parsial dari kondilus femoralis medialis.68

Gambar 24. MCL normal tampak sebagai sinyal rendah linear "strap" di seluruh
sekuens, mulai dari epikondilus medial dari femur sampai sebuah poin di tibia kira-
kira 7cm dibawah plateau tibia.
Gambar 25. Derajat I trauma MCL. MCL secara makroskopis intak namun ada sinyal
terang (anak panah) yang menandakan edema superfisial yang diasosiasikan dengan
robeknya serabut.

Gambar 26. Derajat II Trauma MCL. MRI menunjukkan adanya robekkan parsial dengan
sinyal terang tinggi (anak panah) yang menandakan edema superfisial dan dalam dari MCL.
Gambar 27. Derajat III trauma MCL. Anak panah menunjukkan area dari interupsi fokal dari
serabut normal yang gelap dengan perdarahan dan edema yang mengelilingi MCL.

Ultrasound dapat digunakan dalam menilai MCL dimana lesi dinilai dalam
basis abnormalitas secara penampakan dan penilaian kuantitatif dari joint opening.74

Gambar 28. MCL pada lutut yang normal (kiri) dan yang mengalami cedera yang
ditandai dengan melebarnya joint opening (kanan).

F. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan denan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


mekanisme cedera seperti trauma langsung kepada lutut (biasanya lutut lateral) atau
sepatu yang bergesekkan dengan kuat dengan lantai ketika berusaha untuk mengganti
arah. MRI dapat digunakkan untuk menegakkan diagnosis definitif tetapi ini jarang
sekali dibutuhkan kecuali pada kondisi trauma serius atau ada trauma lainnya.
G. Terapi

Penanganan pertama meliputi PRICE-M, sama seperti trauma ACL maupun


PCL. Es dapat diberikan selama 20 menit setiap 2-3 jam untuk 2-3 hari setelah
trauma. Kompresi ringan dengan perban elastis dan pengunaan brace untuk
melindungi pergerakkan serta alat bantu jalan dapat membantu penyembuhan. Kontrol
nyeri dapat dicapai dengan asetaminofen atau NSAIDs untuk jangka pendek namun
efek NSAIDs dalam penyembuhan ligamen dan tulang masih belum diketahui.75

Pembidaian dan operasi dulu menjadi standar terapi namun penelitian


membuktikan bahwa kedua hal ini tidak membantu penyembuhan. Mobilisasi dini
sekarang disarankan untuk menjadi terapi utama dalam trauma MCL. Bracing
sementara dapat digunakan untuk menyokong sendi yang tidak stabil selama ambulasi
namun immobilisasi yang terlalu lama sebaiknya dihindari pada trauma MCL derajat
berapapun.70

Rujukkan ke ahli bedah tulang diindikasikan pada kondisi-kondisi berikut76:

o Pasien dengan trauma MCL terisolasi dengan instabilitas lutut yang


signifikan yang terus-menerus walaupun telah mendapatkan terapi
konservatif yang adekuat
o Trauma sudut posterolateral
o Fraktur terbuka, gangguan neurovaskular atau suspek dislokasi
tibiofemoral
o Trauma ligamen multipel
o Fraktur angulasi atau dengan displacement
o Nyeri persisten dan tenderness sepanjang proksimal MCL
o Trauma MCL distal (tipe lesi Stener)

Rehabilitasi pada trauma MCL kurang lebih sama dengan rehabilitasi


muskuloskeletal pada umumnya yaitu untuk mengembalikan ROM. Setelah itu,
latihan untuk meningkatkan kekuatan otot, priosepsi, agilitas dan fisik pada
umumnya. Latihan yang disarankan umumnya dimulai dengan kontraksi quadriseps
isometrik dan berlanjut ke latihan isotonik melalui lengkungan pendek (quarter squat)
dan perlahan-lahan ROM dan resistensi ditingkatkan. Pasien dapat kembali ke
aktivitas semula apabila pergerakkan penuh, kekuatan dan kemampuan untuk
melakukan aktivitas telah kembali secara sempurna yang berkisar sekitar 3-6
minggu.71

Gambar 29. Algoritma Penanganan Trauma MCL

H. Komplikasi

Trauma MCL derajat I jarang mengalami komplikasi sehingga komplikasi


trauma MCL biasanya terjadi pada trauma derajat II atau III dimana instabilitas dapat
menetap dan dapat membatasi fungsi lutut dan partisipasi dalam olahraga.77 Selain itu,
nyeri residual dapat terjadi dan sindrom nyeri kompleks regional dapat terjadi
walaupun jarang. Immoblisasi yang berlebihan dapat menyebabkan jaringan fibrosis
dan adhesi di dalam sendi (arhtrofibrosis). Komplikasi yang paling sering terjadi
adalah rekurensi dari trauma.78

5. Ligamen Kolateral Lateral (beserta sudut posterolateral)

A. Epidemiologi

Trauma ligamen kolateral lateral (LCL) merepresenasikan 8% dari seluruh


trauma lutut yang membuatnya menjadi trauma lutut kedua terjarang setelah trauma
PCL.79
Beberapa faktor resiko yang mempredisposisikan terhadap trauma LCL adalah
perempuan, kompetisi olahraga, kontak antar pemain yang lebih tinggi dan partisipasi
dalam olahraga yang melibatkan perputaran yang signifikan, melompat dan
mendarat.79 Olahraga yang paling banyak menyebabkan trauma lutut adalah sepak
bola dan ski namun yang menyebabkan trauma LCL tersering adalah gimnastik dan
tenis.80

B. Mekanisme Trauma

Trauma LCL terisolasi sangat jarang terjadi dan sebagian besar trauma LCL
melibatkan trauma struktur lainnya seperti PLC, meniskus lateral, PCL dan atau ACL.
Mekanisme trauma tersering adalah trauma multi ligamen pada lutut yang melibatkan
energi kuat yang mengkombinasikan hiperekstensi dan pergerakkan varus.81
Mekanisme trauma LCL juga dapat melibatkan hiperekstensi varus terisolasi atau
rotasi tibial eksternal. Trauma LCL terisolasi terutama derajat rendah biasanya
disebabkan oleh mekanisme varus (truama lutut pada sisi lateral).

C. Tanda dan Gejala

Pasien akan mengeluhkan nyeri lutut bagian lateral atau posterolateral. Selain
itu, pasien juga akan mengeluhkan sensasi instabilitas pada lutut ketika diam atau
bergerak. Pasien juga dapat mengeluhkan adanya pembengkakan pada lutut, sensasi
"locking" pada saat bergerak (apabila meniskus juga ikut cedera) dan sensasi lutut
akan copot ketika bergerak secara cepat ketika menompang berat badan.75

D. Pemeriksaan Fisik

Pasien dengan trauma LCL terutama trauma yang melibatkan PLC dapat
memperlihatkan gaya jalan varus thrust terutama saat LCL gagal untuk menjaga
stabilitas dan mencegah pembukaan lateral yang berlebihan. Gaya berjalan
kompensasi lainnya adalah ketika pasien mempertahankan fleksi lutut dan tidak
membiarkan lutut sampai ke ekstensi penuh . Pemeriksaan fisik yang paling sering
ditemukan adalah tender di sepanjang kaki bagian lateral. Pembengkakan jaringan
lunka yang terlokalisasi mungkin dapat ditemukan.75
Pemeriksaan fisik yang sangat membantu menegakkan diagnosis trauma LCL
adalah test stres varus pada saat lutut ekstensi penuh atau fleksi 30 derajat. Terdapat
beberapa tes spesial lainnya yang apabila hasilnya mendukung satu sama lain dapat
membantu mendiagnosa atau menyingkirkan trauma PLC. Namun, tidak semua
pasien dapat diperiksa tes spesial ini diakibatkan adanya nyeri atau pembengkakan
pada saat presentasi. Kebanyakan klinisi melakukan tes posterolateral drawer dan tes
dial.29

Gambar 30. Tes Stres Varus


Tes eksternal rotasi rekurvatum dilakukan dengan pasien dalam posisi
terlentang dan klinisi memberikan tekanan kebawah kepada femur di suprapatellar.
Setelah itu, klinisi merotasi eksternal tibia sambil mengangkat ibu jari kaki. Apabila
ditemukan pergerakkan yang berlebihan dibandingkan dengan kaki kontralateral maka
indikatif untuk instabilitas rotasi posterolateral. Apabila tes ini positif, trauma ACL
harus dicurigai.29

Gambar 31. Tes Eksternal Rotasi Rekurvatum


Tes posterolateral drawer membutuhkan pasien untuk terlentang dengan lutut
fleksi 90 derajat, kaki datar di atas meja dan tibia dirotasi eksternal 15 derajat dan
klinisi memberikan rotasi eksternal dan posterior melalui tibia proksimal sambil
mengobservasi rotasi tuberkel tibia terhadap femur. Rotasi yang berlebihan
dibandingkan dengan lutut kontralateral mengindikasikan adanya trauma PLC derajat
tinggi yang seringkali beserta keterlibatan dari popliteofibular ligamen dan atau
tendon popliteal.29

Gambar 32. Tes Posterolateral Drawer


Tes reverse shift memerlukan pasien dalam posisi yang sama dengan tes
posterolater drawer dan klinisi mengekstensi lutut sambil memberikan rotasi
eksternal dan valgus terhadap lutut. Apabila ada trauma PLC yang berat, iliotibial
band dapat mengembalikan tibia yang tersubluksasi ke posterior.29

Gambar 33. Tes Reverse Shift


Tes dial dilakukan dengan pasien telungkup, mengangkat kedua kakinya dan
merotasi secara pasif tibia ke arah eksternal, pertama kali dengan lutut dalam posisi
30 derajat fleksi dan kemudian 90 derajat fleksi. Perbedaan lebih dari 10-15 derajat
eksternal rotasi dibandingkan dengan lutut kontralateral menandakan trauma PCL.29

Gambar 34. Tes Dial


Trauma pada lutut lateral dapat melibatkan nervus peroneus komunis atau
peroneus superfisialis. Klinisi harus menilai sensasi dan kekuatan ekstremitas bawah
(dorsifleksi, eversi) pada pasien dengan trauma lutut lateral. Trauma pada nervus
peroneus dapat sulit dinilai pada trauma parsial sehingga klinisi harus mengobservasi
cara berjalan pasien terutama untuk foot drop. Ketidakmampuan untuk
mempertahankan dorsifleksi kaki saat berjalan dengan tumit dapat menunjukkan foot
drop yang lebih tidak terlihat yang tidak dapat diobservasi saat berjalan biasa.75

E. Klasifikasi

Seringkali seberapa parah trauma susah ditentukan dan klasifikasi trauma LCL
secara jelas sulit ditentukan terutama apabila pasien datang dengan cedera akut
sehingga menyulitkan klinisi untuk memeriksa pasien secara tepat. Sehingga
disarankan untuk melakukan tatalaksana trauma LCL akut sebagai derajat III sampai
dapat ditentukan derajat keparahan secara tepat. Klasifikasi trauma LCL adalah
sebagai berikut82:

1. Derajat I
o Tenderness terlokalisasi
o Simptom mekanis dan laksitas tendon tidak ada
2. Derajat II
o Tenderness yang terlokalisasi atau lebih difus sepanjang lutut
posterolateral dan lateral
o Pembengkakan dapat timbul
o Laksitas ringan hingga sedang (5-10mm) dapat terjadi namun
ligament memiliki titik akhir yang solid
3. Derajat III
o Nyeri dalam tingkatan yang bervariasi
o Laksitas tanpa titik akhir yang solid
o Simptom mekanik yang biasa diasosiasikan dengan patologis
PLC
F. Pencitraan Diagnostik

Apabila trauma yang terjadi minor dan melibatkan derajat rendah, pencitraan
diagnostik tidak dibutuhkan selain ultrasound. Namun, apabila terjadi trauma yang
cukup signfikan, pemeriksaan sinar X dilakukan ditambah dengan ultrasound. MRI
dibutuhkan apabila terjadi trauma mayor yang melibatkan LCL dan mungkin struktur
lainnya (ligamen kruksiat atau meniskus).82

Trauma LCL tidak dapat terlihat pada sinar X namun posisi AP dan lateral
dibutuhkan ketika trauma cukup berat, trauma LCL dicuriagi dan terdapat tenderness
pada tulang medial femur, tibia atau patella.83 Tanda arkuata, fraktur avulsi kecil (<1
cm) dari styloideus proksimal fibula, merupakan patognomonik untuk trauma PLC
dan mengarahkan klinisi terhadap kemungkinan avulsi LCL distal dan pemeriksaan
MRI harus dilakukan.4 Fraktur Segond yang dapat terjadi pada trauma ACL juga
dapat terjadi pada trauma LCL. Instabilitas lutut lateral kronis dapat bermanifestasi
sebagai perubahan degeneratif pada kompartemen lateral.
Gambar 35. Sinar X posisi lateral di gambar A menunjukkan fraktur avulsi (anak panah) dari
styloideus proksimal fibula. Gambar B menunjukkan gambar A yang diperbesar.

Gambar 36. Foto AP dari lutu kiri menunjukkan penyakit degerneratif sendi
dari kompartemen lateral dengan penyempitan sendi (anak panah) dan osteofit
marginal. Gambar B merupakan pembesaran dari gambar A

Pengambilan foto sinar X dilengkapi dengan posisi stres varus dapat


mengidentifikasi instabilitas varus dan membantu diagnosis trauma jaringan lunak
lateral apabila ultrasound dan MRI tidak tersedia. Pembesaran garis sendi lateral
sebesar 2.7mm antara lutut yang diam dan dalam stres varus diasosiasikan dengan
trauma LCL. Pembesaran lebih dari 4mm diasosiasikan dengan trauma PLC derajat
III.85
MRI memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi namun MRI lebih
akurat pada trauma PLC yang akut sedangkan akurasi dalam mendeteksi trauma PLC
kronis bervariasi.86 Ultrasonografi juga dapat membantu diagnosis dimana trauma
LCL derajat I atau II terlihat menebal dan hipoekoik sedangkan trauma derajat III
menunjukkan penebalan hipoekoik, hilangnya kontinuitas serabut, edema dan
perdarahan serta laksitas sendi lateral dinamis. Pelebaran lebih dari 10mm pada garis
sendi lateral lutut ketika stres varus diaplikasikan berkorelasi dengan kebutuhan
operasi di seluruh kasus.87
G. Diagnosis

Diagnosis awal trauma LCL dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik serta mencari tau mekanisme trauma (hiperekstensi, stres varus, rotasi tibia
eksterna) yang dapat menyebabkan trauma LCL. Pemeriksaan fisik tersering yang
dapat ditemukan adalah tenderness pada lutut lateral dan MRI dibutuhkan untuk
diagnosis definitif.

H. Terapi

Terapi inisial dari trauma LCL adalah PRICE-M. Perhatian khusus perlu
diberikan pada saat aplikasi es karena es dapat memberikan efek terhadap nervus
peronealis komunis di lutut posterolateral sehingga es tidak boleh diberikan lebih dari
15 menit atau menggunakan pemijatan dengan es dibandingkan dengan aplikasi terus-
menerus yang tidak boleh lebih sering dari setiap 2 jam sekali. Apabila derajat trauma
tidak jelas, PRICE-M dapat dilakukan selama 48-72 sampai trauma dapat dinilai
kembali.
Perlindungan struktur posterolateral sangatlah penting sebagia terapi karena
ini membantu pengendalian nyeri, penyembuhan dan mencegah trauma yang lebih
lanjut. Perlindungan struktur posterolateral dibagi sesuai dengan derajat trauma
seperti berikut:

o Pada derajat I, crutches selama seminggu dapat dipakai untuk


pengendalian nyeri; hinged bracing (stabilisasi medial dan lateral
namun fleksi dan ekstensi dapat terjadi) selama 4-5 minggu selama
pasien masih menumpu berat badan
o Pada derajat II, crutches dan knee immobilizer selama 1-3 minggu
digunakan untuk pengendalian nyeri kemudian dilanjutkan dengan
penumpuan berat badan parsial atau tidak sama sekali di minggu ke 2
atau ketiga. Hinged brace dapat digunakan ketika pasien sudah mulai
menumpu berat badan secara parsial biasanya pada minggu ke 2 atau
ketiga
o Pada derajat III, imobilisasi, crutches sehingga pasien tidak menumpu
berat badan dan konsultasi dengan ahli bedah tulang. Immobilisasi
dipertahankan hingga pembedahan dapat dilakukan (2 minggu setelah
trauma)
Instabilitas lutut biasanya akan diatasi dengan pembedahan. Aktivitas harus
dimodifikasi untuk menghidari pergerakkan mendadak yang melibatkan perputaran
lutut rotasional, menghindari tabrakan dan aktivitas yang dapat menyebabkan nyeri.
Aktivitas yang memiliki dampak rendah, aktivitas aerobik yang tidak nyeri seperti
sepeda dapat disarankan.88

Indikasi untuk konsultasi ahli bedah tulang dalam kondisi akut adalah:

o Ruptur LCL dengan instabilitas fungsional (derajat III)


o Trauma PLC
o Ruptur LCL komplit di bagian tengah dengan atau tanpa instabilitas
fungsional

Sedangkan indikasi konsultasi ahli bedah tulang dalam kondisi tindak lanjut
adalah trauma derajat I atau II yang tidak membaik setelah 4 minggu penanganan
konservatif.88

Trauma derajat I atau II biasanya tidak membutuhkan terapi bedah namun


rujukan ke fisioterapi penting untuk penyembuhan sedangkan trauma yang
diasosiasikan dengan instabilitas fungsional atau trauma PLC, meniski, ACL atau
PCL wajib dikonsultasikan dengan ahli bedah tulang karena operasi dibutuhkan.89
Pasien yang mengalami trauma derajat I atau II perlu direstriksi dari berkompetisi
dalam olahraga selama 4-12 minggu dan melakukan modifikasi aktivitas. Latihan
rehabilitasi dimulai dengan latihan ROM yang ringan dan latihan menguatkan otot
secara isometris dan berlanjut ke latihan isotonis serta aerobik ringan.89
Tabel 1. Skema Rehabilitasi Untuk Trauma LCL Ringan

Trauma derajat I dan II perlu dievaluasi kembali 2 minggu setelah kunjungan


pertama untuk menilai kembali trauma tanpa adanya tahanan yang signifikan. Selain
itu, kenyamanan dengan immobilisasi dan bracing dapat dinilai kembali. Pencitraan
ulang tidak perlu dilakukan namun ultrasound dapat dilakukan untuk melihat apakah
ada efusi residual. Setelah kunjungan pertama, pasien diminta kembali setiap 2
minggu untuk 2 bulan pertama dan setiap bulan setelah itu apabila pemantauan masih
diperlukan untuk melihat kapan pasien dapat kembali beraktivitas.89
Pasien dapat kembali berolahraga atau bekerja ketika memenuhi kriteria
berikut89:

o ROM yang kembali seluruhnya dan tidak nyeri


o Kekuatan quadriceps dan hamstring yang setidaknya 90% dari kaki
kontralateral
o Tidak ada tenderness yang signifikan pada struktur yang terkena
o Tidak ada kelonggaran ligamen
o Dapat menyelesaikan aktivitas fungsional tanpa nyeri yang signifikan
Pasien dengan trauma derajat I dapat kembali berkativitas dalam waktu kurang
lebih 4 minggu, derajat II 10 minggu dan derajat III apabila tidak menjalani
pembedahan kurang lebih 10-14 minggu dan pasien yang mengalami pembedahan
kurang lebih waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan pasca bedah ditambah 10
minggu.89

Gambar 37. Algoritma Penangganan Trauma PLC

I. Komplikasi

Trauma PLC sulit untuk didiagnosa dan dapat tidak terdiagnosa pada MRI.
Pada pasien dengan nyeri posterolateral yang terus menerus setelah terjadi trauma di
lutut anteromedial meskipun terapi sudah adekuat perlu dipikirkan untuk trauma PLC.
Komplikasi lainnya adalah apabila terapi tidak adekuat, maka fungsional instabilitas
dapat terjadi.89

Dekatnya nervus peroneus komunis atau nervus peroneus superficial


mengakibatkan trauma yang mengakibatkan ruptur LCL dapat mengakibatkan
neuropati. Palsi nervus peroneus terjadi pada 35% trauna PLC.90 Parestesi pada
distribusi nervus peroneus atau foot drop dapat terjadi apabila pemberian es
berlebihan sehingga penting bagi klinisi untuk mengecek dorsifleksi dan eversi dari
kaki yang mengalami trauma lateral.91

6. Trauma Multiligamen / Dislokasi Lutut

A. Definisi

Trauma multiligamen didefinisikan sebagai ruptur setidaknya 2 dari 4 ligamen


mayor yang ada di lutut. Setengah kasus ini terjadi akibat MVC, sepertiga akibat
olahraga dan 10% akibat terjatuh.96

Gambar 38. Xray menunjukkan dislokasi anterior dari lutut


B. Tanda dan Gejala

Klinisi harus memikirkan trauma multiligamen karena lutut yang terdislokasi


dapat tereduksi secara spontan atau sudah direduksi sebelum ke rumah sakit. Ruptur
dari kapsul sendi menghasilkan kebocoran dari hemarthrosis sehingga mengakibatkan
memar dan pembengkakan yang masif. Pasien juga dapat datang dengan gangguan
sirkulasi serta gangguan nervus peroneus komunis.96

C. Tatalaksana

Pasien ditatalaksana melalui algoritma ABCDE (Airway-Breathing-


Circulation-Disability-Exposure). Setelah itu lutut akan direduksi dengan brace,
plaster atau fikstor eksternal. Reduksi biasanya dilakukan dengan cara menarik kaki
tepat dibawah garis kaki namun hiperekstensi harus dihindari karena dapat
menyebabkan trauma pada pembuluh darah popliteal.96
Terapi pembedahan harus dilakukan segera (2-3 minggu setelah trauma) dan
pembedahan dapat dilakukan secara pembedahan primer, augmentasi dan perbaikan
serta rekonstruksi. Prinsip utama adalah menemukan bagian yang berkontribusi
terhadap instabilitas dan memperbaiki atau merekonstruksi bagian tersebut.96

D. Komplikasi96
I. Awal
a) Trauma arteri
Komplikasi ini terjadi pada 8-14% pasien dimana trauma arteri
popliteal yang mengakibatkan iskemia akut membutuhkan perbaikan
segera. Apabila terlambat dalam memperbaiki ini, kaki dapat
diamputasi
b) Trauma nervus peroneus komunis
Komplikasi ini dapat menyebabkan dorsifleksi tumit yang
lemah atau hilang. Apabila trauma nervus ini hanya terjadi sebagian,
maka perbaikan secara spontan dapat terjadi. Apabila secara studi
konduksi saraf tidak menunjukkan adanya perbaikan maka transfer dari
tendon posterior tibialis melalui membran interosseous ke kuneiform
lateral dapat membantu dorsifleksi tumit.
II. Akhir
a) Instabilitas sendi
Instabilitas sendi ringan walaupun setelah terapi pembedahan
merupakan hal yang umum. Quadriceps yang direhabilitasi dengan
baik dapat mengkompensasi ketidakstabilan sendi ini.
b) Kekakuan
Kekakuan akibat immobilisasi yang terlalu lama dan bekas luka
setelah trauma dapat lebih menganggu dari instabilitas sendi.

7. Meniskus

I. Trauma Meniskus
A. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, trauma meniskus merupakan trauma tersering di intra-


artikular yang membutuhkan operasi92. Insidensi rata-rata per tahun sekitar 66 per
100,000 orang dimana 61 berakhir dengan menisektomi.93 Laki-laki lebih rentan
terhadap trauma ini dengan rasio laki-laki dibandingkan dengan perempuan sekitar
4:1 dengan insidensi memuncak di usia 20-29 tahun.93 Trauma meniskus lebih sering
ditemukan di kaki kanan dan terjadi di seluruh rentang usia dengan faktor etiologi dan
patofisiologi sangat tergantung dari usia pasien.93

B. Mekanisme Trauma

Trauma meniskus akut terjadi ketika seseorang berganti arah yang melibatkan
gaya berputar yang menumpu pada lutut ketika lutut sedang dalam posisi fleksi dan
kaki sedang bertumpu di tanah.95 Manuver ini menyebabkan rotasi kompresi dan
shear stress kepada meniskus yang apabila berlebihan akan menyebabkan meniskus
untuk robek.

Olahraga yang dapat menyebabkan trauma meniksus akut adalah sepak bola,
American football dan olahraga-olahraga lainnya yang melibatkan deselerasi dan
pergantian arah. Individu yang sudah tua dapat mengalami robek degeneratif pada
meniskus tanpa ada trauma yang signifikan.95

C. Tanda dan Gejala

Setelah trauma, pasien masih dapat bergerak apabila robekan meniskus kecil.
Setelah itu, nyeri dan pembengkakan akan muncul secara perlahan-lahan dalam waktu
24 jam. Nyeri akan diperparah dengan gerakan berputar dan semakin besar robekan
meniskus, nyeri akan semakin hebat disertai keterbatasan pergerakkan lutut. Pasien
dapat mengeluhkan sensasi "terobek" atau "popping" pada saat trauma terjadi.95

Pasien yang tidak berobat setelah beberapa minggu trauma terjadi dapat
mengeluhkan sensasi "popping", "locking", "catching" dan lutut seperti copot ataupun
mengeluhkan sensasi tidak spesifik seperti ada sesuatu yang tidak beres dengan
lututnya. Sensasi instabilitas berhubungan dengan informasi yang tidak sesuai dari
propriosepsi yang terjadi ketika fragmen meniskus mengambang di antara dua
permukaan artikular sehingga menimbulkan sensasi bahwa lutut berada di posisi yang
tidak seharusnya.95

Efusi merupakan penemuan yang sering terutama pada pasien dengan robekan
yang besar atau kompleks dan dapat terjadi secara intermiten pada robekan yang
diasosiasikan dengan artritis degeneratif. Pasien dengan efusi biasanya mengeluhkan
kekakuan dan bukan karena pembengkakannya.95
D. Jenis-Jenis Robekan

Meniskus medial lebih sering terkena daripada lateral karena meniskus lateral
memiliki hubungan dengan kapsul sehingga membuat meniskus ini tidak bergerak
begitu banyak. Trauma pada kedua meniksus dapat terjadi dengan trauma ligamen
yang berat.96

Pada beberapa kasus, robekan dapat terjadi secara vertical dalam panjang
meniskus. Apabila sobekan masih tersambung secara bagian atas dan bawah maka
robekan akan disebut dengan robekan bucket handle. Bagian yang robek dapat
berpindah ke tengah sendi dan tersendat di antara femur dan tibia. Hal inilah yang
menyebabkan ‘locked knee’.96

Tipe-tipe lain dari robekan meniskus adalah posterior atau anterior horn tears
yang merupakan sebuah deskripsi geografis dari robekan dimana ujung dari meniskus
mengalami robekan serta parrot beak tears yang merupakan robekan oblik yang
menciptakan sebuah flap dari meniskus yang dapat stabil atau tidak stabil.96

Robekan horizontal biasanya disebabkan dari penyebab degeneratif atau dari


trauma minor repetitif dan biasanya merupakan robekan yang stabil. Beberapa
robekan dengan tipe ini diasosiasikan dengan kista meniskus. Seringkali robekan
meniskus degeneratif dideskripsikan sebagai kompleks dengan pola robekan yang
berada di beberapa tempat dan ini diasosiasikan dengan robekan yang akan berpindah
dengan mudah. Ketika robekan meniskus dapat berpindah, maka robekan ini akan
menjadi iritan mekanis yang akan memberikan gejala efusi sinovial rekuren dan
simptom mekanis seperti lutut yang akan copot.96
Gambar 39. Tipe-Tipe Robekan Meniskus

E. Pemeriksaan Fisik

Pasien dengan suspek trauma meniskus harus dievaluasi tenderness sepanjang


sendi, gerakan lutut yang abnormal, ketidakmampuan untuk jongkok atau berlutut,
McMurray manuver positif, nyeri saat tesThessaly dan efusi sendi.95

Tes Thessaly berusaha untuk memberikan tekanan kepada lutut dengan cara
pasien dan klinisi berpegangan tangan kemudian pasien berdiri dengan satu kaki dan
kaki satunya lagi difleksikan 20 derajat sambil merotasikan badan dan lutut. Lutut
akan berotasi secara internal dan eksternal dan tes disebut positif apabila pasien
merasakan nyeri atau sensasi "locking" atau "catching". Tes Thessaly memiliki
sensitivitas 90% dan spesifisitas 96%.29

Gambar 40. Tes Thessaly

Tes McMurray merupakan sebuah manuver yang memberikan gaya ekstensi


dan fleksi berulang dari lutut yang melihat pergerakkan sendi dan trauma meniskus.
Tes ini disebut positif apabila terdengar bunyi klik yang nyeri pada saat awal ekstensi
atau di tengah-tengah ekstensi. Sensitivitas tes ini berkisar antara 51-53% dan
spesifisitas berkisar antara 59-97%. Tes yang negatif tidak mengekslusi trauma
meniskus. Tes ini dilakukan dengan cara memegang tumit pasien dengan satu tangan
dan satu tangan lai memegang lutut pasien. Lakukan fleksi pasif dari lutut sebisa
mungkin dan lakukan rotasi internal dari tibia. Lakukan ekstensi lutut secara gradual
sebisa mungkin sambil mempertahankan rotasi internal dari tibia. Ulangi fleksi pasif
dan ekstensi dari lutut secara penuh sambil mempertahankan rotasi internal dari tibia.
Kemudian, fleksikan lutut secara pasif sambil merotasi eksternal tibia dan ulangi
fleksi dan ekstensi lutut beberapa kali dalam kondisi rotasi eksternal tibia.29

Gambar 41. Tes McMurray

Tes Apley dilakukan dengan pasien dalam posisi telungkup dan lutut yang
cedera dalam fleksi 90 derajat. Tumit pasien ditekan ke arah lantai sambil merotasi
interal dan eksternal kaki pasien sehingga mengkompresi meniskus diantara plateau
tibial dan kondilus femoralis. Nyeri fokal yang terjadi akibat kompresi menandakan
tes yang positif. Sensitivitas tes ini hanya 38% sedangkan spesifitas tes ini adalah
41%.29
Gambar 42. Tes Apley
Tes bounce home dilakukan dengan cara memegang lutut dalam kondisi
pasien terlentang dengan kaki ekstensi dan secara perlahan menggoyangkan kaki
mereka. Kaki yang normal akan mengalami ekstensi penuh sedangkan kaki yang
mengalami cedera meniskus tidak akan ekstensi penuh.29

Gambar 43. Tes Bounce Home


Efusi dapat terjadi pada pasien dengan trauma meniskus terutama robekan
yang besar atau kompleks. Beberapa cara untuk mendeteksi efusi adalah:

o Efusi kecil (5-10ml) akan mengisi cekungan peripatellar pada lutut


ekstensi dan otot quadriceps terelaksasi.
o "Milking" lutut dapat mendeteksi efusi yang sangat kental
o Tanda ballottement positif ketika ada setidaknya 10-15 ml cairan
intraartikular
o Efusi yang banyak (20-30ml) mengisi suprapatellar.
o Fleksi lutut (pengukuran dari gluteus hingga lutut) berkurang

Aspirasi efusi merupakan tes definitif untuk membuktikan adanya efusi lutut.
Aspirasi diindikasikan apabila sendi lutut terinfeksi atau pasien mengalami efusi yang
banyak secara cepat (dalam waktu 3 jam setelah cedera) untuk menyingkirkan
hemarthrosis. Hemarthrosis tidak sering terjadi pada robekan meniskus yang terisolasi
dan apabila terjadi klinisi harus memikirkan trauma ACL atau fraktur intraartikuler.
Globul lemak pada saat aspirasi dapat mengindikasikan fraktur.97
Gambar 44. Tes Fleksi Lutut

F. Pencitraan Diagnostik

Pemeriksaan inisial yang dapat dilakukan adalah sinar X sesuai dengan Ottawa
knee rule dengan posisi sunrise, tunnel, PA, weightbearing AP dan lateral. Sinar X
pada lutut dapat menunjukkan perubahan degeneratif, kalsifikasi meniskus atau benda
lepas yang terkalsifikasi. Posisi tunnel akan menunjukkan intercondylar notch dan
menunjukkan benda lepas yang tersekuestrasi atau defek osteokondral.96

Ultrasound dapat digunakan namun limitasi terutama dari ultrasound adalah


ketidakmampuan ultrasound untuk melihat struktur internal yang dalam dari lutut.
Sensitivitas ultrasound dalam menilai trauma meniskus berkisar antara 83-100% dan
spesifisitas berkisar antara 71-89%.98
MRI dapat menentukan batas dan tipe dari robekan meniskus dan merupakan
pencitraan diagostik tersensitif dalam mendiagnosis trauma meniskus namun MRI
biasanya tidak dibutuhkan kecuali operasi direncanakan. MRI memiliki sensitivitas
91.4% dan spesifisitas sebesar 81.1% untuk robekan meniskus medial dan sensitivitas
sebesar 76% dan spesifisitas sebesar 93.3% untuk robekan meniskus
lateral.99Perubahan degeneratif mucinoid merupakan penampakan yang sering
ditemukan dan merupakan hal yang normal akibat proses penuan. Selain itu, robekan
asimptomatik seringkali ditemukan di lutut kontralateral dengan gejala yang dapat
dikaitkan dengan trauma meniskus.100
Gambar 45. MRI lutut yang menunjukkan gambaran hiperintense memanjang
ke arah inferior meniskus medial yang menandakan adanya robekan
oblik.

G. Diagnosis

Diagnosis dari trauma meniskus akut dapat sulit untuk ditegakkan karena
tanda dan gejala dapat nonspesifik karena nyeri biasanya tidak terlokalisir. Pada
pasien yang sudah tua, robekan degeneratif kronis meniskus yang tidak terasosiasikan
dengan trauma dapat terjadi sehingga membingungkan klinisi. Diagnosis sementara
dapat dibuat berdasarkan mekanisme trauma, tanda dan gejala seperti mechanical
catching atau locking dan kumpulan pemeriksaan fisik yang positif seperti tenderness
pada garis sendi dan hasil tes profokatif (McMurray, Thessaly) yang positif. MRI
dapat dipertimbangkan menurut usia pasien dan apabila operasi sedang direncanakan.
Arhtroskopi digunakan untuk menentukan diagnosis definitif dan sekaligus sebagai
terapeutik.101

H. Terapi

Penanganan pertama berupa PRICE-M. Alat bantu jalan dapat digunakan


apabila nyeri sangat menganggu pasien. Brace yang membatasi pergerakkan patella
dapat digunakan apabila kekuatan quardiceps lemah dan lutut seringkali seperti terasa
copot. Pasien dapat memulai latihan mengangkat kaki secara lurus tanpa beban
apabila nyeri mulai berkurang dengan tujuan untuk menguatkan otot quadriceps.
Mulai dari 10 sets hingga ke 20-25 sets dan masing-masing latihan dilakukan selama
5 detik. Apabila sudah ada perkembangan, beban ringan dapat ditambah ke tumit.
Terapi definitif dari robeknya meniskus adalah menguatkan otot yang
menopang lutut, menentukan tipe dan seberapa parahnya robeknya meniskus dan
menentukan kebutuhan operasi. Robekan yang besar dan kompleks dengan efusi
persisten, robekan yang memberikan gejala yang menganggu, robekan yang besar
yang melakukan kontak dengan kartilago artikular serta adanya locked knee harus
dirujuk ke ahli bedah tulang.101

Tabel 2. Faktor-faktor yang menentukan terapi konservatif atau bedah101


Konservatif Pembedahan
Gejala muncul 24-48 jam setelah trauma Trauma terpuntir yang parah sehingga
akut aktivitas terhenti
Pembengkakan minimal Locked knee
ROM lutut baik dengan nyeri pada saatu McMurray positif pada fleksi lutut
fleksi atau hampir fleksi penuh minimal
McMurray hanya positif pada fleksi lutut Adanya trauma ACL
yang dalam
Tidak ada perbaikan setelah 3-6 minggu
terapi konservatif

Apabila pasien mengeluhkan gejala mekanik atau efusi berulang yang


bertahan 3-4 minggu setelah terapi inisial, MRI lutut sebaiknya dilakukan. Injeksi
glukokortikoid dapat berguna pada pasien dengan osteoarthritis yang dikomplikasikan
dengan robeknya meniskus degeneratif. 101
Pilihan operasi pada pasien dengan trauma meniskus adalah menisektomi
parsial atau total dan perbaikan dari robeknya meniskus. Pembedahan secara terbuka
atau dengan artroskopi dapat dilakukan. Prinsip dari pembedahan ruptur meniskus
adalah untuk mempertahankan meniskus yang masih berfungsi sebanyak mungkin.5

I. Prognosis

Prognosis pasien dengan trauma meniskus baik untuk pasien dengan robekan
yang dapat ditangani dengan terapi non-operatif. Pada pasien-pasien yang ditangani
secara operatif, pasien muda dengan trauma terisolasi memiliki prognosis lebih
baik.101 Faktor-faktor yang menentukan prognosis lebih baik adalah usia dibawah 35
tahun, robekan vertikal, tidak ada kerusakan kartilago dan pinggir meniskus yang
intak setelah selesai prosedur bedah. Robekan degernatif diasosiasikan dengan
prognosis yang lebih jelek. Trauma meniskus dapat menpredisposisikan pasien
terhadap osteoarthritis pada jangka panjang dan insidensi ini dapat diturunkan dengan
pembedahan meniskus.99

II. Degenerasi Meniskus

Pasien dengan usia diatas 45 tahun dapat datang dengan gejala robeknya
meniskus tanpa ada trauma sebelumnya. Hasil MRI dapat menunjukkan adanya
belahan horizontal di meniskus medial (karakteristik lesi degnerasi) atau lepasnya
bagian anterior atau posterior tanpa cedera signifikan. Degenerasi meniskus sering
diasosiasikan dengan osteoarthritis atau chondrocalcionosis.96
Menisektomy tidak membantu banyak dan hanya diindikasikan apabila ada
simptom mekanik yang sangat menganggu seperti adanya halangan mekanikal
terhadap pergerakkan atau nyeri tajam berulang dari lutut.96

III. Meniskus Lateral Diskoid

Fetus memiliki meniskus yang tidak semilunar tapi berbentuk seperi kaset
(disc-like). Apabila bentuk ini terus bertahan sampai postnatal maka gejala seperti
lutut terasa copot atau berbunyi "thud" dengan kencang dapat muncul apabila
meniskus tidak stabil atau robekan terjadi. "Clunk" dapat dirasakan pada saat lutut
difleksikan 110 derajat dan pada saat lutut diluruskan pada 10 derajat. Diagnosis
dapat dipastikan dengan MRI.96

Apabila hanya ada gejala "clunk", maka tidak dibutuhkan terapi namun
apabila nyeri sangat menganggu, menisektomi parsial dapat dilakukan sehingga hanya
tersisa meniskus yang normal.96
Gambar 46. Meniskus lateral diskoid

IV. Kista Meniskus


A. Etiologi

Kista meniskus seringkali muncul dari robekan horizontal yang membelah


meniskus. Sel sinovium juga dapat menginfiltrasi area vaskular diantara meniskus dan
kapsul sehingga terjadi multiplikasi disana. Kista multilokular yang mengandung
cairan gelatin dikelilingi oleh jaringan fibrosa yang tebal.96

B. Tanda dan Gejala

Meniskus lateral lebih sering terkena dibandingkan yang medial dan pasien
akan mengeluhkan nyeri atau benjolan kecil di samping sendi. Gejala dapat muncul
secara intermiten atau memburuk setelah beraktivitas. Benjolan dapat muncul di garis
sendi atau sedikit dibawahnya yaitu anterior terhadap ligamen kolateral. Kista ini akan
lebih mudah dilihat dengan lutut sedikit ditekuk dan pada posisi tertentu kista akan
benar-benar hilang. Kista lateral biasanya bersifat padat dan kista medial biasanya
lebih besar dan lebih lunak.96

C. Diagnosis Diferensial96
a) Ganglion
Benjolan ganglion biasanya superifisial dan tidak sekeras kista serta tidak ada
hubungannya dengan sendi.
b) Deposisi kalsifikasi di ligamen kolateral
Biasanya muncul di sisi medial, sangat nyeri dan tender serta muncuk di Xray
c) Meniskus yang robek dan prolapse
Muncul sebagai benjolan yang kenyal dan iregular di garis sendi.
d) Tumor
Lipoma, fibroma atau osteochondroma dapat muncul dengan presentasi
benjolan di medial atau lateral terhadap garis sendi. Pemeriksaan fisik akan
menunjukkan bahwa benjolan tidak muncul dari sendi itu tersebut.
D. Tatalaksana

Apabila pasien tidak mengeluhkan gejala, maka tidak dibutuhkan terapi.


Namun apabila kista sangat tegang dan simptomaik, maka tindakan bedah dapat
diambil untuk mengdekompresi kista dengan mengeksisi robekan meniskus.96
Gambar 47. Benjolan sepanjang garis sendi atau dibawah garis sendi

Gambar 48. MRI menunjukkan kista yang berasal dari tepi meniskus
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Ryan PF, Karl BF, Jonathan G. Anterior Cruciate Ligament Injury. UptoDate. August
04, 2017.
2. James M, Richard R, Francis GO, Jonathan G. Posterior Cruciate Ligament Injury.
UptoDate. June 08, 2017.
3. William WD, Karl BF, Jonathan G. Medial Collateral Ligament Injury of the Knee.
UptoDate. January 19, 2017.
4. Sean NM, Karl BF, Jonathan G. Lateral collateral ligament injury and related
posterolateral corner injuries of the knee. UptoDate. December 06, 2016.
5. Dennis AC, Karl BF, Jonathan Grayzel. Meniscal injury of the knee. UptoDate.
August 04, 2017.
6. Gordon MD, Steiner ME.. Anterior cruciate ligament injuries. In: Orthopaedic
Knowledge Update Sports Medicine III, Garrick JG (Ed), American Academy of
Orthopaedic Surgeons, Rosemont 2004. p.169.
7. Albright JC, Carpenter JE, Graf BK, et al.. Knee and leg: soft tissue trauma. In:
Orthopaedic Knowledge Update 6, Beaty JH (Ed), American Academy of
Orthopaedic Surgeons, Rosemont 1999. p.533

8. Media Informasi Rumah Sakit Olahraga Nasional. Edisi KelimaTahun II. 2015.
9. National Collegiate Athletic Association. NCAA Injury Surveillance System
Summary. Indianapolis, Ind: National Collegiate Athletic Association; 2002
10. Agel J, Rockwood T, Klossner D. Collegiate ACL Injury Rates Across 15 Sports:
National Collegiate Athletic Association Injury Surveillance System Data Update
(2004-2005 Through 2012-2013). Clin J Sport Med 2016; 26:518.
11. Prodromos CC, Han Y, Rogowski J, et al. A meta-analysis of the incidence of anterior
cruciate ligament tears as a function of gender, sport, and a knee injury-reduction
regimen. Arthroscopy 2007; 23:1320.
12. Huston LJ, Greenfield ML, Wojtys EM. Anterior cruciate ligament injuries in the
female athlete. Potential risk factors. Clin Orthop Relat Res 2000; :50.
13. Cowling EJ, Steele JR. Is lower limb muscle synchrony during landing affected by
gender? Implications for variations in ACL injury rates. J Electromyogr Kinesiol
2001; 11:263.
14. Wild CY, Steele JR, Munro BJ. Insufficient hamstring strength compromises landing
technique in adolescent girls. Med Sci Sports Exerc 2013; 45:497.
15. Hewett TE, Myer GD, Ford KR. Anterior cruciate ligament injuries in female
athletes: Part 1, mechanisms and risk factors. Am J Sports Med 2006; 34:299.
16. Liederbach M, Dilgen FE, Rose DJ. Incidence of anterior cruciate ligament injuries
among elite ballet and modern dancers: a 5-year prospective study. Am J Sports Med
2008; 36:1779.
17. Park SK, Stefanyshyn DJ, Loitz-Ramage B, et al. Changing hormone levels during the
menstrual cycle affect knee laxity and stiffness in healthy female subjects. Am J
Sports Med 2009; 37:588.
18. Arendt E, Dick R. Knee injury patterns among men and women in collegiate
basketball and soccer. NCAA data and review of literature. Am J Sports Med 1995;
23:694.
19. Pantano KJ, White SC, Gilchrist LA, Leddy J. Differences in peak knee valgus angles
between individuals with high and low Q-angles during a single limb squat. Clin
Biomech (Bristol, Avon) 2005; 20:966.
20. Uhorchak JM, Scoville CR, Williams GN, et al. Risk factors associated with
noncontact injury of the anterior cruciate ligament: a prospective four-year evaluation
of 859 West Point cadets. Am J Sports Med 2003; 31:831.
21. LaPrade RF, Burnett QM 2nd. Femoral intercondylar notch stenosis and correlation to
anterior cruciate ligament injuries. A prospective study. Am J Sports Med 1994;
22:198.
22. Ramesh R, Von Arx O, Azzopardi T, Schranz PJ. The risk of anterior cruciate
ligament rupture with generalised joint laxity. J Bone Joint Surg Br 2005; 87:800.
23. Boden BP, Dean GS, Feagin JA Jr, Garrett WE Jr. Mechanisms of anterior cruciate
ligament injury. Orthopedics 2000; 23:573.
24. Myer GD, Ford KR, Hewett TE. The effects of gender on quadriceps muscle
activation strategies during a maneuver that mimics a high ACL injury risk position. J
Electromyogr Kinesiol 2005; 15:181.
25. Sellards RA, Bach Jr BR. Management of Acute Anterior Cruciate Ligament Injuries.
In: The Adult Knee, Callaghan JJ, Rosenberg AG, et al (Eds), Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia 2003. Vol 1, p.663.
26. Noyes FR, Bassett RW, Grood ES, Butler DL. Arthroscopy in acute traumatic
hemarthrosis of the knee. Incidence of anterior cruciate tears and other injuries. J
Bone Joint Surg Am 1980; 62:687.
27. Fithian DC, Paxton LW, Goltz DH. Fate of the anterior cruciate ligament-injured
knee. Orthop Clin North Am 2002; 33:621.
28. Benjaminse A, Gokeler A, van der Schans CP. Clinical diagnosis of an anterior
cruciate ligament rupture: a meta-analysis. J Orthop Sports Phys Ther 2006; 36:267.
29. Bruce R. The Orthopedic Physical Examination. Elsevier. 2nd Edition.
30. Jackson JL, O'Malley PG, Kroenke K. Evaluation of acute knee pain in primary care.
Ann Intern Med 2003; 139:575.
31. Cosgrave CH, Burke NG, Hollingsworth J. The Segond fracture: a clue to intra-
articular knee pathology. Emerg Med J 2012; 29:846.
32. Mellado JM, Calmet J, Olona M, et al. Magnetic resonance imaging of anterior
cruciate ligament tears: reevaluation of quantitative parameters and imaging findings
including a simplified method for measuring the anterior cruciate ligament angle.
Knee Surg Sports Traumatol Arthrosc 2004; 12:217.
33. Kostogiannis I, Ageberg E, Neuman P, et al. Clinically assessed knee joint laxity as a
predictor for reconstruction after an anterior cruciate ligament injury: a prospective
study of 100 patients treated with activity modification and rehabilitation. Am J
Sports Med 2008; 36:1528.
34. Fithian DC, Paxton LW, Goltz DH. Fate of the anterior cruciate ligament-injured
knee. Orthop Clin North Am 2002; 33:621.
35. Kennedy JC, Alexander IJ, Hayes KC. Nerve supply of the human knee and its
functional importance. Am J Sports Med 1982; 10:329.
36. Shelbourne KD, Urch SE, Gray T, Freeman H. Loss of normal knee motion after
anterior cruciate ligament reconstruction is associated with radiographic arthritic
changes after surgery. Am J Sports Med 2012; 40:108.
37. van Grinsven S, van Cingel RE, Holla CJ, van Loon CJ. Evidence-based rehabilitation
following anterior cruciate ligament reconstruction. Knee Surg Sports Traumatol
Arthrosc 2010; 18:1128.
38. Culvenor AG, Crossley KM. Accelerated return to sport after anterior cruciate
ligament injury: a risk factor for early knee osteoarthritis? Br J Sports Med 2016;
50:260.
39. Barenius B, Ponzer S, Shalabi A, et al. Increased risk of osteoarthritis after anterior
cruciate ligament reconstruction: a 14-year follow-up study of a randomized
controlled trial. Am J Sports Med 2014; 42:1049.
40. Øiestad BE, Engebretsen L, Storheim K, Risberg MA. Knee osteoarthritis after
anterior cruciate ligament injury: a systematic review. Am J Sports Med 2009;
37:1434.
41. van Meer BL, Meuffels DE, van Eijsden WA, et al. Which determinants predict
tibiofemoral and patellofemoral osteoarthritis after anterior cruciate ligament injury?
A systematic review. Br J Sports Med 2015; 49:975.
42. Hewett TE, Ford KR, Myer GD. Anterior cruciate ligament injuries in female
athletes: Part 2, a metaanalysis of neuromuscular interventions aimed at injury
prevention. Am J Sports Med 2006; 34:490.
43. Taylor JB, Waxman JP, Richter SJ, Shultz SJ. Evaluation of the effectiveness of
anterior cruciate ligament injury prevention programme training components: a
systematic review and meta-analysis. Br J Sports Med 2015; 49:79.
44. McAllister DR, Petrigliano FA. Diagnosis and treatment of posterior cruciate
ligament injuries. Curr Sports Med Rep 2007; 6:293.
45. Lopez-Vidriero E, Simon DA, Johnson DH. Initial evaluation of posterior cruciate
ligament injuries: history, physical examination, imaging studies, surgical and
nonsurgical indications. Sports Med Arthrosc 2010; 18:230.
46. Fanelli GC. Posterior cruciate ligament injuries in trauma patients. Arthroscopy 1993;
9:291.
47. Wind WM Jr, Bergfeld JA, Parker RD. Evaluation and treatment of posterior cruciate
ligament injuries: revisited. Am J Sports Med 2004; 32:1765.
48. Schulz MS, Russe K, Weiler A, et al. Epidemiology of posterior cruciate ligament
injuries. Arch Orthop Trauma Surg 2003; 123:186.
49. Allen CR, Kaplan LD, Fluhme DJ, Harner CD. Posterior cruciate ligament injuries.
Curr Opin Rheumatol 2002; 14:142
50. Logan M, Williams A, Lavelle J, et al. The effect of posterior cruciate ligament
deficiency on knee kinematics. Am J Sports Med 2004; 32:1915.
51. Harner CD, Höher J. Evaluation and treatment of posterior cruciate ligament injuries.
Am J Sports Med 1998; 26:471.
52. Rubinstein RA Jr, Shelbourne KD, McCarroll JR, et al. The accuracy of the clinical
examination in the setting of posterior cruciate ligament injuries. Am J Sports Med
1994; 22:550.
53. Anthony B, Peter F, Jonathan G. Approach to the adult with knee pain likely of
musculoskeletal origin. UptoDate. April 05,2018.
54. Bachmann LM, Haberzeth S, Steurer J, ter Riet G. The accuracy of the Ottawa knee
rule to rule out knee fractures: a systematic review. Ann Intern Med 2004; 140:121.
55. Cheung TC, Tank Y, Breederveld RS, et al. Diagnostic accuracy and reproducibility
of the Ottawa Knee Rule vs the Pittsburgh Decision Rule. Am J Emerg Med 2013;
31:641.
56. Boks SS, Vroegindeweij D, Koes BW, et al. Follow-up of posttraumatic ligamentous
and meniscal knee lesions detected at MR imaging: systematic review. Radiology
2006; 238:863.
57. Servant CT, Ramos JP, Thomas NP. The accuracy of magnetic resonance imaging in
diagnosing chronic posterior cruciate ligament injury. Knee 2004; 11:265.
58. Pierce CM, O'Brien L, Griffin LW, Laprade RF. Posterior cruciate ligament tears:
functional and postoperative rehabilitation. Knee Surg Sports Traumatol Arthrosc
2013; 21:1071.
59. Bedi A, Musahl V, Cowan JB. Management of Posterior Cruciate Ligament Injuries:
An Evidence-Based Review. J Am Acad Orthop Surg 2016; 24:277.
60. Kim KM, Croy T, Hertel J, Saliba S. Effects of neuromuscular electrical stimulation
after anterior cruciate ligament reconstruction on quadriceps strength, function, and
patient-oriented outcomes: a systematic review. J Orthop Sports Phys Ther 2010;
40:383.
61. Fanelli GC. Posterior cruciate ligament rehabilitation: how slow should we go?
Arthroscopy 2008; 24:234.
62. Edson CJ, Fanelli GC, Beck JD. Postoperative rehabilitation of the posterior cruciate
ligament. Sports Med Arthrosc 2010; 18:275.
63. Patel DV, Allen AA, Warren RF, et al. The nonoperative treatment of acute, isolated
(partial or complete) posterior cruciate ligament-deficient knees: an intermediate-term
follow-up study. HSS J 2007; 3:137.
64. Hammoud S, Reinhardt KR, Marx RG. Outcomes of posterior cruciate ligament
treatment: a review of the evidence. Sports Med Arthrosc 2010; 18:280.
65. Bollen S. Epidemiology of knee injuries: diagnosis and triage. Br J Sports Med 2000;
34:227.
66. Louw QA, Manilall J, Grimmer KA. Epidemiology of knee injuries among
adolescents: a systematic review. Br J Sports Med 2008; 42:2.
67. Singhal M, Patel J, Johnson D. Medial ligament injuries. In: DeLee and Drez
Orthopaedic Sports Medici ne, DeLee J, Drez D, Miller M (Eds), Saunders,
Philadelphia 2010. p.1629.
68. Takagi T, Nakao Y, Takayama S, Toyama Y. Traction injury of common peroneal
nerve associated with multiple ligamentous rupture of the knee: a case report.
Microsurgery 2002; 22:339.
69. Creighton RA, Spang JT, Dahners LE. Basic science of ligament healing: Medial
collateral ligament healing with and without treatment. Sports Med Arthrosc 2005;
13:145.
70. Kurzweil PR, Kelley ST. Physical examination and imaging of the medial collateral
ligament and posteromedial corner of the knee. Sports Med Arthrosc 2006; 14:67.
71. Wang JC, Shapiro MS. Pellegrini-Stieda syndrome. Am J Orthop (Belle Mead NJ)
1995; 24:493.
72. Jones L, Bismil Q, Alyas F, et al. Persistent symptoms following non operative
management in low grade MCL injury of the knee - The role of the deep MCL. Knee
2009; 16:64.
73. Craft JA, Kurzweil PR. Physical examination and imaging of medial collateral
ligament and posteromedial corner of the knee. Sports Med Arthrosc 2015; 23:e1.
74. Hanson CA, Weinhold PS, Afshari HM, Dahners LE. The effect of analgesic agents
on the healing rat medial collateral ligament. Am J Sports Med 2005; 33:674.
75. Smyth MP, Koh JL. A review of surgical and nonsurgical outcomes of medial knee
injuries. Sports Med Arthrosc 2015; 23:e15.
76. Nakamura N, Horibe S, Toritsuka Y, et al. Acute grade III medial collateral ligament
injury of the knee associated with anterior cruciate ligament tear. The usefulness of
magnetic resonance imaging in determining a treatment regimen. Am J Sports Med
2003; 31:261.
77. Reider B, Sathy MR, Talkington J, et al. Treatment of isolated medial collateral
ligament injuries in athletes with early functional rehabilitation. A five-year follow-up
study. Am J Sports Med 1994; 22:470.
78. Swenson DM, Collins CL, Best TM, et al. Epidemiology of knee injuries among U.S.
high school athletes, 2005/2006-2010/2011. Med Sci Sports Exerc 2013; 45:462.
79. Majewski M, Susanne H, Klaus S. Epidemiology of athletic knee injuries: A 10-year
study. Knee 2006; 13:184.
80. Levy BA, Stuart MJ, Whelan DB. Posterolateral instability of the knee: evaluation,
treatment, results. Sports Med Arthrosc 2010; 18:254.
81. Stiell IG, Greenberg GH, Wells GA, et al. Derivation of a decision rule for the use of
radiography in acute knee injuries. Ann Emerg Med 1995; 26:405.
82. Lee J, Papakonstantinou O, Brookenthal KR, et al. Arcuate sign of posterolateral knee
injuries: anatomic, radiographic, and MR imaging data related to patterns of injury.
Skeletal Radiol 2003; 32:619.
83. LaPrade RF, Heikes C, Bakker AJ, Jakobsen RB. The reproducibility and
repeatability of varus stress radiographs in the assessment of isolated fibular collateral
ligament and grade-III posterolateral knee injuries. An in vitro biomechanical study. J
Bone Joint Surg Am 2008; 90:2069.
84. LaPrade RF, Gilbert TJ, Bollom TS, et al. The magnetic resonance imaging
appearance of individual structures of the posterolateral knee. A prospective study of
normal knees and knees with surgically verified grade III injuries. Am J Sports Med
2000; 28:191.
85. Sekiya JK, Swaringen JC, Wojtys EM, Jacobson JA. Diagnostic ultrasound evaluation
of posterolateral corner knee injuries. Arthroscopy 2010; 26:494.
86. Haddad MA, Budich JM, Eckenrode BJ. CONSERVATIVE MANAGEMENT OF
AN ISOLATED GRADE III LATERAL COLLATERAL LIGAMENT INJURY IN
AN ADOLESCENT MULTI-SPORT ATHLETE: A CASE REPORT. Int J Sports
Phys Ther 2016; 11:596.
87. LaPrade RF, Wentorf FA, Crum JA. Assessment of healing of grade III posterolateral
corner injuries: an in vivo model. J Orthop Res 2004; 22:970.
88. LaPrade RF, Terry GC. Injuries to the posterolateral aspect of the knee. Association
of anatomic injury patterns with clinical instability. Am J Sports Med 1997; 25:433.
39.
89. Babwah T. Common peroneal neuropathy related to cryotherapy and compression in a
footballer. Res Sports Med 2011; 19:66.
90. Salata MJ, Gibbs AE, Sekiya JK. A systematic review of clinical outcomes in patients
undergoing meniscectomy. Am J Sports Med 2010;38:1907
91. Baker BE, Peckham AC, Pupparo F, Sanborn JC. Review of meniscal injury and
associated sports. Am J Sports Med 1985;13:1
92. Steinbruck K Epidemiology of sports injuries. A 15 year analysis of sports orthopedic
ambulatory care. Sportverletz Sportschaden 1999;13:38
93. Smith BW, Green GA. Acute knee injuries: Part I. History and physical examination.
Am Fam Physician 1995; 51:615.
94. Apley, A.G, Louis S. Apley's System of Orthopaedics and Fractures. Tenth Edition.
London: Arnold, 2018.
95. Maffulli N, Binfield PM, King JB, Good CJ. Acute haemarthrosis of the knee in
athletes. A prospective study of 106 cases. J Bone Joint Surg Br 1993; 75:945.
96. Shetty AA, Tindall AJ, James KD, et al. Accuracy of hand-held ultrasound scanning
in detecting meniscal tears. J Bone Joint Surg Br 2008; 90:1045.
97. Crawford R, Walley G, Bridgman S, Maffulli N. Magnetic resonance imaging versus
arthroscopy in the diagnosis of knee pathology, concentrating on meniscal lesions and
ACL tears: a systematic review. Br Med Bull 2007; 84:5.
98. Bureau NJ, Kaplan PA, Dussault RG. MRI of the knee: a simplified approach. Curr
Probl Diagn Radiol 1995; 24:1.
99. Frobell R, Cooper R, Morris H, Arendt E. Acute knee injuries. In: Clinical Sports
Medicine, 4th ed, Brukner P, Khan K (Eds), McGraw-Hill, 2012. p.634.
100. Boyd KT, Myers PT. Meniscus preservation; rationale, repair techniques and results.
Knee 2003; 10:1.
101. Chatain F, Adeleine P, Chambat P, et al. A comparative study of medial versus
lateral arthroscopic partial meniscectomy on stable knees: 10-year minimum follow-up.
Arthroscopy 2003; 19:842.

Anda mungkin juga menyukai