Anda di halaman 1dari 384

C B T O P T I M A B AT C H F E B R U A R I 2 0 2 0

IKM - FORENSIK
| DR. SEPRIANI | DR. YOLINA | DR. CEMARA |
| DR. AARON | DR. CLARISSA | DR. OKTRIAN | DR. REZA |
Jakarta
Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007
Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Tlp 021-22475872
WA. 081380385694/081314412212

Medan
Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15 Kel. Tanjung
Sari, Kec. Medan Selayang 20132 WA/Line 082122727364

w w w. o p t i m a p r e p . c o . i d
TO 1
1. Karakteristik Surveilans Efektif
• Cepat
– Informasi diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat
(timely) sehingga memungkinkan identifikasi dan
penatalaksanaan masalah segera.
– Cara meningkatkan kecepatan surveilans:
• Analisis sedekat mungkin dengan pelaporan data primer
• Melembagakan pelaporan wajib untuk penyakit tertentu
(notifiable diseases)
• Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan
• Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat
• Implementasi sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah, dan
segera
• Akurat
– Sensitivitas dan spesifisitas tinggi
– Dipengaruhi oleh kemampuan petugas dan infrastruktur
pemeriksaan penunjang
1. Karakteristik Surveilans Efektif
• Standar, seragam, reliable, dan kontinyu
– Terdapat definisi kasus, alat ukur, dan prosedur yang
standar.
– Surveilans secara kontinyu tentang insidens penyakit untuk
mendeteksi kecenderungan
– Pelaporan reportable diseases seminggu sekali
• Representatif dan lengkap
– Harus menggambarkan kondisi sesungguhnya di populasi
– Membutuhkan kapasitas petugas kesehatan yang cukup
• Sederhana, fleksibel, dan akseptabel
– Sistem surveilans sederhana dan praktis, baik dalam
organisasi, struktur, maupun operasi
– Data yang dilaporkan relevan dan terfokus
– Format laporan yang tidak digunakan dapat dibuang
2. KEJADIAN EPIDEMIOLOGIS PENYAKIT

• Sporadik: kejadian penyakit tertentu di suatu


daerah secara acak dan tidak teratur.
Contohnya: kejadian pneumonia di DKI
Jakarta.

• Endemik: kejadian penyakit di suatu daerah


yang jumlahnya lebih tinggi dibanding daerah
lain dan hal tersebut terjadi terus menerus.
Contohnya: Malaria endemis di Papua.
Epidemiologis Penyakit
• Epidemik dan KLB: Epidemik dan KLB sebenarnya
memiliki definisi serupa, namun KLB terjadi pada
wilayah yang lebih sempit (misalnya di satu
kecamatan saja). Indonesia memiliki kriteria KLB
berdasarkan Permenkes 1501 tahun 2010 (di
slide selanjutnya).

• Pandemik: merupakan epidemik yang terjadi


lintas negara atau benua. Contohnya: kejadian
MERS-COV di dunia tahun 2014-2015.
Kriteria KLB (Permenkes 1501, tahun 2010)
• Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada
atau tidak dikenal pada suatu daerah
• Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun
waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis
penyakitnya
• Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut
jenis penyakitnya
• Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah
per bulan dalam tahun sebelumnya
• Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata
jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya
• Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen)
atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit
periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
• Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu
periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
3. PRINSIP PELAYANAN KEDOKTERAN
KELUARGA
• Holistik
• Komprehensif
• Terpadu
• Berkesinambungan

Danasari. 2008. Standar Kompetensi Dokter Keluarga. PDKI : Jakarta


Pelayanan Kedokteran Keluarga
HOLISTIK
• Mencakup seluruh tubuh jasmani dan rohani
pasien (whole body system), nutrisi
• Tidak hanya organ oriented
• Patient and Family oriented
• Memandang manusia sebagai mahluk
biopsikososial pada ekosistemnya.
Pelayanan Kedokteran Keluarga
KOMPREHENSIF
• Tidak hanya kuratif saja, tapi pencegahan dan
pemulihan
• Health promotion
• Spesific protection
• Early diagnosis and Prompt treatment
• Disability limitation
• Rehabilitation
• Penatalaksanaan tidak hanya patient oriented,
tapi juga family oriented dan community oriented
Pelayanan Kedokteran Keluarga
BERKESINAMBUNGAN
• Tidak sesaat, ada follow upnya dan
perencanaan manajemen pasien

TERPADU / TERINTEGRASI
• Memakai seluruh ilmu kedokteran yang telah
di dapat bekerja sama dengan pasien,
keluarga, dokter spesialis atau tenaga
kesehatan lain
4. Langkah Menentukan Uji Statistik
• Tentukan sifat variabel yang diuji (numerik atau kategorik)

• Bila ada variabel yang bersifat numerik, tentukan apakah


variabel tersebut terdistribusi normal atau tidak. Atau bila
kedua variabel bersifat kategorik, tentukan apakah
memenuhi persyaratan uji chi square. Untuk mengerjakan
soal UKDI, bila tidak disebutkan, maka diasumsikan bahwa
variabel tersebut terdistribusi normal atau memenuhi
persyaratan chi square.

• Lihat tabel untuk menentukan uji hipotesis apa yang sesuai.


TABEL UJI HIPOTESIS
VARIABEL
U J I S TAT I S T I K U J I A LT E R N AT I F
INDEPENDEN DEPENDEN

Fisher (digunakan untuk tabel


Kategorik Kategorik Chi square 2x2)*
Kolmogorov-Smirnov
(digunakan untuk tabel bxk)*

Kategorik T-test independen Mann-Whitney**


Numerik
(2 kategori)
T-test berpasangan Wilcoxon**

One Way Anova (tdk


Kruskal Wallis**
Kategorik berpasangan)
Numerik
(>2 kategori) Repeated Anova
Friedman**
(berpasangan)
Numerik Numerik Korelasi Pearson Korelasi Spearman**
Regresi Linier
Keterangan:
* : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi
**: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
Syarat Uji Chi Square
• Tidak ada cell dengan nilai frekuensi kenyataan atau
disebut juga Actual Count (F0) sebesar 0 (Nol).
• Apabila bentuk tabel kontingensi 2 X 2, maka tidak boleh
ada 1 cell saja yang memiliki frekuensi harapan atau
disebut juga expected count (“Fh”) kurang dari 5.
• Apabila bentuk tabel lebih dari 2 x 2, misak 2 x 3, maka
jumlah cell dengan frekuensi harapan yang kurang dari 5
tidak boleh lebih dari 20%.

Bila tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan


di atas, maka uji chi square tidak dapat digunakan.
One Sample vs Two Sample T-Test
One sample T-test Two Sample T-test
• Mengetahui perbedaan mean • Mengetahui apakah terdapat
(rerata) satu kelompok perbedaan mean antara dua
dibandingkan dengan mean kelompok populasi.
yang sudah ditetapkan peneliti
atau mean sudah diketahui di • Misalnya penelitian ingin
populasi. mengetahui apakah terdapat
perbedaan mean GDS dari
• Misalnya penelitian tentang kelompok pasien DM yang
mean gula darah sewaktu (GDS) diberi metformin dengan
pada pasien DM yang diberi kelompok pasien DM yang
metformin. Contoh pertanyaan diberi insulin?
penelitiannya adalah: apakah
mean GDS pasien DM yang
diberi metformin lebih dari 200
mg/dl?
Independent vs Paired T-Test
Independent T-test Paired T-test
• Prinsipnya adalah setiap • Prinsipnya adalah setiap
subjek hanya dilakukan 1 kali subjek dilakukan pengukuran
pengukuran. lebih dari 1 kali.

• Contoh: penelitian obat A dan • Contoh: penelitian obat A dan


obat B terhadap kadar obat B terhadap kadar
kolesterol. Subyek dibagi dua kolesterol. Subyek dibagi dua
kelompok, kelompok pertama kelompok, kelompok pertama
diberi obat A dan kelompok diberi obat A dan kelompok
kedua diberi obat B. setelah 3 kedua diberi obat B. Sebelum
bulan, tiap subyek diukur mulai penelitian, tiaap subyek
kadar kolesterolnya. diukur kadar kolesterolnya.
setelah 3 bulan, tiap subyek
diukur kadar kolesterolnya
lagi.
Korelasi Pearson vs Regresi Linier
• Penelitian yang meneliti hubungan antara dua
variabel, di mana kedua variabel bersifat
numerik, dapat menggunakan korelasi Pearson
dan regresi linier.

• Korelasi pearson digunakan untuk mengetahui


arah dan kekuatan hubungan antara kedua
variabel. Sedangkan regresi linier digunakan
untuk memprediksi nilai variabel dependen
melalui variabel independen (dinyatakan dalam
persamaan Y = a + bX).
Korelasi Pearson vs Regresi Linier
• Contohnya penelitian ingin mengetahui
hubungan berat badan dan tekanan darah.
– Hasil uji korelasi Pearson didapatkan r =+0,8, artinya
terdapat hubungan kuat bahwa semakin tinggi berat
badan, semakin tinggi pula tekanan darah. Sebaliknya,
bila didapatkan nilai r=-(0,8), artinya terdapat
hubungan kuat bahwa semakin tinggi berat badan,
semakin rendah tekanan darah.
– Bila menggunakan regresi linier, akan didapatkan
persamaan untuk memprediksi nilai tekanan darah
melalui berat badan. Misalnya tekanan darah sistolik =
20 + (2 x berat badan).
KOEFISIEN KORELASI
• Penelitian yang meneliti hubungan antara dua variabel numerik
menggunakan uji Korelasi Pearson. Hasil uji korelasi Pearson
dinyatakan dalam R (koefisen korelasi) sebagai berikut:

Prinsip:
Nilai koefisien korelasi berkisar antara 0 sampai 1. Nol berarti tidak ada korelasi sama sekali,
sedangkan satu menandakan korelasi sempurna. Koefisien korelasi yang semakin mendekati
angka 1, menunjukkan semakin kuat korelasi .
Contoh Uji Korelasi
• Misalnya pada penelitian yang ingin mengetahui
hubungan antara kolesterol total (mg/dL) dengan
tekanan darah sistolik (mmHg) didapatkan nilai R-nya
sebesar 0,8.

• Hal ini berarti terdapat korelasi kuat antara kolesterol


total dan tekanan darah sistolik (semakin tinggi
kolesterol, semakin tinggi tekanan darah sistolik).

• Namun apakah hasil tersebut bermakna secara statistik


atau hanya merupakan kebetulan saja (ada
kemungkinan tidak sesuai dengan kenyataan di
populasi)?  Harus diliihat nilai p-nya.
5. Pengendalian Variabel Perancu
Cara untuk menyingkirkan variabel perancu:
• Dalam desain penelitian:
– Restriksi
– Matching
– Randomisasi
• Dalam analisis hasil penelitian:
– Stratifikasi
– Analisis multivariat
Menyingkirkan Perancu dalam Desain
Penelitian (1)
• Restriksi
– Melakukan pembatasan kriteria subjek yang diteliti.
– Misalnya penelitian antara hubungan konsumsi kopi
dengan penyakit jantung koroner. Kebiasaan merokok
merupakan variabel perancu, maka subjek yang dipilih
adalah bukan perokok.
– Sangat efektif untuk menyingkirkan variabel perancu
– Kelemahan:
• Sulit memperoleh subjek penelitian (kebanyakan peminum
kopi juga perokok)
• Generalisasi menjadi terbatas (kebanyakan peminum kopi juga
perokok)
Menyingkirkan Perancu dalam Desain
Penelitian (2)
• Matching (individual)
– Menyamakan variabel perancu pada kedua kelompok yang
diteliti
– Misalnya pada contoh penelitian di atas, bila subyek pada
kelompok peminum kopi adalah perokok, maka untuk
kontrol dicari pasangan subjek yang tidak minum kopi tetapi
perokok
– Efektivitas menyingkirkan perancu sama dengan metode
restriksi
– Kelemahan:
• Sulit dilakukan jika terdapat banyak variabel perancu
• Risiko terjadi overmatching (matching variabel yang bukan variabel
perancu)
• Kemungkinan adanya variabel perancu cukup kuat yang tidak
terdeteksi
Menyingkirkan Perancu dalam Desain
Penelitian (3)
• Randomisasi
– Dilakukan pada uji klinis  dengan randomisasi, variabel
perancu terbagi seimbang di antara 2 kelompok
– Meliputi variabel perancu yang sudah diketahui maupun
belum.
– Syarat agar randomisasi dapat membagi seimbang
semua variabel pada kelompok:
• Prosedur randomisasi dilakukan dengan benar
• Jumlah subyek cukup besar
Menyingkirkan Perancu dalam Analisis
Hasil Penelitian (1)
• Stratifikasi
– Hasil penelitian distratifikasi berdasarkan faktor-faktor
risikonya
– Dilakukan penghitungan asosiasi penelitian (odds ratio
atau relative risk) berdasarkan data stratifikasi tersebut.
– Selanjutnya dilakukan analisis statistika Mantel-Haenszel
untuk menghitung asosiasi penelitian setelah
dibebaskan dari faktor perancu.
Menyingkirkan Perancu dalam Analisis
Hasil Penelitian (2)
Analisis Multivariat
• Mengetahui asosiasi antar variabel dengan
menyingkirkan variabel lain, termasuk variabel
perancu
• Analisis multivariat yang paling sering digunakan:
– Regresi multipel/linier
– Regresi logistik
6-7. INFORMED CONSENT
• Informed Consent adalah persetujuan tindakan
kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.

• Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan


Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2
menyebutkan dalam memberikan informasi kepada
pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat /
paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Yang Berhak Memberikan Informed Consent

• Pasien yang telah dewasa (≥21 tahun atau


sudah menikah, menurut KUHP) dan dalam
keadaan sadar.
• Bila tidak memenuhi syarat di atas, dapat
diwakilkan oleh keluarga/ wali dengan urutan:
– Suami/ istri
– Orang tua (pada pasien anak)
– Anak kandung (bila anak kandung sudah dewasa)
– Saudara kandung
Tujuan Informed Consent
• Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap
tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan
secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang
dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
• Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap
suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur
medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko

( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )


• Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat
digolongkan sebagai tindakan melakukan
penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 (trespass,
battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes
No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan
tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik
kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan
tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis
oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

• Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi


sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran
adalah:
– Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana
dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
– Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak
bisa menghadapi situasi dirinya.
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS
• Persetujuan tindakan medis secara praktis
dibagi menjadi 2:
Implied consent Pasien tidak menyatakan persetujuan baik secara tertulis maupun
lisan, namun dari tingkah lakunya menyatakan persetujuannya.
Contoh: pasien membuka baju untuk diperiksa, pasien
mengulurkan lengan untuk diambil sampel darah.

Expressed Persetujuan dinyatakan secara lisan atau tertulis. Khusus setiap


consent tindakan yang mengandung risiko tinggi, harus diberikan
persetujuan tertulis oleh pasien atau yang berhak mewakili (sesuai
UU No.29 tahun 2004 pasal 45)

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyelidikan,


A. Munim Idries, 2013
Jenis Consent Lainnya
JENIS
PENJELASAN
CONSENT
Consent yang diberikan pada pasien secara tertulis,
Informed consent yang ditandatangani langsung oleh pasien yang
berangkutan.

Consent yang diberikan oleh wali pasien (orangtua,


suami/istri, anak, saudara kandungnya dsb) karena
Proxy consent
pasien tidak kompeten untuk memberikan consent
(misalnya pada pasien anak).

Pasien tidak dapat memberikan consent, namun


diasumsikan bahwa bila pasien sadar, ia akan setuju
Presumed
dengan tindakan medis yang diambil. Consent jenis ini
consent
biasanya dilakukan pada kondisi kegawatdaruratan atau
pada donor organ dari cadaver.
Appelbaum PS. Assessment of patient’s competence to consent to treatment. New England Journal of Medicine. 2007; 357: 1834-
1840.
8. PELANGGARAN DALAM PELAYANAN
KEDOKTERAN

• Pelanggaran dapat berupa:


– Pelanggaran etik
– Pelanggaran disiplin
– Pelanggaran hukum (pidana dan perdata)
Pelanggaran Etik
• Dasar: Kode Etik Dokter Indonesia (KODEKI), yang berisi kewajiban
umum, kewajiban terhadap pasien, dan kewajiban terhadap teman
sejawat.

• Alur: Laporan dari institusi pelayanan  komite etik di institusi


pelayanan  MKEK  ditentukan sanksi ringan/ sedang/ berat

• Sanksi dapat berupa : Penasehatan, peringatan lisan, peringatan


tertulis, pembinaan perilaku,reschooling (pendidikan/pelatihan
ulang), atau pemecatan sementara sebagai anggota IDI yang diikuti
dengan mengajukan saran tertulis kepada kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota untuk mencabut izin praktek sementara.

PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA LAKSANA KERJA MAJELIS KEHORMATAN ETIK KEDOKTERAN, IDI, 2008
Intisari KODEKI
KEWAJIBAN UMUM KEWAJIBAN THD PASIEN KEWAJIBAN THD DIRI SENDIRI & TS

menjunjung tinggi, menghayati dan ..wajib merujuk jika tidak setiap dokter harus memelihara
mengamalkan sumpah dokter (pasal mampu, atas persetujuan kesehatannya supaya dapat
1) pasien(pasal 14) bekerja dengan baik (pasal 20)

Seorang dokter wajib selalu setiap dokter wajib merahasiakan setiap dokter harus senantiasa
melakukan pengambilan keputusan segala sesuatu yang diketahuinya mengikuti perkembangan ilmu
profesional secara independen, dan tentang seorang pasien , bahkan pengetahuan dan teknologi
mempertahankan perilaku juga setelah pasien itu meninggal kedokteran/kesehatan (psl 21)
profesional dalam ukuran yang dunia (pasal 16)
tertinggi. (pasal 2) setiap dokter memperlakukan
setiap dokter wajib melakukan teman sejawat nya sebagaimana
dalam melakukan pekerjaannya pertolongan darurat sbg suatu ia sendiri ingin diperlakukan
seorang dokter tidak boleh tugas perikemanusiaan, kecuali (pasal 18)
dipengaruhi oleh sesuatu yang bila ia yakin ada orang lain
mengakibatkan hilangnya bersedia dan mampu
kebebasan & kemandirian profesi memberikannya (pasal 17)
(pasal 3)

seorang dokter hanya memberi


surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya
(pasal7)
KODEKI Pasal 3: Kemandirian Profesi
• “Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi.”
Cakupan pasal:
• Dokter memiliki moral dan tanggung jawab untuk mencegah pihak
manapun yang bermaksud melanggar hukum dan/atau etika
melalui pekerjaan kedokteran.
• Dokter dilarang untuk:
– Memberikan obat/alat kesehatan/anjuran/menerapkan ilmu yang belum
berdasarkan bukti ilmiah
– Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan
farmasi/vaksin/makanan/alat kesehatan yang dapat menurunkan
kepercayaan masyarakat/martabat profesi kedokteran
– Melibatkan diri dalam segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk
mempromosikan dirinya
– Melakukan upaya diagnostik, terapi/tindakan yang menyimpang
– Menerima pemberian imbalan jasa untuk pengiriman/rujukan pasien ke
dokter atau fasyankes lainnya
KODEKI Pasal 3: Kemandirian Profesi (cont)
• Wajib menolak pemberian apapun bila dikaitkan/diduga dikaitkan
dengan kapasitas profesionalnya dalam meresepkan
obat/alat/produk kesehatan tertentu
• Dokter yang bekerja pada industri farmasi/alat/produk kesehatan
wajib menjelaskan status pekerjaannya bila ia memaparkan
produk tsb kepada dokter/masyarakat awam
• Dilarang mengikatkan diri untuk promosi/peresepan produk
tertentu pada temu ilmiah
• Dapat menerima bantuan dari pihak sponsor untuk keikutsertaan
dalam temu ilmiah yang sewajarnya sesuai kode etik masing-
masing.
• Dilarang menyalahgunakan hubungan profesionalnya terhadap
pasien dan/atau keluarganya demi keuntungan pribadi
• Dilarang menerima bantuan apapun dari perusahaan yang produk
barang/jasanya bertentangan dengan prinsip kesehatan (eg rokok,
minum beralkohol, etc)
• Pemberian beasiswa untuk peserta didik kedokteran wajib
disalurkan melalui institusi pendidikan kedokterannya.
KODEKI Pasal 3: Kemandirian Profesi (cont)
• Tidak memenangkan persaingan bisnis secara melanggar
hukum. Dalam berbisnis, wajib untuk:
– Bukan di bidang yang bertentangan dengan profesi kedokteran
– Tidak mempromosikan nama, jenis keahlian, dan pelayanan
praktek pribadinya
• Wajib mendukung program anti KKN
• Bertindak patut, teliti dan hati-hati agar kepentingan finansial
tidak mempengaruhi diri dalam menangani pasien
• Tidak menarik honorarium sejumlah yang tidak pantas dan
bertentangan dengan rasa perikemanusiaan
• Mengkomunikasikan secara jujur honorarium dan/atau jasa
mediknya kepada pasien agar tidak terjadi aduan menerapkan
honorarium di luar kemampuan pasien/keluarganya.
Pelanggaran Disiplin
• Pelanggaran terhadap standar profesi
kedokteran.

• Alur: delik aduan  MKDKI  sanksi.

• Sanksi Disiplin (Pasal 69 ayat 3, UUPK):


1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan kedokteran
Pelanggaran Hukum
• Dokter adalah bagian dari komunitas (publik)
sehingga berlaku kepadanya HUKUM PUBLIK.

• Hukum publik dapat berupa pidana atau


perdata.
Sanksi Pidana dalam UU No.29 Th 2004 Tentang
Praktik Kedokteran
• Pasal 75  Praktik tanpa STR
• Pasal 76  praktik tanpa SIP
• Pasal 77  menggunakan gelar seolah-olah
dr/drg yang memiliki STR
• Pasal 79  tidak memasang papan praktik,
tidak membuat rekam medik, tidak sesuai
standar profesi (rasional,merujuk,dll)
• Pasal 80  mempekerjakan dr/drg tanpa STR
& SIP
Sanksi Perdata Menurut KUH Perdata
• Wan Prestasi, jika hubungan yuridis dokter-pasien adalah perjanjian
membawa hasil (resultaatverbintenis) dengan memakai pasal 1239 KUH
Perdata,

• Perbuatan melawan hukum, jika hubungan yuridis dokter-pasien adalah


perjanjian memasang tekad (inspanningsverbintenissen) atau perjanjian
teraupetik dengan memakai pasal 1365 KUH Perdata.

• Melalaikan pekerjaan sebagai penanggungjawab. Artinya, dokter


bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuat bawahannya (perawat,
paramedis) yang secara langsung diawasinya dalam melaksanakan
perintah atau petunjuk dokter. Bawahan dokter tersebut merupakan
perpanjangan tangan dokter (verlengende arm van de geneesher) dalam
melakukan tindakan medik. Pasal yang digunakan adalah pasal 1367 ayat
(3) KUH Perdata,
Etik Murni dan Etikolegal
Pelanggaran Etik Murni Pelanggaran Etikolegal
• Menarik imbalan jasa yang tidak wajar • Pelayanan kedokteran di bawah
dari pasien atau menarik imbalan jasa
dari sejawat dan keluarganya standar
• Mengambil alih pasien tanpa • Menerbitkan surat keterangan
persetujuan sejawatnya
• Memuji diri sendiri di depan pasien, palsu
keluarga atau masyarakat
• Melakukan tindakan medik yang
• Pelayanan kedokteran yang
diskriminatif bertentangan dengan hukum
• Kolusi dengan perusahaan farmasi • Melakukan tindakan medik
atau apotik
• Tidak mengikuti pendidikan tanpa indikasi
kedokteran berkesinambungan • Pelecehan seksual
• Dokter mengabaikan kesehatannya
sendiri • Membocorkan rahasia pasien
9. CADAVERIC SPASM
• Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu keadaan dimana
terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-kadang pada seluruh
otot, segera setelah terjadi kematian somatis dan tanpa melalui relaksasi
primer.

• Berhubungan dengan kehabisan cadangan glikogen dan ATO yang bersifat


setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat
sesaat sebelum meninggal

• Dapat terjadi pada semua otot di tubuh akan tetapi biasanya pada grup –
grup otot tertentu, misalnya otot lengan atas.

• Kepentingan medikolegal adalah menunjukan sikap terakhir masa


hidupnya, misalnya tangan menggenggam erat benda yang diraihnya pada
kasus tenggelam ; terjadi sesaat setelah kematian, sebelum onset normal
dari rigor mortis.
Rigor mortis atau kaku mayat

• terjadi akibat hilangnya ATP.


• Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin
bertambah hingga mencapai maksimal pada 12 jam
postmortem.
• Kemudian dipertahankan selama 12 jam, setelah itu akan
berangsur-angsur menghilang sesuai dengan kemunculannya.
• Makin tinggi suhu tubuh makin cepat terjadi kaku jenazah.
• Rigor mortis diperiksa dengan cara menggerakkan sendi fleksi
dan antefleksi pada seluruh persendian tubuh.
Rigor mortis atau kaku mayat

• Rigor mortis disebabkan oleh habisnya glikogen pada otot untuk


mengubah ADP menjadi ATP.

• Otot kecil mengalami rigor mortis lebih dahulu dibandingkan yang


besar karena berbanding lurus dengan persediaan glikogennya.

• Relaksasi sekunder terjadi setelah rigor mortis ini berakhir akibat


dari proses degenerasi dan pembusukan.

• Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kaku mayat antara lain


persediaan glikogen, kegiatan otot sebelum kematian, suhu udara
sekitarnya, suhu tubuh, volume otot, dan umur.
Cadaveric Spasme atau Rigor Mortis?

• Bedakan rigor mortis dengan cadaveric


spasme.
– Rigor mortis baru terjadi pada 2-4 jam pertama,
terjadi secara komplit pada 6-12 jam paska
kematian,dan terutama terlihat jelas pada otot –
otot kecil.
– Cadavaric spasme segera setelah terjadi kematian
somatis. Dapat terjadi pada semua otot di tubuh
akan tetapi biasanya pada grup – grup otot
tertentu.
Rigor Mortis vs Cadaveric Spasm?
Character Rigor Mortis Cadaveric Spasm
Time Of Onset Within 1-2 hours of death At the time of Death

Occurrence Occurs in all death except Predisposed by sudden


burn violent death
Muscle Both Voluntary and Local Voluntary Muscle eg.
involuntary Muscle Hand with knife in suicide
Heart is the first to be
involved
Small muscle of digits develop
it last
Muscle Stiffening Moderate force required to Great Force required to break
break it
Primary flaccidity Occurs Does not occur
Mechanism of Production Known Still Obscure

Response of Electrical Stimuli Absent Present

Medico Legal Importance Gives idea about Time since Gives idea about Mode of
death Death
Bedanya dengan stiffening
• Heat stiffening : kekakuan otot akibat koagulasi protein
oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi
rapuh (mudah robek)
– dapat dijumpai pada korban mati terbakar
– pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek
sehingga menimbulkan flexi leher, siku, paha, dan lutut,
membentuk sikap petinju (pugilistic attitude)

• Cold stiffening : kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin,


sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan
sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot,
sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya
es dalam rongga sendi.
Thanatologi

Livor mortis Livor mortis lengkap


mulai muncul dan menetap

20 30 2 6 8 12 24 36
0 mnt mnt jam jam jam jam jam jam

Rigor mortis Pembus


Rigor mortis Pembusuk ukan
lengkap (8-10
mulai muncul an mulai tampak
jam)
tampak di di
caecum seluruh
tubuh

Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
10. LUKA TEMBAK

• Dalam memberikan pendapat atau kesimpulan dalam


visum et repertum, tidak dibenarkan menggunakan istilah
pistol atau revolver; oleh karena perkataan pistol
mengandung pengertian bahwa senjatanya termasuk
otomatis atau semi otomatis, sedangkan revolver berarti
anak peluru berada dalam silinder yang akan memutar jika
tembakan dilepaskan.

• Oleh karena dokter tidak melihat peristiwa


penembakannya, maka yang akan disampaikan adalah;
senjata api kaliber 0,38 engan alur ke kiri dan sebagainya.
Kelim pada Luka Tembak

• Kelim tato: akibat butir mesiu; gambaran bintik-


bintik hitam bercampur perdarahan, tidak dapat
dihapus dengan kain.
• Kelim jelaga: akibat asap; gambaran bintik-bintik
hitam yang dapat dihapus dengan kain.
• Kelim api: akibat pembakaran dari senjata; luka
bakar terlihat dari kulit dan rambut di sekitar luka
yang terbakar.
• Kelim lecet: akibat partikel logam; bentuknya luka
lecet atau luka terbuka yang dangkal
Luka Tembak Menempel Erat

• Luka simetris di tiap sisi


• Jejas laras jelas mengelilingi
lubang luka
• Tidak akan dijumpai kelim
jelaga atau kelim tattoo Jejas Laras (Sumber:
http://emedicine.medscape.com/article/197
5428-overview)

• Luka tembak tempel yang


terjadi di kepala memberikan
gambaran luka berbentuk
stelata (bintang)
(http://www.pathologyoutlines.com/to
pic/forensicsgunshotwounds.html)
Luka berbentuk stelata (Sumber: http://csi-
forensicfollies.blogspot.co.id/2013/04/blog-
post.html)
Luka Tembak Masuk vs Keluar

• Luka tembak masuk: pada tubuh korban tersebut akan


didapatkan perubahan yang diakibatkan oleh berbagai
unsur atau komponen yang keluar dari laras senjata api
tersebut, seperti anak peluru, butir-butir mesiu yang
tidak terbakar atau sebagian terbakar, asap atau jelaga,
api, partikel logam, minyak pada anak peluru.

• Luka tembak keluar: tidak adanya kelim lecet, kelim-


kelim lain juga tentu tidak ditemukan. Luka tembak
keluar pada umumnya lebih besar dari luka tembak
masuk.
TO 2
11. DESAIN PENELITIAN
Secara umum dibagi menjadi 2:
• DESKRIPTIF: memberi gambaran distribusi dan
frekuensi penyakit saja. Misalnya prevalensi
DM tipe 2 di DKI Jakarta, 10 penyakit
terbanyak di Puskesmas X.

• ANALITIK: mencari hubungan antara paparan


dengan penyakit. Misalnya penelitian
hubungan antara obesitas dengan DM tipe 2.
DESAIN PENELITIAN

STUDY
DESIGNS

Analytical Descriptive

Case report (E.g. Cholera)

Case series
Observational Experimental
Cross-sectional

1. Cross-sectional Clinical trial (parc vs. aspirin


in Foresterhill)
2. Cohort
3. Case-control Field trial (preventive
programmes )
4. Ecological
DESAIN PENELITIAN
Case report

Case series
Deskriptif
Memberi deskripsi Studi ekologi
tentang kejadian
penyakit
Cross
Desain studi
sectional

Observasional Hanya melakukan pengamatan

Analitik
Memberikan perlakuan kepada
Mencari hubungan antara Eksperimental subyek penelitian (misalnya obat)
suatu pajanan dengan
penyakit
Desain Penelitian Analitik
Prinsip Desain Studi Analitik
Observasional
Cross-sectional
– Pajanan/ faktor risiko dan outcome dinilai dalam waktu
yang bersamaan.

Cohort study
– Individu dengan pajanan/ faktor risiko diketahui, diikuti
sampai waktu tertentu, kemudian dinilai apakah outcome
terjadi atau tidak.

Case-control study
– Individu dengan outcome diketahui, kemudian digali
riwayat masa lalunya apakah memiliki pajanan/ faktor
risiko atau tidak.
Prinsip Desain Studi Analitik
Observasional

PAST PRESENT FUTURE


Time
Assess exposure
Cross -sectional study and outcome

Assess Known
Case -control study exposure outcome

Known Assess
Prospective cohort exposure outcome

Known Assess
Retrospective cohort exposure outcome
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan
ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun
• Bila menggunakan desain cross sectional, maka dalam
satu waktu peneliti mengumpulkan data semua anak
berusia 1-3 tahun dan ditanyakan apakah mendapat
ASI eksklusif dan berapa frekuensi diare selama ini
secara bersamaan.

• Bila menggunakan desain case control, dimulai dengan


peneliti menentukan subyek anak 1-3 tahun yang
pernah mengalami diare dengan yang tidak pernah
mengalami diare. Kemudian ibu diwawancara apakah
sebelumnya memberi ASI eksklusif atau tidak.
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan
ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun
• Bila menggunakan desain kohort (prospektif), maka dimulai
dengan peneliti mengumpulkan subyek penelitian berusia 6
bulan yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI
eksklusif. Kemudian, subyek tersebut diamati selama 1
tahun untuk dilihat apakah mengalami diare atau tidak.

• Bila menggunakan desain kohort (retrospektif), dari catatan


rekam medis RS tahun 2015 dimulai dengan dikumpulkan
data bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI
eksklusif. Kemudian rekam medis ditelusuri, dari tahun
2015-2016 apakah subyek pernah mengalami diare atau
tidak.
Prinsip
Kohort

• Studi kohort selalu dimulai dari subyek yang tidak sakit. Kelompok subyek
dibagi menjadi subyek yang terpajan dan tidak terpajan. Kemudian
dilakukan pengamatan sampai terjadinya penyakit atau sampai waktu
yang ditentukan.
Kohort Prospektif vs Retrospektif
• Baik kohort prospektif
maupun retrospektif selalu
dimulai dari menjadi subyek
yang tidak sakit.

• Kohort prospektif dimulai


saat ini dan diikuti ke depan
sampai terjadi penyakit.

• Pada kohort retrospektif,


peneliti “kembali ke masa
lalu” melalui rekam medik,
mencari subyek yang sehat
pada tahun tertentu
kemudian mengikuti
perkembangannya melalui
catatan rekam medik hingga
terjadinya penyakit.
KOHORT PROSPEKTIF vs
RETROSPEKTIF
PEMILIHAN SUBYEK PADA CASE
CONTROL VS KOHORT
• Pada desain
kohort, dimulai
dengan mencari
subyek yang
terpapar dan tidak
terpapar.

• Pada case control,


dimulai dengan
mencari subyek
yang mengalami
outcome dan yang
tidak mengallami
outcome.
Kohort Prospektif dan Retrospektif
• Prinsipnya, penelitian kohort selalu dimulai dari subyek
yang memiliki pajanan, dibandingkan dengan subyek
yang tidak memiliki pajanan. Kemudian subyek diikuti
sampai kurun waktu tertentu hingga ada/ tidak ada
outcome.

• Yang membedakan adalah:


– Pada kohort prospektif, penelitiannya dilakukan saat ini
(now) , diikuti sampai waktu yang ditentukan (future)
– Pada kohort restrospektif, peneliti mundur ke masa lalu
(past) melalui telusur rekam medis. Rekam medisnya
diikuti sampai waktu yang ditentukan untuk melihat ad
tidaknya outcome.
Desain Cross Sectional

KELEBIHAN: KELEMAHAN:
• Mengukur angka prevalensi • Sulit membuktikan
• Mudah dan cepat hubungan sebab-akibat,
• Sumber daya dan dana yang karena kedua variabel
efisien karena pengukuran paparan dan outcome
dilakukan dalam satu waktu direkam bersamaan.

• Kerjasama penelitian • Desain ini tidak efisien


(response rate) dengan untuk faktor paparan atau
desain ini umumnya tinggi. penyakit (outcome) yang
jarang terjadi.
Desain Case Control

KELEBIHAN: KEKURANGAN:
• Dapat membuktikan • Pengukuran variabel secara
hubungan sebab-akibat. retrospektif, sehingga
• Tidak menghadapi kendala rentan terhadap recall bias.
etik, seperti halnya • Kadang sulit untuk memilih
penelitian kohort dan subyek kontrol yang
eksperimental. memiliki karakter serupa
• Waktu tidak lama, dengan subyek kasus
dibandingkan desain kohort. (case)nya.
• Mengukur odds ratio (OR).
Desain Kohort
KELEBIHAN: KEKURANGAN:
• Mengukur angka insidens. • Memerlukan waktu penelitian
• Keseragaman observasi yang relative cukup lama.
terhadap faktor risiko dari • Memerlukan sarana dan
waktu ke waktu sampai terjadi prasarana serta pengolahan
outcome, sehingga merupakan data yang lebih rumit.
cara yang paling akurat untuk • Kemungkinan adanya subyek
membuktikan hubungan penelitian yang drop out/ loss
sebab-akibat. to follow up besar.
• Mengukur Relative Risk (RR). • Menyangkut masalah etika
karena faktor risiko dari
subyek yang diamati sampai
terjadinya efek, menimbulkan
ketidaknyamanan bagi subyek.
Pre and Post Design
• Studi quasi eksperimental, menilai subjek
penelitian sebelum dan sesudah diberikan
suatu perlakuan.
• Terdapat dua bentuk pre and post study:
– One group: hanya satu kelompok yang diteliti,
dibandingkan nilai kelompok tersebut sebelum
dan sesudah diberikan perlakuan.
– Two group: terdapat dua kelompok yang diamati,
satu kelompok diberi perlakuan, kelompok yang
lain tidak. Setelah itu, kelompok kembali diamati.
Analisis Statistik Multivariat
• Analisis multivariat
– analisis statistik untuk mengetahui variabel
independen/ variabel paparan yang paling berperan
dalam menyebabkan terjadinya outcome.

• Misalnya, penelitian ingin mengetahui faktor-


faktor yang berhubungan dengan BBLR
– Diteliti beberapa variabel yang diduga berhubungan
dengan BBLR, antara lain usia ibu, paritas, anemia ibu
hamil, dan tingkat pendidikan ibu.
– Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui di
antara variabel-variabel di atas, sebenarnya variabel
apa yang paling berhubungan dengan BBLR.
Macam-macam Analisis Multivariat
• Analisis multivariat ada banyak macam,
namun secara umum yang banyak digunakan
dalam penelitian kedokteran ada 3 macam
yaitu:
– Regresi Logistik
– Regresi Linier
– Regresi Cox
12. Soal
Kanker Hepar
Hasil alat skrining Positif Negatif Total
Positif 35 40 75
Negatif 25 70 95
Total 60 110

Untuk Spesifisitas, alat ini mendeteksi 70 orang negatif dari 110 orang yang
benar-benar tidak menderita kanker hepar, jadi jawabannya 70/110
UJI DIAGNOSTIK
SAKIT (+) SAKIT (-)
HASIL TEST (+) True Positive (TP) False Positive (FP)
HASIL TEST (-) False Negative (FN) True Negative (TN)

SENSITIVITAS =
Kemampuan tes untuk
mendeteksi orang yang sakit
TP
dengan benar. TP+FN
Kemampuan tes untuk TN
S P E S I F I S I TA S = mendeteksi orang yang tidak
sakit dengan benar. FP+TN
Kemampuan tes untuk TP + TN
AKURASI = mendeteksi dengan benar
dari seluruh populasi. Total
UJI DIAGNOSTIK
SAKIT (+) SAKIT (-)

HASIL TEST (+) True Positive (TP) False Positive (FP)

HASIL TEST (-) False Negative (FN) True Negative (TN)

POSITIVE Persentase pasien TP


PREDICTIVE VALUE dengan hasil test (+)
= yang benar-benar sakit TP+FP

NEGATIVE Persentase pasien


TN
PREDICTIVE VALUE dengan hasil test(-) yang
= benar-benar tidak sakit FN+TN
POPULATION
TEST WITH DISEASE WITHOUT DISEASE

Have Disease No Disease but


Have Positive Test Have Positive Test
POSITIVE
= TRUE POSITIVES =FALSE POSITIVES
(TP) (FP)

Have Disease No Disease but


Have Negative Test Have Negative Test
NEGATIVE
= FALSE NEGATIVES =TRUE NEGATIVES
(FN) TN)

TP TN
SENSITIVITAS =
TP+FN SPESIFISITAS =
TN+FP
Sensitivitas dan Spesifitas
• Konsep sensitifitas dan spesifisitas dari tes skrining dengan hasil tes
yang bersifat dikotomus :

• Contoh pada kalkulasi dibawah ini :


• Dari 100 orang sakit, 80 diidentifikasikan secara benar (hasil tes
positif ) oleh tes skrining
• Sensitifitas dari tes adalah 80%.
• Disini 20 orang tidak dapat diidentifikasikan dengan benar oleh tes skrining
tersebut.

• Dari 900 orang yang tidak sakit, 800 diidentifikasikan secara benar
(hasil tes negatif) oleh tes skrining
• Spesifisitas dari tes adalah 800/900 atau 89%.
• Disini ada 100 orang yang tidak dapat diidentifikasikan dengan benar oleh tes
skrining tersebut
PREDICTIVE VALUE
• Untuk menilai efficacy dari suatu skrining test,
diukur predictive value.

• Definisi: probabilitas sakit terhadap Suatu


hasil pemeriksaan test

• Terdiri dari positive predictive value (ppv)


dan negative predictive value (npv).
Predictive Value of Tests
Test D+ D− Total
T+ TP FP TP+FP
T− FN TN FN+TN
Total TP+FN FP+TN N

• Predictive value positive (PVP) ≡ proportion of


positive tests that are actually cases
= TP / (TP+FP)
• Predictive value negative (PVN) ≡ proportion of
negative tests that are actually non-cases
= TN / (TN+FN)
Gerstman Chapter 4 84
SENSITIVITAS, SPESIFISITAS, PPV, NPV
Rule of thumb:
• Sensitivitas dan spesifisitas TIDAK DIPENGARUHI oleh
prevalensi penyakit di wilayah tempat alat diagnostik
digunakan.
• Sedangkan, PPV dan NPV DIPENGARUHI oleh
prevalensi penyakit di wilayah tempat alat diagnostik
digunakan.
– Pada tempat dengan prevalensi tinggi, PPV akan semakin
tinggi. Pada tempat dengan prevalensi rendah, PPV akan
rendah.
– Sebaliknya, NPV akan semakin rendah pada tempat
dengan prevalensi tinggi. Dan NPV akan tinggi pada tempat
dengan prevalensi rendah.
13. PELAPORAN KLB

Alur pelaporan KLB adalah sebagai berikut:

Dinkes Dinkes Kementerian


Masyarakat Puskesmas
Kabupaten Propinsi Kesehatan
Laporan Puskesmas ke Dinas Kesehatan
Laporan W1(Laporan Wabah) Laporan W2
• Isi Laporan: Tempat KLB, Jumlah • Laporan mingguan KLB.
P/M, Gejala/tanda-tanda. • Isi laporan : jumlah penderita dan
• Dalam jangka waktu 24 jam kematian PMTKLB selama satu
setelah mengetahui kepastian minggu yang tercatat di
(hasil pengecekan lapangan) Puskesmas.
adanya tersangka KLB. • Pembuatan laporan setiap
• Selain melalui pos, penyampaian minggu.
isi laporan dapat dilakukan • Pengiriman laporan : setiap
dengan sarana komunikasi cepat Senin/Selasa.
lainnya, sesuai situasi dan kondisi • Pembuat laporan : Kepala
yang ada. Puskesmas.
• Pembuat laporan: Kepala
Puskesmas.
Wabah & KLB
• Upaya penanggulangan wabah:
– penyelidikan epidemiologis;
– pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi
penderita, termasuk tindakan karantina;
– pencegahan dan pengebalan;
– pemusnahan penyebab penyakit;
– penanganan jenazah akibat wabah;
– penyuluhan kepada masyarakat;

Permenkes RI No.1401/MENKES/PER/X/2010
Penanggulangan Penyakit Menular
• Upaya pencegahan, pengendalian, dan
pemberantasan dalam penanggulangan penyakit
menular dilakukan melalui kegiatan:
– Promosi kesehatan
– Surveilans kesehatan
– Pengendalian faktor risiko
– Penemuan kasus
– Penanganan kasus
– Pemberian kekebalan (imunisasi)
– Pemberian obat pencegahan massal
– Kegiatan lain yang ditetapkan Menteri Kesehatan

PMK No. 82 tentang Penanggulangan Penyakit Menular


Penanggulangan Penyakit Menular
• Untuk menghadapi penyakit menular
berpotensi wabah, penanggulangan yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
– Penemuan penderita di fasyankes
– Penyelidikan epidemiologi
– Pengobatan massal
– Pemberian kekebalan massal
– Intensifikasi pengendalian faktor risiko
PENANGGULANGAN KLB/ WABAH

Permenkes No.1501/MENKES/PER/X/2010
14. UKURAN ASOSIASI DALAM PENELITIAN

• Digunakan pada studi analitik (cross sectional,


case control, kohort, studi eksperimental).

• Untuk mengukur kekuatan hubungan sebab-akibat


antara variabel paparan dengan variabel outcome.

• Menunjukkan bagaimana suatu kelompok lebih


rentan mengalami sakit dibanding kelompok
lainnya.
Ukuran Asosiasi yang Sering Digunakan

– Relative risk (RR) ukuran asosiasi dari studi kohort


– Odds ratio (OR)  ukuran asosiasi dari studi case
control
– Prevalence ratio (PR) & prevalence odds ratio (POR)
 ukuran asosiasi dari studi cross sectional
Tabel 2x2
Cara yang paling umum dan sederhana untuk
menghitung ukuran asosiasi.

Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d
Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d

Relative risk (RR):


insidens penyakit pada kelompok yang terpapar (a/(a+b))
dibandingkan dengan insidens penyakit pada kelompok yang tidak
terpapar (c/(c+d))

Rumus RR: a/(a+b)


c/(c+d)
Outcome
Exposure Yes No Total
Yes a b a+b
No c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d

Odds ratio (OR):


Odds penyakit pada kelompok terpapar (a/b) dibandingkan dengan
odds penyakit pada kelompok tidak terpapar (c/d)

Rumus OR: a/b = ad


c/d bc
Outcome

Exposure Yes No Total

Yes a b a+b

No c d c+d

Total a+c b+d a+b+c+d

Rumus prevalence ratio (PR) sama dengan rumus RR, yaitu:


PR: a/(a+b)
c/(c+d)

Rumus prevalence odds ratio (POR) sama dengan rumus OR, yaitu:
POR: ad
bc
Interpretasi RR/OR/PR

RR/OR/PR= 1 menunjukkan tidak ada hubungan antara paparan


dengan outcome.

RR/OR/PR lebih dari 1 menunjukkan asosiasi positif (semakin tinggi


paparan, semakin tinggi risiko mengalami penyakit)  paparan
yang diteliti merupakan FAKTOR RISIKO suatu penyakit.

RR/OR/PR kurang dari 1 menunjukkan bahwa paparan bersifat


protektif terhadap terjadinya outcome(semakin tinggi paparan,
semakin rendah risiko mengalami penyakit)  paparan yang diteliti
merupakan FAKTOR PROTEKTIF terjadinya suatu penyakit.
Interpretasi RR/OR/PR

• RR = 1 , faktor risiko bersifat netral; risiko kelompok terpajan


sama dengan kelompok tidak terpajan.
• RR > 1 ; Confident Interval (CI) > 1 , faktor risiko menyebabkan
sakit
• RR < 1 ; Confdient Interval (CI) < 1 , faktor risiko mencegah sakit

Jika Confidence Interval tidak melewati


Line of no difference (RR = 1) seperti
kedua penelitian ini
Maka RR penelitian ini bermakna secara
statistik

Jika Confidence Interval melewati


Line of no difference (RR = 1) seperti
penelitian ini, Maka RR penelitian ini
RR = 1 tidak bermakna secara statistik
15. Suspect VS Probable VS
Confirmed Case
• Definisi suatu suspect, probable dan confirmed
bervariasi bedasarkan etiologi yang mendasari
• Definisi secara umum:
– Suspect case  manifestasi klinis (+), namun tidak
ada pemeriksaan penunjang
– Probable case  manifestasi klinis (+), hasil
pemeriksaan penunjang mengarahkan ke diagnosis
namum tidak mengkonfirmasi etiologi
– Confirmed case  manifestasi klinis (+), pemeriksaan
penunjang mengkonfirmasi etiologi
DEFINISI KASUS PADA MERS-COV
Patients under investigation (PUI)
Clinical Features Epidemiologic Risk
Severe illness and A history of travel from countries in or near the Arabian
1 2
Fever and pneumonia or acute respiratory distress Peninsula within 14 days before symptom onset, or close
3 1
syndrome (based on clinical or radiological evidence) contact with a symptomatic traveler who developed fever and acute
respiratory illness (not necessarily pneumonia) within 14 days after
2
traveling from countries in or near the Arabian Peninsula .
– or –
A member of a cluster of patients with severe acute respiratory illness
1
(e.g., fever and pneumonia requiring hospitalization) of unknown
etiology in which MERS-CoV is being evaluated, in consultation with
state and local health departments in the US.

Milder illness and A history of being in a healthcare facility (as a patient, worker, or
1
Fever and symptoms of respiratory illness (not necessarily visitor) within 14 days before symptom onset in a country or territory
2
pneumonia; e.g., cough, shortness of breath) in or near the Arabian Peninsula in which recent healthcare-
associated cases of MERS have been identified.

1 3
Fever or symptoms of respiratory illness (not necessarily and Close contact with a confirmed MERS case while the case was ill.
pneumonia; e.g., cough, shortness of breath)
Confirmed Case:
• A confirmed case is a person with laboratory confirmation of MERS-
CoV infection. Confirmatory laboratory testing requires a positive
PCR on at least two specific genomic targets or a single positive
target with sequencing on a second.

Probable Case:
• A probable case is a PUI with absent or inconclusive laboratory
results for MERS-CoV infection who is a close contact3 of a
laboratory-confirmed MERS-CoV case. Examples of laboratory
results that may be considered inconclusive include a positive test
on a single PCR target, a positive test with an assay that has limited
performance data available, or a negative test on an inadequate
specimen.

Non-case:
• Any suspected or probable case with a negative laboratory result.
16. Memahami Nilai p dan alpha
dengan lebih sederhana
• Nilai α merupakan nilai yang • Nilai p merupakan hasil uji
ditetapkan oleh peneliti statistik dari penelitian yang
untuk menunjukkan menunjukkan seberapa
seberapa besar besar kemungkinan hasil
kemungkinan hasil penelitian tersebut salah.
penelitian yang didapat
salah. • Misalnya nilai p=0,01, maka
secara sederhana hasil uji
• Umumnya peneliti sepakat statistik menunjukkan
mentolerir nilai α sebesar kemungkinan hasil
0,05. Artinya kemungkinan penelitian salah sebesar 1%.
hasil penelitian salah
sebesar 5%. Dengan kata • Hasil penelitian dikatakan
lain, peneliti meyakini hasil bermakna secara statistik
penelitiannya 95% valid. bila nilai p lebih kecil dari
nilai α yang ditetapkan.
17. Langkah Menentukan Uji Statistik
• Tentukan sifat variabel yang diuji (numerik atau kategorik)

• Bila ada variabel yang bersifat numerik, tentukan apakah


variabel tersebut terdistribusi normal atau tidak. Atau bila
kedua variabel bersifat kategorik, tentukan apakah
memenuhi persyaratan uji chi square. Untuk mengerjakan
soal UKDI, bila tidak disebutkan, maka diasumsikan bahwa
variabel tersebut terdistribusi normal atau memenuhi
persyaratan chi square.

• Lihat tabel untuk menentukan uji hipotesis apa yang sesuai.


Uji Parametrik (2 kategorik VS numerik)

• z-test is a statistical test to help determine the probability that new data will be near the
point for which a score was calculated.
• A z-score is calculated with population parameters such as “population mean” and
“population standard deviation” and is used to validate a hypothesis that the sample drawn
belongs to the same population.
• A t-test is used when the population parameters (population mean and population
standard deviation) are not known.
One Sample vs Two Sample T-Test
One sample T-test Two Sample T-test
• Mengetahui perbedaan mean • Mengetahui apakah terdapat
(rerata) satu kelompok perbedaan mean antara dua
dibandingkan dengan mean kelompok populasi.
yang sudah ditetapkan peneliti
atau mean sudah diketahui di • Misalnya penelitian ingin
populasi. mengetahui apakah terdapat
perbedaan mean GDS dari
• Misalnya penelitian tentang kelompok pasien DM yang
mean gula darah sewaktu (GDS) diberi metformin dengan
pada pasien DM yang diberi kelompok pasien DM yang
metformin. Contoh pertanyaan diberi insulin?
penelitiannya adalah: apakah
mean GDS pasien DM yang
diberi metformin lebih dari 200
mg/dl?
Independent vs Paired T-Test
Independent T-test Paired T-test
• Prinsipnya adalah setiap • Prinsipnya adalah setiap
subjek hanya dilakukan 1 kali subjek dilakukan pengukuran
pengukuran. lebih dari 1 kali.

• Contoh: penelitian obat A dan • Contoh: penelitian obat A dan


obat B terhadap kadar obat B terhadap kadar
kolesterol. Subyek dibagi dua kolesterol. Subyek dibagi dua
kelompok, kelompok pertama kelompok, kelompok pertama
diberi obat A dan kelompok diberi obat A dan kelompok
kedua diberi obat B. setelah 3 kedua diberi obat B. Sebelum
bulan, tiap subyek diukur mulai penelitian, tiaap subyek
kadar kolesterolnya. diukur kadar kolesterolnya.
setelah 3 bulan, tiap subyek
diukur kadar kolesterolnya
lagi.
Normality Test
Kolmogorov Smirnov Shapiro Wilk
• Null hypothesis dari tes ini • Shapiro Wilk lebih superior
adalah data sampel berasal dalam mendeteksi distribusi
dari populasi dengan distribusi sampel
yang identical atau sama. • Null hypothesis dari Shapiro
(distribusi normal) Wilk adalah populasi sampel
• Jadi jika p value lebih kecil dari terdistribusi secara normal,
nilai alfa yang kita tentukan • jadi jika p value lebih kecil
(biasa 0.05) maka null daripada nilai alfa yang kita
hypothesis ditolak dan data tentukan (biasa 0.05) maka
yang diuji ini tidak memiliki hipotesis null ditolak dan data
distribusi yang normal. yang diuji ini tidak terdistribusi
secara normal dan sebaliknya.
TABEL UJI HIPOTESIS
VARIABEL
U J I S TAT I S T I K U J I A LT E R N AT I F
INDEPENDEN DEPENDEN

Fisher (digunakan untuk tabel


Kategorik Kategorik Chi square 2x2)*
Kolmogorov-Smirnov
(digunakan untuk tabel bxk)*

Kategorik T-test independen Mann-Whitney**


Numerik
(2 kategori)
T-test berpasangan Wilcoxon**

One Way Anova (tdk


Kruskal Wallis**
Kategorik berpasangan)
Numerik
(>2 kategori) Repeated Anova
Friedman**
(berpasangan)
Numerik Numerik Korelasi Pearson Korelasi Spearman**
Regresi Linier
Keterangan:
* : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi
**: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
18. Jenis Data
VARIABEL ORDINAL
• Data yang diperoleh dengan cara
VARIABEL NOMINAL kategorisasi atau klasifikasi, tetapi
• Data yang diperoleh dengan cara diantara data tersebut terdapat
kategorisasi atau klasifikasi. hubungan.
• Posisi data setara. Misalnya: jenis • Posisi data tidak setara. Misalnya
pekerjaan. tingkat kepuasan pelanggan, dibagi
• Tidak bisa dilakukan operasi matematika menjadi tidak puas, puas, dan sangat
(X, +, - atau : ) puas.
• Tidak bisa dilakukan operasi
matematika (X, +, - atau : )

VARIABEL INTERVAL
• data yang diperoleh dengan cara VARIABEL RASIO
pengukuran, dimana jarak antar dua titik • data yang diperoleh dengan cara
pada skala, sudah diketahui. Misalnya pengukuran, dimana jarak antar dua titik
variabel suhu tubuh dalam Celcius, pada skala, sudah diketahui.
sudah diketahui bahwa jaraknya antara • Ada angka nol mutlak. Misalnya tinggi
0-100 derajat Celcius. badan, berat badan.
• Tidak ada angka nol mutlak • Bisa dilakukan operasi matematika.
• Bisa dilakukan operasi matematika.
19. Prinsip BPJS
(UU No. 24 Thn 2011 pasal 4)
Kegotong- • prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban
biaya jaminan sosial  kewajiban setiap peserta membayar
royongan iuran sesuai dengan tingkat gaji/tingkat penghasilan.

• prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan


Nirlaba hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-
besarnya dari seluruh peserta.

• prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan


Keterbukaan jelas bagi setiap peserta.

Kehati-hatian • prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib.
Prinsip BPJS
(UU No. 24 Thn 2011 pasal 4)
• prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat
Akuntabilitas
dan dapat dipertanggungjawabkan.

• prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta


Portabilitas berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

• prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan


Kepesertaan Bersifat Wajib
sosial.

• iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta


Dana Amanat untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan
sosial.

Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial


dipergunakan seluruhnya untuk • hasil berupa deviden dari pemegang saham yang dikembalikan untuk
pengembangan program dan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
sebesar besar kepentingan peserta
20. KEPESERTAAN BPJS KESEHATAN
PESERTA PBI
• Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah peserta
Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan
orang tidak mampu sebagaimana
diamanatkan UU SJSN yang iurannya dibayari
Pemerintah sebagai peserta program Jaminan
Kesehatan. Peserta PBI adalah fakir miskin
yang ditetapkan oleh Pemerintah dan diatur
melalui Peraturan Pemerintah.

http://www.jkn.kemkes.go.id/detailfaq.php?id=9
Siapa Yang Dianggap Miskin dan Tidak
Mampu? (9 dari 14 harus dipenuhi)
• Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang
• Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
• Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
• Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.
• Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
• Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.
• Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah
• Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu.
• Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
• Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari
• Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik
• Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500m2, buruh tani, nelayan, buruh
bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan
• Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat SD.
• Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/
non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

http://www.pasienbpjs.com/2016/04/cara-menjadi-peserta-bpjs-pbi.html
HAK KELAS PESERTA BPJS
• Dibagi menjadi kelas I, II, III.

• Tidak ada peserta BPJS kesehatan yang berhak


atas kelas VIP.
– Peserta yang ingin dirawat di kelas VIP harus iur
biaya (membayar selisih biaya kamar rawat inap
VIP dengan biaya kamar yang menjadi hak
kelasnya).
– Peserta PBI tidak boleh naik kelas. Jika tetap naik
kelas, hak PBInya akan gugur.
HAK KELAS PESERTA BPJS
KELAS 1
1. Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan
ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;

2. Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil
golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;

3. Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya;

4. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan;

5. Peserta Pekerja Penerima Upah selain di atas (no 1-4) dan Pegawai Pemerintah Non
Pegawai Negeri dengan Gaji atau Upah di atas Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah) sampai
dengan Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah); dan

6. Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja yang membayar iuran
untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I

https://www.panduanbpjs.com/penjelasan-ruang-perawatan-masing-masing-kelas-bpjs-kesehatan/
HAK KELAS PESERTA BPJS
KELAS 2
1. Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan
golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

2. Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan
ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

3. Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil
golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

4. Peserta Pekerja Penerima Upah selain pada poin 1 sampai dengan 3 di atas dan Pegawai
Pemerintah Non Pegawai Negeri dengan Gaji atau Upah sampai dengan Rp 4.000.000,00
(empat juta rupiah); dan

5. Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja yang membayar iuran
untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II.

https://www.panduanbpjs.com/penjelasan-ruang-perawatan-masing-masing-kelas-bpjs-kesehatan/
HAK KELAS PESERTA BPJS
KELAS 3
Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah;
dan

Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja yang membayar iuran
untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III

https://www.panduanbpjs.com/penjelasan-ruang-perawatan-masing-masing-kelas-bpjs-kesehatan/
Golongan Ruang PNS
21. PELAYANAN YANG DIJAMIN BPJS
KESEHATAN

Di Faskes Primer Di Rumah Sakit


• Pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter
• Pelayanan promotif dan preventif; spesialis dan subspesialis;
• Pemeriksaan, pengobatan, dan • Tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun
non bedah sesuai dengan indikasi medis;
konsultasi medis; • Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
• Tindakan medis non spesialistik, • Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai
dengan indikasi medis;
baik operatif maupun non operatif; • Rehabilitasi medis;
• Pelayanan obat dan bahan medis • Pelayanan darah;
habis pakai; • Pelayanan kedokteran forensik klinik;
• Pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal
• Transfusi darah sesuai dengan setelah dirawat inap di fasilitas kesehatan yang
kebutuhan medis; bekerjasama dengan bpjs kesehatan, berupa
pemulasaran jenazah tidak termasuk peti mati dan
• Pemeriksaan penunjang diagnostik mobil jenazah;
laboratorium tingkat pratama; dan • Perawatan inap non intensif; dan
• Perawatan inap di ruang intensif.
• Rawat Inap Tingkat Pertama sesuai
dengan indikasi medis.

Perpres 12 Tahun 2013, Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014


Pelayanan Yang Tidak Dijamin Oleh
BPJS Kesehatan
• Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui • Gangguan kesehatan/penyakit akibat
prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan yang ketergantungan obat dan/ atau alkohol;
berlaku; • Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti
• Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang
kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS membahayakan diri sendiri;
Kesehatan, kecuali dalam keadaan darurat; • Pengobatan komplementer, alternatif dan
• Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh tradisional, termasuk akupuntur, shin she,
program jaminan kecelakaan kerja terhadap chiropractic, yang belum dinyatakan efektif
penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau berdasarkan penilaian teknologi kesehatan
hubungan kerja sampai nilai yang ditanggung oleh (health technology assessment);
program jaminan kecelakaan kerja; • Pengobatan dan tindakan medis yang
• Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh dikategorikan sebagai percobaan
program jaminan kecelakaan lalu lintas yang bersifat (eksperimen);
wajib sampai nilai yang ditanggung oleh program • Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan
jaminan kecelakaan lalu lintas; susu;
• Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri; • Perbekalan kesehatan rumah tangga;
• Pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik; • Pelayanan kesehatan akibat bencana pada
• Pelayanan untuk mengatasi infertilitas; masa tanggap darurat, kejadian luar
• Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi); biasa/wabah; dan
• Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada
hubungan dengan manfaat jaminan kesehatan
yang diberikan.
• Klaim perorangan.

Perpres 12 Tahun 2013, Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014


Persalinan & Ambulans: Apakah
Ditanggung BPJS Kesehatan?
• Persalinan yang ditanggung BPJS Kesehatan di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama maupun
Tingkat Lanjutan adalah persalinan sampai
dengan anak ketiga tanpa melihat anak hidup/
meninggal.

• Ambulan hanya diberikan untuk pasien rujukan


dari Fasilitas Kesehatan satu ke fasilitas kesehatan
lainnya, dengan tujuan menyelamatkan nyawa
pasien Perpres 12 Tahun 2013, Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014
22. JENIS RUJUKAN
• Interval referral: pelimpahan wewenang dan
tanggungjawab penderita sepenuhnya kepada dokter
konsultan untuk jangka waktu tertentu, dan selama jangka
waktu tersebut dokter tsb tidak ikut menanganinya.
• Collateral referral: menyerahkan wewenang dan
tanggungjawab penanganan penderita hanya untuk satu
masalah kedokteran khusus saja.
• Cross referral: menyerahkan wewenang dan
tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya kepada
dokter lain untuk selamanya.
• Split referral: menyerahkan wewenang dan tanggungjawab
penanganan penderita sepenuhnya kepada beberapa
dokter konsultan, dan selama jangka waktu pelimpahan
wewenang dan tanggungjawab tersebut dokter pemberi
rujukan tidak ikut campur.
JENIS RUJUKAN PUSKESMAS
• Jenis rujukan secara umum dibagi menjadi 2,
yaitu:
– Rujukan upaya kesehatan individual
– Rujukan upaya kesehatan masyarakat
RUJUKAN UPAYA KESEHATAN RUJUKAN UPAYA KESEHATAN
PERORANGAN MASYARAKAT
• Rujukan kasus untuk keperluan • Rujukan sarana berupa
diagnostik, pengobatan, bantuan laboratorium dan
tindakan operasi dan lain– lain teknologi kesehatan.

• Rujukan bahan (spesimen) • Rujukan tenaga dalam bentuk


untuk pemeriksaan dukungan tenaga ahli untuk
laboratorium klinik penyidikan, sebab dan asal
yang lebih lengkap. usul penyakit atau kejadian
luar biasa suatu penyakit serta
• Rujukan ilmu pengetahuan penanggulangannya pada
antara lain dengan bencana alam, dan lain – lain
mendatangkan atau mengirim
tenaga yang lebih kompeten • Rujukan operasional berupa
atau ahli untuk melakukan obat, vaksin, pangan pada saat
tindakan, memberi terjadi bencana, pemeriksaan
pelayanan, ahli pengetahuan bahan (spesimen) bila terjadi
dan teknologi dalam keracunan massal,
meningkatkan kualitas pemeriksaan air minum
pelayanan. penduduk dan sebagainya
Jenis Rujukan Berdasarkan
Tingkatannya
• Rujukan horizontal : rujukan yang dilakukan
antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila
perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan
fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya
sementara atau menetap.
– Misalya rujukan dari RS tipe B ke RS tipe B lainnya

• Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan


antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat
dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke
tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.
– Misalnya rujukan dari puskesmas ke RS
23. Re-emerging disease
• Emerging disease adalah suatu penyakit yang meningkat
cepat kejadian dan penyebarannya
• Kriteria emerging disease:
– Tidak pernah muncul pada manusia sebelumnya, atau
– Pernah menginfeksi sangat sedikit orang dan hanya terjadi di
tempat yang terisolir (contoh: AIDS dan Ebola),
– Pernah muncul di sejarah manusia yang lampau tapi baru
diketahui agen infeksius penyebabnya sekarang (contoh: Lyme
disease dan gastic ulcer)

• Re-emerging disease atau yang biasa disebut


resurging disease adalah wabah penyakit menular yang
muncul kembali setelah penurunan yang signifikan dalam
insiden dimasa lampau.
https://vetindonesia.com/2017/04/27/apa-itu-emerging-dan-re-emerging-disease/
24. BENTUK KELUARGA
• Keluarga inti (nuclear family): Keluarga yang terdiri dari suami, istri serta anak-anak kandung.
• Keluarga besar (extended family): Keluarga yang disamping terdiri dari suami, istri, dan anak-
anak kandung, juga sanak saudara lainnya, baik menurut garis vertikal (ibu, bapak, kakek, nenek,
mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar) yang berasal dari pihak
suami atau pihak isteri.
• Keluarga campuran (blended family): Keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak kandung
serta anak-anak tiri.
• Keluarga orang tua tunggal (single parent family): Keluarga yang terdiri dari pria atau wanita,
mungkin karena bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak pernah menikah, serta
anak-anak mereka tinggal bersama.
• Keluarga hidup bersama (commune family): Keluarga yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak
yang tinggal bersama, berbagi hak, dan tanggung jawab serta memiliki kekayaan bersama.
• Keluarga serial (serial family): Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah dan
mungkin telah punya anak, tetapi kemudian bercerai dan masing-masing menikah lagi serta
memiliki anak-anak dengan pasangan masing-masing, tetapi semuanya menganggap sebagai satu
keluarga.
• Keluarga komposit (composite family): keluarga dari perkawinan poligami dan hidup bersama.
• Keluarga kohabitasi(Cohabitation): dua orang menjadi satu keluarga tanpa pernikahan, bisa
memiliki anak atau tidak.
25. PELANGGARAN DALAM PELAYANAN
KEDOKTERAN

• Pelanggaran dapat berupa:


– Pelanggaran etik
– Pelanggaran disiplin
– Pelanggaran hukum (pidana dan perdata)
Pelanggaran Etik
• Dasar: Kode Etik Dokter Indonesia (KODEKI), yang berisi kewajiban
umum, kewajiban terhadap pasien, dan kewajiban terhadap teman
sejawat.

• Alur: Laporan dari institusi pelayanan  komite etik di institusi


pelayanan  MKEK  ditentukan sanksi ringan/ sedang/ berat

• Sanksi dapat berupa : Penasehatan, peringatan lisan, peringatan


tertulis, pembinaan perilaku,reschooling (pendidikan/pelatihan
ulang), atau pemecatan sementara sebagai anggota IDI yang diikuti
dengan mengajukan saran tertulis kepada kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota untuk mencabut izin praktek sementara.

PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA LAKSANA KERJA MAJELIS KEHORMATAN ETIK KEDOKTERAN, IDI, 2008
Intisari KODEKI
KEWAJIBAN UMUM KEWAJIBAN THD PASIEN KEWAJIBAN THD DIRI SENDIRI & TS

menjunjung tinggi, menghayati dan ..wajib merujuk jika tidak setiap dokter harus memelihara
mengamalkan sumpah dokter (pasal mampu, atas persetujuan kesehatannya supaya dapat
1) pasien(pasal 14) bekerja dengan baik (pasal 20)

Seorang dokter wajib selalu setiap dokter wajib merahasiakan setiap dokter harus senantiasa
melakukan pengambilan keputusan segala sesuatu yang diketahuinya mengikuti perkembangan ilmu
profesional secara independen, dan tentang seorang pasien , bahkan pengetahuan dan teknologi
mempertahankan perilaku juga setelah pasien itu meninggal kedokteran/kesehatan (psl 21)
profesional dalam ukuran yang dunia (pasal 16)
tertinggi. (pasal 2) setiap dokter memperlakukan
setiap dokter wajib melakukan teman sejawat nya sebagaimana
dalam melakukan pekerjaannya pertolongan darurat sbg suatu ia sendiri ingin diperlakukan
seorang dokter tidak boleh tugas perikemanusiaan, kecuali (pasal 18)
dipengaruhi oleh sesuatu yang bila ia yakin ada orang lain
mengakibatkan hilangnya bersedia dan mampu
kebebasan & kemandirian profesi memberikannya (pasal 17)
(pasal 3)

seorang dokter hanya memberi


surat keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya (pasal7)
Pelanggaran Disiplin
• Pelanggaran terhadap standar profesi
kedokteran.

• Alur: delik aduan  MKDKI  sanksi.

• Sanksi Disiplin (Pasal 69 ayat 3, UUPK):


1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan kedokteran
Pelanggaran Hukum
• Dokter adalah bagian dari komunitas (publik)
sehingga berlaku kepadanya HUKUM PUBLIK.

• Hukum publik dapat berupa pidana atau


perdata.
Sanksi Pidana dalam UU No.29 Th 2004 Tentang
Praktik Kedokteran
• Pasal 75  Praktik tanpa STR
• Pasal 76  praktik tanpa SIP
• Pasal 77  menggunakan gelar seolah-olah
dr/drg yang memiliki STR
• Pasal 79  tidak memasang papan praktik,
tidak membuat rekam medik, tidak sesuai
standar profesi (rasional,merujuk,dll)
• Pasal 80  mempekerjakan dr/drg tanpa STR
& SIP
Sanksi Perdata Menurut KUH Perdata
• Wan Prestasi, jika hubungan yuridis dokter-pasien adalah perjanjian
membawa hasil (resultaatverbintenis) dengan memakai pasal 1239 KUH
Perdata,

• Perbuatan melawan hukum, jika hubungan yuridis dokter-pasien adalah


perjanjian memasang tekad (inspanningsverbintenissen) atau perjanjian
teraupetik dengan memakai pasal 1365 KUH Perdata.

• Melalaikan pekerjaan sebagai penanggungjawab. Artinya, dokter


bertanggungjawab atas kesalahan yang dibuat bawahannya (perawat,
paramedis) yang secara langsung diawasinya dalam melaksanakan
perintah atau petunjuk dokter. Bawahan dokter tersebut merupakan
perpanjangan tangan dokter (verlengende arm van de geneesher) dalam
melakukan tindakan medik. Pasal yang digunakan adalah pasal 1367 ayat
(3) KUH Perdata,
Etik Murni dan Etikolegal
Pelanggaran Etik Murni Pelanggaran Etikolegal
• Menarik imbalan jasa yang tidak wajar • Pelayanan kedokteran di bawah
dari pasien atau menarik imbalan jasa
dari sejawat dan keluarganya standar
• Mengambil alih pasien tanpa • Menerbitkan surat keterangan
persetujuan sejawatnya
• Memuji diri sendiri di depan pasien, palsu
keluarga atau masyarakat
• Melakukan tindakan medik yang
• Pelayanan kedokteran yang
diskriminatif bertentangan dengan hukum
• Kolusi dengan perusahaan farmasi • Melakukan tindakan medik
atau apotik
• Tidak mengikuti pendidikan tanpa indikasi
kedokteran berkesinambungan • Pelecehan seksual
• Dokter mengabaikan kesehatannya
sendiri • Membocorkan rahasia pasien
26. Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT)
• Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
• Lingkup rumah tangga:
– Suami, isteri, dan anak
– Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan
suami, istri, dan anak yang menetap dalam rumah tangga
– Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tsb.
UU PKDRT No. 23 tahun 2004
Ciri Khas Luka
Pola luka pada korban KDRT memiliki ciri khas:
• luka multipel
• tidak mematikan
• ditemukan lebih dari satu lokasi tubuh.

Afandi D, et al. Karakteristik kasus kekerasan dalam rumah tangga. J Indon Med Assoc, Volum: 62,
Nomor: 11, November 2012
Kekerasan Fisik pada Anak
Curiga kekerasan fisik pada anak apabila:
• Onset luka sudah lama
• Riwayat/anamnesis yang tidak jelas atau tidak ada
• Cerita tidak sesuai dengan luka yang ditimbulkan
• Pola luka yang menandakan kekerasan
• Cedera repetitif
• Pada anak yang belum ada mobilitas
• Perilaku atau mood orang tua yang tidak biasa
• Sikap dan perilaku anak atau interaksi anak dengan
orang tua atau pengasuh yang tidak biasa
• Pengakuan dari anak atau saksi mata

Clinical Forensic Medicine: A Physician’s Guide. 2nd ed.


Injury Patterns in Child’s Non Accidental Injury
• Hand marks:
– Fingertip bruises  circular or
oval, caused by squeezing,
poking, gripping, or grabbing
injuries.
– Linear petechial bruises in the
shape of a hand caused by
hand slap.
– Pinch marks  crescent-
shaped bruises separated by
white lines.

Clinical Forensic Medicine: A Physician’s Guide. 2nd ed.


Injury Patterns in Child’s Non Accidental Injury

• Implement marks
– High-velocity impact  rim of petechiae
outlining the pattern of the inflicting
instrument. Eg pair of sticks  tramline
bruising
– Higher-velocity impact  bruising
underlying the injury in the shape of the
object used
– Pressure necrosis of the skin from ligatures
 well-demarcated bands encircling limbs
or neck
– Petechial bruises  pinprick bruises from
ruptured capillaries (suction bruises,
squeezing, slapping, strangulation or
suffocation)
Clinical Forensic Medicine: A Physician’s Guide. 2nd ed.
Sites of Injury
• More commonly associated with non accidental injury:
– Facial  soft tissues of the cheek, eye, mouth, ear,
mastoid, lower jaw, frenulum, neck
– Chest wall
– Abdomen
– Inner thighs and genitalia (associated with sexual abuse)
– Buttock and outer thighs
– Multiple sites
• More commonly associated with accidental injury:
– Bony prominences
– On the front of the body

Clinical Forensic Medicine: A Physician’s Guide. 2nd ed.


Ketentuan Pidana Kekerasan Terhadap Rumah Tangga Berdasarkan Undang-
Undang No.23 Tahun 2004
• Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00
(lima belas juta rupiah).
• Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).
• Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta
rupiah).
• Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
27. Pembusukan mayat (dekomposisi)

• Terjadi akibat proses degradasi jaringan karena autolisis dan kerja


bakteri.
• Mulai muncul 24 jam postmortem, berupa warna kehijauan dimulai
dari daerah sekum menyebar ke seluruh dinding perut dan berbau
busuk karena terbentuk gas seperti HCN, H2S dan lain-lain.
• RUMUS CASPER untuk perbedaan kecepatan pembusukan udara:
air: tanah = 8:2:1
• Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih rendah
terutama bila dikubur ditempat yang dalam, terlindung dari
predators seperti binatang dan insekta, dan rendahnya oksigen
menghambat berkembang biaknya organisme aerobik.
DECOMPOSITION:
Affecting Factors

EXTERNAL: INTERNAL:
• germs  age
• temperature  condition
• air  cause
• water  sex
• medium
28-29. Kejahatan Susila
• Persetubuhan yang diancam di KUHP meliputi pemerkosaan,
persetubuhan dengan wanita tidak berdaya, persetubuhan dengan
wanita yang belum cukup umur.
• Dokter wajib membuktikan:
– Adanya persetubuhan (deflorasi hymen, laserasi vulva atau vagina,
sperma dalam vagina paling sering terdapat pada fornix posterior)
– Adanya tindak kekerasan (memberikan racun/obat/zat agar menjadi
tidak berdaya)
– Usia korban
– Menentukan pantas tidaknya korban untuk dikawin
– Adanya penyakit menular seksual, kehamilan, kelainan pskiatrik atau
kejiwaan
• Pada institusi yang memiliki dokter spesialis kandungan,
pemeriksaan untuk kasus kejahatan susila dilakukan oleh spesialis
tersebut, bila tidak ada dilakukan oleh dokter umum
Menentukan Ada Tidaknya Persetubuhan

• Persetubuhan adalah peristiwa di mana alat kelamin laki-laki masuk


ke dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya.

• Tanda pasti persetubuhan adalah adanya sperma dalam vagina.

• Adanya robekan pada selaput dara bukanlah tanda pasti


persetubuhan, karena robekan pada selaput dara hanya
menunjukkan bahwa ada benda padat yang masuk ke dalam
kelamin perempuan.

• Pada pelaku yang aspermia, pemeriksaan ditujukan untuk


mendeteksi adanya air mani dalam vagina.

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. Abdul Muniem Idries. 2011.
Menentukan Adanya Tanda Kekerasan

• Memeriksa apakah ada bekas luka


berdasarkan daerah yang terkena, berapa
perkiraan kekuatan kekerasan.

• Bila tidak ditemukan luka, ada kemungkinan


dilakukan pembiusan sebelum kejahatan
seksual. Maka perlu dicari adanya racun serta
gejala racun tersebut pada korban.

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. Abdul Muniem Idries. 2011.
Memperkirakan Umur

• Dapat dilakukan dari pemeriksaan gigi geligi


atau pemeriksaan foto rontgen tulang.

• Perkiraan umur diperlukan untuk menentukan


apakah korban dan/atau pelaku sudah dewasa
(21 tahun ke atas).

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. Abdul Muniem Idries. 2011.
Menentukan Pantas Tidaknya Korban Untuk
Dikawin

• Pengertian pantas tidaknya untuk dikawin


dinilai dari apakah korban telah siap untuk
dibuahi yang dimanifestasikan dengan sudah
mengalami menstruasi.

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. Abdul Muniem Idries. 2011.
PEMERIKSAAN DALAM KASUS KEJAHATAN
SEKSUAL

PEMERIKSAAN SEMEN
Pada pakaian, bercak mani berbatas tegas dan warnanya lebih gelap
Pemeriksaan daripada sekitarnya. Dan Bercak yang sudah agak tua berwarna
visual kekuningan.

Bercak mani teraba kaku seperti kanji. Pada tekstil yang tidak menyerap,
Perabaan dan bila tidak teraba kaku, masih dapat dikenali dari permukaan bercak yang
penciuman teraba kasar. Pada penciuman, bau air mani seperti klorin (pemutih) atau
bau ikan

Semen kering (bercak semen) berfluoresensi (bluish-white) putih


kebiruan di bawah iluminasi UV dan menunjukkan warna yang
Ultraviolet (UV) sebelumnya tak nampak. Namun Pemeriksaan ini tidak spesifik,sebab
nanah, fluor albus, bahan makanan, urin, dan serbuk deterjen yang
tersisa pada pakaian sering berflouresensi juga.
PEMERIKSAAN KIMIAWI
Cairan vaginal atau bercak mani yang sudah dilarutkan,
ditetesi larutan yodium (larutan Florence) di atas objek glass
Metode
Hasil yang diharapkan: kristal-kristal kholin peryodida
Florence
tampak berbentuk jarum-jarum / rhomboid yang berwarna
coklat gelap

Cairan vagina atau bercak semen yang sudah dilarutkan,


diteteskan pada objek glass, lalu ditambahkan asam pikrat
Metode
dan diamati di bawah mikroskop.
Berberio
Hasil yang diharapkan: Kristal spermin pikrat akan terbentuk
rhomboik atau jarum yang berwarna kuning kehijauan.

Dapat dilakukan pada cairan vagina dan pada bercak semen


di pakaian.
Fosfatase
Hasil yang diharapkan: warna ungu timbul dalam waktu
asam
kurang dari 30 detik, berarti asam fosfatase berasal dari
prostat.

Bercak pada pakaian diekstraksi dengan cara menempelkan


Metode kertas saring Whatman no.2 yang dibasahi dengan
PA N aquadest, selama 10 menit.
Hasil positif menunjukkan warna merah jambu.
PEMERIKSAAN CAIRAN MANI

Sampel :
1. Forniks posterior vagina
Fosfatase asam, PAN, Berberio, Florence

2. Bercak pada pakaian


Pemeriksaan Taktil, Visual, Sinar UV,
Fosfatase asam, PAN, Berberio, Florence
Pemeriksaan Sperma

• Pemeriksaan Sperma tanpa pewarnaan


– Tujuan: Untuk melihat motilitas spermatozoa.
Pemeriksaan ini paling bermakna untuk
memperkirakan saat terjadinya persetubuhan.
– Sperma didalam liang vagina masih dapat
bergerak dalam waktu 4 – 5 jam post-coitus;
sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak
sampai sekitar 24-36 jam post coital dan bila
wanitanya mati masih akan dapat ditemukan 7-8
hari.
Pemeriksaan Sperma

• Pemeriksaan dengan pewarnaan


– Bila sediaan dari cairan vagina, dapat diperiksa
dengan Pulas dengan pewarnaan gram, giemsa
atau methylene blue atau dengan pengecatan
Malachite-green.
– Bila berasal dari bercak semen (misalnya dari
pakaian), diperiksa dengan pemeriksaan Baechii.
Hasil: spermatozoa dengan kepala berwarna
merah dan ekor berwarna biru muda terlihat
banyak menempel pada serabut benang
Pewarnaan Malachite Green

• Keuntungan dengan pulasan ini


adalah inti sel epitel dan leukosit
tidak terdiferensiasi, sel epitel
berwarna merah muda merata dan
leukosit tidak terwarnai. Kepala
spermatozoa tampak berwarna
ungu, bagian hidung merah muda.

• Dikatakan positif, apabila


ditemukan sperma paling sedikit
satu sperma yang utuh.
Pewarnaan Baechii

• Reagen dapat dibuat dari : Acid


fuchsin 1 % (1 ml), Methylene
blue 1 % (1 ml), Asam klorida 1
% (40 ml).

• Hasil : Serabut pakaian tidak


berwarna, spermatozoa dengan
kepala berwarna merah dan ekor
berwarna biru muda terlihat
banyak menempel pada serabut
benang.
30. KASUS DUGAAN TENGGELAM
• Pada kasus dugaan tenggelam, dapat dilakukan
pemeriksaan luar, serta pemeriksaan dalam dan
pemeriksaan laboratorium seperti:
– Percobaan getah paru (lonset proef)
– Pemeriksaan diatome (destruction test)
– Pemeriksaan kimia darah (gettler test & Durlacher
test).
• Namun karena soal no.182 dokter bertugas di
puskesmas, yang paling mungkin dilakukan
adalah melakukan pemeriksaan luar untuk
menentukan ada tidaknya tanda kekerasan.
Tanda Tenggelam
Tanda korban masih hidup saat tenggelam:
• Ditemukannya tanda cadaveric spasme
• Perdarahan pada liang telinga
• Adanya benda asing (lumpur, pasir, tumbuhan dan
binatang air) pada saluran pernapasan dan pencernaan
• Adanya bercak paltouf di permukaan paru
• Berat jenis darah pada jantung kanan dan kiri berbeda
• Ditemukan diatome
• Adanya tanda asfiksia
• Ditemukannya mushroom-like mass
5 Tanda Tenggelam
• Terdapat tanda asfiksia
• Diatome pada pemeriksaan getah paru
• Bercak paltouf di permukaan paru
• Berat jenis darah yang berbeda antara jantung
kiri dan kanan
• Mushroom-like mass
Pemeriksaan Luar Korban Tenggelam
• Mayat dalam keadaan basah berlumuran pasir dan benda-benda
asing lainnya yang terdapat di dalam air laut dan kadang-kadang
bercampur lumpur.

• Busa halus putih yang berbentuk jamur (mush room-like mass).


– Masuknya cairan kedalam saluran pernafasan merangsang
terbentuknya mukus, substansi ini ketika bercampur dengan air dan
surfaktan dari paru-paru dan terkocok oleh karena adanya upaya
pernafasan yang hebat. Busa dapat meluas sampai trakea, bronkus
utama dan alveoli.

• Cutis anserina pada ekstremitas akibat kontraksi otot erector pilli


yang dapat terjadi karena rangsangan dinginnya air.
Pemeriksaan Luar Korban Tenggelam
• Washer woman hand. Telapak tangan dan kaki
berwarna keputihan dan berkeriput yang
disebabkan karena inhibisi cairan ke dalam cutis
dan biasanya membutuhkan waktu yang lama.
• Cadaveric spasme. Merupakan tanda vital yang
terjadi pada waktu korban berusaha
menyelamatkan diri., dengan cara memegang apa
saja yang terdapat dalam air.
• Luka lecet akibat gesekan benda-benda dalam air.
• Penurunan suhu mayat
• Lebam mayat terutama pada kepala dan leher
Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam
• Pemeriksaan terutama ditujukan pada sistem pernapasan, busa halus putih dapat
mengisi trakhea dan cabang-cabangnya, air juga dapat ditemukan, demikian pula
halnya dengan benda-benda asing yang ikut terinhalasi bersama benda air.

• Benda asing dalam trakhea dapat tampak secara makroskopis misalnya pasir,
lumpur, binatang air, tumbuhan air dan lain sebagainya; sedangkan yang tampak
secara mikroskopis diantaranya telur cacing dan diatome (ganggang kersik).

• Pleura dapat berwarna kemerahan dan terdapat bintik-bintik perdarahan.


Perdarahan ini dapat terjadi karena adanya kompresi terhadap septum interalveoli,
atau oleh karena terjadinya fase konvulsi akibat kekurangan oksigen.

• Bercak perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi
inter alveolar, dan sering terlihat di bawah pleura; bercak ini disebut sebagai bercak
”Paltauf”.
– Bercak berwarna biru kemerahan dan banyak terlihat pada bagian bawah paru-
paru, yaitu pada permukaan anterior dan permukaan antar bagian paru-paru.
Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam

• Kongesti pada laring


• Emphysema aquosum atau emphysema
hyroaerique yaitu paru-paru tampak pucat
dengan diselingi bercak-bercak merah di antara
daerah yang berwarna kelabu;
• Obstruksi pada sirkulasi paru-paru akan
menyebabkan distensi jantung kanan dan
pembuluh vena besar dan keduanya penuh berisi
darah yang merah gelap dan cair, tidak ada
bekuan.
PEMERIKSAAN KHUSUS
PADA KASUS TENGGELAM

• Terdapat pemeriksaan khusus pada kasus mati


tenggelam (drowning), yaitu :
– Percobaan getah paru (lonset proef)
– Pemeriksaan diatome (destruction test)
– Pemeriksaan kimia darah (gettler test & Durlacher
test).
Tes getah paru (lonset proef)
• Kegunaan melakukan percobaan paru (lonsef proef)
yaitu mencari benda asing (pasir, lumpur, tumbuhan,
telur cacing) dalam getah paru-paru mayat.
• Syarat melakukannya adalah paru-paru mayat
harus segar / belum membusuk.
• Cara melakukan percobaan getah paru (lonsef proef)
yaitu permukaan paru-paru dikerok (2-3 kali) dengan
menggunakan pisau bersih lalu dicuci dan iris
permukaan paru-paru. Kemudian teteskan diatas objek
gelas. Syarat sediaan harus sedikit mengandung
eritrosit.
Tes Diatom
TES DIATOM 4 CARA PEMERIKSAAN DIATOM:
• Diatom adalah alga atau ganggang bersel • Pemeriksaan mikroskopik langsung.
satu dengan dinding terdiri dari silikat (SiO2) Pemeriksaan permukaan paru disiram
yang tahan panas dan asam kuat. dengan air bersih iris bagian perifer
ambil sedikit cairan perasan dari
jaringan perifer paru, taruh pada gelas
• Bila seseorang mati karena tenggelam maka objek tutup dengan kaca penutup.
cairan bersama diatome akan masuk ke Lihat dengan mikroskop.
dalam saluran pernafasan atau pencernaan
kemudian diatome akan masuk kedalam • Pemeriksaan mikroskopik jaringan
aliran darah melalui kerusakan dinding dengan metode Weinig dan Pfanz.
kapiler pada waktu korban masih hidup dan
tersebar keseluruh jaringan organ dalam • Chemical digestion. Jaringan
(seperti ginjal, hepar, otak) dihancurkan dengan menggunakan
asam kuat sehingga diharapkan
diatom dapat terpisah dari jaringan
• Ada/tidaknya diatom pada air sangat tersebut.
bergantung pada banyak faktor seperti
suhu, pH, kelembaban, musim, dan lain-lain
sehingga pemeriksaan ini kurang sensitif. • Inseneration. Bahan organik
Apabila tidak ditemukan diatom, tidak
dihancurkan dengan pemanasan
dalam oven.
berarti kasus tersebut bukan kasus
tenggelam.
Tes Diatom
Pemeriksaan Pada kasus Tenggelam
• Hasil pemeriksaan diatom yang menunjukkan secara
kuat bahwa korban meninggal karena tenggelam
adalah bila diatom ditemukan di organ yang dalam
seperti otak, sumsum tulang, atau ginjal.
• Diatom pada saluran napas atau saluran cerna memiliki
nilai kemaknaan yang lebih rendah karena diatom bisa
masuk secara pasif ke dalam organ-organ tersebut.
• Demikian halnya dengan pnemuan benda asing pada
paru, benda asing dapat masuk secara pasif setelah
kematian, sehingga belum menunjukkan secara pasti
bahwa korban mati karena tenggelam.
Tes Kimia Darah
TEST KIMIA DARAH • Test Gettler: Menunjukan
• Mengetahui ada tidaknya adanya perbedaan kadar
hemodilusi atau klorida dari darah yang diambil
hemokonsentrasi pada dari jantung kanan dan
masing-masing sisi dari jantung kiri. Pada korban
jantung, dengan cara tenggelam di air laut kadar
memeriksa gaya berat spesifik klorida darah pada jantung kiri
dari kadar elektrolit antara lain lebih tinggi dari jantung kanan.
kadar sodium atau clorida dari
serum masing-masing sisi. • Tes Durlacher: Penentuan
perbedaan berat plasma
• Dianggap reliable jika jantung kanan dan kiri. Pada
dilakukan dalam waktu 24 jam semua kasus tenggelam berat
setelah kematian jenis plasma jantung kiri lebih
tinggi daripada jantung kanan .
31. SEBAB-MEKANISME-CARA
KEMATIAN
• Untuk dapat menentukan sebab kematian,
secara mutlak harus dilakukan otopsi.

• Sedangkan perkiraan sebab kematian dapat


diteliti dari kelainan yang ditemukan pada
pemeriksaan luar.

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
Sebab Kematian
• Sebab kematian lebih ditekankan pada alat atau
sarana yang dipakai untuk mematikan korban.
– Contoh: karena tenggelam, karena terbakar, karena
tusukan benda tajam, karena pencekikan, karena
kekerasan benda tumpul.

• Sebab kematian banyak membantu penyidik


dalam melaksanakan tugas, misalnya untuk
mencari dan menyita benda yang diperkirakan
dipakai sebagai alat pembunuh, sehingga sebab
kematian seperti mati lemas tidak tepat.

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
Mekanisme Kematian
• Mekanisme kematian menunjukkan
bagaimana korban itu mati setelah
umpamanya tertembak atau tenggelam.
– Contoh: karena perdarahan, karena refleks vagal,
karena hancurnya jaringan otak

• Mekanisme lebih bersifat teoritis dan tidak


selalu dapat diketahui pasti

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
Cara Kematian
• Dalam ilmu kedokteran forensik dikenal 3 cara
kematian, yaitu:
1. Wajar: kematian korban karena penyakit, bukan
karena kekerasan atau rudapaksa.
2. Tidak wajar, yang dibagi menjadi kecelakaan,
bunuh diri, dan pembunuhan.
3. Tidak dapat ditentukan, yang disebabkan karena
keadaan mayat telah sedemikian rusak atau
busuk sehingga luka atau penyakit tidak dapat
ditemukan lagi.
Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, A. Munim Idris, 2011
ASFIKSIA
• Definisi:
kondisi yang disebabkan adanya hambatan respirasi
atau kurangnya oksigen pada udara yang dihirup,
sehingga organ dan jaringan mengalami deprivasi
oksigen (disertai gangguan eliminasi karbon
dioksida)  pingsan atau kematian.
ETIOLOGI ASFIKSIA
Mekanik • hambatan mekanik terhadap aliran udara dalam traktus respiratorik.

• Masuknya oksigen ke dalam paru dihambat oleh penyakit dari saluran


Patologis napas atas atau paru.
• Contoh: edema laring, spasme laring, tumor, abses

• Berhentinya pergerakan respiratorik akibat paralisis dari pusat


Toksik pernafasan pada kasus intoksikasi morfin atau barbiturat

• Bernafas pada lingkungan tercemar atau minim oksigen seperti


Lingkungan ketinggian, inhalasi CO2 atau gas lainnya

• Luka penetrans pada toraks yang menyebabkan pneumotoraks atau


Trauma emboli paru

• Pada pasien dengan penurunan kesadaran sehingga saluran napas


Postural tertutup

Iatrogenik • Dampak dari anestesi


Pemeriksaan Luar Post Mortem
• Luka dan ujung-ujung ekstremitas sianotik (warna biru keunguan)
yang disebabkan tubuh mayat lebih membutuhkan HbCO2 daripada
HbO2.

• Tardieu’s spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra. Tardieu’s spot


merupakan bintik-bintik perdarahan (petekie) akibat pelebaran
kapiler darah setempat.

• Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap karena


terhambatnya pembekuan darah dan meningkatnya
fragilitas/permeabilitas kapiler. Hal ini akibat meningkatnya kadar
CO2 sehingga darah dalam keadaan lebih cair. Lebam mayat lebih
gelap karena meningkatnya kadar HbCO2..

• Busa halus keluar dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan
adanya fenomena kocokan pada pernapasan kuat.
Pemeriksaan Dalam Post Mortem
• Organ dalam tubuh lebih gelap & lebih berat dan ejakulasi
pada mayat laki-laki akibat kongesti / bendungan alat
tubuh & sianotik.
• Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih
cair.
• Tardieu’s spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea
apponeurotika, laring, kelenjar timus dan kelenjar tiroid.
• Busa halus di saluran pernapasan.
• Edema paru.
• Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti
fraktur laring, fraktur tulang lidah dan resapan darah pada
luka.
Asfiksia vs Vagal Reflex
• Secara umum, yang sering kali menjadi mekanisme
kematian (terutama pada kasus tenggelam) adalah asfiksia
dan vagal reflex.

• Refleks vagal terjadi sebagai akibat rangsangan pada nervus


vagus pada corpus caroticus (carotid body) di percabangan
arteri karotis interna dan eksterna yang akan menimbulkan
bradikardi dan hypotensi  menyebabkan sudden cardiac
arrest.

• Tidak ada pemeriksaan yang khas yang ditemukan pada


vagal reflex. Oleh karena itu, secara sederhana umumnya
disimpulkan bila tidak ada tanda asfiksia yang ditemukan,
maka mekanisme kematian adalah karena vagal reflex.
32. TANATOLOGI FORENSIK

• Livor mortis atau lebam mayat


– terjadi akibat pengendapan eritrosit sesudah
kematian akibat berentinya sirkulasi dan adanya
gravitasi bumi .
– Eritrosit akan menempati bagian terbawah badan
dan terjadi pada bagian yang bebas dari tekanan.
– Muncul pada menit ke-30 sampai dengan 2 jam.
Intensitas lebam jenazah meningkat dan menetap
8-12 jam.
Rigor mortis atau kaku mayat

• terjadi akibat hilangnya ATP.


• Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin
bertambah hingga mencapai maksimal pada 12 jam
postmortem.
• Kemudian dipertahankan selama 12 jam, setelah itu akan
berangsur-angsur menghilang sesuai dengan kemunculannya.
• Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kaku jenazah
adalah suhu tubuh, volume otot dan suhu lingkungan.
• Makin tinggi suhu tubuh makin cepat terjadi kaku jenazah.
• Rigor mortis diperiksa dengan cara menggerakkan sendi fleksi
dan antefleksi pada seluruh persendian tubuh.
Penurunan suhu badan

• Pada saat sesudah mati, terjadi proses pemindahan


panas dari badan ke benda-benda di sekitar yang lebih
dingin secara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi.
• dipengaruhi oleh suhu lingkungan, konstitusi tubuh dan
pakaian.
• Bila suhu lingkugan rendah, badannya kurus dan
pakaiannya tipis maka suhu badan akan menurun lebih
cepat.
• Lama kelamaan suhu tubuh akan sama dengan suhu
lingkungan.
Pembusukan mayat (dekomposisi)

• Terjadi akibat proses degradasi jaringan karena autolisis dan kerja


bakteri.
• Mulai muncul 24 jam postmortem, berupa warna kehijauan dimulai
dari daerah sekum menyebar ke seluruh dinding perut dan berbau
busuk karena terbentuk gas seperti HCN, H2S dan lain-lain.
• RUMUS CASPER untuk perbedaan kecepatan pembusukan udara:
air: tanah = 8:2:1
• Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih rendah
terutama bila dikubur ditempat yang dalam, terlindung dari
predators seperti binatang dan insekta, dan rendahnya oksigen
menghambat berkembang biaknya organisme aerobik.
Thanatologi

Livor mortis Livor mortis lengkap


mulai muncul dan menetap

20 30 2 6 8 12 24 36
0 mnt mnt jam jam jam jam jam jam

Rigor mortis Pembus


Rigor mortis Pembusuk ukan
lengkap (8-10
mulai muncul an mulai tampak
jam)
tampak di di
caecum seluruh
tubuh

Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
33. KLASIFIKASI LUKA
MENURUT KUHP
• Klasifikasi luka dan pasal yang berhubungan:
– Luka ringan pasal 352 KUHP = luka derajat satu
– Luka sedang pasal 351 (1) atau 353 (1) = luka
derajat dua
– Luka berat pasal 90 KUHP
Luka Ringan dan Luka Sedang
• Luka derajat satu (pasal 352 KUHP): Luka
tersebut TIDAK menyebabkan penyakit atau
halangan dalam menjalankan pekerjaan
jabatan/pencaharian.

• Luka derajat dua (pasal 351(1) KUHP)  pasal


tentang penganiayaan.
Pasal 351 KUHP
• (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
• (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat,
yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun.
• (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
• (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak
kesehatan.
• (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak
dipidana.
Pasal 352 KUHP
• “Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan,
dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
• Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang
melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja
padanya, atau menjadi bawahannya.”
Pasal 353 KUHP
• (1) Penganiayaan dengan direncanakan terlebih
dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.

• (2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat,


maka yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP 90.)

• (3) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian,


maka yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Luka Ringan vs Luka Sedang
• Untuk membedakan luka derajat satu atau dua, maka dilakukan pengujian
dengan beberapa kriteria sbb:
– Apakah luka tersebut memerlukan perawatan medis, seperti penjahitan luka,
pemberian infus dsb
– Apakah luka atau cedera tersebut menyebabkan terjadinya gangguan fungsi
(fungsiolesa)?
– Apakah lokasinya di tempat yang rawan, seperti mulut, hidung, leher,
skrotum?
– Apakah lukanya tunggal, sedikit, atau banyak?

• Bila luka tersebut mutlak memerlukan perawatan medis, menyebabkan


gangguan fungsi, lokasinya pada lokasi rawan dan jumlah lukanya banyak,
maka lukanya pada umumnya merupakan luka derajat dua. Jika tidak ada
satupun hal tersebut yang terpenuhi maka derajat lukanya adalah satu.
Pembedaan luka derajat satu dan dua pada banyak kasus merupakan hal
yang sulit, sehingga kesimpulan seorang dokter dengan dokter lainnya
kadang berbeda.
Luka Berat
• Pasal 90 KUHP menyatakan bahwa luka berat, adalah:
– Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau
– Yang menimbulkan bahaya maut
– Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencarian
– Kehilangan salah satu pancaindera
– Mendapat cacat berat
– Menderita sakit lumpuh
– Terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu
– Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
– Luka yang memenuhi salah satu kriteria pada pasal 90 KUHP
merupakan luka derajat tiga atau luka berat. Jika luka tersebut
tidak memenuhi kriteria tersebut diatas, maka lukanya termasuk
derajat satu atau dua.
34. Perlukaan Akibat Kekerasan
• PELBAGAI JENIS KEKERASAN

– KEKERASAN BERSIFAT MEKANIK


• KEKERASAN TUMPUL
• KEKERASAN TAJAM
• TEMBAKAN SENJATA API

– KEKERASAN BERSIFAT ALAM


• LUKA AKIBAT API
• LUKA AKIBAT LISTRIK

– KEKERASAN BERSIFAT KIMIAWI


• LUKA AKIBAT ASAM KERAS
• LUKA AKIBAT BASA KUAT
Luka Akibat Kekerasan Tumpul
• Luka memar: Tampak sebagai bercak, biasanya
berbentuk bulat/lonjong. Luka memar yang baru
terjadi tampak sebagai bercak biru kemerahan dan
agak menimbul. Proses penyembuhan menyebabkan
warna bercak berubah menjadi kebiruan, kehijauan,
kecoklatan, kekuningan dan akhirnya hilang saat terjadi
penyembuhan sempurna dalam 7-10 hari.

• Luka robek: Luka terbuka tepi tidak rata, ada jembatan


jaringan, pada salah satu sisi dapat ditemukan jejas
berupa luka lecet tekan.
Luka Akibat Kekerasan Tumpul
• Luka lecet tekan: Tampak sebagai bagian kulit
yang sedikit mencekung, berwarna kecoklatan.
Bentuknya memberikan gambaran bentuk benda
penyebab luka.

• Luka lecet geser: Bagian yang pertama bergeser


memberikan batas yang lebih rata, dan saat
benda tumpul meningalkan kulit yang tergeser
berbatas tidak rata. Tampak goresan epidermis
yang berjalan sejajar.
Luka Akibat Kekerasan Tajam
• Luka tusuk: Akibat kekerasan tajam yang mengenai kulit dengan
arah kekerasan tegak terhadap permukaan kulit. Tepi luka rata.
– Lebar luka menggambarkan lebar pisau yang digunakan.
– Karena elastisitas kulit, dalamnya luka tidak menggambarkan
panjangnya pisau

• Luka sayat: Akibat kekerasan tajam yang bergerak k.l sejajar dengan
permukaan kulit. Panjang luka jauh melebihi dalamnya luka.

• Luka bacok: Akibat kekerasan tajam dengan bagian “mata” senjata


yang mengenai kulit dengan arah tegak. Kedua sudut luka lancip
dengan luka yang cukup dalam.
35. Identifikasi Forensik
• Merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan
membantu penyidik untuk menentukan identitas
seseorang/korban, terutama pada jenazah tidak
dikenal, membusuk, rusak, terbakar, kecelakaan
masal, ataupun bencana alam
• Metode identifikasi yang dapat digunakan adalah:
Identifikasi sidik jari, visual, dokumen, pakaian
dan perhiasan, medik, gigi, serologik, metode
eksklusi dan metode identifikasi DNA
IDENTIFIKASI FORENSIK
Secara garis besar ada dua metode pemeriksaan, yaitu:
• Identifikasi primer: identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu
dibantu oleh kriteria identifikasi lain. Teknik identifikasi primer yaitu :
– Pemeriksaan DNA
– Pemeriksaan sidik jari
– Pemeriksaan gigi
Pada jenazah yang rusak/busuk untuk menjamin keakuratan dilakukan
dua sampai tiga metode pemeriksaan dengan hasil positif.

• Identifikasi sekunder: Pemeriksaan dengan menggunakan data identifikasi


sekunder tidak dapat berdiri sendiri dan perlu didukung kriteria
identifikasi yang lain.
– Identifikasi sekunder terdiri atas cara sederhana dan cara ilmiah.
– Cara sederhana yaitu melihat langsung ciri seseorang dengan
memperhatikan perhiasan, pakaian dan kartu identitas yang
ditemukan.
– Cara ilmiah yaitu melalui teknik keilmuan tertentu seperti
pemeriksaan medis.
Metode Identifikasi Primer
• Pemeriksaan Gigi
– Pencatatan data gigi (odontogram) dan rahang dengan pemeriksaan
manual, sinar-X, dan pencetakan gigi dan rahang.
– Data dibandingkan dengan data ante-mortem
– Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan,
tambalan, protesa gigi dan sebagainya. Bentuk gigi dan rahang
merupakan ciri khusus dari seseorang.
• Pemeriksaan Sidik Jari
– Membandingkan sidik jari jenazah dengan data sidik jari ante-mortem.
– Pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling
tinggi akurasinya dalam penentuan identitas seseorang, oleh karena
tidak ada dua orang yang memiliki sidik jari yang sama.
– Dibutuhkan penanganan yang baik terhadap jari tangan jenazah
Metode Identifikasi Primer:
Pemeriksaan DNA
• DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan
DNA inti sel.
• DNA yang paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel karena inti
sel tidak bisa berubah sedangkan DNA dalam mitokondria dapat
berubah karena berasal dari garis keturunan ibu, yang dapat
berubah seiring dengan perkawinan keturunannya.
• Pada Kasus-kasus kriminal, penggunaan kedua tes DNA di atas,
bergantung pada barang bukti apa yang ditemukan di Tempat
Kejadian Perkara (TKP).
– Misalnya, jika ditemukan puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA inti sel
yang terdapat dalam epitel bibir karena ketika rokok dihisap dalam mulut, epitel
dalam bibir ada yang tertinggal di puntung rokok.
– Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama adalah
kepala spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel di dalamnya.
– Jika di TKP ditemukan satu helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa. Untuk
pemeriksaan DNA mitokondria tidak harus ada akar rambut, cukup potongan
rambut. Namun bila akan memeriksa DNA inti sel, harus ada akar rambut karena
DNA inti sel terdapat di akar rambut.
Metode Identifikasi Sekunder
• Metode Visual
– Memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang merasa kehilangan. Hanya efektif
pada jenazah yang masih dapat dikenali wajah dan bentuk tubuhnya
– hanya efektif pada jenazah yang masih utuh (belum membusuk), maka tingkat akurasi
pemeriksaan ini asi dari kurang baik.
• Pemeriksaan Dokumen
– Dokumen identifikasi (KTP, SIM, Paspor, dst) yang dijumpai bersama jenazah.
– Tidak bisa dipastikan kepemilikan dokumen yang ditemukan, sulit diandalkan.
• Pemeriksaan Pakaian dan Perhiasan
– Dari ciri-ciri pakaian dan perhiasan yang dikenakan
• Identifikasi Medik
– Menggunakan data tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna mata, adanya
luka bekas operasi, tato, cacat atau kelainan khusus dan sebagainya.. Termasuk
pemeriksaan radiologis (sinar X)
– Metode ini memiliki akurasi yang tinggi, oleh karena dilakukan oleh seorang ahli
dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi.
Metode Identifikasi Sekunder
• Pemeriksaan Serologis
– Menentukan golongan darah jenazah.
– Tidak khas untuk masing-masing individu
– Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan golongan darah yang diambil
baik dari tubuh korban atau pelaku, maupun bercak darah yang terdapat di
tempat kejadian perkara.
– Ada dua tipe orang dalam menentukan golongan darah, yaitu:
• Sekretor: golongan darah dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air mani dan
cairan tubuh.
• Non-sekretor : golongan darah hanya dari dapat ditentukan dari pemeriksaan darah
• Metode Eksklusi
– Terutama pada kecelakaan massal yang melibatkan sejumlah orang yang
dapat diketahui identitasnya.
– Bila sebagian besar korban telah dipastikan identitasnya dengan
menggunakan metode identifikasi lain, sedangkan identitas sisa korban tidak
dapat ditentukan dengan metode tersebut di atas, maka sisa diidentifikasi
menurut daftar penumpang.
Metode Identifikasi Sekunder
• Identifikasi kerangka
– Membuktikan kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur
dan tinggi badan, ciri khusus, dan deformitas, serta rekonstruksi
wajah.
– Mencari tanda kekerasan pada tulang dan memperkirakan sebab
kematian.
– Perkiraan saat kematian dilakukan dengan memperhatikan kekeringan
tulang.
– Penentuan ras dapat dilakukan dgn antropologik pada tengkorak, gigi
geligi, tulang panggul.
• Arkus zigomatikus dan gigi insisivus atas pertama yang berbentuk seperti
sekop memberi petunjuk ke ras Mongoloid.
– Jenis kelamin ditentukan dari tulang panggul, tulang tengkorak,
sternum, tulang panjang, skapula, metakarpal.
– Tinggi badan diperkirakan dari panjang tulang tertentu
36. Rekam Medis

Administrative Value

Legal Value

Financial Value

Research Value

Education Value

Documentation Value
UU Praktik Kedokteran no 29 thn 2004

• Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran: setiap dokter atau dokter


gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam
medis.

• Pasal 47 ayat (1): Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana
pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik
pasien.

• Mengenai ketentuan rekam medis diatur lebih khusus


dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis
Permenkes No. 269 tahun 2008
• Pasal 12:
– isi Rekam Medis adalah milik pasien, sedangkan berkas Rekam
Medis (secara fisik) adalah milik Rumah Sakit atau institusi
kesehatan.
– Isi rekam medis yang merupakan milik pasien dibuat dalam
bentuk ringkasan rekam medis..
• Pasal 8:
– Rekam medis ranap RS harus disimpan sekurang-kurangnya
untuk jangka waktu 5 tahun terhitung sejak tanggal terakhir
pasien berobat/ pulang
– Ringkasan pulang & persetujuan tindakan medik harus disimpan
10 tahun dari tgl pembuatan
• Pasal 9:
• Rekam medis sarana nonRS harus disimpan sekurang-kurangnya
untuk jangka waktu 2 tahun terhitung sejak tanggal terakhir
pasien berobat
Yang Berhak Terhadap Isi Rekam Medis

PASIEN
Bila pasien tidak kompeten, disampaikan kepada:
1. Keluarga pasien, atau
2. Orang yang diberi kuasa oleh pasien atau
keluarga pasien, atau
3. Orang yang mendapat persetujuan tertulis dari
pasien atau keluarga pasien
RAHASIA MEDIS
• Segala temuan pada diri pasien dapat dikatakan sebagai rahasia medik atau
rahasia kedokteran dan rahasia ini sepenuhnya milik pasien.
• Sumpah dokter (Sumpah Hipocrates) terdapat sumpah untuk merahasiakan
apapun yang dilihat dan didengar dalam sepanjang proses menjalankan
profesi seorang dokter
• Dasar hukum
– PP no 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran tgl 21 mei
1966.
– UU RS no 44 thn 2009
– UU Kesehatan no 36 thn 2009
– UU Praktik Kedokteran no 29 tahun 2004
– Pasal 11 PP 749.MENKES/PER/XII/1989 tentang REKAM MEDIS: “rekam medis
merupakan berkas yang wajib disimpan kerahasiaannya”
– PERMENKES NO. 36 TAHUN 2012 ttg Rahasia Kedokteran
– PERMENKES NO. 269 TAHUN 2008
• Dasar etik: Rahasia medis harus tetap dijaga, bahkan setelah pasien
meninggal dunia (KODEKI pasal 12).
UU Kesehatan no. 36 Tahun 2009

Pasal 57
• Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia
kedokteran.
• Rahasia kedokteran tidak berlaku dalam hal
perintah UU, perintah pengadilan, izin yang
bersangkutan, kepentingan masyarakat,
kepentingan orang tersebut
UU Rumah Sakit no. 44 Thn 2009
UU RS Pasal 38
(1) Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan
permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
UU RS pasal 44
(1) Rumah Sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada
publik yang berkaitan dengan rahasia kedokteran.
(2) Pasien dan/atau keluarga yang menuntut Rumah Sakit dan
menginformasikannya melalui media massa, dianggap telah
melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum.
UU Praktik Kedokteran no 29 thn 2004

Pasal 47 ayat (2)


• Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan
dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.

Pasal 48 ayat
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan perundang- undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri.
Permenkes no. 269 thn 2008
Pasal 10
• Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat
penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat
pengobatan harus dijaga kerahasiaannya
• Informasi tersebut dapat dibuka dalam hal:
– untuk kepentingan kesehatan pasien;
– memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan;
– permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
– permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan
perundang-undangan; dan
– untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit
medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.
KEWAJIBAN MENYIMPAN RAHASIA KEDOKTERAN
(PERMENKES 36/ 2012)
PEMBUKAAN RAHASIA MEDIS
PERMENKES NO.36 TAHUN 2012

PASAL 5:
• Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum, permintaan pasien
sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
PEMBUKAAN RAHASIA MEDIS
PERMENKES NO.36 TAHUN 2012
Yang Dimaksud Untuk Kepentingan Kesehatan Pasien

Pasal 6
Kepentingan kesehatan pasien meliputi:
• Kepentingan pemeliharaan kesehatan, pengobatan, penyembuhan, dan
perawatan pasien; dan
• Keperluan administrasi, pembayaran asuransi atau jaminan pembiayaan
kesehatan.

o Dilakukan dengan persetujuan dari pasien


o Dalam hal pasien tidak cakap untuk memberikan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), persetujuan dapat diberikan oleh
keluarga terdekat atau pengampunya
PEMBUKAAN RAHASIA MEDIS
PERMENKES NO.36 TAHUN 2012
Yang Dimaksud Untuk Penegakan Hukum
Pasal 7
• Pembukaan rahasia kedokteran untuk memenuhi permintaan aparatur
penegak hukum dalam rangka penegakan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dapat dilakukan pada proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan sidang pengadilan.
• Pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat melalui pemberian data dan informasi berupa visum et repertum,
keterangan ahli, keterangan saksi, dan/atau ringkasan medis.
• Permohonan untuk pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dari pihak yang
berwenang.
• Dalam hal pembukaan rahasia kedokteran dilakukan atas dasar perintah
pengadilan atau dalam sidang pengadilan, maka rekam medis seluruhnya
dapat diberikan.
TO 3
37. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik Pengambilan Sampel
• Probability Sampling  pengambilan acak
Simple Random  Pengambilan sampel dari semua
anggota populasi secara acak tanpa pembagian
apapun (setiap orang punya kesempatan sama), ex:
dadu, koin, “arisan”
Systematic  Dipilih berdasarkan urutan pola
tertentu, ex: tiap kelipatan 10, genap atau ganjil saja
Stratified  Pemilihan berdasarkan strata/tingkatan
dengan karakteristik tertentu (ex: usia, jenis kelamin)
lalu setelah itu diacak sesuai kelompoknya dan
diambil perwakilan sampel dari masing2 kelompok.

Suresh K, et al. Design, data analysis, and sampling techniques for


clinical research. 2011.
Teknik Pengambilan Sampel
• Probability Sampling  pengambilan acak
Cluster  Teknik sampling yang membagi
berdasarkan kriteriatertentu spt wilayah/daerah dan
mengambil sebagian dari total jumlah kelompok
tersebut secara acak dan diambil seluruh sampel dari
wilayah/daerah/kelompok yang terpilih, ex:
mengambil 10 kecamatan di Jakarta dan seluruh
penduduk di kecamatan yang terpilih dijadikan
sampel.
Multi-stage  gabungan 2 teknik sampling atau lebih,
ex: teknik cluster dengan mengambil 10 kecamatan di
Jakarta lalu dari tiap kecamatan dipilih 100 sampel
dengan simple random.

Suresh K, et al. Design, data analysis, and sampling techniques for


clinical research. 2011.
Teknik Pengambilan Sampel
• Non-Probability Sampling  pengambilan tidak acak
 Convenience  memilih siapapun yang ditemui sesuka
hati peneliti
 Quota  anggota sampel pada suatu tingkat dipilih
dengan jumlah tertentu (kuota) dengan ciri-ciri tertentu
 Snowball  Mencari sampel lain dari sampel sebelumnya,
“berantai”, biasanya pada kasus prevalensi sedikit

Suresh K, et al. Design, data analysis, and sampling techniques for


clinical research. 2011.
Teknik Pengambilan Sampel
• Non-Probability Sampling  pengambilan tidak acak
 Purposive/judgemental  sampel dipilih secara khusus
berdasarkan tujuan peneltian karena memenuhi
karakteristik yang diinginkan.
 Consecutive  Orang yang datang pertama dipilih sebagai
subjek

Suresh K, et al. Design, data analysis, and sampling techniques for


clinical research. 2011.
38. FAMILY ASSESSMENT TOOL
• Family dynamic  interaksi dan hubungan antar anggota keluarga
• Family assesment tools alat yang digunakan untuk menilai family dynamic
Family Genogram
• Suatu alat bantu berupa peta skema dari silsilah keluarga pasien
yang berguna untuk mendapatkan informasi mengenai nama
anggota keluarga, kualitas hubungan antar anggota keluarga
• Berisi nama, umur, status menikah, riwayat perkawinan, anak-
anak, keluarga satu rumah, penyakit spesifik, tahun meninggal,
dan pekerjaan.
• Juga mengenai informasi tentang hubungan emosional,
jarak/konflik antar anggota keluarga, hubungan penting dengan
profesional yang lain serta informasi lain yang relevan.
Family Life Cycle/Circle
• Siklus Hidup Keluarga (Family Life Cycle) adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan perubahan-perubahan
dalam jumlah anggota, komposisi dan fungsi keluarga
sepanjang hidupnya.
• Siklus hidup keluarga juga merupakan gambaran rangkaian
tahapan yang akan terjadi atau diprediksi yang dialami
kebanyakan keluarga.
• Siklus hidup keluarga terdiri dari variabel yang dibuat
secara sistematis menggabungkan variable demografik
yaitu status pernikahan, ukuran keluarga, umur anggota
keluarga, dan status pekerjaan kepala keluarga.
TAHAPAN-TAHAPAN SIKLUS HIDUP KELUARGA
Menurut Duvall tahun 1977 siklus hidup keluarga dapat dikategorikan menjadi 8
golongan yakni:
1. Pasangan yang baru menikah ( tanpa anak ) lamanya ± 2 tahun
2. Keluarga dengan anak yang baru dilahirkan ( usia anak tertua adalah baru lahir –
30 bulan ) lamanya ± 2,5 tahun
3. Keluarga dengan anak pra sekolah ( usia anak tertua adalah 30 bulan – 6 tahun )
lamanya ± 3,5 tahun
4. Keluarga dengan anak yang bersekolah ( usia anak tertua adalah 6 – 13 tahun)
lamanya ± 7 tahun
5. Keluarga dengan anak usia remaja ( usia anak tertua adalah 13 – 20 tahun)
lamanya ± 7 tahun
6. Keluarga dengan anak meninggalkan keluarga ( anak pertama pergi dan anak
terakhir tinggal di rumah) lamanya ± 8 tahun
7. Keluarga dengan usia orang tua pertengahan ( tak berkumpul lagi hingga pensiun
) lamanya ± 15 tahun
8. Keluarga dengan usia orang tua jompo (pensiun hingga kedua suami istri
meninggal ) lamanya ± 10 - 15 tahun
Family APGAR
• APGAR Keluarga merupakan kuesioner
skrining singkat yang dirancang untuk
merefleksikan kepuasan anggota keluarga
dengan status fungsional keluarga dan untuk
mencatat anggota-anggota rumah tangga.
• APGAR ini merupakan singkatan dari;
Adaptation, Partnership, Growth, Affection
dan Resolve.
Saya puas dengan keluarga saya karena masing-masing
ADAPTATION
anggota keluarga sudah menjalankan kewajiban sesuai 0-2
Adaptasi
dengan seharusnya

Saya puas dengan keluarga saya karena dapat membantu


PARTNERSHIP
memberikan solusi terhadap permasalahan yang saya 0-2
Kemitraan
hadapi

GROWTH Saya puas dengan kebebasan yang diberikan keluarga saya


0-2
pertumbuhan untuk mengembangkan kemampuan yang saya miliki

AFFECTION Saya puas dengan kehangatan / kasih sayang yang


0-2
Kasih ssayang diberikan keluarga saya

RESOLVE Saya puas dengan waktu yang disediakan keluarga untuk


0-2
Kebersamaan menjalin kebersamaan

Interpretasi :
8-10 = Highly functional family (fungsi keluarga baik)
4-7 = Moderately dysfunctional family (disfungsi keluarga moderat)
0-3 = Severely dysfunctional family (keluarga sakit / tidak sehat)
• Garis kehidupan menggambarkan
Family Lifeline secara kronologis stress kehidupan,
sebagai contoh dari gambar
disamping menunjukkan tingkat
kesakitan berupa migrain yang naik
turun sesuai dengan tingkat stress
yang dialami oleh pasien
• Misal :
– pada tahun 1969 pasien berusia 22
tahun kejadian hidup yang dialami
adalah lulus dari kampus dan pasien
mengalami migrain yang cukup berat,
– sedangkan pada tahun 1972 saat
pasien berusia 25 dan menikah justru
pasien tidak mengalami migrain,
– akan tetapi pada tahun 1973 ketika
pasien berusia 26 tahun dan mulai
bekerja serta mengalami kesulitan
bekerja, pasien mengalami migrain
yang cukup berat.
Family SCREEM
RESOURCE PATHOLOGY
• Isolated from extra-
• social interaction is evident among family members
familial
SOCIAL • Family members have well-balanced lines of
• Problem of over
communication with extra-familial social groups
commitment
• Ethnic and cultural
CULTURAL • cultural pride and satisfaction can be identified
inferiority

• Offers satisfying spiritual experiences as well as contacts


RELIGIOUS • Rigid dogma/rituals
with an extra-familial support group

• Economic
• Economic stability is sufficient to provide both reasonable deficiency
ECONOMIC satisfaction with financial status and an ability to meet
economic demands of normative life events • Inappropriate
economic plan
• Education of members is adequate to allow members to
EDUCATIONA • handicapped to
solve or comprehend most problems that arise within the
L comprehend
format of the lifestyle established by the family

• Medical health care is available through channels that are • Not utilizing health
MEDICAL easily established and have previously been experienced care
in a satisfactory manner facilities/resources
39. PENYIMPANAN VAKSIN
• Vaksin hidup
– Polio oral, BCG, campak, MMR, varicella
– Sebaiknya disimpan di suhu 2-8 derajat celcius. Di atas itu,
vaksin akan mati.

• Vaksin mati
– DPT, Hib, PCV, tifoid, IPV
– Sebaiknya disimpan di suhu 2-8 derajat celcius. Di bawah
itu, vaksin akan rusak.

• Syarat penyimpanan: disimpan di lemari es,


transportasi dalam kontak dingin tertutup rapat,
terlindung dari sinar matahari langsung, ada indikator
suhu berupa vaccine vial monitor.
Alat Pemantau Suhu Untuk
Mengetahui Kondisi Vaksin
• Vaccine Vial Monitor (VVM)
• Termometer Muller
• Freeze Watch
• Freeze Tag
Vaccine Vial Monitor (VVM)
• Fungsinya memantau suhu vaksin selama dalam
perjalanan maupun dalam penyimpanan.

• VVM ditempelkan pada setiap vial vaksin.

• Semua vaksin dilengkapi dengan VVM, kecuali


BCG.

• Kekurangan VVM: Tidak bisa memantau suhu


paparan dingin dibawah 0 °C.
Contoh VVM Vaksin Hepatitis B Dan Interpretasinya
Termometer Muller:
Suatu alat pengukur suhu biasa
tanpa menggunakan sensor
pengukur

Freeze Watch & Freeze Tag:


• suatu alat pemantau suhu
dingin dibawah 0 °C.
• Sensor akan berubah bila
suhu di bawah 0 °C.
• Freeze watch akan
menjadi berwarna biru
bila suhu terlalu rendah.
• Freeze tag akan
menampilkan tanda x bila
suhu terlalu rendah.
Jika Vaksin Disimpan Terlalu Dingin:
UJI KOCOK VAKSIN
• Dilakukan untuk meyakinkan apakah vaksin tersangka beku masih layak
digunakan atau tidak.
• Cara melakukan uji kocok:
– Pilih satu contoh dari tiap tipe dan batch vaksin yang dicurigai pernah beku,
utamakan dengan evaporator dan bagian lemari es yang paling dingin. Beri
label ”Tersangka Beku”. Bandingkan dengan vaksin dari tipe dan batch yang
sama yang sengaja dibekukan hingga beku padat seluruhnya dan beri label
”Dibekukan”.
– Biarkan contoh ”Dibekukan” dan vaksin ”Tersangka Beku” sampai mencair
seluruhnya.
– Kocok contoh ”Dibekukan” dan vaksin ”Tersangka Beku” secara bersamaan.
– Amati contoh ”Dibekukan” dan vaksin ”Tersangka Beku” bersebelahan untuk
membandingkan waktu Pengendapan (umumnya 5-30 menit)
– Bila terjadi: a) Pengendapan vaksin ”Tersangka Beku” lebih lambat dari contoh
”Dibekukan”: vaksin dapat digunakan. b) Pengendapan vaksin ”Tersangka
Beku” lebih cepat dari contoh ”Dibekukan”: vaksin jangan digunakan, vaksin
sudah rusak.
Gambar : Uji kocok untuk Vaksin Vial
Penanganan Vaksin Rusak
• Vaksin yang rusak dikeluarkan dari lemari es,
kemudian dilaporkan kepada atasan petugas.
Jika sedikit dapat dimusnahkan sendiri oleh
Puskesmas, tetapi bila banyak dapat
dikumpulkan ke Dinkes Kabupaten/Kota
dengan dibuat berita acara pemusnahan.
40. Puskesmas
Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung
jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatu wilayah kerja (Kepmenkes RI
No.128/Menkes/SK/II/2004).

Dasar-dasar puskesmas. Kemenkes RI. 2013


Wilayah Kerja Puskesmas
• Berkaitan INPRES Kesehatan No 5 thn 1974
sejak pelita III maka konsep puskesmas
mencakup satu wilayah yang mempunyai
penduduk 30.000 jiwa

• Untuk wilayah dengan jumlah penduduk


30.000 jiwa dikoordinasi dengan 2 puskesmas.
Salah satu sebagai puskesmas induk dan salah
satu menjadi puskesmas pembantu
Puskesmas
• Satu dokter sebagai kepala puskesmas dapat
merangkap sebagai dokter di poliklinik dan 1
dokter bertugas di puskesmas pembantu

• Rasio dokter-penduduk bervariasi mulai


1:5000 sampai 1:2500 (rata rata 1:4000)
Fungsi Puskesmas
Puskesmas
Jenis Puskesmas menurut pelayanan kesehatan medis, dibagi dua
kelompok yakni:
• Puskesmas Perawatan, pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat
inap (memberikan pelayanan 24 jam dan dapat merawat pasien one
day care (atau maksimal selama 3 hari)
• Puskesmas Non Perawatan, hanya pelayanan kesehatan rawat jalan
(pelayanan pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan dalam jam
kerja saja, kecuali untuk pelayanan persalinan)

Menurut wilayah kerjanya, dikelompokkan menjadi:


• Puskesmas Induk / Puskesmas Kecamatan  Sasaran penduduk
30.000/puskesmas
• Puskesmas Satelit / Puskesmas Kelurahan
Kriteria Puskesmas Rawat Inap

Puskesmas Rawat Inap, sebagai sebuah Pusat Rujukan Antara bagi


penderita gawat darurat sebelum dibawa ke RS, harus memenuhi kriteria
(Depkes, 2009):
• Puskesmas terletak kurang lebih 20 km dari Rumah Sakit
• Puskesmas mudah dicapai dengan kendaraan bermotor
• Puskesmas dipimpin oleh dokter dan telah mempunyai tenaga yang
memadai
• Jumlah kunjungan Puskesmas minimal 100 orang per hari
• Penduduk wilayah kerja Puskesmas dan penduduk wilayah 3 Pus kesmas
di sekitarnya minimal 20.000 jiwa per Puskesmas
• Pemerintah Daerah “bersedia” menyediakan dana rutin yang memadai.
Kegiatan Puskesmas Rawat Inap
• Melakukan tindakan operatif terbatas terhadap penderita
gawat darurat, antara lain: Kecelakaan lalu lintas, Persalinan
denngan penyulit, dan Penyakit lain yang mendadak dan gawat
• Merawat sementara penderita gawat darurat atau untuk
observasi penderita dalam rangka diagnostik dengan rata-rata
3-7 hari perawatan.
• Melakukan pertolongan sementara untuk pengiriman
penderita ke Rumah Sakit. Memberi pertolongan persalinan
bagi kehamilan denngan resiko tinggi dan persalinan dengan
penyulit
• Melakukan metode operasi pria dan metode operasi wanita (
MOP dan MOW ) untuk Keluarga Berencana.
WILAYAH KERJA PUSKESMAS
• 1 kecamatan / sebagian kecamatan
• Sasaran: 30.000 penduduk
• Untuk mendukung jangkauan wilayah:
– Puskesmas Pembantu
– Puskesmas Keliling
• Puskesmas Pembina: menjangkau >= 150.000
jiwa
• Era Desentralisasi  otonomi setiap Pemda II
mengembangkan puskesmas sesuai rentra daerah
Wilayah Kerja Puskesmas
• Puskesmas Pembantu
• Puskesmas Keliling
• Bidan Desa : untuk pelayanan persalinan di
polindes
• Posyandu : Keterpaduan antara puskesmas
dan masyarkat di tingkat desa yang
diwujudkan dalam pos pelayanan terpadu.
Satu posyandu sebaiknya melayani sekitar 100
balita, atau sesuai dengan kemampuan
petugas dan keadaan setempat
PUSKESMAS
Puskesmas induk: Puskesmas yang terdapat di wilayah kecamatan. Sasaran penduduk 30.000/puskesmas

Puskesmas Pembantu (Pustu): Puskesmas yang sederhana dan berfungsi membantu memperluas jangkauan
Puskesmas Induk dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Puskesmas dalam ruang lingkup wilayah
yang lebih kecil (desa, kelurahan)
• Biasanya ada satu buah di setiap desa/kelurahan
• Membantu puskesmas induk
• Pelayanan medis sederhana oleh perawat atau bidan, disertai jadwal kunjungan dokter
• Sasaran meliputi 2-3 desa atau dengan jumlah penduduk 2.500 (luar jawa & bali) sampai 10.000 orang (jawa &
bali)

Puskesmas Keliling (Puskel) : pelayanan kesehatan keliling yang dilengkapi dengan kendaraan bermotor dan
peralatan kesehatan, peralatan komunikasi serta sejumlah tenaga yang berasal dari Puskesmas
• Kegiatan pelayanan khusus ke luar gedung, di wilayah kerja puskesmas.
• Menggunakan kendaraan bermotor roda 4, roda 2, atau perahu.
• Pelayanan medis terpadu oleh dokter, perawat, bidan, gizi, pengobatan dan penyuluhan.
• Menunjang dan membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan Puskesmas dalam wilayah kerjanya yang belum
terjangkau.
41. BIAS DALAM PENELITIAN
Apakah yang dimaksud dengan bias?
• Bias adalah kesalahan sistematik pada penelitian
(dalam metode pemilihan subjek, pengumpulan
data, pelaksanaan penelitian, atau analisis
penelitian) yang menyebabkan distorsi estimasi
hubungan antara paparan dan hasil/outcome.

• Adanya bias dapat menyebabkan hubungan


paparan-outcome yang sebenarnya tidak ada
menjadi ada, atau sebaliknya.
Apa Saja Bias dalam Penelitian
Kedokteran?
• Ada puluhan macam bias dalam penelitian kedokteran,
namun secara umum, bias dibagi menjadi 3 jenis:
– Selection bias (bias seleksi): Bias yang berhubungan
dengan seleksi subyek penelitian sehingga sampel tidak
representatif
– Information/misclassification/measurement bias (bias
informasi/pengukuran): kesalahan dalam pengukuran
paparan
• Secara umum
• Pada uji klinis
– Confounding (bias perancu): distorsi/ penyimpangan
hubungan antara paparan-penyakit oleh faktor lain
(confounder/perancu)
Bias yang berhubungan dengan seleksi subyek
• Bias prevalens/insidens (Neyman’s bias)
– insidens dan prevalens suatu penyakit sangat jauh berbeda sehingga yang diteliti tidak
sesuai dengan kenyataan di populasi.
– Terjadi apabila subyek penelitian mencakup pasien dengan penyakit dengan mortalitas
tinggi pada fase awal, dan angka kematiannya menurun dengan perjalanan waktu, atau
– Pasien yang onset penyakit atau kelainan faktor risikonya sulit dideteksi.
– Contoh: studi tentang penyakit jantung bawaan, kemungkinan melibatkan pasien
dengan kelainan berat seperti TGA yang mortalitasnya tinggi dalam bulan-bulan pertama
kehidupan. Jika penelitian mencakup subjek yang usianya lebih dari 1 tahun,
kemungkinan pasien dengan PJB berat tidak mempunyai kesempatan untuk dipilih
sebagai subjek.
– Contoh lainnyanya,penelitian untuk meneliti efektivitas obat A terhadap kanker paru.
Dalam kenyataan, kebanyakan pasien baru terdiagnosis kanker paru saat stadium IV
sehingga cepat meninggal dan tidak dapat menjadi subyek penelitian. Sehingga
mayoritas yang menjadi subyek penelitian adalah pasien kanker paru stadium awal, dan
memiliki respon baik terhadap obat A. kesimpulan penelitian tersebut sulit untuk
diterapkan di populasi, karena insidens kanker paru lebih tinggi pada stadium IV
sebenarnya tetapi pasiennya tidak bertahan hidup lama (prevalensnya rendah).
– Cara untuk mengurangi bias: melakukan studi insidensi, jadi hanya pasien baru saja yang
diikutkan. Dalam penelitian tentang PJB, subjek penelitian direkrut sejak lahir.
Bias yang berhubungan dengan seleksi subyek
• Admission rate/referral bias (Berkson’s fallacy)
– Terjadi pada studi (terutama case control) yang menggunakan subjek
yang dirawat di rumah sakit  mempengaruhi kesetaraan antar
kelompok subjek yang diteliti (kasus dan kontrol) karena perbedaan
indikasi rawat.
– Hal ini terjadi karena adanya kombinasi eksposure dan outcome pada
subyek meningkatkan kemungkinan hospital admission yang lebih
tinggi, sehingga rate eksposure pada kasus akan lebih tinggi
dibandingkan pada kontrol
– Contoh: studi tentang penyakit gagal jantung dengan infeksi
pneumonia dengan subjek dari rumah sakit. Orang dengan penyakit
gagal jantung DAN pnemonia memiliki kemungkinan masuk rawat
inap di RS yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan org yg gagal
jantung TANPA pneumonia, orang yang pneumonia TANPA gagal
jantung, ataupun orang yang TIDAK gagal jantung DAN TIDAK
pneumonia  hasilnya seakan-akan gagal jantung berhubungan
dengan pneumonia, padahal tidak.
– Cara mengurangi bias: menghimpun kelompok (subjek sehat, subjek
dengan penyakit ringan, sedang, berat). Kelompok kontrol yang lebih
dari satu juga dapat mengurangi bias ini.
Bias yang berhubungan dengan seleksi subyek
• Bias non-respons atau bias relawan
– Terjadi bila subjek yang terpilih sebagai sampel menolak ikut penelitian, atau
bila studi memperbolehkan relawan.
– Contoh: dalam studi obat anti alergi, pasien dengan kelainan ringan, atau
berat namun responsif terhadap obat yang ada akan merasa tidak perlu ikut
serta dalam penelitian, sementara pasien dengan penyakit berat yang non
responsif terhadap obat yang ada akan bersedia menjadi relawan.

• Membership bias
– Bila pada kelompok studi terdapat satu atau lebih hal yang berhubungan
dengan efek, sedangkan pada kelompok kontrol tidak.
– Contoh: studi tentang efek rokok terhadap kanker  tidak mungkin dibuat uji
klinis, maka beberapa ahli menduga mungkin bukan hanya rokoknya yang
berbahaya, namun juga faktor lain yang terdapat pada perokok yang tidak bisa
disingkirkan.

• Procedure selection bias


– Bila pemilihan subjek berdasarkan pada karakteristik tertentu yang membuat
kedua kelompok menjadi tidak seimbang.
– Contoh: uji klinis efektivitas obat dibandingkan plasebo, apabila tidak
dilakukan randomisasi, peneliti akan cenderung memberikan obat pada subjek
yang sakit
Information/ Measurement Bias
• Kesalahan sistematis dalam : mengamati, memilih
instrumen, mengukur, membuat
klasifikasi,mencatat informasi, dan membuat
interpretasi tentang paparan maupun penyakit,
sehingga mengakibatkan distorsi penaksiran
pengaruh paparan terhadap penyakit.

• Jenisnya antara lain: Recall bias, Interviewer bias,


Instrument bias, Observer bias
Bias pengukuran/measurement bias
• Bias pengamat/ observer
– Distorsi konsisten (baik disadari ataupun tidak) yang dilakukan peneliti
dalam menilai atau melaporkan hasil pengukuran.
– Misalnya: peneliti mengukur tekanan darah 1000 orang dari pagi
hingga sore. Kemungkinan hasil tekanan darah orang yang diukur di
sore hari tidak seakurat hasil orang diukur di pagi hari.
• Bias subjek
– Distorsi konsisten subjek penelitian; karena merasa sedang menjadi
subjek penelitian maka subjek cenderung bekerja lebih baik dan lebih
serius (efek Hawthorne)
– Recall bias termasuk dalam bias subjek; misalnya pasien kanker
payudara lebih bersungguh-sungguh mengingat durasi konsumsi pil KB
dibanding pasien kontrol.
• Bias instrumen
– Kesalahan sistematik akibat tidak akuratnya alat ukur.
– kesalahan pada alat ukur yang digunakan untuk memperoleh data.
Misalnya alat ukur tidak ditera dengan baik, atau menggunakan alat
ukur berbeda-beda untuk pengumpulan data 1 variabel.
Information/ measurement bias
• Bias pewawancara/Interviewer bias: terjadi jika
subjek diwawancara atau diinvestigasi rekam
medisnya oleh peneliti sendiri.
• Contoh: penelitian minum obat saat hamil
dengan kejadian kelainan kongenital. Pada ibu
yang memiliki anak kelainan kongenital, peneliti
menggali pertanyaan lebih banyak dan lebih
mendalam untuk mendapatkan faktor risikonya
dibanding saat mewawancarai ibu dengan anak
yang sehat.
Information/ Measurement Bias
• Recall bias: Pengetahuan akan status penyakit
mempengaruhi penentuan status paparan,
didapatkan dari wawancara/berdasarkan ingatan
subyek.
– Contoh: penelitian minum obat saat hamil dengan
kejadian kelainan kongenital. Ibu yang memiliki anak
kelainan kongenital akan lebih berusaha mengingat-
ingat obat apa saja yang diminumnya saat hamil,
dibandingkan dengan ibu yang anaknya sehat.
Sehingga lebih mungkin ibu-ibu yang memiliki anak
kelainan kongenital menyebutkan bahwa mereka
mengkonsumsi obat saat kehamilan.
Confounding/ Bias Perancu
• Confounder adalah faktor ketiga yang
berhubungan dengan paparan dan outcome,
dan mempengaruhi sebagian/seluruh
hubungan antara keduanya.
Contoh: penelitian ingin mengetahui hubungan
konsumsi alkohol dengan PJK. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa konsumsi alkohol berhubungan
dengan PJK. Namun ternyata, orang yang
mengkonsumsi alkohol umumnya juga memiliki
kebiasaan merokok. Sementara merokok juga
menyebabkan PJK. Jadi sebenarnya apakah konsumsi
alkohol yang menyebabkan PJK? Atau kebiasaan
merokoknya yang menyebabkan PJK? Dalam hal ini,
kebiasaan merokok adalah confounding.
Bias pengukuran pada penelitian klinis
• Bias prosedur
– Terjadi bila pengukuran, prosedur, terapi, dll dilakukan
pada kelompok yang dibandingkan tidak sama. Misalnya
pasien dengan hipertensi lebih sering diukur tekanan
darahnya.
• Bias akibat pengukuran yang kurang sensitif
– Terjadi akibat alat ukur yang digunakan kurang sensitif.
• Bias deteksi
– Terjadi akibat perubahan kemampuan suatu alat ukur
untuk mendeteksi penyakit.
– Karena lebih sensitif, penyakit terdeteksi lebih dini,
sehingga seakan-akan tingkat survival-nya lebih tinggi pula.
• Bias ketaatan (compliance bias)
– Terjadi karena perbedaan ketaatan mengikuti prosedur
antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Jenis Bias Lainnya
Ascertainment bias
• Ascertainment bias happens when the results of your study
are skewed due to factors you didn’t account for, like a
researcher’s knowledge of which patients are getting which
treatments in clinical trials or poor Data Collection
Methods that lead to non-representative samples.
• Ascertainment bias in clinical trials happens when one or
more people involved in the trial know which treatment
each participant is getting. This can result in patients
receiving different treatments or co-treatments, which will
distort the results from the trial. A patient who knows they
are receiving a placebo might be less likely to report
perceived benefits (the “placebo effect“).
Jenis Bias Lainnya
• Verification/ work up bias adalah bias dalam penelitian diagnostik (untuk
menguji suatu pemeriksaan baru, dibandingkan dengan gold standard), di
mana pasien yang pemeriksaannya negative tidak dilanjutkan dengan
pemerksaan gold standardnya sehingga menyebabkan sensitivitas
pemeriksaan jadi lebih tinggi daripada yang seharusnya.
– Contoh: A study assessed the accuracy of D-dimer testing for diagnosing deep vein
thrombosis (DVT). Patients who had a positive D-dimer result were further assessed
with ultrasonography (reference standard test 1), whereas patients who had
negative D-dimer results were assessed with routine 3-month clinical follow-up
(reference standard test 2). Therefore, patients who had a DVT but a negative D-
dimer may not have been diagnosed by routine follow-up (symptoms may have
resolved in the interim). This study design thus risks underestimating the number of
FNs and thus may overestimate the sensitivity of a new test
• Loss to follow up bias merupakan bias pada studi kohort. Bias ini terjadi
pada studi kohort dalam waktu yang panjang dan subyeknya banyak yang
drop out di tengah penelitian sehingga dapat mengacaukan hasil.
42. Kecelakaan Lalu Lintas: Apakah
Ditanggung BPJS Kesehatan?
• Kecelakaan lalu lintas dapat ditanggung oleh:
– Jasa Raharja
– BPJS Kesehatan
Tergantung jenis kecelakaan yang terjadi.
Kecelakaan Yang Ditanggung Jasa
Raharja
Berdasarkan undang-undang no 33 tahun 1965 berikut adalah jenis kecelakaan
yang dijamin oleh jasa raharja:
• Kecelakaan di angkutan umum, dan si penumpang masih berada di dalam
angkutan umum
• Korban yang berada di atas kapal fery dan kapal mengalami kecelakaan, korban
bisa mendapatkan jaminan ganga.
• Korban kecelakaan kendaraan umum yang mayatnya tidak ditemukan
berdasarkan atas keputusan pengadilan negeri.

Sedangkan menurut undang-undang no 35 tahun 1965 yang berhak mendapatkan


santunan jasa raharja adalah sebagai berikut:
• Setiap orang yang mengalami kecelakaan oleh angkutan umum, misalnya
pejalan kaki yang tertabrak angkutan umum dll.
• orang yang berada di kendaraan bermotor kemudian mengalami kecelakaan
yang bukan disebabkan oleh si pengemudi kendaraan tersebut
• Tabrakan 2 atau lebih kendaraan bermotor
• Kasus tabrak lari yang sudah terbukti
Hak Santunan
Kemudian menurut Undang Undang Nomor 34 Tahun
1964 Jo PP Nomor 18 Tahun 1965, korban yang berhak
atas santunan adalah
• setiap orang yang berada di luar angkutan lalu lintas
jalan yang menjadi korban akibat kecelakaan dari
penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan
• setiap orang atau mereka yang berada di dalam suatu
kendaraan bermotor dan ditabrak, dimana pengemudi
kendaraan bermotor yang penyebab kecelakaan,
termasuk dalam hal ini para penumpang kendaraan
bermotor dan sepeda motor pribadi.

https://www.jasaraharja.co.id/layanan
Yang tidak bisa ditanggung Jasa
Raharja
• Pengendara yang menyebabkan terjadinya kecelakaan
• Korban kecelakaan baik pengendara atau pejalan kaki yang
menerobos palang pintu kereta.
• Korban kecelakaan yang disengaja, seperti bunuh diri dan/atau
percobaan bunuh diri serta korban kecelakaan yang terbukti
mabuk.
• Korban kecelakaan tunggal kendaraan pribadi
• Korban kecelakaan yang terbukti sedang melakukan kejahatan
• Korban kecelakaan akibat bencana alam
• Korban kecelakaan perlombaan kecepatan seperti misalnya
perlombaan balapan mobil atau motor.
https://www.jasaraharja.co.id/layanan
Kecelakaan Yang Ditanggung BPJS Kesehatan

Berikut adalah ketentuan bahwa kecelakaan tunggal bisa mendapatkan jaminan dari
BPJS kesehatan:
• Kecelakaan tunggal yang tidak dijamin oleh Jasa Raharja dan juga Oleh BPJS
Ketenagakerjaan maka itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPJS Kesehatan.
• Agar biaya ditanggung sepenuhnya oleh BPJS maka korban kecelakaan harus
dipastikan memilih rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS, jika tidak maka
kemungkinan besar biaya yang akan ditanggung hanya untuk biaya UGD saja.
• Pastikan adanya Laporan ke pihak kepolisian setempat agar pihak kepolisian bisa
membantu mengurusnya ke jasa raharja yang sistemnya sudah online.
• Dapatkan surat keterangan dari jasa raharja yang menyatakaan bahwa Kecelakaan
tidak ditanggung Jasa Raharja (dengan catatatn: harus ada laporan kepolisian).
• Jika kecelakaan bukan kecelakaan tunggal maka itu menjadi tanggung jawab Jasa
Raharja dengan catatan harus ada laporan kepolisian.
BPJS Ketenagakerjaan
Program BPJS Ketenagakerjaan antara lain:
• Jaminan Kecelakaan Kerja
– kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan pergi ke dan pulang dari
tempat kerja, serta perjalanan dinas
• Jaminan Kematian
– Uang tunai yang diberikan pada ahli waris ketika peserta meninggal
dunia bukan akibat kecelakaan kerja
• Jaminan Hari Tua
– Uang tunai akumulasi iuran+hasil pengembangan yang dibayarkan
pada saat peserta mencapai usia 56 tahun, meninggal dunia, atau
cacat total tetap
• Jaminan Pensiun
– Uang tunai bulanan yang diberikan kepada peserta yang telah
memenuhi iuran minimun 15 tahun (180 bulan)
43. KEPESERTAAN BPJS KESEHATAN
44. Sistem Pembayaran Kesehatan (WHO)
Fee for service Pembayaran per item pelayanan (pemeriksaan, terapi, pelayanan
pengobatan/tindakan diidentifikasi satu persatu) kemudian
dijumlahkan dan ditagihkan kepada pasien
Case payment Pembayaran bagi paket pelayanan atau episode pelayanan. Tidak
berdasarkan item
Daily charge Pembayaran langsung dengan jumlah tetap per hari bagi pelayanan
rawat inap
Bonus payment Pembayaran langsung sejumlah yang disepakati (biasanya global)
bagi tipe pelayanan yang diberikan
Capitation Pembayaran berdasarkan jumlah orang yang menjadi tanggung
jawab dokter (tiap tahun)
Salary Pendapatan per tahun tidak berdasarkan beban kerja atau biaya
pelayanan yang diberikan
Global budget Seluruh anggaran pelaksanaan ditetapkan di awal yang dirancang
untuk menyediakan pengeluaran tertinggi, tetapi memungkinkan
pemanfaatan dana secara fleksibel dalam batas tertentu
PEMBAYARAN BPJS DI FASKES PRIMER

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR TARIF PELAYANAN
KESEHATAN DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
Tarif Kapitasi
• Tarif Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a diberlakukan pada FKTP yang melakukan
pelayanan:
a. administrasi pelayanan;
b. promotif dan preventif;
c. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
d. tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun
non operatif;
e. obat dan bahan medis habis pakai;
f. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium
tingkat pratama.
Tarif Non Kapitasi
• Tarif Non Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
diberlakukan pada FKTP yang melakukan pelayanan kesehatan di
luar lingkup pembayaran kapitasi, yang meliputi:
a. pelayanan ambulans
b. pelayanan obat program rujuk balik;
c. pemeriksaan penunjang pelayanan rujuk balik;
d. pelayanan penapisan (screening) kesehatan tertentu termasuk
pelayanan terapi krio untuk kanker leher rahim;
e. rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi medis;
f. jasa pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh
bidan atau dokter, sesuai kompetensi dan kewenangannya; dan
g. pelayanan Keluarga Berencana di FKTP
Penyakit yang Termasuk dalam
Program Rujuk Balik

https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/4238e7d5f66ccef4ccd89883c46fcebc.pdf
Pembayaran BPJS di Faskes Sekunder
& Tersier (Rumah Sakit)
• Indonesian-Case Based Groups (INA-CBGs): besaran
pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan
yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis
penyakit dan prosedur.

• Non INA-CBGs: tarif diluar tarif paket INACBG untuk


beberapa item pelayanan tertentu meliputi alat bantu
kesehatan, obat kemoterapi, obat penyakit kronis,
CAPD dan PET Scan, dengan proses pengajuan klaim
dilakukan secara terpisah dari tarif INA-CBG

Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 52 tahun 2016


45. FIVE LEVEL OF PREVENTION
• Dilakukan pada orang sehat
Health promotion • Promosi kesehatan
• Contoh: penyuluhan

• Dilakukan pada orang sehat


Specific • Mencegah terjadinya kesakitan
protection • Contoh: vaksinasi, cuci tangan pakai sabun

• Dilakukan pada orang sakit


Early diagnosis & • Tujuannya kuratif
prompt treatment • Contoh: Pengobatan yang tepat pada pasien TB

• Dilakukan pada orang sakit


Disability • Membatasi kecacatan
limitation • Contoh: pasien neuropati DM latihan senam kaki

• Dilakukan pada orang sakit dengan kecacatan


Rehabilitation • Optimalisasi fungsi tubuh yang masih ada
• Contoh: latihan berjalan pada pasien pasca stroke
Pencegahan Primer-Sekunder-Tersier
Primordial Prevention & Quartenary
Prevention
Primordial prevention Quartenary prevention
• consists of actions to minimize future • Action taken to identify patient at risk
hazards to health and hence inhibits of over-medicalization, to protect
the establishment of factors which him from new medical invasion, and
are known to increase the risk of to suggest him interventions ethically
disease. acceptable.
• It addresses broad health
determinants rather than preventing • For example:
personal exposure to risk factors, – the avoidance of screening without
which is the goal of primary foundation, such as in prostate cancer
prevention. – The appropriate use of antibiotics in
upper respiratory tract infections
• The difference with primary
prevention:
– Primary prevention seeks to prevent the
onset of specific diseases via risk
reduction by altering behaviors or
exposures that can lead to disease or by
enhancing resistance to the effects of
exposure to a disease agent.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4311333/
46. PELAYANAN
KEGAWATDARURATAN BPJS
• Peserta BPJS yang memerlukan pelayanan gawat
darurat dapat langsung memperoleh pelayanan di
setiap fasilitas kesehatan.

• Peserta yang menerima pelayanan kesehatan di


fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan, akan segera dirujuk ke fasilitas kesehatan
yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah
keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dalam
kondisi dapat dipindahkan.
– Biaya akibat pelayanan kegawatdaruratan ditagihkan
langsung oleh Fasiltas Kesehatan kepada BPJS Kesehatan.
47. JENIS POSYANDU
• Terdapat 4 jenis posyandu:
– Posyandu pratama (warna merah)
– Posyandu madya (warna kuning)
– Posyandu purnama (warna hijau)
– Posyandu mandiri (warna biru)
Posyandu Pratama
• Posyandu tingkat pratama adalah posyandu
yang masih belum mantap, kegiatannya belum
bisa rutin tiap bulan dan kader aktifnya
terbatas.
• Keadaan ini dinilai ‘gawat’ sehingga
intervensinya adalah pelatihan kader ulang.
Artinya kader yang ada perlu ditambah dan
dilakukan pelatihan dasar lagi.
Posyandu Madya
• Rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih.
• Akan tetapi cakupan program utamanya (KB, KIA, Gizi,
dan Imunisasi) masih rendah yaitu kurang dari 50%.
• Kelestarian posyandu sudah baik tetapi masih rendah
cakupannya.
• Intervensi untuk posyandu madya ada 2 yaitu :
– Pelatihan Toma dengan modul eskalasi posyandu yang
sekarang sudah dilengkapi dengan metoda simulasi.
– Penggarapan dengan pendekatan PKMD (SMD dan MMD)
untuk menentukan masalah dan mencari penyelesaiannya,
termasuk menentukan program tambahan yang sesuai
dengan situasi dan kondisi setempat.
Posyandu Purnama
• Posyandu yang frekuensinya lebih dari 8 kali per tahun,
rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih, dan
cakupan 5 program utamanya (KB, KIA, Gizi dan
Imunisasi) lebih dari 50%.
• Sudah ada program tambahan.
• Intervensi pada posyandu di tingkat ini adalah :
– Penggarapan dengan pendekatan PKMD untuk
mengarahkan masyarakat menetukan sendiri
pengembangan program di posyandu
– Pelatihan Dana Sehat, agar di desa tersebut dapat tumbuh
Dana Sehat yang kuat dengan cakupan anggota minimal
50% KK atau lebih.
Posyandu Mandiri
• Posyandu ini berarti sudah dapat melakukan
kegiatan secara teratur, cakupan 5 program
utama sudah bagus, ada program tambahan
dan Dana Sehat telah menjangkau lebih dari
50% KK.
• Intervensinya adalah pembinaan Dana Sehat.
Keberhasilan Posyandu
• Cakupan SKDN
– S: semua balita di wilayah kerja Posyandu
– K: semua balita yang terdaftar dan memiliki KMS
– D: jumlah balita yang datang dan ditimbang
– N: jumlah balita yang naik berat badannya

Indikator cakupan program posyandu:


• Liputan program = K/S
– Kemampuan program untuk menjangkau balita yang ada di masing-
masing wilayah
• Tingkat kelangsungan penimbangan = D/K
– Kemantapan pengertian dan motivasi orang tua balita untuk
menimbang anak secara teratur
• Tingkat partisipasi masyarakat terhadap program posyandu = D/S
• Dampak program = N/D
– Berhasil/tidaknya program posyandu
48. UKURAN MORBIDITAS PENYAKIT
Definisi Rumus
Insidens/ insidens Jumlah kasus baru dalam Jumlah kasus baru/ jumlah populasi
kumulatif/ incidence periode waktu tertentu berisiko di awal periode
rate/ attack rate/
attack risk Attack rate/risk lebih sering
digunakan pada konteks KLB.

Secondary attack rate jumlah penderita baru suatu Jumlah penderita baru pd serangan
penyakit yang terjangkit pada kedua/ (jumlah populasi berisiko-
serangan kedua dibandingkan jumlah orang yang terkena
dengan jumlah penduduk serangan pertama)
dikurangi orang/penduduk yang
pernah terkena penyakit pada
serangan pertama.

Incidence density rate jumlah penderita baru suatu Jumlah kasus baru/ jumlah populasi
(or person-time rate) penyakit yang ditemukan pada berisiko di awal periode (dalam
suatu jangka waktu tertentu satuan orang-waktu)
(dalam satuan orang-waktu)
Ukuran Morbiditas Penyakit (2)
Definisi Rumus
Point prevalence Jumlah seluruh kasus pada satu Jumlah seluruh kasus (kasus lama
waktu tertentu, misalnya jumlah dan kasus baru)/ jumlah populasi
seluruh kasus hipertensi per berisiko pada satu waktu yang
tanggal 1 April 2017. spesifik (tanggal tertentu atau jam
tertentu).

Period prevalence Jumlah seluruh kasus pada satu Jumlah seluruh kasus (kasus lama
periode tertentu, misalnya jumlah dan kasus baru)/ jumlah populasi
seluruh kasus hipertensi dari berisiko pada satu periode
Januari-Desember 2016. tertentu.

Jumlah populasi berisiko diambil


dari jumlah populasi pada
pertengahan periode.
Prevalensi
• Prevalensi adalah jumlah seluruh kasus dibagi
dengan jumlah populasi berisiko pada tahun
tersebut.
• Pada soal, ditanyakan prevalensi pada tahun
2015, maka prevalensinya adalah:
seluruh kasus (50+18) = 6,8%
populasi berisiko 1000 =
49. KEJADIAN EPIDEMIOLOGIS PENYAKIT

• Sporadik: kejadian penyakit tertentu di suatu


daerah secara acak dan tidak teratur.
Contohnya: kejadian pneumonia di DKI
Jakarta.

• Endemik: kejadian penyakit di suatu daerah


yang jumlahnya lebih tinggi dibanding daerah
lain dan hal tersebut terjadi terus menerus.
Contohnya: Malaria endemis di Papua.
• Epidemik dan KLB: Epidemik dan KLB sebenarnya
memiliki definisi serupa, namun KLB terjadi pada
wilayah yang lebih sempit (misalnya di satu
kecamatan saja). Indonesia memiliki kriteria KLB
berdasarkan Permenkes 1501 tahun 2010 (di
slide selanjutnya).

• Pandemik: merupakan epidemik yang terjadi


lintas negara atau benua. Contohnya: kejadian
MERS-COV di dunia tahun 2014-2015.
Endemic vs Epidemic
Number of Cases of a Disease

Endemic Epidemic

Time
Kriteria KLB (Permenkes 1501, tahun 2010)
• Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada
atau tidak dikenal pada suatu daerah
• Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun
waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis
penyakitnya
• Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut
jenis penyakitnya
• Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah
per bulan dalam tahun sebelumnya
• Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata
jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya
• Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen)
atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit
periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
• Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu
periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
Pola Epidemi Penyakit Menular
• Common source: satu orang atau sekelompok
orang tertular penyakit dari satu sumber yang
sama, dibagi menjadi:
– Point
– Continuous
– Intermittent

• Propagated/progressive: penyakit menular dari 1


orang ke orang lain (sehingga umumnya muncul
penyakit baru dengan jarak 1 masa inkubasi).
Point Source Epidemic
• Terjadi bila sekelompok orang terpapar sumber
penyakit dalam waktu singkat sehingga setiap orang
menjadi sakit dalam waktu hampir bersamaan.

Contoh:
Insidens hepatitis A di
Pennsylvania yang
terjadi akibat sayuran
yang mengandung virus
hepatitis A yang
dikonsumsi pengunjung
restoran pada tanggal 6
November.
Continuous Common Source Epidemic

• Terjadi bila paparan terjadi pada jangka waktu yang


panjang sehingga insidens kasus baru terjadi terus
menerus bermingg-minggu atau lebih panjang.

Contoh:
Paparan air yang mengandung
bakteri terjadi terus menerus,
sehingga insidens diare terjadi
berminggu-minggu.
Intermittent Common Source Epidemic

• bila paparan terjadi secara intermiten, dengan insidens


kasus baru terjadi secara ireguler sesuai dengan timing
dan durasi terjadinya wabah
Propagated/Progressive Epidemic
• Penularan dari satu orang ke orang lain
• Pada penyakit yang menularannya melalui kontak atau
vehikulum.
• Propagated/progressive pandemic  propagated
epidemic yang terjadi lintas negara.

Contoh:
Kasus campak yang satu ke
kasus campak yang lain
berjarak 11 hari (1 masa
inkubasi)
Mixed Epidemic
• Gabungan antara common source epidemic dan
propagated epidemic
Contoh:
Kasus shigellosis di sebuah
festival music. Awalnya terjadi
penularan serempak saat
festival berlangsung. Sehingga
beberapa hari setelah festival,
kejadian shigellosis meningkat
sangat tinggi (common source
epidemic). Namun satu
minggu kemudian, muncul lagi
kasus shigellosis karena
penularan dari suatu oranf
50. Teori Fungsi Manajemen
(George R. Terry, 1990)
1. Planning:
• menentukan serangkaian tindakan untuk
mencapai suatu hasil sesuai target.

2. Organizing:
• mengelompokkan orang-orang serta
penetapan tugas, fungsi, wewenang, serta
tanggung jawab masing-masing supaya
aktivitas berdaya guna dan berhasil guna.
Teori Fungsi Manajemen
(George R. Terry, 1990)
3. Actuating
• menggerakkan semua anggota kelompok untuk bekerja
agar mencapai tujuan organisasi.
• Actuating membuat urutan rencana menjadi tindakan
nyata.
• Kegiatan dalam Fungsi Pengarahan dan Implementasi
antara lain :
– Mengimplementasikan proses kepemimpinan,
pembimbingan, dan pemberian motivasi kepada tenaga
kerja agar dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam
pencapaian tujuan.
– Memberikan tugas dan penjelasan rutin mengenai
pekerjaan dan menjelaskan kebijakan yang ditetapkan.
Teori Fungsi Manajemen
(George R. Terry, 1990)
4. Controlling
• Agar pekerjaan dapat berjalan sesuai dengan visi, misi,
aturan serta program kerja maka dibutuhkan
pengontrolan.
• Baik itu dalam bentuk supervisi, pengawasan, inspeksi
sampai audit.
• Agar sejak dini dapat diketahui penyimpangan-
penyimpangan atau kesalahan yang terjadi, baik itu
dalam tahap perencanaan, pelaksanaan ataupun
pengorganisasian.
• Sehingga dapat segera dilakukan antisipasi, koreksi,
serta penyesuaian-penyesuaian yang sesuai dengan
situasi.
Teori Fungsi Manajemen
(Luther Gullick)
Fungsi manajemen terdiri dari:
1.Planning
2.Organizing
3.Staffing/assembling resources
4.Directing
5.Coordinating
6.Reporting
7.Budgeting
8.Controlling
Teori Fungsi Manajemen
(Luther Gullick)
• Planning
– menentukan serangkaian tindakan untuk mencapai
suatu hasil sesuai target.
• Organizing
– mengelompokkan orang-orang serta penetapan tugas,
fungsi, wewenang, serta tanggung jawab masing-
masing supaya aktivitas berdaya guna dan berhasil
guna.
• Staffing/assembling resources
– menunjuk orang-orang yang akan memangku masing-
masing tugas yang telah ditentukan.
Teori Fungsi Manajemen
(Luther Gullick)
• Directing
– Memberikan penjelasan, petunjuk, serta pertimbangan
dan bimbingan terdapat para petugas yang terlibat, baik
secara struktural maupun fungsional agar pelaksanaan
tugas dapat berjalan dengan lancar, dengan pengarahan
staff yang telah diangkat dan dipercayakan melaksanakan
tugas di bidangnya masing-masing tidak menyimpang dari
garis program yang telah ditentukan
• Coordinating
– pengkoordinasian merupakan satu dari beberapa fungsi
manajemen untuk melakukan berbagai kegiatan agar tidak
terjadi kekacauan, percekcokan, kekosongan kegiatan
dengan jalan menghubungkan, menyatukan dan
menyelaraskan pekerjaan bawahan sehingga terdapat
kerja sama yang terarah dalam upaya mencapai tujuan
organisasi.
Teori Fungsi Manajemen
(Luther Gullick)
• Reporting
– penyampaian perkembangan atau hasil kegiatan atau
pemberian keterangan mengenai segala hal yang bertalian
dengan tugas dan fungsi-fungsi kepada pejabat yang lebih
tinggi,
• Budgeting
– menetapkan ikhtisar biaya yang diperlukan dan
pemasukan uang yang diharapkan akan diperoleh dari
rangkaian tindakan yang akan dilakukan.
• Controlling
– mengadakan penilaian, bila perlu mengadakan koreksi
sehingga apa yang dilakukan bawahan dapat diarahkan ke
jalan yang benar dengan maksud tercapai tujuan yang
sudah digariskan semula.
51. TANATOLOGI
Thanatologi adalah topik dalam ilmu kedokteran forensik yang mempelajari
hal mati serta perubahan yang terjadi pada tubuh setelah seseorang mati

Tanda Kematian tidak pasti :


1. Pernafasan berhenti lebih dari 10 menit
2. Sirkulasi berhenti lebih dari 15 menit
3. Kulit pucat
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat
dihilangkan dengan menggunakan air

Tanda Kematian Pasti


1. Lebam Mayat (Livor mortis)
2. Kaku Mayat (Rigor mortis)
3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
4. Pembusukan (decomposition)

Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
TANATOLOGI FORENSIK

• Livor mortis atau lebam mayat


– terjadi akibat pengendapan eritrosit sesudah
kematian akibat berentinya sirkulasi dan adanya
gravitasi bumi .
– Eritrosit akan menempati bagian terbawah badan
dan terjadi pada bagian yang bebas dari tekanan.
– Muncul pada menit ke-30 sampai dengan 2 jam.
Intensitas lebam jenazah meningkat dan menetap
8-12 jam.
Rigor mortis atau kaku mayat

• terjadi akibat hilangnya ATP.


• Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin
bertambah hingga mencapai maksimal pada 12 jam
postmortem.
• Kemudian dipertahankan selama 12 jam, setelah itu akan
berangsur-angsur menghilang sesuai dengan kemunculannya.
• Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kaku jenazah
adalah suhu tubuh, volume otot dan suhu lingkungan.
• Makin tinggi suhu tubuh makin cepat terjadi kaku jenazah.
• Rigor mortis diperiksa dengan cara menggerakkan sendi fleksi
dan antefleksi pada seluruh persendian tubuh.
Penurunan suhu badan

• Pada saat sesudah mati, terjadi proses pemindahan


panas dari badan ke benda-benda di sekitar yang lebih
dingin secara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi.
• dipengaruhi oleh suhu lingkungan, konstitusi tubuh dan
pakaian.
• Bila suhu lingkugan rendah, badannya kurus dan
pakaiannya tipis maka suhu badan akan menurun lebih
cepat.
• Lama kelamaan suhu tubuh akan sama dengan suhu
lingkungan.
Pembusukan mayat (dekomposisi)

• Terjadi akibat proses degradasi jaringan karena autolisis dan kerja


bakteri.
• Mulai muncul 24 jam postmortem, berupa warna kehijauan dimulai
dari daerah sekum menyebar ke seluruh dinding perut dan berbau
busuk karena terbentuk gas seperti HCN, H2S dan lain-lain.
• RUMUS CASPER untuk perbedaan kecepatan pembusukan udara:
air: tanah = 8:2:1
• Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih rendah
terutama bila dikubur ditempat yang dalam, terlindung dari
predators seperti binatang dan insekta, dan rendahnya oksigen
menghambat berkembang biaknya organisme aerobik.
Thanatologi

Livor mortis Livor mortis lengkap


mulai muncul dan menetap

20 30 2 6 8 12 24 36
0 mnt mnt jam jam jam jam jam jam

Rigor mortis Pembus


Rigor mortis Pembusuk ukan
lengkap (8-10
mulai muncul an mulai tampak
jam)
tampak di di
caecum seluruh
tubuh

Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
52. Inhalation of suffocating gasses

• Ada 3 cara kematian pada korban kasus


inhalation of suffocating gasses, yaitu menghisap
gas :
1. CO
2. CO2
3. H2S

• Gas CO banyak pada kebakaran hebat. Gas CO2


banyak pada sumur tua dan gudang bawah tanah.
Gas H2S pada tempat penyamakan kulit.
Perbedaan Keracunan CO dan
Keracunan CO2
• Perbedaan terutama terlihat pada warna
darah korban.
– Pada keracunan CO, darah berwarna merah bata
(cherry red)
– Pada keracunan CO2, darah berwarna merah
gelap.
Keracunan CO
• Diagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya
berdasarkan anamnesis adanya kontak dan ditemukannya
gejala keracunan CO.
• Pada jenazah, dapat ditemukan warna lebam mayat yang
berupa Cherry Red pada kulit, otot, darah dan organ-organ
interna, yang tampak jelas bila kadar COHb mencapai 30%
atau lebih. Akan tetapi pada orang yang anemik atau
mempunyai kelainan darah warna cherry red ini menjadi
sulit dikenali.
• Pemeriksaan Laboratorium:
– Uji Kualitatif, menggunakan 2 cara: uji dilusi alkali dan uji
formalin
– Uji Kuantitatif menggunakan cara Gettler-Freimuth
Pemeriksaan Intoksikasi CO
(CARBON MONOKSIDA )
• Berat jenis CO sedikit lebih ringan dari udara.
• Mempunyai sifat mengikat Hb 210 kali lebih cepat
dari O2.
• Contoh : Kebakaran gedung, Meninggal dunia dlm
mobil dengan mesin & alat pendingin dlm hidup &
knalpot bocor, Ruang ventilasinya kurang dgn
adanya alat pemanas menggunakan gas
dapur/bensin.
• Tes pemeriksaan drh korban dgn ALKALI DILUTION
TEST. Sebagai kontrol ialah darah orang normal yg
bukan perokok.
• Lebam mayat berwarna merah terang (CHERRY RED)
Pemeriksaan Intoksikasi CO2 ( GAS
ASAM ARANG)
• Berat jenis CO2 1,52 kali dibandingkan dgn udara shg
terdapat ditempat yg rendah & tidak mudah hilang.
• Contoh : Terdapat dalam sumur tua, palka kapal, goa-goa,
kasus gerbong maut.
• Sebelum menguras sumur sebaiknya dites dulu dengan
ayam/burung yang dimasukkan kedalamnya.
• Pemeriksan tes gas CO2 ini dengan menambah air kapur
Ca(OH)2 kedalam sample gas  air keruh keputihan
(ENDAPAN PUTIH )
• Cara mengambil sample gas :
• Botol 5-10 liter dikat di 2 tempat, leher &
didasarnya,kemudian diisi air & diturunkan ditempat yg
mau diperiksa. Sampai di bawah botol kemudian dibalik,
air akan keluar & gas akan masuk dalam botol. Botol
diangkat & ditutup rapat
H2S (HYDROGEN SULFIDA)
• Gas H2S berat jenis 1,19 kali lebih berat dari
pada udara.
• Contoh : Pada penguraian bahan yg
mengandung S (Sulfur) tdpt dipabrik
penyaman kulit,selokan yg tertutup, dijamban.
• Test terhadap sample gas dgn Pb Asetat.
Tipe Anoksia
• Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
– Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena tidak ada atau
tidak cukup O2. Misalnya kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor
atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di
pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
• Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
– Tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen.
– Contoh: perubahan kadar Hb dalam darah pada anemia berat dan perdarahan
yang tiba-tiba.
• Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
– Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal
jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup
tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas
macet tersendat jalannya.
• Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
– Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak
dapat menggunakan oksigen secara efektif.
Warna Lebam Mayat

• Dalam keadaan normal, lebam mayat


berwarna merah keunguan.
Intoksikasi Warna Lebam Mayat
Karbon monoksida Merah bata (cherry red)
Karbon dioksida Merah gelap
Sianida Merah terang (bright red)
Nitrit, Potasium, Anilin, Benzena dan zat Merah coklat atau coklat
lain yang menyebabkan
methemoglobinemia
Fosfat Coklat gelap (dark brown)

http://www.forensicpathologyonline.com/e-book/post-mortem-changes/post-mortem-hypostasis
53. ASFIKSIA
• Definisi:
kondisi yang disebabkan adanya hambatan respirasi
atau kurangnya oksigen pada udara yang dihirup,
sehingga organ dan jaringan mengalami deprivasi
oksigen (disertai gangguan eliminasi karbon
dioksida)  pingsan atau kematian.
ETIOLOGI ASFIKSIA
Mekanik • hambatan mekanik terhadap aliran udara dalam traktus respiratorik.

• Masuknya oksigen ke dalam paru dihambat oleh penyakit dari saluran


Patologis napas atas atau paru.
• Contoh: edema laring, spasme laring, tumor, abses

• Berhentinya pergerakan respiratorik akibat paralisis dari pusat


Toksik pernafasan pada kasus intoksikasi morfin atau barbiturat

• Bernafas pada lingkungan tercemar atau minim oksigen seperti


Lingkungan ketinggian, inhalasi CO2 atau gas lainnya

• Luka penetrans pada toraks yang menyebabkan pneumotoraks atau


Trauma emboli paru

• Pada pasien dengan penurunan kesadaran sehingga saluran napas


Postural tertutup

Iatrogenik • Dampak dari anestesi


Mechanical
asphyxia

Obstructive Compressional
asphyxia asphyxia

Liquid Compressing the Compressing the


Compressing the
obstruction mouth and nose chest and
neck
(drowning) (smothering) abdomen

Solid obstruction
Strangulation:
(choking,
penjeratan
gagging)

Manual
strangulation:
pencekikan

Hanging
PENGGANTUNGAN (HANGING)
• Penggantungan (Hanging) adalah suatu keadaan
dimana terjadi konstriksi dari leher oleh alat penjerat
yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau
sebagian.

• Alat penjerat sifatnya pasif, sedangkan berat badan


sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada
leher. Umumnya penggantungan melibatkan tali, tapi
hal ini tidaklah perlu. Penggantungan yang terjadi
akibat kecelakaan bisa saja tidak terdapat tali.
Tipe Penggantungan
• Suicidal hanging (gantung diri)
– Paling banyak ditemui
– Korban bunuh diri
• Accidental hanging
– Lebih banyak ditemukan pada anak-anak utamanya pada umur antara 6-12 tahun.
Tidak ditemukan alasan untuk bunuh diri karena pada usia itu belum ada tilikan
dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengawasan dari orang
tua.
– Pada orang dewasa, bisa terjadi akibat pelampiasan nafsu seksual yang
menyimpang.
• Homicidal hanging
– Pembunuhan yang dilakukan dengan metode menggantung korban.
– Biasanya dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang dewasa yang kondisinya
lemah baik oleh karena penyakit atau dibawah pengaruh obat, alcohol, atau korban
sedang tidur.
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM VS POSTMORTEM
NO PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM PENGGANTUNGAN POSTMORTEM

Tanda-tanda penggantungan ante-mortem


Tanda-tanda post-mortem menunjukkan kematian
1 bervariasi. Tergantung dari cara kematian
yang bukan disebabkan penggantungan
korban

Tanda jejas jeratan miring, berupa lingkaran Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk lingkaran utuh
2 terputus (non-continuous) dan letaknya pada (continuous), agak sirkuler dan letaknya pada bagian
leher bagian atas leher tidak begitu tinggi

Simpul tali biasanya tunggal, terdapat pada Simpul tali biasanya lebih dari satu, diikatkan dengan
3
sisi leher kuat dan diletakkan pada bagian depan leher

Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan tidak


Ekimosis tampak jelas pada salah satu sisi dari
ada atau tidak jelas. Lebam mayat terdapat pada
4 jejas penjeratan. Lebam mayat tampak di atas
bagian tubuh yang menggantung sesuai dengan posisi
jejas jerat dan pada tungkai bawah
mayat setelah meninggal

Pada kulit di tempat jejas penjeratan teraba


5 seperti perabaan kertas perkamen, yaitu Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak begitu jelas
tanda parchmentisasi
PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM VS POSTMORTEM
NO PENGGANTUNGAN ANTEMORTEM PENGGANTUNGAN POSTMORTEM

Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan lain-


Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga dan lain-lain
6 lain sangat jelas terlihat terutama jika
tergantung dari penyebab kematian
kematian karena asfiksia

Wajah membengkak dan mata mengalami


Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak terdapat,
kongesti dan agak menonjol, disertai dengan
7 kecuali jika penyebab kematian adalah pencekikan
gambaran pembuluh dara vena yang jelas
(strangulasi) atau sufokasi
pada bagian dahi

Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus kematian


8 Lidah bisa terjulur atau tidak sama sekali
akibat pencekikan
Penis. Ereksi penis disertai dengan keluarnya
cairan sperma sering terjadi pada korban pria. Penis. Ereksi penis dan cairan sperma tidak
9
Demikian juga sering ditemukan keluarnya ada.Pengeluaran feses juga tidak ada
feses

Air liur. Ditemukan menetes dari sudut mulut,


dengan arah yang vertikal menuju dada. Hal Air liur tidak ditemukan yang menetes pad kasus
10
ini merupakan pertanda pasti penggantungan selain kasus penggantungan.
ante-mortem
GANTUNG DIRI VS PEMBUNUHAN
NO PENGGANTUNGAN PADA BUNUH DIRI PENGGANTUNGAN PADA PEMBUNUHAN

Usia. Gantung diri lebih sering terjadi pada


Tidak mengenal batas usia, karena tindakan
remaja dan orang dewasa. Anak-anak di bawah
1 pembunuhan dilakukan oleh musuh atau lawan dari
usia 10 tahun atau orang dewasa di atas usia 50
korban dan tidak bergantung pada usia
tahun jarang melakukan gantung diri

Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran tidak terputus,


Tanda jejas jeratan, bentuknya miring, berupa
mendatar, dan letaknya di bagian tengah leher,
2 lingkaran terputus (non-continuous) dan
karena usaha pelaku pembunuhan untuk membuat
terletak pada bagian atas leher
simpul tali

Simpul tali, biasanya hanya satu simpul yang Simpul tali biasanya lebih dari satu pada bagian
3
letaknya pada bagian samping leher depan leher dan simpul tali tersebut terikat kuat

Riwayat korban. Biasanya korban mempunyai


Sebelumnya korban tidak mempunyai riwayat untuk
4 riwayat untuk mencoba bunuh diri dengan cara
bunuh diri
lain

Cedera. Luka-luka pada tubuh korban yang bisa


Cedera berupa luka-luka pada tubuh korban
5 menyebabkan kematian mendadak tidak
biasanya mengarah kepada pembunuhan
ditemukan pada kasus bunuh diri
GANTUNG DIRI VS PEMBUNUHAN
NO PENGGANTUNGAN PADA BUNUH DIRI PENGGANTUNGAN PADA PEMBUNUHAN

Racun. Adanya racun dalam lambung korban,


Terdapatnya racun berupa asam opium hidrosianat atau kalium
misalnya arsen, sublimat korosif, dll tidak
sianida tidak sesuai pada kasus pembunuhan, karena untuk hal ini
6 bertentangan dengan kasus gantung diri. Rasa
perlu waktu dan kemauan dari korban itu sendiri. Dengan demikian
nyeri yang disebabkan racun tersebut mungkin
maka kasus penggantungan tersebut adalah karena bunuh diri
mendorong korban untuk gantung diri

Tangan tidak dalam keadaan terikat, karena sulit Tangan yang dalam keadaan terikat mengarahkan dugaan pada
7
untuk gantung diri dalam keadaan tangan terikat kasus pembunuhan

Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, biasanya


tergantung pada tempat yang mudah dicapai Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan tergantung pada
8 oleh korban atau di sekitarnya ditemukan alat tempat yang sulit dicapai oleh korban dan alat yang digunakan
yang digunakan untuk mencapai tempat untuk mencapai tempat tersebut tidak ditemukan
tersebut

Tempat kejadian. Jika kejadian berlangsung di


dalam kamar, dimana pintu, jendela ditemukan
Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada ruangan ditemukan terkunci
9 dalam keadaan tertutup dan terkunci dari
dari luar, maka penggantungan adalah kasus pembunuhan
dalam, maka kasusnya pasti merupakan bunuh
diri

Tanda-tanda perlawanan, tidak ditemukan pada Tanda-tanda perlawanan hampir selalu ada kecuali jika korban
10
kasus gantung diri sedang tidur, tidak sadar atau masih anak-anak.
54-55. VISUM ET REPERTUM (VER)
• VeR : keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang
berwenang, mengenai hasil pemeriksaan medik, berdasarkan
keilmuannya dan dibawah sumpah, untuk kepentingan peradilan
• Pasal 133 KUHAP:
1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan
tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat
• Permintaan bantuan kepada dokter sebagai ahli hanya dapat diajukan
secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas jenis pemeriksaan yang
dikehendaki
• Pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP : yang berwenang meminta
keterangan ahli → penyidik & penyidik pembantu
Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
Penjelasan pasal 133 KUHAP
Yang berwenang meminta keterangan ahli seperti
pada ayat 1 adlah penyidik. Yang dimaksud penyidik
adalah pejabat polisi RI, yang merupakan penyidik
tunggal bagian pidanan umum.
Berdasarkan PP no. 27 tahun 1963, kepangkatan
dalam pembuatan surat permintaan VER adalah
serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua,
sedangkan pada wilayah kepolisian tertentu yang
komandannya bintara (sersan), maka ia adalah
penyidik karena jabatannya tsb. Kepangkatan
bintara serendah-rendahnya sersan dua.
Siapa Yang Berhak Membuat VER?
• Dalam pasal 133 KUHAP disebutkan: penyidik berwenang
untuk mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.

• Sebenarnya boleh saja seorang dokter yang bukan dokter


spesialis forensik membuat dan mengeluarkan visum et
repertum.

• Tetapi, di dalam penjelasan pasal 133 KUHAP dikatakan


bahwa keterangan ahli yang diberikan oleh dokter spesialis
forensik merupakan keterangan ahli, sedangkan yang
dibuat oleh dokter selain spesialis forensik disebut
keterangan.
VISUM ET REPERTUM
• Aspek medis: visum et repertum dibuat
berdasarkan penilaian dokter mengenai kondisi
klinis pasien (dalam hal ini korban), dapat
berdasarkan pemeriksaan langsung atau
berdasarkan pemeriksaan yang tercatat di rekam
medis.

• Aspek hukum: merupakan pelayanan kedokteran


yang dilakukan untuk kepentingan hukum, dan
dibuat berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku.
Siapa Yang Berhak Membuat VER?
• Dalam pasal 133 KUHAP disebutkan: penyidik berwenang
untuk mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.

• Sebenarnya boleh saja seorang dokter yang bukan dokter


spesialis forensik membuat dan mengeluarkan visum et
repertum.

• Tetapi, di dalam penjelasan pasal 133 KUHAP dikatakan


bahwa keterangan ahli yang diberikan oleh dokter spesialis
forensik merupakan keterangan ahli, sedangkan yang
dibuat oleh dokter selain spesialis forensik disebut
keterangan.
Syarat Pembuatan Visum et Repertum
Syarat yang menyangkut prosedur yang harus dipenuhi dalam
pembuatannya, yaitu:
• Permintaan visum et repertum haruslah secara tertulis (sesuai
dengan pasal 133 ayat 2 KUHAP)
• Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara bedah, jika ada
keberatan dari pihak keluarga korban, maka pihak polisi atau
pemeriksa memberikan penjelasan tentang pentingnya dilakukan
bedah mayat.
• Permintaan visum et repertum hanya dilakukan terhadap peristiwa
pidana yang baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan atas
peristiwa yang telah lampau.
• Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya pemeriksaan.
• Isi visum et repertum tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran
yang telah teruji kebenarannya
Permintaan VeR menurut Ps.133 KUHAP

• Wewenang penyidik
• Tertulis (resmi)
• Terhadap korban, bukan tersangka
• Ada dugaan akibat peristiwa pidana
• Bila mayat :
– Identitas pada label
– Jenis pemeriksaan yang diminta
– Ditujukan kepada : ahli kedokteran forensik /
dokter di rumah sakit
Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
Peran Dokter dalam VeR
• Visum et Repertum: Laporan (jawaban) tertulis
dokter yang berdasarkan sumpah jabatan dan
keilmuannya, tentang obyek medik-forensik yang
dilihat dan diperiksa atas permintaan tertulis
penyidik berwenang, untuk kepentingan peradilan.
• Obyek medik-forensik ini adalah manusia (hidup
ataupun mati), bahagian tubuh manusia maupun
sesuatu yang diduga bahagian tubuh manusia.
56. Euthanasia

“Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup


seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek
hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk
kepentingan pasien sendiri”

• Konsep mati : Jika batang otak telah mati (brain stem death) dapat
diyakini bahwa manusia tersebut telah mati baik secara fisik maupun
sosial. Yang harus diyakini adalah proses kematian tersebut bersifat
irreversible.
EUTHANASIA AKTIF
Perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif
oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup
manusia
MEMATIKAN SECARA SENGAJA
• Kondisi sudah sangat parah / stadium akhir
• Tidak mungkin sembuh / bertahan lama
• Dokter memberikan suntikan yang mematikan
Euthanasia aktif
• Eutanasia aktif langsung
Dilakukannya tindakan medik secara terarah yg
diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien,
atau memperpendek hidup pasien.
• Eutanasia aktif tidak langsung
Saat dokter atau tenaga kesehatan melakukan
tindakan medik untuk meringankan penderitaan
pasien, namun mengetahui adanya risiko tersebut
dapat memperpendek atau mengakhiri hidup
pasien
EUTHANASIA PASIF
Perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan
atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan
hidup manusia
TINDAKAN DOKTER BERUPA PENGHENTIAN PENGOBATAN PASIEN
• Tidak mungkin disembuhkan
• Kondisi ekonomi pasien terbatas
Ditinjau dari jenis permintaan
• Voluntary euthanasia: euthanasia yang dilakukan
atas permintaan pasien secara sadar dan dilakukan
berulang-ulang
• Involuntary euthanasia: didasarkan pada keputusan
dari seseorang yang tidak berkompeten atau tidak
berhak untuk mengambil suatu keputusan, misalnya
wali dari si pasien. Namun di sisi lain, kondisi pasien
sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin,
misalnya pasien mengalami koma atau tidak sadar.
Pada umumnya, pengambilan keputusan untuk
melakukan euthanasia didasarkan pada
ketidaktegaan seseorang melihat sang pasien
kesakitan.
Euthanasia
• Menurut KODEKI (pasal 9, bab II), dokter tidak
diperbolehkan:
– Menggugurkan kandungan
– Mengakhiri hidup seseorang yang sakit meskipun menurut
pengetahuan tidak akan sembuh lagi.

• Tapi, bila pasien telah mengalami mati batang otak, maka


secara keseluruhan pasien tersebut telah mati meskipun
jantung masih berdenyut.

• Penghentian tindakan terapeutik dilakukan dengan


mempertimbangkan keinginan pasien & keluarga pasien.
Euthanasia
• Ketentuan pidana terkait euthanasia aktif
dengan permintaan: Pasal 344 KUHP:
– Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya
dengan nyata & sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun.

• Ketentuan pidana terkait euthanasia


aktif/pasif tanpa permintaan:
– Pasal 338, 340, 339 KUHP  dihukum penjara.
Euthanasia
• Pendapat sebagian ahli hukum: melakukan
perawatan medis yang tidak ada gunanya
dapat dianggap sebagai penganiayaan 
dokter seharusnya tidak memberi terapi jika
secara medis hasilnya tidak dapat diharapkan,
apalagi jika tanpa izin pasien.
57. Serkom, SIP, STR
• Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap
kemampuan seorang dokter untuk menjalankan praktek
kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi,
dikeluarkan oleh Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga Indonesia
(KDDKI).
• Surat Tanda Registrasi adalah surat yang dikeluarkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai tanda bahwa seorang dokter
tercatat secara resmi telah memiliki sertifikat kompetensi dan
diakui secara hukum untuk melakukan tindakan profesinya.
• Surat Izin Praktek: surat ziin untuk praktek di tempat tertentu
yang dikeluarkan oleh pemda setempat. Sesuai UU Praktik
Kedokteran tahun 2004, setiap dokter hanya diperbolehkan
praktik di 3 tempat.
• Untuk praktik di suatu tempat, seorang dokter
harus memiliki SIP.
• Untuk bisa memproses SIP, setiap tenaga
kesehatan wajib memiliki STR.
• Untuk memperoleh STR, tenaga kesehatan
harus memiliki ijazah dan sertifikat
kompetensi.
Urutan Pengurusan

Lulus STR SIP

Ijazah Serkom
58. INFORMED CONSENT
• Informed Consent adalah persetujuan tindakan
kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.

• Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan


Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2
menyebutkan dalam memberikan informasi kepada
pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat /
paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Yang Berhak Memberikan Informed Consent

• Pasien yang telah dewasa (≥21 tahun atau


sudah menikah, menurut KUHP) dan dalam
keadaan sadar.
• Bila tidak memenuhi syarat di atas, dapat
diwakilkan oleh keluarga/ wali dengan urutan:
– Suami/ istri
– Orang tua (pada pasien anak)
– Anak kandung (bila anak kandung sudah dewasa)
– Saudara kandung
Tujuan Informed Consent
• Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap
tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan
secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang
dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
• Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap
suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur
medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko

( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )


• Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan
sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal
351 (trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes
No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang
memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ).
Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan
secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

• Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum


dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:
– Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus
segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
– Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa
menghadapi situasi dirinya.
Good Samaritan dalam Kasus
Kegawatdaruratan
• Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam
peraturan perundang-undangan pada hampir seluruh
negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan
dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang
secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam
keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien
dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk kecederaan yang dialaminya.

• Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus


dipenuhi adalah:
– Kesukarelaan pihak penolong.
– Itikad baik pihak penolong.
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS
• Persetujuan tindakan medis secara praktis
dibagi menjadi 2:
Implied Pasien tidak menyatakan persetujuan baik secara
consent tertulis maupun lisan, namun dari tingkah lakunya
menyatakan persetujuannya. Contoh: pasien
membuka baju untuk diperiksa, pasien mengulurkan
lengan untuk diambil sampel darah.
Expressed Persetujuan dinyatakan secara lisan atau tertulis.
consent Khusus setiap tindakan yang mengandung risiko tinggi,
harus diberikan persetujuan tertulis oleh pasien atau
yang berhak mewakili (sesuai UU No.29 tahun 2004
pasal 45)

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyelidikan,


A. Munim Idries, 2013
Jenis Consent Lainnya
JENIS
PENJELASAN
CONSENT

Consent yang diberikan pada pasien secara tertulis, yang


Informed consent
ditandatangani langsung oleh pasien yang berangkutan.

Consent yang diberikan oleh wali pasien (orangtua,


suami/istri, anak, saudara kandungnya dsb) karena pasien
Proxy consent
tidak kompeten untuk memberikan consent (misalnya
pada pasien anak).

Pasien tidak dapat memberikan consent, namun


diasumsikan bahwa bila pasien sadar, ia akan setuju
Presumed consent dengan tindakan medis yang diambil. Consent jenis ini
biasanya dilakukan pada kondisi kegawatdaruratan atau
pada donor organ dari cadaver.
Appelbaum PS. Assessment of patient’s competence to consent to treatment. New England Journal of Medicine. 2007; 357:
1834-1840.
59. RAHASIA MEDIS
• Segala temuan pada diri pasien dapat dikatakan sebagai rahasia medik atau
rahasia kedokteran dan rahasia ini sepenuhnya milik pasien.
• Sumpah dokter (Sumpah Hipocrates) terdapat sumpah untuk merahasiakan
apapun yang dilihat dan didengar dalam sepanjang proses menjalankan
profesi seorang dokter
• Dasar hukum
– PP no 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran tgl 21 mei
1966.
– UU RS no 44 thn 2009
– UU Kesehatan no 36 thn 2009
– UU Praktik Kedokteran no 29 tahun 2004
– Pasal 11 PP 749.MENKES/PER/XII/1989 tentang REKAM MEDIS: “rekam medis
merupakan berkas yang wajib disimpan kerahasiaannya”
– PERMENKES NO. 36 TAHUN 2012 ttg Rahasia Kedokteran
– PERMENKES NO. 269 TAHUN 2008
• Dasar etik: Rahasia medis harus tetap dijaga, bahkan setelah pasien
meninggal dunia (KODEKI pasal 16).
Siapa Saja Yang Wajib Menyimpan
Rahasia Medis?
• Yang diwajibkan menyimpan rahasia medis
ialah:
– Dokter/Dokter ahli
– Mahasiswa Kedokteran
– Perawat/Bidan
– Petugas Administrasi Kedokteran
– Forensik/kamar jenazah

Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966


UU Kesehatan no. 36 Tahun 2009

Pasal 57
• Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia
kedokteran.
• Rahasia kedokteran tidak berlaku dalam hal
perintah UU, perintah pengadilan, izin yang
bersangkutan, kepentingan masyarakat,
kepentingan orang tersebut
UU Rumah Sakit no. 44 Thn 2009
UU RS Pasal 38
(1) Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan
permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
UU RS pasal 44
(1) Rumah Sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada
publik yang berkaitan dengan rahasia kedokteran.
(2) Pasien dan/atau keluarga yang menuntut Rumah Sakit dan
menginformasikannya melalui media massa, dianggap telah
melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum.
UU Praktik Kedokteran no 29 thn 2004

Pasal 47 ayat (2)


• Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan
dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.

Pasal 48 ayat
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan perundang- undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri.
Permenkes no. 269 thn 2008
Pasal 10
• Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat
penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat
pengobatan harus dijaga kerahasiaannya
• Informasi tersebut dapat dibuka dalam hal:
– untuk kepentingan kesehatan pasien;
– memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan;
– permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
– permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan
perundang-undangan; dan
– untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit
medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.
KEWAJIBAN MENYIMPAN RAHASIA KEDOKTERAN
(PERMENKES 36/ 2012)
60. Etika Klinis
• Medical Indication
Pengambilan keputusan medis yang disesuaikan dengan indikasi medis.
Berkenaan dengan kaidah beneficence dan nonmaleficence.
• Patient Preference
Pengambilan keputusan medis terkait penilaian/keinginan pasien tentang
manfaat dan beban yang akan diterimanya. Merupakan cerminan kaidah
otonomi.
• Quality of Life
Pengambilan keputusan medis atas dasar aktualisasi salah satu tujuan
kedokteran yaitu memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup
insani. Berkaitan dengan kaidah beneficence, nonmaleficence & otonomi.
• Contextual Features
Pengambilan keputusan medis berdasarkan aspek non medis seperti faktor
keluarga, ekonomi, budaya. Berkaitan dengan kaidah justice.

Etika Klinis. (Jonsen, siegler & winslade, 2002)


Pertimbangan Etika Klinis

Schumann JH, Alfandre D. Clinical ethical decision making: the four topics approach. Semin Med Pract 2008;11:36–42.
61-62. KAIDAH DASAR MORAL

Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Berbuat baik (beneficence) Tidak berbuat yang merugikan
(nonmaleficence)
• Selain menghormati martabat manusia,
dokter juga harus mengusahakan agar • Praktik Kedokteran haruslah memilih
pasien yang dirawatnya terjaga keadaan pengobatan yang paling kecil risikonya dan
kesehatannya (patient welfare). paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno:
• Pengertian ”berbuat baik” diartikan first, do no harm, tetap berlaku dan harus
bersikap ramah atau menolong, lebih diikuti.
dari sekedar memenuhi kewajiban.
Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect
• Perbedaan kedudukan sosial, tingkat
for person) / Autonomy ekonomi, pandangan politik, agama dan
faham kepercayaan, kebangsaan dan
• Setiap individu (pasien) harus kewarganegaraan, status perkawinan,
diperlakukan sebagai manusia yang serta perbedaan jender tidak boleh dan
tidak dapat mengubah sikap dokter
memiliki otonomi (hak untuk menentukan terhadap pasiennya.
nasib diri sendiri), • Tidak ada pertimbangan lain selain
• Setiap manusia yang otonominya kesehatan pasien yang menjadi perhatian
berkurang atau hilang perlu mendapatkan utama dokter.
perlindungan. • Prinsip dasar ini juga mengakui adanya
kepentingan masyarakat sekitar pasien
yang harus dipertimbangkan
Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya
5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan golden rule principle
Beneficence (Berbuat baik)
• General beneficence
– Melindungi dan mempertahankan hak, mencegah terjadinya kerugian
– Menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain
• Specific beneficence
– Menolong orang cacat, menyelamatkan dari bahaya, mengutamakan kepentingan pasien
– Memandang pasien/ keluarga/ sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter/ rumah
sakit/ pihak lain
– Maksimalisasi akibat baik
– Menjamin nilai pokok: “apa saja yang ada, pantas kita bersikap baik terhadapnya” (apalagi ada
yang hidup)
• Prinsip tindakan
– Berbuat baik kepada siapa pun, termasuk yang tidak kita kenal
– Pengorbanan diri demi melindungi dan menyelamatkan pasien
– “janji” atau wajib menyejahterakan pasien dan membuat diri terpecaya
• Contoh tindakan
– Dokter bersikap profesional, bersikap jujur, dan luhur pribadi (integrity); menghormati pasien,
peduli pada kesejahteraan pasien, kasih sayang, dedikatif mempertahankan kompetensi
pengetahuan dan keterampilan teknisnya
– Memilih keputusan terbaik pada pasien yang tidak otonom (kurang mampu memutuskan
bagi dirinya), misalnya anak, pasien dengan gangguan jiwa, pasien dalam kondisi gawat
Non-maleficence
Kriteria
1. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
- pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
- dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
- tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
- manfaat bagi pasien > kerugian dokter
2. Mengobati pasien yang luka
3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
6. Mengobati secara proporsional
7. Mencegah pasien dari bahaya
8. Menghindari misrepresentasi dari pasien
9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
10. Memberikan semangat hidup
11. Melindungi pasien dari serangan
12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Non-Maleficence
• Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien: tidak boleh
berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien; minimalisasi
akibat buruk
• Primum non nocere: First do no harm
• Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal:
– Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang
penting dan dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
– Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
– Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal)
– Norma tunggal, isinya larangan
• Contoh tindakan:
– Tidak melakukan malpraktik etik, baik sengaja atau tidak; seperti dokter tidak
mempertahankan kemampuan ekspertisnya atau menganggap pasien sebagai
komoditi
– Menghentikan pengobatan yang sia-sia atau pengobatan luar biasa, yaitu
pengobatan yang tidak biasa diperoleh atau digunakan tanpa pengeluaran
amat banyak, nyeri berlebihan, atau ketidaknyamanan lainnya
– Juga membiarkan mati (letting die), bunuh diri dibantu dokter, euthanasia,
sengaja malpraktik etis
Autonomy
Kriteria
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif)
3. Berterus terang
4. Menghargai privasi
5. Menjaga rahasia pasien
6. Menghargai rasionalitas pasien
7. Melaksanakan informed consent
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan
termasuk keluarga pasien sendiri
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien
13. Menjaga hubungan (kontrak)
Autonomy
• Autonomy
• Pandangan Kant
– Otonomi kehendak = otonomi moral, yaitu kebesan
bertindak, memutuskan atau memilih dan menentukan diri
sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang
ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan, atau campur
tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam
berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari manusia
• Tell the truth
– Hormatilah hak privasi orang lain, lindungi formasi
konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien;
bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting
Justice
Kriteria
1. Memberlakukan sesuatu secara universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
4. Menghargai hak sehat pasien
5. Menghargai hak hukum pasien
6. Menghargai hak orang lain
7. Menjaga kelompok yang rentan
8. Tidak melakukan penyalahgunaan
9. Bijak dalam makro alokasi
10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi)
secara adil
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan
kesehatan
16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
Justice
• Justice (Keadilan)
• Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness), yaitu:
– Memberi sumbangan dan menuntut pengorbanan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur
dari kebutuhan dan kemampuan pasien
• Jenis keadilan:
– Komparatif (perbandingan antarkebutuhan penerima)
– Distributif (membagi sumber): sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani ;
secara material kepada:
• Setiap orang andil yang sama
• Setiap orang sesuai kebutuhannya
• Setiap orang sesuai upayanya
• Setiap orang sesuai jasanya
– Sosial: kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama
• Utilitarian: memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi sosial dan
memaksimalkan nikmat/ keuntungan bagi pasien
• Libertarian: menekankan hak kemerdekaan sosial-ekonomi (mementingkan prosedur adil > hasil
substansif atau materiil)
• Komunitarian: mementingkan tradisi komunitas tertentu
• Egalitarian: kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai oleh setiap individu
rasional (sering menerapkan kriteria material kebutuhan bersama)
– Hukum (umum)
• Tukar-menukar: kebajikan memberkan atau mengembalikan hak-hak kepada yang berhak
• Pembagian sesuai denan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama) mencapai
kesejahteraan umum
Kaidah Dasar Moral dan Turunannya
Core biomedical moral principles Core behavioral norms
Autonomy: the norms of respecting and Veracity: to provide accurate, timely, objective, and
supporting individual autonomous comprehensive transmission of information, ensure
decisions patient’s understanding
Privacy: to respect the right that individuals and
families have to keep personal information,
decisions, spaces, activities, and relationships under
their own control
Confidentiality: to prevent the re-disclosure of
private information to anyone else without patient’s
authorization
Beneficence: prioritize relieving, Fidelity: obligation of a professional to faithfully
lessening, or preventing harm, actions carry out an activity that benefits the patient, abstain
that provide benefits to others from an activity that would/could cause harm
Non maleficence: avoiding actions that
would cause harm to others
Justice: fair distribution of benefits, -
risks, and costs among patients
Prinsip Prima Facie
• Dalam menghadapi pasien, sering kali dokter
diperhadapkan pada dilema etis, di mana terjadi
“tabrakan” antar kaidah dasar moral pada kasus tersebut.

• Prima facie: dalam kondisi atau konteks tertentu, seorang


dokter harus melakukan pemilihan 1 kaidah dasar etik ter-
”absah” sesuai konteksnya berdasarkan data atau situasi
konkrit terabsah.

• Contoh keadaan yang membutuhkan prinsip prima facie:


pasien dengan Hb 5 g/dl. Dokter menyatakan bahwa pasien
harus transfusi darah segera. Tetapi pasien menganut
kepercayaan bahwa tidak boleh menerima bagian tubuh
dari manusia lain sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai