Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

OS LASERASI KONJUNGTIVA

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Makassar/Indonesia
RM : 713966
Agama : Islam
Pekerjaan : wiraswasta
Alamat : Jl. Kemauan III No. 7
Tgl. Pemeriksaan : 30 Mei 2015
Rumah Sakit : Instalansi Gawat Darurat RS. Wahidin Sudirohusodo
Dokter Pemeriksa : dr. A

ANAMNESIS
Keluhan Utama: Nyeri pada mata kiri
Anamnesis Terpimpin:
Dialami ± 7 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit akibat terkena paku
saat memperbaiki bangunan. Mata merah ada. Air mata berlebih tidak ada, kotoran
mata berlebih tidak ada. Keluar darah dari mata kiri ada minimal. Keluar cairan
seperti gel tidak ada. Tidak ada silau bila melihat cahaya. Penurunan penglihatan
ada, mata menjadi buram setelah trauma. Rasa mengganjal di mata tidak ada. Rasa
berpasir di mata tidak ada. Riwayat penurunan penglihatan sebelum trauma ada
sejak 2 tahun. Riwayat menggunakan kacamata tidak ada. Riwayat berobat di RS.
Bulukumba dan diberi obat oral. Riwayat trauma sebelumnya pada mata tidak ada.
Riwayat Diabetes Melitus tidak ada. Riwayat hipertensi tidak ada. Riwayat
penyakit mata sebelumnya tidak ada.

1
PEMERIKSAAN
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Sakit sedang, gizi cukup, compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Pernafasan : 16 kali/menit
Suhu : 36,7 ‘C

PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
A. Inspeksi

OD OS
1 Palpebra normal Udem (-)
2 Apparattus Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Lakrimalis
3 Silia Sekret (-), arah silia Sekret (-), arah silia normal
normal
4 Konjungtiva Hiperemis (-) Konjungtiva bulbi tampak
laserasi di arah temporal
ukuran 1 cm arah
horizontal, subkonjungtiva
bleeding (+) inferotemporal,
perdarahan aktif (+)
5 Bola mata normal Normal
6 Mekanisme
Muscular

7 Kornea Jernih Jernih


- Tes Sensitivitas Tdp Tdp
- Tes Placido Tdp Tdp

2
8. Bilik mata depan Normal normal
9. Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
10. Pupil Bulat, sentral Bulat, sentral
11. Lensa Jernih Jernih

B. Palpasi
OD OS
1 Tensi Okular Tn Tn
2 Nyeri tekan (-) (-)
3 Massa tumor (-) (-)
4 Glandula Pre-aurikuler Pembesaran (-) Pembesaran (-)

3
C. Tonometri :
TOD : 5/5,5 = 17,3 mmHg
TOS : 5/5,5 = 17,3 mmHg

D. Visus
VOD : 20/25 VOS : 20/30

E. Campus Visual : tidak dilakukan pemeriksaan

F. Color sense : tidak dilakukan pemeriksaan

G. Light sense : tidak dilakukan pemeriksaan

H. Penyinaran Optik
OD OS
1 Konjungtiva Hiperemis (-) Konjungtiva bulbi
tampak laserasi di
arah temporal
ukuran 1 cm arah
horizontal, sub
konjungtiva
bleeding (+)
inferotemporal,
perdarahan aktif
(+)
2 Kornea jernih Jernih, Flourescein
(-)
3 BMD normal normal
4 Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
5 Pupil Bulat, sentral, RC Bulat, sentral, RC
(+) (+)

4
I. Oftalmoskopi :
FODS : Refleks fundus (+), papil N.II batas tegas, CDR 0,3 a/v 2/3
makula reflex (+), retina perifer kesan normal.

J. Slit lamp :
SLOD : Konjungtiva hiperemis (-) kornea jernih, BMD normal, iris
coklat, kripte (+), pupil bulat sentral RC (+), lensa jernih
SLOS : Konjungtiva bulbi tampak laserasi di arah temporal ukuran
1 cm arah horizontal, sub konjungtiva bleeding (+) inferotemporal,
perdarahan aktif (+), kornea jernih, fluorescein (-), BMD normal,
iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral, refleks cahaya (+), lensa
jernih

K. Radiologi :
 CT scan : Dalam batas normal

RESUME

Seorang Laki-laki 38 tahun nyeri pada mata kiri yang dialami ± 7 jam yang lalu
sebelum masuk akibat terkena paku saat memperbaiki bangunan. Mata hiperemis
ada. Keluar darah dari mata kiri ada minimal. Penurunan visus ada, mata menjadi
buram setelah trauma. Riwayat penurunan visus sebelum trauma ada sejak 2 tahun.

5
Riwayat menggunakan kacamata tidak ada. Riwayat berobat di RS. Bulukumba dan
diberi obat oral. Riwayat trauma sebelumnya pada mata tidak ada.
Pada pemeriksaan visus VOD : 20/25, VOS : 20/30. Pada pemeriksaan
ditemukan konjungtiva bulbi tampak laserasi di arah temporal ukuran 1 cm arah
horizontal, subkonjungtiva bleeding (+) inferotemporal, perdarahan aktif ada. Slit
Lamp Segmen anterior kesan normal. Pemeriksaan funduskopi kesan normal. CT
scan kepala dalam batas normal.

DIAGNOSIS : OS Laserasi Konjungtiva

TERAPI :

 Inj. TT
 OS Explorasi + jahit konjungtiva

Terapi Post operasi :

 Topikal :
 C. xytol zalf qs/ 12 jam/ OS
 Oral
 Metilprednisoslon 3 x 4 mg/8jam/oral
 Ciprofloxacin 500 mg/ 12 jam/ oral
 Asam mefenamat 500 mg/ 8 jam/ oral
 B.com C tab/ 12 Jam/ oral

 Bebat Mata

RENCANA : USG B-Scan

PROGNOSIS

Qua ad vitam : Bonam


Qua ad visam : Bonam et Dubia
Qua ad sanationam : Bonam
Qua ad Cosmeticam : Bonam

6
DISKUSI

Pasien ini di diagnosa dengan OS laserasi konjungtiva dan termasuk trauma


okulus non perforans karena dari anamnesis didapatkan nyeri mata sebelah kiri
akibat terkena paku saat bekerja. Riwayat keluar darah dari mata ada, riwayat keluar
cairan seperti gel tidak ada
Dari inspeksi didapatkan konjungtiva bulbi tampak laserasi di arah temporal
ukuran 1 cm arah horizontal, sub konjungtiva bleeding (+) inferotemporal,
perdarahan aktif ada. Pada konjungtiva terdapat arteri konjungtiva posterior yang
memperdarahi konjungtiva bulbi, arteri siliar anterior atau episklera yang
memberikan cabang ; arteri episklera yang masuk kedalam bola mata dengan arteri
siliar posterior longus bergabung membentuk arteri sirkular mayor atau pleksus
siliar, yang memperdarahi iris dan badan siliar, arteri perikornea yang
memperdarahi kornea, dan arteri episklera yang terletak diatas sklera, yang
merupakan bagian arteri siliar anterior dan memperdarahi ke dalam bola mata.
Selain itu, pada pasien ini didapatkan fluorescein negative. Tes fluorescein
adalah tes yang menggunakan pewarna orange (fluorescein dye) dan cahaya biru
untuk mendeteksi benda asing di mata. Tes ini juga dapat mendeteksi kerusakan
pada kornea dan permukaan luar mata. Tes ini dilakukan dengan cara, sepotong
kertas blotting yang mengandung pewarna disentuh ke permukaan mata pasien.
Kemudian pasien diminta untuk berkedip. Berkedip akan menyebarkan pewarna
sekitar dan melapisi film air mata yang menutupi permukaan kornea. Film air mata
mengandung air, minyak, dan lendir untuk melindungi dan melumasi mata. Lampu
biru diarahkan ke mata pasien. Setiap masalah pada kornea akan diwarnai dengan
pewarna dan tampak hijau di bawah cahaya biru.
Dari pemeriksaan visus didapatkan VOD : 20/25, VOS : 20/30. Visus adalah
ketajaman penglihatan. Pemeriksaan visus merupakan pemeriksaan untuk melihat
ketajaman penglihatan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara membaca Snellen
Chart. Pasien didiagnosa dengan OS laserasi konjungtiva berdasarkan dari
Anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan.

7
REFARAT

LASERASI KONJUNGTIVA

I. PENDAHULUAN
Struktur bola mata terbentuk cukup baik untuk melindungi mata dari
trauma. Bola mata terletak pada permukaan yang dikelilingi oleh tulang-tulang
yang kuat. Bola mata merupakan komponen yang terdiri dari lapisa fibrosa
bagian luar (kornea dan sklera). Kelopak mata dapat menutup dengan cepat
untuk mengadakan perlindungan dari benda asing, dan mata dapat mentoleransi
trauma kecil tanpa kerusakan. Walau demikian, trauma dapat merusak mata,
yang terparah dimana terjadinya kehilangan penglihatan, dan lebih jauh lagi,
mata harus di keluarkan. Kebanyakan trauma mata termasuk ringan, namun
karena luka memar yang luas pada sekeliling struktur, maka dapat terlihat lebih
parah dari sebenarnya.(1,2,3)
Trauma okuli merupakan salah satu penyebab utama gangguan penglihatan
dan kebutaan pada satu mata yang dapat dicegah. Trauma okuli dapat dibagi
menjadi trauma tajam, trauma tumpul, trauma kimia, trauma termal, trauma fisik,
extra ocular foreign body, dan trauma tembus berdasarkan mekanisme trauma.
Trauma okuli dapat terjadi diberbagai tempat, di rumah tangga, di tempat kerja,
maupun di jalan raya. Trauma pada mata dapat mengenai jaringan di bawahnya
secara terpisah atau menjadi gabungan trauma jaringan mata. Trauma dapat
mengenai jaringan mata: kelopak, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil
saraf optik, dan orbita.(4,5)
Penanganan dini trauma okuli secara tepat dapat mencegah terjadinya
kebutaan maupun penurunan fungsi penglihatan. Penanganan trauma okuli
secara komprehensif dalam waktu kurang dari 6 jam dapat menghasilkan hasil
yang lebih baik. Namun sayangnya, layanan kesehatan mata yang masih jarang
dan kurang lengkap sering kali menjadi penyebab keterlambatan penanganan
trauma okuli, di samping kurangnya pengetahuan dan masalah perekonomian.(4)

8
II. ANATOMI BOLA MATA

Gambar 1. Anatomi bola (1)

Bola mata orang dewasa memiliki bentuk yang hampir bulat, dengan
diameter anteroposterior sekitar 24,5 mm. Konjungtiva adalah membran mukosa
yang transparan dan tipis. Konjungtiva dapat dibagi dalam 3 zona, yaitu:
palpebra, forniks dan bulbar. Bagian bulbar mulai dari mukokutaneus junction
dari kelopak mata dan melindunginya pada pemukaan dalam. Bagian ini melekat
erat pada tarsus. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbikulare di
forniks dan melipat berkali-kali, sehingga memungkinkan bola mata bergerak
dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Kecuali di limbus,
konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera dibawahnya.
Sklera adalah pembungkus fibrosa yang menjadi pelindung dari sekitar 4/5
permukaan mata. Jaringan ini kontras dengan kornea yang transparan, dimana
sklera padat dan putih serta bersambung dengan kornea di sebelah anterior dan
dura mater optikus di belakang. Insersi skelera pada otot rektus sangat tipis yaitu
skitar 0,3 mm dan bertambah 1 mm ketebalannya di posterior. Sklera menjadi
tipis dan berjalan melintang pada lamina kribrosa, dimana akson dari sel
ganglion keluar untuk membentuk nervus optik. Nutrisi sklera lewat pembuluh
darah dipasok oleh episklera yaitu lapisan tipis dari jaringan elastis halus yang
membungkus permukaan luar sklera anterior.(1,3)

9
Kornea menempati pertengahan dari rongga bola mata anterior yang
terletak diantara sklera. Kornea sendiri merupakan lapisan avaskuler dan
menjadi salah satu media refraksi (bersama dengan humor aquous membentuk
lensa positif sebesar 43 dioptri). Kornea memiliki permukaan posterior lebih
cembung daripada anterior sehingga rata mempunyai ketebalan sekitar 11,5 mm
(untuk orang dewasa). Kornea memiliki lima lapisan yang berbeda dari anterior
ke posterior, yaitu: epitel, membrana Bowman, stroma, membrana Descemet
dan endotel. Kornea mendapat suplai makanan dari humor aqueous, pembuluh-
pembuluh darah sekitar limbus dan air mata. Trasparansi kornea disebabkan
oleh strukturnya yang seragam, avaskularitasnya dan deturgensinya.(1,6)
Lapisan setelah kornea adalah Uvea. Jaringan uvea merupakan jaringan
vaskuler. Jaringan sklera dan uvea dibatasi oleh ruang potensial yang mudah
dimasuki darah bila terjadi perdarahan yang disebut sebagai perdarahan
suprakoroid. Jaringan uvea ini terdiri dari iris, badan siliar (terletak pada uvea
anterior) dan koroid (terletak pada uvea posteror). Pada iris didapatkan pupil
yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar masuk ke dalam bola
mata. Otot dilatator dipersarafi oleh parasimpatis, sedang sfingter iris dan otot
siliar dipersarafi oleh simpatis. Otot siliar yang terletak di badan siliar mengatur
bentuk lensa untuk berakomodasi.(1)
Badan siliar yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan bilik mata
(humor akueous) yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada
pangkal iris di batas kornea dan sklera. Lensa adalah suatu struktur bikonveks,
avaskular tak berwarna dan hampir transparan. Tebalnya sekitar 4 mm dan
diameternya 9 mm. Lensa terletak di belakang pupil yang difiksasi di daerah
ekuator pada badan siliar melalui Zonula Zinii. Tidak ada serat nyeri, pembuluh
darah, atau saraf di lensa. Lensa mata mempunyai peranan pada akomodasi atau
melihat dekat sehingga sinar dapat difokuskan di daerah makula lutea. Retina
merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semi transparan. Permukaan luar
retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina, sehingga
juga bertumpuk dengan membrana Bruch koroid dan sklera. Di kebanyakan
tempat, retina dan epitel pigmen retina mudah terpisah sehingga membentuk
suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Terdapat enam

10
otot pengerak bola mata dan terdapat kelenjar lakrimal yang terletak di daerah
temporal atas di dalam rongga orbita.(1,7)

Gambar 2. Potongan sagital kavum orbita yang menunjukkan bola mata dan
struktur disekitarnya (1)

Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa transparan yang berada di garis permukaan
posterior kelopak mata dan Aspek anterior bola mata. Disebut konjungtiva
(menggabungkan diri) karena menghasilkan membran mukus yang terdapat pada
bola mata hingga kelopak mata. Konjungtiva membentang dari margin kelopak
hingga limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut kantung
konjungtiva yang terbuka di depan fissura palpebra.(1)

Bagian dari konjungtiva


Konjungtiva dapat dibagi menjadi tiga bagian :
1. Konjungtiva palpebra. Ini bagian dari kelopak dan dapat dibagi lagi menjadi
marginal, tarsal dan konjungtiva orbital. (1)
a. Konjungtiva marginal memanjang dari margin kelopak sekitar 2 mm di
bagian belakang kelopak hingga ke lekukan yang dangkal, sulkus
subtarsalis. Hal ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva.
b. Tarsal konjungtiva, tipis, transparan dan sangat vaskular. Hal ini jelas
terlihat pada seluruh lempeng tarsal di kelopak mata atas. Pada kelopak
mata bawah, hanya terdapat pada setengah dari lebar tarsus. Kelenjar tarsal
tampak sebagai garis-garis kuning.

11
c. Orbital bagian dari konjungtiva palpebra terletak antara lempeng tarsal dan
forniks.
2. Bulbar konjungtiva. Bagian ini tipis, transparan dan kendur yang terletak pada
struktur yang mendasari dan dengan demikian dapat dipindahkan dengan mudah.
Hal ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episkleral dan kapsul Tenon.
Daerah 3 mm dari konjungtiva bulbar sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.
Di daerah limbus, konjungtiva, kapsul Tenon dan jaringan episkleral menyatu
menjadi jaringan padat yang sangat terikat pada persimpangan korneoskleral
yang mendasari. Pada limbus, epitel konjungtiva bersambung dengan kornea. (1)
3. Konjungtiva forniks. Bagian ini terus menerus melingkar secara cul-de-sac yang
merusak hanya pada sisi medial oleh karunkula dan plica semilunaris.
Konjungtiva fornix bergabung dengan konjungtiva bulbar dan konjungtiva
palpebra. Hal ini dapat dibagi menjadi superior, inferior, medial dan forniks
lateral. (1)

Gambar 3. Bagian konjugtiva dan kelenjar konjungtiva. (1)

Struktur Konjungtiva
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu, (1) epitel, (2) lapisan
adenoid, dan (3) lapisan fibrous.

12
1. Epitel. Lapisan sel epitel konjungtiva bervariasi dari daerah ke daerah dan
bagian yang berbeda tersebut sebagai berikut: (1)
 Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis jenis skuamosa epitel bertingkat.
 Tarsal konjungtiva memiliki 2 lapis epitel : lapisan superfisial sel silinder
dan lapisan dalam sel pipih.
 Forniks dan konjungtiva bulbar memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial
sel silinder, lapisan tengah sel polyhedral dan lapisan dalam sel-sel kuboid.
 Konjungtiva limbal memiliki lagi banyak lapisan (5 sampai 6) epitel
skuamosa bertingkat.
2. Lapisan Adenoid. Hal ini juga disebut lapisan limfoid dan terdiri dari jaringan
ikat retikulum yang terletak limfosit. Lapisan ini paling berkembang di forniks.
Lapisan ini tidak terlihat pada saat lahir tapi berkembang setelah 3-4 bulan
kehidupan. Untuk alasan ini, peradangan konjungtiva pada bayi tidak
menghasilkan reaksi folikel. (1)
3. Lapisan fibrous. Lapisan ini terdiri dari kolagen meshwork dan serat elastis.
Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di wilayah konjungtiva
tarsal, di mana lapisan itu sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan
saraf dari konjungtiva. Lapisan ini menyatu dengan mendasari kapsul Tenon di
wilayah konjungtiva bulbar. (1)

Gambar 4. Struktur mikroskopis konjungtiva menunjukkan tiga lapisan (A) dan


susunan sel-sel epitel berbeda di berbagai daerah konjungtiva (B). (1)

13
Kelenjar Konjungtiva
Konjungtiva terdiri dari dua jenis kelenjar : (1)
1. Kelenjar sekretorik musin. Ini adalah sel goblet (Kelenjar uniseluler yang
terletak di dalam epitel), kriptus dari Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan
kelenjar Manz (ditemukan di konjungtiva limbal). Kelenjar ini mengeluarkan
lendir yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva.
2. Kelenjar aksesori lakrimal. Ini adalah: (1)
 Kelenjar Krause (terdapat di jaringan ikat subconjunctival dari forniks, sekitar
42 di forniks atas dan 8 di fornix bawah) dan
 Kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan
sepanjang batas bawah tarsus inferior).
Plica Semilunaris
Merupakan lipatan crescentric yang berwarna merah muda dari konjungtiva,
terdapat di canthus medial. Batas bebas lateralnya cekung. Ini adalah struktur
vestigeal pada manusia dan merupakan membran nictitating (atau kelopak mata
ketiga) dari bagian bawah hewan. (1)
Carunle
Caruncle berukuran kecil, bulat telur, massa merah muda, terletak di canthus dalam,
hanya pada medial plica semilunaris. Pada kenyataannya, merupakan potongan
kulit yang dimodifikasi dan ditutupi dengan epitel skuamosa bertingkat dan
mengandung kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut. (1)

Gambar 5. Suplai darah pada konjungtiva. (1)

14
Suplai darah pada konjungtiva
 Arteri mensuplai konjungtiva yang berasal dari tiga sumber : (1) arteri perifer
arcade pada kelopak mata; (2) arcade marginal kelopak mata; dan (3) arteri
siliaris anterior. (1)
 Konjungtiva palpebra dan forniks disuplai oleh cabang dari arteri perifer dan
arteri marginal arcade dari kelopak mata.
 Konjungtiva Bulbar disuplai oleh dua set pembuluh: arteri konjungtiva
posterior yang merupakan cabang dari arteri arcade dari kelopak mata; dan
arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri siliaris anterior.
Cabang terminal dari arteri konjungtiva posterior beranastomosis dengan
arteri konjungtiva anterior membentuk pleksus pericorneal.
 Vena mengalir dari konjungtiva ke vena pleksus dari kelopak mata dan
beberapa di sekitar kornea kedalam vena siliaris anterior. (1)
 Limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan: superfisial dan dalam.
Limfatik dari sisi lateral yang mengalir ke kelenjar getah bening preauricular
dan dari sisi medial mengalir ke kelenjar getah bening submandibular. (1)

Suplai saraf konjungtiva


Zona circumcorneal konjungtiva dipasok oleh cabang dari saraf siliaris panjang
yang mensuplai kornea. Sisa konjungtiva dipasok oleh cabang dari lakrimal,
infratrochlear, supratrochlear, supraorbital dan saraf frontal. (1)

III. FISIOLOGI KONJUNGTIVA


Fungsi kantung konjungtiva. Kantung konjungtiva memiliki tiga tugas utama:
1. Motilitas bola mata. Koneksi longgar antara konjungtiva bulbar dan sclera
dan "cadangan" jaringan konjungtiva di forniks memungkinkan bola mata
bergerak secara bebas ke segala arah.
2. Lapisan artikulasi. Permukaan konjungtiva halus dan lembab untuk
memungkinkan membran mukosa melewati dengan mudah dan tanpa rasa
sakit di setiap bagian konjungtiva. Selaput air mata bertindak sebagai
pelumas.

15
3. Fungsi pelindung. Konjungtiva mampu melindungi terhadap patogen.
Agregasi folikel-seperti limfosit dan sel plasma (kelenjar getah bening pada
mata) yang terletak di bawah konjungtiva palpebra dan di forniks. Zat
antibakteri, imunoglobulin, interferon, dan prostaglandin membantu
melindungi mata. (8)

IV. EPIDEMIOLOGI
Terdapat sekitar 2,4 juta penderita trauma okuler dan orbita di Amerika
Serikat setiap tahunnya, dimana 20.000 sampai 68.000 dengan trauma yang
mengancam penglihatan dan 40.000 orang menderita kehilangan penglihatan
yang signitifikan setiap tahunnya. Hal ini seringkali didahului oleh katarak
sebagai penyebab kerusakan penglihatan. Di Amerika Serikat, trauma
merupakan penyebab paling banyak dari kebutaan unilateral. United States Eye
Injury Registry (USEIR) merupakan sumber informasi epidemiologi yang
digunakan secara umum di AS. Menurut data dari USEIR, rata-rata umur orang
yang terkena trauma okuli adalah 29 tahun, dan laki-laki lebih sering terkena
di banding dengan perempuan. Menurut studi epidemiologi international,
kebanyakan orang yang terkana trauma okuli adalah laki-laki umur 25 sampai
30 tahun, sering mengkonsumsi alkohol, trauma terjadi di rumah. Selain itu
cedera akibat olah raga dan kekerasan merupakan keadaan yang paling sering
menyebabkan trauma.(2,9)

V. KLASIFIKASI
Trauma mekanik dapat diklasifikasikan menjadi :(1)
1. Benda asing ekstraokuler yang tertinggal (Retained extraocular foreign bodies)
2. Trauma tumpul (contusional injuries)
3. Trauma penetrasi dan perforasi
4. Trauma penetrasi dengan benda asing intraokuler yang tertinggal (Penetrating
injuries with retained intraocular foreign bodies)

Definisi yang diutarakan oleh Birmingham Eye Trauma Terminology System


mengenai trauma okuler mekanik adalah sebagai berikut :(1,7)

16
1. Closed-globe injury merupakan suatu keadaan dimana dinding mata (sklera
dan kornea) tidak memiliki luka yang sampai menembus seluruh lapisan-
lapisan ini namun tetap menyebabkan kerusakan intraokuler, termasuk di
dalamnya :
 Kontusio. Merupakan jenis closed-globe injury yang disebabkan oleh
trauma tumpul. Kerusakan yang timbul dapat ditemukan pada lokasi
benturan atau pada lokasi yang lebih jauh dari benturan.
 Laserasi lamellar. Merupakan jenis closed-globe injury yang dicirikan
dengan luka yang tidak sepenuhnya menembus lapisan sklera dan kornea
(partial thickness wound) yang disebabkan oleh benda tajam maupun
benda tumpul.

2. Open-globe injury merupakan jenis trauma yang berkaitan dengan luka yang
sampai menembus seluruh lapisan dinding dari sklera, kornea, atau keduanya.
Termasuk didalamnya ruptur dan laserasi dinding bola mata.
 Ruptur merujuk pada luka pada dinding bola mata dengan ketebalan penuh
sebagai dampak dari trauma tumpul. Luka yang timbul disebabkan oleh
peningkatan tekanan intraokuler secara tiba-tiba melalui mekanisme
trauma inside-out.
 Laserasi merujuk pada luka pada dinding mata dengan ketebalan penuh
yang disebabkan oleh benda tajam. Luka yang dihasilkan merupakan
akibat mekanisme luar ke dalam (outside-in), termasuk di dalamnya :
o Trauma penetrasi merujuk pada laserasi tunggal dari dinding mata yang
disebabkan oleh benda tajam
o Trauma perforasi merujuk pada dua laserasi pada dinding mata dengan
ketebalan penuh (satu masuk dan satu keluar) yang disebabkan oleh
benda tajam. Dua luka yang terbentuk harus disebabkan oleh benda
yang sama.
o Trauma benda asing intraokuler merupakan suatu trauma penetrasi
ditambah dengan tertinggalnya benda asing intraokuler.

17
Gambar 6. BETT. Eye injury diagram.(7)

Gambar 7. Panduan praktis untuk mengklasifikasikan trauma ocular dalam


BETT.(7)

18
V. ETIOLOGI LASERASI KONJUNGTIVA
Laserasi konjungtiva paling sering terjadi sebagai akibat dari penetrasi luka.
Akibat kondisi terpapar, tipis, dan mobilitasnya, konjungtiva rentan terhadap
luka, yang biasanya berhubungan dengan perdarahan subkonjungtiva.(8)

VI. GEJALA KLINIS


Gejala dapat bervariasi secara luas tertunda pada tingkat dan kedalaman dari
laserasi konjungtiva. Setiap keterlibatan mendasari Kapsul Tenon atau sklera
akan tentu memperburuk jumlah nyeri. Terkadang pasien merasakan adanya
sensasi benda asing di mata, Lakrimasi, dan Nyeri minimal pada mata. (8,10)

VII. PENEGAKAN DIAGNOSIS


a) Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan riwayat kejadian sehingga
penyebab trauma dapat diketahui. Pada anamnesis kasus trauma mata
ditanyakan mengenai proses terjadi trauma, benda apa yang mengenai mata
tersebut, bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata tersebut
apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana kecepatannya waktu
mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda yang mengenai
mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan lain.
Apabila terjadi penurunan penglihatan, ditanyakan apakah pengurangan
penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga
kapan terjadinya trauma. Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan
rasa sakit dan apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya. Sebagai contoh,
riwayat bekerja dengan hamar dan pahat akan memberikan petunjuk adanya
benda asing intraokular, atau pekerjaan menggunting dan menghaluskan akan
memberikan petunjuk benda asing di kornea. Riwayat medis sebelumnya
seperti trauma okular sebelumnya, operasi mata, riwayat ambliopia,
pengobatan, alergi, riwayat keluarga, riwayat sosial dan data tanggal vaksin
tetanus terakhir harus ditanyakan utnuk melengkapi anamnesis trauma
okular.(1,5,8)

19
b) Pemeriksaan Fisik
Dimulai dengan pengukuran dan pencatatan visus. Bila gangguan
penglihatan berat, periksa proyeksi cahaya, diskriminasi 2 titik dan adanya
defek pupil aferen. Periksa motilitas mata dan sensasi kulit periorbita,
kemudian lakukan palpasi untuk mencari adanya defek pada bagian tepi
tulang orbita.(6) Trauma okular biasanya memberikan gejala nyeri, fotofobia
dan blefarospasme. Dalam pemeriksaan sebaiknya menggunakan anestesi
topikal sehingga pasien dapat diperiksa tanpa nyeri berlebihan, khususnya
anak kecil sebaiknya sejak awal diperiksa dengan bantuan anestesi umum
yang bekerja singkat. Kemudian kornea dan konjungtiva diperiksa adanya
tanda-tanda trauma menggunakan lampu pemeriksaan. Palpebra dieversikan
untuk melihat konjungtiva tarsal dan forniks. Permukaan kornea diperiksa
untuk mencari adanya benda asing, luka dan abrasi. Inspeksi konjungtiva
bulbaris dilakukan untuk mencari adanya perdarahan, benda asing, atau
laserasi.(6,8)
Kedalaman dan kejernihan bilik mata depan diperiksa. Ukuran dan
bentuk pupil, serta reaksi pupil terhadap cahaya harus dibandingkan dengan
mata yang lain untuk memastikan adanya defek pupil aferen di mata yang
cedera. Mata yang teraba lembek, visus 1/300 (atau yang lebih buruk), defek
pupil aferen atau perdarahan vitreus memberikan petunjuk adanya ruptur bola
mata. Bila bola mata tidak rusak, periksalah palpebra, konjungtiva palpebralis
dan forniks dengan lebih teliti, termasuk eversi palpebra superior.(6,8)

Penlight
Senter digunakan untuk memeriksa bulbar dan konjungtiva palpebra;
sebelum membuka kelopak mata, memastikan bahwa tidak ada luka terbuka
pada bola mata Ikuti langkah-langkah di bawah ini: (2)
 Pasien melihat ke atas, secara perlahan eversikan kelopak mata bawah dan
evaluasi bagian bawah bulbar/ permukaan palpebra dan forniks inferior.
 Pasien melihat ke bawah, angkat kelopak atas dan inspeksi permukaan
bulbar superior

20
Untuk memeriksa konjungtiva tarsal superior, kelopak atas perlu dieversi:
 Perhatikan bulu mata dengan perlahan;
 Tempatkan alat kecil (misalnya, kapas lidi/ aplikator) pada kulit tutup atas
di lokasi lipatan kelopak mata;
 Dengan tekanan posterior yang lembut dari aplikator dan traksanterior i
pada bulu mata, kelopak dapat dieversi dan pegangan aplikator
dilepaskan; ini memberikan kenyamanan lebih baik dan meratakan
permukaan palpebra

Gambar 8. (A dan B) Eversi pada kelopak mata atas.(2)

Untuk memeriksa fornix superior, pindahkan kelopak atas anterior, jauh dari
bola mata, dengan instrumen (eversi ganda).

Gambar 9. Eversi ganda pada kelopak mata atas. Untuk melihat fornix,
mengeversikan kelopak mata atas harus jauh dari bola mata. Speculum
Desmarres dimasukkan ke belakang tarsal untuk melihat fornix superior dan
conjungtiva bulbar. (2)

21
Slit Lamp
Evaluasi slit-lamp dari hasil konjungtiva sama dengan pemeriksaan senter.
Menggunakan pembesaran medium-power, seluruh permukaan konjungtiva harus
diperiksa untuk melihat benda asing, luka, atau daerah yang kehilangan epitel.
kelopak atas harus dieversi dan permukaan palpebra superior juga diperiksa. (2)

Temuan Klinis (11)


 luka pada konjungtiva yang seringkali dimanifestasikan sebagai perdarahan
subkonjungtiva, dan pembengkakan pada tepi konjungtiva.

Gambar 10. Laserasi konjungtiva dari arah nasal hingga ke limbus. tampak
hemoragik dan konjungtiva edema tertarik sedikit ke arah caruncle. Dasar sclera
terlihat dilalui laserasi. (11)

 Terpaparnya bagian dasar sclera dan episklera


 Pewarnaan tepi laserasi dengan pewarna fluorescein
 Pada laserasi konjungtiva, terdapat kecurigaan yang tinggi untuk rupture bola
mata

Gambar 11. Laserasi pada limbus kornea dengan iris prolaps dan keterlibatan

22
konjungtiva yang berdekatan. Perdarahan subconjunctival mengelilingi laserasi
konjungtiva. (11)

c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dengan oftalmoskop akan memberikan evaluasi struktur
intraokular yang lebih dalam (lensa, vitreus, diskus optikus dan retina),
seperti adanya perdarahan vitreus atau retina. Perdarahan vitreus akan
memberikan gambaran berkurangnya refleks merah pada retroiluminasi.
Pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari manipulasi
yang tidak perlu pada mata, terlebih lagi pada mata dengan trauma terbuka
yang berat. Hal ini ditandai dengan bola mata lunak, pupil tidak berada pada
tempatnya (menuju ke sisi yang tertusuk), iris prolaps dan adanya perdarahan
intraokular di bilik mata depan dan korpus vitreus. Pemeriksaan yang tanpa
berhati-hati dapat menyebabkan kerusakan yang lebih parah pada mata
seperti ekstrusi isi intraokular.(6,8)

Tergantung dari apa yang ditemukan dalam riwayat, juga penting


untuk menilai dengan hati-hati kerusakan pada sclera dan jaringan mata.
Gunakan setetes anestesi topikal atau anesthetic-soaked, cotton-tipped
applicator sebelum memanipulasi konjungtiva untuk melihat keterlibatan
yang lebih dalam. Aplikasi fluorescein dan tanda Seidel bisa membantu
menentukan apakah bola mata tembus, meskipun perawatan harus diambil
ketika Tanda Seidel adalah negatif. Cedera penetrasi akan memerlukan CT
scan (gambaran aksial dan koronal), MRI (kecuali benda logam yang terlibat
atau diduga), dan mungkin USG-B scan. (10)

23
Gambar 12. Diagram untuk menegakkan diagnosis trauma ocular. (12)

VIII. PENATALAKSANAAN
Laserasi konjungtiva yang kurang dari 1 cm biasanya dapat sembuh
tanpa intervensi, proses penyembuhannya cukup cepat. Pengobatan luka
yang kecil pada konjungtiva hanya diberikan topikal spektrum luas atau salep
antibiotik sebagai profilaksis terhadap infeksi hingga luka benar-benar
sembuh. Luka yang kecil, laserasi non-penetrasi mungkin tidak memerlukan
pemeriksaan yang lebih lanjut. Laserasi yang lebih besar mungkin

24
memerlukan penjahitan. Bahan jahitan yang cepat diserap (misalnya,
chromic atau plain gut) memadai untuk kebanyakan kasus. Luka yang lebih
dari 1 cm atau pada kasus avulsi jaringan atau aposisi luka yang buruk
biasanya akan memerlukan jahitan (CPT 65270), dimana mencakup nilon
atau disolvable ukuran 6-0 hingga 11-0; paling sering mungkin 7-0 Vicryl
(Ethicon) jahitan yang terserap.(2,10)

Teknik interuptus dapat digunakan mulai di tengah luka, dengan jahitan


berikutnya dibagi dalam tiap segmen sampai setengah tepi luka. Hindari
menyentuh Kapsul Tenon saat menjahit. Jahitan akan menetap sampai luka
sembuh atau yang non-dissolvable satu persatu dihilangkan. Pada luka kecil,
antibiotik topikal spektrum luas atau ointment diindikasikan untuk
setidaknya tujuh sampai 10 hari. Pada luka yang besar (> 1 cm), laserasi
konjungtiva non-penetrasi, Pasien dianjurkan untuk kontrol kembali sekitar
satu minggu atau lebih cepat jika pasien mengalami nyeri.(10)

Jika dicurigai luka penetrans yang harus dilakukan adalah memakaikan


bebat steril, kemudian injeksi vaksin tetanus dan berikan antibiotik
profilaksis. Luka segmen anterior yang tertutup dapat diperbaiki dengan
teknik mikrobedah. Laserasi kornea diperbaiki dengan benang 10-0 nylon
untuk menghasilkan penutupan luka yang kedap air. Iris atau korpus siliaris
yang terpapar kurang dari 24 jam bisa direposisi kembali dengan viscoelastik
atau dengan spatula siklodialisis melalui insisi limbus dan menyapu jaringan
dari luka kembali ke dalam bola mata. Jika jaringan telah terpapar lebih dari
24 jam, atau jaringan tersebut telah mengalami iskemik atau kerusakan berat,
maka jaringan yang prolaps harus dipotong pada bibir luka. Sampel untuk
kultur hanya disarankan pada pasien yang dicurigai superinfeksi bakteri dan
jamur, misalnya benda asing organik dan trauma pada pekerja kebun. Benda
asing berkecepatan tinggi biasanya steril. Luka pada sklera dapat ditutup
dengan jahitan interuptus benang non-absorbable 8-0 atau 9-0.(6,8)

25
IX. KOMPLIKASI

1. Endoftalmitis
Endoftalmitis traumatik merupakan penyebab utama kegagalan isual
yan diakibatkan cedera terbuka pada bola mata dan cedera kecil tanpa
kerusakan intraokular yang luas. 2% hingga 7% pada trauma penetrating
berakibat endoftalmitis. Meskipun kemajuan terbaru, secara keseluruhan
prognosis tetap buruk. Hal ini terutama disebabkan oleh infeksi
mikrorganisme virulensi tinggi dan keterlambatan dalam pengobatan. (13)
Endoftalmitis traumatik memiliki insiden tertinggi yang disebabkan
oleh Bacillus. Sp khususnya B. cereus. Organisme ini memproduksi enzim
dan eksotoksin yang mengakibatkan penurunan penglihatan dalam waktu
singkat. Mikroorganisme pada endoftalmitis post traumatik pediatrik
berbeda dari orang dewasa, dimana Streptococcus. Sp merupakan
organisme infeksi yang terbanyak. (13)
Pada beberapa kasus kegagalan pengobatan, rata-rata interval antara
cedera hingga pengobatan dapat diamati setelah 3 hari. Rata-rata interval
antara cedera hingga pengobatan meningkat pada kasus dengan
pengobatan yang sukses dan dapat diamati setelah 8 hari. Gambaran klinis
pada endoftalmitis traumatik termasuk nyeri, proptosis, edema palpebra,
ekimosis, peingkatan tekanan intraocular, edema kornea, hypopyon,
kerusakan lensa, vitreus eksudat, terdapat gelembung udara pada
intraokular yang disebabkan oleh Clostridia atau B.cereus. (13)
Sekitar 64% mata dengan endophthalmitis akan menghasilkn kultur
yang positif. Pengulangan pengambilan kultur dapat dilakukan 48-72 jam
setelah terapi awal terutama jika hasil awal berubah negatif. Identifikasi
organisme menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR)
sangat berguna, terutama pada sampel okular yang hasil kulturnya
negatif.(13)

26
A B

Gambar 13. A. Inflamasi difus pada segmen anterior dengan iris keruh
akibat sel darah putih dan fibrin dalam ruang anterior. hypopyon dan
penyebaran injeksio konjungtiva juga mendukung endoftalmitis. B. Cedera
traumatik dengan ruptur bola mata dan inflamasi ocular yang luas serta
infeksi yang mengenai vitreous, bilik mata depan, dan ruptur disekitarnya.
Kapsul lensa mengalami kerusakan dan memperlihatkan hidrasi dan
gambaran putih pada lensa. (11)

Pengobatan (11)
 Topikal diperkaya antibiotik spektrum luas: cefazolin atau vankomisin,
gentamisin atau tobramisin
 Suntikan antibiotik subconjunctival
 Operasi vitrectomy dan suntikan antibiotik intravitreal

2. Glaukoma Sekunder
Glaukoma traumatik merupakan glaukoma sekunder dan merupakan
indikasi berat pada cedera mata. Hal ini muncul 5%-10% pada cedera mata.
Glaukoma mungkin munuci dengan gambaran klinik yang berbeda-beda
dan waktu timbul yang berbeda setelah cedera. (14)
Glaukoma sekunder dapat terjadi akibat prolapse dari corpus vitreus,
massa lensa/ kerusakan lensa dan perdarahan pada bilik mata depan dan
vitreous, obstruksi pada sudut bilik dan peningkatan tekanan intraocular
secara cepat. (14)
Gejala klinis berupa nyeri pada mata, fotofobia, dan penurunan visus.
Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan visus, reaksi pupil,
pergerakan bola mata, pemeriksaan Slit Lamp, pemeriksaan bilik mata

27
depan untuk melihat sel darah merah dan derajat hifema, melakukan
pewarnaan fluorescein pada permukaan konjungtiva untuk menilai adanya
ruptur pada kornea, mengukur tekanan intraokuler dengan tonometri
Schiotz, dan pemeriksaan funduskopi. (11)

A B

Gambar 14. A. lapisan sel darah merah pada bilik mata depan (hifema). B.
konjungtiva memutih pada glaukoma akibat infeksi. (11)

Penanganan (11)
 Logam atau perisai plastik yang keras untuk melindungi mata
 Membatasi aktivitas untuk mengurangi kejadian perdarahan berulang
(biasanya dalam 3 sampai 7 hari pertama)
 Tetap tegak dan mengelevasikan tempat tidur bagian kepala 45° saat
tidur untuk memungkinkan darah menetap di inferior
 Cycloplegia untuk kenyamanan (cyclopentolate 1% TID)
 Prednisolon asetat 1% QID untuk mengurangi peradangan
 Jika abrasi timbul, tunda pemberian prednisolon tetes dan obati abrasi
dengan antibiotik topikal sampai permukaan sembuh
 Aspirin atau obat anti-inflamasi nonsteroid tidak di gunakan

3. Katarak Traumatik
Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi
ataupun tumpul terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun. Katarak
traumatik paling sering disebabkan oleh cedera benda asing di lensa atau
trauma tumpul terhadap bola mata. Tembakan sering merupakan penyebab,

28
sedangkan penyebab yang lebih jarang adalah anak panah, batu, pajanan
berlebih terhadap panas, sinar X, dan bahan radioaktif. (5)

Pasien mengeluhkan penglihatan kabur secara mendadak. Mata


menjadi merah, lensa opak, dan mungkin terjadi perdarahan intraokuler.
Apabila humour aqueus dan korpus vitreum keluar dari mata, mata menjadi
sangat lunak.Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat,
perforasi kecil akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel
sehingga bentuk kekeruhan terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa
akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan
terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata depan. (5)

Pengobatan pada katarak traumatik adalah dengan memberikan


antibiotik sistemik dan topikal serta kortikosteroid topikal dalam beberapa
hari untuk memperkecil kemungkinan uveitis. Atropin sulfat 1% sebanyak
satu tetes tiga kali dalam sehari dianjurkan untuk menjaga pupil tetap
berdilatasi dan untuk mencegah pembentukan sinekia posterior. (5)

Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila


terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan
terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia pada anak dapat
dipasang lensa intra okular primer atau sekunder. Pada katarak trauma
apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata menjadi
tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain sebagainya
maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma
sering dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk
cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi tajam
penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan,ablasi retina, uveitis
atau salah letak lensa. (5)

29
Gambar 15. Katarak traumatik dengan gambaran putih pada lensa. (5)

IX. PROGNOSIS
Prognosis untuk sebagian besar cedera konjungtiva sangat baik.
Penyembuhan konjungtiva cepat, karena kaya akan suplai darah, dan infeksi
jarang terjadi. Namun, rusaknya pasokan vaskular konjungtiva dan sel-sel induk
limbal kornea dapat mengakibatkan perubahan permukaan mata secara
permanen dengan ulserasi kornea dan jaringan parut jangka panjang serta
vaskularisasi. Selain itu, kerusakan komponen seluler khusus pada permukaan
konjungtiva dapat secara permanen mengubah komposisi selaput air mata
preocular dengan gejala sisa yang berdampak pada permukaan kornea. (2)

Pada setiap trauma mata, perlu dilakukan sistem scoring. Hal ini
diperlukan untuk dapat mendeskripsikan beratnya traum/ luka, memberikan
pelayanan triage yang efektif, membantu dalam hal kesiapan operasi, serta
untuk memprediksikan prognosis penglihatan. Berikut disajikan tabel untuk
menghitung skor pada trauma mata sesuai dengan BETT (Birmingham Eye
Trauma Terminology), dengan memperhatikan enam aspek, meliputi ketajaman
penglihatan awal, ada tidaknya rupture, ada tidaknya endoftalmitis, ada
tidaknya perforasi, ada tidaknya retinal detachment, serta ada tidaknya RAPD
(tabel 1). (2)

30
Tabel 1. Ocular Trauma Score.(2)

Dengan OTS diharapkan dokter mata dapat memprediksi prognosis


pasien, dan pada penelitian didapatkan hasil hingga 77% kesempatan dokter
mata untuk hasil fungsional final pasien. (2)

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology 4th Ed. New Delhi: New Age
International (P). 2007; p. 3-11, 51-4, 401-2.
2. Kuhn F, Pieramici DJ, editors. Ocular Trauma Principles and Practice. New
York: Thieme, 2002; p. 9-11, 89-93, 206
3. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. ABC of Eyes 4th Ed. London: BMJ Books.
2004.p 29-33.
4. Djalantik AS, Andyani A, Widiana GR. The Relation of Onset Trauma and
Visual Acuity on Traumatic Patient. Jurnal Oftamologi Indonesia. 2010;85-90
5. Rahman A. Trauma Tumpul Okuli. Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
2009; 1-6. Dikutip dari: http://www.files-of-DrsMed.tk
6. Augsburger J, Asbury T. Ocular & Orbital Trauma. In: Eva PR, Whitcher JP,
editors. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology 17 ed: The McGraw-Hill
Companies; 2008.
7. Kuhn F, Morris R, Mester V, Witherspoon CD. Terminology of Mechanical
Injuries: the Birmingham Eye Trauma Terminology (BETT). In: Kuhn F,
editor. Ocular Traumatology: Springer; 2008.
8. Lang GK. Ophtalmology, A Pocket Textbook Atlas 2nd Ed. Stuttgart:
Thieme.2006; 67, 507-11
9. Phoga JK, Gagneja V, Sachdeva S, Rathi M. Evaluation of a Case of
Penetrating Ocular Injury. Indian Journal of Clinical Practice. 2012;22.
10. Miller W. Evaluating and Treating Conjunctival Laceration. Departement at
the University of Houston College of Optometry. 2013. Dikutip dari :
www.clspectrum.com.
11. Chern KC. Emergency Ophthalmology A Rapid Treatment Guide. McGraw-
Hill. 2002
12. Ritson JE, Welch J. The management of open globe eye injuries: a discussion
of the classification, diagnosis and management of open globe eye injuries. J
Royal Naval Medical Service. 2013;99(3).

32
13. Nataraj A. Post Traumatic Endophthalmitis. Kerala Journal of Ophthalmology.
2010;258-61
14. Stanic R. Traumatic Glaucoma. Departement of Ophthalmology Croatia.
2001;101-4

33

Anda mungkin juga menyukai