Disusun Oleh :
dr. Astidya Miranti Putri
Pembimbing :
dr. Liana Ekowati, Sp.M(K)
1
LAPORAN KASUS
I. PENDAHULUAN
Strabismus berasal dari bahasa Yunani “strabismos” yang berarti melihat
secara juling, melihat secara oblik atau melirik, sehingga strabismus berarti
ketidaksejajaran mata (ocular misalignment). Kondisi ketidaksejajaran ini dapat
disebabkan karena abnormalitas penglihatan binokuler atau karena anomali kontrol
neuromuskular pergerakan mata.1,2,4,5
Laporan kasus ini membahas seorang wanita berusia 14 tahun dengan mata
kanan kiri Exotropia Alternans.. Perjalanan klinis, dasar diagnosis, penatalaksanaan
dan prognosis akan menjadi bahan diskusi pada laporan kasus ini.
2
II. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. J
Umur : 14 tahun
No CM : C675674
Alamat : Pati
Pekerjaan : Pelajar
3
- Riwayat operasi mata (-)
4
Status Oftalmologi:
OD OS
Visus 6/30 6/6
0
Visus koreksi 6/30 S-1,25 C-0,75x90 6/6
1.0
Bola mata 0 0 -1 0 0 0
0 -1 0 0
0 0 -1 0 0 0
5
Lensa Jernih Jernih
Fundus reflex Cemerlang Cemerlang
Funduskopi Dalam batas normal Dalam batas normal
Pemeriksaan laboratorium
Hematologi
Hemoglobin : 14,3 g/dl
Leukosit : 11,1 ribu/uL
Trombosit : 293 ribu/uL
Kimia darah
Glukosa sewaktu : 72 mg/dl
Ureum : 16 mg/dl
Creatinin : 0,7 mg/dl
Imunoserologi
HBsAg : Negatif
Koagulasi
PTT : 12,2 detik
PTTK : 34,4 detik
6
VI. RESUME
Status ophtalmologi
OD OS
Visus 6/30 6/6
Bola mata 0 0 -1 0 0 0
0 -1 0 0
0 -1 0 0
0 0
7
VIII. PENATALAKSANAAN
Pro Mka Resesi M. Rectus Medial 7mm, Mki Reseksi M. Rectus Lateralis 6,5mm
Konsul Anestesi
IX. PROGNOSIS
OD OS
X. EDUKASI
Menjelaskan kepada orangtua bahwa kedua mata juling.
Menjelaskan kepada orangtua bahwa kedua ada ketidak imbangnya antara kedua otot
mata sehingga bolamata menjadi tidak simetris.
Menjelaskan kepada orangtua bahwa akan dilakukan beberapa penanganan, salah
satunya adalah operasi dengan cara pemotongan otot akan menambah kekuatan otot
yang dipotong dan menggeser otot sekitar penggerak mata ke belakang untuk
mengurangi fungsinya sehingga yang diharapkan dari operasi tersebut kedua mata
pasien dapat simetris kembali.
XI. FOLLOW UP
9 Februari 2018
OD OS
Visus 6/30 6/12
Bola mata 0 0 -1 0 0 0
1 -1 1 0
1 -1 1 0
0 0
8
Pupil Bulat, sentral, Bulat, sentral,
regular, Ø 3mm, refleks regular, Ø 3mm, refleks
pupil (+) N pupil (+) N
Lensa Jernih Jernih
Fundus reflex Cemerlang Cemerlang
Funduskopi Dalam batas normal Dalam batas normal
Telah dilakukan
Mka Recess M. Rectus Lateral 7mm
GA
Mki Resect M. Rectus Lateral 6,5mm
dr. Liana Ekowati, SpM (K)/ HW,AST
Jumat, 9 Februari 2018/ OK GRD 1/13.30
9
follow up post koreksi strabismus H+1
OD OS
Visus 6/30 6/12
Bola mata Gerak bolamata Gerak bolamata terbatas
terbatas kesegala arah kesegala arah
Palpebra Edema (-), spasme (-) Edema (-), spasme (-)
Konjungtiva Subkonjungtiva bleeding Subkonjungtiva bleeding
(+) (+)
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata depan Kesan dalam Kesan dalam
Iris Kripte (+) Kripte (+)
Pupil Bulat, sentral, Bulat, sentral, regular, Ø
regular, Ø 3mm, refleks 3mm, refleks pupil (+) N
pupil (+) N
Lensa Jernih Jernih
Fundus reflex Cemerlang Cemerlang
Funduskopi Dalam batas normal Dalam batas normal
Hirschberg test 00 00
10
XII. DISKUSI
Strabismus 1,2,3,4,5,7,8,9
Strabismus adalah suatu keadaan dimana kedudukan kedua bola mata tidak ke
satu arah. Satu mata bisa terfokus pada satu objek sedangkan mata yang lain dapat
bergulir ke dalam, ke luar, ke atas, atau ke bawah. Keadaan ini bisa menetap (selalu
tampak) atau dapat pula hilang timbul yang muncul dalam keadaan tertentu saja seperti
saat sakit atau stres.
Eksotropia adalah suatu keadaan didapat atau kongenital (jarang) dimana sumbu
visual dari satu atau kedua mata berdeviasi ke luar, yang bersifat konstan, intermiten,
atau laten. Eksotropia alternan merupakan bentuk eksotropia laten dimana bola mata
dapat melakukan fiksasi secara bergantian. Hal ini dapat terjadi bila kedua mata masih
memiliki tajam penglihatan yang memungkinkan melakukan fiksasi. Terapi eksotropia
dapat berupa koreksi terhadap gangguan refraksi yang ada, pemberian kacamata prisma,
latihan orthoptik, dan pembedahan.
Untuk mendefinisikan arah deviasi pada strabismus berdasarkan posisi axis visual
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
11
Esotropia : mata berotasi sehingga kornea berdeviasi ke arah nasal. Disebut juga
strabismus konvergen.
Eksotropia : mata berotasi sehingga kornea berdeviasi ke arah temporal. Disebut juga
strabismus divergen.
Hipertropia : mata berotasi sehingga kornea berdeviasi ke arah superior. Disebut juga
strabismus vertikal.
Hipotropia : mata berotasi sehingga kornea berdeviasi ke arah inferior. Disebut juga
strabismus vertikal.
Insiklotorsi : mata berotasi sehingga polus superior dari meridian vertikal mata
berputar ke arah nasal. Disebut juga strabismus intorsional.
Ekssiklotorsi : mata berotasi sehingga polus superior dari meridian vertikal mata
berputar ke arah temporal. Disebut juga strabismus ekstorsional.
Pembagian eksotropia :
Pseudodivergen excess exotropia
Merupakan bentuk paling banyak dari eksotropia. Pada awalnya, pasien memiliki
deviasi yang lebih besar pada fiksasi jauh daripada fiksasi dekat, tetapi perbedaan ini
menjadi minimal setelah oklusi salah satu mata atau dengan lensa + 3,00D pada jarak
dekat.
Basic exotropia
Muncul disaat eksodeviasi hampir sama antara fiksasi jauh dengan fiksasi dekat.
Pada eksotropia tipe basic (basic exotropia) sudut deviasi < 10 PD (prisma dioptri)
pada fiksasi jauh dan dekat.
13
Convergence weakness exotropia atau convergence-insufficieny
Muncul mana kala eksodeviasi lebih besar pada fiksasi dekat daripada fiksasi
jauh. Pada eksotropia tipe convergence-insufficiency sudut deviasi pada fiksasi dekat
lebih besar daripada sudut deviasi pada fiksasi jauh sedikitnya 10 PD.
14
Gambar 1. Esotropia V pattern
15
Selain bentuk-bentuk diatas, terdapat juga bentuk lain yang merupakan subtipe
dari strabismus A-V pattern, yaitu:
Subtipe V pattern :
Y pattern
Pada tipe ini, divergensi terjadi pada upgaze sedangkan pada posisi primer dan
downgaze hanya terjadi perubahan kecil deviasi horizontal.Pola ini terjadi karena
overaksi obliq inferior bilateral yang sering dikaitkan dengan esotropia infantil, dan
juga dapat dilihat pada eksotropia intermiten, Sindroma Brown, serta Sindroma Duane
dengan upshoot.
Arrow pattern
Pada arrow pattern, konvergensi yang besar terjadi pada posisi primer dan
downgaze.Terdapatnya arrow pattern dan ekstorsi pada downgaze merupakan
diagnostik untuk kelumpuhan obliq superior bilateral.
Subtipe A pattern :
Lambda pattern
Tipe lambda pattern ditandai dengan divergensi saat downgaze tanpa banyak
perubahan deviasi horizontal dari posisi primer ke upgaze. Tipe ini paling sering
dikaitkan dengan overaksi obliq superior bilateral. Over reseksi ataupun „slipped
muscle’ pada rektus inferior juga akan menyebabkan A pattern subtipe lambda dimana
tampak jelas gambaran overaksi obliq superior. Sebaliknya, underaksi obliq inferior
menyebabkan A pattern dengan perubahan deviasi horizontal terbesar (konvergensi)
saat upgaze.
X pattern
X pattern terjadi jika terlihat divergensi saat upgaze dan downgaze. Keadaan ini
kadang tidak berhubungan dengan penyebab spesifik. Pasien dengan eksotropia sudut
besar yang sudah berlangsung lama sering menunjukkan X pattern, hal ini mungkin
disebabkan oleh rektus lateral yang kontraktur.
16
Penglihatan binokular dapat menjadi :
a. Normal – Binocular single vision. Dapat diklasifikasikan sebagai normal ketika
bifoveal dan tidak terdapat deviasi manifes.
b.Anomalous – Binocular single vision. Dapat diklasifikasikan anomali ketika gambar
pada obyek fiksasi diproyeksikan dari area fovea oleh satu mata dan oleh area di luar
fovea mata yang lainnya misal ketika arah visual dari elemen retina berubah.
Strabismus yang bermanifes selalu terdapat anomalous binocular single vision.
Penglihatan binokular yang normal memerlukan :
a. aksis visual yang jernih,
b. kemampuan elemen retina-corteks untuk berfungsi asosiasi antara satu dengan yang
lainnya dalam mendukung proses fusi,
c. koordinasi yang presisi dari kedua mata ke semua arah gaze
Pemeriksaan Oftalmologi
1. Pemeriksaan gerak bola mata 1,2,7
Pemeriksaan gerak bola mata meliputi pemeriksaan posisi primer dan posisi
17
diagnostik.Pemeriksaan posisi primer yaitu posisi kedua mata saat melihat lurus ke
depan dan terfiksasi pada obyek yang jauh tak terhingga. Untuk mempermudah
pemeriksaan, jauh tak terhingga dianggap sejauh 6 meter atau 20 feet. Posisi kepala
harus lurus.Pemeriksaan posisi diagnostik terdiri dari 9 posisi gaze : 6 posisi
kardinal, melirik ke atas, melirik ke bawah, dan posisi primer.
18
Prism alternate cover test 1,2,3,4,7
Pengukuran deviasi menggunakan pemeriksaan prism alternate cover test
yang lama untuk fiksasi jarak jauh (sedikitnya 6 meter atau 20 feet) dan fiksasi
dekat (33 sentimeter) dengan target akomodasi. Pemeriksaan cover test yang lama
dapat membantu “memecah” tonus fusi dan menampakkan deviasi penuh.
Dipertimbangkan patch test untuk pasien dengan pola divergence excess.
19
deviasi dekat sebesar 10 prisma dioptri atau lebih setelah patch test. Setelah
dilakukan patch test masih terdapat disosiasi, dilakukan pengukuran ulang dengan
adisi +3,0 D. Jika eksodeviasi dekat meningkat menjadi 20 prisma dioptri atau
lebih, diagnosis eksotropia intermiten rasio AC/A tinggi true divergence excess
dapat ditegakkan.
20
Penatalaksanaan
Tidak ada aturan khusus untuk menentukan kapan pasien dengan eksotropia
intermiten membutuhkan terapi. Banyak opini terkait waktu pembedahan dan
penggunaan metodetanpa pembedahan untuk memperlambat atau mencegah kebutuhan
akan intervensi pembedahan.
Tatalaksana tanpa pembedahan : 1,2,3,4,7
1. Koreksi Gangguan Refraksi
Lensa koreksi sebaiknya diresepkan untuk gangguan refraksi miopia,
astigmatisma, maupun hiperopia. Koreksi pada miopia ringan dapa meningkatkan
kontrol eksodeviasi. Hiperopia derajat ringan hingga sedang tidak secara rutin
dikoreksi pada anak-anak dengan eksotropia intermiten oleh karena memperhatikan
perburukan dari kondisi deviasi. Namun demikian, anak-anak dengan hiperopia
>+4,00D atau >1,50D anisometropia hiperopia) mungkin tidak mampu
mempertahankan akomodasi, dan ini berakibat pada gambaran di retina yang kabur
dan bermanifes eksotropia. Koreksi optik dapat meningkatkan gambaran retina
menjadi lebih jelas dan membantu mengontrol eksodeviasi pada pasien.
21
2. Over minus 1,2,4,7
Meresepkan spheris -2,00 hingga -4,00 melebihi yang dibutuhkan oleh
refraksi sikloplegik. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan atau menstimulasi
akomodasi konvergensi dan membantu untuk mengontrol eksotropia intermiten.
Terapi ini hanya efektif untuk deviasi yang ringan/kecil pada pasien miopia.
Terapi ini dapat menyebabkan astenopia pada anak usia sekolah. Terapi ini
dapat efektif sebagai pengukuran sementara untuk meningkatkan fusi dan
memperlambat operasi ketika sistem visual masih imatur. Untuk pasien dengan hasil
awal overkoreksi yang terkontrol, peresepan dapat dikurangi bertahap (tapered) dan
operasi dapat dihindari.
22
push-up atau base out prisms) merupakan terapi pilihan untuk kondisi convergence-
insufficiency.
5. Prisma 1,2,4,7
Meskipun prisma dapat digunakan untuk meningkatkan fusi pada eksotropia
intermiten, prisma base-in jarang dipilih sebagai terapi jangka panjang dikarenakan
prisma dapat menyebabkan reduksi amplitudo fusi vergensi.
2. Waktu pembedahan
Pembedahan dikerjakan saat terdapat perubahan yang menuju eksotropia
konstan, seperti adanya deviasi manifes yang lebih sering muncul, menurunnya
kontrol, atau menurunnya stereoacuity jarak jauh. Tidak ada konsensus mengenai
indikasi spesifik pembedahan, namun keluaran sensoris terbaik dapat dicapai pada
usia kurang dari 7 tahun atau durasi strabismus kurang dari 5 tahun, atau juga deviasi
masih intermitten. Kebanyakan para ahli bedah mata menggunakan ukuran deviasi
manifes yang terjadi lebih dari 50% sehari sebagai kriteria operasi.
3. Tipe pembedahan
Pada divergence excess exotropia, reseksi simetris terhadap otot rektus
lateral bilateral merupakan prosedur operasi yang paling banyak dikerjakan. Pasien
dengan basic eksotropia intermitten akan lebih baik dengan kombinasi reseksi otot
rektus lateral dan reseksi otot rektus medial, atau reseksi otot rektus lateral yang
lebih besar daripada yang dikerjakan pada pasien dengan pseudodivergence excess.
Untuk pasien dengan deviasi yang lebih kecil, reseksi otot rektus lateral unilateral
dapat dikerjakan.
Pasien dengan true divergence excess exotropia memiliki resiko yang lebih
23
besar terhadap esodeviasi jarak dekat setelah reseksi otot rektus lateral dan mungkin
membutuhkan kacamata bifokal jika esodeviasi jarak dekat dengan rasio AC/A
tinggi. Botulinum toxin dapat digunakan untuk terapi eksotropia intermitten
meskipun injeksi berulangkali akan diperlukan.
4. Tujuan pembedahan
Tujuan dari operasi strabismus pada eksotropia intermiten adalah untuk
mengembalikan kesejajaran dan untuk menjaga atau mengembalikan fungsi
binokular. Keberhasilan terapi jangka panjang membutuhkan koreksi berlebih
(overcorrection) dalam beberapa waktu. Hal ini disebabkan mata cenderung bergerak
termasuk ke arah luar.
24
bukan karena faktor genetik melainkan adanya kelainan kongenital.
Tajam penglihatan yang tidak maksimal yaitu mata kanan 6/30 dan mata kiri
6/6 menunjukkan adanya ambliopia. Kelainan refraksi dan adanya strabismus
merupakan suatu gangguan stimulasi visual yang telah terjadi sejak masa pertumbuhan
(saat usia tujuh tahun menurut alloanamnesis). Hal ini mungkin saja telah terjadi
sebelum usia tujuh tahun, akan tetapi orangtua tidak menyadari hal itu. Riwayat pasien
menggunakan kacamata dapat juga dikatakan adanya kelainan refraksi yang merupakan
salah satu faktor resiko terjadinya strabismus.
Penanganan pada pasien ekstropia meliputi koreksi kelainan refraksi,
ambliopia, diplopia dan perbaikan posisi bolamata. Pada pasien ini, penanganan yang
dilakukan dengan perbaikan posisi bolamata dikarenakan adanya deviasi dan diplopia
yang menetap yaitu resesi otot rektus lateral dan reseksi otot rektus lateral agar posisi
bolamata berada di sentral. Hirschberg test paska operasi 00 dengan hasil gaze 9 paska
operasi masih tampak adanya keterbatasan gerak bolamata kemungkinan terjadi
dikarenakan pasien masih merasakan nyeri paska operasi.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. The Eye M.D. Association. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. Basic Clinical
Science Course Section 6. American Academy of Ophthalmology. San Francisco. 2014
2. Bhola,MD, Rahul. Intermittent Exotropia. Diunduh dari : http://medicine.uiowa.edu/eye
3. Rutstein RP, Cogen MS, Cotter SA, Daum KM, Mozlin RL, Ryan JM. Care of The
Patient With Strabismus : Esotropia and Exotropia. American Optometric Association.
2011.
4. Wright KW. Handbook of Pediatric Ophthalmology and Strabismus 3rd edition. Springer.
San Francisco. 2006.
5. Nielsen Vision Development Center. Strabismus and Amblyopia. Diunduh dari :
http://nvdctherapy.com/vision-therapy-research/strabismus
6. Bhola R. Binocular Vision. Diunduh dari :
http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/tutorials/Bhola-BinocularVision.htm
7. Clark RA. The Role of Extraocular Muscle Pulleys in Incomitant Non-Paralytic
Strabismus. Diunduh dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4502169/
8. Sigmund I. E. Tumewu, Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi Manado : Ambliopia Bilateral Disertai Eksotropia Alternans dan
Astigmatisma Miopia Kompositus.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/2046/2127
9. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course. Exodeviation.
In: Pediatric Ophtalmology and Strabismus, Section 6. San Fransisco: The Foundation of
American Academy of Ophtalmology, 2011 p.101-3
10. James B, Chew C, Bron A. Lecture Notes on Ophthalmology. Ninth Edition. Blackwell
Science Ltd. 2003.
11. Sri Handayani Mega Putri. Tinjauan Pustaka Strabismus A-V pattern. Jurnal Kesehatan
Andalas. http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/201/196
26