Disusun oleh :
Eka Dwi Saputri P1337431215003
Daulika Shafaqu L P1337431215006
Neldawati Ningrum P1337431215007
Yulia Puspitasari P1337431215008
Agatha Puspita A P1337431215047
Tia Choirunnisa P1337431215060
Musfiatul Nur L P1337431215069
Fyna Zakiyah P1337431215089
i
HALAMAN PENGESAHAN
KOORDINATOR PEMBIMBING
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
dengan segala rahmat, hidayah dan petunjuk-Nya, proposal ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Laporan ini merupakan hasil dari kegiatan Pengambilan Data Dasar sebagai
salah satu tugas dalam mata kuliah Perencanaan Program Gizi, laporan hasil ini
dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Wiwik Wijaningsih STP, MSi selaku Ketua Jurusan Gizi Poltekkes
Kemenkes Semarang.
2. Ibu Susi Tursilowati, SKM, MSc.PH selaku Ketua Prodi D-IV Gizi dan
selaku pembimbing dalam pembuatan laporan ini.
3. Ibu Dr. Kun Aristiati, SKM, M.Kes selaku Koordinator Mata kuliah
Perencanaan Program Gizi yang telah memberikan pengarahan kepada
kami.
4. Rekan-rekan Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang yang telah
mendukung terselesaikannya laporan ini.
5. Para pihak yang telah memberi bantuan baik riil maupun materiil.
Dengan segala kekurangan dan rendah hati, semoga laporan hasil ini dapat
memberikan yang terbaik bagi pembaca. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
lapoan hasil ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun kesempurnaan laporan ini.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................viii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar belakang1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan 5
D. Manfaat 6
BAB II.....................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................7
A. TINJAUAN PUSTAKA 7
1. Stunting 7
2. Status Gizi Balita 8
3. Faktor Determinan Stunting 9
4. Status Gizi Ibu Hamil 49
5. Faktor Determinan Status Gizi Ibu Hamil 50
B. KERANGKA FAKTOR 79
BAB III..................................................................................................................81
METODE PENGAMBILAN DATA DASAR....................................................81
A. Ruang Lingkup 81
B. Populasi dan Sampel 81
C. Rancangan Penelitian 84
D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 84
E. Cara Pengolahan Data 88
F. Analisis Data 100
G. Definisi Operasional 101
iv
BAB IV................................................................................................................111
HASIL DAN PEMBAHASAN...........................................................................111
A. Hasil Analisis Balita 111
1. Faktor Infeksi 111
2. Faktor Asupan Gizi 111
3. Faktor Fisiologis 113
4. Faktor Kesehatan Lingkungan 115
5. Faktor Perilaku Orang Tua 117
6. Faktor Pelayanan Kesehatan 119
7. Faktor Sosial Ekonomi 120
8. Hubungan Status Infeksi dengan Kategori TB / U 122
9. Hubungan Asupan Energi dengan Kategori TB / U 123
10. Hubungan Asupan Protein dengan Kategori TB / U 123
11. Hubungan Pengetahuan Ibu Balita dengan Kategori TB / U
124
12. Hubungan Sikap Ibu Balita dengan Kategori TB / U 124
B. Hasil Analisis Ibu Hamil 125
1. Faktor Kesehatan Ibu 125
2. Faktor Asupan Gizi 126
3. Faktor Fisiologis 127
4. Faktor Pelayanan Kesehatan 129
5. Faktor Perilaku 130
6. Faktor Sosial 130
7. Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi Ibu Hamil
132
8. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil dengan Status Gizi Ibu
Hamil 133
9. Hubungan Sikap Ibu Hamil dengan Status Gizi Ibu Hamil
133
10. Hubungan Umur dengan Status Gizi Ibu Hamil 134
BAB V..................................................................................................................135
PENUTUP.................................................................Error! Bookmark not defined.
v
A. KESIMPULAN 135
B. SARAN 136
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................137
LAMPIRAN........................................................................................................145
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tantangan globalisasi yang mendasar dan akan dihadapi oleh
masyarakat saat ini adalah malnutrisi yang terjadi pada satu dari tiga anak di
dunia. Ada tiga klasifikasi malnutrisi, yaitu: marasmus yang merupakan
akibat kekurangan energi berat dan kronis, khwasiorkhor yang disebabkan
karena kekurangan asupan protein serta marasmic khwashiorkhor yang
merupakan kombinasi dari marasmus dan khwasiorkhor. Malnutrisi dan
asupan makanan yang kurang adalah faktor risiko terbesar terjadinya beban
penyakit global: setiap negara sedang menghadapi tantangan kesehatan
masyarakat yang serius karena malnutrisi (WHO, 2016).
Stunting diidentifikasi dengan menilai panjang atau tinggi anak
(panjang telentang untuk anak-anak berusia kurang dari 2 tahun dan tinggi
badan untuk anak-anak berusia 2 tahun atau lebih) dan membandingkan hasil
pengukuran dengan nilai standar. Pertumbuhan anak-anak dikatakan
terhambat jika panjang atau tinggi badan mereka dibawah -2 SD dari rata-rata
Standar Pertumbuhan Anak WHO untuk usia dan jenis kelamin yang sama.
Demikian pula, anak-anak dianggap sangat pendek jika panjang atau tinggi
badan mereka di bawah -3 SD dari Standar Pertumbuhan Anak WHO dengan
median untuk usia dan jenis kelamin yang sama (WHO, 2008).
Deteksi dini stunting diperlukan untuk mengejar pertumbuhan normal
anak sesuai dengan prinsip Scalling Up Nutrition (SUN). SUN merupakan
program yang difokuskan untuk mendeteksi gangguan pertumbuhan dan
perkembangan pada 1000 hari pertama kehidupan. Tindakan perbaikan gizi
akan efektif dilakukan pada usia tersebut guna mengejar pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal. Anak dibawah usia dua tahun (baduta) termasuk
dalam usia 1000 hari pertama kehidupan, dimana usia ini sangat rentan terjadi
masalah gizi terutama stunting.
1
Berdasarkan data statistik WHO, rata-rata kasus stunting Indonesia
tahun 2007-2014 mencapai 36,4%, menempati urutan ke-25 dari 193 negara.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 mencatat prevalensi balita stunting
pada tingkat nasional mencapai 37,2%, hal ini berarti bahwa prevalensi
stunting pada balita mengalami peningkatan sebesar 1,6% dari tahun 2010
(35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek secara nasional terdiri dari
18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek. Menurut laporan hasil pelaksanaan
PSG (Penilaian Status Gizi) Jawa Tengah 2015, prevalensi balita pendek 18%
dan sangat pendek 6,8%. Jawa Tengah merupakan Provinsi dengan prevalensi
tinggi yaitu 33.9%.
Stunting memiliki dampak jangka pendek, yaitu bahwa anak stunting
mempunyai risiko lebih besar untuk menderita infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA) dan diare. Berdasarkan penelitian di wilayah kerja puskesmas
Gilingan Surakarta didapatkan bahwa kejadian ISPA lebih sering terjadi pada
balita stunting 85,2% dibandingkan dengan balita normal 14,8%. Hal serupa
terjadi pada kejadian diare dimana sering terjadi pada balita stunting 68,7%
dibandingkan balita normal 31,3%.
Selain itu, stunting juga memiliki dampak jangka pendek pada individu
dan masyarakat, seperti: berkurangnya kemampuan kognitif dan
perkembangan fisik. Kondisi stunting yang terlambat disadari akan
mengganggu perkembangan fisik dan kognitif anak, keterlambatan
perkembangan mental, serta penurunan kualitas belajar di sekolah. Menurut
Grantham et al. (2008) menambahkan beberapa penelitian di sejumlah negara
berkembang mengenai stunting menunjukkan bahwa stunting berhubungan
erat dengan lambatnya pemahaman, kemajuan sekolah, maupun keduanya,
serta skor IQ yang lebih rendah daripada non stunting. Jika kecenderungan ini
terus berlanjut, proyeksi menunjukkan bahwa 127 juta anak di bawah 5 tahun
akan akan terhambat pertumbuhannya pada tahun 2025. Oleh karena itu,
intervensi dan tindakan lebih lanjut diperlukan untuk mengurangi jumlah
stunting sebanyak 100 juta yang ditargetkan pada tahun 2025 (Report, 2016
#30).
2
Stunting juga dapat menimbulkan dampak jangka panjang di bidang
kesehatan berupa perawakan yang pendek, peningkatan risiko untuk obesitas
dan komorbidnya serta penurunan kesehatan reproduksi. Anak-anak dengan
risiko stunting juga berisiko terkena penyakit-penyekait degeneratif seperti
diabetes, sehingga mengganggu kesehatannya dan menurunkan produktivitas
kerja. Hingga pada akhirnya, mereka hanya akan menjadi beban negara
(Agustina, 2015).
Stunting bersifat ireversibel sebagai akibat dari gizi yang inadekuat dan
adanya infeksi selama 1000 hari pertama kehidupan anak. Banyak faktor yang
mempengaruhi stunting pada anak, diantaranya adalah faktor yang langsung
mempenaruhi stunting dan faktor yang secara tidak langsung. Faktor
langsung yang mempengaruhi stunting adalah faktor asupan gizi dan adanya
faktor infeksi, sedangkan faktor tidak langsung yangmempengaruhi stunting
adalah adanya faktor fisiologis, faktor kesehatan, faktor dari perilaku orang
tua, faktor dari pelayanan kesehatan dan faktor sosial. Berdasarkan penelitian
Debora di Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa riwayat pola asuh, pola
makan, asupan zat gizi, budaya, penyakit infeksi, ekonomi keluarga memiliki
hubungan yang signifikan (p<0,05) dengan kejadian stunting pada anak usia
24–59 bulan. Selain itu, stunting juga di sebabkan oleh status gizi ibu hamil.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Yogyakarta dengan hasil
penelitian yang menyatakan bahwa ibu hamil dengan riwayat KEK saat hamil
dapat meningkatkan risiko kejadian stunting pada anak balita usia 6-24 bulan
(Sartono, 2013). Status gizi pada ibu hamil disebabkan oleh adanya faktor
determinan secara langsung, yaitu asupan gizi dan faktor tidak langsung,
diantaranya adalah faktor-faktor: kesehatan ibu, biologis, sosial, perilaku dan
pelayanan kesehatan. Sebuah penelitian menyatakan bahwa pemanfaatan
pelayanan kesehatan berhubungan negatif dengan prevalensi panjang badan
lahir pendek artinya semakin rendah pemanfaatan pelayanan kesehatan maka
semakin tinggi prevalensi panjang badan lahir pendek. Pemanfaatan
pelayanan kesehatan rendah akan berhubungan positif dengan prevalensi
panjang badan lahir pendek bila risiko kehamilan tinggi (Astuti, 2015).
3
Kasus KEK yang dialami oleh ibu hamil di Indonesia dapat disebabkan
oleh banyak faktor, terutama karena adanya ketidakseimbangan asupan energi
dan protein. Kebutuhan gizi pada masa kehamilan akan meningkat sebesar
15% dibandingkan dengan kebutuhan wanita normal. Kebutuhan zat gizi ibu
hamil yang tidak terpenuhi dapat mempengaruhi kehamilan yang berdampak
pada pertumbuhan dan perkembangan janin. Dengan kata lain kondisi bayi
yang dilahirkan sangat bergantung pada keadaan gizi ibu selama hamil.
Selain kasus KEK, masalah gizi yang sering dialami oleh ibu hamil
adalah anemia. Anemia merupakan suatu keadaan dimana jumlah sel darah
merah dan/atau hemoglobin berada di bawah normal. Hemoglobin berfungsi
mengangkut oksigen dari jantung, kemudian mengantarkannya ke seluruh
bagian tubuh. Anemia defisiensi besi dapat berakibat fatal bagi ibu hamil
karena ibu hamil memerlukan banyak tenaga untuk melahirkan. Setelah itu,
pada saat melahirkan biasanya darah keluar dalam jumlah banyak sehingga
kondisi anemia akan memperburuk keadaan ibu hamil. Ibu hamil yang
menderita KEK dan anemia mempunyai risiko kesakitan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ibu hamil normal terutama pada trimester III
kehamilan, sehingga risiko untuk melahirkan bayi dengan BBLR, kematian
saat persalinan, pendarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan
mudah mengalami gangguan kesehatan akan semakin meningkat. Selain dari
asupan ibu hamil, ada juga hal yang dapat mempengaruhi kesehatan dan
status gizi ibu hamil yaitu preeklampsia dan eklampsia. Preeklampsia
merupakan hipertensi yang terjadi setelah 20 minggu kehamilan pada wanita
yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal.
Hipertensi yang ditemukan dengan tekanan sistolik ≥ 140 mmHg atau
tekanan diastolik ≥ 90 mmHg dengan pemeriksaan dua kali dengan jarak 6
jam dan terdapat proteinuria ≥0,3 gram/24 jam atau 1+ dipstick. Diagnosa
preeklampsia berdasarkan adanya hipertensi dan proteinuria, edema ataupun
keduanya. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda yang lain.
Penyakit ini didiagnosa berdasarkan tanda-tanda disfungsi endotel maternal
yang tersebar luas. Pada kehamilan normal, sebagian sel-sel sitotropoblast
plasenta menghentikan aktivitas perubahan yang tidak sesuai yang
4
menyebabkan infasi ke rahim dan pembuluh darahnya. Proses ini
menyebabkan melekatnya konseptus pada dinding rahim dan memulai aliran
darah ibu ke plasenta. Preeklampsia berhubungan dengan perubahan
sitotropoblas abnormal, infasi dangkal dan penurunan aliran darah ke
plasenta.
Dalam penelitian ini dilakukan intervensi perbaikan gizi untuk
memperbaiki status gizi serta mengurangi angka prevalensi masalah gizi yang
ada di Indonesia. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas kami
melakukan Pengambilan Data Dasar (PDD) di Kecamatan Sayung,
Kabupaten Demak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah faktor risiko pada balita yang berhubungan dengan kejadian
stunting?
2. Apa sajakah faktor risiko pada ibu hamil yang berhubungan dengan
kejadian kekurangan energi kronik?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dilakukannya pengambilan data dasar ini adalah :
a. Mengetahui faktor-faktor risiko pada Balita yang berhubungan dengan
kejadian stunting di wilayah Puskesmas Mranggen II.
b. Mengetahui faktor-faktor risiko pada Ibu hamil yang berhubungan
dengan kejadian kekurangan energi kronik wilayah Puskesmas
Mranggen II.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dilakukannya pengambilan data dasar ini adalah :
a. Balita
1) Mendiskripsikan status gizi balita
2) Mendeskripsikan faktor asupan gizi balita
3) Mendiskripsikan faktor fisiologis
4) Mendiskripsikan perilaku kesehatan
5) Mendiskripsikan faktor kesehatan
6) Mendiskripsikan faktor sosial
b. Ibu Hamil
1) Mendiskripsikan status gizi ibu hamil
2) Mendiskripsikan status kesehatan ibu hamil
3) Mendiskripsikan asupan gizi ibu hamil
5
4) Mendeskripsikan faktor fisiologis
5) Mendiskripsikan faktor sosial
6) Mendiskripsikan perilaku ibu hamil
7) Mendikripksikan pelayanan kesehatan
D. Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Stunting
Stunting adalah kondisi yang rendah tinggi untuk usia di antara
anak-anak yang mengindikasikan kegagalan pertumbuhan linier sebagai
dampak dari malnutrisi kronis. Penelitian ini merupakan penelitian cross
sectional yang dilakukan di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Hasilnya
menunjukkan bahwa 50% balita dalam penelitian ini adalah stunting. Yaitu
6
sebagian besar responden kelompok balita stunting berusia 25–36 bulan
sebanyak 12 responden (46,2%), usia 12–24 bulan sebanyak 5 responden
(19,2%), usia 37–48 bulan sebanyak 6 responden (23,1%) dan usia 49–60
bulan sebanyak 3 responden (11,5%). Hal tersebut bisa dijelaskan bahwa
status gizi stunting disebut juga sebagai gizi kurang kronis yang
menggambarkan adanya gangguan pertumbuhan tinggi badan yang
berlangsung pada kurun waktu cukup lama. Pada kelompok balita stunting
sebagian besar balita berada pada kelompok umur 23–36 bulan,
kemungkinan mereka pernah mengalami kondisi gizi kurang pada saat
berada di tahapan usia 12–24 bulan atau bahkan sebelumnya. Banyaknya
faktor yang berhubungan dengan pertumbuhan linier atau tinggi badan
anak balita, maka dalam penelitian ini variabel yang akan diteliti meliputi
karakteristik balita dan orang tua balita, tingkat konsumsi zat gizi balita,
riwayat menyusui dan pola konsumsi balita, pola asuh keluarga terhadap
balita, kejangkitan penyakit infeksi, dan praktek hygiene sanitasi ibu pada
balita. ( Bayu Dwi Welasasih dan R. Bambang Wirjatmadi, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Silvania Azzola
Rendraduhita di wilayah kerja Puskesmas Wonosari II Gunungkidul tahun
2017 dengan jenis penelitian deskriptif kuantitatif metode purposive
sampling. Jumlah sampelnya 54 balita. Analisis univariat dalam bentuk
presentase. Hasil penelitian tentang gambaran balita stunting di wilayah
kerja Puskesmas Wonosari II Gunungkidul yaitu :
1. Sebagian besar balita yang mengalami stunting dilahirkan dengan
BBLR sebanyak 30 responden (55.6%).
2. Sebagian besar ibu dari balita yang mengalami stunting dengan ibu
berumur <20 tahun sebanyak 29 responden (53,7%).
3. Sebagian besar balita yang mengalami stunting dalam pemberian ASI
tidak ekslusif sebanyak 41 responden (75,9%)
4. Sebagian besar balita yang mengalami stunting mempunyai riwayat
penyakit infeksi sebanyak 45 responden (83,3%)
7
2. Status Gizi Balita
Menurut Nani Purwati, dkk (2017) penelitian yang dilakukan dengan
metode eksperimental di Puskesmas Mranti tahun 2014 dengan sampel
sebanyak 261 balita. Berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa model algoritma backpropagation dapat
mengklasifikasikan status gizi balita dengan tingkat akurasi yang lebih
tinggi dibandingkan algoritma C.45 yaitu sebesar 96,08% dan kappa
memperoleh hasil yang excellent yaitu sebesar 0,907. Status Gizi
merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan antar
pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang
dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan ketegori dan indikator yang
digunakan.Seseorang diidenfifikasi status gizi normal apabila terdapat
keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi
yang dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Status
gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan
keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit
dari energi yang dikeluarkan. Status gizi balita diukur berdasarkan umur,
berat badan (BB), dan Tinggi Badan (TB). Variabel BB dan TB tersebut
disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri yaitu berat badan
menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Rumus perhitungan ZScore adalah sebagai berikut :
8
Indikator TB/U menggambarkan status gizi yang dipengaruhi
kondisi-kondisi yang sifatnya kronis (akibat kondisi yang berlangsung
sangat lama).
9
anak yang tidak pernah diare dalam 2 bulan terakhir (Lestari et al,
2014).
Hal ini sejalan dengan penelitian di Nepal pada anak usia 6-59
bulan, menggunakan metode case control dengan jumlah sampel
kasus 118 anak stunting dan 118 anak normal sebagai sampel control.
Hasil analisis multifariat menggunakan uji regresi logistik
menunjukkan bahwa dari 118 sampel kasus sebanyak 85 anak
mengalami diare satu kali atau lebih dalam kurun waktu 24 bulan
pertama kehidupan memiliki resiko stunting 7,46 kali (OR=7,46,95%
CI 2.98-18.65) dibandingkan anak yang tidak mengalami diare (Rajan
et al, 2012).
Penetian lain yang dilakukan di Bule Hora, Ethiopia Selatan
menggunakan metode cross sectional dengan jumlah sampel 796 anak
usia 6-59 bulan untuk mengetahui faktor- faktor yang terkait dengan
kekurangan gizi pada anak, hasil analisis regresi logistik bivariat
menunjukkan bahwa 48,5% anak mengalami diare pada tahun lalu
dan 25,1% anak mengalami diare dua minggu sebelum pengambilan
data cenderung memiliki risiko stunting 2,5 kali (AOR =2,5 95%
CI:1,2-5.3) lebih besar dibandingkan dengan anak yang tidak
mengalami diare (Asfaw et al, 2015)
b. Riwayat ISPA
ISPA merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering
diderita oleh anak .Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah
penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dari saluran nafas,
mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)
termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah,
dan pleura (Nelson, 2003).
Pada penelitian di kecamatan Penanggalan kota Subulussalam
provinsi Acehmenggunakan sampel penelitian 55 anak stunting dan 55
anak normal yang memenuhi kriteria inklusi. Penentuan sampel
10
dengan cara concequtive sampling. Total anak yang diukur adalah 144
anak dan yang bersedia menjadi sampel adalah 110 anak anak yang
menderita ISPA memiliki risiko sebesar 5,71 kalidengan(OR = 5,71,
95% CI: 1,95-16,67) menjadi stunting dibandingkan dengan anak
yang tidak pernah menderita ISPA dalam 2 bulan terakhir. Penyakit
infeksi memberikan dampak negatif terhadap status gizi anak dalam
hal mengurangi nafsu makan dan penyerapan zat gizi dalam usus,
terjadi peningkatan katabolisme sehingga cadangan zat gizi yang
tersedia tidak cukup untuk pembentukan jaringan tubuh dan
pertumbuhan(Lestari, 2014).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Nepal
mengenai faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6- 59 bulan
menggunakan metode case kontrol dengan jumlah sampel kasus 118
anak dan 118 anak sampel kontrol secara random. Hasil analisis
bivariat menggunkan uji Chi Squaremenunjukkan bahwa terdapat 89
anak pada sampel kasus mengalami penyakit infeksi pernafasan akut
memiliki risiko sebesar 4,64 kali (OR=4,64, 95%CI:2.65-8.10)
mengalami stunting dibaningkan dengan anak yang tidak pernah
mengalami penyakit infeksi pernafasan akut (Rajan et al, 2014).
c. Asupan Energi
Energi merupakan bagian yang sangat penting dalam seluruh
proses metabolisme tubuh. Pada kejadian stunting pada kalangan anak
memang sangat rawan. Karena pada usia ini balita mengalami masa
transisi dari masa balita ke masa anak. Hasil Riskedas di Indonesia
pada Tahun 2013 adalah 37,2%, jika dibandingkan tahun 2010
(35,6%) dan tahun 2007 (36,8%) tidak menunjukkan penurunan/
perbaikan yang signifikan. Pada Riskesdas tahun 2010 ditemukan
anak balita yang menderita gizi kurang dan buruk sebanyak 17,9%;
balita yang kurus dan sangat kurus sebanyak 13,3%; serta balita yang
pendek dan sangat pendek sebanyak 35,6%.
11
Balita yang memiliki asupan energi rendah mempunyai
risiko 1.28 kali mengalami stunting dibandingkan dengan balita
yang memiliki tingkat asupan energi cukup. Hal ini sesuai
kerangka teori UNICEF yang menyatakan konsumsi makanan tidak
adekuat merupakan salah satu faktor yang dapat mengakibatkan
stunting (UNICEF 1998). Penelitian ini dilakukan dengan disain
deskriptif analitik, menggunakan data konsumsi makanan individu
Riset Kesehatan Dasar tahun 2010. Data konsumsi dikumpulkan
dengan metode recall 1 x 24 jam. Konsumsi terendah ditemukan pada
anak balita pendek kelompok umur 48-59 bulan, yaitu 84,8% AKG.
Bahwa semakin bertambah umur, rata-rata tingkat konsumsi energi
anak balita pendek semakin kecil. Namun rata-rata tingkat konsumsi
protein, baik pada anak yang pendek maupun normal sudah melebihi
standar kecukupan di semua kelompok umur (Hermina, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Hermina yang menggunakan
jumlah sampel anak balita umur 2459 bulan dalam Riskesdas 2010
berjumlah 11.690 anak, namun yang datanya lengkap dan dapat
dianalisis data status gizi dan konsumsi gizi sebanyak 6796 anak.
Jumlah anak balita yang defisit energi lebih banyak (31,5%)
dibandingkan dengan anak balita yang normal (24,9%). Lalu, anak
balita pendek yang mengalami defisit protein lebih banyak (23,0%)
dibandingkan dengan anak balita yang normal (17,5%). Perbedaan
defisit energi dan protein pada anak balita cukup bermakna menurut
status gizi. Konsumsi makanan anak balita normal (24-59 bulan) lebih
beragam dibandingkan dengan anak balita pendek dengan skor pola
pangan harapan (PPH) pada anak balita normal sebesar 96,6,
sedangkan pada anak balita pendek sebesar 88,4. Bias dilihat dari
berbagai bahan makanan yang bisa menyumbangkan energi dari padi-
padian pada anak balita pendek lebih tinggi (46,2%) dibandingkan
dengan anak yang normal (45,5%). Sumbangan protein dari hewani
pada anak balita pendek lebih rendah (39,0%) dibandingkan dengan
12
anak yang normal (41,9%). Pada balita pendek sumbangan protein
dari padi-padian lebih banyak yaitu 33,8% sedangkan pada balita
normal 31,1 %.
Dalam sebuah penelitian mengungkapkan bahwa anak dengan
asupan energi yang rendah memiliki risiko terhadap kejadian anak
stunting 2,52 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang asupan
energinya baik.Penelitian lain juga menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara tingkat asupan energi dengan kejadian stunting
pada balita. Balita yang memiliki asupan energi rendah
mempunyai risiko 1.28 kali mengalami stunting dibandingkan
dengan balita yang memiliki tingkat asupan energi cukup. Hal ini
sesuai kerangka teori UNICEF yang menyatakan konsumsi
makanan tidak adekuat merupakan salah satu faktor yang dapat
mengakibatkan stunting (UNICEF 1998).
d. Asupan Protein
Penelitian ini berdesain follow-up study yang dilakukan pada
tahun 2011-2012 di sepuluh puskesmas di Kabupaten Bogor, yaitu
wilayah kecamatan Cigudeg, Cibungbulang, Cibinong, Bojonggede,
dan Sukaraja, dengan melihat grafik Perbandingan Survival Rate Bayi
Lahir dengan Panjang Badan Normal dan Stunting, bayi yang lahir
dari ibu dengan konsumsi protein kurang dari rata-rata (< 58%AKG)
pada trimesterter ke-dua mempunyai risiko 1,6 kali mengalami
stunting pada usia 12 bulan, juga bayi yang lahir kurang dari 48 cm
berisiko 5,9 kali mengalami stunting pada usia 12 bulan dibandingkan
anak yg lahir ≥ 48 cm. Asupan protein dan status gizi saat lahir
mempengaruhi kejadian stunting padaanakusia 12 bulan (Fitrah,2013).
13
e. Asupan Fe
Zat besi Fe berfungsi untuk pertumbuhan, membantu kerja
enzim, mencegah infeksi, menetralisir racun dan pembentukan
haemoglobin. Berdasarkan penelitian dengan design deskriptif analitik
yang dilakukan di 33 provinsi di Indonesia dengan sampel sebanyak
6796 anak, di dapatkan data bahwa tingkat konsumsi Fe kurang pada
balita stunting lebih besar dari pada asupan balita non stunting, yaitu
sebesar 74% untuk yang stunting dan 31% untuk balita non stunting.
Mekanisme peranan zat besi sebagai komponen enzim dan komponen
sitokrom berpengaruh terhadap pertumbuhan. 36 balita terdapat
perbedaan tinggi badan secara signifikan (p<0,05). Rata-rata balita
yang mengalami stunting berkisar antara (30 - 39 %). Suplemen
tunggal zat besi pada balita usia 6-12 bulan di Indonesia mempercepat
pertumbuhan serta perkembangan psikomotor (Ghazian, 2016).
f. Asupan Calsium
Kekurangan kalsium dapat mempengaruhi pertumbuhan linier,
apabila kandungan kalsium kurang dari 50% daribatas normal. Pada
bayi kekurangan kalsium di dalam tulang dapat menyebabkan rakitis,
sedangkan pada anak-anak dapat menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan. Dalam penelitian observasional analitik dan rancangan
cross sectional yang dilakukan di Kecamatan Pontianak Timur dan
Pontianak Utara, Kalimantan Barat sebanyak 90 anak dipilih secara
random sebagai sampel. Hasil penelitian menunjukan 37 balita
stunting dan 53 balita tidak stunting. Dari 37 balita stunting 31 balita
terbukti asupan kalsiumnya rendah (58,49%) dan 6 balita lainnya
dikategorikan cukup (16.22%). Sedangkan 53 balita yang tidak
stunting, diketahui 22 balita memiliki asupan kalsium yang rendah
(41.51%) dan 31 balita lainnya dinyatakan cukup asupan kalisumnya
(83.78%). Prevalensi stunting pada kelompok balita dengan asupan
kalsium rendah lebih besar 3.625 kali (PR = 3,625) daripada
14
kelompok balita dengan asupan kalsium cukup, Hal ini sejalan dengan
teori yang menyatakan bahwa tinggi badan dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain asupan kalsium (Sari, 2016).
g. Asupan Zn
Seng berperan penting dalam proses pertumbuhan dan
pembelahan sel terutama pada proses sintesa dan degradasi
karbohidrat, lemak, protein, asam nukleat dan pembentukan embrio.
Seng dapat menstimulasi asupan makanan, kemungkinan melalui jalur
hormonal atau neuroendorine transmitter yang mempengaruhi selera
makan sehingga dapat meningkatkan asupan makanan. Faktor
hormonal juga berpengaruh pada pertumbuhan secara langsung.
Adanya pengaruh seng terhadap pertumbuhan dikarenakan seng
termasuk salah satu zat gizi yang tergolong dalam nutrien tipe 2.
Nutrien tipe 2 merupakan bahan pokok komposisi sel dan sangat
penting untuk fungsi dasar jaringan. Kekurangan seng dapat
menyebabkan terjadinya stunting pada anak karena seng mempunyai
peran utama dalam sintesis protein, replikasi gen dan pembelahan sel
yang sangat penting selama periode percepatan pertumbuhan baik
sebelum maupun sesudah kelahiran. Pemberian suplemen seng pada
anak stunting dapat meningkatkan konsentrasi plasma insulin-like
Growth Factor I (IGF I) sehingga memicu kecepatan pertumbuhan
insulin-like Growth Factor I merupakan mediator hormon
pertumbuhan yang berperan sebagai suatu growth promoting factor
dalam proses pertumbuhan. Kekurangan hormon pertumbuhan
menyebabkan menyebabkan konsentrasi IGF-I dalam sirkulasi rendah,
sebaliknya hormon pertumbuhan tinggi maka konsentrasi IGF-I juga
akan meningkat. Anak stunting mengalami penurunan konsentrasi
IGF-I. Menurunnya konsentrasi IGF-I disebabkan bukan hanya karena
kekurangan energi protein tetapi juga kekurangan seng (Kusudaryati,
2014).
15
Berdasarkan penelitian yang dilakukan secara cross sectional
pada 92 batita di Surakarta menyatakan bahwa anak batita yang
kekurangan zink mempunyai resiko 2,67 kali lebih besar terkena
stunting dibandingkan dengan anak yang asupan zinknya cukup
dengan mengetahui tingkat kecukupan zink antara sampel batita
stunting dan non stunting dan non stunting sebesar 34,85 dan 42,24
(OR = 2,67; 95% CI = 1,129 – 6,298) (Hidayati, 2010).
h. ASI Ekslusif
Dalam mencapai tumbuh kembang yang optimal di dalam
Global Strategi for infant and Young Child Feeding WHO/UNISEF
merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan mulai dari
bayi yaitu : pertama memberikan ASI kepada bayi segera dalam 30
menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya ASI saja atau
pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi 6 bulan, ketiga
memberikan Makanan Pendamping ASI (MP ASI) sejak berusia 6
bulan sampai 24 bulan dan keempat meneruskan pemberian ASI
sampai berusia 24 bulan atau lebih.
ASI merupakan makanan yang aman bagi bayi dan mempunyai
komposisi zat gizi yang seimbang sesuai kebutuhan serta mengandung
antibodi yang dapat melindungi bayi dan serangan penyakit, sehingga
pemberian ASI dapat menjamin kecukupan gizi, mencegah kesakitan
dan kematian pada bayi. Pemberian ASI adalah salah satu determinan
yang penting mengenai status gizi pada anak yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangannya secara cepat. Rendahnya praktek
pemberian ASI akan mengakibatkan status gizi dan keksehatan anak
terganggu dan akan berakibat pada gangguan fisik dan mental
(UNISEF, 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan menganilis data
hasil Riskesdas 2013 dengan rancangan cross sectioal di 33 provinsi,
497 kabupaten/kota di Indonesia pada 6956 anak usia 6-23 bulan,
16
menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif cenderung berhubungan
secara positif dengan kejaian stunting dengan persentase anak yang
stunting dan tidak stunting berdasarkan pemberian ASI eksklusif
sebesar 37,65% dan 62,35% (OR = 1,19; 95% CI : 1,06 – 1,33)
(Paramashanti, 2016).
Penelitian dengan judul “Riwayat pemberian ASI eksklusif dan
MPASI dini sebagai prediktor terjadinya stunting” pada baduta di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur yang
dilakukan secara cross sectional pada 408 baduta di kecamatan
Amanuba Barat dan kecamatan Kie, hasil analisis bivariabel
menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak memiliki
hubungan dengan kejadian stunting dengan presentase baduta stunting
yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dan yang mendapatkan ASI
eksklusif sebesar 40,5% dan 59,5% (p = 0,53; RP = 1,08; 95% CI =
0,85 – 1,38) (Zagora, 2014).
Namun berdasarkan penelitian pada 48 anak usia 12-60 bulan
case control study di Kota Banda Aceh bahwa responden yang tidak
memberikan ASI eksklusif lebih banyak anak balitanya mengaami
stunting dibandingkan keadaan anak yang normal yaitu sebanyak 36
orang (OR = 4,2; 95% CI = 1,8 - 10,0) (Aguz, 2013).
17
Penelitian observasional analitik dengan desain cross-sectional
di Desa Gembong Kabupaten Pati dengan besar sampel 190 ibu rumah
tangga menunjukkan bahwa hasil survei konsumsi rumah tangga di
Propinsi Jawa Tengah tahun 2007 menunjukkan ibu rumah tangga
yang mengkonsumsi garam yang mengandung yodium sebanyak
58,6%. Hasil data tingkat konsumsi garam beryodium di Kabupaten
Pati tahun 2012 (67,30%) didapatkan hasil yang lebih menurun
daripada tahun 2011 (68,22%). Angka ini masih jauh dari harapan
pemerintah dari angka yang ditargetkan yaitu 90% masyarakat telah
mengkonsumsi garam beryodium (Rini dkk,2017).
k. Frekuensi Makan
Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik
kualitatif dan kuantitatif. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh
melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus.
18
Lama makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan
(Persagi, 2003). Frekuensi makan yang kurang dari 3 kali akan
menimbulkan kekurangan zat nutrisi dalam tubuh, sehingga berat
badan akan menurun dan tidak sesuai dengan umurnya. Dalam hal ini
status gizi balita dikatakan gizi buruk. (Hamonangan, 2015).
Pada penelitian yang dilakukan di West Gojam Zone, Ethiopia
Utara, yang terletak sekitar 560 km sebelah utara ibukota Addis Ababa
dengan menggunakan metode cross-sectional dengan jumlah sampel
622 anak berusia 0-59 bulan di wilayah tersebut. Analisis status gizi
anak berdasarkan unit deviasi standar dari nilai rata-rata untuk tiga
indeks antropometri yaitu tinggi untuk usia, berat badan, serta berat
badan untuk tinggi menunjukkan bahwa 43,2%, 49,2% dan 14,8% dari
total 622 Anak-anak yang termasuk dalam survei ditemukan
mengalami stunting dan kekurangan berat badan. Hasil analisis
bivariat menunjukkan bahwa frekuensi makan, hubungan antara faktor
makanan, kekurangan kolostrum, lama menyusui, makanan prelakteal,
usia pengenalan makanan tambahan, cara makan dan makanan
pertama yang diberikan pada saat pemberian makanan komplementer
adalah secara signifikan terkait dengan stunting. Frekuensi makan
pada proporsi anak-anak stunting yang secara signifikan lebih tinggi
ditemukan di antara mereka yang diberi makan kurang dari 3 kali
sehari yaitu sebesar 49,5%. Di sisi lain, proporsi anak-anak stunting
secara signifikan lebih rendah di antara mereka yang memiliki
frekuensi makan lebih dari 3 kali yaitu sebesar 51,5% (Teshome,
2009)
19
tangga. Pada sebuah studi yang menggunakan desain deskriptif
analitik yang dilakukan pada 11690 balita menunjukkan bahwa
hubungan keragaraman makanan yang lebih rendah dikonsumsi oleh
anak balita pendek. Kemungkinan disebabkan oleh rendahnya daya
beli keluarga dalam menyediakan makanan. Penelitian yang dilakukan
di 33 propinsi di Indonesia ini juga mengatakan konsumsi makanan
balita pendek pada susu sebesar 27,6 %, lauk hewani 56,3 %, buah
12,4 %. Anak pendek lebih sedikit mengonsumsi kue-kue, gorengan
dan sejenisnya (41 %) dibandingkan anak balita normal (51%).
Persentase konsumsi balita pendek lebih sedikit dibandingkan baita
normal (Hermina, 2011).
Baduta dikatakan memiliki akses kurang terhadap pangan jika
kualitas dan kuantitas komposisi menu hariannya kurang lengkap serta
frekuensi lauk nabati yang lebih dominan. Senada dengan hal ini,
kerawanan pangan rumah tangga, komposisi menu yang tidak bergizi,
tidak berimbang dan tidak bervariasi baik secara kualitas dan kuantitas
dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan dan kekurangan gizi
pada balita. Berdasarkan penelitian yang menggunakan rancangan
case control yang melibatkan 126 baduta di Kecamatan Sedayu,
Bantul DI Yogyakarta mengatakan bahwa rumah tangga dengan
kategori rawan pangan lebih banyak terdapat pada kelompok baduta
stunting yaitu 71,43%. Baduta pada rumah tangga rawan pangan
memiliki risiko 2,62 kali lebih besar menderita stuntingdibandingkan
dengan baduta pada rumah tangga tahan pangan(p=0.05, OR=2.62,
95% CI:0.97-7.12) (Masrin, 2014).
m. Umur Balita
Masalah gizi yang berdampak buruk pada kelangsungan
tumbuh kembang anak yang tidak optimal adalah stunting. Hal ini
menyebabkan meningkatnya faktor resiko angka kematian pada anak,
kemampuan kognitif dan perkembangan motorik yang rendah serta
20
fungsi tubuh yang rendah serta fungsi tubuh yang tidak seimbang
(Allen L, Gilespie. 2010).
Hasil riset kesehatan dasarnjukkan bahwa prevalensi anak
balita Indonesia yang menderita stuntingmasih relatif tinggi yaitu
sebesar 35,6%, sedangkan untuk Provinsi Kalimantan Barat terdapat
sebesar 39,7% balita yang stunting (Indonesia DKR, 2010). Pada
Kabupaten Kapuas Hulu dari hasil pemantauan status gizi (PSG)
balita di posyandu tahun 2010 diketahui bahwa prevalensi stunting
35,14%. Faktor resiko terjadinya stunting pada anak yaitu sosial
ekonomi keluarga meliputi pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.
Pemberian ASI dan pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu
dini berkorelasi dengan kejadian stunting pada anak (Adair L. Guilkey
D).
Sampel penelitian ditentukan berdasarkan kriteria inklusi yaitu
balita yang berumur 6-36 bulan, mempunyai orang tua yang masih
hidup, merupakan anak kandung ibu (responden), sedangkan untuk
kriteria eksklusi yaitu subjek menderita cacat bawaan/kongenital atau
sequele akibat kejang/radang otak atau riwayat persalinan dengan
penyulit, lahir prematur, dan BBLR. Besar sampel ditentukan dengan
menggunakan rumus perbedaan dua proporsi populasi dengan tingkat
kepercayaan (Z1-α) sebesar 95%, kekuatan uji (Z1-β) sebesar 90%.
Berdasarkan rumus tersebut diperoleh sampel sebanyak 120 orang.
Rendahnya pendapatan keluarga pada penelitian ini terkait
dengan jenis pekerjaan, karena sebagian besar pekerjaan orang tua
terutama ayah hanya sebagai petani (54,2%). Jumlah anggota rumah
tangga pada anak stuntingcenderung lebih besar dibandingkan jumlah
anggota keluarga anak yang normal. Jumlah anggota rumah tangga
merupakan faktor risiko kejadian stunting. Pada studi ini, terlihat lebih
dari separuh (59,4%) subjek penelitian mempunyai anak antara >4
orang. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang
21
menyimpulkan bahwa tinggi badan orang tua memiliki korelasi positif
terhadap kejadian stunting.
Tinggi badan kedua orang tua mempunyai hubungan yang
signifi kan terhadap kejadian stunting yang ditunjukkan yang
ditunjukkan dengan nilai OR masing-masing 8,3 (ayah) dan 5,6 (ibu).
Hal ini berarti bahwa ayah yang tinggi badannya <-2 SD mempunyai
risiko untuk memiliki anak stunting 8,3 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan ayah yang tinggi badannya ≥-2 SD, sedangkan ibu yang tinggi
badannya <-2 SD berisiko untuk melahirkan anak yang stunting5,6
kali lebih besar jika dibandingkan ibu yang memiliki tinggi badan ≥-2
SD.
Jadi, faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah
pekerjaan ibu, pola asuh, pendapatan keluarga, jumlah anggota rumah
tangga, tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, dan pemberian ASI
eksklusif. Faktor risiko determinan terhadap kejadian stunting adalah
pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, tinggi badan ayah, tinggi
badan ibu, dan pemberian ASI eksklusif (Hizni A, Julia M,
Gamayanti L, 2010).
22
stunting dibandingkan dengan anak laki-laki (p=0,03) dengan nilai
OR=0,71 (CI 95% ; 0,53-0,96). Hal ini diduga karena faktor
kecemasan atau kekhawatiran ibu serta kedekatan ibu terhadap anak
perempuan. Anak perempuan dianggap anak yang lemah sehingga
mendapatkan perhatiaan ekstra dibandingkan dengan anak laki-laki
yang dianggap lebih kuat. Selain itu anak laki-laki cenderung
memiliki aktivitas bermain yang lebih aktif dibandingkan dengan anak
perempuan sehingga banyak energi yang keluar (Rosha et.al, 2017).
23
observasional menggunakan desain case control. Populasi dalam
penelitian ini 726 dengan jumlah sampel sebanyak 51 kasus dan 51
kontrol, pengambilan sampelmenggunakan teknik purposive sampling
dengan pendekatan fixed disease pada sampelkasus maupun kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan BBLR (OR= 5,250; 95%CI= 1,897–
14,532), panjang badan bayi saat lahir (OR= 4,078; 95%CI= 1,599-
10,400) dan riwayatimunisasi dasar (OR= 6,044; 95%CI= 2,295-
15,916) (Swathma, dkk, 2016).
Jenis penelitian analitik observasional dengan rancangan kasus
kontrol (case control study). Subjek penelitian adalah anak usia 6-24
bulan dengan kelompok kasus adalah anak stunting berdasarkan
indikator PB/U dengan cut off < -2 SD z-score dan kelompok kontrol
adalah anak yang normal berdasarkan indikator PB/U. Jumlah subjek
penelitian untuk kelompok kasus dan kontrol sebanyak 242 dengan
ibu balita sebagai responden penelitian. Pemilihan sampel
menggunakan teknik non-probability sampling dengan metode
consecutive sampling, data dianalisis secara univariabel, bivariabel
dan multivaribel. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Juni 2013, di
Kota Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta. Proporsi anak 6-24
bulan yang mengalami BBLR sebesar 15,7%. Ada hubungan
bermakna antara BBLR dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24
bulan, anak yang lahir BBLR mempunyai risiko 5,6 kali lebih besar
untuk menjadi stunting dibandingkan anak yang lahir berat badan
normal. (Darwin, 2014).
24
sebanyak 644 balita dari 20 desa di Kota dan Kabupaten Tangerang
menjadi sampel. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan
prevalensi stunting dari 15% pada saat usia 6-12 bulan menjadi 34,6%
pada saat usia 3-4 tahun. Terjadi perbedaan status stunting dari usia 6-
12 bulan ke usia 3-4 tahun berdasarkan uji paired sample t test dengan
nilai p value < 0,001. Panjang badan lahir merupakan faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunting pada saat subjek berumur 6-12
bulan. Hal ini ditunjukkan dengan uji Chi Square dengan nilai p value
< 0,01 dan nilai RR yang didapat menunjukkan bahwa panjang badan
lahir yang kurang dari normal memiliki risiko untuk mengalami
stunting pada usia 6-12 bulan sebesar 2,4 kali dibandingkan dengan
bayi yang lahir dengan panjang badan normal (Rahayu, 2008) .
Penelitian lain yaitu terdapat 202 bayi lahir dengan panjang
badan normal (≥48 cm), dan 41 bayi di antaranya mengalami
hambatan pertumbuhan (pendek) pada saat anak usia 12 bulan dan 161
bayi (79%) tumbuh normal. Kemudian ada 57 bayi lahir dengan
panjang badan pendek (≤ 48 cm), didapati 36 bayi di antaranya tetap
pendek pada saat anak usia 12 bulan dan 19 bayi (33%) tumbuh
normal. Hasil uji statistik dengan metode log rank menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok bayi yang lahir di
atas 48 cm dan di bawah 48 cm (p=0,000). Terlihat bahwa anak yang
lahir normal (panjang badan ≥ 48 cm) mempunyai survival rate lebih
tinggi dibandingkan dengan anak yang lahir dengan panjang badan
tidak normal (<48 cm).Bayi lahir dengan panjang badan pendek
berisiko 6 kali tetap pendek pada usia 12 bulan dibandingkan bayi
lahir normal (PB ≥ 48 cm) yaitu dengan CI (3,755 – 9,256) (Ernawati,
2013).
q. Umur Ibu
Kehamilan dan kelahiran terbaik yang memiliki risiko paling
rendah untuk ibu dan anak adalah umur ibu antara 20-35 tahun.
25
Menurut penelitian yang telah dilakukan dinyatakan bahwa umur ibu
mempengaruhi keadaan stunting pada balita. Disain penelitian ini
menggunakan disain cross sectional dan Pengambilan sampel
dilakukan secara simple random sampling . Penelitian ini dilakukan di
wilayah Dasan Agung dengan sampel yang digunakan berjumlah 158
balita, 102 balita dari kelurahan Dasan Agung, 36 balita dari kelurahan
Gombong Dasan Baru, dan 20 balita dari kelurahan Gombong. Semua
sample balita yang berusia 12-36 bulan. Dapat dinyatakan umur ibu
yang tergolong muda dan tua saat hamil memiliki risiko melahirkan
anak stunting OR=1,57 dan 95%CI 1,75-3,30 (Najahah,2013).
26
univariat, bivariat (chi-square) dan multivariate (regresi logistik). Pada
analisis multivariat variabel yang dominan adalah status KEK OR 6,2
(CI 95% 1,146-34,049) dan status HDK OR 2,6 (CI 95% 1,010-7,159)
(Najahah, 2014).
Pada penelitian ini menjelaskan bahwa Ibu yang melahirkan
dengan jarak kelahiran pendek mengakibatkan bayi lahir prematur
yang mengakibatkan tidak optimalnya tumbuh kembang balita.
Kondisi ini akan berdampak pada kesehatan ibu dan anak baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Metode analisis yang
digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu analisis
deskriptif dan inferensia. (Thursina 2017).
Hasil penelitian ditemukan sebagian subjek penelitian berjenis
kelamin laki-laki (53,2%), jumlah subjek yang lahir prematur
sebanyak 8%. Penelitian yang dilakukan di Kota dan Kabupaten
Tangerang Propinsi Banten merupakan penelitian analitik non
eksperimental yang merupakan follow up survey dengan rancangan
kohort retrospektif (non concurrent cohort). Analisis data yang
dilakukan dengan analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis
univariat dilakukan untuk menganalisis karakteristik sampel, analisis
bivariat dilakukan untuk melihat perbedaan dan hubungan antar
variabel dengan uji statistik yang digunakan adalah Paired t-test dan
uji Chi Square. Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan
variabel mana yang paling mempengaruhi terjadinya perubahan status
stunting dari usia 6-12 bulan ke usia 3-4 tahun. Analisis statistik yang
digunakan adalah multiple logistic regression. Pada penelitian ini
terjadi peningkatan prevalensi stunting pada saat 3-4 tahun yaitu
ditemukan severe stunting sebesar 12,2% dan stunting sebesar 22,4%.
Kejadian prematur juga berhubungan dengan kejadian stunting pada
saat subjek berumur 6-12 bulan. Bayi yang lahir prematur memiliki
risiko untuk mengalami stunting sebesar 2 kali lebih besar
dibandingkan dengan subjek yang lahir normal (Rahayu, 2011).
27
s. Tinggi Badan Ayah& Ibu
Salah satu faktor genetik yang mempengaruhi stunting adalah tinggi
badan dari orangtua. Beberapa hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa
status gizi disebabkan oleh karakteristik orangtua seperti ukuran
antropometri ibu dan ayah, seperti tinggi badan orangtua memungkinkan
anak memiliki resiko gagal pertumbuhan serta mengalami underweight. Ibu
dengan tinggi badan dibawah 150 cm 74,5% mempunyai anak yang pendek,
ibu dengan tinggi badan <150 cm sebesar 3,4 kali mempunyai anak pendek
dan tinggi badan ayah <162 cm peluang untuk mempunyai anak pendek
sebesar 3,2 kali (Ampera,2017).
Hasil penelitian di kecamatan Penanggalan kota Subulussalam
provinsi Aceh dengan desain penelitian kasus-kontrol. Menggunakan
sampel 55 balita stunting dan 55 balita normal. Penentuan sampel
dengan cara concequtive sampling. Pada penelitian ini didapat nilai
OR=11,13 (95% CI: 4,37-28,3), p=0,0001, artinya orang tua yang
pendek merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak umur 6-
24 bulan. Di dapatkan juga bahwa, anak yang dilahirkan dari kedua
atau salah satu orang tua yang pendek, memiliki risiko menjadi
stunting sebesar 11,13 kali (p=0,0001) dibandingkan dengan anak
yang dilahirkan dari orang tua dengan tinggi badan normal (Lestari,
2014).
t. Pendidikan Ibu
Baik pendidikan ibu dan ayah adalah faktor kuat dari kejadian
stunting, tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi yang dicapai
oleh ibu dikaitkan dengan penurunan anak stunting. Ibu pada
umumnya adalah pengasuh utama untuk anak anak dan perilaku
mereka,dan tingkat pendidikan yang tinggi mungkin diharapkan
memiliki efek yang lebih baik pada anak stunting (Richard, 2008).
Hasil penelitian di provinsi Kalimantan Barat, dengan jenis
observasional menggunakan data sekunder hasil riskesdas 2007
dengan desain Cross Sectional. Jumlah sampel diperoleh sebanyak
28
1992 rumah tangga yang memiliki balita sesuai kriteria inklusi,
proporsi tingkat pendidikan orangtua balita ibu sebagian besar tamat
SD atau dibawahnya sebesar 62,7%. Berdasarkan hasil penelitian,
pendidikan ibu yang dibawah SMP berpeluang balitanya stunting 1,27
kali dibandingkan dengan balita yang tingkat pendidikan ibunya diatas
atau setingkat SMP, hal ini dapat dilihat dari nilai OR 1,27 (CI 95%
1,04 – 1,56). (M. Rizal Damanik, Ikeu Ekayanti, Didik Hariyadi,
2010).
u. Pekerjaan Ibu
Berdasarkan case control pada 1731 baduta di Wilayah Kerja
Puskesmas Penengahan Kabupaten Lampung Selatan diperoleh nilai
p=0.037 lebih kecil dari α=0.05 yang berarti ada hubungan yang
bermakna antara status pekerjaan ibu dengan pertumbuhan Baduta.
Dari hasil statistic juga diperoleh OR= 2.4 yang berarti status
pekerjaan ibu yang bekerja merupakan risiko 2.4 kali untuk dapat
mengalami pertumbuhan Baduta tidak baik di bandingkan dengan ibu
yang tidak bekerja (Hanasiah, 2016).
v. Pendidikan Ayah
Berdasarkan penelitian cross sectional pada 378 anak dasar di
Kecamatan Lut Tawar Kabupaten Aceh Tengah diperolehhasil
ujistatistikmenunjukkan p<0,001dan OR3,37 yang berarti ada
hubunganantara pendidkan ayah dengan status gizi anak.Pendidikan
ayah rendah berisiko 3,37 kali lebihbesar menyebabkan status gizi
sunting 35,1%dibandingkan dengan pendidikan ayah tinggidengan
status gizi stunting 13,8% (Aramico, 2013).
29
anggota keluarga maka pangan yang diperlukan untuk pendistribusian
juga semakin banyak. Namun ketika pasokan atau persediaan rumah
tangga menipis, sudah dipastikan bahwa pendistribusian pangan
rumah tangga tersebut tidak maksimal. Keluarga akan mengalami
kekurangan asupan dan akhirnya berdampak pada kejadian dtunting
balita. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Siti Haritsah di
Kota Binjai pada tahun 2013 Dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara jumlah anggota rumah tangga dengan kejadian
stuntingpada balita. Balita dari keluarga dengan jumlah anggota rumah
tangga banyak, lebih berisiko 1,34 kali mengalami
stuntingdibandingkan dengan balita dari keluarga dengan jumlah
anggota rumah tangga cukup. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang menunjukkan jumlah anggota rumah
tangga memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian stuntingpada
balita. Tshwane University (2006) dalam penelitiannya juga
menemukan adanya hubungan besar keluarga dengan kejadian
stuntingpada balita. Anak-anak stunting berasal dari keluarga yang
memiliki jumlah anggota rumah tangga lebih banyak dibandingkan
dengan anak-anak normal (Haritsah, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian di Berdasarkan hasil penelitian di
wilayah pedalaman Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat menunjukkan bahwa jumlah anggota rumah tangga
merupakan faktor yang secara signifikan berhubungan dengan
kejadian stunting. Dapat disimpulkan bahwa semakin banyak anggota
rumah tangga semakin tinggi risiko anak-anak untuk menderita
stunting (OR=3,5 95 % CI=1,626 – 7,594) (Wahdah, 2015).
x. Kekayaan
Pada penelitian di kecamatan Penanggalan kota Subulussalam
provinsi Aceh menggunakan sampel penelitian 55 anak stunting dan
55 anak normal yang memenuhi kriteria inklusi. Penentuan sampel
30
dengan cara concequtive sampling. Total anak yang diukur adalah 144
anak dan yang bersedia menjadi sampel adalah 110 anak. Proporsi
anak yang stunting lebih banyak terjadi pada rumah tangga dengan
pendapatan keluarga yang tergolong rendah. Pendapatan keluarga
yang rendah merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak
umur 6-24 bulan. Anak dengan pendapatan keluarga yang rendah
memiliki risiko menjadi stunting sebesar 8,5 kali dibandingkan pada
anak dengan pendapatan keluarga tinggi. Berdasarkan hasil analisis
bivariat diperoleh nilai OR 8,5 (95% CI: 2,68-26,89), p=0,001
(Wanda, 2014).
Penghasilan keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi
dan menentukan kebutuhan akan kualitas dan kuantitas makanan
dengan jumlah dan mutu yang memadai. Penghasilan keluarga dapat
dilihat dari besar pendapatan yang berpengaruh terhadap tingkat
konsumsi pangan termasuk zat gizi. (Rita, 2017).
Padapenelitian di Bangladesh dengan besar sampel terdiri dari
6058 anak usia 0- 59 bulan yang diperolehdari data Survei Demografi
dan Kesehatan Bangladesh 2007. Penentuan sampel dengan metode
cross sectional dan multinomial multivariat. Indeks kekayaan rumah
tangga juga menunjukkan hubungan yang signifikan yang dapat
menghambat pertumbuhan anak. Anak dengan kekayaan keluarga
yang rendah dan menengah memiliki resiko stunting 4,1 kali dan 3,5
kali dibandingkan dengan keluarga dengan kekayaan tinggi. Ini berarti
bahwa keluarga dengan pendapatan rendah memiliki rentang yang
terbatas dari sumber makanan, paparan yang lebih besar terhadap
infeksi dan kurangnya akses ke pelayanan kesehatan (Mostafa,2011).
y. Tempat Persalinan
Pada penelitian di Tanzania dengan besar sampel terdiri dari
7324 anak berusia 0-59 bulan, yang diperoleh dari Survei Demografi
dan Kesehatan Tanzania 2010. Penentuan sampel dengan metode cross
31
sectional. Dari hasil penelitian disajikan persentase anak-anak stunting
dengan variabel penjelas yang berbeda. Secara keseluruhan, 71%
anak-anak lahir dengan adanya fasilitas kesehatan sementara 26%
lahir dirumah. Diantara mereka yang lahir dengan adanya fasilitas
kesehatan, 37% mengalami stunting dibandingkan dengan 45% yang
lahir di rumah dan 35% dalam perjalanan ke rumah sakit masing-
masing (Abuya, 2012).
Dari total sample 7324 anak berusia 0-59 bulan mayoritas
tinggal di daerah pedesaan (80,3%). Dan dari total kelahiran, 49,7%
melahirkan dengan mendapatkan fasilitas kesehatan, hanya sebagian
kecil persalinan (4,3%) yang dilakukan dengan operasi caesar. Dan
anak-anak yang melahirkan dirumah yang ditangani oleh dukun
beranak secara signifikan pertumbuhannya cenderung terhambat. Nilai
OR :1.00,95% CI ; 0,76 (0,65-0,88) <0001] (Chirande, 2010).
z. Penolong Persalinan
Kehamilan berisiko tinggi merupakan variabel yang
berhubungan langsung dengan prevalensi panjang badan lahir pendek.
Hasil penelitian Simbolon dkk di 497 kabupaten di Indonesia,
kehamilan berisiko tinggi berhubungan positif langsung dengan
prevalensi panjang badan lahir pendek (r = 0,279; nilai p = 0,014).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan berhubungan positif tidak langsung
dengan prevalensi panjang badan lahir pendek melalui kehamilan
berisiko tinggi (r = 0,135; nilai p = 0,029). Pemanfaatan pelayanan
kesehatan menunjukkan bahwa 4,61% ibu tidak mengakses pelayanan
kesehatan, sebanyak 8,2% ibu tidak mengikuti pelayanan antenatal,
sehingga terdapat 30,08% kualitas pelayanan antenatal buruk.
Sehingga akses pelayanan kesehatan yang rendah seperti penolong
persalinan akan berhubungan dengan prevalensi panjang badan lahir
pendek bila tingginya prevalensi kehamilan berisiko. Pelayanan
kesehatan seperti petugas pemeriksa kehamilan dan petugas penolong
32
persalinan juga berperan dalam membantu pemberian IMD.
Pemberian IMD dapat mempengaruhi petumbuhan bayi apakah bayi
dapat berkembang dengan baik atau tidak (stunting).
Prevalensi panjang badan lahir pendek di Indonesia masih
tinggi dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan
oleh berbagai faktor secara langsung dan tidak langsung serta
berdampak luas dan berkelanjutan dalam siklus kehidupan. Penelitian
menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dengan
pendekatan potong lintang bertujuan mengetahui mekanisme
hubungan berbagai variabel laten terhadap prevalensi panjang badan
lahir pendek. Sampel adalah 497 kabupaten yang ditagregat dari data
individu, yaitu anak lahir dari ibu berusia 15 hingga 49 tahun dengan
kriteria anak kandung dan lahir tunggal. Analisis data menggunakan
analisis univariat dengan ukuran varians dan proporsi serta analisis
multivariat menggunakan stuctural equations modeling (Simbolon
2005)
33
univariat diperoleh 47,50% imunisasi tidak lengkap. Hasil analisis
multivariat diperoleh p-value variabel motivasi=0,0001 (Vivi Triana
2016).
Penelitian yang dilakukan Hendra dkk (2013)bertujuanuntuk
mengkaji kejadian Stunting pada anak balita ditinjau pemberian ASI
Eksklusif, MPASI, status imunisasi, karakteristik keluarga.
Pendekatan penelitin secara kuantitatif dengan rancangan Case
Control Study, dan dilakukan diwilayah Puskesmas Banda Raya,
Batoh dan Meuraxa dengan jumlah sampel yaitu 96 orang. Data yang
dikumpulkan meliputi data primer dan skunder. Analisis data meliputi
univariat dan bivariat menggunakan Chi-Square Test pada CI 95%,
serta multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil penelitian
diperoleh kejadian stunting pada balita disebabkan rendahnya
pendapatan keluarga, pemberian ASI tidak eksklusif, pemberian MP-
ASI kurang baik, serta imunisasi tidak lengkap.
Pada hasil penelitian terlihat bahwa proporsi anak balita yang
mengalami stuntingsebesar 29,2% karena perolehan imunisasi yang
tidak lengkap, sedangkan proporsi anak balita yang status gizinya
normal sebesar 89,6% karena perolehan imunisasi yang lengkap.
Hasil uji statistic diperoleh nilai p = 0,040 (p < 0,05) sehingga Ho
ditolak dan Ha diterima, hal ini berarti kejadian stunting pada anak
balita di Kota Banda Aceh tahun 2010 disebabkan oleh pemberian
imunisasi yang tidak lengkap, dengan nilai OR 3,5 (CI 95% ; 1,2-
10,8), artinya anak balita yang mengalami stunting beresiko 4 kali
lebih besar yang tidak mendapat imunisasi lengkap (Hendra,2013).
34
Tengah, Kalimantan Selatan. Analisis data bivariat menggunakan uji
chi square dengan Convidence Interval (CI) 95%. Hasil penelitian
menunjukan sebagian ibu yang memiliki pengetahuan rendah
sejumlah 14 responden (12,0%) dan sebanyak 103 responden (88,0%)
memiliki tingkat pengetahuan yang baik (Rahayuh, 2016). Penyediaan
bahan dan menu makan yang tepat untuk balita dalam upaya
peningkatan status gizi akan dapat terwujud bila ibu mempunyai
tingkat pengetahuan gizi yang baik (Lestariningsih, 2000).
Ketidaktahuan mengenai informasi tentang gizi dapat menyebabkan
kurangnya mutu atau kualitas gizi makanan keluarga khususnya
makanan yang dikonsumsi balita (Sjahmien, 2003).
Salah satu penyebab gangguan gizi adalah kurangnya
pengetahuan gizi dan kemampuan seseorang menerapkan informasi
tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pengetahuan gizi
ibu memengaruhi sikap dan perilaku dalam memilih bahan makanan,
yang lebih lanjut akan memengaruhi keadaan gizi keluarganya
(Suhardjo, 2003).
35
dari orang tua baik ibu atau ayahnya termasuk menirukan kebiasaan
makan ibu atau ayahnya. Oleh sebab itu, sikap sangat mempengaruhi
tumbuh kembang anak terlebih kebiasaan makan sehingga sikap yang
kurang baik dapat menyebabkan anak mengalami perilaku sulit
makan.kelainan kebiasaan makan biasanya disebabkan oleh faktor
lingkungan seperti mengikuti kebiasaan makan teman sebaya atau
orang-orang sekitar, menyukai dan menolak jenis makanan yang sama
pada waktu yang berbeda, atau suka memakan makanan yang tidak
sesuai dengan usianya (Karaki, 2016).
36
yang tinggal bersama salah satu anggota keluarga perokok baik laki-
laki maupun perempuan sebanyak 158 balita.
Hasi dari penelitian ini menyatakan ada hubungan yang
bermakna antara kebiasaan ayah merokok dengan kejadian stunting
dengan OR = 1,11. Rokok dapat memperparah kemiskinan dan
meningkatkan risiko parah stunting, kemungkinan keadaan ini
disebabkan karena rokok dapat mengalihkan pendapatan yang
seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan, pakaian,
pendidikan, kesehatan dan rumah menjadi tidak terpenuhi. Proporsi
mingguan pengeluaran rumah tangga capita untuk makanan
berkualitas seperti telur, ikan, buah dan sayuran berkurang. Efek yang
disebabkan karena pemborosan untuk membeli rokok ini juga dapat
meningkatkan malnutrisi pada anak.
Penelitian yang telah dilaksanakan di Yogyakarta
menggunakan rancangan case control, dengan subjek antara anak usia
6-24 bulan sebanyak 121 kasus dan 121 kontrol menghasilkan data
dengan skor OR = 1,15, menunjukkan bahwa konsumsi rokok orang
tua akan beresiko mempunyai anak yang stunting sebesar 1,15 kali
lebih besar dibanding anak yang orang tuanya tidak merokok (Sari,
2017).
37
menjadi subjek penelitian ini. Subjek dipilih dengan metode
consecutive sampling. Penelitian ini dilakukan di kecamatan
Penanggalan kota Subulussalam provinsi Aceh. Hasil penelitian,
menunjukkan bahwa pola asuh yang kurang baik merupakan faktor
risiko stunting pada anak umur 6-24 bulan. Anak stunting sebagian
besar terjadi karena anak mendapatkan pola asuh yang kurang. Dalam
hal praktek pemberian makan (OR=4,59, 95% CI: 2,05-10,25,
p=0,0001), praktek kebersihan (OR=3,26, 95% CI: 1,46-
7,31,p=0,003), serta praktek pengobatan (OR=2,46, 95% CI:1,13-
5,34, p=0,02). Apabila pola asuh tidak sesuai, maka kebutuhan gizi
anak tidak terpenuhi secara optimal dan mempengaruhi pertumbuhan
anak melalui peningkatan kerawanan terhadap penyakit infeksi.
Sehingga dapat mengakibatkan penurunan system imunitas tubuh dan
meningkatkan resiko terkena penyakit infeksi dan penyakit
degeneratif. (Wanda,2014)
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik
dengan rancangan cross sectional menggunakan metode kiantitatif dan
dilaksanakan di wilayah pedalaman Kecamatan Silat Hulu kabupaten
Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat. Besar sample yang
digunakan sebanyak 120 anak usia 6 – 36 bulan. Studi ini
memperlihatkan anak yang tidak mendapatkan pola asuh baik
cenderung mengalami stunting. Dalam pola asuh (OR = 5,26, 95% CI:
2,306 – 11,697, p=<0,001). Pola asuh yang baik merupakan faktor
yangsangat penting untuk dapat menjamin pertumbuhan anak yang
optimal. Pada keluarga miskin, ketersediaan pangan dalam rumah
tangga belumtentu mencukupi, akan tetapi ibu yang mengerti
caramengasuh anak, dapat memanfaatkan sumber dayayang terbatas
agar bisa menjamin pertumbuhananak mencapai kondisi optimal
(18%). Selain faktortersebut, faktor lain yang terkait dengan
kejadianini adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi halini terlihat
38
dari rendahnya kunjungan ibu-ibu untukdatang ke posyandu yaitu
sekitar (40,5%). (Siti, 2015)
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Besar
sample penelitian dipilih secara acak menggunakan teknik simple
random sampling yaitu sebanyak 49 balita usia 13-59 bulan dari
keluarga miskin yang tinggal di Kecamatan Balen Kabuoaten
Bojonegoro. Data di analisis menggunakan uji-square dengan α =
0,05. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pada keluarga
miskin presentase miskin lebih besar daripada wasting, dan tidak ada
hubungan antara tingkat pendidikan (p=0,581 dan 0,605). Pola asuh
ibu memiliki peran penting dalam kejadian wasting dan stunting pada
balita karena supan makanan pada balita sepenuhnya diatur oleh
ibunya. Ibu dengan pola asuh baik akan cenderung memiliki balita
dengan status gizi yang lebih baik daripada ibu dengan pola asuh yang
kurang. Meskipun pola asuh ibu baik, pada keluarga miskin terdaoat
keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga pola
asuh ibu tidak mempengaruhi terjadinya masalah wasting danstunting
(Cholifatun, 2015).
39
cara untuk mencegah diare dan penyakit infeksi saluran pencernaan
(Adisasmito 2007).
Intervensi air, sanitasi dan kebersihan (WASH) memiliki
tujuan untuk mencegah tertelannya mikroba berbahaya dengan cara
mengganggu transmisi microba . Secara khusus, intervensi WASH
berusaha mencegah EED (enviromental enterik disfuntion) dengan
menangani jalur spesifik microba melalui transmisi fero-oral terjadi
pada dua yang pertama tahun kehidupan anak (Curtis dkk, 2000).
Menurut hasil penelitian di India dengan menggunakan metode
cross sectional mengatakan bahwa prevalensi hasil stunting berkisar
dari 25% sampai 50% di tiga study. Praktek mencuci tangan dengan
sabun sebelum makan (OR = 0,85, 95% CI 0,76-0,94), setelah buang
air besar(OR = 0,86, 95% CI 0,80 - 0,93) berbanding terbalikterkait
dengan stunting anak. Perbaikan kondisi sanitasi dan praktik
kebersihan dikaitkan dengan berkurangnyaprevalensi stunting di
pedesaan India. Kebijakan danpemrograman yang bertujuan untuk
mengatasi anak stunting seharusnyameliputi intervensi WASH,
sehingga menggeserpenekanan dari nutrisi-spesifik untuk nutrisi-
sensitifpemrograman (Rah JH, 2015).
Menurut hasil dari sebuah penelitian mengatakan bahwa
manfaat menerapkan WASH dapat memaksimalkan pertumbuhan,
keterkaitannya dengan diare yang menyebabkan pertumbuhan sangat
lemah, OR =6,40 degan CI 95% dan nilai P 0,002 ini menunjukan hal
yang bermakna.Tahun 2008 Seri Lancet Nutrition mengatakan bahwa
intervensi WASH dapat mengurai stunting sebanyak 2,5% dengan
model pencegahan diare (Solomon, 2003).
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan
menggunakan metode total sampling. Besar sample yang digunakan
sebanyak 9.688 anak dibawah usia dua tahun dari 33 provinsi di
Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa
diidentifikasi dengan jelas keluarga yang mempraktikan pengolahan
40
limbah yang buruk mempunyai resiko lebih tinggi memiliki anak
stunting (OR 1,17 95% CI, 1.05 – 1.29) bila dibandingkan dengan
keluarga penanganan limbah yang baik. Intervensi untuk mengurangi
stunting perlu beberapa faktor dan mencakup pendidikan tentang gizi
dan lingkungan yang sehat terlepas dari status sosial ekonomi
(Lulu’ul, 2017).
41
mencuci tangan sebelum makan adalah 1,81 kali lebih mungkin
memiliki anak dengan berat badan kurang ( 95% CI, 1,05 – 1,32 ) dan
1,18 kali lebih banyak cenderung memiliki anak stunting ( 95% CIm
1,04 – 1,34 ). Namun, hasil utama dari penelitian ini BBLR menjadi
factor pemicu utama stunting pada anak di bawah dua tahun di
Indonesia. Menurut penelitian, sanitasi dan higienitasi makanan
memberikan dampak positif pada keadaan status gizi anak. Anak yang
mengkonsumsi makanan dengan kebersihan kurang baik dapat
menimbulkan penyakit infeksi yang biasanya disertai dengan
pengurangan nafsu makan dan muntah-muntah. Kondisi ini dapat
menurunkan keadaan gizi balita dan berimplikasi buruk terhadap
kemajuan pertumbuhan anak yang dapat bermanifestasi menjadi
stunting, penelitian tersebut menunjukan ada hubungan yang
signifikan antara kejadian stunting dengan hiegene sanitasi ibu. Suatu
penelitian mengidentifikasi faktor penentu terkuat dari stunting antara
anak-anak pribumi di pedesaan Jharkhand dan Odisha, India, untuk
menyoroti area utama untuk intervensi. Penelitian tersebut
menganalisis data dari 1227 anak-anak berusia 6-23.99 bulan dan ibu
mereka, yang dikumpulkan pada tahun 2010 dari 18 kelompok desa
dengan proporsi penduduk yang tinggi dari kelompok masyarakat adat
di tiga distrik. Mereka mengukur tinggi dan berat ibu dan anak, dan
menangkap data tentang berbagai faktor penentu kekurangan gizi
dasar, mendasardan paling mendesak. Peneliti menggunakan
Generalized Estimating Equations untuk mengidentifikasi determinan
individu yang terkait dengan skor z tinggi badan untuk usia anak-anak
(HAZ; p <0,10); mereka memasukkan ini dalam model multivariabel
untuk mengidentifikasi faktor penentu HAZ yang paling kuat dengan
menggunakan metode stepwise mundur. Beberapa factor yang
mendasar terkait dengan perawatan ibu berhubungan positif dengan
anak HAZ, termasuk jarak kelahiran ≥24 bulan (β = 0,395 95% CI
0,086-0,705, p = 0,012). Penggunaan sarana cuci tangan (sabun / abu /
42
lumpur) dibandingkan dengan air saja sangat kuat dan berhubungan
positif dengan HAZ (β = 0,317, 95% CI 0,106-0,528, p = 0,001).
Sanitasi dan higienitasi yang efektif dapat mengurangi dan mencegah
terjadinya stunting dan sangat penting untuk memperbaiki status gizi
anak (Saxton, 2016).
Sumber kontaminasi makanan yang paling besar pengaruh
kontaminasinya ialah penjamah makanan. Penyakit – penyakit yang
dapat ditularkan oleh penjamah berasal dari organisme dan
mikroorganisme yang ada ditubuh atau di dalam tubuh seorang
penjamah makanan yang dapat memperbanyak diri sampai dosis yang
efektif, kondisi yang tepat dan kontak langsung dengan makanan atau
ketika penyajian makanan. (Amitadkk, 2017)
43
fokus MYCNSIA dipilih untuk mewakili tiga tipologi yang berbeda di
Indonesia: Sikka adalah sebuah kabupaten pesisir di Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang memiliki salah satu tokoh prevalensi stunting
tertinggi di negaraini; Jayawijaya adalah sebuah kabupaten dataran
tinggi terpencil di Provinsi Papua dimana banyak indictor social dan
kesehatan jauh di bawah rata-rata nasional; dan Klaten adalah
kabupaten berpenduduk padat di Jawa Tengah dimana beban stunting
tinggi. Analisis determinan stunting menunjukkan bahwa interaksi
secara signifikan antara fasilitas sanitasi rumah tangga dan
ketersediaan air minum (P untuk interaksi = 0.007). Anak-anak dalam
rumah tangga yang tidak memiliki ketersediaan air bersih dan jamban
(OR 3.47, CI 95% 1.73-7.28, P < 0.001) menunjukkan resiko tiga kali
lebih besar dibandingkan dengan anak-anak dalam rumah tangga yang
memiliki ketersediaan air minum dan jamban (OR 1.27, CI 95% 0.99-
1.63, P = 0.06). Hal ini menunjukkan sebesar 27% stunting di
Indonesia terjadi karena terhambatnya perbaikan kondisi pada tingkat
rumah tangga yang meliputi ketersediannya air bersih dan jamban
(Torlesse. et. al, 2016).
Berdasarkan suatu analisis faktor lingkungan di Kabupaten
Banyumas yang menggunakan desain kasus control, populasi adalah
seluruh anak usia 6 sampai 36 bulan di Puskesmas Kedungbanteng
Kabupaten Banyumas selama enam bulan tahun 2013. Sampel kasus
adalah batita stunting, sampel control adalah 50 batita status normal.
Teknik pengambilan sampel kasus diambil dari tujuh desa yang
terbanyak stuntingnya, sedangkan control adalah batita normal
tetangga terdekat kasus dengan usia yang disamakan. Pengumpulan
data dengan wawancara dan pengukuran, analisis data univariate,
bivariate (uji kai kuadrat), dan multivariate (ujiregresi logistic ganda).
Hasilnya mempunyai risiko yang bermakna (P < 0,05) terhadap
stunting batita adalah sanitasi lingkungan yang memenuhi syarat
rumah sehat, hal ini menunjukkan hasil bahwa nilai P = 0.002, OR =
44
6.40, CI 95% 2.01-20.37 dapat diinterpretasikan bahwa sanitasi
lingkungan yang kurang baik memiliki risiko 6.40 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan batita yang tinggal dengan sanitasi lingkungan
yang baik. Hal ini terjadi karena sebagian besar tempat tinggal batita
belum memenuhi syarat rumah sehat, seperti ventilasi dan
pencahayaan kurang, tidak adanya tempat pembuangan sampah
tertutup dan kedap air, tidak memiliki jamban keluarga, serta hal ini
didukung kondisi ekonomi keluarga yang relatif rendah (Kusumawati,
2015).
45
malabsorbsi sederhana, bahwa enteropati tropis disebabkan oleh
bakteri feses yang tertelan dalam jumlah banyak oleh anak-anak yang
hidup dalam kondisi sanitasi yang buruk dan kebersihan toilet dan
praktek mencuci tangan setelah kontak tinja bisa berkurang atau
mencegah enteropati tropis dan efek sampingnya pertumbuhan dan
perkembangan bahwa jalur kausal utama orang miskin sanitasi dan
kebersihan untuk malnutrisi enteropati dan bukan diare (Humphrey,
2009).
Data yang dikumpulkan yaitu panjang badan anak dan tinggi
badan orang tua. Variabel penelitian yaitu pekerjaan orang tua,
pendapatan keluarga, menderita diare dan ISPA, tinggi badan orang
tua, berat bayi lahir, ASI eksklusif, umur pemberian MP ASI pertama
kali, praktek pemberian makan, praktek kebersihan anak, praktek
pengobatan anak, dan ketersediaan sumber air bersih deperoleh
melalui wawancara dengan kuesioner (Hafid, 2016).
Penelitian yang ditujukan untuk menganalisis faktor stunting
usia 6-23 bulan di Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto.
Jenis penelitian adalitik dengan desain cross sectional. Populasi
penelitian adalah 410 set e-files data. Survei Gizi dan Kesehatan Ibu
dan Anak Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto2014 jumlah
sampel sebanyak 350 set data dengan teknik ekshaustive sampling.
Analisi data menggunakan uji chi square dan regresi logistik. Hasil
penelitian menemukan bahwa faktor resiko stunting pada anak usia 6-
23 bulan di Kecamatan Bontoramba Kabupaten Jeneponto adalah
salah satunya pengasuh anak tidak mencuci tangan menggunakan
sabun (OR = 1,785; 95% CI : 1,102-2,893) (Hafid, 2016).
Faktor higiene yang ditemukan dalam penelitian ini merupakan
faktor determinan stunting. Perilaku pengasuh tidak mencuci tangan
menggunakan sabun sebelum menyiapkan atau memberi makan
anaknya berpengaruh terhadap kejadian stunting. Ditemukan proporsi
stunting yang lebih rendah 16,7% pada ibu yang memiliki kebiasaan
46
mencuci tangan dibandingkan dengan ibu yang tidak terbiasa mencuci
tangan. Hasil yang sejalan diperlihatkan pula oleh penelitian Rah yang
menunjukkan bahwa kebiasaan ibu atau pengasuh anak emncuci
tangan dengan sabun sebelum memberi makan atau setelah buang air
besar terkait dengan penurunan 15% resiko stunting. Telah cukup jelas
bahwa anak-anak lebih dipengaruhi oleh kontaminasi lingkungan
sejak mereka mulai merangkak, berjalan, mencari tahu dan
meletakkan objek di mulut mereka, meningkatkan resiko bakteri feses
pencemaran dari sumber manusia dan binatang. Hal ini menyebabkan
diare dan kecacingan berulang yang dapat menurunkan status gizi
anak. Lebih penting lagi, bukti yang ada menunjukkan bahwa
penyebab kunci kekurangan gizi pada anak merupakan sebuah
gangguan subklinis pada usus kecil yang diketahui sebagai tropical
enteropathy, yang disebabkan oleh bakteri feses yang tercerna dalam
jumlah yang besar oleh anak yang tinggal atau terpapar dengan
lingkungan dan hygiene yang buruk (Hafid, 2016).
47
yang sekitar 50% rumah tangganya memiliki sumber air berdekatan
dengan pencemar (jarak kurang dari 10m), kemudian masih terdapat
rumah tangga yang kesulitan memperoleh air sepanjang tahun (Ulfani,
2011).
Hasil penelitian lain dengan metode prospective cohort study
pada tahun 2003 di wilayah desa Khortoum dan Cezira. Penelitian ini
menggunakan subjek sebanyak 25.483 balita dari umur 6-72 bulan.
Hasil penilitian menunjukan tinggi rata-rata untuk skor z pada awal
dan akhir penelitian masing-masing adalah -1,66 dan -1,55, untuk
kelompok dengan fasilitas air dan sanitasi. Sanitasi lingkungan juga
berpengaruh sebagai penentu stunting di dataran sedang. Air dan
sanitasi memiliki hubungan dengan pertumbuhan anak. Anak-anak
yang berasal dari rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas air dan
sanitasi yang baik berisiko mengalami stunting. Sedangkan anak-anak
yang memiliki tinggi badan normal pada umumnya berasal dari rumah
tangga yang memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik (Merchant et
al. 2003).
Hasil penelitian lain juga menunjukan , di Provinsi Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan pada tahun 2013 menggunakan
desin penelitian cross sectionalyang menggunakan subjek penelitian
sebanyak 1.239 balita. Hasil penelitian menunjukan prevalensi balita
stunting 44,1% .Peneitian ini juga menunjukan bahwa balita dari
keluarga yang memiliki sumber air minum tidak terlindung 1,35 kali
lebih berisiko mengalami stunting dibandingkan dengan balita dari
keluarga dengan sumber air minum terlindung. Sumber air minum
yang bersih merupakan faktor penting untuk kesehatan tubuh dan
mengurangi risiko berbagai penyakit seperti diare, kolera, dan tipes.
Anak–anak merupakan subjek yang rentan terhadap infeksi karena
secara alami kekebalan anak tergolong rendah (Oktarina, 2013).
48
4. Status Gizi Ibu Hamil
Status gizi ibu hamil meliputi kurang energi kronis (KEK) dan
anemia. Ibu dengan KEK berisiko melahirkan bayi dengan panjang lahir
pendek 6,2 kali dibanding ibu yang tidak KEK. Sedangkan ibu hamil
dengan anemia beresiko melahirkan bayi dengan panjang badan lahir bayi
pendek 3 kali dibandingkan ibu hamil yang tidak anemi. Pada penenlitian
ini menggunakan desain corss sectional dengan besar subjek 126 bayibaru
lahir, penelitian ini dilakukan pada tahun 2014 di RSUD Patut Patuh Patju
Kabupaten Lombok barat, data yang digunakan menggunakan data KIA
ibu. Selanjutnya analisis data dilakukan secara bertahap meliputi analisis
univariat, bivariat (chi-square) dan multivariat (regresi logistik).Prevalensi
panjang lahir pendek 38,1%. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang
kekurangan energi kronis dan Hb rendah mengalami masalah gizi dalam
waktu yang lama diikuti juga oleh masalah kekurangan gizi. Maka
kebutuhan nutrisi untuk tumbuh kembang janin menjadi terhambat.
Sehingga bayi yang dikandung ibu akan mengalami panjang lahir bayi
yang pendek (Najahah,2014).
Kecukupan gizi ibu hamil sangat mempengaruhi status gizi anak
dalam kandungan yang selanjutnya akan menentukan perkembangan anak,
khususnya pada masa pertumbuhan (golden age). Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan faktor yang diduga mempengaruhi kejadian postur
tubuh pendek (stunting) pada anak usia 12 bulan, membandingkan rasio
hazard kejadian stunting, serta menentukan faktor utama yang
mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 12 bulan. Penelitian ini
adalah penelitian longitudinal. Subjek penelitian adalah 262 ibu hamil 12-
16 minggu yang mengikuti dari awal rekrutmen sampai anak lahir dan
berusia 12 bulan. Data dikumpulkan dari Maret sampai Desember 2012
meliputi pendidikan ibu, konsumsi makanan 1x 24 jam, dan panjang serta
berat badan lahir bayi. Panjang badan bayi diukur setiap bulan sampai bayi
berusia 12 bulan. Data dianalisis dengan menggunakan analisis univariat,
bivariat dengan Kaplan meier dan multivariat dengan regresi Cox. Bayi
49
yang lahir dari ibu dengan konsumsi protein kurang dari rata-rata (<
58%AKG) pada trimesterter ke-dua mempunyai risiko 1,6 kali mengalami
stunting pada usia 12 bulan, juga bayi yang lahir kurang dari 48 cm
berisiko 5,9 kali mengalami stunting pada usia 12 bulan dibandingkan
anak yg lahir ≥ 48 cm. ( Fitrah, 2013)
50
pada ibu hamil paling banyak menyebabkan kejadian BBLR, yaitu
sebanyak 20 orang (29%) dan yang tidak melahirkan BBLR
sebanyak 7 orang (10,1%). Dan untuk ibu hamil dengan anemia
sedang menyebabkan kejadian BBLR lebih kecil, yaitu sebanyak 12
orang (17,4%) dan tidak menyebabkan BBLR sebanyak 16 orang
(23,2%). Namun ternyata ibu hamil dengan anemia ringan juga dapat
menyebabkan kejadian BBLR, yaitu sebanyak 6 orang (8,7%) dan
yang tidak BBLR sebanyak 8 orang ( 11,%). Hasil uji statistik chi
square pada tingkat kepercayaan 0,05 diperoleh nilai p = 0,039< 0,05
maka ada hubungan anemia dengan kejadian bayi berat badan lahir
rendah (BBLR) dengan perbedaan 10,2% di RSU Kabanjahe Tahun
2014 (Liesmayani, 2014).
Faktor tekanan darah dalam kehamilan mempunyai pengaruh
terhadap berat badan lahir. tekanan darah ibu hamil berkaitan dengan
gangguan vaskular yang dapat mengakibatkan rendahnya asupan
nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan oleh janin. Hal ini tentunya
dapat mengakibatkan gangguan terhadap proses tumbuh kembang
janin normal (Purwanti, 2015).
Dari hasil Penelitian yang menggunakan design analitik
obeservasional dengan rancangan case control study tanpa matching
dilakukan di RSU Prof. Dr. Kandou Manado. Menunujukkan dimana
pada kelompok BBLR ditemukan, ibu dengan hipertensi (32,2%) dan
non hipertensi (67,8%). Sedangkan pada kelompok bayi berat lahir
normal ditemukan ibu hamil dengan hipertensi (19,1%) dan non
hipertensi (80,9%). Dari data ini menggambarkan proporsi kejadian
BBLR pada ibu hamil dengan hipertensi (32,2%) lebih sedikit
dibanding pada ibu dengan non hipertensi (67,8%). Hasil ini
disimpulkan bahwa proporsi ibu hamil dengan hipertensi lebih
banyak pada kelompok BBLR dibanding pada kelompok bayi berat
lahir normal (32,2% vs 19,1%), Proporsi BBLR pada ibu Hipertensi
sebanyak 32,2%, sedangkan pada ibu Non hipertensi sebanyak
51
67,8%. Hasil uji statistik pada analisis bivariabel diperoleh nilai
OR=2,01 (95% CI= 1,24-3,26) dan nilai p= 0,004. Nilai OR >1 dan
rentang CI tidak melewati angka 1, serta nilai p<0,05, maka
Hipertensi pada penelitian ini juga merupakan faktor risiko yang
turut berkontribusi terhadap kejadian BBLR (Purwanti, 2015).
Ibu dengan riwayat hiperemisis gravidarum lebih sering
melahirkan bayi dengan beratlahir rendah dikarenakan mual muntah
yang berlebihan menyebabkan dehidrasi, defisiensi nutrisi,
penurunan berat badan ibu dan mengganggu pekerjaan sehari-hari.
Ibu hamil membutuhkan nutrisi yang baik agar pertumbuhan dan
perkembangan janin tumbuh secara sempurna, namun bila ibu hamil
mengalami hiperemesis gravidarum, nutrisi ibu berkurang sehingga
mengancam pertumbuhan dan perkembangan bayi (Magfirah, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian survey analitik dengan desain
penelitian case control di RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
dengan jumlah sampel 60 ibu hamil menunjukkan bahwa proporsi
bayi dengan berat lahir rendah sebanyak 83,3%, terdapat pada ibu
yang selama masa kehamilan dengan riwayat hiperemisis gravidarum
selama hamil, sedangkan sebanyak 63,3% pada bayi berat lahir
normal terdapat pada ibu-ibu yangtidak mempunyai riwayat
hiperemisis gravidarum. Selanjutnya hasil uji statistik dengan nilai
probability 0,001 (< 0,05) menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara riwayat hiperemisis gravidarum dengan kejadian
bayi berat lahir rendah. Selain itu risiko terjadinya bayi beratlahir
rendah sebesar 3,6 kali disebabkan oleh ibu-ibu yang mempunyai
riwayat hiperemisis gravidarum dibandingkan ibu-ibu yang tidak
mempunyai riwayat hiperemisis gravidarum di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2012 (Maghfirah,
2013).
52
Studi menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berhubungan
dengan masalah gizi pada remaja antara lain riwayat lahir dan status
gizi sebelumnya.Usia ibu kurang dari 20 tahun mempunyai peluang
1,27 kali untuk melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan
usia ibu 20-35 tahun dan usia ibu lebih dari 35 tahun mempunyai
peluang 2,10 kali untuk melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan
dengan usia 20-35 tahun. Kejadian BBLR disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya umur ibu <20 atau >35 tahun serta ukuran LILA <
23,5 cm. Usia ibu sangat mempengaruhi bagaimana anak akan lahir
ketika ibu nya berada pada usia yang masih remaja atau belia.
Pengaruh berat lahir memberi dampak panjang pada pertumbuhan
bayi dan juga terhadap status gizi balita. Hal ini berlanjut sampai
remaja dan dewasa bahkan berlanjut terus antargenerasi, tetapi
hubungan yang terjadi masih kontroversi, demikian juga pengaruh
umur kehamilan (Pietilainen, 2001).
Ketidakcukupan gizi juga berhubungan dengan penurunan
fungsi reproduksi.Penurunan asupan 800 -1.000 kalori selama 6
minggu pada masa diet menyebabkan frekuensi dan jumlah sekresi
LH menurun.Pola ini mengarah kepada risiko tidak terjadi
pembuahan (anovulation). Bila remaja perempuan tersebut hamil
akan berisiko melahirkan BBLR yang akan berdampak pada
tingginya angka kematian ibu, bayi, balita serta rendahnya umur
harapan hidup.Sebagian besar (69,6%) ibu melahirkan dalam
kategori umur tidak aman, menyebabkan BBLR prematur (38,5%)
dan BBLR dismatur (61,5%). Serta sebagian besar (65,1%) ibu
melahirkan dalam kategori KEK, menyebabkan BBLR prematur
(38,5%) dan BBLR dismatur (61,5%) (Pietilainen, 2001).
53
oleh berat badan lahir yang tidak optimal. Berbagai penelitian yang
selama ini menggunakan 2.500 gram sebagai batas berat badan lahir
dihubungkan dengan risiko morbiditas dan mortalitas bayi yang
dilahirkan. Akhir-akhir ini, berbagai penelitian menunjukkan berat
badan lahir di bawah 3.000 gram memiliki risiko penyakit
degeneratif ketika dewasa.1-3 Saat ini, satu dari sepuluh balita di
Indonesia terlahir dalam kondisi berat badan lahir rendah (BBLR),
sehingga dapat diasumsikan bahwa lebih banyak lagi angka bayi
dengan berat badan lahir kurang dari 3.000 gram yang berisiko lebih
besar mengalami penyakit degeneratif pada usia dewasa. Hal tersebut
perlu diperhitungkan secara cermat, mengingat dampak pada kualitas
sumber manusia dan kebutuhan biaya penanggulangan penyakit
degenerative pada tingkat keluarga dan negara yang besar.2 Telah
diketahui bahwa status gizi ibu berperan sangat penting terhadap
status gizi dan kesehatan bayi. Ibu yang kurang gizi akan
menyebabkan janin mengalami gangguan pertumbuhan dan fungsi
plasenta yang direfleksikan oleh berat dan ukuran plasenta yang
relatif lebih kecil. Kurang gizi pada ibu akan mengurangi ekspansi
volume darah yang mengakibatkan pemompaan darah dari jantung
(cardiac output) yang tidak mencukupi. Hal tersebut mengurangi
aliran darah ke plasenta dan berdampak pada ukuran plasenta yang
tidak optimal dan mengurangi pengangkutan zat gizi ke janin,
sehingga berakibat pertumbuhan bayi yang terhambat (fetal growth
retardation) (Karima, 2012).
Status gizi ibu dapat diukur melalui tinggi badan, indeks massa
tubuh (IMT) prahamil, pertambahan berat badan selama kehamilan,
dan kadar hemoglobin (Hb) ibu. Penggolongan status gizi pra hamil
menurut WHO (2006) dikategorikan underweight jika IMT <18
kg/m2, normal jika IMT 18-22,9 kg/m2, overweight jika IMT 23-
24,9 kg/m2, dan obesitas >25 kg/m2.Berat badan prahamil ibu
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap berat badan lahir
54
(odds ratio, OR = 6,64) dengan CI 95% (2,335-18,879). Oleh sebab
itu, ibu dengan status gizi prahamil kurang yang sedang
merencanakan kehamilan perlu lebih diperhatikan karena dapat
berpengaruh buruk terhadap janin yang di kandung (Karima, 2012).
e. Asupan Energi
Kekurangan energi kronis (KEK) merupakan salah satu
masalah gizi yang terjadi padaibu hamil. Salah satu penyebab KEK
adalah konsumsi makan yang tidak cukup mengandung energi.Hasil
penelitian ingin mengetahui mengenai hubungan antara tingkat
asupan energi dan protein serta ketersediaan pangan keluarga dengan
55
risiko KEK pada ibu hamil di Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul,
dengan menggunakan desain cross sectional yang dilakukan di
Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul pada periode bulan Maret
hingga Mei 2014.Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 201 ibu
hamil.Hasil penelitian menunjukanhubungan yang signifikan secara
statistik antara tingkat asupan energi p=0,003 (OR:3 95% CI:1,3-6,8)
dengan kejadian Kekurangan Energi dan Protein pada ibu hamil.
Maka ibu dengan tingkat asupan energi rendah memiliki risiko 3 kali
lebih besar untuk mengalami KEK dibandingkan dengan ibu yang
tingkat asupan energi cukup. Ibu yang mengalami KEK sangatlah
beresiko melahirkan bayi BBLR dan stunting (Petrika,2014).
f. Asupan Protein
Penelitian ini berdesain follow-up study yang dilakukan pada
tahun 2011-2012 di sepuluh puskesmas di Kabupaten Bogor, yaitu
wilayah kecamatan Cigudeg, Cibungbulang, Cibinong, Bojonggede,
dan Sukaraja. Pada awal penelitian diperoleh subjek awal 334 ibu
hamil yang mengikuti penelitian. Kemudian, setelah melahirkan
diperoleh subjek sebanyak 262 pasangan ibu dan bayi yang
mengikuti penelitian ini dari mulai anak lahir sampai usia 12 bulan.
Berkurangnya jumlah subjek dikarenakan adanya beberapa subjek
yang melahirkan bayi mati atau juga karena pindah tempat tinggal
yang sulit dijangkau sehingga tidak dapat dilakukan follow up
penelitian. Sebagian besar protein dianjurkan berasal dari sumber
hewani, misalnya daging, susu, telur, keju, produk ayam dan ikan,
karena makanan-makanan ini mengandung kombinasi asam amino
yang optimal. Susu dan produk susu telah lama dianggap sebagai
sumber gizi, terutama protein dan kalsium yang ideal bagi wanita
hamil (Cunningham, 2005).Hasil uji statistik dengan metode log rank
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok ibu yang
mengonsumsi protein di atas rerata dan di bawah rerata p=0,047 (HR
56
= 1,626 CI 95% = 1,025 2,579 ) (Ernawati, 2013).
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain Cross
Sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu
hamil yang bertempat tinggal di Desa Naga Timbul Kecamatan
Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014.Sampel
penelitian ini adalah seluruh populasi sebanyak 40 orang ibu hamil.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi asupan protein pada
ibu hamil yang paling besar adalah kategori kurang, yaitu sebanyak
24 orang (60.0%).Kemudian ibu hamil dengan kategori baik, yaitu
sebanyak 16 orang (40.0%). Hasil penelitian Eliani Sinaga pada
tahun 2014 menunjukkan bahwa ibu hamil banyak mengkonsumsi
ikan kering, tahu/tempe dan sangat sedikit ikan segar atau daging.
Konsumsi makanan yang tinggi protein sudah seharusnya menjadi
prioritas pada saat hamil, karena protein sangat penting untuk
kelangsungan pertumbuhan janin agar sempurna. Untuk
mendapatkan kecukupan tambahan protein saat hamil dapat
dilakukan dengan mengonsumsi makanan sumber protein seperti
susu, daging dan ayam tidak berlemak, ikan, telur (Sinaga, 2014).
g. Asupan Fe
Melalui penelitian quasi-experimental dengan rancangan
pretest-posttest dilakukan pada 65 ibu hamil dengan umur kehamilan
kurang dari 24 minggu, tidak memiliki riwayat hemorhoid, batuk
darah, tukang lambung dan penyakit darah lainnya di wilayah
puskesmas Abiansemal Badung Bali. Kebutuhan zat besi pada ibu
hamil berbeda pada setiap umur kehamilannya, pada trimester I naik
dari 0,8 mg/hari, menjadi 6,3 mg/hari pada trimester III. Kebutuhan
akan zat besi sangat signifikan kenaikannya. Dengan demikian
kebutuhan zat besi pada trimester II dan III tidak dapat dipenuhi dari
makanan saja namun zat besi juga harus disuplai dari sumber lain
supaya cukup. Penambahan zat besi selama kehamilan kira-kira 1000
57
mg, karena mutlak dibutuhkan untuk janin, plasenta dan penambahan
volume darah ibu. Sebagian dari peningkatan ini dapat dipenuhi oleh
simpanan zat besi dan peningkatan adaptif persentase zat besi yang
diserap (Susiloningtyas, 2016).
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain Cross
Sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu
hamil yang bertempat tinggal di Desa Naga Timbul Kecamatan
Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014.Sampel
penelitian ini adalah seluruh populasi sebanyak 40 orang ibu hamil.
Rata-rata asupan zat besi pada ibu hamil yang diperoleh adalah
sebesar 16,28 mg, ini belum sesuai dengan rata-rata Angka
Kecukupan Gizi untuk wanita hamil umur 19-49 tahun sebesar 26 mg
per hari.Konsumsi zat besi pada ibu hamil dilihat dari hasil penelitian
masih di bawah standar, dimana ibu hamil hanya mengkonsumsi
makanan sumber zat besi non hem seperti sayuran, sedangkan untuk
makanan sumber zat besi hem hanya 1-2 kali seminggu (Sinaga,
2014).
h. Asupan Kalsium
Penelitian yang dilakukan di Rosario, Argentina, Assiut, Mesir,
Nagpur dan Vellore, India, Lima, Peru, East London dan
Johannesburg, serta Afrika Selatan yang merupakan bagian dari
World Health Organization (WHO) Maternal and Perinatal Research
Network dengan menggunakan sampel sejumlah 8325 wanita hamil.
Desain penelitian ini adalah randomized terkontrol plasebo,
percobaan double blind pada wanita normotensif nulipara dari
populasi dengan diet kalsium <600 mg/hari. Wanita yang direkrut
sebelum kehamilan 20 minggu menerima suplemen (1,5 g
kalsium/hari atau plasebo) selama kehamilan. Pemberian
suplementasi kalsium mempunyai dampak penurunan yang rendah
terhadap preeklampsia (4,1% vs 4,5%) yang nyata pada usia
kehamilan 35 minggu (1,2% vs 2,8%; P = .04). Eklampsia (rasio
58
risiko, 0,68: 95% CI, 0,48-0,97) dan hipertensi gestasional berat
(rasio risiko, 0,71; 95% CI, 0,61-0,82) signifikan terjadi lebih rendah
pada kelompok yang diberikan suplementasi kalsium. Secara
keseluruhan, terjadi penurunan indeks komplikasi preeklampsia berat
(rasio risiko, 0,76, 95% CI, 0,66-0,89; analisis tabel hidup, uji log
rank; P = .04). Indeks morbiditas dan mortalitas ibu yang parah juga
berkurang pada kelompok yang diberikan suplementasi kalsium
(rasio risiko, 0,80, 95% CI, 0,70-0,91).pemberian suplementasi
kalsium juga berpengaruh pada persalinan prematur (hasil primer
neonatal yang diucapkan) dan kelahiran prematur dini (≤20 tahun
(rasio risiko, 0,82, 95% CI, 0,67-1,01; rasio risiko 0,64; 95% CI,
0,42- 0,98). Angka kematian lebih rendah (rasio risiko, 0,70, 95% CI,
0,56-0,88) pada kelompok yang diberikan suplementasi kalsium
(Villar,2006).
i. Asupan Zn
Terdapat penelitian yang dilakukan di Kamerun dengan sampel
984 wanita dan 883 anak-anak. Studi desain penelitian ini dirancang
sebagai survei nasional yang representatif, multistage (cluster)
sampel waanita usia reproduksi (15-49 tahun) dan anak-anak
prasekolah (12-59 bulan). Pada sampel wanita, 82% memiliki
konsentrasi plasma zink yang disesuaikan dengan rendah (<50 μg /
dL untuk wanita hamil; <66 μg / dL untuk orang lain; 79% Selatan,
89% Utara, 76% Yaoundé / Douala). Pada sampel anak-anak, 83%
memiliki konsentrasi plasma zink yang disesuaikan rendah (<65 μg /
dL; 80% Selatan, 92% Utara, 74% Yaoundé / Douala). Faktor risiko
konsentrasi plasma zink rendah di kalangan wanita dan anak-anak
dan untuk skor Z tinggi badan untuk orang tua anak-anak yang
menjadi sampel dan termasuk tinggal di wilayah Utara dan daerah
59
pedesaan dengan status sosial ekonomi rendah. Dengan
menggunakan perkiraan nilai kebutuhan asupan zink rata-rata dari
International Zinc Nutrition Consultative Group (IZiNCG), 29% dan
41% wanita memiliki asupan zink yang tidak memadai, dengan
asumsi bioavailabilitas sedang dan rendah, sedangkan pada anak-
anak hanya 8% yang memiliki asupan zinc yang tidak memadai.
Prevalensi stunting di kalangan anak-anak (33%) konsisten dengan
rendahnya asupan zink dan menunjukkan adanya risiko defisiensi
zink tinggi pada tingkat nasional , meskipun prevalensi regionalnya
berkisar 13% di Yaound (Reina,2014).
60
ibu hamil dengan asumsi bahwa pendidikan dari ibu meningkat maka
pengetahuan nutrisi juga akan bertambah baik.
Penelitian ini memberikan gambaran faktor penyebab ibu hamil
kurang energi kronis, di wilayah Puskesmas Sambi, Kecamatan
Sambi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Rancangan penelitian
adalah deskriptif dengan pendekatan case control, dan analisa data
univariat. Jumlah populasi penelitian sebanyak 30 responden. Hasil
penelitian berdasarkan gambaran faktor penyebab ibu hamil KEK
yaitu : Pendapatan sebagian besar adalah berpendapatan sedang
berjumlah 16 responden (53,3%). Faktor pendidikan ibu hamil
kurang energi kronis sebagian besar berpendidikan SMP yaitu 12
orang (40%). Faktor umur ibu hamil kurang energi kronis sebagian
besar berumur antara 21-35 tahun berjumlah 27 ibu hamil (90%).
Faktor paritas ibu hamil yang mengalami kurang energi kronis
sebagian besar paritas 1 sampai dengan 2 anak berjumlah 23 ibu
hamil (76,7%). Faktor pola konsumsi makan ibu hamil yang
mengalami kurang energi kronis sebagian besar pola konsumsi baik
berjumlah 18 ibu hamil (60%). Faktor penyakit infeksi ibu hamil
sebagian besar tidak memiliki infeksi sebanyak 26 ibu hamil (86,7%)
(Muliawati, 2013).
l. Kekayaan
Dari data Puskesmas Sambi I tahun 2011-2012 terdapat
peningkatan ibu hamil Kurang Energi Kronis yaitu dari 13 menjadi
20 ibu hamil yang memeriksakan di Puskesmas Sambi I. Rancangan
penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan case control. Analisa
data univariate. Jumlah sampel sebanyak 30 responden. Faktor
penyebab ibu hamil kurang energi sebagian besar berasal dari
pendapatan keluarga yang memiliki pendapatan sedang 16 orang
(54%) dan paling sedikit ibu yang berpendapatan rendah yaitu
sebanyak 8 ibu hamil (20%). Hasil penelitian kategori berpendapatan
61
sedang (Rp.450.000.,- Rp.850.000.,) yang berjumlah 16 orang 53,3%
dan paling sedikit ibu yang berpendaptan rendah sebanyak 8 orang
dengan presentase 20%. Sehingga faktor penyebab ibu hamil
mengalami kurang energi kronis karena pendapat sedang yang tidak
mampu mencukupi kebutuhan gizi yang telah berlangsung lama
sebelum ibu mengalami kehamilan (Muliawati, 2013).
Berdasarkan penelitian, sebagian besar ibu hamil KEK
memiliki tingkat pendapatan keluarga rendah. Dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian
KEK pada ibu hamil dengan perbandingan prevalensi sebesar 2,73
kali lebih besar, 95% CI (1,31-5,68). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa ibu hamil dengan pendapatan keluarga rendah
mempunyai peluang sebesar 2,73 kali untuk mengalami KEK
dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki pendapatan tinggi
(Indriany, 2013).
62
Apabila dilihat dari risikonya dapat diketahui bahwa ibu hamil
dengan keluarga rawan pangan memiliki risiko 2,9 kali lebih besar
untuk terkena KEK dibandingkan dengan keluarga yang pangannya
terjamin.
Penelitian yang dilakukan dengan metode cross sectional di
Bantul pada 201 ibu hamil, telah disebutkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara ketersediaan pangan dengan risiko
ibu hamil KEK (OR=2,9, 95% CI:1, 1-7,1). Nilai ini menunjukkan
bahwa ibu hamil dengan keluarga rawan pangan memiliki risiko 2,9
kali lebih besar untuk terkena KEK, dibandingkan dengan keluarga
yang memiliki status ketersediaan pangan yang terjamin
(Petrika,2014).
n. Kebiasaan Tradisional
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
desain penelitian fenomenologi. Penelitian ini dilakukan di
Puskesmas Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah,
NTB pada tahun 2014. Observasi dilakukan pada empat keluarga
yang memiliki balita di empat lokasi yang berbeda, sedangkan
diskusi kelompok terarah dilakukan pada tiga kelompok yang
masing-masing kelompok terdiri dari 6 sampai 8 orang ibu yang
memiliki balita.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, keluarga
Suku Sasak sangat jarang memberi asupan protein hewani kepada
anak balitanya. Meski mereka mampu (penghasilannya cukup), orang
Sasak cenderung tidak menyiapkan menu makanan yang beragam
dan banyak protein hewani. Mereka lebih memilih menyajikan
makanan yang kaya bumbu. Bagi mereka, makanan dengan bumbu
lebih penting dari pada makanan yang kaya protein.Kedua,
pemberian ASI kepada balita yang kurang tepat dan salah persepsi.
Menurut sebagian besar masyarakat Suku Sasak di wilayah
63
penelitian, ASI adalah segalanya bagi anak usia 0-24 bulan, dan ASI
dianggap mencukupi kebutuhan gizi anak. Seorang ibu Suku Sasak,
rata-rata menyusui balitanya sampai usia minimal 1,5 tahun dan
kebanyakan 2 tahun atau lebih. Mereka menganggap ASI cukup
memenuhi kebutuhan gizi anak sampai kapanpun anak mau
menyusu, bahkan menganggap ASI sebagai makanan utama sampai
anaknya berusia 2 tahun. Sikap ini menunjukkan suatu bentuk
ketaatan masyarakat Suku Sasak pada aturan agama yang
menganjurkan pemberian ASI hingga usia 2 tahun. Ketiga, pemberian
MP ASI yang belum memenuhi standar gizi berimbang. Kebanyakan,
balita Suku Sasak mulai dikenalkan MP ASI usia 7 atau 8 bulan.
Sikap ini sesuai dengan anjuran MP ASI Depkes. Namun, menurut
sebagian besar ibu, MP ASI hanya sebagai pelengkap ASI sehingga
kualitas dan kuantitasnya,termasuk frekuensi dan jadwal
pemberiannya tidak sesuai anjuran yang ditetapkan Depkes. Balita
pada umumnya mengonsumsi bubur nasi tanpa lauk pauk (bubur
kosong), cukup dengan kuah sayur saja atau air garam.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi ibu saat
hamil adalah kebiasaan tradisional. Faktor ini tidak hanya dapat
dilihat dari kebiasaan makan yang dilakukan ibu sehari-hari, namun
juga dapat dilihat dari aturan-aturan, pantangan, dan juga tabu yang
berlaku di masyarakat. Masyarakat di setiap daerah mempercayai
bahwa pantangan yang berlaku di wilayah mereka jika dilanggar,
maka akan menimbulkan akibat buruk bagi kesehatan. Setiap daerah
memiliki berbagai jenis pantangan terhadap makanan masing-
masing. Salah satu daerah yang menerapkan adanya pantangan atau
tabu terhadap makanan bagi ibu yang sedang hamil adalah Suku
Sasak. Makanan yang menjadi pantangan ibu hamil bagi masyarakat
Suku Sasak adalah gurita, udang, cumi-cumi, kerang, ikan-ikanan
terutama ikan hiu, jantung pisang, salak, nanas, duren, dan biji-bijian
atau kacang-kacangan yang keras (Nurbaiti, 2014).
64
Mereka percaya bahwa jika ibu hamil mengkonsumsi gurita,
maka janinnya akan terbelit ari-ari saat akan dilahirkan dan juga akan
mengakibatkan gatal pada ibu dan janinnya. Mereka juga percaya
bahwa jika ibu hamil mengkonsumsi ikan, maka akan mengakibatkan
bau badan ibu dan janin menjadi amis. Mengenai udang, mereka juga
percaya bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi udang anak yang
dilahirkannya akan menjadi bungkuk. Ini adalah beberapa pantangan
dari sekian banyak pantangan makan yang ada di Indonesia bagi ibu
hamil. Sebenarnya, banyak ibu hamil yang kurang percaya terhadap
hal ini. Namun, karena takut disalahkan serta dikatakan melawan
terhadap orang tua dan masyarakat terhadap norma budaya yang ada,
mereka terpaksa mengikutinya. Kebiasaan tradisional ini, memang
tidak berpengaruh secara langsung terhadap kejadian stunting, namun
akan berpengaruh dahulu terhadap status gizi ibu saat hamil.
Ibudengan status gizi yang buruk saat hamil, akan berdampak buruk
pula bagi status gizi janin yang dikandung dan status gizi anak saat
sudah dilahirkan. Dampak buruk bagi anak tersebut diantaranya
adalah lebih berisiko mengalami penyakit infeksi. Penyakit infeksi
memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting.
65
edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan yang
dibedakan dalam kelompok ringan dan berat. Pre-eklampsia
dinyatakan berat ditandai dengan tekanan sistolik 160 mmHg atau
lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih, proteinuria 5 g
atau lebih dalam 24 jam, 3 atau 4+ pada pemeriksaan kualitatif,
oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam, keluhan
serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium, dan
edema paru-paru. Pre-eklampsia berhubungan dengan kehamilan
pertama (primigravida), umur kehamilan yang makin tua,
primigravida usia muda, social ekonomi, usia kehamilan lebih dari 28
minggu, serta kehamilan ganda, dan hipertensi kronik
(Yulianti,dkk,2008).
Kehamilan dan persalinan yang terjadi pada usia remaja
berisiko komplikasi yaitu partus macet dan pre-eklampsia. Ibu hamil
yang berumur <20 tahun atau >35 tahun berisiko lebih besar untuk
mengalami eklampsia. Usia 20 - 35 tahun merupakan usia reproduksi
yang aman bagi wanita untuk hamil dan melahirkan. Hal tersebut
berhubungan dengan dengan fungsi anatomi dan fisiologis alat-alat
reproduksi. Seorang wanita yang mengetahui perkembangan
kehamilan dan mengenali tanda bahaya akan berupaya meningkatkan
derajat kesehatan reproduksi dan dapat tercegah dari berbagai jenis
penyakit reproduksi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada
hubungan yang lebih bermakna antara pre-eklampsia berat (PEB)
pada ibu hamil dengan umur ibu. Hal ini dibuktikkan dengan OR(CI
95%) =2,058 (Yulianti,dkk,2008).
66
merupakan analisis lanjut Data Riskesdas 2007 dan menggunakan
data kegiatan pertambangan di Provinsi Kalimantan Selatan. Populasi
adalah semua penduduk di provinsi Kalimantan Selatan yang menjadi
sampel Riskesdas 2007. Responden adalah wanita hamil di Provinsi
Kalimantan yang menjadi sampel Riskesdas 2007. Pada analisis data
ibu hamil, uji t menunjukkan bahwa memang ada hubungan antara
jumlah pertambangan batu bara dan jumlah produksi batu bara
dengan kejadian risiko KEK pada ibu hamil. Hasil uji statistik
didapatkan nilai P = 0,000 pada alpha 5% berarti ada perbedaan yang
signifikan rata-rata jumlah pertambangan, jumlah produksi batu bara,
dengan kejadian ibu hamil berisiko KEK. OR risiko KEK dengan
adanya jumlah pertambangan adalah 1,228 dengan kisaran CI yang
cukup baik yaitu 1,159–1,301 dan kinerjanya (B) adalah 0,205. OR
LILA KEK dengan adanya jarak rumah ke sumber polusi adalah
1,198 dengan kisaran CI yang cukup baik yaitu 1,097–1,307 dan
kinerjanya (B) adalah 0,18 (Pasaribu, 2008).
q. Dukungan Keluarga
Dukungan adalah menyediakan sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan orang lain. Dukungan juga dapat diartikan sebagai
memberikan dorongan /motivasi atau semangat dan nasihat kepada
orang lain dalam situasi pembuat keputusan (Chaplin, 2002).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di wilayah Buleleng
Propinsi Bali sebanyak 83 responden dengan pengambilan sampel
random sampling, didapatkan 69 responden ibu hamil. Penelitian
observasional analitik ini menggunakan pendekatan cross sectional.
Hasil uji regresi logistic diketahui bahwa nilai signifikansi p=
0,030. Diketahui bahwa nilai OR yaitu 6,363 berarti untuk ibu hamil
yang memiliki dukungan keluarga tinggi memiliki kemungkinan
cakupan pelayanan antenatal lengkap 6,363 kali lebih besar dari pada
ibu dengan dukungan keluarga rendah (OR = 6,363; CI 95% = 1,195 -
67
33,884). Ibu yang memiliki dukungan keluarga tinggi, cenderung
memiliki cakupan pelayanan antenatal yang lengkap dari pada ibu
yang dukungan keluarganya rendah. Hal ini terlihat bahwa ibu hamil
yang dukungan keluarganya rendah, sebanyak 71,43% memiliki
cakupan pelayanan antenatal lengkap dan 28,57% memiliki cakupan
pelayanan antenatal tidak lengkap, sedangkan pada ibu hamil dengan
dukungan keluarga tinggi, sebanyak 94,12% memiliki cakupan
pelayanan antenatal lengkap dan 5,26% memiliki cakupan pelayanan
antenatal tidak lengkap (Agustini, 2013).
r. Pengetahuan
Selama masa kehamilan, ibu merupakan sumber nutrisi bagi
bayi yang dikandungnya. Apabila wanita hamil memiliki status gizi
kurang selama kehamilannya maka ia akan beresiko memiliki bayi
dengan kondisi kesehatan yang buruk. Wanita dengan status gizi baik
akan melahirkan bayi yang sehat juga. Pemenuhan gizi ibu hamil
sangat dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah tingkat
pengetahuan ibu hamil itu sendiri dimana tingkat pendidikan sangat
menentukan tingkat pengetahuan seseorang, sehingga semakin tinggi
tingkat pendidikan formal seseorang, maka tingkat pengetahuannya
pun akan semakin tinggi. Pada penelitian yang dilakukan di
Puskesmas Pleret Bantul menunjukkan bahwa pengetahuan ibu hamil
kategori baik sebagian besar mempunyai staus gizi baik (77,8%).
Pengetahuan ibu hamil kategori cukup sebagian besar mempunyai
staus gizi kurang (11,1%). Berdasarkan analisis maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan
ibu hamil tentang kebutuhan gizi dengan status gizi ibu hamil (p
value= 0,0001). Besarnya koefisien korelasi hubungan antara
pengetahuan ibu hamil tentang kebutuhan gizi dengan status gizi ibu
hamil sebesar 0,614 artinya hubungan antara kedua variabel tersebut
termasuk dalam kategori kuat (Arifin, 2016).
68
Penelitian yang dilakukan di Jebres Surakarta menunjukkan
pengetahuan tentang status giziz dengan tingkat pengetahuan rendah
sebanyak 6%. Pengetahuan sebanyak 50%, dan pengetahuan tinggi
sebanyak 46% (Siwi, 2011). Pemenuhan kebutuhan nutrisi pada ibu
hamil berkaitan dengan tingkat tinggi rendahnya pengetahuan ibu
tentang gizi. Tingkat pengetahuan yang rendah menyebabkan ibu tidak
mengerti cara pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan ibu hamil selama
kehamilannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan hasil uji
statistik Spearman’s rhodiperoleh nilai p=0,000 kurang dari 0,05
menunjukkan adanya hubungan antara adanya hubungan pengetahuan
dengan status gizi selama kehamilan di Puskesmas Bahu Kota
Manado. Hasil penelitian yang diperoleh ibu hamil yang pengetahuan
dengan status gizi didapat sebagian besar dalam kategori cukup (Goni,
2013).
Tingkat pengetahuan yang rendah menyebabkan ibu tidak
mengerti cara pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan ibu hamil selama
kehamilannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan hasil uji
statistik Spearman’s diperoleh nilai p=0,000 kurang dari 0,05 dan hasil
ini menunjukkan
s. Sikap
Sikap adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap
stimulus atau objek (masalah kesehatan, termasuk penyakit). Sikap
yang terdapat pada individu akan memberikan warna atau corak
tingkah laku ataupun perbuatan individu yang bersangkutan. Sikap
gizi merupakan tahapan lebih lanjut dari pengetahuan gizi. Seseorang
yang berpengetahuan gizi baik akan mengembangkan sikap gizi yang
baik. Sikap ibu terhadap pentingnya antenatal care di Puskesmas
Namtabung cenderung bersikap negatif 11 kali (p=0,036 OR=11,394)
terhadap pemeriksaan kehamilan. Hal tersebut karena ibu hamil
menyatakan bahwa pemeriksaan kehamilan itu tidak penting. Sikap
69
ibu yang positif dalam pemeriksaan kehamilan akan mengurangi
Angka Kematian Ibu dan Bayi (Fasiha, 2017).
u. Antenatal Care
Frekuensi Kunjungan Antenatal Care berpengaruh langsung
terhadap berat badan lahir bayi. Ibu hamil yang melakukan kunjungan
Antenatal Care minimal 4 kali selama masa kehamilan mempunyai
peluang 1,8 kali untuk tidak melahirkan BBLRdi bandingkan dengan
ibu hamil yang melakukan kunjungan kurang dari 4 kali.
Hasil dari Uji bivariat dengan 2926 sampel antara Berat Badan
Lahir dengan variable yang di duga berkaitan : Variabel independen
kunjungan ANC 1-1-2-(1), Minimal 1-1-2-(0) 95% CI (OR) 1.31-2.49
(1,81) (Ernawati,2011). Melakukan ANC sebanyak empat kali Selama
masa kehamilan dengan distribusi yang merata dapat memberikan
pregnancy outcome yang baik. Pelayanan antenatal selama kehamilan
merupakan aspek yang penting bagi wanita hamil, supaya ibu dan
janin mendapat pealayanan yang lengkap seperti skrining ibu,
identifikasi masalah ibu dan janin, berbaikan gizi, dukungan
psikologis, dan intervensi masalah ibu hamil dan janin.
Di Kabupaten Bantul tahun 2011 Analisis multivariabel KEK
sebagai faktor risiko BBLR, pada variable ANC OR 1,20e+07
(Syarifuddin,2011). Pelayanan Antenatal Care (ANC) yang Tidak
baik atau Kurang pada ibu hamil, memiliki peluang sebesar 1.82 kali
70
lebih tinggi untuk tidak patuh dalam mengkonsumsi tablet Fe
dibandingkan dengan ibu hamil yang mendapat pelayanan Antenatal
yang baik. Dengan demikian, ibu hamil yang tidak mendapat
Pelayanan ANC standar akan berakibat pada ketidakpatuhan dalam
mengkonsumsi tablet Fe sehingga mengakibatkan risiko terjadinya
anemia (Natalia,2011).
v. Penolong Persalinan
Peran penolong persalinan (bidan atau dokter) adalah
mengantisipasi dan menangani komplikasi yang mungkin terjadi pada
ibu atau janin. Penolong persalinan harus mampu mengidentifikasi
faktor – faktor penyebab persalinan, sehingga diharapkan dapat
memberikan asuhan kebidanan dalam proses persalinan (Yesie, 2010).
Berdasarkan data Riskesdas (2013), penolong persalinan oleh tenaga
kesehatan yang kompeten (dokter spesialis, dokter umum, dan bidan)
sudah mencapai 87,1%.
Ada berbagai faktor yang dapat memengaruhi seorang ibu dalam
memilih penolong persalinan. Berdasarkan hasil penelitian Juliwanto
(2009) di Aceh Tenggara, ibu yang memilih penolong persalinan oleh
dukun 63,6% terdapat pada ibu berpengetahuan kurang dibandingkan
dengan ibu berpengetahuan baik (14,8%). Selain itu, ada hubungan
yang signifikan antara sikap ibu dengan pengambilan keputusan
penolong persalinan dengan nilai OR sebesar 5,111, artinya ibu
bersalin yang memilih dukun bayi 5 kali mempunyai sikap kurang
setuju dibandingkan dengan ibu bersalin dengan sikap setuju.
Faktor lainnya adalah dukungan keluarga. Berdasarkan
penelitian Nuhapipa (2015) di Kampar, ada hubungan antara
dukungan keluarga dengan pemilihan penolong persalinan dengan
nilai Exp (B) sebesar 3,870, sehingga dapat disimpulkan bahwa ibu
yang tidak memiliki dukungan mempunyai kemungkinan 4 kali lebih
besar untuk memilih penolong persalinan dukun bayi dibandingkan
71
dengan ibu yang memiliki dukungan keluarga.
w. Riwayat Imunisasi
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi
dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh
membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Tujuan
pemberian imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal terhadap
penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi ( Aziz, 2008 ).
Salah satu imunisasi yang diberikan kepada ibu hamil adalah
imunisasi TT. Wanita hamil dengan persalinan berisiko tinggi paling
tidak mendapatkan 2 kali dosis vaksin TT ( Suharjo, et al, 2010 ).
Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI,
cakupan imunisasi TT2+ pada ibu hamil dari data rutin tahun 2004 –
2015 cenderung meningkat namun lambat. Pada tahun 2015 cakupan
imunisasi TT2+ pada ibu hamil sebesar 64,6%.
Berdasarkan hasil penelitian cross sectional yang dilakukan oleh
Kisriaini, dkk di Kabupaten Tanah Bumbu pada tahun 2014, dengan
sampel sebanyak 47 ibu hamil trimester II dan III, ada hubungan yang
bermakna antara tingkat pengetahuan dengan imunisasi TT dengan
nilai p value 0,008 dan koefisien kontingen 0,591. Semakin baik
tingkat pengetahuan ibu hamil maka semakin banyak pulayang
melakukan imunisasi TT.
Selain itu, imunisasi TT juga dipengaruhi oleh usia ibu hamil.
Berdasarkan hasil penelitian cross sectional yang dilakukan oleh
Meliani, dkk di Kota Langsa pada tahun 2014, dengan sampel
sebanyak 44 ibu hamil, ada hubunagn antara usia ibu dengan
imunisasi TT2 dengan nilai p value 0,005 pada derajat kepercayaan
95%. Semakin tinggi usia ibu hamil maka semakin banyak yang
mendapatkan imunisasi TT2. Hal ini karena semakin tinggi usia ibu,
72
maka pengalaman yang ibu miliki semakin banyak. Sehingga ibu yang
memiliki pengalaman lebih banyak akan memiliki pengetahuan yang
lebih baik pula.
73
0,82. 95% CI 0,70 - 0.95, p=0,010) (Prihatini, dkk. 2009).
z. Kepemilikan Jampersal
Kepemilikan jaminan kesehatan masyarakat di Indonesia masih
rendah walaupun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hasil
penelitan menemukan pada IFLS 2000 terdapat 22,3% meningkat
menjadi 24,1% baduta dari keluarga pesertajaminan kesehatan Non
Askeskin dan 13,9% baduta darikeluarga peserta Askeskin. Penelitian
menggunakan paradigma positivist dengan pendekatan crossectional
study berdasarkan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun
1993-2007. Sampel adalah seluruh bayi dan baduta yang secara
random terjaring dalamIFLS1 (1993) sampai IFLS4 (2007), dengan
kriteria inklusi anak kandung, tinggal dengan orang tua, lahir hidup
dan lahir tunggal, tersedia data berat lahir, umur kehamilan,
antropometri. Analisis univariat, bivariat dan regresi logistik
mutivariat menggunakan 3 set data untuk mengidentifikasi pengaruh
kepemilikan Jaminan kesehatan terhadap berat lahir (n=3956), umur
kehamilan (n=4998) dan kejadian stunting (n=4504) (Simbolon,2014).
Kepemilikan jaminan kesehatan berpengaruh terhadapBBLR,
prematur dan stunting. Bayi dari keluarga peserta jaminan kesehatan
Non-ASKESKIN terproteksi dari BBLR (OR;95% CI=0,61; 0,43-
0,88). Namun tidak ada perbedaan risiko BBLRantara bayi dari
keluarga peserta Askeskin dan yang tidak memiliki jaminan kesehatan
(OR;95% CI =0,92; 0,52-1,61) (model1). Kepemilikan ASKESKIN
sebagai faktor risiko kejadian prematur (OR, 95% CI: 1,74; 1,14-2,66)
(model 2). Anak dari keluarga peserta jaminan kesehatan Non-
ASKESKIN terproteksi dari kejadian stunting (OR;95% CI =0,78;
0,62-0,98), namun tidak ada perbedaan risiko stunting antara anak dari
keluarga peserta ASKESKIN dengan anak dari keluarga yang tidak
memiliki jaminan kesehatan (OR;95% CI =1,01; 0,69-1,47) (model3)
(Simbolon,2014).
74
aa. Akses Pelayanan Kesehatan
Prinsip dasar pelayanan kesehatan ibu adalah setiap persalinan
baik yang terjadi di rumah ataupun disarana kesehatan harus mendapat
pertolongan oleh petugas yang terlatih sehingga tidak terjadi
komplikasi obstetric. Terjadinya obstetric pada responden yang
melakukan persalinan dirumah kemungkinan karena tempat yang
tidak terjamin dapat melakukan pertolongan yang bersih, sedangkan
persalinan disarana kesehatan juga menimbulkan komplikasi obstetric.
Hal ini disebabkan selain petugasnya kurang terampil,motivasi
kurang. Selain itu tidak tersedianya alat-alat yang memadai yang
diperlukan untuk menangani keadaan yang beresiko (Huda,2007).
Penelitian yang bertujuan mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan komplikasi obstetri ini menggunakan desain
studi cross-sectional dengan sumber data primer. Sampel adalah 220
ibu yang melahirkan bayi hidup atau mati pada tahun 2005 yang
ditarik secara sistematik random sampling. Hasil penelitian
mendapatkan prevalensi komplikasi obstetri 46,8%, komplikasi pada
waktu hamil dan persalinan merupakan yang terbanyak (12,27%) dan
paling sedikit adalah komplikasi waktu hamil dan nifas masing-
masing 2,27%. Model multivariat akhir mendapatkan lima variabel
yang berhubungan dengan komplikasi obstetri meliputi penolong
persalinan OR=4,32 (95% CI: 0,49-37,98); paritas OR=1,86 (95% CI:
0,83-4,16); sikap OR=1,66 (0,94-2,94)[ riwayat komplikasi hamil
sebelumnya OR=1,79 (0,83-3,83) dan tempat persalinan OR=1,18
(95% CI: 1,01-3,26) (Huda,2007).
Hasil analisis univariat melihatkan proporsi ibu yang
melahirkan tidak disarana kesehatan lebih besar daripada ibu yang
melahirkan disarana kesehatan. Proporsi komplikasi responden yang
tidak melahirkan disarana kesehatan ditemukan lebih besar. Secara
statistic ada hubungan yang bermakna antara tempat persalinan
75
dengan komplikasi obstetric. Dengan demikian, ibu yang melahirkan
disarana kesehatan beresiko mengalami komplikasi obstetric lebih
besar daripada ibu yang bersalin disarana kesehatan. Upaya yang perlu
dilakukan untuk menurunkan kejadian komplikasi obstetri di
Kecamatan Banda Sakti adalah pelatihan bidan, pengembangan
PONED dan PONEK, serta memberikan pelayanan KB segera setelah
bersalin kepada ibu yang memiliki paritas berisiko dan riwayat
komplikasi hamil.(Huda,2007).
Aksesibilitas fasilitas perawatan kesehatan ibu penting dalam
memastikan bahwa kehidupan diselamatkan melalui penyediaan dan
penggunaan layanan ibu penting. Penelitian ini menggunakan metode
campuran untuk mengeksplorasi faktor utama yang terkait dengan
akses ke dan penggunaan pelayanan kesehatan ibu di Mdantsane.
Untuk pendekatan kuantitatif, kami mengumpulkan data
menggunakan kuesioner terstruktur. Sebuah sampel dari 267 peserta
terpilih dari fasilitas kesehatan dalam wilayah Mdantsane. Kami
menganalisis data ini menggunakan bivariat dan multivariat model.
Untuk pendekatan kualitatif, kami mengumpulkan data dari para
profesional perawatan kesehatan (termasuk perawat, dokter, dan
spesialis kesehatan ibu) menggunakan salah satu-satu wawancara.
Studi ini menemukan bahwa wanita yang berusia 35-39, belum
menikah, memiliki pendidikan menengah, adalah karyawan
pemerintah, dan yang telah melakukan perjalanan kurang dari 20 km
untuk sampai ke rumah sakit lebih mungkin untuk mengakses layanan
kesehatan ibu. Analisis kualitatif memberikan wawasan profesional
perawatan kesehatan tentang faktor-faktor penentu penggunaan
pelayanan kesehatan ibu. Kekurangan staf, masalah keuangan, dan
kurangnya pengetahuan tentang pelayanan kesehatan ibu serta tentang
pentingnya layanan ini berada di antara tema-tema utama dari analisis
kualitatif.
Hasil analisa bivariat tentang akses terhadap layanan kesehatan
76
ibu dan penggunaan layanan antenatal Lebih dari sepertiga (35,2%)
wanita yang disurvei mengakses layanan kesehatan ibu. Faktor yang
secara signifikan terkait dengan akses terhadap ibu Pelayanan
kesehatan meliputi pekerjaan (P <0,05), budaya faktor (P <0,001),
mencari informasi yang berguna (P <0,001), dan memiliki akses
terhadap bantuan medis (P <0,001).Sedangkan analisis multivariat
menunjukkan bahwa wanita berusia lanjut 35-39 dan 40 (dan di atas)
adalah 5.5 dan 5.3 kali lebih banyak cenderung menggunakan layanan
antenatal daripada mereka yang berusia 15-19 tahun secara penuh.
Kelompok usia, 35-39 dan 40+ dikaitkan secara signifikan dengan
penggunaan kunjungan antenatal (P <0,05). Wanita yang melaporkan
bahwa mereka belum menikah adalah 1,5 kali lebih mungkin untuk
menggunakan layanan antenatal dibandingkan dengan mereka yang
telah menikah.(Tsawe and Susuman,2014)
77
78
B. KERANGKA FAKTOR
Pengetahuan
Ketersedianan pangan RT Umur kehamilan
Protein
Energi
Sikap
Kebiasaan Tradisional Paritas
Folat
Zinc
A. Ruang Lingkup
1. Lingkup Materi
Pengambilan data dasar ini termasuk pengambilan data dasar gizi
masyarakat yang menitikberatkan pada faktor-faktor determinan status
gizi ibu hamil dan balita yang berhubungan dengan kejadian stunting
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mranggen II Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak.
2. Tempat
Pengambilan data dasar ini dilakukan di sepuluh desa di
Kecamatan Mranggen, yaitu Desa Ngemplak, Desa Karangsono, Desa
Tamansari, Desa Menur, Desa Jamus, Desa Wringinjajar, Desa Waru,
Desa Tegalarum, Desa Candisari
3. Waktu
a. Pembuatan proposal : Februari-Maret 2018
b. Pengambilan data dasar : 23-29 Maret 2018
c. Pengolahan data : 29 Maret-29 Arpril 2018
d. Penyusunan laporan : 29 April-29 Mei 2018
b. Sampel
Sampel adalah sebagian ibu hamil, yang dihitung dengan
pendekatan beda proporsi dua kelompok independen. Ditentukan
dengan metode proporsional random menurut desa. Jumlah sampel
81
yang dibutuhkan dalam penelitian ini ditentukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
Sampel :
Keterangan :
n = jumlah sampel
Zf-α/2= nilai Z pada alpha 0,05 (1,96)
P = proporsi Bumil resiko KEK di Kab. Demak tahun 2010
(17,9%)
d = Degree of precision yang digunakan sebesar 0.06
n = 157 ibu hamil (jumalh minimal sampel)
Dalam Pengambilan Data Dasar akan digunakan sampel 221 Ibu
Hamil.
d. Distribusi Sampel
82
2. Balita
a. Populasi
Semua balita di wilayah Puskesmas Mranggen II Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak.
b. Sampel
Sampel adalah sebagian balita, yang dihitung dengan
pendekatan beda proporsi dua kelompok Independen. Yang
ditentukan dengan metode proporsional random menurut desa. Jumlah
sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini ditentukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
Sampel :
Keterangan :
n = jumlah sampel
Zf-α/2 = nilai Z pada alpha 0,05 (1,96)
P = proporsi Balita stunting di Kab. Demak tahun 2016
(22,1%)
d = Degree of precision yang digunakan sebesar 0.06
N = 219 balita (jumlah minimal sampel)
Dalam Pengambilan Data Dasar akan digunakan sampel
579 balita.
84
b. Data Sekunder
Gambaran umum lokasi penelitian yang meliputi data
balita, data ibu hamil, sarana dan prasarana kesehatan.
3) Status infeksi
Data status infeksi diperoleh dengan cara wawancara dengan ibu
responden. Alat yang digunakan adalah kuesioner tentang
riwayat penyakit infeksi, antara lain riwayat diare, batuk,
sanitasi lingkungan, sumber air minum, penyimpanan bahan
kimia, kebiasaan ayah dalam merokok, pemberian kapsul
vitamin A, imunisasi, pemantauan KMS.
85
dari kuesioner antara lain mengenai ASI, makanan sehat, cuci
tangan, riwayat infeksi pada anak, posyandu.
5) Sikap
Data sikap diperoleh dengan metode wawancara terstruktur
menggunakan kuesioner, di mana isi dari kuesioner tersebut
antara lain pemberian ASI, pemberian makanan sehat, sanitasi
PHBS, garam beriodium, penyakit infeksi, posyandu, perilaku
ayah merokok, imunisasi, pemberian susu formula.
8) Riwayat Kehamilan
Data riwayat kehamilan didapatkan dari kuesioner yang
ditanyakan secara terstruktur kepada responden. Isi dari
kuesioner antara lain umur kehamilan, berapa kali hamil,
pemeriksaan kehamilan, konsumsi Fe, pemeriksaan buku KIA,
JAMPERSAL, dan kelas bumil.
86
Data status gizi balita diatas dua tahun diperoleh dari
mengukur tinggi badan balita dengan menggunakan microtois
dengan kapasitas 200cm dengan tingkat ketelitian 0,1 cm
sedangkan untuk balita dibawah dua tahun (belum bisa
berdiri) menggunakan baby length board dan mengukur berat
badan balita dengan menggunakan dacinatau bathroom scale
dengan ketelitian 0,1 kg.
b. Data Sekunder
Diperoleh dari data bidan desa setempat, dokumen
posyandu, dokumen perangkat desa setempat, beberapa buku dan
mengutip beberapa informasi dari internet dan media cetak.
2) Riwayat ISPA
Kode 1 = Jika dalam 2 minggu terakhir mengalami sakit batuk disertai
nafas cepat atau kesulitan bernafas.
Kode 0 = Jika dalam 2 minggu terakhir tidak mengalami sakit batuk
disertai nafas cepat atau kesulitan bernafas.
3) Asupan Energi
87
Kecukupan energi, dikategorikan menjadi dua yaitu dikatakan baik
bila asupan energi ≥ 80% dari AKG rata-rata dan kurang bila asupan
energi < 80% dari AKG rata-rata(Soekirman,2001).
Kode 0 = Tingkat kecukupan kurang < 80%
Kode 1 = Tingkat kecukupan baik ≥80 %
4) Asupan Protein
Kecukupan protein, dikategorikan menjadi dua yaitu dikatakan
baik bila asupan protein ≥ 80% dari AKG rata-rata dan kurang bila
asupan protein < 80% dari AKG rata-rata(Soekirman,2001).
Kode 0 = Tingkat kecukupan kurang < 80%
Kode 1 = Tingkat kecukupan baik ≥80 %
5) ASI Ekslusif
ASI Eksklusif merupakan bayi berumur 0 sampai 6 bulan yang
hanya diberikan asi saja tanpa makanan tambahan. Dapat dikategorikan
sebagai berikut :
Kode 0 = Tidak ASI Eksklusif , apabila bayi diberikan makanan selain
ASI sebelum 6 bulan.
Kode 1 = ASI Eksklusif , apabila bayi hanya diberikan ASI sampai 6
bulan.
8) Frekuensi Makan
88
Kode 0 = Pemberian makanan pada anak> 1 tahun kurang dari tiga
kali sehari
Kode 1 = Pemberian makanan pada anak > 1 tahun tiga kali sehari.
89
Kode 0 : Tidak Naik, apabila berat tidak naik, tetap atau naik tetapi
kurang dari kenaikan berat badan yang dianjurkan.
Kode 1 : Naik, apabila berat badan naik sesuai dengan kenaikan berat
badan yang dianjurkan.
Panjang badan lahir :
Kode 0 : panjang badan <48 cm.
Kode 1 : panjang badan ≥ 48 cm.
90
mengambil tindakan secepatnya (Ni’mah, 2015). Penilaian dikategorikan
menjadi :
Kode 1 : Tamat sekolah
Kode 2 : Tidak Tamat SD/MI
Kode 3 : Tamat SD/MI
Kode 4 : Tamat SMP/MTS
Kode 5 : Tamat SMA/MA
Kode 6 : Tamat Diploma/Sarjana
91
dan jika salah diberi skor 0. Selanjutnya untuk perhitungan persentase
digunakan rumus sebagai berikut :
92
dapat mengalihkan pendapatan yang seharusnya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan dan
rumah menjadi tidak terpenuhi. Dapat dikategorikan sebagai berikut :
Kode 0 = Merokok setiap hari
Kode 1 = Tidak merokok
93
Kode 0 = Tidak cuci tangan
Kode 1 = Cuci tangan
36) Asupan Fe
Kecukupan Fe, dikategorikan menjadi dua yaitu :
Kode 0 : dikatakan kurang bila asupan Fe < 80% dari AKG rata-rata
Kode 1 : dikatakan baik bila asupan Fe ≥ 80% dari AKG rata-rata
(Soekirman,2001).
94
37) Asupan Kalsium
Kecukupan kalsium, dikategorikan menjadi dua yaitu :
Kode 0 : dikatakan kurang bila asupan kalsium < 80% dari AKG rata-
rata
Kode 1 : dikatakan baik bila asupan kalsium ≥ 80% dari AKG rata-
rata (Soekirman,2001).
38) Asupan Zn
Kecukupan Zn, dikategorikan menjadi dua yaitu :
Kode 0 : dikatakan kurang bila asupan Zn < 80% dari AKG rata-rata
Kode 1 : dikatakan baik bila asupan Zn ≥ 80% dari AKG rata-rata
(Soekirman,2001).
95
Kode 0 = Lingkungantidaksehat
Kode 1 = Lingkungan yang sehat
46) ANC
Kode 0 = ANC tidak baik apabila Tidak Sesuai K4
Kode 1 = ANC baik apabila Sesuai K4
96
9. Mendiskripsikan status gizi ibu hamil
10. Mendiskripsikan status kesehatan ibu hamil
11. Mendiskripsikan asupan gizi ibu hamil
12. Mendeskripsikan faktor fisiologis
13. Mendiskripsikan faktor sosial
14. Mendiskripsikan perilaku ibu hamil
15. Mendikripksikan pelayanan kesehatan
97
G. Definisi Operasional
No Variable Definisi Metode / Hasil ukur Skala
cara ukur
1. Riwayat ISPA Adalah penyakit infeksi yang menyerang Kuesioner 1. Pernah Terinfeksi, jika pernah Ordinal
salah satu bagian dari saluran nafas, memiliki riwayat penyakit tersebut.
mulai dari hidung (saluran atas) hingga 2. Tidak pernah, jika tidak pernah
alveoli (Saluran bawah) termasuk terinfeksi penyakit tersebut.
jaringan adneksanya, seperti sinus, 1.
rongga telinga tengah, dan pleura.
2. Asupan energi Asupan energi total dalam sehari (kkal) Recall 2 x 24 jam 1. Kecukupan Kurang : <80 % AKG Ordinal
kemudian dibandingkan dengan akg yang 2. Kecukupan baik : ≥80 % AKG
dianjurkan menggunakan metode recall 2
x 24 jam.
3. Asupan Asupan protein dalam sehari (gr) Recall 2 x 24 jam 1. Kecukupan Kurang : <80 % AKG Ordinal
protein kemudian dibandingkan dengan akg yang 2. Kecukupan baik : ≥80 % AKG
dianjurkan menggunakan metode recall 2
x 24 jam.
4. Asupan Fe Adalah jumlah rata-rata fe (zat besi) yang Recall 2 x 24 jam 1. Kecukupan Kurang : <80 % AKG Ordinal
dikonsumsi 2. Kecukupan baik :≥80 % AKG
5. Asupan Adalah jumlah rata-rata kalsium yang Recall 2 x 24 jam 1. Kecukupan Kurang : <80 % AKG Ordinal
Kalsium dikonsumsi 2. Kecukupan baik :≥80 % AKG
6. Asupan Zn Adalah jumlah rata-rata zn yang Recall 2 x 24 jam 1. Kecukupan Kurang : <80 % AKG Ordinal
dikonsumsi 2. Kecukupan baik :≥80 % AKG
7. Pemberian Bayi berumur 0 sampai 5 bulan Kuesioner 0= tidak diberi ASI Ekslusif Ordinal
ASI Ekslusif yang hanya diberikan asi saja tanpa 1= diberi ASI Ekslusif
makanan tambahan yang diukur
8. Garam Ada atau tidaknya garam beriodium Kuesioner 0=Tidak Menggunakan Ordinal
yodium dalam suatu keluarga 1= menggunakan
98
keluarga
9. Pemberian Jumlah suplemen vitamin A yang Kuesioner 0 = tidak diberi
Kapsul dikonsumsi selama satu tahun 1= diberi Ordinal
Vitamin A
10. Frekuensi Jumlah bahan makanan yang dimakan. Kuesioner 0 = Tidak pernah Ordinal
Makan 1 = 1-3x perbulan
2 = 1-3x perminggu
3 = 4-6x perminggu
4 = 1x perhari
5 = > 1x perhari
11. Umur Merupakan umur kehamilan saat bayi Wawancara 1. Premature : < 37 minggu Ordinal
kehamilan saat dilahirkan sesuai yang tercantum dalam Kuesioner 2. Cukup bulan : ≥ 37 minggu
melahirkan status ibu atau tercantum dalam catatan
pemeriksaan kehamilan ibu
12. Panjang badan Panjang badan bayi ketika lahir. Wawancara, Data Pendek : < 48 cm Ordinal
lahir diambil dari KMS Tidak Pendek = ≥ 48 cm
13. Akses air Tersedianya akses/ keterjangkauan air Kuesioner a. Tidak Terjangkau Ordinal
minum minum yang aman melalui Sistem b. Terjangkau, meliputi sumber air :
Penyediaan Air Minum dengan jaringan - Sumur
perpipaan dan bukan jaringan perpipaan - air galon
terlindungi - PAM
- Artetis
- Sungai
14. Status Imunisasi merupakan proses Kuesioner 1. Imunisasi tidak lengkap (Tidak) Ordinal
Imunisasi menginduksi imunitas secara buatan baik 2. Imunisasi normal
dengan vaksinasi (imunisasi aktif) 3. Imunisasi lengkap (Ya)
maupun dengan pemberian antibodi
(imunisasi pasif). Imunisasi dasar yang
wajib diberikan kepada bayi pada saat
usia 0-6 bulan adalah BCG, DPT, Polio
dan hepatitis B.
99
15. Sikap Sikap merupakan kesiapan seseorang Kuesioner 1. Pada pernyataan favourable (baik), Ordinal
untuk bereaksi atau berespon terhadap jika responden menjawab sangat
objek atau stimulus. setuju skor 4, setuju skor 3, tidak
setuju skor 2, dan sangat tidak
setuju skor 1.
2. Pada pernyataan unfavourable (tidak
baik), jika respondenmenjawab
sangat setuju skor 1, setuju skor 2,
tidak setuju skor 3, dan sangat tidak
setuju skor 4.
16. IMD Inisiasi menyusu Dini (IMD) adalah Wawancara 1. Ya Ordinal
proses menyusu segera setelah dilahirkan, Kuesioner 2. Tidak
dimana bayi dibiarkan mencari puting 3. Tidak tahu
susu ibunya sendiri (tidak langsung
didekatkan ke puting susu).
17. Ayah Merokok Tindakan atau aktifitas menghisap rokok Wawancara 1 Merokok Ordinal
yang dilakukan oleh ayah minimal 1 Kuesioner 2 Tidak Merokok
batang setiap harinya pada saat penelitian
dilakukan.
18. Tempat Tempat untuk melahirkan Wawancara , 1. Fasilitas Kesehatan Ordinal
Persalinan kuesioner 2. Lainnya
1.Rumah
2.Dukun
19. Penolong Sarana pelayanan kesehatan yang dipilih Wawancara, 1. Petugas Kesehatan Ordinal
persalinan oleh ibu untuk menolong persalinannya. Kuesioner 2. Lainnya
Tenaga yang dapat memberikan 3. Dukun
pertolongan persalinan dapat dibedakan 4. Kader
menjadi dua, yaitu tenaga profesional 5. Saudara / teman
(dokter spesialis kebidanan, dokter
umum, bidan, pembantu bidan, dan
perawat bidan) dan dukun bayi (dukun
bayi terlatih dan tidak terlatih) (Retna,
100
2009).
20. Jumlah Balita dari keluarga dengan jumlah Kuesioner 1. Cukup ( < 3 anak) Ordinal
anggota anggota rumah tangga banyak cenderung 2. Banyak ( ≥3 anak )
keluarga mengalami stunting dibandingkan balita
dari keluarga dengan jumlah anggota
rumah tangga cukup.
21. Tinggi Badan Salah satu indikator klinik utama dalam Diukur dengan Pendek = <155 cm Ordinal
Ayah menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT) antropometri yang Tidak Pendek = ≥155 cm
dalam menentukan status gizi dari ayah menggunakan
tersebut. microtoise
22. Tinggi Badan Salah satu indikator klinik utama dalam Diukur dengan Pendek = <150 cm Ordinal
Ibu menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT) antropometri yang Tidak Pendek = ≥ 150 cm
dalam menentukan status gizi dari ibu menggunakan
tersebut. microtoise
23. Penggunaan Sarana atau tempat untuk buang air besar Wawancara dan Jika Tidak memenuhi syarat jamban Ordinal
jamban dan tempat pembuangan akhir tinja yang observasi sehat = 0
memenuhi syarat jamban sehat
Jika Memenuhi syarat jamban
sehat,jika menggunakan jamban leher
angsa = 1
24. Status keluhan Kondisi tubuh ibu selama kehamilan, Kuesioner Jumlah Keluhan Ibu Hamil Ordinal
ibu hamil meliputi gangguan - gangguan seperti
Ngidam, mual dan muntah, Cepat lelah
dan lemah, dll
25. Statuspenyakit Kondisi tubuh ibu yang disertai dengan Kuesioner Jumlah penyakit ibu hamil Ordinal
ibu hamil adanya gangguan penyakit seperti
pendarahan, Anemia, varises, dll
26. Asupan Energi Asupan energi total dalam sehari (kkal) Recall 2 x 24 jam Kecukupan Kurang : <80 % AKG Ordinal
kemudian dibandingkan dengan AKG Kecukupan baik : ≥80 % AKG
yang dianjurkan menggunakan metode
Recall 2 x 24 jam.
101
27. Asupan Asupan protein dalam sehari (gr) Recall 2 x 24 jam Kecukupan Kurang : <80 % AKG Ordinal
Protein kemudian dibandingkan dengan AKG Kecukupan baik : ≥80 % AKG
yang dianjurkan menggunakan metode
Recall 2 x 24 jam.
28. Asupan Fe Asupan Fe yang dalam sehari (mg) Recall 2 x 24 jam Kecukupan Kurang : <80 % AKG Ordinal
kemudian dibandingkan dengan AKG Kecukupan baik : ≥80 % AKG
yang diukur dengan metode recall 2x24
jam sebanyak
29. Asupan Asupan kalsium yang dikonsumsi selama Recall 2 x 24 jam Kecukupan Kurang : <80 % AKG Ordinal
Kalsium 1 hari yang diukur dengan metode recall Kecukupan baik : ≥80 % AKG
1x24 jam sebanyak 2 HRTkali yang
dinyatakan dalam satuan mg.
30. Asupan Zinc Asupan zinc yang dikonsumsi selama 1 Recall 2 x 24 jam Kecukupan Kurang : <80 % AKG Ordinal
hari yang diukur dengan metode recall Kecukupan baik : ≥80 % AKG
1x24 jam sebanyak 2 kali yang
dinyatakan dalam satuan mg.
31. Asupan folat Asupan folat yang dikonsumsi selama 1 Recall 2x24jam 0. Kurang = ≤400 mcg Ordinal
hari yang diukur dengan metode recall 1. Cukup = ≥400 mcg
1x24 jam sebanyak 2 kali yang
dinyatakan dalam satuan mg.
32. ANC Pelayanan kesehatan yang diberikan Kuesioner 0. Tidak Sesuai K4 Ordinal
oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama 1. Sesuai K4
kehamilannya
dan dilaksanakan sesuai dengan
standar pelayanan yang ditetapkan
dalam Standar Pelayanan
Kebidanan/SPK.
Kemampuan responden untuk memahami
pernyataan yang berkaitan dengan
pelaksanaan “antenatal care”.
33. Riwayat Pengalaman ibu melahirkan dengan Kuesioner 0. Lainnya Ordinal
penolong penolong persalinan oleh Dokter, Bidan, - Dukun
102
persalinan Perawat, Dukun bayi, Kader, Saudara, - Kader
Teman, dan lainnya - Saudara
1.Petugas Kesehatan
34. Tablet tambah Tablet tambah darah untuk mengurangi Kuesioner 0. Tidak patuh ≤90tablet Ordinal
darah anemia gizi besi yang diberikan kepada 1. Patuh ≥90 tablet
ibu hamil.
35. Suplemen Suplemen makanan merupakan produk Kuesioner, 0 = Tidak (apabila tidak Ordinal
Lain yang digunakan untuk melengkapi wawancara mengonsumsi)
makanan dan mengandung satu atau lebih 1 = Ya (apabila mengonsumsi )
bahan sebagai berikut vitamin, mineral, Bila ya, sebut:…..
asam amino, tumbuh-tumbuhan atau Bila ya, berapa kalii, sebut…
bahan yang berasal dari tumbuhan,
substansi seperti enzim, konsentrat,
metabolit, konstituen, ekstrak atau
kombinasi dari beberapa bahan diatas
36. Jampersal Jaminan yang digunakan untuk Kuesioner 1 = Ya (apabila mempunyai Jampersal) Ordinal
pemeriksaan kehamilan dan 0 = Tidak (apabila tidak mempunyai
Pertolongan persalinan Jampersal)
Yang pembiayaannya dijamin oleh
pemerintah.
37. Dukungan Dukungan yang diberikan oleh keluarga Kuesioner 1 = Mendukung Ordinal
keluarga kepada anggota keluarga lain dalam 0 = Tidak mendukung
bentuk perhatian dan kepedulian keluarga
terhadap kondisi kesehatan ibu hamil
yang terdiri dari emosional, penghargaan,
penilaian, instrumental, informative.
38. Pengetahuan Hasil dari tahu, data itu terjadi setelah Kuesioner 2 = Baik Nominal
Gizi Ibu orang melakukan pengindraan suatu 1 = Sedang
Hamil objek tertentu 0 = Kurang
39. Ayah Merokok Tindakan atau aktifitas menghisap rokok Wawancara, 3 = Merokok Ordinal
yang dilakukan oleh ayah minimal 1 Kuesioner 4 = Tidak Merokok
103
batang setiap harinya pada saat penelitian
dilakukan.
40. Akses Akses responden untuk mencapai fasilitas Kuesioner Waktu tempuh ≤15 menit, 16-30 Ordinal
Pelayanan kesehatan (waktu tempuh untuk menit, 31-60 menit, dan >60 menit.
Kesehatan mencapai fasilitas pelayanan)
41. Gaya Hidup Gaya hidup tidak sehat ibu, jika Kuesioner Gaya hidup Sehat dan gaya hidup Ordinal
tidak Sehat persalinan oleh tenaga kesehatan, tidak sehat
Ibu penggunaan air bersih, BAB di jamban,
dan tidak merokok di dalam rumah.
42. Distribusi Serangkaian kegiatan penyampaian Recall 2x24 jam 3 = tahan pangan jika kecukupan Ordinal
makanan makanan sesuai jumlah dan jenisnya Rumah tangga energy > 80% dan pangsa pengeluaran
rumah tangga kepada setiap individu / rumah tangga. dan wawancara pangan < 60%
2 = Rentan pangan jika kecukupan
energy > 80% dan pangsa pengeluaran
pangan ≥ 60 %,
1 = kurang pangan jika kecukupan
energy ≤ 80 % dan pangsa
pengeluaran pangan < 60 %
0 = rawan pangan jika kecukupan
energi ≤ 80 % dan pangsa pengeluaran
pangan ≥ 60 %.
Jonsoon dan Toole (1991) dalam
Maxwell, D et all (2000)
43. Kebiasaan kebiasaan makan dalam masyarakat, Wawancara dan 0 : tidak ada pantangan Ordinal
tradisional rumah tangga dan individu meliputi apa kuisioner 1 : ada pantangan
yang dipikirkan, diketahui dan dirasakan
menjadi persepsi orang tentang makanan
dan apa yang dilakukan, dipraktekkan
orang tentang makanan
44. Penanganan Proses penghilangan kontaminan dari air Kuesioner 0 = penanganan buruk Ordinal
Limbah limbah dan limbah rumah tangga maupun 1 = penanganan baik
domestic
104
45. Cuci Tangan Salah satu tindakan sanitasi dengan Kuesioner 0 = tidak cuci tangan Ordinal
membersihkan tangan dan jari – jemari 1 = cuci tangan
menggunakan air dan sabun oleh manusia
untuk menjadi bersih dan memutuskan
rantai kuman
46. Status Gizi Ibu Ukuran keberhasilan dalam pemenuhan Wawancara 0 = IMT tidak normal, jika < 18,5 Nominal
Hamil nutrisi saat hamil Kuesioner kg/m2
1 = IMT normal, jika 18,5 kg/m2 <
normal < 23 kg/m2
47. Usia Ibu Usia ibu saat hamil Wawancara 0 = usia ibu < 20 tahun Ordinal
Hamil Kuesioner 1 = usia ibu 20 – 30 tahun
48. Status Gizi Pra Ukuran keberhasilan dalam pemenuhan Wawancara 0 = IMT tidak normal, jika < 18,5 Nominal
Hamil nutrisi sebelum hamil Kuesioner kg/m2
1 = IMT normal, jika 18,5 kg/m2
<normal < 23 kg/m2
49. Usia Dini Ibu Usia saat pertama kali ibu hamil Wawancara 0 = ibu hamil < 20 tahun Ordinal
Kuesioner 1 = ibu hamil berumur 20 – 30 tahun
50. Gaya hidup Perilaku yang dapat berpengaruh buruk Wawancara 0 = tidak melakukan PHBS Ordinal
tidak sehat terhadap kesehatan seseorang. 1 = melakukan perilaku PHBS
51. Sikap Ibu Pernyataan evaluative Ibu Hamil Kuesioner 0 = tidak mendukung Ordinal
Hamil terhadap objek, orang atau peristiwa 1 = mendukung
52. Riwayat Proses menginduksi imunitas secara Kuesioner 0 = belum melakukan imunisasi Ordinal
Imunisasi Ibu buatan baik dengan vaksinasi (imunisasi 1 = sudah melakukan imunisasi
Hamil aktif) maupun dengan pemberian antibodi
(imunisasi pasif) pada ibu hamil
53. Higyene Suatu tindakan atau upaya untuk Kuesioner 1 = Ya Ordinal
Sanitasi mneingkatkan kebersihan dan kesehatan 2 = Tidak
melalui pemeliharaan dini setiap individu
dan factor lingkungan yang
mempengaruhinya, agar individu
terhindar dari ancaman kuman penyebab
penyakit
105
54. Pola Asuh Bagaimana orang tua memperlakukan Wawancara dan 0 = kurang baik Ordinal
anak, mendidik, membimbing, dan Kuesioner 1 = baik
mendisiplinkan serta melindungi anak
dalam mencapai proses kedewasaan,
hingga kepada upaya pembentukan
norma-norma yang diharapkan oleh
masyarakat pada umumnya
55. Keamanan dan Ketersedianya berbagai jenis bahan Kuesioner 0 = Makanan bervariasi Ordinal
keanekaragam pangan yang ada, baik dari segi jenis, 1 = Makanan tidak bervariasi
an pangan jumlah, kualitasnya dan aman
56. Riwayat Diare Masalah kesehatan dengan angka Kuesioner 0 = status infeksi buruk Ordinal
kematian yang masih tinggi terutama 1 = status infeksi baik
pada anak umur 1-4 tahun
57. Umur Balita Usia anak yang terhitung mulai saat Keusioner 0 = rawan stunting usia 12 – 24 Ordinal
dilahirkan hingga berusia di bawah 5 bulan
tahun 1 = tidak rawan stunting usia 12 –
24 bulan
58. Jenis kelamin Perbedaan bentuk, sifat dan fungsi Kuesioner 1. Laki – laki Ordinal
balita biologi laki-laki dan perempuan 2. Perempuan
59. Berat Badan Berat badan balita ketika dilahirkan Kuesioner Kurus : <2.5 gram Ordinal
Lahir Tidak Kurus : ≥2.5 gram
60. Pekerjaan Pekerjaan Ayah yang dilakukan saat ini Kuesioner 1. Tidak bekerja Ordinal
Ayah 2. Pegawai
3. Wiraswata
4. Petani/nelayan/buruh
5. Lainnya, sebut……..
61. Pekerjaan Ibu Pekerjaan Ibu yang dilakukan saat ini Kuesioner 1. Tidak bekerja Ordinal
2. Pegawai
3. Wiraswata
4. Petani/nelayan/buruh
5. Lainnya, sebut……..
62. Pendidikan Pendidikan terakhir Ibu Kuesioner 1. Tidak sekolah Ordinal
106
Ibu 2. Tidak tamat SD/MI
3. Tamat SD/MI
4. Tamat SMP/MTS
5. Tamat SMA/SMK
6. Tamat Diploma/Sarjana
63. Pendidikan Pendidikan terakhir Ayah Kuesioner 1. Tidak sekolah Ordinal
Ayah 2. Tidak tamat SD/MI
3. Tamat SD/MI
4. Tamat SMP/MTS
5. Tamat SMA/SMK
6. Tamat Diploma/Sarjana
107
BAB IV
FAKTOR INFEKSI N %
Status Infeksi
Pernah 40 67
Tidak pernah 20 33
Total 60 100
108
FAKTOR ASUPAN GIZI n %
Asupan Energi
Baik 38 63
Kurang 22 37
Total 60 100
Asupan Protein
Baik 41 68
Kurang 19 32
Total 60 100
ASI Eksklusif
Ya 35 58
Tidak 25 42
Total 60 100
Penggunaan garam beryodium
Menggunakan 58 97
Tidak menggunakan 2 3
Total 60 100
Pemberian vitamin A ASI eksklusif
Diberi 52 87
Tidak diberi 8 13 dikategorikan menjadi ya
Total 60 100
Distribusi Makanan dan tidak, dikatakan ya
Tahan pangan 53 88
Rawan pangan 7 12 apabila selama 6 bulan
Total 60 100
pertama hanya diberi ASI
dan dikatakan tidak apabila pada 6 bulan pertama sudah diberi makanan
selain ASI. Distribusi faktor asupan berdasarkan ASI eksklusif menunjukkan
bahwa balita yang mendapat ASI eksklusif sebesar 58% (35 balita).
Sementara, balita yang tidak mendapat ASI eksklusif sebesar 42% (25
balita).
Penggunaan garam beryodium dikategorikan menjadi tidak
menggunakan dan menggunakan, dikatakan menggunakan apabila pada
hasil iodium test berwarna ungu dan dikatakan tidak menggunakan apabila
pada hasil iodium test tidak berwarna ungu. Rumah tangga yang tidak
menggunakan garam beryodium sebesar 3% (2 rumah tangga). Rumah
tangga yang menggunakan garam beryodium sebesar 97% (52 rumah
tangga).
Pemberian vitamin A dikategorikan menjadi tidak diberi dan diberi,
dikatakan tidak diberi apabila tidak diberikan, tidak tahu, atau belum
waktunya; dikatakan diberi apabila diberi vitamin A. Balita yang tidak diberi
vitamin A sebesar 13% (8 balita). Balita yang diberi vitamin A sebesar 87%
(52 balita).
109
Distribusi makanan dikategorikan menjadi tahan pangan dan rawan
pangan, dikatakan tahan pangan apabila jumlah anggota keluarga ≤4 dan
rawan pangan apabila jumlah anggota keluarga >4. Rumah tangga tahan
pangan sebesar 88% (53 rumah tangga). Rumah tangga rawan pangan
sebesar 12% (7 rumah tangga).
3. Faktor Fisiologis
menyajikan distribusi faktor fisiologis balita di Desa Candisari.
Ruang lingkup faktor fisiologis meliputi umur balita, jenis kelamin balita,
berat badan lahir, panjang badan lahir, umur ibu, tinggi badan ibu, umur
melahirkan, dan tinggi badan ayah.
Umur balita disajikan dalam kategori umur dalam bentuk tahun,
mulai dari 1 tahun hingga 5 tahun. Hasil analisa umur balita di Desa
Candisari.
Tabel 3 Distribusi Kategori Faktor Fisiologis Balita di Desa
FAKTOR FISIOLOGIS n % Candisari
Umur balita
1 tahun 17 28
2 tahun 16 27
3 tahun 13 22
4 tahun 12 20
5 tahun 2 3
Total 60 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 33 55
Perempuan 27 45
Total 60 100
Berat Badan Lahir
Kurus 0 0
Tidak kurus 60 100 menunjukkan presentase
Total 60 100
Panjang Badan Lahir balita yang berumur 1 tahun
Pendek 27 45
Tidak Pendek 33 55 sebesar 28% (17), presentase
Total 60 100
Umur ibu balita yang berumur 2 tahun
<25 22 37
25-35 25 42 sebesar 27% (16), presentase
>35 12 20
missing 1 1,7 balita yang berumur 3 tahun
Total 60 100
TB ibu
sebesar 22% (13), presentase
Pendek 1 1,7
Tidak pendek 58 97
balita yang berumur 4 tahun
Missing 1 1,7
Total 60 100
sebesar 20% (12), presentase
Umur melahirkan
Prematur 30 50
balita yang berumur 5 tahun
Cukup bulan 30 50
Total 60 100110
Tinggi badan ayah
Pendek 0 0
Tidak pendek 38 63
Missing 22 37
Total 60 100
sebesar 3% (2). Presentase umur balita tertinggi di Desa Candisari yaitu
berumur 1 tahun yaitu sebesar 28% (17).
Jenis kelamin balita disajikan dalam kategori laki-laki dan
perempuan. Hasil analisa menunjukkan presentase jenis kelamin balita di
Wilayah Desa Candisari lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dengan
presentase sebesar 55% (33) dan presentase jenis kelamin perempuan
sebesar 45% (27). Presentase jenis kelamin balita tertinggi di Desa
Candiasari yaitu jenis kelamin laki-laki sebesar 55% (33).
Berat badan lahir disajikan dalam kategori kurus dan tidak kurus.
Hasil analisa berat badan lahir di Desa Candiasari menunjukan presentase
balita dengan badan lahir kurus sebesar 0% (0) dan presentase balita berat
badan lahir dengan berat badan lahir tidak kurus sebesar 100% (60).
Presentase berat badan lahir tertinggi di Desa Candisari yaitu berat badan
lahir tidak kurus sebesar 0% (0).
Panjang badan lahir disajikan dalam ketegori pendek dan tidak
pendek Hasil analisa panjang badan lahir di Desa Candisari menunjukan
presentase balita dengan panjang badan lahir pendek sebesar 45% (27) dan
presentase balita dengan panjang badan lahir tidak pendek sebesar 55% (33).
Presentase panjang badan lahir tertinggi di Desa Candisari yaitu panjang
badan lahir tidak pendek sebesar 55% (33).
Umur ibu disajikan dalam kategori <25 tahun, 25-35 tahun dan >35
tahun. Hasil analisa umur ibu di Wilayah Puskesmas Mranggen II
menunjukan presentase ibu yang berumur <25 tahun sebesar 37% (22),
presentase ibu yang berumur 25-35 tahun sebesar 42% (25), dan presentase
ibu yang berumur >35 tahun sebesar 20% (12). Presentase data yang
missing sebesar 1,7% (1) dikarenakan tidak diketahui tanggal lahir ibu saat
pengambilan data dilakukan. Presentase umur ibu tertinggi di Desa
Candisari yaitu umur ibu 25-35 tahun sebesar 42% (25).
Tinggi badan ibu disajikan dalam kategori pendek dan tidak pendek.
Hasil analisa tinggi badan ibu di Wilayah Desa Candiasari menunjukan
presentase tinggi badan ibu pendek sebesar 1,7% (1) dan presentase tinggi
badan ibu tidak pendek sebesar 97% (58). Presentase data yang missing
sebesar 1,7% (1) dikerenakan tidak dilakukan pengukuran tinggi badan ibu
111
saat pengambilan data dilakukan. Presentase tinggi badan ibu tertinggi di
Desa Candisari yaitu tinggi badan ibu tidak pendek sebesar 97% (58).
Umur melahirkan disajikan dalam kategori premature dan cukup
bulan. Hasil analisa umur melahirkan di Desa Candisari menunjukan
presentase umur melahirkan prematur sebesar 50% (30) dan presentase
umur melahirkan cukup bulan sebesar 50% (30).
Tinggi badan ayah disajikan dalam kategori pendek dan tidak
pendek. Hasil analisa tinggi badan ayah di Desa Candisari menunjukan
presentase tinggi badan ayah pendek sebesar 0% (0) dan presentase tinggi
badan ayah tidak pendek 63% (38). Presentase data yang missing sebesar
37% (22) dikarenakan tidak diketahui tinggi badan ayah ketika pengambilan
data. Presentase tinggi badan ayah tertinggi di Desa Candisari yaitu tinggi
badan ayah tidak pendek sebesar 63% (38).
KESEHATAN LINGKUNGAN n %
Tempat pembuangan limbah
Tertutup 3 5
Terbuka 57 95
Total 60 100
Tempat sampah
Tertutup 13 22
Terbuka 47 78
Total 60 100
Bentuk jamban
Leher angsa 58 97
Bukan leher angsa 2 3
Total 60 100 Tabel 4
Air minum
Layak 60 100 menyajikan distribusi
Tidak layak 0 0
Total 60 100 fakor kesehatan
lingkungan balita di Desa Candisari. Ruang lingkup faktor kesehatan
lingkungan balita meliputi tempat pembuangan limbah, tempat sampah,
bentuk jamban, dan air minumnya.
Tempat pembuangan limbah dikategorikan menjadi tertutup dan
terbuka. Hasil analisis menunjukan presentase tempat pembuangan limbah
di Desa Candisari yang tertutup sebesar 5% (3) dan presentase tempat
112
pembuangan limbah yang terbuka sebesar 95% (57). Tempat pembuangan
limbah di Desa Candisari lebih banyak yang terbuka yaitu sebesar 95%
(57).
Tempat sampah dikategorikan menjadi tertutup dan terbuka. Hasil
analisis menunjukan presentase tempat sampah di Desa Candisari yang
tertutup sebesar 22% (13) dan presentase tempat sampah yang terbuka
sebesar 78% (47). Tempat sampah di Desa Candisari lebih banyak yang
terbuka yaitu sebesar 78% (47).
Bentuk jamban dikategorikan menjadi bentuk leher angsa dan bukan
bentuk leher angsa. Hasil analisis menunjukan bentuk jamban di Desa
Candisari yang berbentuk leher angsa sebesar 97% (58) dan presentase
bentuk jamban yang tidak berbentuk leher angsa sebesar 3% (2). Bentuk
jamban di Desa Candisari lebih banyak yang menggunakan bentuk leher
angsa yaitu sebesar 97% (58).
Penggunaan air minum dikategorikan menjadi layak dan tidak layak.
Hasil analisis menunjukan presentase penggunaan air di Desa Candisari
yang layak dikonsumsi sebesar 100% (60) dan presentase penggunaan air
yang tidak layak dikonsumsi sebesar 0% (0). Penggunaan air minum di Desa
Candisari semuanya layak dikonsumsi yaitu sebesar 100% (60).
113
Tabel 5 menyajikan distribusi fakor perilaku orang tua balita di Desa
Candisari. Ruang lingkup faktor perilaku orang tua balita meliputi
pengetahuan ibu, sikap ibu, pelaksanaan inisiasi menyusui dini, dan sikap
bapak merokok.
Tingkat pengetahuan ibu balita digunakan untuk mengetahui
seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki oleh ibu balita dalam mengasuh
anaknya meliputi pengetahuan tentang pemberian ASI, hubungan stunting
dengan pertumbuhan, hubungan higiene sanitasi dengan kesehatan,
pentingnya posyandu dan perilaku ibu dalam menangani anaknya.
Pengetahuan ibu disajikan dalam kategori skor <60, 60-80, dan >80. Hasil
analisis tingkat pengetahuan ibu balita di Desa Candisari menunjukan
presentase pengetahuan ibu balita dengan skor <60 sebesar 13% (8),
presentase pengetahuan ibu balita dengan skor 60-80 sebesar 62% (37),
presentase pengetahuan ibu balita dengan skor >80 sebesar 25% (15).
Presentase tingkat pengetahuan ibu balita tertinggi di Desa Candisari yaitu
dengan skor 60-80 yaitu sebesar 62% (37).
Sikap ibu balita dikategorikan menjadi sikap yang mendukung dan
tidak mendukung untuk hidup lebih sehat meliputi sikap dalam
mempersiapkan makanan untuk balita, sikap dalam mengasuh balita, dll.
Hasil analisis menunjukan presentase sikap ibu balita di Desa Candisari
yang mendukung sebesar 72% (43) dan presentase sikap ibu balita yang
tidak mendukung sebesar 28% (17). Untuk sikap ibu balita yang mendukung
lebih tinggi dibandingkan dengan sikap ibu balita yang tidak mendukung
yaitu 72% (43).
Perilaku inisiasi menyusui dini (IMD) dikategorikan menjadi
dilakukan dan tidak dilakukan pada saat bayi baru lahir. Hasil analisis
menunjukan presentase di Desa Candisari baik kategori dilakukan maupun
yang tidak dilakukan, keduanya sama-sama memiliki presentase sebesar
50% (30). Dimungkinkan terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi
perilaku tersebut.
114
Perilaku sikap bapak merokok dikategorikan menjadi merokok
(setiap hari dan kadang-kadang) dan tidak merokok. Hasil analisis sikap
bapak merokok di Desa Candisari menunjukan presentase bapak merokok
sebesar 38% (23), dan presentase bapak tidak merokok sebesar 62% (37).
Bapak di Desa Candisari lebih banyak yang tidak merokok yaitu sebesar
62% (37).
PELAYANAN KESEHATAN N %
Tempat bersalin
Fasilitas Kesehatan 59 98
Lainnya 1 2
Total 60 100
Penolong Persalinan
Petugas Kesehatan 60 100
Lainnya 0 0 Tabel 6
Total 60 100
menyajikan distribusi
fakor pelayanan kesehatan di Desa Candisari. Analisis pelayanan kesehatan
dilihat dari tempat persalinan dan penolong persalinan terakhir. Tempat
persalinan disajikan dalam kategori fasilitas kesehatan dan lainnya, fasilitas
kesehatan meliputi rumah sakit, rumah bersalin, puskesmas sedang lainnya
apabila tempat bersalin di rumah. Untuk penolong persalinan terakhir
disajikan dalam kategori petugas kesehatan dan lainnya. Petugas kesehatan
meliputi dokter, bidan, dan perawat. Sedangkan untuk kategori lainnya
adalah dukun bayi.
Berdasarkan hasil analisis, kategori pelayanan kesahatan di Desa
Candisari untuk persentase tempat bersalin yang menggunakan fasilitas
kesehatan 98%(59) sedangkan persentase yang tidak menggunakan fasilitas
kesehatan sebesar 2% (1). Tempat bersalin di Desa Candisari lebih banyak
yang menggunakan fasilitas kesehatan yaitu sebesar 98% (59).
Penolong persalinan dikategorikan menjadi dilakukan oleh petugas
kesehatan dan dilakukan bukan oleh petugas kesehatan. Hasil analisis
115
menunjukan bahwa 100% (60) penolong persalinan dilakukan oleh petugas
kesehatan.
116
FAKTOR SOSIAL EKONOMI n %
Pendidikan Ibu
Tdk sekolah 1 2
Tdk tamat SD/ MI 3 5
Tamat SD/ MI 5 8
Tamat SMP/ MTS 15 25
Tamat SMA/ MA 27 45 Pekerjaan ibu
Tamat Diploma/ Sarjana 9 15
Total 60 100 disajikan dalam
Pekerjaan ibu
Tdk bekerja 29 48 kategori tidak
Pegawai 5 9
Wiraswasta 18 30 bekerja, Pegawai
Petani/ Nelayan/ Buruh 6 10
Lainnya 2 3 Swasta,
Total
60 100
Pendidikan Ayah Wiraswasta,
Tdk sekolah 1 2
Tdk tamat SD/ MI 2 3
Tamat SD/ MI 7 12
Tamat SMP/ MTS 14 23
Tamat SMA/ MA 31 52
Tamat Diploma/ Sarjana 5 8
Total
60 100
Pekerjaan Ayah
Tdk bekerja 0 0
Pegawai 9 15
Wiraswasta 27 45
Petani/ Nelayan/ Buruh 17 28
Lainnya 7 12
Total
60 100
Jumlah anak
≤ 2 anak 55 92
> 2 anak 5 8
Total
60 100
Jumlah anggota keluarga
≤ 4 orang 53 88
> 4 orang 7 12
Total 60 100
Petani/Nelayan/Buruh, Lainnya. Hasil analisis pekerjaan ibu di Desa
Candisari menunjukkan bahwa presentase ibu tidak bekerja sebesar 48%
(29), presentase pekerjaan ibu pegawai swasta sebesar 9% (5), presentase
pekerjaan ibu wiraswasta sebesar 30% (18), presentase pekerjaan ibu
petani/nelayan/buruh sebesar 10% (6), presentase pekerjaan ibu lainnya
sebesar 3% (2). Presentase pekerjaan ibu tertinggi di Desa Candisari yaitu
ibu yang tidak bekerja sebesar 48% (29).
Pendidikan ayah disajikan dalam kategori tidak tamat sekolah, tidak
tamat SD/MI, tamat SD/MI, tamat SMP/MTS, tamat SMA/MA, tamat
diploma/sarjana. Hasil analisis pendidikan suami di Desa Candisari
117
menunjukkan bahwa presentase ayah tidak sekolah sebesar 2% (1),
presentase ayah tidak tamat SD/MI sebesar 3% (2), presentase ayah tamat
SD/MI sebanyak sebesar 12% (7), presentase ayah tamat SMP/MTS sebesar
23% (14), presentase ayah tamat SMA/MA sebesar 52% (31), presentase
ayah tamat diploma/sarjana sebesar 8% (5). Presentase pendidikan ayah
tertinggi di Desa Candisari yaitu pendidikan ayah yang tamat SMA/MA
sebesar 52% (31).
Pekerjaan ayah disajikan dalam kategori tidak bekerja, Pegawai
Swasta, Wiraswasra, Petani/Nelayan/Buruh, Lainnya. Hasil analisis
pekerjaan ayah di Desa Candisari menunjukkan bahwa presentase ayah tidak
bekerja sebesar 0% (0), presentase pekerjaan ayah pegawai swasta sebesar
15% (9), presentase pekerjaan ayah wiraswasta sebesar 45% (27), presentase
pekerjaan ayah petani/nelayan/buruh sebesar 28% (17), presentase pekerjaan
ayah lainnya sebesar 12% (7). Presentase pekerjaan ayah tertinggi di Desa
Candisari yaitu pekerjaan suami pegawai swasta yaitu sebesar 45% (27).
Jumlah anak disajikan dalam kategori kurang dari sama dengan dua
anak dan lebih dari dua anak. Hasil analisis jumlah anak di Desa Candisari
menunjukkan persentase jumlah anak kurang dari sama dengan dua sebesar
92% (55) dan persentase jumlah anak lebih dari dua anak sebesar 8% (5).
Jumlah anggota keluarga disajikan dalam kategori kurang dari sama
dengan empat orang dan lebih dari empat orang. Hasil analisis jumlah
anggota keluarga di Desa Candisari menunjukkan persentase jumlah anggota
keluarga kurang dari sama dengan empat sebesar 88% (53) dan persentase
jumlah anggota keluarga lebih dari empat orang sebesar 12% (7).
118
Hasil analisis menunjukkan bahwa infeksi terjadi pada anak stunting
sebesar 75% (6), anak stunting yang tidak mengalami infeksi sebesar 25%
(2). Pada anak tidak stunting yang mengalami infeksi sebesar 65,4% (34)
dan yang tidak mengalami infeksi sebesar 34,6% (18).
Hasil uji Chi Square antara status infeksi dengan kejadian stunting
pada balita di Desa Candisari diperoleh p value 0.591 dikatakan adanya
hubungan yang signifikan apa bila p <0.05. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan antara status infeksi dengan stunting pada balita.
119
dengan asupan yang baik sebesar 68,3%. Berdasarkan hasil uji Chi Square
antara asupan protein dengan status gizi balita TB/U diperoleh p value
0,699. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
asupan protein dengan status gizi balita TB/U.
120
12. Hubungan Sikap Ibu Balita dengan Status Gizi
Tdk 20 100
Ya 0 0
Total 20 100
TBC
Tdk 20 100
Ya 0 0
Total 20 100
Anemia
Tdk 19 95
Ya 1 5
121
Total 20 100
DM
Tdk 20 100
Ya 0 0
Total 20 100
Hipertensi
Tdk 19 95
Ya 1 5
Total 20 100
HIV
Tdk 20 100
Ya 0 0
Total 20 100
Alergi
Tdk 19 95
Ya 1 5
Total 20 100
122
Faktor asupan gizi Ibu hamil di Desa Candisari disajikan dalam 2
kategori, yaitu kategori asupan energy dan kategori asupan protein. Baik
kategori asupan energy maupun kategori asupan protein, keduanya dibagi
menjadi 2 kriteria, yaitu kriteria kecukupan kurang dan kriteria kecukupan
baik. Dari total 20 Ibu hamil, untuk kategori asupan energy kriteria
kecukupan kurang terdapat sebesar 35% (7) dan kategori asupan energy
kriteria kecukupan baik sebesar 65% (13). Sedangkan untuk kategori asupan
protein kriteria kecukupan kurang terdapat sebesar 45% (9) dan kategori
asupan protein kriteria kecukupan baik sebesar 55% (11). Secara
keseluruhan, asupan energy dan asupan protein pada Ibu hamil di Desa
Candisari termasuk dalam kategori yang cukup baik dikarenakan jumlah
kriteria asupan baik lebih banyak dari jumlah kriteria asupan kurang.
3. Faktor Fisiologis
Tabel Distribusi Faktor Fisiologis Ibu Hamil di Desa Candisari
FAKTOR FISIOLOGIS n %
Umur ibu
<20 1 5
20-30 11 55
>30 8 40
Total 20 100
Tinggi badan ibu
Pendek 8 40
Tidak Pendek 12 60
Total 20 100
Umur kehamilan
Trimester 1 1 5
Trimester 2 7 35
Trimester 3 12 60
Total 20 100
Kategori Paritas
0 5 25
1 8 40
2 6 30
≥3 1 5
Total 20 100
Umur ayah
<30 6 30
30-45 13 65
>45 0 0
Missing 1 5
Total 20 100
123
Pada table tersebut disajikan distribusi faktor fisiologis Ibu hamil di
Desa Candisari yang meliputi umur Ibu, tinggi badan Ibu, umur kehamilan
Ibu, paritas dan umur Ayah. Umur Ibu dibagi dalam 3 kategori, yaitu <20
tahun, 20 – 30 tahun, dan >30 tahun. Dari total 20 orang Ibu hamil di Desa
Candisari, hasil analisa menunjukan bahwa Ibu yang berumur <20 tahun
sebesar 5% (1), 20 – 30 tahun sebesar 55% (11), dan >30 tahun sebesar 40%
(8).
Untuk tinggi badan Ibu, dibagi menjadi 2 kategori, yaitu pendek dan
tidak pendek. Dari 20 orang Ibu hamil, hasil analisa telah menunjukan
bahwa Ibu yang termasuk dalam kategori pendek terdapat sebanyak 40%
(8), dan Ibu yang termasuk dalam kategori tidak pendek terdapat sebanyak
60% (12).
Paritas Ibu dibagi menjadi 3 kategori yaitu 0, 1, 2, dan ≥3. Dari hasil
yang analisa yang telah didapatkan, diketahui bahwa Ibu dengan jumlah
paritas 0 ditemukan sebanyak 25% (5), Ibu dengan jumlah paritas 1
ditemukan banyak 40% (8), Ibu dengan jumlah paritas 2 ditemukan
sebanyak 30% (6), dan Ibu dengan jumlah paritas >3 ditemukan sebanyak
5% (1).
Dan untuk umur Ayah, dibagi menjadi 3 kategori yaitu umur <30
tahun, 30 – 45 tahun, dan >45 tahun. Dari total 20 orang Ayah, hasil analisa
124
dalam table tersebut telah menunjukan bahwa Ayah dengan usia <30 tahun
ditemukan sebanyak 30% (6), Ayah dengan usia 30 – 45 tahun ditemukan
sebanyak 65% (13), dan Ayah dengan usia >45 tahun ditemukan sebanyak
0% (0). Terdapat data missing mengenai umur Ayah sebanyak 5% (1). Hal
tersebut disebabkan oleh tidak diketahuinya tanggal lahir Ayah ketika
pengambilan data dilakukan.
PELAYANAN KESEHATAN n %
Imunisasi
Belum imunisasi 17 85
Sudah imunisasi 3 15
Total 20 100
Suplemen lain
Ya 13 65
Tidak 7 35
Total 20 100
Jampersal Error:
Tidak 4 20
Ya 16 80 Reference
Total 20 100
source not
found menyajikan data distribusi faktor pelayanan kesehatan pada ibu hamil
di Desa Candisari. Ruang lingkup faktor pelayanan kesehatan ibu hamil
yaitu (1) status imunisasi, (2) suplemen lain dan (3) status jampersal.
Status imunisasi dikategorikan menjadi belum imunisasi dan sudah
imunisasi. Ibu hamil di Desa Candisari yang imunisasi sebesar 15% (3 ibu
hamil) dan ibu hamil yang belum imunisasi 85% (17 ibu hamil).
Asupan suplemen lain yaitu konsumsi suplemen selain tablet Fe bagi
ibu hamil. Ibu hamil di Desa Candisari yang mengonsumsi suplemen lain
sebesar 65% (13 ibu hamil). Ibu hamil yang tidak mengonsumsi suplemen
lain sebesar 35% (7 ibu hamil)
Ibu hamil di Desa Candisari yang tidak memiliki jampersal sebesar
20% (4 ibu hamil). Ibu hamil yang memiliki jampersal sebesar 80% (16 ibu
hamil)
125
5. Faktor Perilaku
Tabel 9 Distribusi Faktor Perilaku Ibu Hamil di Desa Candisari
FAKTOR PERILAKU n %
Dukungan Keluarga
Tidak Mendukung 0 0
Mendukung 20 100
Total 20 100
Kategori Pengetahuan
Kurang 3 15
Sedang 10 50
Baik 7 35
Total 20 100
Tidak Mendukung 4 20
Mendukung 16 80
Total 20 100
126
6. Faktor Sosial
Pendidikan ibu disajikan dalam kategori tidak tamat sekolah,
tidak tamat SD/MI, tamat SD/MI, tamat SMP/MTS, tamat SMA/MA,
tamat diploma/sarjana. Hasil analisis pendidikan ibu di Desa Candisari
menunjukkan bahwa presentase ibu tidak tamat SD/MI sebesar 10%
(2), presentase ibu tamat SD/MI sebanyak sebesar 10% (2), presentase
ibu tamat SMP/MTS sebesar 25% (5), presentase ibu tamat SMA/MA
sebesar 50% (10), presentase tamat diploma/sarjana sebesar 5% (1).
FAKTOR SOSIAL n %
Pendidikan Ibu
Tidak Sekolah 0 0
Tdk Tamat SD/MI 2 10
Tamat SD/MI 2 10
Tamat SMP/MTS 5 25
Tamat SMA/MA 10 50
Tamat
1 5
Diploma/Sarjana
Total 20 100
Pekerjaan Ibu
Tdk Bekerja 9 31
PNS 0 0
Pegawai Swasta 7 24
Wiraswasta 2 7
Petani/nelayan/buruh 1 3
Lainnya 1 3
Total 20 68
Pendidikan Suami
Tidak Sekolah 0 0
Tdk Tamat SD/MI 1 3
Tamat SD/MI 2 7
Tamat SMP/MTS 8 28
Tamat SMA/MA 8 28
Tamat
1 3
Diploma/Sarjana
Total 20 69
Pekerjaan Suami
Tdk Bekerja 0 0
PNS 1 3
Pegawai Swasta 6 21
Wiraswasta 5 17
Petani/nelayan/buruh 7 24
Lainnya 1 3
Total 20 68
127
Pekerjaan ibu disajikan dalam kategori tidak bekerja, PNS, Pegawai
Swasta, Wiraswasta, Petani/Nelayan/Buruh, Lainnya. Hasil analisis pekerjaan
ibu di Desa Candisari menunjukkan bahwa presentase ibu tidak bekerja
sebesar 31% (9), presentase pekerjaan ibu pegawai swasta sebesar 24% (7),
presentase pekerjaan ibu wiraswasta sebesar 7% (2), presentase pekerjaan ibu
petani/nelayan/buruh sebesar 3% (1), presentase pekerjaan ibu lainnya sebesar
3% (1).
Pendidikan suami disajikan dalam kategori tidak tamat sekolah, tidak
tamat SD/MI, tamat SD/MI, tamat SMP/MTS, tamat SMA/MA, tamat
diploma/sarjana. Hasil analisis pendidikan suami di Desa Candisari
menunjukkan bahwa presentase suami tidak tamat SD/MI sebesar 3% (1),
presentase suami tamat SD/MI sebanyak sebesar 7% (2), presentase suami
tamat SMP/MTS sebesar 28% (8), presentase suami tamat SMA/MA sebesar
28% (8), presentase suami tamat diploma/sarjana sebesar % (1).
Pekerjaan suami disajikan dalam kategori tidak bekerja, PNS, Pegawai
Swasta, Wiraswasra, Petani/Nelayan/Buruh, Lainnya. Hasil analisis pekerjaan
suami di Desa Candisari presentase pekerjaan suami PNS sebesar 3% (1),
presentase pekerjaan suami pegawai swasta sebesar 21% (6), presentase
pekerjaan suami wiraswasta sebesar 17% (5), presentase pekerjaan suami
petani/nelayan/buruh sebesar 24% (7), presentase pekerjaan suami lainnya
sebesar 3% (1).
128
8. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil dengan Status Gizi Ibu Hamil
Tabel 11 Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil dengan Status Gizi Ibu
Hamil di Wilayah Desa Candisari.
129
Tabel 13 Hubungan Kategori Umur dengan Status Gizi Ibu Hamil
di Desa Candisari
FAKTOR DETERMINAN KATEGORI LILA
KEK Tidak KEK Total P’
n % n % N %
Kategori umur ibu
< 20 1 5.6 0 0.0 1 5.0 1.000
20 – 35 10 55.6 1 50.0 11 55.0
>35 7 38.9 1 50.0 8 40.0
Dari dapat disimpulkan bahwa Ibu hamil berumur < 20 tahun yang
KEK 5,6%, ibu hamil berumur 20-35 tahun yang KEK 55,6% dan ibu hamil
berumur > 35 tahun yang KEK 38,9% berdasarkan indikator kategori KEK.
Berdasarkan hasil Uji Chi Square antara kategori Umur dengan KEK
menggunakan Pearson Chi-Square antara kategori Umur dengan KEK
diperoleh p value 1,000 yang artinya p value >0,05. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kategori
umur dengan KEK.
130
BAB V
A. KESIMPULAN
Dari hasil Pengambilan Data Dasar di Desa Candsari Kecamatan Mranggen
Kabupaten Demak pada tanggal 23 Maret sampai dengan 29 Maret 2018 terhadap 60
anak balita usia 0-59 bulan dan 20 sampel ibu hamil, terdapat permasalahan :
1. Balita
− Balita yang pernah terinfeksi pada kategori faktor infeksi sebesar 67%
− Balita dengan asupan energi kurang sebesar 37%
− Balita dengan asupan protein kurang sebesar 32%
− Balita yang tidak diberi ASI Eksklusif sebesar 42%
− Ibu balita yang tidak menggunakan garam beryodium sebesar 3%
− Balita yang tidak diberi vitamin A sebesar 13%
− Distribusi pangan yang termasuk rawan pangan sebesar 12%
− Balita lahir dalam keadaan kurus sebesar 0%
− Balita dengan panjang badan lahir pendek sebesar 45%
− Tinggi badan ibu balita yang pendek sebesar 1,7%
− Ibu melahirkan dalam keadaan premature sebesar 50%
− Tempat pembuangan limbah yang terbuka sebanyak 95%
− Tempat sampah yang terbuka sebesar 78%
− Air minum yang tidak layak sebesar 0%
− Tidak menggunakan fasilitas kesehatan sebesar 2%
2. Ibu Hamil
− Ibu hamil yang mengalami anemia sebesar 5%
− Ibu hamil dengan kecukupan energi kurang sebesar 35%
− Ibu hamil dengan kecukupan protein kurang sebesar 45%
− Ibu hamil yang termasuk dalam kategori pendek sebesar 40%
− Ibu hamil yang belum mendapat imunisasi pada kategori faktor
pelayanan kesehatan sebesar 85%
− Ibu hamil dengan pengetahuan kurang sebesar 15%
− Ibu hamil dengan sikap yang tidak mendukung sebesar 20%
B. SARAN
Dari hasil Pengambilan Data Dasar di Desa Candisari bahwa perlu adanya intervensi
lebih lanjut untuk mengatasi masalah pada ibu hamil dan balita diantaranya kegiatan
penyuluhan dan sosialisasi.
131
DAFTAR PUSTAKA
132
From The 2008-09 Kenya Demographic AndHealth Survey. International Journal Of
Child Health And Nutrition, 1.
133
Aramico, Basri. Toto Sudargo. Joko Susilo. 2013. “Hubungan sosial ekonomi, pola asuh,
pola makan dengan stunting pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Lut Tawar,
Kabupaten Aceh Tengah”. Aceh. Jurnal Gizi Dan Dietetik Indonesia.Vol 1, No. 3:
121-130.
Kamal, Mostofa SM. 2011. Socio-economic Determinants of Severe and Moderate Stunting a
mong Under-Five Children of Rural Bangladesh. Malaysian Journal of Nutrition. 11
1.
Lestari, Wanda, Ani Margawati, M. Zen Rahfiludin. 2014. Faktor Risiko Stunting pada Anak
Umur 6 – 24 bulan di Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam Provinsi Aceh.
Jurnal Gizi Indonesia.Vol 3 No 1 : 38-42.
Sari, Rita, Apri Sulistiyaningsih. 2017. Faktor Determinan Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Stunting Pada Balita Di Kabupaten Pesawaran Lampung. Wacana
Kesehatan. 214.
Chirande, L., Charwe, D., Mbwana, H., Victor,R., Kimboka,S., Issaka, A.I,, Baines,
S.,K., Dibley, M.J., dan Agho, K.E. 2010. Penentu stunting dan stunting parah di
antara balita di Tanzania: bukti dari survei rumah tangga cross-sectional 2010.
Abuya, B.A., Ciera, J., & Murage, E.K. 2012. Effect of Mother’s Education on Child’s
Nutritional Status in The Slums of Nairobi. BMC Pediatrics.
Triana, Vivi. 2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap
Pada Bayi Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, , 10.2: 123-135.
Al-Rahmad, Agus Hendra; Miko, Ampera; Hadi, Abdul.2013. Kajian stunting pada anak
balita ditinjau dari pemberian ASI eksklusif, MP-ASI, status imunisasi dan
karakteristik keluarga di Kota Banda Aceh. J Kesehatan Ilmiah Nasuwakes, 6: 169-
84.
Simbolon, Demsa; Astuti, Wahyu Dwi; Andriani, Lusi. 2015. Mekanisme Hubungan Sosial
Ekonomi, Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan dan Kehamilan Risiko Tinggi
terhadap Prevalensi Panjang Badan Lahir Pendek. Kesmas: National Public Health
Journal, 9.3: 235-242.
Ni’mah, Khoirun dan Siti Rahayu Nadhiroh. 2015. Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Stunting pada Balita. Media Gizi Indonesia, Vol. 10, No. 1 Januari-Juni
2015: hlm. 13-19.Universitas Airlangga.
Rahayuh, Atikh; dkk. 2016. Faktor Risiko yang berhubungan dengan Kejadian Pendek pada
Anak Usia 6-24 bulan. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
134
Karaki, Karlie Bellafilly;dkk. 2016. Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Perilaku Sulit Makan
pada Anak Usia Prasekolah (3-5 tahun) di Taman Kanak-kanak Desa Palelon Kec.
Modoinding Minahasa Selatan. E journal Keperawatan, Vol. 4, No. 1 Februari 2016.
Sari, S. P. Konsumsi Rokok Dan Tinggi Badan Orangtua Sebagai Faktor Risiko Stunting
Anak Usia 6-24 Bulan Di Perkotaan. Ilmu Gizi Indonesia, 1, 1-9.
Lestari, Wanda, Ani Margawati, M. Zen Rahfiludin. 2014. “Faktor risiko stunting pada anak
umur 6-24 bulan di kecamatan Penanggalan kota Subulussalam provinsi Aceh”.
Jurnal Gizi Indonesia. Vol. 3, No. 1, Desember 2014: 37-45.
Wahdah, Siti, M. Juffrie, Emy Huriyati. 2015. “Faktor risiko kejadian stunting pada anak
umur 6-36 bulan di wilayah pedalaman Kecamatan Silat Hulu, Kapuas Hulu,
Kalimatan Barat”. Kurnal Gizi dan Dietetik Indonesia. Vol. 3 No. 2, Mei 2015: 119-
130.
Ni’mah, Cholifatun, Lailatul Muniroh. 2015. Hubungan tingkat pendidikan, tingkat
pengetahuan, dan pola asuh ibu dengan wasting dan stunting pada balita keluarga
miskin. Media Gizi Indonesia. Vol. 10, No. 1 Januari-Juni 2015: hlm. 84-90.
Sidhi, Alfia Nugrahani; Raharjo, Mursid; Dewanti, Nikie AstorinaYunita. 2016. Hubungan
Kualitas Sanitasi Lingkungan dan Bakteriologis Air Bersih terhadap Kejadian Diare
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Adiwerna Kabupaten Tegal. Jurnal
Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 4.3: 665-676.
Satyaningsih, Amita, et al. 2017. Gambaran Higiene Sanitasi dan Keberadaan Escherichia
Coli dalam Jajanan Kue Basah di Pasar Kota Kendari Tahun 2016. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, 2.5.
Cahyono, Firmanu; Manongga, Stefanus Pieter; Picauly, Intje. 2016. Faktor Penentu Stunting
Anak Balita pada Berbagai Zona Ekosistem di Kabupaten Kupang. Jurnal Gizi dan
Pangan, 11.1.
Kusumawati, Erna; Rahardjo, Setiyowati; Sari, HestiPermata. 2015. Model Pengendalian
Factor Risiko Stunting pada Anak Bawah Tiga Tahun. Kesmas: National Public
Health Journal, 9.3: 249-256.
Saxton, Jennifer, et al. 2016. Handwashing, Sanitation and Family Planning Practices are
The Strongest Underlying Determinants of Child Stunting in Rural Indigenous
Communities of Jharkhand and Odisha, Eastern India: a cross sectional
study. Maternal & child nutrition, 12.4: 869-884.
135
Torlesse, Harriet, et al. 2016. Determinants of Stunting in Indonesian Children: Evidence
From a Cross Sectional Survey Indicate a Prominent Role for The Water, Sanitation
and Hygiene Sector in Stunting Reduction. BMC public health, 16.1: 669.
Badriyah, Lulu’ul, Ahmad Syafiq. 2017. “The Association Between Sanitation, Hygiene, and
Stunting in Children Under Two-Years”. Makara J. Health Res., 2017, vol. 21 No. 2:
35-41.
Ulfani, D. H., Martianto, D., & Baliwati, Y. F. (2011). Faktor-faktor sosial ekonomi dan
kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi underweight, stunted, dan
wasted di Indonesia: Pendekatan ekologi gizi. Jurnal gizi dan pangan, 6(1), 59-65.
Ernawati, F., Rosamalina, Y., & Permanasari, Y. (2013). Pengaruh Asupan Protein Ibu Hamil
Dan Panjang Badan Bayi Lahir Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12
Bulan Di Kabupaten Bogor (Effect Of The Pregnant Women’s Protein Intake And
Their Baby Length At Birth To The Incidence Of Stunting Among
Children. Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition and Food
Research), 36(1), 1-11.
Oktarina,Zilda , Trini Sudiarti (2013). Faktor Risiko Stunting Pada Balita (24-59 Bulan) Di
Sumatra. Jurnal Gizi dan Pangan Volume 8 (3) : 175 -180
Merchant, A. T., et al. Water and sanitation associated with improved child growth. European
Journal of Clinical Nutrition, 2003, 57.12: 1562.
Najahah, Imtihanatun, 2014. Faktor Risiko panjang Lahir Bayi Pendek di Ruang Bersalin
RSUD Patut Patju Kabupaten Lombok Barat. Media Bina Ilmiah, Volume 8, no.1,
Februari 2014.
Maghfirah. 2013. Riwayat Hiperemesis Gravidarum Terhadap Resiko Kejadian Bayi Berat
Lahir Rendah di Banda Aceh. Idea Nursing Journal.
Liesmayani, Elvi Era. 2014. Hubungan Anemia pada Ibu Hamil dengan Kejadian Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR) di RSU Kabanjahe Tahun 2014. STIKes Helvita Medan.
Purwanti, Erna. 2015. Hubungan Antara Frekuensi Antenatal Care, Paritas, Hipertensi
dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di RSUP Prof Dr Kandou Manado.
Universitas Sam Ratulangi.
Nasikhah, Roudhotun. 2012. Faktor resiko kejadian Stunting pada Balita Usia 24-36 Bulan
di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrition College Vol 1 No 1 Tahun 2012.
Petrika, Y., Hadi, H. & Nurdiati, D. S., 2014. Tingkat asupan energi dan ketersediaan pangan
berhubungan dengan risiko kekurangan energi kronik (KEK) pada ibu hamil.
Journal Gizi dan Dietetik, pp. 140-149.
136
Sinaga, Eliani; Lubis, Zulhaida; Siagian, Albiner. Hubungan Asupan Protein Dan Zat Besi
Dengan Status Anemia Pada Ibu Hamil Di Desa Naga Timbul Kecamatan Tanjung
Morawakabupaten Deli Serdang Tahun 2014. Gizi, Kesehatan Reproduksi Dan
Epidemiologi, 2015, 1.1.
Reina Engle-Stone, Alex O. Ndjebayi, Martin Nankap, David W. Killilea, Kenneth H. Brown.
2014. “Stunting Prevalence, Plasma Zinc Concentrations, and Dietary Zinc Intakes
in a Nationally Representative Sample Suggest a High Risk of Zinc Deficiency
among Women and Young Children in Cameroon”.
Muliawati, Siti. 2013. “Faktor Penyebab Ibu Hamil Kurang Energi Kronis Di Puskesmas
Sambi Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali”. 2012. Boyolali. Jurnal Ilmiah
Rekam Medis Dan Informatika kesehatan. Vol 3, No 3 :2086-2628.
Darwanty, Jundradan Ari Antini. 2012. Kontribusi Asam Folatdan Kadar Haemoglobin pada
Ibu Hamil terhadap Pertumbuhan Otak Janin Di Kabupaten Karawang Tahun 2011.
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 2, Agustus 2012 : 82 – 90. Poltekkes
Kemenkes Bandung.
Muliawati, Siti. Faktor Penyebab Ibu Hamil Kurang Energi Kronis Di Puskesmas Sambi
Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali Tahun 2012. Infokes. Vol. 3, No. 3.
Petrika, Yanuarti. Hamam Hadi. Detty Siti Nurdiati. Tingkat Asupan Energi Dan
Ketersediaan Pangan Berhubungan Dengan Risiko Kekurangan Energi Kronik
(Kek) Pada Ibu Hamil. Jurnal Gizi Dan Dietetik Vol. 2, No. 3.
Yulianti,Lia, Sandra Wikawati.2008. “Pre-Eklampsia Berat di RSUD Bayu Asih
Purwakarta“. Purwakarta. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol 3 No 1.
Pasaribu, Luxi Riajuni. 2008. Gambaran Kondisi Pertambangan Batu Bara pada Kejadian
Status Gizi Ibu Hamil di Provinsi Kalimantan Selatan (Analisis Lanjut Riskesdas
2007). Pusat Biomedis.
Agustini, Ni Nyoman Mestri ;Nunuk Suryani ; Pancrasia Murdani. 2013. “Hubungan Antara
Tingkat Pengetahuan Ibu Dan Dukungan Keluarga Dengan Cakupan Pelayanan
Antenatal Di Wilayah Kerja Puskesmas Buleleng I”. Bali. Jurnal Kedokteran UNS.
Vol 1, No 1, 2013 (hal 67-79).
Arifin Rochman, Dan Sri Sumaryani. 2016. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang
Kebutuhan Gizi Ibu Hamil Dengan Status Gizi Ibu Hamil Di Puskesmas Pleret
Bantul. Yogyakarta. Naskah Publikasi Mahasiswa. Ilmu Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta : 1 - 18.
137
Rahman, Fasiha. 2017. Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Ibu Hamil Terhadap Pentingnya
Pemeriksaan Antenatal Care Di Puskesmas Namtabung Kec. Selaru Kabupaten
Maluku Tenggara Barat. Maluku. Global Health Science, Volume 2 Issue 1, Maret
2017 : 1 – 6.
Lestari, K. Susiana Dwi, I.W.G. Artawan Eka Putra, Mangku Karmaya1(2015). Paparan
Asap Rokok pada Ibu Hamil di Rumah Tangga terhadap Risiko Peningkatan
Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di Kabupaten Gianyar. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Universitas Udayana. Bali. Volume 3 nomor 1.
Ernawati,Fitriah. Djoko Kartono, Dyah Santi Puspitasari (2011). Hubungan Antenatal Care
dengan Berat Badan Lahir Bayi di Indonesia. Journal of Applied Gizi indon2011,
34(1):23-31.
Syarifuddin,Virdaus. Muhammad Hakimi, Berty Murtiningsih.(2011). Kurang Energy Kronis
Ibu Hamil sebagai Faktor Risiko Bayi Berat Lahir Rendah. Journal of Applied
Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 27, No. 4, Desember 2011.
Natalia, Sylvi. Sri Sumarmi, Siti Rahayu Nadhiroh. Cakupan ANC dan Cakupan Tablet Fe
Hubungannya dengan Prevalensi Anemia di Jawa Timur. Journal of Applied
Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga,
Surabaya.
Aprillia, Yesie. Hipnostetri : Rileks, Aman, dan Nyaman Saat Hamil dan Melahirkan.
Jakarta : Gagas Media, 2010.
Seprina, Zurni, et al. Faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Memilih Penolong Persalinan
Di Puskesmas XIII Koto Kampar I. Jurnal Kesehatan Komunitas, 2015, 2.6: 283-
288.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan
Dasar. Jakarta, 2013.
Suharjo, et al. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta : Kanisius, 2010.
Kisriaini. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Imunisasi Tetanus Toxoid pada Ibu
Hamil Trimester II dan Trimester III di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan
Simang Empat Kabupaten Tanah Bumbu. Jurnal Kesehatan STIKES Darul Azhar
Batulicin, 2017, 1.
Hafid, F. (2016) ‘Indonesian Journal of Human Nutrition’, Indonesian Journal of Human
Nutrition, 3(1), pp. 42–53. doi: 10.21776/ub.ijhn.2016.003.Suplemen.5.
138
Humphrey, J. H. (2009) ‘Child undernutrition, tropical enteropathy, toilets, and
handwashing’, The Lancet. Elsevier Ltd, 374(9694), pp. 1032–1035. doi:
10.1016/S0140-6736(09)60950-8.
Lestari, W., Margawati, A. and Rahfiludin, M. Z. (2014) ‘Faktor Risiko Stunting pada Anak
Umur 6-24 bulan di Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam Provinsi Aceh’,
Jurnal Gizi Indonesia, 3(1), pp. 37–45. doi: 10.14710/JGI.3.1.126-134.
Kementerian Kesehatan RI. Profi Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI, 2017.
139
LAMPIRAN
Lampiran 1 FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
STATUS GIZI BALITA DAN IBU HAMIL DI WILAYAH PUSKESMAS SAYUNG 2
KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN DEMAK.
NASKAH PENJELASAN
Wawancara dan pengukuran TB & BB akan memerlukan selama kurang lebih 30 menit/orang
2 kali kunjungan, sehingga hal ini akan menyita waktu Ibu. Keikutsertaan Ibu bersifat sukarela tanpa
paksaan dan apabila tidak berkenan dapat menolak dan sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri
tanpa sanksi apapun.Semua informasi wawancara dan pengukuran yang Ibu/Wali Asuh berikan
kepada kami akan dijaga kerahasiaannya dan tidak untuk kepentingan lain.
Apabila ada pertanyaan yang terkait wawancara ini dapat menghubungi :
Saya telah mendapatkan penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai hal yang
berkaitan dengan pengambilan data dasar ” Status Gizi Balita dan Ibu hamil di Wilayah Puskesmas
Sayung 2 yang akan dimulai 16 Oktober sampai dengan 23 Oktober 2017”. Saya memutuskan setuju
untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini secara sukarela tanpa paksaan. Bila saya inginkan maka
saya dapat mengundurkan diri sewaktu-waktu tanpa sanksi apapun.
MAHASISWA RESPONDEN
( ) ( )
140
Lampiran 2 Quesioner Ibu Hamil
2. Alamat : i.2.
3. RT : i.3.
4. RW : i.4.
5. Desa : i.5.
Tanggal i.8.
Lahir
2. PNS
3. Pegawai Swasta
4. Wiraswasta
5. Petani/nelayan/buruh
6. Lainnya i.16.
141
16. Tempat dan Tanggal Lahir Suami : Tempat i.18.
Tanggal i.19.
2. PNS
3. Pegawai swasta
4. Wiraswasta
5. Petani/nelayan/buruh
6. Lainnya i.22.
i.29.
Namasupervisor: ........................................... Tanda tangan : .............................
i.30.
Nama interviewer: ............................................. Tanda tangan : .............................
i.31.
Tanggal interviewer: .............................................
i.32.
Tanggal cek kuesioner: .............................................
142
BAGIAN 2: RIWAYAT KEHAMILAN
Saya ingin menanyakan sedikit tentang kehamilan ibu
r.3.
1. Jumlah seluruh kehamilan
Seumur hidup [NAMA] berapa
r.4.
jumlah kehamilan jumlah 2. Jumlah keguguran
3. keguguran, jumlah lahir hidup, r.5.
dan jumlah lahir mati? 3. Jumlah lahir hidup
r.6.
4. Jumlah lahir mati
Selama kehamilan ini, apakah [NAMA] pernah memeriksakan r.7.
kehamilan ke tenaga kesehatan (Dokter kandungan, dokter 1. Ya
4.
umum, bidan atau perawat)? 1. Tidak
2. RS Swasta 7 Poskesdes/Polindes
Dimana biasanya [NAMA] 3. Rumah Bersalin 8. Posyandu
8. memeriksakan kehamilan
tersebut? 4. Puskesmas/ Pustu
5. Praktek Dokter/ Klinik
9. Rumah dukun bayi
r.19.
10. 1. Ya 0. Tidak
143
Selama kehamilan apakah [NAMA] Bila ya, sebut:…….. r.20.
mengkonsumsi suplemen lain/vitamin selain zat
besi Bila ya, berapa kali, sebut… r.21.
18. Apakah ibu mendapatkan cukup perhatian dari suami 1. Ya 0. Tidak r.32.
21. Apakah ibu mendapatkan dukungan dari orang tua 1. Ya 0. Tidak r.35.
144
BAGIAN 3: Status keluhan dan penyakit à dicek buku KIA
Ibu saya ingin menanyakan tentang yang ibu rasakan selama kehamilan. Saya akan membacakan
beberapa pernyataan/kalimat, mohon ibu memberikan tanggapan ya atau tidakdari pernyataan tadi.
3. Bengkak kaki, tangan dan wajah, atau sakit kepala disertai kejang 1. Ya 0.Tidak p.3.
145
26. Pucat 1. Ya 0.Tidak p.26.
146
BAGIAN 4:PENGETAHUAN
Ibu saya ingin menanyakan tentang apa yang ibu ketahui. Saya akan
membacakan beberapa pernyataan/kalimat, mohon ibu memberikan tanggapan
salah atau benar pernyataan tadi.
Ibu perlu makan lebih banyak dari biasanya, supaya anak tidak lahir
1. 1 0 k.1.
kecil dan rawan terkena penyakit
Dalam sehari dianjurkan makan lauk pauk yang terdiri dari 3 porsi
6. lauk hewani dan 4 lauk nabati. Yang termasuk lauk hewani adalah 1 0 k.6.
telor, ikan, ayam, daging.
8. Manfaat lauk bagi ibu hamil adalah untuk pertumbuhan janin 1 0 k.8.
Dalam sehari ibu hamil dianjurkan mengkonsumsi sayur 4 porsi dan
9. buah 4 porsi. Yang termasuk sayur dan buah adalah bayam, kangkung, 1 0 k.9.
pisang, jeruk
Ibu hamil dapat terkena penyakit kurang darah, 7 dari 10 ibu hamil
10. mengalami kekurangan darah. Akibat dari penyakit kurang darah 1 0 k.10.
adalah terjadi perdarahan hebat saat melahirkan.
147
No Pernyataan Benar Salah Kode
Asam folat yang dimakan ibu berguna untuk pertumbuhan otak anak
dan mencegah cacat bawaan. Sumber asam folat adalah sayuran
11. 1 0 k.11.
berwarna hijau tua, alpokat, buncis, pepaya, kacang tanah, daging
ayam
Ibu tidak perlu memeriksakan kehamilan pada saat hamil sampai usia
12. 0 1 k.12.
kehamilan bulan ke 4
15. Ibu hamil selalu mengalami mual muntah pada trimester pertama 0 1 k.15.
Kekurangan asupan iodium pada masa kehamilan dapat menyebabkan 1 0
16. k.16.
kecacatan pada janin
Keluhan-keluhan seperti pusing, lemah, kaki bengkak yang dirasakan 0 1
17. k.17.
ibu hamil adalah hal yang biasa sehingga tidak perlu diatasi
18. Ibu hamil tidak boleh mengkonsumsi obat tanpa resep dokter 1 0 k.18.
19. Salah satu cara mencegah sembelit yaitu dengan banyak makan sayur 1 0 k.19.
Disarankan agar ibu tidak bekerja terlalu berat untuk mengatasi gejala 1 0
20. k.20.
cepat lelah dan lemas.
148
BAGIAN 5: SIKAP
Ibu saya sekarang ingin menanyakan tentang pendapat ibu. Saya akan membacakan beberapa
pernyataan/kalimat, mohon ibu memberikan tanggapan pernyataan tadi, yaitu sangat setuju, setuju,
tidak setuju, sangat tidak setuju
Kode
Skore
Sangat tidak
Sangat setuju
Tidak setuju
Setuju
No Pernyataan
setuju
Saya merasa sehat, jadi saya enggan memeriksakan diri ke
1. 1 2 3 4 s.1
petugas kesehatan
11. Saya tidak peduli dengan pertambahan berat badan saya 1 2 3 4 s.11
14. Saya ingin mengetahui cara perawatan payudara yang baik 4 3 2 1 s.14
Saya mengkonsultasikan penambahan berat badan yang
15. 4 3 2 1 s.15
seharusnya dicapai
16. Menurut saya tidak perlu cek darah selama hamil 1 2 3 4 s.16
149
Walaupun saya hamil saya tetap senang mengangkat
17. 1 2 3 4 s.17
barang berat
7. Jenis sumber air utama 1. Air Kemasan bermerk 2. Air isi ulang e.29.
untuk kebutuhan 3. Air Ledeng/PDAM 4. Air ledeng
minum? eceran/membeli
5. Sumur bor/pompa 6. Sumur gali terlindung
150
11. Air 12. Lainnya . . .
permukaan(sungai/danau
/irigasi)
9. Penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian 1. Milik sendiri e.30.
besar anggota rumah tangga: 2. Milik bersama
3. Umum
4. Tidak ada→P.10
10. Jenis kloset yang 1. Leher angsa 3. Cemplung/cubluk/ lubang tanpa lantai e.31.
digunakan: 2. Plengsengan 4. Cemplung/cubluk/ lubang dengan lantai
5. Closet duduk
5. Kolam/sawah
6. Sungai/danau/laut
e. AC 1. Ya 0. Tidak e.37.
14. Bagaimana cara utama dalam menangani sampah rumah 1. Diangkut 2. Dibuang e.48.
tangga ? petugas sendiri ke
TPS
151
3. 4. Dibuat
Ditimbun kompos
dalam
tanah
5. Dibakar 6. Dibuang
ke
kali/parit/lau
t
7. Dibuang
sembarang
an
152
Lampiran 3 Quesioner Ibu Balita
BAGIAN 1: IDENTITAS
153
28. Pekerjaan Ibu : i.30.
1. Tidak Bekerja 3. Petani/nelayan/buruh
1. Pegawai
2. Wiraswasta
5. Lainnya, sebut:………………….. i.31.
29. Nama Ayah : i.32.
30. Tempat dan Tanggal Lahir Ayah : Tempat lahir ayah : i.33.
Tanggal i.34.
Lahir ayah :
31. Pendidikan Ayah : i.35.
1. Tidak sekolah 4. Tamat SMP/MTS
2. Tidak Tamat SD/MI 5. Tamat SMA/MA
3. Tamat SD/MI 6. Tamat Diploma/Sarjana
32. Pekerjaan Ayah : i.36.
1. Tidak Bekerja 4. Petani/nelayan/buruh
2. Pegawai
3. Wiraswasta
5. Lainnya, sebut:………………….. i.37.
33. Tinggi Badan ayah : cm i.38.
34. Jumlah Anak Hidup : anak i.39.
35. Jumlah Anak Pernah Dilahirkan : anak i.40.
36. Jumlah Anggota Keluarga : jiwa i.41.
37. Jumlah Balita dalam Satu Desa : 0-6 bulan : Anak i.42.
7-11 bulan : Anak i.43.
12-24 bulan : Anak i.44.
25-59 bulan : Anak i.45.
154
BAGIAN 2: POLA ASUH ANAK
Saya ingin menanyakan sedikit tentang diri dan kegiatan bapak/ibu yang berkaitan dengan ASI dan
cara mengasuh anak
Dimanakah ibu melahirkan? a.1.
1. Di rumah
1. 4. Puskesmas
2. Rumah Sakit
3. Rumah Bersalin
Siapa yang menolong persalinan putra ibu? a.2.
(Penolong pertama)
1. Dokter
2.
2. Bidan
3. Perawat
4. Dukun bayi
Siapa yang menolong persalinan putra ibu? a.3.
(penolong terakhir)
1. Dokter
2. Bidan
3. Perawat
4. Dukun bayi
Ketika pulang bersalin apakah Ibu diberi bekal susu 1. Ya a.4.
3.
formula dari petugas tempat bersalin? 0. Tidak
Apakah bayi setelah lahir diletakkan di perut ibu? 0. Tidak dilakukan a.5.
1. Dilakukan
4.
Berapa lama ibu melakukan pelekatan setelah bayi
…… menit
lahir? a.6.
Apakah ibu masih menyusui putra ibu? Bila ya lanjut pertanyaan 1. Ya a.24.
17.
ke 18 0. Tidak
18. Bila tidak, sejak anak umur berapa bulan tidak disusui lagi? ……….bulan a.25.
19. Berapa kali sehari anak makan? ........kali a.26.
Apa yang ibu lakukan apabila anak susah makan?
a. Meminta saran kepada kader/ ahlinya 1. Ya 0. Tidak a.27.
b. Membiarkan anak 1. Ya 0. Tidak a.28.
20.
c. Memarahi anak 1. Ya 0. Tidak a.29.
d. Mengajak anak makan bersama teman atau keluarga 1. Ya 0. Tidak a.30.
e. Membuat variasi makanan 1. Ya 0. Tidak a.31.
Apa yang ibu lakukan bila anak tidak menghabiskan makanan?
a. Berupaya membujuk anak 1. Ya 0. Tidak a.32.
21. b. Membiarkan anak 1. Ya 0. Tidak a.33.
c. Memarahi anak 1. Ya 0. Tidak a.34.
d. Menghabiskan makanan anak 1. Ya 0. Tidak a.35.
22. Apakah ibu memberikan makan selingan / snack pada anak? 1. Ya 0. Tidak a.36.
23. Apakah ibu selalu memasakkan makanan untuk anak? 1. Ya 0. Tidak a.37.
24. Apakah ibu membiasakan anak makan sayur? 1. Ya 0. Tidak a.38.
25. Apakah ibu membiasakan anak makan buah? 1. Ya 0. Tidak a.39.
26. Apakah ibu mengijinkananak jajan sembarangan? 1. Ya 0. Tidak a.40.
27. Apakah ibu selalu menemani anak saat makan? 1. Ya 0. Tidak a.41.
Dalam 6 bulan terakhir ini, berapa kali ibu membawa anak ke a.42.
28. …… kali
posyandu? Isikan berapa kali, cek buku KIA
29. Apakah ibu selalu menemani anak bermain? 1. Ya 0. Tidak a.43.
30. Apakah ibu merawat anak sendiri? Jika tidak lanjut ke no 31 1. Ya 0. Tidak a.44.
1. Suami a.45.
Jika tidak, siapa yang membantu ibu mengasuh 2. Ibu/mertua
31.
anak? 3. Pengasuh anak
4. Tetangga
32. Apakah ibu selalu ada di samping anak saat sakit? 1. Ya 0. Tidak a.46.
Apakah ibu membiasakan memberikan obat kepada a.47.
33. 1. Ya 0. Tidak
anak tanpa resep dokter?
34. Apakah ibu memeriksakan anak ketika sakit? 1. Ya, lanjut no 35. 0. Tidak a.48.
156
1. Mantri a.49.
2. Bidan
35. Dimana ibu memeriksakan anak ketika sakit? 3. Dokter
4. Puskesmas
5. Dukun
157
BAGIAN 3: Status Infeksi ( diadopsi dari UNICEF, MICS 2004)
Sekarang saya akan menanyakan tentang keadaan kesehatan putra/putri ibu
1. Dalam 1 bulan terakhir, apakah putra Ibu pernah buang air besar p.1.
1. Ya 0.Tidak
encer dalam sehari lebih dari 3 kali?
Dalam 1 bulan terakhir, apakah putra Ibu pernah sakit batuk? 1. Ya 0.Tidak p.2.
a.Jika ya, apakah dibarengi dengan nafas cepat atau kesulitan p.3.
3. 1. Ya 0.Tidak
bernafas?
p.4.
b.Apakah pernah mengalami hidung tersumbat? 1. Ya 0.Tidak
p.5.
1. Tempat sampah tertutup
5. Dimana ibu membuang sampah?
1. Tempat sampah terbuka p.6.
1. Penampungan tertutup di pekarangan/ SPAL p.7.
Dimana tempat pembuangan air 2. Penampungan terbuka di pekarangan
6. limbah dari kamar mandi/ tempat 3. Penampungan di luar pekarangan
cuci/ dapur? 4. Tanpa penampungan (di tanah)
5. Langsung ke got/ sungai
1 Listrik p.8.
3. Minyak tanah
Apa jenis bahan bakar/energi utama yang
7. 2. Gas/elpiji
digunakan untuk memasak?
4. Arang/briket/batok kelapa
5. Kayu bakar
Berasal dari mana sumber air minum yang dikonsumsi? p.9.
8.
1. Sumur 3. Artetis 5. PAM
8.
2. Air Galon4. Sungai
9. Apakah [RUMAH TANGGA] selama sebulan yang lalu menggunakan/ 1.Ya0. p.10.
8. menyimpan pestisida/ insektisida/ pupuk kimia di dalam rumah? Tidak
1. Milik sendiri 3. Umum p.11.
10. a. Penggunaan fasilitas tempat buang air besar
2. Milik bersama 4. Di kebon
9. sebagian besar anggota rumah tangga:
5. Di sungai 5. Tidak ada
1. Leher angsa p.12.
2. Plengsengan (jamban yang salurannya
b. jika menggunakan jamban,
miring)
Jenis jamban yang digunakan :
3. Cemplung/ cubluk/ lubang tanpa lantai
4. Cemplung/ cubluk/ lubang dengan lantai
11. Apakah (NAMA) selalu mencuci 1. Sebelum menyiapkan makanan p.13.
1. tangan dengan sabun ? 2. Sebelum menyusui bayi
Bolehkah saya melihat kemasan garam yang p.14.
14. Apakah [NAMA(ayah)] merokok selama 1 bulan terakhir? (bacakan jawaban) p.16.
1 1. Ya, setiap hari
2. Ya, kadang-kadang
3. Tidak, tapi sebelumnya pernah merokok tiap hari
4. Tidak, tapi sebelumnya pernah merokok kadang-kadang
158
5. Tidak pernah sama sekali
Apakah dalam 6 bulan terakhir [NAMA] putra/putri ibupernah mendapatkan kapsul p.17.
15.
vitamin A? (GUNAKAN KARTU PERAGA)
1
1. Ya 3.Belum waktunya (umur ≤ 6 bulan)
2. Tidak pernah 4. Tidak Tahu
16.
STATUS IMUNISASI (Jika Ibu tidak tahu, cek buku KIA/ KMS)
5
17.
Apakah anak ibu sudah melakukan imunisasi?
5
HBO 1. Ya 0. Tidak p.18. HBO 1. Ya 0. Tidak p.19.
Campak 1. Ya 0. Tidak p.20. BCG 1. Ya 0. Tidak p.21.
DPT 1. Ya 0. Tidak p.22. IPV 1. Ya 0. Tidak p.23.
Hib 1. Ya 0. Tidak p.24. Polio 1. Ya 0. Tidak p.25.
18. Apakah berat badan anak selalu naik selama 6 bulan sesuai p.26.
1. Ya 0. Tidak
5 dengan KMS?
19. p.27.
Apakah anak ibu pernah terluka? 1. Ya 0. Tidak
5
20. Apakah ibu membersihkan luka anak menggunakan air bersih p.28.
1. Ya 0. Tidak
5 yang mengalir?
159
BAGIAN 4. PENGETAHUAN
Ibu saya ingin menanyakan tentang apa yang ibu ketahui. Saya akan membacakan beberapa
pernyataan/kalimat, mohon ibu memberikan tanggapan salah atau benar pernyataan tadi.
N
Pernyataan Benar Salah Kode
o
Bayi umur <6 bulan sudah boleh diberi makanan minuman selain
1. 0 1 k.21.
ASI.
2. Anak cukup diberi ASI saja sampai usia 6 bulan 1 0 k.22.
3. ASI dapat menjaga daya tahan tubuh anak sehingga tidak mudah sakit 1 0 k.23.
Sebaiknya ibu memberi ASI pada anak sampai paling sedikit sampai
4. 1 0 k.24.
umur 2 tahun
5. Makanan sehat adalah makanan yang membuat anak kenyang. 0 1 k.25.
Dalam sehari dianjurkan mengkonsumsi makanan pokok 3 – 4 porsi. Yang
6. 1 0 k.26.
termasuk makanan pokok adalah nasi, singkong, ubi
Dalam sehari dianjurkan mengkonsumsi lauk pauk 2 – 4 porsi. Yang
7. 0 1 k.27.
termasuk lauk pauk adalah pentol bakso, mi, bakwan.
Lauk pauk berguna untuk pertumbuhan dan menjaga daya tahan
8. 1 0 k.28.
tubuh anak supaya tidak mudah sakit.
9. Dalam sehari anak dianjurkan makan sayur 2-3 porsi 1 0 k.29.
10. Ibu tidak perlu mencuci tangan saat menyuapi anaknya. 0 1 k.30.
Bila seorang anak kekurangan makanan bergizi dapat menyebabkan
11. 1 0 k.31.
anak kurang pintar di sekolah
12. Anak yang pendek akan lebih rentan sakit saat tua 1 0 k.32.
Anak diare merupakan hal normal karena merupakan tanda anak akan
13. 0 1 k.33.
tumbuh tinggi (ngenteng-ngenthengi)
14. Bila anaktidak naik berat badannya sekali, merupakan hal yang wajar 0 1 k.34.
Garam beryodium dapat mencegah kekurangan iodium yang
15. 1 0 k.35.
menyebabkan anak kurang pandai di sekolah
Anak perlu dibawa ke Posyandu setiap bulan untuk ditimbang dan
16. 1 0 k.36.
diukur panjang atau tinggi badannya
Anak yang diberi ASI lebih kurus daripada anak yang diberi susu
17. 1 0 k.37.
formula
18. Anak perlu diberi Vitamin A selama 2x setelahumur 12 bulan 1 0 k.38.
Makanan padat perlu dikunyah terlebih dahulu oleh ibu sebelum
19. 0 1 k.39.
diberikan pada anak
Anak dilarang makan ikan dalam jumlah berlebih karena
20. 0 1 k.40.
menyebabkan cacingan.
21. Pemberian susu kepada anak melalui dot 0 1 k.41.
22. Alat makan anak dibersihkan secara terpisah dari alat makan keluarga 1 0 k.42.
Tahapan pemberian makan pada anak dimulai dari bubur, tim,
23. 1 0 k.43.
makanan dewasa
Saat anak rewel, orang tua / pengasuh memberi snack seperti kerupuk
24. 0 1 k.44.
agar anak tidak rewel
160
BAGIAN 5: SIKAP
Ibu saya sekarang ingin menanyakan tentang pendapat ibu. Saya akan membacakan beberapa
pernyataan/kalimat, mohon ibu memberikan tanggapan pernyataan tadi, yaitu sangat setuju, setuju,
tidak setuju, sangat tidak setuju
tidak
Kode
Skore
Sangat setuju
Tidak setuju
setuju Sangat
Setuju
No Pernyataan
Saya merasa kasihan bila anak hanya diberi ASI saja sejak s.21
1. 1 2 3 4
lahir sampai umur 6 bulan
Saya merasa repot bila sekali makan harus menyediakan nasi, s.22
2. 1 2 3 4
lauk, dan sayur
Saya suka memberi makan anak saya nasi dengan lauk mie s.23
3. 1 2 3 4
instan karena praktis dan bergizi
Saya yakin ASI dapat menambahdaya tahan tubuh anak s.24
4. 4 3 2 1
sehingga tidak mudah sakit
Sebelum menyuapi anak, saya merasa tidak perlu mencuci s.25
5. 1 2 3 4
tangan dengan sabun bener
6. Lauk dari hewani itu penting supaya anak dapat tumbuh tinggi 4 3 2 1 s.26
Nasi dengan lauk tempe lebih bergizi daripada nasi dengan s.27
7. 4 3 2 1
lauk bakwan jagung.
8. Garam beryodium mahal, sehingga saya tidak memakainya 1 2 3 4 s.28
Kalau anak batuk pilek merupakan hal yang biasa, tidak akan s.29
9. 1 2 3 4
menggangu pertumbuhan anak saya
Sayur penting untuk kesehatan anak sehinggadapat mencegah s.30
10. 4 3 2 1
penyakit
Buah penting untuk anak akrena dapat menjadikan sehat s.31
11. 4 3 2 1
sehingga dapat mencegah penyakit
Menurut saya, dalam memberikan makanan kepada anak s.32
12. 1 2 3 4
balita yang penting anak kenyang
13. Saya akan memaksa anak saya jika anak tidak mau makan 4 3 2 1 s.33
14. Saya suka memasak berbagai jenis makanan untuk anak 4 3 2 1 s.34
Sangat penting untuk menimbangkan anak balita ke posyandu s.35
15. 4 3 2 1
setiap bulan agar bisa mengetahui pertumbuhannya
Saya merasa harus segera konsultasi kepada petugas s.36
16. kesehatan jika berat badan anak balita turun dibandingkan 4 3 2 1
bulan lalu dan berada pada pita merah
17. Saya tidak peduli bila anak saya kelak pendek 1 2 3 4 s.37
Saya tidak suka ada ayah yang merokok karena dapat s.38
18. 4 3 2 1
mengurangi biaya makan bergizi anaknya
Saya merasa anak saya tidak perlu mendapatkan imunisasi s.39
19. karena setelah mendapat imunisasi anak saya demam dan 1 2 3 4
rewel
Saya merasa repot jika harus memberikan ASI hingga anak s.40
20. 1 2 3 4
saya berumur 2 tahun
161
tidak
Kode
Skore
Sangat setuju
Tidak setuju
setuju Sangat
Setuju
No Pernyataan
21. Saya merasa jika anak saya gendut berarti sehat 1 2 3 4 s.41
22. Saya hanya memberikan makanan yang anak saya sukai 1 2 3 4 s.42
23. Saya merasa susu formula lebih bergizi dari pada ASI 1 2 3 4 s.43
162
FORM KEPEMILIKAN PEMUKIMAN DAN EKONOMI
Sekarang saya akan menanyakan tentang kepemilikan pemukiman dan ekonomi ibu
Apakah status penguasaan 8. Milik sendiri e.1.
bangunan tempat tinggal yang
ditempati? 9. Kontrak
15. 10. Sewa/Kos
11. Bebas sewa (milik orang lain)
12. Bebas sewa (milik orang tua/sanak/saudara)
13. Rumah dinas
14. Tinggal bersama orangtua/sanak/saudara
16. c. Luas lantai bangunan rumah …………..m2 e.2.
d. Jumlah orang yang tinggal dalam satu bangunan rumah …………..orang e.3.
17. Jenis lantai rumah terluas: 5. Keramik/ubin/marmer/ semen e.4.
6. Semen plesteran retak
7. Papan/bambu/anyaman bamboo/rotan
8. Tanah
18. Jenis dinding terluas: 5. Tembok 6. Kayu/papan/triplek e.5.
7. Bambu 8. Seng
21. Jenis sumber air utama 12. Air Kemasan 13. Sumur gali tak terlindung e.8.
untuk kebutuhan 14. Air Isi Ulang tanpa merk 15. Mata air terlindung
minum?
16. Air Ledeng/PDAM 17. Mata air tidak terlindung
22. Penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian 5. Milik sendiri e.9.
besar anggota rumah tangga: 6. Milik bersama
7. Umum
8. Tidak ada→P.10
23. Jenis kloset yang 1. Leher angsa 2. Cemplung/cubluk/ lubang tanpa lantai e.10.
digunakan: 3. Plengsengan 4. Cemplung/cubluk/ lubang dengan lantai
5. Closet duduk
24. 7. Tangki septik 8. Lubang tanah e.11.
163
Tempat pembuangan 9. SPAL 10. Pantai/tanah lapang/kebun
akhir tinja:
11. Kolam/sawah
12. Sungai/danau/laut
s. AC 1. Ya 0. Tidak e.16.
29. 7. Dengan 8.
pengang
kutan
setiap
minggu
164
Lampiran 4 Form Recall
QUICK LIST (Hari ke 1)
165
166
FORM RECALL MAKAN 2 x 24 jam (Hari 1)
167
BAHAN MAKANAN
WAKTU
NAMA MASAKAN BANYAKNYA
MAKAN
BAHAN MAKANAN URT GRAM
168
FORM REKAPITULASI (Hari 1)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
169
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
TOTAL
170
171
FORM RECALL MAKAN 2 x 24 jam (Hari 2)
172
BAHAN MAKANAN
WAKTU
NAMA MASAKAN BANYAKNYA
MAKAN
BAHAN MAKANAN URT GRAM
173
Recall hari 2 / Tanggal :
174
FORM REKAPITULASI (Hari 2)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
175
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
Kode Jumlah
176