Anda di halaman 1dari 17

Nama : Albert Simorangkir

Selamat Saragih

Tiurman Silitonga

Yosep Afandi Sinaga

Mata Kuliah : Dogmatika III

Dosen : Pdt. Ricardo Turnip, M. Th.

Tradisi Mempengaruhi Gereja


1. Pendahuluan

Puji dan Syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih dan penyertaanya
kepada kami kelompok dapat menyelesaikan sebuah tulisan ini. Tulisan ini adalah sebuah
persyaratan didalam Mata Kuliah Dogmatika III yang diampuh oleh bapak Pdt. Richardo
Turnip, M.Th, dimana kami kelompok membahas dan menggali bagaimana “sebuah tradisi
yang ada di masyarakat memperngaruhi sebuah gereja”. Apakah tradisi itu harus ditolak?
Atau apakah tadisi itu harus berbaur dengan kehidupan gerejawi? Atau siapakah yang
dominan gereja atau tradisi didalam kehidupan Kristen?

Disinilah kami kelompok membahas dengan seksama, bagaimana sebuah tradisi


tersebut yang berkembang didalam kehidupan gerejawi. Sebab tradisi adalah sebuah
kebiasaan yang turun-temurun di lakukan masyarakat. Poitr Sztompka juga menjelaskan
bahwa tradisi adalah kesamaan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu
namun masih ada hingga kini dan belum dihancurkan atau dirusak. Tradisi dapat di artikan
sebagai warisan yang benar atau warisan masa lalu. Bukan hanya didalam kehidupan
masyarakat, didalam Perjanjian Lama pun banyak sekali tradisi yang mempengaruhi dan
bahkan hingga didalam Perjanjian Baru yakni kepada Yesus Kristus yang hidup didalam
tradisi Yahudi. Disini kelompok juga ingin menyajikan bagaimana sebuah kebudayaan/
tradisi didalam penyebaran Injil dikehidupan masa kini.

Sedangkan Istilah Gereja berasal dari bahasa Portugis dengan sebutan igreya dan
dalam bahasa Yunani disebut dengan ekklesia yang berarti sidang, jemaat, atau kumpulan.
Perkumpulan ini mengaku Yesus sebagai juruselamat dan mengambil bentuk menjadi suatu

1
lembaga beserta segala peraturannya. Secara lebih konkritnya gereja dapat diartikan sebagai
alat yang dipergunakan Tuhan untuk menjadikan manusia memperoleh keselamatan, menjadi
kesaksian tentang Kristus, dan menurut Kart Barth gereja adalah lingkaran atau ruangan yang
bukan hanya ruangan dari batu-batu melainkan ruangan dalam arti kiasan, dimana
berlangsung pemberitaan Firman Allah serta pelayanan Sakramen. Dengan demikian, gereja
yang diartikan sebagai persekutuan jemaat terlihat sebagai kerajaan dimana Allah sendiri
yang memerintah (bnd. Ef 4:15), artinya bahwa Allah sendiri yang memerintah, dan
kedaulatan Allah mutlak atas proses pelaksanaan misi yang ada di dalamnya.

Pembahasan dari topik yang kelompok lebih mengarah kepada tradisi orang batak.
Bahwa ada banyak tradisi orang Batak sudah mengakar ke dalam diri orang Batak itu sendiri.
Tetapi, penulis akan mencoba membahas beberapa tradisi orang Batak dahulu yang hingga
sekarang diadaptasi menjadi bentuk tradisi daripada gereja itu sendiri, yaitu: Martutu Aek
dan Perkawinan. Dalam konteks budaya batak, secara konkritnya “Bius” (system
kepercayaan) tradisi Batak Toba resmi dihapuskan dan tidak boleh digunakan lagi oleh orang
Batak Kristen. Artinya para Gereja telah menggolongkan dan member sekat terhadap nilai
tradisi tersebut. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa satu bagian pokok tradisi tersebut
dinyatakan musnah/dihapuskan oleh gereja. Seiring dengan itu, gereja juga telah membangun
peradaban warga. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa proses misi telah membawa
pertentangan nilai yang lebih maju dari sebelumnya. Pertentangan nilai telah terjadi, dengan
menggantikan tradisi kebudayaan Batak dengan bentuk kepercayaan yang sama sekali baru,
yakni kepercayaan/agama Kristen.

Gereja secara umum tidak terlepas dari keberadaannya sebagai gereja lokal yang
hadir untuk melayani orang banyak. Gereja berdiri, bukanlah bangunan tunggal yang berdiri
sendiri, tetapi gereja berdiri juga memperhatikan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu
gereja merupakan salah satu motivator yang tepat untuk membangun masyarakat Batak Toba
dalam dimensi kemanusiaannya.

2. Etimologi dan Terminologi


2.1. Tradisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tradisi adalah sebuah kebiasaan yang
turun-temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat. Poitr Sztompka juga menjelaskan

2
bahwa tradisi adalah kesamaan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu
namun masih ada hingga kini dan belum dihancurkan atau dirusak. Tradisi dapat di artikan
sebagai warisan yang benar atau warisan masa lalu. Namun demikian tradisi yang terjadi
berulang-ulang bukanlah dilakukan secara kebetulan atau disengaja.1

Dari pemahaman tersebut maka apapun yang dilakukan oleh manusia secara turun
temurun dari setiap aspek kehidupannya yang merupakan upaya untuk meringankan hidup
manusia dapat dikatakan sebagai “tradisi” yang berarti bahwa hal tersebut adalah menjadi
bagian dari kebudayaan. Secara khusus tradisi oleh C.A. van Peursen diterjemahkan sebagai
proses pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta.
Tradisi dapat dirubah diangkat, ditolak dan dipadukan dengan aneka ragam perbuatan
manusia.2

Menurut arti yang lebih lengkap bahwa Adapun pengertian yang lain Tradisi (Bahasa
Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah
sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang
sama. Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu dimasa kini ketimbang sekedar menunjukan
fakta bahwa masa kini berasal dari merupakan dibuang atau dilupakan. Maka di sini tradisi
hanya berarti warisan, apa yang benar-benar tersisa dari masa lalu. Hal ini senada dengan apa
yang dikatakan Shils. keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu
namun benar-benar masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak, “Tradisi berarti segala
sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini.3

Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian yang tersembunyi


tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk kepada sesuatu yang
diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Tradisi
memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang
bersifat duniawi maupun terhadap hal yang gaib atau keagamaan. Di dalam suatu tradisi
diatur bagaimana manusia berhubungan dengan manusia lain atau satu kelompok dengan
kelompok lain, bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya dan bagaimana
manusia berperilaku terhadap alam yang lain. Ia berkembang menjadi suatu sistem yang
memiliki pola dan norma dan sekaligus juga mengatur penggunaan sanksi dan ancaman

1
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2007), 69.
2
C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisisus, 1988), 11.
3
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Pernada Media Grup, 2007), 70

3
terhadap pelanggaran dan penyimpangan. Sebagai sistem budaya, tradisi menyediakan
seperangkat model untuk bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan
utama. Tradisi juga merupakan suatu sistem yang menyeluruh, yang terdiri dari cara aspek
yang pemberian arti perilaku ajaran, perilaku ritual dan beberapa jenis perilaku lainnya dari
manusia atau sejumlah manusia yang melakukan tindakan satu dengan yang lain. 4

Sementara dalam Perjanjian Lama istilah tradisi dalam kata Ibrani choq, chuqqah, dan
mishpat, yang mempunyai arti: kebiasaan keputusan atau ketetapan, tata tertib, undang-
undang, hukum, maupun adat-istiadat,. Dalam beberapa nas, antara lain Kel 15:25; Yos
24:25; Ezr 7:10; Yeh 20:18; 1 Sam 30:25, yang berhubungan dengan kata choq adalah
kebiasaan turun-temurun, yang dilakukan oleh manusia yang berguna untuk melindungi dan
menjaga kehidupan manusia agar lebih tertil, aman, dan sejahtera.5

Perjanjian Lama juga dipertegas tentang adat atau kebiasaan yang dilarang dan tidak
diijinkan Tuhan untuk dilakukan oleh umat-Nya. Dalam 2 Raj 17:8; Tuhan melarang umat
Israel meniru dan mempraktekkan adat-istiadat bangsa-bangsa lain, yaitu perlakuan untuk
menyembah berhala dan pola hidup yang bertentangan dengan kehendak Allah. Dalam kitab
Imamat juga dijelaskan bahwa TUhan melarang umat-Nya melakukan kebiasaan masyarakat
Mesir (Im 18:3). Dalam Yer 10:2, umat Tuhan dilarang untuk mengikuti kebiasaan bangsa-
bangsa sekitar, yaitu penyembahan berhala, mempercayai kuasa dari benda-benda tertentu
melebihi kuasa Tuhan, penyembahan patung dan segala bentuk kesia-siaan lainnya.6

Sementara dalam Perjanjian Baru, tradisi adalah terjemahan dari kata paradosis yang
mempunyai arti “adat-istiadat” (Mat. 15:2,6; Mrk. 7:3,5,8,9,13; Gal. 1:14), dan kata “ethos”
yang mempunyai arti “kebiasaan” (Yoh 19:40; Kis. 6:14). Perjanjian Baru menunjukkan
bahwa masyarakat Yahudi mempunyai adat-istiadat atau kebiasaan yang diwarisi dari nenek
moyang mereka. Dasar timbulnya adat ini adalah hukum Taurat dan kebiasaan-kebiasaan
yang mereka serap dari suku bangsa di sekitar mereka. Adat atau kebiasaan ini adalah
ketentuan manusia yang dipahami secara legalitas serta dipandang kudus di kalangan orang-
orang Farisi pada zaman Yesus.7

Yesus mengikuti tradisi yang diatur oleh Musa, di mana setiap anak sulung berumur 8
hari harus dibawa ke Bait Allah untuk diserahkan kepada Allah (Luk. 2:22-23). Pada saat

4
Mattulada, Kebudayaan Kemanusiaan Dan Lingkungan Hidup, (Hasanuddin University Press, 1997), 1
5
J. Philip Hyatt, Essay in Old Testament Ethichs, (New York: Ktav Publishing House, 1974), 50-70.
6
J. Philip Hyatt, Essay in Old Testament Ethichs, 65-70.
7
Brian K. Blount, Cultural interpretation (Menneapolis: Fortress Press 1995), 35.

4
memulai pelayanannya Yesus mengikuti dan menghargai adat Yahudi tentang perjamuan
kawin di Kana (Yoh. 2:1-11). Dalam Mat. 12;1-8; orang Farisi dan ahli Taurat mengecam
murid-murid Yesus yang dianggap melanggar adat Yahudi, di mana murid-murid memetik
dan memakan bulir-bulir gandum pada hari Sabat, dan seolah-olah Yesus tidak
mempedulikan pelanggaran tersebut. Yesus dengan tegas menampik tuduhan itu dengan
mengambil contoh apa yang dilakukan Daud (1 Sam. 21:1-6). Ini menunjukkan bahwa Yesus
menghargai tradisi tetapi Dia tidak menghendaki pengagungan adat di atas penyelamatan
kehidupan manusia.8

Dengan demikian, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, tradisi merupakan
seperangkat model untuk bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan
utama. Jadi yang menjadi hal penting dalam memahami tradisi adalah sikap atau orientasi
pikiran atau benda material atau gagasan yang berasal dari masa lalu yang diteruskan orang di
masa kini. Sikap dan orientasi ini menempati bagian khusus dari keseluruhan warisan historis
dan mengangkatnya menjadi tradisi. Arti penting penghormatan atau penerimaan Sesuatu
yang secara sosial ditetapkan sebagai tradisi menjelaskan betapa menariknya fenomena
tradisi itu.

2.2. Gereja

Istilah Gereja berasal dari bahasa Portugis dengan sebutan igreya dan dalam bahasa
Yunani disebut dengan ekklesia yang berarti sidang, jemaat, atau kumpulan. Perkumpulan ini
mengaku Yesus sebagai juruselamat dan mengambil bentuk menjadi suatu lembaga beserta
segala peraturannya.9 Ada banyak istilah atau sebutan lain yang digunakan untuk menyebut
makna gereja, seperti church (Inggris), Kircke (Jerman), dan Kerk (Belanda).

Dalam Perjanjian Lama gereja identik dengan suatu sebutan istilah yaitu qahal yang
artinya menyatakan ucapan, menyatakan suatu undangan untuk sebuah tindakan persekutuan,
atau dekat dengan pengertian sebagai perkumpulan bersama dengan esensi sebagai suatu
komunitas yang sifatnya teokrasi dan dikumpulkan oleh Allah (Bnd. Ul 5:25).10 Kemudian
qahal juga dapat diartikan sebagai pertemuan, rapat, jemaat atau kumpulan manusia,

8
Brian K. Blount, Cultural interpretation 37-39.
9
H. Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), 362.
10
C. Greg Singer, "Congregation", dalant Philip E Huges (ed), Encyclopedia of Christianity, Vol. 111,
(Delaware: The National. Foundation for Christian Education, 1972). 142.

5
sekumpulan tentara (Yeh 17:17), kerumunan orang banyak, sekumpulan orang banyak yang
mengambil keputusan (Yeh 23: 45-47), pertemuan bangsa-bangsa (Kej 22:3; 35:11; 48:4),
dan lebih khusus diartikan sebagai kumpulan dari orang-orang Israel (Kel 16:3; Im 4:13; Bil
16:3: Bil 20:4; Ul 31:30; Neh 30:1) atau sebagai pertemuan dari para penatua di Israel (2 Taw
1:3), atau para penatua yang menghadirkan semua jemaat dalam bentuk kunjungan
kehormatan Im 4:13).11 Istilah lain yang digunakan dalam PL, adalah edah yang juga berarti
sebagai komunitas yang dikumpulkan di dalam pemujaan atau peribadahan yang berkaitan
dengan Hukum Taurat.12

Sementara itu dalam PB gereja atau disebutkan dengan yang asal katanya berasal dari
kaleo artinya memanggil. Kata ekklesia dapat diartikan sebagai rapat atau pertemuan dari.
orang-orang yang dipanggil untuk berkumpul. Istilah ini menunjuk kepada. realitas sorgawi,
berwawasan kemuliaan, kebangkitan, tempat Kristus ditinggikan di sebelah kanan Allah (Ef
1:20-23; Ibr. 2:12; 12:23).13 Sehingga jelaslah bahwa ekklesia mengarah kepada jemaat yang
dipimpin oleh Allah yang dinyatakan kepada Israel sebagai umat pilihan Allah.14 Berbeda
dengan pengertian di atas, gereja pada masa sekarang ini dalam gambaran penilaian
sementara (sepintas), sering menekankan bahwa gereja itu adalah gedungnya. Gedung
tertentu yang digunakan oleh orang Kristen untuk kegiatan-kegiatan aganiawi.15

Namun demikian secara konkritnya gereja dapat diartikan sebagai alat yang
dipergunakan Tuhan untuk menjadikan manusia memperoleh keselamatan, menjadi kesaksian
tentang Kristus, dan menurut Kart Barth gereja adalah lingkaran atau ruangan yang bukan
hanya ruangan dari batu-batu melainkan ruangan dalam arti kiasan, dimana berlangsung
pemberitaan Firman Allah serta pelayanan Sakramen.16 Dengan demikian, gereja yang
diartikan sebagai persekutuan jemaat terlihat sebagai kerajaan dimana Allah sendiri yang
memerintah (bnd. Ef 4:15), artinya bahwa Allah sendiri yang memerintah, dan kedaulatan
Allah mutlak atas proses pelaksanaan misi yang ada di dalamnya.

11
Spiros Zodiates, The Hebrew-Greek Key Study Bible, (Chattanoga: AMG Publisher, 1996), 1770-1771.
12
Lothar Coenen, "Church" dalam The New International Dictionary of The New Testament Theology, Vol I,
(Zondervan: Grand Rapids, 1975), 294.
13
D.W.B. Robinson, "Gereja" dalam J.D. Douglas (ed.), Ensiklopedi Masa Kinirlilid (A-L) (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1999), 334
14
Paul S. Minear, "Church" dalam The Interpreters Dictionary of The Bible, Vol I (New York: Abingdon Press,
1962), 608.
15
Martin B. Daimon, Gerakan Siapa? Konteks Allah Masa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih OFM,
1994), 10.
16
G. C. van Niftrik, B.J. Boland, Dogmatika masakini, (Jakarta: Gunung Mulia, 1997) 361- 362.

6
3. Tradisi Orang-orang Batak

Ada banyak tradisi orang Batak sudah mengakar ke dalam diri orang Batak itu sendiri.
Tetapi, penulis akan mencoba membeberkan beberapa tradisi orang Batak dahulu yang
hingga sekarang diadaptasi menjadi bentuk tradisi daripada gereja itu sendiri, yaitu: Martutu
Aek dan Perkawinan.

3.1. Martutu Aek

Sebelum Kristen sebelum kekristenan orang Batak telah memiliki adat kebiasaan
tentang pemberian nama kepada sang bayi yang disebut martutu Aek17 kebiasaan lain untuk
memberi nama bayi disebut Maritakgurgur.18 setelah pemberian nama kepada sang bayi bagi
orang Batak sudah melalui baptisan Kudus.19 nama yang dipilih orang tua tidak perlu lagi
dipertimbangkan. Banyak orangtua memilih nama berdasarkan keadaan yang dialami atau
cita-cita orang tua terhadap anak tersebut.

Membawa anak-anak untuk menerima baptisan dengan harapan agar anak tersebut
menerima berkat dari Tuhan.20 Melalui pengamatan pengamatan penulis makna baptisan itu
kurang sempurna bagi warga Jemaat apabila tidak didukung dengan pelaksanaan adat maka
pada saat sang bayi menerima baptisan kekerabatan dengan sebutan hula-hula dan buruh
diundang untuk hadir ucapan doa restu disampaikan kepada orang tua si bayi dan pihak ulah-
ulah membeli ulos parompa dengan pelaksanaan adat yang demikian maka pemahaman orang
Batak nama anaknya telah sah dan sempurna hal ini membuktikan bahwa baptisan itu adalah
peristiwa atau tradisi gereja yang sudah dihadapkan dengan sebutan pertanyaan yang artinya
ucapan doa syukur.21

17
yang sudah berumur kepada Pancuran mual untuk cuci muka kepala bayi dililiti dengan kain putih dan
menyelipkan daun pohon beringin di rambutnya itu ibu-ibu masih di Pancuran seorang dukun akan nama bayi
yang diberi orang tuanya Hal ini dilakukan pada waktu pagi hari
18
Itak gurgur terbuat dari tepung beras mentah yang dicampur dengan garam halus kelapa dan gula merah yang
dibentuk dengan genggaman tangan atau pohul-pohul Setelah orang tua memberi nama anaknya maka pohon-
pohon itu dibagikan kepada sekampung sambil memberitahukan nama bayi pemberian nama dengan
melaksanakan marital gurgur dilakukan oleh golongan masyarakat biasa
19
Baptisan adalah perintah Yesus Pergilah ke seluruh dunia beritakanlah Injil kepada segala makhluk Siapa yang
percaya dan dibaptis akan diselamatkan tetapi siapa yang tidak akan dihukum Markus 16 ayat 15-16 makna
baptisan bagi orang Kristen jalan menuju keselamatan dalam tradisi Gereja HKBP pada umumnya baptisan
dilakukan kepada anak-anak
20
Bnd. Ia Pandidion Nabadiai, Parhitean asi ni Rohani Debata do I tujolma. Ai marhite pandidion I sahat do tu
naporsea I hasesaan ni dosa, hatutubu padualihon, haluaon sian hamatean dohot sian si bolis jala dapot
Hasonangan nasaleleng-lelengna. Kantor Pusat HKBP, Buku si pangkeonni Pangajari Manghatindanghon
Haporseaon, Cet II (Pematangsiantar: percetakan HKBP 1983),28
21
Doangsa P.L, Situmeang, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba (Jakarta: KERABAT
2007),136-137.

7
Pemberian nama sebelum kekristenan telah mengalami perubahan bahan setelah
kekristenan namun pemahaman orang Kristen Batak mengenai makna pemberian nama bagi
anaknya sama saja hal ini dapat kita amati pada saat sekarang ini sudah ada warga Jemaat
Menunda untuk membawa anaknya memberi atau menerima baptisan dari gereja dikarenakan
pihak hula hula nya tidak bisa hadir Sudah menjadi kebiasaan bagi orang Batak Setiap anak
pertama diharapkan menerima memberikan dari opungnya atau pulau lainnya ulos parompa
dan pelaksanaannya sering dilakukan pada saat siap menerima baptisan.

3.2. Perkawinan

Mula Jadi Na Bolon yang menciptakan Dalihan Na Tolu memberikan harapan bagi
Gereja untuk mempersiapkan hukum pernikahan bagi persyaratan perkawinan kekristenan.
Menyusul persyaratan untuk pernikahan menigami. Dalam umpasa dikatakan: “si dangka ni
arirang, arirang ni pulo batu; naso tupa sirang, naung ho saut di ahu; naso tupa
marimbang, sai hot tondi dijabu.” (cabang mayang, mayang dari kampung pulau batu; tak
akan terjadi berpisah sesudah engkau jadi istiriku; tak akan terjadi berpoligami sebeb jiwa
menyatu tetap di rumah). Peribahasa ini bukan saja menegaskan bahwa ideal pernikahan
adalah monogamy, tetapi juga pernikahan yang lestari sampai mati.22

Gereja memahami bahwa perkawinan itu sah apabila sudah diberkati di Gereja.
Dalam liturgy pemberkatan yang telah diaturkan di Gereja (secara khusus liturgy
pemberkatan di HKBP) telah menunjukkan keabsahan untuk pasangan suami istri. Tetapi
kalau kita perhadapkan dengan hukum adat perkawinan orang Batak, perkawinan itu sah dan
sempurna apabila di sahkan dengan adat Dalihan Na Tolu dari pihak laki-laki dan
perempuan.

Masalah perkawinan adalah masalah yang penting karena merupakan satu-satunya


tradisi yang dilakukan untuk melanjutkan keturunan. Didalam melakukan suatu perkawinan
itu, harus melalui proses tertentu, yang disebut dengan tradisi. Proses yang dilalui harus
sesuai dengan tradisi dan kebiasaan setempat serta tindakan-tindakan apa yan gharus

22
Lih. Anicetus B. Sinaga, Dendang Bakti Inkulturasi Teologi dalam Batak (Medan: Bina Media 2004), 229-
232.

8
dilaksanakan, dan syarat apa yang harus dipenuhi, apabila orang Batak melaksanakan
perkawinan.23

4. Sikap Tradisi dan Gereja


4.1. Saling Menolak

Gereja secara umum tidak terlepas dari keberadaannya sebagai gereja lokal yang hadir
untuk melayani orang banyak. Dalam konteks gereja batak, misionaris dalam misinya secara
konkrit langsung membagi Injil yang mereka bawa tersebut kedalam berbagai dimensi yang
boleh menerimanya, dengan pembagian anti-Kristen , netral, dan pro-kristen.24 Pembagian ini
secara sederhana dapat diartikan bahwa dari antara adat yang ada dan sudah menjadi kesatuan
sistem tersebut, yakni: yang diperkenankan untuk mendapat Injil adalah pro-kristen, dan
mungkin yang netral. Sementara yang anti Kristen tidak mungkin untuk mendapatkan Injil,
sehingga nilai yang tidak sesuai dan tidak sejajar tersebut harus dimusnakan sebagai suatu
kekuatan yang menghempang Injil dan sama sekali tidak memerlukan Injil.

Kemudian, gereja tidak dapat menyatu dengan tradisi dikarenakan terjadi penolakan
terhadap suatu konsep dan rasio. Gereja-gereja yang menganut paham penolakan terlihat
dalam berbagai sikap dan tanggapan bahwa pada hakikatnya seluruh budaya yang ada telah
diliputi dosa, sementara Injil datang untuk membawa pertobatan. Akan tetapi, pertobatan
yang dimaksud adalah dengan meninggalkan jalan yang telah ditempuh tradisi setempat.25

Demikian juga tradisi yang selalu meyakini bahwa gereja akan membawa manusia
jatuh dan tetap terjerat dalam politik kekuasaan. Konsep ini berusaha untuk memberlakukan
dua keyakinan sekaligus. Berlaku adil terhadap kebutuhan untuk membedakan kesetiaan
kepada pencipta dan tanggung jawab kepada tradisi. Dalam bagian ini, persoalan bukanlah
konsep/paham yang menarik garis vertical antara komunitas Kristen dan dunia budaya, juga
bukan menempatkan Kristus dalam kekuatan rohani kebudayaan. Akan tetapi konsep ini
hidup secara ditulis.

Dengan demikian manusia dilihat sebagai oknum yang tunduk terhadap dua moralitas
secara sekaligus dan sifatnya terpisah. Atau manusia dilihat sebagai warga dari dua dunia,

23
Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Adat Batak, (Bandung: Citra Aditya BAkti, 1990), 70.
24
Lothar Schreiner, Adat dan Injil, (Jakarta: Gunung Mulia, 1988), 5
25
Stephen Tong, Dosa dan Kebudayaan, (Jakarta: Institut Reformed, 1979), 79.

9
yang bukan saja tidak berkesinambungan tetapi justru bertantangan. Artinya terdapat
polarisasi dan ketegangan antara gereja dan tradisi. Dalam hal ini, gereja telah menjalani
suatu kehidupan yang bingung, sulit dan sekaligus berdosa dalam bentuk polarisasi dan
ketegangan yang terjadi dengan tradisi.

Berbagai langkah mereka membawa pergeseran serta perubahan nilai tradisi itu
sendiri. Dalam konteks budaya batak, secara konkritnya “Bius” (system kepercayaan) tradisi
Batak Toba resmi dihapuskan dan tidak boleh digunakan lagi oleh orang Batak Kristen.
Artinya para Gereja telah menggolongkan dan member sekat terhadap nilai tradisi tersebut.
Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa satu bagian pokok tradisi tersebut dinyatakan
musnah/dihapuskan oleh gereja. Seiring dengan itu, gereja juga telah membangun peradaban
warga. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa proses misi telah membawa pertentangan nilai
yang lebih maju dari sebelumnya. Pertentangan nilai telah terjadi, dengan menggantikan
tradisi kebudayaan Batak dengan bentuk kepercayaan yang sama sekali baru, yakni
kepercayaan/agama Kristen.

4.2. Saling Mendukung

Gereja dalam konsep ini dipahami sebagai mengubahkan manusia di dalam tradisi dan
masyarakat. Manusia tidak usah keluar dari masyarakat dan kebudayaannya lalu membentuk
kebudayaannya sendiri (misalnya dengan mendirikan sebuah “Kampung Kristen”). Kristus
yang hadir di tengah umat manusia, lebih dari seorang pendiri lembaga budaya, gereja, dll.
Akan tetapi Dia hadir sebagai juruslamat bagi semua umat manusia yang berkenan kepada-
Nya. Kristus menjadi manusia tanpa menghancurkan keilahian-Nya.

Gereja memberikan arah dan tenaga yang baru terhadap kebudayaan dan
meregenerasikan hidup manusia, yang dinyatakan dalam semua karya manusia. kebudayaan
dilihat sebagai yang telah jatuh ke dalam dosa karena ulah manusia. Akan tetapi kenyataan
itu tidak usah membawa orang Kristen untuk memisahkan diri dari kebudayaan. Gereja juga
terpangil untuk membangun nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat gereja khususnya
dan masyarakat secara umum. Nilai-nilai budaya bersama dengan warganya masih berada

10
dalam belenggu ketertinggalan khususnya dalam mengurangi era globalisasi. Banyak warga
yang masih berada dalam kategori tertinggal.26

Gereja tidak boleh merasa puas dengan sikap negative saja, karena manusia tidak
dapat hidup hanya dengan dipandang secara negative dan tanpa nilai budaya. Yesus tidak
mengajukan untuk menjauhkan diri dari dunia (kebudayaan). Yesus Kristus adalah
juruselamat dari segalanya, termasuk juruselamat bagi kebudayaan. Oleh karena itu gereja
dipanggil bukan untuk memberantas kebudayaan, melainkan untuk memberantas dosa-dosa
yang ada didalamnya. Alkitab bukanlah soal perlawanan kebudayaan dan arti kebudayaan,
melainkan persoalan dosa dan rahmat.27

Tanpa pemahaman yang sedemikian, maka tugas dan fungsi gereja untuk membawa
pembebasan bagi manusia dan seluruh ciptaan di tengah dunia, tidak akan sempurna. Oleh
karena itu gereja merupakan salah satu motivator yang tepat untuk membangun masyarakat
Batak Toba dalam dimensi kemanusiaannya. Sebab menurut kriteria etis yang umum, bahwa
suatu agama dikatakan sejati, apabila agama itu manusiawi, tidak menekan atau melenyapkan
kemanusiaan, melainkan melindungi dan menyuburkannya.28

Pertama-tama gereja harus benar-benar menolak setiap perilaku yang diskriminatif


terhadap manusia. ataupun penindasan yang dilakukan berdasarkan suku-suku bangsa, warna
kulit, keadaan hidupnya ataupun agamannya, dalam wacana suasana yang asing bagi Kristus.
29
Disamping itu gereja juga perlu merevisi ulang penilaiannya terhadap budaya yang baik
dan yang buruk. Apakah penilaian-penilaian itu muncul dari Injil itu sendiri, atau dari
praanggapan-praanggapan kultural dari yang melakukan penilaian. Sebab kekristenan yang
seharusnya mengantarkan keselamatan Allah, namun kekristenan juga telah turut membangun
budaya Barat.30

26
Leslie Newbigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Gunung Mulia, 1993), 262.
27
J. Verkuyl , Etika Kristen dan Kebudayaan, (Jakarta: Gunung Mulia, 1982), 41.
28
Hans Kung, “Apakah Agama Sejati? Menuju Kriterilogi Ekumenis” dalam Mengupayakan Misi Gereja Yang
Kontekstual, 110.
29
Y. B. Mangunwijaya, “Pergeseran Titik Berat dari Keagamaan Ke Religiositas” dalam Spritualitas Baru:
Agama dan Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta: Seri Dian, 1994), 19.
30
C. S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, (Jakarta: Gunung Mulia, 1989), 163.

11
5. Tradisi Mempengaruhi Gereja
5.1. Pergeseran Nilai

Menurut J. R. Hutauruk, tradisi kesukuan Batak dikuasai semangat yang sangat


demokratis ala Batak, dimana setiap desa Batak merupakan sebuah negara mini terhadap desa
yang lain. Didalam konteks demikian, mereka membangun jemaat-jemaat. Dari segi
semangat habatahon, jemaat merupakan milik marga. Dalam setiap jemaat berkelindan darah
batak, adat batak, dan marga batak.31

Tetapi, setelah kekristenan datang ketanah batak, misi yang dibawa oleh para
misionaris tersebut bertemu dengan tradisi Batak Toba yang telah ada dan mapan itu. Pada
awalnya misi tersebut mendapat perlawanan dari masyarakat Batak Toba umumnya, terutama
oleh para imam (“malim/parbaringin”) orang Batak Toba. Akan tetapi secara perlahan
hambatan-hambatan itu telah dapat diatasi dengan berbagai pola pendekatan budaya yang
telah dilakukan oleh para misionaris. Berbagai metode dan langkah mereka membawa
pergeseran serta perubahan nilai tradisi Batak Toba itu sendiri.

Salah satu contoh secara konkritnya “Bius” (sistem kepercayaan) resmi dihapuskan
dan tidak boleh digunakan lagi oleh orang Batak Kristen. Artinya para misionaris telah
menggolongkan nilai budaya tersebut dalam tiga bagian, yakni: anti-kekristenan, netral, dan
pro kekristenan. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa satu bagian tradisi Batak Toba
tersebut dinyatakan musnah/dihapuskan oleh para misionaris. Seiring dengan tugas dan
panggilan misi itu, maka para misionaris juga membangun peradaban warga. Dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa proses misi telah membawa pergeseran nilai yang lebih maju dari
sebelumnya. Pergeseran nilai telah terjadi, dengan menggantikan sistem kepercayaan Batak
dengan bentuk kepercayaan yang sama sekali baru.32

Kemudian, tradisi horja (aktivitas pesta termasuk pekerjaan sehari-hari) menjadi


salah satu pergeseran nilai tradisi mempengaruhi gereja dalam penginjilannya. Para misioaris
membuka lapangan pekerjaan pendidikan, kerohanian, dan sosial ekonomi sebagai aplikasi
dari tradisi horja tersebut. Dalam hal ini, tradisi mempengaruhi gereja dalam menciptakan
lapangan pekerjaan sebagai peningkatan sumber daya manusia. Kemudian, tradisi batak yang
dulunya hanya menggunakan ulos sudah mulai mengenal kehidupan berpakaian kemeja, jas,

31
J. R. Hutauruk, Menggali Dokumen Sejarah Gereja, (Medan: LAPik, 2016), 240.
32
J. R. Hutauruk, Menggali Dokumen Sejarah Gereja, 241.

12
dan celana panjang, maupun dasi sebagai suatu tatanan sosial yang sehat dan bergaya hidup
yang lebih ideal.

Sementara itu, tradisi masyarakat Batak juga tidak mampu untuk mempengaruhi
gereja dalam berbagai sektor. Bidang sosial ekonomi gereja yang justru memberikan
penyuluhan secara konkrit dalam bentuk penghapusan perbudakan dalam tradisi batak.
Gereja juga menggeser penilaian tradisi pinjam-meminjam uang dengan suku bunga yang
tinggi. Hal ini menjadi bagian dalam berteologi secara kontekstual gereja terhadap situasi
konteks yang berlaku pada jaman itu. Dengan demikian, pergeseran nilai tradisi menjadi hal
yang kompleks terjadi dalam perjumpaan antara tradisi dan gereja khususnya gereja ditanah
batak.

5.2. Misi Gereja Yang Kontekstual

Masuknya Injil di tanah Batak telah diwarnai oleh asumsi yang menyatakan bahwa
budaya asli Batak tidak baik. Sehingga terjadi semacam pemisahan antara Injil dengan
budaya asli. Dengan demikian hakikat budaya sangat menurun yang walaupun tidak mati.
Seluruhnya, oleh karena itu yang paling dibutuhkan dalam kelangsungan misi gereja masa
kini adalah mengadakan suatu upaya pendekatan baru supaya Jemaat dapat menyerahkan apa
yang penting bagi mereka maksudnya memandang dari jauh merefleksikan dari luar
menentukan dan mengarahkan pikiran dengan pegangan iman yang ada pada orang percaya
tanpa mengalami dan memasuki pengalaman yang tidak menghasilkan sesuatu yang
kontekstual.33

Gereja juga terpangil untuk membangun nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat


gereja khususnya dan masyarakat secara umum. Nilai-nilai budaya bersama dengan warganya
masih berada dalam belenggu ketertinggalan khususnya dalam mengurangi era globalisasi.
Banyak warga yang masih berada dalam kategori tertinggal.

Gereja tidak boleh merasa puas dengan sikap negatif dari sebuah tradisi saja. Yesus
tidak mengajukan kepada orang banyak untuk menjauhkan diri dari dunia (tradisi). Yesus
Kristus adalah juru selamat dari segalanya, termasuk juruselamat bagi tradisi maupun
kebudayaan. Oleh karena itu gereja dipanggil bukan untuk memberantas tradisi, melainkan

33
John Hanna, “Missiologi dalam Konteks Asia”, 138-139

13
untuk memberantas dosa-dosa yang ada didalamnya. Alkitab bukanlah soal perlawanan
tradisi dan arti dari tradisi kebudayaan itu, melainkan persoalan dosa dan rahmat.34

Berarti, gereja merupakan salah satu motivator yang tepat untuk membangun
masyarakat Batak Toba dalam dimensi kemanusiaannya. Sebab menurut kriteria etis yang
umum, bahwa suatu agama dikatakan sejati, apabila agama itu manusiawi, tidak menekan
atau melenyapkan kemanusiaan, melainkan melindungi dan menyuburkannya.35

Gereja harus benar-benar menolak setiap perilaku yang diskriminatif terhadap


manusia. ataupun penindasan yang dilakukan berdasarkan tradisi, suku-suku bangsa, warna
kulit, keadaan hidupnya ataupun agamannya, dalam wacana suasana yang asing bagi
Kristus.36 Disamping itu gereja juga perlu merevisi ulang penilaiannya terhadap budaya yang
baik dan yang buruk. Apakah penilaian-penilaian itu muncul dari Injil itu sendiri, atau dari
praanggapan-praanggapan kultural dari yang melakukan penilaian. Sebab kekristenan yang
seharusnya mengantarkan keselamatan Allah, namun kekristenan juga telah turut membangun
budaya Barat.37 Disamping itu juga perlu pertimbangan yang jujur bahwa Injil juga hadir
melalui proses kultural.38 Oleh karena itu dalam Injil terlihat suatu kontinuitas dan
diskontinuitas sekaligus dari kehidupan sosial dan kebudayaan sosial dan kebudayaan.
Sebagai tipe yang diteruskan tetapi juga sekaligus diputuskan. Dengan demikian, tugas misi
gereja sampai pada menolong manusia dalam tradisinya supaya menghayati dan merasakan
kehendak Allah dalam kehidupan manusia dimana dia hidup.

6. Kesimpulan

Maka dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin memisahkan sepenuhnya Gereja


dengan kebudayaan setempat. Karena Gereja adalah jemaat yang hidup dalam kebudayaan.
Dari sejarah panjang Gereja dapat dilihat bahwa Gereja selalu menjalin hubungan dengan
kebudayaan. Pada ahli di zamannya juga terus mengupayakan agar kebudayaan dapat
diintegrasikan dengan nilai-nilai Injil. Gereja tidak bisa memaksakan nilai-nilai Injil yang di
warisi untuk menggantikan nilai-nilai yang diwarisi secara turun-temurun dalam kebudayaan.

34
J. Verkuyl, Etika Kristen dan Kebudayaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 41.
35
Hans Kung, “Apakah Agama Sejati” 110.
36
Y. B. Mangunwijaya, “Pergeseran Titik Berat dari Keagamaan Ke Religiositas”, 19.
37
C. S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 163.
38
Leslie Newbigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 262.

14
Memang di zaman post modern ini merupakan tantangan Gereja untuk mengakarkan
diri dalam kebudayaan yang dianut oleh jemaat sangatlah kompleks. Zaman ini umat tidak
hanya mewarisi budaya leluhur, tetapi juga dipengaruhi oleh kemajuan jaman yang kemudian
menjadi budaya baru bagi umat jaman ini. Dengan hal ini menunjukan bahwa jaman sekarang
ini Gereja tidak hanya cukup menjelmakan nilai-nilai Injil dalam budaya umat yang diwarisi
secara turun-temurun hanya cukup menjelmakan nilai-nilai Injil dalam budaya umat yang
diwarisi secara turun-temurun.

Gereja juga harus memperhatikan kemajuan zaman yang menciptakan “tradisi baru”
bagi umat. Jika tidak segera dilakukan “inkulturasi” seperti yang dilakukan oleh para tokoh
Gereja mulai dari zaman jemaat perdana sampai dengan sekarang ini. Maka gereja tidak akan
relevan lagi dengan umat zaman ini, mungkin gereja tidak akan “mati” atau lenyap seketika.
Tetapi tidak menutup kemungkinan hal itu akan terjadi secara perlahan. Dimana umat tidak
lagi memiliki iman.

Gereja adalah wakil dari Kerajaan Allah di dunia ini dan diperintahkan untuk
membawa berita Injil ke semua manusia di bumi. Gereja juga terpangil untuk membangun
nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat gereja khususnya dan masyarakat secara umum.
Nilai-nilai budaya bersama dengan warganya masih berada dalam belenggu ketertinggalan
khususnya dalam mengurangi era globalisasi. Banyak warga yang masih berada dalam
kategori tertinggal. Gereja tidak boleh merasa puas dengan sikap negatif dari sebuah tradisi
saja. Oleh karena itu gereja dipanggil bukan untuk memberantas tradisi, melainkan untuk
memberantas dosa-dosa yang ada didalamnya.

15
Daftar Pustaka

Blount Brian, K., Cultural interpretation, Menneapolis: Fortress Press 1995.

Coenen Lothar., "Church" dalam The New International Dictionary of The New Testament
Theology, Vol I, Zondervan: Grand Rapids, 1975.
Daimon Martin B., Gerakan Siapa? Konteks Allah Masa di Indonesia, Jakarta: Yayasan Bina
Kasih OFM, 1994.

Hadiwijono H., Iman Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 1997.

Hanna John, “Missiologi dalam Konteks Asia”.

Hilman Hadikusuma., Hukum Perkawinan Adat Batak, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990.

Hutauruk J. R., Menggali Dokumen Sejarah Gereja, Medan: LAPik, 2016.

Hyatt J. Philip, Essay in Old Testament Ethichs, New York: Ktav Publishing House, 1974.

Kung Hans., “Apakah Agama Sejati? Menuju Kriterilogi Ekumenis” dalam Mengupayakan
Misi
Gereja Yang Kontekstual.

Mangunwijaya Y. B., “Pergeseran Titik Berat dari Keagamaan Ke Religiositas” dalam


Spritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, Yogyakarta: Seri Dian, 1994.
Mattulada, Kebudayaan Kemanusiaan Dan Lingkungan Hidup, Hasanuddin University Press,
1997.

Minear Paul S., "Church" dalam The Interpreters Dictionary of The Bible, Vol I, New York:
Abingdon Press, 1962.

Newbigin Leslie., Injil dalam Masyarakat Majemuk, Jakarta: Gunung Mulia, 1993.

Robinson D.W.B., "Gereja" dalam J.D. Douglas (ed.), Ensiklopedi Masa Kinirlilid (A-L)

Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1999.

Schreiner Lothar., Adat dan Injil, Jakarta: Gunung Mulia, 1988.

Sinaga Anicetus, B., Dendang Bakti Inkulturasi Teologi dalam Batak, Medan: Bina Media

16
2004.

Singer C. Greg., "Congregation", dalant Philip E Huges (ed), Encyclopedia of Christianity,


Vol.

111, Delaware: The National. Foundation for Christian Education, 1972.

Song C. S., Sebutkanlah Nama-Nama Kami, Jakarta: Gunung Mulia, 1989.

Situmeang Doangsa P.L., Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba Jakarta:
KERABAT, 2007.

Sztompka Piotr., Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada Media Grup, 2007.

Tong Stephen., Dosa dan Kebudayaan, Jakarta: Institut Reformed, 1979.

van Niftrik G. C., Boland B.J., Dogmatika masakini, Jakarta: Gunung Mulia, 1997.

van Peursen C.A., Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisisus, 1988.

Verkuyl J., Etika Kristen dan Kebudayaan, Jakarta: Gunung Mulia, 1982.

Zodiates Spiros, The Hebrew-Greek Key Study Bible, Chattanoga: AMG Publisher, 1996.

17

Anda mungkin juga menyukai