Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu kimia merupakan salah satu bidang ilmu pengetahuan alam yang

konteksnya mikroskopis. Tidak semua hal yang diajarkan dalam ilmu kimia dapat

diamati secara kasat mata. Kajian ilmu dalam kimia meliputi fakta, konsep,

prinsip, hukum, simbol, dan perhitungan kompleks yang membuat sebagian besar

materi yang diajarkan bersifat abstrak. Menurut Gabel dan Johnston dalam Wu

(2001 : 821), kimia merupakan bidang kajian yang kompleks karena terdapat tiga

level representasi, yang meliputi level makroskopis, mikroskopis, dan simbolik.

Siswa dituntut untuk memahami konsep-konsep makroskopis,

sub-mikroskopis, mikroskopis, dan simbolis secara menyeluruh dan bersamaan

pada saat pembelajaran kimia berlangsung. Akan tetapi, fakta yang ada di

lapangan menunjukkan bahwa masih banyak siswa yang belum mampu untuk

memahami dan mengaitkan hubungan di antaranya. Karena hal inilah, banyak

ditemui siswa yang tidak menyukai bahkan membenci kimia. Bahkan tak jarang

mereka berusaha untuk “melarikan diri” pada saat pembelajaran kimia

berlangsung. Mereka berpendapat bahwa kimia itu susah dan mereka tidak dapat

membayangkan hal-hal abstrak, seperti atom, senyawa, unsur, dan lainnya yang

sering ditemui dalam ilmu kimia. Menurut Sunyono, dkk (2009 : 316), kesulitan

siswa SMA mempelajari materi yang ada dalam kimia disebabkan oleh sebagian

besar materi tersebut bersifat abstrak dan sulit untuk dieksperimenkan, dan hanya

sedikit yang bersifat abstrak dengan contoh konkret (direpresentasikan).

1
Salah satu materi yang dianggap susah dan ditakuti oleh banyak siswa adalah

materi stoikiometri. Siswa menganggap materi stoikiometri merupakan materi

dengan karakteristik perhitungan yang rumit dan membingungkan. Berdasarkan

wawancara peneliti dengan beberapa siswa di SMA Nasional Malang, siswa

berasumsi bahwa materi stoikiometri berisi banyak sekali perhitungan, dan juga

membingungkan karena banyak sekali istilah atau lambang yang digunakan.

Istilah dan lambing tersebut juga memiliki kemiripan dalam penulisan. Selain itu,

materi stoikiometri cakupannya juga sangatlah luas, sehingga antara satu rumus

dengan rumus yang lain saling berkaitan. Fakta inilah yang semakin memperkuat

anggapan “Stoikiometri itu susah”. Peneliti sendiri pun melihat dan mengalami

hal serupa, yaitu saat berada di Sekolah Menengah Atas.

Proses pembelajaran stoikiometri yang sejauh ini hanya mengandalkan

ceramah guru dan latihan soal dengan sedikit melibatkan siswa juga menambah

faktor yang membuat stoikiometri menjadi “momok” dan semakin tidak diminati.

Guru menggunakan model pembelajaran yang seluruhnya berpusat pada guru dan

menulis di papan tulis. Selain itu, bahan ajar yang digunakan juga terlalu monoton,

tidak menarik, hanya berupa modul atau buku bacaan yang penuh dengan tulisan,

angka, dan rumus. Siswa menjadi merasa bosan, setengah hati, dan kurang

berminat dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Menurut wawancara yang dilakukan Qamariyah (2018) kepada siswa kelas X

MAN 2 Malang dalam skripsinya dengan judul “Pengembangan Perangkat

Pembelajaran Berorientasi Green Chemistry Pada Materi Stoikiometri kelas X

SMA/MA Berbasis Understanding by Design”, siswa mengatakan bahwa materi

stoikiometri adalah materi yang sulit hanya dengan membaca sekilas topic tentang

2
stoikiometri. Siswa juga berasumsi bahwa materi stoikiometri hanya berisi tentang

perhitungan tanpa ada keterkaitan nyata dengan kehidupan riil. Pandangan ini

menyebabkan siswa dengan karakteristik tidak menyukai angka dan perhitungan

berasumsi bahwa materi stoikiometri adalah materi yang susah. Hanya dengan

mendengar kata stoikiometri saja, siswa sudah merasa “ketakutan” dan malas

untuk mempelajari.

Sriwinarni, dkk (2013) dalam jurnalnya yang berjudul “Kesalahan Konsep

Materi Stoikiometri yang Dialami Siswa SMA” mengungkapkan bahwa kesalahan

konsep yang terjadi pada siswa kelas X SMA Negeri 8 Banda Aceh pada Tahun

ajaran 2010/2011 adalah sebanyak 13,63% atau 3 siswa yang mengalami

kesalahan konsep pada konsep persamaan reaksi setara. Sebanyak 9,09% atau 2

siswa yang mengalami kesalahan konsep pada konsep bilangan indeks. Sebanyak

27,27% atau 6 siswa yang mengalami kesalahan konsep pada konsep nama-nama

zat yang terlibat dalam reaksi. Sebanyak 9,09% atau 2 siswa yang mengalami

kesalahan konsep pada konsep koefisien reaksi menunjukkan perbandingan mol.

Sebanyak 4,54% atau 1 siswa yang mengalami kesalahan konsep pada konsep

jumlah molekul berdasarkan bilangan Avogadro. Sebanyak 9,09% atau 2 siswa

yang mengalami kesalahan konsep pada konsep jumlah atom berdasarkan

bilangan Avogadro. Sebanyak 4,54% atau 1 siswa yang mengalami kesalahan

konsep pada

konsep hukum perbandingan volume. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat

sebagian siswa yang menunjukkan terjadi miskonsepsi pada materi stoikiometri

dengan sub materi yang berbeda-beda.

3
Cahaya (2017) dalam penelitian skripsinya yang berjudul “Pemahaman Sub

Mikroskopik dan Korelasinya dengan Hasil Belajar pada Materi Stoikiometri

Siswa Kelas XI MIPA SMA Negeri 1 Batu” menyebutkan bahwa rerata tingkat

pemahaman sub mikroskopik stoikiometri siswa kelas XI MIPA SMA Negeri 1

Batu tergolong cukup, yaitu sebesar 63,78%. Rerata pemahaman sub mikroskopik

stoikiometri siswa pada sub materi hukum-hukum dasar kimia tergolong baik,

yaitu sebesar 76,3%, sub materi massa molekul relative tergolong sangat baik

yaitu sebesar 99,3%, sub materi persamaan kimia tergolong kurang, yaitu sebesar

44%, konsep mol tergolong cukup yaitu sebesar 58,3%, dan sub materi kadar zat

tergolong kurang, yakni sebesar 41%. Berdasarkan hasil penelitian Cahaya

tersebut, dapat dilihat bahwa tingkat pemahaman

Untuk mengatasi kesulitan dan masalah ini, guru diharuskan untuk memiliki

beberapa kemampuan, yaitu menciptakan suasana pembelajaran yang lebih

menarik, menggunakan metode serta model pembelajaran yang sesuai, dan

berinovasi dalam menciptakan dan menggunakan bahan ajar. Menurut Epinur,

dkk (2014 : 13), seorang pendidik yang baik adalah dia yang kreatif, yang akan

selalu menciptakan dan merancang ide-ide baru dalam merancang sistem

pembelajaran yang dapat membuat siswa mampu mencapai tujuan belajarnya

dengan penuh rasa puas. Umunya, guru lebih memilih untuk menggunakan

berbagai media pembelajaran dan berpikir kreatif dalam membuat inovasi pada

media pembelajaran tersebut.

4
Media pembelajaran merupakan alat bantu dalam proses pembelajaran.

Contoh media yang sering digunakan oleh guru adalah media berbasis visual

power point serta media audio berbentuk animasi video. Media-media ini dipilih

karena sangat mudah untuk dioperasikan oleh guru, baik guru muda ataupun guru

yang telah berumur sehingga sangat membantu dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran tidak akan monoton hanya dengan ceramah yang diberikan. Dengan

menggunakan media pembelajaran, diharapkan siswa dapat menerima ilmu

pengetahuan secara lebih efisien dan efektif. Selain itu, dengan adanya media

pembelajaran yang menarik dapat meningkatkan minat siswa terhadap mata

pelajaran yang diajarka, dalam hal ini mata pelajaran kimia yaitu elektrokimia.

Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, digunakan beberapa media

pembelajaran dalam materi elektrokimia, yaitu media animasi power point, e-book

interaktif, alat peraga elektrokimia, aplikasi andorid, dan masih banyak lagi.

Berdasarkan hasil penelitian Harianto, dkk (2017 : 44) dalam jurnalnya yang

berjudul “Pengembangan Media Pembelajaran Kimia Berbasis Android Untuk

Penumbuhan Literasi Sains Siswa Pada Materi Reaksi Redoks dan Elektrokimia”,

media pembelajaran berbasis android memiliki kelayakan sebesar 80% dengan

kriteria sangat layak dan rata-rata hasil tes kompetensi literasi sains pretest siswa

sebesar 20,27 dan nilai post-test rata-rata sebesar 74,16 serta nilai N-gain sebesar

0,65 dengan kategori sedang.

Berdasarkan hasil penelitian Fani (2016) yang berjudul “Pengembangan

E-Book Interaktif Elektrokimia Berbasis Kehidupan Sehari-hari” berdasar hasil

validasi validator, menunjukkan persentase hasil pada aspek konstruksi;

kesesuaian isi materi dengan kurikulum; keterbacaan sebesar 100% dengan

5
kategori sangat layak. Berdasarkan tanggapan yang dilakukan oleh guru,

persentase hasil pada aspek kesesuaian isi materi dengan kurikulum adalah 100%

yang tergolong ke dalam kategori sangat tinggi. Penilaian aspek keterbacaan oleh

siswa pada e-book interaktif elektrokimia berbasis kehidupan sehari-hari adalah

sebesar 90,00% yang tergolong ke dalam kategori sangat tinggi. Hal ini

menunjukkan bahwa ebook interaktif yang dikembangkan menunjukkan

kelayakan yang tinggi.

Selain penelitian ini, terdapat penelitian lain yang menunjukkan keberhasilan

media yang dikembangkan. Berdasarkan penelitian Asmara (2014) dalam

jurnalnya yang berjudul “Pengembangan Media Audio Visual Tentang Praktikum

Reaksi Oksidasi Reduksi dan Elektrokimia Sebagai Media Pembelajaran Mandiri

Bagi Siswa SMA/MA Kelas XII Semester 1”, didapatkan hasil kualitas media

audio visual tentang praktikum reaksi oksidasi reduksi dan elektrokimia yang

telah dikembangkan adalah Sangat Baik (SB) dengan skor 145,52 dan dalam

persen keidealan dinyatakan sebesar 80,844%. Berdasarkan penilaian tersebut,

media audio visual tentang praktikum reaksi oksidasi reduksi dan elektrokimia

layak digunakan oleh siswa sebagai sumber belajar mandiri.

Beberapa media yang telah dikembangkan tersebut sudah memberikan

pengaruh yang besar bagi hasil belajar siswa, terbukti dengan persentase

kelayakan yang tinggi. Akan tetapi, ada beberapa kekurangan yang dimiliki oleh

media-media tersebut. Pada media ebook tidak terdapat animasi yang menarik

siswa untuk membaca, walaupun ebook tersebut memiliki beberapa gambar yang

merepresentasikannya. Pada media yang berbasis android, terdapat beberapa guru

yang tidak dapat mengoperasikan media-media tersebut, terutama guru tua

6
sehingga media-media tersebut tidak efektif walaupun layak untuk digunakan.

Berdasarkan latar belakang dan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah ada,

peneliti mengajukan penelitian yang berjudul “Pengembangan Media

Pembelajaran Audiovisual Berbasis Animasi Powtoon Sebagai Media

Pembelajaran Alternatif Kimia Pada Materi Elektrokimia Kelas XII

SMA/MA”

B. Tujuan Penelitian & Pengembangan

Tujuan penelitian pengembangan media pembelajaran audiovisual powtoon

pada materi elektrokimia yang dilakukan sebagai berikut:

1. Mengembangkan produk media pembelajaran audiovisual berbasis animasi

Powtoon sebagai media pembelajaran alternatif kimia pada materi elektrokimia.

2. Mengetahui kelayakan media pembelajaran audiovisual berbasis animasi

Powtoon sebagai media pembelajaran alternatif kimia pada materi elektrokimia.

C. Spesifikasi Produk yang Diharapkan

Spesifikasi produk media pembelajaran audiovisual berbasis animasi powtoon

sebagai media alternatif kimia pada materi elektrokimia sebagai berikut:

1. Sebuah animasi video yang dibuat menggunakan aplikasi Powtoon yang dapat

digunakan secara mandiri dengan mudah oleh guru dalam pembelajaran

elektrokimia.

2. Media animasi video ini memanfaatkan fitur-fitur yang ada dalam aplikasi

Powtoon.

7
3. Media berisi review materi sebelumnya, yaitu materi redoks sebagai materi

prasyarat untuk mempelajari materi elektrokimia yang disajikan secara singkat

dan inovatif yang dapat dimnegerti dengan mudah.

4. Media ini berisi materi dan praktikum elektrokimia, yaitu sel volta dan

elektrolisis yang disajikan melalui animasi berbentuk video.

5. Materi yang disajikan dalam media ini meliputi fenomena yang menunjukkan

reaksi elektrokimia di sekitar, pengertian elektorkimia, klasifikasi elektrokimia

menjai sel volta dan elektrolisis serta penjelasannya, contoh praktikum

elektrokimia.

6. Media ini berisi suara yang ditambahkan untuk mempermudah siswa lebih

memahami materi.

7. Media ini berisi animasi yang dibuat secara manual satu per satu dengan

tampilan warna pastel dominan biru muda.

D. Pentingnya Penelitian & Pengembangan

Pentingnya penelitian pengembangan media pembelajaran audiovisual

powtoon pada materi elektrokimia sebagai berikut:

a. Bagi siswa

1. Dapat menumbuhkan motivasi dan semangat belajar pada materi elektrokimia

yang selama ini dirasa sulit.

8
2. Siswa dapat menerima informasi dan ilmu pengetahuan secara lebih efisien

dan efektif.

3. Meningkatkan pemahaman siswa sehingga prestasi belajar juga akan

meningkat.

4. Dapat memvisualisasikan pemahaman yang bersifat abstark dan mikroskopis

dalam elektrokimia, seperti arah aliran elektron dan reaksi yang berlangsung.

b. Bagi guru

1. Dapat meningkatkan kreatifitas dan inovasi sehingga pembelajaran tidak

monoton selalu mengandalkan metode ceramah dan menulis pada papan tulis.

2. Memberikan media alternatif sehingga pembelajaran dapat berjalan secara

efektif dan efisien sehingga dapat mempersingkat waktu pembelajaran.

3. Memberikan suasana pembelajaran yang berbeda sehingga dapat menarik

minat siswa.

c. Bagi peneliti

1. Memberikan pengetahuan baru berupa langkah-langkah merancang suatu

media pembelajaran menggunakan powtoon.

2. Melatih kreatifitas dan inovasi sebagai bekal untuk menjadi seorang pendidik

yang kreatif dan inovatif dalam pembelajaran.

3. Mengetahui media pembelajaran ynag cocok pada suatu materi tertentu, dalam

hal ini materi kimia pada pembelajaran kimia SMA.

4. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan (S1).

9
d. Bagi peneliti lain

Sebagai bahan penelitian untuk diteliti dan dikembangkan lebih lanjut dan lebih

baik.

E. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan

Asumsi dan keterbatasan penelitian pengembangan media pembelajaran

audiovisual powtoon pada materi elektrokimia yang dilkukan sebagai berikut:

1. Asumsi :

a. Guru atau pendidik dapat menjalankan video player dan telah mengetahui cara

mengoperasikan laptop serta LCD-proyektor.

b. Siswa dapat mengoperasikan animasi powtoon untuk mempermudah saat

belajar mandiri.

c. Validasi dilakukan oleh satu orang ahli media satu orang ahli materi, dan satu

orang guru kimia SMA, sedangkan uji coba dilakukan kepada siswa kelas XII

SMA Negeri 1 Pamekasan.

d. Ahli media merupakan dosen atau pendidik IT yang memahami tentang media

pembelajaran audiovisual, serta memahami tentang teknologi komputer.

e. Ahli materi merupakan dosen kimia FMIPA UM yang telah memahami dan

memiliki pengetahuan lebih tentang elektrokimia.

2. Keterbatasan pengembangan :

10
a. Mediat ini hanya dapat dieksport dalam bentuk video, tidak dapat dieksport

dalam bentuk power point sehingga jika terdapat kesalahan pembuatan media,

tidak dapat diedit ulang.

b. Software powtoon merupakan software berbayar walaupun terdapat free trial

tetapi fitur yang ditawarkan tidak lengkap.

c. Media ini hanya diujicobakan satu kali pada kelas kecil dan dalamwaktu yang

singkat karena keterbatasan waktu siswa kelas XII yang akan menghadapi ujian.

F. Definisi Istilah atau Definisi Operasional

Dalam penelitian pengembangan ini, terdapat beberapa istilah yang akan

dijelaskan secara singkat agar tidak timbul kesalahan penafsiran istilah.

Istilah-istilah tersebut sebagai berikut:

1. Penelitian pengembangan adalah proses penelitian yang dilakukan untuk

menciptakan suatu produk baru, mengembangkan atau menyempurnakan suatu

yang telah ada dan dikembangkan sebelumnya.

2. Pengembangan media pembelajaran adalah penelitian pembuatan media

pembelajaran yang dapat dugunakan sebagai penunjang proses pembelajaran agar

pembelajaran dapat berlangsung secara lebih menarik, efisien, dan efektif.

3. Media audiovisual adalah kombinasi atau perpaduan antara audio dan visual

atau biasa disebut media pandang dengar yang dapat menampilkan unsur gambar

(visual) dan suara (audio).

11
4. Powtoon adalah sebuah software atau perangkat lunak berbasis web yang

membantu pengguna untuk membuat atau mendesain tampilan presentasi animasi

video berupa gambar dan suara yang dapat dijadikan sebagai media pembelajaran.

5. Elektrokimia adalah ilmu yang mempelajari reaksi kimia dengan sifat-sifat

kelistrikan, yang dikarakterisasikan dengan banyaknya elektron yang dimiliki.

Elektrokimia dapat juga disebut dengan perubahan energy kimia menjadi energy

listrik dan energy listrik menjadi energy kimia. Rangkaian elektrokimia

dinamakan sel elktrokimia, yang dibedakan menjadi sel volta dan sel elektrolisis.

12
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kegiatan Belajar dan Pembelajaran

Belajar merupakan proses yang sangat kompleks, yang dilakukan oleh

manusia untuk mencapai suatu perubahan dalam dirinya. Menurut W.S. Winkel

dalam Riyanto (2001 : 5) pengertian belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis,

yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan

perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai

sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas. Seseorang

dikatakan telah mengalami proses belajar jika terjadi perubahan pada orang

tersebut, baik perubahan sikap, tingkah laku, keterampilan, atau pemahamannya.

Perubahan-perubahan ini nantinya diharapkan dalam hal positif dan dengan tujuan

yang baik, bukan sebaliknya. Proses belajar yang baik adalah proses yang

membawa kepada kebaikan dan manfaat. Jika dalam diri seseorang belum

menampakkan perubahan-perubahan, maka dikatakan orang tersebut belum

mengalami proses belajar itu sendiri.

Belajar merupakan suatu proses yang sangat penting di dalam kehidupan.

Belajar merupakan usaha menggunakan sarana atau sumber, di dalam atau di luar

pranata pendidikan, guna perkembangan dan pertumbuhan pribadi. Menurut

Arsyad (2014 : 1), belajar merupakan suatu proses yang kompleks yang terjadi

pada diri setiap individu sepanjang hayatnya karena adanya interaksi antara

seseorang dengan lingkungannya kapan saja dan dimana saja. Adanya interaksi

tiap individu dengan lingkungan menyebabkan individu tersebut akan

13
mendapatkan informasi atau pengetahuan baru yang mungkin belum pernah dia

dapatkan dan ketahui. Interaksi antara individu dengan lingkungan seperti ini

merupakan proses belajar tidak langsung yang terjadi di luar instansi resmi, yang

dapat terjadi setiap saat.

Proses belajar dapat dilaksanakan secara formal, misalnya di sekolah ataupun

secara non-formal, misalnya di pesantren. Baik proses belajar secara formal

ataupun informal, akan memberikan suatu perubahan bagi tiap individu yang

menjalaninya. Perbedaan proses belajar formal dan informal terletak pada struktur

dan tujuan. Menurut Arsyad (2014 : 1), apabila proses belajar itu diselenggarakan

secara formal di sekolah-sekolah, ini dimaksudkan untuk mengarahkan perubahan

pada pribadi siswa secara terencana dan terstruktur, baik dalan aspek pengetahuan,

keterampilan, maupun sikap. Interaksi ynag terjadi selama proses belajar

dipengaruhi oleh lingkungan, antara lain guru, murid, petugas sekolah, kepala

sekolah, bahan atau materi pelajaran, dan berbagai sumber belajar serta

fasilitasnya. Banyak yang beranggapan, jika tidak bisa melakukan proses belajar

formal di sekolah, karena mungkin terdesak oleh faktor biaya atau alasan lainnya,

maka seseorang dikatakan tidak akan pernah bisa melakukan proses belajar.

Salahnya pandangan masyarakat berakibat mereka yang tidak dapat menempuh

pendidikan di sekolah, lantas terhenti dan berputus asa untuk belajar. Padahal,

proses belajar akan terus berlangsung sepanjang hayat dan dapat dilakukan

dimana saja dan kapan saja.

Belajar adalah kegiatan yang dialami oleh setiap manusia dalam hidupnya,

dimulai saat dia bayi sampai akhir hayatnya. Cronbach dalam Suryabrata (2008 :

231) menyatakan bahwa belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami,

14
dan dalam mengalami itu si pelajar mempergunakan panca inderanya.

Penggunaan panca indera ini memungkinkan setiap individu akan mengamati

sekitarnya. Inilah ynag dinamakan proses belajar. Menurut Hamalik (2004: 36)

belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan.

Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu, yakni

mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan

perubahan individu tersebut, baik pengetahuan, sikap, atau pun tingkah laku.

Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat dikatakan bahwa belajar

merupakan proses perubahan diri tiap individu, baik pengetahuan, ketrampilan,

atapun tingkah laku dan sikap. Belajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan

saja, dan belajar akan berlangsung sepanjang hayat, sejak indivu tersebut masih

bayi. Belajar formal dilakukan di sebuah institusi resmi, sedangkan belajar

informal dapat terjadi di luar institusi resmi. Seseorang dikatakan belajar jika

terjadi perubahan dalam dirinya.

B. Media Pembelajaran

Media berasal dari bahasa Latin medius yang berarti “tengah”, “perantara”,

atau “pengantar”. Media merupakan suatu alat yang digunakan untuk

menyampaikan suatu pesan dimana kedudukan media disini sebagai penyampai

pesan. Menurut Gerlach dan Ely (1971) dalan Arsyad (2014 : 3), media apabila

dipahami dalam garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang

membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan,

keterampilan, dan sikap. Dalam proses belajar formal, berdasarkan definisi dari

Gerlach dan Ely, guru, bahan ajar, dan lingkungan sekolah merupakan media.

Akan tetapi, secara lebih khusus, media dalam pembelajaran lebih mengarah

15
kepada alat-alat grafis, photographis, atau alat elektronik lain untuk menangkap,

memproses, dan menyusun kembali suatu informasi visual atau verbal.

Menurut AECT (Association of Education and Communication Technology,

1977), “Educational technology is the study and ethical practice of facilitating

learning and improving performance by creating, using and managing

appropriate technological processes and resources”. AECT memberi batasan

media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan

pesan atau informasi. Fleming (1987) dalam Arsyad (2014 : 3) menyatakan bahwa

media merupakan penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak

dan mendamaikannya. Disini dapat dilihat bahwa media berperan sebagai

mediator penyampai informasi dari pengirim pesan kepada penerima pesan.

Media sebagai penghubung satu orang dengan yang lainnya.

Rusman (2013 : 46) menyatakan bahwa media merupakan wahana penyalur

informasi belajar atau penyalur pesan. Dalam ranah pendidikan, media sebagai

mediator berperan untuk mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama

dalam pembelajaran, yaitu siswa dan isi materi. Mediator disini juga dapat

diartikan sebagai guru ataupun peralatan yang digunakan dalam proses

pembelajaran. Ringkasnya, media adalah alat untuk menyampaikan atau

mengantarkan pesan-pesan pembelajaran dalam proses belajar mengajar.

Gagne dan Briggs (1975) dalam Arsyad (2014 : 4) menyatakan secara implisit

bahwa media pembelajaran meliputi alat, yang secara fisik digunakan untuk

menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari buku, tape recorder, kaset,

video kamera, video recorder, film, slide (gambar berbingkai), foto, gambar,

grafik, televisi, dan komputer. Dengan kata lain, media adalah komponen sumber

16
belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional di lingkungan

siswa yang dapat memberikan stimulus kepada siswa untuk belajar. Disini, media

berperan sebagai sumber motivasi siswa untuk belajar. National Education

Association menyatakan bahwa media sebagai bentuk-bentuk konumikasi baik

tercetak maupun audiovisual dan segala peralatannya. Media dapat dimanipulasi,

dilihat, dan didengar, ataupun dibaca.

Melakukan belajar serta mendapatkan pengetahuan dan keterampilan,

perubahan sikap dan perilaku dapat terjadi karena interaksi antara pengalaman

baru dengan pengalaman yang pernah dialami sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk

meningkatkan keberhasilan dan keefektifan proses belajar mengajar agar berjalan

dengan baik, siswa sebaiknya diajak untuk memanfaatkan semua alat inderanya.

Guru dituntut untuk selalu berusaha memberikan suasan pembelajaran yang

menarik dan inovatif untuk menampilkan stimulus-stimulus yang dapat diproses

dengan berbagai indera, salah satunya melalui media. Menurut Gerlach & Ely

(1971) dalam Arsyad (2014 : 15), media pendidikan memiliki tiga ciri yang

merupakan petunjuk mengapa media digunakan dan apa-apa saja yang dapat

dilakukan oleh media yang mungkin guru tidak mampu atau kurang efisien

melakukannya dalam pembelajaran. Tiga ciri media tersebut, yaitu ciri fiksatif

(fixative property), ciri manipulasi (manipulative property), dan ciri distributif

(distributive property).

Berdasarkan penjelasan dan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan

bahwa media pembelajaran dapat dijadikan sebagai alat penyampai materi

pembelajaran dari guru kepada siswa. Media pembelajaran dapat membantu guru

dalam menyampaikan materi yang kurang dipahami siswa sehingga dapat

17
divisualisasikan dan dipahami dengan mudah oleh siswa. Adanya media

pembelajaran dalam proses belajar mengajar di kelas, dapat meningkatkan

pemahaman siswa dalam menangkap materi sehingga proses pembelajaran dapat

berjalan lebih efektif dan efisien.

C. Media Pembelajaran Audiovisual powtoon

a. Media Pembelajaran Audiovisual

Media diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu media audio (suara), media visual

(gambar, foto), dan gabungan keduanya, yaitu audiovisual (suara dan gambar).

Menurut Abdulhak dan Damawan (2013 : 81), media-media ini telah mengubah

paradigma hasil belajar siswa. Seberapa besar dan bagaimana media-media ini

memengaruhi keberhasilan perubahan perilaku peserta didik maka hal itu

cukuplah menjadi landasan kuat tentang bagaimana seprang guru harus

mempersiapkan media tersebut yang harus direlevansikan dengan karakteristik

materi. Menurut Finn (1960) dalam Abdulhak dan Damawan (2013 : 82),

pengembangan konsep audiovisual sejalan dan seluas pengembangan konsep

tenknik dan konsep ilmu pengetahuan yang lebih memperhatikan, pada awalnya

pada perangkat keras dan perlengkapan.

Dalam ranah pendidikan, media pembelajaran merupakan komponen yang

meliputi pesan, orang, dan alat-alat yang digunakan dalam proses belajar

mengajar. Menurut Arsyad (2014 : 31), media pembelajaran mengikuti

perkembangan teknologi, dengan teknologi yang paling tua adalah percetakan atas

prinsip mekanis, dan yang paling modern atau terbaru adalah teknologi

mikroprosesor dengan penggunaan komputer. Berdasarkan perkembangan

teknologi tersebut, media pembelajaran dikelompokkan ke dalam empat golongan,

18
yaitu (1) media hasil teknologi cetak, (2) media hasil teknologi visual, (3) media

hasil teknologi berdasarkan komputer, dan (4) media hasil gabungan teknologi

cetak dan komputer.

Proses pembelajaran dengan media audivisual dinilai yang paling efektif.

Beberapa ahli percaya bahwa terdapat peningkatan hasil belajar melalui media,

khususnya metode audiovisual. Menurut Arsyad (2014 : 32), teknologi

audiovisual merupakan cara menghasilkan atau menyampaikan materi dengan

menggunakan mesin-mesin mekanis dan elektronik untuk menyajikan

pesan-pesan audio dan visual. Pengajaran dengan audiovisual jelas memiliki

ciri-ciri pemakaian perangkat keras, seperti mesin proyektor, tape recorder, dan

proyektor visual yang lebar selama proses pembelajaran berlangsung. Pengajaran

melalui media audiovisual adalah produksi dan penggunaan materi yang

penyerapannya melalui indera pandangan dan pendengaran serta tidak seluruhnya

tergantung kepada pemahaman kata atau simbol-simbol yang serupa. Arsyad

(2014 : 32) mengemukakan ciri utama teknologi media audiovisual adalah:

1. Biasanya bersifat linear

2. Biasanya menyajikan visual yang dinamis

3. Digunakan dengan cara yang telah ditetapkan sebelumnya olej

perancang/pengembang.

4. Merupakan representasi fisik dari gagasan real atau abstrak

5. Dikembangkan menurut prinsip psikologis behaviorisme dan kognitif

6. Umumnya berorientasi kepada guru dengan tingkat pelibatan interaktif

murid yang rendah.

19
Menurut Hills (1982) dalam Hamalik (2002 : 18), dalam studi teknologi

pendidikan, ada perbedaan gradual antara alat audiovisual (Audiovisual Aids) dan

media audiovisual (Audiovisual media), sebagai berikut.

1. Audio-Visual Aids (AVA) adalah alat-alat yang menggunakan

penginderaan penglihatan dan pendengaran. Suatu pelatihan ynag

menggunakan alat melalui kedua sensoris untuk menerima input dapat

mencapai tingkat efektivitas yang tinggi. Alat-alat yang termasuk ke dalam

AVA meliputi: Sound film, filmstrip, tape/slide, siaran televisi, dan

rekaman video. Perkembangan terakhir ialah mulai digunakannya

microprocessor dalam pembelajaran (multimedia), misalnya pembelajaran

berbasis komputer (CAI), dan pelatihan berbasis komputer (CBT)

2. Media audiovisual pada hakekatnya adalah suatu representasi

(penyajian realitas, terutama melalui penginderaan penglihatan dan

pendengaran) yang bertujuan untuk mempertunjukkan

pengalaman-pengalaman pendidikan yang nyata kepada siswa. Cara ini

dianggap lebih tepat, cepat, dan mudah dibandingkan dengna melalui

pembicaraan, pemikiran, dan cerita mengenai pengalaman pendidikan.

Dengan demikian, media pendidikan berfungsi ganda, yaitu sebagai pembawa,

penyalur pesan/informasi, dan sebagai unsur penting penunjang proses

pembelajaran (Hamalik, 2000 : 20).

Abdulhak dan Dermawan (2013 : 84) menyatakan, teknologi dalam ranah

pendidikan mendayagunakan media berbasis audio-elektronik sebagai media

komunikasi, untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan dari pendidik kepada

para peserta didik. Pendayagunaan media tersebut dapat secara mandiri ataupun

20
dikombinasikan dengan beberapa media lain. Keterlibatan pendidik dalam

komunikasi bergantung pada jenis media yang digunakan, jenis informasi yang

disampaikan, metode komunikasi yang dilaksanakan, pemanfaatan waktu dan

tempat secara tepat, serta kemampuan komunikator/pendidik yang bersangkutan.

Jenis-jenis media audiovisual yang dimaksud antara lain transparansi (penyajian

informasi yang ditulis pada lembaran transparansi dan disajikan melalui bantuan

OHP), slide (penyajian informasi yang tersusun dalam satu unit yang dibagi-bagi

menjadi perangkat slide yang disusun secara sistematis dan disajikan secara

berurutan), filmstrip (penyajian informasi secara berkesinambungan, tidak

terlepas-lepas, tapi sebagai satu unit bahan ynag utuh), siaran radio, film, televisi,

tape atau video recorder, laboratorium, dan komputer.

b. Media Animasi Powtoon

Media audiovisual animasi yang sering digunakan adalah Macromedia Flash.

Flash merupakan salah satu program pembuatan media animasi yang sangat andal.

Hasil akhir dari flash berupa animasi bergerak, video. Video merupakan media

audiovisual yang sangat efektif dan memberikan hasil nyata untuk membantu

proses pembelajaran. Di dalam video, terdapat animasi berjalan yang bisa

membantu siswa memvisualisasikan materi dengan lebih baik. Salah satu media

audiovisual animasi yaitu powtoon. Tidak jauh berbeda dengan flash, powtoon

juga merupakan program untuk membuat sebuah media animasi berbentuk video.

Pembuatan animasi menggunakan powtoon membuat tampilan media saat

penyampaian materi pada proses pembelajaran menjadi lebih menarik karena

berbasis video.

21
Menurut Adkhar (2015), powtoon merupakan aplikasi web online untuk

membuat presentasi atau video animasi kartun dengan cara yang mudah. Powtoon

memiliki fitur animasi sangat menarik, diantaranya animasi tulisan tangan,

animasi kartun, dan efek transisi yang lebih hidup serta pengaturan timeline yang

lebih mudah. Dengan menggunakan powtoon kita akan lebih mudah dalam

membuat animasi untuk video atau presentasi. Spesifikasi laptop atau PC yang

dapat digunakan untuk menjalankan powtoon adalah sebagai berikut:

Processor : Quad Core Celeron atau diatasnya

RAM : minimal 1GB

VGA : On Board

Koneksi internet yang stabil

Gambar 2.1 Tampilan powtoon

22
Gambar 2.2 Tampilan halaman awal program web powtoon

Setelah dijabarkan mengenai powtoon, berikut ini beberapa kelebihan dan

kekurangan media animasi powtoon.

a. Kelebihan powtoon

Kelebihan dari powtoon yakni interface dalam pembuatan video yang baik dan

mudah digunakan, tersedia animasi-animasi yang lucu dan menarik yang dapat

dijadikan sebagai penunjang proses pembelajaran. Selain itu, penggunaan

powtoon yang praktikal, kolaboratif, dan bervariasi.

b. Kekurangan powtoon

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, powtoon merupakan program internet di

web ynag penggunaannya membutuhkan sambungan internet. Jika tidak ada

sambungan internet, maka powtoon tidak bisa dijalankan. Selain itu, untuk

membuat animasi bergerak, video, diperlukan kemahiran dan keterampilan serta

kreativitas ynag tinggi.

23
D. Materi Elektrokimia

Salah satu cabang ilmu kimia adalah elektrokimia yang merupakan gabungan

ranah ilmu antara fisika berupa listrik dan kimia. Menurut Johari dan Rachmawati

(2008 : 33), elektrokimia merupakan perubahan energi kimia menjadi listrik dan

perubahan energi listrik menjadi energi kimia. Elektrokimia dibagi menjadi dua,

yaitu sel galvani (sel volta) dan sel elektrolisis. Sel volta adalah sel elektrokimia

yang dapat mengubah energi kimia dari reaksi redoks spontan menjadi energi

listrik. Prinsip kerja sel volta adalah pemisahan reaksi redoks menjadi dua bagian,

yaitu setengah reaksi oksidasi di anoda dan setengah reaksi reduksi di katoda,

yang dihubungkan oleh jembatan garam dan rangkaian luar berupa kawat.

Elektron akan mengalir dari elektrolit melalui kawat tersebut sehingga

menghasilkan arus listrik yang disebabkan oleh adanya beda potensial antara

katoda dan anoda. Beda potensial ini diukur menggunakan voltmeter. Sedangkan

sel elektrolisis merupakan sel elektrokimia yang dapat mengubah energi listrik

yang digunakan menjadi energi kimia berupa reaksi redoks tidak spontan. Prinsip

kerja sel elektrolisis adalah dengan menghubungkan kutub negatif dari sumber

listrik ke katoda dankutub positif ke anoda. Kutub negatif dari sumber listrik akan

mendorong elektron mengalir ke katoda sehingga katoda bermuatan negatif(-) dan

akan menarik ion-ion positif dalam elektrolit sehinggaterjadi reaksi reduksi.

Sementara itu, kutub positif dari sumber listrik akan menarik elektron dari anoda

sehingga anoda bermuatan positif(+) dan akan menarik ion-ion negatif dalam

elektrolit sehingga akan terjadi reaksi oksidasi.

Menurut Harahap (2016 : 177), elektrokimia merupakan ilmu kimia yang

mempelajari tentang perpindahan elektron yang terjadi pada sebuah media

24
pengantar listrik (elektroda). Elektroda terdiri dari elektroda positif dan elektroda

negatif. Hal ini disebabkan karena elektroda tersebut akan dialiri oleh arus listrik

sebagai sumber energi dalam pertukaran elektron. Konsep elektrokimia didasari

oleh reaksi reduksi-oksidasi (redoks) yang berlangsung secara bersamaan dan

larutan elektrolit. Pada reaksi reduksi terjadi peristiwa penangkapan elektron

sedangkan reaksi oksidasi merupakan peristiwa pelepasan elektron yang terjadi

pada media pengantar pada sel elektrokimia. Proses elektrokimia membutuhkan

media pengantar sebagai tempat terjadinya serah terima elektron dalam suatu

sistem reaksi yang dinamakan larutan.

Menurut Chang (2010 : 838), elektrokimia adalah cabang ilmu kimia yang

berhubungan dari gabungan energi listrik dan energi kimia. Proses elektrokimia

adalah reaksi redoks (oksidasi-reduksi) di mana energi yang dilepaskan oleh

reaksi spontan diubah menjadi listrik atau energi listrik digunakan untuk

menyebabkan reaksi non-spontan. Dalam reaksi redoks, elektron ditransfer dari

satu zat ke zat lainnya. Hilangnya elektron oleh suatu elemen selama oksidasi

ditandai oleh peningkatan nomor oksidasi unsur. Dalam reaksi reduksi, terjadi

penurunan bilangan oksidasi yang dihasilkan dari penangkapan elektron oleh

suatu elemen.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Model Penelitian dan Pengembangan

Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan (Research and

Development / R&D). Penelitian pengembangan (Research and Development)

merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti sehingga

menghasilkan produk baru dan selanjutnya menguji keefektifan produk tersebut

(Sugiyono, 2010). Model yang digunakan untuk penelitian dan pengembangan

media pembelajaran powtoon pada materi elektrokimia adalah model

pengembangan ADDIE yang dikembangkan oleh Reiser dan Mollenda pada tahun

1990. Langkah-langkah dalam model pengembangan ADDIE terdiri dari analysis

(menganalisis), design (merancang), development (mengembangkan),

implementation (menerapkan), dan evaluation (menilai). Pada penelitan dan

pengembangan media pembelajaran yang dilakukan kali ini hanya sampai pada

tahap implementation (menerapkan) yaitu validasi oleh validator, tidak sampai

pada tahap evaluation (menilai) karena uji coba yang dilakukan hanya satu kali

dan dalam waktu yang singkat karena keterbatasan waktu yang dimiliki. Selain itu,

uji coba dilakukan hanya dalam kelas kecil, yaitu dua kelas dari seluruh kelas XII.

Model pengembangan ADDIE dapat dilihat dalam bagan 3.1 berikut.

26
Gambar 3.1 Bagan Tahapan Pengembangan ADDIE

B. Prosedur Penelitian dan Pengembangan

Prosedur penelitian dan pengembangan yang dilakukan mengacu dan merujuk

pada model pengembangan ADDIE oleh Reiser dan Mollenda pada tahun 1990.

Prosedur ini memerlukan tahap-tahap dalam pelaksanaannya, yang disajikan

dalam gambar 3.2 berikut:

Gambar 3.2 Langkah-langkah ADDIE

27
a. Analysis

Kegiatan analisis bertujuan untuk memperoleh informasi dengan cara

melakukan pengamatan atau observasi awal untuk melihat situasi dan kondisi

yang ada di lapangan. Analisis yang dilakukan berupa analisis karakteristik dan

keadaan siswa, penentuan dan analisis materi ajar, analisis proses pembelajaran

yang dilakukan, dan penentuan media. Hasil observasi awal yang dilakukan yaitu

siswa selama ini kesulitan dalam menghadapi materi elektrokimia. Mereka merasa

kesulitan memahami reaksi yang terjadi dalam elektrokimia dan perhitungannya.

Merka juga merasakan bosan saat pembelajaran. Oleh sebab itu siswa

membutuhkan adanya media pembelajaran yang dapat membantu dan

memudahkan siswa dalam memahami materi. Analisis materi dilakukan agar

dapat menentukan isi materi yang akan digunakan dalam media pembelajaran dan

materi-materi apa saja yang perlu untuk ditekankan. Analsis pembelajaran

dilakukan untuk menentukan tujuan pembelajaran dan kompetensi yang ingin

dicapai. Analisis media dilakukan untuk menentukan media apa yang tepat dan

media yang dikembangkan dapat sesuai dengan kompetensi dan kurikulum yang

ada.

b. Design

Pada tahap ini, dilakukan penyusunan draft atas hasil analisis yang telah

dibuat. Draft yang disusun terdiri dari silabus yang berisi tujuan pembelajaran,

kompetensi yang ingin dicapai, peta konsep, dan jadwal pembelajaran.

Penyusunan draft akan membantu dalam proses pembuatan media pembelajaran

dan media yang dibuat akan lebih terstruktur. Pada tahap ini, revisi dilakukan

28
setelah mendapatkan masukan atau saran dari dosen pembimbing. Revisi terus

dilakukan sampai terbentuk draft produk yang sesuai.

c. Development

Draft media yang telah disusun dan dirancang selanjutnya diwujudkan dengan

dalam bentuk produk. Pada tahap ini, dibuat media pembelajaran sebagai

penunjang proses pembelajaran. Tahap pembuatan media meliputi isi materi

dalam media, flowchart berisi garis besar isi dalam media, dan naskah penjelasan

yang akan digunakan dalam media. Media pembelajaran yang dibuat

menggunakan software internet powtoon. Powtoon dimanfaatkan untuk membuat

animasi video yang ringan dan menarik, yang pembuatan dan pengaplikasiannya

sangat mudah dijalankan. Pada tahap ini, dilakukan uji coba produk sebelum

produk digunakan kepada siswa. Revisi diperlukan pada tahap ini dan dilakukan

sampai produk benar-benar telah siap digunakan. Tahap akhir dari development

adalah validasi oleh ahli materi dan ahli media. Validasi yang dilakukan melalui

pemberian angket berisi kritik dan saran tentang kemenarikan dan kelayakan

produk media yang dikembangkan.

d. Implementation

Tahapan berikutnya adalah implementasi. Tahap ini merupakan

pengimplementasian atau penerapan media yang telah dikembangkan ke dalam

situasi pembelajaran yang nyata yakni di kelas. Sebelum media

diimplementasikan, terlebih dahulu divalidasi oleh ahli materi dan ahli media

yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Tahap implementasi ini dapat

digunakan untuk melihat antusias siswa dalam proses pembelajaran menggunakan

29
media yang telah dikembangkan. Untuk melihat antusias siswa dapat ditempuh

dengan memberikan pertanyaan umpan balik kepada siswa maupun dengan cara

pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung.

C. Uji Coba Produk

Uji coba produk bertujuan untuk mengumpulkan data dan mengetahui

kelayakan tingkat keefektifan dan keefisiensian produk media pembelajaran yang

dikembangkan.

a. Desain Uji Coba

Uji coba produk yang akan dilakukan meliputi kelayakan produk. Kelayakan

produk diukur dari materi yang ada dalam produk media pembelajaran dan

kemanarikan media. Uji kelayakan dilakukan dengan pemberian angket kepada

validator yang berisi butir penilaian, kritik, dan saran terhadap produk media.

Selain itu, dilakukan pengamatan dan pemberian pertanyaan umpan balik selama

proses pembelajaran berlangsung untuk mengetahui kemenarikan media yang

dilihat dari antusia siswa.

b. Subjek Coba

Subjek uji coba pada penelitian ini adalah validator dan siswa. Subjek sebagai

validator produk adalah satu dosen kimia, satu dosen media IT, dan dua guru

kimia SMA. Kriteria dosen sebagai validator adalah dosen kimia di FMIPA UM

yang mengetahui tentang elektrokimia dan dosen teknologi komputer FMIPA UM

yang mengetahui tentang media komputer. Untuk kriteria guru kimia sebagai

validator adalah telah menempuh pendidikan sarjana minimal S1 dan memiliki

pengalaman mengajar serta pemahaman tentang materi elektrokimia dengan baik.

30
Subjek untuk uji kemenarikan produk media adalah dua kelas dari seluruh kelas

XII SMA Negeri 1 Pamekasan yang dipilih secara acak.

c. Jenis Data

Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data

kualitatif diperoleh berdasarkan hasil angket berupa komentar, kritik, dan saran

dari validator saat implementasi media maupun dosen pembimbing sebelum

mengimplementasikan media dalam pembelajaran di kelas mengenai bahan ajar

yang dikembangkan. Data kuantitatif diperoleh berdasarkan hasil angket validasi

media pembelajaran oleh validator dan lembar hasil pengamatan kepada siswa

dalam bentuk skala likert sehingga dapat ditentukan kelayakan produk yang

dikembangkan.

d. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data berupa angket yang diaplikasikan dalam bentuk

checklist. Angket penilaian oleh dosen pembimbing dan validitas oleh validator

digunakan untuk menguji kelayakan media pembelajaran yang dikembangkan,

dan angket pengamatan pada siswa untuk menguji kemenarikan media. Aspek

kelayakan ditinjau dari struktur isi materi dalam media, kemudahan dijalankan,

serta kebahasaan penjelasan dalam media. Aspek kemenarikan ditinjau dari

tingkat antusiasme dan pemahaman siswa dalam menjawab pertanyaan umpan

balik selama pembelajaran berlangsung menggunakan media pembelajaran yang

dikembangkan. Angket terdiri dari dua bagian yaitu angket penilaian dalam

bentuk skala likert lima tingkat dan kolom komentar, kritik, dan saran. Kriteria

skala likert dalam angket ditunjukkan pada tabel 3.3 berikut.

31
SKOR KETERANGAN
5 Sangat baik/ sangat menarik/ sangat mudah/ sangat tepat/ sangat
sesuai
4 Baik/ menarik/ mudah/ tepat/ sesuai
3 Cukup baik/ cukup menarik/ cukup mudah/ cukup tepat/ cukup sesuai
2 Kurang baik/ kurang menarik/ kurang mudah/ kurang tepat/ kurang
sesuai
1 Tidak baik/ tidak menarik/ tidak mudah/ tidak tepat/ tidak sesuai
Tabel 3.3 Kriteria Skala Likert (Riduwan, 2016)

e. Teknik Analisis Data

Setelah validasi dilakukan dengan pengisian angket oleh para validator, hasil

angket kemudian dianalisis. Data hasil pengisian angket dianalisis dengan metode

deskriptif persentase. Pada penghitungan angket ini, data checklist disusun dan

diurutkan berdasarkan masing-masing variabel. Setelah itu, dihitung persentase

dari tiap variabel tersebut dengan rumus berikut.

P
 x 100%
n

Keterangan:

P = Persentase

= Jumlah skor penilaian

n = Skor ideal (skor tertinggi tiap aspek x jumlah total validator)

Setelah didapatkan persentase dari tiap variabel, hasil persentase tiap variabel

tersebut selanjutnya dikategorikan berdasarkan tabel 3.4. Media dikatakan layak

digunakan dan memiliki kemenarikan yang tinggi jika hasil angket yang diperoleh

memiliki niai ≥ 61%.

32
Tabel 3.4 Kategori persentase angket

Persentase Skor Kategori


0%-20% Tidak layak
21%-40% Kurang layak
41%-60% Cukup layak
61%-80% Layak
81%-100% Sangat layak

33

Anda mungkin juga menyukai