Anda di halaman 1dari 7

A.

Host
1. Berat Badan Lahir Anak Balita
Berat Badan Lahir Rendah adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2.500
gram yang ditimbang pada saat lahir sampai dengan 24 jam pertama setelah lahir.
Berat badan lahir rendah merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
kematian perinatal dan neonatal. Berat badan lahir berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan perkembangan anak di masa yang akan datang. Bayi lahir dengan berat di bawah
2.500 gram dikategorikan bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Bayi dengan
BBLR akan mengalami gangguan dan belum sempurna pertumbuhan dan pematangan
organ atau alat-alat tubuh, akibatnya BBLR sering mengalami komplikasi yang
berakhir dengan kematian. Status gizi ibu hamil sangat mempengaruhi pertumbuhan
janin dalam kandungan. Apabila status gizi ibu buruk, baik sebelum kehamilan dan
selama kehamilan akan menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR). Hasil
Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa dari hasil penimbangan berat badan waktu
lahir 11,5% lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram atau BBLR. Jika dilihat
dari jenis kelamin, persenatse BBLR lebih tinggi pada bayi perempuan dibandingkan
laki-laki yaitu masing-masing 13% dan 10%.10 Penelitian Hermansyah (2002)
dengan menggunakan desain cross sectional menunjukkan bahwa berat badan lahir
anak balita berhubungan dengan status gizi balita. (p= 0,000).23

2. Status Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang
diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam
imunologi, kuman atau racun kuman(toksin) disebut sebagai antigen. Imunisasi
merupakan upaya pemberian ketahanan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi.
Tujuan imunisasi adalah mencegah penyakit dan kematian anak balita yang
disebabkan oleh wabah yang sering terjangkit, artinya anak balita yang telah
memperoleh imunisasi yang lengkap sesuai dengan umurnya otomatis sudah
memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu maka jika ada kuman yang masuk
ketubuhnya secara langsung tubuh akan membentuk antibodi terhadap kuman
tersebut. Penyakit-penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah
Tuberculosis , Difteri, batuk rejan (Pertusis0, Tetanus, Campak, Polio dan HepatitisB.
Tabel Jadwal Pemberian Imunisasi Yang Wajib di Indonesia
Pemberian Selang waktu
Vaksin Umur
Imunisasi pemberian

BCG 1X - 0-11 bulan

DPT 3X 4 minggu 2-11 bulan

POLIO 4X 4 minggu 0-11 bulan

CAMPAK 1X - 9-11 bulan

HEPATITIS 1&2 = 1 bulan


3X 0-11 bulan
B 1&3 = 6 bulan

Sumber : depkes RI (2002)

3. Status ASI Eksklusif


ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam organik yang
disekresi oleh kelenjar payudara ibu (Mammae), sebagai makanan utama bagi bayi. ASI (Air
Susu Ibu) sebagai makanan yang alamiah juga merupakan makanan terbaik yang dapat
diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang baru dilahirkannya dan komposisinya yang
sesuai untuk pertumbuhan bayi serta ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat
menghindari bayi dari berbagai penyakit. ASI merupakan sumber nutrisi yang sangat penting
bagi bayi dan dalam jumlah yang cukup dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi selama 4-6
bulan pertama. ASI mengandung semua zat gizi yang diperlukan bayi, mengandung zat
kekebalan terhadap penyakit, dan tidak perlu dibeli, sekaligus merupakan ungkapan kasih
sayang ibu kepada bayi. Seiring dengan bertambahnya umur anak, kandungan zat gizi ASI
hanya dapat memenuhi kebutuhan anak sampai umur 6 bulan. Artinya ASI sebagai makanan
tunggal harus diberikan sampai umur 6 bulan. Pemberian ASI tanpa pemberian Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI) disebut menyusui secara eksklusif. ASI mengandung gizi yang
cukup lengkap untuk kekebalan tubuh bayi. Keunggulan lainnya, ASI disesuaikan dengan
sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau
makanan tambahan yang diberikan secara dini kepada bayi. Susu formula sangat susah
diserap usus bayisehingga dapat menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses
pembuatan susu formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini
akan menjadi pemicu terjadinya kurnag gizi pada anak. Untuk mendukung pemberian ASI
Eksklusif di indonesia, pada tahun 1990 pemerintah mencanangkan Gerakan nasional
Peningkatan pemberian ASI (PP-ASI) yang salah satu tujuannya adalah untuk
membudayakan perilaku menyusui secara eksklusif kepada bayi dari lahir sampai dengan
umur 4 bulan. Pada tahun 2004,sesuai dengan anjuran badan kesehatan dunia
(WHO),pemberian Asi eksklusif ditingkatkan menjadi 6 bulan sebagaimana dinyatakan dalan
Keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor 450/MENKES/SK/VI/2004 tahun
2004. Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002, hanya 3,7% bayi
yang memperoleh ASI pada hari pertama. Sedangkan pemberian ASI pada bayi umur kurang
2 bulan sebesar 64%, antara 2-3 bulan 45,5%, antara 4-5 bulan 13,9% dan antara 6-7 bulan
7,8%. Sementara itu cakupan pemberian susu formula meningkat tiga kali lipat dalam kurun
waktu antara 1997 sebesar 10,8% menjadi 32,4% pada tahun 2002. fenomena seperti ini akan
berimbas buruk pada kesehatan anak balita. Menurut Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan bahwa 16% kematian bayi baru lahir bisa dicegah bila bayi disusui
pada hari pertama kelahiran. Angka harapan hidup bayi akan meningkat menjadi 22% jika
bayi disusui pada 1 jam pertama setelah kelahiran. Penelitian Mutiara (2006) dengan
menggunakan desain cross sectional menunjukkan bahwa pemberian ASI Eksklusif
berhubungan dengan status gizi balita. (p= 0,012).29

4. Pemberian Kolostrum
Pemberian kolostrum mempunyai hubungan dengan status gizi anak. Hal ini
sesuai dengan penelitian Hermansyah (2002) dengan menggunakan desain cross
sectional menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian kolostrum terhadap
status gizi anak balita. (p= 0,000).23

5. Tingkat pendidikan Ibu


Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting
yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat pendidkan yang lebih
tingggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi
lebih baik. Masalah gizi sering timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi
tentang gizi yang memadai. Analisis data Susenas 2003, memberikan hasil bahwa pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah menunjukkan prevalensi gizi kurang yang
cukup tinggi, dan sebaliknya pada masyarakat yang tingkat pendidikannya cukup tinggi
prevalensi gizi kurangnya rendah. Ada dua sisi kemungkinan hubungan tingkat pendidikan
orang tua dengan keadaan gizi anak balita. Pertama, tingkat pendidikan kepala keluarga
secara langsung. Kedua, pendidikan ibu modal utama dalam menunjang perekonomian rumah
tangga, juga berperan dalam pola penyusunan makanan rumah tangga maupun dalam pola
pengasuhan anak. Penelitian Sitepu (2006) dengan menggunakan desain cross sectional
menunjukkan bahwa pendidikan ibu berhubungan dengan status gizi anak balita.
(p=0,011).30

6. Pengetahuan Gizi Ibu


Pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu. Pengetahuan tentang gizi akan membantu dalam mencari alternatif
pemecahan masalah kondisi gizi keluarga. Untuk menanggulangi kekurangan konsumsi yang
disebabkan oleh daya beli yang rendah perlu diusahakan peningkatan penghasilan keluarga
dengan memanfaatkan pekarangan sekitar rumah. Pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan
agar dapat mengatasi masalah yang timbul akibat konsumsi gizi. Wanita khususnya ibu
sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap konsumsi makanan bagi keluarga, ibu harus
memiliki pengetahuan tentang gizi baik melalui pendidikan formal maupun informal.
Pentinganya pengetahuan gizi terhadap konsumsi didasari atas tiga kenyataan.
Pertama, Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan. Kedua,
Setiap orang hanya akan cukup gizi yang diperlukan jika makanan yang dimakan mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharan
dan energy. Ketiga, Ilmu gizi memberikan fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan yang baik bagi perbaikan gizi. Penelitian Andarwati (2007) dengan
menggunakan desain cross sectional menunjukkan bahwa pengetahuan ibu berhubungan
dengan status gizi anak balita. Pengetahuan ibu merupakan faktor resiko terhadap status gizi
anak balita. (p=0,001, RP=11,897 ; 95%CI=1,672-84,658).32

7. Pekerjaan Ibu
Dalam hal mengasuh anak, ibu adalah orang yang paling banyak terlibat sehingga
pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan anak. Meningkatnya kesempatan kerja wanita
dapat mengurangi waktu untuk tugas-tugas pemeliharaan anak, kurang pemberian ASI.
Penelitian Sitepu (2006) dengan menggunakan desain cross sectional menunjukkan bahwa
ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak balita. (p= 0,000).

8. Jumlah Anak dalam Keluarga


Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada
masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga terutama mereka yang sangat
miskin, akan lebih mudah memenuhi makanannya jika yang harus diberi makan
jumlahnya sedikit. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah
paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang
paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebagian memang
demikian, sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap
anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat
muda memerlukan pangan relatif lebih banyak dari pada anak-anak yang lebih tua.
Dengan demikian anak-anak yang muda mungkin tidak diberi makan.31
Penelitian Rosmana (2003) dengan menggunakan desain cross sectional
menunjukkan bahwa jumlah anak dalam keluarga berhubungan dengan status gizi
anak balita. (p=0,011).33

9. Penyakit Infeksi
Gangguan gizi dan infeksi sering saling bekerja sama, dan bila bekerja bersama
sama akan memberikan dampak yang lebih buruk dibandingkan bila kedua faktor
tersebut masing-masing bekerja sendiri-sendiri. Infeksi memperburuk taraf gizi dan
sebaliknya, gangguan gizi memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi.
Kumankuman yang tidak terlalu berbahaya pada anak-anak dengan gizi baik,
akan bisa menyebabkan kematian pada anak-anak dengan gizi buruk.5
Gizi kurang menghambat reaksi imunologis dan berhubungan dengan
tingginya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi. Penyakit infeksi pada anak-anak
yaitu Kwashiorkor atau Marasmus sering didapatkan pada taraf yang sangat berat.
Infeksi sendiri mengakibatkan penderita kehilangan bahan makanan melalui muntahmuntah
dan diare. Gizi kurang dan diare sering dihubungkan satu sama lain, walaupun diakui sulit
menentukan kelainan yang mana terjadi lebih dulu, gizi kurang, diare atau sebaliknya.5
Penelitian Mustafa (2005) dengan menggunakan desain cross sectional menunjukkan bahwa
penyakit diare berhubungan dengan status gizi anak balita. Penyakit diare merupakan faktor
resiko terhadap status gizi anak balita. (p=0,032 ; RP=2,21). 34 Penelitian Mustafa (2005)
dengan menggunakan desain cross sectional menunjukkan penyakit ISPA berhubungan
dengan status gizi anak balita. Penyakit ISPA merupakan faktor resiko terhadap status gizi
anak balita. (p=0,038 ; RP=2,19).

B. Environment (Lingkungan)
Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan
kebersihan lingkungan besar pengaruhnya terhadap pengasuhan anak. Makin tersedia
air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap
pelayanan dan sarana kesehatan, makin kecil resiko anak terkena penyakit dan
kekurangan gizi. Faktor lingkungan juga meliputi ketersediaan pangan. Tidak cukupnya
persediaan pangan di keluarga (household food insecurity). Artinya kemampuan
keluarga untuk mencukupi kebutuhan pangan, baik jumlah maupun kebutuhan
gizinya, bagi seluruh anggota keluarganya belum terpenuhi. Ketahanan pangan
keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik hasil produksi maupun dari pasar
atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang
gizi dan kesehatan.

C.Agen
Penyebab langsung timbulnya kurang gizi pada anak balita adalah makanan
tidak seimbang dan penyakit infeksi yang mungkin di derita anak. Kedua penyebab
tersebut saling berpengaruh. Dengan demikian timbulnya kurang gizi tidak hanya
kurang makan tetapi juga karena penyakit, terutama diare dan ISPA. Anak yang
mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya
dapat menderita kurang gizi. Sebaliknya anak yang tidak memperoleh makanan
cukup dan seimbang, daya tahan tubuhnya (immunitas) dapat melemah. Dalam
keadaan demikian anak mudah diserang infeksi dan kurang nafsu makan sehingga
anak kekurangan makan, akhirnya berat badan anak menurun. Apabila keadaan ini
terus berlangsung, anak menjadi kurus dan timbul kurang gizi (KEP). Dalam
kenyataan keduanya (makanan dan penyakit) secara bersama-sama merupakan
penyebab kurang gizi13,20
Penyebab langsung seperti diuraikan pada gambar 2.4, timbul karena ketiga
faktor penyebab tidak langsung, yaitu: (1) tidak cukup tersedia pangan atau makanan
di keluarga, (2) pola pengasuhan anak yang tidak memadai, dan (3) keadaan sanitasi
yang buruk dan tidak tersedia air bersih, serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak
memadai. Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut tidak berdiri sendiri tetapi
saling berkaitan

Anda mungkin juga menyukai