RETROVIRIDAE 2
OLEH
KELOMPOK 7
PEMBAHASAN
BLV memiliki genom stabil, tidak menyebabkan viremia kronis, dan tidak memiliki
situs yang disukai untuk integrasi proviral. Meskipun kurangnya situs integrasi proviral yang
disukai, tumor yang dihasilkan oleh virus pada satu individu biasanya monoklonal dan
memiliki situs integrasi tunggal. Virus ini luput dari tanggapan kekebalan dengan rendahnya
tingkat replikasi virus. BLV ini menyebabkan penyakit Enzootic Bovine Leukosis (EBL)
Epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
BLV peka terhadap pengaruh alam. Virus mati/inaktif pada pemanasan 74ºC selama 16
detik, 60ºC selama 30-60 menit. Virus dapat dibiakkan pada selaput korio alantois telur ayam
berembrio, kultur sel limfosit atau jaringan limpa hewan yang peka biasanya menggunakan
foetal lamb kidney. Di dalam kultur sel, virus berkembang di dalam sitoplasma dengan
membentuk sinsitium (sel multinuklear).
2. Spesies Rentan
Semua bangsa sapi peka terhadap infeksi BLV. Selain sapi, BLV juga menyerang
domba, kambing, babi, kuda, rusa dan kerbau meskipun kejadiannya sangat jarang.
3. Pengaruh Lingkungan
Transmisi alami biasanya terjadi pada sapi umur Iebih dari 1,5 tahun, terutama pada
bulan-bulan musim panas dimana kontak langsung antar hewan lebih sering dan kemungkinan
oleh adanya serangga.
4. Sifat Penyakit
EBL merupakan penyakit pada hewan dewasa, dijumpai hanya pada hewan diatas umur
2 tahun dan umumnya dijumpai pada umur 4-8 tahun. Penyebarannya yang relatif lambat
menunjukan penyakit ini tidak terlalu kontagius. Tingginya angka kejadian pada sapi perah
mungkin disebabkan oleh karena dalam kelompok sapi perah jumlah sapi dewasa Iebih banyak
dengan cara pemeliharaan yang Iebih tertutup, serta waktu pemeliharaan lebih lama (hingga 10
tahun).
Gejala klinis sangat bervariasi, mulai tanpa gejala sampai yang mengalami gangguan
sistemik yang berat, yang berlanjut ke limfositosis persisten dan pembentukan tumor. Kejadian
penyakit Iebih kecil dibandingkan dengan kejadian infeksi karena dipengaruhi oleh faktor-
faktor genetik dan Iingkungan. Hanya sekitar 15% anak yang dilahirkan dari induk penderita
akan mengalami infeksi. Kurang dari 5% sapi yang mengalami infeksi menunjukkan gejala
limfosarkoma dan kurang dari 30% sapi penderita akan memperlihatkan limfomatosis
persisten. EBL akan menyebabkan limfomatosis persisten bila penyakit telah berjalan sangat
lama, pada umur lebih dari 5 tahun.
5. Cara Penularan
Penularan terjadi baik secara horisontal maupun vertikal. Secara vertikal melalui induk
kepada anaknya selama masa kebuntingan, kolostrum, susu dan selama proses kelahiran.
Penularan secara horisontal merupakan cara penularan yang utama antar hewan dan
membutuhkan kontak Iangsung dalam waktu yang lama. Secara mekanis penularan dapat
terjadi melalui jarum suntik dan alat alat operasi yang tercemar virus, gigitan serangga, atau
melalui darah terutama pada luka trauma. Di daerah tropis, seperti Venezuela, kejadian EBL
sangat tinggi karena vektor adanya insekta penghisap darah dalam jumlah tinggi. Stomoxys
calcitrans telah terbukti dapat menularkan penyakit. Secara buatan BLV dapat ditularkan
dengan menyuntikkan 0,0005 ml darah yang mengandung 2.500 limfosit.
6. Distribusi Penyakit
EBL pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 di Jerman. Penyakit ini ditemukan di
Amerika Serikat, Norwegia, Denmark, Jerman, Jepang, Swedia Australia, New Zealand,
Philipina dan mungkin sudah tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian bervariasi dari
4 sampai 24,3%. Negara yang memiliki industri sapi perah yang dikelola secara intensif
memiliki angka kejadian tertinggi, seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan
Jepang. Di Indonesia, secara serologis EBL pernah dilaporkan di wilayah Surabaya, Cilacap
dan Sukabumi. Pada bedah bangkai terjadi pembengkakan di beberapa organ dan kelenjar
limfe.
Gejala Klinis
Masa inkubasi penyakit sangat lama dan pada penularan di alam masa inkubasi tidak
diketahui secara pasti. Pada sapi dewasa sebagian besar (75-90%) menunjukkan adanya
pembesaran hampir di semua organ, tetapi abomasum, jantung, organ visceral dan kelanjar
limfe merupakan organ yang paling sering terkena. Pada umumnya penyakit berkembang
sangat cepat, hewan menjadi kurus dan dapat diikuti adanya kematian. Gejala Klinis yang
nampak tergantung dari organ yang terlibat, antara lain terdapat gejala syaraf seperti paralisis
atau kepincangan, bila tumor menekan sumsum tulang dan syaraf perifer. Perubahan irama
(denyut) jantung, hidroperikardium, atau kegagalan jantung kongestif kanan, bila tumor
melibatkan jantung. Terjadi perubanan nafsu makan, diare bahkan melemah bila saluran
pencernaan terlibat dan terjadi ulserasi pada abomasum. Gejala pernafasan muncul bila terjadi
pembesaran kelenjar limfe retrofaringeal. Pada pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya
limfositosis. Jumlah limfosit dalam darah dapat mencapai 50.000/mm3.
(A)
(B) (C)
Gambar 2. Gejala klinis sapi yang menderita bovine leukimia virus, B.) tampak adanya
pembesaran kelenjar limfa, A.) dan C.) lesi kulit dan tumor pada kelenjar limfe
Gambar 3. A.) dan C.) Tumor pada jantung B.), D.), E.) dan F.) Limfosarkoma
Diagnosa
Diagnosa dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan hematologi,
pemeriksaan secara serologis dan pemeriksaan secara histopatologis. Pemeriksaan secara
serologis hanya digunakan untuk mengetahui infeksi virus BLV tetapi tidak adanya
limfosarkoma. Sedangkan pemeriksaan secara histopatologis digunakan untuk
mengidentifikasi limfosarkoma. Pemeriksaan secara serologis dapat dideteksi antibodi dengan
agar gel immmunidiffusion (AGID), complement fixation test (CFT), radio immunoassay
(RIA), virus neutralization (VN), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) fluorescene
antibody technique (FAT), dan polymerase chain reaction (PCR). Dan pemeriksaan secara
histopatologis ditemukan tumor yang terdiri dari sekumpulan sel limfosit. Untuk skreening
awal dapat dilakukan dengan penghitungan jumlah leukosit dengan pengukuran buffy coat
yang melebihi normal karena adanya peningkatan jumlah leukosit.
Diagnosa Banding
Gejala pada saluran pencernaan harus dibedakan dengan penyakit Johne’s
(Paratuberculosis), gejala jantung dapat dikelirukan dengan perikarditis traumatika atau
endokarditis, gejala syaraf dapat dibedakan dari Rabies atau adanya abses pada sumsum tulang,
sedang gejala pernapasan harus dibedakan dengan Tuberkulosis dan Actinobacillosis.
Anemia infeksi menular (EIA) pertama kali ditemukan di Perancis pada tahun 1843 dan
kemudian dikaitkan dengan infeksi oleh "Agen yang dapat disaring" pada tahun 1904, menjadi
salah satu dari penyakit hewan pertama untuk diberi etiologi virus. Equine Infectious Anemia
Virus (EIAV) merupakan penyebab penyakit EIA pada kuda yang terjadi di seluruh dunia, dan
yang dapat bermanifestasi sebagai sindrom akut yang berakibat fatal dalam waktu satu bulan
onset atau sebagai penyakit kambuh kronis. Virus ini masuk kedalam genus Lentivirus dalam
subfamilli Orthoretrovirinae , Familli Retroviridae (OIE 2013; Sellon dan Long 2014). EIAV
terbatas pada kuda. Semua spesies (OIE 2013; Sellon dan Long 2014). ras dan kelompok
umur kuda retan terhadap infeksi dan bertindak sebagai resevior (MAF 2000). EIAV tidak
ereplikasi pada hewan lain maupun serangga (Cook et al. 1996).
Gejala Klinis
Setelah infeksi primer, gejala klinis yang di tunjukkan pada sebagian besar yang kuda
terinfeksi yaitu demam, setelah masa inkubasi 7-21 hari. Dalam kondisi pada kasus ringan,
demam bisa bertahan kurang dari 24 jam. kuda yang terinfeksi bisa menjadi lemah, depresi,
dengan tanda-tanda tambahan yang mungkin termasuk penyakit kuning, tachypnea, takikardia,
edema pitting ventral, trombositopenia, petechiae pada membran mukus, epistaksis atau feses
bercampur darah.
Tanda-tanda klinis EIA akut sering tidak spesifik yaitu infeksi ditandai dengan adanya demam,
kelemahan, anemia parah, ikterus, takipnea, dan perdarahan petekie pada mukosa. Banyak
kasus akut yang berakibat fatal. sedangkan yang lain masuk ke dalam bentuk subakut, di mana
demam terus moderat diikuti dengan pemulihan. Pemulihan dari salah satu penyakit akut atau
subakut diikuti oleh infeksi penyakit seumur hidup. Kuda dengan viremia dapat pulih, tetapi
beberapa mengalami tahap berulang dari penyakit, sedangkan yang lain berkembang menjadi
penyakit kronis yang bervariasi dari tanda-tanda penyakit ringan dan kegagalan untuk
berkembang menjadi episodik atau demam persisten, cachexia, anemia, dan edema ventral.
Epidemiologi
Serangga penghisap darah adalah cara utama penularan secara alami (Sellon dan Long
2014) dan lebih sering ditularkan melalui gigitan serangga penghisap darah (Hans et al. 2104).
Lalat tabanid dan lalat stabile (Stomoxys spp.) berpotensi menjadi vektor mekanik dari Equine
Infectious Anemia Virus . Penularan umumnya terjadi pada musim panas di daerah dataran
rendah, lembab, rawa. Prevalensi bisa sangat tinggi pada peternakan di mana infeksi telah
menjadi enzotik selama bertahun-tahun. Kuda yang terinfeksi adalah sumber infeksi penting
transmisi EIAV ke kuda lainnya (Sellon dan Long 2014) . Penyebaran latrogenik dengan
menggunakan peralatan yang tidak steril telah menyebabkan beberapa wabah besar.
Infeksi transplasental telah diketahui yaitu melaui; kolostrum dan susu, air liur dan urin.
Tingkat morbiditas dan keparahan klinis tanda-tanda dipengaruhi oleh strain dan dosis virus,
dan kesehatan hewan. Kehadiran EIAV dalam kawanan sering tidak diketahui sampai
beberapa kuda mengembangkan bentuk penyakit kronis atau biasanya di ketahui pada saat tes
rutin pada kuda. Kejadian penyakit EIA belum di laporkan di indonesia (Kepmentan No.
3238/2009).
Mekanisme yang tepat terjadinya anemia dan trombositopenia yang terjadi pada beberapa kuda
terinfeksi masih belum pasti, meskipun di dalamnya terjadi lisis sel darah merah. Vaskulitis
dan glomerulonefritis yang terjadi pada beberapa hewan merupakan hasil dari deposisi
kompleks imun antigen virus dan antibodi spesifik. Perdarahan mungkin merupakan akibat dari
trombositopenia.
Variasi gen amplop yang terjadi selama virus-aplikasi-mutasi yang diinduksi mengarah
pada munculnya varian virus selama infeksi persisten; varian baru ini memiliki epitop netral-
sensitif baru dalam gp90, dan pada penyakit berulang terkait dengan munculnya varian
antigenik ini yaitu protein amplop gp90. Uji netralisasi menmbuktikan serum yang
dikumpulkan selama kondisi demam awal dapat menetralkan isolat yang terkait dengan
pembentukan infeksi, tetapi gagal menetralisir virus yang diisolasi dari kondisi demam
berikutnya.
Diagnosa
Dua tes serologi yang paling umum digunakan adalah tes agar gel immunodiffusion
(AGID atau Coggins) dan enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA). biasanya
seronegatif dalam tes AGID dilakukan pada kuda selama 2-3 minggu setelah infeksi; dalam
kasus yang jarang terjadi, mungkin tidak berkembang dan terbentunya antibodi hingga 60 hari
setelah infeksi. ELISA dapat mendeteksi antibodi lebih awal dari tes AGID dan lebih sensitif,
tetapi hasil positif yang salah lebih mungkin terjadi. Untuk alasan ini, hasil positif pada ELISA
dikonfirmasi dengan tes AGID atau imunoblotting (Western blotting). Reverse-transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR) tes, juga dapat digunakan untuk mendeteksi kuda yang
terinfeksi.
Tes-tes ini berharga dalam menentukan status infeksi anak kuda yang lahir dari kuda yang
terinfeksi, karena hewan muda mungkin memiliki antibodi induk hingga usia 6-8 bulan. Tes
PCR juga dapat digunakan untuk melengkapi atau mengkonfirmasi tes serologis, terutama
ketika ada hasil yang bertentangan atau ketika dicurigai sudah terinfeksi tetapi serologi negatif
atau samar-samar (misalnya, pada kasus-kasus awal di mana antibodi tidak dikembangkan).
Selain itu, teknik ini dapat memastikan donor darah dan kuda yang digunakan untuk vaksin
atau produksi antiserum, tidak terinfeksi virus tersebut. RT-PCR tampaknya menjadi metode
diagnosis yang efektif pada kuda.
Isolasi virus biasanya tidak diperlukan untuk mendiagnosis, tetapi bisa dilakukan.
EIAV dapat ditemukan di plasma dan leukosit darah selama kondisi demam; antara periode
ini, virus ini terkait dengan sel. Isolasi virus dilakukan dalam leukosit kuda; Tetapi tes ini
(isolasi virus) mungkin tidak tersedia di semua laboratorium karena sel-sel sulit tumbuh.
Identitas virus dapat dikonfirmasi dengan tes ELISA yang bersifat spesifik-antigen, tes
imunofluoresensi atau PCR.
Kekebalan
Infeksi EIAV awal menyebabkan viremia plasma titer tinggi, infeksi dalam waktu tiga
minggu setelah paparan. Baik tanggapan khusus virus ,yang humoral maupun seluler
diperlukan untuk menghentikan viremia awal, melalui aksi sel T sitotoksik spesifik virus dan
virus specific non-netralisasi antibodi. Kuda yang terinfeksi mengembangkan respons yang
kuat terhadap kedua permukaan (gp90) dan transmembran (gp45) protein dari virus. Namun,
rendahnya tingkat infeksi virus dan replikasi virus terjadi pada makrofag jaringan tanpa adanya
gejala pada kuda pembawa yang terinfeksi, dengan kehadiran terkait virus dalam plasma.
Pentingnya kontrol kekebalan tubuh, telah ditunjukkan dalam pengaturan eksperimental.
penekanan kekebalan dikaitkan dengan reaktivasi virus dan timbulnya gejala penyakit lama
setelah infeksi awal.
Limfosit T sitotoksik (CTL) yang dihasilkan oleh kuda yang terinfeksi untuk
mengenali dan melisiskan sel yang mengekspresikan epitope Gag atau Env. CTLs diarahkan
ke Rev epitope telah ditemukan pada kuda yang terinfeksi secara subklinis, menyarankan
bahwa respon terhadap protein pengatur utama ini dapat mengendalikan hasil penyakit.
Antibodi penawar khusus virus itu mampu memblokir strain yang menginfeksi, biasanya hanya
muncul setelah 2 atau 3 bulan setelah infeksi, menggambarkan bahwa antibody tidak
bertanggung jawab atas penghentian episode akut. Tingkat antibodi penawar tidak berkorelasi
dengan perjalanan penyakit, sebagai titer antibodi menetralkan berfluktuasi secara signifikan
selama infeksi dan peran mereka dalam mengendalikan replikasi virus masih belum jelas.
Penularan virus di area enzotic dapat dikurangi dengan memastikan agar kandang kuda
dan fasilitasnya yang aman dari serangga pada musim panas dan waktu senja saat serangga
paling aktif menggigit. Penularan iatrogenic dihindari dengan kebersihan yang dijaga dengan
baik. EIAV sekarang dikendalikan di banyak negara Ddengan pengujian ketat untuk
mengidentifikasi kuda yang terinfeksi. Kuda seropositif lebih baik di eutanasia atau disimpan
di karantina selama sisa hidup mereka.
2.3. Feline immunodeficiency virus (FIV)
2.3.1. Pengertian
Feline Immunodeficiency Virus (FIV) merupakan salah satu penyakit yang disebabkan
oleh virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh kucing. FIV disebabkan oleh virus dari
genus Lentivirus, famili Retroviridae dan Subfamili Orthoretrovirinae. Virus ini dapat
menyebabkan sindrom yang mirip dengan AIDS pada manusia. Terdapat 5 subtipe FIV virus
yang ada saat ini. Virus ini berjalan lambat pada tubuh kucing. Kucing yang terinfeksi biasanya
tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun setelah terinfeksi. Terkadang kucing masih
sehat dan hanya menjadi pembawa (carrier) dan dapat menularkan virus dalam jangka waktu
yang lama.
Ketika virus ini menyerang, kekebalan tubuh kucing akan menjadi semakin lemah.
Lemahnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh tidak dapat mengatasi adanya serangan dari
berbagai sumber penyakit lainnya sehingga muncul infeksi tambahan terkait dengan penekanan
kekebalan progresif yang mengarah ke peningkatan kerentanan terhadap infeksi oportunistik.
Virus ini hampir sama dengan Feline Leukimia Virus (FeLV) karena berasal dari jenis
virus yang sama, yaitu retrovirus. Namun keduanya merupakan penyakit yang sama sekali
berbeda. Pada manusia, virus ini bernama Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang juga
menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya. Namun FIV tidak menular pada manusia
maupun sebaliknya. Sama seperti HIV, FIV tidak ada obatnya. Penanganan yang dilakukan
hanya untuk mencegah terjadinya infeksi tambahan yang lebih parah.
2.3.2. Epidemiologi
FIV pertama kali ditemukan di utara Cattery California pada tahun 1986, merupakan
penyebab utama imunodefisiensi kronis kucing di Indonesia. FIV adalah retrovirus milik
keluarga lentivirus.
Infeksi FIV terjadi pada kucing domestik di seluruh dunia, dan pada berbagai spesies
kucing liar. Seroprevalensi dalam survei acak pada kucing domestik asimptomatik biasanya
rendah (-1%), tetapi meningkat menjadi 30% pada kucing domestik yang sakit. Kejadian
infeksi juga jauh lebih tinggi di daerah tertentu. Studi epidemiologi menyatakan sejumlah 1205
kucing di Kanada Barat positif terjangkit FIV sebanyak 5.5% dengan prevalensi jantan lebih
banyak daripada betina (Ravi et al., 2010)
Meski kejadiannya belum pasti ditentukan, Insiden ini paling tinggi pada kucing liar
dan di Indonesia menunjukkan bahwa gigitan kucing yang terjadi selama perkelahian
merupakan sumber penularan virus, terutama transmisi melalui salivanya.
Virus ini tidak memunculkan gejala apapun selama bertahun-tahun sehingga kucing
terlihat normal seperti kucing sehat lainnya. Meskipun tidak memunculkan gejalanya,
sebenarnya penyakit ini terus berkembang di dalam tubuh kucing dan sewaktu-waktu membuat
tubuhnya lemah. Keadaan ini dapat membuat kucing terkena infeksi sekunder, seperti infeksi
dari bakteri atau fungi. Beberapa kucing yang mengalami infeksi tidak menunjukkan tanda-
tanda kesembuhan pada penyakitnya.
Penyakit terkait FIV terjadi dalam tiga tahap yakni, tahap akut yang ditandai oleh
limfadenopati dan demam, tahap subklinis yang panjang, dan tahap terminal yang ditandai
dengan hilangnya fungsi kekebalan tubuh secara progresif, infeksi oportunistik, dan, kadang-
kadang, neoplasia.
Tanda-tanda klinis yang umum muncul adalah serupa dengan kucing yang terinfeksi
virus leukemia kucing. Diantaranya :
Penyakit Jembrana adalah penyakit infeksi akut yang sangat fatal yang terjadi
secara eksklusif pada sapi Bali (Bos javanicus) yang disebabkan oleh virus penyakit
Jembrana (JDV). Virus ini telah diidentifikasi baru-baru ini sebagai lentivirus
(HARTANINGSIH et al., 1993, RADOSTITS et al., 2000, BARBONI et al., 2001).
Penyakit ini ditandai dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (MURPHY et al., 1999).
Akibatnya, penyakit ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar terutama bagi
petani kecil.
Epidemiologi
Epizootik asli penyakit Jembrana diakui pada tahun 1964 di kabupaten
Jembrana, Bali. Diperkirakan 60% populasi sapi dan kerbau di Bali diserang dengan
kematian 98,9% (RAMACHANDRAN, 1997). Ini diikuti oleh wabah lain pada tahun
1972 dan 1973, yang memperluas penyakit di seluruh pulau (SOEHARSONO dan
TEMADJA, 1997). Pada tahun 1992, penyakit yang serupa dengan JD dilaporkan di
provinsi dan pulau-pulau lain di Indonesia (Lampung, Bengkulu, Sumatra Selatan,
Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Kalimantan Selatan). Tiga puluh tahun setelah epidemi
pertama, JD dianggap sebagai endemik di seluruh pulau Bali dengan wabah sporadis
pada interval 4-5 tahun (PUTRA dan SULISTYANA, 1997). Berdasarkan sejarah
kontrol JD di Indonesia, tampaknya beberapa pendekatan yang digunakan oleh
pemerintah pada awal wabah JD berkontribusi pada ekspansi ini penyakit.
RAMACHANDRAN (1997) menggarisbawahi bahwa ada diagnosis yang salah di
mana JD didiagnosis sebagai rinderpest meskipun temuan bahwa perubahan
histopatologi pada JD jelas berbeda dari yang didokumentasikan untuk rinderpest.
Diagnosis menyesatkan ini diikuti oleh program vaksinasi rinderpest masal oleh
Direktorat Kesehatan Hewan (SOEHARSONO dan TEMADJA, 1997)
Namun, kontak dekat dengan hewan yang terinfeksi selama fase akut penyakit
ketika menular cenderung menjadi rute utama penularan JD. Dalam uji coba
SOEHARSONO et al. (1995) mengamati keberadaan virus JD dalam air liur, susu dan
urin selama tahap demam dan kemampuan untuk menularkan penyakit dengan
inokulasi oral, intranasal dan konjungtiva. Ini menunjukkan bahwa infeksi dari ekskresi
hewan yang terinfeksi dapat terlibat dalam penyebaran penyakit. Kemungkinan ini
dibuktikan oleh fakta bahwa sapi yang dimiliki oleh peternak individual cenderung
semuanya terinfeksi (antibodi-positif) atau semua tidak terinfeksi (antibodi-negatif)
(SOEHARSONO et al., 1995). Selain itu, sistem peternakan sapi di Indonesia
berpotensi mempercepat penyebaran penyakit JD. Sebagian besar ternak dimiliki oleh
peternak kecil yang diberi makan sistem potong-dan-potong. Hewan-hewan
biasanya ditambatkan di ladang rumput komunal. Di beberapa desa, sapi ditempatkan
di rumah hewan kolektif (NITIS, 1994). Praktik ini memungkinkan kontak erat antara
hewan yang berpotensi memindahkan agen penyakit dari hewan yang terinfeksi ke
hewan lain dalam kelompok yang sama.
Untuk mengatasi rute kontak yang dekat dari transmisi sebagai konsekuensi dari
sistem pertanian, pemerintah daerah dan dinas kesehatan hewan harus mendekati para
petani untuk melaporkan setiap dugaan insiden JD dan menghindari pencampuran
hewan yang terinfeksi dengan yang sehat. Peternak sebagai pemilik ternak adalah garis
pertama dalam mendeteksi penyakit. Mereka dapat mempercepat atau menghambat
penyebaran penyakit. Oleh karena itu, informasi yang dapat dimengerti tentang JD
harus diberikan kepada petani. Karena banyak petani adalah orang awam dan umumnya
memiliki tingkat pendidikan yang rendah, beberapa tanda patognomonik JD dapat
digunakan sebagai indikasi bagi petani.
Mengenai status kekebalan pasca infeksi, ada bukti bahwa sapi Bali pulih
menjadi hewan pembawa kekebalan. Dalam sebuah infeksi eksperimental, PUTRA dan
SULISTYANA (1997) menemukan bahwa sapi Bali dengan antibodi yang dideteksi
ELISA adalah tantangan resistensi JDV. Sementara itu WILCOX et al., (1995)
melaporkan bahwa kekambuhan penyakit klinis tidak mungkin terjadi pada hewan
dengan antibodi JDV. Antibodi itu masih terdeteksi 59 minggu setelah infeksi. Ini
menunjukkan bahwa ada kemungkinan untuk mencegah infeksi pada sapi, yang
sebelumnya telah terpapar agen penyakit. Paparan mungkin dapat disebabkan oleh
vaksinasi atau paparan alami di daerah endemis
Tanda-tanda klinis
Tanda-tanda klinis utama yang diamati dalam kasus-kasus JD pada sapi Bali
adalah demam, kelesuan dan malas untuk bergerak, pembesaran kelenjar getah bening
superfisial, terutama kelenjar getah bening prescapular dan prefemoral dan parotid,
hipersalivasi dan diare dengan darah (SOEHARSONO et al., 1997, WILCOX et al.,
1995). Pada infeksi eksperimental, SOEHARSONO et al. (1997) menemukan tidak ada
tanda-tanda klinis pada infeksi JD. Secara klinis-patologis, hewan dengan JD
mengembangkan leukopenia bersamaan dengan periode demam terutama karena
limfopenia. SOEHARSONO et al. (1997) mengamati ada pengurangan PCV, jumlah
eritrosit, nilai Hb dan jumlah protein plasma yang terjadi pada awal demam. Sementara
itu, konsentrasi urea darah meningkat tajam tetapi pada hewan yang pulih konsentrasi
urea darah kembali normal. Konsentrasi urea darah yang tinggi menunjukkan bahwa
ini mungkin berkontribusi terhadap kematian hewan. Konsentrasi urea darah pada
infeksi JD kemungkinan terkait dengan lesi ginjal, yang secara konsisten terdeteksi
pada hewan dengan JD (SOEHARSONO et al., 1997).
Diagnosis
Dalam kondisi lapangan, penyakit Jembrana sulit didiagnosis berdasarkan tanda-
tanda klinis semata. Ini karena penyakit ini sering dikaitkan dengan terjadinya infeksi
sekunder seperti pneumonia (SOEHARSONO et al., 1997). Namun, beberapa tanda
klinis yang konsisten dapat digunakan dalam mendiagnosis JD secara klinis.
Pembesaran yang ditandai dari kelenjar getah bening superfisial terutama kelenjar getah
bening prescapular, prefemoral dan parotid adalah salah satu tanda klinis yang
konsisten dari JD. Selain itu, karena keunikan penyakit ini, yang sebagian besar
menyerang sapi Bali, berkembang biak dan lokasi geografis dapat dipertimbangkan
untuk diagnosis penyakit. Namun, diagnosis berdasarkan tanda-tanda klinis dan riwayat
semata tidak meyakinkan karena penyakit lain mungkin menunjukkan tanda-tanda yang
sama.
Diagnosis laboratorium virus penyakit Jembrana telah dikembangkan terutama
berdasarkan tes imunologis. ELISA, metode cepat dan sederhana telah dikembangkan
untuk mendeteksi infeksi JDV menggunakan virus yang dimurnikan sukrosa sebagai
antigen. Namun, dalam sebuah penelitian Burkala et al. (1998) menemukan ELISA
konvensional yang menggunakan seluruh virus sebagai antigen tidak spesifik dalam
mendeteksi JDV dengan mengungkapkan sedikit reaktivitas dengan serum dari sapi
yang terinfeksi dan pulih JDV. Hal ini mungkin disebabkan oleh reaktivitas silang
antara rekombinan protein kapsid (CA) rekombinan dari virus JD dengan antisera virus
bovine immunodeficiency (BIV) yang menunjukkan kedua lentivirus sapi ini memiliki
epitop antigenik yang sama yang terdapat dalam kapsid (BURKALA et al., 1998). Hasil
yang konsisten ditunjukkan dalam penyelidikan untuk mendeteksi infeksi lentivirus
sapi di Australia Barat (BURKALA et al., 1998) di mana semua sampel serum
antibodipositif dengan antigen protein JDV CA adalah juga antibodi-positif terhadap
antigen BIV CA rekombinan
Pengobatan
Karena penyakit Jembrana disebabkan oleh virus, METHAROM et al. (2000)
menyatakan bahwa belum ada pengobatan atau vaksin pencegahan untuk JD. Namun,
bukti bahwa sapi mengembangkan kekebalan protektif setelah pemulihan dari JD
menunjukkan kemungkinan untuk menginduksi kekebalan pada sapi Bali dengan
vaksinasi dengan antigen yang sesuai.
Kontrol
Mengontrol pergerakan hewan di daerah yang terinfeksi adalah salah satu cara
yang paling layak untuk mengurangi insiden infeksi baru di daerah lain di Indonesia
dan untuk memerangi penyebaran penyakit ini. Dalam keadaan ini, tindakan
pemerintah melalui penegakan aturan karantina sangat penting. Meskipun kebijakan
pemerintah untuk melarang e kspor sapi dari Bali (RAMACHANDRAN, 1997)
tampaknya secara ekonomi tidak menguntungkan bagi para petani, opsi ini mencegah
kerugian yang lebih besar di wilayah yang lebih luas di Indonesia. Namun, tindakan
pemerintah semata-mata tidak akan berhasil tanpa partisipasi dari masyarakat dan
petani. Kasus-kasus penyelundupan ternak yang berpotensi menyebarkan penyakit ini
masih tinggi karena ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan pemantauan
karantina yang memadai di kepulauan yang begitu luas. Pendidikan dan pendekatan
masyarakat sangat penting untuk menyelesaikan masalah ini