Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH ILMU PENYAKIT VIRAL

RETROVIRIDAE 2

OLEH

KELOMPOK 7

1. MARIA SKOLASTIKA PENI (1709010014)


2. MARIA J. D. NIHAMAKING (1709010018)
3. STIVANI J. BEDA (1709010032)
4. MICHAELA M. DAEL (1709010048)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2019
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Bovine Leukemia Virus (BLV)


Bovine leukemia virus diklasifikasikan dalam genus Deltaretrovirus, yang juga
termasuk yang terkait virus human T lymphotropic virus tipe 1 (HTLV-1) dan simian T
lymphotropic virus (STLV-1, -2, dan -3). Bovine Leukemia Virus (BLV) merupakan oncovirus
tipe C dari subfamili Oncovirinae, famili Retroviridae. Partikel virus adalah single stranded
Ribonucleic Acid (ss-RNA) yang menghasilkan poliprotein yang terdiri dari empat macam,
yakni nukleoprotein p12, protein kapsid p24, transmembran glikoprotein gp30 dan glikoprotein
amplop gp5l dan beberapa enzim seperti reverse transkriptase. Virus berukuran 70-110 nm,
berbentuk bulat kasar, bersifat pleomorfik, diselubungi amplop.

Gambar 1. struktur skematik Bovine Leukemia Virus

BLV memiliki genom stabil, tidak menyebabkan viremia kronis, dan tidak memiliki
situs yang disukai untuk integrasi proviral. Meskipun kurangnya situs integrasi proviral yang
disukai, tumor yang dihasilkan oleh virus pada satu individu biasanya monoklonal dan
memiliki situs integrasi tunggal. Virus ini luput dari tanggapan kekebalan dengan rendahnya
tingkat replikasi virus. BLV ini menyebabkan penyakit Enzootic Bovine Leukosis (EBL)

 Epidemiologi
1. Sifat Alami Agen

BLV peka terhadap pengaruh alam. Virus mati/inaktif pada pemanasan 74ºC selama 16
detik, 60ºC selama 30-60 menit. Virus dapat dibiakkan pada selaput korio alantois telur ayam
berembrio, kultur sel limfosit atau jaringan limpa hewan yang peka biasanya menggunakan
foetal lamb kidney. Di dalam kultur sel, virus berkembang di dalam sitoplasma dengan
membentuk sinsitium (sel multinuklear).

2. Spesies Rentan

Semua bangsa sapi peka terhadap infeksi BLV. Selain sapi, BLV juga menyerang
domba, kambing, babi, kuda, rusa dan kerbau meskipun kejadiannya sangat jarang.

3. Pengaruh Lingkungan

Transmisi alami biasanya terjadi pada sapi umur Iebih dari 1,5 tahun, terutama pada
bulan-bulan musim panas dimana kontak langsung antar hewan lebih sering dan kemungkinan
oleh adanya serangga.

4. Sifat Penyakit

EBL merupakan penyakit pada hewan dewasa, dijumpai hanya pada hewan diatas umur
2 tahun dan umumnya dijumpai pada umur 4-8 tahun. Penyebarannya yang relatif lambat
menunjukan penyakit ini tidak terlalu kontagius. Tingginya angka kejadian pada sapi perah
mungkin disebabkan oleh karena dalam kelompok sapi perah jumlah sapi dewasa Iebih banyak
dengan cara pemeliharaan yang Iebih tertutup, serta waktu pemeliharaan lebih lama (hingga 10
tahun).

Gejala klinis sangat bervariasi, mulai tanpa gejala sampai yang mengalami gangguan
sistemik yang berat, yang berlanjut ke limfositosis persisten dan pembentukan tumor. Kejadian
penyakit Iebih kecil dibandingkan dengan kejadian infeksi karena dipengaruhi oleh faktor-
faktor genetik dan Iingkungan. Hanya sekitar 15% anak yang dilahirkan dari induk penderita
akan mengalami infeksi. Kurang dari 5% sapi yang mengalami infeksi menunjukkan gejala
limfosarkoma dan kurang dari 30% sapi penderita akan memperlihatkan limfomatosis
persisten. EBL akan menyebabkan limfomatosis persisten bila penyakit telah berjalan sangat
lama, pada umur lebih dari 5 tahun.

5. Cara Penularan

Penularan terjadi baik secara horisontal maupun vertikal. Secara vertikal melalui induk
kepada anaknya selama masa kebuntingan, kolostrum, susu dan selama proses kelahiran.
Penularan secara horisontal merupakan cara penularan yang utama antar hewan dan
membutuhkan kontak Iangsung dalam waktu yang lama. Secara mekanis penularan dapat
terjadi melalui jarum suntik dan alat alat operasi yang tercemar virus, gigitan serangga, atau
melalui darah terutama pada luka trauma. Di daerah tropis, seperti Venezuela, kejadian EBL
sangat tinggi karena vektor adanya insekta penghisap darah dalam jumlah tinggi. Stomoxys
calcitrans telah terbukti dapat menularkan penyakit. Secara buatan BLV dapat ditularkan
dengan menyuntikkan 0,0005 ml darah yang mengandung 2.500 limfosit.

6. Distribusi Penyakit

EBL pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 di Jerman. Penyakit ini ditemukan di
Amerika Serikat, Norwegia, Denmark, Jerman, Jepang, Swedia Australia, New Zealand,
Philipina dan mungkin sudah tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian bervariasi dari
4 sampai 24,3%. Negara yang memiliki industri sapi perah yang dikelola secara intensif
memiliki angka kejadian tertinggi, seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan
Jepang. Di Indonesia, secara serologis EBL pernah dilaporkan di wilayah Surabaya, Cilacap
dan Sukabumi. Pada bedah bangkai terjadi pembengkakan di beberapa organ dan kelenjar
limfe.

 Gejala Klinis
Masa inkubasi penyakit sangat lama dan pada penularan di alam masa inkubasi tidak
diketahui secara pasti. Pada sapi dewasa sebagian besar (75-90%) menunjukkan adanya
pembesaran hampir di semua organ, tetapi abomasum, jantung, organ visceral dan kelanjar
limfe merupakan organ yang paling sering terkena. Pada umumnya penyakit berkembang
sangat cepat, hewan menjadi kurus dan dapat diikuti adanya kematian. Gejala Klinis yang
nampak tergantung dari organ yang terlibat, antara lain terdapat gejala syaraf seperti paralisis
atau kepincangan, bila tumor menekan sumsum tulang dan syaraf perifer. Perubahan irama
(denyut) jantung, hidroperikardium, atau kegagalan jantung kongestif kanan, bila tumor
melibatkan jantung. Terjadi perubanan nafsu makan, diare bahkan melemah bila saluran
pencernaan terlibat dan terjadi ulserasi pada abomasum. Gejala pernafasan muncul bila terjadi
pembesaran kelenjar limfe retrofaringeal. Pada pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya
limfositosis. Jumlah limfosit dalam darah dapat mencapai 50.000/mm3.
(A)

(B) (C)

Gambar 2. Gejala klinis sapi yang menderita bovine leukimia virus, B.) tampak adanya
pembesaran kelenjar limfa, A.) dan C.) lesi kulit dan tumor pada kelenjar limfe

 Patologi dan Patogenesis


Penyakit EBL ditandai dengan meningkatnya sel leukosit dalam darah dengan sel
B limfosit sebagai target sel. Hal ini terjadi karena adanya rangsangan virus BLV pada jaringan
limfatik sehingga sel-sel jaringan tersebut mengalami hiperplasia. Karena sel limfosit
hiperplasia, maka manifestasi yang tampak berupa pembengkakan jaringan limfatik terutama
limfoglandula perifer dan juga dapat menyebabkan terbentuknya limfosarkoma hampir di
semua organ. (Amills et al. 2004).
Limfosarkoma dapat tampak berwarna kuning kecokelatan, massa nodular diskrit,
atau infiltrat jaringan difus. Pola yang terakhir menghasilkan organ yang membesar dan pucat
dan dapat dengan mudah disalahartikan sebagai perubahan degeneratif daripada neoplasia.
Secara histologis, massa tumor tersusun atas sel limfositik monomorfik yang padat.

A.) B.) C.)

D.) E.) F.)

Gambar 3. A.) dan C.) Tumor pada jantung B.), D.), E.) dan F.) Limfosarkoma
 Diagnosa
Diagnosa dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan hematologi,
pemeriksaan secara serologis dan pemeriksaan secara histopatologis. Pemeriksaan secara
serologis hanya digunakan untuk mengetahui infeksi virus BLV tetapi tidak adanya
limfosarkoma. Sedangkan pemeriksaan secara histopatologis digunakan untuk
mengidentifikasi limfosarkoma. Pemeriksaan secara serologis dapat dideteksi antibodi dengan
agar gel immmunidiffusion (AGID), complement fixation test (CFT), radio immunoassay
(RIA), virus neutralization (VN), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) fluorescene
antibody technique (FAT), dan polymerase chain reaction (PCR). Dan pemeriksaan secara
histopatologis ditemukan tumor yang terdiri dari sekumpulan sel limfosit. Untuk skreening
awal dapat dilakukan dengan penghitungan jumlah leukosit dengan pengukuran buffy coat
yang melebihi normal karena adanya peningkatan jumlah leukosit.
 Diagnosa Banding
Gejala pada saluran pencernaan harus dibedakan dengan penyakit Johne’s
(Paratuberculosis), gejala jantung dapat dikelirukan dengan perikarditis traumatika atau
endokarditis, gejala syaraf dapat dibedakan dari Rabies atau adanya abses pada sumsum tulang,
sedang gejala pernapasan harus dibedakan dengan Tuberkulosis dan Actinobacillosis.

 Kontrol dan Pencegahan


Sampai dengan saat ini belum tersedia vaksin untuk pencegahan infeksi virus ini. Satu-
satunya cara pencegahan yang terpenting adalah test and slaughter. Tindakan Pengendalian :
Tidak mengimpor sapi-sapi dari daerah tertular dan karantina yang ketat dengan pemeriksaan
laboratorium yang teliti terutama tehadap sapi-sapi impor.

2.2. Equine Infectious Anemia Virus

Anemia infeksi menular (EIA) pertama kali ditemukan di Perancis pada tahun 1843 dan
kemudian dikaitkan dengan infeksi oleh "Agen yang dapat disaring" pada tahun 1904, menjadi
salah satu dari penyakit hewan pertama untuk diberi etiologi virus. Equine Infectious Anemia
Virus (EIAV) merupakan penyebab penyakit EIA pada kuda yang terjadi di seluruh dunia, dan
yang dapat bermanifestasi sebagai sindrom akut yang berakibat fatal dalam waktu satu bulan
onset atau sebagai penyakit kambuh kronis. Virus ini masuk kedalam genus Lentivirus dalam
subfamilli Orthoretrovirinae , Familli Retroviridae (OIE 2013; Sellon dan Long 2014). EIAV
terbatas pada kuda. Semua spesies (OIE 2013; Sellon dan Long 2014). ras dan kelompok
umur kuda retan terhadap infeksi dan bertindak sebagai resevior (MAF 2000). EIAV tidak
ereplikasi pada hewan lain maupun serangga (Cook et al. 1996).

Gejala Klinis

Setelah infeksi primer, gejala klinis yang di tunjukkan pada sebagian besar yang kuda
terinfeksi yaitu demam, setelah masa inkubasi 7-21 hari. Dalam kondisi pada kasus ringan,
demam bisa bertahan kurang dari 24 jam. kuda yang terinfeksi bisa menjadi lemah, depresi,
dengan tanda-tanda tambahan yang mungkin termasuk penyakit kuning, tachypnea, takikardia,
edema pitting ventral, trombositopenia, petechiae pada membran mukus, epistaksis atau feses
bercampur darah.
Tanda-tanda klinis EIA akut sering tidak spesifik yaitu infeksi ditandai dengan adanya demam,
kelemahan, anemia parah, ikterus, takipnea, dan perdarahan petekie pada mukosa. Banyak
kasus akut yang berakibat fatal. sedangkan yang lain masuk ke dalam bentuk subakut, di mana
demam terus moderat diikuti dengan pemulihan. Pemulihan dari salah satu penyakit akut atau
subakut diikuti oleh infeksi penyakit seumur hidup. Kuda dengan viremia dapat pulih, tetapi
beberapa mengalami tahap berulang dari penyakit, sedangkan yang lain berkembang menjadi
penyakit kronis yang bervariasi dari tanda-tanda penyakit ringan dan kegagalan untuk
berkembang menjadi episodik atau demam persisten, cachexia, anemia, dan edema ventral.

Epidemiologi

Serangga penghisap darah adalah cara utama penularan secara alami (Sellon dan Long
2014) dan lebih sering ditularkan melalui gigitan serangga penghisap darah (Hans et al. 2104).
Lalat tabanid dan lalat stabile (Stomoxys spp.) berpotensi menjadi vektor mekanik dari Equine
Infectious Anemia Virus . Penularan umumnya terjadi pada musim panas di daerah dataran
rendah, lembab, rawa. Prevalensi bisa sangat tinggi pada peternakan di mana infeksi telah
menjadi enzotik selama bertahun-tahun. Kuda yang terinfeksi adalah sumber infeksi penting
transmisi EIAV ke kuda lainnya (Sellon dan Long 2014) . Penyebaran latrogenik dengan
menggunakan peralatan yang tidak steril telah menyebabkan beberapa wabah besar.

Infeksi transplasental telah diketahui yaitu melaui; kolostrum dan susu, air liur dan urin.
Tingkat morbiditas dan keparahan klinis tanda-tanda dipengaruhi oleh strain dan dosis virus,
dan kesehatan hewan. Kehadiran EIAV dalam kawanan sering tidak diketahui sampai
beberapa kuda mengembangkan bentuk penyakit kronis atau biasanya di ketahui pada saat tes
rutin pada kuda. Kejadian penyakit EIA belum di laporkan di indonesia (Kepmentan No.
3238/2009).

Patogenesis dan Patologi

Infeksi EIAV mengakibatkan berbagai gejala klinis, klinikopatologi, dan kelaninan


patologi higga kematian (Sellon dan Long) .EIAV awalnya menginfeksi makrofag, dan dapat
hidup lama, viremia terkait sel berkembang pada semua kuda yang terinfeksi. Kuda yang
terinfeksi EIAV, sepanjang hidupnya darahnya akan terus menularkan agen penyakit (Sellon
dan Long 2014).

Mekanisme yang tepat terjadinya anemia dan trombositopenia yang terjadi pada beberapa kuda
terinfeksi masih belum pasti, meskipun di dalamnya terjadi lisis sel darah merah. Vaskulitis
dan glomerulonefritis yang terjadi pada beberapa hewan merupakan hasil dari deposisi
kompleks imun antigen virus dan antibodi spesifik. Perdarahan mungkin merupakan akibat dari
trombositopenia.

Variasi gen amplop yang terjadi selama virus-aplikasi-mutasi yang diinduksi mengarah
pada munculnya varian virus selama infeksi persisten; varian baru ini memiliki epitop netral-
sensitif baru dalam gp90, dan pada penyakit berulang terkait dengan munculnya varian
antigenik ini yaitu protein amplop gp90. Uji netralisasi menmbuktikan serum yang
dikumpulkan selama kondisi demam awal dapat menetralkan isolat yang terkait dengan
pembentukan infeksi, tetapi gagal menetralisir virus yang diisolasi dari kondisi demam
berikutnya.

Diagnosa

Dua tes serologi yang paling umum digunakan adalah tes agar gel immunodiffusion
(AGID atau Coggins) dan enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA). biasanya
seronegatif dalam tes AGID dilakukan pada kuda selama 2-3 minggu setelah infeksi; dalam
kasus yang jarang terjadi, mungkin tidak berkembang dan terbentunya antibodi hingga 60 hari
setelah infeksi. ELISA dapat mendeteksi antibodi lebih awal dari tes AGID dan lebih sensitif,
tetapi hasil positif yang salah lebih mungkin terjadi. Untuk alasan ini, hasil positif pada ELISA
dikonfirmasi dengan tes AGID atau imunoblotting (Western blotting). Reverse-transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR) tes, juga dapat digunakan untuk mendeteksi kuda yang
terinfeksi.

Tes-tes ini berharga dalam menentukan status infeksi anak kuda yang lahir dari kuda yang
terinfeksi, karena hewan muda mungkin memiliki antibodi induk hingga usia 6-8 bulan. Tes
PCR juga dapat digunakan untuk melengkapi atau mengkonfirmasi tes serologis, terutama
ketika ada hasil yang bertentangan atau ketika dicurigai sudah terinfeksi tetapi serologi negatif
atau samar-samar (misalnya, pada kasus-kasus awal di mana antibodi tidak dikembangkan).
Selain itu, teknik ini dapat memastikan donor darah dan kuda yang digunakan untuk vaksin
atau produksi antiserum, tidak terinfeksi virus tersebut. RT-PCR tampaknya menjadi metode
diagnosis yang efektif pada kuda.

Isolasi virus biasanya tidak diperlukan untuk mendiagnosis, tetapi bisa dilakukan.
EIAV dapat ditemukan di plasma dan leukosit darah selama kondisi demam; antara periode
ini, virus ini terkait dengan sel. Isolasi virus dilakukan dalam leukosit kuda; Tetapi tes ini
(isolasi virus) mungkin tidak tersedia di semua laboratorium karena sel-sel sulit tumbuh.
Identitas virus dapat dikonfirmasi dengan tes ELISA yang bersifat spesifik-antigen, tes
imunofluoresensi atau PCR.

Kekebalan

Infeksi EIAV awal menyebabkan viremia plasma titer tinggi, infeksi dalam waktu tiga
minggu setelah paparan. Baik tanggapan khusus virus ,yang humoral maupun seluler
diperlukan untuk menghentikan viremia awal, melalui aksi sel T sitotoksik spesifik virus dan
virus specific non-netralisasi antibodi. Kuda yang terinfeksi mengembangkan respons yang
kuat terhadap kedua permukaan (gp90) dan transmembran (gp45) protein dari virus. Namun,
rendahnya tingkat infeksi virus dan replikasi virus terjadi pada makrofag jaringan tanpa adanya
gejala pada kuda pembawa yang terinfeksi, dengan kehadiran terkait virus dalam plasma.
Pentingnya kontrol kekebalan tubuh, telah ditunjukkan dalam pengaturan eksperimental.
penekanan kekebalan dikaitkan dengan reaktivasi virus dan timbulnya gejala penyakit lama
setelah infeksi awal.

Limfosit T sitotoksik (CTL) yang dihasilkan oleh kuda yang terinfeksi untuk
mengenali dan melisiskan sel yang mengekspresikan epitope Gag atau Env. CTLs diarahkan
ke Rev epitope telah ditemukan pada kuda yang terinfeksi secara subklinis, menyarankan
bahwa respon terhadap protein pengatur utama ini dapat mengendalikan hasil penyakit.
Antibodi penawar khusus virus itu mampu memblokir strain yang menginfeksi, biasanya hanya
muncul setelah 2 atau 3 bulan setelah infeksi, menggambarkan bahwa antibody tidak
bertanggung jawab atas penghentian episode akut. Tingkat antibodi penawar tidak berkorelasi
dengan perjalanan penyakit, sebagai titer antibodi menetralkan berfluktuasi secara signifikan
selama infeksi dan peran mereka dalam mengendalikan replikasi virus masih belum jelas.

Pencegahan dan Kontrol

Penularan virus di area enzotic dapat dikurangi dengan memastikan agar kandang kuda
dan fasilitasnya yang aman dari serangga pada musim panas dan waktu senja saat serangga
paling aktif menggigit. Penularan iatrogenic dihindari dengan kebersihan yang dijaga dengan
baik. EIAV sekarang dikendalikan di banyak negara Ddengan pengujian ketat untuk
mengidentifikasi kuda yang terinfeksi. Kuda seropositif lebih baik di eutanasia atau disimpan
di karantina selama sisa hidup mereka.
2.3. Feline immunodeficiency virus (FIV)

2.3.1. Pengertian

Feline Immunodeficiency Virus (FIV) merupakan salah satu penyakit yang disebabkan
oleh virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh kucing. FIV disebabkan oleh virus dari
genus Lentivirus, famili Retroviridae dan Subfamili Orthoretrovirinae. Virus ini dapat
menyebabkan sindrom yang mirip dengan AIDS pada manusia. Terdapat 5 subtipe FIV virus
yang ada saat ini. Virus ini berjalan lambat pada tubuh kucing. Kucing yang terinfeksi biasanya
tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun setelah terinfeksi. Terkadang kucing masih
sehat dan hanya menjadi pembawa (carrier) dan dapat menularkan virus dalam jangka waktu
yang lama.

Ketika virus ini menyerang, kekebalan tubuh kucing akan menjadi semakin lemah.
Lemahnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh tidak dapat mengatasi adanya serangan dari
berbagai sumber penyakit lainnya sehingga muncul infeksi tambahan terkait dengan penekanan
kekebalan progresif yang mengarah ke peningkatan kerentanan terhadap infeksi oportunistik.

Virus ini hampir sama dengan Feline Leukimia Virus (FeLV) karena berasal dari jenis
virus yang sama, yaitu retrovirus. Namun keduanya merupakan penyakit yang sama sekali
berbeda. Pada manusia, virus ini bernama Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang juga
menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya. Namun FIV tidak menular pada manusia
maupun sebaliknya. Sama seperti HIV, FIV tidak ada obatnya. Penanganan yang dilakukan
hanya untuk mencegah terjadinya infeksi tambahan yang lebih parah.

2.3.2. Epidemiologi

FIV pertama kali ditemukan di utara Cattery California pada tahun 1986, merupakan
penyebab utama imunodefisiensi kronis kucing di Indonesia. FIV adalah retrovirus milik
keluarga lentivirus.

Infeksi FIV terjadi pada kucing domestik di seluruh dunia, dan pada berbagai spesies
kucing liar. Seroprevalensi dalam survei acak pada kucing domestik asimptomatik biasanya
rendah (-1%), tetapi meningkat menjadi 30% pada kucing domestik yang sakit. Kejadian
infeksi juga jauh lebih tinggi di daerah tertentu. Studi epidemiologi menyatakan sejumlah 1205
kucing di Kanada Barat positif terjangkit FIV sebanyak 5.5% dengan prevalensi jantan lebih
banyak daripada betina (Ravi et al., 2010)
Meski kejadiannya belum pasti ditentukan, Insiden ini paling tinggi pada kucing liar
dan di Indonesia menunjukkan bahwa gigitan kucing yang terjadi selama perkelahian
merupakan sumber penularan virus, terutama transmisi melalui salivanya.

2.3.3. Gambaran Klinis

Virus ini tidak memunculkan gejala apapun selama bertahun-tahun sehingga kucing
terlihat normal seperti kucing sehat lainnya. Meskipun tidak memunculkan gejalanya,
sebenarnya penyakit ini terus berkembang di dalam tubuh kucing dan sewaktu-waktu membuat
tubuhnya lemah. Keadaan ini dapat membuat kucing terkena infeksi sekunder, seperti infeksi
dari bakteri atau fungi. Beberapa kucing yang mengalami infeksi tidak menunjukkan tanda-
tanda kesembuhan pada penyakitnya.

Penyakit terkait FIV terjadi dalam tiga tahap yakni, tahap akut yang ditandai oleh
limfadenopati dan demam, tahap subklinis yang panjang, dan tahap terminal yang ditandai
dengan hilangnya fungsi kekebalan tubuh secara progresif, infeksi oportunistik, dan, kadang-
kadang, neoplasia.

Tanda-tanda klinis yang umum muncul adalah serupa dengan kucing yang terinfeksi
virus leukemia kucing. Diantaranya :

 Limfadenopati, leukopenia, anemia, penurunan berat badan, dan perubahan perilaku


yang tidak spesifik, demam berulang yang tidak dapat ditentukan, napsu makan
menurun, perbesaran kelenjar getah bening, diare, mata dan hidung berair, kerontokan
bulu, luka yang tidak kunjung sembuh, Sering buang air kecil akibat kerusakan ginjal
kronis
 Pada tahap akhir, infeksi bakteri dan jamur oportunistik sangat umum terjadi di mulut,
jaringan periodontal, pipi, dan lidah. Sekitar 25% kucing memiliki penyakit pernapasan
kronis, dan lebih sedikit mengalami enteritis kronis, infeksi saluran kemih, dermatitis,
dan tanda-tanda neurologis.
Gejala klinis pada kucing FIV menurut Jhonson (2005) menyatakan bahwa sindrom
klinis yang juga dilaporkan oleh beberapa studi penderita akut FIV juga akan mengalami
beberapa manifestasi klinis berupa perdarahan pada vesica urinaria, nonregeneratif anemia,
thrombocytopenia, maupun neutropenia. Gejala lanjutan lainnya yaitu lymphadenopathy,
pars planitis (inflamasi pada anterior vitrous humor), gangguan neurologis berupa
demensia, tingkah laku abnormal, nistagmus, lethargy, seizure, dan inkordinasi syaraf
permukaan tubuh. Tanda klinis awal dari infeksi virus ini dimulai ketika virus menyebar
keseluruh tubuh secara sistemik dan memicu timbulnya gejala demam ringan, neutropenia,
dan lymphadenopathy. Lama fase subklinis, periode latent tergantung dari umur penderita
dan strain virus (Lappin, 2001). Penderita FIV tidak akan menampakkan suatu gejala klinis
yang menciri dari suatu penyakit tertentu hingga penderita terjangkit oleh infeksi sekunder
maupun infeksi opportunistic yang akan menginfeksi setelah penderita memiliki status
imunitas yang rendah (immunodefisiensi). Secara umum penderita FIV akut akan
menampakkan gejala nonspesifik lymphadenopathy, penurunan berat badan, anoreksia dan
juga demam seperti pada gejala yang timbul pada kucing. Bila sudah mencapai fase
penderita FIV seropositive dan diduga mengalami fase perjalanan penyakit yang cukup
lambat maka dimungkinkan sudah mencapai fase AIDS related complex, dimana penderita
memperlihatkan gejala klinis yang menciri, kondisi ini meningkatkan pathogen opportunis
menginfeksi penderita.
2.3.4. Patogenesis dan Patologi
Penyebaran FIV yang utama adalah dari luka gigitan ataupun cakaran, dimana air liur
(saliva) kucing yang terinfeksi/pembawa masuk ke dalam sirkulasi darah kucing lain, juga
masuk melalui mulut dan anus. Namun, tidak hanya itu, penyebaran secara vertikal (induk-
anak) dapat terjadi ketika didalam kandungan ataupun ketika periode menyusui. Masa inkubasi
infeksi FIV dapat berlangsung selama beberapa tahun. FIV menyerang sistem kekebalan
kucing, dengan sel targetnya yaitu sel T CD4+ dan CD8+, limfosit B dan makrofage. FIV
merupakan salah satu retrovirus dari family Retroviridae dan subfamily Lentiviridae, FIV
merupakan exogenous single strand RNA virus. Virus ini memiliki morfologi dan regulasi
patogenesis yang sama dengan HIV (Hatziioannou and Evans, 2012).
FIV memproduksi enzim reverse transcriptase untuk mengkatalisis insersi RNA virus
kepada genome sel hospes (Nelson and Coutu, 2009). FIV memilki kemampuan melakukan
replikasi di beberapa tipe sel termasuk T lymphocyte (CD4 dan CD8), B-Lymphocyte,
makrofag maupun astrocyte. Virus dapat diisolasi dari saliva kucing yang terinfeksi yang
mampu menularkan ke kucing sehat melalui gigitan. FIV juga dapat diisolasi dari semen hospes
yang terinfeksi dan dapat ditularkan dari kopulasi dan kawin buatan atau inseminasi buatan dan
juga transplasenta (Nelson and Coutu, 2009)..). Infeksi FIV akan merusak fungsi imun secara
progresif dengan mekanisme deplesi CD4 dan CD8 T limfosit pada pembuluh darah perifer
yang diinduksi oleh keberadaan virus (Virus induced depletion) (Hoffmann, 1992; Hofmann,
1997).
Penurunan jumlah CD4 T limfosit berdampak terhadap fungsi imunitas yang
memungkinkan hospes lebih rentan terhadap infeksi oportunistik. Secara umum penderita FIV
seropositive memiliki tanda klinis nonspesifik diantaranya gangguan hemopoeitik, dermatitis,
stomatitis, otitis, lymphadenopathy, gingivitis, penyakit syaraf, diare, abses pada kulit dan
demam berkelanjutan (Hartmann, 2006).
Infeksi dimulai ketika terdapat ikatan antara sel reseptor virus dengan sel hospes dan
memicu virus melakukan penetrasi dan uncoating. Lentivirus akan melakukan transkripsi
dalam sitoplasma sel hospes. Lentivirus memiliki NLS (Nuclear localization signal) dan PIC
(Preintegration complex) yang memungkinkan virus mampu menembus dinding nucleus dan
melakukan transkripsi dalam sel hospes melalui pori membrane nukleus. NLS berperan
memfasilitasi transport aktif dari virus, sedangkan PIC berperan terhadap mekanisme regulasi
retrotranskripsi. Dalam nucleus provirus melakukan intergrasi dengan DNA Genome sel
hospes (Klarmann et al., 2003; Naldini et al., 1996).
Regulasi deplesi sel T lymphocyte berawal dari fase productive infection terjadi
ketika sel T aktif terinfeksi oleh retrovirus mengalami multiplikasi dan menghasilkan progeny
virions, Latent Infection ketika progeny virion keluar dari sel T yaitu berhentinya aktivitas
produksi atau multiplikasi dari virus (Moore and Cloyd, 1992), fase ketiga adalah Abortive
Infection ketika virus mengatur pemberhentian kerja dari sel T yang telah terinfeksi kondisi ini
biasanya terjadi ketika set T telah terinfeksi hingga 88% (Chen and Cloyd, 1999). Mekanisme
deplesi sel T akan dilanjutkan dengan upregulasi L-selectin sel hospes untuk melakukan
migrasi dan resirkulasi dari perifer limfonodul menuju ke limfonodul. Dalam limfonodul sel T
akan diinduksi oleh virus untuk melepaskan Fas Ligand cell surface molecules yang
dilanjutkan dengan fase aborsi sel T yaitu induksi apoptosis atau kematian sel tanpa terprogram
(Chen and Cloyd, 1999).
2.3.5. Diagnosa
 Uji antibodi Uji antibodi untuk FIV dapat dilakukan dengan mengirimkan sampel darah
ke laboratorium diagnostik ataupun menggunakan uji cepat (rapid test) yang tersedia di
klinik-klinik hewan. Namun, pengujian antibodi FIV memungkinkan terjadinya positif
palsu (false positive) dikarenakan beberapa hal seperti kucing adalah pembawa (carrier)
dimana virus FIV tidak membahayakan hidup, kucing yang telah divaksin FIV,
transmisi dari air susu induk ke anak kucing. Namun demikian, hal ini bisa di
minimalisir dengan keakuratan anamnesa/sejarah hidup kucing tersebut dan gejala
klinis yang terjadi. Pengujian awal antibodi pada kasus diduga FIV dapat membantu
mengurangi tingkat keparahan kasus penyakit. Vaksin FIV yang tersedia di pasaran
belum teruji keefektifannya dikarenakan adanya beberapa subtipe dari virus FIV.
 Kultur virus dianggap sebagai standar emas untuk identifikasi infeksi virus feline
immunodeficiency, tetapi tidak tersedia secara rutin. Konfirmasi infeksi menggunakan
tes PCR telah dijelaskan. Namun, sensitivitas dan spesifisitas tes individu tampaknya
bervariasi.
 Pemeriksaan imunoblot dan imunofluoresensi dapat mendeteksi antibodi terhadap
berbagai antigen virus, tetapi mungkin kurang sensitif dan spesifik. Divaksinasi Kucing
yang terinfeksi virus defisiensi imun kucing biasanya mempertahankan antibodi serum
yang dapat dideteksi, yang berguna untuk skrining diagnostik rutin, tetapi tidak akan
membedakan respons kucing yang terinfeksi secara alami dari pada hewan yang
divaksinasi. Alat tes komersial dapat mendeteksi antibodi terhadap beberapa antigen,
termasuk protein kapsid p24 virus. Pengembangan antibodi yang terdeteksi mungkin
tertunda pada beberapa kucing, dan pengujian ulang diperlukan dalam beberapa
keadaan seperti dugaan paparan baru-baru ini.
Tes antibodi positif pada anak kucing yang berusia kurang dari 6 bulan harus ditafsirkan
dengan cermat karena adanya antibodi induk. Karena anak kucing biasanya tidak
terinfeksi virus, sebagian besar yang dites positif antibodi virus imunodefisiensi kucing
tidak benar-benar terinfeksi dan akan dites negatif ketika dievaluasi kembali. Walaupun
infeksi anak kucing jarang terjadi, kadang-kadang terjadi, dan anak kucing yang berusia
lebih dari 6 bulan yang memiliki antibodi spesifik virus dianggap terinfeksi.
2.3.6. Pencegahan dan Kontrol

Vaksin terhadap virus imunodefisiensi kucing tersedia tetapi efikasi variabel,


sebagian karena induksi yang buruk dari imunitas perlindungan silang terhadap berbagai strain
virus yaang beredar di antara populasi kucing yang rentan. Jadi, vaksin virus defisiensi imun
kucing biasanya dianggap diskresioner (tidak penting), meskipun mereka mungkin
dipertimbangkan untuk kucing dengan gaya hidup yang menempatkan mereka pada risiko
tinggi infeksi, seperti kucing di luar ruangan atau kucing yang hidup dengan kucing yang
terinfeksi. Program pengujian dan pemindahan yang tepat dan sertifikasi pada titik penjualan
dapat diterapkan untuk mengendalikan infeksi.
 Upaya Pencegahan
 Melakukan steril pada kucing sehingga mengurangi keinginan kucing mencari
pasangan di luar rumah
 Memelihara kucing secara indoor
 Menghindari kucing bermain bersama kucing liar
 Bawa kucing secara rutin ke dokter hewan untuk melakukan cek kesehatan dan
tes darah, minimal enam bulan sekali
 Berikan vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan nafsu makannya
 Memberikan makanan yang baik dan melengkapi kebutuhan nutrisi kucing.
Berikan makanan organik Addiction Grain Free Salmon Bleu for Cats yang
terbuat dari perpaduan daging ikan salmon Selandia Baru, tanaman herbal, dan
buah-buahan sebagai sumber antioksidan alami
 Pengobatan yang diberikan adalah pemberian antibiotic dan pengobatan supportif
berupa immunomodulator, antiviral serta pengobatan terhadap infeksi sekunder pada
gejala yang timbul.

2.4. Bovine Immunodeficiency Virus


Virus bovine immunodeficiency (BIV) diklasifikasikan dalam genus lentivirus dari
subfamili Orthoretrovirinae, famili Retroviridae. Anggota famili Retroviridae ditandai
oleh ekspresi yang unik dari enzim reverse transcriptase (RT). Enzim RT memfasilitasi
transkripsi RNA ke salinan DNA yang tergabung dalam inti sel inang sebagai 'provirus'.
Provirus tetap ada laten selama bertahun-tahun tanpa membahayakan host. Di hadapan
faktor pre-disposing seperti bersamaan infeksi, stres atau usia, provirus dapat diaktifkan
kembali menjadi virus RNA menular dan dapat memulai patogenesis di dalam host yang
terinfeksi. Genom linier BIV mengandung 8.960 pasangan basa dalam bentuk DNA
proviral yang terdiri dari struktur retrovirus gen ‘gag’, ‘pol’ dan ‘env’. Gen gag mengkode
tiga protein yaitu: nucleocapsid (NC), matrix (MA) dan capsid (CA). Yang terakhir adalah
komponen protein paling penting dari virus; protein matriks tersusun di bagian luar kapsid
dan menyentuh membran di atasnya. Gen pol mengkode tiga enzim: reverse transcriptase
(RT), ribonuclease (PR) dan integrase (IN). Gen env mengkode protein permukaan (SU)
yang berinteraksi dengan sel inang, dan protein transmembran (TM).
 Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi adanya infeksi BIV pada sapi dan kerbau di
Indonesia dan India telah dilaporkan berdasarkan genomik (Patil SS et al. 2003) serta
deteksi serologis. Beberapa negara lain yang telah melaporkan infeksi BIV pada sapi
yaitu USA Barat Daya, Kanada, Jerman, Jepang, Italia, Australia, Korea, Pakistan,
Brasil dan Zambia. Cara penularan yang tepat untuk BIV tidak pasti, tetapi ada
kemungkinan bahwa penularan secara horizontal bisa melalui cairan tubuh seperti
darah, susu, semen, dan kolostrum. Dan juga penularan BIV dapat berlangsung secara
vertikal (induk-anak).
 Gejala Klinis
Gejala penyakit yang diakibatkan oleh BIV adalah deplesi jaringan limfoid dan
penyakit berkembang diakibatkan oleh infeksi sekunder (Ala.E,.dkk., 2004.; Moira,
dkk. 2005). BIV menyebabkan infeksi virus yang secara terus-menerus di sapi dan
kerbau. Infeksi dengan BIV tidak pernah terjadi terkait dengan penyakit tertentu atau
sindrom yang dapat diidentifikasi secara klinis, tetapi telah dikaitkan dengan
limfadenopati, limfositosis, lesi sistem saraf pusat, progresif kelemahan (Carpenter S
et al. 1992), (Van et al. 1972), penurunan produksi susu (McNab WB et al. 1994),
menurun respon blastogenik limfositik (Martin SJ et al. 1991) dan sindrom paraplegik
sapi (Walder R et al. 1995).
 Diagnosis
 Isolasi Virus
Isolasi virus dianggap sebagai tes laboratorium untuk diagnosis virus patogen.
Isolasi BIV, terutama dari hewan yang terinfeksi secara alami, telah sulit dan hanya
ada empat isolasi yang berhasil. Isolasi BIV pertama yang dilaporkan adalah dari
sapi dengan limfositosis persisten dan dinamai R-29. (Van et al. 1972). Tiga lainnya
adalah BIVCR1 dari Kosta Rika (Hidalgo G et al. 1995) dan FL491 dan FL112 dari
Florida, USA (Suarez DL et al. 1993). Keempatnya isolat menggunakan teknik
kultivasi menggunakan PBMC dari hewan yang terinfeksi dengan sel limpa sapi
janin, janin sel paru sapi atau sel embrio kelinci embrionik (Suarez DL et al. 1993).
Karena kesulitan dalam isolasi, molekuler dan metode serologis telah dilakukan
secara rutin untuk diagnosis BIV.
 Diagnosis molekuler
Diagnosis molekuler untuk mendeteksi DNA BIV proviral dalam sel mononuklear
(Suarez DL et al. 1998).
 Diagnosis serologis
Diagnosis serologis menggunakan protein kapsid rekombinan sebagai antigen
untuk mendeteksi serologis BIV dengan metode Western Blot dan ELISA. (Zheng
L et al. 2000).
 Patologi dan Patogenesis
BIV menginfeksi sel-sel kekebalan tubuh sistem, terutama monosit / makrofag
dan limfosit. BIV bereplikasi dalam sel fibroblast dan sebagian besar sitopatik,
menyebabkan syncytia dan kematian sel (Gonda MA et al. 1994).
BIV secara pemeriksaan histologis jaringan otak dari hewan yang terinfeksi
BIV ini mengungkapkan adanya indikasi meningoensefalitis perivascular dan terjadi
lesi pada sistem saraf pusat.
 Kontrol dan Pencegahan
Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk membunuh virus ini.
Pengobatan biasanya hanya bersifat suportif dan hanya untuk mengurangi keparahan
penyakit yaitu dengan pemberian antibiotik berspektrum luas untuk mencegah infeksi
sekunder dan pemberian terapi cairan (infus cairan eletrolit).
2.5. Jembrana Disease

Penyakit Jembrana adalah penyakit infeksi akut yang sangat fatal yang terjadi
secara eksklusif pada sapi Bali (Bos javanicus) yang disebabkan oleh virus penyakit
Jembrana (JDV). Virus ini telah diidentifikasi baru-baru ini sebagai lentivirus
(HARTANINGSIH et al., 1993, RADOSTITS et al., 2000, BARBONI et al., 2001).
Penyakit ini ditandai dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (MURPHY et al., 1999).
Akibatnya, penyakit ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar terutama bagi
petani kecil.

 Etiologi dan biologi


Virus penyakit Jembrana (JDV) sebagai agen penyakit Jembrana disebabkan oleh
virus lentivirus yang baru-baru ini diidentifikasi (BURKALA et al., 1998). Virus ini milik
keluarga Retroviridae (BARBONI et al., 2001). BURKALA et al. (1998) menggambarkan
JDV sebagai lentivirus atipikal. Lentivirus umumnya memiliki masa inkubasi yang panjang
diikuti oleh penyakit yang progresif dan biasanya berakibat fatal. Sebaliknya, penyakit
Jembrana terjadi setelah periode inkubasi pendek (5-12 hari) di mana hewan mulai
mengembangkan penyakit fatal akut. Ukuran partikel virus adalah 50 hingga 100 nm dan
bukan virus yang terhubung dengan sel (KERTAYADNYA et al., 1997). JDV adalah virus
RNA untai tunggal, yang memiliki proses replikasi yang unik dan kompleks di dalam sel
inang. Replikasi dimulai dengan transkripsi terbalik dari RNA virion menjadi DNA
beruntai ganda oleh transkriptase terbalik. DNA virus kemudian diintegrasikan ke dalam
DNA kromosom inang dan kemudian digunakan untuk transkripsi termasuk transkripsi
mRNA. MRNA bertanggung jawab atas sintesis protein virus, yang pada gilirannya
digunakan untuk perakitan virus (MURPHY et al., 1999)

 Epidemiologi
Epizootik asli penyakit Jembrana diakui pada tahun 1964 di kabupaten
Jembrana, Bali. Diperkirakan 60% populasi sapi dan kerbau di Bali diserang dengan
kematian 98,9% (RAMACHANDRAN, 1997). Ini diikuti oleh wabah lain pada tahun
1972 dan 1973, yang memperluas penyakit di seluruh pulau (SOEHARSONO dan
TEMADJA, 1997). Pada tahun 1992, penyakit yang serupa dengan JD dilaporkan di
provinsi dan pulau-pulau lain di Indonesia (Lampung, Bengkulu, Sumatra Selatan,
Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Kalimantan Selatan). Tiga puluh tahun setelah epidemi
pertama, JD dianggap sebagai endemik di seluruh pulau Bali dengan wabah sporadis
pada interval 4-5 tahun (PUTRA dan SULISTYANA, 1997). Berdasarkan sejarah
kontrol JD di Indonesia, tampaknya beberapa pendekatan yang digunakan oleh
pemerintah pada awal wabah JD berkontribusi pada ekspansi ini penyakit.
RAMACHANDRAN (1997) menggarisbawahi bahwa ada diagnosis yang salah di
mana JD didiagnosis sebagai rinderpest meskipun temuan bahwa perubahan
histopatologi pada JD jelas berbeda dari yang didokumentasikan untuk rinderpest.
Diagnosis menyesatkan ini diikuti oleh program vaksinasi rinderpest masal oleh
Direktorat Kesehatan Hewan (SOEHARSONO dan TEMADJA, 1997)

Meskipun mekanisme penularan JD kurang dipahami (SOEHARSONO et al.,


1997), program vaksinasi massal dapat dikaitkan dengan penyebaran penyakit JD
karena prosedur vaksinasi yang melibatkan penggunaan banyak jarum suntik dan jarum
tunggal sering dipraktikkan di daerah di mana JD bersifat endemik. SOEHARSONO et
al. (1995) menyebutkan bahwa titer virus yang tinggi dalam darah (108 ID50 / ml) dapat
menularkan virus secara mekanis. Oleh karena itu, mungkin saja vaksinasi tersebut
secara tidak sengaja menyebarkan kejadian JD

Namun, kontak dekat dengan hewan yang terinfeksi selama fase akut penyakit
ketika menular cenderung menjadi rute utama penularan JD. Dalam uji coba
SOEHARSONO et al. (1995) mengamati keberadaan virus JD dalam air liur, susu dan
urin selama tahap demam dan kemampuan untuk menularkan penyakit dengan
inokulasi oral, intranasal dan konjungtiva. Ini menunjukkan bahwa infeksi dari ekskresi
hewan yang terinfeksi dapat terlibat dalam penyebaran penyakit. Kemungkinan ini
dibuktikan oleh fakta bahwa sapi yang dimiliki oleh peternak individual cenderung
semuanya terinfeksi (antibodi-positif) atau semua tidak terinfeksi (antibodi-negatif)
(SOEHARSONO et al., 1995). Selain itu, sistem peternakan sapi di Indonesia
berpotensi mempercepat penyebaran penyakit JD. Sebagian besar ternak dimiliki oleh
peternak kecil yang diberi makan sistem potong-dan-potong. Hewan-hewan
biasanya ditambatkan di ladang rumput komunal. Di beberapa desa, sapi ditempatkan
di rumah hewan kolektif (NITIS, 1994). Praktik ini memungkinkan kontak erat antara
hewan yang berpotensi memindahkan agen penyakit dari hewan yang terinfeksi ke
hewan lain dalam kelompok yang sama.

Untuk mengatasi rute kontak yang dekat dari transmisi sebagai konsekuensi dari
sistem pertanian, pemerintah daerah dan dinas kesehatan hewan harus mendekati para
petani untuk melaporkan setiap dugaan insiden JD dan menghindari pencampuran
hewan yang terinfeksi dengan yang sehat. Peternak sebagai pemilik ternak adalah garis
pertama dalam mendeteksi penyakit. Mereka dapat mempercepat atau menghambat
penyebaran penyakit. Oleh karena itu, informasi yang dapat dimengerti tentang JD
harus diberikan kepada petani. Karena banyak petani adalah orang awam dan umumnya
memiliki tingkat pendidikan yang rendah, beberapa tanda patognomonik JD dapat
digunakan sebagai indikasi bagi petani.

Sementara itu, kondisi geografi Indonesia dan arthropoda sebagai vektor


tampaknya memainkan peran kecil dalam penyebaran JD. Pengamatan klinis dan uji
serologis oleh HARTANINGSIH et al. (1993) menunjukkan bahwa walaupun penyakit
ini telah terjadi di Bali sejak 1964, belum ada bukti klinis infeksi JD di pulau Lombok
dan Nusa Penida yang berdekatan. Prevalensi yang tidak biasa ini juga mengungkapkan
untuk JD yang ditransmisikan vektor. Meskipun menggigit arthropoda seperti Tabanus
dan nyamuk telah dicurigai menularkan agen JD, belum ada penyebaran penyakit dari
daerah endemis di Lampung Tengah ke kabupaten terdekat di Lampung Utara di mana
tidak ada hambatan fisik untuk penyebaran arthropoda terbang bebas
(HARTANINGSIH et al., 1993).

Mengenai status kekebalan pasca infeksi, ada bukti bahwa sapi Bali pulih
menjadi hewan pembawa kekebalan. Dalam sebuah infeksi eksperimental, PUTRA dan
SULISTYANA (1997) menemukan bahwa sapi Bali dengan antibodi yang dideteksi
ELISA adalah tantangan resistensi JDV. Sementara itu WILCOX et al., (1995)
melaporkan bahwa kekambuhan penyakit klinis tidak mungkin terjadi pada hewan
dengan antibodi JDV. Antibodi itu masih terdeteksi 59 minggu setelah infeksi. Ini
menunjukkan bahwa ada kemungkinan untuk mencegah infeksi pada sapi, yang
sebelumnya telah terpapar agen penyakit. Paparan mungkin dapat disebabkan oleh
vaksinasi atau paparan alami di daerah endemis

 Tanda-tanda klinis
Tanda-tanda klinis utama yang diamati dalam kasus-kasus JD pada sapi Bali
adalah demam, kelesuan dan malas untuk bergerak, pembesaran kelenjar getah bening
superfisial, terutama kelenjar getah bening prescapular dan prefemoral dan parotid,
hipersalivasi dan diare dengan darah (SOEHARSONO et al., 1997, WILCOX et al.,
1995). Pada infeksi eksperimental, SOEHARSONO et al. (1997) menemukan tidak ada
tanda-tanda klinis pada infeksi JD. Secara klinis-patologis, hewan dengan JD
mengembangkan leukopenia bersamaan dengan periode demam terutama karena
limfopenia. SOEHARSONO et al. (1997) mengamati ada pengurangan PCV, jumlah
eritrosit, nilai Hb dan jumlah protein plasma yang terjadi pada awal demam. Sementara
itu, konsentrasi urea darah meningkat tajam tetapi pada hewan yang pulih konsentrasi
urea darah kembali normal. Konsentrasi urea darah yang tinggi menunjukkan bahwa
ini mungkin berkontribusi terhadap kematian hewan. Konsentrasi urea darah pada
infeksi JD kemungkinan terkait dengan lesi ginjal, yang secara konsisten terdeteksi
pada hewan dengan JD (SOEHARSONO et al., 1997).

 Diagnosis
Dalam kondisi lapangan, penyakit Jembrana sulit didiagnosis berdasarkan tanda-
tanda klinis semata. Ini karena penyakit ini sering dikaitkan dengan terjadinya infeksi
sekunder seperti pneumonia (SOEHARSONO et al., 1997). Namun, beberapa tanda
klinis yang konsisten dapat digunakan dalam mendiagnosis JD secara klinis.
Pembesaran yang ditandai dari kelenjar getah bening superfisial terutama kelenjar getah
bening prescapular, prefemoral dan parotid adalah salah satu tanda klinis yang
konsisten dari JD. Selain itu, karena keunikan penyakit ini, yang sebagian besar
menyerang sapi Bali, berkembang biak dan lokasi geografis dapat dipertimbangkan
untuk diagnosis penyakit. Namun, diagnosis berdasarkan tanda-tanda klinis dan riwayat
semata tidak meyakinkan karena penyakit lain mungkin menunjukkan tanda-tanda yang
sama.
Diagnosis laboratorium virus penyakit Jembrana telah dikembangkan terutama
berdasarkan tes imunologis. ELISA, metode cepat dan sederhana telah dikembangkan
untuk mendeteksi infeksi JDV menggunakan virus yang dimurnikan sukrosa sebagai
antigen. Namun, dalam sebuah penelitian Burkala et al. (1998) menemukan ELISA
konvensional yang menggunakan seluruh virus sebagai antigen tidak spesifik dalam
mendeteksi JDV dengan mengungkapkan sedikit reaktivitas dengan serum dari sapi
yang terinfeksi dan pulih JDV. Hal ini mungkin disebabkan oleh reaktivitas silang
antara rekombinan protein kapsid (CA) rekombinan dari virus JD dengan antisera virus
bovine immunodeficiency (BIV) yang menunjukkan kedua lentivirus sapi ini memiliki
epitop antigenik yang sama yang terdapat dalam kapsid (BURKALA et al., 1998). Hasil
yang konsisten ditunjukkan dalam penyelidikan untuk mendeteksi infeksi lentivirus
sapi di Australia Barat (BURKALA et al., 1998) di mana semua sampel serum
antibodipositif dengan antigen protein JDV CA adalah juga antibodi-positif terhadap
antigen BIV CA rekombinan

Untuk meningkatkan spesifisitas ELISA, Burkala et al. (1998) mengusulkan


pemanfaatan antigen rekombinan transmembran (TM) daripada antigen virus utuh di
mana protein capsid (CA) akan menjadi antigen utama. Antigen rekombinan ini
mungkin bermanfaat karena dapat diproduksi dalam jumlah besar dengan mengkloning
E. coli, mudah dimurnikan dan sangat spesifik Mengingat fakta-fakta ini, kombinasi
antara anamnesa, tanda-tanda klinis, dan diagnosis laboratorium diperlukan untuk
mengidentifikasi infeksi virus penyakit Jembrana karena metode diagnosis tunggal
dapat disesatkan ke penyakit lain dengan tanda serupa.

 Pengobatan
Karena penyakit Jembrana disebabkan oleh virus, METHAROM et al. (2000)
menyatakan bahwa belum ada pengobatan atau vaksin pencegahan untuk JD. Namun,
bukti bahwa sapi mengembangkan kekebalan protektif setelah pemulihan dari JD
menunjukkan kemungkinan untuk menginduksi kekebalan pada sapi Bali dengan
vaksinasi dengan antigen yang sesuai.

Ketidakmampuan vaksin JD untuk melindungi hewan terhadap penyakit


Jembrana ditunjukkan dalam percobaan (HARTANINGSIH et al., 1997) bahwa
vaksinasi hanya menekan durasi dan tingkat keparahan penyakit sampai tingkat yang
bervariasi. Ini mungkin terkait dengan bukti bahwa mekanisme pemulihan
kemungkinan didorong oleh sel-T, seperti kebanyakan infeksi virus, daripada dimediasi
antibodi, walaupun respons antibodi mungkin penting untuk pasca vaksinasi atau
kekebalan infeksi (METHAROM et al. , 2000

 Kontrol
Mengontrol pergerakan hewan di daerah yang terinfeksi adalah salah satu cara
yang paling layak untuk mengurangi insiden infeksi baru di daerah lain di Indonesia
dan untuk memerangi penyebaran penyakit ini. Dalam keadaan ini, tindakan
pemerintah melalui penegakan aturan karantina sangat penting. Meskipun kebijakan
pemerintah untuk melarang e kspor sapi dari Bali (RAMACHANDRAN, 1997)
tampaknya secara ekonomi tidak menguntungkan bagi para petani, opsi ini mencegah
kerugian yang lebih besar di wilayah yang lebih luas di Indonesia. Namun, tindakan
pemerintah semata-mata tidak akan berhasil tanpa partisipasi dari masyarakat dan
petani. Kasus-kasus penyelundupan ternak yang berpotensi menyebarkan penyakit ini
masih tinggi karena ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan pemantauan
karantina yang memadai di kepulauan yang begitu luas. Pendidikan dan pendekatan
masyarakat sangat penting untuk menyelesaikan masalah ini

Pendekatan lain yang masuk akal untuk mengendalikan penyakit Jembrana


adalah seleksi breed. Karena penyakit Jembrana kebanyakan menyerang sapi Bali (Bos
javanicus) (HARTANINGSIH et al., 1993), memperkenalkan breed lain seperti
Brahman, Ongol, bahkan breed Bos Taurus seperti Limousin dan Simmental dapat
bermanfaat dalam hal resistensi terhadap JD. Biaya impor Bos Taurus yang mahal harus
dipertimbangkan, namun kendala ini dapat diatasi dengan perkawinan silang
menggunakan metode inseminasi buatan. Sejauh yang menjadi perhatian saya, belum
ada laporan tentang kejadian JD di peternakan sapi Bali atau laporan yang menyatakan
bahwa peternakan ini memiliki kerentanan yang sama dengan JD dibandingkan dengan
sapi Bali. Terlepas dari resistensi JD, sapi Bos Taurus telah mengungkapkan
pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan sapi Bali, yang dapat menjadi
manfaat tambahan untuk perbaikan genetik dalam produksi ternak sampai batas
tertentu.

Dalam kasus penyakit Jembrana, pemerintah Indonesia tidak menerapkan


strategi “tes dan pemotongan” untuk mengendalikan penyakit tersebut karena
kurangnya dana. Meskipun demikian, kebijakan ini mungkin bijaksana terutama untuk
JD. Pemerintah berasumsi bahwa JD dapat dikurung di Bali sebagai tempat asli
munculnya oleh kebijakan larangan ekspor sapi. Selain itu, beberapa bukti
menunjukkan bahwa hewan yang pulih dari JD mengembangkan kekebalan telah
menyebabkan asumsi bahwa sapi di Bali yang bertahan hidup sampai saat ini telah
mengembangkan resistensi terhadap penyakit Jembrana. Asumsi ini juga berlaku untuk
daerah lain di Indonesia dengan infeksi JD endemik.

Anda mungkin juga menyukai