Anda di halaman 1dari 37

UJIAN TENGAH SEMESTER

DAN
REVIEW MATERI
ILMU TAUHID

Disusun Oleh :
Ilham Rizqiawan 1182020104

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
Soal-Soal UTS

Mata Kuliah : Ilmu Tauhid


Prodi : PAI C & D
Smt : II

A. Pilihan Ganda

1. Berikut ini, yang bukan termasuk ruang lingkup ilmu tauhid adalah....
a. Hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT atau mabda
b. Hal-hal yang berhubungan dengan masa yang telah berlalu
c. Hal-hal yang berhubungan dengan utusan-Nya sebagai perantara antara hamba
dengan Tuhannya, yang disebut pula wasilah.
d. Hal-hal yang berhubungan dengan hari yang akan datang (maád)
2. Manakah pernyataan yang tepat diantara beberapa pernyataan dibawah ini.....
a. Iman lebih menekankan pada segi keyakinan di dalam hati
b. Ihsan bukan merupakan perwujudan dari iman dan islam,yang sekaligus
merupakan cerminan dari kadar iman dan islam itu sendiri
c. Islam adalah sikap pasif untuk berbuat/beramal
d. Iman lebih menekankan pada segi keyakinan di dalam pikiran
3. Dalam pengertian ihsan, ada dalil yang menyebutkan bahwa “Jika kamu berbuat baik,
(berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…”. Potongan ayat tersebut adalah
potongan ayat dari....
a. QS: Al- Isra: 17
b. QS: Al-Isra:27
c. QS: Al-Isra:7
d. QS: Al-Isra:37
4. Yang dimaksud dengan aspek vertikal dalam ruang lingkup islam adalah....
a. Aspek yang mengatur hubungan antara makhluk dengan kholiknya (manusia
dengan Tuhannya)
b. Aspek yang mengatur hubungan manusia dengan makhluk ciptaan Allah SWT.
yang lain
c. Aspek yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia
d. Aspek yang mengatur ke dalam orang itu sendiri, yaitu supaya dapat menimbulkan
kedamaian, ketenangan batin maupun kematapan rohani dan mental

B. Essay

1. Jelaskan macam-macam tauhid!


2. Ihsan di dalam beribadah kepada Sang Ma’bud memiliki dua tingkatan, pertama: Kamu
beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, kedua: Jika kamu tidak
mampu melihat-Nya maka yakinlah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu. Apa maksud
dari kedua pernyataan tersebut?

C. Tugas Review
Tugas Review/resume dari materi pertama sampai pertemuan ke-7

Catatan: Dikumpulkan Tanggal 10 April 2019


JAWABAN
Ujian Tengah Semester
Nama : Ilham Rizqiawan
NIM : 1182020104
Kelas : II C
A. Pilihan Ganda
1. c. Hal-hal yang berhubungan dengan utusan-Nya sebagai perantara antara hamba dengan
Tuhannya, yang disebut pula wasilah.
2. a. Iman lebih menekankan pada segi keyakinan di dalam hati
3. d. QS: Al-Isra:37
4. b. Aspek yang mengatur hubungan manusia dengan makhluk ciptaan Allah SWT. yang
lain
B. Essay
1. Tauhid dapat kita ketahui macam – macam tauhid itu ada tiga, yaitu :
a. Tauhid rubibiyah
Tauhid rububiyah di definisikan sebagai

‫افرادهللا بأ فعاله‬
“Mengesakan Allah dalam perbuatan-Nya.”
Tauhid rububiyah berarti meyakini hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang
Mampu Melakukan perbuatan-perbuatan yang menjadi kekhususan-Nya, seperti
menciptakan makhluk, mengaturnya, memberi rezeki, memberi manfa’at, menimpakan
musibah/mudhorot, menghidupkan, mematikan dan lainnya yang menjadi kekhususan
Allah Subhanahu Wata’ala.
Dasar dari pengimplementasian tauhid rububiyah ini ada dalam Al-Qur’an
Surah Rum ayat 40, Allah Subhanahu Wata’ala Berfirman :
   
   
   
   
   
  
 
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu
sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha
sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.”
b. Tauhid Uluhiyah

‫افرادهللا بالعبادة‬
“Mengesakan Allah dalam beribadah kepadanya.”
Tauhid uluhiyah berarti meyakini hanya Allah yang berhak diibadahi, tidak
boleh mempersembahkan peribadatan kepada selain-Nya, dalam bentuk ibadah yang
lahir maupun yang batin, ucapan maupun perbuatan.
Pengimplementasian dari tauhid uluhiyah ini banyak yang di-Firmankan Allah
di dalam Al – Qur’an yang salah satunya dalam Surah Taha ayat 14, Allah Subhanahu
Wata’ala Berfirman :
     
  
  
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka
sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.”
c. Tauhid Asma’ Wa Sifat

‫ وإليمان‬,‫افرادهللا بأسمائه الحسنى وصفاته العلى الواردة في القرآن والسنة‬


‫بمعانيها واحكامها‬
“Tauhid Nama dan Sifat adalah mengesakan Allah dalam nama-Nya yang terindah dan
sifat-sifat-Nya yang termulia, yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan
beriman terhadap makna-makna dan hukum-hukumnya.”
Penjelasan dari tauhid uluhiyah ini tercantum di dalam Al-Qur’an Surah Al-
A’raf ayat 180, Allah Subhanahu Wata’ala Berfirman :
 
  
   
   
   
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap
apa yang telah mereka kerjakan.”
2. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan makna dari hadits ini yaitu seorang manusia
menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi dengan rasa harap dan keinginan,
seolah – olah dia melihat-Nyam sehingga dia pun sangat ingin sampai kepada-Nya,
dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai
kondisi semacam ini maka hendaknya ia berada di derajat kedua yaitu : menyembah
kepada Allah dengan ibadah yang dipenuhi dengan rasa takutdan cemas tertimpa
siksa-Nya, oleh karena itu Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jika kamu
tidak bisa melihatNya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Artinya jika kamu tidak
mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya dia
melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm.21)
Syaikh Sholeh Alu Syaikh hafidzahullah memberikan penjelasan bahwa inti
yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal seseorang
dapat dikatakan telah melakukan ihsan apabila di dalam beribadah kepada Allah yaitu
apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas semata-mata mengharap
pahala-Nya dan sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Inilah
kadar ihsan yang wajib harus ditunaikan oleh setiap muslim yang akan membuat
keislamannya menjadi sah. Adapaun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di
dalam beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :
Pertama, tingkatan muqorobah.
Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dalam diperhatikan oleh
Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi
Wasallam ‫( فان لم تكن تراه فانه يراك‬jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya
Dia melihatmu). Tingkatan muqorobah yaitu apabila seseorang tidak mampu
memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah Melihatnya. Tingkatan inilah
dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa
Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut.
Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam Surah Yunus ayat 61 :
    
    
    
  
    
     
    
    
    
“Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu
tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu
melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun
di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua
tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Kedua,tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa
memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat
tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi ‫( ان تعبدهللا كأنك تراه‬kamu menyembah Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya). Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada
Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan disini bahwa yang
dimaksudkan disini bukanlah dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak
sebagaimana orang-orang sufi. Yang mereka sangka tingkatan musyahadah adalah
melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah
memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat
Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan
yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan
Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam
derajat ihsan. (Syarh Arba’in an Nawawiyah penjelasan hadits ke-2, Syaikh Sholeh
Alu Syaikh).
Dan melihat pandangan dan pemahaman saya adalah bahwasanya yang dimaksud
dalam hadits diatas, kita merasa selalu diawasi oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam
menjalani setiap aktivitas kita dalam bentuk peribadahan individual maupun
peribadahan sosial, kita selalu merasa takut untuk melakukan maksiat walaupun kita
tahu bahwa tidak ada seorang pun yang melihat kita melakukan itu, namun kita
meyakini bahwa Allah Subhanahu Wata’ala memperhatikan maksiat kita dan Dia
akan memberikan balasan kelak di akhirat bagi kita dan semua perbuatan kita yang
sengaja kita sembunyikan dihadapan makhluk akan Allah buka suatu saat.
Bahwasanya tingkatan ihsan ini adalah derajat yang tinggi yang dimiliki oleh seorang
muslim, karena dengan memiliki rasa diawasi oleh Allah Subhanahu Wata’ala ia akan
takut melakukan maksiat dan akan memperbanyak berbuat amal sholih sehingga di
mata Allah Subhanahu Wata’ala maupun dimata makhluk ia akan dipandang baik dan
mulia.
C. Review Materi
1. Konsep Tauhid
a. Pengertian Tauhid
Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu
(dengan huruf ha yang di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti
dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu
saja, kemudian baru menetapkannya.”1
Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya
sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya 2. Dari makna ini sesungguhnya
dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi
berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain,
namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya
sesembahan saja.
Dalam referensi lain, tauhid artinya mengimani keberadaan Allah, mengesakan Allah
Subhanahu Wata’ala dengan rububiyah dan uluhiyah, dan beriman kepada seluruh nama-
nama-Nya dan sifat-sifat-Nya.3
Secara kesimpulan yang saya pahami bahwa tauhid adalah suatu upaya menolak
adanya sesembahan, menolak adanya Tuhan yang menciptakan segala sesuatu kecuali
Allah Subhanahu Wata’ala. Yakni berarti meyakini penuh konsep dari kalimat Syahadat
secara utuh dan mengikis keyakinan bahwa ada yang layak disembah dan ada dzat lain
selain Allah Subhanahu Wata’ala yang patut untuk dijadikan sandaran.
b. Ruang Lingkup Tauhid
Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak
dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa tauhid terbagi memiliki 3 ruang
lingkup : Tauhid Rububiyah,Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.
 Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hany
bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala
adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur

1
Syarh Tsalatsil Ushul,39
2
ibid
3
Lawami’ul Anwar, hlm.57; Al-Qaulus Sadid, hlm.16; At-Tanbihat As-Saniyyah, hlm.9; dan Al-Qaulul Mufid,1/5
dan mengubah keadaan mereka.4 Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan
Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, mislanya meyakini bumi dan
langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allah lah yang memberi rizki, Allah
yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang dan
lain sebagainya. Dinyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-An’am ayat 1 :
   
 
 
   
 
 
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan
Mengadakan gelap dan terang, Namun orang-orang yang kafir
mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata : “Orang-orang komunis tidak
mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti
mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyyah”5
 Tauhid Uluhiyyah
Tauhid uluhiyyah adalah metauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan
baik yang zahir maupun batin6. Dalilnya yaitu Al-Qur’an Surah Al-Fatihah ayat 5
:
  
 
“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami
meminta pertolongan.”
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah Subhanahu
Wata’ala baik berupa perkataan maupun perbuatan. Dan yang dimaksud apa yang
dicintai oleh Allah dan Rasu;-Nya adalah segala sesuatu yang dijanjikan balasan
kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih.

4
Al Jadid Syarh Kitab Tauhid,17
5
Minhaj Firqotin Najiyyah
6
ibid
Termasuk ibadah juga berdo’a, cinta, bertawakkal, istigotsah, isti’anah. Maka
seorang yang bertauhid uluhiyah hanya menyerahkan semua ibadah ini kepada
Allah Subhanahu Wata’ala semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang
kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdo’a,
beristigotsah kepada selain Allah Subhanahu Wata’ala. Dan inilah yang diperangi
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan
Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala Berfirman :
   
   
 
    
   
   
  
  
 
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah
kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan (rasul-rasul).”
Syaikh DR. Shalih Al-Fauzan berkata : “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling
ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para Rasul,
dan alasan ditegakannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya
Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selain-Nya
ditinggalkan.”7
 Tauhid Al Asma’ Was Sifat
Tauhid al asma’ was sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan
nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang ia tetapkan bagi diri-Nya dalam
Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Cara bertauhid
asma’ wa sifat ialah dengan menetapkan dengan menetapkan nama dan sifat
Allah sesuai dengan menetapkan nama dan sifat Allah Subhanahu Wata’ala
sesuai yang Allah tetapkan bagi diri-Nya dan menafikan nama dan sifat yang

7
Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah
Allah nafikan dari diri-Nya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif8.
Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-A’raf ayat 180 :
 
   
  
   
   
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna[585], Maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka
akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah
dari makna zahir-nya menjadi makna lain yang batil.
Ta’thil adalah mengingkari dan menolah sebagian sifat-sifat Allah.
Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali
tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu
menggambarkan hakikat wujudnya.
c. Pentingnya Mempelajari Tauhid
Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika ditanyakan kepada mereka, apa itu
tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang bisa menjawabnya.
Sungguh ironis melihat orang-orang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja
begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi
lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang
disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah,
tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak
mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik.
Wal’iyyadzubillah, maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari
tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin berkata : “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan
paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan

8
Syarh Tsalatsatil Ushul
memahami ilmu tersebut. Karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu Wata’ala,
tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya”9
2. Pertumbuhan Ilmu Tauhid
a. Agama pada masa Arab Pra Islam
Beberapa masa setelah wafatnya Nabi Ibrahim dan ismail, terjadi perubahan besar di
tanah Makkah. Agama tauhid terus tergerus oleh ombak kesyirikan. Penduduk tanah suci
di sekitar Baitullah Al-Haram menjadi penyembah berhala.
Perubahan besar di Jazirah Arab itu dibawa tokoh kabilah Khuza’ah, Amr bin Luhai
Al-Khuza’i. Ia adalah pemimpin politik dan agama di Makkah. Ia dicintai dan disegani
masyarakat. Penduduk Makkah menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang
mulia. Amr pernah bersafar ke Syam. Ia melihat penduduk Syam menyembah patung-
patung. Dan ia terkesan. Saat kembali ke Makkah, ia membawa tradisi Syam ini ke tanah
Haram. Masuklah berhala Hubal ke Jazirah Arab, dan ditempatkan di sisi Ka’bah.
Diriwayatkan bahwa Hubal terbuat dari batu akik merah yang berbentuk manusia.
Orang-orang Quraisy mendapati tangan kanan Hubal telah hancur. Lalu mereka ganti
dengan tangan dari emas. Inilah berhala pertama orang-orang musyrik, yang paling
besar, dan paling suci menurut mereka.10
Setlah Hubal, tanah Makkah berangsur-angsur disesaki berhala. Di antara berhala-
berhala besar mereka adalah Manat yang disembah Kabilah Hudzail dan Khuza’ah.
Berhala ini termasuk berhala tertua. Terletak di pantai Laut Merah. Di wilayah al-
Musyallal, di Qudaid. Kemudian ada Latta. Berhalanya orang-orang thaif. Dan al-Uzza,
berhala termuda namun yang terbesar kedua dari dua berhala sebelumnya. Berhala ini
disembah oleh orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilah lainnya. Tiga berhala ini adalah
terbesar masyarakat Arab. Kemudian kesyirikan semakin tersebar dan berhala pun
semakin bertebaran.
Puja-puji terhadap patung berhala telah menjadi agama dan budaya masyarakat
bangsa Arab. Meski demikian, tidak sedikit pun mereka meyakini bahwa berhala-berhala
itu yang menciptakan mereka dan alam semesta. Mereka yakin Allah Subhanahu
Wata’ala lah sang pencipta. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hal ini.
   
  

9
Syarh Ushulil Iman, 4
10
Hisyam al-Kalby, kitab Al-Ashnam, hal.27-28
  
    
“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan
langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" tentu mereka akan menjawab:
"Allah", Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).”
   
 
    
     

“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi
Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
Namun setan membisikan mereka bahwa berhala-berhala itulah yang mendekatkan diri
mereka kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Berhala itu menjadi perantara antara mereka
dan Allah.
    
  
  
  
    
     
     
    
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang
yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya".
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka
berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta
dan sangat ingkar.”
Ayat ini dengan tegas menjelaskan, orang-orang Arab jahiliyah beriman kepada Allah
Subhanahu Wata’ala. Tapi mereka campuri keimanan itu dengan kesyirikan. Mereka
menyembah Allah, dan juga menyembah berhala. Dari sini kita dapat pahami bahwa
mengagungkan orang-orang shaleh secara berlebihan, lalu menjadikan mereka perantara
dalam beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala adalah tradisi masyarakat Arab
jahiliyah (budaya arab).
b. Tauhid pada masa Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dan Khulafa’ Rasyidin
Masa Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam merupakan pembinaan aqidah dan
peraturan-peraturan dengan prinsip kesatuan ummat dan keadulatan Islam. Segala
masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi
Wasallam sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara ummatnya.
Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil,
sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak
kaum Muslimin untuk mentaati Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya serta
menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala
bidang sehingga menimbulkan kekacauan, Allah Subhanahu Wata’ala Berfirman dalam
Al-Qur’an Surah Al-Anfal ayat 46 :
  
  
  
    
 
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan,
yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat
dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari
pertengkaran. Allah Subhanahu Wata’ala Berfirman dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl
ayat 125 :
   
 
  
    
     
   
 
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Setelah Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wasallam wafat, masa kholifah pertama dan
kedua, ummat Islam tidak sempat membahas dasar-dasar akidah karena sibuk
mempertahankan kesatuan Ummat. Tidak pernah terjadi perbedaan dalam bidang akidah.
Mereka membaca dan memahamkan Al-Qur’an tanpa mencari ta’wil dari ayat yang
mereka baca. Mereka mengikuti perintah Al-Qur’an dan menjauhi larangannya. Mereka
mensifatkan Allah Subhanahu Wata’ala dengan apa yang Allah Subhanahu Wata’ala
sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan Allah Subhanahu Wata’ala dari sifat-sifat yang
tidak layak bagi keagungan Allah Subhanahu Wata’ala. Apabila mereka menghadapi
ayat-ayat yang mutasyabihah mereka mengimaninya dengan menyerahkan
penta’wilannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala sendiri.
Di masa kholifah ketiga akibat terjadi kekacauan politik yang diakhiri dengan
terbunuhnya khalifat Utsman bin Affan. Ummat Islam menjadi terpecah menjadi
beberapa golongan partai, barulah masing-masing partai dan golongan-golongan itu
dengan perkataan dan usaha dan terbukalah pintu ta’wil bagi Nash Al-Qur’an dan Hadits.
Karena itu, pembahasan mengenai aqidah mulai subur dan berkembang, selangkah dan
kian hari kian membesar dan meluas.11
3. Konsep Iman, Kufur, Nifaq dan Syirik
a. Iman
Secara pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau
makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang
yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa
ada unsur menerima dan tunduk. Kata iman adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak
butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh objek).12
Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi beragam
pendapat13 :
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama
ahli hadits serta ahlul Madinah (Ulama Madinah) demikian juga para pengikut madzhab
Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah
“pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan,dan amal dengan anggota badan”.
Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa
bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang.14
Kedua

11
Sejarah&Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Op.Cit.17
12
Syarh Arba’in, hal.34
13
Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan sedikit perubahan redaksional
14
Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal.9
Banyak diantara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang
disebutkan oleh Ath-Thahawi rahimahullah yang menyatakan bahwa iman itu pengakuan
dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja
dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al-Mathuridi rahimahullah, dan
Abu Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.
Dari beberapa pengertian dan penjelasan diatas bahwa saya menyimpulkan iman adalah
kepercayaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang meliputi segala aspek dalam diri
yaitu hati, pikiran dan pula tindakan. Iman bisa dikatakan iman tidak cukup hanya
mengatakan nya di dalam hati atau lisan, atau tak hanya pula hanya sekedar melakukan
perbuatan-perbuatan yang dikatakan seseorang itu beriman, namun ketiga aspek ini harus
saling tersinkronisasi dan menemukan titik kesepakatan dan itulah yang dikatakan
kesempurnaan iman.
b. Kufur
Kufur secara bahasa berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’ kufur adalah tidak
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakannya atau tidak
mendustakannya.
Kufur bisa dibagikan kepada dua jenis kekufuran yaitu kufur besar dan kufur kecil
 Kufur Besar
Kufur besar bisa mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Kufur besar ada 5
macam :
1. Kufur karena mendustakan
Dalilnya adalah firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Ankabut ayat 68 :
  
   
  
    
 
 
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-
adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak[1159]
tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka
Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?”
2. Kufur karena enggan dan sombong, padahal membenarkan.
Dalilnya firman Allah Subhanahu Wata’ala Al-Qur’an Surah Al-Baqoroh
ayat 34 :
  
 
  
 
  

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah
kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan
takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.”
3. Kufur karena ragu
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala :
  
  
   
  
  
  
   
   
  
 
  
    
   
    
  
“Dan Dia memasuki kebunnya sedang Dia zalim terhadap dirinya sendiri;
ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, Dan
aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika Sekiranya aku
kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali
yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu". Kawannya (yang mukmin)
berkata kepadanya - sedang Dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah
kamu kafir kepada (tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian
dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang
sempurna? Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku
tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.”
4. Kufur karena berpaling
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala Surah Al-Ahqaf ayat 3 :
  
 
 
 
  
  
 
“Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang
ditentukan. dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang
diperingatkan kepada mereka.”
5. Kufur karena Nifaq
Dalilnya Al-Qur’an Surah Al-Munafiqun ayat 3 :
   
   
   
“Yang demikian itu adalah karena bahwa Sesungguhnya mereka telah
beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati;
karena itu mereka tidak dapat mengerti.”
 Kufur kecil
Kufur kecil yaitu kufur yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama
Islam, dan ia adalah kufur amali. Kufur amali ialah dosa-dosa yang disebutkan
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai
derajat kufur besar. Seperti kufur nikmat, sebagaimana yang disebutkan dalam
firman-Nya.
   
 
 
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.”
Termasuk juga membunuh seorang Muslim, sebagaimana yang disebutkan dalam
sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
‫اب ا َ ْل ُم ْس ِل ِم‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ِن اب ِْن َم ْسعُ ْو ٍد رضي هللا عنه قَال‬
‫س ْو ُل ه‬
ُ ‫" ِس َب‬: ‫َّللاِ صلى هللا عليه و سلم‬ َ ‫َو‬
‫ َوقِت َالُهُ ُك ْف ٌر‬،‫س ْو ٌق‬
ُ ُ‫ف‬." ‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ ُمتهفَ ٌق‬.
“Ibnu Mas‘ud Radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, “Mencela seorang muslim adalah sebuah kefasikan, dan
membunuhnya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk juga bersumpah dengan nama selain Allah Subhanahu Wata’ala, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda.
َ‫َّللاِ فَقَ ْد َكفَ َر أ َ ْو أ َ ْش َرك‬ َ َ‫َم ْن َحل‬
‫ف بِغَي ِْر ه‬
“Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain Nama Allah, maka
sungguh dia telah kafir atau musyrik.”15

 Nifaq
Nifaq berasal dari ‫( النهافِقَا ُء‬naafiqaa’). Nifaq secara etimologi berarti salah satu
lubang tempat keluarnya yarbu’ (hewan sejenis tikus) dari sarangnya, dimana jika
ia dicari dari lobang yang satu, maka ia akan keluar dari lubang yang lain.
Nifaq menurut Syara’ berarti menampakkan keislaman dan kebaikan tetapi
menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dinamakan demikian karena dia
masuk pada syari’at dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain. Karena itu
Allah memperingatkan dengan firman-Nya :

 
   
  
 
   
  
 
 
15
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, seperti yang dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya(1/57). Syaikh Sulaiman
berkata dalam Taisirul Aziz (hal.587): ‘Sanadnya jayyid’
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang
lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang
berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. mereka telah lupa
kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang
munafik itu adalah orang-orang yang fasik.”
Menurut Al-Hafiz Ibnu Katsir mereka adalah orang-orang yang keluar dari jalan
kebenaran masuk ke jalan kesesatan.16
Nifaq dibagikan atas dua jenis yaitu Nifaq I’tiqadi dan Nifaq ‘Amali.
a. Nifaq I’tiqadi (keyakinan)
Yaitu nifaq besar, dimana pelakunya menampakkan keislaman, namun
menyembunyikan kekufuran. Jenis nifaq ini keluar dari agama dan dia berada
di kerak nearak. Allah menyifati para pelaku nifaq ini dengan berbagai
kejahatan seperti kekufuran, ketiadaan iman, mengolok-olok dan mencaci
agama dan pemeluknya dan kecenderungan kepada musuh-musuh untuk
bergabung memusuhi Islam.
b. Nifaq’Amali (perbuatan)
Yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafiq,
tetapi masih tetap ada iman di dalam hati. Nifaq jenis ini tidak
mengeluarkannya dari agama, tetapi merupakan wasilah (perantara) kepada
yang demikian. Pelakunya berada dalam iman dan nifaq. Lalu jika perbuatan
nifaqnya banyak, maka akan bisa menjadi sebab terjerumusnya dia ke dalam
nifaq sesungguhnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
َ‫صلَةٌ مِن‬ ْ ‫صلَةٌ ِم ْن ُه هن َكان‬
ْ ‫َت فِ ْي ِه َخ‬ ً ‫أ َ ْربَ ٌع َم ْن ُك هن فِ ْي ِه َكانَ ُمنَافِقا ً خَا ِل‬
ْ ‫ َو َم ْن َكان‬،‫صا‬
ْ ‫َت فِ ْي ِه َخ‬
َ ‫ َوإِذَا خَا‬،‫غدَ َر‬
‫ص َم فَ َج َر‬ َ ‫ َوإِذَا‬،‫ب‬
َ َ‫عا َهد‬ َ َ‫هث َكذ‬ َ َ‫ق َحتهى يَد‬
َ ‫ َوإِذَا َحد‬، َ‫ إِذَا اؤْ ت ُ ِمنَ خَان‬،‫ع َها‬ ِ ‫النِِّفَا‬.
“Ada empat hal yang jika terdapat pada diri seseorang, maka ia menjadi
seorang munafiq sejati, dan jika terdapat padanya salah satu dari sifat
tersebut, maka ia memiliki satu karakter kemunafikan hingga ia
meninggalkannya: 1) jika dipercaya ia berkhianat, 2) jika berbicara ia
berdusta, 3) jika berjanji ia memungkiri, dan 4) jika bertengkar ia melewati
batas.”17
 Syirik

16
Tafsir Ibnu Katsir (II/405), cet. Daarus Salaam
17
H.R Bukhari No. 2459
Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah Subhanahu Wata’ala dalam
Rububiyah dan Uluhiyah serta Asma Wa Sifat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata : “Syirik ada dua macam; pertama syirik dalam rububiyyah, yaitu
menjadikan sekutu selain Allah yang mengatur alam semesta, sebagaimana
firman-Nya Q.S Saba ayat 22:
  
     
   
   
    
    

“Katakanlah: " serulah mereka yang kamu anggap (sebagai Tuhan) selain Allah,
mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan
mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi
dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.”
Kedua adalah syirik dalam uluhiyyah, yaitu beribadah kepada selain Allah, baik
dalam bentuk do’a ibadah maupun do’a masalah.”18
4. Konsep Tauhid Dzat, Sifat, Rububiyyah, Ubudiyah dan Uluhiyah
a. Tauhid Dzat
Secara Global, makna dari Tauhid Dzat adalah mengesakan Allah Subhanahu
Wata’ala. Mengesakan Allah dari segala dzat-Nya yang berbeda dari dzat manusia,
mengimani bahwa dzat yang dimiliki-Nya tidaklah tersusun, terbentuk, ataupun sama
sebagaimana dengan makhluk-Nya.
Dzat dalam istilah umum menurut Abu Hasan Al-Jurjani berarti :
‫تطلقق على الجسم وغيره‬
“Di-itlaqkan (disifatkan) kepada jasmaniyah.”
Namun secara istilah tauhid, dzat bukan tergolong kepada jasmaniyah, karena pada
hakikatnya Dzat Allah tidaklah berjasmani. Jika Allah berjasmani maka ia akan sama
seperti makhluknya, bahwa ia memiliki tubuh, tersusun dan terstruktur, ini mustahil
bagi Allah Subhanahu Wata’ala. Keadaan semacam ini disebut dalam Kitab Jauharatut
Tauhid sebagai Dzat Tasyabbuh, yaitu dzat yang memiliki penyerupaan.
Secara definisi, Tauhid Dzat bisa diartikan sebagai wujud Allah tanpa berbentuk,
berwarna, tersusun, terarah, terbeban, dan tidaklah sama seperti manusia yang tersusun

18
Iqtiqadhaa’ush Shiraathil Mustaqiim (II/226) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dari segala anggota tubuh, ada tangan, telinga, mata, hidung, perut dan sebagainya.
Demikian juga pada makhluk lainnya, seperti malaikat, jin dan ruh, yang pada
hakikatnya semua berbentuk, tersusun dan memiliki persamaan antara satu dengan
lainnya, untuk itu mustahil demikian dan mustahil mempunyai persamaan dzat dengan
yang lainnya.
b. Tauhid Sifat
Tauhid sifat adalah meyakini bahwa sifat-sifat yang ada pada Allah Subhanahu
Wata’ala seperti ilmu, kuasa, hidup dan sebagainya merupakan hakikat Dzat-Nya,
bahkan adalah Dzat-Nya sendiri. Sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat makhluk,
yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah dari yang lainnya. Hanya saja, untuk
menyelami hakikat satu Dzat dan sifat ini memerlukan argumentasi dan alasan-alasan
yang rasional.
c. Tauhid rububiyah
Tauhid rububiyah di definisikan sebagai

‫افرادهللا بأ فعاله‬
“Mengesakan Allah dalam perbuatan-Nya.”
Tauhid rububiyah berarti meyakini hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang
Mampu Melakukan perbuatan-perbuatan yang menjadi kekhususan-Nya, seperti
menciptakan makhluk, mengaturnya, memberi rezeki, memberi manfa’at, menimpakan
musibah/mudhorot, menghidupkan, mematikan dan lainnya yang menjadi kekhususan
Allah Subhanahu Wata’ala.
Dasar dari pengimplementasian tauhid rububiyah ini ada dalam Al-Qur’an
Surah Rum ayat 40, Allah Subhanahu Wata’ala Berfirman :
   
   
   
   
   
  
 
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu
sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha
sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.”
d. Tauhid Ubudiyah
Tauhid Ubudiyah keyakinan bahwasanya tidak ada yang berhak mendapat
pengabdian (ibadah) dari kita selain Allah Subhanahu Wata’ala. Itulah yang dimaksud
dengan Tauhid Ubudiyah. Kata ubudiyah berasal dari kata “abada” yang berarti
mengabdikan diri(ibadaha), beribadah kepada Allah menyembah kepada-Nya.
Penyembahan disini bukan bermaksud Allah berhajat disembah hamba-Nya karena
Allah tidak ingin disembah akan tetapi penyembahan disini merupakan keta’atan,
kepatuhan dan ketumbuhan antara hamba kepada Tuhannya, antara makhluk dengan
Khaliknya tidak ubahnya kita atau kepatuhan ketundukan anak terhadap orang tuanya.
Seorang karyawan kepada pimpinannya, yang semua kewajibannya dikerjakan dengan
penuh rasa tanggung jawab, hanya saja di dalam keta’atan menjalankan kewajiban tidak
terdapat unsur benci sedikitpun kepada-Nya. Dengan selalu memelihara dan
menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.
Maka dengan demikian, baik yang beribadah langsung kehadirat Allah Subhanahu
Wata’ala seperti sembahyang dan puasa, maupun ibadah sosial melalui amal kebaikan
untuk kesejahteraan masyarakat tempat kita hidup seperti zakat, sedekah, penyantunan
fakir miskin dan lain-lain, semua itu untuk kebahagiaan kita sendiri. Seperti yang Allah
Subhanahu Wata’ala Firmankan dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 35 :
  
  
 
  
  
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan.”
Sebaliknya Allah Subhanahu Wata’ala tidak perlu ibadah kita, sebab sebagaimana
yang telah difirmankan, bahwa Allah Subhanahu Wata’ala tidak butuh kepada alam
semesta ini, sehingga walaupun kita bersikap kufur, samak sekali tidak akan
mengurangi keagungan Allah Subhanahu Wata’ala.
Dalam praktek ibadah itu dilakukan karena mengingat Allah sebagai Penguasa
Tunggal dan Maha Pencipta, dan juga karena didorong oleh keinginan menyatakan
syukur itu bukan hanya dengan ucapan syukur atau terimakasih atau yang lazim dengan
ucapan alhamdulillah saja, tetapi terutama bagaimana menta’ati segala perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya atau dengan kata lain harus bertaqwa dan sekaligus
menyatakan syukur atas nikmat dan karunia-Nya.
    
 
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.”
  
 
“Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang
kemudian.”
e. Tauhid Uluhiyah

‫افرادهللا بالعبادة‬
“Mengesakan Allah dalam beribadah kepadanya.”
Tauhid uluhiyah berarti meyakini hanya Allah yang berhak diibadahi, tidak boleh
mempersembahkan peribadatan kepada selain-Nya, dalam bentuk ibadah yang lahir
maupun yang batin, ucapan maupun perbuatan.
Pengimplementasian dari tauhid uluhiyah ini banyak yang di-Firmankan Allah
di dalam Al – Qur’an yang salah satunya dalam Surah Taha ayat 14, Allah Subhanahu
Wata’ala Berfirman :
     
  
  
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka
sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.”
f. Tauhid Asma’ Wa Sifat

‫ وإليمان‬,‫افرادهللا بأسمائه الحسنى وصفاته العلى الواردة في القرآن والسنة‬


‫بمعانيها واحكامها‬
“Tauhid Nama dan Sifat adalah mengesakan Allah dalam nama-Nya yang terindah dan
sifat-sifat-Nya yang termulia, yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan
beriman terhadap makna-makna dan hukum-hukumnya.”
Penjelasan dari tauhid uluhiyah ini tercantum di dalam Al-Qur’an Surah Al-
A’raf ayat 180, Allah Subhanahu Wata’ala Berfirman :
 
  
   
   
   
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap
apa yang telah mereka kerjakan.”
3. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan makna dari hadits ini yaitu seorang manusia
menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi dengan rasa harap dan keinginan,
seolah – olah dia melihat-Nyam sehingga dia pun sangat ingin sampai kepada-Nya,
dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai
kondisi semacam ini maka hendaknya ia berada di derajat kedua yaitu : menyembah
kepada Allah dengan ibadah yang dipenuhi dengan rasa takutdan cemas tertimpa
siksa-Nya, oleh karena itu Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jika kamu
tidak bisa melihatNya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Artinya jika kamu tidak
mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya dia
melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm.21)
Syaikh Sholeh Alu Syaikh hafidzahullah memberikan penjelasan bahwa inti
yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal seseorang
dapat dikatakan telah melakukan ihsan apabila di dalam beribadah kepada Allah yaitu
apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas semata-mata mengharap
pahala-Nya dan sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Inilah
kadar ihsan yang wajib harus ditunaikan oleh setiap muslim yang akan membuat
keislamannya menjadi sah. Adapaun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di
dalam beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :
Pertama, tingkatan muqorobah.
Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dalam diperhatikan oleh
Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi
Wasallam ‫( فان لم تكن تراه فانه يراك‬jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya
Dia melihatmu). Tingkatan muqorobah yaitu apabila seseorang tidak mampu
memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah Melihatnya. Tingkatan inilah
dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa
Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut.
Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam Surah Yunus ayat 61 :
    
    
    
  
    
     
    
    
    
“Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu
tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu
melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun
di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua
tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Kedua,tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa
memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat
tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi ‫( ان تعبدهللا كأنك تراه‬kamu menyembah Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya). Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada
Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan disini bahwa yang
dimaksudkan disini bukanlah dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak
sebagaimana orang-orang sufi. Yang mereka sangka tingkatan musyahadah adalah
melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah
memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat
Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan
yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan
Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam
derajat ihsan. (Syarh Arba’in an Nawawiyah penjelasan hadits ke-2, Syaikh Sholeh
Alu Syaikh).
Dan melihat pandangan dan pemahaman saya adalah bahwasanya yang
dimaksud dalam hadits diatas, kita merasa selalu diawasi oleh Allah Subhanahu
Wata’ala dalam menjalani setiap aktivitas kita dalam bentuk peribadahan individual
maupun peribadahan sosial, kita selalu merasa takut untuk melakukan maksiat
walaupun kita tahu bahwa tidak ada seorang pun yang melihat kita melakukan itu,
namun kita meyakini bahwa Allah Subhanahu Wata’ala memperhatikan maksiat kita
dan Dia akan memberikan balasan kelak di akhirat bagi kita dan semua perbuatan kita
yang sengaja kita sembunyikan dihadapan makhluk akan Allah buka suatu saat.
Bahwasanya tingkatan ihsan ini adalah derajat yang tinggi yang dimiliki oleh seorang
muslim, karena dengan memiliki rasa diawasi oleh Allah Subhanahu Wata’ala ia akan
takut melakukan maksiat dan akan memperbanyak berbuat amal sholih sehingga di
mata Allah Subhanahu Wata’ala maupun dimata makhluk ia akan dipandang baik dan
mulia.
5. Hal Yang Mengganggu Aqidah
a. Syirik
Syirik adalah menyekutukan Allah dengan yang lain
Syirik dibagi menjadi 2 (dua) :
 Syirik Akbar/Syirik Jalyy: menyekutukan Allah. Seperti menyembah berhala.
Penyembahan berhala dalam sejarah nabi sudah ada sejak zaman Nabi Nuh
‘Alaihissalam. Disebut Syirik Akbar atau Syirik Jalyy apabila :
1) Melakukan perbuatan yang jelas-jelas menganggap ada Tuhan-Tuhan lain
selain Allah Subhanahu Wata’ala dan Tuhan-Tuhan itu dijadikan
tandingan di samping Allah Subhanahu Wata’ala.
2) Menganggap ada sesembahan selain Allah Subhanahu Wata’ala.
3) Menganggap Tuhan mempunyai anak atau segala perbuatan yang
mengingkari kemahakuasaan Allah Subhanahu Wata’ala.
Oleh karena itu mereka disebut musyrik sehingga perlu dimurnikan tauhidnya.
 Syirik Ashgar/Syirik Khafi yaitu perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan
amalan keagamaan bukan atas dasar keikhlasan untuk mencari ridha Allah,
melainkan untuk tujuan lain. Syirik Ashgar (syirik khafi) ialah perbuatan yang
secara tersirat menagndung pengakuan ada yang kuasa di samping Allah
Subhanahu Wata’ala. Misalnya, pernyataan seseorang : “ jika seandainya saya
tidak ditolong oleh dokter itu. Pasti saya akan mati.” Pernyataan seperti ini
menyiratkan seakan-akan ada pengakuan bahwa ada sesuatu yang berkuasa selain
Allah Subhanahu Wata’ala.
Allah Subhanahu Wata’ala Berfirman dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 36 :
   
    
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun.”
b. Nifaq
Nifaq berasal dari ‫( النهافِقَا ُء‬naafiqaa’). Nifaq secara etimologi berarti salah satu
lubang tempat keluarnya yarbu’ (hewan sejenis tikus) dari sarangnya, dimana jika
ia dicari dari lobang yang satu, maka ia akan keluar dari lubang yang lain.
Nifaq menurut Syara’ berarti menampakkan keislaman dan kebaikan tetapi
menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dinamakan demikian karena dia
masuk pada syari’at dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain. Karena itu
Allah memperingatkan dengan firman-Nya :

 
   
  
 
   
  
 
 
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang
lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang
berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. mereka telah lupa
kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang
munafik itu adalah orang-orang yang fasik.”
Menurut Al-Hafiz Ibnu Katsir mereka adalah orang-orang yang keluar dari jalan
kebenaran masuk ke jalan kesesatan.19
Nifaq dibagikan atas dua jenis yaitu Nifaq I’tiqadi dan Nifaq ‘Amali.

c. Nifaq I’tiqadi (keyakinan)


Yaitu nifaq besar, dimana pelakunya menampakkan keislaman, namun
menyembunyikan kekufuran. Jenis nifaq ini keluar dari agama dan dia berada
di kerak nearak. Allah menyifati para pelaku nifaq ini dengan berbagai
kejahatan seperti kekufuran, ketiadaan iman, mengolok-olok dan mencaci
agama dan pemeluknya dan kecenderungan kepada musuh-musuh untuk
bergabung memusuhi Islam.
19
ibid
d. Nifaq’Amali (perbuatan)
Yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafiq,
tetapi masih tetap ada iman di dalam hati. Nifaq jenis ini tidak
mengeluarkannya dari agama, tetapi merupakan wasilah (perantara) kepada
yang demikian. Pelakunya berada dalam iman dan nifaq. Lalu jika perbuatan
nifaqnya banyak, maka akan bisa menjadi sebab terjerumusnya dia ke dalam
nifaq sesungguhnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
َ‫صلَةٌ مِن‬ ْ ‫صلَةٌ ِم ْن ُه هن َكان‬
ْ ‫َت فِ ْي ِه َخ‬ ً ‫أ َ ْربَ ٌع َم ْن ُك هن فِ ْي ِه َكانَ ُمنَافِقا ً خَا ِل‬
ْ ‫ َو َم ْن َكان‬،‫صا‬
ْ ‫َت فِ ْي ِه َخ‬
َ ‫ َو ِإذَا خَا‬،‫غدَ َر‬
‫ص َم فَ َج َر‬ َ ‫ َو ِإذَا‬،‫ب‬
َ َ‫عا َهد‬ َ َ‫هث َكذ‬ َ َ‫ق َحتهى يَد‬
َ ‫ َو ِإذَا َحد‬، َ‫ ِإذَا اؤْ ت ُ ِمنَ خَان‬،‫ع َها‬ ِ ‫النِِّفَا‬.
“Ada empat hal yang jika terdapat pada diri seseorang, maka ia menjadi seorang
munafiq sejati, dan jika terdapat padanya salah satu dari sifat tersebut, maka ia
memiliki satu karakter kemunafikan hingga ia meninggalkannya: 1) jika dipercaya ia
berkhianat, 2) jika berbicara ia berdusta, 3) jika berjanji ia memungkiri, dan 4) jika
bertengkar ia melewati batas.”
c. Murtad
Kata murtad berasal dari irtadda menurut wazan ifta’ala, berasal dari kata
riddah yang artinya : berbalik. Kata riddah dan irtidad dua-duanya berarti kembali
kepada jalan, dari mana orang datang semula. Tetapi kata riddah khusus digunakan
dalam arti kembali pada kekafiran, sedang kata irtidad digunakan daalam arti itu, dan
orang yang kembali dari Islam kepada kekafiran, disebut murtad.
d. Khufarat
Khufarat secara berarti takhayul, dongeng atau legenda sedangan khurafy
adalah hal yang berkenaan dengan takhayul atau dongeng.
Khufarat ialah semua cerita sama ada rekaan atau khayalan, ajaran-ajaran,
pantang-larang, adat-istiadat, ramalan-ramalan, pemujaan atau kepercayaan yang
menyimpang dari ajaran Islam.
e. Tahayul
Secara bahasa, berasal dari kata khayal yang berarti “apa yang tergambar
pada seseorang mengenai suatu hal baik dalam keadaan sadar atau sedang
bermimpi.”
Dari istilah takhayul tersebut ada dua hal yang termasuk dalam kategori
tahayul, yaitu :
 Kekuatan ingatan yang terbentuk berdasarkan gambar indrawi dengan segala
jenisnya, (seperti: pandangan, pendengaran, pancaroba, penciuman) setelah
hilangnya sesuatu yang dapat di indera tersebut dari panca indera kita.
 Kekuatan ingatan lainnya yang disandarkan pada gambar indrawi, kemudian satu
dari unsurnya menjadi sebuah gambar yang baru. Gambar baru tersebut bisa jadi
satu hal yang benar-benar terjadi, atau hal yang diluar kebiasaan (kemustahilan).
Seperti kisah seribu satu malam, Nyai Roro Kidul dan cerita-cerita khufarat
lainnya.
f. Bid’ah
Jika ditinjau dari sudut pandang bahasa, bid’ah diambil dari kata bida’ yaitu
al-ikhtira’ yang artinya mengadakan sesuatu tanpa ada contohnya sebelumnya.
Seperti yang termaktub di dalam Kitab Shahih Muslim di Syarah Imam Nawawi
dijelaskan sebagai berikut :
‫والمراد غالب البدع‬. ‫قال أهل اللغة‬: ‫هي كل شيء عمل على غير مثال سابق‬
“Dan yang dimaksud bid’ah, berkata ahli bahasa, dia ialah segala sesuatu amalan
tanpa contoh yang terlebih dahulu”
Sedangkan jika ditujukkan dalam hal ibadah pengertian-pengertian bid’ah
tersebut diantaranya :
‫البدعة‬: ‫ والسنة وإجماع سلف األمة‬،‫ تخالف الكتاب‬،‫ يراد بها التعبد‬،‫طريقة مستحدثة في الدين‬
“Bid’ah adalah suatu jalan yang diada-adakan dalam agama yang dimaksudkan
untuk ta’abudi, bertentangan dengan al Kitab (al qur`an), As Sunnah dan ijma’ umat
terdahulu“
6. Konsep Islam, Iman dan Ihsan
a. Islam
Dalam istilah etimologis Islam berasal dari makna inqiyad (tunduk) dan
istislam (pasrah).20 Diantara penggunaan makna bahasa ini, Allah Subhanahu
Wata’ala sebutkan dalam Al-Qur’an ketika menceritakan penyembelihan Ismail
‘alaihissalam yang dilakukan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam :
  
  
   
   

20
Al-Mu’jam Al-Wasith, 1/446
  

“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai
Ibrahim, Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu Sesungguhnya
Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Makna Islam secara istilah tidak jauh dari makna bahasanya.
Imam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi mengatakan,
‫ والبراءة من الشرك وأَهله‬، ‫اإلسالم هو االستسالم هلل بالتوحيد واالنقياد له بالطاعة‬
“Islam adalah pasrah kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan
mentaati-Nya, dan berlepas diri dari semua kesyirikan dan pelakunya.”21
Islam lebih mencakup dalam Syari’at atau bentuk perintah dalam peribadahan
yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala lewat Al-Qur’an atau lewat perantara
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam lewat as-Sunnah, Islam pun dibangun atas 5
perkara/rukun yang tercantum dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin
Khattab Rodhiyallohu ‘anhu :
‫ ا َ ِإل ْسالَ ُم أ َ ْن ت َ ْش َهدَ أ َ ْن‬: ‫سلهم‬ َ ُ‫صلهى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬,‫اإل ْسالَ ِم‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫ يَا ُم َح همدُ أ َ ْخبِ ْرنِ ْي‬: ‫َو قَا َل‬
ِ ‫ع ِن‬
َ‫ َوت َ ُح هج ْالبَيْت‬, َ‫ضان‬ ‫ي ه‬
ُ َ ‫ َوت‬,َ ‫الز َكاة‬
َ ‫ص ْو َم َر َم‬ َ ِ‫ َوتُؤْ ت‬,َ ‫صالَة‬ ُ ‫الَإِ لَهَ إِاله هللاُ َو أ َ هن ُم َح همدًا َر‬
‫ َوت ُ ِق ْي ُم ال ه‬,ِ‫س ْو ُل هللا‬
ً‫سبِ ْيال‬
َ ‫طعْتَ إِلَ ْي ِه‬
َ َ ‫إِ ِن ا ْست‬
“kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi
tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan
sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan
zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika
engkau telah mampu melakukannya,”
Hadits diatas menjelaskan apa yang kita sebut sebagai rukun Islam yaitu :
 Syahadat
 Sholat
 Zakat
 Puasa
 Naik haji bagi yang mampu
b. Iman

21
Tsalatsah al-Ushulm 1/189
Secara pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata
beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau
mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati
(tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk. Kata iman adalah fi’il lazim
(kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh
objek).
Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi
beragam pendapat :
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan
segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (Ulama Madinah) demikian juga para
pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa
definisi iman itu adalah “pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan,dan amal
dengan anggota badan”. Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur
keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga
bertambah dan berkurang.
Kedua
Banyak diantara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana
yang disebutkan oleh Ath-Thahawi rahimahullah yang menyatakan bahwa iman itu
pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun
tambahan saja dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al-Mathuridi
rahimahullah, dan Abu Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti
ini.
Dari beberapa pengertian dan penjelasan diatas bahwa saya menyimpulkan
iman adalah kepercayaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang meliputi segala
aspek dalam diri yaitu hati, pikiran dan pula tindakan. Iman bisa dikatakan iman tidak
cukup hanya mengatakan nya di dalam hati atau lisan, atau tak hanya pula hanya
sekedar melakukan perbuatan-perbuatan yang dikatakan seseorang itu beriman,
namun ketiga aspek ini harus saling tersinkronisasi dan menemukan titik kesepakatan
dan itulah yang dikatakan kesempurnaan iman.
Iman itu berupa pembenaran hati artinya hati menerima semua ajaran yang
dibawa oleh Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Pengakuan dengan lisan
artinya mengucapkan dua kalimat Syahadat ‘Asyhadu An Laa Ilaaha Ilallah Wa
Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah’. Sedangkan perbuatan dengan anggota
badan artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan beramal dengan anggota
badan lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya.22
Dan salah satu pokok penting dari aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah ialah
keyakinan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.23 Hal ini telah ditunjukkan oleh
dalil-dalil dari Al Kitab maupun As Sunnah. Salah satu dalil dari Al Kitab yaitu
firman Allah ta’ala (yang artinya), “Agar bertambah keimanan mereka di atas
keimanan yang sudah ada.”24
Iman ini dipaparkan di dalam sebuah hadits yang masih sama diriwayatkan
oleh Umar bin Khattab Rodhiyallohu ‘anhu :
ِ‫ أ َ ْن بِاهلل‬: ‫ قَا َل‬,‫ان‬
ِ ‫اإل ْي َم‬ َ ‫ فَأ َ ْخبِ ْرنِ ْي‬: ‫قَا َل‬, ‫ َو تُؤْ ِمنَ بِ ْالقَد ِْر‬,‫اآلخ ِر‬
ِ ‫ع ِن‬ ِ ‫ َو ْاليَ ْو ِم‬,‫س ِل ِه‬
ُ ‫ َو ُر‬,‫ َو ُكتُبِ ِه‬,‫َو َمالَئِ َكتِ ِه‬
‫َخي ِْر ِه َو ش ِ َِّر ِه‬
“Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-
kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik
dan yang buruk,”25
Hadits diatas menjelaskan tentang apa yang kita kenal sebagai rukum Iman :
 Iman kepada Allah
 Iman kepada Malaikat
 Iman kepada Kitab-Kitab Allah
 Iman kepada Rasul-Rasul Allah
 Iman kepada hari akhir
 Iman kepada takdir baik dan takdir buruk yang menimpa kita (qodho dan
qadar)
c. Ihsan

22
Kitab At-Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal.9
23
Fathu Rabbil Bariyah, Hal.102
24
Q.S Al-Fath ayat 48
25
ibid
Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al isaah (berbuat buruk),
yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan menahan diri
dari dosa. Dia mendermakan kebaikan kepada hamba Allah yang lainnya baik melalui
hartanya, kehormatannya, ilmunya, maupun raganya.
Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan kepada Allah
adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam
dalam hadits :
‫ أ َ ْن ت َ ْعبُدَ هللاَ َكأ َنهكَ ت ََراهُ فَِإ ِ ْن لَ ْم ت َ ُك ْن ت ََراهُ فَِإِنههُ يَ َراك‬: ‫ قَا َل‬,‫ان‬
ِ ‫س‬َ ْ‫اإلح‬ َ ‫ فَأ َ ْخبِ ْرنِ ْي‬: ‫قَا َل‬
ِ ‫ع ِن‬
“Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada
Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya,
sesungguhnya Dia melihatmu.”26
Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan
mencakup dua macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam
menunaikan hak sesama makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah maknanya
beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala seolah-olah melihat-Nya atau merasa
diawasi oleh-Nya. Sedangkan ihsan dalam hak makhluk ini terbagi dua, yaitu yang
wajib dan sunnah. Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada orang tua dan
bersikap adil dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah misalnya memberikan
bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang. Salah satu
bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek
kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatannya.27
Syaikh Sholeh Alu Syaikh hafidzahullah memberikan penjelasan bahwa inti
yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal seseorang
dapat dikatakan telah melakukan ihsan apabila di dalam beribadah kepada Allah yaitu
apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas semata-mata mengharap
pahala-Nya dan sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Inilah
kadar ihsan yang wajib harus ditunaikan oleh setiap muslim yang akan membuat
keislamannya menjadi sah. Adapaun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di
dalam beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :
Pertama, tingkatan muqorobah.

26
H.R Muslim No. 102
27
Bahjatu Qulubil Abraar 168-169, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dalam diperhatikan oleh
Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi
Wasallam ‫( فان لم تكن تراه فانه يراك‬jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya
Dia melihatmu). Tingkatan muqorobah yaitu apabila seseorang tidak mampu
memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah Melihatnya. Tingkatan inilah
dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa
Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut.
Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam Surah Yunus ayat 61 :
    
    
    
  
    
     
    
    
    
“Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu
tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu
melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun
di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua
tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Kedua,tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa
memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat
tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi ‫( ان تعبدهللا كأنك تراه‬kamu menyembah Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya). Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada
Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan disini bahwa yang
dimaksudkan disini bukanlah dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak
sebagaimana orang-orang sufi. Yang mereka sangka tingkatan musyahadah adalah
melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah
memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat
Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan
yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan
Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam
derajat ihsan. (Syarh Arba’in an Nawawiyah penjelasan hadits ke-2, Syaikh Sholeh
Alu Syaikh).
Dan melihat pandangan dan pemahaman saya adalah bahwasanya yang
dimaksud dalam hadits diatas, kita merasa selalu diawasi oleh Allah Subhanahu
Wata’ala dalam menjalani setiap aktivitas kita dalam bentuk peribadahan individual
maupun peribadahan sosial, kita selalu merasa takut untuk melakukan maksiat
walaupun kita tahu bahwa tidak ada seorang pun yang melihat kita melakukan itu,
namun kita meyakini bahwa Allah Subhanahu Wata’ala memperhatikan maksiat kita
dan Dia akan memberikan balasan kelak di akhirat bagi kita dan semua perbuatan kita
yang sengaja kita sembunyikan dihadapan makhluk akan Allah buka suatu saat.
Bahwasanya tingkatan ihsan ini adalah derajat yang tinggi yang dimiliki oleh seorang
muslim, karena dengan memiliki rasa diawasi oleh Allah Subhanahu Wata’ala ia akan
takut melakukan maksiat dan akan memperbanyak berbuat amal sholih sehingga di
mata Allah Subhanahu Wata’ala maupun dimata makhluk ia akan dipandang baik dan
mulia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Syaikh Muhammad At-Tamimi, Syarh Tsalatsil Ushul, hal. 39


2. Ibnu Hajar Al-Makki, Lawami’ul Anwar, hlm.57
3. As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Al-Qaulus Sadid, hlm.16
4. Abdul Aziz An-Nashir Ar-Rasyid, At-Tanbihat As-Saniyyah, hlm.9
5. Ustadz Abu Haidar As-Sundawy, Al-Qaulul Mufid,1/5
6. Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz As-Sulaiman Al-Qa’rawi, Al Jadid Syarh
7. Syaikh Muhammad At-Tamimi, Kitab Tauhid, hal. 17
8. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhaj Firqotin Najiyyah
9. Imam Ath-Thahawi, Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah
10. Syaikh Muhammad Shalilh Al-Utsaimin, Syarh Ushulil Iman, hal. 4
11. Hisyam al-Kalby, kitab Al-Ashnam, hal.27-28
12. DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali,
hal.9
13. Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah&Pengantar Ilmu
Tauhid/Kalam. Op.Cit.17
14. Imam An-Nawawi, Syarh Arba’in, hal.34
15. Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan sedikit perubahan redaksional
16. Imam Ibnu Katsir Al-Hafizh, Tafsir Ibnu Katsir (II/405), cet. Daarus Salaam
17. Imam Al-Bukhari, H.R Bukhari No. 2459
18. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Iqtiqadhaa’ush Shiraathil Mustaqiim, jilid II hal.
226
19. Syauqi Dha’if, Al-Mu’jam Al-Wasith, jilid I hal. 446
20. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Tsalatsah al-Ushulm jilid I hal.189
21. Syekh Ibrohim Al-Baijury, Fathu Rabbil Bariyah Ala Durrotul Bahiyyah, Hal.102
22. Al-Qur’an Surah Al-Fath ayat 48
23. Imam Muslim, Shahih Muslim, Hadits No. 102
24. Syaikh Abdurrahman as-Sa’d, Bahjatu Qulubil Abraar, hal.168-169

Anda mungkin juga menyukai