Anda di halaman 1dari 19

KESULITAN DAN KEAHLIAN INTUBASI: RAPID SQUENCE INTUBATION

Sharon Elizabeth Mace, MD, FACEP, FAAP

Kata kunci: Intubasi, Rapid sequence intubation, intubasi endotrakea

Definisi

Rapid sequence intubation (RSI) merupakan sebuah proses dimana agen farmakologis, secara
spesifik agen sedative (agen induksi) dan agen penyekat neuromuscular diberikan secara cepat
untuk mempermudah intubasi endotrakea.

RSI pada Instalasi Gawad Darurat (IGD) biasanya dilakukan pada kondisi kurang optimal
dan harus dibedakan dari rapid sequence induction yang dilakukan oleh dokter ahli anestesi
dalam lingkungan yang lebih terkontrol yaitu di ruang operasi untuk induksi anestesi pada
pasien yang membutuhkan intubasi. RSI digunakan untuk mengamankan jalan napas pada
pasien gawat darurat yang biasanya tidak kooperatif, tidak berpuasa seblumnya, tidak stabil,
pasien sakit berat. Dalam anestesi, tujuan Rapid sequence induction adalah untuk induksi
anestesi saat menggunakan sequence cepat untuk menurunkan kemungkinan aspirasi. Dengan
RSI gawat darurat, tujuannya adalah untuk mempermudah intubasi dengan keuntungan
tambahan yaitu menurunkan risiko aspirasi.

Meskipun tidak ada penelitian randomized-controlled yang menunjukkan keuntungan


RSI, dan masih terdapat kontroversi mkengenai berbagai macam tahapan dalam RSI pada orang
dewasa dan pada anak-anak. RSI menjadi standar pelayanan pada departemen gawat darurat
terutama mengenai manejemen jalan napas dan telah direkomendasikan untuk manajemen
jalan napas pasien sakit berat di ruang perawatan intensif. RSI juga telah digunakan di pra-
rumah sakit, meskipun hasilnya masih bercampur, terutama pada pasien trauma, salah satu
expert panel menemukan bahwa “literature mengenai RSI paramedic belum disimpulkan”.
Pelatihan dan pengalaman mempengaruhi performa dan “Program RSI paramedic bergantung
pada pelayanan kegawatdaruratan medis dan karakteristik sistem trauma”

Keuntungan dan Kerugian RSI

Tujuan dari RSI adalah untuk membuat intubasi lebih mudah dan lebih aman, sehingga
meningkatkan angka kesuksesan intubasi dan menurunkan risiko komplikasi intubasi. Alas an
RSI adalah untuk mencegah terjadinya aspirasi dan potensi masalah lainnya, termasuk
pneumonia aspirasi, dan untuk meningkatkan tekanan darah sistemik, denyut jantung,
pelepasan katekolamin plasma, tekanan intra kranial, dan tekanan intra ocular yang muncul
dengan intubasi endotrakea. Peningkatan tekanan intracranial mungkin menjadi kritis pada
pasien dengan gangguan autoregulasi serebral dari cedera sistem saraf pusat. Menghindari
peningkatan tekanan intra ocular mungkin dibutuhkan pada pasien glaucoma atau pasien
dengan cedera mata akut. RSI mengurangi proteksi jalan napas alami (seperti batuk, muntah,
sekresi, dan spasme laring) yang mungkin membuat intubasi menjadi lebih sulit. Penggunaan
RSI membatasi gerakan servikal, maka, membuat control gerakan servikal menjadi lebih mudah.
RSI mengurangi trauma jalan napas yang muncul saat intubasi. RSI harus menurunkan atau
mengeleminasi rasa tidak nyaman yang muncul saat intubasi.

Kerugian RSI adalah 1) efek samping potensial atau komplikasi yag berhubungan dengan
obat-obatan yang diberikan, 2) intubasi yang lama membuat terjadinya hipoksia, 3) kerusakan
jalan napas yang membutuhkan cricothyroidotomy atau prosedur jalan napas segera.

Prosedur Rapid Sequence Intubation

RSI secara keseluruhan terdiri dari tujuh tahap: 1) Preparation, 2) Preoxygenation, 3)


Pretreatment, 4) paralysis with induction, 5) protection and positioning, 6) placement of the
tube, 7) postintubation management. Tujuh tahap ini dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi
klinis.

Step 1 – Preparation (persiapan)

Persiapan termasuk mempersiapkan seluruh peralatan yang dibutuhkan seperti obat-obatan


yang dibutuhkan selama intubasi gawat darurat, oksigen, suction, masker bag-valve,
laryngoscope dan blade, pipa endotrakea (ETT) dengan stylet dan satu ukuran lebih besar dan
lebih kecil ETT untuk antisipasi, peralatan resusitasi, kebutuhan untuk maneuver penyelamatan
(Laryngeal Mask Airway [LMA] atau cricothyroidotomy) jika terjadi kegagalan intubasi
berdasarkan guideline Can’t intubate, can’t ventilate American Society of Anesthesiologist.
Pasien harus mendapat IV line dan monitoring tanda-tanda vital (denyut jantung, respirasi,
tekanan darah, dan pulse oxymetri), monitoring ritme cardiac, dan capnography.

Terdapat mnemonic untuk mengingat peralatn esensial saat intubasi “SOAPME”:


Suction, Oxygen, Airway, Pharmacology, Monitoring, Equipment. Untuk airway, termasuk ETT,
laryngoscope, blade, stylet, dan BVM. Untuk farmakologi pilih, ambil, dan beri label sesuai
dengan jenisnya berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik, dan peralatan yang tersedia.
Monitoring harus selalu termasuk pulse oxymetri dan monitoring kadiak minimal, dan dapat
disertai capnography.

Mempersiapkan personil adekuat untuk membantu selama prosedur berlangsung dan


membagi tugas termasuk kunci kesuksesan fase persiapan. Pemeriksaan pasien harus dilakukan
saat ini. Focus riwayat dan pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk mengidentifikasi kondisi
apapun, kesakitan, atau cedera yang dapat mempengaruhi jalan napas, pemberian obat,
ventilasi BVM, intubasi, RSI, atau prosedur penyelamatan jalan napas.

Tahap persiapan pada awalnya disebut MAP (Monitor, Assemble, Patien assessment)
diluar rencana penanganan untuk intubasi menggunakan RSI dan rencana keseluruhan jika
terjadi kegagalan intubasi.

Step 2 – Preoxygentaion

Preoksigenasi harus dipersiapkan dari tahap persiapan. Tujuan dari preoksigenasi adalah untuk
menggantik nitrogrn dalam kapasitas residu pasien dengan oksigen atau “nitrogen wash out
oxygen wash in”. denitrogenasi dapat dicapai selama 3 sampai 5 menit dengan membuat
pasien menghirup oksigen 100% melalui masker yang menempel dengan wajah, jika waktu
adalah masalah, dengan 4 napas kapasitas vital. Bergantung pada keadaannya, selama mungkin
preoksigenasi dapat dicapai (lebih dri 5 menit) harus dilakukan. Idealnya, ventilasi tekanan
positif harus dihindari saat preoksigenasi karena terdapat risiko terjadinya inflasi gaster dan
kemungkinan regurgitasi. Karena ventilasi efektif pasien tidak baik pada pasien gawat darurat,
ventilasi BVM mungkin diperlukan pada pasien apnea atau pasien dengan napas spontan yang
tidak efektif. Pada keadaan ini, penggunaan maneuver Sellick diperlukan untuk mengurangi
distensi lambung dan menghindari aspirasi saat ventilasi BVM.

Saat fase preoksigenasi, mengganti reservoir nitrogen di paru-paru dengan oksigen


membutuhkan waktu 3 sampai 5 menit saat apnea tanpa hipoksemia signifikan pada orang
dewasa normal. Yang harus diingat adalah pada beberapa pasien seprti pasien obesitas, anak-
anak, ibu hamil, akan lebih cepat terjadinya desaturasi oxyhemoglobin, yang mungkin terjadi
setelah 2 menit. Sedangkan pada orang dewasa normal, desaturasi oxyhemoglobin terjadi
setelah 5 menit.

Step 3 – pretreatment

Obat-obatan yang dibutuhkan dimasukkan saat tahap pretreatment untuk mengurangi respon
fisiologis negatif terhadap intubasi. Untuk efek maskimal, obat pretreatment harus mengawali
agen induksi 3 menit, meskipun hal ini tidak selalu memungkinkan. Fase pretreatment dan fase
preoksigenasi dapat terjadi secara simultan pada sebagian besar keadaan RSI di unit gawat
darurat. Obat-obatan dan dosisnya dapat diberikan saat pretreartment adalah lidocain 1,5
mg/kg, fentanyl 2-3 mcg/kg, dan atropine 0,02 mg/kg (minimum 0,1 mg, maksimum 0,5 mg).
indikasi klinis untuk obat ini adalah 1) untuk pasien dengan peningkatan tekanan intracranial
dan gangguan autoregulasi: pemberian lidocaine dan fentanyl, 2) pasien dengan diseksi
pembuluh darah atau rupture pembuluh darah dengan gangguan jantung iskemik diberi
fentanyl, 3) orang dewasa dengan gangguan jalan napas reaktif, diberi premedikasi lidocaine,
dan 4) atropine diindikasikan untuk pasien anak-anak <= 10 tahun dan pada pasien dengan
bradikardi signifikan jika succinylcholine diberikan. Yang harus diingat adalah untuk
memberikan fentanyl dengan perhatian pada setiap pasien syok yang bergantung pada saraf
simpatis karena terdapat otensi menurunnya tekanan dareah dengan pemberian fentanyl.

Pada pasien yang mendapat succinylcholine sebagai agen induksi dan yang beresiko
peningkatan tekanan intracranial, satu dari sepuluh dosis normal agen paralisis nondepolarizing
neuromuscular blocking agent (NMB) dapat diberikan 3 menit sebelum mendapat
succinylcholine. Tujuannya untuk mencegah fasikulasi yang muncul akibat succinylcholine.
Mnemonic untuk indikasi pretreatment “LOAD”: L=Lidocaine, O=Opioid, A=Atropine,
D=Defasciculation.

Step 4 – Paralysis with Induction

Paralisis dengan induksi didapatkan dari poemberian agen penyekat neuromuscular kerja cepat.
Pemilihan agen sedative bergantung pada berbagai faktor: scenario klinis, termasuk faktor
pasien (status cardiovascular, neurologis, alergis, dan tingkat kesakitan) dan pengalaman dokter
dan faktor isntiusi, dan juga karakter dari obat sedative tersebut. Sedative yang biasa digunakan
dalam RSI adalah barbiturate (pentobarbital, thiopental, dan methohexitol), opioid (fentanyl),
dissociative anesthetic (ketamine), dan sedative non barbiturate (etomidate, propofol, dan
benzodiazepine). Dosis dan karakteristik agen dirangkum dalam table 1. Yang harus diingat
adalah dosis induksi dari agen sedative berbeda dari dosis yang diguankan untuk sedasi.
Contohnya dosis etomidate untuk sedasi procedural adalah 0,2 mg/kg dan untuk RSI adalah
0,3 mg/kg.

Step 5 – Protection and Positioning (Proteksi dan posisi)

Posisi dari kepala dan leher perlu dicapai dengan terlihatnya pembukaan glottis untuk
laryngoscopy conventional dengan mensejajarkan tiga aksis: oral, pharyngeal, dan laryngeal.
Hal ini dapat dicapai dengan ekstensi dan elevasi leher untuk mempertahankan posisi “sniffing
morning air”, pastikan tidak ada kontraindikasi seperti cedera servikal.

Proteksi mengarah pada penggunaan maneuver untuk mencegah regurgitasi dari isi
lambung dengan kemungkinan aspirasi. Hal ini dapat dicapai dengan maneuver Sellick, yang
diaplikasikan dengan menekan dengan halus pada kartilago krikoid untuk mencegah regurgitasi
pasif isilambung. Pelaksanaan maneuver Sellick yang benar termasuk penggunaan jempol dan
jari tengah untuk menekan secara halus kartilago krikoid dengan arah anteroposterior.

Hal yang perlu diingat mengenai teknik yang benar adalah: lokasi, waktu, dan intensitas
penekanan. Penekanan cricoid harus diaplikasikan secepat mungkin saat pasien kehilangan
kesadaran dan harus diperthankan sampai posisi ETT telah dipastikan. Penekanan secara
lembut naun cukup kuat untuk menekan seofagus antara kartilago krikoid dan permukaan
anterior dari badan vertebra. Kartilago krikoid berada di seberang C4-C5 pada orang dewasa
dan C3-C4 pada bayi. Kesalahan yang sering terjaid adalah melapaskan tekanan terlalu cepat,
yang enyebabkan terjaidnya aspirasi, terutama jika terjadi intubasi esophagus secara tidak
sengaja. Rekomendasi pada pasien yang lebih kecil, menempatkan tangan yang lain dibawah
leher untuk mengantisipasi perubahan posisi leher saat menekan cricoid, untuk menghindari
posisi yang salah dari leher. Saat muncul muntah, tekanan cricoid harus dilepaskan secara cepat
karena ada resiko terjaidnya rupture esophagus, meskipun tidak ada data yang menunjukkan
komplikasi tersebut, dan agen penyekat neuromuscular mengurangi risiko terjaidnya muntah.

Step 6 – Placement of the Endotracheal Tube in the Trachea

Saat rahang sudah flaksid dari paralisis, saatnya memulai intubasi dengan metode standar.
Penempatan ETT harus dikonfirmasi sesuai teknik.

Step 7 – Postintubation Management

Setelah penempatan ETT dan telah dikonfirmasi, ETT harus difiksasi. Radiografi thorax dilakukan
tidak hanya untuk memastikan posisi yang tepat dari ETT namun juga untuk memonitor status
paru-paru apakah terjadi komplikasi dari RSI dan intubasi. Melanjutkan sedasi analgesi,
terkadang dengan monitoring paralisis dan kardiopulmoner, diindikasikan selama pasien
membutuhkan support jalan napas lebih lanjut.

FARMAKOLOGI: AGEN SEDATIVE UNTUK RAPID SEQUENCE INTUBATION

Berdasarkan studi dari National Emergency Airway Registry (NEAR), yang paling sering
digunakan adalah etomidate (69%), midazolam (16%), fentanyl (6%), dan ketamine (3%).
Mempertimbangkan hanya pasien pediatric yang menggunakan register NEAR, etomidate
merupakan yang paling sering digunakan sebagai agen induksi namun kurang dari setengahnya
(hanya 42%), diikuti oleh thiopental (22%), midazolam (18%), dan ketamine 7%)

Etomidate

etomidate merupakanagen sedative yang paling sering digunakan pada orang dewasa, dan juga
dapat diberikan pada pasien pediatric yang membutuhkan RSI. Dosis yang biasa digunakan
adalah 0,3 mg/kg atau 20 mg pada pasien dewasa dengan berat badan 70 kg. sering juga
digunakan pada pasien trauma dengan perdarahan, pasien hipovolemik, dan pasien dengan
fungsi jantung menurun, karena tidak memiliki efek langsung terhadap kardiovaskular.
Etomidate juga dapat menurunkan tekanan intracranial dan metabolic rate pada serebri, yang
memungkinkan etomidate memiliki efek neuroprotector. Manfaat ini merupakan alas an
mengapa dokter sering memilih etomidate sebagai pilihan pada apsien dengan multiple trauma
dan dengan cedera kepala atau hipovolemik.
Etomidate menghambat 11-beta-hidroksilase, sebuah enzim yang dibutuhkan untuk
steroid adrenal diproduksi. Supresi adrenal secara transien telah tercatat pada pemberia
etomidate single dose, meskipun hal ini tidak signifikan secara klinis. Beberapa data
mengindikasikan bahwa etomidate memiliki efek negative terhadap outcome pasien yang sakit
berat dengan sepsis atau syok septik. Hal ini menunjukkan bahwa kortikosterois harus diberikan
bersamaan dengan etomidate untuk RSI. Meskipun dexamethasone 0,1 mg/kg atau
hydrocortisone 1-2 mg/kg dapat diberikan, dexamethasone sering dipilih karena tidak
mempengaruhi hrmon ACTH, yang mungkin dibutuhkan untuk pemeriksaan insufisiensi adrenal.
Pada kasus apapun, pemberian etomidate seara infus pasca intubasi, dikontraindikasikan.

Efek samping lainnya dari etomidate yang dapat menghambat intubasi jika agen
paralisis tidak digunakan, meskipun hal ini bukan situasi dengan RSI yang disertai sedative dan
agen paralisis dalam keberhasilan singkat.

Barbiturate

Thiopental merupakan salah satu barbiturate yang paling sering digunakan untuk RSI pada anak
dan mungkin menjadi barbiturate yang paling sering digunakan untuk induksi anestesi.
Bagaimanapun, penggunaannya lebih jarang dibanding etomidate untuk RSI gawat darurat,
setidaknya karena berbagai pasien RSI gawat darurat memiliki hemodinamik yang tidak stabil.
Thipenthal menurunkan aliran darah otak dan menurunkan kebutuhan metabolic otak, yang
membuat thiopental menjadi agen yang ideal pada pasien dengan peningkatan tekanan
intracranial atau pasien dengan cedera kepala yang secara hemodinamik stabil. Thiopental
memiliki efek kerdiovaskular negative: depresi miokardium dan vasodilatasi perifer. Sehingga
hipotensi yang berkaitan dengan hipoperfusi dapat muncul pada pasien hipovolemik. Secara
umum, saat hipotensi muncul, terdapat kompensasi baroreseptor yang memediasi reflex
takikardia. Namun, pasien yang hipovolemik atau dalam keadaan syok yang sudah takikardia
tidak dapt mengkompensasi denyut jantung dan dapat mengalami penurunan tekanan darah
signifikan. Sama dengan pasien yang miliki riwayat penyakit kardiovaskular dapat mengalami
hipotensi saat diberikan thiopental. Kesimpulannya adalah hindari penggunaan thiopental, jika
memungkinkan, pada pasien dengan penyakit terdahulu seperti penyakit kardiovaskuler,
hipovolemik, artau syok.

Thiopental memiliki efek samping terhadap sistem pernapasan. Thiopental memiliki


efek depresi napas pada sistem saraf pusat yang berkaitan dengan dosis, dan dapat
menyebabkan apnea, terutama pada pasien dengan cedera kepala atau pasien hipovolemik.
Dengan anestesi ringan, beberapa efek mungkin muncul, teruatama saat manipulasi jalan
napas: pelepasan katekolamin menyebabkan hiperetensi intracranial, spame laring, batuk, dan
bronkospasme, terutama pada pasien asma. Untuk mengurangi atau menghindari efek
negative, telah direkomendasikan untuk memberikan analgesic seperti fentanyl terutama pada
pasien trauma kepala.

Necrosis jaringan mungkin muncul dengan injeksi intraarterial atau extravasasi, sehingga
penting bahwa thiopental harus diberikan secara intravena sebagai cairan yang telah terdilusi
dan memperhatikan infiltrasi jaringan.

Ketamine

Ketamine merupakan anestesi disosiatif, mengeluarkan efeknya dengan menginterupsi koneksi


jaras thalamo-neocortical dan sistema limbic. Tidak seperti sedative yang lain, ketamine
memiliki keuntungan tambahan, yaitu dapat bekerja sebagai analgesic dalam waktu yang sama.

Ketamine memiliki efek simpatomimetik, yaitu bekerja secara sentral, menyebabkan


peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan kardiak output. Hal ini membuat ketamine
menjadi sedative yang sangat baik pada pasien dengan hipotensi, terutama jika terjadi syok,
hemoragik, dehidrasi, pericarditis, atau tamponade. Efek simpatomimetik ini tidak diinginkan
pada pasien yang telah memiliki hipertensi atau takikardia sebelumnya.

Ketamine juga dapat menyebabkan peningkatan teknan intracranial dengan meningkatkan


tekanan darah sistemik dan juga vasodilatasi intraserebri, maka dikontraindikasikan pada
pasien dengan peningkatan tekanan intracranial, peradarahan intraserebri, massa intracranial,
atau trauma kepala. Studi dari perancis membandingkan hemodinamik serebral dari ketamine
dikombinasikan dengan midazolam dan menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan pada
peningkatan tekanan intracranial saat dibandingkan dengan midazolam-sufentanil.

Telah disebutkan bahwa umur yang lebih muda dikontraindikasikan untuk pemberian
ketamine. Karena studi sebelumnya menunjukkan ketamine hanya aman untuk neonatal.

Ketamine mungkin pilihan sedative bagi pasien dengan asma untuk beberapa alas an.
Ketamine melepaskan katekolamin endogen, meringankan bronkospasme dengan mendilatasi
otot polos bronkial dan menstimulasi reseptor beta di paru-paru. Ketamine mingkatkan sekresi
trakeobronkhial. Hal ini mungkin memiliki efek positif dengan menurunkan sumbatan mucus
pada beberapa kasus. Sekresi yang berlebih, menghambat visualisasi jalan napas saat
laryngoscopy. Pemberian atropine pada pretreatment dapat mencegah terjadinya
penumupukan secret. Dosis atropine untuk RSI adalah 0,01 sampai 0,02 mg/kg secara intravena
dengan minimum 0,1 mg dan maksimum 0,5 sampai 1,0 mg. glycopyrollate merupakan agen
antimuskarinik pilihan untuk prosedur sedasi karena memiliki efek antisialagogue yang lebih
baik dan efek samping yang lebih sedikit. Atropine dapat melewati swar darah otak dan dapat
meningkatkan reaksi gawat darurat. Meskipun rutin penggunaan atropine telah dipertanyakan,
consensus apakah masih aman digunakan pada beberapa pasien. Atropine digunakan untuk RSI
karena menyebabkan peningkatan denyut jantung, yang diinginkan saat terjadi kelebihan
bradycardia dari penggunaan succinylcholine saat RSI.

Ketamine memiliki efek stabilitas respirasi/kardiovaskular yang menjaga reflex jalan


naps. Seperti semua sedative, jarang terjadi apnea dan spasmelaring dilaporkan. Ketamine,
sebuah analog phencyclidine (PCP), diasosiasikan dengan reaksi yang sesekali muncul, sehingga
harus dihindari pada pasien psikotik. Dosis kecil midazolam telah diberikan untuk reaksi yang
muncul. Pemberian benzodiazepam dengan ketamine akan mencegah timbulnya efek. Namun
hal ini sebenarnya meningkatkan risiko depresi pernapasan dan pemulihan yang memanjang,
dan secara paradox meningkatkan kejadian reaksi yang muncul pada beberapa pasien.

Benzodiaepines

Midazolam merupakan benzodiazepine yang sering digunakan dalam RSI dan IGD untuk sedasi
karena memiliki kerja yang sangat cepat dan durasi yang singkat. Keuntungan lainnya adalah
efek samping yang lebih sedikit, amnesia yang lebih baik, dan memiliki potensi yang lebih baik
jika dibandingkan dengan diazepam.

Semua benzodiazepine, termasuk midazolam, diazepam, dan lorazepam, memiliki efek


sedative, hipnotik, amnestic, anxiolytic, muscle relaxant, dan antikonvulsan. Benzodiazepine
mengikat reseptor benzodiazepine spesifik pada reseptor GABA. GABA merupakan
neurotransmitter inhibitor. Hal ini membuka kanal klorida yang menyebabkan hiperpolarisasi
untuk membrane sel neuron, dan menyekat depolarisasi neuron atau aktivasi.

Antagonisnya, flumazenil, dapat membalikkan efek yang dihasilkan benzodiazepine.


Keuntungan dari benzodiazepine termasuk efek kardiovaskular yang minimal, dapat digunakan
pada pasien dengan penyakit jantung coroner, efek positif menyerupai nitroglycerin pada
pasien dengan gagal jantung, dan penatalaksanaan kejang. Kerugian utama dari benzodiazepine
adalah dapat menyebabkan depresi pernapasan dan apnea. Komplikasi lainnya yang jarang
terjadi adalah agitasi, muntah, batuk, dan cegukkan.

Benzodiazepine memiliki dosis untuk RSI dan sedasi bervariasi secara luas dan harus
dikurangi saat diberikan bersamaan dengan opioid, pada pasien tua, pasien dengan gagal ginjal,
atau gangguan hati berat, dan pasien dengan penyakir jantung.

Propofol

Propofol merupakan agen sedative hipnotik yang bekerja ultra cepat. Tidak memiliki efek
analgesic, dan efek amnestiknya bervariasi. Keuntungan propofol adalah sangat cepat onsetnya
dan juga durasinya sangat singkat. Propofol juga memiliki efek antiemetic, dapat digunakan
pada pasien dengan hiportemia maligna, dan dosisnya tidak perlu dirubah pada pasien dengan
gangguan ginjal maupun hati, meskipun dosis lebih tinggi mungkin dibutuhkan pada psien anak
dan dosis lebih rendah dibutuhkan untuk pasien geriatric. Efek samping termasuk hipotensi,
bradikardi, hipoksia, dan apnea, sehingga perlu diberikan secara lambat. Propofol juga memiliki
efek negative pada kardiovaskular, sehingga perlu diberikan perhatian pada pasien dengan
deplesi volume, hipotensi atau penyakit kardiovaskular. Karena efek samping/komplikasinya
sebagai sedative pada RSI dibatasi dan pada pasien gawat darurat.

Patofisiologi

Pembahasan mengenai anatomi dan fisiologi pada neuromuscular junction diperlukan, untuk
memahami kerja penyekat neuromuscular.

Anatomi

Neuromuscular junction merupakan celah antara ujung saraf dan serat otot. Motor end plate
merupakan sebuah kompleks ujung saraf yang bersatu dengan sarcolemma. (gambar 1) Celah
subneural merupakan lipatan membrane sel otot, yang meningkatkan area permukaan dimana
neurotransmitter Ach dapat bekerja. (gambar 2) Satu ujung cabang axon saraf menempel pada
celah sinaps, yang merupakan invaginasi dari sarcolemma. (gambar 1 dan 2). Struktur yang
ditemukan pada ujung saraf termasuk vesikel sinaptik yang mengandung neurotransmitter,
area dense bar (Ach dari vesikel dilepaskan menuju celah sinaptik menuju membrane neural
berdekatan dengan area dense bar), kanal kalsium bervoltase (dimana partikel protein
mempenetrasi membrane neural, dan mitokondria (yang mensuplai ATP untuk energy sintesis
Ach). (gambar 3)

Reseptor nikotinik, partikel protein yang berlokasi di miosit postsinaptik membrane


memiliki dua bagian: komponen pengikat dan komponen ionophore. Komponen pengikat
mengarah keluar dari membrane miosit postsinaptik menuju ruang sinaptik dimana akan
mengikat neurotransmitter Ach. Komponen ionosphere memanjang menuju membrane
postsinaptik neural kedalam membrane postsinaptik. Ionosphere mungkin bekerja sebagai
kanal ion yang membiarkan perpindahn ion menuju membrane (gambar 4)

Neurotransmitter Acetylcholine

Acetylcholine (Ach), neurotransmitter pada sinaps kolinergik, yang dilepaskan dari ujung
preganglionic dan postganglionic saraf parasimpatis dan preganglionic saraf simpatis. Ach
disintesis darei choline dan asam acetat pada saraf dan bungkus didalam vesikel. Dengan
stimulasi saraf, impuls akan mencapai ujung saraf menyebabkan vesikel Ach berpindah ke
permukaan saraf dan rupture, sehingga pelepasan Ach kepada ruang sinaptik. Exocytosis
merupakan proses dimana vesikel yang mengandung Ach menyatu dengan membrane ujung
saraf dan melepaskan Ach. Saat potensial aksi mendepolarisasi membrane presinaptik, kanal
ion kalsium terbuka, meningkatkan permeabilitas membrane saraf terhadap kalsium,
menyebabkan ion kalsium mengalir ke ujung saraf presinaotik. Kalsium ion mengikat “release
site” yang merupakan molekul protein unik pada permukaan dalam membrane neural
presinaptik. Penyatuan ion kalsium pada molekul protein spesifik membuka “release site”, yang
membiarkan vesikel melepaskan neurotransmitter Ach kedalam ruang sinaptik. (gambar 5)

Ach kemudian menyebrangi celah sinaptik ke motor endplate. Penempelan Ach kedalam
reseptor nikotinik pada otot skeletal menyebabkan terjadinya perubahan bentuk pada reseptor
nikotinik. Hal ini merubah molekul protein pada reseptor nikotinik otot skeletal meningkatkan
permeabilitas sel miosit skeletal terhadap berbagai ion dengan masuknya sodium kedalam
miosit skeletal. Hal ini menyebabkan energy potensial positif yang besar pada miosit skeletal,
merujuk pada “potensial end plate”. Potensial end plate membuat sebuah potensial aksi yang
berjalan di sepanjang membrane miosit skeletal menyebabkan kontraksi. (gambar 6)

Pelepasan Ach dari reseptor nikotinik pada miosit skeletal mengakhiri depolarisasi. Ach
dapat berdifusi kembali kedalam ujung saraf atau dipecah oleh enzim asetilkolinesterase
menjadi choline dan asam acetat (gambar 5). Dibawah keadaan normal, enzim
asetilkolinesterase dalam jumlah besar ditemukan pada ruang sinaptik.

Aliran Ion dan Potensial Aksi

Secara fisiolgis, penignkatan secara tiba tiba lebih dari 20 sampai 30 milivolts dapat
menyebabkan pembukaan kanal sodium, menyebabkan potensial aksi pada otot skeletal.
Potensial end plate yang lemah, kurang dari 20 sampai 30 milivolts, akan insufisien untuk
menyebabkan potensial aksi pada otot skeletal. Hal ini yang terjadi pada berbagai obat dan
toksin. Untuk contohnya, obat curare bersaing dengan Ach untuk menempel pada reseptor
nikotinik di otot skeletal, yang menghasilkan penyekatan aksi Ach terhadap pembukaan kanal
ion sodium. Toksin botulinum mencegah depolarisasi dengan menurunkan jumlah Ach yang
dilepaskan oleh ujung saraf. Aliran ion sangat penting, karena menurunnya voltase potensial
membrane menjadi lebih negative meningkatkan eksitabilitas neural yang menghasilkan
depolarisasi ketika ambangnya tercapai, dimana sebaliknya meningkatkan potensial membrane
istirahat menjadi lebih negative membuat eksitabilitas neuron menurun.

PENYEKAT NEUROMUSKULAR

Definisi

Agen penyekat neuromuscular merupakan substansi yang membuat otot skeletal paralisis
dnegan menyekat transmisi impuls saraf pada neuromuscular junction.
Terdapat beberapa faktor penting untuk diingt dengan RSI. Pertama, sebuah sedative
diberikan bersamaan dengan agen penyekat neuromuscular. Pasien diberikan agen penyekat
neuromuscular mungkin akan sadar dengan lingkungan sekitar, termasuk stimulasi saraf, atau
bahkan dapat merespon. Kegagalan untuk sedasi menyebabkan kemungkinan respon negative
psikologis terhadap manipulasi jalan napas seperti peningkatan tekanan intracranial, hipertensi,
dan takikardi. Pasien juga mungkin sadar dan ingat proses intubasi, yang difikirkan tidak
manusiawi. Penggunaan sedative membatasi atau mencegah efek samping psikologik yang
merespon terhadap proses manipulasi jalan napas dan bahkan memberikan penglihatan yang
lebih jelas saat laryngoscopy.

Bagaimanapun, penggunaan penyekat neuromuscular, dokter harus mempersiapkan


untuk kesulitan atau kegagalan jalan napas dengan kemungkinan operasi untuk jalan napas
mungkin dibutuhkan jika psien tidak bisa dioksigenasi atau diventilasi secara adekuat dengan
masker bag-valve atau alat extraglottic. Pemeriksaan jalan napas, terutama jika terdapat
petensi untuk kesulitan atau kegagalan jalan napas, harus diselesaikan sebelum pemberian
agen penyekat neuromuscular.

Agen penyekat neuromuscular terbagi menjadi depolarisasi dan non depolarisasi. Agen
depolarisasi bekerja menyerupai Ach. Mempertahnkan depolarisasi pada neuromuscular
junction, yang mencegah kontraksi otot. Agen nondepolarisasi bekerja kompetitif menginhibisi
kerja Ach pada neuromuscular junction untuk mencegah depolarisasi.

Berdasarkan NEAR, yang paling sering digunakan adalah penyekat neuromuscular


succinylcholine (82%), rocuronium (12%), dan vecuronium (5%). Untuk pasien pediatric,
succinylcholine (90%), vecuronium (7%), dan rocuronium (2%)

Farmakologi

Semua agen penyekat neuromuscular memiliki struktur yang sama dengan neurotransmitter
Ach. Ach dan semua agen penyekat neuromuscular mengandung ammonium; kutub positif dari
komposisi tersebut ada pada atom nitrogen yang berfungsi untuk mengikat reseptor kolinergik
nikotinik pada neuromuscular junction dan reseptor nikotinik pada tempat lain di seluruh
tubuh. Aksi nonspesifik pada beberapa tempat di tubuh, seperti nikotinik dan muskarinik
otonom, tidak hanya pada neuromuscular junction, membantu menjelaskan efek samping yang
timbul.

AGEN PENYEKAT NEUROMUSKULAR DEPOLARISASI

Succinylcholine
Succinylcholine (Sch) merupakan satu-satunya agen depolarisasi yang tersedia di US, dan telah
digunakan pada banyak pasien sejak diperkenalkan sebagai agen penyekat neuromuscular pada
tahun 1952, dan menjadi yang paling sering digunakan untuk RSI gawat darurat.

Sch merupakan prototype dari agen depolarisasi. Karena struktur kimianya sama dengan
Ach, sch mengikat reseptor Ach (AchR) pada motor end plate dan mendepolarisasi membrane
neuromuscular postjunctional, menghasilkan stimulasi kontinyu pada motor end plate AchR.
Paralisis moto diakhiri saat Sch terlepas dari AchR dan kembali berdifusi ke sirkulasi dimana
akan dihidrolisis oleh kolinesterase plasma. Kolinesterase plasma akan menghidrolisis Sch
secara cepat menjadi succinylmonocholine dan choline. Durasi Sch yang pendek disebabkan
oleh hidrolisis yang cepat oleh cholinesterase plasma sebelum dan sesudah Sch meninggalkan
neuromuscular junction.

Keuntungan utama succynilcholine adalah onsetnya yang sangat cepat dan berhasil
membuat paralisis motor dalam 45-60 detik dan durasi yang singkat, hanya bertahan 6 sampai
10 menit saat diberikan 1,5 mg/kg intravena.

Dosis Succinylcholine

Menggunakan total berat badan bahkan pada pasien dengan obesitas berat atau pasien hamil.
Jangan mengurangi sosis obat. Lebih baik meningkatkan dosis daripada menurunkan dosis,
karena dosis insufisien akan membuat intubasi menadi sulit dan pasien tidak paralisis secara
adekuat. Maka, disarankan dosis 1,5 mgk/kg dan jangan menggunakan 1 mg/kg seperti yang
dikatakan pada sebagian referansi. Direkomendasikan dosis succinylcholine pada bayi adalah 2
mg /kg berdasarkan distribusi volume yang besar, dan beberapa merekomendasikan untuk
memberikan 3 mg/kg pada neonates. Pemberian Sch sebagai bolus cepat diikuti 20-30 cc saline
untuk menghindari paralisis incomplete. Sch diberikan intramuscular dengan dosis 3-4 mg/kg
jika sulit didapatkan akses intravena.

pengulangan dosis atau penggunaan Sch berkepanjangan harus dihindari karena


beberapa alas an. Pengulangan dosis atau penggunaan berkepanjangan dapat berefek pada
ganglia simpatis dan efek vagal. Efek negatiof muskarinik dari stimulasi vagal dapat
menyebabkan bradikardi atau hipotensi bahkan pada dosis rekomendasi. Hal ini alas an untuk
penggunaan atropine pada fase pretreatment pada anak atau neonates, beberapa orang
dengan bradikardi signifikan, dan mereka yang menerima dosis Sch mulitpel. Desensitasi
blockade, dimana membran neuromuscular kembali pada keadaan istirahat dan menjadi
resistan terhadap depolarisasi dengan Sch muncul pada dosis pengulangan.

Pada pasien dengan miastenia gravis, terdapat penurunan fungsi pada AchR pada
neuromuscular junction sekunder terhadap autoimun antibody-mediated destruksi AchR. Sch
dapat digunakan pada pasien dengan miastenia gravis, meskipun dosisnya ditingkatkan 2 mg/kg
untuk mencapai dan mengaktivasi sisa AchR yang tidak dipengaruhi penyakit.

Hati-hati untuk mengecek tanggal kadaluarsa pada ampul obat, terutama jika obat
tersebut tidak di dalam refrigator, karena Sch terdegradasi pada suhu ruangan.

Kontraindikasi Succinylcholine

Kontraindikasi absolut Sch adalah 1) riwayat hipertermia malignan pada pasien atau keluarga
dan 2) pasien yang beresiko tinggi hyperkalemia berat

Malignan Hipertermia

Hipertermia malignan adalah kelainan myopathetic genetic yang langka, dicetuskan oleh
berbagai obat, terutama anesthetic inhalasi dan Sch. Hal ini disebabkan oleh reseptor
ryanodine abnormal yang menyebabkan kebocoran kalsium dari reticulum sarcoplasma otot
skeletal menghasilkan level kalsium intraselular meningkat.

Gejalanya dapat muncul dalam jam saat obat anestesi diberikan, atau mungkin jam.
Manifestasi klinis termasuk kekakuan pada otot, peningkatan produksi karbondioksida, asidosis,
hiperaktivitas simpatis dengan hipertermia (lebih dari 113 oF) dan sinus takikardia. Komplikasi
yang muncul termasuk rhabdomyolisis, kelainan elektrolit, disritmia, hipotensi, DIC, dan
kematian. Maka riwayat hipertermia malignan pda pasien atau pada kelaurga merupakan
kontraindikasi absolut penggunaan Sch.

Hiperkalemia

Bahkan pada pasien normal, Sch dapat meningkatkan potassium serum mencapai 0,5 mEq/L
karena depolarisasi miosist. Secara generl, pengingkatan tersebut tidak memiliki efek klinis
signifikan kecuali pasien tersebut memiliki faktor predisposisi hyperkalemia, seperti pasien
dengan rhabdomyolisis atau pasien dengan penyakit otot kronis.

Hiperkalemia dapat muncul dimana terdapat destruksi massif otot. Sensitasi AchR
extrajunctional menjadi signifikan 4 sampai 5 hari setelah cedera, sehingga risiko mengancam
nyawa hiperkalema tidak muncul sampai hari 3-5 setelah onset cedera atau sakit. Hal ini
penting karena Sch dapat digunakan jikapasien trauma akut, stroke akut, atau cedera kepala,
atau pasien penyakit neuromuscular, sesegera setelah onset sakit. Pasien dengan kerusakan
otot ekstensif dari penyakit denervating neruromuskular termasuk pasien dengan cedera
spinal, multiple sclerosis, cedera motor neuron, stroke, dan distrofi muscular.

Dengan rhabdomyolisis, penghancuran miosit terjadi sekunder dari rusaknya jaringan


yang melepaskan potassium dari sel yang menyebabkan kadar potassium serum meningkat.
Mekanisme kedua, up-regulasi, menyebabkan hyperkalemia karena up-regulasi AchR yang
abnormal memiliki konduksi rendah dan pembukaan kanal ion yang melambat sehingga
menyebabkan peningkatan kadar potassium serum. Up-regulasi biasanya muncul setelah 3
sampai 5 hari atau bahkan tahun setelah kerusakan akut dari penyakit progresif. Memberikan
dosis defasikulasi dari nondepolarisasi agen penyekat neuromuscular tidak mempengaruhi
respon hiperkalemi. Respon hiperkalemi terhadap Sch juga dilaporkan pada pasien di ruang
perawatan intensif dengan infeksi mengancam nyawa, terutama jika terdapat atrofi dan
denervasi kimia dari AchR. Sch juga harusnya tidak digunakan pada pasien dengan miopati,
karena Sch akan berinteraksi dengan membrane otot yang tidak stabil pada sel miopati
menyebabkan rhabdomyolisis dan hyperkalemia.

Meskipun kepercayaan lama telah menghindari Sch pada pasien dengan gagal ginjal
kronis yang memiliki normokalemia, namun tidak ada fakta yang mendukung hal ini. Pada
kenyataannya, kebanyakan pasien dengan gagal ginjal mengaami RSI yang berhasil tanpa
kelainan kardiovaskular. Sch tidak direkomendasikan untuk pasien yang diketahui mengalami
hyperkalemia karena potassium meningkat 0,5 mEq/L dapat mencetuskan disaritmia yang fatal.
Maka Sch harus dihindari pada psien dengan kelainan EKG karena hyperkalemia.

Bradikardia

Bradikardi setalah pemberian Sch sering terjadi pada bayi dan anak-anak karena predominan
vagal dari sistem saraf otonom namun juga dapat muncul pada pasien segala usia dengan
pengulangan dosis Sch. Pretreatment menggunakan atropine 0,02 mg/kg, meminimalisir respon
bradikardi.

Penyekatan neuromuscular berkepanjangan

Faktor apapun yang menghambat penghancuran Sch dapat memperpanjang paralisis. Bentuk
abnormal dari penuruna pseudocholinesterase menyebabkan paralisis berkepanjangan dari
menurunnya degradasi Sch. Varian genetic yang menyebabkan penuruna pseudocholinesterasi
dapat menyebabkan Sch berada dalam sirkulasi selama 6 sampai 8 jam. Penurunan
pseudocholinesterase juga dapat terjadi pada penyakit yang didapat seperti penyakit hati, gagal
ginjal, anemia, kiehamilan, penggunaan kokain kronis, penuaan, penyakit jaringan ikat,
keganasan, dan keracunan phosphate.

Peningkatan tekanan intracranial

Efek dari Sch pada tekanan intreakranial masih diperdebnatkan dengan studi yang bervariasi
dan menghasilkan fakta yang berbeda. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa terjadi
peningkatan tekanan intracranial sedikit dimana studi lain mengatakan tidak ada peningkatan
tekanan intracranial. Yagng lebih penting adalah tidak ada fakta yang membuktikan kelainan
neurologis yang berkaitan dengan penggunaan Sch. Pretreatment dengan penyekat
neuromuscular nondepolarisasi mencegah peningkatan tekanan intracranial, meskipun
penambahan waktu dan tahaoan yang berhubungan dengan fase pretreatment dapat
memakan waktu yang cukup banyak dalam kegawatan jalan napas, dan disarankan dosis
pretreatment agen penyekat neuromuscular non depolarisasi dapat menyebabkan paralisis.

Pengalaman ekstensif mengenai Sch dalam klinis pasien dengan kelainan tekanan
intracranial menunjukan keamanan dan efektifitas bersamaan dengan bahaya kegagalan jalan
napas dengan serebral sekunder dari hipoksia, dan meningkatkan tekanan intracranial.

Peningkatan tekanan intraocular

Sch dapat meningkatkan tekanan intraocular 6 sampai 8 mmHg. Sch dapat digunakan secara
aman dan secara efektif pada psien dengan cedera penetrasi pada mata saat anestesi RSI.
Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan Sch meskipun pasien dengan cedera bola mata
terbuka jika terdapat keperluan untuk kebutuhan pengamanan jalan napas.

Trismus

Spasme muskulus Masseter (trismus) muncul pada 0,001% sampai 0,1% pada pasien setelah
pemberian Scg . hal ini diasosiasikan dengan hipertemia malignan. Manajemen yang dilakukan
termasuk memberikan dosis agen penyekat neuromuscular non depolarisasi, meskipun
cricothyrotomy diperlukan dalam beberapa kasus.

Fasikulasi

Fasikulasi adalah kontraksi involunter dan tidak sinkron. Disebabkan oleh depolarisasi reseptor
Ach. Hal ini menyebabkan potensial aksi, yang disebarkan ke seluruh otot yang disarafi.
Fasikulasi memiliki berbagai macam efek negative: myalgia, peningkatan kreatinin kinase,
myoglobinemia, peningkatan katekolamin, dan meningkatkan cardiac output. Peningkatan
aliran darah otak dan tekanan intracranial yang mucul dengan Sch mungkin disebabkan oleh
fasikulasi. Defasikulasi dapat dicapai dengan pretreartment dengan lidocaine 1,5 mg/kg atau
10% untuk dosis intubasi dari agen penyekat neurmuskular non depolarisasi.

AGEN PENYEKAT NEURMUSKULAR NON DEPOLARISASI

Agen penyekat neuromuscular non depolarisasi akan menyekat AchR pada postjunctional. Tidak
seperti Sch menyebabkan perubahan pada AchR menyebabkan depolarisasi neuromuscular
junction, agen penyekat neuromuscular nondepolarisasi akan mencegah Ach mencapat
reseptor nikotinik, sehingga mencegah kontraksi otot. Fasikulasi tidak muncul pada agen non
depoalrisasi.
Beberapa agen non depolarisasi yang bekerja ultra cepat sedang dalam penelitian,
namun agen tersebut belum tersedia secara klinis. Saat ini satu-satunya agen penyekat
neuromuskular yang bekerja ultracepat dan tersedia di US adalah agen depolarisasi, Sch. Dosis
double dari rocuronium dari 0,6 mg/kg menjadi 1,2 mg/kg memperpendek onset kerja dari 1,5
menit maenjadi 1 menit. Jika Sch tidak bisa digunakan dan intubasi dalam kurang dari 90 detik
diperlukan, maka dosis lebih tinggi dari agen non depolarisasi diperlukan. Regimen dosis tinggi
dari agen non depolarisasi diberikan 2 sampai 4 menit sebelum dosis besa rkedua untuk
intubasi pada beberapa alasan: kondisi intubasi yang kurang optimal, terdapat risiko tinggi
aspirasi, dan terdapat efek samping.

Indikasi untuk Agen Penyekat Neuromuskular Nondepolarisasi

Agen non depolarisasi digunakan pada 1) untuk muscle relaxant jika Sch dikontraindikasikan
atau tidak tersedia, ) untuk mengatur paralisis postintubasi, 3) sebagai pretreatment untuk
mengurangi fasikulasi dan efek sampingnya seperti peningkatan tekanan intra ocular atau
intracranial.

Kontraindikasi untuk penggunaan agen non depolarisasi sama dengan agen depolarisasi,
ketidakmampuan untuk mengamankan alan napas dengan kemungkinan kegagalan jalan napas.

Agen penyekat neuromuscular non depolarisasi spesifik

Penggunaan medis agen spesifik non depolarisasi berasal dari penggunaan curare sebagai racun
pada panah di suku idnian. Beberapa agen spesifik non depolarisasi, seperti d-tubocurarine,
berasal dari isolasi berbagai macam sumber, seperti tanaman. Sebagian besar agen spesifik non
depolarisasi diklasifikasikan berdasarkan kelas kimianya: steroid, benzylisquinolinium, atau
lainnya; atau diklasifikasikan berdasar durasi aksi: ultra cepat, cepat, intermediate, dan kerja
panjang.

Durasi klinis untuk agen penyekat neurmuskular ultra cepat adalah kurang dari 10, kerja
cepat 10 sampai 20, intermediate 20 sampai 50, dan kerja panjang lebih dari 50. Saat ini tidak
ada agen penyekat neuromuscular non depolarisasi yang bekerja ultra cepat. Kerja cepat agen
nondepolarisasi termasuk pacuronium dan mivacurium; intermediate termasuk vecuronium,
rucoronium, atracurium, dan cisatracurium; kerja panjang termasuk pancuronium,
pipecuronium, d-turbocurarine, metacurarine, doxacurium, alcuronium, dan gallamine. Dosis
dan kelas beberapa agen non depolarisasi dapat dilihat pada tabel 2.

Agen nondepolarisasi dan depolarisasi untuk RSI

Sch masih agen penyekat neuromuscular yang paling sering digunakan untuk RSI gawat darurat
dan merupakan drug of choice untuk RSI pada gawat darurat dan anaestesi. Obat agen non
depolarisasi, rucoronium (0,6-1,2 mg/kg dosis) merupakan yang paling sering digunakan untuk
agen paralysis untuk RSI karena onsetnya yang sangat cepat dan durasinya yang pendek dengan
vecuronium (0,15 mg/kg/dosis) sebagai pilihan kedua. Keuntungan Sch termasuk onset yang
cepat dan offset, blockade neromuskular yang dalam dapat menghasilkan kondisi intubasi yang
baik.

Penelitian perbandingan Sch dengan rucoronium menemukan bahwa Sch (1 mg/kg)


menghasilkan kondisi intubasi yang superior saat dibandingkan dengan rucoronium (0,6 mg/kg).
dosis rendah rucoronium digunakan. Studi lainnya menghasilkan hasil yang sama dengan Sch (1
mg/kg) menghasilkan kondisi intubasi yang superior jika dibandingkan dengan rucoronium
dengan tidak ada perbedaan pada insiden terjadinya efek samping. Sebuah meta analisis
Cochrane menyimpulkan “succinylcholine menghasilkan kondisi intubasi yang lebih superior
dibandingkan dengan rucoronium saat dibandingkan keduanya baik dan dapat diterima secara
klinis pada kondisi intubasi”

Penggunaan Agen penyekat neuromuskular nondepolarisasi sebagai pretreatment

Dosis agen non depolarisasi yang digunakan adalan 10% dosis yang digunakan untuk intubasi
dan dapat digunakan sebagai pretreatment untuk Sch agarmencegah fasikulasi dan efek
sampingnya. Rucoronium merupakan agen non depolarisasi yang paling sering digunakan
karena onsetnya yang cepat dan dapat diberikan 1,5 sampai 3 menit sebelum induksi anestesi.

Dalam praktis klinis, agen non depolarisasi secara umum diberikan dua menit sebelum
pemberian dosis intubasi dari Sch. Meskipun defasikulasi dicapai, terdapat permasalahan yang
perlu diperhatikan. Pemberian agen non depolarisasi meningkatkan resistensi otot terhadap
aksi Sch yang meningkatkan dosis Sch menjadi 50%. Penggunaan agen non depolarisasi
mungkin menyebabkan kondisi intubasi yang tidak diinginkan dan onset Sch yang menjadi
lambat. Mungkin lebih pentingnya, untuk intubasi gawat darurat diperlukan waktu tambahan
sekitar 2 menit sebelum intubasi dilakukan. Beberapa doktr juga menggunakan fasikulasi
sebagai klu untuk kapan blockade neuromuscular telah terjadi dan kondisi yang siap untuk
pemasangan ETT. Penggunaan dosis defasikulasi dari agen nondepolarisasi menambah obat lain
untuk RSI, step tambahan, dan tambahan waktu untuk proses tersebut. Waktu yang digunakan
untuk dosis kecil subparalisis dari agen non depolarisasi memiliki beberapa masalah. Ada
bahaya aspirasi, kesulitan menelan, dan gangguan penglihatan untuk pasien dengan blockade
neuromuscular.

Obat yang familiar untuk kegawatdaruratan medis, lidocaine, dapat digunakan sebagai
alternative dari agen non depolarisasi sebelum pemberian Sch. Lidocaine efektif dalam
meminimalisir fasikulasi dengan efek sampingnya yang muncul setelah pemberian Sch.
Dosisnya adlaah 1,5 mg/kg.
Masa depan RSI

Terdapat agen reversal, sugammadex, yang diantisipasi menjadi tersedia secara klinis di masa
depan. Nbeberpaa ahli mengantisipasi ketersediaan agen reversal untuk agen non depolarisasi
yang akan memperluas penggunaan agen non depolarisasi, khususnya rucoronium (pada dosis
1,2 mg/kg) untuk RSI, dan secara keseluruhan menurunkan penggunaan Sch. Terdapat juga
sedative baru, dexmedetomidine, yang telah digunakan di ruang operasi, namun tidak ada data
tersedia untuk penggunaan dalam kasus gawat darurat. Esmolol juga telah digunakan untuk
agen preinduksi RSI. Sering digunakan untuk pasien bedah saraf dengan peningkatan tekanan
intracranial dan bekerja sinergis dengan fentanyl. Saat ini, masih sedikit data mengenai
penggunaanya dalam RSI gawat darurat.

MODIFIKASI RAPID SEQUENCE INTUBATION

“Intubasi terfasilitasi” merujuk pada penggunaan sedative saja (tanpa agen paralitik) untuk
mengawali intubasi secara farmakologis. Intubasi terfasilitasi, merujuk pada “intubasi
terfasilitasi dengan farmakologis” yang telah direkomendasikan oleh ahli pada kondisi tertentu
karena hal ini tidak melibatkan penyekatan neuromuscular. Beberapa menyarankan
menghindari paralisis neuromuscular dan penggunaan sedasi saja (intubasi terfasilitasi) pada
scenario klinis, dimana jalan napas sulit terlihat. Untuk intubasi terfasilitasi, sedative yang
paling sering digunakan adalah etomidate, meskipun midazolam juga digunakan. Intubasi
terfasilitasi menyarankan bahwa mungkin terdapat scenario klinis dimana paralisis bukanlah
suatu pilihan.

Studi pada keadaan pra-rumah sakit, menggunakan 0,3 mg/kg etomidate sebagai
sedative tanpa penggunaan penyekat neuromuscular melaporkan 89% sukses, kesulitan 16%,
dan spasme pada rahang. Studi delanjutnya membandingkan intubasi terfasilitasi menggunakan
etomidate dan RSI menggunakan etomidate dan Sch. Hasilnya adalah: 63% (15 dari 24)
kelompok intubasi terfasilitasi menerima obat tambahan dan 4% (1 dari 25) pada kelompok RSI.
Kondisi laringoskopi menggunakan sebuah sistem scoring, secara signifikan lebih sulit pada
intubasi terfasilitasi dibanding RSI. Kesimpulannya adalah intubasi terfasilitasi (hanya
etomidate) telah menurunkan angkakesuksesan intubasi jika dibandingkan dengan RSI
(etomidate + Sch). Studi pra-rumah sakit, intubasi terfasilitasi menggunakan midazolam
memiliki angka kesuksesan 62,5%, yang lebih sedikit dibandingkan angka kesuksesan RSI pada
pra-rumah sakit.

Untuk intubasi gawat darurat, hasil dari studi NEAR mengkonfirmasi bahwa RSI lebih
superior dibanding intubasi terfasilitasi. Angka kesuksesan pada percobaan pertama pada RSI =
85% dan intubasi terfasilitasi= 76%. Angka kesuksesan pada intubasi pertama RSI = 91% dan
intubasi terfasilitasi 88%. Untuk pasien pediatric angka kesuksesan pada percobaan pertama RSI
= 78% sedangkan pada intubasi terfasilitasi = 44%, dan tanpa medikasi 47%.

RANGKUMAN

RSI merupakan proses mencakup pemberian obat sedative (agen induksi) diikuti secara
langsung oleh pemberian agen penyekat neuromuscular untuk memfasilitasi intubasi
endotrakeal. Prosedur RSI secara umum mencakup 7 tahap: preparation, preoxygentaion,
pretreatment, paralysis with induction, protection and positioning, placement of ETT, dan
postintubation management. Tujuan RSI adalah untuk membuat intubasi lebih aman dan lebih
mudah, sehingga meningkatkan angka kesuksesan intubasi dan menurunkan komplikasi.
Kerugian yang mungkin timbul adalh efek samping dari obat yang diberikan, intubasi yang lama
menyebabkan hipoksia, dan kerusakan jalan napas. Kontroversi telah timbul dalam berbagai
tahap dalam RSI: karena RSI merupakan standar dalam pelayanan jalan napas gawat darurat.

Anda mungkin juga menyukai