Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sinus Hidung dan Sinus Paranasal


2.2 Definisi Functional Endoscopic Sinus Surgery
2.2.1 Tujuan Functional Endoscopic Sinus Surgery
2.2.2 Indikasi Functional Endoscopic Sinus Surgery
2.2.3 Kontraindikasi Functional Endoscopic Sinus Surgery
2.3 Persiapan Pra Tindakan FESS
Sebelum melakukan tindakan FESS perlu dipersiapkan beberapa hal yaitu:
menetapkan kembali diagnosis yang sudah ada, meninjau kembali riwayat
pengobatan sebelumnya, mengoptimalkan kondisi preoperatif, memeriksa kembali
keadaan pasien yang relevan seperti test alergi, status imunitas, hematologi,
penghidu, penglihatan, pemeriksaan kembali riwayat penyakit terdahulu seperti
alergi obat, riwayat pengobatan, pemeriksaan CT Scan, Perencanaan tindakan, dan
pemberian inform consent.
Simmen D, Jones N. Manual of endoscopic sinus surgery and its extended
applications. New York: Thieme. 2005.p.130-42

2.3.1 Menetapkan Kembali Diagnosis


Penetapan kembali Diagnosis adalah langkah pertama yang diperhatikan
sebelum dilakukannya suatu tindakan operatif. Penyakit yang dilakukan tindakan
operatif salah satunya adalah chronic rhinosinusitis yang tidak memberikan
respond setelah dilakukan pengobatan. Pada orang-orang yang tidak dapat di
terapi dengan pengobatan maka dapat dilakukan pembedahan.

2.3.2 Meninjau Kembali Riwayat Pengobatan Sebelumnya


Peninjauan kembali pengobatan sebelumnya yang sudah maksimal dapat
memprediksi bagaimana nantinya penyakit pada mukosa hidung pasien dapat
kembali sehingga dapat menentukan prognosis hasil operasi pasien tersebut.
Kebehasilan dari riwayat pengobatan yang maksimal dapat menentukan kira-kira
apakah dibutuhkan pengobatan paskaoperasi atau tidak. Sedikitnya progresifitas
pengobatan pada penyakit sebelum dilakukan operasi dapat menentukan lamanya
pengobatan paska operasi.

2.3.3 Mengoptimalkan Kondisi Praoperatif


Pengoptimalan kondisi pasien sebelum dilakukannya tindakan, dapat
membantu proses tindakan menjadi lebih aman, dan operator dapat melakukan
tindakan lebih baik. Contoh kasus yang dapat diambil adalah pasien dengan
rhinosinusitis diberikan antibiotik broadspectrum kurang lebih dua minggu
sebelum dilakukannya tindakan.

2.3.4 Pemeriksaan Kondisi Pasien yang Relevan


Pemeriksaan yang diperlukan untuk tindakan praoperatif yang relevan
dapat dibagi menjadi dua yaitu: test alergi, dan status imunitas. Test alergi dapat
dilakukan dengan pemeriksaan skin prick test. Pemeriksaan alergi penting
dilakukan terutama bila pada pasien-pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap
obat ataupun pada pasien yang terdapat riwayat astma yang dapat terpicu karena
alergi.

2.3.5 Pemeriksaan Hematologi


Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan sebelum melakukan
tindakan FESS. Pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan darah lengkap,
faktor pembekuan darah, fungsi hati, fungsi ginjal, dan elektrolit.

2.3.6 Penciuman dan Penglihatan


Sebelum melakukan FESS diperlukan pemeriksaan untuk indra penciuman
hal ini disebabkan adanya laporan hilangnya indra penciuman setelah
dilakukannya tindakan FESS. Tetapi kejadian hilangnya penciuman hanya sebesar
satu persen. Karena hal tersebut mungkin terjadi maka sebelum dilakukan
tindakan pasien diperlukan untuk memeriksa indra penciumannya apakah memang
sudah berkurang atau tidak. Untuk penglihatan diperlukan agar bila paska operasi
terjadi kelainan pada penglihatan tindakan FESS tidak dipersalahkan bila sebelum
tindakan memang sudah terjadi kelainan.
2
2.3.7 Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan diperlukan untuk diketahui apakah terdapat riwayat
alergi dari pasien-pasien yang ada. Kemungkinan alergi yang perlu diperiksa
adalah penicillin dan obat-obatan non-steroid anti inflamation drugs(NSAID).
Selain dari pada riwayat alergi, riwayat pengobatan juga penting untuk dilihat
apakah seseorang mempunyai riwayat konsumsi aspirin, bila ada maka sebelum
dilakukan tindakan FESS harus dilakukan penghentian selama dua minggu
sebelum tindakan dilakukan.

2.3.8 Pemeriksaan Computer Tomography


Pemeriksaan CT-Scan merupakan pemeriksaan yang sebelum dilakukan
tindakan FESS perlu dilakukan. CT scan diperlukan agar tidak terjadi kesalahan
daerah operasi saat dilakukan tindakan FESS. Terdapat lima langkah dalam
pemeriksaan CT scan sebelum melakukan tindakan FESS. Langkah pertama yang
perlu dilakukan mengetahui orientasi dari CT scan adalah dari anterior menuju ke
bagian posterior, langkah ke dua adalah memeriksa lamina papiracea, prescesus
uncinatum, dan middle turbinate. Langkah ke tiga adalah memeriksa pada bagian
frontal. Langkah ke empat adalah dengan mengukur kedalaman dari basis cranii.
Langkah kelima adalah mencari letak dari sinus sphenoid.

2.3.9 Inform Consent


Seperti tindakan medis lainnya yang dilakukan kepada pasien. Tindakan
FESS juga perlu inform consent. Hal-hal yang perlu disampaikan kepada pasien
pada inform consent adalah: pilihan apa saja yang ada untuk pasien dalam
kelainannya, apa yang terjadi bila tidak dilakukan tindakanya operasi, bagaimana
prognosis pasien bila tidak dilakukan terapi yang laiinya, apa saja yang akan
dilakukan saat tindakan, dan komplikasi apa saja yang dapat terjadi paska
pembedahan.

2.4 Teknik Tindakan Functional Endoscopic Sinus Surgery


Sebelum melakukan tindakan functional endoscopic sinus surgery(FESS)
3
pasien perlu di anestesi terlebih dahulu. Anestesi dapat lokal maupun general
anestesi. Bila general anestesi maka pasien akan tertidur atau tersedasi secara
menyeluruh. Tetapi bila dalam tindakan ini dilakukan anestesi lokal maka daerah
hidung atau rongga sinus pasien yang dianestesi. Pada keadaan anestesi lokal
pasien akan merasa sedikit mengantuk tetapi terdapat resiko pasien terbangun di
tengah-tengah tindakan.
Pada tindakan FESS, instrumen yang digunakan adalah nasal endoscopde,
tindakannya dimulai dengan memasukan nasal endoskopi ke dalam hidung dan
melihat permukaan hidung dan sinus-sinus, kemudian mengidentifikasi saluran
sinus yang sempit yang menghubungkan sinus-sinus ke hidung.
Anestesi yang dilakukan pada awal sebelum dimulainya tindakan
pemeberian decongestan dan dengan menginfiltrasi lidocain dengan epinefrin.
Perbandingan antara lidocain dan epinefrin adalah satu berbanding seratus ribu
digunana untuk injeksi. Tempat diberikan anestesi adalah pada bagian lateral dari
dinding hidung dekat dengan proscesus uncinatum. Penyuntikaan mengunakan
syringe 3 ml dengan besar jarum 27G. Bila prosecucs uncinatum sudah
teranestesi, selanjutnya dilanjutkan anestesi pada bagian superior dari konka
medius. Bagian septum perlu juga dianestis bila tiba-tiba diperlukan adanya
septoplasti. Bila sudah teranestesi maka ambil 4ml dari kokain 4% dan suntikan
pada kedua nares hidung.
Proses FESS terdapat beberapa tahap yaitu: endoscopic uncinectomi,
maxillary antrostomi/etmoidectomi, etmoidectoim anterior, etmoidectomi
posterior, pembesaran ostium sinus spenoid, pengerjaan sinus frontalis, dan yang
terakhir adalah tampon hidung. Endoscopic uncinectomi adalah langkah awal dari
prosedur FESS, langkah ini dimana bila prosecus uncinatum terlihat tanpa
terhalang oleh konka medius maka secara langsung dapat dilakukan tetapi bila
terhalang maka dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan bagian yang
melengkung dari freer elevator agar mencegah terjadinya cedera pada bagian
mukosa dari konka medius. Uncinectomi dilakukan dengan menginsisi bagian
paling depan dari prosesus uncinatum, dimana bagian ini lebih lunak jika
dilakukan perabaan dibandingkan dengan os lacrimalis. Uncinectomi dilakukan
dengan forceps blakesley untuk menjepit tepi dari prosecus uncinatum dan
4
mengeluarkannya. Uncinektomi(Gambar 2.) harus dilakukan secara komplit agar
tidak terjadi kegagalan tindakan pembedahan.

Setelah selesai dengan uncinektomi maka saluran dari sinus maksilaris


akan terlihat. Pada tahap ini sangat mungkin dapat mencederai mata, dikarenakan
hal tersebut, diperlukan agar melindungi mata. Untuk melindungi agar tidak ada
cedera mata dilakukan perabaan pada puncak hidung dan memastikan tidak ada
perlengketan pada lamina papyracea dan memastikan lokasi dari lamina. Saluran
tersebut biasa terdapat pada satu per tiga dibawah konka medius. Bila sudah
dipastikan maka diperlukan pemotongan secara melingkar. Operator tindakan
harus menghindari adanya penusukan pada lamina papyracea. Tindakan ini

Gambar 2. Pengangkatan Proccecus Uncinatum


disebut sebagai maxillary
antrostomi atau disebut juga sebagai etmoidectomy(gambar 2.).

5
Gambar 2. Maxillary Antrostomy atau Ethmoidectomy

Bila sudah dilanjutkan dengan tahap anterior ethmoidectomi. Pada tahap


ini bula etmoidalis sudah terlihat, Pemotongan bentuk J digunakan untuk
membuka bagian dalam dan medial dari bulla. Bila sudah terbuka maka
dikeluarkan bagian tulang dari bulla tersebut dengan forceps bila sudah maka akan
terlihat bagian posterior dari bula etmoidalis. Posterior etmoidectomi dimulai
dengan pecahnya lamela basalis superior dan lateral menuju sambungan segmen
vertikal dan horizontal dari konka medius. Pemotongan dilakukan dengan bentuk
L yaitu pada bagian posterior konka medius dan segmen coonal dari lamela
basalis dilakukan pemotongan arah sagital. Pemotongan dengan bentuk L
bertujugan untuk tetap menjaga stabilitas dari konka medius. Bagian lateral dan
superior dari lamella basalis akan diambil menggunakan microdebrider.
Pembedahan ini untuk melihat sinus sphenoid.
Lubang sphenoid terdapat pada bagian medial dan posterior pada akhir
posterior sel etmoid. Letak sphenoid adalah tujuh sentimeter dari hidung dan
tetapi tiga puluh derajat dari horizontal. Sinus spenoid dilihat bagian medial dan
inferior dari salurannya dengan J currete atau dengan olive-tipped suction. Saat
sudah memasuki sinus maka ostium dari sinus sphenoid dapat diperbesar.
Pembesaran harus berhati-hati karena mungkin terdapat perlengketan pada tulang
yang terdapat pada arteri carotis atau nervus opticus.
Setelah pengerjaan sinus spenoid maka dilakukan pengerjaan sinus
frontalis. Sinus frontalis dikerjakan pada bagian akhir dikarenakan bila
mngerjakan sinus frontalis dapat membuat banyaknya perdarahan. Ketika semua
deseksi sudah selesai dan sudah terjadi keadaan hemostasis makan dilakukan

6
tindakan yang disebut sebagai nasal packing and spacer placement. Tindakan ini
dilakukan dengan memasukan bacitracin yang sudah di lapisi oleh telfa atau afrin
dan dimasukan ke dalam lobang hidung. Beberapa dari operator menempatkan
gelfilm di meatus medius untuk menjaga ruang tersebut tetap terbuka hal ini
dilakukan untuk mencegah lateralisasi dari konka medius dan terbentuknya
sinekia.
Dubin M, Lee J, Woodrad TD, Wise SK. Endoscopic sinus surgery. American
Rhinology Society. downloaded from:
http://care.american-rhinologic.org/ess?print 17 Mei 2017

Slack R, Bates G. Functional endoscopic sinus surgery. American Family


Physician. downloaded from: http://www.aafp.org/afp/1998/0901/p707.html 20
Mei 2017.

Patel A,Talavera F, Batuello SG, Mayers AD, Close LG. Functional endoscopic
surgery. 2016. downloaded from: http://emedicine.medscape.com/article/863420-
overview#showall. 20 Mei 2017 --> dafpus nomor 3

2.5 Kelainan yang Dapat Diterapi dengan FESS


2.5.1 Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis merupakan infeksi pada sinus yang terjadi selama kurang
lebih bulanan atau tahunan. Terpenting yang dapat menyebabkan sinusitis kronik
adalah kegagalan penyembuhan dari infeksi sinus pada fase akut. Pada sinusitis
kronis, mukosa sinus menjadi hipertrofi atau mungkin menjadi atrophy.
Permukaan dari epitel mungkin memperlihatkan desquamatis, regenerasi atau
metaplasia. Submukosa terinfiltrasi dengan limfosit dan sel-sel plasma dan
mungkin adanya mikroba, granulasi, fibrosis atau pembentukan polip.
Pada penderita sinusitis kronis mempunyai gejala yang lebih ringan dari
sinusitis akut. Pada sinusitis kronis akan menghasilkan sekret yang purulen, nafas
yang berbau, nyeri yang terlokalisir dan sakit kepala. Pada penderita ini beberapa
terdapat gejala berupa hidung tersumbat dan anosmia. Untuk memastikan sinusitis
kronik diperukan beberapa pemeriksaan berupa foto polos, dan CT Scan. Untuk
pengobatan sinusitis kronis biasanya dilakukan dengan pembedahan, pembedahan
dilakukan tergantung dari letak terjadinya infeksi pada sinus, dapat sinus

7
maksilaris, frontalis, etmoidalis, ataupun sphenoidalis. Sebagai contoh pada
sinusitis maxilaris dapat ditangani dengan antral puncture dan irigasi, intranasal
antrostomi, dan operasi tehnik caldwel-luc. Tetapi sekarang pembedahan pada
sinusitis kronis dilakukan dengan metode FESS.
Seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya metode FESS digunakan
dengan memperhatiakn anatomi dan patofisiologi. Penggunaan FESS terdapat dua
jenis endoskopi yaitu: rigid endoskopi, dan microsurgical instruments.
Penggunaan FESS dapat melewati canulla dan masuk kedalam sinus maxilaris
untuk melihat bagian dalam sehinga dapat melihat kondisi patologis didalam
sinus. Dengan teknik FESS dapat mengobati infeksi pada sinus-sinus lain selain
dari sinus maxillaris.

2.5.2 Polip Hidung


Polip pada hidung merupakan kelainan pada hidung dimana terdapat
sebuah masa bertangkai yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung,
dengan berwarna putih keabu-abuan(Gambar 2.).

Polip Gambar 2. Polip Hidung


merupakan masa yang jinak yang dibagi menjadi dua jenis yaitu: polip etmoidal
bilateral dan polip antrochoanal. Polip hidung dapat disebabkan oleh beberapa hal
yaitu: rhinosinusitis kronik, astma, aspirin intolerans, cystic fibrosis, sinusitis
alergi fungal, sindorma young, sindroma chrug-strauss, dan nasal mastocytosis.
Gejala yang muncul pada polip hidung adalah hidung terasa tersumbat dari ringan
hingga berat, rinore, dan hiposmia sampai dengan anosmia. Pada pemeriksaan
8
fisik didapat adanya massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius
dan mudah digerakan.
Pengobatan untuk polip pada hidung dapat terapi konserfatif ataupun
dengan pembedahan. Pembedahan akan dibahas adalah teknik FESS. Sekarang
pembedahan pada polip dilakukan dengan teknik FESS. Pembedahan ini
dilakukan dengan endoskopi sudut 00, 300, dan 700. Polip dapat diangkat secara
akurat ketikan sel-sel etmoidalis sudah dihilangkan, dan sinus-sinus sudah di
bersihkan.

Dhingra PL, Dhingra S. Diseases of ear nose and throat and head neck surgery.
6thed. India: Elsvier. 2014. p.172-3.

Mangunkusumo E, Wardani RS. Polip hidung. dalam:Soepardi EA, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorork
kepala dan leher. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2014. h.101-2.

2.5.3 Mucocel
2.5.4 Tumor Hidung
2.5.5 Corpus Alienum Hidung
2.5.6 Atresia Coana
2.6 Keuntungan Tindakan Functional Endoscopic Sinus Surgery
2.7 Komplikasi Tindakan Functional Endoscopic Sinus Surgery
2.8 Management setelah Tindakan FESS

Anda mungkin juga menyukai