Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

DESAIN PENGEMBANGAN KURIKULUM BAHASA ARAB


PENDEKATAN NEUROSAINS

Dosen Pengampu : Dr. Muhajir, M.Pd

Disusun Oleh:

Muhammad Ilham Akbar (18204020015)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara etimologi, neurosains adalah ilmu neural (neural science)
yang mempelajari sistem saraf, terutama mempelajari neuron atau sel saraf
dengan pendekatan multidisipliner.1 Secara terminologi, neurosains
merupakan bidang ilmu yang mengkhususkan pada studi saintifik terhadap
sistem saraf. Atas dasar ini, neurosains juga disebut sebagai ilmu yang
mempelajari otak dan seluruh fungsi-fungsi saraf belakang.2
Tujuan utama dari ilmu ini adalah mempelajari dasar-dasar
biologis dari setiap perilaku. Artinya, tugas utama dari neurosains adalah
menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi
didalam otaknya. Penelitian mutakhir di bidang neurosains menemukan
sejumlah bukti hubungan tidak terpisahkan antara otak dan perilaku
(karakter) manusia.3

Hasil riset di bidang educational neuroscience telah memberikan


perpektif baru bagi dunia pendidikan dalam memahami perkembangan
perilaku dan keterampilan anak dari sisi struktur dan fungsi sistem saraf di
dalam otak. Misalnya, kecerdasan matematika dan bahasa berpusat pada
bagian otak kiri, kecerdasan musik dan spasial berpusat di otak kanan,
kecerdasan kinestetik berpusat di daerah motorik cortex cerebri, dan
kecerdasan intrapersonal dan antarpersonal ditata pada sistem limbik dan
dihubungkan dengan lobus prefrontal maupun tempora.4

Temuan-temuan dalam educational neuroscience tersebut telah


menginspirasi guru dan orang tua siswa dalam mengembangkan strategi
pembelajaran yang efektif untuk mengembangkan seluruh potensi dan

1
Taufiq Pasiak, Tuhan dalam Otak Manusia, Mewujudkan Kesehatan Spiritual Berdasarkan
Neurosains, dalam Suyadi, Teori Pembelajaran, 7.
2
Wikipedia, Neurosains, http://id.wikipedia.org/wiki/Neurosains, dalam Suyadi, Teori
Pembelajaran, 7.
3
Taufiq Pasiak, Pendidikan Karakter Sebagai Pendidikan Otak, dalam Suyadi, Teori Pembelajaran.
8.
4
Johnson, M. H., & Haan, M. d. (2015). Developmental Cognitive Neuroscience: An Introduction.
UK: Blackwell.
kecerdasan manusia, baik potensi jasmani, ruhani maupun akal. Di antara
strategi pembelajaran tersebut dikenal dengan istilah brain based learning.5

Selain itu, educational neuroscience juga telah berhasil


menemukan dasar-dasar biologis dari gangguan perilaku dan
perkembangan keterampilan anak. Misalnya, bagaimana kondisi otak anak
yang mengalami discalculia dan dislexia dan apa saja stimulus yang dapat
diberikan untuk menyembuhkan masalah tersebut.6

5
Wathon, A. (2016). Neurosains Dalam Pendidikan. Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan
dan Teknologi, 1(2), 284-294.
6
Fitri, R. (2017). Metakognitif pada Proses Belajar Anak dalam Kajian Neurosains. Jurnal
Pendidikan (Teori dan Praktik), 2(1), 56-64.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DESAIN PEMBELAJARAN

Kata desain berasal dari bahasa Inggris yaitu design, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan kerangka, bentuk, rancangan,
motif, pola, model, menata, memasukkan dan konstruksi. Dalam bahasa
Arab, desain diartikan dengan tashnim yaitu teknik mengatur sesuatu
(pembelajaran) dengan cara yang sesuai dengan ketentuan kurikulum yang
menjadi dasar pembelajaran.7 Pengertian desain menurut para ahli
diantaranya;
Gagne, Brigss, & Wager mereka mengembangkan konsep desain
pembelajaran dengan menyatakan bahwa desain pembelajaran membantu
proses belajar seseorang, dimana proses tersebut memiliki tahapan segera
dan jangka panjang. Menurut mereka proses belajar terjadi karena adanya
kondisi-kondisi belajar : internal dan eksternal. Kondisi internal :
kemampuan dan kesiapan diri pebelajar. Sedangkan kondisi eksternal :
pengatura lingkungan yang didesain. Penyiapan kondisi eksternal inilah
yang menurut mereka sebagai desain pembelajaran yang disusun secara
sistematis, dan menerapkan konsep pendekatan sistem agar berhasil
meningkatkan mutu kerja seseorang. Dan mereka percaya bahwa proses
belajar yang terjadi secara internal dapat ditumbuhkan jika faktor eksternal
dapat didesain dengan efektif.
Dick dan Carey mendefinisikan desain pembelajaran adalah
mencakup seluruh proses yang dilaksanakan pada pendekatan sistem yang
terdiri dari analisis, desain, pengembangan, implementasi dan evaluasi.
8
Desain pembelajaran juga sebagai proses yang rumit tapi kreatif, aktif dan
berulang-ulang. Definisi ini bermakna sistem, pelatihan yaitu oendidikan

7
Hanafi, Abdul Halim, Amrina. 2013. Desain Pembelajaran Bahasa Arab . Jakarta: Diadit Media
Press
8
Mudhofir, Ali, Rusydiyah, Evi Fatimatur. 2016. Desain Pembelajaran Inovatif Dari Teori Ke
Praktik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
di organisasi, seta proses yang teruji dan dapat dikaji ulang penerapannya.
Pengertian mengenai desain diatas memberikan makna bahwa desain
merupakan suatu kegiatan yang menuntut profesionalisme dan
kompetensi, sebab tidak mungkin sesorang dapat mendesain pembelajaran
dengan baik dan benar jika tidak memiliki pendidikan dan pengalaman
yang sesuai. Dengan begitu, mendesain membutuhkan ilmu, pengalaman,
dan pengamatan yang cukup terhadap gejala dan karakteristik masalah.

B. PENGEMBANGAN KURIKULUM

Pengembangan berarti tindak lanjut dari pertumbuhan. Dalam


Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997: 473) kata pengembangan diberi
makna “Proses, cara, perbuatan mengembangkan”. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 ayat
(1) menyatakan bahwa “Pengembangan kurikulum dilakukan dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional,” dan ayat (2) menyebutkan bahwa “Kurikulum pada
semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik”. Pasal 38 ayat (2) menyatakan bahwa “Kurikulum pendidikan dasar
dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap
kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah atau madrasah di
bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Kementerian
Agama Kabupaten atau Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk
pendidikan menengah.9

istilah pengembangan dapat bermakna kuantitatif dan kualitatif,


yang bisa dalam bentuk: 1) Memperkaya nuansa pemikiran dan terori yang
ada; atau 2) Merevisi dan menyempurnakan pemikiran dan teori yang
sudah ada; atau 3) Mengganti pemikiran dan teori lama dengan pemikiran

9
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Depag, 2006), 7.
dan teori baru; atau 4). Menciptakan pemikiran dan teori yang belum ada
sebelumnya.10

C. BEBERAPA ELEMENT DALAM PENGEMBANGAN


KURIKULUM

Kurikulum dilihat dari aspek teori hubungannya dengan


komponenkomponen penunjangnya, memiliki empat elemen penting, di
mana keempat element tersebut dapat dijadikan sebagai “lahan basah”
dalam kegiatan pengembangan kurkulum yang berkelanjutan demi
terciptanya sebuah formulasi kurikulum yang sesuai dengan landasan
filosofis serta selaras dengan tujuan institusional lembaga penyelenggara
pendidikan. Keempat elemen tersebut adalah purpose (Goals and
Objectives), content or subject matter, methods or learning experiences,
evaluation. 11

A. Elemen kurikulum yang pertama adalah purpose atau tujuan yang


mencakup tiga hal prinsip berikut:
1. Tujuan harus didasarkan pada kebutuhan dan harapan
masyarakat.
2. Rancangan yang jelas dari arah dan tujuan program
pembelajaran yang akan dilakukan.
3. Kedua prinsip di atas diekspresikan dalam tujuan yang jelas
dan konkrit yang biasanya termanifestasikan dalam bentuk
visi dan misi institusi pendidikan yang bersangkutan.

Tujuan dan sasaran pendidikan meliputi tiga kategori utama yaitu


Cognitive yang mengarah pada kemampuan intelektual, Psychomotor yang
mengarah pada keterampilan motorik dan affective yang mengarah pada
perasaan dan sikap.

10
Muhaimin. 2011. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
11
Clayton R. Wright & Judith T. Johnson (Ed), Curriculum Theory Design and Assessment (The
Commonwealth of Learning, 2000), 12.
Adapun tujuan kurikulum dirangkum oleh Rusydi Ahmad
Thu‟aimah dibagi menjadi dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus. Yang dimaksud dengan tujuan umum dalam kurikulum adalah
tujuan yang berorientasi pada pembekalan pembelajar akan pengetahuan
dan wawasan. Adapun tujuan khusus lebih kepada pembekalan terhadap
pembelajar akan langkah-langkah dalam merealisasikan dan mewujudkan
atau mengimplementasikan pengetahuan yang telah didapatkannya.12

B. Elemen kurikulum yang kedua adalah content or subject matter. Content


kurikulum meliputi isi dan inti pengetahuan yang akan diajarkan pada
siswa seperti jika dalam pembelajaran pendidikan bahasa Arab adalah
empat maharoh lughowiyah dan juga kemampuan paedagogis, rancangan
dan outline aspek sikap dan nilai yang ingin diinternalisasikan kepada
siswa serta penanaman pendidikan karakter yang ditekankan melalui
aturan-aturan atau perundang-undangan institusi yang bersifat lokal.
C. Elemen kurikulum ketiga adalah implementasi dalam kurikulum yang
memuat metode pembelajaran, pengalaman belajar siswa yang melibatkan
strategi pengorganisasian seputar kegiatan pembelajaran.
D. Adapun elemen terakhir adalah evaluasi dalam kurikulum yang digunakan
sebagai langkah untuk memilih materi yang sesuai dengan berdasarkan
pada tujuan kurikulum yang telah ditetapkan, memilih metode
implementasi yang dapat mengantarkan pada materi dan tujuan, untuk
menilai efektivitas metode implementasi pembelajaran yang digunakan,
untuk melihat kesesuaian kurikulum apakah telah dapat menjawab
kebutuhan masyarakat pengguna lulusan pendidikan, untuk memberikan
umpan balik kepada guru, perencana, pengambil kebijakan kurikulum dan
masyarakat serta industri pengguna jasa lulusan institusi, menentukan
kebijakan perubahan dan pengembangan kurikulum institusi.13

12
Rusydi Ahmad Thu‟aimah, Manahij Tadrisi al-Lugah al-„Arabiyyah (Kairo: Dar al-Fikri al-
„Arabiy, 1998), 50.
13
Clayton R. Wright & Judith T. Johnson, Curriculum Theory, 13.
Sudjana mengungkapkan mengenai perubahan dan pengembangan
kurikulum. Menurutnya perubahan dan perkembangan struktural
kurikulum pada umumnya menyangkut elemen-elemen kurikulum seperti
berikut14 :

1. Perubahan dalam tujuan. Perubahan ini didasarkan kepada


pandangan hidup masyarakat dan falsafah bangsa. Tanpa tujuan
yang jelas dan landasan filosofis yang kuat tidak akan membawa
perubahan yang berarti, dan tidak ada petunjuk ke mana
pendidikan diarahkan. Sebagai suatu landasasn fundamental,
filsafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan
kurikulum. Wina Sanjaya mengungkapkan ada empat fungsi
filsafat dalam proses pengembangan kurikulum yakni:
a) Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan.
Dengan filsafat sebagai value system maka dapat
ditentukan mau dibawa ke mana siswa atau mahasiswa
tersebut.
b) Filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang
harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
c) Filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian
tujuan. Artinya, filsafat sebagai system nilai dapat dijadikan
pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran.
d) Melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menetukan
tolok ukur keberhasilan proses pendidikan.15
2. Perubahan isi dan struktur. Perubahan ini meninjau struktur mata
pelajaran-mata pelajaran yang diberikan kepada siswa termasuk isi
dari setiap mata pelajaran. Perubahan ini dapat menyangkut isi
mata pelajaran, aktivitas belajar anak, pengalaman yang harus
diberikan kepada anak, juga organisasi atau pendekatan dari mata
pelajaranmata pelajaran tersebut. Apakah diajarkan secara

14
Nana Sudjana. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah Kejuruan (Bandung: PT
Sinar Baru, 1989), 37.
15
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2010), 43.
terpisah-pisah (subject matter curriculum), apakah lebih Secara
umum ada empat tahap dalam pengembangan kurikulum
pendidikan, mengutamakan kegiatan dan pengalaman anak
(activity curriculum) atau diadakan pendekatan interdisipliner
(correlated curriculum) atau dilihat proporsinya masing-masing
jenis ; mana yang termasuk pendidikan umum, pendidikan
keahlian, pendidikan akademik dan lain-lain.
3. Perubahan strategi kurikulum. Perubahan ini menyangkut
pelaksanaan kurikulum itu sendiri yang meliputi perubahan teori
belajar mengajar, perubahan sistem administrasi, bimbingan dan
penyuluhan, perubahan sistem penilaian hasil belajar.
4. Perubahan sarana kurikulum. Perubahan ini menyangkut
ketenagaan baik dari segi kualitas dan kuantititas, juga sarana
material berupa perlengkapan sekolah seperti laboraturium,
perpustakaan, alat peraga dan lain-lain.
5. Perubahan dalam sistem evaluasi kurikulum. Perubahan ini
menyangkut metode/cara yang paling tepat untuk
mengukur/menilai sejauh mana kurikulum berjalan efektif dan
efesien, relevan dan produktivitas terhadap program pembelajaran
sebagai suatu sistem dari kurikulum.

Perubahan atau pengembangan kurikulum tersebut dapat


bersifat sebagian (pada elemen tertentu), tetapi dapat pula bersifat
keseluruhan yang menyangkut semua elemen kurikulum.
Perubahan kurikulum menyangkut berbagai faktor, baik orang-
orang yang terlibat dalam pendidikan dan faktor-faktor penunjang
dalam pelaksanaan pendidikan. Sebagai konsekuensi dari
perubahan kurikulum juga akan mengakibatkan perubahan dalam
operasionalisasi kurikulum tersebut.
D. PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM

Pengembangan kurikulum seyogyanya mengikuti prinsip-prinsip


dalam pengembangan kurikulum agar kurikulum dapat berfungsi sebagai
sebuah pedoman yang terstandar. Sejumlah prinsip pengembangan
krurikulum yang dianggap penting antara lain:

1. Prinsip relevansi

Kurikulum dapat diibaratkan sebagai sebuah rel.


Artinya, kurikulum yang benar dapat membawa gerbong
bernama pendidikan untuk mencapai tujuan yang benar
pula. Tujuan yang tidak hanya berorientasi pada
pemerolehan ilmu semata akan tetapi juga
merealisasikannya ke dalam kehidupan bersosial
masyarakat. Untuk itulah, pengembangan kurikulum harus
memperhatikan faktor-faktor seperti relevansi.

2. Prinsip Fleksibilitas

Prinsip-prinsip ideologis yang dicanangkan oleh


instansi pendidikan dalam rancangan kurikulumnya sering
tidak sejalan dengan kondisi faktual yang ada di lapangan
seperti keterbatasan sarana prasarana sampai SDM guru
atau dosen yang tidak mendukung. Maka prinsip fleksibel
dalam rancangan kurikulum harus diterapkan oleh pihak
yang bertanggung jawab sebagai pengembang kurikulum
sehingga kurikulum bisa diterjemahkan ke dalam aksi
sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Kurikulum
yang rigid dan kaku sulit dilaksanakan.
Prinsip fleksibilitas memiliki dua sisi: pertama,
fleksibel bagi guru atau dosen. Artinya kurikulum harus
memberikan ruang gerak bagi guru untuk melakukan
improvisasi dan pengembangan model pengajarannya
sesuai dengan kondisi yang terjadi di dalam proses
pembelajaran. Kedua, fleksibel bagi siswa, artinya
kurikulum harus juga menyediakan berbagai kemungkinan
program materi pilihan sesuai dengan bakat yang dimiliki
oleh mahasiswa.16

3. Prinsip Kontinuitas

Prinsip kontinuitas dalam pengembangan kurikulum


sangat penting diperhatikan bagi para pengembang. Prinsip
kontinuitas bertujuan untuk menjaga hierarkhi mata
pelajaran atau mata kuliah yang diambil oleh mahasiswa.
Dengan difungsikannya prinsip kontinuitas ini sebagai
bahan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum maka
akan mensistematiskan tingkatan pemahaman peserta didik
dalam mempelajari semua mata kuliah secara integral.
Di samping itu, prinsip kontinuitas juga berguna
untuk meminimalisir dan mereduksi terjadinya
pengulangan dan over lapping materi perkuliahan yang
menyebabkan inefisiensi kegiatan belajar mengajar.

4. Efektifitas

Sedikitnya terdapat dua hal dalam prinsip efektifitas


dalam pengembangan kurikulum. Yang pertama, prinsip
efektifitas yang berhubungan dengan kegiatan guru dalam
melaksanakan tugas mengimplementasikan kurikulum di dalam
kegiatan belajar mengajar. Artinya, pengembang kurikulum
harus mempertimbangkan rancangan kurikulumnya dapat
terlaksana dengan efektif dalam pembelajaran.
16
Ibid.
Salah satu langkah dalam mempertimbangkan
efektifitas kurikulum adalah dengan memilah dan memilih
materi dalam satu mata kuliah tertentu yang dianggap inti dan
pendukung. Sehingga materi inti lebih diutamakan daripada
materi pendukung. Dengan langkah tersebut, pemrograman
waktu perkuliahan yang dalam pedoman kurikulum harus
menyelesaikan 14 materi dalam satu semester sebagai misal,
akan dapat terselesaikan dengan efektif sesuai dengan waktu
yang diprogramkan.

Adapun yang kedua adalah efektivitaas kegiatan siswa


yang berhubungan dengan sejauh mana mahasiswa mencapai
target dan kompetensi kurikulum yang telah ditentukan sesuai
dengan jangka waktu tertentu.

5. Efisiensi

Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan


antara tenaga, waktu dan biaya yang dikeluarkan dengan
hasil yang diperoleh. Kurikulum dikatakan memiliki tingkat
efisiensi yang tinggi apabila dengan sarana, biaya, tenaga
dan waktu yang seminimal mungkin dapat memperoleh
hasil yang maksimal. Kurikulum yang kelewat ideal dengan
tuntutan sarana prasarana yang sulit untuk dipenuhi oleh
pihak instansi pendidikan terkait serta sulit untuk
dilaksanakan maka bisa dikatakan bahwa kurikulum
tersebut tidak efisien.
6. Sekuens (Sequences)

Sekuens berarti susunan atau urutan pengelompokan


kegiatan atau langkah-langkah yang dilakukan dalam
perencanaan kurkulum. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan dalam prinsip sekuens adalah: mulai dari
yang paling sederhana menuju yang kompleks, menuruti
alur kronologis, balikan dari alur kronologis, mulai dari
keadaan geografis yang dekat sampai ke yang jauh, dari
jauh menuju dekat, dari konkret ke abstrak, dari umum ke
khusus.17

7. Integrasi

Para pengembang kurkulum harus memperhatikan


masalah pengintegrasian materi pelajaran. Namun tidak
seperti keenam prinsip sebelumnya, prinsip pengintegrasian
ini bersifat optional. Kurikulum adalah suatu hal yang
bersifat integratif. Kadar keintegrasian tersebut ditentukan
oleh dasar filosofis pengembang kurikulum dibandingkan
dengan data empiris.
Namun karena terdapat beberapa materi yang harus
diajarkan secara terpisah maka kalangan progressif
menawarkan agar para pengajar, sebagai pengembang
kurikulum, memposisikan dirinya pada continum
(rangkaian) pendidikan.
Korelasi mata pelajaran (Correlation of subject
matter) yaitu hubungan di antara mata pelajaran yang masih
ada unsure keterpisahannya seperti dalam materi psikologi
pendidikan dan psikologi perkembangan, Imla‟ Khot dan
Insya‟, muhadatsah dan Istima‟. Korelasi akan menjadi
integrasi jika identitas masing-masing dilepaskan.

17
Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2008), 47-48.
E. NEUROSAINS

Pendidikan dewasa ini bisa menjadi obat mujarab untuk


harmonisasi agama dan pengaruh modernisasi. Pendidikan bukan hanya
mengedepankan intelektual semata akan tetapi bisa memainkan peran
qolb, aqal, nafs dan jism. Educational neuroscience adalah bidang kajian
neuroscience yang fokus untuk mengkaji konsep pendidikan dari
perspektif sistem kerja otak. Para guru dan orang tua ternyata masih jarang
memperhatikan bidang kajian ini sehingga menyebabkan munculnya
suasana pembelajaran yang pasif dan tidak optimal dalam merangsang sel-
sel saraf di dalam otak manusia.

Hasil riset di bidang educational neuroscience telah memberikan


perpektif baru bagi dunia pendidikan dalam memahami perkembangan
perilaku dan keterampilan anak dari sisi struktur dan fungsi sistem saraf di
dalam otak. Misalnya, kecerdasan matematika dan bahasa berpusat pada
bagian otak kiri, kecerdasan musik dan spasial berpusat di otak kanan,
kecerdasan kinestetik berpusat di daerah motorik cortex cerebri, dan
kecerdasan intrapersonal dan antarpersonal ditata pada sistem limbik dan
dihubungkan dengan lobus prefrontal maupun tempora.18

Temuan-temuan dalam educational neuroscience tersebut telah


menginspirasi guru dan orang tua siswa dalam mengembangkan strategi
pembelajaran yang efektif untuk mengembangkan seluruh potensi dan
kecerdasan manusia, baik potensi jasmani, ruhani maupun akal. Di antara
strategi pembelajaran tersebut dikenal dengan istilah brain based
learning.19

Selain itu, educational neuroscience juga telah berhasil


menemukan dasar-dasar biologis dari gangguan perilaku dan
perkembangan keterampilan anak. Misalnya, bagaimana kondisi otak anak

18
Johnson, M. H., & Haan, M. d. (2015). Developmental Cognitive Neuroscience: An Introduction.
UK: Blackwell.
19
Wathon, A. (2016). Neurosains Dalam Pendidikan. Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan
dan Teknologi, 1(2), 284-294.
yang mengalami discalculia dan dislexia dan apa saja stimulus yang dapat
diberikan untuk menyembuhkan masalah tersebut.20

Perkembangan yang sangat pesat di bidang Neurosains


menunjukkan bukti bahwa antara kerja otak dan perilaku (karakter)
manusia terdapat hubungan yang erat, dalam arti bahwa proses
pembentukan karakter yang mengikuti cara kerja otak makan akan menjadi
lebih mudah. Melalui sebuah instrumen yang disebut dengan Positron
Emission Tomography (PET) dapat diketahui bahwa semua perilaku
manusia dikendalikan secara terpadu oleh brain system yang terdiri dari
cortex prefrontalis, sistem limbik, gyros cingulatus, ganglia basalis, lobus
temporalis, dan cerebellum. Pengendalian ini berupa pengaturan kognisi,
afeksi, dan psikomotorik, termasuk didalamnya adalah pengaturan IQ, EQ,
dan SQ

Otak dimulai dengan overproduksi neuron pada minggu-minggu


petama kehamilan. Setiap hari diproduksi 250.000 neuroblast, sehingga
bagian otak paling dalam menjadi penuh sesak. Neuron-neuron
selanjutnya akan bermigrasi ke lapisan otak paling luar. Setiap neuron
mempunyai cabang hingga 10 ribu cabang dendrit, kemudian dendrit
menerima impuls listrik dari neuron yang lain dan mengirimkannya
melalui akson. Impuls akan berhenti setelah berada pada ujung akson yang
membentuk sinapsis, kemudian neurotransmiter menyeberangi celah
sinapsis untuk diterima oleh penerima khusus pada neuron berikutnya.
Neurotransmiter mampu menyampaikan pikiran dan perasaan seseorang
ke seluruh jaringan saraf yang merupakan esensi memori, kecerdasan,
kreativitas, dan kemauan. ketika bayi lahir sudah memiliki sebanyak 100
miliar neuron dengan koneksi-koneksi awal yang selanjutnya akan
disempurnakan dengan adanya peranan lingkungan. Penyempurnaan otak
yang memerlukan jenis-jenis masukan tertentu untuk menciptakan atau
menstabilkan struktur yang bertahan lama memiliki batas waktu dan inilah
yang disebut jendela peluang. Jendela peluang terdapat pada proses

20
Fitri, R. (2017). Metakognitif pada Proses Belajar Anak dalam Kajian Neurosains. Jurnal
Pendidikan (Teori dan Praktik), 2(1), 56-64.
penglihatan, kemampuan linguistik, gerakan, perasaan, musik,
matematika, logika, dan lain sebagainya. Jendela peluang yang
memberikan batasan pada kelenturan otak, akan dapat dioptimalkan
dengan proses belajar yang menumbuhkan, melestarikan, dan
mengembangkan sel-sel otak. Otak akan menghasilkan cabang-cabang
dendrit yang baru ketika siswa mempelajari sesuatu yang baru,
menghadapi tantangan, dan atau membuat kebiasaan-kebiasaan baru.21

Berdasarkan hasil penelitian di bidang neurologi, bahwa


pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0-4 tahun mencapai 50 %,
hingga usia 8 tahun mencapai 80 % dan kematangan pada 10-25 tahun.
Jika pada rentang usia ini otak tidak mendapatkan rangsangan yang
optimal maka perkembangan tidak akan maksimal. Hasil akan semakin
baik jika rangsangan ini diberikan terhadap anak sejak usia dini. Dalam
kaitanya dengan pendidikan karakter, maka pencapaian hasil belajar akan
optimal bila pola pelaksanaan pendidikan karakter ini sesuai dengan tahap-
tahap perkembangan berpikir siswa.22

Otak mengembangkan lima sistem pembelajaran primer terdiri


dari: emosional, sosial, kognitif, fisik, dan reflektif. Kelima sistem tersebut
merupakan satu kesatuan dimana sistem ini tidak akan berkembang
23
optimal jika tidak melibatkan komponen sistem yang lain. Konsep
pembelajaran menegaskan bahwa setiap orang memiliki potensi otak yang
relatif sama, pembedanya adalah bagaimana mengolahnya. Tipe belajar
dan teknik pembelajaran yang relevan menjadikan pembelajaran menjadi
menyenangkan dan akan memberikan hasil yang optimal. otak dapat
berubah secara positif jika dihadapkan pada lingkungan yang diberi
rangsangan, dan otak akan dapat menjadi negatif jika tidak diberi
rangsangan. model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan
menjadikan siswa aktif untuk mengeksplorasi seluas-luasnya, baik dengan
cara mendengar, melihat, bertanya maupun berdiskusi dengan peserta

21
Rakhmat, J. 2005. Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak. Bandung: MLC.
22
Ibid.
23
Jensen, E. & Dabney, M. 2010. Learning Smarter: The New Science of Teaching. San Diego,
Calif Brain Store.
didik lainnya. Pencapaian hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu faktor internal yang meliputi segala sesuatu yang ada dalam diri
siswa, seperti faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan.
Sedangkan faktor eksternal yaitu kondisi di luar diri siswa, yang meliputi
faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat. Salah satu faktor
eksternal yang ada di sekolah tersebut adalah faktor model pembelajaran.
Proses pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan tercipta dari
penerapan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa,
yaitu sesuai dengan bagaimana otak siswa bekerja secara optimal.

Karakter seseorang dipengaruhi oleh faktor hereditas dan faktor


lingkungan sekitarnya. Model pendidikan yang holistik dapat membentuk
karakter manusia secara holistik pula jika diberikan pada saat yang tepat.
Pertumbuhan otak anak-anak seusia SD sedang mengalami pertumbuhan
yang pesat. Semakin bagus pola pendidikan karakter di sekolah dasar,
semakin bagus pula pemahaman mereka terhadap maksud dan tujuan
pendidikan karakter dan akan memudahkan penanganan karakter di
jenjang berikutnya, karena telah terbiasa dengan pola hidup yang
berkarakter.

suatu perubahan perilaku dan sikap perlu didasari dengan


perubahan cara berpikirnya terlebih dahulu. Karena setiap proses
perubahan belum bisa berhasil sampai manusia mampu memperbarui cara
berpikirnya. Otak manusia selalu berkembang, dan dapat berubah menjadi
lebih baik atau lebih buruk, tergantung bagaimana manusia melakukan
penataan terhadap cara berpikirnya24. strategi sekolah yang kreatif dan
inovatif dalam mengaplikasikan pendidikan karakter dengan tetap menjaga
konten pendidikan moral didalamnya akan menjadikan proses belajar di
sekolah menjadi menarik dan bermakna sehingga pencapaian hasil belajar
pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik bisa seimbang.25

24
Kasali, R. 2014. Self Driving: Menadi Driver atau Passenger? (Jakarta: Mizan), 231-232.
25
Rakhmat, J. 2005. Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak. Bandung: MLC
Pendidikan dipengaruhi oleh pikiran sadar dan bawah sadar.
Pikiran sadar mencakup tentang: mengidentifikasi informasi yang masuk,
membandingkan, menganalisi, dan memutuskan, sedangkan pikiran bawah
sadar mengatur tentang kebiasaan, emosi, memori jangka panjang,
kepribadian, intuisi, kreativitas, persepsi, serta belief dan value. Dengan
demikian maka pendidikan karakter perlu memberikan penekanan pada
level pikiran bawah sadar, subconcious mind, agar hasil bisa maksimal.26

F. PEMBELAJARAN BAHASA ARAB BERBASIS OTAK


Konsep pembelajaran yang berorientasi pada pemberdayaan
potensi kerja otak siswa agar hasil pembelajaran bisa maksimal. Adapun
langkah-langkah implementasi adalah sebagai berikut.

1. Orchestrated Immersion: menciptakan lingkungan belajar yang


menantang kemampuan berasosiasi dan mengembangkan
berpikir siswa dengan rangsangan berupa pemberian masalah
yang bermakna berupa teka-teki, simulasi atau games yang
atraktif dan menarik.27
2. Relaxed Allertness: menciptakan lingkungan belajar yang
menyenangkan dan merangsang siswa berpartisipasi aktif,
selama proses pembelajaran, misalnya pembelajaran di luar
kelas, pembelajaran dengan media musik, pembelajaran berupa
diskusi kelompok, pembelajaran dengan menggunakan
permainan game yang menarik dan lain-lain.28
3. Active Processing: menciptakan situasi pembelajaran agar
siswa membangun pengetahuan mereka sendiri dengan
melibatkan semua indera secara aktif; mata mengamati, tangan

26
Gunawan, H. 2008. Pendidikan Karakter. (Bandung: Alfabeta), 178-179.
27
Khasanah, N. 2013. Membangun Karakter Anak melalui Permainan Anak Tradisional. Jurnal
Pendidikan, Tahun III, Nomor 1, Februari 2013.
28
Margono ,B S. Integrasi Neurosains Dalam Kurikulum Ntuk Memperkuat Pendidikan Karakter
Siswa Sekolah Dasar, nomor 1, april 2018.
menulis, mulut untuk berdiskusi, dan demikian anggota badan
lainnya.29

29
Ibid.
BAB III

KKESIMPULAN

Kurikulum berbasis Neurosains adalah upaya membuat proses belajar


sesuai dengan kerja otak manusia untuk mengoptimalkan hasil belajar. Integrasi
neuosains dalam kurikulum bersifat holistik mencakup intrakurikuler, kokurikuler
maupun ekstrakurikuler. Penerapan pembelajaran neurosains mempertimbangkan
tingkat perkembangan otak berdasarkan usia siswa, pada jenjang TK dan SD
adalah usia dimana sel-sel otak mengalami pertumbuhan yang pesat yaitu
mencapai 80%. Rangsangan dari berbagai aktivitas dan lingkungan yang baik
akan membentuk karakter yang baik dan melekat sepanjang hayat.

Perubahan perilaku dan sikap harus didasari oleh perubahan cara berpikir
terlebih dahulu, karena otak manusia selalu berkembang, dan dapat berubah
menjadi lebih baik atau lebih buruk. Pendidikan karakter harus menyentuh pikiran
bawah sadar yang mengatur tentang kebiasaan, emosi, memori jangka panjang,
kepribadian, intuisi, kreativitas, persepsi, serta belief dan value. Kreasi dan
inovasi guru dalam mengaplikasikan pendidikan karakter akan menjadikan proses
belajar di sekolah menjadi menarik dan bermakna sehingga pencapaian hasil
belajar bisa seimbang antara ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Lingkungan
fisik sekolah yang berpengaruh dalam pembentukan karakter siswa meliputi:
tatanan sarana dan prasarana sekolah, dan lingkungan sosial seperti teman, guru
dan tenaga kependidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Taufiq Pasiak, Tuhan dalam Otak Manusia, Mewujudkan Kesehatan


Spiritual Berdasarkan Neurosains, dalam Suyadi, Teori Pembelajaran.

Wikipedia, Neurosains, http://id.wikipedia.org/wiki/Neurosains.

Johnson, M. H., & Haan, M. d. (2015). Developmental Cognitive


Neuroscience: An Introduction. UK: Blackwell.

Wathon, A. (2016). Neurosains Dalam Pendidikan. Jurnal Lentera: Kajian


Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi.

Fitri, R. (2017). Metakognitif pada Proses Belajar Anak dalam Kajian


Neurosains. Jurnal Pendidikan (Teori dan Praktik).

Hanafi, Abdul Halim, Amrina. 2013. Desain Pembelajaran Bahasa Arab .


Jakarta: Diadit Media Press

Mudhofir, Ali, Rusydiyah, Evi Fatimatur. 2016. Desain Pembelajaran


Inovatif Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Undang-
Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Depag, 2006).

Muhaimin. 2011. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan


Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Clayton R. Wright & Judith T. Johnson (Ed), Curriculum Theory Design


and Assessment (The Commonwealth of Learning, 2000).

Nana Sudjana. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah


Kejuruan (Bandung: PT Sinar Baru, 1989).

Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2010).

Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung:


Remaja Rosda Karya, 2008)

Rakhmat, J. 2005. Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak. Bandung:


MLC.

Jensen, E. & Dabney, M. 2010. Learning Smarter: The New Science of


Teaching. San Diego, Calif Brain Store.

Kasali, R. 2014. Self Driving: Menadi Driver atau Passenger? (Jakarta:


Mizan).
Gunawan, H. 2008. Pendidikan Karakter. (Bandung: Alfabeta), 178-179.

Khasanah, N. 2013. Membangun Karakter Anak melalui Permainan Anak


Tradisional. Jurnal Pendidikan, Tahun III, Nomor 1, Februari 2013.

Margono ,B S. Integrasi Neurosains Dalam Kurikulum Ntuk Memperkuat


Pendidikan Karakter Siswa Sekolah Dasar, nomor 1, april 2018.

Anda mungkin juga menyukai