Anda di halaman 1dari 13

Nama : Saratua Simanungkalit

Tingkat/ Sems : IV/ VIII

Mata Kuliah : Misi Pertumbuhan dan Perkembangan Jemaat II

Dosen Pengampu : Bvr. Risma Sinaga, S.Th., M.Hum

Relasi Pelayan (Partohonan) Dan Pengaruhnya Bagi Pembangunan Jemaat

Di HKBP Tambunan

I. Pendahuluan

Manusia sebagai makhluk sosial, hidup saling berdampingan dan saling mempengaruhi
antara yang satu dan yang lainnya. Tindakan dan kata-kata seseorang sebagian menentukan apa
yang dipikirkan dan dilakukan orang lain di sekitarnya. Bahkan ketika pun berdiam diri atau tidak
hadir di tengah-tengah komunitasnya, itu juga mempengaruhi, karena orang lain akan berpikir dan
bertindak dengan cara yang berbeda bila dibandingkan ketika ada di antara komunitasnya. Artinya,
selama kita hidup, kehidupan orang lain akan berbeda karena kita, apakah itu pengaruh positif atau
bahkan negatif. Akan tetapi, kita sebagai orang Kristen tentunya haruslah memberikan pengaruh
yang positif terhadap orang lain. Demikianlah dalam kehidupan para pelayan, kehadirannya di
tengah-tengah jemaat akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jemaat, baik dari segi
kuantitas, kualitas iman dan spiritulitas, mental dan lain sebagainya. Khususnya dalam relasi
sesama para pelayan partohonan, yang ditempatkan dalam medan pelayanan yang sama, dengan
situasi dan kondisi yang sama juga.

Tentunya, kehadiran para pelayan di tengah-tengah jemaat diharapkan mampu menjadi


teladan, serta memberikan pengaruh yang baik (positif) untuk membangun jemaat menjadi lebih
baik. Akan tetapi, dalam realitanya seringkali relasi antara pelayan gagal dalam membangun
pengaruh yang positif, oleh karena faktor-faktor tertentu. Walaupun memang di sisi lain juga
ditemukan keberhasilan para pelayan dalam menjalin hubungannya dengan sesama pelayan,
sehingga berpengaruh dalam membangun jemaat. Tiap orang melayani dalam hubungannya dengan
pelayan lain. Apakah para pelayan melihat orang yang melayani bersama mereka adalah rekan
sekerja yang ingin mencapai target spiritual atau sebaliknya sebagai pesaing dan mau mengalahkan
mereka? Maka dalam makalah ini saya akan memaparkan bagaimana relasi pelayan partohonon
dalam gereja tersebut serta pengaruhnya bagi pembangunan jemaat, apakah itu berdampak positif
atau negatif.
II. Relasi Pelayan (Partohonan) dan Pengaruhnya Bagi Pembangunan Jemaat
2.1.Relasi Pelayan

Tiap pelayan melakukan pelayanan bersama pelayan lain dan berelasi dengan mereka dalam
bentuk kerja sama atau persaingan. Sesungguhnya para pelayan harus bertanggung jawab kepada
Allah atas kehidupan pribadi dan pelayanan mereka. Bukan hanya itu saja, juga bertanggung jawab
kepada pelayan lain. Tindakan seorang pelayan memang bisa memengaruhi pelayanan pelayan lain
dalam sebuah gereja. Tanggung jawab pelayan gereja satu sama lain, tanggung jawab kepada
profesi pelayan gereja, dan tanggung jawab kepada Allah adalah vital bagi pekerjaan Kerajaan
Allah. Menjadi pelayan yang baik lebih mencakup hubungan kerja sama, bukan persaingan dengan
rekan sekerja.1

Di dalam gereja, secara umum pendeta dianggap sebagai pimpinan dalam gereja tersebut,
walaupun banyak pejabat/ pelayan gereja yang menjalankan fungsi yang sama dengan anggota staf
pelayan gereja lainnya. Para pemimpin gereja adalah rekan sekerja pelayan. Relasi yang baik antara
para pelayan dan para pemimpin gereja jelas krusial, dan kepercayaan adalah hal mendasar agar
relasi terjadi dengan baik. Demikian juga percaya bahwa pelayan peka terhadap pimpinan Roh
Kudus, lebih perduli terhadap kesejahteraan spiritual mereka daripada “reputasi kepelayanannya”,
dan menjadi pribadi yang berintegritas. Umat yakin dengan program, proyek, atau khotbah seorang
pelayan karena mereka pertama-tama percaya kepadanya.

Hal yang paling menonjol yang menyebabkan pertikaian dalam gereja ialah kurangnya
komunikasi antar pelayan dalam pelayanan. Di dalam pelayanan, relasi yang baik antara pelayan
adalah hal yang sangat penting, agar persekutuan di dalam gereja juga dijalin dengan baik. Baik
pelayan maupun para pemimpin gereja harus bersikap terbuka dan jujur satu sama lain. Menurut
Faulkner ciri-ciri seorang pelayan yang sehat ialah menghormati otoritas, mau melakukan tiap
perbuatan baik, tidak menyakiti siapa pun, tidak suka berselisih, santun dan ramah. Sarana
komunikasi pertama dan utama dalam pelayanan ialah relasi orang ke orang. Seseorang berbicara
satu sama lain dan dengan demikian mengkomunikasikan diri mereka dengan segala kebutuhan
serta perasaan mereka. Komunikasi ini mensyaratkan orang-orang bersangkutan beserta
kemampuan kodrati mereka untuk saling berbagi. Setiap komunikasi bermula dengan komunikasi
antar pribadi. Seorang komunikator memainkan suatu peran utama dalam cara menampilkan dirinya
dan diterima sebagai seorang pribadi.2 Beberapa gereja memiliki jajaran pelayan yang
beranggotakan sejumlah pelayan yang bekerja di bidang-bidang pelayanan yang terspesialisasi.
Relasi dengan sesama anggota staf pelayan merupakan tindakan etis. Di dalam 1 Korintus 12

1
Joe E. Trull dan James E. Carter, Etika Pelayan Gereja, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 2014, hlm. 165.-167.
2
Franz-Josef Eilers, berkomunikasi dalam pelayanan dan misi, Yogyakarta, Kanisius, 2008, hlm. 184
menunjukkan bahwa orang Kristen diberi rupa-rupa karunia. Semua karunia berasal dari Roh Kudus
dan digunakan untuk membangun gereja. Tanggung jawab dan fungsi mungkin berbeda-beda,
namun tiap pelayan dalam staf pelayan gereja memang benar-benar pelayan, dan tiap pelayanan
adalah pelayanan yang benar. 3

2.2.Sikap-sikap para pelayan dalam relasinya dengan sesama pelayan


a. Saling membangun dan mendukung

Setiap orang di dalam tubuh Kristus harus saling membangun sampai semuanya mencapai
kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (Ef 4:13).
Pelayanan tidak hanya sebatas pada keselamatan saja, melainkan harus berusaha memimpin setiap
orang kepada kesamaan seperti Kristus yang sempurna. Para pelayan harus belajar membagikan
hidupnya yang baru kepada orang lain, perlu bertumbuh makin lama makin dewasa. Amanat agung,
perintah Kristus kepada para pengikutNya pada akhir pelayananNya di dunia, juga mencakup tujuan
ini. Gereja yang melayani anggota jemaatnya, agar bertumbuh dewasa kehidupan rohaninya, perlu
memberikan bimbingan dan konseling dalam pergumulan mereka staf pelayan gereja. Dengan
keberhasilan memuridkan anggota staf dan mendewasakan rohaninya, maka mereka akan
mendukung tugas pelayanan gereja dan akan lebih efektif dan bertanggung jawab dalam tugasnya.

b. Memperhatikan kesejahteraan kehidupan rekan sekerja

Empati tidak sama artinya dengan simpati, karena simpati merupakan merasakan hal yang
sama seperti yang dimiliki oleh orang lain, dan lebih pada hal emosional. Tetapi empati terutama
bersifat kognitif, yang memahami orang lain dari sudut pandangan orang lain. Di dalam Filipi 2:4,
dikatakan “Dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi
kepentingan orang lain juga”. Seorang pelayan harus mengidentifikasikan setiap orang yang ingin
di tolong dengan menempatkan diri kita pada tempatnya, serta menyadari apa rasanya bila kita
menghadapi kehidupan dengan latar belakangnya, dengan kemampuan ataupun
ketidakmampuannya, dan lingkungan teman-temannya. Tanpa empati seorang pelayan tidak akan
memiliki kepekaan yang sungguh-sungguh kepada orang lain. Dalam hal ini, pemimpin gereja harus
peka terhadap kesejahteraan rekan sekerjanya, sebab pemimpin tanpa staf juga tidak dapat berbuat
apa-apa. Pemimpin jemaat perlu segera menanggapi pergumulan rekan sekerja pelayan, dan
memberikan pelayanan dan yang dibutuhkan tanpa menunda waktu. Demikian juga tidak memeras
tenaga, serta mempekerjakannya untuk kepentingan pribadi atau keluarganya.4

3
Joe E. Trull dan James E. Carter, Op. Cit., hlm. 173.
4
Karel Sosipater, Etika Pelayanan, Jakarta, Suara Harapan Bangsa, 2010, hlm 155-158.
c. Tidak bersikap otoriter

Seorang pendeta atau pemimpin gereja tidak dibenarkan dalam keadaan apapun bersikap
merendahkan, mempermalukan, atau mengejek staf dan bawahannya, khususnya di hadapan orang
lain atau jemaat. Ketika pun wewenang itu ada di tangan pemimpin gereja, dia tidak boleh
menyalahgunakan wewenangnya, atau bersikap diktator, tetapi hak manusia itu juga perlu dijaga.
Selain itu, pemimpin gereja juga harus memperlakukan dengan sikap adil terhadap semua staf yang
bekerja di gereja. Sikap ini perlu dilakukan secara terbuka tidak hanya secara pribadi saja, sehingga
rekan-rekan lainnya juga melihat, dan memang jelas terlihat sikap kepemimpinan dari pemimpin
gerejanya yang adil bagi semua staf atau rekan kerjanya. Tidak ada diskriminasi atau pertentangan
terselubung. Bukan hanya itu saja, dalam pelayanan perlu juga memberikan penghargan atas hasil
kerja yang berprestasi. Penghargaan akan merangsang suasana kerja untuk meningkatkan prestasi
kerja, dan tanpa teguran maka yang bersangkutan tidak akan menyadari bagi mereka yang tidak
disiplin dalam melayani.

d. Memandang sebagai rekan pelayanan, bukan bawahan atau pegawainya

Dalam pelayanan gereja, pelayan gereja atau pun pimpinan gereja harus memperlakukan
hamba Tuhan yang lainnya dan yang mendampinginya dalam melaksanakan tugas pelayanan
penggembalaan gereja, ssebagai “rekan kerja” yang bersama melayani demi kemuliaan Tuhan,
bukan untuk kebesaran nama pribadinya, dan bukan memandang mereka sebagai bawahan atau
pegawainya. Kristuslah yang menjadi kepala gereja dan pendeta serta rekan kerja lainnya menjadi
hambaNya. Jika para pelayan gereja menyadari bahwa mereka semua adalah bekerja untuk Tuhan,
maka tidak sulit untuk menjadikan pelayana lainnya menjadi rekan sekerja. Akan tetapi, bila
seseorang berpikir bahwa gereja adalah miliknya, maka ia akan memperlakukan pelayan gereja
lainnya sebagai pegawai yang dibayar. Sikap diperlakuka sebagai rekan pelayanan, maka akan
meningkatkan rasa tanggung jawab mereka dalam pelayanan, dan mendukung untuk program
pelayanan yang lebih besar. Bukan hanya itu saja, hubungan mereka juga akan baik sebagai atasan
maupun bawahan dalam kerja, akan menampilkan suasana lebih ramah dan harmonis.5

Pekerja Kristen tidak boleh memandang teman atau orang lain sebagai obyek untuk
dimanfaatkan ataupun dipermainkan. Akan tetapi memandang orang lain dan rekan sekerjanya
sebagai yang perlu dilayani, dan pelayanannya sebagai bimbingan kepada mereka. Akan tetapi,
memang seringkali bekerja dalam suatu hierarki yang terdiri dari berbagai tingkatan posisi dan
wewenang, yang mempermudah si pekerja untuk menganggap dirinya lebih sebagai bos dari pada
seorang pembimbing yang lembut. Sehingga semua sikap ini disimpulkan dalam satu kata, “kasih”,

5
Ibid., hlm. 160-166.
kasih yang diperlihatkan Allah kepada kita. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini,
sehingga...” (Yoh 3:16). Maka demikianlah kiranya motivasi dan sikap kita kepada orang lain harus
muncul dari kasih yang memberi.

e. Sikap seorang hamba

Yesus menolong murid-muridNya untuk mengerti sikap yang tidak boleh dan yang harus
dimiliki, dengan memberikan suatu perbandingan: “Pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa
memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan
keras atas mereka. Demikian juga di Markus 10: 45 “ karena Anak Manusia juga datang bukan
untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi
banyak orang. Pelayan Kristen seharusnya selalu mencari jalan untuk melayani orang lain, bukan
supaya ia dilayani orang lain. Akan tetapi, kecenderungannya manusia mencari keuntungan untuk
diri sendiri. Tetapi Yesus Kristus, yang walaupun dalam rupa Allah, mengosongkan diriNya sendiri,
dan mengambil rupa seorang hamba (Flp 2:5-7).

Segala sesuatu yang dilakukan pelayan Kristen, diarahkan untuk melayani orang lain, tetapi
motif-motif yang mendasarinya sama sekali bersifat egoistis. Seseorang yang menikmati perasaan
kekuasaan yang ia peroleh dari posisi wewenang atau kepemimpinannya, atau egonya mungkin
membutuhkan pujian dan pengakuan orang lain yang sering muncul dengan pelayanan yang lebih
jelas dan bersifat “cari muka”. Pelayan Kristen harus memandang dirinya sebagai hamba dan harus
rindu untuk memenuhi kebutuhan orang lain.6

f. Memiliki Kolegialitas

Kolegialitas yang dimaksud ialah rasa setia kawan terhadap teman sekerja. Para pelayan
melayani Allah bersama-sama, dan bekerja sebagai rekan sekerja dalam pelayanan untuk Tuhan.
Tiap pelayan sebaiknya paham bahwa pelayanannya signifikan sebagai bagian dari tim, namun
karena perbedaan talenta, pengalaman, dan pendidikan, tanggung jawab mungkin tidak selalu sama
persis. Oleh karena itulah pelayan senior harus bisa menjadi kunci terwujudnya kerja sama,
kepercayaan, dukungan, komunikasi, kasih, dan pemahaman tiimbal balik. Memahami pelayanan
staf pelayan sebagai kolegialitas sejalan dengan ajaran Yesus tentang “kehambaan” (servanthood).
Yesus menentang para pemimpin pada masaNya ketika mengajarkan kepada para pengikutNya
bahwa tanda kepemimpinan yang efektif bukanlah dengan menjadi tuan atas orang lain, melainkan
dengan melayani orang lain (Mrk. 10:42-45). Para hambaNya berkuasa hanya dengan melayani.
Para pelayan gereja harus bisa meneladankan kepada jemaat model pelayanan hamba melalui relasi

6
Ronald W. Leigh, Melayani Dengan Efektif, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 2004, hlm. 26-29.
mereka satu sama lain dan pelaksanaan tanggung jawab mereka. jika warga jemaat melihat para
pelayan selalu saling menjatuhkan, agar lebih mendapat pengakuan di gereja, dan tidak bisa berelasi
dengan baik dengan sesama pelayan, maka mereka akan sangat sulit memahami makna hamba
dalam nama Kristus.

Ciri-ciri yang harus dimiliki anggota jajaran pelayan berasal dari Kitab Kejadian 18: 13-23.
Ciri pertama adalah kemampuan. Orang yang melakukan tugas pelayanan apa pun harus mampu
menyelesaikan pekerjaannya. Kemampuan bersumber dari karunia spiritual pemberian Allah, bakat
alami yang dimiliki, serta ketrampilan dan pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan dan
pengalaman. Ciri kedua ialah komitmen, yang seharusnya dimiliki oleh para pelayan serta
berkomitmen kepada Kristus, gereja, dan Kerajaan Allah. Ciri ketiga, kompetensi. Artinya
pemimpin atau para pelayan layak dipercaya. Orang yang layak dipercaya adalah orang yang layak
mendapatkan kepercayaan, mereka kompeten untuk menjalankan tugas yang merupakan panggilan
Allah dan gereja keepada mereka. Ciri keempat adalah karakter. Karakter adalah sebagai ciri
mendasar pelayan. Para pelayan yang berkarakter baik menjelmakan roh Kristus dalam hidup
mereka.7

g. Konsekuensi

Relasi yang etis dan mendewasakan di antara staf pelayan gereja membuat para pelayan
dapat bekerja secara efektif. Menciptakan iklim yang sehat agar para pelayan dapat melakukan
pekerjaan sebaik-baiknya adalah tanggung jawab pemimpin staf pelayan gereja. Maka dalam hal ini
perlu dilakukan dengan menghilangkan tekanan pelayanan dan menantang para pelayan untuk
mencapai standar pelayanan tertinggi. Sesama pelayan harus mampu membuat teman sekerja
merasa diterima, diteguhkan, dan dihargai. Relasi etis semacam ini di antara para pelayan membuat
mereka sanggup menahannya karena mereka melayani bersama-sama. Relasi yang etis membantu
staf pelayan gereja melaksanakan pelayanan, memenuhi kebutuhan warga jemaat, meneladankan
model pelayanan hamba, dan memuaskan jemaat. Beberapa rambu-rambu yang terkait dengan relasi
etis para pelayan ialah: Saling menghormati sebagai pribadi dan pelayan, saling memperhatikan,
mengakui bahwa tiap anggota staf pelayan gereja memiliki masalah dan memandang hal ini sebagai
kesempatan bertumbuh dan bukan perpecahan. Kemudian juga menangani konflik secara objektif,
mengambil waktu khusus untuk melepaskan kepenatan di gereja dan berusaha untuk lebih mengenal
pribadi satu sama lain, serta harus mengingat bahwa para pelayan gereja menggambarkan relasi
kepada seluruh jemaat.

7
Joe E. Trull dan James E. Carter, Etika Pelayan Gereja, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 2014, hlm. 173-177.
Dengan mengikuti pedoman tersebut, sleuruh pelayan gereja bisa melayani Allah bersama-
sama sebagai rekan sekerja, bukan pesaing. Pada akhirnya, gereja diuntungkan dan pelayanan
dihargai, bukan direndahkan. Para pelayan sebaiknya berpikir bagaimana pekerjaan diselesaikan,
bukan sibuk memikirkan siapa yang dipuji. Bekerja sebagai tim dengan semangat kolegialitas
membuat target bisa tercapai.8

2.3.Pembangunan Jemaat

Pembangunan jemaat adalah pengertian iman dan teologis. Dalam tradisi religius Kisah Para
Rasul, istilah oikodomein dihubungkan gereja dan menjadi istilah inti. Jemaat itu dibangun
(oikodomein) dan hidup dalam takut akan Tuhan. Penggunaan oikodomein berbicara kuat mengenai
gereja sebagai bangunan Roh Kudus, yang menunjuk kepada kegiatan apostolis, di mana Rasul
sendiri mendirikan, meletakkan dasar, dan membangun. Oikodomein juga dikaitkan dengan
kegiatan warga gereja yang satu dengan yang lain, dengan kegiatan yang bersifat meneguhkan,
membangun, menegur hal atau orang yang kurang baik, menguatkan mereka yang kecil hatinya,
mendukung mereka yang lemah dan bersabar dengan semua orang. Kegiatan antarwarga itulah yang
oleh rasul Paulus disebut sebagai ‘pembangunan’ (oikodomei), sepertinya hal nya juga bernubuat.
Bagi Paulus istilah “membangun jemaat” adalah untuk kepentingan jemaat seluruhnya bukan
kepentingan perorangan. Pembangunan jemaat mengarahkan diri kepada perwujudan Karya
Penyelamatan Allah sebagaimana di dalam Perjanjian Lama dan Baru. Karya penyelamatan itu
tertuju kepada manusia.9

Pembangunan atau pertumbuhan adalah pembagunan atau pertumbuhan yang intensif atau
pertumbuhan yang ekstensif. Pertumbuhan yang intensif diartikan sebagai pertumbuhan supaya
anggota-anggota jemaat mereka mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang
Yesus sebagai Anak Allah dan mencapai kedewasaan penuh, sehingga mereka tidak diombang-
ambing oleh rupa-rupa pengajar yang menyesatkan. Melalui anggota-anggota jemaat pembangunan
jemaat atau pertumbuhan mereka tidak boleh kita anggap sebagai pembangunan atau pertumbuhan
individual, tetapi sebagai pertumbuhan atau pembangunan bersama.10Sehingga dengan adanya
pembangunan jemaat, maka akan menciptakan gereja yang missioner, yang mengambil langkah,
tidak menunggu, tetapi keluar untuk memulihkan hubungan baik dengan sesama kita dan
mengabarkan Injil keselamatan itu kepada dunia yang sarat dengan masalah dan perubahan serta
kemajuan. Kemudian, gereja juga menampakkan dirinya tidak asing di tengah lingkungannya dan
kemasyarakatannya. Gereja missioner oleh karena karya Roh Kudus berbuat sesuatu agar tidak

8
Ibid., hlm. 177-178.
9
P.G.van Hooijdonk, Batu-batu yang Hidup, Yogyakarta, Kanisius, 1996, hlm. 4-8.
10
J. L. Ch. Abineno, Pokok-pokok Penting Dari Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1989, hlm. 207-208.
kehilangan jati dirinya dan memudar identitasnya. Gereja dan warga jemaatnya melayani dan
mempunyai solidaritas terhadap lingkungannya.11

III. Relasi Pelayan (Partohonan) Dan Pengaruhnya Bagi Pembangunan Jemaat Di


HKBP Tambunan
3.1.Selayang pandang HKBP Tambunan

Gereja HKBP Tambunan adalah salah satu gereja yang termasuk dalam kawasan kota Balige
dan merupakan gereja ressort. HKBP Tambunan Ressort Tambunan Distrik XI Toba Hasundutan
dibangun pada tanggal 5 September 1959 di Tambunan Lumban Pea. HKBP Tambunan ini terletak
di Desa Tambunan, dan merupakan salah satu gereja dipinggir jalan lintas Sumatra, yang
beralamatkan di Jl. Pargodungan No. 1, Desa Tambunan, Kec: Balige, Kab: Toba Samosir, Provinsi
Sumatera Utara. Gereja ini memiliki 3 orang pelayan fulltimer di antaranya ialah Pdt. Lintong
Sitorus sebagai pimpinan gereja, Bvr. Melva Simarmata, dan Gr. Herbin Sihombing, dan juga
beserta para sintua lainnya.

3.2. Relasi Pelayan (Partohonan) dengan rekan kerja

Relasi yang dimaksud dalam hal ini ialah suatu hubungan, namun tidak bisa dinyatakan
hanya sebagai hubungan saja melainkan adanya ikatan persaudaraan (parhahamaranggion).
Dikatakan relasi tidak hanya sebatas hubungan kerja di dalam gereja. Jika persaudaraan baik dan
dipupuk di dalam sebuah gereja, di dalam pelayan fulltimer yang berbeda tahbisan, maka pelayanan
dalam gereja pun akan baik dan bertumbuh. Akan tetapi, sebaliknya jika ada di antara para pelayan
yang menganggap dirinya sebagai yang paling berkuasa, yang lebih tua dari segi usia, lebih jago,
dan lain sebagainya maka semua kegiatan gereja dan pertumbuhan jemaat akan terbengkalai. Di
dalam pelayanan gereja pertumbuhan dan pembangunan jemaat akan terbengkalai, ketika ada di
antara para pelayan fulltimer yang memiliki ego yang tinggi. Walaupun ketika pemimpin gereja
bersikap baik, namun apabila di antara rekan kerjanya tidak ada hubungan yang baik, maka hasilnya
juga sama saja tidak ada perkembangan. Hal ini lebih jelas ditekankan dalam umpama orang Batak,
yang berbunyi “Hau namarsijonohan do na marsiososan”.12

Di dalam relasi pelayanan, Bibelvrouw dianggap sebagai orang yang bisa disuruh-suruh,
terlebih jika di dalam gereja ada Guru Huria, seakan-akan pelayan Bibelvrouw adalah nomor tiga di
antara pelayan fulltimer yang ada di gereja Hkbp Tambunan, yaitu Pendeta, Guru Huria dan
Bibelvrouw. Bahkan struktur ini sudah terpatri di dalam pemikiran warga jemaat gereja dalam
segala hal.

11
Midian KH Sirait, Menjadi Gereja Missioner, Jakarta, Seri Bina Warga, 1999, hlm. 61.
12
Hasil Wawancara, ( M. Simarmata, Pelayan, 29 thn, HKBP Tambunan), Pukul 19.00 WIB.
3.2.1. Dalam Pembagian tugas

Di dalam pembagian tugas pelayanan, Bibelvrouw lebih banyak melakukan tugas-tugas


pelayanan dalam gereja. Selain dari pembagian tugas, pembagian yang lainnya misalnya
hamauliateon, lebih sedikit dibanding yang fulltimer lainnya. Dalam hal ini, tugas dalam
pengajaran sidi yang juga diemban oleh Bibelvrouw selama satu tahun, yang lebih banyak
memberikan waktu dalam mengajar sidi, namun ketika pembagian hamauliateon, bagian
Bibelvrouw jauh bandingannya dengan Pendeta dan Guru Huria. Hal ini merupakan gesekan yang
sering terjadi dalam hubungan sesama pelayan fulltimer di gereja. Di satu sisi, ada pelayan yang
merasa diperlakukan tidak adil dan setara, jika dibandingkan apa yang ia kerjakan, dan yang ia
terima dibanding dengan pelayan lainnya. Diskriminasi bisa terjadi oleh karena jarak, struktur,
keadaan sosial, jenis kelamin.

Relasi sesama pelayan fulltimer bisa rusak oleh karena mereka tidak lagi menyadari siapa
mereka sesungguhnya, tidak tahu siapa dia dan bahkan tidak mau tahu. Jika pendeta, guru huria dan
pelayan lainnya menganggap dirinya sebagai pelayan, tentu ia akan memiliki prinsip “Mari sama-
sama melayani”. Tidak ada kasih Tuhan tinggal di dalam diri pelayan, sehingga relasi bisa rusak.
Para pelayan yang mengandalkan Tuhan di dalam hidupnya, di dalam pelayanannya ia tidak akan
rakus, tidak jahat, tidak egois, melainkan melakukan kebaikan, walaupun akan sering terbentur. Di
dalam membangun relasi yang baik dengan sesama pelayan, terlebih dahulu harus membangun
relasi yang baik dengan Tuhan.13 Di dalam pembagian tugas memang sering terbengkalai, karena
sesungguhnya para pelayan sudah dispesifikkan di bagian-bagian mana saja ia harus bertugas. Akan
tetapi di antara pelayan, selalu ada yang merasa hebat, merasa terlalu dibebani dengan tugas
pelayanan, tidak berterima dengan tugas-tugas tersebut. Selain daripada tugas-tugas yang sudah
dikhususkan, dalam tugas lainnya ada faktor kecemburuan ketika ia tidak ikut serta dan juga
terkadang ada penolakan ketika tugas di limpahkan kepada pelayan lainnya dengan alasan-alasan
tertentu.14 Tidak ada komunikasi yang baik dalam pembagian tugas-tugas pelayanan dalam gereja.
Ada pelayan yang mengambil tugas yang bukan bagiannya, istilahnya terlalu mencampuri pekerjaan
orang lain.15 Sedangkan menurut jemaat sendiri, mereka tidak terlalu mencampuri tugas-tugas para
pelayan, “ai halaki do na mamboto angka aha ulaon nasida, jala halaki do na angka marbagi be disi,
anggo hami ruas on dang apala huantusi hami i, alai naung tangkas binoto molo Bibelvrouw bah tu
Ina ma ulaonna”.16

13
Hasil Wawancara, ( M. S, Pelayan, 29 thn, HKBP Tambunan), Pukul 19.00 WIB.
14
Hasil Wawancara, ( L. S , Pelayan, 45 thn, HKBP Tambunan), Pukul 16.15 WIB.
15
Hasil Wawancara, ( H.S , Pelayan, 47 thn, HKBP Tambunan), Pukul 17.30 WIB
16
Hasil Wawancara, ( A.T, Jemaat, 42 thn, HKBP Tambunan), Pukul 13.00 WIB.
3.2.2. Pembagian hamauliateon

Di dalam pembagian hamauliateon , jika ada relasi yang baik, ada rasa persaudaraan maka
tidak akan ada ketimpangan dalam pembagian tersebut yang dapat menimbulkan kecemburuan.
Misalnya, pemimpin gereja dan guru huria yang tidak berterima jika itu sama ratakan, selalu ingin
lebih banyak. Tidak ada pemikiran bahwa karena mereka sama-sama melayani, maka perlu ada
pembagian yang adil tidak berbeda jauh. Jika ia membangun relasi yang baik dengan Tuhan, tentu
ia akan memikirkan hal tersebut. Tetapi ini sebaliknya, mementingkan diri sendiri, tidak saling
mendukung, dn tidak memperhatikan kesejahteraan hidup satu sama lain, karena relasi yang
dibangun dengan Tuhan tidak baik, maka relasi dengan para pelayan lainnya pun tidak baik. Para
pelayan sesungguhnya perlu menyadari bahwa relasi pelayan itu adalah parhahamaranggion, tidak
hanya sebatas mitra tetapi satu di dalam Tuhan. Jika rasa persaudaraan itu ada, maka di dalam
pelayanan tidak akan ada terjadi masalah pelecehan seksual sesama pelayan, tidak hanya
mementingkan perut sendiri. Melainkan ia akan merasa bahwa, ketika ia makan maka yang lainnya
juga harus makan, gaji nya naik maka gaji temannya juga akan naik.17

Pembagian hamauliateon tidak sepatutnya disamaratakan, baik antara Pendeta dengan


Bibelvrouw, Pendeta dengan Guru Huria. Bagaimana hal itu bisa disamakan, sedangkan dalam
tugas-tugas juga sudah berbeda, demikian juga dalam hal tingkatan pemimpin gereja, dan pelayan
lainnya.18 Demikian halnya dengan Guru Huria tidak sepaham jika pembagian ini di ratakan antara
Pendeta, Bibelvrouw dan Guru Huria. Khususnya Guru Huria tidak terima jika pembagian untuk dia
sama dengan pembagian untuk Bibelvrouw, karena dari segi struktur dia lebih tinggi dibanding
Bibelvrouw tersebut.19 Pemikiran ini juga sudah terpatri di dalam warga jemaat, bahwa Guru Huria
lebih tinggi tingkatannya dari Bibelvrouw, sehingga dalam memberi hamauliateon pun, urutan yang
lebih besar itu yang pertama ialah kepada Pendeta karena menganggap ia sebagai pimpinan gereja,
yang kedua adalah Guru Huria dan yang terakhir ialah Bibelvrouw, dengan perbandingan yang
berbeda jauh.20 Sehingga pada akhirnya pembagianan tersebut dirapatkan dalam rapat huria, dengan
keputusan dilakukan dengan cara persenan ( %).

3.2.3. Manajemen yang kurang baik

Pemimpin gereja harus bersikap tegas namun tidak otoriter. Manajemen gereja merupakan
bagian dari tugas pemimpin gereja. Namun, dalam hal ini manajemen gereja kurang baik, sehingga
pelayanan lainnya pun terkendala, bahkan jarang untuk dibicarakan di dalam perkumpulan

17
Hasil Wawancara, ( M. S, Pelayan, 29 thn, HKBP Tambunan), Pukul 19.00 WIB.
18
Hasil Wawancara, ( L. S , Pelayan, 45 thn, HKBP Tambunan), Pukul 16.15 WIB.
19
Hasil Wawancara, ( H.S , Pelayan, 47 thn, HKBP Tambunan), Pukul 17.30 WIB.
20
Hasil Wawancara, ( A.T, Jemaat, 42 thn, dan S.T, Jemaat, 35 thn, HKBP Tambunan), Pukul 13.00 WIB
parhalado. Sehingga ketika Bibelvrouw mengingatkan dalam hal ini roster-roster berkhotbah pada
ibadah minggu dan partangiangan, maka tugas tersebut dilimpahkan pendeta kepada Bibelvrouw.
Hal ini akan sangat berdampak pada pertumbuhan iman jemaat, oleh karena pelayanan yang
tertinggal (marsipasombuan). Ketika Bibelvrouw membuat gagasan untuk membuat bazar bersama
kumpulan ibu-ibu untuk pembangunan gereja, jemaat menganggap bahwa itu adalah ide-ide dari
pendeta yang memang tidak pernah ikut merumuskan ide-ide ini, karena tidak ada manajemen yang
baik yang perlu dibawa dalam rapat-rapat huria. Akan tetapi, jemaat lebih memandang yang disebut
sebagai pendeta dalam gereja, karena ia pimpinan. Bibelvrouw yang bekerja akan tetapi nama baik
pelayan lain yang mendapat penghargaan. Walaupun demikian, harus ditanamkan dalam hati,
bahwa kita melayani bukan untuk gereja, melainan hanya untuk Tuhan, karena yang menilai semua
pelayanan itu adalah Tuhan, bukan pujian dari manusia.21

3.2.4. Komunikasi yang tidak baik (Miskomunikasi)

Permasalahan yang sering terjadi antar sesama pelayan juga disebabkan oleh
miskomunikasi. Bibelvrouw jarang sekali mendapat informasi dari sintua, mereka lebih sering
menginformasikan sesuatu hal kepada pendeta dan guru huria, oleh karena pandangan yang
menomor tigakan Bibelvrouw. Misalnya, dalam ada acara mengongkal holi yang akan diadakan jam
9, akan tetapi pendeta memberi informasi kepada Bibelvrouw jam setengah sembilan. Padahal
sesungguhnya kecepatan antara laki-laki dan perempuan itu berbeda dan juga urusan-urusan rumah
tangga lainnya. Walapun demikian Bibelvrouw tidak ketinggalan dalam melayani, misalnya
walaupun memiliki anak, dia tetap melayani dengan cara menggendong anak tersebut. Bukan hanya
itu saja, ketika ada rasa sakit hati sesama pelayan, maka hal ini akan dibeber-beberkan kepada
jemaat bahkan di luar jemaat. Padahal di sisi lain pelayan lainnya tidak merasa bahwa ada
permasalahan. Alangkah baiknya, keterbukaan itu ada dan menyelesaikan persoalan itu secara
bersama dan tidak saling menjatuhkan. Secara tidak langsung jemaat tidak menyadari bahwa
mereka juga adalah pelaku yang menyebabkan renggangnya hubungan antara pelayan fulltimer,
dengan diskriminasi yang mereka lakukan. Akan tetapi ketika ada kesadaran dari beberapa jemaat
untuk menyetarakan oleh karena sudah ada kesadaran, maka di antara pelayan tidak berterima untuk
disetarakan, terutama dalam pembagian ucapan terimakasih. Di satu sisi ada kerinduan pelayan
untuk memperbaiki relasi yang sudah rusak dengan cara berkumpul di malam tahun baru bersama
keluarga pelayan fulltimer, di sisi lain ada pelayan yang tidak begitu setuju dengan usulan ini.

21
Hasil Wawancara, ( M. S, Pelayan, 29 thn, HKBP Tambunan), Pukul 19.00 WIB.
Sebuah relasi dibangun untuk saling mengenal. Akan tetapi bagaimana bisa saling mengenal jika
tidak ada komunikasi dan perjumpaan yang baik antar sesama pelayan.22

IV. Analisis

Berdasarkan materi dan hasil penelitian yang penulis uraikan di atas, bahwa ternyata relasi
pelayan (partohonan) di dalam gereja tidak selalu baik, khususnya dalam gereja HKBP Tambunan.
Tidak selalu baik bila diperbandingkan dengan apa yang tercantum dalam materi, bahwa di dalam
materi pembahasan menyatakan bahwa dalam relasi pelayan itu harus ada sikap saling mendukung
dan membangun, memperhatikan kesejahteraan rekan pelayan lainnya, memiliki kolegialitas untuk
menjadikan gereja yang missioner, untuk menjalin kerjasama yang baik. Namun pada kenyataannya
dalam realita, hal tersebut berbanding terbalik, tidak ada kerjasama yang baik, tidak ada komunikasi
yang baik sesama pelayan, tidak saling mendukung bahkan menjatuhkan. Ini terjadi oleh ego yang
tinggi, melayani dengan sikap yang individualisme, materialisme dan lain sebagainya yang dapat
merusak relasi sesama pelayan. Relasi bisa buruk dan rusak oleh karena diskriminasi yang kuat baik
dari pelayan itu sendiri maupun dari jemaat, oleh karena sudah demikian diartikan dari struktur
HKBP. Maka sebaiknya perlu ada kesetaraan, dan melenyapkan pendiskriminasian yang hanya
merusak relasi satu dengan yang lainnya.

V. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa para pelayan perlu melihat
orang yang melayani bersama mereka adalah rekan sekerja yang ingin mencapai target spiritual
bukan sebaliknya sebagai pesaing dan mau mengalahkan dan menjatuhkan satu sama lain.
Demikian juga menganggap satu sama lain sebagai saudara, tidak hanya sebatas rekan kerja atau
mitra. Para pemimpin gereja adalah rekan sekerja pelayan. Hal yang mendasari relasi yang baik
dengan sesama pelayan ialah membangun relasi yang baik terlebih dahulu dengan Tuhan. Demikian
juga percaya bahwa pelayan peka terhadap pimpinan Roh Kudus, lebih perduli terhadap
kesejahteraan spiritual mereka daripada “reputasi kepelayanannya”, dan menjadi pribadi yang
berintegritas.

22
Hasil Wawancara, ( M. S, Pelayan, 29 thn, HKBP Tambunan), Pukul 19.00 WIB.
Daftar Pustaka

Eilers, Franz-Josef, berkomunikasi dalam pelayanan dan misi, Yogyakarta, Kanisius, 2008.

Abineno, J. L. Ch, Pokok-pokok Penting Dari Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1989.

Trull, Joe E. dan Carter, James E., Etika Pelayan Gereja, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 2014.

Sosipater, Karel, Etika Pelayanan, Jakarta, Suara Harapan Bangsa, 2010.

Sirait, Midian KH, Menjadi Gereja Missioner, Jakarta, Seri Bina Warga, 1999.

Hooijdonk, P.G.van, Batu-batu yang Hidup, Yogyakarta, Kanisius, 1996.

Leigh, Ronald W, Melayani Dengan Efektif, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 2004.

Sumber wawancara:
Hasil Wawancara, ( M. Simarmata, Pelayan, 29 thn, HKBP Tambunan), Pukul 19.00 WIB.

Hasil Wawancara, ( M. S, Pelayan, 29 thn, HKBP Tambunan), Pukul 19.00 WIB.

Hasil Wawancara, ( L. S , Pelayan, 45 thn, HKBP Tambunan), Pukul 16.15 WIB.

Hasil Wawancara, ( H.S , Pelayan, 47 thn, HKBP Tambunan), Pukul 17.30 WIB

Hasil Wawancara, ( A.T, Jemaat, 42 thn, HKBP Tambunan), Pukul 13.00 WIB.

Hasil Wawancara, (S.T, Jemaat, 35 thn, HKBP Tambunan), Pukul 13.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai