Anda di halaman 1dari 76

5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Adanya kegiatan penambangan, seperti penggalian pada suatu lereng

akan menyebabkan terjadinya perubahan besarnya gaya-gaya pada lereng

tersebut yang mengakibatkan terganggunya kestabilan lereng dan pada

akhirnya dapat menyebabkan lereng tersebut longsor. Dalam merancang

suatu tambang terbuka harus dilakukan suatu analisis terhadap kestabilan

lereng yang terjadi karena proses penimbunan maupun penggalian sehingga

dapat memberikan kontribusi rancangan yang aman.

Stabilitas dari lereng individual biasanya menjadi masalah yang

membutuhkan perhatian yang lebih bagi kelangsungan operasi

penambangan setiap harinya. Longsornya lereng pada suatu jenjang, yang

berdekatan dengan batas properti atau instalasi penting, dapat menyebabkan

bermacam gangguan pada program penambangan.

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, penulis mengambil

judul Analisis Kestabilan Lereng di PT Unirich Mega Persada, Desa Hajak,

Kecamatan Teweh Baru, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan

Tengah.
6

1.1. Rumusan Masalah

1. Berapa besar nilai faktor keamanan (safety factor) lereng di Pit 5 PT.

Unirich Mega Persada ?

2. Bagaimana model kelerengan pada Pit 5 PT.Unirich Mega Persada

berdasarkan nilai factor keamanan (safety factor) ?

1.2. Maksud dan Tujuan

1.2.1. Maksud

Adapun maksud dari tugas akhir ini adalah menganalisis

kestabilan lereng tambang untuk membantu menghasilkan suatu

rancangan kelerengan tambang yang aman berdasarkan nilai faktor

keamanan yang di ketahui.

1.2.2. Tujuan

1. Menganalisis nilai faktor keamanan lereng di PT Unirich Mega

Persada.

2. Merekomendasikan model kelerengan yang efektif dan stabil pada

pit 5 PT Unirich Mega Persada.

1.3. Manfaat

Dengan adanya kegiatan penelitian tugas akhir ini ada beberapa

manfaat yang dapat diperoleh, diantaranya :

1. Bagi Mahasiswa
7

Terbantu dalam proses untuk memperoleh data aktual yang

berhubungan dengan penelitian yaitu mengenai Analisis kesetabilan

Lereng. Sebagai penerapan ilmu pertambangan yang terkait dengan ilmu

yang didapatkan di perkuliahan.

2. Bagi Perusahaan

Memperoleh data actual mengenai kemajuan kegiatan

penambangan. Mengetahui permasalahan yang terjadi dalam kegiatan

penambangan, khususnya tentang Analisis kestabilan lereng,

Memperoleh saran dan masukan/solusi tentang permasalahan yang

terjadi. Dapat dijadikan bahan pertimbangan atau usulan untuk

meningkatkan produksi maupun program yang akan dilaksanakan.

3. Bagi Pemerintah

Sebagai Informasi adanya kegiatan pertambangan di daerah

tersebut atau laporan kegiatan penambangan yang dilakukan perusahaan

di daerah tersebut dan untuk dasar pertimbangan pemerintah memberikan

izin usaha tambang di masa yang akan datang.

1.4. Batasan Masalah

Dalam tugas akhir ini peneliti membatasi masalah yang mengarah

pada design lereng. Hal ini meliputi :

1. Analisis kestabilan lereng dan bentuk kelerengan.

2. Faktor – faktor kesetabilan lereng.

3. Model kelerengan berdasarkan nilai faktor keamanan.


8

4. Kondisi air tanah berdasarkan letak aquifer.

5. Membahas faktor kestabilan lereng dilihat dari kondisi tanah didaerah

penelitian.

6. Tidak membahas faktor ekonomi.

7. Faktor yang menjadi acuan berdasarkan kepmen 555.

8. Menganalisis singel dan overall bench pada lereng high wall.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

4.1. Penelitian Terdahulu

Robert Travolta Butar-butar 2006, Stabilitas lereng sangat erat

kaitannya dengan longsor atau gerakan tanah yang merupakan proses

perpindahan massa tanah secara alami dari tempat yang tinggi ketempat

yang lebih rendah. Pergerakan tanah ini terjadi karena perubahan

keseimbangan daya dukung tanah dan akan berhenti setelah mencapai

keseimbangan baru. Longsoran umumnya terjadi jika tanah sudah tidak

mampu menahan berat lapisan tanah di atasnya karena ada penambahan

beban pada permukaan lereng dan berkurangnya daya ikat antara butiran

tanah relief. Karena itu, harus dibuat suatu model/desain lereng tambang

yang sudah memperhitungkan kemantapan dan kestabilan lereng pada


9

daerah tersebut, jika operasi penambangan dilaksanakan. Adanya desain

lereng yang stabil dan tepat dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas

pertambangan yang maksimal, recovery cadangan yang optimal, dan

terjaminnya keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

K.Wattimena 2008, Kestabilan lereng tambang terbuka pada industri

pertambangan merupakan salah satu isu penting saat ini mengingat sebagian

besar perusahaan tambang di Indonesia meningkatkan produksinya.

Akibatnya perusahaan tambang tersebut melakukan pelebaran dan

pendalaman penggalian. Semakin lebar dan dalam tambang terbuka tersebut

dilakukan penggalian, maka tentunya akan semakin besar risiko yang akan

muncul, atau semakin meningkatkan ketidakpastian pada faktor - faktor

yang mempengaruhi kestabilan lereng tambang terbuka. Faktor - faktor

yang menyebabkan terjadinya risiko kelongsoran lereng mencakup sifat

fisik dan mekanik batuan, kondisi air tanah, karakterisasi massa batuan,

serta struktur yang ada pada batuan. Makalah ini mencoba menganalisis

risiko baik dari aspek probabilitas kelongsoran maupun dampak yang

ditimbulkan dari suatu longsoran lereng pada studi kasus tambang mineral.

Tentunya hasil analisis risiko ini dapat memberikan suatu keputusan tentang

kondisi kestabilan lereng tersebut, dan dapat memperkuat data

monitoring pergerakan lereng, sehingga dapat mereduksi risiko yang

lebih besar akibat kelongsoran tersebut.

2.2. Referensi Penulis


10

Dalam penulisan ini peneliti mencari referesi dari penelitian

sebelumnya sebagai bahan perbandingan, baik mengenai kekurangan atau

kelebihan yang sudah ada. Selain itu, peneliti juga mencari referensi dari

buku - buku maupun skripsi dan laporan kerja praktek dalam rangka

mendapatkan suatu referensi sebagai acuan perbandingan tentang teori yang

berkaitan dengan judul yang digunakan untuk memperoleh landasan teori

ilmiah.
32

4.3. Analisis Ketabilan Lereng

Suatu cara yang umum untuk menyatakan kestabilan suatu lereng

penambangan adalah dengan faktor keamanan. Faktor ini merupakan

perbandingan antara gaya penahan yang membuat lereng tetap stabil,

dengan gaya penggerak yang menyebabkan terjadinya longsor.

4.4. Kestabilan Lereng

Kestabilan dari suatu lereng pada kegiatan penambangan

dipengaruhi oleh kondisi geologi daerah setempat, bentuk keseluruhan

lereng pada lokasi tersebut, kondisi air tanah setempat, faktor luar

seperti getaran akibat peledakan ataupun alat mekanis yang beroperasi

dan juga dari teknik penggalian yang digunakan dalam pembuatan

lereng. Faktor pengontrol ini jelas sangat berbeda untuk situasi

penambangan yang berbeda dan sangat penting untuk memberikan

aturan yang umum untuk menentukan seberapa tinggi atau seberapa

landai suatu lereng untuk memastikan lereng itu akan tetap stabil.

Apabila kestabilan dari suatu lereng dalam operasi penambangan

meragukan, maka analisa terhadap kestabilannya harus dinilai

berdasarkan dari struktur geologi, kondisi air tanah dan faktor

pengontrol lainnya yang terdapat pada suatu lereng.

Kestabilan lereng penambangan dipengaruhi oleh geometri lereng,

struktur batuan, sifat fisik dan mekanik batuan serta gaya luar yang

bekerja pada lereng tersebut. Suatu cara yang umum untuk menyatakan

kestabilan suatu lereng penambangan adalah dengan faktor keamanan.

31
32

Faktor ini merupakan perbandingan antara gaya penahan yang membuat

lereng tetap stabil, dengan gaya penggerak yang menyebabkan

terjadinya longsor.

Faktor keamanan (FK) lereng tanah dapat dihitung dengan

berbagai metode. Longsoran dengan bidang gelincir (slip Surface), F

dapat dihitung dengan metode sayatan (slice method) menurut Fellinius

atau Bishop. Untuk suatu lereng dengan penampang yang sama, cara

Fellinius dapat dibandingkan nilai faktor keamanannya dengan cara

Bishop.

Data yang diperlukan dalam suatu perhitungan sederhana untuk

mencari nilai FK (Faktor keamanan lereng) adalah sebagai berikut :

1. Data lereng atau geometri lereng (terutama diperlukan untuk

membuat penampang lereng). Meliputi : sudut Kemiringan lereng,

tinggi lereng dan lebar jalan angkut atau berm pada lereng tersebut.

2. Data mekanika tanah

a. Sudut geser dalam (ɸ)

b. Bobot isi tanah atau batuan (γ)

c. Koehesi (c)

d. Kadar air tanah (ω)

3. Faktor Luar

a. Getaran akibat kegiatan peledakan.

b. Beban alat mekanis yang beroperasi.

31
32

Kestabilan lereng tergantung pada gaya penggerak dan gaya

penahan yang bekerja pada bidang gelincir tersebut. Gaya penahan

(resisting force) adalah gaya yang menahan agar tidak terjadi

kelongsoran, sedangkan gaya penggerak (driving force) adalah gaya

yang menyebabkan terjadinya kelongsoran. Perbandingan antara gaya-

gaya penahan terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah inilah yang

disebut dengan faktor keamanan (FK) lereng penambangan.

Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat

kestabilan lereng penambangan maka hasil analisa dengan FK = 1.00

belum dapat menjamin bahwa lereng tersebut dalam keadaan stabil. Hal

ini disebabkan karena ada beberapa faktor yang perlu diperhitungkan

dalam analisa faktor keamanan lereng penambangan, seperti

kekurangan dalam pengujian contoh di laboratorium serta contoh

batuan yang diambil belum mewakili keadaan sebenarnya di lapangan,

tinggi muka air tanah pada lereng tersebut, getaran akibat kegiatan

peledakan di lokasi penambangan, beban alat mekanis yang beroperasi .

Kestabilan dari suatu jenjang individual dikontrol oleh kondisi

geologi daerah setempat, bentuk keseluruhan lereng pada daerah tersebut,

kondisi air tanah setempat, dan juga oleh teknik penggalian yang digunakan

dalam pembuatan lereng. Faktor pengontrol ini jelas sangat berbeda untuk

situasi penambangan yang berbeda dan sangat penting untuk memberikan

aturan yang umum untuk menentukan seberapa tinggi atau seberapa landai

suatu lereng untuk memastikan lereng itu akan stabil.

31
32

Apabila kestabilan dari suatu jenjang dalam operasi penambangan

meragukan, maka kestabilannya harus dinilai berdasarkan dari struktur

geologi, kondisi air tanah dan faktor pengontrol lainnya yang terjadi pada

suatu lereng. Kestabilan lereng pada batuan dipengaruhi oleh geometri

lereng, struktur batuan, sifat fisik dan mekanik batuan serta gaya-gaya luar

yang bekerja pada lereng tersebut.

Suatu cara yang umum untuk menyatakan kestabilan suatu lereng

batuan adalah dengan faktor keamanan. Faktor ini merupakan perbandingan

antara gaya penahan yang membuat lereng tetap stabil, dengan gaya

penggerak yang menyebabkan terjadinya longsor (Hoek and Bray, 1981).

Secara matematis faktor kestabilan lereng dinyatakan sebagai berikut :

F = R / Fp .......................................................................................... (2.1)

Keterangan :

F = faktor kestabilan lereng.

R = gaya penahan, berupa resultan gaya-gaya yang

membuat lereng tetap stabil.

Fp = gaya penggerak, berupa resultan gaya-gaya yang

menyebabkan lereng longsor.

4.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng

Perubahan tegangan pada sisi lereng yang terbentuk, yang

disebabkan hilangnya beban pada sisi lain massa batuan akibat

pemotongan. Kondisi ini akan menyebabkan terkonsentrasinya tegangan

pada suatu daerah sempit sehingga akan menyebabkan terlampauinya

31
32

kekuatan massa batuan oleh tegangan yang terjadi, yang pada akhirnya

batuan yang bersangkutan akan pecah/failure (Lihat Gambar 2.1).

Konsentrasi tegangan

Gambar 2.1.
Ketidak Seimbangan Akibat Perubahan Tegangan
( Sumber : Pande, Beer, Williams. 1990 )

Hilangnya penyanggaan pada suatu blok batuan yang disebabkan

terpotongnya massa batuan yang sebelumnya menyangga blok batuan

tersebut. Dengan adanya penggalian, maka ketersingkapan bidang lemah

akan makin besar yang menyebabkan makin besarnya kemungkinan suatu

blok batuan kehilangan penyanggaan. Makin besar geometri lereng,

ketersingkapan bidang lemah akan makin besar (Lihat Gambar 2.2).

bidang lemah 1

arah longsoran blok batuan

blok penyangga
yang lepas bidang lemah 2

Gambar 2.2. Ketersingkapan Bidang Lemah


( Sumber : Pande, Beer, Williams.1990 )

31
32

Kedua ketidakseimbangan ini dapat saling sinergi sehingga

menyebabkan makin berisikonya kegiatan pemotongan/penggalian massa

batuan ini, hal ini terjadi karena massa batuan bukanlah suatu massa yang

solid tetapi merupakan massa yang terpotong–potong oleh bidang–bidang

lemah (bidang diskontinyu). Akibat penggalian akan menyebabkan

perubahan tegangan dan hilangnya penyanggaan pada blok batuan akan

terjadi bersamaan, bahkan perubahan tegangan tersebut dapat

menyebabkan makin melemahnya kuat geser bidang diskontinyu.

Pada kegiatan tambang dimana semakin tinggi lereng tunggal

(individual slope) dan terutama makin tingginya lereng keseluruhan

(overall slope), maka risiko kelongsoran akan semakin tinggi. Hal ini

terjadi karena makin tinggi lereng, maka perubahan tegangan akan

semakin besar dan bidang lemah yang tersingkap/terpotong akan makin

banyak.

Pada lereng tanah, ketidakstabilan lereng lebih banyak disebabkan

oleh perubahan tegangan akibat penghilangan beban pada sisi lereng yang

lain. Perubahan tegangan ini menyebabkan bergesernya suatu blok tanah

dimana kuat gesernya akan dilampaui yang pada akhirnya akan longsor.

Umumnya stabil atau tidaknya suatu lereng tergantung dari

beberapa faktor, antara lain :

1. Geometri lereng.

Makin tinggi lereng, makin besar risiko yang akan dihadapi. Hal

ini disebabkan karena makin tinggi lereng, maka makin besar

31
32

perubahan tegangan (stress) yang dapat menyebabkan konsentrasi

tegangan pada kaki lereng serta dengan makin besarnya geometri,

maka ketersingkapan struktur pun akan makin besar yang

menyebabkan terjadinya kelongsoran blok batuan.

Tegangan (stress) yang terkonsentrasi pada suatu area yang

sempit akan melampaui kekuatan batuan, sehingga batuan akan pecah

dan memprovokasi kelongsoran. Tegangan yang hadir pada lereng ini

disebabkkan karena adanya perubahan beban (hilangnya beban) diatas

dan disamping bidang lereng.

Pada beberapa daerah dimana tektonik stress hadir atau adanya

stress residu horisontal, maka pengaruh geometri ini akan makin

besar.

2. Bidang lemah

Kekuatan massa batuan merupakan gabungan dari

kekuatan batuan utuh, kondisi air tanah dan kondisi/ posisi/

geometri serta frekwensi bidang diskontinyu. Jika batuan utuh

makin kuat serta bidang lemah makin sedikit dan makin kuat,

maka massa batuan akan makin kuat. Selain itu pula adanya

kehadiran bidang lemah yang cukup lebar/panjang harus

diperhitungkan secara tersendiri karena akan menjadi faktor

penentu kelongsoran.

Kondisi bidang lemah yang harus diperhitungkan adalah

lebar bidang lemah; makin lebar jarak antar sisi-sisi bidang

31
32

lemah, maka batuan akan makin lemah kondisi pelapukan sisi-

sisi batuan bidang lemah; makin lapuk sisi-sisi batuan bidang

lemah maka bidang lemah tersebut akan makin lemah.

Jenis pengisi bidang lemah, jika pengisi kuarsa maka

bidang lemah akan makin kuat, sebaliknya jika pengisi adalah

lempung maka bidang lemah akan makin lemah.

Orientasi bidang lemah, bidang lemah yang berisiko

longsor adalah bidang lemah yang searah dan lebih landai dari

kemiringan lereng. Kekasaran bidang lemah, makin kasar maka

bidang lemah akan makin kuat (Lihat Gambar 2.3).

muka lereng

Bidang lemah

Gambar 2.3. Sketsa mengenai pengaruh geometri lereng dan


kehadiran bidang lemah terhadap kestabilan lereng.
( Sumber : Pande, Beer, Williams.1990 )

Kondisi bidang lemah yang harus diperhitungkan adalah :

1. Lebar bidang lemah; makin lebar jarak antar sisi-sisi bidang

lemah, maka batuan akan makin lemah.

31
32

2. Kondisi pelapukan sisi-sisi batuan bidang lemah; makinlapuk

sisi-sisi batuan bidang lemah maka bidang lemah tersebut akan

makin lemah.

3. Jenis pengisi bidang lemah; jika pengisi kuarsa maka bidang

lemah akan makin kuat, sebaliknya jika pengisi adalah lempung

maka bidang lemah akan makin lemah.

4. Orientasi bidang lemah; bidang lemah yang berisiko longsor

adalah bidang lemah yang searah dan lebih landai dari

kemiringan lereng.

5. Kekasaran bidang lemah, makin kasar maka bidang lemah akan

makin kuat.

3. Air tanah.

Pada batuan sangat berpengaruh jika ada bidang lemah yang

terisi oleh air karena akan menyebabkan meningkatkan tegangan

terhadap bidang lemah tersebut. Selain itu air dapat mengikis

pengisi ruang antar bidang lemah, melapukan sisi bidang lemah

dan melarutkan mineral - mineral sulfida. Pada beberapa kasus, air

dapat menjadi faktor utama ketidakstabilan lereng terutama pada

lereng tanah (Lihat Gambar 2.4).

31
32

Arah tegangan air tanah

Gambar 2.4. Kehadiran air tanah akan mengurangi


kekuatan geser bidang lemah.
(Sumber : Pande, Beer, Williams.1990 )

4. Getaran

Getaran dapat diakibatkan oleh gempa bumi, getaran alat

berat ataupun peledakan.

4.6. Beberapa Jenis Kelongsoran Pada Tambang Terbuka

Pada penggalian awal, umumnya material yang digali adalah tanah.

Karakteristik mekanis tanah yang lemah menyebabkan tanah mudah

longsor. Tetapi jika penggalian dilakukan lebih dalam, maka akan

ditemukan suatu zona campuran antara tanah dengan boulder batuan. Pada

zona ini seringkali terjadi kelongsoran yang tidak terduga, karena selain

karakteristik mekanis material pada zona ini sangat beragam, juga reaksi

terhadap penggalian beragam. Kondisi ketidakseragaman ini sering terjadi

jika zona batuan solid cukup keras.

Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan

tertentu dengan bidang horizontal. Lereng dapat terbentuk secara alami

maupun buatan manusia. Lereng yang terbentuk secara alami misalnya:

lereng bukit dan tebing sungai, sedangkan lereng buatan manusia antara

lain: galian dan timbunan untuk membuat bendungan, tanggul dan kanal

31
32

sungai serta dinding tambang terbuka (Arief, 2007). Adapun jenis-jenis

longsor yang dikenal dalam tambang terbuka adalah:

a. Longsoran bidang

Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi

sepanjang bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat

berupa bidang kekar, rekahan (joint) maupun bidang perlapisan batuan.

Syarat-syarat terjadinya longsoran bidang :

1. Terdapat bidang lincir bebas (daylight) berarti kemiringan bidang

lurus lebih kecil daripada kemiringan lereng.

2. Arah bidang perlapisan (bidang lemah) sejajar atau mendekati dengan

arah lereng (maksimum berbeda 200).

3. Kemiringan bidang luncur atau lebih besar daripada sudut geser dalam

batuannya.

4. Terdapat bidang geser (tidak terdapat gaya penahan) pada kedua sisi

longsoran (Lihat Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Longsoran Bidang


(Sumber : Gian Paolo Giani.1992 )

31
32

b. Longsoran baji

Longsoran baji dapat terjadi pada suatu batuan jika lebih dari

satu bidang lemah yang bebas dan saling berpotongan. Sudut

perpotongan antara bidang lemah tersebut lebih besar dari sudut

geser dalam batuannya. Bidang lemah ini dapat berupa bidang sesar,

rekahan (joint) maupun bidang perlapisan. Cara longsoran baji dapat

melalui satu atau beberapa bidang lemahnya maupun melalui garis

perpotongan kedua bidang lemahnya. Longsoran baji dapat terjadi

dengan syarat geometri sebagai berikut :

1. Permukaan bidang lemah A dan bidang lemah B rata, tetapi

kemiringan bidang lemah B lebih besar daripada bidang lemah A.

2. Arah penunjaman garis potong harus lebih kecil daripada sudut

kemiringan lereng.

3. Bentuk longsoran dibatasi oleh muka lereng, bagian atas lereng

dan kedua bidang lemah (Lihat Gambar 2.6).

Gambar 2.6. Longsoran Baji


( Sumber : Gian Paolo Giani.1992 )

31
32

c. Longsoran busur

Longsoran busur adalah yang paling umum terjadi di alam,

terutama pada batuan yang lunak (tanah). Pada batuan yang keras

longsoran busur hanya terjadi jika batuan tersebut sudah

mengalami pelapukan dan mempunyai bidang-bidang lemah

(rekahan) yang sangat rapat dan tidak dapat dikenali lagi

kedudukannya. Longsoran busur akan terjadi jika partikel individu

pada suatu tanah atau massa batuan sangat kecil dan tidak saling

mengikat. Oleh karena itu batuan yang telah lapuk cenderung

bersifat seperti tanah. Tanda pertama suatu longsoran busur

biasanya berupa suatu rekahan tarik permukaan atas atau muka

lereng, kadang-kadang disertai dengan menurunnya sebagian

permukaan atas lereng yang berada disamping rekahan. Penurunan

ini menandakan adanya gerakan lereng yang pada akhirnya akan

terjadi kelongsoran lereng, hanya dapat dilakukan apabila belum

terjadi gerakan lereng tersebut (Lihat Gambar 2.7).

Gambar 2.7. Longsoran Busur


( Sumber : Gian Paolo Giani.1992 )

31
32

e. Longsoran guling

Longsoran guling terjadi pada batuan yang keras dan

memiliki lereng terjal dengan bidang-bidang lemah yang tegak atau

hampir tegak dan arahnya berlawanan dengan arah kemiringan

lereng. Longsoran ini bisa berbentuk blok atau bertingkat. Kondisi

untuk menggelincir atau meluncur ditentukan oleh sudut geser dalam

dan kemiringan bidang luncurnya, tinggi balok dan lebar balok

terletak pada bidang miring (Lihat Gambar 2.8).

Gambar 2.8. Longsoran Guling


(Sumber : Gian Paolo Giani.1992.)

4.7. Identifikasi Potensi Kelongsoran dalam Perencanaan Tambang

Supaya penggalian dapat dilakukan secara aman dan mengantisipasi

adanya kelongsoran, maka dalam perencanaan tambang perlu diidentifikasi

jenis kelongsoran yang akan terjadi serta lokasinya. Data untuk

mengidentifikasi jenis dan lokasi kelongsoran didapat setelah tambang

dibuka dan lereng dibuat. Selain itu tanda-tanda gangguan alam yang dapat

mempengaruhi ketidakstabilan harus diidentifikasi. Identifikasi

kemungkinan kelongsoran ini akan membantu perencana dan operasional

31
32

tambang untuk menghindari pemotongan/penggalian yang dapat

menyebabkan kelongsoran, ataupun jika harus dilakukan maka antisipasi

yang tepat dapat dilakukan.

Identifikasi dalam memperhitungkan kemungkinan kelongsoran,

biasanya dilakukan jika penambangan sudah mencapai material batuan. Hal

ini dilakukan karena penambangan sudah dalam sehingga jika terjadi

kelongsoran, maka kerugian lebih lanjut dapat dicegah.

Dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.

555.K/26/M.PE/1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pertambangan Umum, masalah dimensi lereng dibahas pada Pasal 241. Pada

ayat 2 beberapa persyaratan harus dipenuhi jika pekerjaan dilakukan pada

batuan/material lepas. Selain itu pula pada pasal tersebut di ayat 5

mensyaratkan adanya studi kemantapan lereng. Dasar pemikiran yang

memunculkan peraturan tersebut adalah karena banyaknya kecelakaan yang

timbul karena cara penggalian yang tidak sesuai dengan kondisi

batuan/material penggalian.

Faktor-faktor kecelakaan pada pekerjaan tambang terbuka dimana

front kerja berada pada daerah sekitar lereng meliputi :

a) Tertimpa batuan,

b) Terguling pada sisi crest (untuk peralatan)

c) Tertimpa atau berada pada daerah longsoran individual slope dan/atau

overall slope.

31
32

Faktor-faktor diatas diperberat oleh tatacara penambangan yang tidak

mengindahkan kondisi lapangan/batuan serta peraturan yang ada.

4.8. Faktor Keselamatan

Analisa Kstabilan lereng pada umumnya didasarkan pada konsep

batas kesetimbangan plastis (limit plastic equilibrium). Maksud dari analisa

kesetabilan lereng adalah untuk menentukan faktor aman dari potensi

bidang longsor.

Dalam analisa kestabilan lereng, beberapa anggapan di buat, yaitu :

a. Kelongsoran lereng terjadi di sepanjang permukaan bidang longsor

tertentu dan dapat di anggap sebagai masalah bidang 2 (dua) dimensi.

b. Massa tanah longsor di anggap sebagai benda masif .

c. Tahanan geser dari massa tanah, di sembarang titik sepanjang bidang

longsor tidak tergantung dari orientasi permukaan longsor, atau dengan

kata lain, kuat geser tanah dianggap isotropis.

d. Faktor aman di definisikan dengan memperhatikan rata–rata tegangan

geser sepanjang potensi bidang longsor dan rata–rata kuat geser tanah

sepanjang permukaan longsoran.

2.9. Perhitungan Faktor Keamanan

Faktor keamanan terhadap kesetimbangan momen (FM) dan faktor

keamanan terhadap kesetimbangan gaya (FF) harus dihitung secara serentak

dengan mengasumsikan nilai dari faktor skala (l) harus terlebih dahulu.

Prinsip dari perhitungan ini adalah untuk mencari suatu nilai faktor skala

yang menghasilkan perbedaan absolut dari (FM – FF) lebih kecil dari

31
32

toleransi yang diberikan. Apabila kondisi tersebut sudah dipenuhi berarti

kondisi kesetimbangan gaya dan momen telah dapat dipenuhi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi ketelitian perhitungan faktor

keamanan adalah asumsi mengenai geser antar irisan yang digunakan.

Untuk metode-metode yang memenuhi semua kondisi kesetimbangan gaya

dan momen, pada umumnya pengaruh dari asumsi gaya geser antar irisan

terhadap perhitungan faktor keamanan untuk semua bentuk bidang runtuh

adalah kecil sekali dan dapat diabaikan. Namun hal tersebut tidak berlaku

pada metode-metode yang tidak memenuhi semua kondisi kesetimbangan.

Pada umumnya untuk semua bentuk bidang runtuh, kecuali bidang runtuh

busur lingkaran, terdapat pengaruh yang cukup besar dari asumsi gaya geser

antar-irisanterhadap faktor keamanan dengan kesetimbangan momen (FM).

Faktor keamanan dengan kesetimbangan gaya (FF) juga dipengaruhi oleh

asumsi gaya geser antar-irisan yang digunakan, kecuali untuk bidang runtuh

planar.

Gaya penahan (resisting force) adalah gaya yang menahan agar

tidak terjadi kelongsoran, sedangkan gaya penggerak (driving force)

adalah gaya yang menyebabkan terjadinya kelongsoran. Perbandingan

antara gaya-gaya penahan terhadap gaya-gaya yang menggerakkan

tanah inilah yang disebut dengan faktor keamanan (FK) lereng

penambangan.

Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat

kestabilan lereng penambangan maka hasil analisa dengan FK = 1.00

31
32

belum dapat menjamin bahwa lereng tersebut dalam keadaan stabil. Hal

ini disebabkan karena ada beberapa faktor yang perlu diperhitungkan

dalam analisa faktor keamanan lereng penambangan, seperti

kekurangan dalam pengujian contoh di laboratorium serta contoh

batuan yang diambil belum mewakili keadaan sebenarnya di lapangan,

tinggi muka air tanah pada lereng tersebut, getaran akibat kegiatan

peledakan di lokasi penambangan, beban alat mekanis yang beroperasi.

2.10. Pemeriksaan Lereng

Untuk menghindari kecelakaan karena tidak amannya sebuah lereng

perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala kondisi lereng. Pada perusahaan

tambang tersebut. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah :

a. Pada setiap potongan baru harus dipetakan dan diidentifikasi bidang-

bidang lemah yang ada

b. Curigai jika ada tumpukan batu disekitar toe, hal ini mengindikasikan

adanya jatuhan dari atas

c. Potong setiap batu menggantung

d. Tangani setiap adanya rekahan tarik pada crest

e. Tangani jika ada batuan yang akan jatuh dari berm

f. Drain setiap adanya rembesan air

g. Pelihara drainase supaya tidak ada air yang tergenang

h. Curigai setiap retakan mendatar pada muka lereng, hal ini dapat

mengindikasikan adanya buckling

i. Identifikasi adanya retakan tarik diluar batas pit limit

31
32

j. Inspeksi khusus setiap setelah hujan

2.11. Tanah

Dalam pengertian teknik, tanah didefenisikan sebagai material yang

terdiri dari agregat (butiran) mineral – mineral padat yang tidak tersementasi

(terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan bahan organik yang

telah melapuk disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang – ruang

kosong diantara partikel partikel tersebut.

Berdasarkan geologi teknik, tanah adalah batuan hasil proses destruksi

(pelapukan) yang bersifat lepas, lunak ataupun terkonsolidasi yang

berukuran lempung sampai brangkal.

Berdasarkan asalnya, tanah dapat diklasifikasikan secara luas menjadi tanah

organik dan tanah anorganik. Tanah organik adalah campurang yang

mengandung bagian – bagian yang cukup berarti berasal dari pelapukan dan

sisa tanaman dan kadang kadang dari kumpulan kerangka dan kulit

organisme kecil. Tanah anorganik berasal dari pelapukan batuan secara

kimia atau fisis. Tanah umumnya dapat berukuramn kerikil (gravel), pasir

(sand), lanau (silt) dan lempung (clay). Untuk menerangkan tanah

berdasarkan ukuran – ukuran partikelnya, beberapa organisasi telah

mengembangkan batasan – batasan ukuran golongan jenis tanah (soil

separate size limits) sebagaimana diperlihatkan pada tabel 2.1.

31
32

Tabel 2.1 Batasan – batasan ukuran golongan tanah.


Ukuran Butir (mm)
Nama Golongan
Kerikil Pasir Lanau Lempung
Massachusett Institute Of
>2 2 – 0,06 0,06 – 0,002 < 0,002
Technology (MIT)

U.S. DepartmentOf Agriculture


>2 2 – 0,05 0,05 – 0,002 < 0,002
(USDA)

American Association Of State


Highway and Tranportation 76,2 – 2 2 – 0,075 0,07 – 0,002 < 0,002
Official (ASSHTO)

Unified Soil Classsification


System (U.S. Army Corps Of Halus (lanau dan lempung)
76,2 – 4,75 4,75 - 0,075
Engineers, U.S. Bureau Of 0,075
Reclamation)

(Sumber Wesley. Mekanika Tanah.. 1977 )

2.12. Sifat Fisik dan Klasifikasi Tanah

Klasifikasi dan sifat tanah akan sangat tergantung pada ukuran

butirnya (kecuali lempung dan lanau). Berikut adalah jenis tanah beserta

ukuran butirnya lihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Ukuran Butir Tanah


Jenis Tanah Ukuran

Berangkal/Boulder) > 20 cm

Kerakal/Cobble 8 –20 cm

Kerikil/Gravel 2 mm – 8 cm

Pasir Kasar/Coarse Sand 0,6 mm – 2 mm

Pasir Sedang/Med.Sand 0,2 – 0,6 mm

Pasir Halus/Fine Sand 0,06 – 0,2 mm

Lanau/Silt 0,002 - 0,06 mm

Lempung/Clay < 0,002 mm

(Sumber Wesley. Mekanika Tanah. 1977 )

31
32

Dari segi keteknikan yang disebut tanah berada pada ukuran mulai dari

kerikil kebawah. Pada tanah yang berbutir kasar (pasir halus hingga

kerikil/Tabel 2-1), sifat-sifat tanah tersebut akan tergantung pada ukuran

butirnya. Sedangkan tanah yang berbutir halus (lempung dan lanau), sifat

tanah tergantung pada komposisi kimianya.

Pada kondisi nyata dilapangan, tanah merupakan campuran beberapa

ukuran butir tanah. Istilah pasir lempungan atau lempung pasiran akan

sangat umum ditemukan dilapangan. Seringkali istilah pasir kelempungan

ditambah dengan ‘bergradasi baik/buruk’, dimana fraksi halus akan dinilai

sifat plastisitasnya.

2.13. Kuat Geser Tanah

Salah satu parameter tanah yang penting adalah kuat geser tanah,

dimana parameter ini diperlukan untuk menghitung daya dukung tanah,

tegangan tanah pada dinding penahan serta kestabilan lereng.

Tanah yang terdiri dari butir kasar dan halus yang bergerak relatif

antar butirnya akan mengalami keruntuhan geser (sher failure) jika tanah

tersebut tidak dapat memelihara kekuatannya. Kekuatan geser tanah

didapatkan dari kohesi (C) antar butir dan gesekan antar butir ().

Sehingga Kuat Geser tanah () adalah

 = C + ...............................(2.2)

= C +  . tan 

31
32

Berikut adalah illustrasi pengukuran Kuat Geser (Lihat pada gambar 2.9.)

’

Gambar 2.9. Illustrasi Gaya-Gaya Pada Benda Yang Digeser


(Sumber Wesley. Mekanika Tanah. 1977)

Pada kondisi jenuh (kondisi alam yang paling rentan terhadap

kelongsoran) tegangan air dalam pori-pori tanah akan mengurangi

tegangan normal antar butir, dan jika tegangan air pori = u, maka akan

menjadi;

 = C’ + ( - u) . tan ......................................................(2.3)

Keterangan :

 = tegangan normal

 = sudut geser dalam/sudut friksi

C’ = kohesi

( - u) = tegangan efektif = ’

31
32

2.14. Metode Irisan Biasa (Metode Fellenius)

Ada beberapa metode untuk menganalisis kestabilan lereng, yang

paling umum digunakan ialah metode irisan yang dicetuskan oleh Fellenius

(1939). Metode ini banyak digunakan untuk menganalisis kestabilan lereng

yang bidang gelincirnya berbentuk busur (arc-failure).

Tipe longsorang terbagi kedalam 3 bagian berdasarkan kepada posisi

bidang gelincirnya, yaitu longsorang kaki lereng (toe failure), longsorang

muka lereng (face failure), dan longsoran dasar lereng (base failure).

Longsoran kaki lereng umumnya terjadi pada lereng yang relatif agak curam

(>450) dan tanah penyusunnya relatif mempunyai nilai sudut geser dalam

yang besar (>300). Longsoran muka lereng biasa terjadi pada lereng yang

mempunyai lapisan keras (hard layer), dimana ketinggian lapisan keras ini

melebihi ketinggian kaki lerengnya, sehingga lapisan lunak yang berada

diatas lapisan keras berbahaya untuk longsor. Longsoran dasar lereng biasa

terjadi pada lereng yang tersusun oleh tanah lempung, atau bisa juga terjadi

pada lereng yang tersusun oleh beberapa lapisan lunak (soft seams).

Metode irisan biasa (Fellenius, 1936) merupakan metode yang

paling sederhana diantara beberapa metode irisan. Metode ini juga

dinamakan sebagai metode lingkaran Swedia, serta bidang runtuh berupa

sebuah busur lingkaran. Kondisi kesetimbangan yang dapat dipenuhi oleh

metode ini hanya kesetimbangan momen untuk semua irisan pada pusat

lingkaran runtuh. Tanah di atas permukaan longsor di bagi menjadi

beberapa irisan vertikal. Lebar setiap irisan tidak harus sama. Lebih banyak

31
32

irisan maka akan lebih ditail hasil yang dapat didapat. Mengingat satuan

panjang tegak lurus ke bagian saling ditampilkan.

Rumus faktor keamanan berdasarkan metode fellenius sebagai berikut :

(∑ 1) (𝑐)+ (∑ 3) tan ∅
𝑓𝑠 = ∑2
.............................................................(2.4)

Keterangan :

ΔLn = Luas Irisan.

γ = Berat volume tanah.

Wn = Berat beban irisan.

αn = Besar sudut irisan terhadap titik pusat lingkaran.

𝑐 = Kohesi

∅ = Sudut geser dalam

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Gambaran Umum wilayah penelitian

3.1.1. Lokasi Dan Kesampaian Daerah

Daerah konsensi IUP Eksploitasi PT. Unirich Mega Persada

seluas 3.920 hektar terletak ± 23 km ke arah selatan dari kota Muara

Teweh (ditarik garis lurus dari Muara Teweh – lokasi IUP ). Secara

administratif masuk wilayah Desa Hajak, merupakan kecamatan baru

hasil pemekaran dari kecamatan teweh tengah, kabupaten Barito Utara.

Lokasi penelitian ini dapat dijangkau dengan menggunakan

kendaraan roda 4 dengan kondisi jalan beraspal baik dari ibukota

Propinsi Kalimantan Tengah Palangkaraya menuju ke ibukota

31
32

Kabupaten Barito utara Muara Teweh dengan jarak sekitar 318 km

dengan waktu perjalanan kurang lebih 7 jam, atau bisa

menggunakan jasa pesawat terbang menuju kota Muara Teweh

dengan waktu penerbangan 50 menit. Selanjutnya dilanjutkan ke

lokasi IUP PT Unirich Mega Persada yang berjarak 24 km kearah

Timur dari Muara Teweh.

3.1.2. Keadaan Iklim dan Curah Hujan

Daerah penyelidikan termasuk daerah yang beriklim tropis,

dimana musim penghujan berlangsung atau diperkirakan terjadi

pada bulan September sampai bulan April. Pada musim penghujan

besarnya curah hujan tertinggi mencapai 258 mm, suhu udara di

daerah penyelidikan berkisar dari 24° - 33° C dan kelembaban 65

– 80% (berdasarkan Data Curah Hujan Badan Meteorologi dan

Geofisika Stasiun Klimatologi Muara Teweh).

3.1.3. Sosial dan Kependudukan

Lokasi / Areal IUP PT Unirich Mega Persada berada di

Desa Hajak, Kecamatan TewehBaru, Kabupaten Barito Utara yang

pada umumnya dihuni oleh penduduk asli suku dayak Tewoyan

dan sebagian dihuni oleh pendatang yang di dominasi oleh suku

Banjar, suku Bakumpai, suku manyan dan sebagian dari daerah

lain. Mata pencaharian umum adalah petani kebun karet, pedagang,

peladang dan pekerja tambang. Agama yang terdapat di Hajak

31
32

adalah sebanyak 50 % beragama Kristen, 20 % beragama Kristen

katolik, beragama Hindu Kaharingan 20 %, dan sebagian beragama

islam 10 % (Berdasarkan data kependudukan Badan Pusat Statistik

Kabupaten Barito Utara).

31
32

3.2. Kondisi Geologi

3.2.1. Kondisi Geologi Regional

A. Fisiografi

Kabupaten Barito Utara adalah salah satu kabupaten di

Propinsi Kalimantan Tengah yang berada di pedalaman Pulau

Kalimantan dan terletak di daerah khatulistiwa yaitu pada

posisi 114º27’3,32” – 115º50’47” Bujur Timur dan 0º49’00”

Lintang Utara – 1º27’00” Lintang Selatan, dengan batas-batas

wilayah antara lain : Sebelah utara berbatasan dengan

Kabupaten Murung Raya dan Propinsi Kalimantan Timur,

sebelah selatan berbatasan dengan Barito Selatan dan Propinsi

Kalimantan Selatan, sebelah timur berbatasan dengan Propinsi

Kalimantan Timur dan sebelah barat berbatasan dengan

Kabupaten Kapuas. Luas wilayah Kabupaten Barito Utara

lebih kurang 8.300 Km2 dan terdiri dari 9 kecamatan, 103

desa dan 10 kelurahan.

B. Stratigrafi regional

Berdasarkan kerangka tektonik regional Kalimantan,

daerah Provinsi Kalimantan Tengah termasuk dalam cekungan

Barito yang terletak disisi tenggara lempeng mikro Sunda.

Bagian Utara dipisahkan dengan cekungan Kutai oleh

“Paternoster Fault System” dan “Barito – Kutai Crose Heigh”.

Sebelah Timur dipisahkan dengan cekungan asam-asam dan

43
32

cekungan pasir oleh pegunungan Meratus. Disebelah Selatan

merupakan batas tidak tegas dengan cekungan Jawa Timur dan

disebelah Barat oleh tinggian Sunda.

Pembagian Stratigrafi Cekungan Barito dari tua ke muda

adalah sebagai berikut :

a) Batuan Dasar Pra-Tersier, terdiri dari batuan metasedimen

dan batuan beku.

b) Formasi Tanjung, bagian bawah didominasi oleh batuan

pasir dan kongmerat dengan interkalasi batubara, bagian

tengah selang-seling batu pasir, batu lanan dan batu

lempung serta bagian atas terdiri dari batu lempung

gampingan dengan interkalasi batu gamping dan batubara.

c) Formasi Montalat, terdiri dari batu pasir kwarsa, agak

padat, sisipan batu lempung dan batubara. Umur dari

Formasi Warukin tidak dapat ditentukan secara pasti,

tetapi diduga formasi ini berumur Miosen Tengah sampai

Miosen Atas, berdasarkan kemiripannya dengan Formasi

Balikpapan di Cekungan Kutai yang berumur sama.

Formasi Montalat terdiri dari perselingan antara lapisan

batupasir kuarsa berbutir halus sampai sedang, bersifat

agak padat, berwarna kuning dan kelabu, mengandung

sisipan tipis mineral karbonan, rombakan batubara vitrinit

dan muskovit, bersisipan dengan lapisan batulempung

43
32

karbonan berwarna kelabu dan batulanau menyerpih

berwarna kelabu tua, dan bersisipan dengan batulempung

mengandung batubara dengan ketebalan mencapai 4.0

meter.

d) Formasi Berai, bagian bawah terdiri dari selang-seling

batu gamping dengan napal, bagian tengah-tengah berupa

bagian batu gamping masif berupa kerangka dari suatu

terumbu dan pada bagian bawah terdiri dari selang-seling

batu gamping dengan batu lempung dan batubara.

e) Formasi Warukin, bagian bawah selang-seling antara batu

pasir dengan batu lempung dan interkalasi gamping,

bagian tengah selang-seling batu pasir, batu lempung dan

batubara.

f) Formasi Dahor, terdiri dari batu pasir, batu lanau dengan

interkalasi batu lempung dan batubara serta fragmen

batuan yang lebih tua.

C. Struktur geologi

Struktur geologi yang di jumpai di daerah ini berupa

sesar, perlipatan dan kelurusan yang secara umum berarah

baratdaya-timurlaut dan baratlaut-tenggara. Sesar terdiri dari

sesar normal, sesar geser dan sesar naik yang melibatkan

batuan sedimen yang berumur Tersier dan pra-Tersier.

Kelurusan-kelurusan ini diduga merupakan jejak/petunjuk

43
32

sesar dan kekar yang berarah sejajar dengan struktur umum.

Lipatan-lipatan berupa sinklin dan antiklin seperti halnya sesar

dan kelurusan, juga berarah sejajar dengan struktur regional,

timurlaut-baratdaya. Mengingat litologi di daerah ini

didominasi oleh batuan yang berumur tersier, diduga kehadiran

sesar, kelurusan dan lipatan berhubungan erat dengan kegiatan

tektonik yang terjadi pada zaman itu (Tersier).

3.2.2. Kondisi Geologi Daerah Penelitian

A. Morfologi daerah penelitian

Morfologi di daerah penelitian adalah morfologi yang

memiliki ketinggian 25 m – 100 m di atas permukaan air.

Merupakan wilayah perbukitan, dengan kemiringan 2 - 15%

dan merupakan tanah dengan derajat keasaman kurang dari 7.

B. Litologi Daerah Penelitian

Litologi daerah penelitian adalah litologi dari, Formasi

Warukin yang tersusun atas lempung berpasir, lempung dan

batu lempung. Formasi ini berumur Miosen Tengah hingga

Miosen Atas dengan tebal batuan penyusun mencapai 500

meter. Formasi Warukin diendapkan pada lingkungan transisi

atau delta. Formasi ini menempati morfologi dataran

bergelombang landai.

43
32

C. Struktur Geologi Daerah penelitian

Struktur geologi yang di jumpai di daerah ini berupa

sesar, perlipatan dan kelurusan yang secara umum berarah

baratdaya-timurlaut dan baratlaut-tenggara. Sesar terdiri dari

sesar normal, sesar geser dan sesar naik yang melibatkan

batuan sedimen yang berumur Tersier dan pra-Tersier.

Kelurusan-kelurusan ini diduga merupakan jejak/petunjuk

sesar dan kekar yang berarah sejajar dengan struktur umum.

Lipatan-lipatan berupa sinklin dan antiklin seperti halnya sesar

dan kelurusan, juga berarah sejajar dengan struktur regional

timurlaut-baratdaya.

3.3. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam kegiatan Tugas Akhir ini antara lain:

a. Buku Lapangan (Catatan Harian)

Buku lapangan berfungsi untuk mencatat data–data penting atau point–

point penting yang diperlukan dalam penelitian.

b. Alat Tulis

Alat tulis berfungsi untuk mencatat data–data yang diperlukan di

lapangan.

c. Kamera Digital/Kamera Handphone

Kamera berfungsi untuk mengambil gambar kegiatan di lapangan.

43
32

d. Alat Pelindung Diri (APD)

Peralatan ini meliputi safety shoes, helm, dan rompi reflector, masker,

kacamata. Peralatan ini berfungsi untuk melindungi tubuh dari hal-hal

yang tidak diinginkan (kecelakaan).

e. Laptop

Laptop berfungsi untuk mengolah data – data yang telah diperoleh baik

dari media buku–buku referensi maupun dari catatan lapangan.

f. Kalkulator

untuk menghitung data yang telah di dapat di lapangan.

3.4. Tata Laksana

3.4.1. Langkah Kerja

Langkah kerja dalam melaksanakan tugas akhir ini meliputi :

1. Melakukan obserfasi lapangan dengan tujuan untuk mengetahui

tempat, serta kondisi lapangan, untuk pengamatan dan

pengambilan data kelerengan pada PT Unirich Mega Persada.

2. Melakukan pengamatan dan pengukuran kemiringan lereng.

3. Melakukan analisa dan pengolahan data menggunakan metode

Fellenius untuk mendapatkan nilai safety factor.

4. Menarik kesimpulan dari hasil analisa data.

3.4.2. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kuantitatif dengan format desain penelitian deskriptif. Maka

penelitian yang dilakukan adalah dengan metode deskriptif

43
32

kuantitatif, yaitu suatu bentuk penelitian yang berdasarkan data

yang dikumpulkan selama penelitian secara sistematis mengenai

fakta-fakta dan sifat-sifat dari obyek yang diteliti dengan

menggabungkan hubungan antar variabel yang terlibat didalamnya,

kemudian diinterpretasikan berdasarkan teori-teori dan literatur-

literatur yang berhubungan dengan Analisis Kestabilan Lereng.

Metode ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang cukup jelas

atas masalah yang diteliti.

3.4.3. Proses

Adapun proses dalam peneitian ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan Studi literatur analisa kestabilan lereng dengan

menggunakan Metode Fellenius.

2. Melakukan pengamatan lapangan, meliputi observasi lapangan

dan pengukuran data kelerengan pada PT.Unirich Mega Persada.

3. Melakukan pengolahan dan analisis data dari data kelerengan

dengan menggunakan data Fellenius , dimana dari hasil tersebut

di gunakan untuk mendapatkan nilai Safety factor.

43
32

3.3.4. Bagan Alir Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian dilakukan beberapa kegiatan

pengamilan data berdasarkan rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti

dengan rincian yang digambarkan dalam bagan alir berikut.

Rumusan Masalah

1. Berapa besar nilai faktor keamanan (safety factor) lereng di Pit

5 PT. Unirich Mega Persada ?

2. Bagaimana model kelerengan pada Pit 5 PT.Unirich Mega

Persada berdasarkan nilai factor keamanan (safety factor) ?

3. keamanan (safety factor) ?


Studi Literatur
4.

Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder


 Data Kelerengan  Peta topografi daerah penelitian
- Tinggi lereng  Peta geologi regional
- Lebar jenjang  Peta geolegi daerah penelitian
- Tinggi jenjang  Data Geotek
- Kemiringan jenjang  Peta IUP
 Rencana Jenjang

Pengolahan Data

Analisis menggunakan metode fellenius

Single bench

Overall bench

Analisis FK lereng PT Unirich Mega Persada.

Kesimpulan dan Saran Selesai

43
32

Gambar 3.1. Bagan Alir Penelitian

3.3.5. Waktu Penelitian

Kegiatan Tugas Akhir (TA) ini, saya laksanakan selama 8 minggu

dimulai tanggal 1 Februari sampai tanggal 31 Maret 2016 (Lihat Tabel

3.1).

Daftar Tabel 3.1. Waktu Penelitian

URAIAN FEBRUARI MARET


NO I II III IV I II III IV
KEGIATAN
1 Orientasi Lapangan

2 Pengambilan Data

3 Pengolahan Data

4 Pembuatan Laporan

Konsultasi
5
Pembimbing

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Keadaan Lokasi Penelitian

PT Unirich Mega Persada seluas 3.920 hektar terletak ± 23

km ke arah selatan dari kota Muara Teweh, dengan sistem tambang

terbuka metode strip mine, saat ini sedang menjalankan pit 5 seluas

87 hektar dengan jangka waktu 8 tahun kedepan, lereng yang diteliti

43
32

penulis adalah high wall, dikarenakan pit 5 masih dalam tahap

penambangan.

Gambar 4.1.
Keadaan Lokasi Penelitian

43
Gambar 4.2.
Penulis Bersama Pembimbing Lapangan

Tinggi slop pertama 6 m


Tinggi slop kedua 7,5 m

Tinggi slop ketiga 11,8

Gambar 4.3.
Lereng Pit 5 PT Unirich Mega Persada

76
Gambar 4.4
Lereng Pit 5 PT Unirich Mega Persada Berdasarkan Slide

4.1.2. Material di Lapangan

a. Tanah Lempung Pasiran

Tanah lempung pasian didominasi oleh partikel pasir,

tetapi cukup mengandung tanah liat dan sedimen untuk

menyediakan beberapa struktur dan kesuburan. Tanah lempung

berpasir dipecah menjadi empat kategori, termasuk kasar

lempung berpasir, lempung berpasir halus, lempung berpasir dan

lempung berpasir sangat halus.

b. Tanah Lempung

Tanah lempung memiliki dua jenis yaitu primer dan

sekunder. Tanah lempung primer adalah jenis tanah lempung

murni dan memiliki ciri putih kusam. Warna itu terbentuk

karena tanah lempung ini tidak terbawa oleh air tidak pernah

bersentuhan dan bercampur dengan bahan organik dalam tanah

seperti humus, daun-daun busuk, dan sebagainya

c. Batulempung
76
Batulempung adalah jenis batuan sedimen (umumnya

silisiklastik) yang disusun oleh butiran yang sangat halus berupa

lempung dengan ukuran <1/256 mm. bila ukurannya pada

kisaran 1/16-1/256 mm dinamakan silt (lanau) kalau jadi batu

namanya siltstone.

4.1.3. Sifat Fisik dan Mekanik Matrial

Analisis kemantapan lereng tunggal dilakukan berdasarkan

parameter batuan pada masing-masing daerah kajian. Hasil

perhitungan Faktor Keamanan (FK) lereng tunggal untuk setiap

material seperti terlihat pada gambar bidang longsor 1 ,2 , dan 3.

Tabel 4.1. Sifat Fisik dan Mekanik Matrial

Tanah Lempung
Lapisan Tanah Lempung Batu Lempung
Pasiran

Berat volume kering


12,369 KN/m
12,224 KN/m 12,270 KN/m
(γd)

Berat volume basah


17,005 KN/m 17,095 KN/m 16,435 KN/m
(γwet)

2,52 E-04
2,52 E-04 m/hari 3,6 E-5 m/hari
Permebilitas (k)
m/hari

13977,5 KN/m 11212,5 KN/m 22140,0 KN/m


Modulus Young(E)

76
19, 5 KN/m 19,5 KN/m 18,25 KN/m
Kohesi (c)

Sudut geser dalam


18,25 ˚ 18,5 ˚ 30 ˚
(φ)

0,30 0,30 0,15


Angka Poisson(υ)

(Sumber Data Geotek PT Unirich Mega Persada.2015)

4.1.4. Lereng Tunggal (Single Slope)

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

Keterangan :
ΔLn = Luas Irisan.
∑1 = ∑ ΔLn
∑1 = ∑ Wn Sin αn
∑1 = ∑ Wn Cos αn
γ = Berat volume tanah.
Wn = Berat beban irisan.
αn = Besar sudut irisan terhadap titik pusat lingkaran.

𝑐 = Kohesi

∅ = Sudut geser dalam

76
Gambar 4.5.
Lempung Pasiran Kering 1

Tabel 4.2 Analisis Lempung Pasiran Kering 1

Irisan
ΔLn γ Wn Sin Cos Wn Sin Wn Cos
αn
αn αn αn αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m)
I 5,04 12,36 62,29 17 0,29 0,96 18,21 59,45
II 10,08 12,36 124,59 25 0,42 0,91 52,65 112,85
III 14,12 12,36 174,52 33 0,54 0,84 95,05 127,63
IV 16,83 12,36 208,02 43 0,68 0,73 141,86 152,13
V 17,13 12,36 211,73 55 0,82 0,57 173,43 121,44
VI 8,27 12,36 102,22 75 0,97 0,26 98,73 26,45
∑ 71,47 579,93 599,95

Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(71,47) (19,5)+ (599,95 x tan 18,25)


=
579,93

= 2,7
76
Gambar 4.6.
Analisis Bidang Longsor Lempung Pasiran Basah 1

Tabel 4.3 Analisis Lempung Pasiran Basah 1

Cos Wn Sin Wn Cos


Irisan ΔLn γ Wn αn Sin αn αn αn αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m)
I 5,04 17 85,68 17 0,29 0,96 25,05 81,93
II 10,08 17 171,36 25 0,42 0,91 72,41 155,30
III 14,12 17 240,04 33 0,54 0,84 130,73 201,31
IV 16,83 17 286,11 43 0,68 0,73 195,12 209,24
V 17,13 17 291,21 55 0,82 0,57 238,54 167,03
VI 8,27 17 140,59 75 0,97 0,26 135,79 36,38
∑ 71,47 797,64 851,19

Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(71,47) (19,5)+ (851,19 x tan 18,25)


= 797,64

= 2,0

76
Gambar 4.7.
Analisis Lempung Kering 1

Tabel 4.4 Analisis Lempung Kering 1

Irisan
ΔLn Γ Wn
Sin Cos Wn Sin
No, (m²) (kN/m) (kN/m) αn αn αn αn Wn Cos αn
I 5,04 12,22 61,59 17 0,29 0,96 18 58,89
II 10,08 12,22 123,18 25 0,42 0,91 111,63 52,05
III 14,12 12,22 172,55 33 0,54 0,84 93,97 93,97
IV 16,83 12,22 205,66 43 0,68 0,73 140,25 140,25
V 17,13 12,22 209,33 55 0,82 0,57 171,47 171,47
VI 8,27 12,22 101,06 75 0,97 0,26 97,61 97,61
∑ 71,47 632,93 614,24

Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(71,47) (19,5)+ (614,24 x tan 18,5)


=
632,93

= 2,5

76
Gambar 4.8.
Analisis Lempung Basah 1

Tabel 4.5 Analisis Lempung Basah 1

Irisan Sin Wn Cos


ΔLn γ Wn αn αn Cos αn Wn Sin αn αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m)
I 5,04 17,09 86,13 17 0,29 0,96 24,98 82,69
II 10,08 17,09 172,27 25 0,42 0,91 72,35 156,76
III 14,12 17,09 241,31 33 0,54 0,84 130,31 202,70
IV 16,83 17,09 287,62 43 0,68 0,73 195,58 209,97
V 17,13 17,09 292,75 55 0,82 0,57 240,06 166,87
VI 8,27 17,09 141,33 75 0,97 0,26 137,09 36,75
∑ 71,47 800,37 855,73

Keterangan

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(71,47) (19,5)+ (855,73 x tan 18,5)


=
800,37

= 2,0

76
Gambar 4.9.
Analisis Batu Lempung Kering 1

Tabel 4.6 Analisis Batu Lempung Kering 1

Irisan Sin Wn Sin Wn Cos


ΔLn γ Wn αn αn Cos αn αn αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m)
I 5,04 12,27 61,84 17 0,29 0,96 17,93 59,37
II 10,08 12,27 123,68 25 0,42 0,91 51,95 112,55
III 14,12 12,27 173,25 33 0,54 0,84 93,56 145,53
IV 16,83 12,27 206,50 43 0,68 0,73 140,42 150,75
V 17,13 12,27 210,19 55 0,82 0,57 172,35 119,81
VI 8,27 12,27 101,47 75 0,97 0,26 98,43 26,38
∑ 71,47 574,64 614,39

Keterangan : C

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(71,47) (18,25 )+ (614,39 x tan 30)


=
574,64

= 2,8

76
Gambar 4.10.
Analisis Batu Lempung Basah 1

Tabel 4.7 Analisis Batu Lempung Basah 1


Sin Wn Sin Wn Cos
Irisan ΔLn γ Wn αn αn Cos αn αn αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m)
I 5,04 16,43 82,81 17 0,29 0,96 24,01 79,49
II 10,08 16,43 165,61 25 0,42 0,91 69,56 150,71
III 14,12 16,43 231,99 33 0,54 0,84 125,28 194,87
IV 16,83 16,43 276,52 43 0,68 0,73 188,03 201,86
V 17,13 16,43 281,45 55 0,82 0,57 230,79 160,42
VI 8,27 16,43 135,88 75 0,97 0,26 131,80 35,33
∑ 71,47 769,46 822,69

Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(71,47) (18,25 )+ (822,69 x tan 30 )


=
769,46

= 2,3

76
Gambar 4.11.
Analisis Lempung Pasiran Kering 2

Tabel 4.8 Analisis Lempung Pasiran Kering 2

Irisan ΔLn γ Wn αn Sin Cos Wn Sin Wn Cos


αn αn αn αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m)
I 3,75 12,36 46,35 86 0,14 0,99 46,32 3,23
II 10,1 12,36 124,84 14 0,24 0,97 30,2 121,09
III 15,6 12,36 192,82 22 0,37 0,93 72,23 178,77
IV 20,14 12,36 248,93 29 0,48 0,87 120,68 217,71
V 23,49 12,36 290,34 37 0,6 0,8 174,73 231,87
VI 25,22 12,36 311,72 46 0,72 0,69 224,23 216,53
VII 24,21 12,36 299,24 58 0,85 0,53 253,76 158,57
VIII 9,09 12,36 112,35 74 0,96 0,28 107,99 30,96
∑ 131,6 1030,14 1158,73

Keterangan :

(∑ 1) (𝑐) + (∑ 3) tan ∅
𝑓𝑠 =
∑2

(131,6) (19,5)+ (1158,73 x tan 18,25)


=
1030,14

= 2,8
76
Gambar 4.12.
Lempung Pasiran basah 2

Tabel 4.9 Analisis Lempung Pasiran basah 2


Irisan ΔLn γ Wn αn Sin Cos Wn Sin Wn Cos
No, (m²) (kN/m) (kN/m) αn αn αn αn
I 3,75 17 63,75 86 0,14 0,99 63,95 4,44
II 10,1 17 171,70 14 0,24 0,97 41,53 166,59
III 15,6 17 265,20 22 0,37 0,93 99,34 245,88
IV 20,14 17 342,38 29 0,48 0,87 165,98 299,45
V 23,49 17 399,33 37 0,6 0,8 240,32 318,91
VI 25,22 17 428,74 46 0,72 0,69 308,4 297,82
VII 24,21 17 411,57 58 0,85 0,53 349,03 218,09
VIII 9,09 17 154,53 74 0,96 0,28 148,54 42,59
∑ 131,6 1417,09 1593,77

Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(131,6 ) (18,25 )+ (1593,77 x tan 18,25 )


=
1417,09

= 2,0
76
Gambar 4.13.
Analisis Lempung Kering 2

Tabel 4.10 Analisis Lempung Kering 2


Irisan ΔLn γ Wn Sin Wn Cos
αn Cos αn Wn Sin αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m) αn αn
I 3,75 12,22 45,83 86 0,14 0,99 45,71 3,19
II 10,1 12,22 123,42 14 0,24 0,97 29,85 119,75
III 15,6 12,22 190,63 22 0,37 0,93 71,41 176,74
IV 20,14 12,22 246,11 29 0,48 0,87 119,31 215,25
V 23,49 12,22 287,05 37 0,6 0,8 172,75 229,24
VI 25,22 12,22 308,19 46 0,72 0,69 221,69 214,08
VII 24,21 12,22 295,85 58 0,85 0,53 250,89 156,77
VIII 9,09 12,22 111,08 74 0,96 0,28 106,77 30,61
∑ 131,6 1018,38 1145,63

Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(131,6) (19,5)+ (1145,63 x tan 18,5)


=
1018,38

= 2,8

76
Gambar 4.14.
Analisis Lempung Basah 2

Tabel 4.11 Analisis Lempung Basah 2


Irisan ΔLn γ Wn Sin Cos Wn Sin Wn Cos
αn
αn αn αn αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m)
I 3,75 17,09 64,09 86 0,14 0,99 63,93 4,47
II 10,1 17,09 172,61 14 0,24 0,97 41,75 167,48
III 15,6 17,09 266,60 22 0,37 0,93 99,87 247,18
IV 20,14 17,09 344,19 29 0,48 0,87 166,86 301,03
V 23,49 17,09 401,44 37 0,6 0,8 241,59 320,6
VI 25,22 17,09 431,01 46 0,72 0,69 310,04 299,4
VII 24,21 17,09 413,75 58 0,85 0,53 350,87 219,25
VIII 9,09 17,09 155,35 74 0,96 0,28 149,33 42,82
∑ 131,6 1424,24 1602,23
Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(131,6) (19,5)+ (1602,23 x tan 18,5)


=
1424,24

= 2,1
76
Gambar 4.15.
Analisis Batu lempung Kering 2

Tabel 4.12 Analisis Batu lempung Kering 2


Irisan ΔLn γ Wn Sin Wn Sin Wn Cos
αn Cos αn
αn αn αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m)
I 3,75 12,27 46,01 86 0,14 0,99 45,89 3,2
II 10,1 12,27 123,93 14 0,24 0,97 29,98 120,24
III 15,6 12,27 191,41 22 0,37 0,93 71,7 177,47
IV 20,14 12,27 247,12 29 0,48 0,87 119,8 216,13
V 23,49 12,27 288,22 37 0,6 0,8 173,45 230,18
VI 25,22 12,27 309,45 46 0,72 0,69 222,59 214,96
VII 24,21 12,27 297,06 58 0,85 0,53 251,92 157,41
VIII 9,09 12,27 111,53 74 0,96 0,28 107,2 30,74
∑ 131,6 1022,53 1150,33

Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(131,6) (18,25 )+ (1150,33 x tan 30 )


=
1022,53

= 2,9

76
Gambar 4.16.
Analisis Batu Lempung Basah 2

Tabel 4.13 Analisis Batu Lempung Basah 2


Irisan ΔLn γ Wn Sin Cos Wn Sin
αn Wn Cos αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m) αn αn αn
I 3,75 16,43 61,61 86 0,14 0,99 61,45 4,29
II 10,1 16,43 165,94 14 0,24 0,97 40,14 161,01
III 15,6 16,43 256,31 22 0,37 0,93 96,01 224,17
IV 20,14 16,43 330,90 29 0,48 0,87 160,42 289,41
V 23,49 16,43 385,94 37 0,6 0,8 232,26 308,22
VI 25,22 16,43 414,36 46 0,72 0,69 298,06 287,83
VII 24,21 16,43 397,77 58 0,85 0,53 33,72 210,78
VIII 9,09 16,43 149,35 74 0,96 0,28 143,56 41,16
∑ 131,6 1065,62 1526,87

Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅ 30
fs =
∑2

(131,6) (18,25 )+ (1526,87 x tan 30 )


=
1065,62

= 3,0

76
Gambar 4.17.
Analisis Lempung Berpasir Kering 3

Tabel 4.14 Lempung Berpasir Kering 3

Irisan ΔLn γ Wn Cos Wn Sin


αn Sin αn Wn Cos αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m) αn αn
I 14,83 12,36 183,30 5 0,09 1,00 15,98 182,60
II 20,32 12,36 251,16 8 0,14 0,99 34,95 248,71
III 21,37 12,36 264,13 12 0,21 0,98 54,92 258,36
IV 27,27 12,36 337,06 18 0,31 0,95 104,16 320,56
V 32,42 12,36 400,71 24 0,41 0,91 162,98 366,07
VI 36,73 12,36 453,98 30 0,50 0,87 226,99 393,16
VII 40,03 12,36 494,77 37 0,60 0,80 297,76 395,14
VIII 42,03 12,36 519,49 45 0,71 0,71 367,34 367,34
IX 38,31 12,36 473,51 53 0,80 0,60 378,16 284,97
X 25,5 12,36 315,18 64 0,90 0,44 283,28 138,17
∑ 298,81 1926,52 2955,07

Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(298,81) (19,5)+ (2955,07 x tan 18,25)


=
1926,52

= 3,5
76
Gambar 4.18.
Lempung Pasiran Basah 3

Tabel 4.15 Lempung Pasiran Basah 3

Irisan ΔLn γ Wn Cos Wn Sin


αn Sin αn Wn Cos αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m) αn αn
I 14,83 17 252,11 5 0,09 1,00 21,97 251,15
II 20,32 17 345,44 8 0,14 0,99 48,08 342,08
III 21,37 17 363,29 12 0,21 0,98 75,53 355,35
IV 27,27 17 463,59 18 0,31 0,95 143,26 440,90
V 32,42 17 551,14 24 0,41 0,91 224,17 503,49
VI 36,73 17 624,41 30 0,50 0,87 312,21 540,75
VII 40,03 17 680,51 37 0,60 0,80 409,54 543,48
VIII 42,03 17 714,51 45 0,71 0,71 505,23 505,23
IX 38,31 17 651,27 53 0,80 0,60 520,13 391,94
X 25,5 17 433,5 64 0,90 0,44 389,63 190,03
∑ 298,81 2649,74 4064,42
Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(298,81) (19,5)+ (4064,42x tan 18,25)


=
2649,74

= 2,7
76
Gambar 4.19.
Analisis Lempung Kering 3

Tabel 4.16 Lempung Kering 3

Irisan ΔLn γ Wn Sin Cos Wn Sin Wn Cos


αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m) αn αn αn αn
I 14,83 12,22 181,22 5 0,09 1,00 15,79 180,53
II 20,32 12,22 248,31 8 0,14 0,99 34,56 245,89
III 21,37 12,22 261,14 12 0,21 0,98 54,29 255,43
IV 27,27 12,22 333,24 18 0,31 0,95 102,98 316,93
V 32,42 12,22 396,17 24 0,41 0,91 161,14 361,92
VI 36,73 12,22 448,84 30 0,50 0,87 224,42 388,71
VII 40,03 12,22 489,17 37 0,60 0,80 294,39 390,67
VIII 42,03 12,22 513,61 45 0,71 0,71 363,17 363,17
IX 38,31 12,22 468,15 53 0,80 0,60 373,88 281,74
X 25,5 12,22 311,61 64 0,90 0,44 280,07 136,60
∑ 298,81 1904,70 2921,60

Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(298,81) (19,5)+ (2921,60 x tan 18,5)


=
1904,70

= 3,5
76
Gambar 4.20.
Analisis Lempung Basah 3
Tabel 4.17 Lempung Basah 3
Irisan ΔLn γ Wn Sin Wn Sin Wn Cos
αn Cos αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m) αn αn αn
I 14,83 17,09 253,44 5 0,09 1,00 22,09 252,48
II 20,32 17,09 347,27 8 0,14 0,99 48,33 343,89
III 21,37 17,09 365,21 12 0,21 0,98 75,93 357,23
IV 27,27 17,09 466,04 18 0,31 0,95 144,02 443,23
V 32,42 17,09 554,06 24 0,41 0,91 225,36 506,16
VI 36,73 17,09 627,72 30 0,50 0,87 313,86 543,62
VII 40,03 17,09 684,11 37 0,60 0,80 411,71 546,36
VIII 42,03 17,09 718,29 45 0,71 0,71 507,91 507,91
IX 38,31 17,09 654,72 53 0,80 0,60 522,88 394,02
X 25,5 17,09 435,80 64 0,90 0,44 391,69 191,04
∑ 298,81 2663,77 4085,94

Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(298,81) (19,5)+ (4085,94 x tan 18,5)


=
2663,77

= 2,7

76
Gambar 4.21.
Analisis Batu Lempung Kering 3

Tabel 4.18 Batu Lempung Kering 3

Irisan
ΔLn γ Wn Sin Wn Sin Wn Cos
αn Cos αn
αn αn αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m)
I 14,83 12,27 181,96 5 0,09 1,00 15,86 181,27
II 20,32 12,27 249,33 8 0,14 0,99 34,70 246,90
III 21,37 12,27 262,21 12 0,21 0,98 54,52 256,48
IV 27,27 12,27 334,60 18 0,31 0,95 103,40 318,23
V 32,42 12,27 397,79 24 0,41 0,91 161,80 363,40
VI 36,73 12,27 450,68 30 0,50 0,87 225,34 390,30
VII 40,03 12,27 491,17 37 0,60 0,80 295,59 392,26
VIII 42,03 12,27 515,71 45 0,71 0,71 364,66 364,66
IX 38,31 12,27 470,06 53 0,80 0,60 375,41 282,89
X 25,5 12,27 312,89 64 0,90 0,44 281,22 137,16
∑ 298,81 1912,49 2933,55
Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(298,81 ) (18,25 )+ (2933,55 x tan 30 )


=
1912,49

= 3,7
76
Gambar 4.22.
Analisis Batu Lempung Basah 3

Tabel 4.19 Batu Lempung Basah 3


Irisan ΔLn γ Wn Cos
αn Sin αn Wn Sin αn Wn Cos αn
No, (m²) (kN/m) (kN/m) αn
I 14,83 12,36 183,30 5 0,09 1,00 15,98 182,60
II 20,32 12,36 251,16 8 0,14 0,99 34,95 248,71
III 21,37 12,36 264,13 12 0,21 0,98 54,92 258,36
IV 27,27 12,36 337,06 18 0,31 0,95 104,16 320,56
V 32,42 12,36 400,71 24 0,41 0,91 162,98 366,07
VI 36,73 12,36 453,98 30 0,50 0,87 226,99 393,16
VII 40,03 12,36 494,77 37 0,60 0,80 297,76 395,14
VIII 42,03 12,36 519,49 45 0,71 0,71 367,34 367,34
IX 38,31 12,36 473,51 53 0,80 0,60 378,16 284,97
X 25,5 12,36 315,18 64 0,90 0,44 283,28 138,17
∑ 298,81 1926,52 2955,07
Keterangan :
( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(298,81) (18,25 )+ (2955,07 x tan 30 )


=
1926,52

= 3,7

76
4.3.1. Lereng Keseluruhan (Overall Slope)

Tabel 4.20 Keterangan Geometri Lereng Overall slope

Keterangan 1 2 3

Ketinggian Jenjang 5,858 m 7,933 m 11,377

Kemiringan Jenjang 45˚ 45˚ 45˚

Lebar Jenjang 5.123 m 5.123 m 5.123 m

Gambar 4.23.
Lereng Keseluruhan (Overall Slope)
Keterangan :

( ∑ 1) (c)+ ( ∑ 3) tan ∅
fs =
∑2

(71,47 ) (18,25 ) + (609,52 x tan 18,32 )


=
651,64

= 2,3

76
𝐻
Overall Angle (βall) = tan-1(𝐷 )

Overall height (Hall) = H1 + H2 + H3 +..... + Hn

Overall width (Dall) = (D1 + D2 + D3 +... + Dn) + ((H1 x tanβ1)

+ (H2 x tanβ2) + (H3 x tan β3) +... + (H4 x tanβn))

Keterangan :

H : Tinggi keseluruhan

D : Lebar keseluruhan

β˚: Sudut kemiringan

H = 25,5

D = 37,339

H
= 0,6748
D

β˚ = 34,001˚

4.2. Pembahasan

4.2.1. Analisis dengan Program Slide

Perhitungan analisis kestabilan lereng dengan menggunakan

program Slide memerlukan data-data yang diketahui lebih dahulu

yaitu titik koordinat lereng dan data-data tanah lereng tersebut (c,

Ø, γ). Adapun data lereng pit 5 PT Unirich Mega Persada yang

ditinjau adalah sebagai berikut:

Kohesi Tanah (c’) = 19,5 KN/m2

Berat Isi Tanah (γ) = 12,22 KN/m3

Sudut Geser Dalam (Ø’) = 18,5 0

76
4.2.2. Hasil Perhitungan dengan Menggunakan Program Slide

Dengan menggunakan program Slide dapat diperoleh nilai

FK. Dengan parameter-parameter yang telah diketahui maka

didapat nilai FK pada Analisis percobaan lereng single slop

pertama sebesar 2,3. FK analisis percobaan lereng single slope

kedua sebesar 2,6. FK analisis single slope ketiga sebesar 3,3.

Analisis pada Overall sebesar 2,3 Nilai tersebut menunjukkan

bahwa lereng tersebut dalam kondisi aman. Berdasarkan :

FK > 1,5 menunjukkan lereng stabil

FK = 1,5 kemungkinan lereng tidak stabil

FK < 1,5 menunjukkan lereng tidak Stabil

Peraturan yang menjadi rujukan utama dari Kepmen

Pertambangan Dan Energi No. 555. K/26/M.PE/1995 tanggal 22

Mei 1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan

Umum yang merupakan penyempurnaan atau pengganti MPR No.

341 tahun 1930. Pasal 241 Tinggi Permuka Kerja dan Lebar Teras

Kerja.

(1) Kemiringan, tinggi, dan lebar teras harus dibuat dengan baik

dan aman untuk keselamatan para pekerja agar terhindar dari

material atau benda jatuh

76
(2) Tinggi jenjang (bench) untuk pekerjaan yang dilakukan pada

lapisan yang mengandung pasir, tanah liat, kerikil, dan

material lepas lainnya harus:

a. tidak boleh lebih dari 2,5 meter apabila dilakukan secara

manual

b. tidak boleh lebih dari 6 meter apabila dilakukan secara

mekanis.

c. tidak boleh lebih dari 20 meter apabila dilakukan dengan

menggunakan clamsheel, dragline, bucket wheel

excavator atau alat sejenis, kecuali mendapat persetujuan

Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang.

(3) Tinggi jenjang untuk pekerjaan yang dilakukan pada material

kompak tidak boleh lebih dari 6 meter apabila dilakukan secara

manual

(4) Dalam hal penggalian dilakukan sepenuhnya dengan alat

mekanis yang dilengkapi dengan kabin pengaman yang kuat,

maka tinggi jenjang maksimum untuk jenis material kompak

15 meter, kecuali mendapat persetujuan Kepala Pelaksana

Inspeksi Tambang.

(5) Studi kestabilan lereng harus dibuat apabila:

a. tinggi jenjang keseluruhan pada sistem penambangan

berjenjang lebih dari 15 meter

b. tinggi setiap jenjang lebih dari 15 meter

76
4.2.3. Upaya Peningkatan Kestabilan Lereng

Berdasarkan hasil perhitungan dimana material terlemah

Lempung Berpasir maka upaya peningkatan kestabilan lereng

geometri lereng multi slop yaitu tinggi 25 m dan kemiringan 50o.

Dari hasil analisis perhitungan komputer menggunakan program

Slide menunjukkan nilai Faktor Keamanan dari lereng di pit 5 PT

Unirich Mega Persada Analisis overall slope rata rata sebesar 2,3

maka peneliti menyarankan nilai FK sebesar 1,6 berdasarkan nilai

standar analisis overall slop rata – rata, sehingga ultimate pit limit

tidak melebar serta mampu digunakan selama delapan tahun

kedepan.

Gambar 4.24.
FK Upaya Peningkatan Kestabilan Lereng

76
Tabel 4.21. Keterangan Geometri Lereng Upaya Peningkatan

Keterangan 1 2 3

Ketinggian Jenjang 5,899 m 7,965 m 11,510 m

Kemiringan Jenjang 50˚ 50˚ 50˚

Lebar Jenjang 5.123 m 5.123 m 5.123 m

Tabel 4.22. Perbandingan Aktual dan Upaya Peningkatan

Keterangan Nilai Aktual Nilai Upaya Peningkatan

Tinggi Overall slope 25,2 m 25,2 m

Lebar Overall slope 43 m 35 m

Kemiringan 45˚ 50˚

Overall Angle 34˚ 40˚

Safety Factor 2,3 1,6

76
Gambar 4.25.
Lereng Aktual

Gambar 4.26.
Upaya Peningkatan Kestabilan Lereng

76
= Lereng aktual

= Lereng upaya peningkatan

Gambar 4.27. Lereng Upaya Peningkatan Kestabilan Lereng

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil analisa safety factor dengan menggunakan metode

Fellenius pada lereng di pit 5 PT. Unirich Mega Persada, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut.

1. Hasil nilai safety factor pada Analisis yang pertama adalah 2,3. Analisis

yang kedua adalah 2,6. Hasil nilai safety factor pada Analisis yang ketiga

76
adalah 3,3. Hasil nilai safety factor pada Analisis Overall adalah 2,3.

Dari nilai tersebut maka dapat dikatakan lereng tersebut adalah lereng

relatif aman. (Nilai safety factor lereng >1,5 = Lereng stabil).

2. Berdasarkan nilai safety factor dari lereng di pit 5 PT Unirich Mega

Persada Analisis overall slope rata rata sebesar 2,3 maka peneliti

menyarankan nilai FK sebesar 1,6 berdasarkan nilai standar analisis

overall slop rata – rata, sehingga ultimate pit limit tidak melebar serta

mampu digunakan selama delapan tahun kedepan.

76
77

5.2. Saran

Saran yang bisa saya di rekomendasikan pada PT Unirich Mega Persada

adalah sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan pemantauan air tanah disekitar lereng, sehingga analisis

stabilitas lereng semakin akurat.

2. Pada lokasi High Wall diperlukan pemantauan dengan melakukan survey

secara periodik agar dapat mengetahui pergerakan lereng.

3. Perlunya pengawasan secara teliti saat pembuatan bench agar mengikuti

desain tambang yang di buat.

4. Perlunya panambahan alat penerangan di area tambang saat pembuatan

bench.

5. Membuat rambu / boundry dengan pita menyala atau safety line agar bisa

terlihat di malam hari, untuk mempermudah para pekerja alat untuk

membuat bench sesuai rancangan desain.


75

DAFTAR PUSTAKA

Arief Kusuma. 2007,“Kemantapan Lereng Batuan”, Kursus Pengawas

Tambang,Blog.com.diperoleh pada tanggal 9 Desember 2015.

Braja M. Das. 1985, “Principles of Geotechnical Engineering. PWS

Publishers”.diperoleh pada tanggal 11 Mei 2016.

Dunnicliff, John. 1988,”Geotechnical Instrumentation For Monitoring Field

Performance”. John Wiley & Sons.diakses pada tanggal 11 Mei 2016.

Gian Paolo Giani. 1992 “Rock Slope stability Analysis. Balkema”. diperoleh pada

tanggal 11 Mei 2016.

Hoek, E. and Bray, 1981 “Rock Slope Engineering”’ 3rd Ed., The Institution Of

Mining and Metallurgy London,. J.W.,diperoleh tanggal 9 Desember

2015.

Hoek & Bray. 1981 “Rock Slope Engineering”. Third Edition. The Institution of

Mining & Metallurgy, London.diperoleh pada tanggal 11 Mei 2016

Made Astawa Rai. 1995.Analisa Kemantapan Lereng : Proyeksi Stereografis dan

Metode Grafi, Kursus Geoteknik dan Perencanaan Tambang Terbuka.

Blog.com. diperoleh tanggal 9 Desember 2015.

Pande, Beer, Williams. 1990. Numerical Methods in Rock Mechanics. John Wiley

& Sons.diperoleh tanggal 9 Desember 2015

Wesley. 1977. Mekanika Tanah. Badan Penerbit Pekerjaan Umum.diperoleh

tanggal 9 Desember 2015

Jumikis, Alfred. 1983 .Rock Mechanics. Trans Tech Publications.diperoleh

tanggal 9 Desember 2015


76

Anda mungkin juga menyukai