Sistem Penilaian Hasil Belajar Seni Rupa Siswa Sekolah Menengah Pertama
Sistem Penilaian Hasil Belajar Seni Rupa Siswa Sekolah Menengah Pertama
B. Performance assessment
Selanjutnya dalam kurikulum KTSP dikenal dengan teknik/cara penilaian
sebagai berikut: unjuk kerja (performance), penugasan (proyek/project), hasil kerja
(produk/product), tertulis (paper & pen), portofolio, sikap, penilaian diri (self
4
Assesment). Dengan demikian penilaian hasil belajar seni rupa yang tepat adalah
dengan performance assessment. Prestasi yang dicapai adalah prestasi yang
diwujudkan dalam bentuk penanmpilan kinerja atau hasil karya, dan hanya akan
tepat jika dinilai melalui asesmen dalam bentuk performance assessment.
Performance assessment merupakan penilaian yang dilakukan melalui
penyajian atau penampilan oleh peserta didik dalam bentuk pengerjaan tugas-tugas
atau berbagai aktivitas tertentu, yang secara langsung mempunyai makna
pendidikan. Performance assessment bertujuan untuk mengetahui seberapa baik
subyek belajar telah mampu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya
sesuai dengan sasaran pembelajaran yang telah ditentukan dan berfokus pada
penilaian secara langsung yakni dalam arti langsung dari kinerja atau apa yang
ditampilkan oleh peserta didik, berlangsung kontinyu, dengan mengkaitkannya
dengan berbagai permasalahan nyata yang dihadapi peserta didik.
Menurut Griffin dan Nix (1991), tugas/kegiatan yang sesuai dengan asesmen
adalah tugas/kegiatan yang hendaknya
1. menuntut peserta didik menggunakan pengetahuannya untuk mengerjakan
tugas/kegiatan tersebut menjadi tugas yang benar-benar bermakna;
2. merupakan gabungan antara aspek pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan, dan menuntut para peserta didik untuk mengkobinasikan
aspek-aspek tersebut dalam menyelesaikannya;
3. menuntut respons, tampilan atau produk yang akurat, cermat dan lengkap;
4. mempunyai standar dan kriteria yang spesifik dan jelas/tegas untuk
memberikan penilaian atas berbagai jawaban, tampilan, atau produk yang
dihasilkan;
5. menjadi contoh bagi peserta didik untuk menemukan cara
mengkombinasikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuannya dalam
dunia nyata;
6. mampu menunjukkan berbagai tantangan yang dihadapi dalam kehidupan
nyata.
Menurut Marsh (1996) jenis tugas/kegiatan yang sesuai dengan asesmen
diantaranya yaitu portofolio, menulis jurnal/paper, simulasi, desain dan presentasi,
5
observasi kritis, proyek individu dan kelompok, studi lapangan, pemecahan masalah,
membuat peta konsep dan sebagainya.
Menurut Marzano dkk (1993) performance assssment atau authentic
assessment mengandung tiga unsur inovasi dalam bidang penilaian. Pertama, tidak
mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran yang tradisional, tetapi lebih
menekankan pada kemampuan nyata subyek belajar. Kedua, bersifat menyeluruh,
mengembangkan seluruh kemampuan subyek belajar melalui kegiatan pembelajaran
menurut paham konstruktivisme. Ketiga, tidak menggunakan sistem tes tradisional
tetapi menggunakan berbagai cara. Sistem tes tradisional cenderung hanya mengukur
ingatan, dan menurut Gronlund (1998) antara 80 % sampai 90% guru melakukan
hal tersebut.
Gronlund (1998) menambahkan perihal kelebihan performance assessment.
Melalui performance assessment yang diperluas (extended performance assessment)
guru dapat mengetahui berbagai kemampuan yang lebih kompleks yang dicapai
siswa yang tidak dapat diukur dengan menggunakan tes tertulis dalam bentuk uraian
saja.
Dengan demikian performance assessment adalah suatu cara yang tepat
untuk melihat proses kemajuan peserta didik dari waktu ke waktu, dan memberikan
masukan kepada orang tua murid, serta membantu dalam proses manajemen kelas.
Dalam pemilihan metode pengukuran Assesment dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori, yaitu kategori yang sudah terstandarisasi, dan dapat digunakan
untuk membandingkan anak dengan perkembangan normal dengan anak lain.
Sedangkan untuk kategori yang kedua adalah kategori yang berisi metode yang
informal, salah satunya adalah observasi. Untuk metode ini, tidak ada standar atau
norma yang baku. Sehingga untuk melakukannya harus orang yang memiliki
keahlian, serta sudah terlatih untuk ini. Hal yang sama berlaku pula untuk kategori
yang pertama. Akan tetapi ada kekurangan untuk kategori yang pertama, yaitu
adanya culture bias dimana untuk tes yang sifatnya adaptasi, ada beberapa norma
yang belum tentu cocok diterapkan dalam budaya lain.
6
(2) Teknik penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tes
tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau
kelompok.
(3) Untuk mata pelajaran selain kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
dan teknologi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, teknik
penilaian observasi secara individual sekurang-kurangnya dilaksanakan
satu kali dalam satu semester.
Berikut ini prinsip penilaian karya senirupa pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah, yang mengacu pada Peraturan Menteri No 20 tahun
2007:
a. Sahih, berarti penilaian seni rupa didasarkan pada data yang
mencerminkan kemampuan yang diukur.
b. Objektif, berarti penilaian seni rupa didasarkan pada prosedur
dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.
c. Adil, berarti penilaian seni rupa tidak menguntungkan atau
merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan
latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi,
dan gender.
d. Terpadu, berarti penilaian seni rupa oleh pendidik seni rupa
merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan
pembelajaran.
e. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar
pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan,
antara lain peserta didik.
f. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh
pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan
berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan
kemampuan peserta didik.
g. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan
bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.
h. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran
pencapain kompetensi yang ditetapkan.
8
D. Penutup
Karya seni rupa tentunya tidak relevan diukur dengan alat tes saja yang hanya
mengukur aspek kognitif, sedangkan penampilan peserta didik dalam aspek afektif
dan psikomotor sangat sulit datanya diukur melalui tes. Tingkah laku peserta didik di
luar situasi tes lebih menunjukkan penampilan yang wajar dan non artificial dalam
mengaplikasikan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor yang banyak
diantaranya tidak dapat terjaring oleh tes. Apalagi bila dikaitkan tujuan pendidikan
seni rupa adalah membina kemampuan peserta didik ber- self expression secara
kreatif-estetik lewat penggunaan media seni rupa. Dengan demikian untuk menilai
karya seni lukis peserta didik diperlukan tidak hanya dari segi hasil saja tetapi juga
proses pembuatan karya tersebut.
PUSTAKA
Asmawi, Zainul. (2005). Alternative Assesment . Jakarta: Universitas Terbuka.
CONTOH PEMETAAN
STANDAR KOMPETENSI, KOMPETENSI DASAR, INDIKATOR, DAN ASPEK
PENILAIAN
Mata Pelajara : Seni Budaya (Seni Rupa)
Kelas : VII
Semester : 1 (Satu)
Standar Kompetensi Aspek Teknik Penilaian
Indikator
Kompetensi Dasar Kreasi Apresiasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1.1 Mengidentifikasi Mengidentifikasi
1. Mengapresisi jenis karya seni karya seni rupa √ √
Karya Seni Rupa rupa terapan terapan daerah
daerah setempat setempat
Mendiskripsikan
jenis, bentuk,
teknik √ √ √
pembuatan,
1.2 Menampilakan fungsi dan
sikap apresiatip makna karya
terhadap seni rupa terapan
keunikan
gagasan, teknik Mendiskripsikan
karya seni rupa beragam fungsi,
terapan daerah bentuk dan
setempat makna pada √ √
√
keunikan karya
seni rupa terapan
daerah setempat
Membuat
tanggapan
tertulis tentang
keunikan karya √ √ √
seni rupa daerah
setempat
10
Membuat benda
pakai dengan
memanfaatkan
√ √ √
teknik dan corak
seni rupa daerah
setempat
Membuat benda
hias dengan
memanfaatkan √
√ √
teknik dan corak
seni rupa daerah
setempat
KETERANGAN :
1. TES TULIS
2. PROSES
3. PRODAK
4. TUGAS INDIVIDU/ KELOMPOK
5. TES LISAN
6. KLIPING
7. JURNAL
8. PENILAIAN DIRI
11
Merupakan salah satu tugas tersulit pendidik seni rupa adalah penilaian
produk seni rupa. Seorang pendidik seni rupa sebelum melakukan penilaian produk
seni, tentunya harus menentukan terlebih dahulu atas dasar apa hal tersebut dapat
dilakukan. Karena sebagian besar definisi seni yang telah ada mencakup seni sebagai
tujuan di dalam dirinya sendiri, maka seni pada akhirnya menjadi bernilai atau
memiliki nilai intrinsik. Bila aktivitas seni dikendalikan dan menghasilkan produk
yang memiliki suatu kegunaan spesifik, maka ia menjadi bernilai secara
instrumental atau memiliki nilai ekstrinsik. Hal ini mungkin dapat lebih
disederhanakan dengan mengatakan bahwa hal-hal yang bernilai secara instrinsik
dinilai demi dirinya sendiri dan hal-hal yang bernilai ekstrinsik diapresiasi dan dinilai
karena kebermanfaatannya. Akan menarik dan menguntungkan bila menguji
penerapan nilai-nilai ini atas seni dengan lebih dekat, yang dicontohkan dengan
analogi-analogi dari kehidupan sehari-hari. Disini akan ditemukan bahwa hal-hal
keseharian tersebut memiliki kedua nilai, salah satu nilai, atau tidak memiliki nilai
sama sekali.
Dibawah ini cuplikan dari ceramah ttg pend seni mau dmn????
Pada dasarnya pendidikan seni disekolah diarahkan untuk menumbuhkan
kepekaan rasa estetik dan artistik sehingga terbentuk sikap kritis, apresiasif dan
kreatif pada diri siswa secara menyeluruh. Sikap ini akan tumbuh, apabila
dilakukan serangkaian proses kegiatan pada siswa yang meliputi kegiatan
pengamatan, penilaian, dan pertumbuhan rasa memiliki melalui keterlibatan
siswa dalam segala aktivitas seni di dalam kelas dan atau di luar kelas. Dengan
demikian pendidikan seni melibatkan semua bentuk kegiatan berupa aktivitas
fisik dan cita rasa keindahan yang tertuang dalam kegiatan berekspresi,
bereksplorasi, berapresiasi dan berkreasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak dan
peran (seni rupa,musik, tari, dan teater). Masing-masing mencakup materi sesuai
dengan bidang seni dan aktivitas dalam gagasan-gagasan seni, keterampilan
berkarya seni serta berapresiasi dengan memperhatikan konteks sosial budaya
masyarakat.(Diknas, 2004:3).
Sedangkan fungsi dan tujuan pendidikan seni adalah menumbuhkan sikap
toleransi, demokrasi, dan beradab, serta mampu hidup rukun dalam masyarakat
majemuk, mengembangkan kemampuan imajinatif intelektual, ekspresi melalui
14
Assesing Young Children : What’s Old, What’s New, and Where Are we
Headed?
Mengapa Asesment?
Assesment adalah suatu cara yang bagus untuk melihat proses kemajuan murid dari
waktu ke waktu, memberikan masukan kepada orang tua murid, serta memebantu
dalam proses manajemen kelas. Yang sering terjadi adalah asessment digunakan
untuk melihat kelakuan yang baik, tetapi diwujudkan dengan cara yang salah. Selain
itu, alasan lainnya adalah untuk melihat kesiapan murid pra sekolah dan TK,
pengembangan kurikulum, serta melihat keefektifitasan suatu program.
Pemilihan Metode
Pengukuran Assesment dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kategori
yang sudah terstandarisasi, serta dapat digunakan untuk membandingkan anak
dengan perkembangan normal dengan anak lain. Sedangkan untuk kategori yang
kedua adalah kategori yang berisi metode yang informal, salah satunya adalah
observasi. Untuk metode ini, tidak ada standar atau norma yang baku. Sehingga
untuk melakukannya harus orang yang memiliki keahlian, serta sudah teraltih untuk
ini. Hal yang sama berlaku pula untuk kategori yang pertama. Akan tetapi ada
kekurangan untuk kategori yang pertama, yaitu adanya culture bias dimana untuk tes
yang sifatnya adaptasi, ada beberapa norma yang belum tentu cocok diterapkan
dalam budaya lain.
Ringkasan:
Berbicara dalam pengertian estetika, salah satu tugas tersulit pendidik seni
adalah evaluasi produk seni. Sebelum produk seni dapat dikritik atau dievaluasi,
harus menentukan terlebih dahulu atas dasar apa hal tersebut dapat dilakukan.
15
Karena sebagian besar definisi seni yang telah ada mencakup seni sebagai tujuan di
dalam dirinya sendiri, maka seni pada akhirnya menjadi bernilai atau memiliki nilai
intrinsik. Bila aktivitas seni dikendalikan dan menghasilkan produk yang memiliki
suatu kegunaan spesifik, maka ia menjadi bernilai secara instrumental atau memiliki
nilai ekstrinsik. Hal ini mungkin dapat lebih disederhanakan dengan mengatakan
bahwa hal-hal yang bernilai secara instrinsik dinilai demi dirinya sendiri dan hal-hal
yang bernilai ekstrinsik diapresiasi dan dinilai karena kebermanfaatannya. Akan
menarik dan menguntungkan bila menguji penerapan nilai-nilai ini atas seni dengan
lebih dekat, yang dicontohkan dengan analogi-analogi dari kehidupan sehari-hari.
Disini akan ditemukan bahwa hal-hal keseharian tersebut memiliki kedua nilai, salah
satu nilai, atau tidak memiliki nilai sama sekali.
produk seni yang sempurna. Kriteria tersebut dapat membantu kita untuk memahami
seni sebagai perwujudan pengalaman, yang juga sama pentingnya. Dalam melakukan
hal ini, kita menjadi lebih sadar tentang apa yang kita alami. Dan produk seni sebagai
sebuah pengalaman memberikan pengalaman khusus dari dunia seni spesifik yang
relevan dengan poduk seni ketika dialami.
Di luar inteligensia, pengalaman adalah suatu kekacauan semichaotik;
gerakan tanpa arah, isi tanpa bentuk, bunyi-bunyi yang tak terkendali, warna tanpa
pikiran, dan sebagainya. Namun, seniman dan penonton, dalam berurusan dengan
fragmen-fragmen pengalaman, mengintensifkan, mengklasifikasikan, dan
menafsirkan pengalaman tersebut. Seni menyarankan tujuan ultimate semua
pengalaman yang ditata, yang merupakan konsep manusia yang hidup dalam sebuah
masyarakat yang tertib dan kreatif.
Kriteria untuk pengalaman yang lebih tertata di dalam seni secara alamiah
mendahului penilaian disipliner. Kriteria tidak mengakhiri proses kreatif karena
kriteria bukanlah batasan-batasan; mereka lebih cenderung membuka lorong-lorong
baru kepada pemahaman, imajinasi, dan pengalaman. Masalahnya bukan apa yang
tidak bisa kita lakukan, melainkan, lewat pemahaman, apa yang bisa kita lakukan
. Pendahuluan
Kualitas hasil penelitian ditentukan oleh kualitas data yang dioleh menjadi
informasi baik dengan statistik maupun secara kualitatif. Analisis data dengan
statistik digunakan pada metode penelitian kuantitatif. Kualitas data dipengaruhi
oleh kualitas instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data. Kualitas
suatu instrumen dapat dilihat dari kesahihan, keandalan, praktis dan ekonomis.
Sahih berarti alat ukur mengukur seperti yang direncanakan, sedang instrumen
yang andal berarti mengandung kesalahan pengukuran yang kecil. Praktis dan
ekonomis berarti alat ukur mudah digunakan dan beaya untuk membuat dan
menggunakan alat ukur tersebut murah
Instrumen yang digunakan harus memiliki bukti kesahihan (validity) dan
keandalan (reliability). Bukti kesahihan meliputi kesahihan konstruk, kesahihan
isi, dan kesahihan terkait kriteria. Bukti keandalan instrumen dilihat dari
besarnya indeks keandakan instrumen. Oleh karena itu instrumen yang digunakan
harus sahih, andal, praktis, dan ekonomis..
B. Pengukuran
Ada empat istilah utama yang terkait dengan pengukuran, yaitu tes, .
pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Pertama, tes adalah bagian yang paling
sempit pengertiannya, yaitu suatu pertanyaan yang memiliki jawaban yang benar
dan salah. Kedua, Pengukuran menurut Guilford (1954) adalah penetapan angka
terhadap suatu objek menurut aturan tertentu. Pengukuran juga didefinisikan
sebagai suatu kegiatan yang sistematis untuk memperoleh informasi dalam
bentuk kuantitatif, yaitu berupa angka. Ketiga, penilaian adalah kegiatan
menafsirkan atau mendeskripsikan hasil pengukuran, atau kegiatan untuk
menentukan tingkat keberhasilan belajar peserta. Keempat, evaluasi adalah
judgment terhadap hasil penilaian atau implikasi hasil penilaian. Perbedaan
penilaian dan evaluasi terletak pada fokusnya. Fokus penilaian adalah peserta
didik atau individu, sedang fokus evaluasi adalah kelompok.
Tes merupakan alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran, yaitu
mengumpulkan informasi mengenai suatu objek. Objek ini bisa berupa pendidik
atau siswa, misalnya kemampuan siswa, ketrampilan siswa, dan sebagainya.
18
Iventory adalah suatu alat ukur untuk mengumpulkan informasi tentang sikap,
minat, motivasi belajar, dan sebagainya. Oleh karena itu alat ukur yang
digunakan untuk menjaring informasi bisa berupa tes dan nontes.
Untuk memperoleh hasil pengukuran yang akurat perlu diketahui sumber
kesalahan pengukuran. Sumber tersebut terletak pada alat ukur, cara mengukur,
orang yang mengukur, orang yang diukur, dan lingkungan saat pengukuran.
Kesalahan pengukuran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu yang bersifat acak
dan yang bersifat sistematik. Kesalahan yang bersifat acak disebabkan pemilihan
materi pengukuran yang acak, kondisi yang diukur dan yang mengukur juga
bersifat acak, misalnya kondisi fisik dan mental, serta emosi seseorang yang
berubah secra acak. Kesalahan sistimatik disebabkan materi pengukuran terlalu
mudah atau terlalu sulit, atau bisa disebabkan oleh sifat pendidik dalam memberi
nilai, ada yang murah dan ada yang hemat.
Pada makalah akan dibahas secara singkat dan praktis tentang
pengembangan instrumen untuk penelitian. Instrumen yang digunakan untuk
penelitian bisa berupa tes atau nontes. Oleh karena itu berikut ini akan dibahas
pengembangan instrumen baik tes maupun notes.
19
C. KAJIAN PUSTAKA
dalam memilih pendekatan, strategi, metode, dan media yang pakai. (Depdikbud,
1997).
Pendapat lain yaitu dari Nana Syaodih Sukmadinata (1999) bahwa evaluasi
merupakan moral judgement yang berkait dengan nilai. Hasil evaluasi berisi suatu
nilai yang akan digunakan pada tindakan selanjutnya. Evaluasi melibatkan dua
tahapan yaitu tahap pengumpulan informasi dan data, dan tahap kedua adalah tahap
pengambilan keputusan. Karena program pendidikan melibatkan banyak pihak, maka
setiap pihak akan dapat mengambil keputusan berdasarkan hasil penilaian yang ada
sesuai dengan posisinya. Murid mengambil posisinya sebagai murid, guru
mengambil posisinya sebagai guru. Besar kecilnya pengambilan keputusan juga
tidak dapat lepas dengan lingkup tanggung jawab yang diambilnya.
Penilaian terhadap tugas-tugas yang diberikan harus menjadi bagian dari penilaian.
Penilaian yang hanya mengandalkan hasil ulangan baik ulangan harian, ulangan catur
wulan, ulangan kenaikan kelas, maupun Ebtanas juga hanya mengandalkan pada tes
tertulis. Alat penilaian ini dipandang mengandung banyak kelemahan. Utamanya
karena hanya mengukur sebagian kecil saja dari aspek (domain) prestasi yang dicapai
oleh peserta didik. Aspek/domain yang lebih banyak diukur adalah aspek kognitif.
Kenyataan di lapangan juga hanya mengukur jenjang yang rendah saja (knowledge
dan comprehension). Akibatnya, hasil yang terukur kurang mencerminkan
pencapaian hasil belajar yang sesungguhnya.
Kegiatan penilaian yang berkait dengan prestasi dalam aspek psikomotor baik
dalam bentuk aktivitas verbal seperti kemampuan berbicara menyampaikan
pendapat/berargumerntasi, bertanya, berdiskusi, ataupun yang berkait dengan
kegiatan menulis seperti mengarang, membuat desain percobaan, membuat puisi,
serta kemampuan yang berkait dengan keterampilan dalam mempergunakan
peralatan termasuk kegiatan menggunakan peralatan laboratorium, memang tidak
akan dapat dinilai hanya dengan mengandalkan data yang dihimpun dari tes tertulis.
Prestasi yang dicapai adalah prestasi yang diujudkan dalam bentuk penanmpilan
kinerja atau hasil kerja, dan hanya akan tepat jika dinilai melalui asesmen dalam
bentuk performance assessment atau authentic assessment.
Performance assessment merupakan penilaian yang dilakukan melalui
penyajian atau penampilan oleh peserta didik dalam bentuk pengerjaan tugas-tugas
atau berbagai aktivitas tertentu, yang secara langsung mempunyai makna
pendidikan. Performance assessment yang bertujuan untuk mengetahui seberapa
baik subyek belajar telah mampu mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilannya sesuai dengan sasaran pembelajaran yang telah ditentukan dan
berfokus pada penilaian secara langsung yakni dalam arti langsung dari kinerja
atau apa yang ditampilkan oleh peserta didik, berlangsung kontinyu, dengan
mengkaitkannya dengan berbagai permasalahan nyata yang dihadapi peserta didik.
Menurut Griffin dan Nix (1991), tugas/kegiatan yang sesuai dengan
asesmen adalah tugas/kegiatan yang hendaknya
1. menuntut peserta didik menggunakan pengetahuannya untuk mengerjakan
tugas/kegiatan tersebut menjadi tugas yang benar-benar bermakna;
26
demikian dalam beberapa hal guru dapat mengkombinasikan tes perbuatan dengan
tes tertulis. Menurut Gronlund, melalui performance essessment jakan dapat
diketahui penampilan yang aktual dari siswa dalam menguasai keterampilan yang
telah dipelajarinya seperti kemampuan memakai peralatan laboratorium,
kemampuan melaksanakan eksperimen, kemampuan menjalankan mesin, dan
sebagainya. Sementara istilah authentic assessment dipakai untuk suatu
performance assessment yang difokuskan pada aplikasi atau dari pengetahuan
yang dikuasai siswa atau untuk mengetahui keterampilan siswa untuk memecahkan
problem-problem yang dihadapi dalam dunia nyata.
Menurut Newman dan Wehlage (1993) authentic assessment adalah proses
pengumpulan data dimana mahasiswa memahami dan menghasilkan pengetahuan
yang berarti/bermakna. Authentic assessment disebut juga performance assessment
karena didasarkan atas apa yang dapat dilakukan oleh subyek belajar. Marzano dkk.
(1993) mengidentifikasi kegiatan authentic assessment sebagai berikut:
1. Peserta didik diberi kesempatan untuk mendemonstrasikan kebolehannya,
pema-hamannya, keterampilannya secara kontekstual dan variatif.
2. Dilakukan secara kontinyu dan terstruktur menurut tujuan instruksional
3. Menghasilkan karya nyata (tangible product) dan penampilan yang dapat
diamati (observable performance).
4. Memacu peserta didik untuk melakukan penilaian diri (self-assessment),
menyadari kelebihan dan kelemahannya dan mampu mengembangkan
kelebihannya tersebut dan memperbaiki kelemahannya.
5. Mengungkap kemampuan peserta didik berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan.
O’Neil (1992) menambahkan bahwa Authentic Assessment memberi data
yang lebih lengkap tentang kemampuan peserta didik dan didasarkan atas kegiatan
pembelajaran, menghargai produk dan proses sama baiknya
Authentic assessment identik pula dengan outcomes-based education
seperti yang diungkap oleh Spady (1993). Menurut Spady, Program Studi atau
sekolah harus memiliki standar lulusan. Suatu program Studi atau sekolah mestinya
telah mengembangkan standar kemampuan atau kapasitas lulusannya sebagaimana
stanfar yang ditetapkan oleh lembaga yang bersangkutan. Dengan demikian maka
28
setiap mata pelajaran yang diselenggarakan memberi kontribusi dalam upaya untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik menuju standar yang telah ditetapkan.
Fungsi authentic asessment ialah untuk melacak kemampuan standar mana yang
telah dikuasai peserta didik dan kemampuan mana yang belum dikuasai peserta
didik. Dengan demikian maka kualitas lulusan akan memenuhi standar yang telah
ditetapkan.
Tugas-tugas peserta didik yang dikembangkan melalui authentic asessment
bervariasi namum tidak terlepas dari tiga prinsip dasar. Pertama, tugas-tugas tersebut
sangat berarti bagi peserta didik (meaningful). Kedua, senantiasa disertai dengan
kriteria penilaian. Dan ketiga didasarkan atas apa yang dapat dilakukan oleh peserta
didik (Marsh, 1996). Adapun bentuk tugas-tugas tersebut meliputi: (a) portfolio, (b)
pembuatan jurnal/paper/karangan, (c) simulasi, (d) membuat desain dan presentasi,
(e) observasi kritis, (f) mengerjakan proyek individu dan kelompok, (g) melaporkan
hasil studi lapangan, (h) melakukan kegiatan pemecahan masalah, (i) membuat peta
konsep, dan sebagainya
Dari hasil penelitian yang telah diselenggarakan seperti yang dilaporkan oleh
Swanson dkk. (1995), menunjukkan bahwa selain ada kelebihan juga ada kendala
dalam menyelenggarakan authentic assessment seperti (a) sukarnya membuat desain
tes penampilan (performance), karena ternyata tidak lebih sederhana, (b) serealistik
apapun hasil penampilan sifatnya tetap berupa simulasi, (c) sulitnya memberikan
skor yang obyektif terhadap kinerja yang ditampilkan, (d) hasil penilaian pada suatu
konteks berbeda dengan konteks yang lainnya sehingga terkesan tidak predictable,
(e) hasil penilaian kinerja satu aspek tidak mesti berkorelasi dengan hasil kionerja
pada aspek yang lain, (f) penilaian terhadap kinerja yang memang selalu cenderung
bersifat komplek cenderung tidak mudah sehingga hasil tes tulis masih tetap
diperlukan untuk mempoerkuat hasil penilaian.
Penelitian Bambang Subali dkk (2000) yang mencoba menerapkan authentic
assessment di FMIPA UNY yaitu pada mata kuliah Penilaian pencapaian Hasil
Belajar Biologi pada program Strata-1 Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan
Biologi, menunjukkan bahwa dengan jumlah mahasiswa sebanyak 47 orang,
penilaian terhadap kegiatan yang sifatnya mengarah kepada kinerja individual dalam
bentuk kerja kelompok menjadi sukar dilaksanakan. Kepasifan mahasiswa serta
29
ketidak siapan mahasiswa untuk menghadapi suatu tugas yang sifatnya berupa
kegiatan lapangan yang harus terjun langsung ke sekolah untuk memperoleh data
menjadi hambatan penerapan authentic assessment.
prestasi kognitif. Hasil penelitian Bambang subali (1995) terhadap kualitas soal
Biologi SMU yang ada dalam buku kumpulan soal yang dikeluarkan oleh
Depdikbud dan yang ada di dalam buku ajar yang dipakai di lingkungan DIY masih
menunjukkan adanya kesalahan dari aspek materi, konstruksi maupun bahasa.
Sementara banyak guru dalam menyusun soal justru mengacu pada soal-soal yang
ada dalam buku-buku tersebut.
Dalam program penerapan IPTEK tentang pengembangan bank soal yang
dilaksanakan oleh Djemari Mardapi dkk. (1997) salah satu kendala yang dijumpai
saat melaksanakan penataran guru adalah adanya kesulitan guru untuk
mengembangkan indikator dalam kisi-kisi soal, dan guru juga sulit menulis soal
sesuai dengan tuntutan persyaratan yang ada.
Penelitian Djemari Mardapi dkk. (1999) terhadap kegiatan guru dalam
melakukan penilaian di kelas untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dalam
Ebtanas di SD dan SLTP serta di SMU, hasilnya sebagai berikut.
1. Perencanaan guru dalam kegiatan penilaian cukup memadai, tetapi dalam hal
penyusunan kisi-kisi masih tergolong rendah, dan kisi-kisi soal masih sulit
dilacak arsipnya.
2. Teknik penilaian yang dipakai guru umumnya dalam bentuk tes dan pengamatan
terhadap hasil pekerjaan rumah serta kegiatan di kelas. Guru belum terbiasa
menggunakan angket dan skala sikap sebagai teknik penilaian.
3. Hanya sebagian kecil guru yang melaksanakan ujian keterampilan di
laboratorium bagi mata pelajaran yang memiliki kegiatan laboratorium.
4. Laporan hasil ulangan belum disampaikan secara periodik oleh guru ke kepala
sekolah maupun kepada pihak orang tua siswa.
5. Program perbaikan umumnya hanya ditujukan untuk memperbaiki nilai dengan
menyelenggarakan ulangan perbaikan, bukan dilakukan dalam bentuk program
pembelajaran yang terencana.
6. Sebagaian guru menyatakan melaksanakan analisis hasil ulangan, namun masih
bersifat global (berupa analisis skor hasil ulangan), belum sampai untuk
menemukan konsep/subkonsep yang belum dikuasai siswa.
7. Sebagian besar kepala sekolah menyatakan telah mendorong guru untuk
menyusun kisi-kisi, menelaah soal, menganalisis butir soal, menganalisis hasil
32
6. keluasaan dan kekayaan pembaharuan kurikulum diabaikan oleh para guru, yang
atas kemauannya sendiri mempersempit kurikulum sehingga menjadi tugas-tugas
yang bakal muncul dalam ujian.
Dalam Petunjuk Pelaksanaan Penilaian untuk mendukung implementasi
Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 1994, secara tegas ada delapan prinsip
penilaian yang harus diperhatikan. Pertama yaitu prinsip menyeluruh dalam arti
bahwa aspek yang dinilai harus mencakup aspek pengetahuan, sikap, perilaku dan
nilai, serta keterampilan. Penilaian juga harus mencakup aspek proses dan hasil
belajar dan mencakup seluruh bahan pelajaran yang telah dipelajari siswa. Kedua,
prinsip berkesinambungan dalam arti harus dilakukan secara berencana, bertahap
serta terus menerus untuk memperoleh gambaran perkembangan siswa. Ketiga,
berorientasi pada tujuan dalam arti penilaian harus mencerminkan seberapa jauh
tujuan pembelajaran telah dapat dicapai. Keempat prinsip obyektif dalam arti
penilaian harus menghindarkan diri dari subyektivitas penilai dan mencerminkan
tingkat keberhasilan yang sebenarnya. Kelima, prinsip terbuka dalam arti proses
penilaian harus diketahui dan diterima oleh semua pihak yang terkait (siswa, orang
tua, masyarakat, dan sekolah). Keenam, prinsip kebermakanaan dalam arti hasil
penilaian harus bermakna dan berguna untuk meningkatkan hasil belajar siswa,
memberikan laporan tentang kemajuan hasil belajar siswa dan harus bermakna untuk
memperbaiki dan meningkatkan cara belajarnya, sedangkan bagi guru harus
bermakna sebagai umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran yang
diselenggarakan. Ketujuh, prinsip berkesesuaian dalam arti bahwa penilaian harus
sesuai dengan pendekatan kegiatan pembelajaran yang diikuti dalam melaksanakan
kurikulum. Apabila digunakan pendekatan eksperimen maka kegiatan melakukan
percobaan harus menjadi salah satu obyek yang dinilai. Apabila menggunakan
pendekatan keterampilan proses, maka keterampilan proses juga harus menjadi
obyek penilaiannya. Kedelapan adalah prinsip mendidik. Dalam hal ini hasil
penilaian harus dapat dipakai untuk memberikan dorongan kepada siswa agar dapat
meningkatkan diri dalam belajarnya, sehingga hasil penilaian akan merupakan
penghargaan bagi siswa yang berhasil dalam belajar dan sebagai peringatan bagi
siswa yang tidak berhasil (Depdikbud, 1994). Kenyataan menunjukkan bahwa
Ebtanas sebagai satu-satunya penilaian yang berskala nasional untuk menilai prestasi
37
hasil belajar siswa belum sejalan dengan prinsip-prinsip penilaian yang diacu dalam
pelaksanaan Kurikulum 1994.
Dengan adanya Ebtanas yang hanya memfokuskan pada ujian tertulis yang
hanya menguji penguasaan aspek kognitif, dan hasil Ebtanas dijadikan alat untuk
seleksi (di SLTP dan SMU) memperkuat kritik yang yang dikemukakan oleh Nitko.
Banyak guru yang menggunakan soal-soal Ebtanas sebagai acuan dalam
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran peserta didiknya, hal ini didukung temuan
penelitian Wuryadi dan Bambang Subali, (2000) yang menggunakan responden guru
Biologi SLTP dan SMU di Propinsi DIY, yaitu bahwa sebagian besar guru
menyelesaikan materi kurikulum untuk selanjutnya berkonsentrasi menghadapi
Ebtanas dengan menyelenggarakan latihan soal-soal, padahal dalam buku Petunjuk
Teknis Mata Pelajaran Biologi di SMU (Depdikbud, 1995), bahwa guru tidak boleh
mengubah tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan dalam GBPP. Penelitian
Djemari Mardapi dkk. (1999) yang khusus mengenai Ebtanas menunjukkan hasil
sebagai berikut.
1. Selama lima tahun terakhir sudah ada pedoman penyelenggaraan Ebtanas baik
untuk pusat maupun wilayah, namun belum ada pedoman tentang pemanfaatan
hasil Ebtanas.
2. Ebtanas cenderung memacu guru menyelesaikan KBM berdasar kurikulum untuk
mata pelajaran yang diujikan melalui Ebtanas, tetapi tidak untuk mata pelajaran
yang tidak diujikan melalui Ebtanas.
3. Ebtanas belum mampu mempercepat peningkatan dan pemerataan mutu
pendidikan dasar dan menengah. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan
perkembangan skor hasil Ebtanas yang berfluktuatif. Guru belum
menindaklanjuti umpan balik hasil Ebtanas dan belum ada pemantauan secara
nasional khususnya untuk pendidikan di SD.
4. Ebtanas baru mampu menciptakan baku mutu pendidikan untuk SLTP dengan
menggunakan soal yang sudah dikalibrasi, namun belum untuk SD dan SMU.
5. Untuk sementara hasil Ebtanas (NEM) dapat dijadikan alat seleksi, namun perlu
dipikirkan alat seleksi yang lain seperti tes potensi akademik, mengingat:
a. NEM merupakan alat seleksi yang obyektif dan efisien.
38
b. Karakteristik alat tes untuk mengukur prestasi berbeda dengan alat tes untuk
seleksi
c. Tidak ada korelasi yang signifikan antara NEM dan prestasi siswa mengikuti
pelajaran di sekolah selanjutnya.
6. Hampir semua responden berharap agar penyelenggaraan Ebtanas dilanjutkan
namun perlu ada perbaikan terutama dalam obyektivitas pengawasan, sistem
koreksi, dan penentuan NEM. Namun demikian, ada perbedaan pendapat di
kalangan pakar. Sebagian pakar menyatakan bahwa Ebtanas memiliki manfaat
seperti: (a) meningkatkan standar mutu pendidikan, (b) mendorong siswa
meningkatkan KBM, dan (c) meningkatkan perhatian orang tua terhadap aktifitas
belajar anak; namun ada sebagian yang lain menyatakan bahwa tidak ada
manfaatnya diselenggarakan Ebtanas, dan guru belum mampu memanfaatkan
informasi hasil Ebtanas dengan baik.
8. Pertanyaan Penelitian
dari rumusan masalah dan kajian teori serta fakta-fakta yang selama ini sudah dapat
dihimpun dari lapangan, dapat dirinci pertanyaan-pertanyaan penelitian yang perlu
untuk dijawab agar dapat dijadikan pijakan untuk membuat rumusan kebijakan
tentang penyelenggaraan sistem ujian akhir yang bernuansa otonomi daerah. .
1. Apakah ujian akhir nasional yang selama ini dikenal dengan Ebtanas yang
diselenggarakan dalam bentuk ujian tertulis dengan soal-soal bentuk pilihan
ganda---yang semata-mata sebagai upaya untuk memenuhi kesahihan dan
kehandalan suatu alat evaluasi---masih tetap harus dipertahankan? Jika masih
dipertahankan apakah tidak dilengkapi dengan ujian perbuatan (nonverbal) untuk
mata pelajaran-mata pelajaran yang melatih kemampuan psikomotor, juga ujian
sikap untuk menilai sikap peserta didik?
2. Apakah mata pelajaran yang diujikan dalam ujian akhir nasional juga hanya mata
pelajaran tertentu seperti yang selama ini diselenggarakan?
3. Apakah hasil ujian akhir nasional tetap akan dipakai sebagai alat seleksi masuk
ke jenjang poendidikan yang lebih tinggi? Apakah tidak sebaiknya setiap
daerah/sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan sistem seleksi yang
39
bermutu yang didukung oleh adanya teknik dan alat seleksi yang dapat
dipertanggungjawabkan serta bernuansa otonomi daerah?
4. Apakah tidak sebaiknya hasil ujian akhir nasional hanya dijadikan alat
pengendali mutu pendidikan, mengingat berdasar kondisi yang ada aspek yang
dinilai hanya terbatas pada ranah kognitif?
5. Apakah tidak sedbaiknya pemerintah pusat merintis terciptanya standar nasional
mutu pendidikan dasar dan menengah yang lebih baik daripada hanya melalui
Ebtanas seperti yang sekarang ini diselenggarakan?.
6. Sistem ujian akhir nasional yang bagaimana yang dapat mempercepat
peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan dasar dan menengah?
7. Sistem ujian akhir nasional yang bagaimana yang dapat menunjang tercapainya
tujuan kurikulum yang bernuansa otonomi daerah?.
8. Sistem ujian akhir nasional yang bagaimana yang dapat mendorong agar proses
belajar mengajar dilaksanakan berdasar kurikulum, buku, dan alat peraga yang
telah ditetapkan tetapi yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah?.
9. Apakah tidak sebaiknya ada acuan bagi tiap daerah untuk mengembangkan
sistem evaluasi maupun sistem ujian akhir yang sesuai dengan kondisi masing-
masing daerah dalam upaya untuk meningkatkan motivasi belajar di masing-
masing daerah sesuai dengan kondisi yang ada?
10. Apakah tidak sebaiknya sistem ujian akhir juga memperhatikan hasil-hasil
asesmen yang dilaksanakan oleh sekolah?
11. Apakah tidak sebaiknya di setiap Kanwil ataupun Kandep Depdiknas hendaknya
ada peta kemampuan guru dalam menyelenggarakan sistem evaluasi, sehingga
kemerataan keikutsertaan guru dalam pelatihan/penataran, termasuk di dalamnya
pelatihan evaluasi dapat terpantau secara baik?
12. Mengingat dalam skala mikro gurulah yang paling mengetahui kondisi dan
prestasi siswa-siswanya, maka apakah tidak sebaiknya ada penyiapan
kemampuan guru dalam bidang evaluasi untuk menyelenggarakan ujian akhir
dapat dipertanggung jawabkan di masing-masing daerah, dalam hal ini pada
tingkat Dati II?
13. Apakah tidak sebaiknya dipolakan sistem penilaian yang berkesinambungan yang
dikerjakan oleh guru, dalam arti bahwa guru harus merencanakan, menyusun alat
40
C. METODE STUDI
Studi ni dlakukan melalui tahapan: (a) studi lapangan, (b) sarasehan regional,
dan (c) sarasehan nasional. Tahap studi lapangan mencakup (1) pembahasan
instrumen, (2) pengumpulan data, (3) organisasi, analisis dan interpretasi data, dan
(4) penyusunan draf untuk sarasehan.
1. Studi Lapangan
propinsi, yang memahami permasalahan sistem ujian akhir sebagai salah satu sistem
penilaian dan masalah otonomi daerah hubungannya dengan reformasi pendidikan.
.
2) Sampel
Sampel penelitian diambil dengan metode purposive sampling. Adapun
pertimbangan yang dipakai adalah bahwa sampel penelitian tersebar di 20 porovinsi,
dengan perbandingan 4 provinsi di P. Jawa dan 16 provinsi di luar P. Jawa.
Mengingat di P. Jawa saat sekarang terdapat 4 provinsi, 1 daerah istimewa dan 1
daerah khusus ibu kota, maka diambil sampel propinsi dipilih DKI Jaya, Propinsi
DIY, Banten, dan Jawa Timur. Sementara para ahli pendidikan/pengamat/praktisi
pendidikan/tokoh masyarakat di Jawa Tengash dan Jawa Barat akan diundang untuk
memberikan masukannya melalui kegiatan sarasehan regional..
Enam belas provinsi di luar P. Jawa mencakup 6 provinsi di P. Sumatera
(Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Sumatera
Selatan), 4 provinsi di Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur), 3 provinsi di Sulawesi, Maluku dan
Irian Jaya (Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara), serta
3 propinsi di Bali dan Nusatenggara (Provinsi Bali, NTB, NTT).
Di masing-masing provinsi/daerah khusus/istimewa diambil 3 kabupaten/
kotamadya, dan ditiap kotamadya diambil 4 sekolah. Untuk setiap sekolah (seorang
Kepala SD, seorang Kepala SLTP, seorang Kepala SMU, dan seorang Kepala
SMK) diambil seorang rsponden, sehingga ada 4 x 3 x 20 = 240 responden yang
mewakili sekolah. Untuk tiap kabupaten/kotamadya diambil seorang responden,
sehingga ada 3 x 20 = 60 rsponden yang mewakili kabupaten/kotamadya. Untuk tiap
provinsi/daerah khusus/istimewa diambil seorang rsponden, sehingga ada 20
responden yang mewakili provinsi/daerah khusus/ istimewa. Dengan demikian total
responden sebanyak 320 orang.
Responden yang mewakili sekolah adalah guru inti/kepala sekolah, responden
untuk tingkat kabupaten/kotamadya adalah Kakandepdiknas setempat, responden
untuk tingkat propinsi adalah para Kakanwil Depdiknas atau Kepala Dinas Pdan P
setempat. Dari 20 provinsi yang ada diharapkan sepertiga dari jumlah rsponden
adalah Kepala Dinas Pdan P setempat.
42
BULAN
NO URAIAN KEGIATAN 3 4 5 6 7 8 9 1
0
1 Studi Lapangan
a. Penyusunan proposal dan kontrak V
penelitian
b. Penyusunan dan pembahasan V
insdtrumen
c. Koleksi data V V
d. Organisasi, analisis data dan
interpretasi hasil analisis
e. Pembuatan draf laporan studi lapangan V V
untuk sarasehan regional
2. Sarasehan Regional I sampai IV V
3. Seminar nasional V
4 Pembuatan draf kebijakan dan laporan V
akhir studi
DAFTAR PUSTAKA
Djemari Mardapi dkk. (1999). Survei Kegiatan Guru dalam Melakukan Penilaian di
Kelas. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pusbangsisjian Lemlit IKIP
Yogyakarta dan Pusisjian balitbang Depdikbud.
Eiss, A.F. dan Harbeck, M.B. (1969). Behavior Objective in the Affective Domain.
Washington D.C.: National Science Teachers Association.
Marzano, R.J., Pickering, D., dan McTighe, J. (1993). Assessing Student Outcomes,
Alexandria, VA: ASCD.
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. (1982). Metode Penelitian Suevei. Jakarta:
LP3ES.
46
Nitko, A.S. (1996). Workshop Papers No. 2. IKIP Yogyakarta, 22-24 Agustus 1996.
Toto Kuwato dan Djemari Mardapi. (1999). Studi Pengembangan Sistem Ujian
Berkesinambungan Sekolah mengengah Umum. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi Universitas gadjah Mada dan Ditjen Dikdasmen, Depdikbud.
Swanson, D.B., Norman, G.R., dan Linn, R.L. (1995). Performance Based
Assessment. Lesson from Health Professions. Educational Researcher, 24(5),
05-11.
47
PENGEMBANGAN RPP
(RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN)
MATA PELAJARAN SENI RUPA
BERDASAR KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA