PENDAHULUAN
Trauma kepala atau cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab
kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah
kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan
produktif.1
Kasus cedera kepala terbanyak sekitar 80% akibat kecelakaan lalu lintas.
Dari data epidemiologis di Amerika Serikat, terdapat sekitar 17 sampai 25 orang
per 100.000 penduduk mengalami trauma kepala atau sekitar 1,5 juta orang per
tahun. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tapi data dari RSCM dari tahun
ke tahun untuk penderita rawat inap, ada 60-70% dengan cedera kepala ringan
(CKR), 15-20 cedera kepala sedang (CKS) dan 10% cedera kepala berat (CKB).
Kebanyakan penderita berusia kurang dari 35 tahun.1,2
Kejang dapat terjadi dengan cepat (< 24 jam kejadian) atau lambat (dalam
minggu-minggu pertama). Kejang yang terjadi dalam jangka cepat setelah tcedera
kepala adalah faktor resiko terjadinya post traumatik epilepsi. Epilepsi akibat
trauma kepala merupakan epilepsi simptomatik, dimana serangan dapat berbentuk
parsial/fokal atau serangan umum atau bentuk campuran. Resiko terjadinya
epilepsi pada trauma kepala bergantung pada jenis cedera kepala yaitu cedera
kepala tertutup atau terbuka (robeknya selaput otak), lokalisasi dan derajat
keparahan cedera kepala. Anak-anak lebih rentan terjadinya kejang daripada
dewasa.5,6
1
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
Berikut ini akan dilaporkan suatu kasus mengenai Epilepsi post trauma
kepala yang dirawat di RS Prof. R.D Kandou Manado.
2
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
LAPORAN KASUS
Kejang dialami sejak 3 jam sebelum MRS. Kejang dialami saat penderita
tidur sore. Frekuensi kejang sebanyak 2 kali. Sebelum kejang penderita tidak
mengeluhkan apa-apa. Menurut saksi mata saat kejang kepala penderita menoleh
ke kanan, mata mendelik ke kanan, mulut keluar busa, lidah tidak tergigit, serta
kedua lengan dan tungkai tersentak sentak Saat kejang penderita tidak sadar.
Lamanya kejang sekitar 1 menit. Setelah kejang penderita terlihat mengantuk
namun masih bisa berbicara tapi tidak nyambung. Sekitar 30 menit kemudian
kejang berulang dengan pola sama. Saat tiba di IGD penderita masih sempat
kejang sekali. Serangan kejang seperti ini baru pertama kali dialami oleh
penderita.
3
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
tidak mengerti dirinya. Saat ini penderita masih bisa mengerjakan aktivitas sehari-
hari seperti makan, mandi, dan BAB/BAK sendiri tanpa masalah.
Riwayat operasi karena trauma kepala (+) 3 tahun yang lalu. Riwayat
kejang demam sebelumnya tidak ada. Riwayat kelahiran dan tumbuh kembang
normal. Riwayat alergi tidak ada. Riwayat penyakit hipertensi, DM , jantung,
ginjal dan paru-paru disangkal. Riwayat keluarga hanya penderita yang sakit
seperti ini.
4
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
adanya paresis. Tonus otot normal pada keempat anggota gerak. Refleks fisiologis
normal pada keempat ekstremitas. Tidak terdapat refleks patologis. Tidak
ditemukan klonus kaki dan klonus patela. Pada pemeriksaan status sensorik belum
dievaluasi. Pada pemeriksaan status otonom tidak didapatkan adanya
inkontinensia.
Saat itu dibuat diagnosis kerja status epileptikus e.c suspect ensefalitis.
Pada perawatan hari kedua, keadaan umum tampak sakit sedang, pasien
sudah tidak kejang, nyeri kepala membaik, pasien tampak gaduh gelisah, bicara
kacau. GCS E3M6V4=13, TD 100/60 mmHg, nadi 110 kali/menit, respirasi 24
kali/menit, suhu badan 37,1oC, saturasi oksigen 97%.Terapi tetap dilanjutkan,
hasil VCT non reaktif.
5
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
dilanjutkan. Hasil lab Anti HCV dan HbsAg Elise non reaktif. Perawatan hari ke
tiga dan seterusnya pasien tidak mengalami perburukan klinis dan GCS tidak
pernah turun.
Hasil CT scan kepala dengan kontras tanggal 7 Juli 2015 didapatkan adanya
ekspertisi kesan suspec fokal edema bifrontal dd infark.
Hasil perekaman EEG tanggal 9 Juli 2015 didapatkan spike yang hampir
kontinu di frontopolar kanan, tampak gelombang lambat delta 1,5-2 Hz pada
temporal bilateral independen kanan lebih dari kiri dan frontal kiri. Temuan ini
mendukung epilepsi lobus frontal dan disfungsi kortikal frontal dan temporal.
Gambar 2. EEG
6
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
perseverasi normal, luria normal, kelainan pada tes stroop 3, kesimpulan adanya
gangguan emosi dan gangguan disinhibisi. Terapi gangguan neurobehaviour dan
KIE pasien dan keluarga. Pasien disarankan untuk kontrol kembali dipoli
Neurobehavior untuk evaluasi.
Pada perawatan hari ke empat belas pasien dirawat jalan dengan diagnosa
kejang post trauma. Terapi saat pulang Fenitoin 3x100mg l, asam folat 2x1l,
paracetamol 3x500mg jika nyeri kepala. KIE keluarga mengenai penyakit, pasien
disrankan untuk minum obat dan kontrol teratur dan direncanakan kontrol di Poli
Saraf.
Diagnosis
dan emosi)
Prognosis
Prognosis ad vitam : bonam
Prognosis ad functionam : dubia ad bonam
Prognosis ad sanationam : dubia ad malam
7
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
DISKUSI
Pada kasus ini penggunaan istilah epilepsi post trauma mengacu pada late
post traumatic seizure, yaitu bangkitan yang terjadi lebih dari 1 minggu. Dimana
pada pasien ini kejang pertama kali terjadi setelah 3 tahun paska cedera kepala
dengan riwayat operasi.
8
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
Laserasi kortek serebri atau kontusio menyebabkan keluarnya sel darah merah
kemudian terjadi hemolisis dan timbunan sel darah merah. Besi dilepaskan dari
hemoglobin dan transferin. (Hal ini telah didukung dalam model binatang dengan
menyuntikan besi ke kortek dari hewan coba, lalu timbul kejang). Besi dan
komponen lainnya telah diketahui mempengaruhi peningkatan kalsium didalam
sel. Aktifasi kaskade asam arakidonat menimbulkan pembentukan DAG
(diacylglycerol) dan IP3 (inositoltidyl phosphytate). Peningkatan IP3
menyebabkan pelepasan kalsium intrasel dan memodifikaski kanal kalsium yang
akhirnya akan meningkatkan konsentrasi kalsium dalam sel dan hal ini
menimbulkan kerusakan eksitotoksis dari sel neuron. Sel yang mati dan reaktif
gliosis dapat menimbulkan formasi jaringan parut glia, hal ini akan membentuk
episenter dari fokus yang hipereksitasi. Focus epileptogenik ini terbentuk kira-kira
8 minggu setelah terjadinya trauma kepala.7,9
9
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
dengan aktivasi kanal ion dan masuknya kalsium. Kondisi ini berakibat jejas
eksitotoksik yang ditandai dengan kerusakan mitokondria dan pengurangan
energi, pembengkakan neuron dan glia serta kematian sel. Pada kerusakan primer
juga terjadi kerusakan sawar darah otak dan vaskuler. Struktur kortikal otak
terutama hipokampus merupakan bagian yang rentan terhadap kerusakan akibat
cedera kepala, terutama cedera kepala sedang dan berat. Adanya kejang yang
terjadi diawal cedera kepala akan memperberat kerusakan yang terjadi.10
Inflamasi dan kebocoran dari sawar darah otak merupakan gambaran khas
dari cedera kepala. Berbagai proses imun bawaan memainkan peran penting pada
eksibilitas dan kemampuan bertahan sel selama proses inflamasi dan berpotensi
menjad jaringan hipereksibilitas. Sitokin inflamasi memodulasi kadar
neurotransmitter, komunikasi antara neuron dan glia, respon reseptor GABA dan
aliran kalsium. Kemokin juga mempengaruhi eksitabilitas neuron melalui
10
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
modulasi kanal ion (natrium.kalium dan kalsium), aktivasi arus masuk konduktan
kalium, peningkatan pelepasan berbagai neurotransmitter termasuk glutamat,
GABA dan dopamin. Inflamasi juga berkontribusi terhadap kematian sel setelah
trauma. Disamping kematian sel melalui proses eksitotoksisitas, iskemia serta
gangguan homeostasis cairan dan metabolisme, sitokin inflamatori juga
meningkatkan komponen sinyal dari apoptosis. Berbagai efek inflamasi terhadap
berkurangnya sel dan hipereksibilitas sel mungkin ikut berperan pada
perkembangan jaringan hipereksibilitas dan epileptogenesis akibat cedera
kepala.10
11
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
Pada kasus ini epilepsi post trauma karena proses cedera sekunder dan
repair mechanism dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi neuron secara
permanen. Pada pasien ini epilepsi terjadi 3 tahun paska cedera kepala berat.
12
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
earyl seizure sebagai faktor resiko late seizure pada orang dewasa. SDH akut
adalah lesi intrakranial yg mempunyai resiko paling tinggi untuk berkembang
menjadi early dan late seizure. Peran faktor genetik yang meregulasi respon dari
pada cedera otak belum jelas. Studi epidemiologi kebanyakan tidak menemukan
riwayat epilepsi dalam keluarga yang bisa mewakili faktor resiko yg signifikan
untuk early dan late seizure.10,11
Pada kasus ini resiko late saizure pada pasien dewasa dengan usia 35
tahun, dengan riwayat penurunan kesadaraan saat cedera kepala.Pada pemeriksaan
fisik status lokalis di regio frontal dekstra tampak jejas dan bekas jahitan ukuran
3 cm yang kemungkinan besar terjadi akibat fraktur depress akibat cedera kepala.
Pada gambaran Ct scan adanya gambaran hipodens bifrontal sebagai gambaran
absorbsi perdarahan saat cedera kepala 3 tahun yang lalu. Riwayat keluarga tidak
ada yang menderita epilepsi. Temuan ini menujang faktor resiko tinggi pada
epilepsi post trauma.
Pada pasien epilepsi post trauma sebagian besar kasus mempunyai fokal
epilepsi atau fokal epilepsi dengan bangkitan umum sekunder. Karakteristik klinis
dari kejang berasal dari lokasi lesi dan perkembangan yang cepat dari bangkitan
umum sekunder. Pasien dengan riwayat trauma pada anak (kurang dari 5 tahun)
memberikan manifestasi epilepsi lobus temporal, sebagian trauma pada regio
temporal pada usia muda dapat menstimulasi munculnya mesial temporal
sklerosis. Status epileptikus sering terjadi, Jennet, mengkalkulasi frekuensi 10%
pada pasien dengan kejang post trauma. Pada populasi anak tidak diragukan
mempunyai kemugkinan besar status epileptikus dibandingkan dewasa. Pada
epilepsi lobus frontalis , status epileptikus biasanya berhubungan dengan
bangkitan yang berasal dari lobus frontal dan jarang berkaitan dengan area otak
lainnya.11,12
13
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
pada 3 bulan pertama setelah cedera. Anomali mungkin ada berkisar dari
perlambatan dari aktivitas dasar dari gelombang lesi lambat di fokus yang
terlokalisasi. Pasien dengan immediate seizure,rangkaian gelombang paku pada
aktivitas fokal yang lambat akan lebih dikenali, umumnya pada regio temporal.
EEG akan sangat berguna untuk memprediksi kemungkinan kekambuhan dari
kejang sebelum terapi pencegahan. 11,13
Iktal semiologi adalah tanda dan gejala kejang epilepsi yang tergantung
dengan tipe kejang dan lokasi. Manifestasi klinis sangat bervariasi dan tergantung
area kortikal yang terlibat. Pasien dengan epilepsi lobus frontalis dicirikan oleh
bangkitan berulang yang bersumber dilobus frontalis, seringkali jenis bengkitan
bersifat parsial sederhana atau parsial kompleks, kadang-kadang dengan bangkitan
umum sekunder. Manifestasi klinis bersifat refleksi dari area spesifik tempat
cetusan bersumber, mulai dari gangguan perilaku sampai dengan gejala motorik
atau perubahan tonus/postur rubuh. Kejang sering disalah artikan sebagai kejadian
psikogenik nonepileptik. Secara klinis kejang lobus frontalis berbeda dengan
kejang nonepileptik dimana lebih stereotipik, tidak bertujuan dan durasinya lebih
singkat.12,15
14
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
Pada kasus ini menunjukan tipe kejang epilepsi sekunder yang menjadi
umum. Pada pasien ini juga terjadi status epileptikus. Hasil EEG yaitu didapatkan
spike yang hampir kontinu di frontopolar kanan, tampak gelombang lambat delta
1,5-2 Hz pada temporal bilateral independen kanan lebih dari kiri dan frontal kiri.
Temuan ini mendukung epilepsi lobus frontal dan disfungsi kortikal frontal dan
temporal.
15
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
Pada kasus ini pilihan obat untuk penaganan kejang adalah fenitoin, yang
awalnya diberikan secara intravena untuk mengatasi status epileptikus setelah itu
dilanjutkan pemberian secara oral. Dengan pemberian fenitoin 3x100mg secara
oral, kejang pada penderita bisa teratasi dan sampai saat terakhir kontrol pendrita
sudah tidak pernah kejang lagi.
Early post traumatic seizure merupakan faktor resiko terhadap epilepsi post
trauma, oleh karena itu diperlukan upaya untuk pencegahan terjadinya early PTS.
Guideline yang dikeluarkan oleh Brain Trauma Foundation bersama American
Academy of Neurology merekomendasikan pemberian fenitoin dalam 7 hari
16
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
setelah cedera kepala berat untuk profilaksis terjadinya PTS. Levitiracetam efektif
dan aman digunakan sebagai alternatiuf selain fenitoin untuk profilaksis early
PTS 4,20
Prognosis untuk epilepsi karena trauma lebih buruk dari yang untuk epilepsi
karena penyebab yang tidak ditentukan. Pasien dengan epilepsi post trauma
diperkirakan memiliki harapan hidup lebih pendek daripada orang dengan cedera
kepala yang tidak mendapat kejang. Dibandingan dengan mereka yang mengalami
cedera struktural tanpa kejang, pasien dengan epilepsi post trauama memerlukan
waktu yang lebih lama untuk pemulihan dari cedera dan memiliki banyak masalah
kognitif dan motorik. Sebagian besar penderita epilepsi post trauma memiliki
serangan pertama dalam 2 tahun setelah cedera kepala, angkanya dapat mencapai
89-90%. Pasien yang tidak mengalami kejang dalam waktu 3 tahun setelah cedera
hanya memiliki peluang 5% berkembang menjadi epilepsi.Semakin lama
seseorang tidak mengalami bangkitan, semakin rendah peluang epilepsi terjadi.22
17
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
DAFTAR PUSTAKA
18
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
19
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
20
Epilepsi Post Trauma Kepala
Marina Yovita Tumewu
21