Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abses Perianal merupakan akumulasi nanah di sekitar anus dan rektum.
Tingkat keparahan dan kedalaman suatu abses beragam, dan rongga abses sering
dikaitkan dengan pembentukan fistula. Kebanyakan abses dan fistula anorektal
merupakan manifestasi akut dan kronik dari kondisi patologis yang sama, suatu
infeksi yang berasal dari kelenjar kanalis anus. Diagnosis maupun penatalaksanaan
dari abses anorektal tidak hanya memerlukan pengertian dari etiologi dan
patofisiologi tetapi dari anatomi regional dan rute penyebaran infeksi. Tindakan
bedah yang dilakukan atas diagnosis yang tidak tepat dan kesalapahaman tentang
hubungan dari proses infeksi dan mekanisme sfingter ani dapat mengakibatkan
pemberantasan infeksi yang tidak sempurna dan/atau gangguan permanen fungsi
anorektal.
Puncak insidensi dari abses anorektal adalah pada dekade tiga dan keempat.
Pria lebih sering terkena daripada wanita, dengan rasio 2:1 sampai dengan 3:1.
Sekitar 30% dari pasien dengan abses anorektal mempunyai riwayat abses serupa
yang sembuh dengan spontan atau memerlukan intervensi bedah. Insidensi yang lebih
tunggu dari pembentukan abses tampaknya berkait dengan musim semi dan musim
panas.
Walaupun demografi menunjukan perbedaan yang jelas dalam terjadinya
abses anorektal yang berhubungan dengan usia dan jenis kelamin, tidak ada pola yang
jelas diberbagai wilayah atau negara di dunia. Walaupun diperkirakan ada hubungan
langsung dari pembentukan abses anorektal dengan kebiasaan buang air besar, diare,
dan higiene pribadi yang buruk namun hingga sekarang belum ada bukti kongkrit.
Terjadinya abses anorektal pada bayi juga cukup umum. Mekanismenya kurang
dipahami tetapi tidak berkaitan dengan konstipasi. Untungnya, kondisi ini cukup
jinak pada bayi, jarang memerlukan intervensi operasi pada pasien ini selain drainase
sederhana.
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Abses perianal adalah infeksi pada ruang pararektal. Abses ini kebanyakan
akan mengakibatkan fistula (Smeltzer dan Bare, 2001). Abses perianal merupakan
infeksi pada jaringan lunak sekitar saluran anal, dengan pembentukan abses rongga
diskrit. Tingkat keparahan dan kedalaman dari abses cukup variabel, dan rongga
abses sering dikaitkan dengan pembentukan saluran fistulous.

Abses perianal mudah diraba pada batas anus dengan kulit perianal,
sebaliknya abses anorektal yang terletak lebih dalam dapat diraba melewati dinding
rectum atau lebih lateral yaitu di bokong. Abses perianal biasanya tidak disertai
demam, lekositosis atau sepsis pada pasien dengan imunitas yang baik. Dengan
penyebaran dan pembesaran abses yang mengakibatkan abses mendekati permukaan
kulit, nyeri yang dirasakan memburuk. Nyeri memburuk dengan mengedan, batuk
atau bersin, terutama pada abses intersfingter. Dengan perjalanan abses, nyeri dapat
mengganggu aktivitas seperti berjalan atau duduk.
2.2 Etiologi
Abses perianal merupakan gangguan sekitar anus dan rectum, dimana
sebagian besar timbul dari obstruksi kripta anal. Infeksi dan stasis dari kelenjar dan
sekresi kelenjar menghasilkan supurasi dan pembentukan abses dalam kelenjar anal.
Biasanya, abses terbentuk awal – awal dalam ruang intersfingterik dan kemudian ke
ruang potensial yang berdekatan. Umumnya bakteri seperti stafilokokus dan
Escherichia coli adalah penyebab paling umum. Infeksi jamur kadang-kadang
menyebabkan abses. Masuknya bakteri ke daerah sekitar anus dan rektum (Eddy
Gunawan, 2010).
2.3 Patofisiologis
Abses perianal terbentuk akibat berkumpulnya nanah di jaringan bawah kulit
daerah sekitar anus. Nanah terbentuk akibat infeksi kuman/bakteri karena kelenjar di
daerah tersebut tersumbat. Bakteri yang biasanya menjadi penyebab adalah
Escherichia coli dan spesies Enterococcus. Kuman/bakteri yang berkembang biak di
kelenjar yang tersumbat lama kelamaan akan memakan jaringan sehat di sekitarnya
sehingga membentuk nanah. Nanah yang terbentuk makin lama makin banyak
sehingga akan terasa bengkak dan nyeri, inilah yang disebut abses perianal. Pada
beberapa orang dengan penurunan daya tubuh misalnya penderita diabetes militus,
HIV/AIDS, dan penggunaan steroid (obat anti radang) dalam jangka waktu lama,
ataupun dalam kemoterapi akibat kanker biasanya abses akan lebih mudah terjadi.

Kebanyakan abses perianal bersifat sekunder terhadap proses supuratif yang


dimulai pada kelenjar anal. Teori ini menunjukan bahwa obstruksi dari saluran
kelenjar tersebut oleh tinja, corpus alienum atau trauma akan menghasilkan stasis dan
infeksi sekunder yang terletak di ruang intersfingterik. Dari sini proses infeksi dapat
menyebar secara distal sepanjang otot longitudinal dan kemudian muncul di subkutis
sebagai abses perianal, atau dapat menyebar secara lateral melewati otot longitudinal
dan sfingter eksternal sehingga menjadi abses ischiorektal. Meskipun kebanyakan
abses yang berasal dari kelenjar anal adalah perianal dan ischiorektal ,tetapi ruang
lain dapat terinfeksi.
Pergerakan infeksi ke atas dapat menyebabkan abses intersfingterik tinggi dan
kemudian dapat menerobos ke otot longitudinal lalu ruang supralevator sehingga
menyebabkan sebuah abses supralevator. Setelah abses terdrainase, secara spontan
maupun secara bedah, komplikasi abnormal antara lubang anus dan kulit perianal
disebut fistula ani.

Ruang Supralevator

Ruang Ischiorektal

Ruang Intersfingterik

2.4 Gambaran Klinik


Awalnya, pasien bisa merasakan nyeri yang tumpul, berdenyut yang
memburuk sesaat sebelum defekasi yang membaik setelah defekasi tetapi pasien tetap
tidak merasa nyaman. Rasa nyeri diperburuk oleh pergerakan dan pada saat
menduduk. Abses dapat terjadi pada berbagai ruang di dalam dan sekitar rektum.
Seringkali mengandung sejumlah pus berbau menyengat dan nyeri. Apabila abses
terletak superficial, maka akan tampak bengkak, kemerahan, dan nyeri tekan. Nyeri
memburuk dengan mengedan, batuk atau bersin, terutama pada abses intersfingter.
Dengan perjalanan abses, nyeri dapat mengganggu aktivitas seperti berjalan atau
duduk.
Abses yang terletak lebih dalam memgakibatkan gejala toksik dan bahkan
nyeri abdomen bawah, serta deman. Sebagian besar abses rectal akan mengakibatkan
fistula (Smeltzer dan Bare, 2001). Abses di bawah kulit bisa membengkak, merah,
lembut dan sangat nyeri. Abses yang terletak lebih tinggi di rektum, bisa saja tidak
menyebabkan gejala, namun bisa menyebabkan demam dan nyeri di perut bagian
bawah
2.5 Diagnosa dan Pemerikasaan Penunjang

2.5.1 Diagnosa

Pemeriksaan colok dubur dibawah anestesi dapat membanru dalam kasus-


kasus tertentu, karena ketidaknyamanan pasien yang signifikan dapat menghalangi
penilaian terhadap pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Contohnya, evaluasi terhadap
asbeb ischiorektal yang optimal dapat dilakukan dengan hanya menggunakan
pemeriksaan colok dubur. Dengan adanya obat anestesi, fistula dapat disuntikkan
larutan peroksida untuk memfasilitasi visualisasi pembukaan fistula internal. Bukti
menunjukkan bahwa penggunaan visualisasi endoskopik (transrektal dan transanal)
adalah cara terbaik untuk mengevaluasi kasus yang kompleks abses perianal dan
fistula.

Dengan teknik endoskopik, tingkat dan konfigurasi dari abses dan fistula
dapat jelas divisualisasikan. Visualisasi endoskopi telah dilaporkan sama efektifnya
seperti fistulografi. Jika ditangani dengan dokter yang berpengalaman, evaluasi
secara endoskopik adalah prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan kelainan
perirektal karena rendahnya risiko infeksi serta kenyamanan pasien tidak terganggu.
Evaluasi secara endoskopik setelah pembedahan efektif untuk memeriksa respo
pasien terhadap terapi.

2.5.2 Pemeriksaan Laboratorium

Belum ada pemeriksaan laboratorium khusus yang dapat dilakukan untuk


mengevaluasi pasien dengan abses perianal atau anorektal, kecuali pada pasien
tertentu, seperti individu dengan diabetes dan pasien dengan imunitas tubuh yang
rendah karena memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya sepsis bakteremia yang
dapat disebabkan dari abses anorektal. Dalam kasus tersebut, evaluasi laboratorium
lengkap adalah penting.

2.5.3 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi jarang diperlukan pada evaluasi pasien dengan abses


perianal, namun pada pasien dengan gejala klinis abses intersfingter atau supralevator
mungkin memerlukan pemeriksaan konfirmasi dengan CT scan, MRI, atau
ultrasonografi dubur. Namun pemeriksaan radiologi adalah modalitas terakhir yang
harus dilakukan karena terbatasnya kegunaannya. USG juga dapat digunakan secara
intraoperatif untuk membantu mengidentifikasi abses atau fistula dengan lokasi yang
sulit.
2.6 Tatalaksana

Pada kebanyakan pasien dengan abses anorektal atau perianal, terapi


medikamentosa dengan antibiotik biasanya tidak diperlukan. Namun, pada pasien
dengan peradangan sistemik, diabetes, atau imunitas rendah, antibiotik wajib
diberikan.

Abses perirektal harus diobati dengan drainase sesegera mungkin setelah


diagnosis ditegakkan. Jika diagnosis masih diragukan, pemeriksaan di bawah anestesi
sering merupakan cara yang paling tepat baik untuk mengkonfirmasi diagnosis serta
mengobati. Pengobatan yang tertunda atau tidak memadai terkadang dapat
menyebabkan perluasan abses dan dapat mengancam nyawa apabila terjadi nekrosis
jaringan yang besar, atau bahkan septikemia. Antibiotik hanya diindikasikan jika
terjadi selulitis luas atau apabila pasien immunocompromised, menderita diabetes
mellitus, atau memiliki penyakit katub jantung. Namun pemberianantibiotik secara
tunggalbukan merupaka penobatan yang efektif untuk mengobati abses perianal atau
perirektal.

Kebanyakan abses perianal dapat didrainase di bawah anestesi lokal di kantor,


klinik, atau unit gawat darurat. Pada kasus abses yang besar maupun pada lokasinya
yang sulit mungkin memerlukan drainase di dalam ruang operasi. Insisi dilakukan
sampai ke bagian subkutan pada bagian yang paling menonjol dari abses. “Dog ear"
yang timbul setelah insisi dipotong untuk mencegah penutupan dini. Luka dibiarkan
terbuka dan sitz bath dapat dimulai pada hari berikutnya.
Teknik Insisi & Drainase abses

.
2.7 Komplikasi

Jika tidak diobati, fistula anus hampir pasti akan membentuk,


menghubungkan rektum untuk kulit. Hal ini memerlukan operasi lebih intensif.
Selanjutnya, setiap abses diobati dapat (dan kemungkinan besar akan) terus
berkembang, akhirnya menjadi infeksi sistemik yang serius. Hal yang paling
ditakutkan pada abses perianal adalah terjadinya fistel perianal. Fistel perianal adalah
saluran abnormal antara lubang anus/rektum dengan lubang bekas abses yang
bermuara pada kulit sekitar anus. Muara pada kulit sekitar anus tampak sebagai luka
bekas bisul yang tidak pernah menutup/sembuh dan tidak sakit.

Fistula anorektal terjadi pada 30-60% pasien dengan abses anorektal. Kelenjar
intersfingterik terletak antara sfingter internal dan eksternal anus dan seringkali
dikaitkan dengan pembentukan abses. Fistula anorektal timbul oleh karena obstruksi
dari kelenjar dan/atau kripta anal, dimana ia dapat diidentifikasi dengan adanya
sekresi purulen dari kanalis anal atau dari kulit perianal sekitarnya. Etiologi lain dari
fistula anorektal adalah multifaktorial dan termasuk penyakit divertikular, IBD,
keganasan, dan infeksi yang terkomplikasi, seperti tuberkulosis.
Klasifikasi menurut Parks dan persentase fistula anorektal adalah:
1. Intersfingerik 70%
2. Transfingterik 23%
3. Ekstrasfingterik 5%
4. Suprasfingterik 2%

 Fistula intersfingterik ditemukan antara sfingter internal dan eksternal.


 Fistula transfingterik memanjang dari sfingter eksternal ke fosa ischiorektalis.
 Fistula extrasfingterik menghubungkan rektum ke kulit melalui m. levator ani.
 Fistula suprasfingterik memanjang dari potongan intersphincteric melalui otot
puborectalis, keluar kulit setelah melintasi m. levator ani.

Anda mungkin juga menyukai