Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

ANALISIS PANGAN LANJUT

Analisis Sifat Fisik:


Tekstur

Disusunoleh
Kelompok 4 / Paralel 1
Rizka Novera F251160081
Gustira Endah A F251160221
Arindra Nirbaya F251160241
Rizki Dwi Setiawan F251160311

Dosen :Dr. Ir.Dede Robiatul Adawiyah M.Si

PROGRAM STUDI ILMU PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tekstur makanan dapat didefinisikan sebagai cara dimana berbagai kandungan


dan unsur struktural disusun dan disatukan menjadi mikro dan makrostruktur dan
perwujudan eksternal struktur ini dalam bentuk aliran dan deformasi. Terdapat
hubungan langsung antara komposisi bahan kimia dari makanan, sifat fisik atau
mekanis, dan hasil dari sifat fisik atau mekanis tersebut. Tekstur makanan dapat
ditentukan melalui tes mekanik (instrumen) atau alat pengindra (deMan, 2013).
Tekstur dari makanan berhubungan dengan konsistensi yaang dapat dirasakan
seperti: keras versi lembut, renyah atau tidak, halus versi kental, dapat mengalir
atau menggumpal. Tekstur ditentukan dari respon bahan makanan terhadap gaya
yang diberikan. Tekstur dapat dirasakan ketika bahan makanan tersebut diaduk,
dituang, dipompa, ditarik dan dimakan. Karakteristik rheologi ini dapat berubah
dengan adanya variabel seperti suhu dan kelembaban (Owasu, 2004).
Analisis tekstur dapat dilakukan dengan alat. Texture analyzer adalah alat yang
terkait dengan penilaian dari karakteristik mekanis suatu materi. Menurut Smewig
(1999), texture analyzer digunakan untuk menentukan sifat fisik bahan yang
berhubungan dengan daya tahan atau kekuatan suatu bahan terhadap tekanan.
Hasil akhir menggunakan alat ini yaitu kurva yang menunjukkan kekuatan materi
tersebut.

1.2 Tujuan Praktikum

Kegiatan praktikum ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang


prinsip pengukuran sifat fisik berupa tekstur, viskositas, hardness, cohesiveness,
springiness, adhesiveness, gumminess dan chewiness dari berbagai bahan pangan
menggunakan instrumen tekstur analyzer, penetrometer, rotary viscometer dan
hardness tester, serta menjelaskan bagaimana menginterpretasikan data yang
didapatkan.

2
BAB II
METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada 30 Mei dan 9 Juni 2017 di Laboratorium


Pengolahan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

2.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu selai, mentega, beras analog,
beras, kedelai, permen, susu, sirup, saus cabai, brownies, kerupuk udang, kerupuk
singkong, bakso, agar nutrijel, dan agar swallow. Sedangkan untuk alat yang
digunakan pada praktikum ini yaitu penetrometer, hardness tester, rotary
viscometer dan TPA (Texture Profile Analysis) Texture Analyzer TA-XT2i Stable
Micro System yang langsung dihubungkan dengan program pengukuran tekstur
pada komputer.

2.3 Prosedur Kerja


2.3.1 Tekstur Analyzer
Untuk pengujian metode uniaxial (single compression) dan TPA
(double compression), letakan sampel tepat di bawah probe (baseplate)
kemudian ditekan (kompresi) dan dikompresi satu kali. Probe yang
digunakan adalah probe yang berbentuk silinder dengan diameter 35 mm.
Strain yang digunakan adalah 50% dan 75% dengan kecepatan 1 mm/detik.
Sampel brownis dipotong dengan ukuran 2x2 cm seragam. Kurva yang
diperoleh dianalisis dianalisis gaya yang menyebabkan sampel pecah
(bending force) dan gaya pada retakan pertama (fractuability) untuk sampel
kerupuk, agar jelly, agar swallow, bakso dan brownis serta dianalisis
hardness, cohesiveness, springiness, adhesiveness, gumminess dan
chewiness untuk sampel bakso dan brownies.
2.3.2 Penetrometer
Beban dipasang pada alat penetrometer (beban dipilih berdasarkan
tekstur sampel yang akan diukur), jarum pengukuran ditepatkan pada angka

3
0 sambil mengatur posisi ujung probe pentrometer tepat menempel pada
permukaan sampel. Ujung probe diatur dengan cara mengatur penjepit
probe penetrometer, kemudian alat dijalankan (probe akan menusuk contoh
dengan kedalaman tertentu). Catat hasil skala kedalaman penusukan pada
display. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali.

2.3.3 Rotary Viscometer


Sampel dimasukkan ke dalam wadah yang telah disediakan. Spindel
dipasang pada alat viskometer brookfield, spindle diturunkan sampai
tercelup kedalam sampel yang akan diukur viskositasnya. Diatur kecepatan
putaran yang diinginkan. Selanjutnya alat dioperasikan dan dicatat angka
yang ditunjukkan jarum merah.

2.3.4 Hardness Tester


Sampel yang akan diuji ditempatkan pada alat hardness meter. Probe
diturunkan hingga mengenai sampel dan sampel mengalami
retakan/kerusakan pertama kali. angka yang diperoleh dicatat sebagai nilai
kekerasan. Pengulangan dilakukan sebanyak 5 kali.

BAB III

4
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Mengukur Daya Oles

Praktikum pengukuran tekstur ini menggunakan penetrometer. Penggunaan


penetrometer dalam pengujian sifat fisik bahan pangan dapat dilakukan untuk
memperoleh berbagai jenis data antara lain data kekerasan, daya oles, dan
kekuatan gel. Prinsip kerja dengan penetrometer yaitu pemberian tekanan atau
gaya tusuk pada bahan pangan dengan beban (gaya) tertentu pada selang waktu
tertentu. Terdapat duamacam probe yang digunakan pada alat penetrometer yaitu
probe berbentuk corong dan jarum. Kedua probe tersebut memiliki fungsi yang
berbeda. Probe jarum untuk menguji kekerasan sampel sedangkan probe corong
digunakan untuk menguji daya oles.
Probe yang digunakan pada praktikum ini yaitu probe corong yang
diaplikasikan pada margarin dan selai. Data hasil pengujian daya oles dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis daya oles dengan pentrometer
Sampel Kelompok Ulangan Rataan
1 2 3
P1.1 27.3 26.9 28.9 27.7
P1.2 31.5 30.9 30.5 31
Margarin
P1.3 29.1 28.8 29.6 29.1
P1.4 28.8 28.7 28.6 28.7
P1.1 34.8 34.2 33.7 34.2
P1.2 33.5 33.0 34.3 33.6
Selai
P1.3 34.2 34.0 34.0 34.0
P1.4 33.5 33.9 33.9 33.8

Hasil pengujian daya oles pada paralel 1 menunjukkan bahwa selai


strawberry memiliki kemampuan daya oles yang lebih tinggi daripada sampel
margarin. Hal ini dapat dilihat dari nilai pentrometer pada sampel selai strawberry
yang lebih tinggi yaitu dengan kisaran 33.6-34.2, sedangkan hasil pengujian pada
margarine sebesar 27.7-31. Hal ini dikarenakan perbedaan kadar air dalam kedua
sampel tersebut. Selai strawberry memiliki kandungan air lebih tinggi dibanding
margarin sehingga lebih mudah dioles. Menurut SNI (1995) kadar air maksimal
pada mentega yaitu maks 16% sedangkan kadar air selai buah yaitu maksimal
35% (SNI 1992).

5
Bila dibandingkan tiap kelompok, nilai daya oles margarin pada ulang ke 3
mengalami peningkatan hal ini dikarenakan margarin mulai meleleh sehingga
lebih muda dioles. Pada selai peningkatan nilai daya oles tidak terlalu terlihat pada
ketiga ulangan.
3.2 Mengukur Kekentalan

Kekentalan dapat diukur dengan viskometer. Viskometer Brookfield adalah


jenis viskometer putar (rotasi) terdapat dalam berbagai model berdasarkan rentang
viskositasnya yaitu model : LV, RV, HA, dan HB. Viskometer ini mengukur
tenaga putaran (torsi) yang diperlukan untuk memutarkan (spindle) yang
dicelupkan dalam cairan. Spindle digerakan oleh motor sinkron melalui pegas
yang terkalibrasi; refleksi pegas ditunjukan jarum penunjuk atau angka (peragaan
digital). Viskositas berbanding lurus dengan kecepatan spindle berotasi dan
berkaitan dengan ukuran dan bentuk (geometri) dari spindle (Martin, 1993).
Tabel 2. Hasil pengujian viskositas dengan viskometer brookfield
Kelompok Sampel Kecepatan Faktor koreksi Viskositas
Ulangan Angka Angka x Faktor
koreksi
P1. 1 Susu 60 1 1 2.2 2.2
2 3.5 3.5
3 - -
P1. 2 Sirup 30 2 1 89.5 179
12 5 2 38 190
30 2 3 89 178
P1. 3 Saus 12 500 1 81 40500
Cabe 2 79 39500
3 78 39000
P1. 4 Selai 12 500 1 66 33000
2 84 42000
3 78 39000

Prinsip kerja dari viskometer Brookfield ini adalah semakin kuat putaran
semakin tinggi viskositasnya sehingga hambatannya semakin besar. Pengukuran
dengan menggunakan viscometer Brookfield tergantung pada rotasi kecepatan
spindel, ukuran dan bentuk spindel. Semakin kecil nomor spindel yang digunakan,
ukuran akan semakin besar dan viskositas yang dihasilkan akan semakin kecil.
Selain pemilihan spindel, kecepatan putar spindel pun sangat penting. Kedua
faktor ini akan menghasilkan nilai faktor koreksi/faktor konversi yang berguna
dalam proses perhitungan nilai viskositas sampel.

6
Berdasarkan hasil pengujian dengan viscometer Brookfield didapatkan data
seperti tabel 2. Sampel selai dan saus cabai memiliki nilai viskositas yang sangat
tinggi bila dibandingkan dengan sampel susu dan sirup. Hal ini menunjukkan
bahawa selai dan saus cabai lebih kental. Semakin sedikit kandungan air dalam
sampel maka semakin kental. Semakin dominan kandungan air pada produk,
maka nilai viskositas akan semakin rendah (encer).
3.3 Mengukur Kekerasan (Hardness)
Hardness didefinisikan sebagai kekuatan maksimum yang diperlukan untuk
mengompresi setiap specimen (Prasetyaningrum et al. 2015). Hardness
menggambarkan resistensi produk terhadap perubahan bentuk atau terjadinya
patahan akibat gaya yang diberikan terhadap produk. Pada praktikum pengujian
kekerasan produk dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali. Data hasil pengujian
dengan hardness meter seperti pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengujian kekerasan dengan hardness meter
Ulangan
Produk Kelompok Rata-rata
1 2 3 4 5
P1.1 3.8 1.2 1.4 0.6 0.8 1.56
Beras P1.2 1.6 1.8 1.8 1.4 1.6 1.6
Analog P1.3 3 3 2.8 0.8 0.6 2.0
P1.4 1 1.2 2.4 1.4 1.6 1.5
P1.1 2.6 5.2 3.2 5 3 3.8
Beras P1.2 2.2 4.2 3.6 4.2 3.6 3.6
asli P1.3 6 6 5.8 3 7 5.6
P1.4 4.6 5.8 4.4 3.4 3.8 4.4
Kedelai P1.1 10.8 8.2 9.4 8.8 6.8 8.8
P1.2 8.0 8.8 10.4 7.2 8.4 8.56
P1.3 7.4 7 7.4 8.6 9.6 8.0
P1.4 7 6.4 6.8 8 9.4 7.5
Permen P1.1 20 20
P1.2 17.2 17.2
P1.3 20.4 20.4
P1.4 18 18

Berdasarkan hasil yang didapat, sampel yang memiliki nilai tertinggi dilihat
dari hardness berturut-turut adalah permen, kacang kedelai, beras asli dan beras
analog. Permen yang memiliki kekerasan yang tingi yaitu permen P1.3 (20,4).
Kekerasan permen dipengaruhi oleh kadar air yang ada, semakin rendah kadar air
dalam permen maka tekstrurnya akan semakin keras (Yuniartanti 2009).

7
Perbedaan hasil pada pengujian kekerasan permen dimungkinkan karena permen
yang digunakan sudah ada yang berubah komposisi didalamnya. Misal seperti
bertambahnya kadar air akibat gula yang meleh akibat suhu yang tinggi. Menurut
Figiel dan Tajner-Czopek (2006) bahwa peningkatan kadar air menyebabkan
penurunan tingkat kekerasan permen.
Meskipun serealia memiliki kadar air rendah tetapi memiliki kekerasan yang
berbeda-beda. Hal ini diduga karena perbedaan kekuatan ikatan matriks masing-
masing komposisi didalam bahan pangan. Semakin kuat ikatan matriks maka akan
sulit hancur.
3.4 Analisis Tekstur Dengan Metode Uniaxial Compression
Parameter tekstur memberikan korelasi yang sangat baik terhadap penilaian
sensori (Szczesniak et al, 1963). Pada praktikum ini salah satu uji yang dilakukan
adalah analisis tekstur menggunakan Texture Analyzer dengan single compression.
Rosenthal (1999) menyatakan pengujian dengan metode uniaxial compression
dilakukan dengan cara meletakkan bahan di antara dua piringan plat lalu ditekan
untuk mengetahui perubahan deformasi dan patahan yang terjadi pada bahan.
Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika melakukan analisa tekstur
dengan uniaxial compression untuk menjamin validitas data pengujian, antara lain
: 1) beban yang diberikan harus tepat berada pada arah pembebanan agar terhindar
dari pembelokan beban; 2) gesekan yang terjadi antara permukaan bahan dengan
plat penekan harus dibuat sekecil mungkin; dan 3) rasio antara panjang dan
diameter bahan harus dipilih pada kondisi dimana resiko pembelokkan bahan
tidak terjadi sehingga bahan dapat berdiri dengan tegak (Suastawa, 2008). Dari uji
tersebut dapat dihasilkan profil hardness dan britllness (fracturability) dari bahan
pangan.
Karakteristik fisik seperti kekerasan (hardness) dan fracturability termasuk
ke dalam kajian reologi produk. Hardness dan fracturability dipandang sebagai
dua indikator penting dalam menganalisis tekstur makanan terutama dalam
produk-produk baked (Pratama dkk, 2014). Pada praktikum analisis tekstur ini
digunakan sampel agar jelly, agar swallow, bakso dan brownis, dengan strain yang
digunakan adalah 50% dan 75%. Tujuannya adalah untuk mengetahui hardness

8
dan britlness dari keempat sampel.. Data hardness dan brittleness yang diperoleh
dari praktikum analisis tekstur disajikan dalam tabel 4. berikut.
Tabel 4. Nilai Hardness dan Brittleness Pada Bebearap Produk

Produk Strain Hardness (gf) brittleness (gf)


Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2
Agar 50 822,6 989,8 822,6 989,8
jelly 75 879,1 1087,5 879,1 1087,5
Agar 50 2957,4 2234,6 2957,4 2234,6
swallow 75 2532,8 3130,8 2532,8 3130,8
Bakso 50 4793.0 5297.3 4793,0 5297.3
75 7110.2 - 6900,0 -
Brownis 50 685.5 834,3 322,4 613,6
75 4844.8 4907.4 608,5 504,3

Pada praktikum kali ini digunakan 2 kali ulangan untuk masing-masing


sampel kecuali pada sampel bakso. Strain 50% merupakan kondisi ketika tekanan
yang diberikan hanya setengah dari tekanan penuh dan strain 75% merupakan
kondisi ketika tekanan yang diberikan ¾ dari tekanan penuh. Hasil hardness dan
brittleness yang didapatkan beragam karena keempat sampel yang digunakan
memang memiliki karakteristik yang berbeda. Nilai hardness merupakan jumlah
gaya yang dibutuhkan untuk mencapai puncak pada saat kompresi dan merupakan
puncak tertinggi dalam grafik analisis tekstur. Nilai hardness sendiri
menggambarkan kekerasan dari produk. Nilai Brittleness (kerapuhan) merupakan
gaya dimana menghasilkan patahan yang cukup pada saat kompresi dalam kurva
analisis tekstur. Brittleness ini menunjukan sudah terjadinya deformasi pada
produk.
Dari hasil analisis pada strain 50% didapatkan nilai hardness dan brittleness
yang sama pada sampel agar jelly yaitu berkisar 822.6-989.8 gf, sedangkan pada
strain 75% didapatkan nilai hardness dan brittleness sebesar 879.1-1087.5 gf. Hal
yang sama juga terjadi pada sampel agar swallow didapatkan nilai hardness dan
brittleness yang sama yaitu untuk strain 50% berkisar antara 2234.6-2957.4 gf dan
untuk strain 75% berkisar antara 2532.8-3130.8 gf. Nilai hardness dan brittleness
yang sama menunjukkan bahwa deformasi dari produk terjadi pada saat nilai
hardness tercapai.

9
Berbeda dari kedua sampel sebelumnya, bakso dan brownis memiliki nilai
hardness dan brittleness yang tidak sama. Hal ini berarti pada gaya tertentu sudah
terjadi deformasi dari produk sebelum nilai kekerasan tercapai ditunjukkan
dengan terbentuknya patahan sebelum puncak teritinggi tercapai pada kurva
analisis tekstur. Pada strain 75% sampel bakso didapatkan nilai hardness sebesar
7110.2 gf, sedangkan nilai brittleness yang didapatkan sebesar 6900 gf. Pada
sampel brownis memliki nilai hardness mencapai 4844.8-4907.4 gf sedangkan
nilai brittleness yang didapat hanya sebesar 504.3-608.5 gf.
Secara keseluruhan strain 75% memberikan nilai hardness yang lebih besar
dibandingkaan dengan strain 50%, hal ini karena semakin besar strain yang
diberikan maka semakin besar gaya yang bekerja pada sampel sehingga deformasi
tidak terjadi pada strain 50% melainkan baru terjadi pada strain 75%.
Agar jelly memiliki kekerasan yang rendah apabila dibandingkan dengan
sampel lainnya, hal ini menunjukkan bahwa agar-agar mudah hancur atau patah
pada gigitan pertama. Kekerasan yang paling tinggi dimiliki oleh bakso. Bahan
pengisi bakso yang umum dipakai adalah pati yang berfungsi sebagai pengikat air
dan penggunaan jenis pati berpengaruh terhadap tekstur yang dihasilkan
(Fennema, 1996). Pada sampel bakso yang digunakan dalam praktikum
dimungkinkan mengandung pati dalam konsentrasi yang tinggi sehingga
memberikan nilai kekerasan yang paling tinggi diantara ketiga sampel lainnya.
3.5 Analisis Tekstur kerupuk
Analisis kerenyahan pada kerupuk dilakukan dengan menggunakan 2
sampel yaitu kerupuk singkong dan kerupuk udang dengan 4 kali ulangan. Metode
yang digunakan adalah uniaxial (single compression) dengan strain yang
digunakan adalah 50%. Dari metode tersebut dapat diketahui nilai hardness
(kekerasan) dan brittleness (kerapuhan) dari kerupuk.

Tabel 5. Nilai Hardness dan Brittleness pada kerupuk


Produk Hardness (gf) Brittleness (gf)
Kerupuk 919,8 435,1

10
997,9 690,9
Singkong 1971,5 509,4
1268,5 350,6
Kerupuk 1475.8 373.8
Udang 1518.6 800
1522.5 880.9
1512.6 373.8

Dari hasil analisis dapat dikatakan bahwa deformasi produk terjadi sebelum
nilai kekerasan tercapai yang ditunjukkan dengan nilai brittleness (kerapuhan)
yang didapatkan. Hal ini menunjukkan sifat kerenyahan dari kedua jenis kerupuk.
Secara keseluruhan kerupuk udang memiliki nilai kekerasan dan kerapuhan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk singkong. Nilai kekerasan kerupuk
udang berkisar antara 1475.8-1522.6 gf, sedangkan nilai kekerasan kerupuk
singkong berkisar antara 919.8-1971.5 gf. Tekstur dari kerupuk dipengaruhi oleh
proses penggorengan, pada saat pengirisan dan proses penjemuran (Anisa dan
Catur, 2013). Perbedaan ketebalan antara kedua jenis kerupuk memungkinkan
menyebabkan terjadinya perbedaan nilai kekerasan dan kerapuhan yang
didapatkan dimana kerupuk singkong memiliki karakteristik ketebalan yang lebih
btipis dibandingkan dengan kerupuk udang. Kemudian semakin banyak patahan
yang terbentuk pada kurva analisis tekstur menunjukkan semakin banyak titik
kerapuhan yang terjadi yang berarti semakin menunjukkan karakteristik
kerenyahan dari kerupuk.
3.6 Analisis TPA
Dalam mengevaluasi tekstur terdapat kesulitan ketika membuat korelasi
antara pengukuran tekstur secara subjektif menggunakan indra manusia dengan
pengukuran secara objektif menggunakan instrument. Pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mengkorelasikan kedua hal tersebut adalah dengan menggunakan
simulasi pada saat proses pengunyahan pada instrument yang digunakan yaitu
dengan cara memberikan gaya tekan sebanyak dua kali. Prinsip dari TPA adalah
sampel makanan pada ukuran dan bentuk yang standar ditempatkan pada baseplat
kemudian ditekan dan dilepas kembali sebanyak 2 kali (double compression). Hal
ini dilakukan untuk menirukan sifat dari rahang ketika mengunyah. Untuk

11
menirukan mengunyah dari gigi harus digunakan tekanan yang tinggi (Bourne,
2002). Simulasi dari proses TPA dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Kurva hasil analisis profil tekstur

Dari proses pemberian gaya tekan terhadap produk dapat diukur nilai
kekerasan (hardness), daya kohesif (cohesiveness), daya adhesive (adhesiveness),
kerapuhan (fracturability atau brittleness), daya kunyah (chewingness) dan
kelengketan (gumminess). Puncak tertinggi pada tekanan pertama (gigitan
pertama) disebut sebagai hardness. Brittleness (kerapuhan) didefinisikan sebagai
gaya dimana menghasilkan patahan yang cukup di kurva pada tekanan pertama
yang diberikan. Rasio pada area positif pada tekanan pertama dan kedua (A2/A1)
didefinisikan sebagai cohesiveness. Area negatif pada tekanan pertama (A3)
didefinisikan sebagai adhesiveness dimana menunjukkan daya tarik saat tekanan
dilepaskan. Elastisitas (BC) diartikan sebagai jarak pada saat sampel kembali
kepada bentuk sebelumnya ketika tekanan pertama dilepaskan hingga mulainya
tekanan kedua diberikan (Bourne, 2002). Pada praktikum TPA ini menggunakan
sampel bakso dan brownis dengan strain yang digunakan 75%. Hasil pengukuran
dan perhitungan dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Data Hasil Pengamatan TPA Pada Bakso dan Brownies

12
Analisis Profil tekstur (rata-rata)
Gumminess
Sampel Cohessiveness
Hardness Adhesiveness Springieness (gf) Chewiness (g)
(%)
(gf) (%) (L2/L1) (Hardness x (Gumminess x
(A2/A1)
Cohessiveness) Springieness)
Bakso 9443.8 35.3 - 76.5 3335.3 2552.2
8737.8 34.4 - 74.2 3009.3 2232.0
Rata-
rata 9090.8 34.85 75.35 3172,3 2392.1
Brownis 5061.7 19.8 -55.93 77.5 1004.0 778.0
5369.8 18.8 -22.6 77.3 1008.3 779.6
Rata-
rata 5215.75 19.3 -39.26 77.4 1006.15 778.8

Nilai Hardness (Kekerasan)


Kekerasan merupakan salah satu parameter utama dalam penentuan kualitas
dan penerimaan konsumen terhadap bahan pangan. Nilai hardness merupakan
puncak tertinggi dari kurva hasil analisis menggunakan texture analyzer. Dari
tabel 6 dapat dilihat bahwa bakso memiliki nilai hardness yang lebih tinggi
dibandingkan dengan brownies.
Brownies termasuk salah satu jenis cake yang berwarna coklat kehitaman
dengan tekstur sedikit lebih keras daripada cake. Brownies mempunyai tekstur
dalam yang moist (lembab), lembut, menghasilkan cita rasa yang baik dan ketika
dipotong memiliki keseragaman sturktur pori remah (Sulistyo, 2006). Karena
strukturnya yang berpori maka kekerasan yang dihasilkan pun akan rendah
ditunjukan dengan deformasi yang terjadi diawal pemberian gaya tekan pada nilai
kerapuhan (brittleness). Sementara Huang et al, (2005) mengatakan bahwa
peningkatan kekerasan pada bakso berasal dari peningkatan karbohidrat dalam
bakso tersebut, dalam hal ini merupakan penggunaan tepung tapioka yang
berperan sebagai bahan pengisi dalam bakso.
Nilai Cohessiveness
Cohesiveness merupakan daya penahanan yang dilakukan suatu bahan
terhadap deformasi sebelum hancur. Nilai cohesiveness dihitung dari luasan kurva
hasil analisis texture analyzer pada tekanan kedua dibagi dengan luasan dibawah
kurva pada tekanan pertama. Dari hasil pengamatan didapatkan nilai cohesiveness
bakso lebih besar dibandingkan dengan brownies. Hattunisa RS, (2011)
menyatakan bahwa keberadaan air yang lebih banyak dapat meningkatkan nilai

13
cohesiveness produk sehingga dapat menahan tekanan lebih kuat. Dengan
demikian proses pembuatan brownies dengan pemanggangan (oven) akan
memiliki kadar air yang rendah apabila dibandingkan dengan bakso. Semakin
tinggi kadar air maka semakin tinggi nilai cohesiveness yang didapatkan. Nilai
cohesiveness ini juga menunjukkan kekuatan internal dalam struktur produk.
Struktur brownies yang berpori juga menyebabakan brownies lebih mudah
mengalami deformasi ketika diberikan gaya tekan.
Nilai Adhesiveness
Adhesiveness merupakan area negatif yang muncul pada tekanan pertama
dimana menunjukkan daya tarik saat tekanan dilepaskan (Bourne, 2002). Biasanya
hal ini terjadi karena menempelnya sampel pada probe texture analyzer dan ikut
terangkat. Gaya ini muncul sebagai gaya tarik menarik antara permukaan sampel
dengan permukaan lain yang bersentuhan dengan sampel dan disimulasikan
seperti terjadinya penempelan produk pada langit-langit rongga mulut. Dari hasil
pengamatan didapatkan bahwa pada sampel bakso tidak terdapat nilai
adhesiveness sehingga dapat dikatakan bahawa bakso tidak memiliki daya lekat,
sedangakn pada brownies didapatkan nilai adhesiveness sebesar -39.26 dan
menunjukkan brownies memiliki daya lekat ketika dikunyah.
Nilai Springiness, Gumminess dan Chewiness
Pengukuran nilai springiness bertujuan untuk menentukan seberapa produk
dapat kembali ke kondisi awal setelah diberi tekanan pertama kali (Szczesniak,
2002). Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa nilai springiness brownies lebih
tinggi dibandingkan dengan bakso. Nilai springiness ini juga menunjukan
elsatisitas dari produk. Elastisitas diartikan sebagai jarak pada saat sampel
kembali kepada bentuk sebelumnya ketika tekanan pertama dilepaskan hingga
mulainya tekanan kedua diberikan. Nilai yang lebih tinggi pada brownies dapat
disebabkan karena tekstur yang berpori sehingga lebih baik untuk kembali ke
bentuk semula. Kekenyalan bakso berhubungan dengan kekuatan gel yang
terbentuk akibat pemanasan. Kekenyalan bakso dipengaruhi oleh gelatinisasi yang
terjadi pada tepung tapioka sebagai bahan pengisi bakso.
Chewiness adalah energi yang dibutuhkan untuk mengunyah makanan
hingga makan tersebut siap untuk ditelan. Caine et al, (2003) menyatakan bahwa

14
nilai chewiness dipengaruhi oleh nilai kekerasan produk, semakin tinggi
kekerasan produk maka nilai chewiness pun akan semakin tinggi. Dari hasil
praktikum didapatkan bakso memiliki nilai chewiness yang lebih tinggi
dibandingkan dengan brownis. Hal ini sejalan dengan nilai hardness yang dimiliki
oleh bakso yang juga lebih tinggi dibandingkan dengan brownies.
Nilai Guumminess didefinisikan sebagai energi yang dibutuhkan untuk
mengecilkan makanan hingga ditelan (Szczesniak, 2002). Dari hasil analisis
dengan menggunakan texture analyzer, bakso memilki nilai gumminess yang lebih
besar dibandingkan dengan brownies. Hal ini serupa dengan nilai hardness dan
chewiness dimana bakso memiliki nilai hardness dan chewiness yang lebih tinggi
dibanding dengan brownies. Huang et al (2005), menyatakan bahwa nilai
hardness berpengaruh terhadap nilai chewiness dari gumminess dari suatu produk.
Nilai gumminess juga dipengaruhi oleh konsentrasi pati pada produk, sehingga
semakin besar konsentrasi pati dalam produk maka semakin besar juga nilai
gummines suatu produk.

BAB IV
KESIMPULAN

15
Berdasarkan hasil praktikum tekstur dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai
berikut :
1. Daya oles selai lebih tinggi dibandingkan dengan margarin. Ulangan ketiga
pada selai stawberry daya oles semakin tinggi.
2. Saus cabai dan selai memiliki viskositas yang tinggi. Semakin encer sampel
maka viskositas akan rendah
3. Permen memiliki kekerasan yang tinggi dibandingkan dengan kacang kedelai
dan beras dengan nilai kekerasan 17.2-20.4.
4. Hasil praktikum analisis tekstur adalah nilai hardness yang paling tinggi
dimiliki oleh sampel bakso dengan nilai sebesar 7110.2 gf, sedangkan yang
paling kecil dimiliki oleh sampel agar jelly dengan nilai sebesar 822.6 gf.
Sedangkan untuk nilai fracturability hanya dimiliki oleh dua sampel dari 4
sampel yang diuji yaitu bakso dan brownies. Untuk uji kerenyahan kerupuk
nilai hardness pada kerupuk udang lebih besar apabila dibandingkan dengan
kerupuk tekstur.
5. Hasil praktikum texture profile analysis yaitu bakso memiliki nilai hardness,
cohesiveness, gumminess dan chewiness yang lebih tinggi dibandingkan
dengan brownies, sedangkan untuk springiness brownies memiliki nilai yang
lebih besar dibandingkan dengan bakso. Nilai adhesiveness hanya didapatkan
pada sampel brownies

DAFTAR PUSTAKA

16
Anisa, Catur A. 2013. Pengaruh Penambahan Daging Kijing dan Wortel Terhadap
Daya Terima dan Kandungan Gizi Kerupuk Berbahan Dasar Mocaf. Media
Gizi Indonesia Vol 9 No 1 : 84-88
Bourne M. 2002. Food Texture and Viscosity. New York : Academic Press
Caine, W. R., J. L. Aalhus, D. R. Best, M. E. R. Dugan, and L. E. Jeremiah. 2003.
Relationship of texture profile analysis and Warner-Bratzler shear force with
sensory characteristics of beef rib steaks. Meat Sci. 64: 333-339.
deMan JM. 2013. Principles of Food Chemistry 3rd Edition. Springer, New York.
Fennema, O.R (ed). 1996.Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.
Figiel A danTajner-Czopek A. 2006.The effect of candy moisture content on
texture.Journal.
Hattunisa RS. 2011.Optimasi Proses Dehidrasi dan Formulasi Bahan Tambahan
Pangan pada Mi Jagung Instant dengan Metode Ekstrusi. [skripsi]. Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian.
Huang, S.C., C.Y. Shiau, T.E. Liu, C.L. Chu and D.F. Hwang. 2005. Effects of
Rice bran on sensory and physic-chemical properties of emulsified pork
meatball. Mear Sci, 70: 613-619.
Owasu RK. 2004. Introduction to Food Chemistry. CRC Press, USA.
Prasetyaningrum A, Gunawan W, Santosa, Dharmawan, Mohamad J. 2015.
Kombinasi proses cold gelation danfoam mat drying
padakarakteristikprodukkaragenan. Prosiding Seminar NasionalTeknik Kimia
“Kejuangan”.Yogyakarta.
Pratama, R. I., Rostini, I., dan Liviawaty, E. 2014. Karakteristik Biskuit dengan
Penambahan Tepung Tulang Ikan Jangilus (Istiophorus sp.). Jurnal Akuatika
5(1): 30–39.
Rosenthal, A.J. 1999. Food Texture : Measurement and Perception. Gaithersburg,
Maryland : Aspen Publishers, Inc.
Smewing J. 1999. Hydrocolloids in Food Tecture: Measurment and Perception.
Aspen Publisher, Gaithersburg.
SNI. 1992. Syarat Mutu Selai Buah (SNI 01-2986-1992). Dewan Standarisasi
Nasional, Jakarta.
SNI. 1995. Standar Nasional Indonesia untuk Kedelai (SNI 01-3922-1995).
Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Sulistiyo CN. 2006. Pengembangan Brownies Kukus Tepung Ubi Jalar (Ipomoea
Batatas L.) di PT. Fits Mandiri Bogor [skripsi]. Jurusan Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Szczesniak AS. 2002. Texture is a sensory property. J of Food Quality and
Preference 13(2) : 215-225.
Yuniartanti RA. 2009. Pembuatan Hard Candy Kunyit Putih (curcuma mangga)
(Kajian Jenis dan Konsentrasi Doctoring Agent). Skripsi. Universitas
Brawijaya, Malang.

17
BUS 8 18
BUS 8
BUS 8
19

Anda mungkin juga menyukai