Disusunoleh
Kelompok 4 / Paralel 1
Rizka Novera F251160081
Gustira Endah A F251160221
Arindra Nirbaya F251160241
Rizki Dwi Setiawan F251160311
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2
BAB II
METODOLOGI
Bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu selai, mentega, beras analog,
beras, kedelai, permen, susu, sirup, saus cabai, brownies, kerupuk udang, kerupuk
singkong, bakso, agar nutrijel, dan agar swallow. Sedangkan untuk alat yang
digunakan pada praktikum ini yaitu penetrometer, hardness tester, rotary
viscometer dan TPA (Texture Profile Analysis) Texture Analyzer TA-XT2i Stable
Micro System yang langsung dihubungkan dengan program pengukuran tekstur
pada komputer.
3
0 sambil mengatur posisi ujung probe pentrometer tepat menempel pada
permukaan sampel. Ujung probe diatur dengan cara mengatur penjepit
probe penetrometer, kemudian alat dijalankan (probe akan menusuk contoh
dengan kedalaman tertentu). Catat hasil skala kedalaman penusukan pada
display. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali.
BAB III
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Bila dibandingkan tiap kelompok, nilai daya oles margarin pada ulang ke 3
mengalami peningkatan hal ini dikarenakan margarin mulai meleleh sehingga
lebih muda dioles. Pada selai peningkatan nilai daya oles tidak terlalu terlihat pada
ketiga ulangan.
3.2 Mengukur Kekentalan
Prinsip kerja dari viskometer Brookfield ini adalah semakin kuat putaran
semakin tinggi viskositasnya sehingga hambatannya semakin besar. Pengukuran
dengan menggunakan viscometer Brookfield tergantung pada rotasi kecepatan
spindel, ukuran dan bentuk spindel. Semakin kecil nomor spindel yang digunakan,
ukuran akan semakin besar dan viskositas yang dihasilkan akan semakin kecil.
Selain pemilihan spindel, kecepatan putar spindel pun sangat penting. Kedua
faktor ini akan menghasilkan nilai faktor koreksi/faktor konversi yang berguna
dalam proses perhitungan nilai viskositas sampel.
6
Berdasarkan hasil pengujian dengan viscometer Brookfield didapatkan data
seperti tabel 2. Sampel selai dan saus cabai memiliki nilai viskositas yang sangat
tinggi bila dibandingkan dengan sampel susu dan sirup. Hal ini menunjukkan
bahawa selai dan saus cabai lebih kental. Semakin sedikit kandungan air dalam
sampel maka semakin kental. Semakin dominan kandungan air pada produk,
maka nilai viskositas akan semakin rendah (encer).
3.3 Mengukur Kekerasan (Hardness)
Hardness didefinisikan sebagai kekuatan maksimum yang diperlukan untuk
mengompresi setiap specimen (Prasetyaningrum et al. 2015). Hardness
menggambarkan resistensi produk terhadap perubahan bentuk atau terjadinya
patahan akibat gaya yang diberikan terhadap produk. Pada praktikum pengujian
kekerasan produk dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali. Data hasil pengujian
dengan hardness meter seperti pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengujian kekerasan dengan hardness meter
Ulangan
Produk Kelompok Rata-rata
1 2 3 4 5
P1.1 3.8 1.2 1.4 0.6 0.8 1.56
Beras P1.2 1.6 1.8 1.8 1.4 1.6 1.6
Analog P1.3 3 3 2.8 0.8 0.6 2.0
P1.4 1 1.2 2.4 1.4 1.6 1.5
P1.1 2.6 5.2 3.2 5 3 3.8
Beras P1.2 2.2 4.2 3.6 4.2 3.6 3.6
asli P1.3 6 6 5.8 3 7 5.6
P1.4 4.6 5.8 4.4 3.4 3.8 4.4
Kedelai P1.1 10.8 8.2 9.4 8.8 6.8 8.8
P1.2 8.0 8.8 10.4 7.2 8.4 8.56
P1.3 7.4 7 7.4 8.6 9.6 8.0
P1.4 7 6.4 6.8 8 9.4 7.5
Permen P1.1 20 20
P1.2 17.2 17.2
P1.3 20.4 20.4
P1.4 18 18
Berdasarkan hasil yang didapat, sampel yang memiliki nilai tertinggi dilihat
dari hardness berturut-turut adalah permen, kacang kedelai, beras asli dan beras
analog. Permen yang memiliki kekerasan yang tingi yaitu permen P1.3 (20,4).
Kekerasan permen dipengaruhi oleh kadar air yang ada, semakin rendah kadar air
dalam permen maka tekstrurnya akan semakin keras (Yuniartanti 2009).
7
Perbedaan hasil pada pengujian kekerasan permen dimungkinkan karena permen
yang digunakan sudah ada yang berubah komposisi didalamnya. Misal seperti
bertambahnya kadar air akibat gula yang meleh akibat suhu yang tinggi. Menurut
Figiel dan Tajner-Czopek (2006) bahwa peningkatan kadar air menyebabkan
penurunan tingkat kekerasan permen.
Meskipun serealia memiliki kadar air rendah tetapi memiliki kekerasan yang
berbeda-beda. Hal ini diduga karena perbedaan kekuatan ikatan matriks masing-
masing komposisi didalam bahan pangan. Semakin kuat ikatan matriks maka akan
sulit hancur.
3.4 Analisis Tekstur Dengan Metode Uniaxial Compression
Parameter tekstur memberikan korelasi yang sangat baik terhadap penilaian
sensori (Szczesniak et al, 1963). Pada praktikum ini salah satu uji yang dilakukan
adalah analisis tekstur menggunakan Texture Analyzer dengan single compression.
Rosenthal (1999) menyatakan pengujian dengan metode uniaxial compression
dilakukan dengan cara meletakkan bahan di antara dua piringan plat lalu ditekan
untuk mengetahui perubahan deformasi dan patahan yang terjadi pada bahan.
Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika melakukan analisa tekstur
dengan uniaxial compression untuk menjamin validitas data pengujian, antara lain
: 1) beban yang diberikan harus tepat berada pada arah pembebanan agar terhindar
dari pembelokan beban; 2) gesekan yang terjadi antara permukaan bahan dengan
plat penekan harus dibuat sekecil mungkin; dan 3) rasio antara panjang dan
diameter bahan harus dipilih pada kondisi dimana resiko pembelokkan bahan
tidak terjadi sehingga bahan dapat berdiri dengan tegak (Suastawa, 2008). Dari uji
tersebut dapat dihasilkan profil hardness dan britllness (fracturability) dari bahan
pangan.
Karakteristik fisik seperti kekerasan (hardness) dan fracturability termasuk
ke dalam kajian reologi produk. Hardness dan fracturability dipandang sebagai
dua indikator penting dalam menganalisis tekstur makanan terutama dalam
produk-produk baked (Pratama dkk, 2014). Pada praktikum analisis tekstur ini
digunakan sampel agar jelly, agar swallow, bakso dan brownis, dengan strain yang
digunakan adalah 50% dan 75%. Tujuannya adalah untuk mengetahui hardness
8
dan britlness dari keempat sampel.. Data hardness dan brittleness yang diperoleh
dari praktikum analisis tekstur disajikan dalam tabel 4. berikut.
Tabel 4. Nilai Hardness dan Brittleness Pada Bebearap Produk
9
Berbeda dari kedua sampel sebelumnya, bakso dan brownis memiliki nilai
hardness dan brittleness yang tidak sama. Hal ini berarti pada gaya tertentu sudah
terjadi deformasi dari produk sebelum nilai kekerasan tercapai ditunjukkan
dengan terbentuknya patahan sebelum puncak teritinggi tercapai pada kurva
analisis tekstur. Pada strain 75% sampel bakso didapatkan nilai hardness sebesar
7110.2 gf, sedangkan nilai brittleness yang didapatkan sebesar 6900 gf. Pada
sampel brownis memliki nilai hardness mencapai 4844.8-4907.4 gf sedangkan
nilai brittleness yang didapat hanya sebesar 504.3-608.5 gf.
Secara keseluruhan strain 75% memberikan nilai hardness yang lebih besar
dibandingkaan dengan strain 50%, hal ini karena semakin besar strain yang
diberikan maka semakin besar gaya yang bekerja pada sampel sehingga deformasi
tidak terjadi pada strain 50% melainkan baru terjadi pada strain 75%.
Agar jelly memiliki kekerasan yang rendah apabila dibandingkan dengan
sampel lainnya, hal ini menunjukkan bahwa agar-agar mudah hancur atau patah
pada gigitan pertama. Kekerasan yang paling tinggi dimiliki oleh bakso. Bahan
pengisi bakso yang umum dipakai adalah pati yang berfungsi sebagai pengikat air
dan penggunaan jenis pati berpengaruh terhadap tekstur yang dihasilkan
(Fennema, 1996). Pada sampel bakso yang digunakan dalam praktikum
dimungkinkan mengandung pati dalam konsentrasi yang tinggi sehingga
memberikan nilai kekerasan yang paling tinggi diantara ketiga sampel lainnya.
3.5 Analisis Tekstur kerupuk
Analisis kerenyahan pada kerupuk dilakukan dengan menggunakan 2
sampel yaitu kerupuk singkong dan kerupuk udang dengan 4 kali ulangan. Metode
yang digunakan adalah uniaxial (single compression) dengan strain yang
digunakan adalah 50%. Dari metode tersebut dapat diketahui nilai hardness
(kekerasan) dan brittleness (kerapuhan) dari kerupuk.
10
997,9 690,9
Singkong 1971,5 509,4
1268,5 350,6
Kerupuk 1475.8 373.8
Udang 1518.6 800
1522.5 880.9
1512.6 373.8
Dari hasil analisis dapat dikatakan bahwa deformasi produk terjadi sebelum
nilai kekerasan tercapai yang ditunjukkan dengan nilai brittleness (kerapuhan)
yang didapatkan. Hal ini menunjukkan sifat kerenyahan dari kedua jenis kerupuk.
Secara keseluruhan kerupuk udang memiliki nilai kekerasan dan kerapuhan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk singkong. Nilai kekerasan kerupuk
udang berkisar antara 1475.8-1522.6 gf, sedangkan nilai kekerasan kerupuk
singkong berkisar antara 919.8-1971.5 gf. Tekstur dari kerupuk dipengaruhi oleh
proses penggorengan, pada saat pengirisan dan proses penjemuran (Anisa dan
Catur, 2013). Perbedaan ketebalan antara kedua jenis kerupuk memungkinkan
menyebabkan terjadinya perbedaan nilai kekerasan dan kerapuhan yang
didapatkan dimana kerupuk singkong memiliki karakteristik ketebalan yang lebih
btipis dibandingkan dengan kerupuk udang. Kemudian semakin banyak patahan
yang terbentuk pada kurva analisis tekstur menunjukkan semakin banyak titik
kerapuhan yang terjadi yang berarti semakin menunjukkan karakteristik
kerenyahan dari kerupuk.
3.6 Analisis TPA
Dalam mengevaluasi tekstur terdapat kesulitan ketika membuat korelasi
antara pengukuran tekstur secara subjektif menggunakan indra manusia dengan
pengukuran secara objektif menggunakan instrument. Pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mengkorelasikan kedua hal tersebut adalah dengan menggunakan
simulasi pada saat proses pengunyahan pada instrument yang digunakan yaitu
dengan cara memberikan gaya tekan sebanyak dua kali. Prinsip dari TPA adalah
sampel makanan pada ukuran dan bentuk yang standar ditempatkan pada baseplat
kemudian ditekan dan dilepas kembali sebanyak 2 kali (double compression). Hal
ini dilakukan untuk menirukan sifat dari rahang ketika mengunyah. Untuk
11
menirukan mengunyah dari gigi harus digunakan tekanan yang tinggi (Bourne,
2002). Simulasi dari proses TPA dapat dilihat pada gambar 1.
Dari proses pemberian gaya tekan terhadap produk dapat diukur nilai
kekerasan (hardness), daya kohesif (cohesiveness), daya adhesive (adhesiveness),
kerapuhan (fracturability atau brittleness), daya kunyah (chewingness) dan
kelengketan (gumminess). Puncak tertinggi pada tekanan pertama (gigitan
pertama) disebut sebagai hardness. Brittleness (kerapuhan) didefinisikan sebagai
gaya dimana menghasilkan patahan yang cukup di kurva pada tekanan pertama
yang diberikan. Rasio pada area positif pada tekanan pertama dan kedua (A2/A1)
didefinisikan sebagai cohesiveness. Area negatif pada tekanan pertama (A3)
didefinisikan sebagai adhesiveness dimana menunjukkan daya tarik saat tekanan
dilepaskan. Elastisitas (BC) diartikan sebagai jarak pada saat sampel kembali
kepada bentuk sebelumnya ketika tekanan pertama dilepaskan hingga mulainya
tekanan kedua diberikan (Bourne, 2002). Pada praktikum TPA ini menggunakan
sampel bakso dan brownis dengan strain yang digunakan 75%. Hasil pengukuran
dan perhitungan dapat dilihat pada tabel 6.
12
Analisis Profil tekstur (rata-rata)
Gumminess
Sampel Cohessiveness
Hardness Adhesiveness Springieness (gf) Chewiness (g)
(%)
(gf) (%) (L2/L1) (Hardness x (Gumminess x
(A2/A1)
Cohessiveness) Springieness)
Bakso 9443.8 35.3 - 76.5 3335.3 2552.2
8737.8 34.4 - 74.2 3009.3 2232.0
Rata-
rata 9090.8 34.85 75.35 3172,3 2392.1
Brownis 5061.7 19.8 -55.93 77.5 1004.0 778.0
5369.8 18.8 -22.6 77.3 1008.3 779.6
Rata-
rata 5215.75 19.3 -39.26 77.4 1006.15 778.8
13
cohesiveness produk sehingga dapat menahan tekanan lebih kuat. Dengan
demikian proses pembuatan brownies dengan pemanggangan (oven) akan
memiliki kadar air yang rendah apabila dibandingkan dengan bakso. Semakin
tinggi kadar air maka semakin tinggi nilai cohesiveness yang didapatkan. Nilai
cohesiveness ini juga menunjukkan kekuatan internal dalam struktur produk.
Struktur brownies yang berpori juga menyebabakan brownies lebih mudah
mengalami deformasi ketika diberikan gaya tekan.
Nilai Adhesiveness
Adhesiveness merupakan area negatif yang muncul pada tekanan pertama
dimana menunjukkan daya tarik saat tekanan dilepaskan (Bourne, 2002). Biasanya
hal ini terjadi karena menempelnya sampel pada probe texture analyzer dan ikut
terangkat. Gaya ini muncul sebagai gaya tarik menarik antara permukaan sampel
dengan permukaan lain yang bersentuhan dengan sampel dan disimulasikan
seperti terjadinya penempelan produk pada langit-langit rongga mulut. Dari hasil
pengamatan didapatkan bahwa pada sampel bakso tidak terdapat nilai
adhesiveness sehingga dapat dikatakan bahawa bakso tidak memiliki daya lekat,
sedangakn pada brownies didapatkan nilai adhesiveness sebesar -39.26 dan
menunjukkan brownies memiliki daya lekat ketika dikunyah.
Nilai Springiness, Gumminess dan Chewiness
Pengukuran nilai springiness bertujuan untuk menentukan seberapa produk
dapat kembali ke kondisi awal setelah diberi tekanan pertama kali (Szczesniak,
2002). Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa nilai springiness brownies lebih
tinggi dibandingkan dengan bakso. Nilai springiness ini juga menunjukan
elsatisitas dari produk. Elastisitas diartikan sebagai jarak pada saat sampel
kembali kepada bentuk sebelumnya ketika tekanan pertama dilepaskan hingga
mulainya tekanan kedua diberikan. Nilai yang lebih tinggi pada brownies dapat
disebabkan karena tekstur yang berpori sehingga lebih baik untuk kembali ke
bentuk semula. Kekenyalan bakso berhubungan dengan kekuatan gel yang
terbentuk akibat pemanasan. Kekenyalan bakso dipengaruhi oleh gelatinisasi yang
terjadi pada tepung tapioka sebagai bahan pengisi bakso.
Chewiness adalah energi yang dibutuhkan untuk mengunyah makanan
hingga makan tersebut siap untuk ditelan. Caine et al, (2003) menyatakan bahwa
14
nilai chewiness dipengaruhi oleh nilai kekerasan produk, semakin tinggi
kekerasan produk maka nilai chewiness pun akan semakin tinggi. Dari hasil
praktikum didapatkan bakso memiliki nilai chewiness yang lebih tinggi
dibandingkan dengan brownis. Hal ini sejalan dengan nilai hardness yang dimiliki
oleh bakso yang juga lebih tinggi dibandingkan dengan brownies.
Nilai Guumminess didefinisikan sebagai energi yang dibutuhkan untuk
mengecilkan makanan hingga ditelan (Szczesniak, 2002). Dari hasil analisis
dengan menggunakan texture analyzer, bakso memilki nilai gumminess yang lebih
besar dibandingkan dengan brownies. Hal ini serupa dengan nilai hardness dan
chewiness dimana bakso memiliki nilai hardness dan chewiness yang lebih tinggi
dibanding dengan brownies. Huang et al (2005), menyatakan bahwa nilai
hardness berpengaruh terhadap nilai chewiness dari gumminess dari suatu produk.
Nilai gumminess juga dipengaruhi oleh konsentrasi pati pada produk, sehingga
semakin besar konsentrasi pati dalam produk maka semakin besar juga nilai
gummines suatu produk.
BAB IV
KESIMPULAN
15
Berdasarkan hasil praktikum tekstur dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai
berikut :
1. Daya oles selai lebih tinggi dibandingkan dengan margarin. Ulangan ketiga
pada selai stawberry daya oles semakin tinggi.
2. Saus cabai dan selai memiliki viskositas yang tinggi. Semakin encer sampel
maka viskositas akan rendah
3. Permen memiliki kekerasan yang tinggi dibandingkan dengan kacang kedelai
dan beras dengan nilai kekerasan 17.2-20.4.
4. Hasil praktikum analisis tekstur adalah nilai hardness yang paling tinggi
dimiliki oleh sampel bakso dengan nilai sebesar 7110.2 gf, sedangkan yang
paling kecil dimiliki oleh sampel agar jelly dengan nilai sebesar 822.6 gf.
Sedangkan untuk nilai fracturability hanya dimiliki oleh dua sampel dari 4
sampel yang diuji yaitu bakso dan brownies. Untuk uji kerenyahan kerupuk
nilai hardness pada kerupuk udang lebih besar apabila dibandingkan dengan
kerupuk tekstur.
5. Hasil praktikum texture profile analysis yaitu bakso memiliki nilai hardness,
cohesiveness, gumminess dan chewiness yang lebih tinggi dibandingkan
dengan brownies, sedangkan untuk springiness brownies memiliki nilai yang
lebih besar dibandingkan dengan bakso. Nilai adhesiveness hanya didapatkan
pada sampel brownies
DAFTAR PUSTAKA
16
Anisa, Catur A. 2013. Pengaruh Penambahan Daging Kijing dan Wortel Terhadap
Daya Terima dan Kandungan Gizi Kerupuk Berbahan Dasar Mocaf. Media
Gizi Indonesia Vol 9 No 1 : 84-88
Bourne M. 2002. Food Texture and Viscosity. New York : Academic Press
Caine, W. R., J. L. Aalhus, D. R. Best, M. E. R. Dugan, and L. E. Jeremiah. 2003.
Relationship of texture profile analysis and Warner-Bratzler shear force with
sensory characteristics of beef rib steaks. Meat Sci. 64: 333-339.
deMan JM. 2013. Principles of Food Chemistry 3rd Edition. Springer, New York.
Fennema, O.R (ed). 1996.Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.
Figiel A danTajner-Czopek A. 2006.The effect of candy moisture content on
texture.Journal.
Hattunisa RS. 2011.Optimasi Proses Dehidrasi dan Formulasi Bahan Tambahan
Pangan pada Mi Jagung Instant dengan Metode Ekstrusi. [skripsi]. Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian.
Huang, S.C., C.Y. Shiau, T.E. Liu, C.L. Chu and D.F. Hwang. 2005. Effects of
Rice bran on sensory and physic-chemical properties of emulsified pork
meatball. Mear Sci, 70: 613-619.
Owasu RK. 2004. Introduction to Food Chemistry. CRC Press, USA.
Prasetyaningrum A, Gunawan W, Santosa, Dharmawan, Mohamad J. 2015.
Kombinasi proses cold gelation danfoam mat drying
padakarakteristikprodukkaragenan. Prosiding Seminar NasionalTeknik Kimia
“Kejuangan”.Yogyakarta.
Pratama, R. I., Rostini, I., dan Liviawaty, E. 2014. Karakteristik Biskuit dengan
Penambahan Tepung Tulang Ikan Jangilus (Istiophorus sp.). Jurnal Akuatika
5(1): 30–39.
Rosenthal, A.J. 1999. Food Texture : Measurement and Perception. Gaithersburg,
Maryland : Aspen Publishers, Inc.
Smewing J. 1999. Hydrocolloids in Food Tecture: Measurment and Perception.
Aspen Publisher, Gaithersburg.
SNI. 1992. Syarat Mutu Selai Buah (SNI 01-2986-1992). Dewan Standarisasi
Nasional, Jakarta.
SNI. 1995. Standar Nasional Indonesia untuk Kedelai (SNI 01-3922-1995).
Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Sulistiyo CN. 2006. Pengembangan Brownies Kukus Tepung Ubi Jalar (Ipomoea
Batatas L.) di PT. Fits Mandiri Bogor [skripsi]. Jurusan Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Szczesniak AS. 2002. Texture is a sensory property. J of Food Quality and
Preference 13(2) : 215-225.
Yuniartanti RA. 2009. Pembuatan Hard Candy Kunyit Putih (curcuma mangga)
(Kajian Jenis dan Konsentrasi Doctoring Agent). Skripsi. Universitas
Brawijaya, Malang.
17
BUS 8 18
BUS 8
BUS 8
19