Managemen Perioperatif Pada Anak
Managemen Perioperatif Pada Anak
Oleh :
1002005080
Pembimbing:
1
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Manajemen Perioperatif pada Pediatrik” ini tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka mengikuti Kepantitraan Klinik Madya di
Bagian/SMF Anestesiology dan Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................
ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................
3
2.1 Anestesi pada Pediatrik ........................................................................
..............................................................................................................3
2.2 Manajemen Preoperatif pada Pediatrik.................................................
..............................................................................................................4
2.2.1 Anamnesis....................................................................................
..............................................................................................................8
2.2.2 Pemeriksaan Fisik........................................................................
..............................................................................................................8
2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium..........................................................
.............................................................................................................11
2.2.4 Pemeriksaan Penunjang...............................................................
.............................................................................................................13
2.2.5 Premedikasi pada Pediatrik..........................................................
.............................................................................................................13
2.2.6 Puasa............................................................................................
.............................................................................................................18
2.2.7 Induksi pada Pediatrik..................................................................
.............................................................................................................18
2.2.8 Intubasi pada Pediatrik.................................................................
.............................................................................................................21
2.3 Manajemen Intraoperatif pada Pediatrik...............................................
22
2.3.1 Pemeliharaan Anestesi.................................................................
23
3
2.4 Manajemen Postoperatif pada Pediatrik...............................................
24
2.4.1 Pengakhiran Anestesi...................................................................
24
2.4.2 Perawatan di Ruang Pulih............................................................
24
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................
25
3.1 Evaluasi Pra-Anestesi...........................................................................
25
3.2 Persiapan Pra-Anestesi..........................................................................
28
3.3 Pengelolaan Anestesi............................................................................
28
3.4 Pengelolaan Pasca Bedah......................................................................
30
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................
31
BAB V SIMPULAN........................................................................................
33
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
4
yang akan menghadapi suatu operasi tentunya membutuhkan perhatian khusus
meliputi pemahaman struktur anatomi dan fungsi fisiologis secara menyeluruh,
pengaruh perjalanan penyakit terhadap kondisi fisik anak serta persiapan obat-
obatan dan tindakan perioperatif yang harus dilakukan untuk mempersiapkan
kondisi anak seoptimal mungkin dalam menjalani operasi. Perbedaan manajemen
perioperatif anak dan dewasa tidak hanya pada struktur anatomi dan fungsi
fisiologis, namun beberapa perbedaan seperti bayi lebih mudah mengalami
hipoglikemi, hipotermia atau hipertermia dan bradikardi juga memiliki peranan
penting. Namun dengan adanya perbedaan tersebut tidak mengabaikan prinsip
utama anestesi yaitu kewaspadaan, keamanan, kenyamanan, dan perhatian yang
seksama baik pada pasien anak maupun dewasa.2,3
Oleh karena itu, maka penulis tertarik untuk membahas mengenai manajemen
perioperatif pada pasien pediatrik melihat beberapa perbedaan yang terdapat
dalam hal penanganan perioperatif pada anak dan dewasa.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
hormone dan pengaruh langsung obat anastesi terhadap sistem respirasi dan
kardiovaskuler.1
a. Usia
Bayi dengan usia dibawah 6 bulan, bayi tidak terlalu sulit untuk dipisahkan
dari kedua orang tuanya dan dapat digantikan oleh perawat. Bayi dengan usia 6-
7
12 bulan sudah memperlihatkan adanya perhatian pada lingkungan sekelilingnya.
Perasaan cemas atau takut akan timbul pada saat anak berada di rumah sakit atau
di kamar operasi. Selain itu, dapat terjadi trauma karena dipisahkan oleh orang
tuanya dan harus berhadapan dengan orang dan lingkungan yang asing karena
pada usia ini anak sulit untuk dipisahkan oleh orang tuanya. Pada usia ini sangat
diperlukan sekali obat sedative sehingga pada waktu dibawa ke kamar operasi
anak salam keadaan sedasi dan tenang.4
Anak dengan usia lebih dari 1 tahun – 6 tahun memiliki tingkah laku yang
sering kali menyulitkan pada saat penatalaksaan anastesi. Anak usia ini umumnya
tidak kooperatif, tidak mau berpisah dengan orang tuanya dan sering
memberontak, sehingga pada usia ini sangat diperlukan pendekatan secara
psikologis dan penjelasan seara detail pada anak dan orang tua sehningga adanya
hubungan yang baik antara dokter dan anak. Usia diatas usia 6 tahun keatas
biasanya sudah mulai kooperatif, sudah mulai banyak bertanya tentang tindakan
yang akan dialaminya sehingga dokter dan para medis harus lebih bersabar untuk
menjelaskannya.4
1. Pernafasan
8
Frekuensi pernafasan pada bayi dan anak lebih cepat dibanding orang dewasa.
Pada neonatus dan bayi antara 30 - 40 kali per menit. Pernafasan neonatus dan
bayi melalui nasal dengan tipe abdominal, sehingga gangguan pada kedua bagian
ini memudahkan timbulnya kegawatan pernafasan. Paru-paru lebih mudah rusak
karena tekanan ventilasi yang berlebihan, sehingga menyebabkan pneumotoraks,
atau pneumomediastinum. Laju metabolisme yang tinggi menyebabkan cadangan
oksigen yang jauh lebih kecil, sehingga kurangnya kadar oksigen yang tersedia
pada udara inspirasi, dapat menyebabkan terjadinya bahaya hipoksia yang lebih
cepat dibandingkan pada orang dewasa. Neonatus tampaknya lebih dapat bertahan
terhadap gangguan hipoksia dibandingkan dengan anak yang besar dan orang
dewasa, tetapi hal ini bukan alasan untuk mengabaikan hipoksia pada neonatus.5
Terdapat 5 perbedaan anatomi mendasar dari jalan nafas pada anak-anak dan
dewasa, yaitu :5
1. Anak-anak memiliki kepala dan lidah lebih besar
2. Laring yang letaknya lebih anterior
3. Epiglottis yang lebih panjang
4. Leher dan trakea yang lebih pendek daripada dewasa
5. Cartilago tiroid yang terletak berdekatan dengan jalan nafas
2. Kardio - sirkulasi
Frekuensi denyut jantung / nadi bayi dan anak berkisar antara 100-120 kali per
menit. Hipoksia yang terjadi pada anak menimbulkan bradikardia, karena
parasimpatis yang lebih dominan. Kadar hemoglobin neonatus lebih tinggi yaitu
berkisar antara 16-20 gr%. Jumlah darah bayi secara absoluts sedikit, walaupun
untuk perhitungan mengandung 90 miligram dari berat badan, karena itu
perdarahan lebih cepat menimbulkan gangguan sistem kardiosirkulasi. Dan juga
duktus arteriosus dan foramina pada septa interatrium dan interventrikel belum
menutup selama beberapa hari setelah lahir.5
9
Umur Heart Rate Tekanan Systolic Tekanan Diastolic
Preterm 1000g 130-150 45 25
Baru lahir 110-150 60-75 27
6 bulan 80-150 95 45
2 tahun 85-125 95 50
4 tahun 75-115 98 57
8 tahun 60-110 112 60
Tabel 2. Perbedaan Heart Rate dan Tekanan Darah Pada Pediatrik
Berdasarkan Umur 5
Bayi bersifat poikilotennik, karena luas permukaan tubuhnya relatif lebih luas
dibanding orang dewasa. Hal ini dapat menimbulkan bahaya hipotermia pada
lingkungan yang dingin, dan hipertermia pada lingkungan yang panas dalam onset
waktu yang singkat. Disamping itu pusat pengaturan suhu di hipotalamus belum
berkembang dengan baik.1,6,7
3. Cairan Tubuh
Bayi lahir cukup bulan mengandung relatif banyak cairan dalam tubuhnya
yaitu 75% dari berat badan, setelah berusia 1 tahun turun menjadi 65% dari berat
badan dan setelah dewasa menjadi 55-60% dari berat badan. Cairan ekstrasel
neonatus ialah 40% dari berat badan, sedangkan pada dewasa ialah 20%. Pada
Tabel 3 dapat dilihat perbedaan EBV (Estimated Blood Volume) pada pediatrik
berdasarkan umur.5
Umur EBV
Prematur 90-100cc/kg
Baru lahir 80-90 cc/kg
3 bulan-1 tahun 70-80 cc/kg
>1 tahun 70 cc/kg
Dewasa 55-60 cc/kg
Tabel 3. Perbedaan EBV (Estimated Blood Volume) Pada Pediatrik
Berdasarkan Umur5
10
dalam persiapan preoperatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang dan penjelasan mengenai prosedur anestesi yang akan dilakukan
berikut manfaat dan resikonya (informed consent), premedikasi, puasa dan
intubasi. Pada preoperatif ini lebih dilakukan penilaian mengenai keadaan umum,
keadaan fisik dan mental pasien.3,4
2.2.1 Anamnesis
Keluhan utama merupakan alasan yang menyebabkan seorang anak dibawa
oleh orangtuanya ke dokter. Informasi durasi, onset, progresivitas dan berat
ringannya keluhan utama serta keluhan dan gejala yang menyertainya harus digali
seteliti mungkin. Riwayat penyakit sekarang dan riwayat penyakit dahulu berguna
untuk mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatlkan ketidakberhasilan operasi.
Riwayat operasi sebelumnya dan pemberian obat yang berhubungan dengan
keluhan utama dicatat. Kondisi lain seperti terdapat dyspnea, riwayat sianosis,
edema, perdarahan yang sulit berhenti, dan riwayat alergi harus ditanyakan. Obat
yang sedang digunakan juga harus diketahui jenis, dosis dan jadwal
pemberiannya. Riwayat persalinan, riwayat imunisasi, asupan nutrisi serta
pertumbuhan dan perkembangan sebaiknya diperhatikan. Riwayat operasi dan
anastesi sebelumnya. Riwayat penyakit dan silsilah keluarga (family tree) berguna
pada penyakit-penyakit kongenital, genetik atau keganasan. Riwayat sosial
terutama berperan pada kondisi tempat tinggal dan lingkungan serta
perkembangan sosial dan akademik seorang anak.3,8
11
a. Kepala, Telinga, Mata, Hidung dan Tenggorokan
Perhatikan ukuran dan bentuk kepala. Anak-anak dengan fusi abnormal dari
sutura koronaria biasanya tidak normosefalik. Makrosefali atau mikrosefali dapat
merupakan petunjuk adanya proses intrakranial. Sklera ikterik menunjukkan
disfungsi hati atau kandung empedu dan salurannya. Otitis media juga mudah
timbul pada anak-anak. Infeksi jalan napas atas sering terjadi dan ditandai dengan
orofaring yang eritematus atau inflamasi turbin nasal disertai rinorea. Pemeriksaan
gigi geligi juga penting pada anakanak yang akan dioperasi.3
b. Dinding Dada dan Paru-Paru
Deformitas bentuk toraks seperti pektus ekskavatum atau pektus karinatum.
Berat ringannya deformitas tersebut menentukan kemungkinan adanya gangguan
pada fungsi jantung dan paru-paru. Selain itu identifikasi massa di daerah dada
(payudara) juga dilakukan terutama pada anak perempuan. Bising inosen yang
dapat ditemukan pada anak tidak bersifat patologis akan tetapi sering
disalahtafsirkan sebagai bising organik sehingga pasien dilakukan pemeriksaan
khusus yang tidak perlu. Bising inosen dapat terdengar dari masa neonatus sampai
dewasa muda tetapi paling sering terdengar pada usia 3-7 tahun. Beberapa
karakteristik dari murmur adalah terdengar pada fase sistolik kecuali dengung
vena yang mirip bising kontinu, berupa bising ejeksi sistolik pendek, intensitas
rendah dan tidak melebihi derajat 3/6, mungkin melemah bila pasien duduk dan
mengeras bila terjadi takikardia akibat demam, latihan atau ansietas, serta tidak
disertai dengan kelainan struktural jantung dan pembuluh darah besar. Dengan
memperhatikan karakteristik tersebut umumnya bising dapat dipastikan dengan
pemeriksaan fisis tanpa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan paru-paru harus
dilakukan dengan teliti. Suara napas harus bersih dan identik di antara ke dua
paru. Proses pada paru-paru dapat ditandai adanya bunyi napas abnormal seperti
ronki, wheezing atau crackles.3
c. Abdomen dan Inguinal
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan secara sistimatis dan lembut. Pertama-
tama perhatikan abdomen anak secara menyeluruh, identifikasi bekas luka, lokasi
dan panjangnya serta bentuk abdomen. Abdomen skafoid dapat merupakan tanda
hernia diafragmatika tetapi normal pada anak yang kurus. Obstruksi usus, massa
abdomen atau asites dapat menyebabkan distensi abdomen. Selanjutnya
12
mendengarkan suara bising usus. Tidak adanya bising usus mungkin menandakan
peritonitis sedangkan suara bising usus yang tinggi menandakan obstruksi usus.
Perabaan dapat dilakukan mulai dari daerah yang tidak sakit dan terakhir baru di
daerah yang sakit. Rasa lunak difus dapat merupakan tanda peritonitis. Perhatikan
apakah nyerinya bersifat superfisial, muskuloskeletal atau viseral. Tanda
peritoneal seperti rebound dan guarding harus dievaluasi dengan lembut. Ekspresi
wajah dan tingkah laku anak merupakan indikator nyeri yang lebih dapat
dipercaya dibandingkan verbal. Perabaan dapat memberikan informasi mengenai
ukuran, bentuk dan konsistensi massa abdomen. Pemeriksaan daerah inguinal
dilakukan terutama pada hernia atau hidrokel. Valsava maneuver dapat dilakukan
bila hernia tidak tampak.3,8
d. Rektum
Pemeriksaan colok dubur merupakan hal yang traumatik bagi seorang anak
dan sebelum pemeriksaan, orang tua harus mendapatkan penjelasan yang akurat.2
Tindakan pertama adalah dengan menemukan apakah terdapat fisura, fistula atau
lesi lain yang dapat terlihat dengan membuka muara anus. Selanjutnya dilakukan
colok dubur dengan menggunakan jari kelingking pada bayi dan balita dan jari
telunjuk pada anak yang lebih besar. Tonus spingter dapat menurun pada pasien
dengan anoplasti atau trauma pada otot atau bahkan pada medula spinalis. Bila
ditemukan massa, tentukan lokasi, ukuran dan konsistensinya. Tumor presakral
dapat menyebabkan konstipasi pada anak. Rasa sakit dapat disebabkan fisura anal,
apendisitis atau proses inflamasi di daerah pelvis.3
e. Ekstremitas
Clubbing dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit kronis, terutama
pasien dengan penyakit paru. Sianosis merupakan indikasi dari oksigenasi atau
perfusi yang buruk dan harus ditentukan apakah merupakan proses akut atau
kronis. Edema dapat menandakan adanya gangguan fungsi ginjal dan jantung.
Deformitas tulang sekunder akibat patah tulang panjang menandai kemungkinan
adanya penganiayaan anak.3,8
f. Sistem Saraf
Tingkah laku anak dapat memberikan banyak informasi mengenai sistim saraf.
Anak yang aktif berinteraksi dan bermain kemungkinan tidak mengalami
13
gangguan neurologis fokal. Pemeriksaan sistim saraf meliputi fungsi saraf kranial,
motoris dan sensoris, evaluasi refleks dan fungsi kognitif.3
14
pemberian Growthcolony stimulating factor (G-CSF) yang diberikan dengan dosis
0,3μg/kg/hari secara subkutan terbukti dapat jumlah neutrofil pada pasien
neutropenia atau pasien neutropenia dengan berbagai sindrom.9
Pemberian kortikosteroid hingga sekarang masih merupakan hal yang
kontroversial. Leukositosis terjadi bila jumlah leukosit lebih dari normal menurut
usia. Bila leukosit lebih dari 50.000/mm3 dinamakan reaksi leukemoid yang
umumnya terjadi pada anak yang mengalami infeksi. Sedangkan hiperlekositosis
terjadi bila leukosit lebih dari 100.000/mm3. Hal ini merupakan kegawatdaruratan
pada bidang hematologi onkologi. Hiperleukositosis pada umumnya terjadi pada
anak-anak dengan penyakit keganasan sehingga membutuhkan tindakan hidrasi.
Indikasi untuk dilakukan transfusi trombosit adalah nilai trombosit 10.000/mm3
pada pasien yang stabil, 20.000/mm3 pada pasien dengan adanya keluhan demam
atau terdapatnya infeksi, 50.000/mm3 untuk persiapan infeksi dan kadar 50.000-
100.000/mm3 untuk keadaan emergensi atau pasien dengan critical ill.9,10
Tes Koagulasi
Tes koagulasi dilakukan secara rutin pada pasien yang akan menggunakan
blockade neuraksial seperti tonsilektomi, adenoidektomi atau pasien-pasien
dibawah usia 1 tahun yang sebelumnya tidak ada riwayat trauma atau perdarahan
yang sulit berhenti. Pada keadaan seperti ini riwayat prematur dan riwayat selama
periode neonatus dibutuhkan untuk mengetahui faktor risiko terjadinya gangguan
perdarahan seperti rendahnya faktor IX karena hati yang imatur dan defisiensi
vitamin K.11
Bila hasil yang didapatkan normal tidak sepenuhnya menyingkirkan
diagnosis gangguan perdarahan dan tidak semua anak yang memberikan hasil
abnormal akan mengalami gangguan koagulasi saat operasi. Tes ini akan berarti
bila terdapat riwayat gangguan perdarahan sebelumnya. Indikasi untuk pemberian
Fresh Frozen Plasma (FFP) adalah untuk kadar PT atau aPTT yang 1,5 kali lebih
dari normal. Pemberian FFP dengan dosis 10-15 mL/kg akan menaikan
konsentrasi faktor plasma 30%. FFP dapat pula diberikan pada untuk pasien
dengan defisiensi koagulopati atau pasien dengan purpura trombositopenia.
Indikasi diberikan transfusi kryopresipitat adalah saat diketahui kadar fibrinogen
kurang dari 80 mg/dL. Satu unit kryopresipitat per 10 kgBB akan menaikan kadar
15
fibrinogen sampai 50 mg/dL. The ASA Task Force mempunyai 3 rekomendasi
untuk diberikan kryopresipitat yaitu profilaksis pada nonbleeding perioperative
atau pasien peripartum dengan defisiensi kongenital fibrinogen atau penyakit Von
Willenbrand yang tidak responsif terhadap desmopressin acetate, pasien yang
mengalami perdarahan dengan penyakit Von Willebrand, koreksi perdarahan
mikrovaskuler pada pasien yang mengalami perdarahan masif dengan kadar
fibrinogen kurang dari 80-100 mg/dL, atau saat kadar fibrinogen tidak dapat
diperiksa.10
Pemeriksaan Elektrolit
Kelainan elektrolit sangat jarang terjadi pada anak sehat. Skrining perioperatif
untuk kelainan ini umumnya tidak berguna dan tidak mengubah penatalaksanaan
anestesi. Bahkan bagi pasien rawat inap yang mungkin diduga memiliki insidensi
kelainan elektrolit lebih tinggi daripada pasien rawat jalan sehat, pemeriksaan
sebelum operasi rutin tidak diindikasikan.7,8
Terapi Albumin
Pemberian terapi albumin masih merupakan hal yang kontroversial sebelum
dilakukannya operasi. Hal ini dipertimbangkan karena pada beberapa obat yang
digunakan bersamaan dengan albumin dapat menimbulkan efek toksisitas. Obat
yang sering dilaporkan adalah penggunaan fenitoin sebelum operasi. Albumin
dapat mempengruhi faktor koagulasi. Albumin dapat menurunkan agregasi
trombosit dan menimbulkan efek heparin-like activity sehingga mempengaruhi
antitrombin. Albumin mempengaruhi mikrosirkulasi karena perubahan
permeabilitas kapiler.10
2.2.4 Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksan penunjang lain hanya dilakukan atau indikasi seperti
dilakukannya tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, tes urin rutin, rontgen, EKG,
ekokardiografi, USG, CT scan maupun Magnetic Resonance Imaging (MRI).11
16
nafas dalam, tak mau bicara, pernafasan dalam, merupakan bentuk dari anak yang
cemas. Kecemasan ini biasanya mencapai puncaknya saat induksi anestesi. Dari
beberapa sumber mengatakan bahwa premedikasi merupakan tahapan sulit dalam
penangana anastesi untuk pediatric. Tujuan dan definisi dari premedikasi ini
bervariasi pada tiap tenaga medis, dan pasien dan orangtuanya memiliki persepsi
sendiri terhadap arti premedikasi. Bagi tenaga medis, premedikasi berfungsi untuk
pendekatan psikologis memberikan penjelasan pada pasien dan keluarganya,
tentang apa yang akan dilakukan sebelum dan sesudah operasi beserta yang akan
terjadi kemudian dan untuk memisahkan pasien dari orang tua dengan tenang pada
saat akan dilakukan operasi, saat penggunaan obat-obatan analgesia dan hipnotik
yang bertujuan untuk membuat amnesia ataupun mengurangi nyeri post operatif.
Tujuan lainnnya dapat berupa menekan biaya obat yang akan digunakan, anti
emesis, memudahkan saat induksi, dan hal-hal lain yang tak diinginkan.7,12
1) Indikasi, Keuntungan dan Kerugian pada Premedikasi12
Pasien anak-anak yang memerlukan premedikasi dan sedasi untuk membuat
mereka menjadi kooperatif adalah yang termasuk di bawah ini:
1. Anak-anak yang memiliki riwayat operasi sebelumnya sehingga menjadi
terlalu takut akan ketidaknyamanan akan perawatan di rumah sakit dan
operasi berikutnya.
2. Anak-anak di bawah usia sekolah yang tidak dapat dipisahkan dari orang
tua secara mudah, dimana ahli anestesi merasa kehadiran orang tuanya
pada saat induksi tidak menguntungkan.
3. Anak-anak yang terbatas dalam berkomunikasi karena keterbelakangan
mental (misalnya autisme), dan orang tua berperan sebagai perantara untuk
berkomunikasi dengan anak saat induksi.
4. Keadaan dimana induksi harus dilakukan tanpa ada usaha perlawanan dari
ataupun sikap tidak kooperatif, atau menangis dari sang anak.
5. Remaja yang menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi.
Tidak ada kesepakatan yang pasti akan keuntungan dari premedikasi pada
anak-anak, terutama pada bayi. Namun seorang anak yang kooperatif dan ter-
sedasi, dapat mengurangi level kecemasan pada orang tuanya sendiri yang
mungkin dapat berpengaruh terhadap persiapan pre-operasi atau bahkan terhadap
sikap anaknya sendiri. Anak-anak akan mendapatkan keuntungan dari premedikasi
17
seperti amnesia, analgesia, mengurangi cemas (baik terhadap pasien sendiri
ataupun orang tuanya), dan sikap kooperatif.8,12
Para pekerja medis, baik itu ahli anestesiologi dan perawat preoperatif,
mengetahui keuntungan dan resiko dari pengurangan cemas preoperatif.
Keamanan obat, onset obat, reaksi disforik, mual, muntah harus di pertimbangkan
sebelum melakukan premedikasi. Premedikasi ideal untuk anak-anak adalah
dengan administrasi yang baik, onset dan panjang durasi yang dapat diramalkan,
dan komplikasi yang minimal. Kebutuhan dan metode dari premedikasi akan
berbeda berdasarkan kebutuhan pasien, orang tua pasien dan prosedur bedah.12
b) Anak-anak yang Cenderung Mengalami Komplikasi
Ada beberapa kelompok anak-anak yang memiliki kecenderungan lebih untuk
mengalami komplikasi, dan perhatian lebih tentu harus diberikan sebelum
premedikasi dilakukan. Riwayat spesifik seperti obstruksi saluran pernafasan atas,
aspirasi, refleks control yang buruk, batuk dan muntah yang tak terkoordinasi,
harus diperhatikan sebelum pemberian premedikasi. Riwayat apneu, obstruksi,
merupakan kontraindikasi yang absolut. Anak-anak yang memiliki kelainan
seperti di bawah ini harus diperlakukan secara berhati-hati dalam pemberian
premedikasi:12
1. Hipertropi Adenoid
Seorang anak dengan hipertropi adenoid memiliki resiko lebih besar untuk
mengalami obstruksi jalan nafas dari tingkat sedang sampai parah. Komplikasi
yang sama juga dapat dialami oleh anak-anak yang memiliki hipertropi tonsil.
2. Macroglossia Fungsional
Baik karena sindrom hipertropi lidah ataupun syndrome hipomandibularisme
relative, obstruksi jalan nafas merupakan komplikasi potensial pada pasien-
pasien ini.
3. Pasien dengan Kelainan Neurologi
Respon dari anak yang mengalami kelainan neurologi berbeda-beda. Dapat
terjadi aspirasi, diskoordinasi menelan, batuk, yang membuat kelompok anak-
anak yang memiliki kelainan ini sulit diramalkan sewaktu diberikan sedasi,
bahkan dengan dosis yang telah dikurangi.
4. Distrofi muscular
18
Pasien pada kelompok ini , bila mereka menggunakan kursi roda, dokter harus
lebih berhati-hati , terutama terhadap efek depresi respiratorik.
c) Cara Pemberian Obat
Banyak cara pemberian obat dalam premedikasi. Oral dan rectal merupakan
cara yang sering dipilih. Meskipun begitu, bukan berarti kedua cara di atas
merupakan cara yang paling aman. Keamanan kedua cara tersebut juga tidak
dapat diramalkan karena fluktuasi dari bioavalabilitas dan substansi “first pass
effect”.8
Cara Oral
Biasanya merupakan cara yang paling dapat diterima. Hal-hal yang perlu diperhatikan berupa jumlah obat, onset, durasi, tingkah laku
selama penyembuhan, interaksi dengan obat lain, dan efek samping. Kadang kala anak membuang kembali obat yang telah ditelan. Hal ini
terjadi karena kurang kooperatifnya anak ataupun kurang lembutnya sikap pemberi obat. Obat-obat yang sering digunakan per-oral dapat
19
Depresi
sitem
pernafasan
Barbiturat Pentobarbit Oral 3mg/kgBB 60 Eksitasi
al Rectal 30mg/kgB 5-10 postoperative
Tiopental B yang
memanjang
Depresi
system
pernafasan,
Eksitasi
postoperative
yang
memanjang
Antikoliner Atropin Oral 20µg/kgBB 15-30 Flushing
gik Scopolami IM 20µg/kgBB 5-15 Mulut kering
n IV 10- 30 Rasa
IM 20µg/kgBB 15-30 gembira
20µg/kgBB halusinasi
H2 Cimetidine Oral 7,5mg/kgB 60
Antagonis Ranitidine Oral B 60
2 mg/kgBB
Keterangan : IM : Intra Muscular, IV : Intra Vena, TD : Tekanan Darah
Cara Nasal
Premedikasi intranasal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tetes dan
inhalasi. Dosis yang tepat tentu diperlukan dan onset yang berulang dapat dicapai
jika cara nasal digunakan. Namun, pasien biasanya akan merasakan rasa yang
tidak nyaman, meskipun hanya sebentar. Sewaktu midazolam 100µg/kgBB
intranasal dibandingkan dengan 10µg/kgBB afentanyil intranasal, efek sedasi
yang didapatkan sama, namun tidak ditemukan rasa hidung terbakar pada anak-
anak yang menerima alfentanil, dimana 70% dari anak-anak yang mengunakan
midazolam merasakan rasa hidung terbakar.12
Cara Rectal
20
Cara ini kadangkala bergantung pada ahli anestesi sendiri. Telah dilaporkan
bahwa cara rectal merupakan cara yang popular di Eropa, sedangkan di negara-
negara lain tidak. Cara rectal telah dibandingkan dengan midazolam oral oleh
Khazin dan Ezra yang menemukan bahwa keduanya sama efektif, namun cara
rectal lebih di toleransi. Pada anak dewasa, cara rectal tidak begitu dianjurkan
karena alas an estetika dan volume yang dibutuhkan untuk menghantarkan dosis
yang adekuat.12
Cara Intramuskular dan Subkutan
Cara ini tidak begitu dianjurkan mengingat anak-anak sangat takut dengan
jarum, dan dapat membuat rasa ketakutan yang berlebih pada tindakan
selanjutnya. Keuntungan cara ini adalah tidak dibutuhkannya sikap kooperatif
dari pasien, dan tanpa harus mengkhawatirkan pasien tersebut memuntahkan
kembali obat yang telah diberikan.12
Cara Sublingual
Meskipun cara ini memiliki keuntungan , yaitu onset yang lebih cepat, namun
tidak begitu popular karena sulit memberikannya pada anak yang tidak
kooperatif. 12
2.2.6 Puasa
Merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi pasien anak. Dulu
pentingnya puasa tidak begitu diapresiasi dengan baik. Namun setelah ada
laporan bahwa regurgitasi dan refluks gaster yang sering terjadi pada anak yang
tidak dipuasakan, akhinya puasa menjadi suatu persiapan preeoperatif yang mulai
banyak digunakan. Lamanya puasa yang dibutuhkan tergantung dari banyak
faktor, seperti jenis operasi, waktu makan terakhir sampai terjadinya cedera (pada
operasi emergensi), tipe makanan, dan pengobatan yang diberikan pada pasien
sebelum operasi.8,12
21
formula/ ASI partikel
< 6 bulan 4 jam 2 jam
6 – 36 bulan 6 jam 3 jam
> 36 bulan 8 jam 3 jam
Tabel 5. Rekomendasi waktu puasa pada tahap preoperatif2
22
Rencana-rencana tambahan dalam menghadapi berbagai macam situasi
klinik yang tak terduga.
Persiapan Kamar Operasi
Persiapan kamar operasi merupakan hal yang esensial, dan tergantung pada
ukuran tubuh dan status fisik pasien, metode induksi, dan rencana airway
manajemen. Mesin anestesi harus diperiksa terlebih dahulu dan ventilator diatur
sesuai tubuh pasien, ukuran face mask yang sesuai, dan juga oral airway.
Laringoskop harus di cek apakah berfungsi dengan baik, dan ukuran blade
yang sesuai harus dipersiapkan. Obat obatan, tube trakhea, stylet yang sesuai juga
merupakan hal yang esensial dalam persiapan. Peralatan untuk resusitasi, obat-
obat emergensi juga harus dipersiapkan. Permukaan tubuh anak lebih besar
daripada dewasa, yang cenderung untuk terjadinya hipotermi, suhu di ruangan
operasi tentu harus disesuaikan juga, dan alat pemanas dapat disediakan untuk
dapat menjaga suhu pasien.
Keberadaan Orang Tua Pasien
Salah satu tujuan dari anestesi pediatrik adalah menyediakan tahap pre-
operatif sebaik dan semulus mungkin. Keberadaan orang tua di sisi pasien,
merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kecemasan pada pasien, selain
dengan menggunakan obat-obatan. Banyak rumah sakit yang telah menyediakan
video tentang petunjuk baik bagi sang pasien ataupun orang tuanya, tentang apa
dan bagaimana persiapan preoperative yang sebenar dan sebaiknya. Hal ini dapat
membantu terutama pada pasien usia pra sekolah.12
Anak yang berusia lebih dari 4 tahun dengan orang tua yang memiliki tingkat
kecemasan lebih rendah mendapatkan keuntungan untuk mengurangi kecemasan
pada sang pasien sendiri. Namun jika orang tua pasien memiliki kecemasan yang
berlebih tentu hal ini tak akan membantu, atau bahkan menjadi lebih sulit. Jika
pasien telah ter sedative, keberadaan orang tua tak lagi diperlukan, dimana hal ini
tidak akan berpengaruh terhadap kecemasan pasien. Keberadaan orang tua saat
induksi sangat tergantung dari tipe orang tua tersebut, instruksi yang diberikan,
pasien dan sang ahli anestesi sendiri.4,12
Penggunaan klinik dari agen-agen induksi
23
Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang membantu. Induksi
diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma yang sekecil mungkin. Induksi
dapat dikerjakan secara inhalasi atau intravena.
a) Induksi inhalasi
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit ditemukan saluran vena atau pada
anak yang takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran N20
dalam oksigen 50%. Konsentrasi halotan mula-mula rendah 1 vol% kemudian
dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol% sampai tidur. Sungkup muka
mula-mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan hidung, kalau sudah tidur
baru dirapatkan ke muka pasien.12
b) Induksi intravena
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada mereka yang
sudah terpasang infus. Induksi intravena biasanya dengan tiopenton (pentotal) 2~4
mg/kg pada neonatus dan 4-7 mg/kg pada anak. Induksi dapat juga dengan
ketamin (ketalar) 1-2mg/kg.12
24
Pemasangan laringoskop pada bayi dan anak tidak membutuhkan bantal
kepala. Kepala bayi terutama neonatus memiliki oksiput lebih menonjol. Dengan
adanya perbedaan anatomis perjalanan nafas bagian atas tersebut, lebih mudah
menggunakan laringoskop dengan blade lurus pada bayi. Blade laringkoskop
yang lebih kecil digunakan untuk anak, jenisnya tergantung pada ahli anestesi dan
ada tidaknya gangguan saluran pernapasan. Daerah aliran udara paling sempit
pada anak kecil adalah di bawah pita suara.5
Intubasi dalam keadaan sadar dikerjakan pada keadaan gawat atau
diperkirakan akan menjumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan intubasi
sadar pada neonatus usia kurang dari 10-14 hari, keadaan umum jelek, hernia
diafragmatika, fistula trakea-bronkoesofagus dan ileus obstruktif. . Hati-hati
terhadap hipertensi dan meningginya tekanan intrakranial yang mungkin dapat
menyebabkan perdarahan dalam otak akibat laringoskopi dan intubasi. Namun
para ahli anestesi lebih gemar melakukan intubasi sesudah tidur dengan atau
tanpa pelumpuh otot, apabila tidak menggunakan pelumpuh otot, bayi atau anak
ditidurkan sampai dalam lalu diberikan analgesia topikal barn dikerjakan intubasi.
Pelumpuh otot yang digunakan dapat berupa pelumph otot depolarisasi dan non
depolarisasi. Pelumpuh otot depolarisasi umumnya digunakan apabial
pembedahan berjalan singkat, dapat digunakan suksinil-kolin dosis 1-2 mg/kgBB
secara intravena setelah bayi / anak tidur. Pelumpuh otot on depolarisasi dapat
digunakan pankorunium dengan dosis 0,04-0,06 mg/kgBB atau atrakurium
dengan dosis 0,3-0,6 mg/kgBB. 7,8
Pipa trakhea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang, bahan plastic
atau polivinil dan tanpa cuff. Untuk usia diatas 5-6 tahun dapat digunakan dengan
cuff pada kasus-kasus laparotomi atau jika ditakutkan akan terjadi aspirasi.
Secara kasar ukuran besarnya pipa trakea .sama dengan besarnya jari kelingking
atau besarnya lubang hidung. Intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat
menyebabkan trauma, perdarahan adenoid dan infeksi. Peralatan dengan ruang
rugi minimal, dan resistensi rendah seperti model T-Jackson Rees harus
digunakan. Neonatus harus dijaga agar tetap hangat, karena daerah permukaan
kulit yang luas dibandingkan massa tubuhnya, perkembangan system pengaturan
suhu yang belum berkembang, dan lemaknya masih merupakan penyekat tubuh
25
yang buruk. Suhu ruang bedah sekurang-kurangnya 22°C (75°F), selimut, dan
kasur hangat digunakan.12,13
26
Besarnya cairan yang hilang akibat trauma bedah/anestesia yang harus diganti
menurut Lockhart. Cairan yang seharusnya masuk karena puasa harus diganti.2,13
Cara menggantinya sebagai berikut:
1) Pada jam I diberikan 50% defisit + cairan pemeliharaan/jam.
2) Pada jam II diberikan 25% defisit + cairan pemeliharaan/jam.
3) Pada jam III diberikan 25% defisit + cairan pemeliharaan/jam.
Selanjutnya diberikan cairan pemeliharaan/ jam ditambahkan cairan koreksi
akibat translokasi luka operasi dan koreksi akbat pendarahan. Kehilangan cairan
akibat perdarahan yang kurang dari 10 % diganti dengan cairan kristaloid dalam
dekstrosa, misalnya cairan dekstrosa 5% dalam Ringer-Laktat.
Banyaknya perdarahan dapat diperkirakan dengan:13
1. Mengukur darah dalam botol suction, menimbang kain kasa sebelum dan
sesudah kena darah dengan bantuan kolorimeter. Jumlahkan keduanya
kemudian tambahkan 25% untuk darah yang sulit dihitung misalnya yang
menempel di tangan pembedah, yang melengket di kain penutup dan lain-
lain.
2. Mengukur hematokrit secara serial. Perdarahan melebihi 10% pada
neonatus harus diganti dengan darah.
27
2.4.2 Perawatan di Ruang Pulih
Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, pasien dipindahkan ke
ruang pulih. Pasien harus tetap diobservasi selama di ruang pulih seperti
pemberian O2, terapi cairan, dan monitoring jalan nafas, perdarahan, perfusi
darah, tanda vital dan kesadaran. Pemindahan pasien ke ruangan rawat inap harus
berdasarkan skor Aldrete. Apabila jumlah dari total skor Aldrete > 8, pasien dapat
dipindahkan ke ruangan rawat inap.13
Skor Aldrete :
a. Pergerakan :
Mampu menggerakkan keempat ekstremitas 2
Mampu menggerakkan kedua ekstremitas 1
Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
b. Pernapasan
Mampu nafas dalam dan batuk 2
Sesak atau pernafasan terbatas 1
Henti nafas 0
c. Warna kulit
Merah muda 2
Pucat agak suram 1
Sianosis 0
d. Tekanan darah
Berubah sampai ± 20% dari pra bedah 2
Berubah 20-50% dari pra bedah 1
Berubah lebih dari 50% dari pra bedah 0
e. Kesadaran
Sadar baik dan orientasi baik 2
Sadar setelah dipanggil 1
Tidak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
BAB III
LAPORAN KASUS
28
Bangsa : Indonesia
Alamat : Br. Canggu Kec. Kuta Utara
No. CM : 14046084
Diagnosis Pra Bedah : Ileus Obstruksi e.c suspek Hernia Interna
Tindakan : Eksplorasi Laparotomy
Diagnosis Pasca Bedah : Post Laparotomy – Explorasi – Reseksi Ileum dan
Colon Ascenden - Double Barrel Ileustomy dan
Colon Ascenden
MRS : 15 September 2014
Tanggal Operasi : 16 September 2014
B. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan perut kembung sejak 4 hari yang lalu
(tanggal 11 September 2014). Keluhan perut kembung muncul mendadak dan
disertai muntah. Sebelumnya pasien juga sempat mengalami setelah pemberian
vaksin 4 hari yang lalu. Riwayat sesak dan kejang tidak ada, buang air kecil
(BAK) normal. Buang air besar (BAB) sedikit-sedikit keluar melalui
colostomy. Tidak terdapat riwayat alergi. Pasien memiliki riwayat penyakit
jantung bawaan. Riwayat operasi colostomy pada tanggal 27 Juni 2014. Pasien
merupakan anak ke 3 dengan riwayat persalinan lahir secara S.C, ditolong
dokter spesialis, 42 minggu, segera menangis dengan BBL 2200 gram, ANC
Bidan dan dokter spesialis.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Present:
Kesadaran : Kompos mentis (GCS E3V3M3)
Tekanan Darah :-
Nadi : 142 kali/menit
Suhu : 36,9o C
Respirasi : 42 kali/menit
Face Pain Scale :0
Berat badan : 3,1 kg
29
Panjang badan : 52 cm
BMI : 11,5 kg/m2
Saturasi O2 : 98%
D. Pemeriksaan penunjang
DARAH LENGKAP
PARAMETER 15 September 2014 17 September 2014
3
WBC 9,45 10 /µL 12,8 103/µL
3
RBC 5,44 10 /µL 4,26 103/µL
HGB 8,88 g/dL 12,1 g/dL
HCT 29,2 % 38,4 %
PLT 412 3/ µL 287 3/ µL
KIMIA KLINIK
PARAMETER 15 September 2014 17 September 2014
SGOT 21,4 U/L -
30
SGPT 27,2 U/L -
Albumin 3,27 g/dL -
BS Acak 58 mg/dL 11,53 mg/dL
BUN 9 mg/dL -
Creatinin 0,24 mg/dL -
Natrium (Na) 132 mmol/L 132,43 mmol/L
Kalium (K) 4,25 mmol/L 3,52 mmol/L
E. Assesment TS Bedah
Post Laparotomy – Explorasi – Reseksi Ileum dan Colon Ascenden - Double
Barrel Ileustomy dan Colon Ascenden.
F. Kesimpulan
Pasien masuk dalam kategori status fisik ASA III E.
31
3. Persiapan obat-obat anestesi yang diperlukan.
4. Persiapan alat-alat dan obat resusitasi seperti adrenalin, atropin, aminofilin,
natrium bikarbonat, dan lain-lain.
5. Mempersiapkan pasien di meja operasi, memasang IV line, memasang alat
pantau nadi, tekanan darah, saturasi, EKG dan selang oksigen.
6. Evaluasi ulang status present pasien:
Tekanan darah :-
Nadi : 142 kali/menit
Respirasi : 42 kali/menit
Suhu : 36,9 0C
32
Pukul - : ekstubasi
Pukul 22.21 : pasien pindah ke ruang pemulihan
5. Komplikasi selama anestesia : tidak ada
6. Lama Operasi : 2 jam 15 menit
7. Lama Anestesia : 2 jam 45 menit
8. Keadaan akhir pembedahan:
Tekanan darah :-
Nadi : 160 kali/menit
Suhu : 36,60C
Respirasi : 32 kali/menit
9. Jumlah medikasi :
Sulfas Atropin 0,1 mg
Ketamin 6 mg
Atracurium 5,5 mg
Fentanyl 7,5 mcg
33
5. Pemeriksaan nadi, suhu, nafas setiap saat selama masih dalam
pengaruh anestesi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien dengan keluhan perut kembung sejak 4 hari yang lalu. Pasien
didiagnosa Ileus Obstruksi e.c suspek Hernia Interna. Pasien memiliki riwayat
colostomy sejak baru lahir. Dapat disimpulkan bahwa status fisik pasien ASA III E
dengan riwayat penyakit sistemik berupa penyakit jantung kongenital. Saat ini
pasien telah mendapatkan tindakan eksplorasi laparotomy.
34
perlu ditekankan dalam masalah puasa. Pengosongan lambung dilakukan untuk
terjadinya aspirasi saat pembedahan. Pada pasien obstruksi usus sangat sering
terjadi aspirasi akibat tersumbatnya usus. Pada pasien ini seharusnya tidak diberi
ASI 4 jam dan air putih 2 jam sebelum pembedahan. Adapun penggunaan obat
premedikasi sulfas atropin pada pasien ini sebagai antikolinergik, pada pasien bayi
dan anak-anak cenderung lebih sensitif untuk memiliki respon vagal terhadap
laringoskopi, yang dapat menyebabkan bradikardi. Induksi menggunakan ketamin
dengan teknik intravena. Kemudian untuk intubasi digunakan atracurium sebagai
obat pelumpuh otot karena metabolismenya terjadi di dalam darah, tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada
pemberian berulang. Selain itu penggunaan atracurium pada anak-anak durasinya
lebih cepat dibandingkan pada dewasa. Laringoskopi intubasi dengan ETT No. 3
kinking cuff (-), level dibibir 8,5 cm.Pemeliharaan diberikan dengan memberi
anestesi inhalasi O2 dan air dengan perbandingan 2:2, serta sevoflurane 1%.
sevofluran merupakan halogenasi eter, tidak berwarna, tidak eksplosif, tidak
berbau, dan tidak iritatif sehingga tepat untuk pemeliharaan melalui inhalasi.
Sevofluran memiliki pemulihan yang paling cepat diantara dari semua obat-obat
anestesia inhalasi lainnnya. Namun kelemahan sevofluran yaitu batas keamanan
yang sempit. Sevofluran digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam
pemeliharaan anestesia umum. Selain itu, sevoluran juga memiliki efek analgetik
ringan dan relaksasi otot ringan.Pemberian anestesi inhalasi memiliki beberapa
keuntungan yaitu kedalaman anestesi dapat dikontrol dengan menyesuaikan
vaporizer output, pola ventilasi, dan total flow rate, oksigen dengan konsentrasi
tinggi diberikan bersama dengan obat anestesi inhalasi selama pemeliharaan
anestesi, hal ini akan menambah kandungan oksigen di darah, pemulihan lebih
cepat dibandingkan dengan anestesi yang disuntikkan. Selain itu penggunaan pipa
endotrakea memberikan keuntungan berupa proteksi jalan nafas. Injeksi lain yang
diberikan yaitu Fentanyl 7,5 mcg. Fentanyl mempunyai potensi 1000 kali lebih
kuat dibandingkan dengan petidin dan 50-100 kali lebih kuat dari morfin, dengan
onset kerja yang cepat dan durasi yang pendek. Fentanyl bersifat depresan
terhadap susunan saraf pusat sehingga menurunkan kesadaran pasien dan
memiliki efek analgetik sangat kuat.
35
Pasca operatif pasien telah sadar kemudian dipindahkan ke ruang pemulihan.
Di ruang pemulihan dilakukan observasi terhadap kondisi pasien, didapatkan nadi
160 kali/menit, suhu 36,6 0C respirasi 32 kali/menit. Pemantauan tanda-tanda vital
meliputi tensi, nadi, suhu, dan respirasi setiap saat selama masih dalam pengaruh
anestesi juga sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui efek samping
anestesi sehingga dapat dilakukan penatalaksaan yang tepat.
Selain itu penting untuk memberikan penanganan nyeri akut pasca bedah
karena nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh
psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri
merupakan masalah yang relatif sulit.Masih belum ada standar baku tunggal untuk
penilaian nyeri sebagai persyaratan bervariasi dengan usia dan tahap
perkembangan anak, jenis nyeri (Prosedural vs pasca operasi misalnya) dan
konteks (misalnya utilitas klinis terhadap keandalan penelitian).Namun pada
pasien ini, nyeri kita evaluasi dengan penilaian Face Pain Scale untuk mengetahui
rasa nyeri pasien setelah bebas dari pengaruh anestesia. Manajemen nyeri pada
pediatri dapat berupa non farmakologi dan farmakologi. Untuk non farmakologi
peran lebih besar pada orang tua pasien sendiri. Sedangkan pada pasien ini untuk
manajemen nyeri pasca bedah dengan farmakologi meliputi pemberian fentanyl
20 mcg/24 jam syringe pump dan metamizole 30 mg/8 jam secara intravena
sebagai analgesik pasca bedah. Jika pasien mengalami tetap mengalami kesakitan
setelah diterapi wajib menghubungi tim APS anestesi.
36
BAB V
SIMPULAN
Pasien Ni Komang Alon Widiari usia 2 bulan 21 hari dengan diagnosis pra bedah
Ileus Obstruksi e.c suspek Hernia Interna dengan status fisik ASA III E dilakukan
tindakan eksplorasi laparotomy. Premedikasi anestesi dengan sulfas atropin 0,1
mcg secara intravena. Jenis anestesi yang dilakukan adalah anestesi umum dengn
teknik GA-OTT, induksi dengan ketamin 6 mg secara intravena, intubasi dengan
atracurium 5,5mg, maintenance dengan sevoflurane 1% serta O2 dan Air dengan
perbandingan 2:2 dan medikasi lain berupa Fentanyl 7,5mcg. Diagnosis pasca
bedah adalah Post Laparotomy – Explorasi – Reseksi Ileum dan Colon Ascenden -
Double Barrel Ileustomy dan Colon Ascenden. Pasca bedah diberikan analgetik
berupa Fentanyl 20mcg/ 24 jam syringe pump dengan kecepatan 1cc/ jam dan
metamizole 30mg setiap 8 jam intravena. Antibiotik dan obat-obatan lain
diberikan sesuai TS Bedah Anak. Evaluasi tanda-tanda vital meliputi nadi, suhu,
respirasi, dan nyeri setiap saat selama pasien masih dalam pengaruh anestesi.
37
DAFTAR PUSTAKA
38
8. Gutsche JT, Duetschman CS. 2008. Anesthesia for Children. Dalam:
Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM, penyunting.
Anesthesiology. Edisi ke-1. McGraw-Hill. USA: h.1521-40.
9. O'Connor ME, Drasner K. 1990. Preoperative laboratory testing of
children undergoing elective surgery. Anesth Anal. h.176-180.
10. Mackenzie CF. 2007. Transfusion of red cells and blood components in
stressed, trauma and critical care patients. Dalam: Hahn RG, Prough DS,
Svensen CH, penyunting. Perioperative Fluid Therapy. Informa
healthcare. Newyork: h. 303-14.
11. Salvo I, Camporesi A. 2009. Preoperative Evaluation. Dalam: Gullo A,
Astuto M, Salvo I, penyunting. Anesthesia, Intensive Care and Pain in
Neonates and Children. Springer-Verlag. Milan: h. 80-6.
12. Bissonette B, Dalens BJ. 2002. Pediatric Anesthesia: Principles And
Practice. McGraw-Hill Medical Publishing Division. New York: h. 405-
503.
13. Said A L, Suntoro A. 1989. Anestesi Pediatrik. Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta: h. 115-122.
39