Anda di halaman 1dari 7

1.

Silogime
Berpikir deduktif atau berpikir rasional merupakan sebagian dari berpikir ilmiah.
Dalam penalaran deduktif, menarik suatu simpulan dimulai dari pernyataan umum menuju
pernyataan-pernyataan khusus dengan menggunakan rasio (berpikir rasional).
Aristoteles dalam bukunya Analitica Priora menyebut penalaran deduktif dengan istilah
silogisme. Aristoteles membatasi silogisme sebagai argumen yang konklusinya diambil
secara pasti dari premis-premis yang menyatakan permasalahan yang berlainan.

Dalam Ilmu Logika ada yang dinamakan dengan Silogisme. Silogisme adalah suatu bentuk
penarikan konklusi secara deduktif tak langsung yang konklusinya ditarik dari premis yang
disediakan serentak. Oleh karena silogisme adalah penarikan konklusi yang sifatnya
deduktif, maka konklusinya tidak dapat mempunyai sifat yang lebih umum dari pada
premisnya.

Silogisme dalam logika tradisional digunakan sebagai bentuk standar dari penalaran
deduktif. Hanya deduksi yang dapat di kembalikan menjadi bentuk standar inilah
yang dapat dibahas dalam logika tradisional. Silogisme itu terdiri atas tiga proposisi
kategorik. Dua proposisi yang pertama berfungsi sebagai premis, sedang yang ketiga
sebagai konklusi. Jumlah termnya ada tiga, yaitu term subjek, term predikat, dan term
medius. Term medius berperan sebagai penghubung antara premis mayor dengan
premis minor di dalam menarik konklusi, dan term medius itu tidakboleh muncul pada
konklusi. Silogisme ini dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengetahui sesuatu
secara logika. Misalnya :

 Semua manusia yang ada akan mati.


 Sally adalah manusia.
 Oleh karena itu, Sally akan mati.
Untuk menegaskan pernyataan pertama (disebut premis mayor), kita hanya
membutuhkan keumuman dari pengalaman kita tentang kematian individu. Kita tidak
pernah mempunyai pengalaman seseorang yang tidak akan mati, juga kita nyatakan
bahwa semua manusia yang ada akan mati. Pernyataan kedua (disebut premis minor)
sama sekali berdasarkan atas pengalaman sensoris. Kita datang dalam hubungan
dengan Sally dan menggolongkan dia sebagai manusia. Kita tidak mempunyai kepercayaan
pada indera kita, selanjutnya, untuk mengetahui bahwa pernyataan ketiga (disebut
konklusi) harus benar. Logika mengatakan kepada kita tentang hal ini. Sepanjang dua
pernyataan pertama adalah benar, pernyataan ketiga harus benar.

Term ‘manusia’ pada premis mayor dan premis minor berperan sebagai penghubung
antara kedua premis tersebut untuk membentuk konklusi, dan term ‘manusia’ tidak
muncul dalam konklusi. Inilah dalam silogisme dikenal dengan istilah term medius
(term tengah). Term medius di samping sebagai penghubung kedua premis, dalam
silogisme juga memiliki peran yang sangat vital, yaitu sebagai ‘key reason’ dari konklusi yang
ditarik. Term subjek pada konklusi diambil dari premis minor dan term predikatnya diambil
dari premis mayor. Hal inilah yang merupakan inti dari silogisme.
Ciri-ciri silogisme yang membedakannya dari jenis penarikan konklusi lainnya adalah:

1. Konklusi dalam silogisme ditarik dari dua premis yang serentak disediakan, bukan dari salah satu
premisnya saja. Konklusinya tidaklah merupakan penjumlahan premis-premis itu, tetapi merupakan sesuatu
yang dapat diperoleh bila kedua premis itu diletakkan serentak. Ciri-ciri ini membedakan silogisme dari
bentuk-bentuk penarikan konklusi langsung dan bentuk-bentuk penarikan konklusi tak langsung lainnya.
2. Konklusi dari suatu silogisme tidak dapat mempunyai sifat yang lebih umum daripada premis-premisnya.
Silogisme adalah suatu jenis penarikan konklusi secara deduktif dan penarikan konklusi secara
deduktif konklusinya tidak ada yang lebih umum dari premis-premis yang disediakan itu.
3. Konklusinya benar, bila dilengkapi dengan premis-premis yang benar. Suatu hal yang penting, pada
silogisme dan pada bentuk-bentuk inferensi deduktif yang lain, persoalan kebenaran dan ketidak benaran
pada premis-premis tak pernah timbul, karena premis-premis selalu diambil yang benar; akibatnya
konklusi sudah diperlengkapi dengan hal-hal yang Dengan kata lain, silogisme tinggal hanya
mempersoalkan kebenaran formal (kebenaran bentuk) dan tidak lagi mempersoalkan kebenaran material
(kebenaran isinya).
Premis yang di dalamnya terdapat term mayor dinamai premis mayor, dan premis
yang di dalamnya terdapat term minor dinamai premis minor. Dalam bentuk silogisme
logika yang sesungguhnya, premis mayor diberikan mula-mula dan sudah itu diikuti
oleh premis minor. Perlu diingat bahwa dalam silogisme lambang M dipakai untuk
menunjukkan term penengah, S menunjukkan term minor dan P untuk term mayor.
Silogisme dibedakan menurut bentuknya, berdasarkan pada kedudukan term tengah
(M) di dalam proposisi. Terdapat empat bentuk silogisme, yaitu: Bentuk I, Bentuk II,
Bentuk III, dan Bentuk IV.

1. Bentuk I (Silogisme Sub-Pre)


Term tengah (M) berkedudukan sebagai subyek di dalam premis mayor, dan berkedudukan
sebagai predikat dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :

M – P dengan model

S – M

S – P

JIKA :

S : Term Mayor Misal : Kantor Pajak

P : Term Minor Misal : Pelayan Publik

M : Term Tengah Misal : birokrasi

Misal

Premis Mayor (M-P): Semua birokrasi adalah pelayan publik

Premis Minor (S-M): Kantor pajak adalah birokrasi

Silogisme (S-P): Kantor pajak adalah pelayan publik

2. Bentuk II (Silogisme Bis-Pre)


Term tengah (M) berkedudukan sebagai predikat, baik di dalam premis mayor maupun di
dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :

P – M dengan model

S – M

S – P

Misal

Premis Mayor (P-M) : Semua pelayan publik adalah aparatur birokrat


Premis Minor (S-M) : Zahra adalah aparatur birokrat

Silogisme (S-P): Zahra adalah pelayan publik

3. Bentuk III (Silogisme Bis-Sub)


Term tengah (M) berkedudukan sebagai subyek, baik di dalam premis mayor maupun di
dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :

M – S dengan model

M – P

S – P

Misal

Premis Mayor (M-S): Pembuat kebijakan adalah administrator publik

Premis Minor (M-P): Pembuat kebijakan adalah pelayan publik

Silogisme (S-P): Administrator publik adalah pelayan publik

4. Bentuk IV (Silogisme Pre-Sub)


Term tengah (M) berkedudukan sebagai predikat di dalam premis mayor, dan
berkedudukan sebagai subyek dalam premis minor. Maka bentuknya adalah :

S – M dengan model

M – P

S – P

Misal

Premis Mayor (S-M): semua koruptor adalah orang tidak beretika.

Premis Minor (M-P): orang yang tidak beretika adalah pelaku kejahatan publik

Silogisme (S-P) : semua koruptor adalah pelaku kejahatan publik

1. Hukum-Hukum Penarikan Kesimpulan


Terdapat 8 kaidah atau hukum yang berlaku dalam penyusunan silogisme kategoris.
Masing-masing 4 menyangkut term, dan 4 menyangkut proposisi. Kaidah-kaidah tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Menyangkut term-term.
2. Silogisme tidakboleh mengandung lebih atau kurang dari tiga term. Kurang dari tiga term berarti tidak ada
silogisme. Lebih dari tiga term berarti tidak adanya perbandingan. Kalaupun ada tiga term, ketiga term itu
haruslah digunakan dalam arti yang sama tepatnya. Kalau tidak, hal itu sama saja dengan menggunakan lebih
dari tiga term. Misalnya:
Kucing itu mengeong
Binatang itu kucing
Jadi, binatang itu mengeong
1. Term-antara (M) tidak boleh masuk (terdapat dalam) kesimpulan. Hal ini sebenarnya sudah jelas dari bagan
silogisme. Selain itu, masih dapat dijelaskan bagini: term-antara (M) dimaksudkan untuk mengadakan
perbandingan dengan term-term. Perbandingan itu terjadi dalam premis-premis. Karena itu, term-antara (M)
hanya berguna dalam premis-premis saja.

1. Term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada dalam premis-premis. Artinya,
term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh universal, kalau dalam premis-premis particular. Ada
bahaya ‘latius hos’. Istilah ini sebenarnya merupakan singkatan dari hukum silogisme yang berbunyi: ‘Latius
hos quam praemiisae conclusion non vult’. Isi ungkapan yang panjang ini sama saja dengan ‘generalisasi’.
Baik ‘Latius hos’ maupun ‘generalisasi’ menyatakan ketidakberesan atau kesalahan penyimpulan, yakni
menarik kesimpulan yang terlalu luas. Menarik kesimpulan yang universal pada hal yang benar hanyalah
kesimpulan dalam bentuk keputusan yang particular saja. Misalnya:
Kucing adalah makhluk hidup
Manusia bukan kucing
Jadi, manusia bukan makhluk hidup
1. Term-antara (M) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term-antara particular baik dalam premis
major maupun minor, mungkin sekali term-antara itu menunjukkan bagian-bagian yang berlainan dari seluruh
luasnya. Kalau begitu term-antara tidak lagi berfungsi sebagai term-antara dan tidak lagi menghubungkan
(memisahkan) subyek dan predikat. Misalnya:
Banyak orang kaya yang kikir
Si Fulan adalah orang kaya
Jadi, Si Fulan adalah orang yang kikir.

2. Menyangkut keputusan-keputusan (proposisi)


1. Jika kedua premis (yakni major dan minor) afirmatif atau positif, maka kesimpulannya harus afirmatif dan
positif pula.
2. Kedua premis tidakboleh negatif, sebab term-antara (M) tidak lagi berfungsi sebagai penghubung atau
pemisah subyek dan predikat. Dalam silogisme sekurang-kurangnya satu, yakni subyek atau predikat, harus
dipersamakan dengan term-antara (M). Misalnya:
Batu bukan binatang
Kucing bukan batu
Jadi, kucing bukan binatang
1. Kedua premis tidak boleh partikular. Sekurang-kurangnya satu premis harus universal. Misalnya:
Ada orang kaya yang tidak tenteram hatinya
Banyak orang yang jujur tenteram hatinya
Jadi, orang-orang kaya tidak jujur
1. Kesimpulan harus sesuai dengan premis yang paling lemah. Keputusan particular adalah keputusan yang
‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan yang universal. Keputusan negatif adalah keputusan yang ‘lemah’
dibandingkan dengan keputusan afirmatif atau positif. Oleh karena itu:
 Jika satu premis partikular, kesimpulan juga partikular;
 Jika salah satu premis negatif, kesimpulan juga harus negatif;
 Jika salah satu premis negatif dan partikular, kesimpulan juga harus negatif dan partikular. Kalau tidak, ada
bahaya ‘latius hos’ lagi. Misalnya:
Beberapa anak puteri tidak jujur
Semua anak puteri itu manusia (orang)
Jadi, beberapa manusia (orang) itu tidak jujur

1. Silogisme Tidak Beraturan / Tidak Standar


Ada silogisme yang tidak mengikuti hukum-hukum silogisme tersebut. Silogisme demikian
disebut silogisme tidak beraturan atau silogisme tidak standar, yaitu sebagai berikut:

1. Entimema
Entimema adalah suatu bentuk silogisme yang hanya menyebutkan premis atau kesimpulan
saja atau keduanya, tetapi ada satu premis yang tidak dinyatakan. Contoh: PKI adalah
berhaluan komunis, maka PKI tidakboleh berkembang di negara Pancasila. Contoh tersebut
yang tidak disebutkan adalah pada premis “Komunis tidak boleh berkembang di negara
Pancasila”

2. Epikheirema
Epikheirema adalah suatu bentuk silogisme yang salah satu atau kedua premisnya disertai
dengan alasan. Premis yang disertai dengan alasan itu sebenarnya merupakan kesimpulan
dari silogisme itu sendiri. Contoh: Semua pemimpin partai terlarang bersifat pasif, karena
mereka dilarang melakukan kegiatan politik. Hasan adalah pemimpin partai terlarang. Jadi
Hasan adalah bersikap pasif.

3. Sorites
Sorites adalah suatu bentuk silogisme yang premisnya saling berkaitan lebih dari dua
proposisi, sehingga kesimpulannya berbentuk hubungan antara salah satu term proposisi
pertama dengan salah satu term proposisi terakhir yang keduanya bukan term pembanding.
Contoh: Manusia itu berakal budi. Berakal budi itu berbudaya. Berbudaya itu perlu makan.
Makan memerlukan barang. Jadi manusia memerlukan barang.

4. Polisilogisme
Polisilogisme adalah suatu bentuk penyimpulan berupa perkaitan silogisme, sehingga
kesimpulan silogisme sebelumnya selalu menjadi premis pada silogisme berikutnya.
Contoh: Jika Farhan adalah seorang raja, dan raja adalah manusia, maka Farhan adalah
manusia, dan manusia adalah berakal budi, maka Farhan adalah berakal budi, dan berakal
budi adalah memerlukan makan, maka Farhan memerlukan makan.

1. Deductive-Nomological (DN) dan Inductive-Statistical (IS)


Teori penjelasan ilmiah adalah bentuk dari penjelasan ilmiah dalam sebuah bahasa biasa.
Juga dikenal dengan nama the covering law model, the subsumtion theory. Hempel’s model,
the Hempel-Oppenheim model, dan the Popper-Hempel model. Ada dua jenis penjelasan
dalam teri ini yaitu “deductive-nomological” (DN) dan “inductive-statistical” (IS). Deductive-
nomological (DN) berasal dari kata “deductive” yang artinya mengambil suatu kesimpulan
yang hakikatnya sudah tercakup dalam satu proposisi atau lebih dan “nomological” adalah
“nomos” dari bahasa Yunani yang artinya hukum.
Model DN ini telah memainkan peranan yang sangat luar biasa pentingnya dalam diskusi
secara filosofis mengenai penjelasan dalam ilmu pengetahuan saat ini. Teori
penjelasan ilmiah adalah sebuah teori yang mencoba menjelaskan bagaimana penjelasan
ilmiah itu terjadi. Pada kali ini saya ingin membahas mengenai bagian dari Teori Penjelasan
Ilmiah yaitu adalah Teori Penjelasan Ilmiah Deduktif-Nomologis. Teori ini diusulkan oleh
Carl G. Hempel dan Paul Oppenheim pada1948. Teori ini terdapat pada buku Studies in the
Logic of Explanation (1948). Sebuah sketsa juga bisa ditemukan di buku Karl Popper Logic of
Scientific Discovery (1934).
Menurut model D-N, sebuah penjelasan kausal mengenai beberapa kejadian dapat
dicapai bila kejadian itu digolongkan di bawah beberapa hukum kausal. Bentuk umum dari
penjelasan model D-N adalah berikanlah sekelompok hukum kausal tertentu dan
pernyataan-pernyataan yang disebut kondisi awal, sebuah pernyataan yang
menggambarkan kejadian yang ada mengikuti penjelasan sebelumnya.
Hukum yang terdapat dalam penjelasan ilmiah disebut juga hukum pendukung fenomena
eksplanandum dan argument penjelasannya termasuk dalam eksplanandum tersebut.
Fenomena eksplanandum adalah penjelasan deductive-nomological (DN) yang dapat berupa
kejadian yang terjadi pada suatu tempat dan waktu tertentu, seperti hasil dari percobaan
Perier. Atau bisa juga fenomena yang terjadi di alam seperti ciri tertentu yang dilihat pada
pelangi atau suatu kesamaan oleh hukum empiris seperti yang diperlihatkan pada hukum
Galileo atau Keppler. Penjelasan nomological deductive-nomological (DN) syarat hubungan
penjelasan dengan kemungkinan yang sangat besar, bahwa informasi penjelasan yang
diberikan mempengaruhi kalimat eksplanandun secara deduktif, dengan demikian
memberikan dasar kesimpulan logis mengapa sebuah fenomena diharapkan dapat terjadi.
Sedangkan inductive-statistical (IS) berasal dari kata induktif dan statistic, dimana induktif
adalah suatu bentuk penalaran yang menyimpulkan suatu proposisi umum dan sejumlah
proposisi khusus. Meskipun premis-premis yang digunakannya adalah benar dan prosedur
yang digunakan adalah sah, maka kesimpulannya belum tentu benar. Yang dapat dikatakan
adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Dapat dinyatakan bahwa
dasar dari statistika adalah ilmu peluang.
Ada dua jenis penjelasan dalam teori ini yaitu ‘deductive-nomological’ (DN) dan ‘inductive-
statistical’ (IS) keduanya memiliki struktur yang sama. Tiap premis memiliki struktur (1)
Kondisi yang ada C, dan (2) generalisasi hukum L. Perbedaan antara keduanya adalah
bahwa DN merupakan generalisasi universal sedangkan IS merupakan generalisasi statistik.

Contoh DN:
C – Bayi itu memiliki tiga kromosom 21

L – Tiap bayi yang memiliki tiga kromosom 21 terkena Down Sydrom

E – Bayi itu terkena Down Syndrome

Contoh IS:
C – Otak seseorang kekurangan oksigen selama lima menit.

L – Hampir semua orang yang otaknya kekurangan oksigen selama lima menit akan

mengalami kerusakan otak.

E – orang itu mengalami kerusakan otak.

Menurut Hempel, DN lebih baik daripada IS. Ini disebabkan karena unsur prediktif dari DN
lebih besar, Agar suatu penjelasan menjadi penjelasan DN maka dia hanya perlu
menunjukkan struktur deductive-nomological. IS bersifat induktive artinya hubungan antara
premis dan kesimpulan bisa terganggu dengan adanya informasi baru

Kelebihan Eksplanasi Deduktif-nomologisn Pertama, jelas dan sederhana. Eksplanasi


deduktif-nomologis sebagaimana dikemukakan oleh Hempel dan kaum positivisme logis
yang lain adalah memiliki pola yang cukup jelas dan sederhana. Eksplanasi secara baku
menggunakan pola argumentasi deduktif, yang mengandung hukum umum dan fakta
partikular, dan kesimpulan atas sesuatu yang dieksplanasikan kebenarannya bersifat
niscaya. Kedua, menunjukkan kaitan yang jelas antara ilmu (studi) sejarah dengan ilmu
alam, karena eksplanasi deduktif-nomologis memang pola eksplanasi khas ilmu alam (ilmu
eksata); menurut penganjurnya eksplanasi jenis ini memungkinkan ahli sejarah untuk
menggunakan generalisasi dan hukum umum dari ilmu sosial-kemanusiaan yang lain,
sehingga pola eksplanasi ini dapat berperan dalam pengembangan studi interdisipliner yang
melibatkan ilmu sejarah. Ketiga, eksplanasi deduktif-nomologis merupakan sumbangan
pemikiran para filsuf ilmu sejarah, yang bermaksud untuk memberi jalan keluar terhadap
persoalan rekonstruksi sejarah. Sejarah juga memerlukan erklären, karena sampai
tingkatan tertentu fenomena historis juga mengandung unsur objektivitas. Setiap peristiwa
itu terjadi bukan tanpa sebab, jika kausalitas diterima sebagai sesuatu yang taken for
granted, dengan demikian eksplanasi deduktif-nomologis yang juga merupakan eksplanasi
kausal merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan sejarawan untuk melacak
mengapa satu fenomena historis tertentu itu terjadi.

Kelemahan Eksplanasi Deduktif-nomologis, Pertama yaitu eksplanasi deduktif-nomologis


tidak pernah menjelaskan peristiwa secara utuh, yaitu dengan mengabaikan kompleksitas
peristiwa, sehingga senantiasa ada jarak antara eksplanans dan eksplanandum. Padahal
peneliti sejarah senantiasa ingin mengetahui semua seluk beluk dari sebuah peristiwa,
selalu berminat terhadap bentuk yang unik dan khas yang mewarnai kejadian historis,
sehingga eksplanasi deduktif-nomologis itu kurang memuaskan bagi seorang ahli sejarah.
Kedua, terlalu formal. Sebagaimana sifat argumentasi deduktif yang sangat memberikan
tekanan pada aspek formal penalaran, validitas lebih diutamakan daripada kebenaran
(kesesuaian pernyataandengan data empiris). Isi keterangan historis kurang diperhatikan.
Padahal eksplanasi historis pada umumnya berkaitan dengan peristiwa individual yang juga
berawal dari data empiris. Ketiga, sejarah adalah sejarah peradaban manusia, yang banyak
diwarnai dengan nilai dan penuh dengan nuansa makna. Fenomena historis terkadang tidak
dapat dipahami melulu secara harfiah. Eksplanasi deduktif-nomologis yang hanya
menekankan hukum umum (pernyataan universal) tidak memberi tempat kepada
interpretasi (verstehen) yang sangat berguna dalam pemahaman fenomena historis.
Keempat, hukum umum yang mengandung makna universal berlaku kapan dan di mana
saja dalam ilmu sejarah sulit ditemukan, karena sejarah berkaitan dengan fenomena
manusiawi yang sangat rumit. Motif, tujuan, dan kehendak manusia sulit untuk diramalkan,
sehingga prediksi yang diharapkan melalui eksplanasi deduktif-nomologis juga sulit
direalisasikan. Kelima, kausalitas fenomena historis sulit untuk dapat dijelaskan secara
memadai, karena sejarah berkaitan dengan peristiwa masa lalu dan sekali terjadi. Sejarah
bukan ilmu kuantitatif yang memiliki kepastian dalam arti ilmu eksata. Eksplanasi deduktif-
nomologis sulit untuk dapat menjelaskan mengapa suatu peristiwa itu terjadi atau tidak
terjadi. Keenam, sejarah sebagai ekstensi memori artifisial sangat diwarnai dengan
komitmen moral, agama, ideologi. Sejarah mengandung unsur yang bersifat subjektif.
Eksplanasi deduktif-nomologis yang sangat menekankan objektivitas tentu akan
mengabaikan unsur subjektif tersebut. Peneliti sejarah dengan seluruh pengalamannya
sangat berperan dalam merekonstruksi dan menafsirkan masa lampau, dan hal ini juga
tidak diberi tempat di dalam eksplanasi deduktif-nomologis

Anda mungkin juga menyukai