Anda di halaman 1dari 23

GANGGUAN ELEKTROLIT

REFERAT

Oleh
BJ. Azmy As’ady
182011101007

Pembimbing
dr. Sugeng Budi Rahardjo,Sp. PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


KSM ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2018

i
GANGGUAN ELEKTROLIT

REFERAT

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
BJ. Azmy As’ady
182011101007

Pembimbing
dr. Sugeng Budi Rahardjo,Sp. PD

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER


KSM ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2018

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 2
2.1 Definisi ...................................................................................... 2
2.2 Fisiologi ...................................................................................... 2
2.2.1 Fisiologi Natrium ..................................................................... 2
2.2.2 Fisiologi Kalium ...................................................................... 4
2.3 Gangguan Elektrolit ................................................................. 5
2.3.1 Hiponatremia ........................................................................... 5
2.3.2 Hipernatremia .......................................................................... 10
2.3.3 Hipokalemia ............................................................................. 12
2.3.4 Hiperkalemia ............................................................................ 14
2.4 Metode Pemeriksaan ................................................................ 15
2.4.1 ISE (Ion Selective Electrode) ................................................... 16
2.4.2 FES (Flame Emision spectrofotometry) .................................. 17
2.4.3 Spektrofotometer berdasarkan Aktivasi Enzim ....................... 17
2.4.4 AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) ........................ 18
BAB 3. KESIMPULAN ......................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 20

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

Elektrolit merupakan senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi


partikel yang bermuatan positif (kation) atau negatif (anion). Beberapa contoh
kation diantaranya natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca2+), dan magnesium
(Mg2+). Sedangkan anion diantaranya klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3-), fosfat
(PO4-) dan sulfat (SO4-). Elektrolit memiliki pengaruh terhadap sebagian besar
metabolisme tubuh. Konsentrasi elektrolit yang tidak normal dapat menyebabkan
gangguan pada tubuh[1, 11].
Air merupakan konstituen utama tubuh (+60%), cairan dalam tubuh
didistribusikan diantara dua kompartemen cairan utama yaitu ekstraseluler (25-
45%) dan intraseluler (55-75%). Ekstraseluler dibagi menjadi dua yaitu plasma
darah (25%) dan interstisial (75%) dengan partikel terbanyaknya ialah ion
natrium. Sedangkan partikel terbanyak pada intraseluler ialah ion kalium. Ada
juga kompartemen cairan yang kecil yaitu transeluler. Kompartemen ini meliputi
cairan dalam rongga sinovial, peritoneum, perikardial, intraokular, dan cairan
serebrospinal. Cairan intraseluler dipisahkan dari cairan ekstraseluler oleh
membran selektif yang permeabel terhadap air, tetapi tidak permeabel terhadap
sebagian elektrolit [2].
Pemeliharaan tekanan osmotik dan distribusi beberapa kompartemen
cairan adalah fungsi utama empat elektrolit mayor yaitu Natrium, kalium, klorida
dan bikarbonat. Pemeriksaan terhadap keempat elektrolit mayor tersebut dikenal
sebagai profil elektrolit. Natrium merupakan kation terbanyak dalam cairan
ekstrasel, kalium merupakan kation terbanyak dalam cairan intrasel dan clorida
merupakan anion terbanyak dalam cairan ekstrasel. Jumlah natrium, kalium dan
clorida merupakan cermin keseimbangan antara yang masuk tertuma dari saluran
cerna dan yang keluar terutama melalui ginjal. Gangguan keseimbangan natrium,
kalium dan clorida berupa hipo- dan hiper-. Hipo- terjadi bila konsentrasi dibawah
normal dan hiper- terjadi bila konsentrasi diatas normal[3, 8].

1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan elektrolit merupakan kondisi tubuh saat konsentrasi elektrolit
tubuh tidak normal baik dibawah normal (hipo-) maupun diatas normal (hiper-).
Gangguan elektrolit dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis elektrolitnya
diantaranya natrium dan kalium. Bila konsentrasi natrium plasma dibawah nilai
normal (135-145 mEq/L) disebut dengan hiponatremia dan bila konsentrasinya
diatas normal disebut dengan hipernatremiaa. Bila konsentrasi kalium plasma
dibawah nilai normal (3,5-5,3 mEq/L) disebut dengan hipokalemia dan bila
konsentrasinya diatas normal disebut dengan hiperkalemia[4].

2.2 Fisiologi
2.2.1 Fisiologi Natrium
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10-14
mEq/L) berada dalam cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan
ekstrasel ditentukan oleh garam yang mengandung natrium, khususnya dalam
bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga
perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan perubahan
konsentrasi natrium. Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan interstitial
disebabkan oleh keseimbangan Gibbs-Donnan, sedangkan perbedaan kadar
natrium dalam cairan ekstrasel dan intrasel disebabkan oleh adanya transpor aktif
dari natrium keluar sel yang bertukar dengan masuknya kalium ke dalam sel
(pompa Na+ K+)[5].
Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara
natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang
berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan
pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit.
Pemasukan dan pengeluaran natrium perhari mencapai 48-144 mEq.

2
Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang
dari 10%. Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna
bagian atas hampir mendekati cairan ekstrasel, namun natrium direabsorpsi
sebagai cairan pada saluran cerna bagian bawah, oleh karena itu konsentrasi
natrium pada feses hanya mencapai 40 mEq/L4. Keringat adalah cairan hipotonik
yang berisi natrium dan klorida[6].
Kandungan natrium pada cairan keringat orang normal rerata 50 mEq/L.
Jumlah pengeluaran keringat akan meningkat sebanding dengan lamanya periode
terpapar pada lingkungan yang panas, latihan fisik dan demam. Ekskresi natrium
terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini dilakukan untuk
mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan volume cairan tubuh[7].
Natrium difiltrasi bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-65% di
tubulus proksimal bersama dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara
pasif, sisanya direabsorpsi di lengkung henle (25-30%), tubulus distal (5%) dan
duktus koligentes (4%). Sekresi natrium di urine <1%. Aldosteron menstimulasi
tubulus distal untuk mereabsorpsi natrium bersama air secara pasif dan
mensekresi kalium pada sistem renin-angiotensin-aldosteron untuk
mempertahankan elektroneutralitas[8].
Nilai Rujukan Natrium
Nilai rujukan kadar natrium pada:
- serum bayi : 134-150 mmol/L
- serum anak dan dewasa : 135-145 mmol/L
- urine anak dan dewasa : 40-220 mmol/24 jam
- cairan serebrospinal :136-150 mmol/L
- feses : kurang dari 10 mmol/hari

3
2.2.2 Fisiologi Kalium
Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan intrasel.
Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan konsentrasi kalium ekstrasel 4-
5 mEq/L (sekitar 2%). Jumlah konsentrasi kalium pada orang dewasa berkisar 50-
60 per kilogram berat badan (3000-4000 mEq). Jumlah kalium ini dipengaruhi
oleh umur dan jenis kelamin. Jumlah kalium pada wanita 25% lebih kecil
dibanding pada laki-laki dan jumlah kalium pada orang dewasa lebih kecil 20%
dibandingkan pada anak-anak[9].
Perbedaan kadar kalium di dalam plasma dan cairan interstisial
dipengaruhi oleh keseimbangan Gibbs-Donnan, sedangkan perbedaan kalium
cairan intrasel dengan cairan interstisial adalah akibat adanya transpor aktif
(transpor aktif kalium ke dalam sel bertukar dengan natrium). Jumlah kalium
dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan kalium yang masuk dan keluar.
Pemasukan kalium melalui saluran cerna tergantung dari jumlah dan jenis
makanan[10].
Orang dewasa pada keadaan normal mengkonsumsi 60-100 mEq kalium
perhari (hampir sama dengan konsumsi natrium). Kalium difiltrasi di glomerulus,
sebagian besar (70-80%) direabsorpsi secara aktif maupun pasif di tubulus
proksimal dan direabsorpsi bersama dengan natrium dan klorida di lengkung
henle. Kalium dikeluarkan dari tubuh melalui traktus gastrointestinal kurang dari
5%, kulit dan urine mencapai 90%[11].
Nilai Rujukan Kalium
Nilai rujukan kalium serum pada:
- serum bayi : 3,6-5,8 mmol/L
- serum anak : 3,5-5,5 mmo/L
- serum dewasa : 3,5-5,3 mmol/L
- urine anak : 17-57 mmol/24 jam
- urine dewasa : 40-80 mmol/24 jam
- cairan lambung : 10 mmol/L

4
2.3 Gangguan Elektrolit
2.3.1 Hiponatremia
Hiponatremia merupakan keadaan natrium plasma dalam tubuh berada
dibawah normal (<135 mEq/L). Kehilangan natrium klorida pada cairan ekstrasel
atau penambahan air yang berlebihan pada cairan ekstrasel akan menyebabkan
penurunan konsentrasi natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer
biasanya terjadi pada dehidrasi hipo-osmotik seperti pada keadaan berkeringat
selama beraktivitas berat, berhubungan dengan penurunan volume cairan ekstrasel
seperti diare, muntah-muntah, dan penggunaan diuretik secara berlebihan[10].
Hiponatremia juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit ginjal yang
menyebabkan gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal, penyakit
addison, serta retensi air yang berlebihan (overhidrasi hipo-osmotik) akibat
hormon antidiuretik. Selain itu respons fisiologis dari hiponatremia adalah
tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus (osmolaritas urine rendah).
Pseudo hiponatremia dapat dijumpai pada penurunan fraksi plasma, yaitu pada
kondisi hiperlipidemia, hiperkolesterolemia, hiperproteinemia dan hiperglikemia
serta kelebihan pemberian manitol dan glisin[10].
Hiponatremia dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat nilainya, waktu
terjadinya, gejala. Berdasarkan derajat nilainya dibagi menjadi tiga yaitu ringan,
sedang dan berat. Hiponatremia ringan yaitu keadaan kadar natrium plasma tubuh
antara 130-135 mmol/L. Hiponatremia sedang yaitu keadaan kadar natrium
plasma tubuh antara 125-129 mmol/L. Hiponatremia berat yaitu keadaan kadar
natrium plasma tubuh <125 mmol/L[10].
Berdasarkan waktu terjadinya dibagi menjadi dua yaitu akut dan kronis.
Hiponatremia akut memiliki onset <48 jam dan hiponatremia kronis memiliki
onset minimal 48 jam. Hal ini didasarkan dengan adanya penelitian yang
menyatakan bahwa edema otak lebih sering terjadi dalam waktu kurang dari 48
jam. Penelitian eksperimental juga menunjukkan bahwa otak memerlukan waktu
sekitar 48 jam untuk beradaptasi dengan lingkungan yang hipotonik. Sebelum
adaptasi terjadi, terdapat resiko edema otak, akibat dari osmolalitas cairan
ektraseluler yang lebih rendah yang memicu terjadinya perpindahan air ke dalam

5
sel. Tetapi, setelah adaptasi selesai, sel-sel otak dapat kembali mengalami
kerusakan jika kadar natrium plasma meningkat terlalu cepat. Kerusakan pada
selaput mielin yang menyelimut neuron dapat menimbulkan kondisi yang disebut
sebagai sindrom demielinisasi osmotk. Dengan demikian pentng untuk
membedakan antara hiponatremia akut dan kronik untuk dapat menilai apakah
seseorang memiliki risiko edema otak yang lebih tinggi dibandingkan
demielinisasi osmotk. Berdasarkan gejalanya dibagi menjadi dua yaitu sedang dan
berat. Hiponatremia sedang memiliki gejala mual tanpa muntah, kebingungan dan
sakit kepala. Hiponatremia berat memiliki gejala muntah, gagal jantung dan
pernapasan, somnolen, kejang dan koma (skala koma glasglow <8) [1].
Etiologi hiponatremia dapat dibedakan berdasarkan status volume cairan
pasien yaitu hipovolemik, euvolemik dan hipervolemik. Pada keadaan
hipovolemik atau hipervolemik dapat dibedakan lebih lanjut berdasarkan kadar
natrium dalam urinnya. Hiponatremia hipovolemik dengan kadar natrium urin
>20mmol/L disebabkan oleh diantaranya hilangnya cairan dari ginjal, kelebihan
diuretik, defisiensi mineralkortikoid, ketonuira dan diuretik osmosis. Sedangkan
pada hiponatremia hipovolemik dengan kadar natrium urin <10mmol/L
disebabkan oleh hilangnya cairan dari luar ginjal, muntah-muntah, diare, luka
bakar, pankreatitis dan trauma[2].
Hiponatremia euvolemik disebabkan oleh diantaranya defisiensi
glukokortikoid, hipertiroidisme, stres, penggunaan obat-obatan, syndrome of
antidiuretic hormone secretion dan polidipsia psikogenik. Hiponatremia
hipervolemik dengan kadar natrium dalam urin >20mmol/L disebabkan oleh
diantaranya gangguan ginjal akut dan penyakit ginjal kronis. Sedangkan pada
hiponatremia hipervolemik dengan kadar natrium urin <10mmol/L disebabkan
oleh diantaranya sindrom nefrotik, sirosis hati, gagal jantung dan gagal ginjal
kronik. Pengelompokan berdasarkan etiologi hiponatremia dapat dilihat pada
Gambar 1 dan Tabel 1.

6
Gambar 1. Pengelompokan Etiologi Hiponatremia

7
Hiponatremia Hipovolemik Hiponatremia Euvolemik Hiponatremia Hipervolemik
Na+ urin >20 mmol/L Defisiensi glukortikoid Na+ urin >20 mmol/L
Hilangnya cairan dari ginjal Hipotiroidisme Gangguan ginjal akut
Kelebihan diuretik Stres Penyakit ginjal kronis
Defisiensi Penggunaan obat-obatan
mineralokortikoid Syndrome of antidiuretic
Ketonuira hormone secretion
Diuretik osmosis
Na+ urin <10 mmol/L Polidispia psikogenik Na+ urin <10 mmol/L
Hilangnya cairan dari luar Sindrom nefrotik
ginjal Sirosis hati
Muntah-muntah Gagal jantung
Diare Gagal ginjal kronik
Luka bakar
Pankreatitis
Trauma
Tabel 1. Pengelompokan etiologi hiponatremia
Hiponatremia merupakan manifestasi klinis dari penyakit yang
mendasarinya, oleh karena itu sangat penting mengetahui penyebab terjadinya
hiponatremia. Untuk mendiagnosis terjadinya hiponatremia dapat diketahui
melalui anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang. Anamnesis dapat
mengetahui adanya riwayat muntah, penggunaan diuretik atau manitol, riwayat
penyakit pada pasien (gagal jantung, sirosis hepatik, sindrom nefrotik,
hipotiroidisme, gangguan kelenjar adrenal dan sebagainya). Pemeriksaan fisis
dapat mengetahui nilai status volume cairan ekstraseluler dan volume sirkulasi.
Pemeriksaan penunjang dapat mengehatui kadar natrium serum, osmolalitas
plasma dan kadar natrium urin[5].
Tatalaksana hiponatremia secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua
yaitu koreksi kadar natrium dan mengatasi etiologinya. Tatacara koreksi kadar
natrium serum bergantung dari kondisi pasiennya diantaranya sebagai berikut [10]:
a) Hiponatremia pada jam pertama, tanpa memandang hiponatremia akut
maupun kronik: pemberian cepat cairan infus salin hipertonik 3% 150 ml

8
atau setaranya selama 20 menit, setelah 20 menit dilakukan pemeriksaan
kadar natrium plasma dan diulang pemberian 150 ml infus salin hipertonik
3% atau setaranya dalam 20 menit berikutnya hingga target kenaikan
kadar natrium plasma 5 mmol/L tercapai.
b) Jika target kenaikan kadar natrium plasma 5 mmol/L tercapai maka
hentikan infus salin hipertonik dan mempertahankan jalur intravena
terbuka dengan menginfuskan sejumlah terkecil cairan salin: 0,9% sampai
pengobatan spesifik terhadap penyebab dimulai. Selain itu batasi kenaikan
kadar natrium plasma sampai total 10 mmol/L dalam 24 jam pertama dan
tambahan 8 mmol/L dalam setiap 24 jam berikutnya sampai kadar natrium
plasma mencapai 130 mmol/L. Periksa kadar natrium plasma setelah 6 dan
12 jam serta selanjutnya setiap hari sampai kadar natrium plasma stabil
dibawah pengobatan.
c) Jika target kenaikan kadar plasma 5 mmol/L tidak tercapai maka lanjutkan
infus salin hipertonik 3% atau setaranya yang bertujuan menaikkan kadar
natrium plasma 1 mmol/L/jam. Hentikan infus salin hipertonik 3% jika
gejala membaik atau kadar natrium plasma meningkat 10 mmol/L atau
kadar kadar natrium plasma mencapai 130 mmol/L. Selain itu lakukan
evaluasi diagnosis tambahan untuk mencari penyebab lain hiponatremia
serta memeriksa kadar natrium plasma setiap 4 jam selama infus salin
hipertonik 3% atau setaranya dilanjutkan.
d) Hiponatremia asimtomatik: koreksi natrium dengan kecepatan <0,5
mEq/L/jam dengan larutan Na isotonik IV (NaCl 0,9%).
e) Hiponatremia akut: pada hiponatremia akut koreksi natrium dilakukan
secara cepat dengan pemberian larutan Na Hipertonik IV (NaCl 3%).
Kadar natrium plasma ditingkatkan sebanyak 5 mEq/L/jam dari kadar Na
awal dalam waktu 1 jam. Setelah itu kadar natrium plasma ditingkatkan
sebesar 1 mEq/L setiap 1 jam sampai mencapai 130 mEq/L.
f) Hiponatremia kronis (>48 jam): koreksi dilakukan secara perlahan,
kecepatan koreksi 0,5-1 mEq/L/jam. Biasanya total koreksi maksimal 10-

9
12 mEq/24 jam dan <18 mEq/48 jam pertama untuk menghindari sindrom
demyelinasi osmotik atau serebelopontin mielinolisis.

 Rumus kebutuhan koreksi


Natrium= 0,5 x berat badang (kg) x (target natrium – konsentrasi natrium awal)
Koreksi dilakukan dengan larutan Na Hipertonik untuk hiponatremia akut
sedangkan larutan Na isotonik untuk hiponatremia kronis[3].

 Rumus natrium serum pasca koreksi


Perubahan natrium serum = (kandungan natrium cairan infus – kadar
natrium serum) / (jumlah air tubuh + 1).
Jumlah air tubuh = BB (kg) x 0,6 untuk laki-laki atau 0,5 untuk perempuan
atau 0,5 untuk laki-laki lanjut usia atau 0,45 untuk perempuan lanjut usia[5].

 Rumus jika menggunakan cairan infus yang mengandung ion kalium


Perubahan natrium serum = [(kandungan natrium cairan infus +
kandungan kalium cairan infus) – kadar natrium serum] / (jumlah air tubuh + 1)[2].
Ion kalium yang diberikan akan masuk kedalam ruang intraseluler
sehingga ion natrium akan keluar menuju ekstraseluler sehingga dapat
meningkatkan ion natrium lebih tinggi[13].

2.3.2 Hipernatremia
Hipernatremia merupakan keadaan natrium plasma dalam tubuh berada
diatas normal (>145 mEq/L). Peningkatan konsentrasi natrium plasma terjadi
karena kehilangan air dan larutan ekstrasel (dehidrasi hiperosmotik pada diabetes
insipidus) atau karena kelebihan natrium dalam cairan ekstrasel seperti pada
overhidrasi osmotik atau retensi air oleh ginjal dapat menyebabkan peningkatan
osmolaritas & konsentrasi natrium klorida dalam cairan ekstrasel. Selain itu
hipernatremiaaa dapat terjadi bila ada defisit cairan tubuh akibat ekskresi air
melebihi ekskresi natrium atau asupan air yang kurang. Misalnya pada
pengeluaran air tanpa elektrolit melalui insensible water loss atau keringat, diare

10
osmotik akibat pemberian laktulose atau sorbitol, diabetes insipidus sentral
maupun nefrogenik, diuresis osmotik akibat glukosa atau manitol, gangguan pusat
rasa haus di hipotalamus akibat tumor atau gangguan vaskular[5].
Manifestasi klinis pada hipernatremia yaitu menyebabkan hipertonisitas
plasma sehingga cairan akan keluar dari sel termasuk sel otak. Maka dari itu
gejalanya berupa gangguan atau perubahan status mental, kelemahan, defisit
neurologis fokal, penurunan kesadaran, atau kejang. Diagnosis dari hipernatremia
dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk mengetahui
penyebab. Selain itu dapat didukung dengan pemeriksaan penunjang berupa
pengukuran volume dan osmolalitas urin[7].
Tatalaksana dari hipernatremia diantaranya yaitu [9, 10]:
 Defisit air
1. Estimasi jumlah total cairan tubuh (50-60% x KgBB)
2. Hitung defisit air dengan [(kadar natrium plasma – 140)/140] x jumlah total air
dalam tubuh
3. Hitung dalam 48-72 jam untuk menghindari terjadinya komplikasi neurologis
 OWL (Ongoing Water Loss)
1. Bersihkan air = volume urin [ 1 – (kadar natrium urin + kadar kalium
urin/kadar natrium serum)]
 IWL (insensible water loss)
1. 5-10 ml/KgBB/hari (lebih banyak jika pasien demam)
Jumlah OWL dan IWL diberikan setiap harinya dengan rute pemberian
cairan yang paling aman adalah per oral atau melalui selang nasogastrik (NGT).
Jika tidak memungkinkan dapat melalui intravena menggunakan cairan salin
hipotonik (NaCl 0,45% atau dextrosa 5%). Pantau kadar gula darah secara rutin
jika menggunakan cairan dextrosa 5%. Koreksi sebaiknya tidak lebih dari 15
mEq/L per hari[11].

11
2.3.3 Hipokalemia
Hipokalemia merupakan keadaan bila kadar kalium dalam tubuh berada
dibawah normal (<3,5 mEq/L). Penyebab hipokalemia dapat dibagi menjadi 3
diantaranya sebagai berikut[7]:
a. Asupan Kalium Kurang
Orang tua yang hanya makan roti panggang dan teh, peminum alkohol
yang berat sehingga jarang makan dan tidak makan dengan baik, atau pada pasien
sakit berat yang tidak dapat makan dan minum dengan baik melalui mulut atau
disertai oleh masalah lain misalnya pada pemberian diuretik atau pemberian diet
rendah kalori pada program menurunkan berat badan dapat menyebabkan
hipokalemia[9].
b. Pengeluaran Kalium Berlebihan
Pengeluaran kalium yang berlebihan terjadi melalui saluran cerna seperti
muntah-muntah, melalui ginjal seperti pemakaian diuretik, kelebihan hormon
mineralokortikoid primer/hiperaldosteronisme primer (sindrom bartter atau
sindrom gitelman) atau melalui keringat yang berlebihan. Diare, tumor kolon
(adenoma vilosa) dan pemakaia=-n pencahar menyebabkan kalium keluar
bersama bikarbonat pada saluran cerna bagian bawah (asidosis metabolik).
Licorice (semacam permen) yang mengandung senyawa yang bekerja mirip
aldosteron, dapat menyebabkan hipokalemia jika dimakan berlebihan.
c. Kalium Masuk ke Dalam Sel
Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel,
pemberian insulin, peningkatan aktivitas beta-adrenergik (pemakaian β2- agonis),
paralisis periodik hipokalemik, dan hipotermia.
Gejala pada hipokalemia dapat berdasarkan kadar kalium di tubuh
diantaranya yaitu hipokalemia ringan, sedang dan berat. Pasein yang sedang
mengalami hipokalemia tidak selalu langsung muncul gejala, karena biasanya
gejala baru muncul saat kadar kalium <3 mEq/L. Gejala pada hipokalemia ringan
(kalium: 3-3,35 mEq/L) biasanya asimtomatik karena kadar kaliumnya masih
diatas 3 mEq/L[5].

12
Gejala pada hipokalemia sedang (kalium: 2-3 mEq/L) diantaranya lemas,
mialgia dan konstipasi, bila kadar kalium <2,5 mEq/L dapat terjadi nekrosis otot.
Selain itu pada pasien penyakit jantung (iskemia, gagal jantung, hipertrofi
ventrikel kiri) dapat mengalami aritmia. Serta ditemukan EKG pada pasien berupa
T inversi, depresi segmen ST, interval PR memanjang dan QRS melebar. Gejala
hipokalemia berat (kalium: <2 mEq/L) diantaranya paralisis asending dan
gangguan pada otot pernapasan[9].
Tatalaksana pada pasien yang mengalami hipokalemia diantaranya sebagai
berikut[2]:
 KCL (kalium klorida): yang paling sering digunakan dengan kandungan
20 mEq ion kalium per tablet.
Pada pemberian 40-60 mEq KCL (2-3 tablet) dapat meningkatkan kadar
kalium sebesar 1-1,5 mEq/L. Sedangkan pemberian 135-160 mEq KCL dapat
meningkatkan kadar kalium sebesar 2,5-3,5 mEq/L. Pada pemberian intravena,
pemberian KCL sebaiknya dilarutkan dalam larutan NaCl. Vena besar atau sentral
sebesar 20 mEq dalam 100 ml NaCl 0,9% dan vena perifer maksimal sebesar 60
mEq dalam 1000 ml Nacl 0,9%. Kecepatan pemberian disarankan berkisar 10-20
mEq/jam pada kondisi paralisis otot pernapasan atau aritmia, dapat ditingkatkan
hingga 40-100 mEq/jam melalui vena sentral[12].
 KPO4 (kalium fosfat): hanya digunakan pada hipokalemia disertai dengan
kehilangan fosfat.
 KHCO3 (kalium bikarbonat): hanya digunakan pada hipokalemia dengan
asidosis metabolik.
Koreksi pasien hipokalemia dengan mempertimbangkan pemberian terlalu
cepat atau konsentrasi terlalu pekat dapat menyebabkan sklerosis vena.
Pemberian KCL sebaiknya tidak menggunakan cairan dextrosa karena justru
dapat memicu hipokalemia akibat sekresi insulin oleh dextrosa. Koreksi
kalium intravena yang cepat harus diiringi dengan observasi EKG dan
pemeriksaan neuromuskular[5].

13
2.3.4 Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan keadaan bila kadar kalium dalam tubuh berada
diatas normal (>5,3 mEq/L). Penyebab hiperkalemi diantaranya sebagai berikut[8]:
a. Keluarnya Kalium dari Intrasel ke Ekstrasel
Kalium keluar dari sel dapat terjadi pada keadaan asidosis metabolik
bukan oleh asidosis organik (ketoasidosis, asidosis laktat), defisit insulin,
katabolisme jaringan meningkat, pemakaian obat penghambat-β adrenergik, dan
pseudohiperkalemia[10].
b. Berkurangnya Ekskresi Kalium melalui Ginjal
Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal terjadi pada keadaan
hiperaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif, pemakaian
siklosporin atau akibat koreksi ion kalium berlebihan dan pada kasus-kasus yang
mendapat terapi angiotensin-converting enzyme inhibitor dan potassium sparing
diuretics[11].
Selain itu dapat terjadi kondisi yang menyebabkan psudohiperkalemia.
Pseudohiperkalemia dapat disebabkan oleh hemolisis, sampel tidak segera
diperiksa atau akibat kesalahan preanalitik yang lain yaitu tornikuet pada lengan
atas tidak dilepas sebelum diambil darah setelah penderita menggenggam
tangannya berulangkali (peningkatan sampai 2 mmol/L). Jumlah trombosit
>500.000/mm3 atau leukosit >70.000/mm3 juga dapat meningkatkan kadar
kalium serum[6].
Pada pasien hiperkalemia dapat memuncul manifestasi klinis diantaranya
sebagai berikut[3]:
 Menyebabkan depolarisasi parsial membran sel.
 Kelemahan otot yang dapat memberat menjadi paralisis flaksid.
 Hipoventilasi apabila melibatkan otot pernapasan.
 Asisdosis metabolik karena hiperkalemia menghambat penyerapan NH3
sehingga sekresi hidrogen menjadi berkurang.
 Kardiotoksik: fibrilasi ventrikel, asistol.
 EKG: peaked T waves, pemanjangan interval PR, QRS melebar,
gelombang P menghilang.

14
Tatalaksana pada pasien yang mengalami hiperkalemia dengan klasifikasi
berat (kalium: 7,5 mEq/L) dengan menstabilisasi miokardium melalui pemberian
Ca Glukonas 10 ml dalam larutan 10% selama 2-3 menit. Bila dalam 5-10 menit
tidak terdapat perubahan EKG pemberian dapat diulang. Memindahkan kalium
ekstraseluler ke intraseluler menggunakan insulin reguler 10-20 U + glukosa 25-
50 gram untuk memasukkan kalium kedalam ruang intrasel. Pada pasien gagal
ginjal kronis (GGK) dengan asidosis metabolik berikan natrium bikarbonat IV
(50-150 mEq atau 3 ampul)[2].
Dapat juga diberikan tatalaksana inhalasi agonis beta menggunakan
albuterol 20 mg dalam 4 ml cairan salin normal selama 10 menit dengan lama
awitan kerja sekitar 30 menit. Untuk meningkatkan pembuangan kalium
menggunakan diuretik (biasanya kombinasi diuretik loop dan tiazid) contohnya
furosemid >40 mg. untuk mencegah konstipasi Na polistiren sulfonat 20-50 gram
dicampur 100 ml sorbitol 20%. Selain itu dapat juga dihemodialisis pada gagal
ginjal atau hiperkalemia yang tidak berespon dengan terapi koreksi yang
diberikan[3].

2.4 Metode Pemeriksaan


2.4.1 ISE (Ion Selective Electrode)
Pemeriksaan kadar natrium dan kalium dengan metode elektroda ion
selektif (Ion Selective Electrode/ISE) adalah yang paling sering digunakan. Data
dari College of American Pathologists (CAP) pada 5400 laboratorium yang
memeriksa natrium dan kalium, lebih dari 99% menggunakan metode ISE.
Metode ISE mempunyai akurasi yang baik, koefisien variasi kurang dari 1,5%,
kalibrator dapat dipercaya dan mempunyai program pemantapan mutu yang baik.
ISE ada dua macam yaitu ISE direk dan ISE indirek. ISE direk memeriksa secara
langsung pada sampel plasma, serum dan darah utuh. Metode inilah yang
umumnya digunakan pada laboratorium gawat darurat. Metode ISE indirek yang
diberkembang lebih dulu dalam sejarah teknologi ISE, yaitu memeriksa sampel
yang sudah diencerkan. ISE (Ion Selective Electrode) dapat dilihat pada Gambar
2[4].

15
Gambar 2. ISE (Ion Selective Electrode)
Pada dasarnya alat yang menggunakan metode ISE untuk menghitung
kadar ion sampel dengan membandingkan kadar ion yang tidak diketahui nilainya
dengan kadar ion yang diketahui nilainya. Membran ion selektif pada alat
mengalami reaksi dengan elektrolit sampel. Membran merupakan penukar ion,
bereaksi terhadap perubahan listrik ion sehingga menyebabkan perubahan
potensial membran. Perubahan potensial membran ini diukur, dihitung
menggunakan persamaan Nerst, hasilnya kemudian dihubungkan dengan
amplifier dan ditampilkan oleh alat[5].
Salah satu persamaan Nernst yang dipakai yaitu:

(+) untuk kation (-) untuk anion


E = Potensial elektrik yang diukur
E’ = Sistem e.m.f pada larutan standar
R = Konstanta Gas (8,31 J/Kmol)
T = Suhu
n = Valensi ion yang diukur

16
F = Konstanta Faraday 96,496 A.s/g
f1 = Koefisien aktivitas
c1= Konsentrasi ion yang diukur

2.4.2 FES (Flame Emission Spectrofotometry)


Nyala (Flame Emission Spectrofotometry/FES) Spektrofotometer emisi
nyala digunakan untuk pengukuran kadar natrium dan kalium. Penggunaan
spektrofotometer emisi nyala di laboratorium berlangsung tidak lama, selanjutnya
penggunaannya dikombinasi dengan elektrokimia untuk mempertahankan
penggunaan dan keamanan prosedurnya. Prinsip pemeriksaan spektrofotometer
emisi nyala adalah sampel diencerkan dengan cairan pengencer yang berisi litium
atau cesium, kemudian dihisap dan dibakar pada nyala gas propan. Ion natrium,
kalium, litium, atau sesium bila mengalami pemanasan akan memancarkan cahaya
dengan panjang gelombang tertentu (natrium berwarna kuning dengan panjang
gelombang 589nm, kalium berwarna ungu dengan panjang gelombang 768 nm,
litium 671 nm, sesium 825 nm). Pancaran cahaya akibat pemanasan ion
dipisahkan dengan filter dan dibawa ke detektor sinar. FES (Flame Emission
Spectrofotometry) dapat dilhat pada Gambar 3 [6].

Gambar 3. FES (Flame Emission Spectrofotometry)

2.4.3 Spektrofotometer berdasarkan Aktivasi Enzim


Prinsip pemeriksaan kadar natrium dengan metode spektrofotometer yang
berdasarkan aktivasi enzim yaitu aktivasi enzim beta-galaktosidase oleh ion
natrium untuk menghidrolisis substrat o-nitrophenyl-β-D-galaktipyranoside
(ONPG). Jumlah galaktosa dan o-nitrofenol yang terbentuk diukur pada panjang

17
gelombang 420 nm. Prinsip pemeriksaan kalium dengan metode spektrofotometer
adalah ion K+ mengaktivasi enzim tryptophanase[8].

2.4.4 AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry)


Prinsip pemeriksaan dengan spektrofotometer atom serapan adalah teknik
emisi dengan elemen pada sampel mendapat sinar dari hollow cathode dan cahaya
yang ditimbulkan diukur sebagai level energi yang paling rendah. Elemen yang
mendapat sinar dalam bentuk ikatan kimia (atom) dan ditempatkan pada ground
state (atom netral). Metode spektrofotometer atom serapan mempunyai
sensitivitas spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan metode spektrofotometer
nyala emisi. AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) dapat dilihat pada
Gambar 4[6].

Gambar 4. AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry).

18
BAB 3. KESIMPULAN

Gangguan elektrolit merupakan kondisi tubuh saat kadar elektrolit diatas


(hiper-) atau dibawah (hipo-) dari kadar normalnya. Elektrolit dalam tubuh
dibedakan berdasarkan ionnya jika ion positif maka dikatakan sebagai kation dan
jika negatif akan dikatakan sebagai anion. Kation dalam tubuh terdapat 3 jenis
elektrolit diantaranya Na+ , K+ dan Ca 2+ serta anion dalam tubuh terdapat 4 jenis
Cl- , HCO3-, PO4- dan SO4-. Selain itu terdapat 4 mayor elektrolit yaitu natrium,
kaliun, bikarbonat dan klorida. Pada pembahasan kali ini lebih berfokus kepada
natrium dan kalium karena saling berhubungan. Pemeriksaan penunjang dapat
menggunakan ISE (ion selective electrode), FES (flame emission
spectrofotometry), Spektrofotometer berdasarkan Aktivasi Enzim, AAS (Atomic
Absorption Spectrophotometry). Tatalaksana pada hiponatremia dan hipernatremia
yaitu dapat menggunakan NaCl 3%, NaCl 0,9% dan NaCl 0,45% tergantung
kondisi pasien. Tatalaksana pada hipokalemia dan hiperkalemia dapat
menggunakan KCL, KPO4, KHCO3, Ca. Glukonas, albuterol, normal salin, Na
polistiren sulfonat dan furosemid. Tatalaksana untuk mengatasi penyebab dari
gangguan elektrolitnya juga sangatlah penting dalam faktor pengobatan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Aitkenhead, Alan R, et al. 2014 Textbook of Anaethesia. Fifth Edition.


United Kingdom : Churchill Livingstone.

2. Balci, AK. et al. 2013. General Characteristic of Patient with Electrolyte


Imbalance Admitted to Emergency Department. World Journal of Emergency
Medicine.

3. Evers, AS, and Mervyn Maze. 2014. Anesthetic Pharmacology: Physiologic


Principles and Clinical Practice. United Kingdom : Churchill Livingstone.

4. Guyton, A. 2013. Buku ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC.

5. Isselbacher, dkk. 2014. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi


13. Jakarta: EGC

6. John, F. et al. 2013. Clinical Anesthesiology. United States: McGraw-Hill


Education, LLC.

7. Katzung, B.G. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba


Medika.

8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik
Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: Mentri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

9. Nagler, E.V., Vanmassenhove, J., van der Veer, S.N., Nistor, I., Van Biesen.
W., Webster. A.C., and Vanholder. R. 2013. Diagnosis and treatment of
hyponatraemia: a systematic review of clinical practice guidelines.

10. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Stiyohadi, B., Syam, A. F. 2014. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.

11. Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.

12. Spasovski, G. et al. 2014. Clinical Practice Guideline on Diagnosis and


Treatment of Hyponatremia. ERBP: ERA-EDTA.

13. Tanto, C., dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius.

20

Anda mungkin juga menyukai