Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ergonomi
Istilah ergonomi mulai dicetuskan pada tahun 1949, pada saat itu dibentuk
Masyarakat Peneliti Ergonomi (The Ergonomic Research Society) di England. Hal
ini menghasilkan jurnal pertama dalam bidang ergonomi pada november 1957.
The International Ergonomics Association terbentuk pada tahun 1957 dan The
HumanFactors Society di Amerika pada tahun yang sama (Sritomo, 1995).

2.1.1 Pengertian Ergonomi


Pengertian ergonomi dalam buku Sritomo Wignjosoebroto adalah
Ergonomi atau ergonomics sebenarnya berasal dari kata Yunani yaitu Ergo yang
berarti kerja dan Nomos yang berarti hukum. Dengan demikian ergonomi
dimaksudkan sebagai disiplin keilmuan yang mempelajari manusia dalam
kaitannya dengan pekerjaan. Disiplin ergonomi secara khusus akan mempelajari
keterbatasan dari kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan teknologi dan
produk-produk buatannya. Disiplin ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia
memiliki batas-batas kemampuan baik jangka pendek maupun jangka panjang
pada saat berhadapan dengan keadaan lingkungan sistem kerjanya yang berupa
perangkat keras/hard-ware (mesin, peralatan kerja) dan perangkat lunak/soft-ware
(metode kerja, sistem dan prosedur). Dengan demikian terlihat jelas bahwa
ergonomi adalah suatu keilmuan yang multi disiplin, karena disini akan
mempelajari pengetahuan-pengetahuan dari ilmu kehayatan, ilmu kejiwaan
(psychology) dan kemasyarakatan (sosiologi). Penerapan ergonomi ditempat kerja
bertujuan agar pekerja dalam bekerja selalu dalam keadaan sehat, nyaman, aman,
produktif dan sejahtera, sebaliknya apabila belum diterapkan konsep ergonomi
akan mengakibatkan timbulnya keluhan seperti kelelahan otot, penyakit kerja dari
pekerja akibat pekerjaannya (Sritomo,1995).

5
6

Dalam perkembangan selanjutnya, ergonomi dikelompokkan atas empat


bidang penyelidikan, menurut Iftikar Sutalaksana dalam bukunya yaitu:
a. Penyelidikan tentang tampilan ( display ).
Tampilan (display) adalah suatu perangkat antara (interface) yang
menyajikan informasi tentang keadaan lingkungan dan
mengkomunikasikannya pada manusia dalam bentuk tanda-tanda, angka,
lambang dan sebagainya.
b. Penyelidikan tentang kekuatan fisik manusia.
Dalam hal ini diselidiki tentang aktivitas-aktivitas manusia ketika bekerja,
dan kemudian dipelajari cara mengukur aktivitas-aktivitas tersebut.
c. Penyelidikan tentang ukuran tempat kerja.
Penyelidikan ini bertujuan untuk mendapatkan rancangan tempat kerja
yang sesuai dengan ukuran (dimensi) tubuh manusia, agar diperoleh
tempat kerja yang baik, yang sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan
manusia.
d. Penyelidikan tentang lingkungan kerja.
Penyelidikan ini meliputi kondisi lingkungan fisik tempat kerja dan
fasilitas kerja seperti pengaturan cahaya, kebisingan suara, temperatur,
getaran yang dianggap dapat mempengaruhi tingkah laku manusia
(Sutalaksana,1979)
Berkenaan dengan bidang-bidang penyelidikan yang tersebut diatas, maka
terlihat sejumlah disiplin dalam ergonomi, yaitu :
1. Anatomi dan fisiologi, yang mempelajari struktur dan fungsi tubuh
manusia.
2. Antropometri, yaitu ilmu mengenai ukuran/dimensi tubuh manusia.
3. Fisiologi psikologi, yang mempelajari sistem saraf dan otak manusia.
4. Psikologi eksperimen, yang mempelajari tingkah laku manusia.
Mc Cormick dan Sanders mendefinisikan ergonomi dengan menggunakan
pendekatan yang lebih komprehensif.
Pendekatan ini dilakukan melalui tiga hal pokok yaitu; fokus, tujuan dan
ilmu ergonomic.
7

1. Fokus dari ergonomi adalah manusia dan interaksinya dengan produk,


peralatan, fasilitas, prosedur dan lingkungan pekerjaan serta kehidupan
sehari-hari.
2. Tujuan ergonomi adalah meningkatkan efektifitas dan efisiensi pekerjaan,
memperbaiki keamanan, mengurangi kelelahan dan stress, meningkatkan
kenyamanan, penerimaan pengguna yang lebih besar, meningkatkan
kepuasan kerja dan memperbaiki kualitas hidup.
3. Pendekatan yang dilakukan dalam ergonomi adalah aplikasi yang
sistematis dari informasi yang relevan tentang kemampuan, keterbatasan,
karateristik, perilaku dan motivasi manusia terhadap rancangan produk
dan prosedur yang digunakan untuk lingkungan tempat menggunakannya.
Ergonomi sebagai ilmu yang menggali dan mengaplikasikan informasi-
informasi mengenai perilaku, kemampuan, keterbatasan,dan karateristik manusia
lainnya untuk merancang peralatan, mesin, sistem, pekerjaan dan lingkungan
untuk meningkatkan produktivitas, keselamatan, kenyamanan, dan efektivitas
pekerjaan manusia.
Ergonomi suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan
informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk
merancang suatu sistem kerja sehingga orang dapat hidup dan bekerja dalam
sistem itu dengan baik mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan dengan
efektif, aman dan nyaman. Dalam ergonomi salah satu prinsip yang harus selalu
digunakan adalah prinsip fitting the task/ job to man. Hal ini mengandung
pengertian bahwa pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan dan
keterbatasan manusia, sehingga hasil yang dicapai dapat menjadi lebih baik .
Meskipun ergonomi memiliki beberapa definisi, namun dapat disimpulkan
bahwa ergonomi merupakan penerapan multidisplin ilmu yang mempelajari
interaksi antara manusia (terkait dengan kemampuan dan kapasitas manusia),
lingkungan kerja, dan alat kerja agar tercipta kesesuaian diantaranya sehingga
tercapainya produktifitas dan efisiensi yang semaksimal mungkin (Sanders, dkk,
1987).
8

2.1.2 Ruang Lingkup Ergonomi


Ergonomi merupakan panduan beberapa disiplin ilmu antara ilmu anatomi
dan kedokteran, psikologi faal, serta fisika, dan teknik. Ilmu faal dan anatomi
memberikan gambaran mengenai struktur tubuh manusia, kemampuan dan
keterbatasan fisik, dimensi tubuh, kemampuan mengangkat dan ketahanan tubuh.
Sedangkan psikologis mempelajari prilaku tubuh, persepsi, pembelajaran,
mengingat, untuk mengontrol kerja motorik dan lainnya. Ilmu fisika dan teknik
memberikan informasi yang sama tentang mesin dan lingkungan yang kontak
dengan manusia.
International Ergonomics Association (IEA) membagi ruang lingkup
ergonomi menjadi tiga domain spesiali terkait disiplin ilmu yang mendukung
ergonomi:
1. Ergonomi Fisik
Ergonomi fisik berkaitan dengan anatomi manusia, antropometrik,
karakteristik fisiologis dan biomekanik yang berkaitan dengan aktifitas
fisik. Topik yang relevan meliputi postur kerja, penanganan material,
gerakan berulang yang berhubungan dengan pekerjaan gangguan
musculoskeletal, tata letak tempat kerja, keselamatan dan kesehatan.
2. Ergonomi Kognitif
Ergonomi kognitif berkaitan dengan proses seperti persepsi, memori,
penalaran dan respon motorik karena mereka mempengaruhi interaksi
antara manusia dan elemen lain dari sistem. Topik yang relevan meliputi
beban kerja, mental, pengambilan keputusan, kinerja, keterampilan,
interaksi manusia-komputer, kehandalan manusia, stress kerja dan
pelatihan.
3. Ergonomi Organisasi
Ergonomi organisasi berkaitan dengan optimasi sistem sosio-teknikal,
termasuk struktur, organisasi, kebijakan, dan proses. Topik-topik yang
relevan meliputi komunikasi, manajemen sumber daya manusia, desain
kerja, desain waktu kerja, kerja tim, desain partisipatif, ergonomi.
9

masyarakat, kerja kooperatif, paradigma kerja baru, budaya organisasi,


organisasi virtual, telework dan manajemen mutu (Nurmianto, 2004).

Skema ruang lingkup ergonomi dapat di lihat pada Gambar 2.1

Motivating factors Result


Meningkatkan kesejahtraan manusia: a. Meningkatkan kesejahtraan
 Safety manusia
 Kenyamanan b. Meningkatkan efisiensi
Meningkatkan performa kerja: c. Mengurangi cidera
 Produktivitas d. Mengurangi error dan
 Kualitas accident
Mengurangi costs: e. Mengurangi cost
 Cedera f. Inovasi
 Error g. Meningkatkan angka
Memenuhi trend SDM: penjualan
 Beban kerja h. Memperbesar keuntungan
 Pertumbuhan pekerja yang lebih lambat
 Meningkatkan harapan pekerja
Memenuhi regulasi:
 OSHA Application
 ADA a. Tools, furniture, dan tempat
Menjual produk yang lebih baik kerja
b. Proses produksi
c. Display dan control
d. Instruksi kerja
e. Pelabelan
Disiplin ilmu yang terkait f. Komunikasi
a. Engineering g. Peralatan
b. Psikologis h. Produk
c. Medis i. Sistem transportasi
d. Fisiologi j. Olahraga dan rekreasi
e. Anatomi
f. Antropologi
g. Desain industri

Prinsip Ergonomi
Proses dalam Ergonomi  Fisik
1. Evaluasi tugas  Kognitif
2. Menentukan prioritas
3. Keterlibatan
4. Pemecahan masalah
5. Perbaikan yang
berkelanjutan

Sumber:Nurmianto,2004
Gambar 2.1 Skema Ruang Lingkup Ergonomi
Sumber: Nurmianto, 2004

2.1.3 Tujuan Ergonomi


Tujuan dari ergonomi adalah memastikan bahwa kebutuhan manusia untuk
kerja yang aman dan efisien terpenuhi dalam desain sistem kerja Selain itu,
tujuan ergonomi lainnya adalah untuk menyesuaikan pekerjaan dengan manusia
sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi penggunanya (comfort),
10

kesejahteraan (well-being) dan efisiensi (efficiency) dari segi fisik, mental, dan
produksi.
Tujuan tersebut dapat di lihat pada Gambar 2.2.

Comfort

Ergonomic
s

Efficiency
Well-Being a. Physical
b. Mental
c. Production

Gambar 2.2 Tujuan Utama Ergonomi


Sumber:Nurmianto,2004

Sedangkan secara umum, tujuan dari penerapan ergonomi adalah sebagai


berikut:
1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan
cidera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental,
mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.
2. Meningkatkan kesejahtraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak
sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan
meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif
maupun setelah tidak produktif.
3. Meciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek
teknis, ekonomis, antropologis, dan budaya dari setiap sistem kerja yang
dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi
(Nurmianto, 2004).
11

2.1.4 Manfaat Ergonomi


Adapun manfaat dari ergonomi adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan kinerja kerja, seperti menambah kecepatan kerja, ketepatan,
keselamatan kerja, mengurangi energi serta kelelahan yang berlebihan.
b. Mengurangi waktu, biaya pelatihan dan pendidikan.
c. Mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya manusia melalui
peningkatan ketrampilan yang diperlukan.
d. Mengurangi waktu yang terbuang sia-sia dan meminimalkan kerusakan
peralatan yang disebabkan kesalahan manusia.
e. Meningkatkan kenyamanan karyawan dalam bekerja (Nurmianto, 2004).

2.2 Postur Kerja


Pertimbangan-pertimbangan ergonomi yang berkaitan dengan postur kerja
dapat membantu mendapatkan postur kerja yang nyaman bagi pekerja, baik itu
postur kerja berdiri, duduk, angkat maupun angkut. Beberapa jenis pekerjaan akan
memerlukan postur kerja tertentu yang kadang tidak menyenangkan. Kondisi
kerja seperti ini memaksa pekerja selalu berada pada postur kerja yang tidak alami
dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini akan mengakibatkan
pekerja cepat lelah, adanya keluhan sakit pada bagian tubuh, cacat produk bahkan
cacat tubuh
Untuk menghindari postur kerja yang demikian, pertimbangan-
pertimbangan yang ergonomis antara lain menyarankan hal-hal sebagai berikut:
a. Mengurangi keharusan pekerja untuk bekerja dengan postur kerja
membungkuk dengan frekuensi kegiatan yang sering atau dalam jangka
waktu yang lama. Untuk mengatasi hal ini maka stasiun kerja harus
dirancang terutama sekali dengan memperhatikan fasilitas kerja seperti
kursi, meja, dan lain-lain yang sesuai dengan data anthropometri agar
pekerja dapat menjaga postur kerjanya tetap tegak dan normal. Ketentuan
ini terutama sekali ditekankan bilamana pekerjaan harus dilaksanakan
dengan postur berdiri.
12

b. Pekerja tidak seharusnya menggunakan jarak jangkauan maksimum.


Pengaturan postur kerja dalam hal ini dilakukan dalam jarak jangkauan
normal. Disamping itu pengaturan ini bisa memberikan postur kerja yang
nyaman. Untuk hal-hal tertentu pekerja harus mampu dan cukup leluasa
mengatur tubuhnya agar memperoleh postur kerja yang lebih leluasa
dalam bergerak.
c. Pekerja tidak seharusnya duduk atau berdiri pada saat bekerja untuk waktu
yang lama, dengan kepala, leher, dada atau kaki berada dalam postur kerja
miring.
d. Operator tidak seharusnya dipaksa bekerja dalam frekuensi atau periode
waktu yang lama dengan tangan atau lengan berada dalam posisi diatas
level siku yang normal.
Postur duduk memerlukan lebih sedikit energi daripada berdiri, karena
dalam hal ini dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Seorang
operator yang bekerja dalam postur duduk memerlukan sedikit istirahat dan secara
potensial lebih produktif. Sedangkan postur berdiri merupakan sikap siaga baik
fisik maupun mental, sehingga aktifitas kerja yang dilakukan lebih cepat, kuat dan
teliti. Berdiri lebih melelahkan daripada duduk dan energi yang dikeluarkan lebih
banyak 10-15% dibandingkan duduk.
Beberapa masalah berkenaan dengan postur kerja yang sering terjadi
sebagai berikut:
a. Hindari kepala dan leher yang mendongak
b. Hindari tungkai yang menaik
c. Hindari tungkai kaki pada posisi terangkat
d. Hindari postur memutar atau asimetris
e. Sediakan sandaran bangku yang cukup disetiap bangku
Kerja seseorang dihasilkan dari tugas pekerjaan, rancangan tempat kerja
dan karakteristik individu seperti ukuran dan bentuk tubuh. Pertimbangan untuk
semua komponen di butuhkan analisis postur dan perancangan tempat kerja
(Mas’idah, 2011)
13

2.3 Musculoskeletal Disorders (MSDs)


Musculoseletal Disorders (MSDs) juga dapat disebut sebagai
Cummulative Trauma Disorders (CTD), Repetitive Strain Injury (RSI),
Occupational Cervicobrachial Disorders (OCD), Overuse Syndrome, Work-
Related Disorders, Repetitive Trauma Disorders, Regional Musculoskeletal
Disorders, Work-Related Musculoskeletal Disorders dan Upper-Extrimity
Musculoskeletal Disorders (UEMSD) (Tarwaka, 2004)

2.3.1 Pengertian Musculoskeletal Disorders (MSDs)


Muskuloskeletal disorder adalah gangguan pada bagian otot skeletal yang
disebabkan oleh karena otot menerima beban statis secara berulang dan terus
menerus dalam jangka waktu yang lama dan akan menyebabkan keluhan berupa
kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Secara garis besar keluhan otot dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat
otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera
hilang apabila pembebanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (persintent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.
Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot
masih terus berlanjut.
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot
skeletal, yaitu:.
1. Peregangan Otot yang Berlebihan
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh
pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar
seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban
yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan
tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal
serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya
keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.
14

2. Aktivitas Berulang
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus
seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkut,
dsb.Keluhan otot terjadi karena menerima tekananan akibat beban kerja
secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
3. Sikap Kerja Tidak Alamiah
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi
bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya
pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala
terangkat. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh,
maka semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap
kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas,
alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan
keterbatasan pekerja.

Muskuloskeletal disorder mempengaruhi semua kelompok usia dan sering


menyebabkan cacat, gangguan dan merugikan, terdiri dari berbagai penyakit yang
berbeda yang menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan pada tulang, sendi,
otot, atau struktur di sekitarnya dan mereka dapat akut atau kronis ,fokal, atau
meluas (Tarwaka, 2004)

2.3.2 Faktor Resiko Musculoskeletal Disorders (MSDs)


Musculoskeletal Disorders (MSDs) biasanya dihasilkan dari berbagai
paparan faktor risiko yang dapat menyebabkan atau memperburuk gangguan,
bukan diakibatkan dari suatu peristiwa seperti jatuh, tabrakan, dan lain-lain.
Penyebab Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah dari beberapa faktor. Faktor-
faktor yang dapat menyebabkan musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah
sebagai berikut:
a. Faktor individu
Faktor individu dalam penelitian ini dapat dilihat berdasarkan faktor-faktor
berikut ini:
15

1. Umur
Pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun
sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat. Penelitian Betti’e et
al (1989) mengenai kekuatan static otot untuk pria dan wanita dengan
usia antara 20 sampai diatas 60 tahun dengan memfokuskan penelitian
pada otot lengan, punggung, dan kaki. Hasil penelitian menunjukkan
kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-29 tahun,
selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan pertambahan umur.
Kelompok umur dengan angka tertinggi terhadap sakit punggung dan
ketegangan otot adalah umur 20-24 tahun untuk laki-laki, dan 30-34
tahun untuk perempuan. Sehingga dari berbagai penelitian sebelumnya,
umur mempunyai hubungan yang kuat dengan keluhan otot.
2. Jenis kelamin
Secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari
pada pria kekuatan otot wanita hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan
otot pria sehingga daya tahan otot pria pun lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita. Kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60% dari
kekuatan laki-laki.
3. Masa kerja
Masa kerja merupakan faktor risiko yang sangat mempengaruhi seorang
pekerja untuk meningkatkan risiko terjadinya MSDs, terutama untuk
jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja yang tinggi. Masa
kerja mempunyai hubungan yang kuat dengan keluhan otot.
4. Kebiasaan merokok
Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi
pula tingkat keluhan otot, terdapat hubungan yang signifikan dengan
keluhan pada pinggang. Hal ini terkait dengan kondisi kesegaran tubuh
seseorang. Kebiasaan merokok dapat menurunkan kapasitas paru-paru
sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan
sebagai akibatnya, tingkat kebugaran tubuh menurun. Apabila
seseorang bekerja dengan tugas yang menuntut pergerakan tenaga maka
16

akan menyebabkan cepat lelah dikarenakan kandungan oksigen dalam


darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi penumpukkan
asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot dan apabila tidak
diantisipasi maka akan menimbulkan efek yang berkepanjangan bagi
pekerja (Anthony, 2013).

b. Faktor Pekerjaan.
Faktor resiko utama terjadinya MSDs terdiri dari postur, beban (force),
gerakan berulang (repetition) dan durasi.
1. Postur
Postur merupakan orientasi relatif bagian tubuh manusia di dalam
ruang. Postur manusia dalam melakukan pekerjaan ditentukan oleh
hubungan antara dimensi tubuh dan dimensi tempat kerja. Jika terdapat
ketidakselarasan antara kedua dimensi tersebut, maka akan timbul
dampak jangka panjang dan jangka pendek bagi tubuh manusia.
Karakteristik pekerja yang mempengaruhi postur kerja antara lain usia,
antropometri, berat badan, adanya gangguan musculoskeletal dan
obsitas . Secara umum, postur kerja yang bervariasi lebih baik jika
dibandingkan dengan postur kerja yang statis. Namun, jika kondisi
kerja mengharuskan untuk bekerja dengan postur yang statis, efek yang
akan timbul akan meningkat seiring dengan tingkatan posisi statis yang
dibutuhkan untuk menjaga posisi tubuh.
2. Beban (force)
Pembebanan fisik pada pekerjaan dapat mempengaruhi terjadinya
keterkaitan pada otot rangka tubuh. Pembebanan fisik yang dibenarkan
adalah pembebanan yang tidak melebihi 30-40% dari kemampuan kerja
maksimum tenaga kerja dalam 8 jam sehari dengan memperhatikan
peraturan kerja yang berlaku. Semakin berat beban maka semakin
singkat waktu pekerjaan. Beban dapat di artikan sebagai beban muatan
(berat) dan kekuatan pada struktur tubuh. Satuan beban di nyatakan
dalam newton atau pounds, dinyatakan sebagai sebuah proporsi dari
17

kapasitas kekuatan individu. Batas beban maksimal yang boleh


diangkat sesuai dengan rekomendasi adalah seberat 23 kg. Dalam
berbagai penelitian di buktikan cidera berhubungan dengan tekanan
pada tulang akibat membawa beban. Semakin berat benda yang dibawa
maka akan semakin besar tenaga yang menekan otot untuk memastikan
tulang belakang dan menghasilkan tekanan yang lebih besar pada
bagian tulang belakang.
3. Gerakan Repetitif.
Repetition Task atau pekerjaan yang berulang dengan durasi singkat
memiliki risiko yang lebih besar di bandingkan dengan pekerjaan
lainnya. Jika pekerjaan yang berulang dilakukan selama beberapa bulan
atau beberapa tahun, risiko untuk terjadinya MSDs akan semakin
meningkat dan semakin berbahaya
4. Durasi
Durasi kerja merupakan lama waktu bekerja yang di habiskan pekerja
dengan postur tidak ergonomis, membawa atau mendorong beban atau
melakukan pekerjaan repetitif tanpa istirahat. Bisa juga melakukan
pekerjaan dengan postur statis dalam waktu yang lama melibatkan lebih
dari satu anggota tubuh (Anthony, 2013).

2.4 Nordic Body Map (NBM)


Nordic Body Map adalah sistem pengukuran keluhan sakit pada tubuh
yang dikenal dengan Muskuloskeletal. Sebuah System Musculoskeletal (sistem
gerak) adalah sistem organ yang memberikan manusia kemampuan untuk
bergerak menggunakan sistem otot dan rangka. System musculoskeletal
menyediakan bentuk, dukungan, stabilitas, dan gerakan tubuh (Muhammad, 2014)
Salah satu metode yang sering digunakan untuk mengukur kenyamanan
terutama yang berhubungan dengan gangguan-gangguan muskuloskeletal adalah
Nordic Body Map. Melalui Nordic Body Map dapat diketahui bagian-bagian otot
yang mengalami kelelahan dengan menilai tingkat kelelahan dan rasa tidak
nyaman (agak sakit), sampai sangat sakit.
18

Kuesioner ini menggunakan gambar tubuh manusia yang sudah dibagi


menjadi 9 bagian utama, yaitu:
a) Leher
b) Bahu
c) Punggung bagian atas
d) Siku
e) Punggung bagian bawah
f) Pergelangan tangan/tangan
g) Pinggang/pantat
h) Lutut
i) Tumit/kaki

Gambar 2.3 Nordic Body Map


19

Presentase skor ketidaknyamanan yang dialami setiap bagian tubuh dapat


dihitung dengan rumus:

ketidaknyamanan
ketidaknyamanan  x100% ...........................................(2.1)
 ketidaknyamanan

2.5 Rapid Entire Body Assesment (REBA)


Rapid Entire Body Assesment (REBA) dikembangkan oleh Dr. Sue Hignett
dan Dr. Lynn Mc Atamney yang merupakan ergonomi dari universitas di
Nottingham (University of Nottinghan’s Institute of Occupational Ergonomics).
Pertama kali dijelaskan dalam bentuk jurnal aplikasi ergonomic pada tahun 2002
(Sue Higneet and Lynn McAtamney, 2000)
REBA adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam bidang
ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai postur kerja atau postur
leher, punggung, lengan, pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain itu
metode ini juga dipengaruhi oleh faktor coupling, beban eksternal yang ditopang
oleh tubuh serta aktivitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak
membutuhkan waktu lama untuk melengkapi dan melakukan scoring general
pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko
yang diakibatkan postur kerja operator.
Teknologi ergonomi tersebut mengevaluasi postur, kekuatan, aktivitas dan
faktor coupling yang menimbulkan cidera akibat aktivitas yang berulang-ulang.
Penilaian postur kerja dengan metode ini dengan cara pemberian skor resiko
antara satu sampai lima belas, yang mana skor yang tertinggi menandakan level
yang mengakibatkan resiko yang besar (bahaya) untuk dilakukan dalam bekerja.
Hal ini berarti bahwa skor terendah akan menjamin pekerjaan yang diteliti bebas
dari ergonomic hazard. REBA dikembangkan untuk mendeteksi postur kerja yang
beresiko dan melakukan perbaikan sesegera mungkin. Pemeriksaan REBA dapat
dilakukan ditempat yang terbatas tanpa mengganggu pekerja (Sue Higneet and
Lynn McAtamney, 2000)
Penilaian menggunakan metode REBA yang telah dilakukan oleh Dr. Sue
Hignett dan Dr. Lynn Mc Atamney melalui empat tahap sebagai berikut:
20

Tahap 1: pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan


video atau foto. Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher,
punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci dilakukan
dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini dilakukan supaya
peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail (valid), sehingga dari hasil
rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data akurat untuk tahap perhitungan serta
analisis selanjutnya.
Tahap 2: penentuan sudut-sudut dari bagian tubuh pekerja. Setelah
didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan
perhitungan besar sudut masing-masing segmen tubuh yang meliputi punggung
(batang tubuh), leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki.

2.6 Penilaian Postur Tubuh


Adapun penilaian postur tubuh pada metode REBA segmen-segmen tubuh
tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi
punggung (batang tubuh), leher dan kaki. Sementara grup B meliputi lengan atas,
lengan bawah dan pergelangan tangan.
Dari data sudut segmen tubuh pada masing-masing grup dapat diketahui
skornya, kemudian dengan skor tersebut digunakan untuk melihat tabel A untuk
grup A dan tabel B untuk grup B agar diperoleh skor untuk masing-masing tabel.

Tabel 2.1 Skor Pergerakan Punggung (Batang Tubuh)


Pergerakan Skor Skor Perubahan

Posisi normal (tegak lurus) 1

0-20º (ke depan maupun belakang) 2 +1 jika batang tubuh


berputar/bengkok
<-20 atau 20-60º 3 /bungkuk

>60º 4
Sumber: Mc Atamney, 2000
21

Pada tabel 2.1 diatas pergerakan punggung ditunjukkan pada gambar 2.4
berikut:

Gambar 2.4 Range Pergerakan Punggung


Sumber: Mc Atamney, 2000

Skor pergerakan leher dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut:


Tabel 2.2 Skor Pergerakan Leher
Pergerakan Skor Skor Perubahan

0-20o 1
+1 jika leher berputar/bengkok
>20 – ekstensi
o 2
Sumber: Mc Atamney, 2000

Pada tabel 2.2 diatas, pergerakan leher dapat dilihat pada gambar 2.5
berikut:
22

Gambar 2.5 Range Pergerakan Leher


Sumber: Mc Atamney, 2000

Skor postur kaki dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut:


Tabel 2.3 Skor Postur Kaki
Pergerakan Skor Perubahan skor

Posisi normal 1
+1 jika lutut antara 30-60º
Bertumpu pada satu kaki lurus 2 +2 jika lutut >60º

Sumber: Mc Atamney, 2000

Pada tabel 2.3 diatas, postur kaki dapat dilihat pada gambar 2.6 berikut:

Gambar 2.6 Range Pergerakan Kaki


Sumber: Mc Atamney, 2000
23

Skor pergelangan lengan atas dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut:

Tabel 2.4 Skor Pergerakan Lengan Atas


Pergerakan Skor Skor perubahan

20° (ke depan maupun ke belakang) 1


+1 jika bahu naik
>20° (ke belakang) atau 20-45° 2 +1 jika lengan berputar/bengkok

45-90° 3 -1 miring, menyangga berat dari


lengan
>90° 4

Sumber: Mc Atamney, 2000

Pada tabel 2.4 diatas, pergerakan lengan atas dapat ditunjukkan pada
gambar 2.7 berikut ini:

Gambar 2.7 Range Pergerakan Lengan Atas


Sumber: Mc Atamney, 2000

Skor pergerakan lengan bawah dapat ditunjukkan seperti pada tabel 2.5 di
bawah ini:

Tabel 2.5 Skor Pergerakan Lengan Bawah


Pergerakan Skor
60-100° 1
<60° atau >100° 2
Sumber: Mc Atamney, 2000
24

Pada tabel 2.5 diatas pergerakan lengan bawah dapat ditunjukkan pada gambar
2.8 berikut ini

Gambar 2.8 Range Pergerakan Lengan Bawah


Sumber: Mc Atamney

Skor pergelangan tangan dapat ditunjukkan seperti pada tabel 2.6 dibawah
ini:

Tabel 2.6 Skor Pergelangan Tangan


Pergerakan Skor Perubahan skor
0-15º (ke atas maupun ke bawah) 1 +1 jika pergelangan
tangan putaran
>15º (ke atas maupun ke bawah) 2
menjauhi sisi tengah
Sumber: Mc Atamney, 2000

Pada tabel 2.6 di atas, pergelangan tangan dapat ditunjukkan pada gambar
2.9 berikut ini:

Sumber: Mc Atamney, 2000


Gambar 2.8 Range pergerakan pergelangan tangan

Gambar 2.9 Range Pergerakan Pergelangan Tangan


Sumber: Mc Atamney 2000
25

2.6.1 Penilaian Postur Grup A


Grup A meliputi punggung (batang tubuh), leher dan kaki. Hasil penilaian
dari pergerakan punggung (batang tubuh), leher dan kaki kemudian digunakan
untuk menentukan skor A dengan menggunakan tabel 2.7 dibawah ini.

Tabel 2.7 Tabel A


Trunk

1 2 3 4 5
Neck = 1 Legs
1 2 2 2 3 4
2 2 3 4 5 6
3 3 4 5 6 7
4 4 5 6 7 8
Neck = 2 Legs
1 2 3 5 5 6
2 2 4 6 6 7
3 3 5 7 7 8
4 4 6 8 8 9
Neck = 3 Legs
1 2 4 5 6 7
2 2 5 6 7 8
3 3 6 7 8 9
4 4 7 8 9 9
Sumber: Mc Atamney, 2000
26

2.6.2 Penilaian Postur Grup B


Sementara grup B meliputi lengan atas, lengan bawah dan pergelangan
tangan. Hasil penilaian dari pergerakan lengan atas, lengan bawah dan
pergelangan tangan kemudian digunakan untuk menentukan skor B dengan
menggunakan tabel 2.8 di bawah ini.

Tabel 2.8 Tabel B


Upper Arm
1 2 3 4 5 6
Lower Arm =1 Wrist

1 1 1 3 4 6 7
2 2 2 4 5 7 8
3 2 3 5 5 8 8
Lower Arm =2 Wrist
1 1 2 4 5 7 8
2 2 3 5 6 8 9
3 3 4 5 7 8 9
Sumber: Mc Atamney, 2000

Hasil skor yang diperoleh dari tabel A dan tabel B digunakan untuk
melihat tabel C sehingga didapatkan skor dari tabel C.

Tabel 2.9 Tabel C


Skor A
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 1 2 2 3 4 6 7 8 9 10 11 12

2 1 2 3 4 4 6 7 8 9 10 11 12

3 1 2 3 4 4 6 7 8 9 10 11 12
Skor
B 4 2 3 3 4 5 7 8 8 10 11 11 12

5 3 4 4 5 6 8 9 9 10 11 12 12

6 3 4 5 6 7 8 9 10 10 11 12 12

7 4 5 6 7 8 9 9 10 11 11 12 12
27

Tabel 2.9 Lanjutan


8 5 5 7 8 8 9 10 10 11 12 12 12

9 6 6 7 8 9 10 10 10 11 12 12 12
Skor
B 10 7 7 8 9 9 10 12 11 12 12 12 12

11 7 7 8 9 9 10 12 11 12 12 12 12

12 7 8 8 9 9 10 12 11 12 12 12 12
Sumber: Mc Atamney, 2000

Tahap 3: penentuan berat benda yang diangkat, coupling dan aktivitas


pekerja. Selain scoring pada masing-masing segmen tubuh, faktor lain yang perlu
disertakan adalah berat beban yang diangkat, coupling dan aktivitas pekerjanya.
Masing-masing faktor tersebut juga mempunyai kategori skor.
Besarnya skor berat beban yang diangkat dapat ditunjukkan pada tabel
2.10 berikut ini:

Tabel 2.10 Load atau Force

Pergerakan Skor Skor Perubahan

<5 kg 0

5-10 kg 1 +1 jika kekuatan


cepat
>10 kg 2

Sumber: Mc Atamney, 2000


28

Besarnya skor coupling dapat ditunjukkan seperti pada tabel 2.11 dibawah
ini:

Tabel 2.11 Coupling


Keterangan
Coupling Skor
Kekuatan pegangan baik
Baik 0
Pegangan bagus tetapi tidak ideal atau kopling
Sedang 1
cocok dengan bagian tubuh
Kurang baik 2 Pegangan tangan tidak sesuai walaupun mungkin
Kaku, pegangan tidak nyaman, tidak ada
Tidak dapat
3 pegangan atau kopling tidak sesuai dengan
diterima
bagian tubuh
Sumber: Mc Atamney, 2000

Sementara itu besarnya skor activity dapat ditunjukkan seperti pada tabel
2.12 dibawah ini:

Tabel 2.12 Activity

Aktivitas Skor Keterangan


1 atau lebih bagian tubuh statis/diam, cth:
Postur statis +1
memegang lebih dari 1 menit
Tindakan berulang-ulang, cth: mengulangi >4 kali
Pengulangan +1
per menit (tidak termasuk berjalan)
Tindakan menyebabkan jarak yang besar dan cepat
Ketidakstabilan +1
pada postur (tidak stabil)
Sumber: Mc Atamney, 2000

Tahap 4: perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan. Setelah


didapatkan skor dari tabel A kemudian dijumlahkan dengan skor untuk berat
beban yang diangkat sehingga didapatkan nilai bagian A. Sementara skor dari
tabel B dijumlahkan dengan skor dari coupling sehingga didapatkan nilai bagian
B. Nilai bagian A dan bagian B dapat digunakan untuk mencari nilai bagian C
dari tabel C yang ada.
Nilai REBA didapatkan dari hasil penjumlahan nilai bagian C dengan nilai
aktivitas pekerja. Nilai REBA tersebut dapat diketahui level resiko pada
29

musculoskeletal dan tindakan yang perlu dilakukan untuk mengurangi resiko serta
perbaikan kerja.
Lebih jelasnya, alur cara kerja dengan menggunakan metode REBA dapat
dilihat pada gambar 2.10 dibawah ini:

Gambar 2.10 Langkah-langkah


Sumber: Mc Atamney,
perhitungan
2000
metode REBA
Sumber: Mc Atamney, 2000

Level resiko yang terjadi dapat diketahui berdasarkan nilai REBA. Level
resiko dan tindakan yang harus dilakukan dapat dilihat pada tabel 2.13 berikut:

Tabel 2.13 Level resiko dan tindakan


Action Level Skor REBA Level Resiko Tindakan perbaikan

0 1 Bisa diabaikan Tidak perlu


1 2-3 Rendah Mungkin perlu
2 4-7 Sedang Perlu
3 8-10 Tinggi Perlu segera
4 11-15 Sangat tinggi Perlu saat ini juga
Sumber: Mc Atamney, 2000
30

Berdasarkan tabel 2.13 yang merupakan tabel level resiko dan tindakan
dapat diketahui berdasarkan nilai REBA yang telah diperoleh sebelumnya,
sehingga diketahui level resiko yang terjadi apakah perlu atau tidaknya tindakan
dilakukan untuk perbaikan. Perbaikan kerja yang mungkin dilakukan antara lain
berupa perancangan alat bantu kerja berdasarkan prinsip-prinsip ergonomi.

2.7 Antropometri
Antropometri berasal dari kata antropo (manusia) dan metri (ukuran).
Antropometri yaitu studi yang berkaitan dengan pengukuran tubuh manusia yang
akan digunakan sebagai pertimbangan ergonomis dalam memerlukan intraksi
manusia.
Antropometri adalah satu kumpulan data numerik yang berhubungan
dengan karakteristik fisik tubuh manusia, ukuran, bentuk dan kekuatan serta
penerapan dari data tersebut untuk penanganan masalah desain.
Anthropometri secara lebih luas digunakan sebagai pertimbangan
ergonomis dalam proses perencanaan produk maupun sistem kerja yang
memerlukan interaksi manusia. Data antropometri yang berhasil diperoleh akan
diaplikasikan secara lebih luas antara lain dalam hal perancangan areal kerja
(work station), perancangan alat kerja seperti mesin, equipment, perkakas (tools),
perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi, meja, dan
perancangan lingkungan fisik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data
anthropometri akan menentukan bentuk, ukuran, dan dimensi yang tepat berkaitan
dengan produk yang akan dirancang sesuai dengan manusia yang akan
mengoperasikan atau menggunakan produk tersebut (Sutalaksana, 2006)
Ukuran yang digunakan yaitu standar rata-rata/kurva normal
Data antropometri diaplikasikan secara luas antara lain dalam perancangan area
kerja, perancangan peralatan kerja, perancangan produk konsumtif, dan
perancangan lingkungan kerja fisik. Perancangan suatu produk harus
memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran tubuh manusia yaitu
umur, jenis kelamin, suku/bangsa, posisi tubuh.
31

Kini, antropometri berperan penting dalam bidang perancangan industri,


perancangan pakaian, ergonomik, dan arsitektur. Dalam bidang-bidang tersebut,
data statistik tentang distribusi dimensi tubuh dari suatu populasi diperlukan untuk
menghasilkan produk yang optimal. Perubahan dalam gaya kehidupan sehari-hari,
nutrisi, dan komposisi etnis dari masyarakat dapat membuat perubahan dalam
distribusi ukuran tubuh (misalnya dalam bentuk epidemik kegemukan), dan
membuat perlunya penyesuaian berkala dari koleksi data antropometri. Standar
cara pengukuran posisi tubuh:
1. Pengukuran dimensi struktur tubuh (pengukuran dalam dalam berbagai
posisi standar dan tidak bergerak seperti berat, tinggi saat duduk/berdiri,
ukuran kepala, tinggi, panjang lutut saat berdiri/duduk, panjang lengan dan
lain-lain).
2. Pengukuran dimensi fungsional tubuh (pengukuran saat melakukan
gerakan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan yang harus dilakukan
atau dengan kata lain pengukuran dilakukan saat tubuh melakukan gerakan
kerja dalam posisi dinamis dan banyak diaplikasikan pada proses
perancangan fasilitas/ruang kerja)
Secara umum Anthropometri dibagi menjadi dua kelompok sebagai
berikut:
1. Antropometri Statis
Antropometri statis merupakan ukuran tubuh dan karakteristik tubuh
dalam keadaan diam (statis) untuk posisi yang telah ditentukan atau
standar. Contoh: Tinggi Badan, Lebar bahu
2. Antropometri Dinamis
Antropometri dinamis adalah ukuran tubuh atau karakteristik tubuh dalam
keadaan bergerak, atau memperhatikan gerakan-gerakan yang mungkin
terjadi saat pekerja tersebut melaksanakan kegiatan. Contoh: Putaran sudut
tangan, sudut putaran pergelangan kaki (Sutalaksana, 2006)
Dalam antropometri dinamis, dimensi tubuh diukur dalam berbagai posisi
tubuh yang sedang bergerak. Untuk mengukur antropometri dinamis, terdapat tiga
kelas pengukuran, yaitu:
32

1. Pengukuran tingkat keterampilan sebagai pendekatan untuk mengerti


kedaaan mekanis dari suatu aktivitas, contohnya mempelajari performansi
seseorang.
2. Pengukuran jangkauan ruang yang dibutuhkan saat bekerja dan,
3. Pengukuran variabilitas kerja.
Perancangan suatu pekerjaan ataupun produk hendaknya memperhatikan
prinsip-prinsip perancangan yang ada, yaitu:
1. Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran yang ekstrim.
Disini rancangan produk dibuat agar bisa memenuhi 2 (dua) sasaran
produksi, yaitu:
a. Bisa sesuai ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi ekstrim
dalam arti terlalu besar atau kecil bila dibandingkan dengan rata-
ratanya.
b. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain
(mayoritas dari populasi yang ada).
Untuk memenuhi sasaran pokok tersebut maka ukuran yang diaplikasikan
ditetapkan dengan cara :
a. Untuk dimensi minimum yang harus ditetapkan dari suatu rancangan
produk umumnya didasarkan pada nilai persentil terbesar seperti 90th,
95th atau 99 persentil.
b. Untuk dimensi maksimum yang harus ditetapkan diambil berdasarkan
nilai persentil yang paling rendah (1st, 5th, 10th persentil) dari
distribusi data antropometri yang ada. Secara umum aplikasi data
antropometri untuk perancangan produk ataupunfasilitas kerja akan
menetapkan nilai 5th persentil untuk dimensi maksimum dan 95th
persentil untuk dimensi minimumnya.
2. Prinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata.
Problem pokok yang dihadapi dalam hal ini justru sedikit sekali mereka
yang berbeda dalam ukuran rata-rata. Berdasarkan dengan aplikasi data
antropometri yang diperlukan dalam proses perancangan produk atau pun
33

fasilitas kerja, maka ada beberapa langkah-langkah yang perlu


diperhatikan yaitu :
a. Anggota tubuh mana yang nantinya akan difungsikan untuk
mengoperasikan rancangan tersebut.
b. Menentukan dimensi tubuh yang penting dalam proses perancangan
tersebut.
c. Menetapkan prinsip ukuran yang harus diikuti semisal apakah
rancangan tersebut untuk ukuran individual yang ekstrim, rentang
ukuran yang fleksibel (adjustable) atau ukuran rata-rata.
d. Pilih persentase populasi yang diikuti ;90th, 95th, 99th ataukah nilai
persentil yang lain yang dikehendaki.
e. Untuk setiap dimensi tubuh yang telah diidentifikasi selanjutnya
tetapkan nilai ukurannya dari tabel data antropometri yang sesuai.
Aplikasikan data tersebut dan tambahkan faktor kelonggaran
(allowance) bila diperlukan.
3. Prinsip perancangan produk yang bisa disesuaikan.
Beberapa bagian tertentu dari peralatan atau fasilitas dapat dirancang
sehingga alat dapat disesuaikan dengan individu pemakainya. Biasanya
mencakup persentil 5 wanita sampai persentil 95 pria dari karakteristik
yang relevan (Sutalaksana, 2006)
Permasalahan variasi dimensi antropometri seringkali menjadi faktor
dalam menghasilkan rancangan sistem kerja yang “fit” untuk pengguna. Dimensi
tubuh manusia itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang harus menjadi
salah satu pertimbangan dalam menentukan sampel data yang akan diambil.
Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Umur
Ukuran tubuh manusia akan berkembang dari saat lahir sampai sekitar 20
tahun untuk pria dan 17 tahun untuk wanita. Ada kecenderungan
berkurang setelah 60 tahun.
34

2. Jenis kelamin
Pria pada umumnya memiliki dimensi tubuh yang lebih besar kecuali
bagian dada dan pinggul.
3. Rumpun dan suku bangsa
4. Sosio ekonomi dan konsumsi gizi yang diperoleh.
5. Pekerjaan, aktivitas sehari-hari juga berpengaruh
6. Kondisi waktu pengukuran
Terdapat dua pilihan dalam merancang sistem kerja berdasarkan data
antropometri, yaitu:
 Sesuai dengan tubuh pekerja yang bersangkutan (perancangan individual),
yang terbaik secara ergonomi.
 Sesuai dengan populasi pemakai/pekerja.

2.7.1 Persentil
Konsep persentil dalam perancangan adalah penggunaan data-data ke 0,05;
0,5; atau 0,95 dari sebaran data antropometri yang telah diurutkan, yang ditujukan
untuk memberi aspek keamanan dan kenyamanan bagi manusia di dalam alat atau
sistem kerja yang dirancang. Persentil pada dasarnya menyatakan persentase
manusia dalam suatu populasi yang memiliki dimensi tubuh yang sama atau lebih
kecil dari nilai tersebut. Misalnya persentil pertama ukuran tinggi tubuh,
menunjukkan bahwa 99 persen dari populasi yang diukur memiliki tinggi tubuh
melebihi angka tersebut.
Untuk penetapan data antropometri ini pemakaian distribusi normal dapat
diformulasikan berdasarkan harga rata-rata (mean X ) dan simpangan baku
(standard deviation,  x ) dari data pengukuran. Dari nilai yang ada tersebut maka
persentil dapat ditetapkan sesuai dengan tabel dan gambar distribusi normal.
Maksud dari persentil adalah suatu nilai yang menunjukkan persentasi tertentu
dari orang yang memiliki ukuran pada atau di bawah nilai tersebut. Dengan kata
lain berada dalam wilayah penerimaan (Sutalaksana, 2006)
35

Persentil data Anthropometri dapat dihitung dengan pola distribusi normal,


ditandai dengan nilai mean, (rata-rata), dan SD (standart deviasi) .

𝑁(𝑋̅, 𝜎𝑋)

95%

2,5% 2,5%

X X
𝑋̅ − 1,96𝜎𝑥 𝑋̅ + 1,96𝜎𝑥

P=2,5% 𝑋̅ P=97,5%

Gambar 2.11 Kurva Distribusi Normal


Nilai persentil ditentukan dari persamaan:
𝑝𝑖 = 𝑋̅ + 𝑘𝑖 . 𝑠………………………………………………………………….(2.2)
Dimana :
𝑝𝑖 = Nilai persentil yang dihitung
X = Nilai rata-rata (mean)
s = Standart Deviasi
𝑘 𝑖 = Faktor pengali untuk persentil yang diinginkan.

Tabel 2.14 Persentil Dan Perhitungan Dalam Distribusi Normal


Persentil Perhitungan
1-st X - 2.325
2.5-th X - 1.96
5-th X - 1.645
10-th X - 1.28
50-th X
90-th X + 1.28
95-th X + 1.645
97.5-th X + 1.96
99-th X + 2.325
Sumber: Sutalaksana & Ruhana Anggawisastra, 2006
36

Perhitungan persentil dapat dilakukan dengan menggunakan 5-th ukuran =


X - S x dan 95-th ukuran = X + S x, dimana harga x pada 5-th dan 95-th adalah
1,645.
Tahapan perancangan sistem kerja menyangkut work space design dengan
memperhatikan faktor antropometri secara umum adalah sebagai berikut:
1. Menentukan kebutuhan perancangan dan kebutuhannya (establish
requirement).
2. Mendefinisikan dan mendiskripsikan populasi pemakai.
3. Pemilihan sampel yang akan diambil datanya.
4. Penentuan kebutuhan data (dimensi tubuh yang akan diambil).
5. Penentuan sumber data (dimensi tubuh yang akan diambil) dan pemilihan
persentil yang akan dipakai.
6. Penyiapan alat ukur yang akan dipakai.
7. Pengambilan data.
8. Pengolahan data.
 Uji kenormalan data
 Uji keseragaman data
 Uji kecukupan data
 Perhitungan persentil data (persentil kecil, rata-rata dan besar)
9. Visualisasi rancangan dengan memperhatikan:
 Posisi tubuh secara normal
 Kelonggaran (pakaian dan ruang)
 Variasi gerak
10. Analisis hasil rancangan
Adapun tiga prinsip dalam penggunaan data antropometri adalah sebagai
berikut:
1. Perancangan fasilitas berdasarkan individu yang ekstrim
Prinsip ini digunakan agar fasilitas yang akan dirancang tersebut dapat
dipakai dengan enak dan nyaman oleh sebagian besar orang yang akan
memakainya.
37

2. Perancangan fasilitas yang bisa disesuaikan


Prinsip ini digunakan agar fasilitas yang akan dirancang bisa dipakai
dengan enak dan nyaman oleh semua orang yang mungkin
memerlukannya dan menggunakannya.
3. Perancangan fasilitas berdasarkan harga rata-rata
Prinsip ini hanya digunakan apabila perancangan tidak mungkin
dilaksanakan berdasarkan harga ekstrim dan tidak layak jika menggunakan
prinsip perancangan fasilitas yang dapat disesuaikan.
Data antropometri yang diperoleh melalui pengukuran memiliki banyak
variasi. Variasi yang ada akan lebih mudah diatasi apabila kita mampu merancang
produk yang dapat disesuaikan dengan suatu rentang ukuran tertentu.

a. Pengukuran Data Antropometri Posisi Berdiri


Pengukuran data antropometri merupakan pengukuran dimensi tubuh pada
operator yang meliputi pada dimensi-dimensi posisi berdiri (Tarwaka, 2004)
adalah sebagai berikut:
Keterangan:
1.Tinggi badan
2. Tinggi mata
3. Tinggi bahu
4. Tinggi siku
5. Tinggi pinggang
6. Tinggi tulang pinggul
7. Tinggi kepalan tangan posisi siap
8. Tinggi jangkauan atas
9. Panjang depa
10. Panjang lengan
11. Panjang lengan atas
12. Panjang lengan bawah
13. Lebar bahu
38

14. Lebar dada


Pengukuran dimensi tubuh manusia pada posisi berdiri dapat terlihat pada
Gambar 2.12

Gambar 2.12 A, B, C Pengukuran Antropometri Posisi Berdiri


Sumbe: Tarwaka, 2004

b. Pengukuran Data Antropometri Posisi Duduk


Pengukuran data antropometri merupakan pengukuran dimensi tubuh pada
operator yang meliputi pada dimensi-dimensi posisi duduk (Tarwaka, 2004)
adalah sebagai berikut:
Keterangan:
1. Tinggi kepala
2. Tinggi mata
3. Tinggi bahu
4. Tinggi siku
39

5. Tinggi pinggang
6. Tinggi tulang pinggul
7. Panjang butoock-lutut
8. Panjang buttock-popliteal (lekuk lutut)
9. Tinggi telapak kaki-lutut
10. Tinggi telapak kaki-popliteal (lekuk lutut)
11. Panjang kaki (tungkai-ujung jari kaki)
12. Tebal paha
Pengukuran dimensi tubuh manusia pada posisi berdiri dapat terlihat pada
Gambar 2.13

Gambar 2.13 Pengukuran Antropometri Posisi


Duduk (Sumber: Tarwaka 2004)

2.8 Perhitungan Nilai Rata-rata


Perhitungan nilai rata-rata biasanya diangkat dengan rata-rata adalah
jumlah semua dari semua data dibagi dengan banyaknya data. Rata-rata untuk
sampel biasanya dinyatakan dengan simbol dan untuk populasi dinyatakan dengan
simbol  .
Perhitungan nilai rata-rata untuk data yang tidak dikelompokkan yaitu
dengan menjumlahkan semua data yang dibagi dengan banyaknya data dan dapat
dinyatakan dengan rumus :
40

 Xi
i 1
x = .......................................................................................(2.3)
n
Dimana :

  tanda jumlah
n = banyaknya data
Xi = besaranya tiap-tiap data

2.8.1 Standar Deviasi


Standar deviasi adalah standar penyimpangan data dari nilai rata-ratanya.
Pada standar deviasi ini di dalam menghilangkan pengaruh positif dan negatif
selisih data dengan rata-rata tidak dengan harga mutlak, tetapi dengan
dikuadratkan kemudian di jumlah dari kuadratnya diakarkan. Standar deviasi
untuk populasi biasanya diberi simbol  , sedangkan untuk sampel diberi simbol
SD . Perumusannya adalah sebagai berikut :

 Xi  X 
k
2

 i 1
.........................................................................................(2.4)
n 1

2.8.2 Nilai Maksimun dan Minimum


Nilai maksimum adalah nilai terbesar dari sekumpulan data yang
diperoleh. Sebaliknya nilai minimum adalah nilai terkecil dari sekumpulan data
yang diperoleh.

2.8.3 Uji Keseragaman Data


Uji keseragaman data berfungsi untuk memperkecil varian yang ada
dengan membuang data ekstrim. Jika ada data yang berada di luar batas kendali
atas (BKA) ataupun batas kendali bawah (BKB) maka data tersebut dibuang.
Langkah pertama dalam uji keseragaman ini adalah perhitungan mean dan standar
deviasi untuk mengetahui batas kendali atas dan bawah Untuk menguji
keseragaman data digunakan peta kontrol dengan persamaan berikut:
41

BKA = 𝑋̅ + k𝛿 ........................................................................................(2.5)
BKB = 𝑋̅ - k𝛿 ........................................................................................(2.6)

Dimana:
𝑋̅ = Rata-rata data pengamatan
𝛿 = Standar deviasi
k = Koefisien tingkat kepercayaan, ada 3 yaitu :
Tingkat kepercayaan 68 % harga k adalah 1.
Tingkat kepercayaan 95 % harga k adalah 2.
Tingkat kepercayaan 99 % harga k adalah 3.

- Jika Xmin > BKB dan Xmax < BKA maka data seragam
- Jika Xmin < BKB dan Xmax > BKA maka data tidak seragam

2.8.4 Uji Kecukupan Data


Untuk derajat kepercayaan 95% dan tingkat ketelitian 5% maka kecukupan
data dapat ditentukan dengan persamaan :

 
N .  Xi 2   Xi  
2
k 2

N `  s  ...................................................... .(2.7)
 
  Xi


Dimana:
- Jika N’ > N : jumlah pengamatan belum mencukupi
- Jika N’ < N : jumlah pengamatan sudah mencukupi

Keterangan:
N = jumlah data pengamatan sebenarnya.
N’ = jumlah data secara teoritis.
s = derajat ketelitian (degree of correctness).
k = tingkat kepercayaan (level of confidence).
42

2.9 Perancangan Alat Bantu


Perancangan adalah suatu proses yang bertujuan untuk menganalisa,
menilai dan memperbaiki serta menyusun suatu sistem, baik untuk sistem fisik
maupun nonfisik yang optimum untuk waktu yang akan datang dengan
memanfaatkan informasi yang ada. Tiga hal yang harus diperhatikan dalam
perancangan sebuah produk antara lain:
1. Aktivitas untuk maksud tertentu.
2. Sasaran pada pemenuhan kebutuhan manusia.
3. Berdasarkan pada pertimbangan teknologi.
Membuat suatu rancangan produk atau alat perlu mengetahui karakteristik
perancangan dan perancangnya. Beberapa karakteristik perancangan adalah
sebagai berikut:
1. Berorientasi pada tujuan.
2. Variform yaitu suatu anggapan bahwa terdapat sekumpulan solusi yang
mungkin tidak terbatas, tetapi harus dapat memilih salah satu ide yang
akan diambil.
3. Pembatas yaitu membatasi solusi pemecahan antara lain:
a. Hukum alam, seperti ilmu fisika, ilmu kimia, dan lain-lain.
b. Ekonomis, pembiayaan atau ongkos dalam merealisir rancangan yang
telah dibuat.
c. Pertimbangan manusia, sifat, keterbatasan dan kemampuan manusia
dalam merancang dan memakainya.
d. Faktor-faktor legality, mulai dari model, bentuk sampai dengan hak
cipta.
e. Fasilitas produksi, sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk
menciptakan yang telah dibuat.
f. Evolutif, berkembang terus mengikuti perkembangan zaman.
Sedangkan karakteristik yang harus dimiliki oleh seseorang perancang
merupakan hal yang perlu diperhatikan. Karakteristik tersebut antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi masalah.
43

2. Memiliki imajinasi untuk meramalkan masalah yang mungkin akan


timbul.
3. Berdaya cipta.
4. Mempunyai kemampuan untuk menyederhanakan persoalan
5. Mempunyai keahlian dibidang matematika, fisika, kimia tergantung
dari jenis rancangan yang dibuat.
6. Dapat mengambil keputusan yang terbaik berdasarkan analisa dan
prosedur yang benar.
Prosedur perancangan yang merupakan tahapan umum teknik perancangan
dikenal dengan sebutan NIDA, yang merupakan kepanjangan dari need, idea,
decision and action. Artinya tahap pertama seorang perancang menetapkan dan
mengidentifikasikan kebutuhan (need), sehubungan dengan alat atau produk yang
akan dirancang. Kemudian dilanjutkan dengan pengembangan ide-ide (idea) yang
melahirkan berbagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan. Suatu penilaian dan
penganalisaan terhadap berbagai alternatif yang ada, sehingga perancang dapat
memutuskan (decision) suatu alternatif terbaik. Proses terakhir yang dilakukan
yaitu proses pembuatan (action). Hasil rancangan yang dibuat dituntut dapat
memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pengguna produk. Oleh karena itu,
rancangan yang akan dibuat harus memperhatikan faktor manusia sebagai
pengguna. Faktor manusia ini diantaranya dipelajari dalam ergonomi dengan
metode anthropometri (Nurmianto,2003).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat suatu rancangan
selain faktor manusia antara lain:
1. Analisa teknik yaitu berhubungan, kekuatan. ketahanan, kekerasan, dan
sebagainya.
2. Analisa ekonomi yaitu berhubungan dengan perbandingan biaya yang
harus dikeluarkan dan manfaat yang akan diperoleh.
3. Analisa legalisasi yaitu berhubungan dengan segi hukum atau tatanan
hukum yang berlaku dan dari hak cipta.
4. Analisa pemasaran yaitu berhubungan dengan jalur distribusi produk/hasil
rancangan sehingga dapat sampai kepada konsumen atau pemakai.
44

5. Analisa nilai yaitu suatu prosedur yang mengidentifikasikan ongkos-


ongkos yang tidak ada gunanya. Analisa nilai dibagi menjadi empat
kategori antara lain:
a. Uses value yaitu berhubungan dengan nilai kegunaan.
b. Esteem value yaitu berhubungan dengan nilai estetika atau keindahan.
c. Cost value yaitu berhubungan dengan pembiayaan.
d. Exchange value yaitu berhubungan dengan kemampuan tukar.
Terdapat tiga tipe perancangan yang ada pada antropometri. Adapun tipe
perancangan tersebut antara lain:
1. Perancangan untuk pemakaian nilai eksterm yaitu data dengan persentil
ekstrim minimum 5% dan ekstrim maksimum 95%.
2. Perancangan pemakaian nilai rata-rata yaitu data dengan persentil 50%.
3. Perancangan untuk pemakaian yang dapat disesuaikan (adjustable).

2.10 Penelitian Sebelumnya


Penelitian yang akan dilakukan merupakan pengembangan dari penelitian-
penelitian sebelumnya yang di antaranya adalah:
1. Asni Sang, Rafael Djajakusli1, Syamsiar S. Russeng Bagian Kesehatan
dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UNHAS,
Makassar. Penelitiannya berjudul “Hubungan Risiko Postur Kerja Dengan
Keluhan Musculoskeletal Disorders (Msds) Pada Pemanen Kelapa Sawit
Di PT. Sinergi Perkebunan Nusantara” dalam penelitiannya aktivitas
pemanenan kelapa sawit di PT. Sinergi Perkebunan Nusantara yang masih
dilakukann secara manual berisiko untuk menyebabkan gangguan otot dan
rangka atau musculoskeletal disirders (MSDs). MSDs merupakan
sekumpulan gejala yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen,
kartilago, sistem saraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. Tujuan
penelitian untuk mengetahui hubungan antara postur kerja, umur,
kebiasaan merokok dan masa kerja dengan keluhan MSDs pada pemanen
kelapa sawit di PT. Sinergi Perkebunan Nusantara. Risiko postur kerja
dihitung dengan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment). Desain
45

penelitian adalah dengan pendekatan kuantitatif dan studi cross sectional


dengan teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling sebanyak
46 pemanen. Analisis data adalah univariat dan bivariat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi keluhan MSDs cukup tinggi dirasakan
oleh 34 pemanen (73,9%). Dampak MSDs adalah sebagian besar
pekerjaan agak terganggu (79,4%) dan tidak bisa bekerja (20,6%). Analisis
data menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan keluhan
MSDs adalah postur kerja (p value: 0,022), umur (p value: 0,044) dan
masa kerja (p value: 0,018). Disarankan kepada Pemanen dapat
mengurangi risiko postur kerja dengan melakukan pemanasan (stretching)
dan kepada pihak perusahaan dapat memberikan pelatihan tata cara
bekerja yang ergonomis.
2. Anthony Irawan Sugiharto, Dian Trihastuti, Lusia Permata Sari Hartanti
Program Studi Teknik Industri Universitas Pelita Harapan Surabaya,
Indonesi (Desember 2013). Penelitian ini berjudul “Analisis Perbaikan
Postur dan Metode Kerja untuk Mengurangi Kelelahan Muskuloskeletal di
PT. XYZ Surabaya” Penelitian tersebut menyatakan bahawa Postur adalah
kunci penting dari berbagai faktor risiko. Pekerjaan yang membutuhkan
repetisi dari postur dalam range yang ekstrim dalam motion repetitif dapat
menyebabkan ketidakseimbangan dalam unit tendon otot antagonis, yang
mengakibatkan degradasi fungsi sendi. Postur kerja sendiri juga memiliki
keterkaitan dengan metode kerja. Optimasi metode kerja tidak hanya
sekedar memilih metode dan mencari waktu kerja yang tersingkat, akan
tetapi paling tidak mengikutsertakan adanya pengurangan terhadap
kelelahan kerja, penghilangan masalah yang timbul pada sistem kerangka
otot. Penelitian untuk mengurangi kelelahan muskuloskeletal pada
karyawan pada studi kasus di PT. Surabaya dengan menganalisis postur
dan metode kerja karyawan saat ini serta kelelahan muskuloskeletal yang
ditimbulkan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kuesioner
(Standard Nordic Questionnaire), observasi, wawancara, dan studi
pustaka. Data diolah dengan menggunakan analisis reliabilitas, normalitas,
46

penggunaan RULA Worksheet, analisis pengukuran beban kerja


menggunakan metode lifting index, dan metode perancangan produk dari
proses pengembangan konsep hingga pembuatan prototype. Penelitian
dilakukan di PT. XYZ Surabaya dengan objek penelitian karyawan bagian
assembling. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar
karyawan mengalami kelelahan muskuloskeletal. Untuk
menanggulanginya, peneliti merancang kursi prototype ergonomis yang
sesuai dengan antropometri tubuh karyawan dan beberapa perbaikan pada
metode kerja dan layout stasiun kerja.
3. Mona Elizabet Siagian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya. Penelitiannya berjudul “Analisis Faktor Risiko Work-Related
Musculoskeletal Disorders (WMSDs) Pada Pekerja PT Arwana Anugerah
Keramik Tbk Ogan Ilir Tahun 2014” penelitian tersebut mengatakan
bahwa Work-related Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan
gangguan kronik pada otot, tendon dan saraf yang disebabkan oleh
penggunaan tenaga secara repetitive, pergerakan yang cepat, penggunaan
tenaga yang besar, kontak dengan tekanan, postur janggal atau ekstrim,
getaran dan temperatur yang rendah. Keluhan work-related
musculoskeletal disorders ini dapat menyebabkan sejumlah kondisi,
termasuk nyeri, mati rasa, kesemutan, sendi kaku, kesulitan bergerak,
kehilangan otot dan kadang-kadang kelumpuhan. Seringkali pekerja harus
kehilangan waktu dari pekerjaan untuk pulih kembali (OSHA, 2000).
Hasil survei pendahuluan yang dilakukan di pabrik PT. Arwana Anugerah
Keramik Tbk. Ogan Ilir didapatkan bahwa dengan menggunakan kuisioner
Nordic Body Map pada 9 orang diperoleh hasil banyaknya pekerja yang
merasakan pegal-pegal, nyeri, kaku hingga kadang merasakan mati rasa
pada punggung dan tangan setelah bekerja (100%), bahu dan kaki (88,8%)
dan leher (77,8%) dan didapatkan tingkat postur janggal/ beresiko pada
pekerja di bagian ini cukup tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian
survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel
sebanyak 114 pekerja. Teknik pengambilan sampel dilakukan
47

menggunakan teknik secara acak stratifikasi (stratified random sampling).


Teknik analisa data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji
statistik chi square. Data disajikan dalam analisa p-value, prevalensi rasio
(PR) dan 95% interval kepercayaan (CI). Hasil penelitian didapatkan
bahwa 78,9% pekerja mengalami keluhan MSDs pada bagian tubuh.
Faktor penyebab yang berhubungan dalam penelitian ini yaitu ada
hubungan hubungan antara umur dengan risiko MSDs (p value = 0,002),
IMT (p value = 0,001), kebiasaan olahraga (p value = 0,002), dan tingkat
risiko ergonomic (p value = 0,000). Dapat disimpulkan bahwa dari hasil
penelitian, risiko untuk terjadinya muskuloskeletal pada pekerja PT
Arwana Anugerah Keramik Tbk Ogan Ilir yaitu sebesar 78,9%, dengan
keluhan tertinggi di bagian punggung (86%), pinggang (93%), tangan
kanan (85%), dan kaki kanan (96%). Dengan demikian perlu dilakukannya
pengendalian secara teknik dan administrasif .
4. Muhammad Wakhid Mahasiswa Program Studi Teknik Industri Fakultas
Teknik Universitas Dian Nuswantoro Semarang, penelitian berjudul
“Analisis Postur Kerja Pada Aktivitas Pengangkutan Buah Kelapa Sawit
Dengan Menggunakan Metode Rapid Entire Body Assessment (REBA)”.
Dalam penelitiannya Pada aktivitas pengangkutan buah kelapa sawit yang
dilakukan pekerja dapat menyebabkan cedera atau penyakit terhadap
tulang belakang terlebih jika pekerjaan tersebut tidak dilakukan secara
benar. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai dan mengevaluasi postur
kerja operator pengangkut kelapa sawit, menentukan klasifikasi beban
kerja berdasarkan denyut jantung operator pengangkut kelapa sawit,
memberikan rekomendasi berupa simulasi peralatan untuk alat bantu
pengangkutan buah kelapa sawit yang efektif. Berdasarkan hasil kuisioner
Nordic Body Map, pekerja mengalami keluhan dibagian tangan kiri
sebesar 91%, bahu kiri sebesar 86%, punggung sebesar 86% dan pada
pinggang sebesar 94%. pengukuran dan perhitungan sudut operator
berdasarkan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment) setelah itu
mengukur denyut jantung pekerja sebelum dan sesudah melakukan
48

aktivitas pengangkutan kelapa sawit. Berdasarkan hasil perhitungan


menggunakan metode REBA diperoleh skor akhir yaitu 8, yang mana
masuk dalam kategori level action 3 yaitu perlu segera perbaikan untuk
mengurangi resiko cidera pada pekerja. Sedangkan untuk perhitungan
%CVL (Cardiovasculair Load) yang didapat dari beban kardiovaskuler
pada pekerja pengangkutan kelapa sawit di peroleh nilai rata-rata 46.97%
yang mana masuk kedalam klasifikasi pada kelas interval 30-60% yaitu
“diperlukan perbaikan”.
5. Thoha Khaled, penelitiannya berjudul “Analisa risiko ergonomi dan
keluhan muskuloskeletal pada upper limb extrimities akibat penggunaan
laptop pada mahasiswa S1 FKM UI tahun 2009”, berdasarkan
penelitiannya Penggunaan laptop di kalangan mahasiswa khususnya
mahasiswa S1 FKM UI memperlihatkan kecenderungan yang meningkat.
Hal ini disebabkan tingkat kebutuhan mahasiswa dan harga laptop yang
tidak jauh berbeda dengan harga PC. Perkembangan teknologi laptop
selain memberikan dampak positif, juga memberikan dampak negatif.
Disain keyboard yang menyatu dengan monitor membuat pengguna laptop
pasti menggunakan postur janggal dalam aktifitasnya dengan laptop.
Keluhan Muskuloskeletal merupakan efek yang paling sering nampak
pada aktifitas akibat penggunaan laptop. Faktor durasi, frekuensi, dan
posisi kerja juga mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi
tingkat keluhan. Skripsi ini membahas tentang hubungan antara risiko
ergonomi dengan keluhan muskuloskeletal pada upper limb extrimities
akibat penggunaan laptop pada mahasiswa S1 FKM UI. Penelitian ini
merupakan penelitian dekriptif kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk
menilai risiko ergonomi dengan menggunakan metode RULA dan melihat
hubungannya dengan keluhan muskuloskeletal. Untuk melihat hubungan
antara risiko ergonomi dengan keluhan muskoloskeletal, peneliti
menggunakan uji statistik, chi-square. Dan hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara risiko ergonomi dengan
keluhan muskuloskeletal.
49

Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor pengganggu yang terdapat dalam


penelitian. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan agar
pengguna laptop dapat memilih posisi kerja yang ergonomis ketika
menggunakan laptop. Biasakan untuk istirahat sejenak bila menggunakan
laptop dalam durasi yang lama, baik dengan melakukan peregangan otot
maupun dengan mengalihkan pandangan mata. Pihak fakultas dapat
mengadakan health education dan menyediakan tempat yang ergonomis
berkaitan dengan cara penggunaan laptop yang aman. Peneliti juga
menyarankan untuk memasukkan variabel lain dalam penelitiannya,
seperti faktor pengganggu dan faktor-faktor risiko lainnya, seperti jenis
kelamin, antropometri, kondisi lingkungan, tempat kerja dan riwayat
cedera.

Anda mungkin juga menyukai