Laporan Kasus Tetanus
Laporan Kasus Tetanus
Laporan Kasus Tetanus
Disusun oleh :
Maulita Agustine (030.10.171)
Pembimbing :
dr. Haryo Teguh, Sp.S
Presentasi Kasus
SEORANG LAKI-LAKI 50 TAHUN DENGAN TETANUS
Pada Tanggal :
Tempat : RSUD Kardinah Tegal
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas setiap pimpinan dan pemeliharaanNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik
bagian Neurologi. Dalam penyusunan laporan ini, penulis sangat menyadari keterbatasannya dan
tanpa rekan-rekan sekalian, laporan ini tidak akan terselesaikan. Penulis sangat bersyukur untuk
pembimbing yang sudah membantu menyelesaikan laporan ini, karena itu pada kesempatan kali
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak hal yang kurang dalam laporan ini, untuk itu
penulis memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan. Penulis tetap berharap laporan ini
dapat berguna bagi masyarakat maupun bagi ilmu pengetahuan di bidang kedokteran. Kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan demi memperoleh hasil yang lebih baik di dalam
penyempurnaan laporan ini.
Maulita Agustine
2
STATUS ILMU PENYAKIT SYARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 50 tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : SD
Alamat : Kaligayam RT/RW Tanggal masuk RS : 09/08/2015
05/02, Talang, Jawa Tengah 12.00 WIB
A. ANAMNESIS
Diambil secara autoanamnesis dan alloanamnesis kepada ibu pasien, tanggal 15 Agustus 2015
pukul 07.30 di Bangsal Rosella RSUD Kardinah Tegal
3
pasien mengaku luka dibersihkan karena sebelumnya luka tersebut kotor namun tidak mendapat
suntikan anti tetanus. 3 minggu setelahnya pasien mengeluh kaku pada kedua tangan dan kedua
kaki, pasien tidak bisa berjalan, tidak bisa menggerakkan kaki dan tangannya, serta tidak bisa
bicara. Keluhan tersebut memberat dan menyebar ke mulut, punggung dan perut sehingga pasien
tidak bisa membuka mulutnya dan perut kencang seperti papan. Pasien juga mengeluh seluruh
tubuh terasa nyeri, sulit menelan dan nafas terasa sesak. Selain itu pasien juga mengaku kejang
yang terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya rangsangan. Pasien juga mempunyai riwayat batuk lama
yang sudah dideritanya sebelum ini.
Tidak ada mual atau muntah, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada demam, pilek, atau
diare. Sebelumnya pasien tidak pernah mendapat imunisasi tetanus. Pasien memiliki riwayat
tekanan darah tinggi namun pasien lupa nama obat yang dikonsumsinya. Riwayat kencing manis
disangkal. Pasien sudah 6 hari belum BAB, BAK tidak ada keluhan. Makan dan minum baik,
perlahan-lahan, tidak tersedak.
4
- Riwayat kejang disangkal
Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok (+)
- Riwayat megkonsumsi kopi (+)
- Riwayat mengkonsumsi alkohol (+)
- Riwayat sering makan-makanan santan dan gorengan (+)
ANAMNESIS SISTEM
Sistem Serebrospinal: Demam (-)
Kejang (+)
Sakit kepala (+)
Hemiparese (-)
Sulit bicara (+)
5
Panas (-)
Dapat menahan BAK
Sistem muskuloskeletal: Nyeri dan kaku pada punggung, kedua tangan dan kedua kaki
(+)
B. PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan tanggal 15 Agustus 2015)
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesan gizi : Kesan gizi cukup
Sianosis : -
Ikterik : -
Dehidrasi : -
Ascites : -
Edema : -
Habitus : Atletikus
Mobilitas : Aktif
Umur sesuai taksiran : Sesuai dengan usia sebenarnya
Cara berjalan : -
Cara berbaring/duduk : Aktif
Cara berbicara : -
Sikap pasien : Kooperatif dengan pemeriksa
Tanda Vital
Tekanan Darah : 180/110 mmHg
6
Nadi : 100x /menit, regular, kuat, isi cukup, equal
Pernapasan : 28x /menit, teratur, tipe pernafasan abdominotorakal
Suhu : 36,8 ºC per axiler
Tinggi Badan : 170 cm
Berat Badan : 70 kg
BMI : 24,2 kg/m2 (normal)
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku : Tenang
Alam Perasaan : Biasa
Proses Pikir : Wajar
Kulit
Warna : Sawo matang Pigmentasi : Merata
Efloresensi : Ulkus pedis dextra Petekie : Tidak Ada
Jaringan Parut : Tidak ada Ikterus : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Merata Lembab/Kering : Lembab
Suhu Raba : Hangat Pembuluh darah : Tidak melebar
Keringat : Tidak ada Turgor : Baik
Lapisan Lemak : Sedikit Sianosis : Tidak ada
Oedem : Tidak ada Lain-lain :-
7
Inguinal : tidak dilakukan pemeriksaan
Axilla : tidak teraba membesar
Kepala
Ekspresi wajah : Risus sardonicus (-)
Simetri muka : Simetris
Bentuk : Normocephali
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata
Exophthalamus : Tidak ada Enopthalamus : Tidak ada
Kelopak : Oedem ( - ) Lensa : Jernih
Sklera : Ikterik ( - ) Gerakan mata : Sulit dinilai
Lapangan penglihatan : Sulit dinilai RCL : +/+
Nistagmus : Tidak ada RCTL : +/+
Konjungtiva : Anemis ( - ) Visus : Sulit dinilai
Telinga
Bentuk : Normotia Membran timpani : +/+
Liang telinga : lapang Penyumbatan : -/-
Serumen : +/+ Perdarahan : -/-
Cairan/sekret : -/- Tuli : -/-
Hidung
Bentuk : normal Septum deviasi :(-)
Deformitas :(-) Cavum nasi : lapang
Pernafasan cuping hidung :(-) Sekret :(-)
Concha Inferior : eutrofi Epistaxis :(-)
Mulut
Bibir : kering Tonsil : sulit dinilai
Langit-langit : merah muda, DBN Bau pernapasan : tidak ada
8
Gigi geligi : caries, lengkap Trismus : tidak ada
Faring : sulit dinilai Selaput lendir : ada
Lidah : normoglosia, atrofi papil (-) Mukosa : tidak hiperemis
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5 - 1 cm H2O.
Kelenjar Tiroid : tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe : tidak teraba membesar
Trakea : letak di tengah
Thoraks
Bentuk : datar, simetris
Pembuluh darah : tidak tampak
Deformitas :-
Paru – Paru
Pemeriksaan Depan Belakang
Inspeksi Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Kiri Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi Kanan - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
- Vocal fremitus (+) - Vocal fremitus (+)
Kiri - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
- Vocal fremitus (+) - Vocal fremitus (+)
Perkusi Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Kiri Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Kanan - Suara nafas vesikuler - Suara nafas vesikuler
-Wheezing ( - ), Ronki (+) -Wheezing ( - ), Ronki (+)
Kiri - Suara nafas vesikuler - Suara nafas vesikuler
-Wheezing ( - ), Ronki (+) -Wheezing ( - ), Ronki (+)
9
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Teraba iktus cordis di ICS IV, 2 cm medial garis midklavikularis kiri
Perkusi :
Batas kanan : ICS III-IV garis sternalis kanan dengan suara redup
Batas kiri : ICS IV, 3 cm medial garis midklavikularis kiri dgn suara redup
Auskultasi: Bunyi jantung I-II reguler, Gallop (-), Murmur (-).
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis : teraba pulsasi
Arteri Karotis : teraba pulsasi
Arteri Brakhialis : teraba pulsasi
Arteri Radialis : teraba pulsasi
Arteri Femoralis : teraba pulsasi
Arteri Poplitea : teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : teraba pulsasi
Abdomen
Inspeksi : Datar, warna sawo matang, tidak ikterik, tidak ada spider nervy, tidak ada
efloresensi yang bermakna, tidak ada dilatasi vena.
Auskultasi : Bising usus ( + ), 3x/menit
Palpasi :
Dinding perut : Rigid ( + ), nyeri tekan epigastrium ( - ), nyeri tekan abdomen (-)
nyeri lepas ( - ) , defense muscular (-), massa (-) , undulasi (-), opistotonus (-).
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/-
Perkusi : Timpani di empat kuadran abdomen, pekak sisi (-) shifting dullness (-) nyeri ketuk
(-)
10
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : normotonus normotonus
Massa : eutrofi eutrofi
Sendi : normal normal
Gerakan : aktif aktif
Kekuatan : 4 4
Oedem : : tidak ada tidak ada
Lain-lain : Palmar eritema (-), ptechie (-), clubbing finger (-), akral dingin (-)
11
STATUS NEUROLOGI
Refleks Patologis
Pemeriksaan Kanan Kiri
Sup dan Inf
Hoffman Trommer - -
Babinski - -
Chaddock - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Openheim - -
Klonus patella - -
Klonus achilles - -
12
Peningkatan Tekanan Intrakranial
Penurunan Kesadaran : (-)
Muntah proyektil : (-)
Sakit kepala hebat : (-)
Edema papil : tidak dilakukan pemeriksaan
Saraf Kranial
Nervus I Olfaktorius : Normosmia
Nervus II Optikus
Kanan Kiri
Ketajaman penglihatan Baik Baik
Menilai warna Baik Baik
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Papil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Retina Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Medan penglihatan Baik Baik
13
Nervus IV Troklearis
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral bawah + +
Strabismus konvergen - -
Diplopia - -
Nervus V Trigeminus
Kanan Kiri
Bagian Motorik
Menggigit + +
Membuka mulut + +
Bagian Sensorik
Ophtalmik Baik Baik
Maxilla Baik Baik
Mandibula Baik Baik
Reflek Kornea Baik Baik
Nervus VI Abdusen
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral + +
Strabismus konvergen - -
Diplopia - -
14
Mencucurkan bibir + +
Reflek Glabella - -
Tanda Chovstek - -
Fungsi Pengecapan
2/3 depan lidah Baik Baik
15
Nervus XI Aksesorius
Mengangkat bahu & Menoleh
Kanan +
Kiri +
Sistem Motorik
Ekstremitas Superior
Kekuatan Motorik : 4 4
Kanan Kiri
Tonus otot : normotonus normotonus
Trofi : eutrofi eutrofi
Gerakan : aktif aktif
Ekstremitas Inferior
Kekuatan Motorik :
4 4
Kanan Kiri
Tonus otot : normotonus normotonus
Trofi : eutrofi eutrofi
Gerakan : aktif aktif
Gerakan involunter :
Tremor : - -
Chorea : - -
16
Ballismus : - -
Athetose : - -
Sistem Sensorik
Rasa Kanan Kiri Rasa Halus Kanan Kiri
Tajam
Eusthesia Eusthesia Eusthesia Eusthesia
Eusthesia Eusthesia Eusthesia Eusthesia
Fungsi Vegetatif
Miksi :+
Inkontinensia urine :-
Defekasi :-
Inkontinensia alvi :-
Fungsi Luhur
Astereognosia :-
Apraksia :-
Afasia :-
Keadaan Psikis
17
Intelegensia : Baik
Demensia :-
Tanda regresi :-
KIMIA KLINIK
- GDS : 111 mg/dL (N: 70-140)
- SGOT : 21,2 U/L (N: 15-40)
- SGPT : 6,9 U/L (N: 10-40)
- Ureum : 84 mg/dL (N: 12,8- 42,8)
- Kreatinin : 3,91 mg/dl (N : 0,9 – 1,3)
- Natrium : 137,1 mmol/L (N:136-145)
- Kalium : 4,35 mmol/L (N: 3,3-5,1)
- Klorida : 109,7 mmol/L (N:98-106)
SERO IMUNOLOGI
- HBsAG : NEGATIF Negatif
RESUME
18
Dari anamnesis didapatkan :
Seorang pasien laki-laki, 50 tahun, datang ke UGD RSUD Kardinah Tegal (09 Agustus
2015, pukul 12.00 WIB) diantar keluarga dengan keluhan kaku pada kedua tangan dan kedua kaki
sejak 1 minggu SMRS. Pasien mengaku sebulan yang lalu jatuh saat mengendarai motor dan
terdapat luka pada kaki kanan. Setelah itu pasien dibawa ke klinik terdekat pasien mengaku luka
dibersihkan namun tidak mendapat suntik anti tetanus. 3 minggu setelahnya pasien mengeluh kaku
pada kedua tangan dan kedua kaki, pasien tidak bisa berjalan, tidak bisa menggerakkan kaki dan
tangannya, serta tidak bisa bicara. Keluhan tersebut memberat dan menyebar ke mulut, punggung
dan perut sehingga pasien tidak bisa membuka mulutnya dan perut kencang seperti papan. Pasien
juga mengeluh seluruh tubuh terasa nyeri, sulit menelan dan nafas terasa sesak. Selain itu pasien
juga mengaku kejang yang terjadi secara tiba-tiba tanpa ada rangsangan. Pasien juga mempunyai
riwayat batuk lama yang sudah dideritanya sebelum ini. Riwayat imunisasi tetanus (-). Riwayat
hipertensi (+). Riwayat DM (-). Pasien sudah 6 hari belum BAB, BAK tidak ada keluhan. Makan
dan minum baik, perlahan-lahan, tidak tersedak.
19
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan :
Pemeriksaan darah lengkap : hematokrit dan SGPT yang menurun, MCHC, Ureum, Creatinin,
yang meningkat. Pada pemeriksaan elektrolit didapatkan hiperklorida.
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Trimus et causa C. Tetanii, kaku pada kedua tangan, kedua kaki,
leher, perut dan punggung.
Diagnosis topis : Neuromuscular junction
Diagnosis etiologis : C. Tetanii
Diagnosis patologi : Infeksi
TATALAKSANA :
Pada prinsipnya, penanganan dikerjakan dengan mempertahankan hemodinamik,
memelihara fungsi neuron dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Pada pasien ini terapi
medikamentosa yang diberikan berupa terapi cairan, anti toxin, anti kejang dan antibiotik berfungsi
untuk mencegah kekakuan lebih lanjut dan penyebaran infeksi yang luas.
1. Medikamentosa :
a. Oksigen 3 L
b. Infus RL : D5% 2:2 20 tetes per menit
c. Injeksi metronidazol 3x1 flacon
d. Injeksi iv diazepam V ampul/drip
e. Intramuskular ATS 20.000 IU
f. Injeksi omeprazole 2x1ampul
g. Injeksi ceftriaxon 1x2 gram
h. Laxadin syrup 3x1 Cth
2. Non-Medikamentosa :
Menjelaskan tentang diagnosa penyakit, faktor resiko apa saja yang terdapat pada
pasien, tatalaksana dan prognosis kepada keluarga pasien.
Tirah baring
Fisioterapi
20
PROGNOSIS :
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Fungsionam : Ad Bonam
Ad Sanationam : Ad Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tetanus
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan
kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi pada
laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi akan tetapi
angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula(1). Di negara maju,
kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan
kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara
tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah(2).
Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat,
terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di
negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi.
Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus
neonatorumnya tinggi.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat dan
dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate yang tinggi
(70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka
dapat lebih menurunkan angka kematian. Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh
pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi,
penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus(3).
2.2 Definisi
21
Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai
oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering
progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan
ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja
toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau
otot(4).
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak,
ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan
kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan
dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana
anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan
hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat
yang menyebabkan spasme otot dan kejang(5).
2.3 Patofisiologi
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif yang
menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau
berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh
kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi
toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat(6).
Kuman ini dapat membentuk metaloexotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia
adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal
dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi,
kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP(6).
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf
tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi
terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter
22
(trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada
extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang(6).
Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum
yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi
gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih,
dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis
merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita
sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan
pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan
dikelola dengan teliti(6).
23
menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara
mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis(6).
24
1. Neuropati perifer
2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas
dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh.
3. Denervasi parsial dari otot tertentu.
25
Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat
terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat
terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa
penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada
penderita tetanus adalah :
Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada
jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai ½-1 jam.
Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory
arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.
Henti nafas akut dan mati mendadak.
6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan
26
pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan
ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama
fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat
memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan
maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat,
ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan
mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas
dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi
yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus
yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin(7).
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada
penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam
tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness menimbulkan
dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-
hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi
oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar
prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme
umpan balik hipofise-kelenjar endokrin(8).
8. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung dapat
mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa
nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi
mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis seperti
gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan
semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock,
gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu. Secara teoritis ileus, distonia kolon,
gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan
simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun
ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat
27
gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.
28
dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas
bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan
kegagalan jantung paru(9).
Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat
tetanus berat meliputi derajat III dan IV.
2. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.
- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot
perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
- Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal maupun spontan
dimana kesadaran tetap baik.
29
Temuan laboratorium :
- Lekositosis ringan
- Trombosit sedikit meningkat
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat
membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif
berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan. - Kreatinin
fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)
2. Komplikasi
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia
dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain
spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan
kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau
atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia,
gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra
atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran
cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik(10).
2.5 Penatalaksanaan
1. Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
30
Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk
vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin
G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka
terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi
ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain
1,2 juta 1 kali sehari.
Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV
selama 10-14 hari.
Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari
digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah
ditegakkan diganti Penisilin
G. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara
loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam
perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna
menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek
dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan
tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis
dan diberikan secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200
mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah
gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari(10).
Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan
sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan
hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
31
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah
dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan
tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan
secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi
meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen
dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS
yang disarankan 250-500 IU.
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan
dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan
Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU
intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama
setelah timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan
pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena
kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal.
Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat
diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG
sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin
darah sebelum debridemen luka.
c. Menekan efek toksin pada SSP
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini
mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat
supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta
penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa
depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang
diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian
diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3
32
mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral,
sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan 100
mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan
keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1
mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang.
Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3
dosis melalui selang nasogastrik.
3.Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali
sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan
secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil
atau hipotensi.
2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi
harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat dengan
suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari.
Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan
bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen
melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2
bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1.Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2.Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi
konservatif dan PaO2 < >
3.Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
33
3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus
a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik,
HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.
b.Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau
trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan
parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif,
trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan
cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan pankuronium bromid 0,02
mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam. Bila terjadi aktivitas
simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolol(10).
2.6 Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan
hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam
prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas
pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan,
semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam
menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik
harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang
memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup,
meskipun terjadi tetanus(10).
34
5 – 10 hari 3 Kejang terbatas 3
2 – 5 hari 4 Kejang seluruh badan 4
< 48 jam 5 Optistotonus 5
Imunisasi Frekuensi Spasme
Lengkap 0 6 x dalam 12 jam 1
< 10 tahun 2 Dengan rangsangan 2
> 10 tahun 4 Terkadang spontan 3
Ibu diimunisasi 8 Spontan < 3x per 15 menit 4
Tidak diimunisasi 10 Spontan > 3x per 15 menit 5
Luka Infeksi Suhu Suhu
Tidak diketahui 1 36.7 - 37 C 1
Distal/perifer 2 37.1 – 37.7 C 2
Proksimal 3 37.8 – 38.2 C 4
Kepala 4 38.3 – 38.8 C 8
Badan 5 > 38.8 C 10
Komplikasi Pernafasan
Tidak ada 1 Sedikit berubah 0
Ringan 2 Apnea saat kejang 2
Tidak membahayakan 4 Kadang apnea setelah kejang 4
Mengancam Nyawa (tidak langsung) 8 Selalu apnea setelah kejang 8
Mengancam nyawa 10 Perlu trakeostomi 10
2.7 Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu
dilakukan:
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka
kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia –adsorbed (aluminium
salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal,
atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis
35
aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat
diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi
tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.
Tetanus Toxoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun dan jika riwayat
imunisasi tidak diketahui. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka HTIG
(Human Tetanus Immunoglobulin) juga harus diberikan. Dosis TT (tetanus toxoid) pada usia > 7
tahun adalah 0,5 ml IM. Untuk usia< 7 tahun, gunakan DPT atau DtaP sebagai pengganti TT. Jika
kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dengan dosis 0,5 ml IM. [10]Semua individu dewasa
yang imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya mendapatkan vaksin tetanus. Serial
vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis:
- Dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu
- Dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama.
- Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade pertengahan seperti
35, 45 dan seterusnya.
2. Perawatan Luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka
yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus
dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada
penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari
imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini :
- Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke
dalam punting tali pusat
Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan
karena menyebabkan tali pusat lembab
36
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
37