Disusun oleh :
Pada hari ini tanggal 22 November 2018 di Wahana RS Annisa Kabupaten Bekasi telah
dipresentasikan portofolio oleh :
Nama : dr. Ferrina Ufiani
Kasus : Medik (Anak)
Topik : Dengue Shock Syndrome (DSS)
Nama Pendamping : dr. Elwin Affandi MM, dr. Cecep Awaludin
Nama Wahana : RS Annisa Kabupaten Bekasi
1 1.
2 2.
3 3.
4 4.
5 5.
6 6.
7 7.
8 8.
9 9.
10 10.
11 11.
12 12.
13 13.
14 14.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Mengetahui,
Dokter Internship Dokter Pendamping Dokter Pendamping
2
BAB I
ILUSTRASI KASUS
Tinjauan
Bahan Bahasan: Pustaka □ Riset Kasus □ Audit
Cara Membahas: □ Diskusi Presentasi dan Diskusi □ Email □ Pos
Data Pasien: Nama: An. SS
Nama RS: RS Annisa Kab. Bekasi Telp : 085887064190 Terdaftar sejak : 09/10/18
Hasil Pembelajaran:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
DIH pada TB paru kasus baru BTA negatif on OAT kategori 1 fase intensif bulan-II status
HIV positif dengan gizi buruk
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dibawa oleh kakaknya dengan keluhan demam sejak 2 minggu SMRS. Demam
dirasakan tidak tinggi namun muncul terus menerus (tidak pernah dilakukan pengukuran suhu).
3
Sudah diberikan obat penurun panas namun tidak membaik. Demam disertai dengan batuk
berdahak selama 2 minggu. Dahak berwarna putih kekuningan, konsistensi kental, tidak ada
darah, volume satu sendok teh. Kakak pasien juga mengeluhkan pasien pilek, ingus putih
kental. Sesak, keringat malam disangkal. Kakak pasien juga mengeluhkan pasien mengalami
penurunan berat badan sejak 1 bulan yang lalu sebanyak 13 kg (dari 25 kg menjadi 12 kg).
Pasien dikatakan mengalami penurunan nafsu makan sejak 1 bulan terakhir. Pasien cenderung
menjadi rewel dan tidak aktif.
Pasien berobat ke klinik 2 bulan yang lalu karena keluhan serupa dan didiagnosis dengan TB
paru setelah diperiksa rontgen dada namun belum pernah diperiksa tes Mantoux. Saat ini
pasien sedang dalam pengobatan TB paru bulan kedua (pasien tidak membawa regimen
OAT). Tidak ada riwayat flek paru sebelumnya. Setelah 2 minggu konsumsi OAT, mata
pasien dikatakan menjadi berwarna kuning, namun tidak diobati. Riwayat transfusi dan
penggunaan jarum suntik disangkal. Riwayat kebanjiran disangkal. Tidak ada keluhan BAK,
BAK tidak berkurang, namun urin dikatakan berwarna gelap. Pasien juga mengeluh nyeri
perut. Tidak ada keluhan mual muntah, dan BAB pucat.
Pasien juga dikatakan sering mencret >3x/hari sejak 1 bulan terakhir hilang timbul. Saat ini BAB
pasien juga cair, frekuensi 4-5x/hari, volume per BAB setengah gelas aqua, masih ada ampas,
tidak ada darah, tidak ada lendir, warna kuning kecoklatan, tidak berbau busuk. Selain itu,
terdapat keluhan sering sariawan dan nyeri tenggorokan dan menelan sehingga sulit untuk makan.
Keluhan muncul benjolan di leher, ketiak maupun punggung disangkal. Kelainan kulit, keluar
cairan dari telinga disangkal. Pasien belum pernah diperiksakan HIV sebelumnya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
• Riwayat infeksi berulang saat masa kecil ada (sering diare, demam, dan sariawan)
• Riwayat kejang, asma, dan alergi obat disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga:
• Riwayat flek paru pada ayah pasien, status HIV tidak diketahui (meninggal tahun 2013)
• Riwayat flek paru dengan status HIV positif pada ibu pasien (meninggal 5 bulan yang lalu)
• Riwayat flek pada saudara kandung pasien disangkal. Ketiga kakak pasien dikatakan sudah
pernah periksa HIV namun hasilnya negatif
5. Riwayat Imunisasi:
Kakak pasien mengatakan riwayat imunisasi wajib pasien lengkap (BCG 1x, hepatitis B
3x, polio 4x, campak 1x, DPT 3x)
4
6. Riwayat Tumbuh Kembang:
Pasien sudah sekolah kelas 1 SD, dikatakan bisa mengikuti pelajaran sekolah.
Perkembangan saat masa kecil dikatakan sesuai dengan anak seusia pasien.
7. Riwayat Nutrisi:
Riwayat ASI eksklusif tidak diketahui. Menurut kakak pasien biasanya pasien makan 2x/hari
dengan nasi, sayur, dan lauk pauk (tempe/tahu/daging) namun porsi sedikit karena nafsu
makan pasien kurang baik. Pasien mengalami penurunan berat badan dalam 1 bulan terakhir
sebanyak 13 kg (dari 25 kg menjadi 12 kg). Data berat badan dalam 1 tahun terakhir tidak
diketahui oleh kakak pasien karena ibu pasien sudah meninggal.
8. Riwayat Kehamilan:
Riwayat kontrol dan penyulit selama kehamilan ibu tidak diketahui. Ibu pasien tidak pernah
diperiksakan HIV pada saat hamil.
9. Riwayat Kelahiran:
Pasien lahir secara spontan, cukup bulan, BB, PB, dan LK lahir tidak diketahui. Kondisi
ketika dilahirkan tidak diketahui oleh kakak pasien.
10. Riwayat Sosial Ekonomi:
Pasien merupakan anak ke-4 dari 4 bersaudara. Tinggal serumah dengan kakaknya dan
diurus oleh kakak pertamanya. Terdapat ventilasi udara dan cahaya yang cukup dirumah.
Tidak ada keluhan batuk lama pada keluarga yang tinggal serumah. Riwayat transfusi
disangkal. Pasien menggunakan jaminan BPJS.
5
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
1. Subyektif:
Seorang anak laki-laki 6 tahun 10 bulan datang ke IGD RS Annisa Cikarang dengan keluhan
utama demam sejak 2 minggu SMRS.
• Keluhan disertai batuk berdahak selama 2 minggu.
• Penurunan nafsu makan dan berat badan dalam 1 bulan sebanyak 13 kg
• Pasien sudah berobat ke klinik, didiagnosis dengan TB paru. Saat ini sedang pengobatan
TB paru bulan kedua.
• Setelah 2 minggu konsumsi OAT, mata pasien menjadi kuning. BAK berwarna pekat,
pasien juga mengeluh nyeri perut.
• Pasien sering mencret >3x/hari sejak 1 bulan terakhir hilang timbul. Saat ini BAB pasien
juga cair, frekuensi 4-5x/hari
• Sering sariawan dan nyeri tenggorokan dan menelan sehingga sulit untuk makan.
• Riwayat flek paru pada kedua orang tua
• Riwayat HIV pada ibu pasien
2. Objektif:
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis (9 Oktober 2018)
Keadaan umum : Tampak sakit sedang, rewel
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 108 x/menit
Pernafasan : 26 x/menit (SaO2: 97% O2 room air)
0
Suhu : 37,6 C
BB : 12 kg
TB : 110 cm
Status gizi : BB/TB CDC 2000: 63,15% gizi buruk
• Kepala : Normocephal, tidak ada deformitas
• Wajah : Tampak seperti orang tua
• Rambut : Hitam, tipis, tersebar merata, tidak mudah dicabut
• Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik, mata cekung,Bitot spot (-)
• Hidung : Tidak ada napas cuping hidung
• Telinga : Liang telinga lapang +/+, membran timpani intak +/+, sekret -/-
6
• Mulut : Mukosa bibir kering, uvula di tengah, tonsil T1/T1 tidak ada detritus,
tidak hiperemis, arcus pharynx simetris, tidak hiperemis, terdapat
oral thrush pada area palatum durum dan faring posterior, lidah
tampak kotor tidak ada deviasi, fasikulasi dan atrofi.
• Leher : Trakea di tengah, KGB tidak teraba pembesaran, tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid, JVP 5-2 cmH2O
• Kulit : Sawo matang, kering, tidak tampak ikterik
• Thorax : Iga gambang (+), pectus ekskavatum/carinatum (-), retraksi (-)
• Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS 5 linea midclavicula sinistra,
thrill (-), tapping (-), heaving (-), lifting (-)
Perkusi : batas jantung kiri linea midclavicula sinistra, batas
jantung kanan linea sternalis dextra, pinggang jantung
ICS 2 linea parasternal sinistra
Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
• Paru : Inspeksi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : ekspansi kedua lapang paru simetris
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler +/+, rhonki +/+, wheezing -/-
• Abdomen : Datar, supel, nyeri tekan pada regio kanan atas dan epigastrium,
hepar, lien dan ginjal tidak teraba, turgor kulit lambat, perkusi
timpani, bising usus 12x/menit
• Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, tidak ada edema, nyeri tekan
gastrocnemius (-), baggy pants +
7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (9 Oktober 2018)
8
Interpretasi: CTR<50%, hilus baik, tak tampak perselubungan/penebalan, corakan paru
meningkat tampak infiltrat minimal, sinus dan diafragma baik, tulang intak
Kesan: tak tampak kompleks primer, corakan paru meningkat dengan infiltrat ringan
3. Assessment:
1. Drug induced hepatitis ec. obat anti tuberculosis TB paru kasus baru status BTA? on OAT
kategori I fase intensif bulan kedua
2. Suspek HIV stadium 4
3. Gizi buruk marasmik
4. Diare persisten berat
5. Candidiasis oral
4. Plan:
• Stop OAT
• IVFD tridex 27B 10 tpm makro
• Inj. Cefotaxime 3x350 mg IV
• Ambroxol syr 3x1/2 cth po
• Konsul spesialis paru
• Konsul gizi
FOLLOW UP
Hari Perawatan Ke-2 (10 Oktober 2018)
S: Pasien mengatakan masih demam, mata masih kuning, masih batuk berdahak namun sudah
berkurang, BAB masih mencret (4x/hari), sariawan masih, intake masih sulit (makan hanya mau
beberapa suapan)
O: KU: Tampak sakit sedang, rewel
HR: 100x RR: 24x Suhu: 37,4oC
Mata: CA -/-, SI +/+
Hidung: PCH -/-
Cor: S1-S2 reg, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: SNV +/+, rh +/+ (minimal), wh -/-
Abd: kulit kering, datar, turgor menurun, BU(+)N
Eks: akral hangat, CRT<2s, edema (-)
9
Hasil konsul gizi: status gizi: gizi buruk, asupan energi 25% dari kebutuhan
Hasil konsul paru: TB on OAT 2 bulan + DIH
A: - Drug induced hepatitis ec. obat anti tuberculosis
- TB paru kasus baru status BTA? on OAT kategori I fase intensif bulan kedua
- Suspek HIV stadium 4
- Gizi buruk marasmik
- Diare persisten berat
- Candidiasis oral
P:
Rdx/- Cek Anti HIV
Rth/- OAT masih di stop, perbaikan fungsi liver
- IVFD tridex 27B 10 tpm makro
- Inj. Cefotaxim 3x350 mg
- Ambroxol syr 3x1/2 cth
- Zink 2x1
- Apialys syr 1x1
- Diet lunak/tim/nasi TKTP 1600 kkal protein 25% (38 gram), karbohidrat 25%, lemak
25% pemberian makan peroral, 3x makan utama
- F75 6x100 ml
10
Lab: sputum BTA negatif
A: - Drug induced hepatitis ec. obat anti tuberculosis
- TB paru kasus baru status BTA negatif on OAT kategori I fase intensif bulan kedua
- Suspek HIV stadium 4
- Gizi buruk marasmik
- Diare persisten berat
- Candidiasis oral
P:
Rdx/- Konseling PITC cek Anti HIV rencana rujuk bila positif
Rth/- OAT masih di stop, perbaikan fungsi liver
- IVFD tridex 27B 10 tpm makro
- Inj. Cefotaxim 3x350 mg
- Ambroxol syr 3x1/2 cth
- Zink 2x1
- Apialys syr 1x1
- Paracetamol syr 3x1 cth
- Curvit syr 3x1
- Diet lunak/tim/nasi TKTP 1600 kkal protein 25% (38 gram), karbohidrat 25%, lemak
25% pemberian makan peroral, 3x makan utama + ekstra susu oral 3x200 cc
- F75 6x100 ml (jam 6,9,12,15,18,21)
11
Hasil konsul paru: lanjut rawat
Rapid test HIV: reaktif
A: - Drug induced hepatitis ec. obat anti tuberculosis
- TB paru kasus baru status BTA negatif on OAT kategori I fase intensif bulan kedua
- Suspek HIV stadium 4 rapid test positif
- Gizi buruk marasmik
- Diare persisten berat (perbaikan)
- Candidiasis oral
P:
Rdx/- Periksa HIV di luar
Rth/- OAT masih di stop, perbaikan fungsi liver
- IVFD tridex 27B 10 tpm makro
- Inj. Cefotaxim 3x350 mg
- Ambroxol syr 3x1/2 cth
- Zink 2x1
- Apialys syr 1x1
- Paracetamol syr 3x1 cth
- Curvit syr 3x1
- Diet lunak/tim/nasi TKTP 1600 kkal protein 25% (38 gram), karbohidrat 25%, lemak
25% pemberian makan peroral, 3x makan utama + ekstra susu oral 3x200 cc
- F75 6x100 ml (jam 6,9,12,15,18,21)
- Rencana rujuk
12
Abd: kulit kering, datar, turgor menurun, BU(+)N
Eks: akral hangat, CRT<2s, edema (-)
Lab: DPL: 12/34/4.930/221.000
OT/PT: 78/69
Hasil periksa HIV di luar: reaktif
A: - Drug induced hepatitis ec. obat anti tuberculosis (perbaikan)
- TB paru kasus baru status BTA negatif on OAT kategori I fase intensif bulan kedua
- HIV stadium 4
- Gizi buruk marasmik
- Diare persisten berat (perbaikan)
- Candidiasis oral
P:
Rth/ Obat pulang: - Curcuma 1x1
- Cefixime 2x1/2 cth
- Sanmol 3x1 cth
- Rujuk pasien ke RSUD atau RS tipe B Pasien APS, BB saat pulang 13 kg
EDUKASI
- Edukasi penyakit yang sedang dialami oleh pasien
- Edukasi untuk kondisi saat ini yaitu untuk stop OAT dahulu, lalu pengobatan dapat
dilanjutkan jika klinis sudah membaik dan jika fungsi hati sudah kembali normal
- Edukasi dan konseling untuk diperiksakan HIV sebagai komorbid TB yang paling sering
- Edukasi mengenai pencegahan penularan TB dan etika batuk yang benar
- Edukasi untuk pelacakan kontak TB, dengan melakukan pemeriksaan terhadap keluarga
terdekat pasien
- Edukasi untuk perbaikan gizi pasien dengan mengonsumsi diet yang diberikan, diet harus
bersifat tinggi protein misalnya dengan protein hewani seperti daging, ayam, atau ikan.
PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia ad malam
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
14
2.1.3 Patogenesis
1. Infeksi Primer
Infeksi tuberkulosis dimulai ketika seseorang menghirup droplet nuclei yang
mengandung kuman M.tb mencapai alveolus paru. Droplet yang berukuran 1-5 mikron
yang hanya dapat menembus sistem mukosisilier paru (<10%). Pada saat tersebut,
makrofag tidak langsung teraktivasi dan memfagosit M.tb. invasi makrofag oleh basil
M.tb disebabkan karena adanya ikatan antara dinding sel bakteri dengan molekul
permukaan makrofag yang bervariasi, termasuk komplemen reseptor, mannoe reseptor,
GFcγ reseptor, dan tipe A scavanger reseptor. Fagositosis ditingkatkan karena adanya
aktivasi komplemen, opsonisasi basil M.tb oleh produk aktivasi komplemen C3, seperti
C3b. Lalu bakteri akan bertahan di makrofag dengan cara menghambat Ca2+/ jalur
Kalmodulin sehingga menyebabkan bakteri dapat bertahan di makrofag.13,14
Fagosom kuman TB ditemukan dapat menghambat PI3P yang normalnya
diperuntukkan untuk maturasi membran dan pembentukaan fagolisosom sehingga dapat
menghancurkan bakteri. bakteri M.tb ini juga diketahui dapat menyebabkan blokade
terhadap pertahanan autofagi. Apabila bakteri dapat bertahan selama maturasi fagoso,
maka bakteri akan memulai pembelahannya dan akhirnya makrofag akan ruptur
sehingga sel-sel bakteri akan keluar dalam jumlah banyak. Kuman TB dapat membelah
diri dalam 25-32 jam.13,14
Lokasi pertama yang terbentuk koloni kuman TB di jaringan paru disebut dengan
fokos promer Gohn. Setelah terbentuk fokus primer kuman TB akan menyebar melalui
kelenjar limfe regional sehingga menyebabkan inflamasi ke saluran limfe dan
pembesaran kelenjar limfe. Jika sudah terbentuk fokusprimer, limfadenitis, dan
limfangitis maka disebut dengan kompleks primer. Waktu yang diperlukan untuk bakteri
TB masuk kedalam tubuh dan membentuk kompleks primer disebut dengan masa
inkubasi yang dapat berlangsung selama 4-8 minggu. 13,14
Bila imunitas terbentuk, biasanya fokus infeksi pada paru dapat mengalami
resolusi sempurna menjadi fibrosis dan kalsifikasi, hal itu terjadi juga pada kelenjar
limfe regional, namun penyembuhannya tidak sesempurna di jaringan paru, sehingga
menghasilkan sisa-sisa kuman TB yang dapat tetap hidup selama bertahun-tahun di
tubuh. Selain penyebaran secara limfogen, bentuk penyebaran lain kuman TB adalah
15
2. Infeksi sekunder
Kuman TB yang dorman dapat muncul kembali
sebagai infeksi endogen menjadi TB pasca primer
selama bertahun-tahun kemudian. Apabila sistem imun
melemah dan tidak bisa menjaga kondisi kuman yang
dorman, maka akan menyebabkan kuman dapat
bermultiplikasi dan menyebabkan TB menjadi
penyakit. Proses ini dapat terjadi disemua organ
dimana kuman menetap. Penurunan sistem imun dapat
terjadi pada pasien HIV/AIDS, malnutrisi, DM,
sedangkan pada pasien dewasa dengan HIV positif menjadi 5-15%. 13,14
16
Penurunan sel T CD4+ pada pasien
dengan AIDS merupakan hal yang penting
kontribusinya terhadap peningkatan reaktivasi
infksi TB laten menjadi penyakit infeksi TB.
HIV juga memanipulasi jalur bakterisidal
makrofag, deregulasi kemotaksis, dan
Gambar 2. Reaktivasi TB pada HIV13,14 mengganggu kesembangan Th1/Th2. HIV juga
mengganggu Tumor Necrosis Factor (TNF) yang memediasi apoptosis makrofag sebagai
respon terhadap M.tb sehingga memfasilitasi bakteri untuk bertahan. CD4+ dan TNF
berperan dalam mempertahankan granuloma. Pengorganisasian granuloma ini dapat
terjadi kegagalan pada pasien dengan sistem imun yang rendah.
17
minggu yang tidak membaik setelah pemberian antibiotic spektrum luas, malnutrisi
berat atau gagal tumbuh, demam lebih dari 2 minggu, keringat malam yang
menyebabkan anak sampai harus mengganti pakaian, serta gejala umum non-spesifik
lainnya seperti fatigue (kurang aktif dan tidak bergairah). LIP sering sulit dibedakan
dengan TB, terjadi pada >2 tahun dengan gejala khas limfadenopati generalis dan
simsteris, pembesaran kelenjar parotis, dan jari tabuh. Indikator yang dapat terlihat
pada penyakit kronik dan TB anak adalah gagal tumbuh, walaupun keadaan ini dapat
18
histopatologi umumnya menunjukkan perkijauan (kaseosa), sel epiteloid,
limfosit, dan sel datia Langhans. 1
3. Tuberkulosis Susunan Saraf Pusat
Paling sering bermanifestasi menjadi 3 bentuk yaitu meningitis, tuberculoma,
dan arachnoiditis spinalis. Gejala klinis meningitis TB pada anak dibagi menjadi
fase prodromal (selama 2-3 minggu, berupa malaise, sefalgia, demam tidak
tinggi, dan muntah), fase meningitik (semakin hebatnya gejala prodromal, deficit
neurologis, dan disfungsi nervus III, VI, VIII), dan fase paralitik (penurunan
kesadaran, hipertensi, hidrosefalus, dan deserebrasi). Pemeriksaan cairan
serebrospinal (CSS) memberikan gambaran khas berupa penurunan kadar
glukosa<50% glukosa darah, peningkatan kadar protein >100 mg/dl, hitung sel
10-1000 atau ditemukan MTB. Meningitis TB jarang ditemukan pada bayi <3
bulan kecuali terinfeksi HIV. 1
Tuberkuloma merupakan massa seperti tumor yang terbentuk akibat agregasi
tuberkel perkijuan. Di daerah endemis ditemukan pada 40% anak yang
terdiagnosis tumor otak. Lokasi pada anak umumnya di infratentorial pada basis
kranii di dekat serebelum, dengan lesi tunggal atau multiple. Gejala klinis berupa
sakit kepala, muntah, kejang, kelumpuhan ekstremitas dan gejala umum TB.
Tindakan operasi tidak diperlukan karena dapat membaik dengan pemberian
OAT. Diagnosis ditegakkan dengan CT-Scan kepala atau MRI. 1
4. Tuberkulosis Abdomen
Tuberkulosis abdomen dapat bermanifestasi sebagai peritonitis, TB intestinal
atau TB orofaring. Gejala peritonitis TB berupa asites disertai pembesaran
kelenjar para aorta dan mesenteric, perlekatan antara peritoneum, omentum, dan
KGB sehingga teraba sebagai massa ireguler, kasar, dan tidak nyeri tekan. Gejala
TB abdomen umumnya bersifat kronik walau TB enteritis dapat menimbulkan
akut abdomen. TB enteritis merupakan hasil penyebaran hematogen atau
tertelannya tuberkel kuman TB yang dibatukkan dari paru. Tempat yang paling
sering terkena adalah jejunum dan ileum. Gejala yang dapat ditemukan antara
lain distensi abdomen, nyeri perut, mual, muntah, diare, konstipasi, dan
perdarahan gastrointestinal. Diagnosis untuk konfirmasi TB dapat dilakukan
19
5. Tuberkulosis Kulit
Bentuk TB kulit yang paling sering ditemui adalah skrofuloderma, akibat
penyebaran perkontinuitatum dari KGB dibawahmya yang terinfeksi. Sekret yang
keluar dapat berupa cairan purulent atau kaseosa yang selanjutnya membentuk
jaringan parut dan dapat juga berupa massa yang fluktuatif. 1
6. Tuberkulosis Tulang
Dapat bermanifestasi sebagai spondilitis TB, koksitis TB, dan ghonitis TB. Gejala
yang ditemukan berupa bengkak, kaku, kemerahan, nyeri pada pergerakan.
Seringkali ditemukan setelah terjadi trauma. Pada spondylitis TB ditemukan gibbus
yang berupa tonjolan pada tulang belakang yang merupakan abses dingin. Koksitis
TB biasanya menunjukkan gejala pincang atau kesulitan berdiri sementara ghonitis
TB ditandai dengan sulit berjalan atau berdiri serta atrofi paha dan betis.
Pemeriksaan penunjang utama adalah pemeriksaan foto tulang belakang. Dapat
ditemukan gambaran destruksi antara korpus vertebra yang berdekatan dengan jarak
antara dua korpus vertebra yang melebar, tepi korpus bagian anterior bergerigi,
20
Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (>38°C) berlangsung ≥ 7
hari atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari.
Disfungsi Neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefali,
keterlambatan dalam perkembangan, hipertonia atau bingung (mental confusion).
Herpes zoster (shingles): ruam kemerahan yang nyeri dengan bisul kecil terbatas
pada satu dermatom di satu sisi.
Dermatitis HIV: Ruam yang eritematosa dan papular. Ruam kulit yang khas
meliputi infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala serta
Molluscum contagiosum (MC) yang ekstensif.
Penyakit paru supuratif yang kronik (Chronic suppurative lung disease).
b. Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga
lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV
Otitis media kronik: cairan keluar dari telinga selama ≥ 14 hari.
Diare Persisten: diare yang berlangsung ≥ 14 hari.
Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau memburuknya
pertambahan berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan
pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana yang tercantum dalam Kartu Menuju
Sehat (KMS).
c. Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV
Bila didapatkan: PCP, Kandidiasis esofagus, LIP atau Sarkoma Kaposi.
Tabel 1. Stadium Klinis HIV10
21
6.1.2. Diagnosis
1. Diagnosis TB pada anak HIV
Diagnosis TB anak hingga saat ini masih mengalami banyak tantangan karena
sulitnya mendapatkan specimen pemeriksaan bakteriologi serta rendahnya konfirmasi
bakteriologi yang didapat. Pemeriksaan BTA aspirat lambung pada TB anak hanya
menunjukkan hasil positif pada 10-15% pasien. Hal ini terjadi karena sedikitnya jumlah
kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan specimen sputum. Walaupun begitu,
pemeriksaan bakteriologi tetap harus dilakukan pada setiap pasien. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan dengan pengambilan specimen dari beberapa tempat yang
memungkinkan sesuai dengan manifestasi klinis penyakit TB-nya, misalnya sputum,
aspirasi cairan lambung, cairan pleura, induksi sputum, biopsy jarum halus pada kelenjar
getah bening yang membesar, dan biopsy jaringan lainnya.1,3,6
Tanpa konfirmasi bakteriologi, diagnosis TB anak berdasarkan 4 hal, yaitu:
1. Kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif
2. Tuberculin positif (³5 mm pada anak terinfeksi HIV, ³10 mm pada yang tidak
terinfeksi HIV)
3. Gambaran sugestif TB secara klinis, misalnya gibbus
4. Gambaran sugestif TB pada foto toraks
HIV memiliki dampak terhadap diagnosis TB anak antara lain yaitu beberapa
penyakit terkait HIV termasuk TB memiliki gejala klinis yang sama, interpretasi uji
tuberculin sering memberikan ahsil negatif palsu, anak dengan TB-HIV sering berasal
dari orangtua yang sudah meninggal akibat HIV sehingga kepatuhan pengobatan TB
22
jika anak sedang menyusu atau pernah menyusu. Walaupun infeksi HIV tidak dapat
disingkirkan sampai usia 18 bulan pada beberapa anak, sebagian besar anak tidak
memiliki antibody HIV lagi pada usia 9-18 bulan. Uji diagnotik HIV harus bersifat
rahasia, diikuti dengan konseling dan dilakukan dengan informed consent. Pada anak
berarti memerlukan persetujuan orang tua atau caregiver. Adapun indikasi konseling
yaitu pada anak yang status HIV-nya tidak diketahui yang menunjukkan tanda klinis
infeksi HIV atau terdapat faktor risiko seperti HIV pada ibu atau saudara kandung,
anak dengan infeksi HIV tetapi respons terhadap pengobatan baik atau membutuhkan
penyelidikan lebih lanjut, anak dengan infeksi HIV degan respons yang baik terhadap
pengobatan dan akan dipulangkan atau dirujuk ke program perawatan di masyarakat
untuk dukungan psikologis.1,3
6.1.Anamnesis1,3
• Riwayat kontak TB yang paling sering ditemukan adalah ibu atau anggota
keluarga lain yang ikut mengasuh anak. Kontak mungkin terjadi dalam waktu 6
bulan hingga 2 tahun sebelumnya.
• Berkurangnya berat badan 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau
gagal tumbuh
• Demam tanpa sebab jelas, umumnya lebih dari 2 minggu
• Batuk kronik ³3 minggu, dengan atau tanpa mengi
• Riwayat kontak dengan TB paru dewasa
• Gejala TB berat atau mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia
berulang dan diare kronis atau berulang
• Riwayat infeksi HIV pada ibu serta riwayat pencegahan penularan ibu ke anak
terutama jika orangtua meninggal oleh sebab yang tidak diketahui
• Riwayat infeksi HIV pada saudara kandung
• Riwayat kelahiran, ASI, dan kondisi neonatal
• Riwayat terpajan jarum suntik yang terkontaminasi atau menerima transfusik
berulang
• Riwayat kekerasan seksual
23
6.2.Pemeriksaan Fisik
• Pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, inguinal
• Pembengkakan progresif atau deformitas tulang, sendi, lutut, falang
• Pengukuran berat badan menurut umur atau lebih baik pengukuran berat
menurut panjang/tinggi badan
• Gejala HIV: demam perkepanjangan, kandidosis oral, kelainan kulit,
pembengkakan parotis, dll bergantung stadium
Untuk memudahkan penegakan diagnosis TB anak, IDAI merekomendasikan
sistem skoring. Pasien dengan jumlah skor ³6, harus ditatalaksana sebagai pasien
TB dan mendapatkan OAT.
Perlu diperhatikan jika terdapat keadaan khusus seperti adanya tanda bahaya
antara lain kejang, kaku kuduk, penurunan kesadaran, dan sesak napas; foto dada
menunjukkan gambaran milier, kavitas, dan efusi pleura; adanya gibbus atau
koksitis.
6.3.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan TB
Jika skor kurang dari 6 tapi secara klinis kecurigaan kuat kearah TB maka
perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lain sesuai indikasi seperti patologi
anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT
Scan, IGRA, dan lain-lain.3
Diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV lebih sulit dibandingkan yang tidak
terinfeksi HIV karena uji tuberculin seringkali negatif (false negative), gejala utama
24
koinfeksi HIV-TB pada anak adalah gagal tumbuh, dan kelainan foto toraks pada
anak terinfeksi HIV seringkali akibat gejala respiratori lain, bukan akibat TB.1,7
a. Uji Tuberculin
Uji tuberculin merupakan pemeriksaan yang menggunakan protein kuman TB
yang disebut purified protein derivative (PPD). Setelah terinfeksi kuman TB, maka
seseorang akan mengalami hipersensitivitas terhadap PPD ini. Oleh karena itu, uji
tuberculin akan positif pada orang yang pernah atau sedang terinfeksi kuman TB.
Reaksi dibaca 48-72 jam setelah penuntikan intrakutan berupa diameter transversal
terlebar indurasi. Hasil uji tuberculin dapat negatif palsu pada beberapa keadaan
seperti infeksi HIV, TB milier, malnutrisi berat, infeksi bakteri berat, infeksi virus,
obat imunosupresif dan prosedur penyuntukan yang salah.1
b. Foto Toraks
Gambaran radiologi sugestif TB pada anak terinfeksi HIV antara lain berupa
pembesaran KGB hilus, efusi pleura, milier, gambaran pneumonia, atelectasis,
kavitas, dan bronkiektasis. Gambaran yang paling sering ditemukan yaitu
pembesaran KGB hilus.1
c. Pemeriksaan BTA
Diagnosis menggunakan BTA pada anak sangatlah sulit. Sampel dapat diambil
berdasarkan gejala dari pasien. Pada pengambilan sampel sputum dapat dilakukan
induksi dengan larutan hipertonik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan bilas
lambung.
Pemeriksaan HIV
a. Uji Antibodi HIV (ELISA atau Rapid Test)
Uji cepat merupakan pilihan yang aman, efektif, sensitive dan dapat dipercaya
untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV pada anak mulai dari 18 bulan. Pada usia
<18 bula, uji cepat dapat dipercaya untuk mendeteksi bayi yang terpajan HIV. Uji
cepat dapat untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak malnutrisi atau keadaan
klinis berat lainnya di daerah dengan prevalens HIV tinggi. Pada anak <18 bulan,
hasil uji antibody yang positif harus dikonfirmasi dengan uji virologi sesegera
mungkin. Jika tidak tersedia maka uji antibody perlu diulang pada usia 18 bulan.1
b. Uji Virologi
Uji virologi untuk RNA atau DNA spesifik HIV merupakan metode yang
paling dipercaya untuk diagnosis infeksi HIV pada usia <18 bulan. Jika anak pernah
25
mendapatkan pencegahan dengan zidovudine (ZDV) selama atau sesudah persalinan,
uji virologi tidak dianjurkan sampai 4-8 minggu setelah lahir. Satu uji virologi yang
positif pada usia 4-8 minggu sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Tetapi jika
hasilnya negatif dan bayi mendapatkan ASI maka uji perlu diulang 6 minggu setelah
anak berhenti ASI.1,3
Status HIV pada Anak
a. Kriteria Klinis1
Berdasarkan stadium klinis WHO yaitu stadium 1 asimtomatik, stadium 2
ringan, stadium 3 sedang, dan stadium 4 berat.
b. Kriteria Imunologis1
Tabel 3. Kriteria Imunologis HIV1
imunosupresi berat.1,16
26
2. Dosis
Tabel 4. Dosis OAT Anak1
Obat Dosis Dosis Maksimal
INH 10 mg/kgBB/hari 300 mg
Rifampisin 15 mg/kgBB/hari 600 mg
Pirazinamid 35 mg/kgBB/hari 2000 mg
Etambutol 20 mg/kgBB/hari 1250 mg
Streptomisin 20 mg/kgBB/hari 1000 mg
Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernapasan, efusi pleura, dan efusi
pericardial diberikan tambahan kortikosteroid berupa prednisone 1 mg/kgBB/hari
dibagi 3 dosis selama 6 minggu selanjutnya tapering off selama 6 minggu.1
3. Pemberian OAT pada Anak Terinfeksi HIV
Tuberkulosis seringkali didiagnosis sebelum status HIV anak diketahui.
Pemberian OAT pada anak yang terinfeksi HIV yang akan atau sedang mendapat
ART harus memperhatikan interaksi antar obat karena pemberian bersama-sama
dapat menyebabkan pengobatan menjadi tidak optimal serta meningkatkan
toksisitas. Rifampisin dapat menurunkan kadar plasma NNRTI sebesar 20-60%
serta menurunkan kadar antiretroviral protease inhibitor sebesar 80%. Rifampisin
dapat diberikan bersamaan dengan semua jenis NRTI. Rekomendasi pemberian
OAT bersama ART adalah 2 jenis NRTI dikombinasi dengan efavirenz (EFV).
Pemberian ART dapat dimulai bila anak telah mendapat OAT selama 2 bulan,
tetapi apabila HIV sangat parah yaitu bila TB disertai penyulit seperti hemoptoe,
atau TB meningitis maka ART dapat diberikan setelah 2-8 minggu.1
4. Monitoring dan Evaluasi Pemberian OAT Pada Anak Terinfeksi HIV
Masalah yang sering dihadapi pada pengobatan TB anak terinfeksi HIV adalah
respons pengobatan yang kurang baik dan angka relaps yang tinggi. Bila respons
klinis dan radiologi kurang maka pemberian OAT dapat dilanjutkan sampai 9-12
bulan selanjutnya. Evaluasi respons klinis dan radiologi yang kurang setelah
pemberian OAT 6 bulan meliputi kepatuhan minum obat, absorpsi obat yang kurang,
resistensi obat, dan kemungkinan diagnosis TB salah.1 Selain itu perlu dilakukan
monitoring terhadap gejala toksisitas. Umumnya gejala toksisitas ART dan OAT
sama sehingga sulit diidentifikasi. Namun efek samping OAT lebih sering ditemui
pada anak dengan HIV dan umumnya muncul pada 2 bulan pertama
27
pengobatan. Pemberian INH pada anak terinfeksi HIV dan mendapat ART
disarankan untuk ditambahkan piridoksin (vitamin B6).
5. Efek Samping OAT dan
Tatalaksananya Kulit
Efek samping pada kulit yang sering ditemukan biasanya ruam merah dan sifatnya
ringan. Namun dapat berupa toksik epidermal nekrolisis (TEN) yang mengancam
kehidupan maupun ruam yang tersebar pada wajah, dada, dan seluruh tubuh. Obaat
HIV yang dapat menimbulkan ruam antara lain kotrimoksazol, nevirapine, EFV dan
abacavir. Jika ruam, gatal, dan demam terjadi segera setelah konsumsi OAT
menandakan adanya reaksi hipersensitivitas. Apabila ruam ringan dan tidak gatal
maka OAT dapat dilanjutkan, jika terdapat gatal dapat diberikan antihistamin. Jika
efek samping berat seperti TEN atau SSJ, maka semua OAT harus dihentikan sampai
klinis membaik. Jika ruam sudah hilang dapat diberikan lagi mulai dari dosis paling
rendah yaitu (INH 50 mg, Rifampisin 75 mg) dinaikkan secara bertahap sampai
Hepatotoksik
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan uji fungsi hati sebelum pengobatan dimulai
dan sebaiknya diperiksa rutin setiap bulan. OAT lini pertama yang menimbulkan
hepatotoksisitas adalah INH, rifampisin, dan pirazinamid. Gejala klinis
hepatotoksisitas bervariasi mulai dari gangguan fungsi hati ringan, sampai
kerusakan hati berat yang menyebabkan gagal hati. Pada anak yang terinfeksi
HIV, risiko hepatotoksisitas akibat OAT lebih tinggi 4 kali lipat. Gejala
konstitusional berupa lemah, mual, muntah, demam, myalgia, atralgia, dan sakit
perut. Apabila terjadi efek hepatotoksik yang ditandai dengan peningkatan
SGOT/SGPT >5x nilai normal tanpa disertai ikterus, bilirubin total>1,5 mg/dl
tanpa disertai icterus, atau munculnya gejala ikterus dengan uji fungsi hati
normal, maka INH, rifampisin, dan pirazinamid dihentikan, namun apabila tetap
diperlukan, dapat diberikan etambutol dan streptomisin (tidak boleh lebih dari 2
bulan) sambil dipantau fungsi hati. Apabila fungsi hati sudah normal, maka
regimen pengobatan kembali dimulai dengan INH, rifampisin, dan pirazinamid
dengan metode titrasi (separuh dosis dahulu). OAT dapat diberikan kembali 2
minggu setelah gejala klinis hepatotoksisitas hilang atau uji fungsi hati normal
kembali. Apabila dalam 2 bulan pemberian etambutol dan streptomisin fungsi
hati masih tetap tinggi, maka pasien harus dirujuk.1, 8-10, 15
28
Gastrointestinal
Efek yang paling sering yaitu mual, muntah, dehidrasi, dan imbalans elektrolit.
Efek samping ini seringkali merupakan gejala awal efek hepatotoksisitas. Bila
gejala ringan-sedang, dapat diatasi dengan cara minum OAT bersamaan dengan
makanan atau diminum segera sebelum tidur atau memberikan antiemetik. Bila
gejala berat dapat diberikan antasid atau PPI 2 jam sebelum atau sesudah makan
OAT karena menurunkan absorpsi rifampisin sebesar 20-40%.1
6. Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS)
Pemberian ART fase awal menyebabkan penekanan replikasi virus HIV secara
cepat (90% virus dalam 1-2 minggu) sehingga terjadi pemulihan sistem imun,
peningkatan CD4 yang besar pada fase inisial yang dilanjutkan dengan
penurunan jumlah virus. IRIS adalah kumpulan gejala atau manifestasi klinis
akibat respon imun yang meningkat secara cepat terhadap berbagai infeksi
maupun antigen non infeksius setelah pemberian ART fase inisial. Salah satu
organisme yang paling sering menyebabkan IRIS adalah MTB. IRIS umumnya
terjadi pada pemberian OAT bersamaan dengan ART selama 2 bulan pertama. 1
Manifestasi klinis IRIS yang tersering adalah munculnya lagi gejala penyakit
infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah teratasi infeksinya, munculnya
infeksi yang sebelumnya asimtomatik, dan penyakit autoimun dan inflamasi
seperti sarcoidosis. Gejala klinis IRIS bersifat sementara misalnya demam,
limfadenopati yang bertambah, tuberculoma intraserebral menjadi muncul
kembali, efusi pleura, sindrom distress pernapasan, infeksi subklinis menjadi
manifestasi atau gejala klinis memburuk pada pengobatan TB yang adekuat.
Perburukan klinis TB pada pemberian ART selain dapat akibat IRIS dapat juga
akibat reaksi hipersensitivitas terhadap antigen MTB yang mati.1
Diagnosis IRIS pada TB-HIV dapat ditegakkan apabila memenuhi 3 dari kriteria
berikut: manifestasi klinis atipikal setelah ART mulai diberikan; viral load
menurun 1 log 10 per ml, CD4 meningkat; bukan TB relaps atau resisten OAT;
bukan karena ketidakpatuhan minum obat; bukan akibat efek samping obat;
bukan karena infeksi lain atau keadaan lain karena HIV.1
Tatalaksana Anak Terinfeksi HIV
Langkah awal dalam tatalaksana anak yang terdiagnosis HIV adalah memastikan
tumbuh kembangnya terjaga, selanjutnya diagnosis dan tatalaksana infeksi
oportunistik yang ada. Pemberian profilaksis untuk TB, PCP, dan malaria
29
merupakan bagian penting terutama pada anak dengan kadar limfosit CD4 sangat
rendah <15% atau bayi. Selanjutnya dilakukan penelitian untuk pemberian ART
yang meliputi memastikan pemberi minum obat, kondisi social ekonomi, dan
kepatuhan terhadap obat lain. Pemberian ART bukan langkah sesegera, dalam
koinfeksi TB-HIV harus dipastikan OAT dimulai terlebih dahulu.1
Bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV dan terbukti terinfeksi HIV langsung diberikan
ART tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Pemberian ART dapat bersinergi dengan
INH profilaksis. Efavirenz lebih disarankan pada anak yang mendapatkan rifampisin.
Baku pengobatan adalah triple therapy yaitu dengan 2 NRTI + 1 NNRTI. Lini kedua
dapat menggunakan triple NRTI. Berikut merupakan pilihan obat ART lini pertama
yang digunakan pada anak TB-HIV:1,3,10
30
Terdapat beberapa kriteria pemberian ART dikatakan gagal (setelah pemberian ³6
bulan) yaitu secara klinis (tidak ada atau penurunan pertumbuhan pada anak
dengan respons pertumbuhan awal terhadap ART, hilangnya neurodevelopmental
milestones atau mulai muncul gejala ensefalopati, keadaan pada stadium klinis 4
yang baru atau kambuh), dan kriteria CD4 (kembalinya CD4% jika <6 tahun atau
hitung CD4 jika usia ³6 tahun pada atau dibawah data dasar sebelum terapi tanpa
ada penyebab lain, atau CD4% turun ³50% dari puncaknya tanpa ada penyebab
lain. Pengobatan menggunakan lini kedua dilakukan jika tidak ada kemajuan
klinis dan terjadinya kegagalan. Pasien harus menerima ART selama 6 bulan atau
lebih dan masalah kepatuhan harus diatasi sebelum mengubah regimen ART.
Pengobatan lini kedua dapat menggunakan abacavir dan didanosine ditambah
protease inhibitor jika BB³25 kg.3,10
Pemberian kotrimoksazol diberikan pada semua anak yang terpapar HIV (lahir
dari ibu HIV) sejak usia 4-6 minggu dan pada setiap anak yang diidentifikasi
terinfeksi HIV. Jika diberikan ART, kotrimoksazol hanya boleh dihentikan saat
indikator klinis dan imunologis memastikan perbaikan sistem kekebalan selama 6
bulan atau lebih. Kecuali jika terdapat reaksi kulit yang berat, kegagalan organ,
atau pada anak yang terpapar HIV terbukti tidak terinfeksi HIV (dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium PCR 2 kali atau antibody pada usia sesuai)
maka kotrimoksazol dapat dihentikan sesingkatnya usia 6 bulan-1 tahun. Untuk
anak yang terinfeksi HIV pada usia <1 tahun, profilaksis diberikan hingga usia 5
tahun atau diteruskan seumur hidup. Jika terinfeksi HIV saat usia 1-5 tahun maka
diberikan seumur hidup dan jika saat >5 tahun bila dimulai pada stadium berapa
saja dan CD4<350 maka diteruskan seumur hidup atau dihentikan jika CD4>350
sel/ml setelah minum ARV 6 bulan namun jika dimulai pada stadium 3 dan 4
maka profilaksis dihentikan jika CD4<200 sel/ml. Untuk dosis yang
direkomendasikan 6-8 mg/kgBB trimetroprim sekali sehari. 3,10
31
Tabel 7. Indikasi Pemberian Kotrimoksazol10
Pada keadaan penyerta HIV seperti candidiasis oral dan esofagus, obati bercak
putih dengan larutan nystatin 400.000-600.000 U/ml. Oleskan 1-2 ml didalam
mulut sebanyak 5 kali sehari selama 7 hari. Jika tidak tersedia, olesi dengan
larutan gentian violet 1%. Jika hal ini masih tidak efektif, berikan gel mikonazol
2%, 5 ml 2 kali sehari atau flukonazol oral 3-6 mg/kgBB 1x/hari selama 14 hari.
Suspek kandidiasis esofagus jika ditemukan kesulitan atau nyeri saat muntah atau
menelan, tidak mau makan, saliva yang berlebihan atau menangis saat makan.
Kondisi ini dapat terjadi dengan atau tanpa ditemukan oral thrush. Jika tidak
ditemukan thrush dapat diberikan pengobatan percobaan dengan flukonazol oral
3-6 mg/kgBB sekali sehari selama 14-21 hari. 3,10
2.1.6. Pencegahan
Pencegahan TB pada Anak Terinfeksi HIV
1. Pelacakan Kontak
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB maka harus dicari sumber
penularannya yang biasanya adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan
kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan
pelacakan sentripetal yaitu memeriksa sputum BTA dan foto toraks. Jika telah
ditemukan sumbernya maka dilakukan pelacakan sentrifugal yaitu mencari anak lain
di sekitar sumber penularan yang kemungkinan juga tertular dengan pemeriksaan uji
tuberkulin. Laporkan tiap kasus ke Dinas Kesehatan setempat.1,3,11
32
2. Pengendalian Infeksi
Perlu dilakukan diagnosis dan pengobatan TB secara adekuat. Selain itu diperlukan
juga perbaikan lingkungan rumah seperti ventilasi (pintu dan jendela) yang baik dan
masuknya sinar matahari ke dalam rumah secara efektif.1
3. Pemberian INH Profilaksis
Diagnosis infeksi TB laten pada anak terinfeksi HIV sangat penting karena berisiko
untuk mengalami reaktivasi. Bila anak balita sehat tinggal serumah dengan TB paru
BTA positif dengan skor <5, maka dapat diberikan isoniazid. INH tidak
menimbulkan interaksi obat ketika diberikan bersama dengan ART. Dosis INH
profilaksis yaitu 10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan. Berikut merupakan kebijakan
pemberian INH profilaksis:1,3,11
4. Vaksinasi BCG
Vaksin BCG adalah vaksin yang berisi M.bovis hidup yang dilemahkan. Efek
proteksinya yaitu 0-80% bahkan diragukan di wilayah endemis. Walaupun begitu,
vaksin BCG memberikan proteksi yang baik terhadap terjadinya TB berat seperti TB
milier dan meningitis TB. Pada anak terinfeksi HIV, vaksin BCG tidak banyak
memberikan efek menguntungkan dan dapat menimbulkan BCG-it is diseminata
yaitu penyakit TB aktif akibat pemberian BCG pada pasien imunokompromais.
WHO menetapkan bahwa vaksinasi BCG kontraindikasi pada anak terinfeksi HIV
yang bergejala. Bila status HIV ibu telah diketahui dan Preventing Mother to Child
Transmission of HIV (PMTCT) telah dilakukan maka vaksinasi BCG tidak segera
diberikan pada bayinya. Pemberian BCG menunggu status bayi ditetapkan melalui
pemeriksaan PCR (6 bulan) atau serologis pada umur sesudahnya serta sebaiknya
33
2.2. GIZI BURUK
Gizi buruk ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri.
Adapun kriteria diagnosisnya yaitu: 3
1. BB/TB <-3 SD atau <70% dari median (marasmus)
2. Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor BB/TB >-3SD
atau marasmik-kwashiorkor BB/TB<-3SD)
3. Pada anak yang berusia 5-59 bulan Lingkar Lengan Atas (LLA) berukuran < 115 mm
Jika tidak dapat dilakukan pengukuran BB/TB maka dapat digunakan tanda klinis berupa
visible severe wasting dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua
bahu, lengan, pantat, dan paha, tulang iga terlihat jelas dengan atau tanpa edema. Anak
dengan BB/U<60% belum tentu gizi buruk karena mungkin anak tersebut pendek.3
Anamnesis pada gizi buruk yaitu adanya mata cekung, lama dan frekuensi diare dan
muntah serta karakteristiknya, kapan terakhir berkemih, diet atau pola makan sebelum sakit,
riwayat ASI, asupan makanan dan minuman beberapa terakhir, kehilangan nafsu makan,
kontak dengan pasien campak atau TB paru, sakit campak dalam 3 bulan terakhir, batuk
kronik, berat badan lahir, riwayat tumbuh kembang, riwayat imunisasi, apakah ditimbang
setiap bulan, lingkungan keluarga, pernah diperiksakan HIV atau tidak. 3
Pada pemeriksaan fisik dapat dicari apakah anak tampak sangat kurus, edema pada kedua
punggung kaki, adanya tanda dehidrasi (haus, mata cekung, turgor buruk), tanda syok,
demam, frekuensi dan tipe pernapasan, sangat pucat, pembesaran hati dan icterus, perut
kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, tanda defisiensi vitamin A (Bitot spot,
keratomalasia, ulkus kornea), ulkus pada mulut, lesi kulit (hipo atau hiperpigmentasi,
deskuamasi, ulserasi, lesi eksudatif), tanda dan gejala infeksi HIV. 3
Marasmus dan kwashiorkor merupakan tahap akhir dari derajat gizi buruk. Penderita
marasmus memiliki tubuh yang sangat kurus, wajah seperti orang tua, iga gambang, baggy
pants. Sedangkan penderita kwashiorkor memiliki edema bermula dari punggung kaki dan
dapat meluas ke seluruh tubuh karena hipoalbumin, rambut seperti rambut jagung dan mudah
dicabut, dan terdapat dermatosis.
Tatalaksana
Penilaian triase anak dengan gizi buruk yaitu dengan mencari adanya tanda syok. Jika
terdapat ulkus kornea, pasien dapat diberikan vitamin A dan o13bat tetes mata
kloramfenikol/tetrasiklin dan atropin lalu tutup mata dengan kassa yang dibasahi larutan
fisiologis dan dibalut. Tatalaksana umum meliputi 10 langkah yang terbagi menjadi 3 fase
yaitu fase stabilisasi, fase rehabilitasi, dan fase tindak lanjut.
34
Tabel 9. 10 Langkah Penatalaksanaan Gizi Buruk3
1. Hipoglikemia
Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (GDS<54 mg/dl) sehingga harus
diberi makan atau D10%. Pasien harus segera diberikan F-75. Jika tidak tersedia dapat
diberikan 50 ml larutan glukosa atau gula 10% secara oral atau per NGT. Pemberian F-75
setiap 2-3 jam, siang dan malam selama minimal 2 hari. ASI tetap dilanjutkan. Jika anak
tidak sadar dapat diberikan bolus D10% sebanyak 5 ml/kgBB. Untuk pemantauan, jika
kadar gula darah awal rendah maka perlu dilakukan pengukuran ulang setelah 30 menit,
jika masih hipoglikemia pemberian larutan glukosa perlu diulang. 3
2. Hipotermia
Dikatakan hipotermia jika suhu aksilar <35,5oC. Pastikan anak tetap hangat dengan
berpakaian termasuk kepala, tutup dengan selimut hangat, letakkan penghangat atau lampu di
dekatnya. Jika menggunakan lampu listrik letakkan lampu pijar 40 W dengan jarak 50
cm dari tubuh anak. Suhu aksilar dipantau setiap 2 jam hingga meningkat menjadi
36,5oC, jika digunakan pemas ukur suhu tiap setengah jam. 3
3. Dehidrasi
Status dehidrasi sulit dilakukan pada anak dengan gizi buruk. Anak gizi buruk dengan diare
cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas dianggap sebagai dehidrasi ringan. Tatalaksananya dapat
diberikan ReSoMal per oral atau NGT dilakukan secara lambat. Cairan diberikan 5 ml/kgBB
tiap 30 menit untuk 2 jam pertama, setelah 2 jam berikan ReSoMal 5-10 ml/kgBB/jam
selang-seling dengan F75 dengan jumlah yang sama setiap jam selama 10 jam. Selanjutnya
F75 diberikan secara teratur setiap 2 jam. Jika masih diare, berikan ReSoMal tiap kali diare.
Untuk usia <1th 50-100 ml tiap BAB, >1 th 100-200 ml tiap BAB. Pemantauan rehidrasi
dilakukan tiap setengah jam selama 2 jam pertama, lalu tiap jam
35
sampai 10 jam berikutnya. Jika ditemukan tanda kelebihan cairan, maka rehidrasi harus
segera dihentikan dinilai ulang setelah 1 jam. 3
4. Gangguan Elektrolit
Umumnya anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan magnesium yang
membutuhkan waktu 2 minggu untuk diperbaiki. Selain itu dapat terjadi kelebihan
natrium total pada tubuh walaupun kadar natrium serum mungkin rendah sehingga
menyebabkan edema. Tidak disarankan untuk mengobati edema dengan diuretik. Untuk
mengatasinya dapat diberikan kalium dan magnesium yang sudah terkadung dalam
larutan mineral mix yang ditambahkan kedalam F75, F100 atau ReSoMal. 3
5. Infeksi
Dapat diberikan antibiotic spektrum luas. Jika tidak ada komplikasi dapat diberikan
kotrimoksazol peroral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12 jam selama 5 hari). Jika ada
komplikasi dapat diberikan ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari
dilanjutkan amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari) ditambah gentamisin
(7,5 mg/kgBB/hari IM/IV setiap hari selama 7 hari). Jika tidak membaik dalam 48 jam
tambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV setiap 8 jam selama 5 hari). Jika curiga
meningitis perlu dilakukan pungsi lumbal dan obati dengan kloramfenikol selama 10 hari.
Jika ada infestasi cacing dapat diberikan mebendazole 100 mg/kgBB selama 3 hari. 3
36
Tabel 10. Pemberian F753
8. Tumbuh Kejar
Tanda fase ini telah tercapai yaitu kembalinya nafsu makan, dan edema berkura atau hilang.
Pada fase ini dilakukan transisi secara bertahap dari F75 ke F199. Berikan F100 dengan
jumlah yang sama dengan F75 selama 2 hari berturut-turut. Selanjutnya F100 dinaikkan
sebanyak 10 ml setiap kali pemberian hingga anak tidak mampu menghabiskan (umumnya
200 ml/kgBB/hari). Setelah transisi bertahap dapat dilakukan pemberian makan yang sering
dengan jumlah yang tidak terbatas, energi 150-220 kkal/kgBB/hari dan protein 4-6
g/kgBB/hari. Kemajuan terapi dinilai dari kenaikan berat badan setelah tahap transisi. Jika
kenaikan BB kurang (<5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap. Jika
kenaikan BB sedang (5-10 g/kgBB/hari) perlu di evaluasi apakah target asupan terpenuhi
atau ada infeksi yang tidak terditeksi. Kenaikan BB dikatakan baik jika >10 g/kgBB/hari.
3
Tabel 11. Kebutuhan Zat Gizi3
9. Stimulasi Sensorik
Dilakukan dengan ungkapan kasih sayang, lingkungan yang ceria, diajak bermain 15-30
menit per hari, keterlibatan ibu sesering mungkin (memberi makan, memandikan). 3
10. Tindak Lanjut3
Dilakukan pada minggu ke 7-26. Jika pasien sudah mencapai persentil 90% BB/TB,
dikatakan anak sudah pulih dari malnutrisi. Selanjutnya stimulasi fisik dan pemberian
nutrisi yang adekuat dapat diteruskan di rumah. Orang tua pasien diajarkan untuk
memberi makanan secara sering dengan nutrient dan energi yang cukup dan memberi
terapi bermain secara terstruktur. Orang tua pasien disarankan untuk melakukan kontrol
teratur, memberikan booster imunisasi, dan memberikan vitamin A tiap 6 bulan.
37
3.3.DIARE PERSISTEN
Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah yang berlanjut sampai 14
hari atau lebih. Jika terdapat tanda dehidrasi sedang atau berat maka diare persisten
diklasifikasikan sebagai berat. Pada daerah yang memiliki angka prevalensi HIV tinggi,
curigai anak menderita HIV jika terdapat tanda klinis lain atau faktor risiko.3
1. Diare Persisten Berat
Merupakan diare pada bayi atau anak selama ³14 hari, dengan tanda dehidrasi, menderita
38
tetap harus diberikan, jika tidak bisa, dapat diberikan susu pengganti yang sama sekali
tidak mengandung laktosa. Pada anak usia >6 bulan, makanan harus diberikan setidaknya
6 kali sehari. Metode diet pertama yaitu diet yang mengandung pati serta diet susu yang
dikurangi konsentrasinya (rendah laktosa). Diet ini harus mengandung setidaknya 70
kalori/100 ggram. Susu diberikan sebagai protein hewani tetapi tidak lebih dari 3,7 gram
laktosa/kgBB/hari dan harus mengandung setidaknya 10% kalori dari protein. Jika tidak
ada perbaikan dalam 7 hari, diet yang pertama harus dihentikan dan diberikan metode diet
kedua selama 7 hari. Metode diet kedua yaitu tanpa susu (bebas laktosa) dan diet dengan
rendah pati. Diet ini juga minimal harus 70 kalori/100 gram dan setidaknya 10% kalori
dari protein (telur atau ayam).3
Pengobatan yang berhasil ditandai dengan asupan makanan yang cukup, pertambahan
berat badan setidaknya selama 3 hari berturut-turut, diare berkurang, tidak ada demam.
Pada anak yang memberikan reaksi yang baik dapat diberikan tambahan buah segar dan
sayuran matang. Setelah 7 hari pengobatan dengan diet efektif, anak harus kembali
mendapat diet yang sesuai dengan usianya. Diet dikatakan gagal jika terjadi peningkatan
frekuensi BAB anak, kembalinya tanda dehidrasi, dan kegagalan penambahan berat
badan dalam waktu 7 hari. Monitoring dilakukan dengan memeriksakan berat badan, suhu
badan, asupan makanan, dan jumlah BAB.3
2. Diare Persisten Tidak Berat
Pada anak dengan diare yang telah berlangsung selama 14 hari tanpa tanda dehidrasi dan
tidak menderita gizi buruk. 3
Tatalaksana:
Pengobatan rawat jalan, pemberian zat gizi mikro dan vitamin, pencegahan dehidrasi.
Apabila tanpa dehidrasi, dapat diberikan oralit, usia <2 tahun 50-100 ml tiap kali BAB, dan
³2 tahun 100-200 ml tiap kali BAB. Selain itu, diberikan zink selama 10 hari, pada usia <6
bulan 10 mg/hari, >6 bulan 20 mg/hari. Pemberian makan dan ASI dapat dilanjutkan.
39
BAB III
DISKUSI
Pasien laki-laki usia 6 tahun 10 bulan datang dengan keluhan utama demam sejak 2
minggu. Adapun daftar masalah yang ditemukan pada pasien ini yaitu: TB paru kasus baru
status BTA? on OAT kategori I fase intensif bulan kedua, drug induced hepatitis ec. obat anti
tuberculosis, suspek HIV stadium 4, gizi buruk marasmik, candidiasis oral, dan diare
persisten berat. Berikut merupakan pengkajian dari setiap asesmen:
1. Drug induced hepatitis ec. Obat anti tuberculosis
Berdasarkan anamnesis, mata pasien dikatakan menjadi kuning sejak meminum
obat anti tuberculosis selama 2 minggu. BAK pasien juga dikatakan berwarna gelap.
Adapun gejala konstitusional yang terdapat pada pasien yaitu lemas dan nyeri perut.
Penyebab lain mata kuning pada pasien seperti leptospirosis dapat disingkirkan karena
tidak ada nyeri tekan gastrocnemius, dan tidak ada riwayat kebanjiran, thalassemia dapat
disingkirkan karena tidak ada pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan
hepatosplenomegali, serta tidak terdapat anemia. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
adanya sklera yang ikterik serta nyeri tekan pada regio kanan atas abdomen dan
epigastrium. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan SGOT 160/ SGPT 89. Adanya
peningkatan nilai fungsi hati dapat disebabkan karena efek hepatotoksisitas dari OAT
yang dikonsumsi pasien. Adapun rencana diagnosis lain yang dapat dilakukan yaitu
pemeriksaan kadar bilirubin. Pada pasien ini, tatalaksana yang dilakukan yaitu
penghentian konsumsi OAT. Hal ini sudah sesuai dengan guideline yang tersedia. Selain
itu fungsi hati pasien harus terus dilakukan monitoring. Jika sudah normal, regimen
pengobatan dapat kembali dikonsumsi (umumnya 2 minggu setelah gejala klinis
hepatotoksik hilang atau uji fungsi hati kembali normal). Pada hari perawatan ke-5,
pasien ini mengalami perbaikan dengan sklera ikterik yang sudah berkurang serta uji
fungsi hati SGOT 78 / SGPT 69. Karena fungsi hati belum sepenuhnya normal, maka
OAT masih tetap di stop hingga kembali ke normal.
2. TB paru kasus baru status BTA? on OAT kategori I fase intensif bulan kedua
Pada pasien ditegakkan diagnosis ini karena berdasarkan anamnesis lebih lanjut,
terdapat keluhan prolonged febris, pasien diketahui mengeluh batuk kronik selama 2
minggu. Selain itu, pasien juga mengalami penurunan berat badan secara drastis dalam 1
40
bulan terakhir. Pasien sebelumnya sudah pernah berobat ke klinik dan sudah didiagnosis
dengan TB paru setelah diperiksa rontgen dada. Selain itu diketahui bahwa pada ayah dan
ibu pasien memiliki riwayat TB paru. Pada pemeriksaan fisik, kecurigaan ke arah TB
diperkuat dengan adanya demam subfebris yaitu suhu 37,6oC, adanya ronki pada kedua
lapang paru, serta status gizi yaitu gizi buruk. Pada pemeriksaan penunjang radiologi foto
toraks juga ditemukan corakan paru meningkat dengan infiltrat ringan.
Penegakkan diagnosis pada pasien diperkuat oleh gejala yang muncul serta
adanya kontak yang cukup adekuat untuk terinfeksi TB paru. Pasien sebelumnya juga
belum pernah TB paru sehingga kasus ini merupakan kasus baru. Saat ini pasien sedang
dalam pengobatan fase intensif bulan kedua. Adapun manifestasi TB pada organ lain
tidak ditemukan pada pasien ini. Pada hari perawatan ke-3 diketahui bahwa sputum BTA
pasien negatif. Hal ini menandakan bahwa anak tidak akan menularkan TB secara aktif.
Hasil pemeriksaan sputum BTA seringkali negatif pada anak karena jumlah kuman yang
biasanya lebih sedikit dan sulitnya pengambilan sampel sputum. Gambaran radiologi
yang kurang spesifik sering kali ditemukan pada anak, terutama jika anak mengalami
imunodefisiensi. Selain itu, dapat juga terjadi karena pasien sudah dalam pengobatan
sehingga sudah terjadi perbaikan. Umumnya, penegakan diagnosis TB pada anak lebih
mudah jika dilakukan dengan sistem skoring. Pada pasien ini, skoring TB tanpa
pemeriksaan tuberculin didapatkan 6 (kontak dengan BTA positif, gizi buruk, demam 2
minggu). Oleh karena itu, pasien dapat didiagnosis sebagai TB dan harus ditatalaksana
sebagai TB.
Rencana diagnosis yang dapat dilakukan pada pasien yaitu pemeriksaan Mantoux.
Pada pasien ini juga dicurigai mengalami HIV. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan
HIV sebagai rencana diagnosis lainnya. Pada hari perawatan ke-4, dari hasil rapid test pasien
diketahui HIV positif. Adapun regimen OAT yang dapat digunakan pada pasien anak dengan
TB-HIV yaitu 2 RHZE + 4 RH. Apabila pasien mendapatkan INH, maka perlu juga diberikan
vitamin B6. Jika respons klinis dan radiologi kurang baik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan sampai 9-12 bulan selanjutnya Selama pengobatan perlu dilakukan monitoring
terhadap compliance berobat serta efek samping yang muncul.
41
HIV pada ibu pasien yang sudah meninggal 5 bulan SMRS. Ayah pasien juga meninggal
tidak diketahui penyebabnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status gizi buruk dan
terdapat oral thrush. Rencana diagnosis yang dilakukan pada pasien ini yaitu dengan
melakukan konseling metode PITC. Pada hari perawatan ke-4, didapatkan hasil
pemeriksaan menggunakan rapid test reaktif sehingga kemungkinan HIV semakin kuat.
Pasien akhirnya diperiksakan HIV di luar RS Annisa dan pada hari perawatan ke-5
didapatkan HIV positif sehingga diagnosis HIV pada pasien ini dapat ditegakkan. Pada
pasien ini, kriteria klinis HIV didapatkan berada pada stadium 4. Hal ini didukung oleh
temuan TB paru, wasting berat, diare persisten, demam persisten, dan candidosis oral.
Pasien ini sudah memenuhi kriteria diberikannya ART yaitu kriteria klinis
stadium 3-4. Pada pasien ini, tatalaksana pemberian ART tidak dapat dilakukan di RS
Annisa sebagai RS Tipe C sehingga perlu dirujuk. Dikarenakan adanya koinfeksi dengan
TB, pasien baru diperbolehkan mengonsumsi ART jika sudah menjalani pengobatan TB
selama 2-8 minggu. Regimen lini pertama yang disarankan yaitu zidovudin + lamivudine
+ efavirenz. Pasien juga memenuhi indikasi untuk diberikan profilaksis kotrimoksazol.
Selama pengobatan perlu dipantau respons pasien terhadap ART dan efek sampingnya.,
hitung sel CD4 dilakukan tiap 3-6 bulan, berat badan, tinggi badan, dan kepatuhan berobat.
42
Perlu dilakukan 10 langkah penatalaksanaan gizi buruk pada pasien. Untuk
pencegahan infeksi, pasien ini diberikan cefotaxime 3x350 mg. Selain itu, untuk defisiensi
zat gizi mikro pada pasien diberikan Curvit sirup yang mengandung Vitamin B1, vitamin B2,
vitamin B6, vitamin B12, Beta carotene, dexpanthenol, curcuminoid, Ca gluconate;
43
dan Apialys sirup yang mengandung vitamin A, vitamin D, vitamin B1, vitamin B2,
vitamin B6, vitamin B12, nikotinamida vitamin C, asam pantotenat, lisin HCl, dan asam
glutamate. Sementara untuk elektrolit pasien diberikan cairan infus tridex 27B yang yang
dalam 1000 ml mengandung Na 50 MEq, K 20 MEq, laktat 20 MEq, glukosa 27 g.
Berikut merupakan kebutuhan nutrisi pada pasien
Stabilisasi Transisi Rehabilitasi
F75 2x132 ml 3x192 ml 4x264 ml
Energi 1200 kkal/hari 1800 kkal/hari 2640 kkal/hari
Protein 12-18 g/hari 24-36 g/hari 48-72 g/hari
Cairan 1560 ml/hari 1800 ml/hari 1800-2400 ml/hari
Perlu dilakukan evaluasi berat badan dan tinggi badan setelah diberikan diet yang
sesuai. Pada pasien karena fungsi gastrointestinal masih cukup baik, diet diberikan secara
peroral. Diet yang diberikan juga bersifat tinggi kalori dan tinggi protein untuk memenuhi
kebutuhan pasien. Pada hari perawatan ke-5, BB pasien naik 1 kg menjadi 13 kg.
5. Candidiasis oral
Pada anamnesis, kakak pasien mengeluhkan pasien sering mengalami sariawan
dan nyeri tenggorokan dan menelan sehingga sulit untuk makan sehingga selain
mengalami candidiasis oral, pasien juga dicurigai mungkin mengalami candidiasis
esofagus. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya oral thrush pada area palatum
durum dan faring posterior. Kandidiasis oral merupakan kasus yang cukup sering terjadi
pada pasien dengan HIV. Adapun tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien terkait
diagnosis ini yaitu larutan nystatin 400.000-600.000 U/ml. Larutan dioleskan kedalam
mulut sebanyak 5 kali sehari selama 7 hari.
44
diberikan tridex 27B yang mengandung elektrolit dan glukosa. Pada pasien juga diberikan
zink 20 mg/ hari selama 10 hari. Pada hari perawatan ke-4, dengan terapi yang diberikan
keluhan diare pasien membaik.
Kerangka Masalah
Koinfeksi Candidiasis
Tuberculosis HIV Oral
Konsumsi Intake
OAT sulit
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI. Petunjuk teknis tata laksana klinis ko-infeksi TB-HIV. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2012
2. Widyaningsih R, Widhiani A, Citraresmi E. Ko-infeksi tuberkulosis dan HIV pada anak. Sari
Pediatri. 2011;13:55-61
3. WHO. Hospital care for children: Gudelines for the management of common childhoold illnesses
– 2nd ed. Geneva: WHO Press; 2013
4. WHO. Child TB/HIV [slides]. [Cited on November 10, 2018]. Available from:
http://www.who.int/tb/challenges/ChildhhoodTB_section5.pdf
5. Christie-Samuels CD. Childhood tuberculosis: diagnosis, treatment and prevention of TB in HIV-
infected children [slides]. [Cited on November 10, 2018]. Available from:
https://www.who.int/tb/challenges/hiv/15_tbhiv_in_children_cchristiesamuels.pdf?ua=1
6. Venturini E, Turkova A, Chiappini E, Galli L, de Martino M, Thorne C. Tuberculosis and HIV
co-infection in children. BMC Infectious Diseases. 2014, 14
7. Whittaker E, Turkova A, Bamford A. HIV tuberculosis co-infection in children [internet]. 2015.
[Cited on November 10, 2018]. Available from:
https://www.chiva.org.uk/files/4614/5019/5204/CHIVA-TB_HIV_Coinfection.pdf
8. Kemenkes RI. Pedoman nasional pengendalian tuberculosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI;
2014
9. IDAI. Pedoman pelayanan medis edisi II. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2011
10. Kemenkes RI. Pedoman penerapan terapi HIV pada anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014
11. TB CARE I. International standards for tuberculosis care, Edition 3. TB CARE I, The Hague, 2014
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan penatalaksaaan di
Indonesia. Revisi pertama. Jakarta: PHPI; 2011.
13. Pawlowski A, Jansson M, Sköld M, Rottenberg M, Källenius G. Tuberculosis and HIV Co-
Infection. PLoS Pathogens. 2012;8(2):e1002464.
14. Shankar E, Vignesh R, Ellegård R, Barathan M, Chong Y, Bador M et al. HIV- Mycobacterium
tuberculosisco-infection: a ‘danger-couple model’ of disease pathogenesis. Pathogens and
Disease. 2013;70(2):110-118.
15. Ramappa V, Aithal GP. Hepatotoxicity related to anti-tuberculosis drugs: Mechanisms and
management. J Clin Exp Hepatol. 2013 Mar; 3(1): 37-49
16. Kemenkes RI. Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak. Jakarta; 2016.
46