Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium yaitu
cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista
atau Cysticercus cellulosae. Larva terdapat dalam jaringan berbentuk kista yang berisi
cairan (metacestoda). Penyakit ini baru dikenal di abad ke 19. Sistiserkosis merupakan
infeksi yang sering ditemukan pada babi dan manusia terutama di negara berkembang.
Penyebaran sistiserkus pada manusia dipengaruhi oleh kontak antara babi dan feses
manusia, tidak adanya pemeriksaan kesehatan daging saat penyembelihan, dan konsumsi
daging mentah atau setengah matang. Penyebaran penyakit ini luas karena Taenia dapat
memproduksi puluhan bahkan ratusan ribu telur setiap hari yang dapat disebar oleh air
hujan ke lingkungan bahkan pada lokasi yang jauh dari tempat pelepasan telur.1

Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat


di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk
Indonesia. Sehingga tahun 2003 hanya benua Antartika dan Australia yang bebas dari
sistiserkosis. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan
di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara. Prevalensi
sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang 1,0%-42,7% dan
prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Prevalensi
sistiserkosis pada manusia berdasarkan pemeriksaan serologis pada masyarakat Bali sangat
tinggi yaitu 5,2% sampai 21%.1,2

Gejala klinis tergantung lokasi dan jumlah kista, gejala timbul akibat reaksi radang.
Kista yang kecil pada otot tidak menimbulkan gejala. Antara bagian-bagian yang bisa
terinfeksi adalah jaringan subkutan, otot, mata, orang dalam dan otak. Sistiserkosis dapat
menimbulkan gejala- gejala yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak disebut
neurosistiserkosis. Manifestasi klinik utama pada neurosistiserkosis adalah kejang, gejala
lain, mula, muntah, gangguan status mental. Diangnosa bisa ditegakkan dengan

1
menemukan larva sistiserkus yang mengalami pengapuran yaitu dengan pemeriksaan
radiologis atau dengan menemukan telur dalam feses. Kebersihan perorangan untuk
mencegah terjadinya autoinfeksi dan menghindari kontaminasi makanan dan minuman dari
tinja adalah antara cara pencegahan penyakit ini.

1.2 Lingkungan

1.2.1 Fisik

Sistiserkosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara


sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia.
Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di
tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara. Untuk dapat
memahami epidemiologi sistiserkosis, kita perlu memperhatikan faktor-faktor
seperti parasit, hospes dan keadaan lingkungan.1,3

Faktor lingkungan yang berpengaruh pada penyakit ini adalah adalah


pemeliharaan hewan penternakan serta kebersihan jamban. 1,3

1.2.2 Non Fisik

Dilihat dari segi sosial budaya hambatan dalam penanggulangan, penyakit


sistiserkosis dipengaruhi oleh sikap, kebiasaan dan pengetahuan masyarakat dalam
pencegahan penyakit sistiserkosis yang masih kurang.1,3
Meskipun sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim dan tidak
makan daging babi, infeksi dengan T. solium telah terjadi di beberapa daerah atau
pulau mana yang paling banyak penduduk lokal beragama Kristen atau Hindi.1,3
B. Permasalahan
1. Sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara
sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia.
2. Di Indonesia diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali,
Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara.

2
3. Prevalensi sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang
1,0%-42,7% .
4. Prevalensi sistiserkosis pada manusia berdasarkan pemeriksaan serologis pada
masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2% sampai 21%.
C. Tujuan

Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kesadaran


mengenai cara – cara pencegahan penyakit sistiserkosis dengan menggunakan pendekatan
kesehatan lingkungan yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.

3
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Epidemiologi Taeniasis sp.

Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan


tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu daerah dengan
standar kehidupan yang rendah. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat,
masyarakatnya juga dapat terinfeksi Taenia sp. akibat perjalanan yang dilakukan di daerah
endemis. Menurut Tolan (2011), semua usia rentan terhadap infeksi taeniasis. Usia di mana
konsumsi daging mentah dimulai adalah faktor yang menentukan usia infeksi. Taeniasis
solium dilaporkan terjadi pada anak usia 2 tahun di Mexico .

Taeniasis dan sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang umum dan dapat
ditemukan pada seluruh bagian dunia (CFSPH, 2005). Sekitar 50 juta orang di seluruh
dunia terinfeksi Taenia saginata dan Taenia solium. Sekitar 2-3 juta orang terinfeksi cacing
Taenia solium (White, 1997; CFSPH, 2005), 45 juta orang terinfeksi Taenia saginata, dan
sekitar 50 juta orang mengidap sistiserkosis dari Taenia solium

Taenia solium merupakan infeksi yang endemik pada Amerika Tengah dan Selatan
serta beberapa negara di Asia Tenggara seperti Korea (Lee et al., 2010), Thailand
(Anantaphruti et al., 2007), India, Filipina, Indonesia, Afrika (Carabin et al., 2009), Eropa
Timur, Nepal, Bhutan, dan China (Rajshekhar et al., 2003; WHO, 2009). Prevalensi
tertinggi ditemukan pada Amerika Latin dan Afrika. Bahkan, prevalensi beberapa daerah di
Mexico dapat mencapai 3,6% dari populasi umum (Tolan, 2011). Bolivia merupakan salah
satu negara dengan prevalensi tertinggi selain Brazil, Ekuador, Mexico, dan Peru di
America Latin (sesuai dengan kriteria Pan American Health Organization, negara-negara
dengan tingkat lebih dari 1% dianggap memiliki tingkat prevalensi tinggi)

Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk merupakan


masyarakat beragama muslim dan tidak mengkonsumsi daging babi. Namun, ada beberapa

4
daerah, seperti Bali dan Papua, yang banyak mengkonsumsi daging babi. Sampai saat ini,
Papua masih menjadi daerah endemik taeniasis dan sistiserkosis.

Provinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Jayawijaya, memiliki prevalensi taeniasis


solium sebesar 15% (Subahar et al., 2005). Sedangkan di Bali, dahulu merupakan daerah
endemis bagi taeniasis dan sistiserkosis, telah dilakukan penghentian transmisi dari
sistiserkosis (WHO, 2009).

Prevalensi infeksi Taenia saginata berbeda dengan Taenia solium, infeksi tertinggi
Taenia saginata terdapat pada Asia Tengah, sekitar Asia Timur, Afrika Tengah, dan Afrika
Timur (lebih dari 10%). Daerah dengan prevalensi infeksi 0,1% hingga 10% seperti negara
pada daerah Asia Tenggara seperti Thailand, India, Vietnam, dan Filipina. Daerah dengan
prevalensi rendah (sekitar 1% penderita) seperti beberapa negara di Asia Tenggara, Eropa,
serta Amerika Tengah dan Selatan .

Epidemiologi sistiserkosis tidak jauh berbeda dengan epidemiologi dari Taenia sp..
Distribusi geografis sistiserkosis di dunia sangat luas. Lebih dari 50 juta orang menderita
sistiserkosis, namun jumlah ini masih diyakini melebihi jumlah yang sebenarnya (White,
1997; Wiria, 2008). Sekitar 50.000 ribu orang meninggal per tahun akibat komplikasi
sistiserkosis pada jantung dan otak (CFSPH, 2005; Tolan, 2011). Prevalensi sistiserkosis
akibat Taenia solium paling sering terjadi di Amerika Latin, Amerika Tengah dan Selatan,
Asia Tenggara, dan Afrika Sub Sahara (CFSPH, 2005; Garcia et al., 1999; WHO, 2009).
Pada orang dewasa yang menderita kejang di Negara seperti Meksiko, setengahnya
merupakan penderita neurosistiserkosis. Keadaan serupa ditemukan juga di Afrika, India,
dan China bahwa sebagian besar penyakit parasit otak disebabkan oleh neurosistiserkosis
(CFSPH, 2005; Garcia et al., 1999). Telah diketahui bahwa prevalensi neurosistiserkosis di
antara penderita kejang pada daerah endemis lebih dari 29% (WHO, 2009).

Sistiserkosis dan taeniasis pada Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa
merupakan penyakit yang jarang. Prevalensi di Amerika Serikat kurang dari 1% karena
kebanyakan ternak pada Amerika Serikat bebas dari parasit (Tolan, 2011). Insidens
sistiserkosis pada Amerika Serikat diperkirakan hanya 1.000 kasus setiap tahunnya (Tolan,

5
2011; CFSPH, 2005; Subahar et al., 2005). Adanya insidens pada Amerika Serikat diduga
karena peningkatan jumlah imigran dari Meksiko dan negara berkembang lain yang datang ke
negara tersebut (White, 1997).

Negara-negara di benua Asia, Bhutan, India, Nepal, Thailand, dan beberapa bagian di
Indonesia merupakan daerah endemis sistiserkosis (WHO, 2009). Daerah Korea dan Myanmar
diduga juga merupakan daerah endemik, namun tidak ada data yang mendukung (WHO, 2009).
Prevalensi sistiserkosis pada Papua, di daerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya sebesar 41,3-
66,7% (Subahar et al., 2005) sedangkan di Sumatera Utara, prevalensi taeniasis dan
sistiserkosis sejak tahun 1972-2000 dilaporkan berkisar antara 1,9% sampai 2,29%
(Simanjuntak dan Widarso, 2004). Pada penelitian epidemiologi yang diadakan tahun 2003
sampai 2006 oleh Wandra, dari 240 orang menunjukkan 2,5% positif terinfeksi Taenia asiatica.
Pada tahun 2003, dijumpai 2 orang positif dari 58 orang (3,4%), sedangkan pada tahun 2005
ditemukan 4 dari 182 orang positif (2,2%) (Wandra et al., 2007).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Unger et al. (2008) dengan menggunakan
metode inspeksi daging di Gambia, diketahui bahwa temuan sistiserkus dari Taenia saginata
mencapai 0.75% dari 1.595 ternak yang diperiksa. Sementara penelitian Kebede et al. (2009)
dengan sampel sebanyak 11.227 ternak menunjukkan 7,5% ternak terinfeksi sistiserkus Taenia
saginata. Tabel berikut merupakan angka temuan sistiserkus pada sapi pada penelitian lainnya.

Penelitian mengenai sistiserkus Taenia solium di tahun 2002, didapatkan prevalensi


sistiserkosis pada babi di China, India, dan Nepal adalah 5,4, 9,3, dan 32,5% (Rajshekhar et

6
al., 2003). Pada penelitian Vazquez-Florez et al. (2001) memeriksa 53 babi dengan metode
palpasi lidah dan serologis dengan hasil penelitian tidak ditemukan adanya sistiserkus (0%).
Penelitian oleh Gweba et al. (2010) di Itali, memeriksa babi hidup dengan palpasi lidah dan
juga pemeriksaan inspeksi daging. Dari penelitian tersebut, didapatkan angka temuan
sistiserkus sebesar 5,85% dan 14,4% dari masing-masing pemeriksaan. Penelitian
sistiserkosis pada babi yang dilakukan oleh Maitindom (2008) pada Kabupaten Jayawijaya,
Papua didapatkan angka prevalensi 77,1%. Selain itu, penelitian lainnya seperti penelitian
Suweta (1991) di Bali menunjukkan angka sistiserkosis pada babi sebanyak 0,15%. Pada
tabel berikut dapat dilihat angka kejadian sistiserkus pada babi pada penelitian lain.

B. Agen Penyebab
 Taenia Saginata (Cacing Pita Daging Sapi)
Cacing dewasa dapat ditemukan dalam usus manusia penderita taeniasis, berbentuk
pipih panjang seperti pita dan tubuhnya beruas-ruas (segmen). Panjangnya rata-rata 5m
bahkan bisa mencapai 25m yang terdiri atas lebih dari 1000 segmen. Cacing ini memiliki
kepala yang disebut scolex, berdiameter 2mm menempel pada permukaan selaput lendir
usus manusia. Ketika mencapai stadium dewasa, lebih dari separuh segmennya telah
mengandung telur, namun hanya beberapa puluh segmen yang mengandung telur matang
disebut segmen gravid. Segmen gravid kurang lebih mengandung 800.000 telur pada setiap
segmen. Berbeda dengan T. solium, segmen gravid T. saginata spontan keluar dari anus
penderita secara aktif, kadang-kadang keluar bersama tinja ketika defekasi. Telur masih
infektif selama delapan minggu dan dapat bertahan hidup di lapangan rumput yang baik
selama enam bulan. Apabila telur yang bebas dari segmen gravid tersebut mencemari
lingkungan pakan ternak sapi/kerbau, telur yang tertelan ternak menetas dalam ususnya.
embrio (oncosphere) cacing menembus dinding usus kemudian bermigrasi ke seluruh
bagian tubuh melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Selama migrasi
oncosphere mengalami perkembangan sampai tiba pada habitat yang cocok tumbuh
menjadi larva setelah 2-3 bulan. Larva ini juga disebut metacestoda atau lebih dikenal
sebagai cacing gelembung yang berukuran (4-5)mm x (7.5-10)mm.

7
Larva yang menyerupai balon kecil yang berisi cairan ini disebut Cysticercus bovis
dapat ditemukan dalam jaringan otot/organ tubuh sapi/kerbau. Habitat utamanya adalah
otot lidah, otot pengunyah, diafragma, jantung, namun penelitian dengan infeksi percobaan
(T. saginata strain Bali) cysticercus tersebar ke seluruh otot sapi coba. Di dalam tubuh sapi
cysticercus dapat bertahan hidup selama beberapa tahun. Manusia yang mengonsumsi
daging sapi yang mengandung cysticercus hidup selanjutnya berkembang menjadi T.
saginata dalam ususnya.
 Taenia solium (Cacing Pita Daging Babi)

Cacing ini disebut juga cacing pita daging babi karena hewan babi bertindak sebagai
inang antaranya yang mengandung larvanya. Ukuran cacing dewasa relatif lebih pendek
dibandingkan dengan T. saginata yaitu antara 2-8m. Setiap individu cacing dewasa terdiri
atas 800-900 segmen hingga 1000 segmen. Berbeda dengan scolex T. saginata, selain
diameternya lebih kecil yaitu 1 mm dilengkapi dengan 2 baris kait di sekeliling
rostellumnya. Mungkin karena ukurannya lebih kecil, setiap segmen gravidnya
mengandung 4000 telur. Segmen gravid T. solium dikeluarkan bersama-sama tinja
penderita taeniasis solium. Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola yang sama
dengan Taenia yang lain, yang membedakan adalah inang antaranya yaitu babi. Namun
menurut beberapa penulis pernah dilaporkan bahwa mamalia piaraan lainnya dapat juga
sebagai inang antaranya. Babi adalah hewan omnivora termasuk makan tinja manusia, oleh
karena itu sering ditemui beberapa ekor babi menderita cysticercosis berat, sehingga sekali
menyayat sepotong daging tampak ratusan Cysticercus cellulosae.

Larva ini mudah ditemukan dalam jaringan otot melintang tubuh babi. Bahayanya
telur T. solium juga menetas dalam usus manusia sehingga manusia dapat bertindak sebagai
inang antara walaupun secara kebetulan. Larva sistiserkus, semitransparan, berwarna
keputih-putihan berbentuk gelembung, lonjong, dengan diameter 0,6 sampai dengan 1,8 cm,
berisi cairan dan satu skoleks. Dalam potongan lintang terlihat skoleks yang masuk ke
dalam (invaginated) dengan 4 batil dan dilengkapi barisan kait-kait. Manusia berperan
sebagai hospes definitif yaitu mengandung cacing dewasa dan sekaligus sebagai hospes
perantara yaitu tempat hidupnya larvae T. solium.

8
C. Hospes dan Lingkungan
 Hospes

Hospes definitif cacing ini adalah manusia. Hospes perantaranya pula adalah
manusia, babi, babi hutan, beruang, monyet, unta, anjing, domba, kucing, dan tikus. Cacing
dewasa hidup di dalam usus halus. Penyakit yang disebabkan cacing dewasa disebut
taeniasis, sedangkan bila disebabkan oleh larvanya yaitu sebagai sistiserkosis.

 Lingkungan

Sistiserkosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara sedang


berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia,
sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali,
Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara. Untuk dapat memahami epidemiologi
sistiserkosis, kita perlu memperhatikan faktor-faktor seperti parasit, hospes dan keadaan
lingkungan.Faktor lingkungan yang berpengaruh pada penyakit ini adalah adalah
pemeliharaan hewan penternakan serta kebersihan jamban. Dilihat dari segi sosial budaya
hambatan dalam penanggulangan, penyakit sistiserkosis dipengaruhi oleh sikap, kebiasaan
dan pengetahuan masyarakat dalam pencegahan penyakit sistiserkosis yang masih
kurang.Meskipun sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim dan tidak makan
daging babi, infeksi dengan T. solium telah terjadi di beberapa daerah atau pulau mana
yang paling banyak penduduk lokal beragama Kristen atau Hindi.

D. Sumber Penularan , Masa Inkubasi dan penularan


 Sumber Penularan
1. Penderita sistiserkosis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau proglotid
cacing pita.
2. Hewan (terutama) babi, sapi yang mengandunglarva cacing pita (cysticercus).
3. Makanan/minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur-telur cacing pita.

Sistiserkosis dapat terjadi secara tidak langsung karena orang tersebut menelan
minuman yang terkontaminasi atau secara langsung dari tinja orang yang terinfeksi

9
langsung kemulut penderita sendiri (aoutoinfeksi) atau ke mulut orang lain. Apabila telur
Taenia solinum tertelan oleh manusia atau babi, maka embrio akan keluar dari telur,
kemudian menembus dinding usus menuju ke saluran limfe dan pembuluh darah
selanjutnya dibawa ke berbagai jaringan dan kemudian berkembang menjadi
sistiserkosis.Sistiserkosis merupakan penyakit yang berbahaya dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat di daerah endemis. Hingga saat ini kasus sistiserkosis telah banyak
dilaporkan dan tersebar di beberapa propinsi di Indonesia, terutama di propinsi Papua, Bali
dan Sumatera Utara.

 Masa Inkubasi dan penularan

Masa inkubasi infeksi cacing berkisar antara 8-14 minggu. Cacing pita dewasa
dapat tahan hidup sampai 25 tahun dalam usus. Gejala dari penyakit sistiserkosis biasanya
muncul beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi.
Telur cacing akan tampak pada kotoran orang yang terinfeksi oleh Taenia solium dewasa
antara 8-12 minggu setelah orang yang bersangkutan terinfeksi, dan untuk Taenia saginata
telur akan terlihat pada tinja antara 10-14 minggu setelah seseorang terinfeksi oleh Taenia
saginata dewasa.

Berbeda dengan Taenia saginata tidak secara langsung ditularkan dari orang ke
orang, akan tetapi untuk Taenia solium dimungkinkan ditularkan secara langsung. Telur
dari kedua spesies cacing ini dapat menyebar ke lingkungan selama cacing tersebut masih
ada di dalam saluran pencernaan, kadang-kadang dapat berlangsung lebih dari 30 tahun;
telur cacing tersebut dapat hidup dan bertahan di lingkungan selama beberapa bulan.Infeksi
cacing pita tidak memberikan kekebalan pada penderita dan kedua jenis kelamin maupun
semua golongan umur mempunyai kepekaan yang sama.

E. Morfologi dan Siklus Hidup


Taenia Solium mempunyai ukuran terkecil di antara spesies Cestoda lainnya.
Bentuk seperti benang, panjang 24-40 mm dan lebar 0,1-0,5 mm, jumlah proglotid kurang
dari 200 buah. Skoleks kecil,berbentuk bulat, mempunyai satu rostelum pendek yang
refraktil, empat buah batil isap bentuk mangkuk, kait-kaitnya tersusun seperti cincin satu

10
baris. Strobila terdiri dari 800-1000 proglotid Proglotid dapat mengeluarkan 30.000-50.000
telur. Proglotid matang berbentuk trapesium, telur dikeluarkan oleh proglotid paling distal
yg hancur, di dalam telur berisi embrio heksakan (onkosfer). Proglotid matang yg pecah di
dalam usus dapat menyebabkan autoinfeksi internal.4

Gambar 1. Taenia solium dewasa.4

Gambar 2. Larva Taenia solium (cysticercus cellulosae).4


Reproduksi dan daur hidup Taenia solium dimulai dari lepasnya proglotid tua
bersama feses dari tubuh manusia. Tiap ruas berisi ribuan telur yang telah dibuahi.
Kemudian, ruas-ruas tersebut hancur dan telur yang telah dibuahi bisa tersebar ke mana-
mana. Zigot terus berkembang membentuk larva onkosfer di dalam kulit telur. Jika telur

11
termakan babi, kulit telur dicerna dalam usus, dan larva onkosfer menembus usus masuk ke
pembuluh darah atau pembuluh limfe dan akhirnya masuk ke otot lurik.
Di otot, larva onkosfer berubah menjadi kista sistiserkus selulosae. yang terus
membesar membentuk cacing gelembung (sistiserkus). Pada dinding sistiserkus
berkembang skoleks. Jika seseorang memakan daging tersebut yang belum matang,
kemungkinan sistiserkus masih hidup. Di dalam usus manusia yang memakannya, skoleks
akan keluar dan akan menempel pada dinding usus, sedangkan bagian gelembungnya akan
dicerna. Dari “leher”, kemudian akan tumbuh proglotid-proglotid. Selanjutnya, proglotid
tua akan menghasilkan telur yang telah dibuahi.

Gambar 3. Daur hidup Taenia Solium di dua hospesnya (manusia dan babi).
Manusia mendapat infeksi cacing ini dengan memakan daging babi yg mengandung
kista sistiserkus selulosa dalam keadaan mentah atau dimasak kurang matang. Larva yg
tertelan ini dilepaskan dalam usus halus, selanjutnya larva melekat pd mukosa usus,
kemudian dalam waktu 5-12 minggu larva menjadi cacing dewasa dan melepaskan
proglotid berisi telur. Cacing dewasa dalam tubuh manusia dapat mencapai hingga 25 tahun.

12
F. Patogenesis dan Patofisiologi Sistiserkosis
Sistiserkus hidup hanya menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar dan hanya
sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk melengkapi siklus
hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam otot hospes selama berminggu-minggu
sampai bulanan. Oleh karena itu, kista akan mengembangkan mekanisme untuk mengatasi
respon imun penjamu. Pada hewan yang telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium kista
kebal terhadap reinfeksi onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi dan komplemen.
Meskipun begitu dalam infeksi alami, respons antibodi dibangun hanya setelah parasit
berubah menjadi bentuk metacestoda yang lebih resisten (Wiria, 2008).
Metacestoda dapat mengembangkan sebuah mekanisme untuk memproteksi diri dari
destruksi yang dimediasi komplemen dengan menghasilkan paramiosin. Paramiosin akan
mengikat C1q dan menghambat jalur klasik aktivasi komplemen. Parasit juga akan
mensekresikan inhibitor protease serin yang disebut taeniastatin. Taeniastatin dapat
menghambat jalur aktivasi klasik atau alternatif, berintegrasi dengan kemotaksis leukosit,
dan menghambat produksi sitokin. Sedangkan polisakarida sulfa, yang melapisi dinding
kista, mengaktivasi komplemen untuk menjauhi parasit, menurunkan deposisi komplemen,
dan membatasi jumlah sel radang yang menuju parasit. Antibodi saja tidak dapat
membunuh metacestoda matang. Kista yang hidup juga dapat menstimulasi produksi
sitokin yang dibutuhkan untuk menghasilkan imunoglobulin yang kemudian diambil oleh
kista dan diperkirakan ini merupakan sumber protein (CFSPH, 2005; White, 1997).
Taeniastatin dan molekul parasit juga dapat menekan respon imun seluler dengan
menghambat proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala akan muncul ketika kista
tidak dapat lagi memodulasi respons penjamu (White, 1997).
G. Gejala Klinis
Sistiserkosis pada hewan tidak selalu meunjukkan gejala klinis yang nyata. Pada
beberapa kasus,pada babi yang terinfeksi menunjukkan gejala hipersensitivitas pada hidung,
paralisis pada lidah, dan konvulsi layaknya epilepsy, namun gejala saraf jarang sekali
muncul karena masa hidup babi yang tidak panjang.
Penderita taeniasis pada manusia jarang menunjukkan gejala yang khas walaupun di
dalam ususnya terdapat cacing taenia selama bertahun-tahun, tetapi biasanya hanya terdapat

13
satu ekor. Justru keluhan yang sangat mengganggu adalah dalam bentuk kejiwaan adalah
keluarnya segmen gravid dari anus penderita yang menimbulkan kegelisahan. Gejala umum
yang biasanya menyertai taeniasis adalah mual, sakit di ulu hati, perut mulas, diare bahkan
kadang-kadang sembelit, nafsu makan berkurang hingga menurunkan berat badan, pening,
muntah, nyeri otot, serta kejang-kejang) Pasien taeniasis tetap mengeluarkan segmen gravid
selama 1-30 tahun. Gejala klinis sistiserkosis pada manusia sangat bergantung pada organ
serta jumlah cysticercus yang tinggal. Infeksi berat pada otot menyebabkan peradangan
(myocitis) yang bisanya menimbulkan demam. Jika menyerang organ mata (Ocular-
Cysticercosis) gejala yang paling berat adalah kebutaan. Gejala-gejala syaraf seperti
kelumpuhan, kejang, hingga epilepsi, dapat dipastikan bahwa larva tersebut menempati
organ-organ yang sarat dengan jaringan syaraf seperti otak/selaput otak atau sumsum tulang
belakang (Retnani 2004). Larva yang menginfeksi sistim saraf pusat menyebabkan
neurosistiserkosis, sedangkan bila ditemukan di jaringan atau organ lain penyakit secara
umum disebut disini sistiserkosis. Larva T. solium yang terdapat di dalam jaringan
subkutan dan otot di bawahnya membentuk suatu benjolan yang disebut benjolan di bawah
kulit atau subcutaneous nodule. Setelah beberapa tahun terjadi kalsifikasi (pengapuran)
pada sistiserkus. Cysticercus cellulosae di dalam sistim saraf pusat seperti otak atau
medulla spinalis jarang mengalami kalsifikasi. Larva di dalam sistim saraf pusat dapat
menyebabkan serangan kejang seperti ayan (epilepsi), meningo-ensefalitis, gejala yang
disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang-kadang
ada gejala kelainan jiwa. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat,
khususnya bila ditemukan di dalam otak, sedangkan taeniasis menyebabkan gejala-gejala
saluran pencernaan yang lebih ringan.
Gejala klinis oleh kista tergantung dari letak, jumlah, umur dan lokasi dari kista,
namun kadang-kadang tidak menyebabkan gejala meskipun terdapat sejumlah besar kista
pada organ tubuh penderita. Bila kista ditemukan pada jaringan subkutan nodul-nodul kista
akan teraba pada palpasi. Tidak selalu mudah menemukan benjolan kista di dalam jaringan
subkutan. Kista teraba sebagai jaringan lunak yang menonjol dengan batas-batas tidak
tegas, karena letaknya agak dalam di dalam jaringan subkutan. Dapat pula kista ditemukan
pada jaringan mata dan menyebabkan ocular cysticercosis.

14
Kista yang tetap hidup dan umumnya ditemukan pada cairan vitreus menyebabkan
uveitis, palpebral conjunctivitis dan gangguan visus. Kista di dalam jaringan otak
menyebabkan brain cysticercosis (neurocysticercosis) yang kadang-kadang menimbulkan
kejang epilepsi yang di Papua disebut mati-mati ayam dengan keluhan sakit kepala dan
muntah. Munculnya epilepsi berlangsung secara mendadak baik siang maupun malam hari,
kemudian hilang dengan sendirinya.
H. Diagnosa
Dinyatakan tersangka sistiserkosis apabila pada :
a. Anamnesis :
 Berasal dari /berdomisili didaerah endemis taeniasis / Sistiserkosis
 Gejala taeniasis ( ± )
 Riwayat mengeluarkan proglotid ( ± )
 Benjolan (“ nodul subkutan” ) pada salah satu atau lebih bagian tubuh ( + )
 Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya ( ± )
 Riwayat / gejala epilepsi ( - )
 Gejala peninggian tekanan intra kranial ( - )
 Gejala neurologis lainnya (- )
b. Pemeriksaan fisik :5
 Teraba benjolan /nodul sub kutan atau intra muskular satu lebih
 Kelainan mata ( oscular cysticercosis ) dan kelainan lainnya yang disebabkan
oleh sistiserkosis ( ± )
 Kelainan neurologis ( - )
c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan tinja secara makroskopis : Proglotid ( ± )
 Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : telur cacing taenia sp ( ± )
 Pemeriksaan serologis : sistiserkosis ( + )
 Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan gambaran menunjukkan patologi
anatomi yang khas untuk sistiserkosis (+)

15
Pencitraan merupakan metode utama untuk neurosistiserkosis (Wiria, 2008). Untuk
mendiagnosa neurosistiserkosis dan mengevaluasi gejala neurologis dapat dipakai CT scan
dan MRI (CFSPH, 2005). CT scan adalah metode terbaik untuk mendeteksi kalsifikasi
yang merupakan infeksi inaktif. CT lebih unggul daripada MRI, sebaliknya MRI lebih
sensitif untuk menemukan kista di parenkim dan ekstraparenkim otak, termasuk dalam
mendeteksi reaksi peradangan (Wiria, 2008). Pada hasil dari pemeriksaan CT scan atau
MRI, mungkin dijumpai nodul padat, kista, kista yang telah terkalsifikasi, lesi cincin, atau
hidrosefalus .
Pada pemeriksaan radiologis, apabila dijumpai kista yang hidup, dinding kista tidak
terlihat dan cairan sistiserkus memiliki kepadatan yang sama dengan cairan serebrospinal.
Ketika parasit mulai kehilangan kemampuan untuk memodulasi respon imun, pada awalnya,
akan terlihat peningkatan kontras sekitar kista. Pada akhirnya, akan terlihat gambaran
peningkatan kontras seperti cincin atau nodul (Garcia et al., 2002).
Kista yang tidak aktif (terkalsifikasi) pada berbagai bagian tubuh, termasuk otak dan otot,
mungkin dapat terlihat pada foto X-ray. Biopsi dapat dilakukan untuk nodul subkutan dan
larva di mata dapat ditemukan pada pemeriksaan mata. Spesies dari larva dapat
diidentifikasi setelah operasi.
Tes serologi kebanyakan menggunakan antigen yang tidak terfraksi yang
menyebabkan positif dan negatif palsu. Hal ini diperkirakan karena aviditas kista dengan
immunoglobulin yang menyebabkan positif palsu (White, 1997). Pada manusia ada
beberapa jenis pemeriksaan serologis termasuk enzyme-linked immunoelectrotransfer blot
(EITB), ELISA, fiksasi komplemen, dan hemaglutinasi (CFSPH, 2005). Antibodi mungkin
ditemukan pada serum atau cairan serebrospinal (CFSPH, 2005). Namun, immunoblot
assay CDC, yang menggunakan serum spesimen, sangat spesifik dan lebih sensitif
dibandingkan pemeriksaan enzim immunoassay lainnya (umumnya ketika terdapat lebih
dari 2 lesi sistem saraf pusat, sensitivitas lebih rendah daripada hanya ada satu kista)
(Pearson, 2009a). Dekade terakhir pemeriksaan standar dengan metode serologis untuk
diagnosa sistiserkosis adalah immunoblot yang dibantu dengan pemeriksaan spesifik
ELISA (Garcia et al., 1999; Margono et al., 2003).

16
Pemeriksaan EITB telah terbukti spesifik untuk infeksi T.solium. EITB sensitif pada
kista parenkim aktif multipel atau neurosistiserkosis ekstraparenkim. Meskipun demikian
sensitivitasnya rendah pada pasien dengan kista parenkimal atau kalsifikasi sehingga pada
infeksi inaktif pemeriksaan serologi seringkali negatif. Pemeriksaan serologi berperan
penting di daerah yang belum memiliki fasilitas CT dan MRI (White, 1997). Pemeriksaan
EITB menunjukkan spesifisitas dan sensitivitas yang masing-masing bernilai mendekati
100% dan 98% apabila pemeriksaan dilakukan pada neurosistiserkosis dengan 2 kista atau
lebih yang masih hidup (WHO, 2009). Pemeriksaan ELISA dengan menggunakan antigen
rekombinan memiliki sensitivitas 90% dan spesifisitas 100%. Namun, kelemahan ELISA
adalah tidak dapat mendeteksi kista yang telah berdegenerasi (WHO, 2009).
Untuk menyatakan seseorang menderita sistiserkosis diperlukan beberapa kriteria,
antara lain (Wiria, 2008):
Kriteria Mayor:
1. Penemuan berdasarkan pemeriksaan pencitraan, di mana ditemukan sistiserkus
berukuran 0,5–2 cm.
2. Ditemukannya antibodi spesifik antisistiserkal menggunakan EITB.
Kriteria Minor:
1. Kejang.
2. Peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kalsifikasi intraserebral pungtata.
4. Nodul subkutan atau hilangnya lesi setelah pengobatan dengan anti parasit.

Diagnosa dapat ditegakkan apabila dijumpai dua kriteria mayor, atau satu kriteria
mayor dan dua kriteria minor, ditambah riwayat pajanan.
I. Pengobatan dan Follow Up
a. Praziquantel dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, dosis tunggal /dibagi 3 dosis per oral
selama 15 hari, atau
b. Albendazole 15 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dibagi 3 dosis per oral selama 7 hari.
Untuk pengobatan dengan praziquantel maupun albendazole,reaksi dari tubuh dapat
dikurangi dengan memberikan kortikosteroid (prednison 1mg/kg BB/hari dosis
tunggal/dibagi 3 dosis atau dexamethasone dengan dosis yang setara dengan prednison).

17
Pemberian praziquantel maupun albendasole harus dibawah pengawasan petugas
kesehatan atau dilakukan dirumah sakit. Dan follow up dilakukan 3 bulan kemudian
terdapat kista dan sebagainya.6
J. Pencegahan
a. Pemakaian jamban keluarga ,sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak
mencemari tanah atau rumput.
b. Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan
sehingga tidak dapat berkeliaran.
c. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di RPH, sehingga daging yang
mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan
dinas Peternakan).
d. Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran
tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak
memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Irian
jaya.
e. Menghilangkan kebiasaan makan makanan yang mengandung daging setengah matang
atau mentah.
f. Memasak daging sampai matang ( diatas 57 º C dalam waktu cukup lama ) atau
membekukan dibawah 10º selama 5 hari . Pendekatan ini ada yang dapat
diterima ,tetapi dapat pula tidak berjalan , karena perubahan yang bertentangan dengan
adat istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil
dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.
K. Daging
Daging adalah semua bagian dari hewan yang diinginkan atau telah ditetapkan
aman dan sesuai dengan konsumsi manusia. Daging terdiri dari air, sedikit karbohidrat,
protein dan asam amino, mineral, lemak, vitamin dan komponen bioaktif lainnya (FAO,
2009b, Heinz dan Hauzinger, 2007).

18
 Ciri-ciri Daging Babi
Kualitas daging bergantung pada perubahan fisik dan kimia yang terjadi pada
daging sebelum, ketika, dan setelah hewan dipotong. Konversi glikogen menjadi asam
laktat yang terjadi setelah hewan dipotong menjadi satu hal yang penting dalam kualitas
daging karena asam laktat akan mengakibatkan penurunan pH daging sehingga akan
mempengaruhi warna daging yang menjadi salah satu penilaian kualitas daging (Prieto,
2007).
Warna dari daging babi yang segar berbeda-beda pada beberapa negara. Banyak
faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi warna daging babi seperti genetik,
asupan makanan, prosedur pemotongan, pH, penyimpanan dan sebagainya. Jenis otot yang
diambil juga dapat membedakan warna. Jenis otot glikolitik berwarna putih, dan oksidatif
berwarna merah. Kedua jenis otot ini berbeda dari dominasi metabolisme energi (Lindahl,
2005). Mioglobin salah satu komponen yang memberikan warna daging. Bentuk mioglobin
yang berbeda akan memberi warna yang berbeda juga, ungu (deoksimioglobin), merah
(oksimioglobin), dan coklat (metmioglobin) (Hunt dan Zenger, 1998) .
Ciri-ciri daging babi segar bervariasi dengan berwarna merah muda keabuan sampai
merah (Singhal et al., 1997). Menurut Buege (1998), terdapat 4 jenis daging babi
berdasarkan warna, tekstur, dan basahnya daging, antara lain PSE (pucat, lembut, dan
eksudatif), DFD (gelap, keras, dan agak kering), RFN (merah, keras, tidak mengeluarkan
eksudat), dan RSE (merah, lembut, dan eksudatif). Kemudian, menurut RFN merupakan
daging babi yang kualitas baik, sedangkan PSE merupakan daging dengan kualitas yang

19
sangat buruk. DFD dan RSE merupakan daging yang kurang baik. Insidens daging DFD
dan PSE adalah 6% dan 5% (Schilling, 2002; Singhal et al., 1997).

 Kandungan Daging Babi dan Sapi


Adapun kandungan daging sapi dan babi dapat dilihat pada tabel berikut:

20
BAB III

PENCEGAHAN PENYAKIT SISTISERKOSIS DENGAN PENDEKATAN


KESEHATAN LINGKUNGAN

A. Definisi Lingkungan dan Kesehatan lingkungan

Menurut UU 23/1997, tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,


lingkungan didefinisikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan
mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri
kehidupan dan kesejahteraan manusia dan mahluk lainnya.

Klasifikasi lingkungan :

1. Secara umum
a. Litosfer
b. Hidrosfer
c. Atmosfer
2. Berdasarkan wujudnya
a. Fisik
b. Biologi
c. Sosial ekonomi
3. Berdasarkan permasalahannya
a. Makro
b. Meso
c. Mikro
4. Berdasarkan ruang lingkupnya
a. Eksternal
b. Internal
Kesehatan Lingkungan menurut WHO Expert Committee adalah suatu
keseimbangan ekologi antara manusia dan lingkungannya agar dapat menjamin kesehatan
dari manusia. Sedangkan menurut Numenklatur Bidang Kesehatan, kesehatan lingkungan

21
didefinisikan sebagai penerapan prinsip kesehatan dalam perubahan dan penyusunan sifat-
sifat fisik, kimia dan biologis dari lingkungan untuk kepentingan kesehatan, kenyamanan
dan kesejahteraan manusia.

Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan :

1. Penyediaan air bersih


2. Air limbah, sampah dan tinja
3. Sanitasi makanan dan minuman
4. Pencemaran udara, air dan tanah
5. Pengawasan vektor
6. Perumahan dan bangunan lainnya
7. Kesehatan kerja
B. Pendekatan Kesehatan Lingkungan

Konsep ilmu kesehatan lingkungan mengandalkan pandangan pada konsep ilmu


kesehatan/konsep ekologi. Kesehatan lingkungan merupakan salah satu aspek kesehatan
masyarakat. Artinya pengembangan kesehatan lingkungan harus mengikuti prinsip ilmu
kesehatan masyarakat.
Menurut sifat kegiatannya kesehatan lingkungan merupakan kegiatan preventif
(mencegah) atau promotif (peningkatan). Preventif menekankan kegiatan pada prinsip
sanitasi, yaitu meniadakan/mengendalikan faktor lingkungan sejauh mungkin dan
menghindarkan gangguan (hazards) agar tidak mengarah pada timbulnya proses penyakit
dan mampu memutus ikatan mata rantai proses penyakit
C. Lingkungan Fisik
Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan infeksi
cacingan sudah dilakukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan terbatas pada
daerah tertentu karena biaya tersedia terbatas. Pencegahan dan pemberantasan penyakit
kecacingan pada umumnya adalah pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan
dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta
pendidikan kesehatan.

22
Dari segi lingkungan fisik, penanggulangan penyakit ini dapat dilakukan dengan
pemakaian jamban keluarga. Pembuangan tinja merupakan salah satu upaya kesehatan
lingkungan yang harus memenuhi sanitasi dasar bagi setiap keluarga.6,7 Pembuangan
kotoran yang baik harus dibuang ke dalam tempat penampungan kotoran yang disebut
jamban. Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan kotoran sehingga kotoran itu tersimpan dalam satu tempat tertentu dan
tidak menjadi sarang penyakit. Berarti jamban keluarga sangat berguna bagi kehidupan
manusia, karena jamban dapat mencegah berkembangnya bermacam penyakit yang
disebabkan oleh kotoran yang tidak dikelola baik. Jamban atau sarana pembuangan kotoran
yang memenuhi syarat adalah upaya penyehatan lingkungan pemukiman. Sarana jamban
yang tidak saniter berperan terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Hubungan antara pembuangan tinja dengan status kesehatan penduduk bisa


langsung dan tak langsung. Efek langsung bisa mengurangi insidensi penyakit yang
ditularkan karena kontaminasi dengan tinja seperti pada penyakit sistiserkosis. Efek tidak
langsung dari pembuangan tinja berkaitan dengan komponen sanitasi lingkungan seperti
menurunnya kondisi higiene lingkungan. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan sosial
masyarakat dengan mengurangi pencemaran tinja manusia pada sumber air minum
penduduk.

Persyaratan Jamban Sehat :

Dari segi pemilihan konstruksi pembuangan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
antara lain:

 Keadaan tanah, seperti susunan, kemiringan, dan permukaan tanah.


 Keadaan sosial ekonomi, dan pengetahuan masyarakat.

Bila ditinjau dari konstruksinya, jamban harus dilengkapi 8 komponen yaitu:

1. Rumah Kakus

23
Melihat fungsinya sebagai sarana pelindung pemakai, maka rumah kakus sebaiknya
terlindung dari pandangan orang, gangguan cuaca dan keamanan.

2. Lantai kakus

Fungsinya sebagai sarana penahan atau tempat pemakai yang sifatnya harus baik,
kuat dan mudah dibersihkan serta tidak menyerap air. Pada dasarnya menyangkut kontruksi
serta bahan buatannya.

3. Tempat duduk

Melihat fungsi tempat duduk kakus merupakan tempat penampungan tinja maka kondisinya
harus memenuhi konstruksi yang kuat dan mudah dibersihkan juga bisa mengisolir rumah
kakus jadi tempat pembuangan tinja, serta berbentuk leher angsa atau memakai tutup yang
mudah diangkat.

4. Kecukupan air bersih


Untuk menjaga keindahan jamban dari pandangan estetika, jamban hendaklah disiram
air minimal 4-5 gayung sampai kotoran tidak mengapung di lubang jamban atau closet.
Tujuannya menghindari penyebaran bau tinja dan menjaga kondisi jamban tetap bersih,
selain itu kotoran tidak dihinggapi serangga sehingga mencegah penyakit menular. Air
bersih ada di bak penampungan didalam rumah kakus.
5. Tersedia alat pembersih
Alat pembersih adalah bahan yang ada di rumah kakus didekat jamban. Jenis alat
pembersih ini yaitu sikat, bros, sapu, tissu dan lainnya.Tujuan alat pembersih ini agar
jamban tetap bersih setelah jamban disiram air. Pembersihan dilakukan minimal 2-3
hari sekali meliputi kebersihan lantai agar tidak berlumut, tempat jongkok tidak licin,
dan lubang tempat penampung tinja bersih.
6. Tempat Penampungan Tinja
Penampungan tinja yaitu lubang isolasi serta tempat proses penguraian tinja dan
stabilisasi serta menurut sifatnya bisa berbentuk lubang tanah atau tangki dalam
berbagai modifikasi.

24
7. Septik Tank
Septic tank ini merupakan cara yang paling memenuhi persyaratan. Septik tank terdiri
dari tangki sedimentasi yang kedap air, tinja dan air buangan mengalami dekomposisi.
Didalam tanki ini tinja akan berada selama beberapa hari. Selama waktu itu tinja akan
mengalami 2 proses yaitu :
 Proses Kimiawi
Akibat penghancuran tinja direduksi (60-70%) zat padat akan mengendap sebagai
sludge. Zat yang tidak hancur bersama lemak dan busa akan mengapung dan
membentuk lapisan yang menutup permukaan air. Lapisan itu disebut scum yang
berfungsi mempertahankan suasana anaerob dari cairan dibawahnya, yang membuat
bakteri anaerob tumbuh subur, pada proses berikutnya.
 Proses Biologis
Proses ini terjadi dekomposisi aktifitas bakteri anaerob yang memakan zat organik
dalam sludge dan scum. Hasilnya gas dan air, serta pengurangan volum sludge,
sehingga septik tank tidak cepat penuh. Cairan enfluent yang tidak mengandung
tinja memiliki BOD yang rendah. Cairan ini dialirkan melalui pipa dan masuk
ketempat perembesan.
8. Saluran Peresapan
Saluran ini berfungsi menguraikan cairan dari septik tank yang mengikuti sistem
pembuangan kotoran lengkap. Sistem pembuangan tinja memenuhi syarat kesehatan
disesuaikan dengan konstruksi jamban atau pemilihan konstruksi pembuangan kotoran
seperti:

 Tidak menyebabkan pengotoran pada sumber air tanah dan air permukaan.
 Tidak memungkinkan berkembangnya lalat dan serangga.
 Menghindari bersarangnya cacing atau parasit di permukaan tanah.
 Mengusahakan konstruksi kuat dan penyelenggaraan murah dan sederhana.
 Mengusahakan sistem pembuangan yang diterima masyarakat.

25
 Meminimalkan gangguan karena bau dan pandangan yang tidak menyenangkan.
 Menyediakan air bersih dan alat pembersih didekat jamban. Melihat syarat
jamban serta sistem pembuangan tinja, maka besar kemungkinan dampak
negatif yang diakibatkan tinja dapat dihindari.

3.3.2 Manfaat dan Fungsi Jamban Keluarga8

Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Jamban yang baik dan
memenuhi syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal, yaitu:

1. Melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit.


2. Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan sarana yang aman
3. Bukan tempat berkembangnya serangga sebagai vektor penyakit.
4. Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan.

Pembuangan tinja sebagian dari kesehatan lingkungan maka kebiasaan masyarakat


memakai jamban harus terlaksana bagi setiap keluarga. Pembuangan kotoran seharusnya
memenuhi syarat yaitu:

 Jarak jamban dengan sumber air minum >10 meter. Untuk itu letak lubang
penampungan kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari sumber air
minum.Tetapi bila kondisi tanah berkapur, dan letak jamban pada sumber air di
tanah miring, maka jaraknya sekitar 15 meter.
 Tersedia air dan alat pembersih dan mempunyai lantai yang kedap air.
 Mempunyai slap atau tempat pijakan kaki dan closet atau lubang jamban.
 Mempunyai pit atau sumur penampungan dan tak mencemari sumber air.
 Tidak berbau dan tinja tidak bisa dijamah serangga, maka tinja harus tertutup rapat
dengan menggunakan leher angsa atau penutup lubang.
 Mudah dibersihkan dan aman digunakan. Perlu dibuat dari bahan yang kuat dan
tahan lama serta bahan tidak mahal.

26
 Air seni tidak mencemari tanah disekitarnya. Lantai jamban harus cukup luas
minimal berukuran 1x1 meter, dan cukup landai.
 Jamban lengkapi atap pelindung, dinding kedap air dan terang.
 Luas ruangan cukup dan ventilasi terbuka serta cukup penerangan.
3.2.3 Pemeliharaan Jamban8

Jamban hendaknya dipelihara baik dengan cara:

 Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering.


 Tidak ada sampah berserakan dan tersedia alat pembersih.
 Tidak ada genangan air di sekitar jamban.
 Rumah jamban dalam keadaan baik dan tidak ada lalat atau kecoa.
 Tempat duduk selalu bersih dan tak ada kotoran yang terlihat.
 Tersedia air bersih dan alat pembersih di dekat jamban.
 Bila ada bagian yang rusak harus segera diperbaiki.

Selain dengan pemakaian jamban keluarga, mengingat kepada sapi atau babi yang
merupakan hospes perantara bagi penyakit sistiserkosis, harus dijauhkan ternak babi supaya
tidak kontak dengan jamban dan kotoran manusia. Maka, perlu dilaksanakan pemelihara
sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan sehingga tidak
dapat berkeliaran dan membuang najisnya dimerata tempat hingga bisa kontak dengan
manusia.6,7

3.4 Lingkungan Non Fisik

Dilihat dari segi sosial budaya hambatan dalam penanggulangan, penyakit


sistiserkosis dipengaruhi oleh sikap, kebiasaan dan pengetahuan masyarakat dalam
pencegahan penyakit sistiserkosis yang masih kurang. Meskipun sebagian besar penduduk
Indonesia adalah Muslim dan tidak makan daging babi, infeksi dengan T. solium telah

27
terjadi di beberapa daerah atau pulau mana yang paling banyak penduduk lokal beragama
Kristen atau Hindi.1,5,8
Oleh itu penanggulangan penyakit ini adalah dengan menghilangkan kebiasaan
makan makanan yang mengandung daging setengah matang atau mentah. Memasak daging
sampai matang ( diatas 57 º C dalam waktu cukup lama ) atau membekukan dibawah 10º
selama 5 hari . Pendekatan ini ada yang dapat diterima ,tetapi dapat pula tidak berjalan,
karena perubahan yang bertentangan dengan adat istiadat setempat akan mengalami
hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan
kondisi daerah tersebut.5,8
Mengingat tingginya prevalensi terjadinya sistiserkosis pada anak-anak, maka perlu
diadakan pendidikan di sekolah-sekolah mengenai penyakit ini. Anak-anak harus diajarkan
dan diingatkan supaya membiasakan diri mencuci tangan dengan sabun sebelum dan
setelah makan serta setelah keluar jamban. Sesuai dengan indikator penilaian Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dikeluarkan oleh Depkes RI tahun 2004, sanitasi
lingkungan sekolah berhubungan dengan infeksi cacingan meliputi ketersediaan jamban
yang berfungsi dengan baik, ketersediaan air di jamban, kebersihan halaman sekolah,
ketersediaan warung (kantin) tempat jajan yang memenuhi syarat kesehatan dan
ketersediaan tempat pembungan sampah serta limbah. Jadi, ketersediaan fasilitas-fasilitas
berikut dapat membantu mengurangkan angka kejadian infeksi sistiserkosis.5,8

Dianjurkan pula untuk membiasakan mencuci makanan dan memasaknya dengan


baik. Dinasihatkan daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi
gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting dalam daerah yang
banyak memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan
Irian jaya. 2,5,8

28
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Sistiserkosis di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


penyebarannya masih meluas terutama di Irian Jaya dan Bali.

2. Pemberantasan sistiserkosis perlu dilaksanakan dengan tujuan menghentikan


transmisi, diperlukan program yang berkesinambungan dan memakan waktu
lama, mengingat masa hidup dari cacing dewasa yang cukup lama.

3. Meskipun sistiserkosis menunjukkan spektrum manifestasi klinik yang luas,


pengobatan dengan prazikuantel dengan dosis dan cara yang benar bisa
menyembuhkan penyakit ini.

4. Tingkat kesembuhan tinggi bila penemuan dalam fase awal dan belum ada
gejala menahun.

5. Deteksi penderita sistiserkosis dilaksanakan oleh puskesmas melalui pengobatan


dan penyuluhan.

4.2 Saran

1. Meningkatkan sanitasi diri dan lingkungan dengan perilaku hidup bersih sehat
(PHBS) merupakan syarat utama untuk menghindari infeksi sistiserkosis.

29
2. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan harus dilakukan sehingga masyarakat tidak
mengonsumsi daging yang mengandung kista.
3. Meningkatkan surveilans epidemiologi di tingkat puskesmas untuk penemuan dini
kasus sistiserkosis sehingga dapat meningkatkan kesembuhan dan mencegah
kematian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk pemberantasan sistiserkosis di


Indonesia. Last update 2008. Diunduh dari:
http://www.depkes.go.id/downloads/Taeniasis.pdf
2. Departemen Kesehatan RI. Laporan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas)
Indonesia tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI 2008.
3. Wilfried H, Miko W, dkk. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
sistiserkosis pada penduduk Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi
Papua tahun 2002. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok;
Makara, jurnal kesehatan, vol. 7, no. 2, desember 2003.
4. Shintawati R. Protozoa; Cestoda Intestinalis. Last update 2006. Diunduh dari:
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND.

30
5. Rizal S, Margono S, Akira I, dkk. Sistiserkosis di antara anggota keluarga di
beberapa desa, Kabupaten jayawijaya, Papua. Departemen Parasitologi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Indonesia (Salemba). Volume 9 No.1 Juni 2005.
6. Oscar H, Noshir H, Michel D and friends. Proposal of diagnostic criteria for human
cysticercosis and neurocysticercosis. Department of Neurology, Luis Vernaza
Hospital. Journal of the Neurological Sciences
Volume 142, Issues 1-2, October 1996, Pages 1-6.
7. Garcia H. Gonzalez E and friends. Taenia solium cysticercosis. Cysticercosis Unit,
Instituto Nacional de Ciencias Neurologicas, Jr Ancash 1271, Barrios Altos, Lima,
Peru. Volume 362, Issue 9383, 16 August 2003, Pages 547-556.
8. Ngurah K. Taeniasis dan Sistiserkosis. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
Denpasar. Journal Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2005.

31

Anda mungkin juga menyukai