PENDAHULUAN
1
(Gonidakis, 2007). Dalam beberapa penelitian, depresi postpartum terbukti
dapat menghambat keberlangsungan menyusui. Kejadian depresi
postpartum pada wanita melahirkan di Jepang telah mencapai 13,9%
(Haku, 2007). Prevalensi depresi di Iran mencapai 14-21,4%, sekitar
1,89% depresi terjadi pada wanita setiap tahunnya dan tiga kali lipat dari
itu dialami oleh wanita pada lima bulan pertama setelah melahirkan
(Tashakori, 2012). Faktor risiko terjadinya depresi postpartum yaitu depresi
atau kecemasan selama kehamilan, kurangnya dukungan sosial, adanya
riwayat depresi, komplikasi kehamilan dan kebidanan, status single parent,
hubungan dengan pasangan yang tidak harmonis dan status sosial
ekonomi yang rendah. Secara spesifik depresi postpartum akan
mempengaruhi perilaku ibu dalam menyusui dan dapat menyebabkan
mereka berhenti menyusui bayinya. Ibu yang mengalami depresi setelah
melahirkan lebih cenderung akan memberikan susu botol pada bayinya
(Roux et.al., 2006). ASI sangat bermanfaat bagi ibu maupun bayi, ASI
mengandung gizi yang sempurna untuk bayi yang dapat meningkatkan
sistem kekebalan tubuh, meningkatkan kecerdasan anak dan secara
psikologis dapat menjalin hubungan yang erat antara ibu dan bayi ketika
menyusui. Kondisi psikologi ibu sangat menentukan keberhasilan
menyusui (Jager et al., 2013). Ibu yang tidak mempunyai keyakinan
mampu memproduksi ASI akan menyebabkan produksi ASI akan
berkurang. Stres, kekhawatiran, ke tidak bahagiaan ibu pada periode
menyusui sangat berperan dalam keberhasilan pemberian ASI. Ibu dengan
kondisi depresi terutama pasca melahirkan kemungkinan akan lebih cepat
untuk melakukan penyapihan ASI dini kepada bayinya dibandingkan
dengan ibu dengan kondisi normal. Sebanyak 82% ibu dengan depresi
postpartum berhenti menyusui setelah mengalami gejala depresi (Jager et
al., 2012). Hal ini berhubungan dengan adanya kecemasan dan suasana
hati yang tidak mendukung setelah melahirkan (Dunn et al., 2006). Suatu
penelitian menunjukkan bahwa depresi postpartum mempengaruhi
hubungan psikologis antara ibu dan anak serta pertumbuhan dan
2
perkembangan anak. Anak yang lahir dari ibu dengan depresi postpartum
cenderung memiliki gangguan kognitif, perilaku dan interpersonal apabila
dibandingkan dengan anak yang lahir dari ibu tanpa depresi postpartum.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Ruang Rawat Gabung RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta pada tahun 1998 diektahui bahwa sebanyak 33,3%
wanita pasca melahirkan primipara mengalami depresi postpartum
(Udayani, 1998). Dari penelitian lain yang dilakukan di Indonesia seperti di
Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya ditemukan angka kejadian depresi
postpartum yaitu 11-30%, suatu jumlah yang tidak sedikit dan tidak
mungkin dibiarkan begitu saja apabila mengingat dampak negatif yang
ditimbulkannya (Sylvia, 2006).
1.2. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
I. Definisi
II. Etiologi
Menurut Jitowiyono (2012) penyebab di lakukannya pembedahan
sectiocaesaria adalah:
a. Pada ibu
1. Disproporsi kepala panggul
2. Disfungsi uterus
3. Distosia jaringan lunak plasenta previa
b. Pada bayi
1. Janin besar
2. Gawat bayi
3. Letak lingtang
4
III. Jenis-Jenis Section Caesaria
IV. Komplikasi
Menurut Jitowiyono (2012). Komplikasi pada section caesaria adalah
Pada ibu
a. Infeksi puerperalis
Ringa : Peningkatan suhu beberapa hari dalam masa nifas
Berat : Peritonitis sepsis
b. Perdarahan
c. Komplikasi : Komplikasi lain seperti luka kandung kemih,
emboli paru-paru
Pada bayi
a. Kematian perinatal pasca section caesaria sebanyak 4-7
persen.
5
B. Konsep dasar depresi (postpartum blues)
I. Definisi
II. Etiologi
6
(Yulianti, 2010). Terdapat empat faktor penyebab terjadinya depresi
postpartum, yaitu faktor konstitusional, fisik, psikologis dan sosial.
1. Faktor Konstitusional
Gangguan post partum berkaitan dengan status paritas
adalah riwayat obstetri pasien yang meliputi riwayat hamil sampai
bersalin serta apakah ada komplikasi dari kehamilan dan
persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada wanita
primipara. Wanita primipara lebih umum menderita depresi
postpartum karena setelah melahirkan wanita primipara berada
dalam proses adaptasi, jika sebelumnya hanya memikirkan diri
sendiri begitu bayi lahir jika ibu tidak paham perannya akan
menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat (Yulianti,
2010).
2. Faktor Fisik
Perubahan fisik setelah kelahiran dan memuncaknya
gangguan mental selama dua minggu pertama menunjukkan
bahwa faktor fisik dihubungkan dengan kelahiran pertama
merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara drastic
setelah melahirkn dan periode laten selama dua hari diantara
kelahiran dan munculnya gejala. Perubahan ini sangat
berpengaruh pada keseimbangan, kadang progesteron naik dan
estrogen menurun secara cepat setelah melahirkan merupakan
faktor penyebab yang sudah pasti (Yulianti, 2010).
3. Faktor Psikologis
Peralihan yang cepat dari keadaan hamil sampai melahirkan
dan melewati masa postpartum, ibu akan mengalami penyesuaian
psikologis yang berbeda-beda. Klaus dan Kennel (1972) dalam
Yulianti (2010) mengindikasikan pentingnya cinta dalam
7
menanggulangi masa peralihan untuk memulai hubungan baik
antara ibu dan anak.
4. Faktor Sosial
Pemukiman yang tidak memadai lebih sering menimbulkan
depresi pada ibu selain kurangnya dukungan dalam perkawinan.
Banyaknya kerabat khususnya suami yang selalu membantu pada
saat kehamilan, persalinan dan masa postpartum, akan membuat
beban seorang ibu karena kehamilannya akan sedikit berkurang
(Yulianti, 2010).
taking in dimana pada fase ini ibu ingin merawat dirinya sendiri,
banyak bertanya dan bercerita tentang pengalamannya selama
persalinan yang berlangsung 1 sampai 2 hari.
taking hold dimana pada fase ini ibu mulai fokus dengan bayinya yang
berlangsung 4 sampai 5 minggu.
8
IV. Gejala-Gejala Baby Blues Syndrome
9
b. Fisik
Kehadiran bayi dalam keluarga menyebabkan perubahan ritme
kehidupan social dalam keluarga, terutama ibu. Mengasuh si kecil
sepanjang siang dan malam sangat menguras energy ibu,
menyebabkan berkurangnya waktu istirahat, sehingga terjadi
penurunan ketahanan dalam menghadapi masalah.
c. Psikis
Kecemasam terhadap berbagai hal, seperti ketidakmampuan
dalam mengurus si kecil, ketidakmampuan mengatasi dalam
berbagai permasalahn, rasa tidak percaya diri karena perubahan
bentuk tubuh dan sebelum hamil serta kurangnya perhatian
keluarga terutama suami ikut mempengaruhi terjadinya depresi.
d. Sosial
Perubahan gaya hidup dengan peran sebagai ibu baru butuh
adaptasi. Rasa keterikatan yang sangat pada si kecil dan rasa
dijauhi oleh lingkungan juga berperan dalam depresi.
10
3. Ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan fisik dan
emosional yang kompleks.
4. Faktor postpartum syndrome baby blues umum dan paritas (jumlah
anak)
5. Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan
6. Latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan seperti
tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak
diinginkan, riwayat gangguan kejiawaan gangguan sebelumnya,
social ekonomi.
7. Stress yang dialami ibu dalam keluarga karena banyak kebutuhan
ditambah ekonomi keluarga semakin memburuk.
8. Kelelahan pasca persalinan juga dapat mempengaruhi psikologis
ibu.
9. Rasa memiliki bayi yang terlalu dalam sehingga timbul rasa takut
yang berlebihan akan kehilangan bayinya.
Jika kondisi baby blues syndrome tidak disikapi dengan benar, bisa
berdampak pada hubungan ibu dengan bayinya, bahkan anggota
keluarga yang lain juga bisa merasakan dampak dari baby blues
syndrome tersebut. Jika baby blues syndrome dibiarkan, dapat berlanjut
menjadi depresi pasca melahirkan, yaitu lebih dan hari ke-7 pasca
persalinan. Depresi setelah melahirkan rata-rata berlangsung tiga sampai
enam bulan bahkan terkadang sampai delapan bulan. Pada keadaan
lanjut dapat mengancam keselamatan diri dan anaknya.
1. Pada ibu
Menyalahkan kehamilannya
Sering menangis
Mudah tersinggung
11
Sering terganggu dalam waktu istirahat atau insomnia berat
Frustasi hingga berupaya untuk bunuh diri
2. Pada anak
Masalah perilaku
Anak dari ibu yang mengalami baby blues syndrome lebih
memungkinkan memiliki masalah perilaku termasuk masalah
tidur, tantrum, agresif, dan hiperaktif
Perkembangan kognitif terganggu
Anak nantinya mengalami keterlambatan dalam bicara dan
berjalan jika dibandingkan dengan anak-anak dari ibu yang
tidak depresi. Mereka akan mengalmi kesulitan dalam belajar di
sekolah.
Sulit bersosialisasi
Anak dari ibu yang mengalami baby blues syndrome biasanya
mengalami kesulitan membangun hubungan dengan orang lain.
mereka sulit berteman atau cenderung bertindak kasar.
Masalah emosional
Anak dari ibu yang mengalami baby blues syndrome cenderung
merasa rendah diri, lebih sering cemas dan takut, lebih pasif,
dan kurang independen.
3. Pada suami
Keharmonisan pada ibu yang mengalami baby blues syndrome
biasanya akan terganggu ketika suami belum mengetahui apa yang
sedang di alami oleh istrinya yaitu baby blues syndrome, suami
cenderum akan menganggap si ibu tidak becus mengurus anaknya
bahkan dalam melakukan hubungan suami istrinya biasanya mereka
merasa takut seperti takut mengganggu bayinya.
12
VIII. Pencegahan Baby Blues Syndrome
13
4. Cobalah berbagi rasa dengan suami atau orang terdekat
lainnya. Dukungan dari mereka bisa membantu anda
mengurangi depresi.
14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU POSTPARTUM
1. Pengkajian
Pengkajiannya meliputi ;
a Identitas klien.
b Keluhan Utama
c Riwayat Kesehatan :
Riwayat Kesehatan Sekarang
15
Berhubungan dengan kejadian pada persalinan masa lalu
serta kesehatan pasien
d Riwayat Persalinan
16
hubungan seksual akan mengganggu penyembuhan jaringan
perineum.
17
melihat anaknya. Tugas merawat anak seperti memandikan atau
mengganti pakaian, dipandang sebagai sesuatu yang
menyebalkan. Orang tua tidak mampu membedakan cara berespon
terhadap tanda yang disampaikan oleh bayi, seperti rasa lapar,
lelah keinginan untuk berbicara dan kebutuhan untuk dipeluk dan
melakukan kontak mata. Tampaknya sukar bagi mereka untuk
menerima anaknya sebagai anak yang sehat dan gembira.
i Perubahan Mood.
j Kebiasaan sehari-hari
18
Kebersihan perorangan
Tidur
Data sosek
Data psikologis
k Pemeriksaan Fisik
Aktivitas/ istirahat
Sirkulasi
Eliminasi
Makanan/ cairan
Neurosensori
19
Pernafasan
Integritas Ego
Seksualitas
TTV
2. Diagnosa Keperawatan
a) Koping individu tidak efektif b/d stress kelahiran, konsep diri negative,
system pendukung, yang tidak adekuat
d) Risiko tinggi terhadap infeksi yang b/d prosedur invasif pecah ketuban,
20
3. Intervensi
A Dx: Koping individu tidak efektif b/d stress kelahiran, konsep diri negative,
system pendukung, yang tidak adekuat
Kriteria Hasil:
Intervensi:
R/: Pasien mungkin merasa lebih bebas dalam konteks hubungan ini
Dorong klien untuk berbicara mengenai apa yang terjadi saat ini
dan apa yang telah dilakukan untuk mengatasi perasaan ansietas
21
R/: Menurunkan ansietas dan menyediakan kontrol bagi klien selama
situasi krisis
B Dx: Koping keluarga yang tidak efektif, ketidak nyamanan b/d depresi mental
dan efek pada keluarga
Kriteria Hasil:
Intervensi :
22
Kaji masalah sebelum sakit/ tingkah laku saat ini yang
mengganggu perawatan/ proses penyembuhan klien.
Kriteria hasil :
Intervensi:
24
Dukung atau arahkan kembali mekanisme kopping yang
diekspresikan.
Kriteria hasil :
Intervensi :
25
R/: Pecah ketuban terjadi 24 jam sebelum pembedahan dapat
mengakibatkan korioamnionitis sebelum intervensi bedah dan dapat
mengubah penyembuhan luka.
4. Implementasi
26
5. Evaluasi
27
BAB IV
PEMBAHASAN JURNAL
Metode penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen dengan
One Group Pretest Posttest Design. Pretest dilakukan untuk mengukur skala
nyeri pasien dengan post operasi SC sebelum dilakukan intervensi relaksasi
autogenik. Selanjutnya Postest dilakukan setelah diberikan intervensi relaksasi
autogenik pada pasien dengan post operasi Sectio Caesarea.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu post operasi Sectio
Caesarea yang dirawat di Ruang Perawatan V/VI RS. Dustira Cimahi sebanyak
92 pada bulan Mei 2015. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 75 ibu post
sectio caesarea dalam waktu 1 bulan. Tehnik pengambilan sampel
menggunakan Non Probability Sampling berupa tehnik Purposive Sampling
dengan kriteria inklusi :
1. Pasien post operasi Sectio Caesarea (24 jam post partum)
2. Pasien yang mendapatkan anestesi spinal.
3. Pasien yang bersedia menjadi responden penelitian dari awal hingga
akhir
28
Kriteria eksklusi :
1. Pasien yang mengalami komplikasi post partum
2. Pasien yang selama penelitian menggunakan analgetik.
Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan memberikan
penjelasan kepada responden mengenai maksud dan tujuan diadakannya
penelitian ini serta meminta responden untuk menandatangani lembar
persetujuan menjadi responden penelitian. Setelah responden penelitian
menandatangani lembar persetujuan, peneliti mengisi lembar checklist yang
berisi data karakteristik pasien dan melakukan pengukuran skala nyeri
responden sebelum dilakukan teknik relaksasi autogenik, serta mencatat skala
nyeri. Peneliti meminta responden untuk berbaring rileks, peneliti melakukan
teknik relaksasi autogenic kepada pasien selama 20 menit dan di iringi dengan
musik instrumental yang diletakkan di samping responden. Setelah teknik
relaksasi autogenik selesai dilakukan, peneliti kembali mengukur dan mencatat
skala nyeri responden pada lembar observasi. Peneliti melakukan wawancara
kepada pasien mengenai apa yang dirasakan sebelum, selama dan sesudah
dilakukan relaksasi autogenik.
Pada penelitian ini, peneliti tidak melakukan uji validitas karena peneliti
menggunakan alat ukur NRS yang telah dilakukan uji validitas sebelumnya
dengan nilai uji validitas r=0,90 dan pada penelitian ini, peneliti tidak melakukan
uji reliabilitas karena peneliti menggunakan alat ukur NRS yang telah dilakukan
uji reliabilitas dengan hasil menunjukkan reliabilitas lebih dari 0,95. Data diolah
dengan menggunakan analisa univariat untuk mengetahui karakteristik
responden yang meliputi usia, paritas dan riwayat operasi, sedangkan analisa
bivariat untuk mengetahui pengaruh teknik relaksasi autogenik terhadap skala
nyeri pada pasien post operasi Sectio Caesarea digunakan uji statistik uji
berpasangan (paired-test).
Hasil penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dari 75 responden, frekuensi usia ibu
tertinggi yaitu berada pada rentang usia 26-45 tahun (62,7%). Rentang usia ini
29
masih termasuk dalam usia produktif bagi seseorang. Penduduk usia produktif
adalah penduduk yang berumur 15 - 64 tahun. Wanita Usia Subur adalah semua
wanita yang telah memasuki usia antara 15-49 tahun tanpa memperhitungkan
status perkawinannya (Kemenkes, 2011).
Usia dapat mempengaruhi proses persalinan semakin tinggi usia
seseorang maka akan beresiko dalam proses persalinan. Menurut (Depkes,
2010) dari aspek kesehatan ibu yang berumur < 20 tahun rahim dan panggul
belum berkembang dengan baik, begitu sebaliknya yang berumur > 35 tahun
kesehatan dan keadaan rahim tidak sebaik seperti saat ibu berusia 20 – 35
tahun. Umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun merupakan umur yang tidak
reproduktif atau umur tersebut termasuk dalam resiko tinggi kehamilan. Umur
pada waktu hamil sangat berpengaruh pada kesiapan ibu untuk menerima
tanggung jawab sebagai seorang ibu sehingga kualitas sumber daya manusia
makin meningkat dan kesiapan untuk menyehatkan generasi penerus dapat
terjamin.
Kehamilan diusia muda atau remaja dibawah usia 20 tahun akan
mengakibatkan rasa takut terhadap kehamilan dan persalinan, hal ini disebabkan
pada usia tersebut ibu mungkin belum siap untuk mempunyai anak dan alat - alat
reproduksi ibu belum siap untuk hamil. Begitu juga kehamilan di usia tua yaitu
diatas 35 tahun akan menimbulkan kecemasan terhadap kehamilan dan
persalinan serta alat - alat reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil (Wiknjosastro, H
2008). Wanita usia subur termasuk usia yang sangat produktif untuk mengalami
kehamilan, sehingga wanita usia subur perlu mengetahui upaya pencegahan
perdarahan pada ibu hamil supaya tidak terjadi perdarahan selama kehamilan,
dan kejadian kematian pada ibu hamil dapat diantisipasi.
Hasil penelitian seperti yang terlihat dalam tabel diatas didapatkan hampir
setengahnya dari responden (38,7%) adalah multipara yaitu 29 ibu post operasi
sectio caesarea. Menurut Saifuddin, 2009 (dalam Trivonia, 2012), paritas yang
paling aman adalah multi gravida. Primi gravida dan Grande multi gravida
mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh
kematangan dan penurunan fungsi organ-organ persalinan. Secara umum
30
paritas multi gravida merupakan paritas paling aman bagi seorang ibu untuk
melahirkan dan masih digolongkan dalam kehamilan resiko rendah. Meskipun
demikian tetap ada faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan resiko atau
bahaya terjadinya komplikasi pada persalinan yang dapat menyebabkan
kematian atau kesakitan pada ibu dan bayinya. Pada ibu multi gravida yang
pernah gagal kehamilan, pernah melahirkan dengan vakum, transfusi darah,
serta riwayat bedah sesar pada persalinan sebelumnya (Trivonia, dkk, 2011).
Persalinan yang pertama sekali biasanya mempunyai resiko yang relatif tinggi
terhadap ibu dan anak, akan tetapi resiko ini akan menurun pada paritas kedua
dan ketiga, dan akan meningkat lagi pada paritas keempat dan seterusnya.
Paritas yang paling aman jika ditinjau dari sudut kematian maternal adalah
paritas 2 dan 3 (Prawirohardjo, 2011). Hasil analisis bivariate menunjukkan tidak
ada hubungan paritas dengan kejadian SC.
Menurut Sudirman, 2009 faktor-faktor medis dilakukan SC adalah karena
faktor ibu dan faktor janin. Faktor medis ibu dilakukannya SC adalah plasenta
previa (5,3%), riwayat persalinan ibu yang lalu mengalami SC (5,7%), disproporsi
sefalopelvic (3,3%), Pre-eklampsi Berat (25,6%), Ketuban Pecah Dini (31,7%).
Faktor medis Janin dilakukan tindakan SC yaitu letak sungsang (11%), letak
lintang (5,3%), gawat janin (7,7%) dan gemelli (7,7%) (Jovany, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian ibu yang mempunyai riwayat terbanyak
adalah kehamilan kedua. Keadaan yang pernah mengalami persalinan atau baru
akan terjadi dapat menyebabkan seorang wanita yang akan melahirkan merasa
ketakutan, khawatir dan cemas menjalaninya, karena kekhawatiran dan
kecemasan mengalami rasa sakit tersebut memilih persalinan sectio caesarea
untuk mengeluarkan bayinya (Kasdu, 2003).
31
2.1 POSTPARTUM BLUES PADA PERSALINAN DI BAWAH USIA DUA PULUH
TAHUN
Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif karena dimaksudkan untuk
menyelidiki fenomena, yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk deskripsi. Desain
yang digunakan dalam penelitian ini adalah retrospektif, yaitu penelitian yang
melihat ke belakang, artinya pengumpulan data dimulai dari efek atau akibat
yang telah terjadi. Kemudian dari efek tersebut ditelusuri penyebabnya atau
variabel-variabel yang mempengaruhi tersebut (Notoadmodjo, 2012).
Retrospektif rancangan bangun dengan melihat ke belakang dari suatu kejadian
yang berhubungan dengan kejadian kesakitan yang diteliti. Dengan kata lain dari
efek ke faktor risiko atau mencari penyebab/kausa/faktor risiko dari penelitian.
Populasi pada penelitian ini adalah ibu-ibu yang menikah dan sudah melahirkan
pada usia kurang dari 20 tahun di Desa Panggungharjo Sewon Bantul yang
berjumlah 35 orang. Hal tersebut sesuai dengan data dari KUA Kecamatan
Sewon, dimana populasi ibu-ibu yang menikah dibawah umur 20 tahun secara
keseluruhan adalah 35 orang dari tahun 2013-2015. Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 35 orang, peneliti menggunakan teknik total sampling
yaitu memberi hak yang sama kepada setiap subjek untuk memperoleh
kesempatan dipilih menjadi sampel. Namun demikian, terdapat 2 responden
yang pindah rumah ke luar kota, sehingga jumlah sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 33 orang.
32
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini variabel tunggal yaitu
postpartum blues pada persalinan dibawah usia 20 tahun. Pengukuran
postpartum blues dilakukan dengan memberikan kuisioner Edinburgh Postnatal
Depression Scale (EPDS). Analisis data menggunakan teknik statistik deskriptif.
Hasil penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan di Desa Panggungharjo didapatkan hasil
bahwa sebagian besar responden yang bersalin dibawah 20 tahun tidak
mengalami postpartum blues karena mendapatkan dukungan sosial dari
keluarga terutama dari suami. Adanya dukungan sosial membuat responden
dapat mengatasinya dan melewati masa postpartum blues dengan waktu yang
singkat. Hal ini didukung Urbayatun (2010) yang menyebutkan bahwa dukungan
sosial berhubungan negatif dengan kecenderungan depresi postpartum pada ibu
primipara.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan postpartum blues
diantaranya dukungan sosial, paritas, tingkat pendidikan dan perencanaan
kehamilan oleh karena itu seperti yang diungkapkan oleh responden meskipun
bersalin dibawah usia 20 tahun tetapi mendapatkan dukungan yang penuh oleh
keluarga sehingga tidak mengalami postpartum blues selain itu disebabkan
karena pribadi responden dalam menghadapi masa postpartum. Hal ini menjadi
analisis bagi peneliti bahwa ibu yang melahirkan dibawah usia 20 tahun pada
kenyataannya tidak semua mengalami postpartum blues karena dari ibu
menikmati keadaannya dan sudah siap memiliki anak. Rahmandani, Karyono &
Dewi (2009) menyebutkan adanya faktor internal dan faktor eksternal yang
mempengaruhi kejadian depresi postpartum. Faktor internal diantaranya adalah
isi kognitif, karakteristik kepribadian, dan sikap hati yang terbuka. Sementara
faktor eksternal diantaranya adalah dukungan sosial, penguatan positif, dan
tekanan dari luar.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebanyak tiga puluh tiga
responden menjawab kelelahan dalam mengurus anaknya, selain itu ada tiga
puluh dua responden yang menjawab cemas dengan keadaannya terutama
33
dalam mengurus anaknya merasa belum bisa memberikan yang terbaik selain itu
ada dua puluh delapan responden yang mengalami susah tidur karena terbebani
oleh kelahiran bayinya, ada juga dari delapan belas responden mengalami
gelisah karena kepikiran anaknya, enam belas responden mengalami binggung
dalam mengurus anaknya terutama saat menangis binggung harus bagaimana,
delapan responden mengalami lupa atas kelahiran anaknya sehingga
menyebabkan postpartum blues empat responden mengalami tangisan yang
kuat ketika bayinya menangis responden juga menangis.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pendidikan terbanyak yang
mengalami postpartum blues adalah SD-SMP, yaitu dua belas responden
(54,5%) hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan
rendah lebih sering mengalami postpartum blues dibandingkan dengan
pendidikan tinggi. Pendidikan dalam penelitian ini adalah jenjang pendidikan
formal yang ditempuh oleh ibu yang mempunyai bayi sampai memperoleh ijazah
yang sah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Latipun (2001) yang
mengatakan bahwa pendidikan sesorang akan mempengaruhi cara berpikir dan
cara pandang terhadap diri dan lingkungannya, karena itu akan berbeda sikap
responden yang mempunyai pendidikan tinggi dibandingkan dengan yang
berpendidikan rendah dalam menyikapi proses selama persalinan sehingga pada
pendidikan rendah terjadi postpartum blues.
Berdasarkan hasil penelitan didapatkan hasil sebagian besar responden
yang mengalami postpartum blues adalah primipara yaitu 14 responden 63,6%
terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian postpartum. Hal ini sesuai
dengan pendapat yang menyebutkan bahwa proses persalinan, lamanya
persalinan hingga komplikasi yang dialami setelah persalinan dapat
mempengaruhi kondisi psikologis seorang ibu, dimana semakin besar trauma
fisik yang dialami maka semakin besar trauma psikis yang muncul hal ini
semakin berat dirasakan wanita yang pertama kali melahirkan anak mereka.
Adanya perubahan selama kehamilan khususnya peningkatan hormon dapat
menimbulkan tingkat kecemasan yang semakin berat serta rasa khawatir
menerima peran baru menjadi krisis situasi yang terjadi sehingga hal ini dapat
34
menimbulkan terjadinya postpartum blues (Handerson & Jones, 2006 ). Menurut
Bobak (2004) hal ini sesuai dengan kriteria ibu yang mengalami gangguan
emosional adalah ibu primipara yang belum berpengalaman dalam mengasuh
anak. Hal ini berisiko terjadinya postpartum blues. Hasil penelitian ini
menunjukkan status kehamilan mempengaruhi terjadinya postpartum blues.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Bobak (2004) yang menyatakan salah satu
faktor yang dapat menyebabkan postpartum bues adalah kehamilan yang tidak
diinginkan. Suami memegang peranan penting dalam terjadinya postpartum
blues dan diharapkan suami menyadai bahwa istri sangat membutuhkannya
pada saat– saat tertentu dan suami diharapkan ada saat istri sangat
membutuhkannya. Dukungan itu tidak hanya berupa dukungan material tetapi
dukungan psikologis, penilaian, informasi, dan finansial sangat dibutuhkan oleh
istri, jadi dukungan yang diberikan itu dikemas secara utuh sehingga istri merasa
nyaman dan dapat persalinan dengan baik. Dukungan suami merupakan strategi
coping penting pada saat mengalami stress dan berfungsi sebagai strategi
preventif untuk mengurangi stress dan konsekuensi negatifnya. Untuk itu
dukungan suami sangat dibutuhkan oleh perempuan setelah mengalami
postpartum blues.
35
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Post partum adalah proses lahirnya bayi dengan tenaga ibu sendiri, tanpa
bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang
dari 24 jam (Saifuddin,2002). Post portum/ masa nifas dibagi dalam 3 periode (Mochtar,
1998) yaitu puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan-jalan, purperium intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia
yang lamanya mencapainya 6 – 8 minggu dan remote puerperium yaitu waktu yang
diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama hamil / waktu
persalinan mempunyai komplikasi.
Saran
a. Pasien
Diharapkan pasien dapat memahami pengertian, penyebab, klasifikasi, fisiologi
dan penatalaksanaan pada saat post partum .
b. Perawat
Diharapkan kepada perawat dapat menggunakan proses keperawatan sebagai
kerangka kerja untuk perawatan pasien dengan post partum.
36
DAFTAR PUSTAKA
37