Disusun oleh:
Kelompok 5
SURABAYA
2017
KATA PENGANTAR
hambatan, namun berkat bimbingan semua pihak akhirnya makalah ini dapat
rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang
sempurna. Begitu pula dengan penyusunan makalah ini tidak luput dari
kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun,
guna memperbaiki makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna dan
Penulis
ii
DAFTAR ISI
2.6.6 Komplikasi................................................................................................... 38
v
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.3 Diagnosis Secara Umum
Dalam penegakan diagnosis gangguan sistem pencernaan salah satunya
menggunakan “Kriteria Roma” saat ini kriteria roma yang digunakan adalah
kriteria roma III (Bender, 2017; Drossman, 2006):
Ada 6 domain utama pada anak meliputi
1. Gangguan Fungsi Esopagus
2. Gangguan Fungsi Gastroduodenal
3. Gangguan Fungsi Bowel
4. Sindrom Nyeri Abdomen
5. Gangguan Fungsi Kantung Empedu
6. Gangguan Fungsi Anorektal
Ada 7 domain Pada Neonatus/Toddler meliputi :
1. Infant regurgitation
2. Infant rumination syndrome
3. Cyclic vomiting syndrome
4. Infant colic
5. Functional diarrhea
6. Infant dyschezia
7. Functional constipation
Ada 3 domain pada remaja meliputi :
1. Muntah dan aerophagia
2. Nyeri perut
3. Konstipasi dan inkontinen
7
termasuk produksi amina aromatic polycyclic beracun dan mekanisme
angiogenic induksi akibat asap tembakau (Devita, et al., 2015).
2. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a. Usia
Individu dengan usia dewasa muda dapat terkena kanker
kolorektal, dan mungkin akan meningkat tajam setelah usia 50 tahun.
Sekitar 9 dari 10 orang didiagnosis dengan karsinoma kolorektal berusia
minimal 50 tahun (Devita, et al., 2015).
b. Polip Kolon
Polip adalah suatu massa seperti tumor yang menonjol ke dalam
lumen usus. Polip dapat terbentuk akibat pematangan, peradangan atau
arsitektur mukosa yang abnormal. Polip ini bersifat nonneoplatik dan tidak
memiliki potensi keganasan. Polip yang terbentuk akibat proliferasi dan
displasia epitel disebut polip adenomatosa atau adenoma (Kumar, et al.,
2008).
Tabel 2.1 Klasifikasi Polip Kolon (Kumar, et al., 2008)
Polip Nonneoplastik Polip Neoplastik
Polip hiperplastik Adenoma
Polip Hemartomatosa
-Polip Juvenilis
-Polip Peutz-Jeghers
Polip Inflamatorik
3) Adenoma tubulovilosa
Karena polip adenomatosa dapat berkembang menjadi kelainan
pramaligna dan kemudian menjadi karsinoma, maka setiap adenoma
yang ditemukan harus dikeluarkan. Timbulnya karsinoma dari lesi
adenomatosa disebut sebagai sekuensi/urutan adenoma kaesinoma
(Devita, et al., 2015).
Sindrom poliposis atau poliposis familial merupakan penyakit
herediter yang jarang ditemukan. Bentuk polip ini biasanya mirip
dengan polip adenomatosum bertangkai atau berupa polip sesil, akan
tetapi multipel tersebar pada mukosa kolon. Dalam jangka waktu 10-
20 tahun dapat mengalami degenerasi menjadi kanker kolon. Adanya
kanker kolon pada usia muda kemungkinan berasal dari pertumbuhan
poliposis. Sebagian dari poliposis ini asimtomatik dan sebagian
disertai keluhan sakit di daerah abdomen, diare, sekresi lendir yang
meningkat dan perdarahan kecil yang mengganggu penderita (Devita,
et al., 2015).
c. Inflammatory Bowel Disease
1) Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan penyakit ulserasi dan inflamasi akut
atau kronis dari rektum dan kolon dengan tanda-tanda yang khas yaitu
adanya diare, perdarahan per-rektal, nyeri di abdomen, anoreksia dan
penurunan berat badan (Devita, et al., 2015).
Ulseratif kolitis sering juga menyebabkan terjadinya kanker kolon
dan paling banyak terdapat di segmen proksimal dari kolon. Dimulai
dengan mikroabses pada kripta mukosa kolon dan beberapa abses bersatu
membentuk ulkus. Pada stadium lanjut timbul pseudopolip yaitu
penonjolan mukosa kolon yang ada diantara ulkus. Perjalanan penyakit
10
yang sudah lama, berulang-ulang dan lesi luas disertai adanya pseudopolip
merupakan risiko tinggi terhadap kanker (Devita, et al., 2015).
2) Penyakit Crohn’s
Penyakit ini sering disebut kolitis granulomatosis atau kolitis
transmural. Penyakit Crohn’s merupakan inflamasi granulomatois di
seluruh dinding, sedangkan kolitis ulseratif secara primer merupakan
inflamasi yang terbatas pada selaput lendir kolon. Resiko kejadian
karsinoma kolon pada Crohn’s lebih besar (Devita, et al., 2015).
d. Genetik
Kanker merupakan penyakit genetik. 5 dari 10 persen penderita
kanker adalah karena pewarisan gen. Individu dengan riwayat keluarga
memiliki resiko menderita karsinoma kolorektal 5 kali lebih tinggi dari
pada individu pada kelompok usia yang sama tanpa riwayat penyakit
tersebut (Devita, et al., 2015).
Terdapat 2 kelompok pada individu dengan keluarga penderita
karsinoma kolorektal, yaitu:
1) Individu yang memiliki riwayat keluarga dengan Hereditary Non-
Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC).
2) Individu yang didiagnosis secara klinis menderita Familial Adenomatous
Polyposis (FAP) (Devita, et al., 2015)
2.5.3 Patofisiologi
Keberadaan sel kanker pada seseorang tidak hanya berasal dari efek
karsinogen seseorang, baik yang didapat dari luar ataupun dari dalam tubuh
manusia itu sendiri. Kanker kolorektal khususnya, memiliki hubungan terhadap
kondisi feses dari individu, serta riwayat penyakit yang diderita, dimana kondisi
tersebut merupakan dampak dari faktor resiko yang ada pada individu seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya (Corwin, 2007).
Kanker pada kolon dan rektum dapat diawali dengan adanya riwayat polip
pada individu. Polip merupakan massa dari jaringan yang menonjol pada lumen
usus (Smeltzer, et al., 2010). Polip yang tidak diatasi atau dilakukan intervensi,
dapat berubah menjadi maligna. Polip yang telah berubah menjadi ganas tersebut
11
akan menyerang dan menghancurkan sel yang normal dan meluas di jaringan
sekitarnya (Corwin, 2007).
Manusia pada dasarnya memiliki zat karsinogen atau zat pemicu kanker
pada tubuh. Efek karsinogen akan semakin meningkat apabila mendapat penyebab
kanker dari luar. Zat karsinogen juga berpotensi untuk menyebabkan proliferasi
sel kanker. Menurut Corwin (2007), kurangnya asupan antioksidan dengan
minimnya konsumsi buah dan sayuran yang mengandung antioksidan (seperti
vitamin E, vitamin C, dan beta karoten) dapat mengurangi perlindungan sel
terhadap efek karsinogen. Buah dan sayuran yang segar memiliki enzim aktif
yang dapat memelihara dan meningkatkan pertumbuhan sel yang sehat.
Kondisi feses yang kurang baik juga dapat memicu terjadinya kanker
kolon. Aktivitas atau olahraga yang kurang teratur dan terukur dapat
mengakibatkan feses menjadi lebih lama berada di kolon atau rektum, terlebih jika
individu melakukan diet rendah serat. Kondisi ini dapat mengakibatkan toksin
yang terdapat dalam feses mencetuskan pertumbuhan sel kanker (Corwin, 2007).
Feses yang mengandung banyak lemak juga dapat memicu sel kanker. Tingginya
lemak dalam feses diakibatkan oleh konsumsi tinggi lemak seperti daging. Feses
yang mengandung banyak lemak dapat mengubah flora dalam feses menjadi
bakteri Clostrida & Bakteriodes yang mempunyai enzim 7-alfa dehidrosilase yang
mencerna asam menjadi asam Deoxycholi dan Lithocholic (yang bersifat
karsinogenik) meningkat dalam feses (Corwin, 2007).
Massa kanker yang terdapat pada kolon ataupun rektum akan
menyebabkan adanya sumbatan atau obstruksi, yang mengakibatkan evakuasi
feses yang terhambat atau tidak lengkap setelah defekasi. Akibat lebih lanjutnya
ialah konstipasi, distensi atau nyeri abdomen, hingga feses berdarah. Apabila
massa kanker ini tidak dideteksi sejak dini dan dibiarkan, maka besar
kemungkinan sel kanker akan melakukan metastasis. Metastasis pada sel kanker
kolorektal terdiri dari penyebaran langsung, penyebaran limfogen, dan hematogen
(Corwin, 2007).
12
2.5.4 Stadium
13
Tabel 2.3 Staging of Colorectal Cancer
Staging of Colorectal Cancer: Dukes’ Classification-Modified Staging System
Class A Tumor limited to muscular mucosa and submucosa
Class B1 Tumor extends into mucosa
Class B2 Tumor extends through entire bowel wall into serosa or
pericolic fat, no nodal involvement
Class C1 Positive nodes, tumor is limited to bowel wall
Class C2 Positive nodes, tumor extends through entire bowell wall
Class D Advanced and metastasis to liver, lung, or bone. Another
staging system, the TNM (tumor, nodal involvement,
metastasis) classification, may be used to describe the anatomic
extent of the primary tumor, dependingon:
. Size, invasion depth, and surface spread
. Extend of nodal involvement
. Presence or absence of metastasis
The higher the score in each category, the worse the disease and
prognosis
Klasifikasi Kanker Kolorektal (Dukes) (Smeltzer, et al., 2010)
Keterangan:
Tis: Carsinoma in situ
T0: No evidence of primary
TX: Primary cannot be assessed
T1: Involving submokusa
T2: Involving muskularis propria
T3: Involving subserosa, non-peritoneal-ized pericolic/ perirectal tissues
T4: Other organs/ structures/ viseral peritoneum
14
N0: No regional lymphadenopathy
N1: 3 or fewer pericolic/ perirectal lymph nodes
N2: >3 pericolic/ perirectal lymph nodes
N3: Nodes on named vascular trunk/ aplical node(s)
M0: No distant metastase
M1: Distant metastase
16
Gambar 2.2. Tanda dan Gejala Kanker Kolorektal Berdasarkan Lokasi Kanker
(Smeltzer, et al., 2010)
2.5.7 Komplikasi
Komplikasi dari kanker kolorektal, diantaranya (Smeltzer, et al., 2010) :
1. Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau
lengkap.
2. Metastase ke organ sekitar, melalui hematogen, limfogen dan
penyebaran langsung.
3. Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah
sekitar kolon yang menyebabkan hemorragi.
4. Perforasi usus dapat terjadi dan mengakibatkan pembentukan abses.
5. Peritonitis dan atau sepsis dapat menimbulkan syok.
17
2.5.8 WOC
18
19
20
2.5.9 Pemeriksaan
2.5.9.1 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan
abdomen daan colok dubur.
1. Pemeriksaan abdomen
Pemeriksaan abdomen dapat dilakukan dengan palpasi abdomen
(tumor kecil atau tahap dini akan sulit teraba). Palpasi rektum atau vagina
dilakukan pada pasien dengan perdarahan ataupun dengan simtom lainnya
(Neal & Hoskin, 2009).
Palpasi abdomen dapat juga untuk memeriksa adanya manifestasi
klinis konstipasi, distensi dan nyeri tekan abdominal. Pada tingkat
pertumbuhan lanjut, palpasi dinding abdomen kadang-kadangteraba massa
di daerah kolon kanan dan kiri. Palpasi rektum merupakan sarana diagnostik
sederhana namun mempunyai nilai tinggi dalam diagnosis kanker di rektum
dimana sekitar 50% kanker ditemukan dengan ujung jari (Neal & Hoskin,
2009).
2. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur merupakan keharusan dan dapat disusul
dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi (Sjamsuhidajat & Jong, 2011).
Pemeriksaan colok dubur dilakukan untuk mengetahui langsung adanya
massa pada rektum. Pemeriksaan ini biasanya akan terasa nyeri pada pasien,
oleh karena itu pada saat pemeriksaan baiknya disertai dengan teknik
relaksasi napas dalam pada pasien (Neal & Hoskin, 2009).
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah :
a. Keadaan tumor : ekstensi lesi pada dinding rektum serta le tak
bagian terendah terhadap cincin anorektal, serviks uteri, bagian
atas kelenjar prostat atau ujung os. coccygis (Neal & Hoskin, 2009).
b. Mobilitas tumor : hal ini sangat penting untuk mengetahui tingkat
keberhasilan terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya
masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi
dalam yang sudah mengalami ulserasi umumnya terjadi perlekatan
dan fiksasi pada struktur ekstra-rektal (Neal & Hoskin, 2009).
21
Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan
karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau
fiksasi lesi (Neal & Hoskin, 2009)
2.5.10 Prognosis
Skrining karsinoma kolorektal memegang peranan yang sangat penting.
Pengalaman di berbagai negara memperlihatkan bahwa skrining yang adekuat
terbukti menurunkan angka kematian akibat dari karsinoma kolorektal, Karena
dengan program skrining yang baik akan lebih banyak ditemukan kasus dini
sehingga terapi dapat secara kuratif. Terapi bedah paling efektif bila dilakukan
pada penyakit yang masih terlokalisasi. Bila sudah terjadi metastasis, prognosis
menjadi buruk dan angka survival menurun drastis.
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker kolorektal menurut
American Cancer Society (2009) adalah sebagai berikut:
Stadium I : 79%
Stadium II : 73%
Stadium IIA : 65%
Stadium IIB : 51%
Stadium IIIA : 49%
Stadium IIIB : 15%
Stadium IV : 5%
24
50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa
kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering
terjadi. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama
setelah operasi.
2.5.11 Penatalaksanaan
Penatalakasanaan pada pasien dengan kanker kolorektal meliputi
penatalaksanaan medis, bedah dan keperawatan (Smeltzer, et al., 2010).
1. Penatalaksanaan medis
a. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan terapi modalitas untuk mengeliminasi sel kanker.
Idealnya, agen kemoterapi akan menyerang dan menghentikan pertumbuhan
sel tumor, namun pada kenyataannya sel yang sehat juga ikut dimatikan. Efek
ini akhirnya menimbulkan rasa mual, muntah dan rambut rontok (Neal &
Hoskin, 2009).
b. Terapi radiasi.
Terapi medis yang kedua yaitu terapi radiasi. Terapi radiasi
menggunakan radiasi terionisasi seperti sinar-X atau gamma (). Terapi radiasi
memiliki tingkat penyembuhan yang tinggi untuk kasus kanker. Sinar radiasi
yang dikirimkan akan diabsorbsi oleh sel, sehingga akan terjadi kehancuran
pada mutasi DNA. Dosis dari radiasi biasanya dihitung dengan jumlah energi
yang diserap per unit massa dangan standar unit atau satuan gray (Gy), atau
satu joule per kilogram (Zhang, 2008).
Ketika sampai pada sel tumor, dosis pada radiasi akan terbatas pada
kerusakan di sel sehat yang ada di sekitar area radiasi. Seseorang yang
mendapat terapi radiasi harus menjaga agar kulit pada area yang di radiasi
tidak terkena dengan air karena dapat merusak kulit tersebut. Reaksi tidak
langsung antara molekul air dengan ion pada sinar radiasi akan menjadi tidak
stabil. Elektron yang mengelilingi atom hidrogen dan oksigen akan terpental
keluar dari orbitnya, membuat molekul OH kekurangan elektron, menjadi OH-
dan atom hidrogen menjadi kelebihan elektron (H+). Ion ini bersifat tidak
stabil dan berubah menjadi H radikal dan OH radikal. Ion-ion radikal ini
25
bersifat menyebabkan kerusakan pada inti sel yang berujung pada kematian sel
(Devita, et al., 2015).
2. Penatalaksanaan bedah
Penatalaksanaan bedah terhadap pasien kanker kolorektal meliputi
reseksi segmental dan pembuatan kolostomi.
a. Reseksi segmental
Reseksi segmental dengan anastomosis dibutuhkan untuk
mengangkat tumor dan sebagian kolon yang terkena pertumbuhan tumor,
berikut dengan pemuluh darah dan limfanya. Pengangkatan rektum (yang
terkena kanker) tanpa merusak anus disebut sebagai Low Anterior
Resection (LAR). Pada operasi ini, setelah pengangkatan, kolon
proksimal akan dihubungkan dengan bagian rektum. Operasi ini biasa
dilakukan pada pasien dengan kanker kolorektal stadium II atau III pada
½ bagian atas rektum (dekat perbatasan dengan kolon) .
26
b. Kolostomi
Pembedahan kolostomi dapat berupa kolostomi sigmoid dan
pengangkatan sebagian sigmoid, rektum dan sfingter ani. Pada pasien
palliative care, kolostomi ataupun ileostomi permanen biasanya dibuat
dengan tanpa mengangkat organ yang terkena kanker (Devita, et al.,
2015).
4. B4 (Bladder)
Frekuensi BAK , warna dan produksi urin, terpasang kateter apa
tidak.
5. B5 (Bowel)
Bentuk perut agak cembung, peristaltik permenit, terdapat
konstipasi atau diare, bunyi redup atau sonor, dulnes, adanya nyeri
tekan atau tidak.
6. B6 (Bone)
Ekstremitas atas : Kekuatan otot ka/ki : 6/6, ROM ka/ki : aktif/aktif
Ekstremitas bawah : kekuatan otot ka/ki: 6/6, ROM ka/ki : aktif/aktif
Diagnosa Keperawatan
1. Konstipasi berhubungan dengan penurunan asupan cairan dan serat,
kelemahan otot abdomen sekunder akibat Ca Colorectal.
2. Diare berhubungan dengan proses penyakit.
3. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual/muntah.
5. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit
Intervensi Keperawatan
1. Konstipasi berhubungan dengan penurunan asupan cairan dan serat,
kelemahan otot abdomen sekunder akibat Ca Kolorektal.
NOC:
29
a. Bowel elimination
b. Hydration
Kriteria hasil:
a. Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari
b. Bebas dari ketidaknyamanan dan konstripasi
c. Mengidentifikasi indikator untuk mencegah konstipasi
d. Feses lunak dan berbentuk
NIC:
Constipation / impaction management
a. Observasi warna dan konsistensi feses, frekuensi, keluarnya
flatus, bising usus dan nyeri terkan abdomen
b. Pantau tanda gejala rupture usus dan/atau peritonitis.
c. Observasi faktor penyebab konstipasi.
d. Ajarkan klien dalam bantuan eleminasi defekasi.
e. Anjurkan klien untuk menghindari mengejan selama
defekasi.
f. Observasi bising usus dan peristaltic perut klien
g. Konsultasikan pada ahli gizi untuk meningkatkan serat dan
cairan dalam diet.
h. Konsultasikan dengan dokter untuk memberikan bantuan
eleminasi, seperti : diet, pelembut feses, enema dan laksatif.
NIC:
Pain management
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan
d. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
e. Kurangi faktor presipitasi nyeri
f. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
g. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala,
relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
h. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
i. Tingkatkan istirahat
j. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
k. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik
pertama kali
Kriteria hasil:
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
e. Menunjukkan peningkatan pengecapan dari menelan
f. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
NIC:
Nutrition management
a. Observasi sejauh mana ketidakadekuatan nutrisi klien
b. Perkirakan/hitung pemasukan kalori, jaga komentar tentang
nafsu makan sampai minimal.
c. Timbang berat badan sesuai indikasi.
d. Anjurkan makan sedikit tapi sering.
e. Anjurkan kebersihan oral sebelum makan.
f. Konsultasi tentang kesukaan/ketidaksukaan klien yang
menyebabkan distres.
g. Kolaborasi ahli gizi pemberian makanan yang bervariasi.
h. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian suplemen dan
obat-obatan, serta kebutuhan nutrisi parenteral dan pemasang
pipa lambung.
34
Hipoproteinemia adalah salah satu faktor yang penting dalam
penundaan penyembuhan, seseorang yang memiliki tingkat protein serum
dibawah 6g/dl memiliki risiko burst abdomen.(G Parmar, A Gohil, 2008)
5. Defisiensi vitamin C
Vitamin C sangat penting untuk memperoleh kekuatan dalam
penyembuhan luka. Kekurangan vitamin C dapat mengganggu
penyembuhan dan merupakan predisposisi kegagalan luka.(Gabrielle H.
van Ramshorst, Jeroen Nieuwenhuizen, Wim C. J. Hop, Pauline Arends
& Lange, Johannes Jeekel, 2010)
6. Kortikosteroid
Steroid memiliki peranan dalam menghambat proses inflamasi,
fungsi makrofag, proliferasi kapiler, dan fibroblast. Selain itu
kortikosteroid juga dapat menurunkan sistem imun.(Gabrielle H. van
Ramshorst, Jeroen Nieuwenhuizen, Wim C. J. Hop, Pauline Arends &
Lange, Johannes Jeekel, 2010)
7. Merokok
Kebiasaan merokok sejak muda menyebabkan batuk-batuk yang
persisten, batuk yang kuat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra
abdomen.(Gabrielle H. van Ramshorst, Jeroen Nieuwenhuizen, Wim C.
J. Hop, Pauline Arends & Lange, Johannes Jeekel, 2010)
8. Hypoalbuminanemia (serum albumin <3 mg%)
Keadaan hipoalbuminemia ini akan mengurangi sintesa komponen
sulfas mukopolisarida dan kolagen yang merupakan bahan dasar
penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan mempengaruhi proses
fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan proses awal penyembuhan
luka.(Gabrielle H. van Ramshorst, Jeroen Nieuwenhuizen, Wim C. J.
Hop, Pauline Arends & Lange, Johannes Jeekel, 2010)
9. Operasi yang bersifat emergensi
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan dengan
terjadinya burst abdomen. Hal ini mungkin lebih disebabkan karena
35
keadaan hemodinamik pasien yang tidak stabil dibandingkan dengan
persiapan operasi yang terencana.(Gabrielle H. van Ramshorst, Jeroen
Nieuwenhuizen, Wim C. J. Hop, Pauline Arends & Lange, Johannes
Jeekel, 2010)
4. Tes BGA
Hemoglobin, serum protein, gula darah, serum kreatinin, dan urea. Hitung
darah lengkap dan serum elekrolit dapat menunjukkan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit), peningkatan sel darah putuh, dan ketidakseimbangan
elektrolit.(Indrawaty et al., 2011)
2.6.6 Komplikasi
1. Perdarahan di sekitar daerah jahitan
2. Peritonitis (infeksi ke seluruh dinding usus)
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi
pada selaput rongga perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan
jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam.
Cedera pada kandung empedu, ureter,kandung kemih atau usus selama
pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga
dapat terjadi selama pembedahan untuk menyambungkan bagian usus.(G
Parmar, A Gohil, 2008)
3. Infeksi luka bedah
Infeksi Luka Operasi ( ILO )/Infeksi Tempat Pembedahan
(ITP)/Surgical Site Infection (SSI) adalah infeksi pada luka operasi atau
organ/ruang yang terjadi dalam 30 hari paska operasi atau dalam kurun 1
tahun apabila terdapat implant. Sumber bakteri pada ILO dapat berasal dari
pasien, dokter dan tim, lingkungan, dan termasuk juga instrumentasi.(Anil
Haripriya, 2015)
38
Menurut The National Nosocomial Surveillence Infection (NNSI) (Goyal,
Sandhu, Kumar, Kosey, & Mehra, 2015), kriteria jenis-jenis SSI ada tiga
sebagai berikut :
a. Superficial Incision SSI ( ITP Superfisial )
Merupakan infeksi yang terjadi pada kurun waktu 30 hari pasca
operasi dan infeksi tersebut hanya melibatkan kulit dan jaringan subkutan
pada tempat insisi dengan setidaknya ditemukan salah satu tanda sebagai
berikut :
1. Terdapat cairan purulen.
2. Ditemukan kuman dari cairan atau tanda dari jaringan superfisial.
3. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda inflammasi
4. Dinyatakan oleh ahli bedah atau dokter yang merawat.
b. Deep Insicional SSI ( ITP Dalam )
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari pasca
operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun
jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak berhubungan
dengan operasi dan melibatkan jaringan yang lebih dalam ( contoh,
jaringan otot atau fasia )pada tempat insisi dengan setidaknya terdapat
salah satu tanda :
1) Keluar cairan purulen dari tempat insisi.
2) Dehidensi dari fasia atau dibebaskan oleh ahli bedah karena ada tanda
inflammasi.
3) Ditemukannya adanya abses pada reoperasi, PA atau radiologis.
4) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter yang merawat.
c. Organ/ Space SSI ( ITP organ dalam )
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska
operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun
jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak berhubungan
dengan operasi dan melibatkan suatu bagian anotomi tertentu (contoh,
organ atau ruang) pada tempat insisi yang dibuka atau dimanipulasi pada
saat operasi dengan setidaknya terdapat salah satu tanda :
1) Keluar cairan purulen dari drain organ dalam
39
2) Didapat isolasi bakteri dari organ dalam
3) Ditemukan abses
4) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter.
4. Hematoma
Hematoma menyebabkan gangguan proses penyembuhan luka
karena menyediakan tempat perkembangbiakan kuman yang baik.
Risiko terjadinya hematoma akan meningkat pada luka dengan diseksi
subkutis yang luas dan perlengketan jaringan yang terjadi jelek.
Hematoma pada luka biasanya disertai dengan adanya rasa nyeri, tekanan
dan pembengkakan disekitar luka.
5. Seroma
Seroma adalah pengumpulan limfe yang disebabkan oleh robeknya
pembuluh limfe saat operasi. Pembuluh limfe akan membengkak disertai
dengan rasa nyeri. Seroma pada luka dapat diatasi dengan melakukan
aspirasi dengan jarum, setelah diyakini tidak ada tanda peradangan.
6. Dehisensi luka operasi
Dehisensi luka operasi adalah terpisahnya semua lapisan jahitan
dinding perut yang meliputi kulit, jaringan subkutis, fascia sampai
peritoneum. Bila isi perut keluar dari luka operasi disebut dengan wound
eviseration atau burst abdomen. Bila tidak mengenai semua
peritoneum disebut dengan incomplete wound disruption.
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat terjadi dini
(<3hari pasca operasi), yang biasanya disebabkan oleh teknik atau cara
penutupan dinding perut yang tidak baik. Sedangkan dehisensi luka
operasi lambat jika terjadi >7-12 hari pasca operasi. Pada keadaan ini
biasanya dihubungkan dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor
lainnya. Dehisensi luka seringkal iterjadi tanpa gejala khas, biasanya
penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang
bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda
dari luka operasi.
40
2.6.8 WOC Burst Abdomen
PRE OPERASI POST OPERASI
OPERASI
Anemia
Batuk
Tipe
Penurunan Hb insisi
Penekanan Intra Abdomen
Midline incision
Suplay oksigen ke
jaringan menurun Ketegangan pada luka
Titik lemah abdomen
Jahitan terbuka
BURST ABDOMEN
MK : Nyeri
Intake makanan ↓
MK : Pola Pertahanan tubuh
nafas tidak berespon : Inflamasi
Nutrisi tidak adekuat efektif
41
2.6.9 Prognosis
Menurut Murali et al. (2016) dalam Jurnal of Dental dan Medical Sciences
bahwa insiden rata-rata pada literature mencapai 0.4% – 3,5%. Apabila
terpisahnya jahitan luka pada abdomen secara partial atau komplit salah satu atau
seluruh lapisan dinding abdomen pada luka post operatif tidak segera ditangani
maka pasien tersebut memiliki kemungkinan mortalitas 45%.
2.6.10 Penatalaksanaan
Pada burst abdomen, teknik jahitan ulangan tidak seluruhnya
dilakukan. Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang
baik seperti laboratorium lengkap dan foto thoraks. Penatalaksanaan penderita
dengan luka operasi terbuka tergantung pada keadaan umum penderita yang mana
dibedakan atas penanganan operatif dan nonoperatif.(Gabrielle H. van Ramshorst,
Jeroen Nieuwenhuizen, Wim C. J. Hop, Pauline Arends & Lange, Johannes
Jeekel, 2010; Yao, Bae, & Yew, 2013)
1. Penatalaksanaan Operatif
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui luka jahitan secara
hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan kemudian mengidentifikasi sumber
terjadinya burst abdomen. Tindakan eksplorasi dilakukan dalam 48-72 jam sejak
diagnosis burst abdomen ditegakkan. Teknik yang sering digunakan adalah
dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali lukaoperasi dengan cara satu
lapisan sekaligus. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan secara dalam, yaitu
dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi satu lapis. Pastikan mengambil
jaringan cukup dalam dan hindari tekanan berlebihan pada luka dan tutup
kulit secara erat. Jika terdapat tanda-tanda sepsis akibat luka, buka kembali
jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka operasi secara terbuka dan
pastikan kelembaban jaringan terjaga.
2. Penatalaksanaan Non-operatif
Penatalaksanaan nonoperatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak
stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita
berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau
pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat
42
dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka, namun jika
keadaan umum penderita membaik, dapat dilakukan operasi ulang secara elektif.
Jika pasien datang dengan burst abdomen dan ada eviserasi:
a. Inform Consent
d. Puasa dilakukan 4 jam sebelum pembedahaan, pemasangan NGT dekompresi.
e. Pasang infus, bericairan standard N4 dengan tetesan sesuai kebutuhan.
f. Antibiotik pra bedah diberikan secara rutin.
g. Dilakukan rawat luka pada abdomen dengan teknik steril selama dua hari
sekali.
h. Perlu diperhatikan juga tentang nutrisi pasien. Pemberian nutrisi tinggi protein
dan serat pada pasien dengan burst abdomen membantu penyembuhan dan
fungsi saluran cerna pasien.
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang luka operasi terbuka adalah
benang monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan teknik
terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antara jahitan 3 cm,
baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jaringan penguat dengan karet atau
tabung plastik lunak (5-6 cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi
pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat. Jahitan penguat luar diangkat setidaknya
setelah 3 minggu.
Penumpukan Jahitan
Ada beberapa teknik penumpukan jahitan, tetapi pada prinsipnya adalah :
a. Memakai jahitan luka yang padat dan tidak menyerap
c. Luas potongan paling tidak 3 cm dari tepi luka dan interval stik jahitan3 cm
atau kurang
d. Salah satu dari eksternal (menggabungkan semua lapisan peritonium melewati
kulit) atau (semua lapisan kecuali kulit) mungkin di gunakan
e. Penumpukan jahitan luka internal dapat menghindari pembentukanbekas luka
yang tidak sedap dipandang akan tetapi luka itu tidak dapat dipindahkan pada
waktu berikutnya (meningkatkan resiko infeksi)
f. Jangan mengikat terlalu kuat
g. Penumpukan jahitan luka eksternal biasanya dibiarkan selama paling tidak 3
minggu
43
Pada sebagian kecil pasien bisa mendapatkan penatalaksanaannya yang tepat.
Teknik yang tidak aman terkadang tidak mungkin untuk menutup dinding perut
dengan baik. Beberapa kondisi yang mungkin bisa menjadi faktor pada dinding
perut yang tidak bisa menutup dengan baik adalah :
a. Trauma abdomen mayor
b. Sepsis abdomen yang kasar
c. Retro peritoneal hematom
d. Kehilangan jaringan pada dinding perut
Untuk mengatasi keluhan setelah operasi merasakan bagian yang dioperasi seperti
tertarik dan nyeri, kini tersedia jala sintesis yang dikenal dengan “mesh”.
Penutupan “mesh” pada insisi abdomen biasanya menujukkan :
a. Kerusakannya adalah penutupan dari satu atau dua lapisan pada lubang
b. Lubang adalah jahitan luka pada tempat dari jahitan luka yang menembus
lapisan tebal dinding abdomen
c. Perubahan balutan dan granulasi bentuk jaringan berikutnya, akhirnya
berpengaruh pada permukan yang bisa di bungkus dengan pemindahan robekan
kulit.
46
to severe with an anticipated or predictable end.
NOC NIC
47
7. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
8. Berkolaborasi dengan pasien dan
kesehatan profesional lainnya untuk
memilih dan menerapkan tindakan
nonfarmakologi penghilang nyeri, yang
sesuai
9. Memberikan pasien yang mengalami
nyeri yang optimal dengan analgesik
yang diresepkan
10. Ajarkan penggunaan teknik
nonfarmakologi (misalnya, hipnotis,
relaksasi, terapi musik, terapi bermain,
terapi aktivitas, akupresur, terapi
kompres panas / dingin, dan pijat)
sebelum, sesudah, dan, jika mungkin,
selama terjadinya nyeri .
Domain 4. Activity/Rest
NOC NIC
48
3. Kedalaman inspirasi (041503) 3. Memantau saturasi oksigen
4. Saturasi Oksigen (041508) 4. Pantau adanya kelelahan otot
5. Sesak saat istirahat (041514) diafragma, seperti ditunjukkan oleh
gerak paradoks
5. Lakukan auskultasi bunyi nafas,
mencatat daerah menurun atau tidak
ada ventilasi dan adanya bunyi
adventif
6. Pantau adanya dyspnea dan keadaan
yang meningkatkan dan memperburuk
pernapasan
7. Lakukan pengobatan terapi
pernapasan (misalnya, nebulizer),
sesuai yang dibutuhkan
Definition : Core body temperature above the normal diurnal range due to failure of
thermoregulation.
Class 6. Thermoregulation
NOC NIC
49
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Hyperthermia Treatment (3786)
selama 1x24 jam suhu badan klien
normal, dengan kriteria hasil: 1. Memantau tanda-tanda vital
2. Mendapatkan nilai laboratorium untuk
Risk Control: Hyperthermia (1922)
elektrolit serum, urinalisis, enzim
1. Mengidentifikasi faktor risiko jantung, enzim hati, dan hitung darah
hipertermia lengkap
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala 3. Pantau komplikasi (misalnya,
hiperthermi gangguan ginjal, ketidakseimbangan
3. Mengidentifikasi kondisi asam-basa)
kesehatan yang mempercepat 4. Beritahu pasien pada tanda-tanda awal
peningkatan suhu dan gejala penyakit yang berhubungan
dengan panas
Domain 2. Nutrition
Class 1. Ingestion
NOC NIC
50
2.7 Bulimia Nervosa
Orang yang mengalami ketidak puasan akan bentuk tubuh akibat persepsi
yang negatif terhadap body image (citra tubuh) akan mempengaruhi tindakan
seseorang untuk melakukan perilaku makan yang tidak tepat atau diit yang salah,
guna mendapatkan bentuk tubuh yang ideal. Keadaan ini banyak terjai pada usia
remaja awal, kecemasan akan bentuk tubuh membuat remaja sengaja tidak makan
yang berujung pada eating disorder.(Aqmariya Syarafina, 2014)
Eating disorder adalah gangguan psikologis dan medis yang menyebabkan
kelainan serius dalam perilaku makan untuk mengendalikan berat badan atau
biasa disebut sebagai suatu gangguan mental yang dapat mempengaruhi remaja.
Kategori penyimpangan perilaku makan dibagi menjadi empat bagian :
1. Anoreksia nervosa yaitu menurunnya nafsu makan dan ketakutan yang
berlebihan pada kenaikan berat badan.
2. Bulimia nervosa yaitu makan berlebihan disertai dengan perasaan dimana
penderitanya merasa kehilangan pengendalian diri ketika makan disertai
muntah yang dilakukan secara sengaja serta penyalahgunaan obat pencahar
dan diuretik.
3. Binge eating disorder yaitu keadaan mengkonsumsi makanan dalam jumlah
banyak dan disertai dengan kehilangan kontrol ketika makan dan terus
berulang namun tidak disertai dengan pemuntahan. Setelah makan dalam
jumlah yang besar biasanya penderita merasa bersalah dan malu dengan
perilakunya. Oleh sebab itu, sebagian besar individu dengan binge eating
disorder mengalami obesitas.
4. Eating disorder not otherwise specified (EDNOS) yaitu seseorang dengan
EDNOS merupakan jenis penyimpangan perilaku makan yang lebih ringan
dan tidak mempunyai kriteria diagnostik yang spesifik, baik anoreksia
maupun bulimia nervosa. Seseorang yang memiliki gangguan makan
dengan perilaku makan yang tidak teratur. Penderita EDNOS memiliki
gejala yang hampir sama namun tidak seluruhnya menyerupai dengan
penderita anoreksia dan bulimia. Data diperoleh dari wawancara langsung
menggunakan kuesioner Eating Disorder Diagnostic Scale (EDDS).
(Aqmariya Syarafina, 2014)
51
Dibawah ini akan dibahas secara detail tentang Bulimia Nervosa
2.7.1 Definisi
Klien dengan bulimia nervosa cenderung untuk menjaga berat badan yang
relatif normal, tetapi melakukannya dengan cara makan berlebihan (bingeing) dan
memuntahkan (purging) isi lambung untuk mencegah kenaikan berat badan. Telah
dinyatakan bahwa bulimia nervosa adalah bentuk dari penyakit depresi (Black
Joyce, 2014).
Bulimia nervosa adalah gangguan makan yang terjadi pada individual
terutama wanita yang ditandai dengan pola makan binge (makan dalam jumlah
lebih dari porsi normal individu) dan purge-eating (makanannya dimuntahkan
kembali) (Junaidi, 2012; King, 2014).
Bulimia nervosa adalah gangguan yang ditandai dengan sering makan
berlebih dan induksi muntah diri sendiri terkait dengan hilangnya kontrol yang
berkaitan dengan makan dan perhatian terus-menerus dengan citra tubuh. Individu
dengan bulimia nervosa mungkin memiliki berat badan normal dengan tinggi
badan, atau berat badan mereka dapat berfluktuasi dengan makan sebanyak-
banyaknya dan memuntahkannya. Mereka juga mungkin menyalahgunakan obat
pencahar, diuretik, olahraga, atau obat-obatan diet. Mereka mungkin memiliki
tanda-tanda yang sering muntah, seperti kelenjar ludah bengkak, pembuluh darah
pecah di mata, dan masalah gigi. Individu dengan bulimia nervosa bersusah payah
untuk menyembunyikan kebiasaan makan abnormal. Bulimia meningkat dalam
insiden dan bahkan mungkin lebih umum daripada anoreksia nervosa (Lewis,
2011).
Bulimia nervosa adalah kompulsif makan dengan induksi diri muntah, yang
umumnya dikenal sebagai binge-purge. Persentase yang tinggi dari pasien dengan
bulimia adalah perempuan muda. Pasien dengan bulimia biasanya makan
sejumlah besar makanan di satu duduk dan kemudian pembersihan makanan
dengan sengaja merangsang muntah sehingga berat badan tidak naik. Obat
pencahar juga kadang-kadang digunakan oleh pasien bulemia untuk
membersihkan tubuh dari makanan dan menghindari kenaikan berat badan.
Olahraga berlebihan juga dapat digunakan untuk mengontrol berat badan.
52
Kriteria Bulimia Nervosa adalah pengulangan episode binge eating di ikiuti
dengan tindakan kompensasi seperti sengaja muntah, menggunakan laksatif,
diuretic, atau obat lainnya, puasa atau olahraga berlebihan. ( Trulyana, 2008)
54
Faktor lain yang mendorong timbulnya bulimia nervosa adalah
masalah keluarga, pubertas, gangguan adaptasi, lingkungan dan penerimaan
teman sebaya, media dan masyarakat serta krisis identitas. Bulimia juga
sering dihubungkan dengan depresi. Kebanyakan, penderita bulimia berasal
dari keluarga yang tidak bahagia, umumnya mereka memiliki orang tua
yang gemuk, atau mereka sendiri kegemukan pada masa kanak-kanak.
Namun hingga kini masih belum jelas apakah gangguan emosional ini
sebagai sebab atau akibat dari bulimia.
2.7.3 Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis bulimia, Manual Diagnostik dan Statistik Mental Disorders
(DSM-5), yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association,
mencantumkan poin-poin ini:
1. Episode berulang pesta makan
Makan, dalam periode diskrit waktu, sejumlah makanan yang pasti lebih
besar daripada kebanyakan orang akan makan selama periode waktu yang
sama dan dalam keadaan serupa. Rasa kurang kontrol atas makan selama
episode.
2. Perilaku kompensasi yang tidak tepat yang berulang untuk mencegah
kenaikan berat badan, seperti muntah yang disebabkan sendiri;
Penyalahgunaan obat pencahar, diuretik, atau obat lain; puasa; Atau olah
raga yang berlebihan.
3. Setidaknya seminggu sekali selama 3 bulan.
4. Evaluasi diri terlalu dipengaruhi oleh bentuk tubuh dan berat badan.
(American Psychiatric Association, 2014)
56
ketika terjadi nausea atau nyeri abdomen yang berat, atau ketika diinterupsi
dengan tertidur, atau ketika mereka menginduksi vomiting (Soetjiningsih, 2007).
1) Binge Eating
Gambaran Klinis BN digolongkan pada orang yang mengalami episode
konsumsi makanan dengan jumlah yang sangat banyak (misalnya, binge-
eating) secara rekuren dan sering, dan merasakan kurangnya penguasaan
terhadap makan. Binge eating artinya mengkonsumsi makanan yang banyak
dalam periode waktu yang singkat. Pada saat episode binge terjadi
kehilangan kendali terhadap makanan. Penderita bulimia nervosa dapat
mengkonsumsi makanan sekitar 3000-7000 kkal per episode binge. Epidode
binge sering timbul pada waktu yang sama setiap hari atau timbul sebagai
akibat rangsangan emosional seperti depresi, jemu atau marah dan
kemudian diikuti oleh periode puasa berkepanjangan.Mengkonsumsi
makanan biasanya didahului muntah dengan kira-kira satu tahun. Episode
makan berlebihan yang berulang. Episode ini ditandai dengan kedua hal
berikut ini:
1) Makan, dalam periode waktu tertentu (misalnya dalam 2 jam),
jumlah makan jauh lebih besar daripada yang dimakan kebanyakan orang
pada periode waktu yang sama dan dalam keadaan atau situasi yang sama.
Selama mengkonsumsi makanan pasien memakan makanan yang manis,
tinggi kalori, dan biasanya lembut atau lunak, seperti cake dan kue kering.
Beberpa pasien lebih menyukai makanan yang besar tanpa memandang
rasanya.
2) Perasaan hilang kendali terhadap makan selama episode tersebut
(misalnya merasa tidak dapat menghentikan makan atau mengendalikan apa
atau berapa banyak yang dimakannya). Makanan dimakan secara sembunyi-
sembunyi dan secara cepat, dan kadang-kadang tidak dikunyah.
2.7.4 Patofisiologi
Bertahun-tahun ukuran dan berat badan wanita akan meningkat sesuai
dengan peningkatan status nutrisi. Tetapi hal tersebut juga memicu persuasi media
yang mengajak wanita untuk menjadi kurus. Proyek media ini menyalahi ideal
kesehatan dan menyebabkan wanita dan remaja berusaha untuk mempunyai tubuh
yang kurus. Ketika memasuki masa remaja, khususnya masa pubertas, remaja
menjadi sangat sensitif atas pertambahan berat badan mereka. Terjadi perubahan
fisiologis tubuh yang terkadang mengganggu. Wanita dengan bulimia nervosa
memiliki respon yang lebih lemah dari normal di wilayah otak yang merupakan
bagian dari hubungan dopamin dengan sirkuit balasan, sedangkan sirkuit balasan
pada wanita anoreksia nervosa terlalu sensitif terhadap rangsangan makanan
(CNS Spektrum, 2015).
Bulimia nervosa lebih sering dialami oleh remaja putri daripada remaja pria.
Bagi remaja putri, mereka mengalami pertambahan jumlah jaringan lemak
sehingga mereka akan mudah untuk gemuk apabila mengkonsumsi makanan yang
berkalori tinggi. Pada kenyataannya kebanyakan wanita ingin terlihat langsing dan
kurus karena mereka beranggapan bahwa menjadi kurus akan membuat mereka
bahagia, sukses dan populer. Sementara apabila tubuh gendut, memakai baju
apapun rasanya seperti sedang memakai karung terigu. Akhirnya, lingkungan
sekitar juga ikut mempengaruhi. Maka tidak mengherankan apabila ketidakpuasan
seseorang dengan tubuhnya akan mengembangkan masalah pada gangguan makan
(WangMuba, 2009).
Remaja dengan gangguan makan seperti di atas memiliki masalah dengan
body imagenya. Artinya mereka sudah memiliki suatu mind set (pemikiran yang
62
sudah terpatri di otak) bahwa tubuh mereka tidak ideal. Mereka mempersepsikan
tubuhnya gemuk, banyak lemak yang intinya tidak sedap untuk dipandang dan
tidak menarik seperti tubuh orang lain. Akibat pemikiran yang sudah terpatri ini,
seorang remaja akan selalu melihat tubuh mereka gemuk padahal kenyataannya
justru berat badan mereka semakin turun hingga akhirnya mereka menjadi sangat
kurus. Mereka akan dihantui perasaan bersalah ketika mereka makan banyak
karena hal itu akan menyebabkan berat badannya naik. Masalah ini akhirnya
menyebabkan remaja menjadi tidak percaya diri dan sulit untuk menerima kondisi
dirinya. Mereka beranggapan bahwa kepercayaan diri akan tumbuh kalau mereka
juga memiliki tubuh yang sempurna. Pengidap kemudian merasa bersalah,
menyesal, dan membenci diri sendiri sehingga akan memaksa tubuh untuk
mengeluarkan semua asupan kalori yang telah masuk. Cara ini umumnya
dilakukan dengan memaksa diri untuk muntah atau menggunakan obat pencahar
untuk memicu proses buang air besar. Pengidap bulimia setidaknya mengalami
siklus ini lebih dari dua kali dalam seminggu selama minimal tiga bulan (Wang
Muba, 2009).
2.7.5 Pemeriksaan Diagnostik
Uji Laboratorium dan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien dengan
bulimia nervosa menurut American Psychiatric Association (APA, 2013) adalah
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan fisik yang menyeluruh
Pemeriksaan fisik dapat memberikan petunjuk penting menunjukkan
adanya bulimia nervosa, terutama untuk menyingkirkan subtipe gangguan
tersebut. Pada pemeriksaan, dokter mungkin mencari tanda-tanda
komplikasi medis dimana termasuk juga erosi gigi, jaringan parut atau
abrasi pada kuku-kuku jari, dan kelenjar parotis bengkak.
2. Uji kadar elektrolit serum
Para penderita bulimia dengan berat badan normal atau overweight
(gemuk) mungkin tidak memiliki kelainan laboratorium yang signifikan.
Kelainan laboratorium menjadi lebih umum dengan penurunan berat badan.
Tingkat elektrolit yang paling mungkin akan terpengaruh. Kelainan cairan
dan elektrolit seperti hipokalemia (yang dapat memprovokasi aritmia
63
jantung), hipokloremia, dan hiponatremia. Hilangnya asam lambung melalui
muntah dapat menyebabkan alkalosis metabolik (peningkatan serum
bikarbonat), dehidrasi melalui pencahar dan diuretik dapat menyebabkan
asidosis metabolik.
2.7.6 Komplikasi
Jika tidak segera ditangani, bulimia bisa memicu komplikasi yang serius dan
bahkan berakibat fatal. Frekuensi muntah yang sering terjadi akan merusak gigi
(akibat asam lambung) dan memicu pembengkakan kelenjar air liur. Demikian
pula dengan sakit tenggorokan serta bau mulut. Kekurangan nutrisi juga termasuk
komplikasi serius akibat bulimia. Komplikasi ini dapat memicu dehidrasi, sulit
untuk hamil karena siklus menstruasi yang tidak teratur, kulit dan rambut yang
kering, kuku yang rapuh, gagal ginjal, serta gagal jantung. Sementara penggunaan
obat pencahar yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan pada organ-
organ pencernaan serta mengganggu keseimbangan kadar senyawa alami tubuh.
Ketidakseimbangan ini berpotensi memicu kelelahan, lemas, detak jantung yang
tidak teratur, serta kejang (Alodokter.com, 2015).
Komplikasi medis lainnya seperti dilatasi gaster akut yang dapat berakibat
rupture gaster. Selain itu robekan mallory-weiss pada esophagus, rupture
esophagus, refluks esophagitis, dan cardiomiopaty sebagai akibat sekunder dari
penggunaan ipecac. Toksisitas ipecac juga berhubungan dengan skeletal
myopathy, kronik hipokalemia. Xerosis berkaitan dengan dehidrasi kronik.
Penggunaan laksatif berlebihan dapat menyebabkan risiko konstipasi kronik,
cathartic colon dengan pseudo-hischprung syndrome, dan komplikasi lainnya.
Berikut efek yang ditimbulkan terhadap tubuh dan dan masalah dalam beberapa
aspek (Wildes, 2010):
65
(Gambar 2.12. Efek Bulimia Nervosa terhadap Tubuh)
1) Gigi
Beberapa kelainan pada rongga mulut telah dilaporkan termasuk erosi
gigi, mengurangi laju aliran saliva, hipersensitivitas gigi, karies gigi,
penyakit periodontal, dan xerostomia (mulut kering). Erosi gigi biasanya
terjadi pada permukaan lingual dari gigi rahang atas. Meskipun gigi
mandibular juga dapat terpengaruh, mereka diyakini agak terlindung, dari
paparan asam lambung, oleh lidah. Erosi dapat terlihat pada awal enam
bulan setelah terjadinya induksi muntah sendiri yang bersifat reguler.
67
asam mungkin bersentuhan dengan pita suara dan sekitarnya,
mengakibatkan suara serak, disfagia, batuk kronis, sensasi terbakar di
tenggorokan atau sakit tenggorokan berulang.
3) Jantung
Komplikasi jantung lebih sering terjadi pada AN dibandingkan dengan
BN, manifestasi klinis yang didapatkan berupa palpitasi yang disebabkan
oleh sinus takikardia yang merupakan efek dari hipokalemia,
hipomagnesaemia, dan dehidrasi yang terjadi. Dehidrasi akibat episode
berulang dari muntah yang dapat mengakibatkan hipotensi, dan ortostatik.
Meskipun pasien akan sering menggunakan jari-jari mereka atau benda
untuk menginduksi muntah, beberapa mungkin kembali menggunakan
ipecac, sirup sebelumnya digunakan untuk mengobati ingestions toksik
akut. Pasien dengan bulimia yang terlibat dalam self-induced muntah
mungkin menyalahgunakan obat ini. Bahan aktif ipecac adalah emetine
yang memiliki paruh yang panjang dan akibatnya dapat terakumulasi untuk
tingkat beracun dengan konsumsi kronis. Toksisitas Emetine dapat
mengakibatkan kerusakan permanen miosit jantung yang mengakibatkan
gagal jantung kongestif berat, aritmia ventrikel, dan kematian jantung
mendadak.
4) Paru-paru
Pada pasien yang membersihkan melalui self-induced muntah, aspirasi
makanan dimuntahkan adalah sebuah kemungkinan. Dengan demikian, pada
orang dewasa muda yang sehat dengan gangguan pernapasan dengan onset
tiba-tiba, self-induced muntah dengan aspirasi harus dipertimbangkan.
Komplikasi paru lain dari self-induced muntah adalah pneumomediastinum,
yang merupakan diseksi udara melalui dinding alveolar, karena muntah.
5) Elektrolit
Episode muntah berulang dapat menyebabkan dehidrasi dan
peningkatan regulasi sekresi Rennin-Angiotensin-Aldosteron. Aldosteron
disekresikan oleh kelenjar adrenal dan hasilnya terjadi peningkatan
penyerapan natrium bikarbonat dan retensi air untuk mengurangi
68
kecenderungan terhadap dehidrasi, hipotensi dan penurunan volume dari
muntah berulang. Hal ini menghasilkan alkalosis metabolik dan nilai-nilai
kalium serum rendah. Secara bersama-sama, fenomena ini disebut sebagai
sindrom pseudo-Bartter. Kehilangan kalium tambahan yang berasal dari
muntahan yang sebenarnya. Melalui kalium serum yang rendah mungkin
penanda khusus untuk self-induced muntah dari bulimia, tidak sensitif.
Sebagian besar pasien dengan bulimia, yang hanya kadang-kadang muntah,
akan memiliki elektrolit serum yang normal, berbeda dengan mereka yang
muntah berlebihan atau mereka yang melakukannya secara teratur untuk
program berkepanjangan.
Tabel 4 . Perubahan elektrolit
Decreased or
Diuretics Decreased Decreased Increased
normal
Decreased or
Laxatives (short-term) Decreased Increased Decreased
normal
Decreased or
Laxatives (long-term) Decreased Decreased Increased
normal
Decreased or
Vomiting Decreased Decreased Increased
normal
6) Kulit
Masalah dermatologi ditemukan pada pasien bulimia nervosa,
walaupun kurang dipedulikan, termasuk “Russell’s sign” terdapat penebalan
atau scar pada punggung tangan yang disebabkan oleh penekanan jari
terhadap gigi saat menginduksi muntah, lesi tersebut bisa menjadi
permanen. Tanda ini biasanya terlihat pada stadium awal penyakit ini. Pada
pasien kronis, cara menginduksi muntah biasanya dilakukan dengan
menekan abdomen. Perbuatan melukai diri sendiri terkadang terlihat pada
pasien dengan BN, contohnya menusuk diri dengan jarum, membakar kulit
dengan api rokok.
Pasien dengan berat badan yang cukup rendah mungkin menunjukkan
manifestasi dermatologi karena kelaparan termasuk alopecia, xerosis,
69
hipertrikosis lanuginosa, cheilosis, carotenoderma, pruritus, dan kerapuhan
kuku. Pasien dengan self-induced muntah akan sering melakukannya,
secara mekanis dengan memasukkan jari-jari mereka ke dalam mulut
mereka. Seiring waktu, pengenalan tangan ke dalam mulut menghasilkan
trauma berulang dan kulit lecet pada tangan.
70
Sebagai catatan, eritema pada konjungtiva, yang seringkali disertai
dengan perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi akibat dari muntah. Hal ini
terjadi karena terjadinya elevasi pada penekanan vena saat muntah.Batu
empedu juga harus dipertimbangkan sebagai diagnosis diferensial pada AN
dan BN yang datang dengan keluhan muntah atau nyeri perut kuadran kanan
atas. Nyeri tersebut disebabkan oleh batu empedu, yang angka kejadiannya
meningkat pada pasien yang mengalami penurunan berat badan. USG
merupakan cara untuk menyingkirkan keberadaaan dari batu empedu
tersebut.
Konstipasi, tidak jarang terdapat pada pasien BN. Pasien mengeluhkan
perut kembung dan susah buang air besar, sering kali pasien mengatasinya
dengan mengkonsumsi laksative. Hal tersebut justru dapat memperbukruk
konstipasinya. Tidak jarang pasien justru mengkonsumsi laksative dengan
pertimbangan bahwa dengan mengkonsumsi laksative maka berat badan
akan semakin berkurang, sedangkan laksative memiliki efek samping
terhadap motilitas kolon. Secara umum, dengan usaha pengembalian berat
badan dan memperbanyak makan secara bertahap maka usus akan
mengalammi perbaikan dalam waktu 3 minggu. Penatalaksanaan untuk
konstipasi itu sendiri adalah dengan edukasi terhadap pasien agar minum air
yang banyak 6-8 gelas perhari, serat dalam jumlah yang rendah yaitu 10
gram perhari, laktulosa jenis sintetik nonabsorbsi disakarida, 30-60 ml satu
sampai dua kali perhari, kita juga perlu mempberi tahu bahwa walaupun
pemberian laktulosa tersebut berasa sangat manis, pasien tidak perlu cemas
akan penambahan kalori yang mungkin terjadi, karena obat tersebut tidak
diabsobsi.
Muntah yang dipaksakan dapat merusak permukaan esofagus,
biasanya paling banyak terjadi pada sambungan antara esofagus dan
lambung. Kadang terdapat muntah darah berwarna merah segar, yang
dibarengi dengan isi lambung. Hal ini disebut Boerhaave’s sindrom yaitu
ruptur pada dinding esofagus yang merupakan dampak dari muntah yang
dipaksakan, kondisi seperti ini jarang ditemukan, namun sangat
berbahaya.Ruminative behavior merupakan regurgitasi isi lambung yang
71
dilakukan secara sadar, yaitu pengunyahan dan penelanan makanan,
kemudian dikunyah lagi, dan ditelan lagi, hal ini akan menyebabkan
terjadinya erosi gigi, aspirasi, dan Barrett’s esofagus.
8) Masalah Endokrin
Hanya setengah dari pasien bulimia yang mengalami gangguan menstruasi
termasuk amenore dan oligomenore. Wanita dengan bulimia dan gangguan
menstruasi disebabkan oleh karena gangguan release hormon gonadotropin
dan leptin.
2.6.7 WOC
72
2.6.8 Prognosis
Pemantauan jangka panjang pada para pasien Bulimia nervosa mengungkap
bahwa 70 persen memperoleh kesembuhan, meskipun sekitar 10 persen tetap
sepenuhnya somatik. Melakukan intervensi segera setelah diagnosis ditegakkan
berhubungan dengan prognosis yang lebih baik. Pasien Bulimia nervosa yang
lebih sering makan berlebihan dan muntah, komorbid dengan penyalahgunaan zat,
atau memiliki riwayat depresi memiliki prognosis lebih buruk disbanding pasien
tanpa fakto-faktor tersebut (Novia, 2016).
Secara keseluruhan, bulimia nervosa tampaknya memiliki prognosis yang
lebih baik dibandingkan anoreksia nervosa. Dalam jangka pendek, pasien bulimia
nervosa yang mampu melibatkan diri dalam pengobatan telah dilaporkan lebih
dari 50 % yang mengalami perbaikan. Prognosis bulimia nervosa tergantung
kepada keparahan sequele mencahar, yaitu apakah pasien mengalami gangguan
elektrolit dan sampai derajat mana muntah yang sering mengakibatkan esofagitis,
amilasemia, pembesaran kelenjar liur dan karies gigi. Pada beberapa kasus yang
tidak diobati, remisi spontan terjadi dalam satu sampai dua tahun (Sadock, 2010).
Prognosis bulimia nervosa tampak lebih baik daripada anoreksia nervosa.
Sebuah studi 6 tahun di Munich, Jerman menemukan sebuah fakta bahwa 59.9%
klien bulimia nervosa mencapai hasil yang baik, 29.4% klien mencapai hasil
menengah, dan 9.6% dilaporkan hasil buruk. Klien bulimia nervosa pada studi ini
memiliki 1,1% tingkat mortalitas, yang lebih dari 5 kali lebih rendah dari klien
anoreksia nervosa (Fichter et al., 1997). Pada studi yang lain, 74% klien bulimia
nervosa mencapai kesembuhan penuh dibandingkan 1 per 3 dari klien anoreksia
nervosa. Kesembuhan parsial diwujudkan oleh 99% klien bulimia nervosa. Hal ini
dinilai bahwa 1 per 3 individu dapat diperkirakan kambuh (Reel, 2013).
2.6.9 Penatalaksanaan
Pada beberapa kasus, ketika makan berlebih tidak terkendali, tetapi pasien
rawat jalan tidak berhasil, atau pasien menunjukkan gejala psikiatrik tambahan
seperti bunuh diri dan penyalahgunaan zat, rawat inap di rumah sakit mungkin
perlu dilakukan. Di samping itu, pada kasus mengeluarkan makanan kembali yang
berat, gangguan metabolik dan elektrolit yang ditimbulkan mungkin sangat
73
memerlukan rawat inap di rumah sakit. Penatalaksanaan bulimia nervosa menurut
(Sadock, 2010):
1. Psikoterapi
Umumnya dokter melakukan terapi kognitif, yang bertujuan merubah
persepsi dan cara berpikir pasien mengenai tubuhnya. Dokter mendorong
pasien untuk berpikir secara benar terhadap dirinya sehingga menjadi lebih
obyektif melihat suatu masalah, dan menghilangkan sikap serta reaksi yang
salah terhadap makanan.
a) Memberi kepercayaan kepada pasien sehingga pasien mau bekerjasama
dalam pengobatan.
b) Menghentikan kebiasaan makan yang salah dan episode muntah serta diare:
Hal ini dapat dilakukan dengan membatasi jumlah dan jenis makanan pasien
bulimia nervosa. Namun sedikit sulit bila pasien tinggal dirumah tanpa
pengawasan.
c) Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keadaan yang
sudah membaik:
a. Setelah pengobatan biasanya pasien akan mengulangi kebiasaannya untuk
makan lagi, maka kita jangan menentangnya, tapi kita anggap bahwa hal itu
merupakan respon yang fisiologis.
b. Agar pasien mau makan, maka kita katakankepadanya bahwa rasa lapar
yang timbul itu, karena tubuhnya memerlukan nutrisi.
c. Kalau pengobatan berhasil, maka pasien akan mengurangi ketergantungan
terhadap kebiasaan jeleknya dan gejala depresinya akan teratasi, ini dapat
berlangsung untuk beberapa bulan.
d. Oleh karena kebiasaan makan yang jelek pada bulimua nervosa ini mudah
berulang kembali, maka pengobatan yang paling efektif adalah dengan
memberikan rasa paercaya diri kepada pasien terhadap penampilan dan
berat badannya.
2. Farmakoterapi
Untuk penderita bulimia umumnya diberikan obat-obatan jenis
antidepresan bersama dengan pengobatan psikoterapi. Obat yang diberikan
umumnya dari jenis trisiklik seperti imipramine (dengan merek dagang
74
Tofranil) dan desipramine hydrochloride (Norpramin); atau jenis selective
serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti fluoxetine (Antiprestin,
Courage, Kalxetin, Nopres, dan Prozac), sertraline (Zoloft), dan paroxetine
(Seroxat).
3. Terapi psikis
Terapi bulimia biasanya meliputi konseling dan terapi tingkah laku.
Sebagian besar gangguan makan permasalahannya bukanlah pada makanan
itu sendiri, tetapi pada kepercayaan diri dan persepsi diri. Terapi akan
efektif jika ditujukan pada penyebabnya, bukan pada gangguan makannya.
Terapi individu, dikombinasikan dengan terapi kelompok dan terapi
keluarga seringkali sangat membantu. Terapi kelompok adalah terapi
dimana penderita penyakit yang sama saling membagi pengalaman mereka.
4. Terapi nutrisi
Ahli gizi dapat mengatur jadwal makan, memberikan penjelasan
mengenai tujuan terapi nutrisi, pentingnya diet sehat dan akibat buruk dari
pola makan yang salah terhadap kesehatan. Pengaturan diet untuk penderita
bulimia nervosa dilakukan secara bertahap tergantung tingkat keparahan
serta ada tidaknya komplikasi dengan penyakit penyerta. Selain dengan
pengaturan makan yang sehat dan berimbang diperlukan juga olahraga
secara tepat dan teratur.
5. Terapi Oral
a) Untuk mencegah erosi dan karies pada gigi, pasien dianjurkan tidak
menyikat gigi lagi setelah muntah, namun berkumur dengan sodium fluorida
0,05%, alkaline mineral water, sodium bikarbonat, atau magnesium
hidroksida untuk menetralkan asam pada rongga mulut.
b) Mengurangi konsumsi makanan yang mengandung gula atau karbohidrat,
sebab akan meningkatkan resiko terjadinya karies.
c) Mengunyah permen karet rendah gula untuk meningkatkan produksi saliva
sintetik seperti glosodane
d) Gunakan pasta gigi, obat kumur, atau gel yang mengandung flourida untuk
mengurangi rasa sensitif pada gigi dan sebagai pertahanan terhadap karies.
75
e) Menyikat gigi tiga kali sehari setelah melakukan flossing untuk mengurangi
plak pada gigi.
2. Pemeriksaan fisik
a) Penampilan Umum: Mengkaji tentang berat badan dan tinggi
badan klien. catat kehilangan berat badan 15% dibawah normal
atau lebih. Klien bulimia nervosa dapat kelebihan berat badan atau
kekurangan berat badan, tetapi biasanya mendekati berat badan
yang diharapkan sesuai dengan usia dan ukuran tubuhnya.
Penampilan umum klien tidak luar biasa, dan klien tampak terbuka
dan mau berbicara.
76
b) Kesadaran: Kesadaran mencakup tentang kualitas dan kuantitas
keadaan klien. Klien bulimia malu dengan perilaku makan
berlebihan dan pengurasan. Klien mengakui bahwa perilaku
tersebut abnormal dan berusaha keras untuk menyembunyikanya
dari orang lain. Klien merasa lepas kendali dan tidak mampu
merubah perilaku tersebut meskipun klien mengakui perilaku
tersebut sebagai hal yang patologis.
c) Tanda-tanda Vital: Mengkaji mengenai tekanan darah, suhu, nadi
dan respirasi (TPRS).
d) Sistem Gastrointestinal: Mengkaji tentang keadaan gigi, mulut dan
abdomen. Biasanya pada klien bulimia nervosa dapat terlihat karies
gigi, lidah kotor, membran mukosa kering dan perut agak cekung
atau semua ini bisa tidak terlihat karena terjadi dengan
dirahasiakan oleh klien
e) Nutrisi: Dikaji tentang intake dan output nutrisi, porsi makan,
nafsu makan, pola makan dan aktifitas setelah makan kliem. Klien
bulimia makan berlebihan (binge) dan melakukan pengurasan
(purge). Klien mengakui bahwa perilaku tersebut abnormal dan
berusaha keras untuk menyembunyikanya dari orang lain.
f) Cairan : Dikaji tentang intake cairan yang berkurang dan output
cairan berlebih , keseimbangan cairan dan elektrolit (natrium,
kalsium, albumin), turgor kulit tidak elastis dan membran mukosa
kering.
g) Aktivitas: Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan mengatur
pola makan binge, mencegah terjadinya pengurasan (purge) dan
kekuatan otot. Hal membuat klien dapat cepat lelah karena
kekurangan asupan nutrisi dan cairan yang cukup.
h) Aspek psikologis: Kaji tentang emosi, pengetahuan terhadap
penyakit, dan suasana hati klien. Klien yang mengalami gangguan
makan mempunyai mood yang labil, biasanya berhubungan dengan
perilaku makan atau diet klien. Klien dengan bulimia nervosa pada
awalnya senang dan gembira, seolah-olah tidak ada yang salah.
Wajah yang menyenangkan biasanya hilang saat klien
menunjukkan perilaku makan berlebihan dan pengurasan
(memuntahkan kembali makanan), dan klien mungkin
menunjukkan emosi yang intens mengenai perasaan bersalah,
merasa malu. Klien merasa lepas kendali dan tidak mampu
mengubah perilaku tersebut walaupun perilaku tersebut sebagai hal
yang patologis. Hal ini menyebabkan klien bulimia nervosa
menjalani hidup yang rahasia seperti dengan diam-diam makan
secara berlebihan namun setelah itu sembunyi-sembunyi untuk
77
memuntahkan kembali makanannya dengan bantuan penggunaan
laksatif. Perilaku klien tersebut dapat menganggu peran klien
dalam keluarga maupun lingkungan.
3. Diagnosa Keperawatan
1) Kekurangan volume cairan dan elektrolit tubuh berhubungan
dengan output yang berlebih.
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan rangsangan muntah sendiri, penggunaan
laktasif berlebihan.
3) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan rasa takut kegemukan
yang tidak wajar.
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Kasus
Tn. C (45 th) datang ke poliklinik RS SUKA SEHAT dengan keluhan nyeri
di daerah perut bagian kiri bawah dan sudah 3 minggu ini BAB nya selalu
berlendir dan berdarah, BAB terakhirnya pada tujuh hari yang lalu berdarah segar
dan sampai saat ini belum BAB, kadang juga mengalami kembung, klien merasa
bahwa BB nya turun (BB awal 75 kg), tidak ada nafsu makan, mual, muntah dan
juga nyeri saat BAB. Keluarga mengatakan sebelum sakit pasien lebih senang
makan daging ayam dan jarang makan sayur.
Saat pemeriksaan fisik didapat data : KU tampak sakit sedang, TTV 140/90
mmHg, N: 100x/menit, suhu 37,40 C , RR : 20x/menit, TB 170 CM conjungtiva
anemis, distensi abdomen, nyeri tekan di abdomen. Hasil colonoscopy: berbentuk
sirkuler dan anuler dan penyempitan lumen usus dan striktura menonjol dan
mengisi. Klien didiagnosis Ca Colon.
3.2 Pengkajian
1. Anamnesa
1. Data demografi klien
a. Nama : Tn. C
b. Umur : 45 th
78
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Berat badan : 48 Kg
e. Tinggi badan : 160 CM
f. Alamat : Jl. Mulyorejo
g. Agama : Islam
h. Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
i. Diagnosa Medis : Ca colon
2. Keluhan utama
Klien mengeluh nyeri di daerah perut bagian kiri bawah
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengeluh sudah 3 minggu BABnya berlendir dan berdarah dan 1
minggu terakhir ini BAB nya darah segar. Klien sering mengalami
obstipasi, kadang juga mengalami distensi abdomen, sudah 1 bulan ini BB
klien turun (BB awal 75 kg), tidak nafsu makan dan juga nyeri saat BAB.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Tidak ada riwayat wasir sebelumnya
b. Sering konstipasi
c. Perasaan buang air besar tidak tuntas
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga tidak pernah menderita keluhan yang sama dengan yang
diderita klien.
6. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing) Bentuk dada simetris, frekuensi pernapasan 20 kali /
menit, tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan, tidak
ada retraksi dinding dada, suara napas vesikuler. Pasien
tampak merintih kesakitan dan memonyongkan /
mencucutkan bibirnya saat menarik napas
B2 (Blood) Akral teraba hangat, tekanan darah 140/90 mmHg, , nadi
teraba lemah, nadi 100 kali/menit, CRT <2 detik T:
37,4oC, conjungtiva anemis dan membrane mukosa mulut
kering, terdapat sariawan
B3 (Brain) Kesadaran composmentis dengan GCS 15, E= 4 V= 5 M=
79
6,
B4 (Bladder) BAK 5-6 x / hari spontan.
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Colonoscopy: berbentuk sirkuler dan anuler dan penyempitan lumen
usus dan striktura menonjol dan mengisi.
2. Hasil darah : Hb 10 g/dl
3. Albumin : 2,2 g / dl
80
dan anuler dan penyempitan
lumen usus dan striktura
menonjol dan mengisi.
2. DS : Cedera fisiologis Nyeri akut
- Pasien mengeluh nyeri di daerah (inflamasi colon
perut bagian kiri bawah oleh colon)
DO:
- Pasien tampak merintih kesakitan
dan memonyongkan bibirnya saat
menarik napas
- Pasien tampak berkeringat
- Bibir pasien tampak kering
- Pasien melindungi perutnya saat
hendak diperiksa perawat
- Pasien menyebut Skala nyeri: 7
saat dijelaskan dan ditanya skala
nyeri rentang 0 – 10.
- TD: 140/90 mmHg,
- N: 100 x / menit
3. DS: Mual dan Ketidakseimbangan
- Pasien mengatakan sudah 1 bulan muntah nutrisi kurang dari
ini BB klien turun (BB awal 75 kebutuhan tubuh
kg)
- Pasien mengatakan tidak ada
nafsu makan karena merasa mual
dan terkadang muntah
- Keluarga pasien mengatakan,
makanan pasien tidak habis,
hanya habis 2 sendok
DO:
- KU: Klien tampak sakit sedang
- Pasien terlihat conjungtiva
anemis
- Terdapat sariawan di bibir
81
- Turgor kulit jelek
- Distensi abdomen
- Hb : 10 g / dl
- Albumin serum : 2,2 gr/dl
- BB: 48 kg
82
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual, muntah
4. Konstipasi berhubungan dengan penyempitan lumen, striktur dan
ketidakcukupan serat
84
Hasil: ● Monitor bising usus
❖ Pasien dapat BAB ● Monitor feses: frekuensi,
❖ Tidak terdapat distensi konsistensi dan volume
abdomen ● Anjurkan klien konsumsi sayur
❖ Bebas dari dan buah, mis: sayur dan apel
ketidaknyamanan dan ● Anjurkan klien minum air
konstipasi putih hangat atau jus buah
❖ Bentuk feses lunak ● Kolaborasikan pemberian
laksatif
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Salah satu organ sistem pencernaan adalah kolon (usus besar) dan rektum
yang merupakan bagian akhir dari sistem pencernaan dan berfungsi untuk
menyelesaikan proses absorpsi, memproduksi beberapa vitamin, pembentukan
feses, dan mengeluarkan feses dari tubuh. Kolon dapat berubah fungsinya jika
mengalami gangguan, contohnya terdapat sel kanker.
Pada kasus kanker kolon, masalah keperawatan yang dapat diangkat adalah
konstipasi, diare, nyeri akut, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh, dan ansietas.
4.2 Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada
umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam
tentang kanker kolon. Sedangkan bagi perawat, diharapkan hendaknya lebih
memahami konsep kanker kolon, burts abdomen, dan bulimia nervosa sehingga
dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien kanker kolon secara
komprehensif.
85
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. M., & Hill, A. G. (2009). Smoking is a major risk factor for wound
dehiscence after midline abdominal incision; case-control study. ANZ
Journal of Surgery, 79(4), 247–250. https://doi.org/10.1111/j.1445-
2197.2009.04854.x
Airlangga, Saktya. 2011. Asuhan keperawatan pada burst abdomen.
http://saktyairlangga.wordpress.com/2011/11/27/asuhan-keperawatan-burst-
abdomen/. (diakses pada tanggal 13 April 2017)
Alodokter. (2016). Gangguan pencernaan - Gejala, penyebab dan mengobati -
Alodokter. Retrieved May 5, 2017, from
http://www.alodokter.com/gangguan-pencernaan
Alodokter.com: Bulimia. 2015. Diakses online pada
http://www.alodokter.com/bulimia, 24 April 2017.
American Cancer Society, 2014. Colorectal Cancer Facts & Figures 2014-2016.
Atlanta: American Cancer Society.
American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5®). Arlington, VA, American
Psychiatric Association
American Psychiatric Association. (2014). DSM-5 | Eating Disorders Victoria.
Anil Haripriya, V. D. P. S. V. B. H. (2015). Burst Abdomen : A Post-operative
Morbidity. International Journal of Scientific Study, 3(6), 177.
https://doi.org/10.17354/ijss/2015/417
Bender, T. W. (2017). What is new in Rome IV. Bulletin of the Evangelical
Theological Society, 23(2), 151–163. Retrieved from
http://aaron.swbts.edu/login?=http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=
true&db=rfh&AN=ATLA0000666700&site=ehost-live
Black Joyce M, Hawks Jane Hokanson. 2014. Keperawatan Medikal Bedah
Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan Edisi 8. Singapore:
Elsevier
86
Bulechek, Gloria M., [et al.]. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC),
Sixth Edition. United States of America: Mosby Elsevier
Corwin, E. J., 2007. Handbook of Pathophysiology 3rd Edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Devita, V. T., Lawrence, T. S. & Rosenberg, S. A., 2015. Cancer Principles &
Practice of Oncology. Philadelphia: Wolters Kluwer Health.
Drossman, D. A. (2006). The Functional Gastrointestinal Disorders and the Rome
III Process. Gastroenterology, 130(5), 1377–1390.
https://doi.org/10.1053/j.gastro.2006.03.008
FKM-UI, 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Fleming, M., Ravula, S., Tatishchev, S. F., & Wang, H. L. (2012). Colorectal
carcinoma: Pathologic aspects. Journal of Gastrointestinal Oncology, 3(3),
153–173. https://doi.org/10.3978/j.issn.2078-6891.2012.030
Frank, G. K. W. (2015). Advances from neuroimaging studies in eating
disorders. CNS Spectrums, 20, 391–400. doi:10.1017/S1092852915000012
Gabrielle H. van Ramshorst, Jeroen Nieuwenhuizen, Wim C. J. Hop, Pauline
Arends, J. B., & Lange, Johannes Jeekel, J. F. (2010). Abdominal Wound
Dehiscence in Adults: Development and Validation of a Risk Model. World
Journal Surgical, 34, 20–27.
G Parmar, A Gohil, V. H. (2008). Burst Abdomen – A Grave Postoperative
Complication. The Internet Journal of Surgery, Volume 20(1), 1–9.
Goyal, R., Sandhu, H. P. S., Kumar, A., Kosey, S., & Mehra, N. (2015).
Surveillance Method for Surgical Site Infection. Indian Journal of Pharmacy
Practice, 8(2), 54–60. https://doi.org/10.5530/ijopp.8.2.2
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds.). 2014. NANDA International Nursing
Diagnoses: Definitions & Classification, 2015-2017, Tenth Edition. Oxford:
Wiley Blackwell
Indrawaty, S., Sosialine, E., Umar, F., Pahlemy, H., & Andrajati, R. (2011).
Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 1.
Jamil, M. A. (2013). Gambaran Distribusi Kasus-kasus Emergency Pembedahan
87
Digestif bagi Dewasa di RSUPHAM Tahun The Distribution of Emergency
Cases in Digestive Surgery for Adults in RSUPHAM on. Gambaran
Distribusi Kasus-Kasus Emergency E-Journal FK USU, 1(1). Retrieved from
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=51347&val=4098
Kasper, D. L. et al. penyunt., 2015. Harrison's Principles of Internal Medicine.
19th penyunt. New York: McGraw-Hill Education.
Kemenkes RI. 2012. “SITUASI PENYAKIT KANKER.”
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
kanker.pdf (April 10, 2017).
Khan, S., Verma, A. K., Ahmad, S. M., & Ahmad, R. (2010). Analyzing intra-
abdominal pressures and outcomes in patients undergoing emergency
laparotomy. Journal of Emergencies, Trauma and Shock, 3(4), 318–325.
https://doi.org/10.4103/0974-2700.70747
Kumar, V., Abbas, A. K. & Aster, J. C., 2008. Buku Ajar Patologi Robbins.
Jakarta: EGC.
Kumalasari, Arief Mutaqqin. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba
Medika
LeMone Priscilla, Burke Karen. 2008. Medical Surgical Nursing Critical
Thinking in Client Care. United States of America: Pearson
Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M. & Bucher, L., 2011. Medical-
Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical Problems. 9th
penyunt. St. Louis: Elsevier Mosby, Inc.
Matytsina MD, PhD, Lyubov, Donald E Greydanus MD, Dr HC, Irina V
Babenko-Sorocopud MD, and Laura Matytsina MD. 2014. “Anorexia
Nervosa in Adolescence: Current Concepts of Medical and Psychological
Assessment and Management.” International Journal of Child and
Adolescent Health 7(3): 167–81.
https://search.proquest.com/docview/1626548167?accountid=31533.
Menita, Sherli. 2010. Bulimia Nervosa. Diakses online pada http://www.bulimia-
nervosa.com, 17 April 2016
Med Solutions. (2015). Abdomen imaging guidelines © 2009. ABDOMEN
IMAGING GUIDELINES.
88
Moorhead, Sue., [et al.]. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC):
measurement of health outcomes, Fifth Edition. United States of America:
Mosby Elsevier
Murali Krishna, D. M., Kumar, D. K. S., & Prasad, D. G. L. (2016). A Nested
Case Control Study of the Abdominal Wound Dehiscence in a Rural Hospital
in South India. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences, 15(9), 31–48.
https://doi.org/10.9790/0853-1509043148
Novell, Richard (et.al.). 2013. Kirk’s General Surgical Operations: Sixth Edition.
China: Churchill Livingstone Elsevier.
https://books.google.co.id/books?id=XKhUglrLFvsC&printsec=frontcover
&hl=id#v=onepage&q&f=false (diakses pada tanggal 13 April 2017).
Nurarif, A. H. & Kusuma, H., 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Perry, & Potter. (2009). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, proses,
dan praktik. Jakarta: EGC.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2015. Situasi Penyakit
Kanker, Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Reel, Justine J. 2013. Eating Disorders: An Encyclopedia of Causes, Treatment,
and Prevention. Greenwood-ABC-CLIO: California
Sadock, Benjamin J. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2.
Jakarta : EGC
Sjamsuhidajat, R. & Jong, W. d., 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L. & Cheever, K. H., 2010. Brunner &
Suddarth's Textbook of Medical-Surgical Nursing 12th Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Soetjiningsih. 2007. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta :
CV. Sagung Seto
Soni, Pradeep (et.al.). 2015. Burst Abdomen: A Post-operative Morbidity.
International Journal of Scientific Study. 10.17354/ijss/2015/417.
http://www.ijss-sn.com/uploads/2/0/1/5/20153321/ijss_sep_oa38_2015.pdf
(diakses pada tanggal 13 April 2017).
Tita Puspita Ningrum, C. I. (2016). GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN
89
WOUND DEHISCENCE MENURUT VARIABEL ROTTERDAM DI
RSUD KOTA BANDUNG. Jurnal Ilmu Keperawatan, IV(2), 111–115.
Tortora, G. J. & Derrickson, B., 2014. Principles of Anatomy and Physiology.
USA: John Wiley and Son Inc.
Wael Lotfy. (2009). Burst Abdomen : Is It a Preventable Complication ? Original
Article Burst Abdomen : Is It a Preventable Complication ?, (December),
131.
WHO. (2016). ICD-10 Version:2016. Retrieved May 5, 2017, from
http://apps.who.int/classifications/icd10/browse/2016/en#/XI
Wildes JE, Marcus MD, et all. 2010. The Treatment of Eating Disorders A
clinical Handbook. New York: The Guilford Press
World Health Organization (WHO). (2011). ICD-10 Transition. Family Practice
Management, 18, 39. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22184833
Yao, K., Bae, L., & Yew, W. (2013). Post-operative wound management.
Australian Family Physician, 42, 867–870. Retrieved from
http://www.racgp.org.au/afp/2013/december/post-operative-wound-
management/
90