Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

HAZARD ERGONOMI

Oleh

Kelompok 4

Dian Shafa Fadilah


Meylani Anita Putri
Rizki Dedy Pratama
Tia Febrilia
Via Eliadora Togatorop
Wahyuning Safitri

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG


JURUSAN KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
PROGRAM STUDI NERS KEPERAWATAN

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena karunia-Nyalah


kami dapat menyelesaikan makalah sederhana ini tentang “Hazard
Ergonomis”sebagai salah satu aspek yang penting untuk pelajari.karena dengan
makalah ini seorang perawat dapat mengetahui tentang keselamatan kerja dalam
rumah sakit.

Dalam penyusunan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan banyak


terimaksih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas
makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Makalah ini hadir dengan penjelasannya semoga dapat dipahami oleh


pembaca dan semoga makalah ini dapat menjadi suatu acuan bagi kami dan para
pembaca agar dapat menghasilkan karya kedepan yang lebih baik dan sempurna.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan digunakan dengan sebaik-baiknya.

Bandar Lampung, 31 Juli 2019

Kelompok 4

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi saat ini begitu pesat, sehingga peralatan sudah


menjadi kebutuhan pokok pada lapangan pekerjaan. Artinya peralatan dan teknologi
merupakan salah satu penunjang yang penting dalam upaya meningkatkan
produktivitas untuk berbagai jenis pekerjaan. Selalu ada potensi bahaya pada setiap
proses/aktifitas pekerjaan. Dan saat kecelakaan kerja (work accident) terjadi,
seberapapun kecilnya, akan mengakibatkan efek kerugian (loss). Karena itu sebisa
mungkin dan sedini mungkin, kecelakaan / potensi kecelakaan kerja harus dicegah/
dihilangkan, atau setidak-tidaknya dikurangi dampaknya. Dalam dunia kerja terdapat
Undang-Undang yang mengatur tentang ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang
No.14 tahun 1969 tentang ketentuan ketentuan pokok tenaga kerja merupakan subyek
dan obyek pembangunan. Ergonomic yang bersasaran akhir efisiensi dan keserasian
kerja memiliki arti penting bagi tenaga kerja, baik sebagai subyek maupun obyek.

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk
upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun
kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses
produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan
berdampak pada masyarakat luas.

1
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan
petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan
baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara
maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan
prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran
pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak
pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat
pengaman walaupun sudah tersedia.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat diketahui rumusan masalah yang didapatkan
adalah “apa saja hazard ergonomi dan cara mengendalikan hazard tersebut di Rumah
Sakit?”

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan Umum :
Untuk mengetahui hazard ergonomi di Rumah Sakit
Tujuan khusus :
1. Mengetahui jenis-jenis hazard ergonomi di Rumah Sakit
2. Mengetahui cara untuk mengendalikan hazard ergonomi di Rumah Sakit

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian hazard

Bahaya adalah sesuatu yang berpotensi menjadi penyebab kerusakan . Ini


dapat mencakup substansi, proses kerja dan aspek lainnya dari lingkungan kerja.

Bahaya (hazard) adalah suatu keadaan yang dapat mengakibatkan cidera


(injury) atau kerusakan baik manusia, property dan setiap kegiatan yang dilakukan
tidak ada satupun yang bebas dari resiko yang ditimbulkan dari bahaya. Potensi
bahaya yang ditimbulkan diperlukan upaya untuk meminimalkan terhadap resiko
yang diterima apabila terjadi kecelakaan.

Bahaya atau hazard merupakan segala hal atau sesuatu yang mempunyai
kemungkinan mengakibatkan kerugian, baik pada harta benda, lingkungan maupun
manusia.

2.2 Jenis-jenis hazard

Bahaya kesehatan (health hazard) fokus pada kesehatan manusia. Bahaya


keselamatan kerja dapat berupa bahaya fisik, kimia, bahaya berkaitan dengan
ergonomic, psikososial, elektrik, berdampak pada keselamatan kerja, misalnya cidera,
kebakaran, ledakan, pemajanan terjadi pada waktu singkat.

1. Hazard fisik, misalnya yang berkaitan dengan peralatan seperti bahaya listrik,
temperature ekstrim, kelembapan, kebisingan, radiasi, pencahayaan, getaran dan lain-
lain.

1
2. Hazard biologi, misalnya berkaitan dengan mahkluk hidup yang berada di
lingkungan kerja, seperti virus, bakteri, tanaman, burung, binantang yang dapat
menginfeksi atau memberikan reaksi negative terhadap manusia.

3. Hazard psikososial, misalnya yang berkaitan aspek psikososial psikologis maupun


organisasi pada pekerjaan dan lingkungan kerja yang dapat memberi dampak pada
aspek fisik dan mental pekerja. Seperti misalnya, pola kerja yang tak beraturan, waktu
kerja yang diluar waktu normal, beban kerja yang melebihi kapasitas mental, tugas
yang tidak bervariasi, suasana lingkungan kerja yang terpisah atau terlalu ramai.

4. Hazard ergonomic yang termasuk dalam kategori ini antara lain desain tempat
kerja yang tidak sesuai, postur tubuh yang salah saat melakukan aktivitas, desain
pekerjaan yang dilakukan, pergerakan yang berulang-ulang.

5. Hazard mekanis, semua jenis bahaya yang berasal dari benda-benda bergerak atau
yang bersifat mekanis. Contoh: mesin-mesin pemotong, bahaya getaran.

2.3 Hazard Ergonomic

Hazard adalah suatu kondisi atau tindakan atau potensi yang dapat
menimbulkan kerugian terhadap manusia, harta benda, proses, maupun lingkungan.
Hazard adalah segala sesuatu yang dapat berpotensi menjadi bahaya bahkan accident
atau incident. Di berbagai lingkungan kerja dipastikan kita dapat menemukan hazard
tersebut dengan melakukan identifikasi hazard.

Hazard ergonomi adalah potensi bahaya yang disebabkan terjadi karena tidak
efisiennya hubungan alat kerja dengan manusianya, biasanya berhubungan dengan
perilaku kerja manusia dengan alatnya. Disini ini adalah yang menyebabkan juga
munculnya penyakit akibat kerja karena kesalahan-kesalahan dalam perilaku
penggunaan alat kerjanya.

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa hazard ergonomik yang


dimaksud adalah terkait dengan kondisi pekerjaan dan peralatan kerja yang

1
digunakan oleh pekerja termasuk work station. Jadi hazard ergonomi yang dimaksud
antara lain berupa faktor postur janggal, beban berlebih, durasi, dan frekuensi.

Hazard ergonomi di rumah sakit bahaya ini terdapat pada hampir seluruh
kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan: angkat dan angkut, posisi duduk, ketidak
sesuaian antara peralatan kerja dan ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan
melalui sosialisasi secara berkala oleh Unit K3.

Ergonomi dapat diterapkan pada beberapa aspek dalam bekerja. Penerapan


ergonomi antara lain dapat dilakukan pada posisi kerja, proses kerja, tata letak tempat
kerja, dan cara mengangkat beban.
1. Posisi Kerja
Terdiri dari posisi duduk dan posisi berdiri, posisi duduk dimana kaki tidak
terbebani dengan berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja. Sedangkan posisi
berdiri dimana posisi tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara
seimbang pada dua kaki.
2. Proses Kerja
Para pekerja dapat menjangkau peralatan kerja sesuai dengan posisi waktu bekerja
dan sesuai dengan ukuran anthropometrinya.
3. Tata Letak Tempat Kerja
Tata letak tempat kerja mempengaruhi ergonomic petugas kesehatan.
4. Mengangkat Beban
Bermacam-macam cara dalam mengangkat beban yaitu, dengan kepala, bahu,
tangan, punggung, dan sebagainya. Beban yang terlalu berat dapat menimbulkan
cedera tulang punggung, jaringan otot dan persendian akibat gerakan yang
berlebihan.

2.4 Identifikasi Potensi Bahaya


Berikut potensi bahaya yang terjadi di lingkungan kerja rumah sakit:

1
No Bahaya potensial Lokasi Pekerja yang paling beresiko
1 Pekerjaan yang Area pasien dan Petugas yang menangani pasien
dilakukan secara tempat dan barang
manual penyimpanan
barang (gudang)
Postur yang salah Semua area Semua karyawan
dalam melakukan
pekerjaan
Pekerjaan yang Semua area Dokter gigi, petugas pembersih,
berulang fisioterapis, sopir, berhubungan
dengan pekerjaan juru tulis.

2.5 Faktor Hazard Ergonomic


1. Faktor Pekerja
Menurut Bridger (2003), kemampuan seseorang dalam melakukan
pekerjaannya sangat ditemukan oleh karakteristik pribadi pekerja. Hal ini meliputi
faktor usia, jenis kelamin dan kesegaran jasmani.
a. Usia

Menurut Hettinger dalam kroemer dan Grandjean (1997), puncak kekuatan


otot baik pada perempuan maupun laki-laki adalah pada rentang usia 25-35 tahun.
Dan kebanyakan pada pekerja yang lebih tua usia anatar 50-60 tahun hanya dapat
menghasilakan 75 – 85 % dari kekuatan otot.

b. Jenis Kelamin
Menurut Hettinger dalam kromer dan Granjean (1997), kekuatan otot
perempuan adalah dua pertiga dari kekuatan otot laki-laki.

c. Kesegaran jasmani

Keluhan otot jarang ditemukan pada seseorang yang memiliki waktu istirahat
yang cukup. National sleepFoundationmerekomendasikan bahwa orang dewasa harus
mendapatkan waktu tidur antara 7-9 jam (Countional,2010).

1
2. Faktor Pekerjaan

a. Postur Kerja

Postur adalah posisi saat tubuh melakukan aktivitas kerja. Postur janggal
adalah penyimpangan dari postur kerja yang ideal dari lengan pada sisi siku batang
tubuh, lengan, dengan pergelangan tangan lurus. Postur janggal biasanya termasuk
meraih kebelakang, memutar, bekerja overhead, berlutut, membungkuk ke depan atau
ke belakang, dan jongkok. Jika postur yang canggung dalam bekerja, ada peningkatan
resiko cidera. Semakin sendi bergerak jauh dari posisi netral, kemungkinan cidera
semakin besar.

b. Posisi Statis

Berdiri atau dala satu postur untuk durasi yang panjang dalam melakukan
tugas dapat meningkatkan keungkinan cidera. Tenaga statis menggabungkan
kekuatan, postur, dan durasi untuk menciptakan kondisi yang cepat seragam otot kita
yang meningkatkan kemungkinan terjadinya MSDs. Semakin besar gaya semakin
janggal, dan durasi yang lebih lama, maka semakin beresiko besar MSDs.

c. Durasi

Durasi adalah ukyran lamanya waktu pajanan terhadap faktor resiko. Tentu
saja, asumsi adalah bahwa semakin lama durasi paparan, semakin besar resiko cidera.
Durasi dapat diukur dalam hitungan detik, ment, jam, hari, minggu, bulan, bahkan
bertahun-tahun. Seperti kebanyakan faktor resiko individu, durasi harus
dipertimbangkan bersama dengan orang lain, tugas, dan lingkungan resiko faktor-
faktor seperti kondisi fisik pekerja, postur, kekuatan, berat, suhu, stress, dll.

d. Pengulangan / Frekuensi

1
Pengulangan adalah ukuran dari seberapa sering kita menyelesaikan geralan
atau tenaga yang sa,a selama tugas. Tingkat keparahan resiko tergantung pada
frekuensi pengulangan, kecepatan gerakan atau tindakan , jumlah otot yang terlibat
dalam kerja, dan daya yang dibutuhkan. Pengulangan dippengaruhi oleh mesin atau
mondar-mandir line, program intensif, benda kerja, dan waktu realistis. Pengulangan
saja bukan merupakan predictor akurat cidera. Faktor-faktor lain seperti gaya, postur,
durasi atauu waktu pemulihan juga harus dipertimbangkan. Banyaknya pengulangan
kerja per satuan menit disebut frekuensi.

e. Vibrasi

Getaran diberi dua macam : pertama, getaran yang berlebihan, biasanya dari
alat yang bergetar. Hal ini dapat menurunkan aliran darah, kerusakan saraf, dan
berkontribusi pada kelelahan otot. Yang kedua, getaran seluruh tubu, contohnya
pengemudi truk atau operator kereta api bawah tanah. Hal ini dapat mempengaruhi
kerangka otot dan penyebab nyeri punggung bawah (low back pain).

f. Masa Kerja

Masa keerja merupakan faktor resiko yang sangat mempengaruhi seseorang


pekerja untuk meningkatkan resiko terjadinya musculoskeletal disorder,terutama
untuk jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja yang tinggi.

3. Faktor Lingkungan

Yang termasuk faktor lingkungan adalah :

a. Heat Stress

Panas eksternal yang dihasilkan dari tempat kerja dapata menyebabkan beban
panas berlebihan pada tubuh, yang dapat mengakibatkan heat stroke, sebuah kondisi
yang membahayakan jiwa. Kelelahan akibat panas, kram panas, dehidrasi,
ketidkaseimbangan elektrolit, dan kehilangan kapasitas kerja fisik, mental juga dapat

1
menyebabkan heat stress. Heat stress yang terjadi pada kelembapan yang tinggi lebih
berbahaya karena mngurangi kemampuan tubuh untuk mendinginkan diri.

Kondisi temperature tinggi di tempat kerja dapat disebabkan oleh :

1) Panas tropis

2) Panas dari mesin

3) Panas dari proses kimia dan reaksi

4) Panas tubuh

5) Las

6) Gesekan

b. Cold Stress

Jika pekerja terkena lingkungan yang begitu dingin sehingga tubuh tidak dapat
mempertahankan suhu inti tubuh tidak dapat mempertahankan suhu inti tubuh, maka
akan terjadi hipotermia, yang juga dapat mengancam hidup. Gejala yang disebabkan
oleh cold stressmeliputi :

1) Gemetaran

2) Keluarnya kabut dari hidung

3) Rasa sakit pada bagian ekstermitas

4) Dilatasi pupil

5) Berkurangnya kekuatan pegangan dan kondisi

6) Kemungkinan fibrilasi ventrikel dapat terjadi

c. Pencahayaan

1
Pencahayaan di satu tempat kerja mungkin cocol, tapi untuk tempat kerja lain,
pencahayaan yang sama mungkin berpotensi membahayakan. Pencahayaan mungkin
terlalu tinggi, terlalu rendah atau dapat menyebabkan silau. Tingkat iluminasi diatas
100 lux dapat ,enjadi masalah dilingkungan kantor. Pencahayaan untuk bekerja di
luar ruangan harus dipertimbangkan karena selain harus membantu produksi juga
pada saat yang sama harus aman.

d. Kebisingan

Kebisingan adalah suara yang tidak diinginkan yang dapat menyebabkan nyeri atau
gangguan pada telinga. Ini dapat berupa nada atau suara yang sangat tinggi atau
sangat rendah, tergantung pada durasi, terus-menerus. Atau kadang-kadang dan
berubah tiba-tiba atau naik-turun secara bertahap. Pajanan ini dapat mengakibatkan :

1) Ketulian secara permanen atau sementara

2) Gangguan pendengaran lainnya

2.6 Penyakit
Definisi Musculoskeletal Disorders(MSDs)
Definisi musculoskeletal disorders (MSDs) adalah kelainan yang
disebabkan penumpukan cidera atau kerusakan kecil-kecil pada sistem
muskuloskeletal akibat trauma berulang yang setiap kalinya tidak sempat sembuh
secara sempurna, sehingga membentuk kerusakan cukup besar untuk
menimbulkan rasa sakit.
Menurut Nasional Safety Council (2002) MSDs juga bias diartikan
sebagai gangguan fungsi normal dari otot, tendon, saraf, pembuluh darah, tulang
dan ligamen akibat berubahnya struktur atau berubahnya sistem musculoskeletal.
Gangguan MSDs biasanya merupakan suatu akumulasi dari benturan-benturan
kecil atau besar yang terjadi dalam waktu pendek ataupun lama, dalam hitungan

1
beberapa hari, bulan atau tahun tergantung dari berat atau ringannya trauma setiap
kali dan setiap hari, akan terbentuk cidera cukup besar yang diekspresikan
sebagai rasa sakit atau
kesemutan,nyeritekan,pembengkakandangerakanyangterhambatataugerakan
minim atau kelemahan pada jaringan anggota tubuh yang terkena trauma.

Jenis-jenis Musculoskeletal Disorder(MSDs)


Menurut American Dental Association, 2004 dalam An Introduction to
Ergonomics: Risk Factors, MSDs, Approaches and Interventions, jenis-jenis
MSDs antara lain:

a. Nyeri Punggung Bagian Bawah (Lower BackPain)


Low back pain (LBP) atau nyeri punggung bawah termasuk salah
satu dari gangguan muskuloskeletal, gangguan psikologis dan akibat dari
mobilisasi yang salah. LBP menyebabkan timbulnya rasa pegal, linu,
ngilu, atau tidak enak pada daerah lumbal berikut sakrum. LBP
diklasifikasikan kedalam 2 kelompok, yaitu kronik dan akut. LBP akut
akan terjadi dalam waktu kurang dari 12 minggu.
SedangkanLBPkronikterjadidalamwaktu3bulan.Yangtermasukdalamfaktor
resiko LBP adalah umur, jenis kelamin, faktor indeks massa tubuh yang
meliputi berat badan, tinggi badan, pekerjaan, dan aktivitas/olahraga
(Idyan, Zamna,2007).

b. Nyeri Punggung Bagian Atas (Upper BackPain)


Terdapat beberapa laporan mengenai nyeri yang ekstensif terjadi pada
punggung bagian tengah dan atas (thoracic area). Tulang belakang bagian
dada sangat kuat dan dirancang untuk menompang posisi berdiri dan
melindungi organ vital. Gejala degenerasi sangat jarang terjadi, karena
adanya sedikit gerakandan stabilitas yangkokoh.

1
Walaupun struktur tulang belakang (bones, discs, nerves) jarang
terjadi cidera, kondisi osteoporosis dapat menjadi penyebab kondisi
khusus seperti keretakan kompresi (compression fractures). Demikian
juga, tulang torak sering terkait dalam idiopathic scoliosis (side to side
curve) atau kyphosis (excessive forward curve). Hal tersebut dapat
menimbulkan kondisi nyeri, walaupun sumber dan penyebab pastinya
sering tidak jelas. Kemungkinan banyak penyebab nyeri punggung bagian
tengah, tetapi sulit untuk didiagnosis secara tepat apakah nyeri otot dari
otot postural dan scapular. Kontribusi postur janggal, statis, kekuatan dan
daya tahan yang lemah, dan kondisi individu secara keseluruhan perlu
menjadi pertimbangan.

c. Hand and Wrist Problems

MSDs pada tangan dan pergelangan tangan dapat terjadi dalam berbagai
bentuk, seperti cumulative trauma disorder (CTD), repetitive strain injury
(RSI), occupational repetitive micro-trauma, repetitive motion injury (RMI),
overuse syndrome, carpal tunnel syndrome (CTS) and repetitive stress
disorder (RSD). Penyebab utama repetitive motion hand disorders adalah
gerakan fleksi dan ekstensi yang konstan dari pergelangan tangan dan jari-jari.
Faktor lain yang berkontribusi pada cidera tangan dan jari-jari tangan adalah
gerakan pergelangan dan jari-jari tangan yang tidak normal atau posisi
melintir, bekerja terlalu lama tanpa ada istirahat atau relaksasi dari otot tangan
dan lenganatas.

d. Tendinitis/Tenosynovitis
Tendinitis dapat terjadi jika semua beban dari otot harus dialirkan
melalui tendon cables. Jika tekanan terus berlangsung pada cables, maka
akan terjadi iritasi dan sakit yang akhirnya menghasilkan tendinitis.
Tendinitis umumnya terjadi pada pergelangan tangan, siku dan bahu.

1
Gejala tendonitis umumnya terjadi titik lembut/empuk dan bengkak
(Humantech, 1995, Applied Ergonomics Training Manual).

American Dental Association, 2004, dalam An Introduction to


Ergonomics: Risk Factors, MSDs, Approaches and Interventions
menjelaskan bahwa Tenosynovitis adalah inflamtasi pada tendon dan
tendon shesth, dimana keduanya terkait dengan kejadian nyeri selama
pergerakan fisik dimana tendon dalam keadaan tegang. Inflamtasi dapat
terjadi pada tendon otot yang mengontrol pergerakan jari-jari, pergelangan
tangan dan lengan atas. Tipe-tipe Tenosynovitis secara umum pada tangan
dan pergelangan tangan meliputi otot ibu jari (jempol) dan jari telunjuk.
Gejala terjadinya Tenosynovitis adalah bengkak dan nyeri (Humantech,
1995, Applied Ergonomics Training Manual).

e. DeQuervain’s Disease

Penyakit DeQuervain’s adalah suatu inflamasi dari tendon sheath atas


dua otot terhadap ibu jari (abductor pollicis longus dan extensor pollicis
brevis). Keluhan tersebut diberi nama setelah seseorang dokter Perancis
pertama kali menggambarkannya. Aktifitas yang memudahkan terjadinya
penyakit tersebut antara lain postur yang memelihara ibu jari dalam tarik
dan kendur, mencengkram kuat, dan tarikan ibu jari berpadu dengan
penyimpangan wrist ulnar (American Dental Association, 2004, dalam An
Introduction to Ergonomics: Risk Factors, MSDs, Approaches and
Interventions). Gejala yang ditimbulkan adalah nyeri yang tajam dan
bengkak pada seputar pergelangan tangan. Nyeri juga dapat terjadi pada
seputar lengan atas sampai ibu jari yang pada akhirnya otot melemah dan
kemampuan untuk mencengkram dengan ibu jari menurun

f. Trigger Finger
Trigger finger merupakan suatu keadaan dimana jari tangan terkunci

1
dalam posisi tertekuk. Trigger finger yaitu saat kita dapat menekuk jari
tetapi tidak dapat meluruskannya kembali. Hal ini terjadi akibat adanya
pengapuran pada tendon otot jari tangan yang menghambat pergerakan
tangan pada saat diluruskan. Pada saat jari tangan tidak dapat diluruskan
setelah menggenggam akan terasa nyeri pada pangkal jari (Kale, 2006).
Keadaan ini sering dialami oleh orang yang aktifitasnya banyak
tangan, seperti mengepal dan menggenggam dengan kuat. Gerakan tangan
menggenggam berulang-ulang menimbulkan gerakan pada otot-otot
tangan (tendon flextor jari) dengan first annular pulley (sendi antara jari
dan telapak tangan). Gesekan ini bisa mengakibatkan peradangan dan
menimbulkan bengkak pada tendon- tendon jari tangan. Kondisi ini
biasanya terjadi pada jari tengah, jari manis, dan kelingking.

g. Carpal TunnelSyndrome
CTS adalah sebuah penyakit yang disebabkan karena terganggunya
saraf tengah karena tekanan yang terjadi pada bagian pergelangan
tangan. Hal ini menimbulkan rasa sakit, nyeri dan melemahnya otot-otot
pada bagian pergelangan tangan (Sorensen,2002).
CTS merupakan kelainan berupa adanya penekanan atau penjepitan
nerve medianus yang melewati terowongan carpal. Terjadi karena
peradangan yang diakibatkan oleh penyakit persendian, trauma, cidera
yang berulang-ulang atau selama masamenopause.

h. Guyon’s Syndrome
Guyon’s syndrome atau ulnar neuropathy umumnya terjadi karena
tekanan atau cidera pada sikut sebagai ulnar nerve passes through the
cubital tunnel. Tekanan pada sikut bagian ulnar nerve dapat juga
tertekan pada base of the palm yang dikenal sebagai Guyon’s Canal. Isi

1
dari Guyon’s Canal adalah ulnar nervedan artery dan
jaringanfatty.Kompresipadaulnarnervedapatterjadihanyabeberapajarakdari

i. Guyon’s Canal.

Gejala nuropati ulnar umumnya terdiri dari nyeri (pain), mati rasa
(numbness) dan/atau terasa perih (tingling) dalam distribusi syaraf ulnar
dalam lingkaran jari dan jari kecil serta terasa seperti kesetrum listrik
pada lengan. Gejala motorik tidak begitu umum, tetapi dapat kehilangan
kendali pada jari kecil, lemah dan kaku pada tangan. Diagnosis terhadap
Guyon’s syndrome dilakukan dengan clinical symptoms, physical
examination dan electro-diagnosticstudies.

2.7 Cara mencegah gangguan kesehatan / penyakit oleh karena hazard ergonomi
dengan melakukan perbaikan ergonomi.

Perbaikan ergonomi merupakan upaya preventif agar pekerja dapat bekerja


nyaman dan terhindar dari penyakit akibat kerja. Perbaikan dilakukan dengan
menyesuaikan tuntutan tugas dengan kemampuan fisik dan mental pekerja serta
mengendalikan faktor risiko ergonomi seperti yang telah dijelaskan di atas.

Untuk pengendalian faktor risiko ergonomi digunakan manajemen risiko


ergonomi. Sama seperti manajemen risiko lainnya, perbaikan ergonomi dilaksanakan
dengan menggunakan siklus Antisipasi, Rekognisi, Evaluasi dan Pengendalian
(AREP).

1
antisipasi

rekognisi
pengendalian
hazard

evaluasi

Gambar 1
Manajemen resiko ergonomic
Keterangan:

1. Antisipasi

Keberadaan hazard ergonomi di tempat kerja merupakan suatu hal yang sangat
krusial, karena itu dilakukan antisipasi sebelum dampak kesehatan terjadi. Karena
jika keberadaan hazard ergonomi tidak diketahui, maka langkah perbaikan tidak akan
mungkin berjalan dan parahnya penyakit musculoskeletal tidak dapat terhindarkan.
Hazard ergonomi yang perlu diantisipasi di tempat kerja yaitu postur janggal,
frekuensi, durasi dan beban kerja akibat tata ruang dan alat kerja yang tidak
ergonomis, serta bagian tubuh yang dapat mengalami CTDs.

2. Rekognisi Hazard

Rekognisi hazard ergonomi dan efek kesehatan yang timbul dilakukan dengan survei
jalan selintas, observasi, wawancara, atau menggunakan data dari ergonomis dan
rekam medis. Bila memungkinkan, melakukan pengukuran dengan cara sederhana,
misalnya membuat foto untuk mengidentifikasi postur janggal, dan membuat video
untuk mendapatkan gerakan yang repetitif atau statis selama bekerja.

1
3. Evaluasi

1) Evaluasi dimulai dengan melakukan pengukuran terhadap hazard secara lebih


spesifik dan sistematis, dengan menggunakan metode terpilih seperti Rappid Upper
Limb Assesment (RULA), Rapid Entire Body Assesment (REBA), Nordic Body Map
(NBM), dan lain sebagainya. Penggunaannya disesuaikan dengan jenis hazard yang
ada.

 Rappid Upper Limb Assesment (RULA)

Rula adalah suatu metode yang dikembangkan oleh r. Lym McAtamney dan
Professor E. Nigel Corlet yang menyediakan tingkatan beban musculoskeletal
yang mudah dihitung dalam tugas-tugas dimana pekerja memiliki resiko
pembebanan leher dan ekstermitas atas. Alat ini menyediakan nilai tunggal
sebagai “snapshot” dari tugas, yang merupakan penilaian terhadap postur, gaya,
dan gerakan diperlukan. Resiko ini diperhitungkan dalam skor 1 (rendah) sampai
7 (tinggi). Skor ini dikelompokkan menjadi empat tingkatan tindakan yang
memberikan indikasi kerangka waktu untuk dilakukannya pengendalian resiko
(Stanton,2005).

Empat aplikasi utama RULA adalah untuk :

1) Mengukur resiko musculoskeletal, biasanya sebagai bagian dari penyelidikan

Ergonomis yang lebih luas

2) Membandingkan musculoskeletal yang terjadi pada desain tempat kerja saat ini

Yang terjadi pada desain tempat kerja saat ini dan yang dimodifikasi

3) Mengevaluasi hasil seperti produktivitas atau kesesuaian peralatan

4) Mendidik pekerja tentang resiko musculoskeletal yang disebabkan oleh postur

Kerja yang berbeda

1
Dalam perhitungan resiko menggunakan RULA terdapat tahapan-tahapan, yaitu
sebagai berikut :

a. Penilaian pstur tubuh group A yang terdiri atas lengan atas (upper arm),
lengan bawah (lower man), pergelangan tangan (wrist) dan perputaran
pergelangan tangan (wrist twist). Setelah dilakukan penilaian dimasukkan ke
dalam table A.

b. Penilaian postur tubuh group B yang terdiri atas leher (neck), batang
tubuh(trunk), dan kaki (leg). Setelah dilakukan penilaian dimasukkan kedalam
table B.

Setelah menilai postur group A dan B, Kemuadian skor keseluruhan dimasukkan ke


dalam table C untuk mengetahui tingkat resikonya. Tingkatan resiko pada RULA
memberikan seberapa penting seorang pekerja membutuhkan perubahan pada saat
bekerja sebagau fungsi dari tingkatan resiko cidera :

a. Tingkat tindakan 1 untuk nilai RULA 1-2, menunjukan bahwa postur dapat
diterima jika tidak dipertahankan atau berulang dalam waktu lama.
b. Tingkat tindakan 2 untuk nilai RULA 3-4 menunjukan bahwa penyelidikan
lebih lanjut diperlukan, dan perubahan mungkin diperlukan.
c. Tingkat tindakan 3 untuk nilai RULA 5-6 menunjukan bahwa penyelidikan
dan perubahan yang diperlukan lebih lanjut
d. Tingkat tindakan 4 nilai RULA 7 menunjukan bahwa penyelidikan dan
perubahan yang diperlukan segera.

 Rapid Entire Body Assessment (REBA)

1
Rapid Entire Body Assessment (REBA) (Higgnet and McAtamney,2005)
dikembangkan untuk menilai jenis postur kerja yang tidak bisa diprediksi dalam
bidang perawatan kesehatan dan industry jasa. Data yang dinilai berupa postur tubuh,
beban, jenis gerakan, pengulangan dan coupling. Hasil nilai akhir REBA memberikan
indikasi tingkat resiko dan urgensu dan tindakan yang harus diambil.

Pengembangan awal REBA didasarkan pada kisaran posisi anggota tubuh


menggunakan konsep-konsep dari RULA. Sikap dasar adalah sikap netral anatomis
fungsional. Semakin postur bergerak menjauh dari posisi netral, skor resiko akan
semakin meningkat.

REBA dapat digunakan bila penilaian kerja ergonomis mengidentifikasi bahwa


analisi postural lebih lanjut diperlukan dan jika :

a. Seluruh tubuh
b. Postur statis, dinamis, cepat berubah, atau tidak stabil
c. Menangani beban baik sering atau jarang
d. Modifikasi tempat kerja, peralatan, pelatihan, dan faktorresiko pekerja sedang
dipantau sebelum dan setelah perubahan.

REBA memiliki enam langkah :

a. Mengamati tugas
Mengamati tugas untuk merumuskan penilaian kerja umum ergonomis,
termasuk dampak dari tata letak dan lingkungan kerja, penggunaan peralatan,
dan perilaku pekerja terhadap pengambilan resiko
b. Memilih postur untuk penilian
Menentukan postur yang akan dianalisis dari pengamatan pada langkah satu.
Kriteria berikut dapat digunakan :
1) Postur yang paling sering diulang

1
2) Postur terpanjang yang diperlukan
3) Postur yang membutuhkan aktivitas otot atau kekuatan yang besar
4) Postur diketahui menyebabkan ketidaknyamanan
5) Postur eskrim, tidak stabil, atau janggal, terutama pada saat diberikan
gaya
6) Paling mungkin untuk diperbaiki dengan intervensi, tindakan
pengendalian atau perubahan postur

Keputusan itu dapat didasarkan pada satu atau lebih kriteria diatas. Kriteria untuk
menentukan postur yag akan dianalisi harus dilaporkan dengan hasil / rekomendasi.

c. Skor postur
Menggunakan lembaran penilaian dan skor tubuh bagian untuk menentukan
skor postur. Penghitungan dibagi dua kelompok :
1) Kelompok A : meliputi batang tubuh, leher, kaki, setelah dilakukan
penilaian dimasukkan ke dalam table A.
2) Kelompok B : meliputi lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan
Postur kelompok B dinilai secara terpisah untuk sisi kiri dan kanan,
setelah dilakukan penilaian dimasukkan kedalam table B.

Poin tambahan dapat ditambahkan atau dikurangi, tergantung pada posisinya. Untuk
misalnya, di group B, lengan atas dapat didukung dalam posisinya dan 1 poin
dikurangi dari skor nya. Proses ini dapat diulang untuk setiap sisi tubuh dan untuk
postur lainnya.

d. Proses skor
Gunakan Tabel A untuk menghasilkan skor tunggal dari batag leher dan kaki.
Ini dicatat dalam kotak pada lembar penilaian dan ditambahkan ke skir beban
/ gaya untuk memberikan skor A. Demikian pula lengan atas, lengan bawah,
pergelangan tangan dan skor digunakan untuk menghasilkam nilai tunggal
dengan menggunakan Tabel B. Ini diulang jika resiko musculoskeletal (dank

1
arena itu nilai untuk lengan kiri dan kanan) adalah berbeda. Skor tersebut
kemudian ditambahlan ke nilai kopling untuk menghasilkan skor B, A dan B
dimasukkan ke dalam Tabel C dan skor tunggal ini adalah skor C.
e. Menetapkan nilai REBA
Jenis aktivitas otot yang dilakukan kemudian diwakili oleh skor kegiatan
yang ditambahkan untuk memberikan skir akhir REBA
f. Menginformasikan tingkat tindakan sehubungan dengan urgensi untuk
tindakan pengendalian.

Skor REBA ini kemudian diperiksa terhadap tingkatan tindakan (Tabel 1) ini adalah
ketetapan dari nilai yang sesuai untuk meningkatkan urgensi untuk kebutuhan untuk
melakukan perubahan.

Tabel 1 : Tabel tingkatan tindakan REBA


Sumber ; (Stanto,2005)

SKor REBA Tingkat Resiko Action Level Tindakan


1 Diabaikan 0 Tidak perlu
2-3 Rendah 1 Mungkin perlu
4-7 Sedang 2 Perlu
8-10 Tinggi 3 Perlu segera
11-15 Sangat Tinggi 4 Sekarang juga

REBA tidak secara khusus dirancang untuk memenuhi standar tertentu. Namun, telah
digunakan di Inggris untuk penilaian yang berhubungan dengan peraturan
pengoperasian manual handling. Hal ini juga telah banyak digunakan secara

1
internasional dan termasuk dalam tandar Program rancangan ergonomis Amerika
(OSHA,2000).

 Ovako Working Posture Analysis System (OWAS)

OWAS merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan pengukuran


tubuh dimana prinsip pengukuran yang digunakan adalah keseluruhan aktivitas kerja
direkapitulasi, dibagi ke bebrapa interval waktu (detik atau menit), sehingga
diperoleh beberapa sampling postur kerja dari suatu siklus kerja dan aktivitas lalu
diadakan suatu pengukuran terhadap sampling dari siklus kerja tersebut. Konsep
pengukuran postur tubuh ini bertujuan agar seseorang dapat bekerja dnegan aman
(safe) dan nyaman. Metode ini digunakan untuk mengklarifikasi postur kerja dan
beban yang digunakan selama proses kedalam beberapa kategori fase kerja. Postur
tubuh di analsia dan kemudian diberi nilai untuk diklarifikasi. OWAS bertujuan untuk
mengidentifikasi resiko pekerjaan yang dapat mendatangkan bahaya pada tubuh
manusia yang bekerja.

Metode OWAS memberikan informasi penilaian postur tubuh pada saat bekerja
sehingga dapat melakukan evaluasi dini atas rwsiko kecelakaan tubuh manusia yang
terdiri dari beberapa bagian oenting, yaitu :

1) Punggung (back)
2) Lengan (arm)
3) Kaki (leg)
4) Beban kerja
5) Fase kerja

2) Langkah selanjutnya dibandingkan dengan kondisi fisiologis normal tubuh


(misalnya posisi normal tubuh) dan dibandingkan dengan nilai yang telah
distandardisasi pada masing-masing metode pengukuran yang dipergunakan.

1
3) Langkah penting adalah mencari sumber yang menyebabkan postur janggal,postur
statis, gerakan berulang dan penggunaan otot berlebihan serta faktor risiko lainnya.
Gejala CTDs dinilai tingkat keparahannya, dan dicari korelasinya dengan faktor
risiko yang teridentifikasi, dihitung tingkat risikonya, dan ditetapkan prioritas
pengendaliannya.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Hazard merupakan bahaya yang mempunyai kemungkinan mengakibatkan


kerugian, baik pada harta benda, lingkungan maupun manusia. Hazard terdiri dari
segi fisik, kimiawi, mekanis, ergonomi dan psikososila. Hazard ergonomic adalah
potensi bahaya yang disebabkan terjadi karena tidak efisiennya hubungan alat kerja
dengan manusianya, biasanya berhubungan dengan perilaku kerja manusia dengan
alatnya. Hazard ergonomic dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pekerja
yaitu usia, jenis kelamin, kesegaran jasmani; faktor pekerjaan yaitu postur kerja,
posisi statis, durasi, pengulangan angka frekuensi, vibrasi dan masa kerja; dan faktor

1
lingkungan yaitu heat stress, cold stress, pencahayaan dan kebisingan. Hazard
ergonomic dapat menyebabkan beberapa penyakit diantaranya MSDs, LBP, dsb. Cara
mengendalikan hazard ergonomic tersebut dengan upaya manajemen resiko
perbaikan ergonomi dilaksanakan dengan menggunakan siklus Antisipasi, Rekognisi,
Evaluasi dan Pengendalian (AREP).

3.2 Saran

Diharapkan kepada seluruh rumah sakit untuk memperhatikan hazard


ergonomic dengan beberapa pengendalian yang dapat dilakukan, karena hazard
ergonomic dapat merugikan pekerja kesehatan dan dapat mempengaruhi kualitas dan
produktivitas pekerja dalam bekerja.

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………………1
Daftar Isi…………………………………………………………………………….2

BAB I
Latar Belakang………………………………………………………………………3
Rumusan Masalah…………………………………………………………………...4
Tujuan……………………………………………………………………………….5

BAB II

1
Pengertian Hazard……………………………………………………………….…6
Jenis-Jenis Hazard……………………………………………………………….…7
Hazard Ergonomic …………………………………………………………….…..8
Identifikasi Potensi Bahaya………………………………………………….……..9
Faktor Hazard Ergonomic…………………………………………………….……8
Penyakit……………………………………………………………………………
Cara Mencegah Gangguan Kesehatan / Penyakit Oleh Karena Hazard Ergonomi
Dengan Melakukan Perbaikan Ergonomi. …………………………………B

BAB III
Kesimpulan………………………………………………………………………
Saran………………………………………………………………………

Daftar Pustaka

Australian and New Zealand Standard on Risk Management 4360:2004.


Asfahl, C.R., dan Rieske D.W. 2010. Industrial Safety and Health Management. Sixth
Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc
Departemen Kesehatan RI., 2009, Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di
Rumah Sakit (K3 RS), Jakarta Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI., 2007, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
432/MENKES/SK/IV/2007 tentang Pedoman Manajemen K3 di Rumah Sakit.
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

1
Omrani, A., Raeissi, P., Khosravizadeh, O., Mousavi, M., Kakemam, E., Sokhanvar,
M., Najafi, B., 2015, Occupational Accidents among Hospital Staff, Client
Centered Nursing Care, Vol. I, No. 2, pp. 97-101.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI. No 856/MENKES/XI/2009. Tentang Standar
IGD Rumah Sakit
Budiono, S. 1992. Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Surakarta: PT. Tri Tunggal Tata
Fajar
CDC NIOSH. 2014. Fall Injuries Prevention In The Workplace. NIOSH Workplace
Safety and Health Topic, National Institute for Occupational Safety and Health.
Diakses: 10 Februari 2016. http://www.cdc.gov/niosh/topics/fall

Anda mungkin juga menyukai