Anda di halaman 1dari 81

TUGAS PORTOFOLIO ETIKA KEPERAWATAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Keperawatan


Dosen Pengampu: Ns. Diana Tri Lestari, M.Kep, Sp.Kep.M.B

Disusun Oleh:
Olivia Puspita Handayani
NIM 17. 067

AKADEMI KEPERAWATAN
KESDAM IV/ DIPONEGORO
SEMARANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Norma adalah aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus mengenai


tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di
lingkungan kehidupannya. Dari sudut pandang umum sampai seberapa jauh tekanan
norma diberlakukan oleh masyarakat, norma dapat di bedakan menjadi 5 yaitu, Norma
sosial, Norma hukum, Norma sopan santun, Norma agama, dan Norma moral. Ke
limanya ini sangat bermakna dalam kehidupan kita sehari – hari, dan juga berperan
penting dalam mengatur segala sesuatu perundang – undangan di indonesia.
Khususnya hukum di Indonesia.

B. Tujuan

1. Untuk memahami pengertian konsep nilai dan hubungannya dengan keperawatan

2. Untuk memahami konsep norma dan hubungannya dengan keperawatan

3. Untuk memahami konsep budaya dan hubungannya dengan keperawatan

4. Untuk memahami konsep agama dan hubungannya dengan keperawatan

5. Untuk memahami konsep etika dan hubungannya dengan keperawatan


BAB II

PEMBAHASAN

A. Nilai
Nilai kepercayaan individu tentang kegunaan dari, ide, sikap, adat istiadat, atau
pobjek yang menentukan standar yang memengaruhi perilaku
(Maslow,1977;Rokaech,1973). Nilai-nilai yang dipegang seseorang mencerminkan
pengaruh budaya dan sosial, berbeda antar individu, serta terus berkembang dan
berubah dari waktu ke waktu. (potter&perry.2009.fundamental keperawatan1 edisi
7.jakarta, salemba medika)

Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang
menanggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Woods
mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang
mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak
pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan yang dianut masyarakat. tak heran apabila antara masyarakat yang satu
dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat yang
tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul
pembaharuan-pembaharuan. Sementara apda masyarakat tradisional lebih cenderung
menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan
dan tradisi yang turun-temurun.

Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum


dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat
untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai
sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-
peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan
sesuai dengan peranannya. Contohnya ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan
akan diambil berdasarkan pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga
berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan
nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga
berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan
daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.

Ada beberapa pengertian tentang nilai, yaitu sebagai berikut:

1. Nilai adalah sesuatu yang berharga, keyakinan yang dipegang sedemikian rupa oleh
seseorang sesuai denagn tututan hati nuraninya (pengertian secara umum)
2. Nilai adalah seperangkat keyakinan dan sikap-sikap pribadi seseorang tentang
kebenaran, keindahan, dan penghargaan dari suatu pemikiran, objek atau prilaku yang
berorientasi pada tindakan dan pemberian arah serta makna pada kehidupan seseorang
(simon,1973).
3. Nilai adalah keyakinan seseorang tentang sesuatu yang berharga, kebenaran atau
keinginan mengenai ide-ide, objek, atau prilaku khusus. (Znowski, 1974)
a. Nilai merupakan suatu ciri, yaitu sebagai berikut:
1) Nilai-nilai membentuk dasar prilaku seseorang
2) Nilai-nilai nyata dari seseorang diperlihatkan melalui pola prilaku yang konsisten.
3) Nilai-nilai menjadi kontrol internal bagi prilaku seseorang.
4) Nilai-nilai merupakan komponen intelektual dan emosional dari seseorang yang
secara intelektual diyakinkan tentang sutu nilai serta memegang teguh dan
mempertahan kannya.
Untuk praktik sebagai perawat profesional, diperlukan nilai-nilai yang sesuai dengan
kode etik profesi, antara lain dengan:
1) Menghargai martabat individu tanpa prasangka.
2) Melindungi seseorang dalam hal privasi
3) Bertanggung jawab untuk segala tindakannya

Seorang perawat yang menghargai hak privasi pasien akan menerapkan kepada
pasien, sebagai berikut:

1) Menutup area untuk mandi dan pengobatan


2) Menutup pasien untuk prisedur tertentu
3) Menyediakan tempat konsultasi bagi pasien dcengan pemuka agama atau
anggota keluyarga yang sedang sedih

b. Nilai- Nilai yang Sangat Diperlukan Oleh Perawat

1) Kejujuran 7) Altruisme
2) Care 8) Berbuat baik
3) Empati 9) Keadilan
4) Lemah Lembut 10) Jujur
5) Ketepatan setiap tindakan
6) Menghargai orang lain
c. Metode Mempelajari Nilai-Nilai
Menurut teori klasifikasai nilai-nilai, keyakinan atau sikap dapat menjadi suatu nilai
apabila keyakinan tersebut memenuhi tujuh kriteria sebagai berikut:
1) Menjunjung dan menghargai keyakkina dan rilaku seseorang
2) Menegaskan didepan umum, apabila cocok
3) Memilih dari berbagai alyernatif
4) Memilih setelah mempertimbangkan konsekuensinya
5) Memilih secara bebas
6) Bertindak
7) Bertindak denngan pola konsisten
d. Keyakinan
Ada beberapa pengertian tentang keyakinan, yaitu sebagi berikut:
1) Keyakinan adalah sesuatu yang diterima sebagai kebenaran melalui pertimbangan
dan kemungkinan, tidak berdasarkan kenyataan
2) Keyakinan merupakan pengorganisasian konsep kogniti, misalnya individu
memegang keyakinan yang dapat dibuktikan melalui kejadian yang dapat dipercaya
3) tradisi rakyat atau keluarga merupakan keyakinan yng berjalan dari satu generasi ke
generasi yang lain
e. Sikap
Sikap adalh suasana perasaan atau sifat, dimana prilaku yang ditujukan kepada
orang, objek, kondisi atau situasi, baik secaa tradisional maupun nulai atau keyakinan.
Sikap dapat diajarkan melalui cara:
1) Memberi contoh, teladan atau model peran
2) Setiap individu belajar dari seperangkat contoh melaui prilaku orang lain yang
diterimanya,
3) Membujuk atau meyakinkan
4) Membujuk atau meyakinkan seseorang mempunyi dasar kognitf. Hal ini tidak terkait
dengan aspek emosional dari prilaku seseorang.
5) Mengajarkan melalui budaya
6) Budaya dan agama mempengaruhi prilaku seseorang tanpa pilihan. Setiap individu
dapat menerima keyakinan tersebut
7) pilihan terbatas
8) Prilaku seseorang dikontrol dengan membatasi pilihan seseorang dengan tidak
mempunyai pilihan secara bebas
9) Menetapkan melalui peraturan-peraturan

Ketentuan dan peraturan yang digunakan untuk mengontrol prilaku seseorang


adalah sebagai berikut:

a) Prilaku yang dipelajari biasanya dapat diterima secara sosial dan diterapkan
dalam situasi yang sama dengan waktu yang akan dating
b) Berprilaku dalam cara tertentu karena takut diberi sanksi, sehingga tidak
mempertimbangkan nilai benar atau salah
c) Menggunakan nilai untuk mengarahkan prilakunya, berarti dapat
membedakan baik dan buru, benar atau salah
f. Mempertimbangkan dengan hati nurani
Orang sering mempelajari seperangkat norma prilaku yang dianggap benar.
Kegagalan untuk Mengikuti norma (hati nurani) dapat mengakibatkan perasaan bersalah

Pelaksanaan Etik Dan Moral Dalam Pelayanan Klinis Keperawatan

Aplikasi dalam praktek klinis bagi perawat/bidan diperlukan untuk menempatkan


nilai-nilai dan perilaku kesehatan pada posisinya. Perawat bisa menjadi sangat frustrasi
bila membimbing atau memberikan konsultasi kepada pasien yang mempunyai nilai-nilai
dan perilaku kesehatan yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena pasen kurang
memperhatikan status kesehatannya. Pertama-tama yang dilakukan oleh perawat
adalah berusaha membantu pasen untuk mengidentifikasi nilai-nilai dasar kehidupannya
sendiri.

Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan kasus sebagai berikut: Seorang pengusaha


yang sangat sukses dan mempunyai akses di luar dan dalam negeri sehingga dia
menjadi sibuk sekali dalam mengelola usahanya. Akibat kesibukannya dia sering lupa
makan sehingga terjadi perdarahan lambung yang menyebabkan dia perlu dirawat di
rumah sakit. Selain itu dia juga perokok berat sebelumnya. Ketika kondisinya telah mulai
pulih perawat berusaha mengadakan pendekatan untuk mempersiapkannya untuk
pulang. Namun perawat menjadi kecewa, karena pembicaraan akhirnya mengarah pada
keberhasilan serta kesuksesannya dalam bisnis. Kendati demikian upaya tersebut harus
selalu dilakukan dan kali ini perawat menyusun list pertanyaan dan mengajukannya
kepada pasen tersebut. Pertanyaannya, “Apakah tiga hal yang paling penting dalam
kehidupan bapak dari daftar dibawah ini?” Pasen diminta untuk memilih atas pertanyaan
berikut:

1) Bersenang-senang dalam kesendirian (berpikir, mendengarkan musik atau


membaca).
2) Meluangkan waktu bersama keluarga.
3) Melakukan aktifitas seperti: mendaki gunung, main bola atau berenang.
4) Menonton televisi.
5) Membantu dengan sukarela untuk kepentingan orang lain.
6) Menggunakan waktunya untuk bekerja.

B. Konsep Norma
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh
dilakukan dalam hidup sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan
disertai sanksi Sanksi adalah ancaman/akibat yang akan diterima apabila norma tidak
dilakukan (Widjaja, 1985: 168).
Norma adalah aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus mengenai
tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di
lingkungan kehidupan manusia. Norma juga merupakan aturan yang berlaku di
kehidupan bermasyarakat. Aturan yang bertujuan untuk mencapai kehidupan
masyarakat yang aman, tertib dan sentosa. Namun masih ada segelintir orang yang
masih melanggar norma-norma dalam masyarakat, itu dikarenakan beberapa faktor,
diantaranya adalah faktor pendidikan, ekonomi dan lain-lain. Dengan norma,
masyarakat memasukkan aturan atau kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur untuk
menilai sesuatu.
Walaupun nilai moral biasanya menumpang pada nilai- nilai lain, namun ia
tampak seperti sebuah nilai baru, bahkan sebagai nilai yang paling tinggi. Nilai moral
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Berakaitan dengan tanggung jawab kita


Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Yang khusus menandai nilai moral
adalah bahwa nilai ini berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Nilai-
nilai moral mengakibatkan bahwa seseotang bersalah atau tidak bersalah, karena ia
bertanggung jawab. Suatu nilai moral hanya dapat diwujudkan dalam perbuatan-
perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang yang bersangkutan.
2. Berkaitan dengan hati nurani
Semua nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu mengandung
semacam undangan atau imbauan. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya
nilia ini menimbulkan “suara” dari hati nurani yang menuduh kita bila mita meremehkan
atau menentang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilia-nilia moral.
3. Mewajibkan
Berhubungan erat dengan ciri bahwa nilai-nilai moral mewajibkan kita secara
absolut dan dengan tidak bisa ditawar-tawar. Dalam nilai moral terkandung suatu
imperatif kategoris, Sedangkan nilai-nilai lainnya hanya berkaitan dengan imperatif
hipotesis. Artinya, kalu kita ingin merealisasikan nili-nilai lain kita harus menempuh jalan
tertentu.
4. Bersifat formal
Nilai moral tidak merupakan sutau jenis nilai yang bisa ditempatkan begitu saja
disamping nilai-nilai jenis lainnya. Nilai-nilai moral tidak membentuk suatu kawasan
khusus yang terpisah dari nilai-nilai lain. Nilai-nilia moral tidak memiliki “isi” tersendiri,
terpisah dari nilai-nilai lain. Tidak ada nilai-nilai moral yang “murni”, terlepas dari nilai-
nilai lain. Hal itulah yamg kita maksudakan dengan mengatakan bahwa nilai moral
bersifat formal.
Norma Moral dalam bahasa latin arti yang pertama adalah Carpenters square:
siku-siku yang dipakai tukang kayu untuk mengcek apakah benda yang dikerjakan
sungguh-sungguh lurus. Asal-usul ini membantu kita untuk mengerti maksudnya.
Dengan norma kita maksudkan aturan atau kaidah yang kita pakai sebagai tolak ukur
untuk mengukur sesuatu. Ada tiga macam norma umum, yaitu norma kesopanan atau
etiket, norma hukum dan norma moral. Etiket misalnya benar-benar mengandung norma
yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Norma hukum juga merupakan norma
penting yang menjadi kenyataan dalam setiap masyarakat. Norma moral menentukan
apakah prilaku kita baik atau buruk dari sudut etis. Karena itu norma moral merupakan
norma tertinggi, yang tidak bisa ditaklukan pada norma lain.

Masalah-masalah yang biasa disebut “relativisme moral’

1. Relativisme moral tidak Tahan uji


Norma-norma moral tidak pernah mengawang-awang diudara, tapi tercantum
dalam suatu sistem etis yang menjadi bagian suatu kebudayaan. Dengan relativisme
moral dimaksudkan pendapat bahwa moralitas sama saja dengan adat kebiasaan,
sehingga suatu etika tidak lebih baik daripada etika lain. Relativisme moral tidak
tahan uji, jika diperiksa secara kritis. Kritik ini bisa dijalankan dengan
memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi yang mustahil.
2. Norma moral bersifat obyektif dan universal
Norma moral pada dasarnya absolut, maka mudah diterima juga bahwa norma
itu bersifat obyektif dan universal
a. Obyektifitas norma moral
b. Universalitas Norma Moral
3. Menguji norma moral
Tes yang paling penting yang kita miliki untuk menguji benar tidaknya norma
moral adalah generalisasi norma. Norma moral adalah benar jik bisa
digeneralisasikan dan tidak benar jika tidak bisa digeneralisasikan.
Menggeneralisasikan norma berarti memperlihatkan bahwa norma itu berlaku untuk
semua orang. Bila bisa ditujukan bahwa suatu norma bersifat umum, maka norma itu
sah sebagai norma moral.
Norma dasar terpenting: Martabat manusia
Dalam mengusahakan refleksi tentang martabat manusia ini sekali lagi kita
mengikuti filsuf jerman, Imanuel Kant. Menurut kant, kita harus menghargai martabta
manusia, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan
pada dirinya. Benda jasmani kita gunakan untuk tujuan-tujuan kita.
C. Konsep Budaya/ Kebudayaan
1. Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.
Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak,
dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi
dengan orang dari budaya lain, terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu
perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung
pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-
bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika,
"keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya
dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai
logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk
memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren
untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan
perilaku orang lain.
2. Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat
itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari
satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai
sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,
religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana
hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai
kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh
manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang
bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
a. Unsur-unsur kebudayaan
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau
unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
1) alat-alat teknologi
2) sistem ekonomi
3) keluarga
4) kekuasaan politik

Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:

1) sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
2) organisasi ekonomi
3) alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan
(keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
4) organisasi kekuatan (politik)

Perlunya perawat mempelajari konsep budaya atau kebudayaan

1) Supaya perawat dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai keinginan


pasien
2) Agar si klen merasa nyaman dengan tindakan yang dilakukan dalam pelayanan
kesehatan
3) Supaya tidak terjadi kesalah pahaman antara sikloen dengan siperawat
4) Agar perawat mengetahui kebutuhan pasien
5) Perawatan dapat berjalan dengan baik

D. Konsep Agama
Agama merupakan system keyakinan dan praktik yang terorganisasi. Agama
memberi satu caraekspresi spiritual yang memberikan pedoman kepada penganutnya
dalam berespons terhadap pertanyaan dan tantangan hidup. Menurut Vardey (1995,
ham, xv) agama yang terorganisasi memberikan:
1. Rasa keterikatan komunitas dengan keyakinan yang sama
2. kajin bersama kitab suci (taurat, injil, alkitab, dll)
3. pelaksanaan ritual
4. penggunaan disiplin dan praktik, firman dan sakramen
5. menjaga jiwa seseorang (seperti berpuasa, berdoadan meditasi)

Banyak praktik dan ritual agama tradisional dikaitkan dengan kejadian hidup,
seperti kelahiran, peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, pernikahan,
penyakit, dan kematian. Pedoman pelaksanaan agama yang biasa dipengaruhi secara
bersama oleh budaya, dapat juga diterapkan pada kehidupan sehari-hari, seperti
pakaian, makanan, interaksi social, menstruasi, dan hubungan seksual.

Pekembangan keagamaan individu mengacu pada penerimaan keyakinan, nilai,


pedoman pelaksanaan, dan ritual tertentu. Perkembangan agama dapat atau mungkun
sejajar dengan pekembangan spiritual. Sebagai contoh, seseorang dapat mengikuti
praktik agama tertentu dan belum dapat menginternalisasi makna simbolik dibalik praktik
tersebut. Namun, perkembangan agama sering kali dapat menjadi pondasi dan
meningkatkan spiritualitas dengan memberikan sisitem keyakinan yang dapat
menunjukkan arah pertumbuhan kepada penganutnya. Sebagai contoh, penganut
agama Kristen yang beribadah setiap hari membawa penganutnya ke dalam hubungan
langsung dengan pertanyaan yang sangat dalam mengenai kehidupan beberapa kali
sehari.

Agnostic adalah orang yang meraguka keberadaan Tuhan atau yang Maha
Tinggi atau meyakini bahwa keberadaan Tuhan belum terbukti. Ateis adalah orang yang
tidak meyakini adanya Tuhan. Monoteisme adalah keyakinan akan keberdaan satu
Tuhan, sementara politeisme adalah keyakinan terhadap lebih dari satu Tuhan.

Praktik Spiritual yang Memengaruhi Asuhan Keperawatan

1. Kitab Suci
Setiap agama memiliki tulisan sakral dan kitab yang menjadi pedoman
keyakinan dan perilaku penganutnya; sselain itu, tulisan sakral sering kali
menyampaikan cerita instrutif mengenai para pemimpin agama, raja-raja dan
pahlawan. Pada sebagian besar agama, tulisan ini dianggap sebagai ucapan
Sang Khalik yang ditulis para Nabi atau Khalifah. Umat kristiani memiliki kitab
suci Injil, umat Yahudi memiliki kitab suci taurat dan tamud, dan umat muslim
memiliki kitab suci alquran, umat Hindu memiliki beberapa kitab suci, atau weda;
dan umat Budda mengimani ajaran yang ada di Tripitaka. Naskah tersebut secra
umum menetapkan hukum-hukum keagamaan dalam bentuk peringatan dan
peraturan untuk hidup (mis, 10 perintah Tuhan). Hukum keagamaan tersebut
dapat diinterpretasi dalam berbagai cara oleh sub kelompok penganut agama
dan dapat memengaruhi keinginan klien untuk menerima anjuran penanganan;
sebagai contoh transfusi darah dilarang pada ajaran saksi Jahovah.
Individu sering kali mendapat kekuatan dan harapan asetelah membaca
buku-buku keagamaan/ kitab suci saat mereka sakit atau saat mengalami krisis.
Contoh cerita keagamaan yang dapat memberikan kenyamanan bagi klien
adalah penderitaan Nabi, baik pada Kitab Suci Yahudi maupun Kristiani, dan
penyembuhan yang dilakukan Yesus pada orang-orang yang mengalami
penyakit fisik atau mental, dalam perjanjian baru.
2. Simbol sacral
Simbol sakral mencakup perhiasan, liontin, tasbih, lambang, patung, atau
ornamen tubuh (mis, tato) yang memiliki makna keagamaan atau spiritual.
Simbol tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan keyakinan seseorang,
untuk mengingatkan pemakainya akan keyakinannya, untuk memberikan
perlindungan spiritual, atau untuk menjadi sumber kenyamanan atau kekuatan,
individu dapat menggunakan liontin keagamaan sepanjang waktu, dan mereka
mungkin berharap untuk mengenakannyasaat menjalani studi diagnostik,
penanganan medis, atau pembedahan. Orang Katolik Romadapat memekai
Rosario untuk berdoa; umat muslim dapat membawa tasbih.
3. Doa dan Meditasi
Individu dapat memakai lambang atau patung keagan\maan di dalam
rumah, di mobil, atau di tempat kerja sebagai pengingat pribadi terhadap
keyakinan mereka atau sebagai bagian tempat personal untuk sembahyang dan
meditasi. Klien yang dirawat inap atau yang menjalani pengobatan di fasilitas
perawtan jangka panjang mungkin berharap untuk diperbolehkan membawa atau
memajang simbol spiritual berupa (Gill, 1987, hlm, 489). Beberapa orang
meragukan defebisi tersebut karena menurut defenisi tersebut, doa mewajibkan
orang yang berdoa memiliki keyakinan pada Tuhan atau entitas spiritual, padahal
tidak semua orang yang berdoa memilikinya. Sementara itu, beberapa orang
menganggap doa sebagai fenomena universal yang tidak mewajibkan keyakinan
tersebut.
Beberapa agama memiliki doa-doa resmi dicetak dalam buku doa, seperti
Book of Common Prayer di gereja Anglikan/ Episkopal dan Missal di geraja
katolik. Beberapa doa keagamaan dikaitkan dengan sumber keyakinan; sebagai
contoh, Doa Bapa Kami untuk umat Kristiani disampaikan kepada Yesus, dan
manusia paling mulia bagi umat muslim adalah Muhammad.
Beberapa agama mewajibkan ibadah setiap hari atau menetapkan waktu
spesifik untuk berdoa dah beribadah; salat lima waktu bagi umat muslim. Mereka
mungkin membutuhkan waktu tenang tanpa gangguan selama mereka membaca
buku doa mereka, menggunakan Rosario, tasbih, dan lambang keagamaan lain
yang tersedia bagi mereka.
Meditasi adalah kegiatan memfokuskan pikiaran seseorang atau terlibat
dalam refleksi diri. Beberapa orang meyakini bahwa melalui meditasi yang
mendalam, seseorang dapat memengaruhi atau mengontrol fungsi fisik dan
psikologis serta perjalanan penyakit.

E. Konsep Etika
Menurut Bartens K. (2000), etika berasal dari kata etos yang pada bentuk
tunggal berarti kebiasaan, adat istiadat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara
berfikir, sedangkan dalam jamak (ta etha) berarti adat kebiasaan, dengan kata lain etika
diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Etika juga diartikan sebagai suatu studi filosifi yang memeriksa nilai,
kegiatan, serta pilihan benar atau salah.
Potter and Perry (1997) menyatakan bahwa etika merupakan terminologi dengan
berbagai makna, etika, berhubungan dengan bagaimana seseorang harus bertindak dan
bagaimana mereka melakukan hubungan dengan orang lain. Etika tidak hanya
menggambarkan sesuatu, tetapi lebih kepada perhatian dengan penetapan norma dan
stadar kehidupan seseorang dan yang seharusnya dilakukan.
ETIKA KESEHATAN
Menurut Soeryono Soekamto (1986), etika kesehatan mencakup penilaian
terhadap gejala kesehatan baik yang disetujui maupun tidak di setujui. Sera mencakup
rekomendasi bagaimana bersikap atau bertindak secara pantas dalam bidang
kesehatan. Etika kesehatan mencakup ruang lingkup minimal seperti treatment pada
klien yang menjelang ajal, unsur yang diijinkan untuk mengakhiri penderitaan dan hidup
kiien dengan sengaja atas permintaan klien sendiri dan keluarganya, pembatasn
perilaku, percobaan manusiawi dan informed consent, permasalahan genetika,
kesuburan dan kelahiran, pemberian askep dan biayanya, pembatasan kelahiran dan
kependudukan, aborsi dan steriisasi, pendistribusian dari sumber daya yang
langka,transplantasi organ, hemodialysis, serta pengungkapan kebenaran dan
kerahasiaan dalam bidang kedokteran.
ETIKA KEPERAWATAN
Menurut Cooper (1991) dalam Potter dan Perry (1997), etika keperawatan
dikaitkan dalam hubungan antar masyarakat dengan karakter serta sikap perawat
terhadap orang lain. Pengetahuan keperawatan diperoleh melalui keterlibatan pribadi
dan p=emosional dengan orang lain serta ikut terlibat dalam masalah moral mereka.
Etika akan memandu perawat agar lebih peka terhadap hubungan yang tidak seimbang,
yang dapat mengacu pada penyalahgunaan kekuasaan seseorang pada orang lain baik
secara sengaja maupun tidak. Dalam praktik sehari-hari ditatanan pelayanan kesehatan,
klien dan keluarganya sering kali memiliki persepsi yang berbeda dengan tenaga
kesehatan sehingga tidak ada tirtik temu apabila tidak segera dijembatani. Perawat
sebagai ujung tombak dalam pelayanan akan sering mengalami hal tersebut, sehingga
perlu adanya pemahaman tentang kesenjangan yang biasanya disebabkan oleh
kurangnya informasi, regresi oleh rasa sakit dan ppenderitaan, serta lingkungan baru
yang dikenal.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam upaya mendorong profesi keperawatan agar dapat diterima dan dihargai
oleh pasien, masyarakat atau profesi lain, maka mereka harus memanfaatkan nilai-nilai
keperawatan dalam menerapkan etika dan moral disertai komitmen yang kuat dalam
mengemban peran profesionalnya. Dengan demikian perawat yang menerima tanggung
jawab, dapat melaksanakan asuhan keperawatan secara etis profesional. Sikap etis
profesional berarti bekerja sesuai dengan standar, melaksanakan advokasi, keadaan
tersebut akan dapat memberi jaminan bagi keselamatan pasen, penghormatan terhadap
hak-hak pasen, akan berdampak terhadap peningkatan kualitas asuhan keperawatan.
Dan setiap perawat harus mampu untuk memahami nilai moral agar dalam bertindak
tidak salah.

Nilai (Nilai Sosial) adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat.

Norma adalah seluruh kaidah dan peraturan yang diterapkan melalui lingkungan
sosialnya. norma sosial adalah sebuah ukuran atau patokan yang digunakan
masyarakat untuk mengukur nilai yang berlaku

Budaya adalah hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Kebudayaan merupakan keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta
keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soerjono Soekanto.2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada

2. Ensiklopedi Indonesia, 16.45, 18 Februari 2009 www.id.wikipedia.org

3. Arnold, Matthew. 1869. Culture and Anarchy. New York: Macmillan. Third edition, 1882,
available online. Retrieved: 2006-06-28.

4. Barzilai, Gad. 2003. Communities and Law: Politics and Cultures of Legal Identities.
University of Michigan Press.

5. Boritt, Gabor S. 1994. Lincoln and the Economics of the American Dream. University of
Illinois Press. ISBN 978-0-252-06445-6.

6. Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press.


ISBN 978-0-521-29164-4

7. http://juandainginsukses.blogspot.com/2012/01/makalah-etika-dalam-keperawatan-
konsep.html

8. http://sangayuudara.wordpress.com/2011/04/05/nilai-dan-norma-dalam-keperawatan/

9. Kozeir, Erb, Berman, Snyder. 2004. Buku Ajar Fundamental Keperawtan, kpnsepn
proses dan praktik. EGC. Jakarta

10. Sumijatun..2011.Membudayakan Etika dalam Praktik Keperawatan.Jakarta:Salemba


Medika
11. Potter&perry.2009.fundamental keperawatan1 edisi 7.jakarta, salemba medika
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keperawatan merupakan salah satu profesi yang mempunyai bidang garap pada
kesejahteraan manusia yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat
maupun yang sakit untuk dapat menjalankan fungsi hidup sehari-harinya. Salah satu
yang mengatur hubungan antara perawat pasien adalah etika.

Etika dan moral merupakan merupakan sumber dalam merumuskan standard an


prinsip-prinsip yang menjadi penuntun dalam berprilaku serta membuat keputusan untuk
melindungi hak-hak manusia. Etika diperlukan oleh semua profesi termasuk juga
keperawatan yang mendasari prinsip-prinsip suatu profesi yang tercermin dalam standar
praktek professional (Doheny et all, 1982).

Profesi keperawatan mempunyai kontrak social dengan masyarakat, yang berarti


masyarakat memberi kepercayaan kepada profesi keperawatan untuk memberikan
pelayanan yang di butuhkan. Konsekwensi dari hal tersebut tentunya setiap keputusan
dari tindakan keperawatan harus mampu di pertanggung jawabkan dan dipertanggung
gugatkan dan setiap pengambilan keputusan tentunya tidak hanya berdasarkan pada
pertimbangan ilmiah semata tetapi juga dengan memperhatikan etika.

Etika adalah peraturan atau norma yang dapat di gunakan sebagai acuan bagi
perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan tang baik dan buruk yang dilakukan
seseorang dan merupakan seuatu kewajiban dan tanggungjawab moral. (Mila Ismani,
2001)

Sehingga dalam bekerja, perawat harus mengetahui prinsip-prinsip etika


keperawatan, ethichal issue dalam praktik keperawatan, dan prinsip-prinsip legal dalam
praktik keperawatan.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian prinsip etika keperawatan


2. Untuk mengetahui pengertian konsep moral dalam praktek keperawatan
3. Untuk mengetahui pengertian konsep etik
4. Untuk mengetahui macam prinsip-prinsip etik keperawatan
BAB II

PEMBAHASAN
A. Prinsip Etika Keperawatan
Etika merupakan kata yang berasal dari Yunani, yaitu Ethos, yang menurut
Araskar dan David (1978) berarti kebiasaan atau model prilaku, atau standar yang
diharapkan dan kriteria tertentu untuk sesuatu tindakan, dapat diartikan segala sesuatu
yang berhubungan dengan pertimbangan pembuatan keputusan, benar atau tidaknya
suatu perbuatan. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Curret English, AS
Hornby mengartikan etika sebagai sistem dari prinsip-prinsip moral atau aturan-aturan
prilaku. Menurut definisi AARN (1996), etika berfokus pada yang seharusnya baik salah
atau benar, atau hal baik atau buruk. Sedangkan menurut Rowson, (1992). etik adalah
Segala sesuatu yang berhubungan/alasan tentang isu moral.
Moral adalah suatu kegiatan/perilaku yang mengarahkan manusia untuk memilih
tindakan baik dan buruk, dapat dikatakan etik merupakan kesadaran yang sistematis
terhadap prilaku yang dapat dipertanggung jawabkan (Degraf, 1988). Etika merupakan
bagian dari filosofi yang berhubungan dengan keputusan moral menyangkut manusia
(Spike lee, 1994). Menurut Webster’s “The discipline dealing with what is good and bad
and with moral duty and obligation, ethics offers conceptual tools to evaluate and guide
moral decision making.
Beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa etika merupakan
pengetahuan moral dan susila, falsafah hidup, kekuatan moral, sistem nilai,
kesepakatan, serta himpunan hal-hal yang diwajibkan, larangan untuk suatu
kelompok/masyarakat dan bukan merupakan hukum atau undang-undang. Dan hal ini
menegaskan bahwa moral merupakan bagian dari etik, dan etika merupakan ilmu
tentang moral sedangkan moral satu kesatuan nilai yang dipakai manusia sebagai dasar
prilakunnya. Maka etika keperawatan (nursing ethics) merupakan bentuk ekspresi
bagaimana perawat seharusnya mengatur diri sendiri, dan etika keperawatan diatur
dalam kode etik keperawatan.
B. Konsep Moral dalam Praktek Keperawatan
Praktek keperawatan menurut Henderson dalam bukunya tentang teori
keperawatan, yaitu segala sesuatu yang dilakukan perawat dalam mengatasi masalah
keperawatan dengan menggunakan metode ilmiah, bila membicarakan praktek
keperawatan tidak lepas dari fenomena keperawatan dan hubungan pasien dan
perawat.
Fenomena keperawatan merupakan penyimpangan/tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia (bio, psiko, social dan spiritual), mulai dari tingkat individu
untuk sampai pada tingkat masyarakat yang juga tercermin pada tingkat system organ
fungsional sampai subseluler (Henderson, 1978, lih, Ann Mariner, 2003). Asuhan
keperawatan merupakan bentuk dari praktek keperawatan, dimana asuhan keperawatan
merupakan proses atau rangkaian kegiatan praktek keperawatan yang diberikan pada
pasein dengan menggunakan proses keperawatan berpedoman pada standar
keperawatan, dilandasi etika dan etiket keperawatan (Kozier, 1991). Asuhan
keperawatan ditujukan untuk memandirikan pasien, (Orem, 1956,lih, Ann Mariner, 2003).
Keperawatan merupakan Bentuk asuhan keperawatan kepada individu, keluarga
dan masyarakat berdasarkan ilmu dan seni dan menpunyai hubungan perawat dan
pasien sebagai hubungan professional (Kozier, 1991). Hubungan professional yang
dimaksud adalah hubungan terapeutik antara perawat pasien yang dilandasi oleh rasa
percaya, empati, cinta, otonomi, dan didahulu adanya kontrak yang jelas dengan tujuan
membantu pasien dalam proses penyembuhan dari sakit(Kozier,1991).
C. Konsep Etik
Perawat harus mempunyai kemampuan yang baik untuk pasien maupun dirinya
didalam menghadapi masalah yang menyangkut etika. Seseorang harus berpikir secara
rasional, bukan emosional dalam membuat keputusan etis. Keputusan tersebut
membutuhkan ketrampilan berpikir secara sadar yang diperlukan untuk menyelamatkan
keputusan pasien dan memberikan asuhan.
Teori dasar/prinsip-prinsip etika merupakan penuntun untuk membuat keputusan
etis praktik profesional. Teori-teori etik digunakan dalam pembuatan keputusan bila
terjadi konflik antara prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Para ahli falsafah moral telah
mengemukakan beberapa teori etik, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan
menjadi teori teleologi dan deontologi.
1. Teleologi.
Teleologi berasal dari bahasa Yunani telos yang berarti akhir. Pendekatan
ini sering disebut dengan ungkapan the end fustifies the means atau makna
dari suatu tindakan ditentukan oleh hasil akhir yang terjadi. Teori ini
menekankan pada pencapaian hasil dengan kebaikan maksimal dan
ketidakbaikan sekecil mungkin bagi manusia. Contoh penerapan teori ini
misalnya bayi-bayi yang lahir cacat lebih baik diizinkan meninggal daripada
nantinya menjadi beban di masyarakat.
2. Deontologi
Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti tugas. Teori ini
berprinsip pada aksi atau tindakan. Contoh penerapan deontologi adalah
seorang perawat yang yakin bahwa pasien harus diberitahu tentang apa
yang sebenarnya terjadi, walaupun kenyataan tersebut sangat menyakitkan.
Contoh lain misalnya seorang perawat menolak membantu pelaksanaan
abortus karena keyakinan agamanya yang melarang tindakan membunuh.
Penerapan teori ini perawat tidak menggunakan pertimbangan, misalnya
seperti tindakan abortus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu, karena
setiap tindakan yang mengakhiri hidup (dalam hal ini calon bayi) merupakan
tindakan yang secara moral buruk. Prinsip etika keperawatan meliputi
kemurahan hati (beneficence). Inti dari prinsip kemurahan hati adalah
tanggung jawab untuk melakukan kebaikan yang menguntungkan pasien dan
menghindari perbuatan yang merugikan atau membahayakan pasien.
3. Keadilan (justice)
Prinsip keadilan ini menyatakan bahwa mereka yang sederajat harus
diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak sederajat harus diperlakukan
tidak sederajat sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini berarti bahwa
kebutuhan kesehatan dari mereka yang sederajat harus menerima sumber
pelayanan kesehatan dalam jumlah sebanding. Ketika seseorang mempunyai
kebutuhan kesehatan yang besar, maka menurut prinsip ini ia harus
mendapatkan sumber kesehatan yang besar pula. Keadilan berbicara
tentang kejujuran dan pendistribusian barang dan jasa secara merata. Fokus
hukum adalah perlindungan masyarakat, sedangkan fokus hukum kesehatan
adalah perlindungan konsumen.
4. Otonomi
Prinsip otonomi menyatakan bahwa setiap individu mempunyai
kebebasan menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang
mereka pilih. Permasalaan yang muncul dari penerapan prinsip ini adalah
adanya variasi kemampuan otonomi pasien yang dipengaruhi oleh banyak
hal, seperti tingkat kesadaran, usia, penyakit, lingkungan rumah sakit,
ekonomi, tersedianya informasi dll.
5. Kejujuran (veracity)
Prinsip kejujuran menyatakan hal yang sebenarnya dan tidak bohong.
Kejujuran harus dimiliki perawat saat berhubungan dengan pasien. Kejujuran
merupakan dasar terbinanya hubungan saling percaya antara perawat dan
pasien. Perawat sering kali tidak memberitahukan kejadian sebenarnya
kepada pasien yang sakit parah. Kejujuran berarti perawat tidak boleh
membocorkan informasi yang diperoleh dari pasien dalam kapasitasnya
sebagai seorang profesional tanpa persetujuan pasien. Kecuali jika pasien
merupakan korban atau subjek dari tindak kejahatan, maka perbuatan
tersebut dapat diajukan ke depan pengadilan dimana perawat menjadi
seorang saksi.
6. Ketaatan (fidelity)
Prinsip ketaatan merupakan tanggung jawab untuk tetap setia pada suatu
kesepakatan. Tanggung jawab dalam konteks hubungan perawat-pasien
meliputi tanggung jawab menjaga janji, mempertahankan konfidensi dan
memberikan perhatian/kepedulian. Peduli pada pasien merupakan salah satu
aspek dari prinsip ketaatan. Peduli kepada pasien merupakan komponen
paling penting dari praktik keperawatan, terutama pada pasien dalam kondisi
terminal.

D. Prinsip – Prinsip Etik Keperawatan


Prinsip bahwa etika adalah menghargai hak dan martabat manusia, tidak akan
pernah berubah. Prinsip ini juga diterapkan baik dalam bidang pendidikan maupun
pekerjaan. Juga dalam hak-haknya memperoleh pelayanan kesehatan. Ketika
mengambil keputusan klinis, perawat seringkali mengandalkan pertimbangan mereka
dengan menggunakan kedua konsekuensi dan prinsip dan kewajiban moral yang
universal. Hal yang paling fundamental dari prinsip ini adalah penghargaan atas
sesama. Empat prinsip dasar lainnya bermula dari prinsip dasar ini yang menghargai
otonomi kedermawanan maleficience dan keadilan.

Macam-macam Prinsip etika keperawatan

Prinsip-prinsip etika keperawatan tentang Moral Right:

1. Advokasi
Advokasi adalah memberikan saran dalam upaya melindungi dan
mendukung hak – hak pasien. Hal tersebut merupakan suatu kewajiban moral bagi
perawat dalam mempraktekan keperawatan professional. Contoh: seorang perawat
memberikan informasi kepada pasien tentang hak dan kewajiban yang di miliki oleh
pasien, sehingga pasien bisa terhindar dari praktek tidak sah dan pelanggaran etika.
2. Responsibilitas (tanggung jawab)
Eksekusi terhadap tugas – tugas yang berhubungan dengan peran tertentu
dari perawat. Misalnya pada saat memberikan obat, perawat bertanggung jawab
untuk mengkaji kebutuhan klien dengan memberikannya dengan aman dan benar.
Contoh: saat memberikan obat, perawat bertanggungjawab untuk mengkaji
kebutuhan klien dengan memberikan dengan aman dan benar juga mengevaluasi
respon klien terhadap pasien tersebut
3. Loyalitas
Suatu konsep yang melewati simpati, peduli, dan hubungan timbal balik
terhadap pihak yang secara profesional berhubungan dengan perawat. Contoh:
seorang perawat harus bisa menepati janjinya baik kepada klien maupun rekan
seprofesi.
4. Akuntabilitas (Tanggung guggat)
Akuntabilitas dapat menjawab segala hal yang berubungan dengan tindakan
seseorang. Contoh: seorang perawat A diberikan tugas untuk memberikan obat
berbentuk cair kepada seorang pasien, obat tersebut diberikan dengan cara di
teteskan, tetapi ia memberikannya dengan cara di suntikan sehingga pasien
mengalami kelumpuhan maka perawat tersebut harus berani bertanggungjawab
dan menerima sangsi.

Hak (Right)

Berprilaku sesuai dengan perjanjian hukum, peraturan-peraturan dan


moralitas, berhubungan dengan hukum legal. (Webster’s, 1998). Contoh: Klien
berhak untuk mengetahui informasi tentang penyakit dan segala sesuatu yang perlu
diketahuinya

Hak-hak perawat, menurut Claire dan Fagin (1975), bahwa perawat berhak:

1. Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan


profesinya
2. Mengembangkan diri melalui kemampuan kompetensinya sesuai dengan latar
pendidikannya
3. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan serta standard an kode etik profesi
4. Mendapatkan informasi lengkap dari pasien atau keluaregannya tentang keluhan
kesehatan dan ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan
5. Mendapatkan ilmu pengetahuannya berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam bidang keperawatan/kesehatan secara terus menerus.
6. Diperlakukan secara adil dan jujur baik oleh institusi pelayanan maupun oleh pasien
7. Mendapatkan jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang dapat menimbulkan
bahaya baik secara fisik maupun emosional
8. Diikutsertakan dalam penyusunan dan penetapan kebijaksanaan pelayanan
kesehatan.
9. Privasi dan berhak menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh pasien dan
atau keluargannya serta tenaga kesehatan lainnya.
10. Menolak dipindahkan ke tempat tugas lain, baik melalui anjuran maupun
pengumuman tertulis karena diperlukan, untuk melakukan tindakan yang
bertentangan dengan standar profesi atau kode etik keperawatan atau aturan
perundang-undangan lainnya.
11. Mendapatkan penghargaan dan imbalan yang layak atas jasa profesi yang
diberikannya berdasarkan perjanjian atau ketentuan yang berlaku di institusi
pelayanan yang bersangkutan
12. Memperoleh kesempatan mengembangkan karier sesuai dengan bidang profesinya.

Tanggung jawab/kewajiban perawat

Disamping beberapa hak perawat yang telah diuraikan diatas, dalam


mencapai keseimbangan hak perawat maka perawat juga harus mempunyai
kewajibannya sebagai bentuk tanggung jawab kepada penerima praktek
keperawatan. (Claire dan Fagin, 1975l dalam Fundamental of nursing,Kozier 1991)

Kewajiban perawat, sebagai berikut:

1. Mematuhi semua peraturan institusi yang bersangkutan


2. Memberikan pelayanan atau asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi
dan batas kemanfaatannya
3. Menghormati hak pasien
4. Merujuk pasien kepada perawat atau tenaga kesehatan lain yang mempunyai
keahlihan atau kemampuan yang lebih kompeten, bila yang bersangkutan tidak
dapat mengatasinya.
5. Memberikan kesempatan kepada pasien untuk berhubungan dengan keluarganya,
selama tidak bertentangan dengan peraturan atau standar profesi yang ada.
6. Memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadahnya sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing selama tidak mengganggu
pasien yang lainnya.
7. Berkolaborasi dengan tenaga medis (dokter) atau tenaga kesehatan lainnya dalam
memberikan pelayanan kesehatan dan keperawatan kepada pasien
8. Memberikan informasi yang akurat tentang tindakan keperawatan yang diberikan
kepada pasien dan atau keluargannya sesuai dengan batas kemampuaannya
9. Mendokumentasikan asuhan keperawatan secara akurat dan berkesinambungan
10. Mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dn tehnologi keperawatan atau
kesehatan secara terus menerus
11. Melakukan pelayanan darurat sebagai tugas kemanusiaan sesuai dengan batas
kewenangannya
12. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, kesuali jika
dimintai keterangan oleh pihak yang berwenang.
13. Memenuhi hal-hal yang telah disepakati atau perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya terhadap institusi tempat bekerja.

Hak-hak pasien

Disamping beberapa hak dan kewajiban perawat, perawat juga harus


mengenal hak-hak pasien sebagai obyek dalam praktek keperawatan. Sebagai
hak dasar sebagai manusia maka penerima asuhan keperawatan juga harus
dilindungi hak-haknya, sesuai perkembangan dan tuntutan dalam praktek
keperawatan saat ini pasien juga lebih meminta untuk menentukan sendiri dan
mengontrol tubuh mereka sendiri bila sakit; persetujuan, kerahasiaan, dan hak
pasien untuk menolak pengobatan merupakan aspek dari penentuan diri sendiri.
Hal-hal inilah yang perlu dihargai dan diperhatikan oleh profesi keperawat dalam
menjalankan kewajibannya.

Oleh karena itu sebagai perawat professional harus menganal hak-hak


pasien, menurut Annas dan Healy, 1974, hak-hak pasien adalah sebagai berikut:

1. Hak untuk kebenaran secara menyeluruh


2. Hak untuk mendapatkan privasi dan martabat yang mandiri
3. Hak untuk memelihara penentuan diri dalam berpartisipasi dalam keputusan
sehubungan dengan kesehatan seseorang.
4. Hak untuk memperoleh catatan medis, baik selama maupun sesudah dirawat di
Rumah Sakit.

Sedangkan pernyataan hak pasien (Patient’s Bill of Right) yang diterbitkan oleh
“The American Hospital Association” 1973, meliputi beberapa hal, yang dimaksudkan
memberikan upaya peningkatan hak pasien yang dirawat dan dapat menjelaskan
kepada pasien sebelum pasien dirawat.

Adapun hak-hak pasien, adalah sebagai beriku, pasien mempunyai hak:

1. Mempertahankan dan mempertimbangkan serta mendapatkan asuhan


keperawatan dengan penuh perhatian
2. Memperoleh informasi terbaru, lengkap mengenai diagnosa, pengobatan dan
program rehabilitasi dari tim medis, dan informasi seharusnya dibuat untuk orang
yang tepat mewakili pasien, karena pasien mempunyai hak untuk mengetahui dari
yang bertanggung jawab dan mengkoordinir asuhan keperawatannya.
3. Menerima informasi penting untuk memberikan persetujuan sebelum memulai
sesuatu prosedur atau pengobatan kecuali dalam keadaan darurat, mencakup
beberapa hal penting, yaitu; lamanya ketidakmampuan, alternatif-alternatif
tindakan lain dan siapa yang akan melakukan tindakan
4. Menolak pengobatan sejauh yang diijinkan hukum dan diinformasikan tentang
kosekwensi dari tindakan tersebut.
5. Setiap melakukan tindakan selalu mempertimbangkan privasinya termasuk asuhan
keperawatan, pengobatan, diskusi kasus, pemeriksaan dan tindakan, dan selalu
dijaga kerahasiaannya dan dilakukan dengan hati-hati, siapapun yang tidak terlibat
langsung asuhan keperawatan dan pengobatan pasien harus mendapatkan ijin
dari pasien.
6. Mengharapkan bahwa semua komunikasi dan catatan mengenai asuhan
keperawatan dan pengobatannya harus diperlakukan secara rahasia.
7. Pasien mempunyai hak untuk mengerti bila diperlukan rujukan ke tempat lain yang
lebih lengkap dan memperoleh informasi yang lengkap tentang alasan rujukan
tersebut, dan Rumah Sakit yang ditunjuk dapat menerimannya.
8. Memperoleh informasi tentang hubungan Rumah Sakit dengan instansi lainnya,
seperti pendidikan dan atau instansi terkait lainnya sehubungan dengan asuhan
yang diterimannya, Contoh: hubungan individu yang merawatnya, nama perawat
dan sebaginnya.
9. Diberikan penasehat/pendamping apabila Rumah Sakit mengajukan untuk terlibat
atau berperan dalam eksperimen manusiawi yang mempengaruhi asuhan atau
pengobatannya. Pasien mempunyai hak untuk menolak berpartisipasi dalam
proyek riset/penelitian tersebut.
10. Mengharapkan asuhan berkelanjutan yang dapat diterima. Pasien mempunyai hak
untuk mengetahui lebih jauh waktu perjanjian dengan dokter yang ada. Pasien
mempunyai hak untuk mengharapkan Rumah Sakit menyediakan mekanisme
sehingga ia mendapat informasi dari dokter atau staff yang didelegasikan oleh
dokter tentang kesehatan pasien selanjutnya.
11. Mengetahui peraturan dan ketentuan Rumah Sakit yang harus diikutinya sebagai
pasien
12. Mengetahui peraturan dan ketentuan Rumah Sakit yang harus diikutinya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Etika merupakan kata yang berasal dari Yunani, yaitu Ethos, yang menurut
Araskar dan David (1978) berarti kebiasaan atau model prilaku, atau standar yang
diharapkan dan kriteria tertentu untuk sesuatu tindakan, dapat diartikan segala sesuatu
yang berhubungan dengan pertimbangan pembuatan keputusan, benar atau tidaknya
suatu perbuatan.

Prinsip bahwa etika adalah menghargai hak dan martabat manusia, tidak akan
pernah berubah. Prinsip ini juga diterapkan baik dalam bidang pendidikan maupun
pekerjaan. Juga dalam hak-haknya memperoleh pelayanan kesehatan. Ketika
mengambil keputusan klinis, perawat seringkali mengandalkan pertimbangan mereka
dengan menggunakan kedua konsekuensi dan prinsip dan kewajiban moral yang
universal. Hal yang paling fundamental dari prinsip ini adalah penghargaan atas
sesama. Empat prinsip dasar lainnya bermula dari prinsip dasar ini yang menghargai
otonomi kedermawanan maleficience dan keadilan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumijatun.2011.Membudayakan Etika dalam Praktik Keperawatan.Jakarta:Salemba


Medika
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang RI Nomor 36 tentang Kesehatan Tahun 2009 dijelaskan
bahwa Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan
ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggung jawabkan kemanfaatan dan keamanannya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik perawat, bahwa
perawat dapat melakukan praktik pada fasilita pelayanan kesehatan yang untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam
peraturan ini registrasi dan legislasi tenaga keperawatan mulai dilakukan. STR atau
Surat Tanda Registrasi adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah
kepada tenaga perawat yang telah memiliki sertifikat kompetensi. Dengan adanya
Peraturan Menteri Kesehatan ini setidak-tidaknya merupakan peluang bagi perawat
untuk melakukan praktik keperawatan sesuai dengan standar untuk dapat menerapkan
ilmu keperawatan yang telah didapatkannya

B. Tujuan
1. Untuk memahami arti dari credentialing
2. Untuk memahami arti credential dalam keperawatan.
3. Untuk mengetahui regristrasi dalam credential.
4. Untuk memahami sertifikasi dalam credential.
5. Untuk memahami akreditasi dalam credential.
6. Izin & Penyelenggaraan Praktik Perawat Di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Credentialing
Credentialing adalah review dari kualifikasi individu atau organisasi. Jadi,
kredensial dapat diartikan sebagai bukti tertulis dari organisasi profesi dalam upaya
mempertahankan standar praktik dan akuntabilitas anggotanya. Credentialing
merupakan suatu bentuk keberhasilan seseorang untuk memperoleh nilai dari suatu
badan kredensial. Credentialing merupakan keseragaman proses yang telah disetujui
oleh semua anggota. Hal ini berarti badan tersebut dapat menerapkan standar yang
sama pada setiap aplikasi kredensial. Menurut Kozier Erb (2004), credentialing
merupakan salah satu cara profesi keperawatan mempertahankan standar
praktik dan akuntabilitas persiapan pendidikan anggotanya. Definisi lain menurut
(Guido, 2006) adalah suatu bukti pengakuan yang biasanya dalam bentuk tertulis yang
menyatakan bahwa individu atau organisasi mempunyai standar praktek yang spesifik.

B. Credensial

Dalam Keperawatan Kozier Erb (2004) menjelaskan bahwa credentialing merupakan


salah satu cara profesi keperawatan mempertahankan standar praktik dan
akuntabilitas persiapan pendidikan anggotanya. Kredensial merupakan proses
untuk menentukan dan mempertahankan kompetensi keperawatan. Proses
kredensial merupakan salah satu cara profesi keperawatan mempertahankan standar
praktik dan akuntabilitas persiapan pendidikan anggotanya. Kredensial meliputi
pemberian izin praktik (lisensi), registrasi (pendaftaran), pemberian sertifikat (sertifikasi)
dan akreditasi. Di lingkungan Oxford dan United Health Care, kredensial diberikan
dengan beberapakriteria, antara lain:
1. Secara umum mempunyai izin sah dari pemerintah
2. Secara umum mempunyai DEA atau sejenisnya
3. Lulus Pendidikan Keperawatan dan mempunyi sertifikat keperawatan;
4. Mempunyai izin dari instansi rumah sakit;
5. Mempunyai asuransi malpraktik
6. Mempunyai persetujuan kolaboratif dengan tenaga spesialis lainnya
7. Mempunyai protokoler praktik
8. Mempunyi pengalaman

Dari hal diatas, dapat disimpulkan bahwa kredensial itu diperlukan untuk
menjamin kualitas standar pelayanan praktik seseorang sehingga baik praktisi
atau komsumen mempunyai jaminan yang secara legal dapat dipertanggung jawabkan
oleh instansi atau organisasi.

C. Registrasi

Regristasi merupakan pencantuman nama seseorang dan informasi lain pada


badan resmi baik milik pemerintah maupun non pemerintah. Perawat yang telah
terdaftar diizinkan memakai sebutan registered nurse. Untuk dapat terdaftar, perawat
harus telah menyelesaikan pendidikan keperawatan dan lulus ujian dari badan
pendaftaran dengan nilai yang diterima. Izin praktik maupun registrasi harus
diperbaharui setiap satu atau dua tahun. Dalam masa transisi professional
keperawatan di Indonesia, sistem pemberian izin praktik dan registrasi sudah saatnya
segera diwujudkan untuk semua perawat baik bagi lulusan SPK, akademi, sarjana
keperawatan maupun program master keperawatan dengan lingkup praktik sesuai
dengan kompetensi masing-masing

D. Sertifikasi

Sertifikasi merupakan proses pengabsahan bahwa seorang perawat telah


memenuhi standar minimal kompetensi praktik pada area spesialisasi tertentu seperti
kesehatan ibu dan anak, pediatrik, kesehatan mental, gerontology dan kesehatan
sekolah. Sertifikasi telah diterapkan di Amerika Serikat. Di Indonesia sertifikasi belum
diatur, namun demikian tidak menutup kemungkinan dimasa mendatang hal ini
dilaksanakan.

E. Akreditasi
Akreditasi merupakan suatu proses pengukuran dan pemberian status
akreditasi kepada institusi, program atau pelayanan yang dilakukan oleh
organisasi atau badan pemerintah tertentu.

F. Izin & Penyelenggaraan Praktik Perawat Di Indonesia

Bagi setiap profesi atau pekerjaan untuk mendapatkan hak izin


praktik bagianggotanya, biasanya harus memenuhi tiga kriteria:

1. Ada kebutuhan untuk melindungi keamanan atau kesejahteraan masyarakat.

2. Pekerjaan secara jelas merupakan area kerja yang tersendiri dan terpisah.

3. Ada suatu organisasi yang melaksanakan tanggung jawab proses pemberian izin.
(Kozier Erb, 1990).

.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Credentialing adalah review dari kualifikasi individu atau organisasi. Jadi,


kredensial dapat diartikan sebagai bukti tertulis dari organisasi profesi dalam upaya
mempertahankan standar praktik dan akuntabilitas anggotanya. Credentialing
merupakan suatu bentuk keberhasilan seseorang untuk memperoleh nilai dari suatu
badan kredensial. Credentialing merupakan keseragaman proses yang telah disetujui
oleh semua anggota. Hal ini berarti badan tersebut dapat menerapkan standar yang
sama pada setiap aplikasi kredensial. Menurut Kozier Erb (2004),
DAFTAR PUSTAKA

1. https://dokumen.tips/dokumens/credential-dalam-keperawatan/html
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MenKes/SK/IX/2004


tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yang dimaksud dengan apotek
adalah suatu tempat tertentu dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan
farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang RI
No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud dengan perbekalan kesehatan
adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan. Sediaan farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat tradisional
dan kosmetik (8).

Dalam mendirikan apotek, apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek (SIA) yaitu
surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada apoteker atau
apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek untuk mendirikan apotek di
suatu tempat tertentu. Wewenang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Dinkes Kabupaten/Kota). Kepala
Dinkes Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin,
pencairan izin dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri Kesehatan
dan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. Selanjutnya, Kepala Dinas
Kesehatan wajib melaporkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek

B. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian undang-undang kesehatan
2. Untuk memahami landasan hukum apotek
3. Untuk memahami persyaratan apotek
4. Untuk memahami fungsi dan tujuan apotek
5. Untuk memahami permohonan izin apotek
6. Untuk memahami pencabutan apotek
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan


Kefarmasian, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker. Pekerjaan
kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian juga
meliputi dalam pengadaan sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau
penyaluran sediaan farmasi, dan pelayanan dalam sediaan farmasi (7).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MenKes/SK/IX/2004


tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yang dimaksud dengan apotek
adalah suatu tempat tertentu dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan
farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang RI
No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud dengan perbekalan kesehatan
adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan. Sediaan farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat tradisional
dan kosmetik (8).

B. Landasan Hukum Apotek

Apotek merupakan satu diantara sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang


diatur dalam:

a. Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

b. Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

c. Undang-undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

d. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga
Kefarmasian.
f. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti Apoteker, yang
disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan
No.184/MENKES/PER/II/1995.

g. Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP No.26


Tahun 1965 mengenai Apotek.

h. Peraturan Menteri Kesehatan No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan


dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

i. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/


SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek.

j. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek.

C. Persyaratan Apotek

Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apoteker (SIA).
Surat Izin Apoteker (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia kepada Apoteker atau Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana
apotek untuk menyelenggarakan pelayanan apotek disuatu tempat tertentu. Menurut
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002,
disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan apotek adalah:

a. Untuk mendapat izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan
pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat,
perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang lain yang
merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.

b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan
komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.

c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain diluar sediaan
farmasi (9).
Persyaratan lain yang harus diperhatikan untuk mendirikan suatu apotek, antara
lain:

a. Tenaga Kerja/Personalia Apotek

Menurut Permenkes No. 889 tahun 2011, Tenaga Kefarmasian


adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi
yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpat jabatan
Apoteker. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu
Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.1332/MENKES/SK/X/2002, personil apotek terdiri dari:

1) Apoteker Pengelola Apotek (APA), yaitu Apoteker yang telah memiliki


Surat Izin Apotek (SIA).

2) Apoteker Pendamping adalah Apoteker yang bekerja di Apotek di


samping APA dan atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari
buka Apotek.

3) Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan APA selama


APA tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus-
menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak bertindak sebagai
APA di Apotek lain.

4) Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-


undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian
sebagai Asisten Apoteker.

Sedangkan tenaga lainnya yang diperlukan untuk mendukung


kegiatan di apotek terdiri dari:

1) Juru resep adalah petugas yang membantu pekerjaan Asisten Apoteker.


2) Kasir adalah orang yang bertugas menerima uang, mencatat penerimaan
dan pengeluaran uang.

3) Pegawai tata usaha adalah petugas yang melaksanakan administrasi


apotek dan membuat laporan pembeian, penjualan, penyimpanan dan
keuangan apotek

b. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA)

Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan


kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian
bekerja. Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

1) SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian;

2) SIPA bagi Apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian;

3) SIK bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas


produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran (7).

Untuk memperoleh SIPA sesuai dengan PP RI No. 51 tahun 2009


tentang Pekerjaan Kefarmasian, seorang Apoteker harus memiliki Surat
Tanda Registrasi Apoteker (STRA). STRA ini dapat diperoleh jika seorang
apoteker memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Memiliki Ijazah Apoteker.

2) Memiliki sertifikat kompentensi apoteker.

3) Surat pernyataan telah mengucapkan sumpah dan janji apoteker.

4) Surat sehat fisik dan mental dari dokter yang mempunyai surat izin
praktek.

5) Surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan etika profesi.

c. Lokasi

Menurut PerMenKes RI No. 922/MenKes/PER/X/1993, lokasi apotek


tidak lagi ditentukan harus memiliki jarak minimal dari apotek lain dan sarana
apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan
komoditi lainnya di luar sediaan farmasi, namun sebaiknya harus
mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan, jumlah
penduduk, jumlah dokter, sarana pelayanan kesehatan, lingkungan yang
higienis, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat banyak dengan
kendaraan dan faktor-faktor lainnya (10).

d. Bangunan dan kelengkapannya

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.922/Menkes/Per/X/1993, luas apotek tidak diatur lagi, namun harus
memenuhi persyaratan teknis, sehingga kelancaran pelaksanaan tugas dan
fungsi serta kegiatan pemeliharaan perbekalan farmasi dapat terjamin (10).
Persyaratan teknis apotek adalah bangunan apotek setidaknya terdiri dari:

1) Ruang tunggu pasien.

2) Ruang peracikan dan penyerahan obat.

3) Ruang administrasi.

4) Ruang penyimpanan obat.

5) Ruang tempat pencucian alat.

6) Kamar kecil (WC).

Selain itu bangunan apotek harus dilengkapi dengan:

1) Sumber air yang memenuhi persyaratan kesehatan.

2) Penerangan yang cukup sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas


dan fungsi apotek.

3) Alat pemadam kebakaran minimal dua buah yang masih berfungsi


dengan baik.

4) Ventilasi dan sistem sanitasi yang memenuhi persyaratan hygienelainnya.

5) Papan nama apotek, yang memuat nama apotek, nama APA, nomor
Surat Izin Apotek (SIA), alamat apotek dan nomor telpon apotek (bila
ada). Papan nama apotek dibuat dengan ukuran minimal panjang 60 cm,
lebar 40 cm dengan tulisan hitam diatas dasar putih dengan tinggi huruf
minimal 5 cm dan tebal 5 cm.

e. Perlengkapan apotek

Perlengkapan yang wajib dimiliki oleh apotek adalah:

1) Alat pembuatan, pengelolaan, peracikan obat, seperti: timbangan,


mortir, gelas piala dan sebagainya.

2) Wadah untuk bahan pengemas dan bahan pembungkus, seperti:


etiket, wadah pengemas dan pembungkus untuk penyerahan obat.

3) Perlengkapan dan tempat penyimpanan perbekalan farmasi seperti


lemari dan rak untuk penyimpanan obat, lemari pendingin, lemari untuk
penyimpanan narkotika dan psikotropika.

4) Alat administrasi seperti blanko pemesanan obat, kartu stok obat,


faktur, nota penjualan, salinan resep, alat tulis dan sebagainya.

5) Pustaka, seperti Farmakope edisi terbaru dan kumpulan peraturan


perundang-undangan serta buku-buku penunjang lain yang
berhubungan dengan apotek.

D. Tugas dan Fungsi Apotek

Berdasarkan PP RI No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan


Pemerintah No. 26 tahun 1965 tentang Apotek, tugas dan fungsi apotekadalah:

1. Sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan


sumpah jabatan.
2. Sebagai sarana farmasi tempat dilakukannya kegiatan peracikan, pengubahan
bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat.
3. Sebagai sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat
yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
4. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya
kepada tenaga kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan
pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan mutu obat (11).

E. Permohonan Perizinan Apotek


Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib
memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Surat izin sebagaimana
dimaksud berupa:

1. SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian.

2. SIPA bagi apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian.

3. SIK bagi apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas produksi


atau fasilitas distribusi/penyaluran, atau

4. SIKTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pekerjaan


kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.

SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian atau


SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas kefarmasian. Apoteker penanggung
jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian berupa puskesmas dapat menjadi apoteker
pendamping di luar jam kerja. SIPA bagi Apoteker pendamping dapat diberikan paling
banyak 3 (tiga) tempat fasilitas pelayanan kefarmasian. SIKTTK dapat diberikan untuk
paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas kefarmasian. SIPA, SIK, atau SITTK dapat
dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan
kefarmasian dilakukan. SIPA, SIK, atau SIKTTK masih tetap berlaku sepanjang
STRA/STRTTK masih berlaku dan tempat praktek/bekerja masih sesuai dengan yang
tercantum dalam SIPA, SIK, atau SIKTTK (10).

Dalam mendirikan apotek, apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek (SIA) yaitu
surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada apoteker atau
apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek untuk mendirikan apotek di
suatu tempat tertentu. Wewenang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Dinkes Kabupaten/Kota). Kepala
Dinkes Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin,
pencairan izin dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri Kesehatan
dan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. Selanjutnya, Kepala Dinas
Kesehatan wajib melaporkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek adalah:

1. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota.

2. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari


kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada
Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan (Balai POM) untuk melakukan
pemeriksaan terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan.

3. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-


lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat.

4. Dalam hal pemeriksaaan tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat membuat


surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi.

5. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan
pemeriksaan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan
SIA.

6. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala
Balai POM masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan
Surat Penundaan.

7. Dalam Surat Penundaan, Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi


persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu
bulan sejak tanggal Surat Penundaan.

8. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan


Apoteker Pengelola Apotek dan atau persyaratan apotek, atau lokasi apotek
tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya dua belas
hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasan-
alasannya.
Bila Apoteker menggunakan sarana milik pihak lain, yaitu mengadakan kerja
sama dengan Pemilik Sarana Apotek, maka harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:

1. Pengguna sarana yang dimaksud, wajib didasarkan atas perjanjian kerja


sama antara apoteker dan pemilik sarana.

2. Pemilik sarana yang dimaksud, harus memenuhi persyaratan tidak


pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam Surat Pernyataan yang
bersangkutan.

F. Pencabutan Izin Apotek

Setiap apotek harus berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan


yang berlaku. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1332/Menkes/SK/X/2002, Kepala Dinas Kesehatan dapat mencabut surat izin apotek
apabila:

1. Apoteker yang sudah tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan


sebagai apoteker pengelola apotek.

2. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam menyediakan, menyimpan


dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan terjamin
keabsahannya serta tidak memenuhi kewajiban dalam memusnahkan
perbekalan farmasi yang tidak dapat digunakan lagi atau dilarang
digunakan dan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan
obat paten.

3. Apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2


tahun secara terus-menerus.

4. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan


mengenai narkotika, obat keras, psikotropika serta ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.

5. Surat izin kerja apoteker pengelola apotek dicabut.


6. Pemilik sarana apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-
undangan dibidang obat.

7. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai apotek.

Pelaksanaan pencabutan izin apotek dapat dilaksanakan setelah


dikeluarkannya:

1. Peringatan tertulis kepada apoteker pengelola apotek sebanyak 3 kali


berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 bulan.

2. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan


sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan di apotek.

Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila apotek telah


membuktikan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Hal ini dilakukan setelah Kepala Balai POM setempat
melakukan pemeriksaan.

Keputusan pencabutan surat izin apotek dilakukan oleh Kepala Dinas


Kesehatan/Kota disampaikan langsung kepada apoteker pengelola apotek
dengan tembusan kepada Menteri dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
setempat serta Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Apabila
surat izin apotek dicabut, apoteker pengelola apotek atau apoteker pengganti
wajib mengamankan perbekalan farmasinya. Pengamanan tersebut dilakukan
dengan tata cara sebgai berikut:

1. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat


keras tertentu dan obat lainnya dan seluruh resep yang tersisa di apotek.

2. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang


tertutup dan terkunci.

Apoteker pengelola apotek wajib melaporkan kepada Kepala Dinas


Kesehatan Kabupaten/Kota atau petugas yang diberi wewenang tentang
penghentian kegiatan disertai laporan inventaris yang dimaksud di atas (5).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker. Pekerjaan
kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian juga
meliputi dalam pengadaan sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau
penyaluran sediaan farmasi, dan pelayanan dalam sediaan farmasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauzi, 2014, Semua Tentang Apotek, Jakarta


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang – undang praktik Keperawatan sudah lama menjadi bahan diskusi para
perawat. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada kongres Nasional kedua di
Surabaya tahun 1980 mulai merekomendasikan perlunya bahan-bahan perundang-
undangan untuk perlindungan hukum bagi tenaga keperawatan.
Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat
secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka
lakukan. Tumpang tindih antara tugas dokter dan perawat masih sering terjadi dan
beberapa perawat lulusan pendidikan tinggi merasa frustasi karena tidak adanya
kejelasan tentang peran, fungsi dan kewenangannya. Hal ini juga menyebabkan semua
perawat dianggap sama pengetahuan dan ketrampilannya, tanpa memperhatikan latar
belakang ilmiah yang mereka miliki
Tanggal 12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. Di Indonesia,
momentum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan
Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan. PPNI menganggap bahwa
keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat
terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat. Indonesia, Laos, Kamboja dan
Vietnam adalah empat Negara Association of South East Asian Nations (ASEAN) yang
belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi
tenaga perawat dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan kita tertinggal dari negara-
negara Asia, terutama lemahnya regulasi praktik keperawatan, yang berdampak pada
sulitnya menembus globalisasi. Perawat kita sulit memasuki dan mendapat pengakuan
dari negara lain, sementara mereka akan mudah masuk ke negara kita.

B. Tujuan

1. Mengetahui masalah-masalah RUU praktik keperawatan.

2. Mengetahui definisi dan tujuan praktik keperawatan

3. Mengetahui pentingnya Undang-undang Praktik Keperawatan terkait dengan profesi

4. Meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya


pelayanan keperawatan

5. Mengetahui isi Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik
keperawatan

6. Mengetahui tugas pokok dan fungsi Keperawatan dalam RUU Keperawatan


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan


Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan
ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit
yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan
system klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai
lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk
praktik keperawatan individual dan berkelompok.
Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan
keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang
diberikan oleh perawat.
B. Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan

Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan


dibutuhkan.

Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam


peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan
kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok
desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum
diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek
hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional,
semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat
memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan,
lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak
(masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang
seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal,
keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002).

Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden


memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit
menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53,
menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga
kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.

Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan


khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya
pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang
menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma
sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan
sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan
pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu
sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum
kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan. Sebagai


profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners
harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta
memperhatikan kode etik dan moral profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan
asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia
keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan. Fenomene “gray area” pada berbagai
jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi kesehatan lainnya
masih sulit dihindari.

Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat
perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%),
melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%),
melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan
(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas
administrasi seperti bendahara, dll (63,6%).

Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit
dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam
sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini
membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan
wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi
dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang
berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang
mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah
sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan
pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan
tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan
secara professional.

Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU


Keperawatan semakin tinggi. Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya
UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat
selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional
Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan
pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan
dalam memajukan profesi Keperawatan.

Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai


memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi
dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU
Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi (UU
Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan
bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP
No.32, 1996). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan
pada tahun 2004.

Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh
dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR
(Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU
Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan pun
tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan
250-an pada program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang ada pada tahun 2007 berada
pada urutan 160 (PPNI, 2008).

Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak


diperlukan. Hal ini terkait status DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat,
sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang
terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan
pentingnya UU Keperawatan pun masuk dalam agenda DPR RI.

Dalam UU Tentang praktik Keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi:

“Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik


keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana
dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah Keperawatan
berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan”.

Dan pasal 2 berbunyi:


“Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan
pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan
perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan Keperawatan”.

C. PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan

Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia, PPNI lebih mendorong disahkannya


Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena:

Pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok


pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan
masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan
diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik;
bertanggungjawab dan bertanggun gugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih
profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan
masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan
dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu,
keluarga, kelompok dan komunitas.

Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan


yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang formal dan terstandar
menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya.
Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila
perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem
registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-
undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak
kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang
Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui
uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik
keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan
untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat
bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang
diperlukan untuk bekerja sesuai standar.

Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat


kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari
pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan
perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan
pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga
memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat
pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang
teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi
yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat,
profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi
profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan
kesesuaian interprofesional (WHO, 2002).

Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap
Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut
20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada
sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan
tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan
kita. Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global.
Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan.

Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan,


serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat,
menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme
registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi
yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan). Konsil akan
bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil
Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.

Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse
(RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia.
Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya
merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat
Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan
perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan.
Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh PPNI. Usaha yang
telah dilakukan PPNI adalah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen
Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU Praktik Keperawatan menjadi Undang-
Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi
RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat.

D. Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik


keperawatan:

UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan, Bab II (Tugas Pemerintah),


pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum,
wewenang dan kesanggupan hukum.

UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, UU ini merupakan penjabaran dari
UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan
sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat
termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan
rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah
pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga
pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan
pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena
hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan
bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan
dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis
tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi
yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung
pada tenaga kesehatan lainnya.

UU Kesehatan No. 14 tahun 1964 tentang Wajib Kerja Paramedis, Pada pasal 2,
ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib
menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.

Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga


kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri
sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya. UU ini
untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat
pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut
sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya
bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan
bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu
bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek
profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab
terhadap pelayanannya sendiri.

SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979, membedakan paramedis menjadi dua


golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non
keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan
tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.

Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980, Pemerintah membuat suatu


pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan bidan. Bidan seperti
halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan
secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati
orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini
boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara
lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat
harus menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit
dan mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak
dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila
memang secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari
pelayanan kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.

SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal


4 November 1986 tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit
point, dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya
atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK
ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah: Penyenang Kesehatan, yang sudah
mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III
Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena
dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya.

UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, merupakan UU yang banyak memberi


kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena
dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan, maupun
perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan. Beberapa
pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan
UU Praktik Keperawatan adalah: Pertama Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga
kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan
bidang keahlian dan kewenangannya. Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan
mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah,
Pasal 53 ayat 4 juga menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi
tenaga kesehatan.

E. Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan dalam RUU Keperawatan

Fungsi Keperawatan

Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang


menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan.

Tugas Keperawatan:

1. Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan,


2. Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk
melindungi masyarakat.
3. Wewenang
4. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan,
5. Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi
keperawatan dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan
6. Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat
7. Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat
8. Menetapkan penyelenggaraan program pendidikan keperawatan
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat


kesehatan. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan
keperawatan semakin meningkat. Tanggal 12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan
Sedunia. Di Indonesia, memontum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai
pihak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan. Persatuan
Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menganggap bahwa keberadaan Undang-Undang
akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap pelayanan
keperawatan dan profesi perawat.

Indonesia, Laos dan Vietnam adalah tiga Negara ASEAN yang belum memiliki
Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi tenaga
perawat dalam jumlah besar. Perawat Indonesia dinilai belum bisa bersaing ditingkat
global. Undang Undang Praktik Keperawatan, terlalu terlambat untuk disahkan, apalagi
untuk dipertanyakan. Sementara negara negara ASEAN seperti Philippines, Thailand,
Singapore, Malaysia, sudah memiliki Undang- Undang Praktik Keperawatan (Nursing
Practice Acts) sejak puluhan tahun yang lalu.
Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat
secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka
lakukan. Konsil keperawatan bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa
yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas
pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi
(mekanisme pendisiplinan). RUU Praktik Perawat, selain mengatur kualifikasi dan
kompetensi serta pengakuan profesi perawat, kesejahteraan perawat, juga diharapkan
dapat lebih menjamin perlindungan kepada pemberi dan penerima layanan kesehatan di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

1. https://kiesnanti.blogspot.co.id/2015/12/makalah-implementasi-pelayanan-praktik.html
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keperawatan merupakan salah satu profesi yang mempunyai bidang garap pada
kesejahteraan manusia namun masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui apa
saja yang harus dilakukan seorang perawat dalam memenuhi kebutuhan pasiennya.

Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat merupakan


tantangan bagi profesi keperawatan dalam mengembangkan profesionalisme dalam
memberikan asuhan keperawatan yang berkalitas. Untuk itu perawat memerlukan
landasan komitmen yang tinggi untuk meningkatkan potensi kerja seorang perawat.

Oleh karena itu, dibentuklah kode etik keperawatan yang menjadi acuan dasar
perawat dalam menjalankan profesinya. Dalam menghadapi pasien, seorang perawat
harus mempunyai etika, karena yang dihadapi perawat adalah juga manusia. Perawat
harus memperlakukan pasien atau klien secara bermartabat.
Dengan etika yang baik diharapkan seorang perawat bisa menjalin hubungan
yang lebih akrab dengan pasien. Dengan hubungan yang baik ini, maka akan terjalin
sikap saling menghormati dan menghargai diantara keduanya.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari kode etik keperawatan

2. Untuk mengetahui tujuan kode etik keperawatan

3. Untuk mengetahui kontens dari kode etik keperawatan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kode Etik Keperawatan


Kode etik merupakan salah satu ciri/persyaratan profesi yang memberikan arti
penting dalam penentuan, mempertahankan dan meningkatkan standar profesi. Kode
etik menunjukkan bahwa tanggung jawab dan kepercayaan pada masyarakat telah
diterima oleh profesi (Kelly,1987). Apabila seorang anggota melanggar kode etik profesi,
organisasi profesi dapat memberi sanksi atau mengeluarkan anggota tersebut. Adapun
secara umum tujuan kode etik keperawatan (Kozier, Erb, 1990) adalah:
1. Sebagai aturan dasar terhadap hubungan antara perawat, klien, tenaga
kesehatan, masyarakat, dan profesi.
2. Sebagai standar untuk mengeluarkan perawat yang tidak mentaati peraturan
dan untuk melindungi perawat yang menjadi pihak tertuduh secara tidak adil.
3. Sebagai dasar pengembangan kurikulum pendidikan keperawatan dan untuk
mengorientasikan lulusan baru pendidikan keperawatan dalam memasuki
jajaran praktik keperawatan profesional.
4. Membantu masyarakat dalam memahami perilaku keperawatan profesional.
Untuk dapat mengambil keputusan dan tidakan yang tepat terhadap masalah
yang menyangkut etika, perawat harus banyak berlatih mencoba menganalisis masalah
etis yang dapat diperoleh dari berbagai buku, jurnal, artikel, atau kaset video.
B. Tujuan Kode Etik
1. Tujuan dari kode etik keperawatan menurut Nasional for Nursing
Tujuan dari kode etik keperawatan pada dasarnya adalah upaya agar
para perawat dalam menjalankan tugas dan fungsinya dapat menghargai dan
menghormati martabat manusia. Secara umum tujuan etika keperawatan yaitu
menciptakan dan mempertahankan kepercayaan antara perawat dan lien,
perawat dan perawat juga antara perawat dan masyarakat.
Sedangkan tujuan etika keperawatan menurut “Nasional for Nursing
(NLN)” (pusat pendidikan tenaga keperawatan milik perhimpunan perawat
Amerika adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan pengertian peserta didik tentang hubungan antar profesi
kesehatan lain dan mengerti akan pesan dan fungsi anggota tim
kesehatan tersebut.
b. Menggembangkan potensi pengambilan keputusan yang bersifat
moralitas yaitu keputusan tentang baik dan buruk yang dipertanggung
jawabkan kepada Tuhan sesuai dengan kepercayaannya.
c. Mengembangkan sikap personal atau pribadi dan sikap professional.
d. Menggembangkan pengetahuan dan keterampilan yang penting untuk
dasar praktek keperawatan profesional.
e. Memberikan kesempatan untuk menerapakan ilmu dan prinsip etika
keperawatan dalam praktek dan situasi yang nyata.
2. Adapun Tujuan etika keperawata menurut Biro Ethics Commission on
Teaching Amerika yaitu:
a. Mengenal dan mendefinisikan unsur-unsur moral dalam praktek
keperawatan
b. Membentuk strategi atau cara-cara dan menganalisa masalah-masalah
moral yang terjadi dlaam praktek keperawatan.
c. Menghubungkan prisip-prinsip moral atau pelajaran yang baik dapat
dipertanggung jawabkan kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat dan
kepada Tuhan sesuai denga kepercayaannya.
3. Fungsi Etika Keperawatan Menurut Pandangan Hypocrates
a. Menurut pandangan Hypocrates, fungsi kode etik adalah:
b. Menghindari ketegangan antar manusia
c. Memperbaiki status kepribadian
d. Menopang pertumbuhan dan perkembangan kehidupan.
e. Beranjak dari pandangan Hypocrates tersebut, kode etik merupakan
hal yang penting dalam sistem pelayanan kesehatan serta dlam
pelayanan praktik keperawatan.
C. Kontens Kode Etik Keperawatan
Kode etik keperawatan Indonesia telah disusun oleh Dewan Pimpinan Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia, melalui Munas PPNI di Jakarta pada tanggal 29
November 1989. Kode etik tersebut terdiri atas lima bab dan 16 pasal, dimana:
1. Bab Satu
Menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga
dan masyarakat yang terdiri atas 4 pasal.
a. Tanggung jawab Perawat, terhadap Masyarakat, keluarga dan penderita
b. Perawat dalam rangka pengabdianynya senantiasa berpedoman kepada
tanggung jawab yang pangkal tolaknya bersumber dari adanya kebutuhan
akan perawat untuk individu, keluarga dan masyarakat.
c. Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya di bidang keperawatan
senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nila
budaya, adat istiadat, dan kelangsungan hidup beragama dari orang
seorang, keluarga dan masyarakat.
d. Perawat dalam melaksanakan kewajibannya bagi orang seorang, keluarga
dan masyarakat senantiasa dilandasi dengan rasa tulus ihlas sesuai
dengan martabat dan tradisi luhur perawatan.
e. Perawat senantiasa menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan
orang seorang, keluarga dan masyarakat dalam mengambil prakarsa dan
mengadakan upaya kesejahteraan umum sebagai bagian dari tugas,
kewajiban bagi kepentingan masyrarakat.
2. Bab 2
Menjelaskan tengtang tanggung jawab perawat terhadap tugasnya yang
terdiri atas lima pasal.
a. Tanggung jawab perawat terhadap tugas
b. Perawat senantiasa merawat mutu pelayanan yang tinggi disertai kejujuran
profesional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan perawat
sesuai dengan kebutuhan orang seoaranng atau penderita, keluarga dan
masyarakat.
c. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
sehubungan yang dipercayakan kepaanya.
d. Perawat tidak akan mempergunakan pengetahuan dan keterampilan
perawatan untuk tujuan yang bertentangan dengan norma-norma
kemanusiaan.
e. Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya senantiasa berusaha
dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan
kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur jenis kelamin, aliran politik yang
dianut serta kedudukan sosial.
f. Perawat senantiasa mengupayakan perlindungan dan keselamatan
penderita dalam melaksanakan tugas keperawatan serta dengan matang
mempertimbangkan kemampuan menerima atau mengalihtugaskan
tanggung jawab yang ada hubungannnya dengan perawatan.
3. Bab 3
Menjelaskan tanggung jawab terhadap sesama perawat dan profesi
kesehatan lainnya yang terdiri dari 2 pasal.
a. Tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan
lainnya
b. Perawat senantiasa memelihara hubungan yang baik antar sesama
perawat dan dengan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara
keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalm mencapai tujuan
pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
c. Perawat senantiasa menyebarluaskan pengetahuan keterampilan dan
pengalamannya kepada sesama perawat serta menerima pengetahuan
dan pengalaman dari profesi lain bidang perawatan.
4. Bab 4
Menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap profesi
keperawatan yang terdiri dari empat pasal.
a. Tanggung jawab perawat terhadap profesi keperawatan
b. Perawat selalu berusaha meningkatkan kemampuan profesional secara
sendiri-sendiri dan atau bersama-sama dengan jalan menambah ilmu
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang bermanfaat bagi
perkembangan perawatan.
c. Perawat selalu menunjang tinggi nama baik profesi perawat dengan
menunjukan perilaku dan sifat-sifat pribadi yang luhur.
d. Perawat senantiasa berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan
dan pelayanan keperawatan serta menerapkan dlam kegiatan-kegiatan
pelayanan dan pendidikan perawatan.
e. Perawat secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi
profesi perawatan sebagai sarana pengabdian.
5. Bab 5
Menjelaskan tanggung jawab perawat terhadap pemerintah, bangsa, dan
tanah air yang terdiri dari dua pasal.
a. Tanggung jawab perawat terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air
b. Perawat senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai
kebijaksanaan yang digariskan oleh pemerintah dalam bidang kesehatan
dan perawatan.
c. Perawat senantiasa berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran
kepada pemerintah dalam menigkatkan pelayanan kesehatan dan
perawatan kepada masyarakat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jadi Kode etik keperawatan merupakan bagian dari etika kesehatan, yaitu
menerapkan nilai etika terhadap bidang pemeliharaan atau pelayanan kesehatan
masyarakat. Kode etik keperawatan Indonesia telah disusun oleh Dewan Pimpinan
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia, melalui Munas PPNI di Jakarta pada
tanggal 29 November 1989. Kode etik tersebut terdiri atas limat bab dan 16 pasal.
Secara umum tujuan etika keperawatan yaitu menciptakan dan mempertahankan
kepercayaan antara perawat dan lien, perawat dan perawat juga antara perawat dan
masyarakat. Menyampaikan perhatian dan rasa hormat kepada klien, bila perawat
terpaksa menunda pelayanan maka perawat bersedia memberikan penjelasan dengan
ramah terhadap kliennya. Menunjukan kepada klien sikap menghargai, berbicara
kepada klien yang berorientasi terhadap perasaan klien.
Sedangkan tanggung jawab seorang perawat adalah suatu tindakan yang
dilakukan seorang perawat yang dapat dipertanggung jawabkan. Tanggung jawab itu
langsung atau tidak langsung. Tanggung jawab bersifat langsung apabila si pelaku
sendiri bertanggung jawab atas perbuatannya. Biasanya akan terjadi demikian tapi
kadang-kadang orang bertanggung jawab secara tidak langsung.
Tanggung gugat adalah dapat menjawab segala hal yang berhubungan dengan
tindakan seseorang. Agar dapat bertanggung gugat perawat harus bertindak
berdasarkan kode etik profesinya. Perawat hendaknya memiliki tanggung gugat artinya
bila ada pihak yang menggugat ia menyatakan siap dan berani menghadapinya.
Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan profesinya. Perawat harus mampu
untuk menjelaskan kegiatan atau tindakan yang dilakukannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nila, I. (2001). Etika Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.


2. Nisya Rifiani, H. S. (2013). Prinsip-Prinsip Dasar Keperawatan. Jakarta Timur: Dunia
Cerdas.
3. http://radencoddooth.blogspot.com/2011/05/kode-etik-keperawatan.html
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan teknologi yang semakin pesat membuat akses informasi yang beredar
seolah tak terbendung. Masyarakat semakin cerdas dalam menentukan pilihan, yang
salah satunya adalah pilihan dalam urusan kesehatan. Dengan akses informasi yang tak
terbatas inilah, masyarakat semakin diperdalam pengetahuannya dalam bidang
kesehatan, terutama mengenai hak hak yang wajib mereka dapat dan bahkan mengenai
penyakit yang mereka derita.

Seorang dokter yang baik tentu harus memperhatikan hal tersebut, agar bisa
mengimbangi pasien yang datang untuk berobat padanya. Penerapan kaidah bioetik
merupakan sebuah keharusan bagi seorang dokter yang berkecimpung didalam dunia
medis, karena kaidah bioetik adalah sebuah panduan dasar dan standar, tentang
bagaimana seorang dokter harus bersikap atau bertindak terhadap suatu persoalan atau
kasus yang dihadapi oleh pasiennya.

Kaidah bioetik harus dipegang tegush oleh seorang dokter dalam proses
pengobatan pasien, sampai pada tahap pasien tersebut tidak mempunyai ikatan lagi
dengan dokter yang bersangkutan.

B. Tujuan

1. Untuk memahami tentang pengertian bioetik.

2. Untuk memahami tentang pendekatan bioetuik.

3. Untuk memahami tentang isu bioetik dalam keperawatan.

4. Untuk memahami tentang masalah bioetik.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Bioetik
Bioetik adalah etika yang menyangkut kehidupan dalam lingkungan tertentu atau
etika yang berkaitan dengan pendekatan terhadap asuhan kesehatan. Dalam
pelaksanaanya, etika keperawatan mengacu pada bioetik yang terdiri dari tiga
pendekatan, yaitu: pendekatan teleologik, pendekatan deontologik, dan pendekatan
intuitionism.
B. Pendekatan Bioetik
1. Pendekatan teleologik
Pendekatan teleontologikadalah suatu doktrin yang menjelaskan fenomena dan
akibatnya, di mana seseorang yang melakukan pendekatan terhadap etika
dihadapkan pada konsekuensi dan keutusan-keputusan etis. Secara singkat,
pendekatan tersebut mengemukakakn tentang hal—hal yang berkaitan dengan the
end justifies the means (pada akhirnya, membenarkan secara hokum tindakan atau
keputusan yang diambil untuk kepentingan medis).
Penggunaan istilah teleology dan intuitionism kadang-kadang dipertukarkan
walaupun keduanya dianggap sebagai bagian dari teleology dan mempunyai
pemikiran yang sama tentathe end justifies the mean and thegreatest good for the
greatest number (keputusan moral yang dibuat berdasarkan konsekuensi tindakan
dan bukan kebenaran tidakan). Pada umumnya, pelaksanaan riset medis
mendukung dilakukannya pendekatan ini dalam menghadapi masalah-masalah
medis.

Contoh:

a. Dalam situasi dan kondisi dimana seseorang pasien harus segera dioperasi,
sedangkan tidak ada ahli bedah yang berpengalaman dalam bidang tersebut,
dokter ahli bedah yang belum berpengalaman sekalipun tetap dibenarkan untuk
melakukan tindakan pembedahan sesuai dengan pengetahuan yang dimiikinya.
Hal ini dilakukan demi keselamatan pasien.
b. Seorang perawat yang harus menghadapi kasus kebidanan karena tidak ada
bidan dan jarak untuk merujuk terlalu jauh, dapat memberikan pertolongan
sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya demi
keselamatan pasien.
2. Pendekatan Deontologik
Pendekatan deontologik merupakan suatu teori atau studi tenntang kewajiban
moral. Simplifikasi dari pendekatan deontologik adalah moralitas dari suatu
keputusan etis yang sepenuhnya terpisah dari konsekuensinya.
Contoh :
Seseorang perawat yang berkeyakinn bahwa menyampaikan suatu kebenaran
merupakan hal yang snagat penting dan tetap harus fisampaikna, tanpa peduli
apkah hal tersebut mengakibatkan orang lain tersinggung atau bahkan syok.
Perbedaan darii kedua pendekatan diatas dapat dilihat pada penerapannya
dalam kasus-kasus etis, misalnya pada kasus aborsi sepperti dibawah ini.
a. Seseorang yang menggambarkan pendekatan teleologik, terhadap isu etis
aborsi, mungkin mempertimbangkan bahwa tujuan menyelamatkan
kehidupan ibu merupakan hal yang dibenarkan untuk dilakukannya aborsi.
b. Seseorang yang meggunakan pendekatan deontologik, terhadap aborsi,
mungkin akan mempertimbangkan bahwa secara moral terminasi kehidupan
merupakan hal yang buruk untuk dilakukan. Oleh karena itu, orang tersebut
tidak akan mencelakakan janin yang ada dalam kandungann tanpa
mempertimbangkan konsekunsinya bagi si ibu. Pendekatan tersebut dapat
dilakukan tanpa menentukan keputusan.
3. Pendekatan Intiutionism
Pendekatan ini menyatakan pandangan atau sifat manusia dalam mengetahui
hal yang benar dan salah. Hal tersebut terlepas dari pemikiran rasional atau
irasional nya suatu keadaan.
Contoh:
Seorang perawat sudah tentu mengetahui bahwa menyakiti pasien merupakan
tindakan yang tidak benar. Hal tersebut tidak perlu diajarkan lagi kepada perawat
karena sudah mangacu pada etikadari seorang perawat yang diyakini dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk dilakuakan.
C. Isu Bioetik dalam Keperawatan
Isu bioetik melibatkan perawat dalam pelaksanaan praktik keperawatan dan
berhubungan dengan profesi lain. Hal ini muncul hamper di semua bidang praktik
keperawatan.

Nilai-nilai Pribadi dan Praktik Profesional

Adanya perkembangan dan [erubahan yang terjadi pada ruang lingkup praktik
keperawatan dan bidang teknologi medis akan mengakubtkan terjadinya peningkatan
konflik antara nilai-nilai pribadi yang dimiliki perawat dengan pelaksanaan praktik
keperawatan yang dilakukannya setiap hari.
Selain itu, pihak atasan membutuhkan bantuan dari perawat untuk melaksanakan tugas
pelayanan tertentu; di lain pihak, perawat mempunyai hak untuk menerima atau menolak
tugas tersebut sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka.
Contoh :
1. Bantuan perWawat sangat dibutuhkan untuk melakukan aborsi terapeutik pada
pasien, padahal perawat tersebut berkeyakinan bahwa aborsi itu adalah tindakan
yang berdosa. Pada kasus ini perawat tersebut berhak untuk menolak tugas itu
karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai pribadinya dan ia dapat mengalihkan
tugas tersebut pada perawat lain yang mempunyai pandangan berbeda.
2. Pada keadaan dimanapasien tidak lagi responsive terhadap lingkungan, seseorang
perawat akan berupaya semaksimal mungkin untuk memperpanjang kehidupan
pasien dengan menggunakan alat-alat, seperti alat pacu jantung, ventilator, atau
mmeberikan tranfui darah walaupun menurut nilai-nilai pribadinya hal tersebut sulit
untuk berhasil dilakukan. Tetapi, bagaimanapun juga sebagai seseorang perawat ia
harus berupaya semaksimal mungkin untuk menyelamatan kehidupan pasien,
sedangkan perihal berhasil atau tidaknyaa upaya tersebut adalah suatu kenyatan
yang berada di luar kemampuan manusia.

D. Masalah dalam Bioetik

Berikut penggambaran masalah terkini di mana masalah etika sering muncul

1. Kualitas Hidup

Kualitas hidup akan mewakili kedalaman pribadi seseorang. Dalam


pelayanan kesehatan, peneliti mencoba membuat ukuran kualitas hidup untuk
menjelaskan secara ilmiah nilai dan keuntungan dari intervensi medis terkini.
Suatu ukuran kualitas hidup membantu klien dan keluarga dalam memutuskan
keuntungan yang didapat dari inyervensi berisiko terkini, seperti transplantasi
organ atau manajemen obat-obatan eksperimental. Pertanyaan mengenai
kualitas hidup berfokus pada diskusi seperti tentang eplayanan yang sia-sia,
terapi kanker, bunuh diri dengan bantuan dokter, dan diskusi DNR.

2. Skrining Genetik

Pemeriksaan genetic mempersiapkan klien dalam kondisi yang masih


belum jelas, tetapi merupakan kepastian yang akan terjadi pada masa depan.
Sebagai contoh, gen yang menunjukkan adanya penyakit Huntington, sekarang
dapat terdeteksi. Penyakit Huntington merupakan penyakit saraf degenerative
yang diturunkan dan masih belum ada obatnya. Penyakit ini mempengaruhi
fungsi kognitif dan emosional, begitu juga dengan fungsi fisik. Gejala tidak
terlihat sampai decade kehidupan ke-3 dan ke-4. Jika orang tua dan kakek
nenek memiliki penyakit tersebut, maka anak-anak mempunyai resika menderita
penyakit tersebut.

3. Perawatan yang sia-sia


Sia-sia (futile) merujuk pada sesuatu yang “tidak bermanfaat, tidak
mempunyai harapan, pelayanan yang tidak mempunyai tujuan yang berguna”
(Merriam Webster,2006). Dalam diskusi pelayanan kesehatan, istilah ini merujk
kepada intervensi yang tidak menghasilkan manfaat bagi klien. Istilah ini bersifat
licin. Meskipun demikian, pendapat tentang nilai atau kegunaan hasil dapat
berbeda. Sebagai contoh, seorang klien minta Mastektomi sebelum ada gejala
penyakit payudara, karena ketakutan riwayat keluarga, dan berfikir bahwa hal
tersebut akan mencegah penderitaan nantinya. Berdasarkan pengetahuan
tentang faktor risiko, dokter menolak intervensi tersebut. Menurut pendapat
dokter, intervensi tersebut sia-sia karena lebih banyak kerugian daripada
manfaatnya. Klien tidak setuju. Pada situasi lain, dokter ingin klien untuk
menjalani transplantasi hati karena penyakit hati stadium akhir. Keberhasilan
pengobatan ini masih belum jelas, tetapi tanpa transplantasi bisa terjadi
kematian. Klien berpendapat, bahwa transplantasi tidak berguna karena tidak
menghasilkan manfaat yang sepadan. Kesepakatan yang terbaik merupakan hal
yang sulit.

4. Alokasi Kelangkaan Sumber Daya: Akses ke Pelayanan

Jumlah individu yang tidak memiliki asuransi di Amerika bertambah. Dari


39 juta orang tahun 2000 menjadi 45,5 juta pada tahun 2004. Sebagian besar
adalah anak-anak dan wanita. Amerika telah mencoba berbagai strategi untuk
mengatasi masalah tersebut melalui pelayanan terpadu, subsidi negara untuk
asuransi, dan mewajibkan asuransi kesehatan bagi pegawainya. Semua ini
mewakili usaha untuk mengatasi kesulitan akses ke pelayanan. Namun, jumlah
tersebut terus bertambah (Henry J. Kaiser Familly Foundation, 2005).

5. Alokasi Kelangkaan Sumber Daya: Kekurangan Keluarga Perawat

Masalah professional tentang dukungan dan penelantaran klien


berkompetisi dengan masalah etik tentang kebaikan, tidak mencederai, dan
keadilan. Partisipasi dalam solusi politik memegang peranan penting dalam
negosiasi masalah personal.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Jadi Bioetik adalah etika yang menyangkut kehidupan dalam lingkungan tertentu
atau etika yang berkaitan dengan pendekatan terhadap asuhan kesehatan. Dalam
pelaksanaanya, etika keperawatan mengacu pada bioetik yang terdiri dari tiga
pendekatan, yaitu: pendekatan teleologik, pendekatan deontologik, dan pendekatan
intuitionism.

Kaidah bioetik harus dipegang tegush oleh seorang dokter dalam proses
pengobatan pasien, sampai pada tahap pasien tersebut tidak mempunyai ikatan lagi
dengan dokter yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Potter, P.A,,. Perry, A.N.2014.Fundamental of Nursing.7th Edition.Mosby:Elseiver Inc


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keputusan adalah pilihan yang dibuat dari dua atau lebih pilihan. Pengambilan
keputusan biasanya terjadi atas adanya masalah atau pun suatu pilahan tentang
kesempatan. Dalam suatu organisasi diperlukan suatu kebijakan dalam pengambilan
keputusan yang baik dalam menentukan strategi, sehingga menimbulkan pemikiran
tentang cara-cara baru untuk melanjutkannya.

Proses pengambilan keputusan adalah bagaimana perilaku dan pola komunikasi


manusia sebagai individu dan sebagai anggota kelompok dalam struktur organisasi.
Tidak ada pembahasan kontemporer pengambilan keputusan akan lengkap tanpa
dimasukkannya etika. Mengapa? Karena pertimbangan etis seharusnya merupakan
suatu kriteria yang penting dalam pengambilan keputusan.

B. Tujuan Penulisan

1. Untuk memahami tentang pengertian dari etika dan pengambilan

2. Untuk memahami tentang pengertian dari etika

3. Untuk memahami tentang pengambilan keputusan

4. Untuk memahami tentang pengaruh etika dalam pengambilan keputusan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Etika dan Pengambilan Keputusan

Seorang pemimpin dalam mengambil keputusan dihadapkan pada dilema etika


dan moral. Keputusan yang diambil pemimpin tentunya akan menghasilkan dampak
bagi orang lain. Idealnya, seorang pemimpin mempunyai integritas yang menjunjung
tinggi nilai moral dan etika. Sehingga, keputusan yang diambilnya adalah mengacu tidak
hanya pada kepentingannya sendiri, melainkan juga kepentingan orang banyak
termasuk lingkungannya.

B. Etika
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani yaiutu “ethos” yang berarti watak atau
kebiasaan. Dalam bahasa sehari-hari kita sering kita sering menyebutnya etiket yang
berarti cara bergaul atau berperilaku yang baik yang sering juga disebut sebagai sopan-
santun. Istilah etika banyak dikembangkan dalam organisasi sebagai norma-norma yang
mengatur dan mengukur perilaku professional seseorang.

Secara lengkap etika diartikan sebagai nilai-nilai normatif atau pola perilaku
seseorang atau badan/lembaga/organisasi sebagai suatu bentuk yang dapat diterima
umum dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan dalam konteks lain secara
luas dinyatakan bahwa etika adalah aplikasi dari proses dan teori filsafat moral terhadap
kenyataan yang sebenarnya.

Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-


pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena
pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah
diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia. Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan
sebagai etika. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku
manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut
baik dan buruk terhadap perbuatan manusia

Memilih tanggapan etika yang terbaik dan mengimplementasikannya. Pilihan


tersebut harus konsisten dengan tujuan budaya, dan sistem nilai perusahaan serta
keputusan individu. Oleh karena itu ada tiga tipe manajer dilihat dari sudut etikanya :

1. Manajemen Tidak Bermoral


Manajemen tidak bermoral didorong oleh kepentingan dirinya sendiri, demi
keuntungan sendiri atau perusahaan. Kekuatan yang menggerakan manajemen immoral
adalah kerakusan/ketamakan yaitu berupa prestasi organisasi atau keberhasilan
personal
2. Manajemen Amoral
Tujuan utamanya adalah laba, akan tetapi tindakannya berbeda dengan
manajemen immoral. Yang membedakannya yaitu mereka tidak dengan sengaja
melanggar hukum atau norma etika. Yang terjadi pada manajemen amoral adalah bebas
kendali dalam pengambilan keputusan, artinya mereka tidak mempertimbangkan etika
dalam mengambil keputusan.
3. Manajemen Bermoral
Bertujuan untuk meraih keberhasilan, tetapi menggunakan aspek legal dan
prinsip – prinsip etika. Filosofi manajer bermoral selalu melihat hukum sebagai standar
minimum untuk beretika dalam perilaku.

C. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai suatu hasil atau keluaran dari
proses mental atau kognitif yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan di
antara beberapa alternatif yang tersedia. Setiap proses pengambilan keputusan selalu
menghasilkan satu pilihan final. Keputusan dibuat untuk mencapai tujuan melalui
pelaksanaan atau tindakan. Ada baiknya sebelum anda mengambil keputusan mengacu
pada prinsip-prinsip berikut ini:
1. Autonomy
Isu ini berkaitan dengan apakah keputusan anda melakukan eksploitasi terhadap
orang lain dan mempengaruhi kebebasan mereka? Setiap keputusan yang anda ambil
tentunya akan mempengaruhi banyak orang. Oleh karena itu, anda perlu
mempertimbangkan faktor ini ke dalam setiap proses pengambilan keputusan anda.
2. Non-malfeasance
Apakah keputusan anda akan mencederai pihak lain? Di kepemerintahan, nyaris
setiap peraturan tentunya akan menguntungkan bagi satu pihak sementara itu
mencederai bagi pihak lain. Begitu pula halnya dengan keputusan bisnis pada
umumnya, dimana tentunya menguntungkan bagi beberapa pihak namun tidak bagi
pihak lain.
3. Beneficence
Apakah keputusan yang anda ambil benar-benar membawa manfaat? Manfaat
yang anda ambil melalui keputusan harus dapat menjadi solusi bagi masalah dan
merupakan solusi terbaik yang bisa diambil.
4. Justice
Proses pengambilan keputusan mempertimbangkan faktor keadilan dan
termasuk implementasinya. Di dunia ini memang sulit untuk menciptakan keadilan yang
sempurna, namun tentunya kita selalu berusaha untuk menciptakan keadilan yang ideal.
Dimana memperlakukan tiap orang dengan sejajar.
5. Fidelity
Fidelity berkaitan dengan kesesuaian keputusan dengan definisi peran yang kita
mainkan. Seringkali ini melibatkan ‘looking at the bigger picture’ atau melihat secara
keseluruhan dan memahami peran anda dengan baik.

D. Pengaruh Etika dalam Pengambilan Keputusan


Etika merupakan pertimbangan etis yang seharusnya suatu kriteria yang penting
dalam pengambilan keputusan organisasional. Ada lima kriteria dalam mengambil
keputusan yang etis, yaitu:

1. Utilitarian
Keputusan-keputusan yang diamabil semata-mata atas dasar hasil atau
konsekuensi mereka. Tujuannya adalah memberikan kebaikan yang terbesar untuk
jumlah yang terbesar. Pandangan ini cenderung mendominasi pengambilan keputusan
bisnis, seperti efisiensi, prokduktifitas dan laba yang tinggi.
2. Universalisme (duty)
Ini menekankan pada baik buruk nya perilaku tergantung pada niat (intention)
dari keputusan atau perilaku. Paham ini adalah kebalikan (contrast) dari utilitarianisme.
Berdasarkan prinsip Immanuel Kant (categorical imperative), paham ini mempunyai dua
prinsip. Pertama, seseorang seharusnya memilih suatu perbuatan. Kedua, orang - orang
lain harus diperlakukan sebagai akhir (tujuan), bukan sekedar alat untuk mencapai
tujuan.
3. Penekanan pada hak
Kriteria ini memberikan kesempatan kepada individu untuk mengambil keputusan
yang konsisten dengan kebebasandan keistimewaan mendasr seperti dikemukakan
dalam dokumen - dokumen (contoh Piagam Hak Asasi). Suatu tekanan pada hak dalam
pengambilan keputusan berarti menghormati dan melindungi hak dasar dari individu.
4. Penekanan pada keadilan
Ini mensyaratkan individu untuk menegakan dan memperkuat aturan - aturan
yang adil dan tidak berat sebelah sehingga ada pembagian manfaat dan biaya yang
pantas. Keadilan distributif, perilaku didasarkan pada satu nilai: keadilan.
5. Relativisme (self-interest)
Ini menekankan bahwa baik buruknya perilaku manusia didasarkan pada
kepentingan atau kebutuhan pribadi (self-interest and needs). Dengan demikian, setiap
individu akan mempunyai kriteria moral yang berbeda dengan individu lainnya, atau
akan terjadi perbedaan kriteria moral dari satu kultur ke kultur lainnya.

Langkah-langkah untuk mengambil keputusan yang beretika yaitu:

1. Mengidentifikasi fakta dan seluruh kelompok pemangku kepentingan serta


kepentingannya yang terpengaruh.
2. Merangking pemangku kepentingan dan kepentingannya, mengidentifikasi yang
terpenting dan memberikan bobot terhadapnya lebih dari isu yang lain dalam analisis.
3. Menilai dampak tindakan yang ditawarkan pada masing-masing kepentingan kelompok
pemangku kepentingan dengan memperhatikan keberadaan mereka, perlakuan adil,
dan hak lainnya, termasuk harapan kebajikan, menggunakan kerangka kerja pertanyaan
secara menyeluruh dan meyakinkan bahwa perangkap umum yang dibicarakan
kemudian tidak masuk dalam analisis.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Keputusan yang diambil pemimpin tentunya akan menghasilkan dampak bagi
orang lain. Idealnya, seorang pemimpin mempunyai integritas yang menjunjung tinggi
nilai moral dan etika. Sehingga, keputusan yang diambilnya adalah mengacu tidak
hanya pada kepentingannya sendiri, melainkan juga kepentingan orang banyak
termasuk lingkungannya. Ada lima kriteria dalam mengambil keputusan yang etis, yaitu
utilitarian, universalisme (duty), penekanan pada hak, penekanan pada keadilan, dan
relativisme (self-interest).
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Hj Syahribulan, M.Si, Dr. Hj. Hasniati, M.Si, Drs. Nurdin Nara, M.Si, Dr. Atta Irene
Allorante, M.Si, Dra. Hj. Khalawatiah, MA. 2013. Modul Mata Kuliah Etika Administrasi
Negara. Makassar. Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL Universitas Hasanuddin

2. Bulanbalun.
(2014)pengertianetikaetikaetimologiberasal.http://bulanbalun.co.id/2014/03/pengertianeti
ka-etika-etimologi-berasal.html, 09 Oktober 2015

3. Az17bersama.
(2013).etikapengambilankeputusan.http://az17bersama.co.id/2013/04/etika-
pengambilan-keputusan.html, 09 Oktober 2015

4. Darmawatimks.
(2012).pengambilankeputusan.http://darmawatimks.co.id/2012/01/pengambilan-
keputusan.html, 09 Oktober 2015

5. Juprilumbantoruan.
(2013).pendekatandalampengambilankeputusan.http://juprilumbantoruan.co.id/2013/10/
pendekatan-dalam-pengambilan-keputusan.html. 09 Oktober 2015

Anda mungkin juga menyukai