Disusun Oleh:
Olivia Puspita Handayani
NIM 17. 067
AKADEMI KEPERAWATAN
KESDAM IV/ DIPONEGORO
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Nilai
Nilai kepercayaan individu tentang kegunaan dari, ide, sikap, adat istiadat, atau
pobjek yang menentukan standar yang memengaruhi perilaku
(Maslow,1977;Rokaech,1973). Nilai-nilai yang dipegang seseorang mencerminkan
pengaruh budaya dan sosial, berbeda antar individu, serta terus berkembang dan
berubah dari waktu ke waktu. (potter&perry.2009.fundamental keperawatan1 edisi
7.jakarta, salemba medika)
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang
menanggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Woods
mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang
mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak
pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan yang dianut masyarakat. tak heran apabila antara masyarakat yang satu
dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat yang
tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul
pembaharuan-pembaharuan. Sementara apda masyarakat tradisional lebih cenderung
menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan
dan tradisi yang turun-temurun.
1. Nilai adalah sesuatu yang berharga, keyakinan yang dipegang sedemikian rupa oleh
seseorang sesuai denagn tututan hati nuraninya (pengertian secara umum)
2. Nilai adalah seperangkat keyakinan dan sikap-sikap pribadi seseorang tentang
kebenaran, keindahan, dan penghargaan dari suatu pemikiran, objek atau prilaku yang
berorientasi pada tindakan dan pemberian arah serta makna pada kehidupan seseorang
(simon,1973).
3. Nilai adalah keyakinan seseorang tentang sesuatu yang berharga, kebenaran atau
keinginan mengenai ide-ide, objek, atau prilaku khusus. (Znowski, 1974)
a. Nilai merupakan suatu ciri, yaitu sebagai berikut:
1) Nilai-nilai membentuk dasar prilaku seseorang
2) Nilai-nilai nyata dari seseorang diperlihatkan melalui pola prilaku yang konsisten.
3) Nilai-nilai menjadi kontrol internal bagi prilaku seseorang.
4) Nilai-nilai merupakan komponen intelektual dan emosional dari seseorang yang
secara intelektual diyakinkan tentang sutu nilai serta memegang teguh dan
mempertahan kannya.
Untuk praktik sebagai perawat profesional, diperlukan nilai-nilai yang sesuai dengan
kode etik profesi, antara lain dengan:
1) Menghargai martabat individu tanpa prasangka.
2) Melindungi seseorang dalam hal privasi
3) Bertanggung jawab untuk segala tindakannya
Seorang perawat yang menghargai hak privasi pasien akan menerapkan kepada
pasien, sebagai berikut:
1) Kejujuran 7) Altruisme
2) Care 8) Berbuat baik
3) Empati 9) Keadilan
4) Lemah Lembut 10) Jujur
5) Ketepatan setiap tindakan
6) Menghargai orang lain
c. Metode Mempelajari Nilai-Nilai
Menurut teori klasifikasai nilai-nilai, keyakinan atau sikap dapat menjadi suatu nilai
apabila keyakinan tersebut memenuhi tujuh kriteria sebagai berikut:
1) Menjunjung dan menghargai keyakkina dan rilaku seseorang
2) Menegaskan didepan umum, apabila cocok
3) Memilih dari berbagai alyernatif
4) Memilih setelah mempertimbangkan konsekuensinya
5) Memilih secara bebas
6) Bertindak
7) Bertindak denngan pola konsisten
d. Keyakinan
Ada beberapa pengertian tentang keyakinan, yaitu sebagi berikut:
1) Keyakinan adalah sesuatu yang diterima sebagai kebenaran melalui pertimbangan
dan kemungkinan, tidak berdasarkan kenyataan
2) Keyakinan merupakan pengorganisasian konsep kogniti, misalnya individu
memegang keyakinan yang dapat dibuktikan melalui kejadian yang dapat dipercaya
3) tradisi rakyat atau keluarga merupakan keyakinan yng berjalan dari satu generasi ke
generasi yang lain
e. Sikap
Sikap adalh suasana perasaan atau sifat, dimana prilaku yang ditujukan kepada
orang, objek, kondisi atau situasi, baik secaa tradisional maupun nulai atau keyakinan.
Sikap dapat diajarkan melalui cara:
1) Memberi contoh, teladan atau model peran
2) Setiap individu belajar dari seperangkat contoh melaui prilaku orang lain yang
diterimanya,
3) Membujuk atau meyakinkan
4) Membujuk atau meyakinkan seseorang mempunyi dasar kognitf. Hal ini tidak terkait
dengan aspek emosional dari prilaku seseorang.
5) Mengajarkan melalui budaya
6) Budaya dan agama mempengaruhi prilaku seseorang tanpa pilihan. Setiap individu
dapat menerima keyakinan tersebut
7) pilihan terbatas
8) Prilaku seseorang dikontrol dengan membatasi pilihan seseorang dengan tidak
mempunyai pilihan secara bebas
9) Menetapkan melalui peraturan-peraturan
a) Prilaku yang dipelajari biasanya dapat diterima secara sosial dan diterapkan
dalam situasi yang sama dengan waktu yang akan dating
b) Berprilaku dalam cara tertentu karena takut diberi sanksi, sehingga tidak
mempertimbangkan nilai benar atau salah
c) Menggunakan nilai untuk mengarahkan prilakunya, berarti dapat
membedakan baik dan buru, benar atau salah
f. Mempertimbangkan dengan hati nurani
Orang sering mempelajari seperangkat norma prilaku yang dianggap benar.
Kegagalan untuk Mengikuti norma (hati nurani) dapat mengakibatkan perasaan bersalah
B. Konsep Norma
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh
dilakukan dalam hidup sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan
disertai sanksi Sanksi adalah ancaman/akibat yang akan diterima apabila norma tidak
dilakukan (Widjaja, 1985: 168).
Norma adalah aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus mengenai
tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di
lingkungan kehidupan manusia. Norma juga merupakan aturan yang berlaku di
kehidupan bermasyarakat. Aturan yang bertujuan untuk mencapai kehidupan
masyarakat yang aman, tertib dan sentosa. Namun masih ada segelintir orang yang
masih melanggar norma-norma dalam masyarakat, itu dikarenakan beberapa faktor,
diantaranya adalah faktor pendidikan, ekonomi dan lain-lain. Dengan norma,
masyarakat memasukkan aturan atau kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur untuk
menilai sesuatu.
Walaupun nilai moral biasanya menumpang pada nilai- nilai lain, namun ia
tampak seperti sebuah nilai baru, bahkan sebagai nilai yang paling tinggi. Nilai moral
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
2) organisasi ekonomi
3) alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan
(keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
4) organisasi kekuatan (politik)
D. Konsep Agama
Agama merupakan system keyakinan dan praktik yang terorganisasi. Agama
memberi satu caraekspresi spiritual yang memberikan pedoman kepada penganutnya
dalam berespons terhadap pertanyaan dan tantangan hidup. Menurut Vardey (1995,
ham, xv) agama yang terorganisasi memberikan:
1. Rasa keterikatan komunitas dengan keyakinan yang sama
2. kajin bersama kitab suci (taurat, injil, alkitab, dll)
3. pelaksanaan ritual
4. penggunaan disiplin dan praktik, firman dan sakramen
5. menjaga jiwa seseorang (seperti berpuasa, berdoadan meditasi)
Banyak praktik dan ritual agama tradisional dikaitkan dengan kejadian hidup,
seperti kelahiran, peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, pernikahan,
penyakit, dan kematian. Pedoman pelaksanaan agama yang biasa dipengaruhi secara
bersama oleh budaya, dapat juga diterapkan pada kehidupan sehari-hari, seperti
pakaian, makanan, interaksi social, menstruasi, dan hubungan seksual.
Agnostic adalah orang yang meraguka keberadaan Tuhan atau yang Maha
Tinggi atau meyakini bahwa keberadaan Tuhan belum terbukti. Ateis adalah orang yang
tidak meyakini adanya Tuhan. Monoteisme adalah keyakinan akan keberdaan satu
Tuhan, sementara politeisme adalah keyakinan terhadap lebih dari satu Tuhan.
1. Kitab Suci
Setiap agama memiliki tulisan sakral dan kitab yang menjadi pedoman
keyakinan dan perilaku penganutnya; sselain itu, tulisan sakral sering kali
menyampaikan cerita instrutif mengenai para pemimpin agama, raja-raja dan
pahlawan. Pada sebagian besar agama, tulisan ini dianggap sebagai ucapan
Sang Khalik yang ditulis para Nabi atau Khalifah. Umat kristiani memiliki kitab
suci Injil, umat Yahudi memiliki kitab suci taurat dan tamud, dan umat muslim
memiliki kitab suci alquran, umat Hindu memiliki beberapa kitab suci, atau weda;
dan umat Budda mengimani ajaran yang ada di Tripitaka. Naskah tersebut secra
umum menetapkan hukum-hukum keagamaan dalam bentuk peringatan dan
peraturan untuk hidup (mis, 10 perintah Tuhan). Hukum keagamaan tersebut
dapat diinterpretasi dalam berbagai cara oleh sub kelompok penganut agama
dan dapat memengaruhi keinginan klien untuk menerima anjuran penanganan;
sebagai contoh transfusi darah dilarang pada ajaran saksi Jahovah.
Individu sering kali mendapat kekuatan dan harapan asetelah membaca
buku-buku keagamaan/ kitab suci saat mereka sakit atau saat mengalami krisis.
Contoh cerita keagamaan yang dapat memberikan kenyamanan bagi klien
adalah penderitaan Nabi, baik pada Kitab Suci Yahudi maupun Kristiani, dan
penyembuhan yang dilakukan Yesus pada orang-orang yang mengalami
penyakit fisik atau mental, dalam perjanjian baru.
2. Simbol sacral
Simbol sakral mencakup perhiasan, liontin, tasbih, lambang, patung, atau
ornamen tubuh (mis, tato) yang memiliki makna keagamaan atau spiritual.
Simbol tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan keyakinan seseorang,
untuk mengingatkan pemakainya akan keyakinannya, untuk memberikan
perlindungan spiritual, atau untuk menjadi sumber kenyamanan atau kekuatan,
individu dapat menggunakan liontin keagamaan sepanjang waktu, dan mereka
mungkin berharap untuk mengenakannyasaat menjalani studi diagnostik,
penanganan medis, atau pembedahan. Orang Katolik Romadapat memekai
Rosario untuk berdoa; umat muslim dapat membawa tasbih.
3. Doa dan Meditasi
Individu dapat memakai lambang atau patung keagan\maan di dalam
rumah, di mobil, atau di tempat kerja sebagai pengingat pribadi terhadap
keyakinan mereka atau sebagai bagian tempat personal untuk sembahyang dan
meditasi. Klien yang dirawat inap atau yang menjalani pengobatan di fasilitas
perawtan jangka panjang mungkin berharap untuk diperbolehkan membawa atau
memajang simbol spiritual berupa (Gill, 1987, hlm, 489). Beberapa orang
meragukan defebisi tersebut karena menurut defenisi tersebut, doa mewajibkan
orang yang berdoa memiliki keyakinan pada Tuhan atau entitas spiritual, padahal
tidak semua orang yang berdoa memilikinya. Sementara itu, beberapa orang
menganggap doa sebagai fenomena universal yang tidak mewajibkan keyakinan
tersebut.
Beberapa agama memiliki doa-doa resmi dicetak dalam buku doa, seperti
Book of Common Prayer di gereja Anglikan/ Episkopal dan Missal di geraja
katolik. Beberapa doa keagamaan dikaitkan dengan sumber keyakinan; sebagai
contoh, Doa Bapa Kami untuk umat Kristiani disampaikan kepada Yesus, dan
manusia paling mulia bagi umat muslim adalah Muhammad.
Beberapa agama mewajibkan ibadah setiap hari atau menetapkan waktu
spesifik untuk berdoa dah beribadah; salat lima waktu bagi umat muslim. Mereka
mungkin membutuhkan waktu tenang tanpa gangguan selama mereka membaca
buku doa mereka, menggunakan Rosario, tasbih, dan lambang keagamaan lain
yang tersedia bagi mereka.
Meditasi adalah kegiatan memfokuskan pikiaran seseorang atau terlibat
dalam refleksi diri. Beberapa orang meyakini bahwa melalui meditasi yang
mendalam, seseorang dapat memengaruhi atau mengontrol fungsi fisik dan
psikologis serta perjalanan penyakit.
E. Konsep Etika
Menurut Bartens K. (2000), etika berasal dari kata etos yang pada bentuk
tunggal berarti kebiasaan, adat istiadat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara
berfikir, sedangkan dalam jamak (ta etha) berarti adat kebiasaan, dengan kata lain etika
diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Etika juga diartikan sebagai suatu studi filosifi yang memeriksa nilai,
kegiatan, serta pilihan benar atau salah.
Potter and Perry (1997) menyatakan bahwa etika merupakan terminologi dengan
berbagai makna, etika, berhubungan dengan bagaimana seseorang harus bertindak dan
bagaimana mereka melakukan hubungan dengan orang lain. Etika tidak hanya
menggambarkan sesuatu, tetapi lebih kepada perhatian dengan penetapan norma dan
stadar kehidupan seseorang dan yang seharusnya dilakukan.
ETIKA KESEHATAN
Menurut Soeryono Soekamto (1986), etika kesehatan mencakup penilaian
terhadap gejala kesehatan baik yang disetujui maupun tidak di setujui. Sera mencakup
rekomendasi bagaimana bersikap atau bertindak secara pantas dalam bidang
kesehatan. Etika kesehatan mencakup ruang lingkup minimal seperti treatment pada
klien yang menjelang ajal, unsur yang diijinkan untuk mengakhiri penderitaan dan hidup
kiien dengan sengaja atas permintaan klien sendiri dan keluarganya, pembatasn
perilaku, percobaan manusiawi dan informed consent, permasalahan genetika,
kesuburan dan kelahiran, pemberian askep dan biayanya, pembatasan kelahiran dan
kependudukan, aborsi dan steriisasi, pendistribusian dari sumber daya yang
langka,transplantasi organ, hemodialysis, serta pengungkapan kebenaran dan
kerahasiaan dalam bidang kedokteran.
ETIKA KEPERAWATAN
Menurut Cooper (1991) dalam Potter dan Perry (1997), etika keperawatan
dikaitkan dalam hubungan antar masyarakat dengan karakter serta sikap perawat
terhadap orang lain. Pengetahuan keperawatan diperoleh melalui keterlibatan pribadi
dan p=emosional dengan orang lain serta ikut terlibat dalam masalah moral mereka.
Etika akan memandu perawat agar lebih peka terhadap hubungan yang tidak seimbang,
yang dapat mengacu pada penyalahgunaan kekuasaan seseorang pada orang lain baik
secara sengaja maupun tidak. Dalam praktik sehari-hari ditatanan pelayanan kesehatan,
klien dan keluarganya sering kali memiliki persepsi yang berbeda dengan tenaga
kesehatan sehingga tidak ada tirtik temu apabila tidak segera dijembatani. Perawat
sebagai ujung tombak dalam pelayanan akan sering mengalami hal tersebut, sehingga
perlu adanya pemahaman tentang kesenjangan yang biasanya disebabkan oleh
kurangnya informasi, regresi oleh rasa sakit dan ppenderitaan, serta lingkungan baru
yang dikenal.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam upaya mendorong profesi keperawatan agar dapat diterima dan dihargai
oleh pasien, masyarakat atau profesi lain, maka mereka harus memanfaatkan nilai-nilai
keperawatan dalam menerapkan etika dan moral disertai komitmen yang kuat dalam
mengemban peran profesionalnya. Dengan demikian perawat yang menerima tanggung
jawab, dapat melaksanakan asuhan keperawatan secara etis profesional. Sikap etis
profesional berarti bekerja sesuai dengan standar, melaksanakan advokasi, keadaan
tersebut akan dapat memberi jaminan bagi keselamatan pasen, penghormatan terhadap
hak-hak pasen, akan berdampak terhadap peningkatan kualitas asuhan keperawatan.
Dan setiap perawat harus mampu untuk memahami nilai moral agar dalam bertindak
tidak salah.
Nilai (Nilai Sosial) adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat.
Norma adalah seluruh kaidah dan peraturan yang diterapkan melalui lingkungan
sosialnya. norma sosial adalah sebuah ukuran atau patokan yang digunakan
masyarakat untuk mengukur nilai yang berlaku
Budaya adalah hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Kebudayaan merupakan keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta
keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
3. Arnold, Matthew. 1869. Culture and Anarchy. New York: Macmillan. Third edition, 1882,
available online. Retrieved: 2006-06-28.
4. Barzilai, Gad. 2003. Communities and Law: Politics and Cultures of Legal Identities.
University of Michigan Press.
5. Boritt, Gabor S. 1994. Lincoln and the Economics of the American Dream. University of
Illinois Press. ISBN 978-0-252-06445-6.
7. http://juandainginsukses.blogspot.com/2012/01/makalah-etika-dalam-keperawatan-
konsep.html
8. http://sangayuudara.wordpress.com/2011/04/05/nilai-dan-norma-dalam-keperawatan/
9. Kozeir, Erb, Berman, Snyder. 2004. Buku Ajar Fundamental Keperawtan, kpnsepn
proses dan praktik. EGC. Jakarta
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keperawatan merupakan salah satu profesi yang mempunyai bidang garap pada
kesejahteraan manusia yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat
maupun yang sakit untuk dapat menjalankan fungsi hidup sehari-harinya. Salah satu
yang mengatur hubungan antara perawat pasien adalah etika.
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat di gunakan sebagai acuan bagi
perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan tang baik dan buruk yang dilakukan
seseorang dan merupakan seuatu kewajiban dan tanggungjawab moral. (Mila Ismani,
2001)
B. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Prinsip Etika Keperawatan
Etika merupakan kata yang berasal dari Yunani, yaitu Ethos, yang menurut
Araskar dan David (1978) berarti kebiasaan atau model prilaku, atau standar yang
diharapkan dan kriteria tertentu untuk sesuatu tindakan, dapat diartikan segala sesuatu
yang berhubungan dengan pertimbangan pembuatan keputusan, benar atau tidaknya
suatu perbuatan. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Curret English, AS
Hornby mengartikan etika sebagai sistem dari prinsip-prinsip moral atau aturan-aturan
prilaku. Menurut definisi AARN (1996), etika berfokus pada yang seharusnya baik salah
atau benar, atau hal baik atau buruk. Sedangkan menurut Rowson, (1992). etik adalah
Segala sesuatu yang berhubungan/alasan tentang isu moral.
Moral adalah suatu kegiatan/perilaku yang mengarahkan manusia untuk memilih
tindakan baik dan buruk, dapat dikatakan etik merupakan kesadaran yang sistematis
terhadap prilaku yang dapat dipertanggung jawabkan (Degraf, 1988). Etika merupakan
bagian dari filosofi yang berhubungan dengan keputusan moral menyangkut manusia
(Spike lee, 1994). Menurut Webster’s “The discipline dealing with what is good and bad
and with moral duty and obligation, ethics offers conceptual tools to evaluate and guide
moral decision making.
Beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa etika merupakan
pengetahuan moral dan susila, falsafah hidup, kekuatan moral, sistem nilai,
kesepakatan, serta himpunan hal-hal yang diwajibkan, larangan untuk suatu
kelompok/masyarakat dan bukan merupakan hukum atau undang-undang. Dan hal ini
menegaskan bahwa moral merupakan bagian dari etik, dan etika merupakan ilmu
tentang moral sedangkan moral satu kesatuan nilai yang dipakai manusia sebagai dasar
prilakunnya. Maka etika keperawatan (nursing ethics) merupakan bentuk ekspresi
bagaimana perawat seharusnya mengatur diri sendiri, dan etika keperawatan diatur
dalam kode etik keperawatan.
B. Konsep Moral dalam Praktek Keperawatan
Praktek keperawatan menurut Henderson dalam bukunya tentang teori
keperawatan, yaitu segala sesuatu yang dilakukan perawat dalam mengatasi masalah
keperawatan dengan menggunakan metode ilmiah, bila membicarakan praktek
keperawatan tidak lepas dari fenomena keperawatan dan hubungan pasien dan
perawat.
Fenomena keperawatan merupakan penyimpangan/tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia (bio, psiko, social dan spiritual), mulai dari tingkat individu
untuk sampai pada tingkat masyarakat yang juga tercermin pada tingkat system organ
fungsional sampai subseluler (Henderson, 1978, lih, Ann Mariner, 2003). Asuhan
keperawatan merupakan bentuk dari praktek keperawatan, dimana asuhan keperawatan
merupakan proses atau rangkaian kegiatan praktek keperawatan yang diberikan pada
pasein dengan menggunakan proses keperawatan berpedoman pada standar
keperawatan, dilandasi etika dan etiket keperawatan (Kozier, 1991). Asuhan
keperawatan ditujukan untuk memandirikan pasien, (Orem, 1956,lih, Ann Mariner, 2003).
Keperawatan merupakan Bentuk asuhan keperawatan kepada individu, keluarga
dan masyarakat berdasarkan ilmu dan seni dan menpunyai hubungan perawat dan
pasien sebagai hubungan professional (Kozier, 1991). Hubungan professional yang
dimaksud adalah hubungan terapeutik antara perawat pasien yang dilandasi oleh rasa
percaya, empati, cinta, otonomi, dan didahulu adanya kontrak yang jelas dengan tujuan
membantu pasien dalam proses penyembuhan dari sakit(Kozier,1991).
C. Konsep Etik
Perawat harus mempunyai kemampuan yang baik untuk pasien maupun dirinya
didalam menghadapi masalah yang menyangkut etika. Seseorang harus berpikir secara
rasional, bukan emosional dalam membuat keputusan etis. Keputusan tersebut
membutuhkan ketrampilan berpikir secara sadar yang diperlukan untuk menyelamatkan
keputusan pasien dan memberikan asuhan.
Teori dasar/prinsip-prinsip etika merupakan penuntun untuk membuat keputusan
etis praktik profesional. Teori-teori etik digunakan dalam pembuatan keputusan bila
terjadi konflik antara prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Para ahli falsafah moral telah
mengemukakan beberapa teori etik, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan
menjadi teori teleologi dan deontologi.
1. Teleologi.
Teleologi berasal dari bahasa Yunani telos yang berarti akhir. Pendekatan
ini sering disebut dengan ungkapan the end fustifies the means atau makna
dari suatu tindakan ditentukan oleh hasil akhir yang terjadi. Teori ini
menekankan pada pencapaian hasil dengan kebaikan maksimal dan
ketidakbaikan sekecil mungkin bagi manusia. Contoh penerapan teori ini
misalnya bayi-bayi yang lahir cacat lebih baik diizinkan meninggal daripada
nantinya menjadi beban di masyarakat.
2. Deontologi
Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti tugas. Teori ini
berprinsip pada aksi atau tindakan. Contoh penerapan deontologi adalah
seorang perawat yang yakin bahwa pasien harus diberitahu tentang apa
yang sebenarnya terjadi, walaupun kenyataan tersebut sangat menyakitkan.
Contoh lain misalnya seorang perawat menolak membantu pelaksanaan
abortus karena keyakinan agamanya yang melarang tindakan membunuh.
Penerapan teori ini perawat tidak menggunakan pertimbangan, misalnya
seperti tindakan abortus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu, karena
setiap tindakan yang mengakhiri hidup (dalam hal ini calon bayi) merupakan
tindakan yang secara moral buruk. Prinsip etika keperawatan meliputi
kemurahan hati (beneficence). Inti dari prinsip kemurahan hati adalah
tanggung jawab untuk melakukan kebaikan yang menguntungkan pasien dan
menghindari perbuatan yang merugikan atau membahayakan pasien.
3. Keadilan (justice)
Prinsip keadilan ini menyatakan bahwa mereka yang sederajat harus
diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak sederajat harus diperlakukan
tidak sederajat sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini berarti bahwa
kebutuhan kesehatan dari mereka yang sederajat harus menerima sumber
pelayanan kesehatan dalam jumlah sebanding. Ketika seseorang mempunyai
kebutuhan kesehatan yang besar, maka menurut prinsip ini ia harus
mendapatkan sumber kesehatan yang besar pula. Keadilan berbicara
tentang kejujuran dan pendistribusian barang dan jasa secara merata. Fokus
hukum adalah perlindungan masyarakat, sedangkan fokus hukum kesehatan
adalah perlindungan konsumen.
4. Otonomi
Prinsip otonomi menyatakan bahwa setiap individu mempunyai
kebebasan menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang
mereka pilih. Permasalaan yang muncul dari penerapan prinsip ini adalah
adanya variasi kemampuan otonomi pasien yang dipengaruhi oleh banyak
hal, seperti tingkat kesadaran, usia, penyakit, lingkungan rumah sakit,
ekonomi, tersedianya informasi dll.
5. Kejujuran (veracity)
Prinsip kejujuran menyatakan hal yang sebenarnya dan tidak bohong.
Kejujuran harus dimiliki perawat saat berhubungan dengan pasien. Kejujuran
merupakan dasar terbinanya hubungan saling percaya antara perawat dan
pasien. Perawat sering kali tidak memberitahukan kejadian sebenarnya
kepada pasien yang sakit parah. Kejujuran berarti perawat tidak boleh
membocorkan informasi yang diperoleh dari pasien dalam kapasitasnya
sebagai seorang profesional tanpa persetujuan pasien. Kecuali jika pasien
merupakan korban atau subjek dari tindak kejahatan, maka perbuatan
tersebut dapat diajukan ke depan pengadilan dimana perawat menjadi
seorang saksi.
6. Ketaatan (fidelity)
Prinsip ketaatan merupakan tanggung jawab untuk tetap setia pada suatu
kesepakatan. Tanggung jawab dalam konteks hubungan perawat-pasien
meliputi tanggung jawab menjaga janji, mempertahankan konfidensi dan
memberikan perhatian/kepedulian. Peduli pada pasien merupakan salah satu
aspek dari prinsip ketaatan. Peduli kepada pasien merupakan komponen
paling penting dari praktik keperawatan, terutama pada pasien dalam kondisi
terminal.
1. Advokasi
Advokasi adalah memberikan saran dalam upaya melindungi dan
mendukung hak – hak pasien. Hal tersebut merupakan suatu kewajiban moral bagi
perawat dalam mempraktekan keperawatan professional. Contoh: seorang perawat
memberikan informasi kepada pasien tentang hak dan kewajiban yang di miliki oleh
pasien, sehingga pasien bisa terhindar dari praktek tidak sah dan pelanggaran etika.
2. Responsibilitas (tanggung jawab)
Eksekusi terhadap tugas – tugas yang berhubungan dengan peran tertentu
dari perawat. Misalnya pada saat memberikan obat, perawat bertanggung jawab
untuk mengkaji kebutuhan klien dengan memberikannya dengan aman dan benar.
Contoh: saat memberikan obat, perawat bertanggungjawab untuk mengkaji
kebutuhan klien dengan memberikan dengan aman dan benar juga mengevaluasi
respon klien terhadap pasien tersebut
3. Loyalitas
Suatu konsep yang melewati simpati, peduli, dan hubungan timbal balik
terhadap pihak yang secara profesional berhubungan dengan perawat. Contoh:
seorang perawat harus bisa menepati janjinya baik kepada klien maupun rekan
seprofesi.
4. Akuntabilitas (Tanggung guggat)
Akuntabilitas dapat menjawab segala hal yang berubungan dengan tindakan
seseorang. Contoh: seorang perawat A diberikan tugas untuk memberikan obat
berbentuk cair kepada seorang pasien, obat tersebut diberikan dengan cara di
teteskan, tetapi ia memberikannya dengan cara di suntikan sehingga pasien
mengalami kelumpuhan maka perawat tersebut harus berani bertanggungjawab
dan menerima sangsi.
Hak (Right)
Hak-hak perawat, menurut Claire dan Fagin (1975), bahwa perawat berhak:
Hak-hak pasien
Sedangkan pernyataan hak pasien (Patient’s Bill of Right) yang diterbitkan oleh
“The American Hospital Association” 1973, meliputi beberapa hal, yang dimaksudkan
memberikan upaya peningkatan hak pasien yang dirawat dan dapat menjelaskan
kepada pasien sebelum pasien dirawat.
A. Kesimpulan
Etika merupakan kata yang berasal dari Yunani, yaitu Ethos, yang menurut
Araskar dan David (1978) berarti kebiasaan atau model prilaku, atau standar yang
diharapkan dan kriteria tertentu untuk sesuatu tindakan, dapat diartikan segala sesuatu
yang berhubungan dengan pertimbangan pembuatan keputusan, benar atau tidaknya
suatu perbuatan.
Prinsip bahwa etika adalah menghargai hak dan martabat manusia, tidak akan
pernah berubah. Prinsip ini juga diterapkan baik dalam bidang pendidikan maupun
pekerjaan. Juga dalam hak-haknya memperoleh pelayanan kesehatan. Ketika
mengambil keputusan klinis, perawat seringkali mengandalkan pertimbangan mereka
dengan menggunakan kedua konsekuensi dan prinsip dan kewajiban moral yang
universal. Hal yang paling fundamental dari prinsip ini adalah penghargaan atas
sesama. Empat prinsip dasar lainnya bermula dari prinsip dasar ini yang menghargai
otonomi kedermawanan maleficience dan keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang RI Nomor 36 tentang Kesehatan Tahun 2009 dijelaskan
bahwa Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan
ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggung jawabkan kemanfaatan dan keamanannya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik perawat, bahwa
perawat dapat melakukan praktik pada fasilita pelayanan kesehatan yang untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam
peraturan ini registrasi dan legislasi tenaga keperawatan mulai dilakukan. STR atau
Surat Tanda Registrasi adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah
kepada tenaga perawat yang telah memiliki sertifikat kompetensi. Dengan adanya
Peraturan Menteri Kesehatan ini setidak-tidaknya merupakan peluang bagi perawat
untuk melakukan praktik keperawatan sesuai dengan standar untuk dapat menerapkan
ilmu keperawatan yang telah didapatkannya
B. Tujuan
1. Untuk memahami arti dari credentialing
2. Untuk memahami arti credential dalam keperawatan.
3. Untuk mengetahui regristrasi dalam credential.
4. Untuk memahami sertifikasi dalam credential.
5. Untuk memahami akreditasi dalam credential.
6. Izin & Penyelenggaraan Praktik Perawat Di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Credentialing
Credentialing adalah review dari kualifikasi individu atau organisasi. Jadi,
kredensial dapat diartikan sebagai bukti tertulis dari organisasi profesi dalam upaya
mempertahankan standar praktik dan akuntabilitas anggotanya. Credentialing
merupakan suatu bentuk keberhasilan seseorang untuk memperoleh nilai dari suatu
badan kredensial. Credentialing merupakan keseragaman proses yang telah disetujui
oleh semua anggota. Hal ini berarti badan tersebut dapat menerapkan standar yang
sama pada setiap aplikasi kredensial. Menurut Kozier Erb (2004), credentialing
merupakan salah satu cara profesi keperawatan mempertahankan standar
praktik dan akuntabilitas persiapan pendidikan anggotanya. Definisi lain menurut
(Guido, 2006) adalah suatu bukti pengakuan yang biasanya dalam bentuk tertulis yang
menyatakan bahwa individu atau organisasi mempunyai standar praktek yang spesifik.
B. Credensial
Dari hal diatas, dapat disimpulkan bahwa kredensial itu diperlukan untuk
menjamin kualitas standar pelayanan praktik seseorang sehingga baik praktisi
atau komsumen mempunyai jaminan yang secara legal dapat dipertanggung jawabkan
oleh instansi atau organisasi.
C. Registrasi
D. Sertifikasi
E. Akreditasi
Akreditasi merupakan suatu proses pengukuran dan pemberian status
akreditasi kepada institusi, program atau pelayanan yang dilakukan oleh
organisasi atau badan pemerintah tertentu.
2. Pekerjaan secara jelas merupakan area kerja yang tersendiri dan terpisah.
3. Ada suatu organisasi yang melaksanakan tanggung jawab proses pemberian izin.
(Kozier Erb, 1990).
.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. https://dokumen.tips/dokumens/credential-dalam-keperawatan/html
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mendirikan apotek, apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek (SIA) yaitu
surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada apoteker atau
apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek untuk mendirikan apotek di
suatu tempat tertentu. Wewenang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Dinkes Kabupaten/Kota). Kepala
Dinkes Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin,
pencairan izin dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri Kesehatan
dan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. Selanjutnya, Kepala Dinas
Kesehatan wajib melaporkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek
B. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian undang-undang kesehatan
2. Untuk memahami landasan hukum apotek
3. Untuk memahami persyaratan apotek
4. Untuk memahami fungsi dan tujuan apotek
5. Untuk memahami permohonan izin apotek
6. Untuk memahami pencabutan apotek
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
C. Persyaratan Apotek
Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apoteker (SIA).
Surat Izin Apoteker (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia kepada Apoteker atau Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana
apotek untuk menyelenggarakan pelayanan apotek disuatu tempat tertentu. Menurut
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002,
disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan apotek adalah:
a. Untuk mendapat izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan
pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat,
perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang lain yang
merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan
komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.
c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain diluar sediaan
farmasi (9).
Persyaratan lain yang harus diperhatikan untuk mendirikan suatu apotek, antara
lain:
4) Surat sehat fisik dan mental dari dokter yang mempunyai surat izin
praktek.
c. Lokasi
3) Ruang administrasi.
5) Papan nama apotek, yang memuat nama apotek, nama APA, nomor
Surat Izin Apotek (SIA), alamat apotek dan nomor telpon apotek (bila
ada). Papan nama apotek dibuat dengan ukuran minimal panjang 60 cm,
lebar 40 cm dengan tulisan hitam diatas dasar putih dengan tinggi huruf
minimal 5 cm dan tebal 5 cm.
e. Perlengkapan apotek
Dalam mendirikan apotek, apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek (SIA) yaitu
surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada apoteker atau
apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek untuk mendirikan apotek di
suatu tempat tertentu. Wewenang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Dinkes Kabupaten/Kota). Kepala
Dinkes Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin,
pencairan izin dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri Kesehatan
dan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. Selanjutnya, Kepala Dinas
Kesehatan wajib melaporkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek adalah:
5. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan
pemeriksaan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan
SIA.
6. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala
Balai POM masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan
Surat Penundaan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker. Pekerjaan
kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian juga
meliputi dalam pengadaan sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau
penyaluran sediaan farmasi, dan pelayanan dalam sediaan farmasi.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang – undang praktik Keperawatan sudah lama menjadi bahan diskusi para
perawat. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada kongres Nasional kedua di
Surabaya tahun 1980 mulai merekomendasikan perlunya bahan-bahan perundang-
undangan untuk perlindungan hukum bagi tenaga keperawatan.
Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat
secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka
lakukan. Tumpang tindih antara tugas dokter dan perawat masih sering terjadi dan
beberapa perawat lulusan pendidikan tinggi merasa frustasi karena tidak adanya
kejelasan tentang peran, fungsi dan kewenangannya. Hal ini juga menyebabkan semua
perawat dianggap sama pengetahuan dan ketrampilannya, tanpa memperhatikan latar
belakang ilmiah yang mereka miliki
Tanggal 12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. Di Indonesia,
momentum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan
Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan. PPNI menganggap bahwa
keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat
terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat. Indonesia, Laos, Kamboja dan
Vietnam adalah empat Negara Association of South East Asian Nations (ASEAN) yang
belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi
tenaga perawat dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan kita tertinggal dari negara-
negara Asia, terutama lemahnya regulasi praktik keperawatan, yang berdampak pada
sulitnya menembus globalisasi. Perawat kita sulit memasuki dan mendapat pengakuan
dari negara lain, sementara mereka akan mudah masuk ke negara kita.
B. Tujuan
5. Mengetahui isi Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik
keperawatan
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat
perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%),
melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%),
melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan
(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas
administrasi seperti bendahara, dll (63,6%).
Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit
dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam
sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini
membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan
wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi
dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang
berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang
mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah
sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan
pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan
tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan
secara professional.
Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh
dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR
(Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU
Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan pun
tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan
250-an pada program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang ada pada tahun 2007 berada
pada urutan 160 (PPNI, 2008).
Dalam UU Tentang praktik Keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi:
Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap
Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut
20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada
sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan
tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan
kita. Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global.
Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan.
Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse
(RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia.
Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya
merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat
Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan
perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan.
Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh PPNI. Usaha yang
telah dilakukan PPNI adalah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen
Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU Praktik Keperawatan menjadi Undang-
Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi
RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat.
UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, UU ini merupakan penjabaran dari
UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan
sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat
termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan
rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah
pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga
pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan
pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena
hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan
bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan
dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis
tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi
yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung
pada tenaga kesehatan lainnya.
UU Kesehatan No. 14 tahun 1964 tentang Wajib Kerja Paramedis, Pada pasal 2,
ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib
menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.
Fungsi Keperawatan
Tugas Keperawatan:
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia, Laos dan Vietnam adalah tiga Negara ASEAN yang belum memiliki
Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi tenaga
perawat dalam jumlah besar. Perawat Indonesia dinilai belum bisa bersaing ditingkat
global. Undang Undang Praktik Keperawatan, terlalu terlambat untuk disahkan, apalagi
untuk dipertanyakan. Sementara negara negara ASEAN seperti Philippines, Thailand,
Singapore, Malaysia, sudah memiliki Undang- Undang Praktik Keperawatan (Nursing
Practice Acts) sejak puluhan tahun yang lalu.
Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat
secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka
lakukan. Konsil keperawatan bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa
yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas
pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi
(mekanisme pendisiplinan). RUU Praktik Perawat, selain mengatur kualifikasi dan
kompetensi serta pengakuan profesi perawat, kesejahteraan perawat, juga diharapkan
dapat lebih menjamin perlindungan kepada pemberi dan penerima layanan kesehatan di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://kiesnanti.blogspot.co.id/2015/12/makalah-implementasi-pelayanan-praktik.html
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keperawatan merupakan salah satu profesi yang mempunyai bidang garap pada
kesejahteraan manusia namun masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui apa
saja yang harus dilakukan seorang perawat dalam memenuhi kebutuhan pasiennya.
Oleh karena itu, dibentuklah kode etik keperawatan yang menjadi acuan dasar
perawat dalam menjalankan profesinya. Dalam menghadapi pasien, seorang perawat
harus mempunyai etika, karena yang dihadapi perawat adalah juga manusia. Perawat
harus memperlakukan pasien atau klien secara bermartabat.
Dengan etika yang baik diharapkan seorang perawat bisa menjalin hubungan
yang lebih akrab dengan pasien. Dengan hubungan yang baik ini, maka akan terjalin
sikap saling menghormati dan menghargai diantara keduanya.
B. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi Kode etik keperawatan merupakan bagian dari etika kesehatan, yaitu
menerapkan nilai etika terhadap bidang pemeliharaan atau pelayanan kesehatan
masyarakat. Kode etik keperawatan Indonesia telah disusun oleh Dewan Pimpinan
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia, melalui Munas PPNI di Jakarta pada
tanggal 29 November 1989. Kode etik tersebut terdiri atas limat bab dan 16 pasal.
Secara umum tujuan etika keperawatan yaitu menciptakan dan mempertahankan
kepercayaan antara perawat dan lien, perawat dan perawat juga antara perawat dan
masyarakat. Menyampaikan perhatian dan rasa hormat kepada klien, bila perawat
terpaksa menunda pelayanan maka perawat bersedia memberikan penjelasan dengan
ramah terhadap kliennya. Menunjukan kepada klien sikap menghargai, berbicara
kepada klien yang berorientasi terhadap perasaan klien.
Sedangkan tanggung jawab seorang perawat adalah suatu tindakan yang
dilakukan seorang perawat yang dapat dipertanggung jawabkan. Tanggung jawab itu
langsung atau tidak langsung. Tanggung jawab bersifat langsung apabila si pelaku
sendiri bertanggung jawab atas perbuatannya. Biasanya akan terjadi demikian tapi
kadang-kadang orang bertanggung jawab secara tidak langsung.
Tanggung gugat adalah dapat menjawab segala hal yang berhubungan dengan
tindakan seseorang. Agar dapat bertanggung gugat perawat harus bertindak
berdasarkan kode etik profesinya. Perawat hendaknya memiliki tanggung gugat artinya
bila ada pihak yang menggugat ia menyatakan siap dan berani menghadapinya.
Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan profesinya. Perawat harus mampu
untuk menjelaskan kegiatan atau tindakan yang dilakukannya.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi yang semakin pesat membuat akses informasi yang beredar
seolah tak terbendung. Masyarakat semakin cerdas dalam menentukan pilihan, yang
salah satunya adalah pilihan dalam urusan kesehatan. Dengan akses informasi yang tak
terbatas inilah, masyarakat semakin diperdalam pengetahuannya dalam bidang
kesehatan, terutama mengenai hak hak yang wajib mereka dapat dan bahkan mengenai
penyakit yang mereka derita.
Seorang dokter yang baik tentu harus memperhatikan hal tersebut, agar bisa
mengimbangi pasien yang datang untuk berobat padanya. Penerapan kaidah bioetik
merupakan sebuah keharusan bagi seorang dokter yang berkecimpung didalam dunia
medis, karena kaidah bioetik adalah sebuah panduan dasar dan standar, tentang
bagaimana seorang dokter harus bersikap atau bertindak terhadap suatu persoalan atau
kasus yang dihadapi oleh pasiennya.
Kaidah bioetik harus dipegang tegush oleh seorang dokter dalam proses
pengobatan pasien, sampai pada tahap pasien tersebut tidak mempunyai ikatan lagi
dengan dokter yang bersangkutan.
B. Tujuan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Bioetik
Bioetik adalah etika yang menyangkut kehidupan dalam lingkungan tertentu atau
etika yang berkaitan dengan pendekatan terhadap asuhan kesehatan. Dalam
pelaksanaanya, etika keperawatan mengacu pada bioetik yang terdiri dari tiga
pendekatan, yaitu: pendekatan teleologik, pendekatan deontologik, dan pendekatan
intuitionism.
B. Pendekatan Bioetik
1. Pendekatan teleologik
Pendekatan teleontologikadalah suatu doktrin yang menjelaskan fenomena dan
akibatnya, di mana seseorang yang melakukan pendekatan terhadap etika
dihadapkan pada konsekuensi dan keutusan-keputusan etis. Secara singkat,
pendekatan tersebut mengemukakakn tentang hal—hal yang berkaitan dengan the
end justifies the means (pada akhirnya, membenarkan secara hokum tindakan atau
keputusan yang diambil untuk kepentingan medis).
Penggunaan istilah teleology dan intuitionism kadang-kadang dipertukarkan
walaupun keduanya dianggap sebagai bagian dari teleology dan mempunyai
pemikiran yang sama tentathe end justifies the mean and thegreatest good for the
greatest number (keputusan moral yang dibuat berdasarkan konsekuensi tindakan
dan bukan kebenaran tidakan). Pada umumnya, pelaksanaan riset medis
mendukung dilakukannya pendekatan ini dalam menghadapi masalah-masalah
medis.
Contoh:
a. Dalam situasi dan kondisi dimana seseorang pasien harus segera dioperasi,
sedangkan tidak ada ahli bedah yang berpengalaman dalam bidang tersebut,
dokter ahli bedah yang belum berpengalaman sekalipun tetap dibenarkan untuk
melakukan tindakan pembedahan sesuai dengan pengetahuan yang dimiikinya.
Hal ini dilakukan demi keselamatan pasien.
b. Seorang perawat yang harus menghadapi kasus kebidanan karena tidak ada
bidan dan jarak untuk merujuk terlalu jauh, dapat memberikan pertolongan
sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya demi
keselamatan pasien.
2. Pendekatan Deontologik
Pendekatan deontologik merupakan suatu teori atau studi tenntang kewajiban
moral. Simplifikasi dari pendekatan deontologik adalah moralitas dari suatu
keputusan etis yang sepenuhnya terpisah dari konsekuensinya.
Contoh :
Seseorang perawat yang berkeyakinn bahwa menyampaikan suatu kebenaran
merupakan hal yang snagat penting dan tetap harus fisampaikna, tanpa peduli
apkah hal tersebut mengakibatkan orang lain tersinggung atau bahkan syok.
Perbedaan darii kedua pendekatan diatas dapat dilihat pada penerapannya
dalam kasus-kasus etis, misalnya pada kasus aborsi sepperti dibawah ini.
a. Seseorang yang menggambarkan pendekatan teleologik, terhadap isu etis
aborsi, mungkin mempertimbangkan bahwa tujuan menyelamatkan
kehidupan ibu merupakan hal yang dibenarkan untuk dilakukannya aborsi.
b. Seseorang yang meggunakan pendekatan deontologik, terhadap aborsi,
mungkin akan mempertimbangkan bahwa secara moral terminasi kehidupan
merupakan hal yang buruk untuk dilakukan. Oleh karena itu, orang tersebut
tidak akan mencelakakan janin yang ada dalam kandungann tanpa
mempertimbangkan konsekunsinya bagi si ibu. Pendekatan tersebut dapat
dilakukan tanpa menentukan keputusan.
3. Pendekatan Intiutionism
Pendekatan ini menyatakan pandangan atau sifat manusia dalam mengetahui
hal yang benar dan salah. Hal tersebut terlepas dari pemikiran rasional atau
irasional nya suatu keadaan.
Contoh:
Seorang perawat sudah tentu mengetahui bahwa menyakiti pasien merupakan
tindakan yang tidak benar. Hal tersebut tidak perlu diajarkan lagi kepada perawat
karena sudah mangacu pada etikadari seorang perawat yang diyakini dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk dilakuakan.
C. Isu Bioetik dalam Keperawatan
Isu bioetik melibatkan perawat dalam pelaksanaan praktik keperawatan dan
berhubungan dengan profesi lain. Hal ini muncul hamper di semua bidang praktik
keperawatan.
Adanya perkembangan dan [erubahan yang terjadi pada ruang lingkup praktik
keperawatan dan bidang teknologi medis akan mengakubtkan terjadinya peningkatan
konflik antara nilai-nilai pribadi yang dimiliki perawat dengan pelaksanaan praktik
keperawatan yang dilakukannya setiap hari.
Selain itu, pihak atasan membutuhkan bantuan dari perawat untuk melaksanakan tugas
pelayanan tertentu; di lain pihak, perawat mempunyai hak untuk menerima atau menolak
tugas tersebut sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka.
Contoh :
1. Bantuan perWawat sangat dibutuhkan untuk melakukan aborsi terapeutik pada
pasien, padahal perawat tersebut berkeyakinan bahwa aborsi itu adalah tindakan
yang berdosa. Pada kasus ini perawat tersebut berhak untuk menolak tugas itu
karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai pribadinya dan ia dapat mengalihkan
tugas tersebut pada perawat lain yang mempunyai pandangan berbeda.
2. Pada keadaan dimanapasien tidak lagi responsive terhadap lingkungan, seseorang
perawat akan berupaya semaksimal mungkin untuk memperpanjang kehidupan
pasien dengan menggunakan alat-alat, seperti alat pacu jantung, ventilator, atau
mmeberikan tranfui darah walaupun menurut nilai-nilai pribadinya hal tersebut sulit
untuk berhasil dilakukan. Tetapi, bagaimanapun juga sebagai seseorang perawat ia
harus berupaya semaksimal mungkin untuk menyelamatan kehidupan pasien,
sedangkan perihal berhasil atau tidaknyaa upaya tersebut adalah suatu kenyatan
yang berada di luar kemampuan manusia.
1. Kualitas Hidup
2. Skrining Genetik
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi Bioetik adalah etika yang menyangkut kehidupan dalam lingkungan tertentu
atau etika yang berkaitan dengan pendekatan terhadap asuhan kesehatan. Dalam
pelaksanaanya, etika keperawatan mengacu pada bioetik yang terdiri dari tiga
pendekatan, yaitu: pendekatan teleologik, pendekatan deontologik, dan pendekatan
intuitionism.
Kaidah bioetik harus dipegang tegush oleh seorang dokter dalam proses
pengobatan pasien, sampai pada tahap pasien tersebut tidak mempunyai ikatan lagi
dengan dokter yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keputusan adalah pilihan yang dibuat dari dua atau lebih pilihan. Pengambilan
keputusan biasanya terjadi atas adanya masalah atau pun suatu pilahan tentang
kesempatan. Dalam suatu organisasi diperlukan suatu kebijakan dalam pengambilan
keputusan yang baik dalam menentukan strategi, sehingga menimbulkan pemikiran
tentang cara-cara baru untuk melanjutkannya.
B. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
B. Etika
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani yaiutu “ethos” yang berarti watak atau
kebiasaan. Dalam bahasa sehari-hari kita sering kita sering menyebutnya etiket yang
berarti cara bergaul atau berperilaku yang baik yang sering juga disebut sebagai sopan-
santun. Istilah etika banyak dikembangkan dalam organisasi sebagai norma-norma yang
mengatur dan mengukur perilaku professional seseorang.
Secara lengkap etika diartikan sebagai nilai-nilai normatif atau pola perilaku
seseorang atau badan/lembaga/organisasi sebagai suatu bentuk yang dapat diterima
umum dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan dalam konteks lain secara
luas dinyatakan bahwa etika adalah aplikasi dari proses dan teori filsafat moral terhadap
kenyataan yang sebenarnya.
C. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai suatu hasil atau keluaran dari
proses mental atau kognitif yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan di
antara beberapa alternatif yang tersedia. Setiap proses pengambilan keputusan selalu
menghasilkan satu pilihan final. Keputusan dibuat untuk mencapai tujuan melalui
pelaksanaan atau tindakan. Ada baiknya sebelum anda mengambil keputusan mengacu
pada prinsip-prinsip berikut ini:
1. Autonomy
Isu ini berkaitan dengan apakah keputusan anda melakukan eksploitasi terhadap
orang lain dan mempengaruhi kebebasan mereka? Setiap keputusan yang anda ambil
tentunya akan mempengaruhi banyak orang. Oleh karena itu, anda perlu
mempertimbangkan faktor ini ke dalam setiap proses pengambilan keputusan anda.
2. Non-malfeasance
Apakah keputusan anda akan mencederai pihak lain? Di kepemerintahan, nyaris
setiap peraturan tentunya akan menguntungkan bagi satu pihak sementara itu
mencederai bagi pihak lain. Begitu pula halnya dengan keputusan bisnis pada
umumnya, dimana tentunya menguntungkan bagi beberapa pihak namun tidak bagi
pihak lain.
3. Beneficence
Apakah keputusan yang anda ambil benar-benar membawa manfaat? Manfaat
yang anda ambil melalui keputusan harus dapat menjadi solusi bagi masalah dan
merupakan solusi terbaik yang bisa diambil.
4. Justice
Proses pengambilan keputusan mempertimbangkan faktor keadilan dan
termasuk implementasinya. Di dunia ini memang sulit untuk menciptakan keadilan yang
sempurna, namun tentunya kita selalu berusaha untuk menciptakan keadilan yang ideal.
Dimana memperlakukan tiap orang dengan sejajar.
5. Fidelity
Fidelity berkaitan dengan kesesuaian keputusan dengan definisi peran yang kita
mainkan. Seringkali ini melibatkan ‘looking at the bigger picture’ atau melihat secara
keseluruhan dan memahami peran anda dengan baik.
1. Utilitarian
Keputusan-keputusan yang diamabil semata-mata atas dasar hasil atau
konsekuensi mereka. Tujuannya adalah memberikan kebaikan yang terbesar untuk
jumlah yang terbesar. Pandangan ini cenderung mendominasi pengambilan keputusan
bisnis, seperti efisiensi, prokduktifitas dan laba yang tinggi.
2. Universalisme (duty)
Ini menekankan pada baik buruk nya perilaku tergantung pada niat (intention)
dari keputusan atau perilaku. Paham ini adalah kebalikan (contrast) dari utilitarianisme.
Berdasarkan prinsip Immanuel Kant (categorical imperative), paham ini mempunyai dua
prinsip. Pertama, seseorang seharusnya memilih suatu perbuatan. Kedua, orang - orang
lain harus diperlakukan sebagai akhir (tujuan), bukan sekedar alat untuk mencapai
tujuan.
3. Penekanan pada hak
Kriteria ini memberikan kesempatan kepada individu untuk mengambil keputusan
yang konsisten dengan kebebasandan keistimewaan mendasr seperti dikemukakan
dalam dokumen - dokumen (contoh Piagam Hak Asasi). Suatu tekanan pada hak dalam
pengambilan keputusan berarti menghormati dan melindungi hak dasar dari individu.
4. Penekanan pada keadilan
Ini mensyaratkan individu untuk menegakan dan memperkuat aturan - aturan
yang adil dan tidak berat sebelah sehingga ada pembagian manfaat dan biaya yang
pantas. Keadilan distributif, perilaku didasarkan pada satu nilai: keadilan.
5. Relativisme (self-interest)
Ini menekankan bahwa baik buruknya perilaku manusia didasarkan pada
kepentingan atau kebutuhan pribadi (self-interest and needs). Dengan demikian, setiap
individu akan mempunyai kriteria moral yang berbeda dengan individu lainnya, atau
akan terjadi perbedaan kriteria moral dari satu kultur ke kultur lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keputusan yang diambil pemimpin tentunya akan menghasilkan dampak bagi
orang lain. Idealnya, seorang pemimpin mempunyai integritas yang menjunjung tinggi
nilai moral dan etika. Sehingga, keputusan yang diambilnya adalah mengacu tidak
hanya pada kepentingannya sendiri, melainkan juga kepentingan orang banyak
termasuk lingkungannya. Ada lima kriteria dalam mengambil keputusan yang etis, yaitu
utilitarian, universalisme (duty), penekanan pada hak, penekanan pada keadilan, dan
relativisme (self-interest).
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. Hj Syahribulan, M.Si, Dr. Hj. Hasniati, M.Si, Drs. Nurdin Nara, M.Si, Dr. Atta Irene
Allorante, M.Si, Dra. Hj. Khalawatiah, MA. 2013. Modul Mata Kuliah Etika Administrasi
Negara. Makassar. Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL Universitas Hasanuddin
2. Bulanbalun.
(2014)pengertianetikaetikaetimologiberasal.http://bulanbalun.co.id/2014/03/pengertianeti
ka-etika-etimologi-berasal.html, 09 Oktober 2015
3. Az17bersama.
(2013).etikapengambilankeputusan.http://az17bersama.co.id/2013/04/etika-
pengambilan-keputusan.html, 09 Oktober 2015
4. Darmawatimks.
(2012).pengambilankeputusan.http://darmawatimks.co.id/2012/01/pengambilan-
keputusan.html, 09 Oktober 2015
5. Juprilumbantoruan.
(2013).pendekatandalampengambilankeputusan.http://juprilumbantoruan.co.id/2013/10/
pendekatan-dalam-pengambilan-keputusan.html. 09 Oktober 2015