1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu
membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat
sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang
lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai
persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian
dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan
otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan
dirinya.
3.Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek
profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan
keyakinan yang benar untuk memperoleh ekualitas pelayanan kesehatan.
b).Moralitas
Diperoleh dari keluarga, ajaran agama, sekolah, dan institusi tempatnya bekerja dan memberikan
ruang dan waktu atau kesempatan kepada individu untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang
berbeda;
c).Sesuka Hati
Adalah proses dimana adaptasi nilai-nilai ini kurang terarah dan sangat tergantung kepada nilai-
nilai yang ada di dalam diri seseorang dan memilih serta mengembangkan sistem nilai-nilai
tersebut menurut kemauan mereka sendiri. Hal ini lebih sering disebabkan karena kurangnya
pendekatan, atau tidak adanya bimbingan atau pembinaan sehingga dapat menimbulkan
kebingungan, dan konflik internal bagi individu tersebut;
d).Penghargaan dan Sanksi
Perlakuan yang biasa diterima seperti: mendapatkan penghargaan bila menunjukkan perilaku
yang baik, dan sebaliknya akan mendapat sanksi atau hukuman bila menunjukkan perilaku yang
tidak baik;
e).Tanggung jawab untuk memilih;
Adanya dorongan internal untuk menggali nilai-nilai tertentu dan mempertimbangkan
konsekuensinya untuk diadaptasi. Disamping itu, adanya dukungan dan bimbingan dari
seseorang yang akan menyempurnakan perkembangan sistem nilai dirinya sendiri.
2).Klarifikasi Nilai-Nilai (Values)
Klarifikasi nilai-nilai merupakan suatu proses dimana seseorang dapat mengerti sistem nilai-nilai
yang melekat pada dirinya sendiri. Hal ini merupakan proses yang memungkinkan seseorang
menemukan sistem perilakunya sendiri melalui perasaan dan analisis yang dipilihnya dan
muncul alternatif-alternatif, apakah pilihan–pilihan ini yang sudah dianalisis secara rasional atau
merupakan hasil dari suatu kondisi sebelumnya (Steele&Harmon, 1983).
Klarifikasi nilai-nilai mempunyai manfaat yang sangat besar didalam aplikasi keperawatan. Ada
tiga fase dalam klarifikasi nilai-nilai individu yang perlu dipahami oleh perawat.
a).Pilihan:
(1). Kebebasan memilih kepercayaan serta menghargai keunikan bagi setiap individu;
(2).Perbedaan dalam kenyataan hidup selalu ada perbedaan-perbedaan, asuhan yang diberikan
bukan hanya karena martabat seseorang tetapi hendaknya perlakuan yang diberikan
mempertimbangkan sebagaimana kita ingin diperlakukan.
(3).Keyakinan bahwa penghormatan terhadap martabat seseorang akan merupakan konsekuensi
terbaik bagi semua masyarakat.
b).Penghargaan:
(1).Merasa bangga dan bahagia dengan pilihannya sendiri (anda akan merasa senang bila
mengetahui bahwa asuhan yang anda berikan dihargai pasen atau klien serta sejawat) atau
supervisor memberikan pujian atas keterampilan hubungan interpersonal yang dilakukan;
(2).Dapat mempertahankan nilai-nilai tersebut bila ada seseorang yang tidak bersedia
memperhatikan martabat manusia sebagaimana mestinya.
c).Tindakan:
(1).Gabungkan nilai-nilai tersebut kedalam kehidupan atau pekerjaan sehari-hari;
(2).Upayakan selalu konsisten untuk menghargai martabat manusia dalam kehidupan pribadi dan
profesional, sehingga timbul rasa sensitif atas tindakan yang dilakukan.
Semakin disadari nilai-nilai profesional maka semakin timbul nilai-nilai moral yang dilakukan
serta selalu konsisten untuk mempertahankannya. Bila dibicarakan dengan sejawat atau pasen
dan ternyata tidak sejalan, maka seseorang merasa terjadi sesuatu yang kontradiktif dengan
prinsip-prinsip yang dianutnya yaitu; penghargaan terhadap martabat manusia yang tidak
terakomodasi dan sangat mungkin kita tidak lagi merasa nyaman.
Oleh karena itu, klarifikasi nilai-nilai merupakan suatu proses dimana kita perlu meningkatkan
serta konsisten bahwa keputusan yang diambil secara khusus dalam kehidupan ini untuk
menghormati martabat manusia. Hal ini merupakan nilai-nilai positif yang sangat berguna dalam
kehidupan sehari-hari dan dalam masyarakat luas.
b. Norma Masyarakat
Norma adalah aturan-aturan atau pedoman social yang khusus mengenai tingkah laku, sikap,
perbuatan yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan di lingkungan kehidupannya.
Budaya dan agama mempengaruhi prilaku seseorang tanpa pilihan Setiap individu dapat
menerima keyakinan tersebut. Keyakinan adalah sesuatu yang diterima sebagai kebenaran
melalui pertimbangan dan kemungkinan,tidak berdasarkan kenyataan. Tradisi rakyat atau
keluarga merupakan keyakinan yang berjalan dari satu generasi ke generasi lain.
Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat. Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma
kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat
(regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap
sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian. Contoh norma
ini diantaranya ialah :
a).“Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bus dan lain-lain, terutama
wanita yang tua, hamil atau membawa bayi”.
b).“Jangan makan sambil berbicara”.
c).“Janganlah meludah di lantai atau di sembarang tempat” dan.
d).“Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua”.
4).Norma Hukum :
Ialah peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara. Isinya
mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-
alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundangundangan, yurisprudensi, kebiasaan,
doktrin, dan agama.
Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman
hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum bersifat
heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu kekuasaan negara. Contoh
norma ini diantaranya ialah :
a).“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa/nyawa orang lain, dihukum karena
membunuh dengan hukuman setingi-tingginya 15 tahun”.
b).“Orang yang ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan, diwajibkan mengganti
kerugian”, misalnya jual beli.
7.Aborsi
Cara menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah Abortus.
Berarti pengeluaran hasil konsepsi ( pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat
hidup diluar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi
kesempatan untuk bertumbuh.
a. Dalam dunia kedokteran dikenal 3 jenis aborsi:
1).Aborsi spontan atau alamiah.
Berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel
telur dan sel sperma.
2).Aborsi buatan atau sengaja.
Adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat
tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi. Misalnya
dengan bantuan obat aborsi.
Pasal 349 : Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan.
Pasal 1 : d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mmempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang
sama dan tertentu.
Pasal 1: e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau
jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk
menggantikan alat dan atau jaringan tubuh ynag tidak berfungsi dengan baik.
Pasal 1: f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang
lain untuk keperluan kesehatan.
Pasal 1: g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti.
Ayat g mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas,maka IDI dalam seminar nasionalnya
mencetuskan fakta tentang masalah mati yaitu bahwa seseorang dikatakan mati bila fungsi
spontan pernafasan da jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible,atau terbukti telah
terjadi kematian batang otak.
Pasal 10. Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia dilaukan dengan memperhatikan
ketentuan yaitu persetujuan harus tertulis penderita atau keluarga terdekat setelah penderita
meninggal dunia.
Pasal 11: 1 Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
ditunjukolehmentri kesehatan.
Ayet 2 Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang
merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.
Pasal 12 Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tudak ada sangkut paut medik
dengan dokter yang melakukan transplantasi. Pasal 13 Persetujuan tertulis sebagaimana
dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai dengan 2(dua) orang saksi.
Pasal 14 Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank
mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia,dilakukan dengan persetujuan tertulis dengan
keluarga terdekat.
Pasal 15 : 1 Senbelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia
diberikan oleh donor hidup,calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter
yang merawatnya,termasuk dokter konsultan mengenai operasi,akibat-akibatya,dan
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Pasal 2. Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus yakin benar ,bahwa calon donor yang bersangkutan telah meyadari sepenuhnya arti dari
pemberitahuan tersebut. Pasal 16. Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak
dalam kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.
Pasal 17 Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18 Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dan semua bentuk ke
dan dari luar negeri. Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan dicantumkan
beberapa pasal tentang transplantasi sebagai berikut: Pasal 33:1 Dalam penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan jaringan tubuh,transfuse
darah ,imflan obat dan alat kesehatan,serta bedah plastic dan rekontruksi.
Pasal 2 Transplantasi organ dan jaringan serta transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan kemanusiaan yang dilarang untuk tujjuan
komersial.
Pasal 34 :1 Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan disaran kesehatan tertentu.
Pasal 2.Pengambilan organ dan jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan
kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau keluarganya.
3.Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
8. Devicies ( Alat-Alat)
Alat-alat yang biasanya digunakan meliputi :
a. Cusa (pisau pemotong yang menggunakan gelombang ultrasonografi),
b. Meja operasi,
c. Gunting ,
d. Pisau operasi,
e. Bedah,
f. Slang-slang pembiusan,
g. Drap (kain steril yang digunakan untuk menutup bagian tubuh yang tidak dioperasi),
h. Plastic steril berkantong yang fingsinya menampung darah yang meleleh dari tubuh pasien,
i. Retractor,
j. Penghangat darah dan cairan,
k. Lampu operasi.
Perawat atau yang memiliki komitmen tinggi dalam mempraktekkan keperawatan profesional
dan tradisi tersebut perlu mengingat hal-hal sbb:
a. Pastikan bahwa loyalitas staf atau kolega agar tetap memegang teguh komitmen utamanya
terhadap pasen.
b. Berikan prioritas utama terhadap pasen dan masyarakat pada umumnya.
c. Kepedulian mengevaluasi terhadap kemungkinan adanya klaim otonomi dalam kesembuhan
pasien.
Istilah advokasi sering digunakan dalam hukum yang berkaitan dengan upaya melindungi hak
manusia bagi mereka yang tidak mampu membela diri. Arti advokasi menurut ANA (1985)
adalah “melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan keselamatan praktik
tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapa pun”.
Fry (1987) mendefinisikan advokasi sebagai dukungan aktif terhadap setiap hal yang memiliki
penyebab atau dampak penting.
Definisi ini mirip dengan yang dinyatakan Gadow (1983) bahwa “advokasi merupakan dasar
falsafah dan ideal keperawatan yang melibatkan bantuan perawat secara aktif kepada individu
secara bebas menentukan nasibnya sendiri”. Posisi perawat yang mempunyai jam kerja 8 sampai
10 atau 12 jam memungkinkannya mempunyai banyak waktu untuk mengadakan hubungan baik
dan mengetahui keunikan klien sebagai manusia holistik sehingga berposisi sebagai advokat
klien (curtin, 1986). Pada dasarnya, peran perawat sebagai advokat klien adalah memberi
informasi dan memberi bantuan kepada klien atas keputusan apa pun yang di buat kilen,
memberi informasi berarti menyediakan informasi atau penjelasan sesuai yang dibutuhkan klien,
memberi bantuan mengandung dua peran, yaitu peran aksi dan peran nonaksi.
Dalam menjalankan peran aksi, perawat memberikan keyakinan kepada klien bahwa mereka
mempunyai hak dan tanggung jawab dalam menentukan pilihan atau keputusan sendiri dan tidak
tertekan dengan pengaruh orang lain, sedangkan peran nonaksi mengandungarti pihak advokat
seharusnya menahan diri untuk tidak memengaruhi keputusan klien (Khonke, 1982). Dalam
menjalankan peran sebagai advokat, perawat harus menghargai klien sebagai induvidu
yangmemiliki berbagai karakteristik. Dalam hal ini, perawat memberikan perlindungan terhadap
martabat dan nilai manusiawi klien selama dalam keadaan sakit.
2. Responsibilitas
Resposibilitas (tanggung jawab) adalah eksekusi terhadap tugas-tugas yang berhubungan dengan
peran tertentu dari perawat. Pada saat memberikan tempat.
3. Loyalitas
Loyalitas merupakan suatu konsep yang melewati simpati, peduli, dan hubungan timbal balik
terhadap pihak yang secara profesional berhubungan dengan perawat. Hubungan profesional
dipertahankan dengan cara menyusun tujuan bersama, menepati janji, menentukan masalah dan
prioritas, serta mengupayakan pencapaian kepuasan bersama (Jameton, 1984, Fry, 1991).
Untuk mencapai kualitas asuhan keperawatan yang tinggi dan hubungan dengan berbagai pihak
yang harmonis, loyalitas harus dipertahankan oleh setiap perawat baik loyalitas kepada klien,
teman sejawat, rumah sakit maupun profesi.
3. Sanksi Hukum
a. Jika perbuatan malpraktik khususnya yang dilakukan oleh tenaga medis, terbukti dilakukan
dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa), maka adalah hal yang sangat
pantas jika yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan
ataupun kelalaian telah an telah melakukan perbuatan melawan hukum yang bisa menghilangkan
Jika perbuatan malpraktik khususnya yang dilakukan oleh tenaga medis, terbukti dilakukan
dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa), maka adalah hal yang sangat
pantas jika yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan
ataupun kelalainyawa seseorang.
Prita terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa), maka
adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena
dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu
menghilangkan nyawa seseorang, serta tidak menutup kemungkinan juga dapat mengancam dan
membahayakan keselamatan jiwa ibu yang melakukan aborsi.
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau
bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan
terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang.
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan
kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap
orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga
untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
d. Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat dipastikan
bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para tim medis akan
dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan juga
tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam
situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus
malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.
e. Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama
di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of
innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa
memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan
seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban
tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran
terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik
Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
f. Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (Kodeki) sangatlah perlu ditingkatkan untuk
menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan
oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan,
dll.
Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus
sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis Kode Etik
Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan
akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia.
g. Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat
dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk
memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus
kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika
ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya.
Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif
dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum
dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya
kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar
para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya.
A. Prinsip Etika Keperawatan
Pada saat menghadapi masalah yang menyangkut etika, perawat harus mempunyai kemampuan
yang baik untuk pasien maupun dirinya.
Beberapa ahli menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari. Perawat sebenarnya telah
menghadapi permasalahan etis, bahkan Thompson dan Thompson menyatakan semua keputusan
yang dibuat dengan, atau tentang pasien mempunyai dimensi etis.
Setiap perawat harus dapat mendeterminasi dasar-dasar yang ia miliki dalam membuat keputusan
misalnya agama, kepercayaan atau falsafah moral tertentu yang menyatakan hubungan
kebenaran atau kebaikan dengan keburukan.
Beberapa orang membuat keputusan dengan mempertimbangkan segi baik dan buruk dari
keputusannya, ada pula yang membuat keputusan berdasarkan pengalamannya. Dalam membuat
keputusan etis, seseorang harus berpikir secara rasional,bukanemosional.
10.Transplantasi Organ
Pada dasarnya, apabila organ-organ tubuh dari seorang yang telah meninggal dunia, seperti
ginjal, hati, kornea mata, dapat menolong menyelamatkan atau memperbaiki hidup seorang
lainnya yang masih hidup, maka transplantasi yang demikian adalah baik secara moral dan
bahkan patut dipuji. Patut dicatat bahwa donor wajib memberikan persetujuannya dengan bebas
dan penuh kesadaran sebelum wafatnya, atau keluarga terdekat wajib melakukannya pada saat
kematiannya: “Transplantasi organ tubuh tidak dapat diterima secara moral, kalau pemberi atau
yang bertanggung jawab untuk dia tidak memberikan persetujuan dengan penuh kesadaran.
11.Malpraktek Dan Neglected
pelanggaran hukum atau kejahatan. Jika kelalaian itu tidak sampai Kelalaian dapat bersifat
ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati – hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli
terhadap kepentingan orang lain tetapi akibat tindakan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan
suatu membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimannya,
namun jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan atau bahkan merenggut
nyawa orang lain.
F. Informed Consent
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai “suatu
kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya
setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk
menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure
sebagai berikut : Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter Kompetensi pasien
dalam memberikan persetujuan Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan
persetujuan.
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK
PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988.
Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan
Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan
di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed consent” karena jauh sebelum itu telah
ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak
pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada
pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk.
1. Bentuk-Bentuk Persetujuan
a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1)
dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya
pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
2. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka
pelaksanaan “informed consent”, bertujuan : Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien)
secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun
tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang
bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat
canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan
tidak ada alasan medisnya;
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan
pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif,
misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah
bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi
dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan
besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak
akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai
beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia.
2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi,
urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut
:
a. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
b. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang
sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
c. Dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping,
seperti terapi dengan sinar laser, dll.
d. Dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
e. Dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan
eksperimen dengan berobjekan pasien.
3. Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan
“jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi
orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya
diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping
terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan
adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan
medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat”
(culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis
belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan
pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai
pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan
harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive
(misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan
medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut
telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal
351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed
consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent
ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau
belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam
lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.