Anda di halaman 1dari 16

PRINSIP-PRINSIP ETIKA KEPERAWATAN

A. Prinsip-Prinsip Etika Keperawatan

1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu
membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat
sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang
lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai
persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian
dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan
otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan
dirinya.

2. Berbuat baik (Beneficience)


Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan pencegahan
dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan
oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara
prinsip ini dengan otonomi.

3.Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek
profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan
keyakinan yang benar untuk memperoleh ekualitas pelayanan kesehatan.

4. Tidak Merugikan (Nonmaleficience)


Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.

5. Nilai dan Norma Masyarakat


Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat nilai dan norma masyarakat sangat penting dan perlu
ada pada diri masing-masing.malah masyarakat yang sedar tentang nilai dan norma masyarakat
berusaha keras dalam mengukuhkan nilai-nilai masyarakat.
Setiap individu tidak boleh hidup bersendirian, oleh itu seseorang itu perlu bergaul bagi
memenuhi keperluan dalam kehidupan. Oleh itu seseorang itu perlu bersedia agar dapat
bertindak dan berfungsi dalam masyarakat. Bagi seseorang itu dapat berfungsi dan bertindak
dalam masyarakat seseorang itu perlu memahami nilai- nilai masyarakat dan kelakuan norma
masyarakat yang telah disahkan masyarakat itu sendiri.
a. Nilai
Keyakinan seseorang tentang sesuatu yang berharga, kebenaran atau keinginan mengenai ide-ide,
objek, atau perilaku khusus. Individu tidak lahir dengan membawa nilai-nilai (values). Nilai-nilai
ini diperoleh dan berkembang melalui informasi, lingkungan keluarga, serta budaya sepanjang
perjalanan hidupnya. Mereka belajar dari keseharian dan menentukan tentang nilai-nilai mana
yang benar dan mana yang salah.
Untuk memahami perbedaan nilai-nilai kehidupan ini sangat tergantung pada situasi dan kondisi
dimana mereka tumbuh dan berkembang.
1).Nilai-nilai tersebut diambil dengan berbagai cara antara lain :
a).Model atau Contoh
Dimana individu belajar tentang nilai-nilai yang baik atau buruk melalui observasi perilaku
keluarga, sahabat, teman sejawat dan masyarakat lingkungannya dimana dia bergaul;

b).Moralitas
Diperoleh dari keluarga, ajaran agama, sekolah, dan institusi tempatnya bekerja dan memberikan
ruang dan waktu atau kesempatan kepada individu untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang
berbeda;
c).Sesuka Hati
Adalah proses dimana adaptasi nilai-nilai ini kurang terarah dan sangat tergantung kepada nilai-
nilai yang ada di dalam diri seseorang dan memilih serta mengembangkan sistem nilai-nilai
tersebut menurut kemauan mereka sendiri. Hal ini lebih sering disebabkan karena kurangnya
pendekatan, atau tidak adanya bimbingan atau pembinaan sehingga dapat menimbulkan
kebingungan, dan konflik internal bagi individu tersebut;
d).Penghargaan dan Sanksi
Perlakuan yang biasa diterima seperti: mendapatkan penghargaan bila menunjukkan perilaku
yang baik, dan sebaliknya akan mendapat sanksi atau hukuman bila menunjukkan perilaku yang
tidak baik;
e).Tanggung jawab untuk memilih;
Adanya dorongan internal untuk menggali nilai-nilai tertentu dan mempertimbangkan
konsekuensinya untuk diadaptasi. Disamping itu, adanya dukungan dan bimbingan dari
seseorang yang akan menyempurnakan perkembangan sistem nilai dirinya sendiri.
2).Klarifikasi Nilai-Nilai (Values)
Klarifikasi nilai-nilai merupakan suatu proses dimana seseorang dapat mengerti sistem nilai-nilai
yang melekat pada dirinya sendiri. Hal ini merupakan proses yang memungkinkan seseorang
menemukan sistem perilakunya sendiri melalui perasaan dan analisis yang dipilihnya dan
muncul alternatif-alternatif, apakah pilihan–pilihan ini yang sudah dianalisis secara rasional atau
merupakan hasil dari suatu kondisi sebelumnya (Steele&Harmon, 1983).
Klarifikasi nilai-nilai mempunyai manfaat yang sangat besar didalam aplikasi keperawatan. Ada
tiga fase dalam klarifikasi nilai-nilai individu yang perlu dipahami oleh perawat.
a).Pilihan:
(1). Kebebasan memilih kepercayaan serta menghargai keunikan bagi setiap individu;
(2).Perbedaan dalam kenyataan hidup selalu ada perbedaan-perbedaan, asuhan yang diberikan
bukan hanya karena martabat seseorang tetapi hendaknya perlakuan yang diberikan
mempertimbangkan sebagaimana kita ingin diperlakukan.
(3).Keyakinan bahwa penghormatan terhadap martabat seseorang akan merupakan konsekuensi
terbaik bagi semua masyarakat.
b).Penghargaan:
(1).Merasa bangga dan bahagia dengan pilihannya sendiri (anda akan merasa senang bila
mengetahui bahwa asuhan yang anda berikan dihargai pasen atau klien serta sejawat) atau
supervisor memberikan pujian atas keterampilan hubungan interpersonal yang dilakukan;
(2).Dapat mempertahankan nilai-nilai tersebut bila ada seseorang yang tidak bersedia
memperhatikan martabat manusia sebagaimana mestinya.
c).Tindakan:
(1).Gabungkan nilai-nilai tersebut kedalam kehidupan atau pekerjaan sehari-hari;
(2).Upayakan selalu konsisten untuk menghargai martabat manusia dalam kehidupan pribadi dan
profesional, sehingga timbul rasa sensitif atas tindakan yang dilakukan.

Semakin disadari nilai-nilai profesional maka semakin timbul nilai-nilai moral yang dilakukan
serta selalu konsisten untuk mempertahankannya. Bila dibicarakan dengan sejawat atau pasen
dan ternyata tidak sejalan, maka seseorang merasa terjadi sesuatu yang kontradiktif dengan
prinsip-prinsip yang dianutnya yaitu; penghargaan terhadap martabat manusia yang tidak
terakomodasi dan sangat mungkin kita tidak lagi merasa nyaman.
Oleh karena itu, klarifikasi nilai-nilai merupakan suatu proses dimana kita perlu meningkatkan
serta konsisten bahwa keputusan yang diambil secara khusus dalam kehidupan ini untuk
menghormati martabat manusia. Hal ini merupakan nilai-nilai positif yang sangat berguna dalam
kehidupan sehari-hari dan dalam masyarakat luas.
b. Norma Masyarakat
Norma adalah aturan-aturan atau pedoman social yang khusus mengenai tingkah laku, sikap,
perbuatan yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan di lingkungan kehidupannya.
Budaya dan agama mempengaruhi prilaku seseorang tanpa pilihan Setiap individu dapat
menerima keyakinan tersebut. Keyakinan adalah sesuatu yang diterima sebagai kebenaran
melalui pertimbangan dan kemungkinan,tidak berdasarkan kenyataan. Tradisi rakyat atau
keluarga merupakan keyakinan yang berjalan dari satu generasi ke generasi lain.

Norma masyarakat terbagi atas :


1).Norma Agama
Ialah peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah-perintah, laranganlarangan
dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap norma ini
akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa berupa “siksa” kelak di akhirat. Contoh
norma agama ini diantaranya ialah:
a). “Kamu dilarang membunuh”.
b). “Kamu dilarang mencuri”.
c). “Kamu harus patuh kepada orang tua”.
d) “Kamu harus beribadah”.
e). “Kamu jangan menipu”.
2).Norma Kesusilaan
Ialah peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia. Pelanggaran norma
kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan. Norma kesusilaan bersifat
umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
Contoh norma ini diantaranya ialah :
a). “Kamu tidak boleh mencuri milik orang lain”.
b). “Kamu harus berlaku jujur”.
c). “Kamu harus berbuat baik terhadap sesama manusia”.
d). “Kamu dilarang membunuh sesama manusia”.
3).Norma Kesopanan :
Ialah norma yang timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur pergaulan
sehingga masing-masing anggota masyarakat saling hormat menghormati. Akibat dari
pelanggaran terhadap norma ini ialah dicela sesamanya, karena sumber norma ini adalah
keyakinan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri.

Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat. Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma
kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat
(regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap
sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian. Contoh norma
ini diantaranya ialah :
a).“Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bus dan lain-lain, terutama
wanita yang tua, hamil atau membawa bayi”.
b).“Jangan makan sambil berbicara”.
c).“Janganlah meludah di lantai atau di sembarang tempat” dan.
d).“Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua”.
4).Norma Hukum :
Ialah peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara. Isinya
mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-
alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundangundangan, yurisprudensi, kebiasaan,
doktrin, dan agama.
Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman
hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum bersifat
heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu kekuasaan negara. Contoh
norma ini diantaranya ialah :
a).“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa/nyawa orang lain, dihukum karena
membunuh dengan hukuman setingi-tingginya 15 tahun”.
b).“Orang yang ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan, diwajibkan mengganti
kerugian”, misalnya jual beli.

B. Isu Etis Dalam Keperawatan


6. Eutanasia
Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti
kematian) adalah praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap
tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan
dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan seringkali
berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan tersedianya perawatan atau
tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara
lainnya dianggap melanggar hukum. Karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang
ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

7.Aborsi
Cara menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah Abortus.
Berarti pengeluaran hasil konsepsi ( pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat
hidup diluar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi
kesempatan untuk bertumbuh.
a. Dalam dunia kedokteran dikenal 3 jenis aborsi:
1).Aborsi spontan atau alamiah.
Berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel
telur dan sel sperma.
2).Aborsi buatan atau sengaja.
Adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat
tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi. Misalnya
dengan bantuan obat aborsi.

3).Aborsi terapeutik atau medis.


Adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medic. Sebagai contoh,
calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit
jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya.
Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
b. Contoh-contoh Aborsi :
1).Pada kehamilan muda (dibawah 1 bulan) untuk Masa 1 Bulan:
Pada kehamilan muda, dimana usia janin masih sangat kecil, aborsi dilakukan dengan cara
menggunakan alat penghisap (suction). Sang anak yang masih sangat lembut langsung terhisap
dan hancur berantakan. Saat dikeluarkan, dapat dilihat cairan merah berupa gumpalan-gumpalan
darah dari janin yang baru dibunuh tersebut.
2).Pada kehamilan lebih lanjut (1-3 bulan) untuk Masa 1-3 Bulan:
Pada tahap ini, dimana janin baru berusia sekitar beberapa minggu, bagian-bagian tubuhnya
mulai terbentuk. Aborsi dilakukan dengan cara menusuk anak tersebut kemudian bagian-bagian
tubuhnya dipotong-potong dengan menggunakan semacam tang khusus untuk aborsi (cunam
abortus). Anak dalam kandungan itu diraih dengan menggunakan tang tersebut, dengan cara
menusuk bagian manapun yang bisa tercapai. Bisa lambung, pinggang, bahu atau leher.
Kemudian setelah ditusuk, dihancurkan bagian-bagian tubuhnya. Tulang-tulangnya diremukkan
dan seluruh bagian tubuhnya disobek-sobek menjadi bagian kecil-kecil agar mudah dikeluarkan
dari kandungan. Dalam klinik aborsi, bisa dilihat potongan-potongan bayi yang dihancurkan ini.
Ada potongan tangan, potongan kaki, potongan kepala dan bagian-bagian tubuh lain yang
mungil. Anak tak berdosa yang masih sedemikian kecil telah dibunuh dengan cara yang paling
mengerikan.
3).Aborsi pada kehamilan lanjutan (3 sampai 6 bulan) untuk Masa 3-6 Bulan:
Pada tahap ini bayi sudah semakin besar dan bagian-bagian tubuhnya sudah terlihat
jelas.Jantungnya sudah berdetak, tangannya sudah bisa menggenggam.Tubuhnya sudah bisa
merasakan sakit,karena jaringan sarafnya sudah terbentuk dengan baik.
Aborsi dilakukan dengan terlebih dahulu membunuh bayi ini sebelum dikeluarkan. Pertama
diberikan suntikan maut (saline) yang langsung dimasukkan kedalam ketuban bayi. Cairan ini
akan membakar kulit bayi tersebut secara perlahan-lahan, menyesakkan pernafasannya dan
akhirnya setelah menderita selama berjam-jam sampai satu hari bayi itu akhirnya meninggal..
Selama proses ini dilakukan, bayi akan berontak, mencoba berteriak dan jantungnya berdetak
keras. Aborsi bukan saja merupakan pembunuhan, tetapi pembunuhan secara amat keji. Setiap
wanita harus sadar mengenai hal ini.
4).Aborsi pada kehamilan besar (6 sampai 9 bulan ) untuk Masa 6-9 Bulan:
Pada tahap ini, bayi sudah sangat jelas terbentuk. Wajahnya sudah kelihatan, termasuk mata,
hidung, bibir dan telinganya yang mungil. Jari jarinya juga sudah menjadi lebih jelas dan otaknya
sudah berfungsi baik. Untuk kasus seperti ini, proses aborsi dilakukan dengan cara mengeluarkan
bayi tersebut hidup-hidup, kemudian dibunuh.
Cara membunuhnya mudah saja, biasanya langsung dilemparkan ke tempat sampah,
ditenggelamkan kedalam air atau dipukul kepalanya hingga pecah. Sehingga tangisannya
berhenti dan pekerjaan aborsi itu selesai. Selesai dengan tuntas hanya saja darah bayi itu yang
akan mengingatkan orang-orang yang terlibat didalam aborsi ini bahwa pembunuhan keji telah
terjadi.
Semua proses ini seringkali tidak disadari oleh para wanita calon ibu yang melakukan aborsi.
Mereka merasa bahwa aborsi itu cepat dan tidak sakit, mereka tidak sadar karena dibawah
pengaruh obat bius..
Mereka bisa segera pulang tidak lama setelah aborsi dilakukan. Benar, bagi sang wanita , proses
aborsi cepat dan tidak sakit. Tapi bagi bayi, itu adalah proses yang sangat mengerikan,
menyakitkan, dan benar-benar tidak manusiawi. Kematian bayi yang tidak berdosa itu tidak
disaksikan oleh sang calon ibu. Seorang w anita yang kelak menjadi ibu yang seharusnya
memeluk dan menggendong bayinya, telah menjadi algojo bagi anaknya sendiri.
c. Hukum-Hukum Aborsi
Pasal 15 ayat (1) dan (2) UndangUndang Keschatan Nomor 23 Tahun 1992. Ada beberapa hal
yang dapat dicermati dari jenis aborsi ini yaitu bahwa temyata aborsi dapat dibenarkan sccara
hukum apabila dilakukan dengan adanya pertimbangan medis. Dalam hal ini berarti dokter atau
tenaga keseliatan mempunyai hak untuk melakukan aborsi dengan mcnggunakan pertimbangan
Demi menyelamatkan ibu hamil atau janinnya.
Berdasarkan pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, tindakan
medis (aborsi) sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli.
Aborsi tersebut dapat dilakukan dengan persetujuan dari ibu hamil yang bersangkutan atau suami
atau keluargnya. Hal tersebut berarti bahwa apabila prosedur tersebut telah terpenuhi maka
aborsi yang dilakukan bersifat legal atau dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum. Dengan
kata lain vonis medis oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan
merupakan tindak pidana atau kejahatan.
Berbeda halnya dengan aborsi yang dilakukan tanpa adanya pertimbangan medis sebagaimana
yang ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 tahun
1992, aborsi jenis ini disebut dengan aborsi provokatus kriminalis. Artinya bahwa tindakan
aborsi seperti ini dikatakan tindakan ilegal atau tidak dapat dibenarkan secara hukum. Tindakan
aborsi seperti ini dikatakan sebagai tindakan pidana atau kejahatan.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengkualifikasikan perbuatan aborsi tersebut
sebagai kejahatan terhadap nyawa. Agar dapat membahas secara detail dan cermat mengenai
aborsi provokatus kriminalis, kiranya perlu diketahui bagaimana konstruksi hukum yang
berakitan dengan tindakan aborsi sebagai kejahatan yang ditentukan dalam KUHP. Pasal 346 :
"Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pasal 347 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun . (2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.

Pasal 349 : Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan.

Pasal 1 : d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mmempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang
sama dan tertentu.
Pasal 1: e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau
jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk
menggantikan alat dan atau jaringan tubuh ynag tidak berfungsi dengan baik.
Pasal 1: f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang
lain untuk keperluan kesehatan.
Pasal 1: g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti.
Ayat g mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas,maka IDI dalam seminar nasionalnya
mencetuskan fakta tentang masalah mati yaitu bahwa seseorang dikatakan mati bila fungsi
spontan pernafasan da jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible,atau terbukti telah
terjadi kematian batang otak.
Pasal 10. Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia dilaukan dengan memperhatikan
ketentuan yaitu persetujuan harus tertulis penderita atau keluarga terdekat setelah penderita
meninggal dunia.
Pasal 11: 1 Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
ditunjukolehmentri kesehatan.
Ayet 2 Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang
merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.
Pasal 12 Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tudak ada sangkut paut medik
dengan dokter yang melakukan transplantasi. Pasal 13 Persetujuan tertulis sebagaimana
dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai dengan 2(dua) orang saksi.
Pasal 14 Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank
mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia,dilakukan dengan persetujuan tertulis dengan
keluarga terdekat.
Pasal 15 : 1 Senbelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia
diberikan oleh donor hidup,calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter
yang merawatnya,termasuk dokter konsultan mengenai operasi,akibat-akibatya,dan
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Pasal 2. Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus yakin benar ,bahwa calon donor yang bersangkutan telah meyadari sepenuhnya arti dari
pemberitahuan tersebut. Pasal 16. Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak
dalam kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.
Pasal 17 Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18 Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dan semua bentuk ke
dan dari luar negeri. Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan dicantumkan
beberapa pasal tentang transplantasi sebagai berikut: Pasal 33:1 Dalam penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan jaringan tubuh,transfuse
darah ,imflan obat dan alat kesehatan,serta bedah plastic dan rekontruksi.
Pasal 2 Transplantasi organ dan jaringan serta transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan kemanusiaan yang dilarang untuk tujjuan
komersial.
Pasal 34 :1 Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan disaran kesehatan tertentu.
Pasal 2.Pengambilan organ dan jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan
kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau keluarganya.
3.Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

b).Aspek Etik Transplantasi


Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan
fungsi salah satu organ tubuhnya.dari segi etik kedokteran tindakan ini wajib dilakukan jika ada
indikasi,berlandaskan dalam KODEKI,yaitu : Pasal 2. Seorang dokter harus senantiasa
melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi. Pasal 10. Setiap dokter harus senantiasa
mengingat dan kewajibannya melindungi hidup insani.
Pasal 11. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan penderita. Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18
tahun 1981,pada hakekatnya telah mencakup aspek etik, mengenai larangan memperjual belikan
alat atu jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi atau meminta kompensasi material.
Yang perlu diperhatikan dalam tindakan transplantasi adalah penentuan saat mati seseorang akan
diambil organnya, yang dilakukan oleh 2 orang doter yang tidak ada sangkt paut medik dengan
dokter yang melakukan transplantasi,ini erat kaitannya dengan keberhasilan transplantasi, karena
bertambah segar organ tersebut bertambah baik hasilnya.tetapi jangan sampai terjadi
penyimpangan karena pasien yang akan diambil organnya harus benar-benar meninggal dan
penentuan saat meninggal dilakukan dengan pemeriksaan elektroensefalografi dan dinyatakan
meninggal jika terdapat kematian batang otak dan sudah pasti tidak terjadi pernafasan dan denyut
jantung secara spontan.pemeriksaan dilakukan oleh para dokter lain bukan dokter transplantasi
agar hasilnya lebih objektif.

8. Devicies ( Alat-Alat)
Alat-alat yang biasanya digunakan meliputi :
a. Cusa (pisau pemotong yang menggunakan gelombang ultrasonografi),
b. Meja operasi,
c. Gunting ,
d. Pisau operasi,
e. Bedah,
f. Slang-slang pembiusan,
g. Drap (kain steril yang digunakan untuk menutup bagian tubuh yang tidak dioperasi),
h. Plastic steril berkantong yang fingsinya menampung darah yang meleleh dari tubuh pasien,
i. Retractor,
j. Penghangat darah dan cairan,
k. Lampu operasi.

D.Prinsip-prinsip Legal Dalam Praktek Keperawatan


Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap langkahnya,
termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul.
Oleh karena itu pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta penerapannya menjadi
bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan keperawatan atau
kebidanan dimana nilai-nilai pasen selalu menjadi pertimbangan dan dihormati.
1. Advokasi
Advokasi adalah memberikan saran dalam upaya melindungi dan mendukung hak-hak pasien.
Hal tersebut merupakan suatu kewajiban moral bagi perawat, dalam menemukan kepastian
tentang dua sistem pendekatan etika yang dilakukan yaitu pendekatan berdasarkan prinsip dan
asuhan.

Perawat atau yang memiliki komitmen tinggi dalam mempraktekkan keperawatan profesional
dan tradisi tersebut perlu mengingat hal-hal sbb:
a. Pastikan bahwa loyalitas staf atau kolega agar tetap memegang teguh komitmen utamanya
terhadap pasen.
b. Berikan prioritas utama terhadap pasen dan masyarakat pada umumnya.
c. Kepedulian mengevaluasi terhadap kemungkinan adanya klaim otonomi dalam kesembuhan
pasien.
Istilah advokasi sering digunakan dalam hukum yang berkaitan dengan upaya melindungi hak
manusia bagi mereka yang tidak mampu membela diri. Arti advokasi menurut ANA (1985)
adalah “melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan keselamatan praktik
tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapa pun”.
Fry (1987) mendefinisikan advokasi sebagai dukungan aktif terhadap setiap hal yang memiliki
penyebab atau dampak penting.
Definisi ini mirip dengan yang dinyatakan Gadow (1983) bahwa “advokasi merupakan dasar
falsafah dan ideal keperawatan yang melibatkan bantuan perawat secara aktif kepada individu
secara bebas menentukan nasibnya sendiri”. Posisi perawat yang mempunyai jam kerja 8 sampai
10 atau 12 jam memungkinkannya mempunyai banyak waktu untuk mengadakan hubungan baik
dan mengetahui keunikan klien sebagai manusia holistik sehingga berposisi sebagai advokat
klien (curtin, 1986). Pada dasarnya, peran perawat sebagai advokat klien adalah memberi
informasi dan memberi bantuan kepada klien atas keputusan apa pun yang di buat kilen,
memberi informasi berarti menyediakan informasi atau penjelasan sesuai yang dibutuhkan klien,
memberi bantuan mengandung dua peran, yaitu peran aksi dan peran nonaksi.
Dalam menjalankan peran aksi, perawat memberikan keyakinan kepada klien bahwa mereka
mempunyai hak dan tanggung jawab dalam menentukan pilihan atau keputusan sendiri dan tidak
tertekan dengan pengaruh orang lain, sedangkan peran nonaksi mengandungarti pihak advokat
seharusnya menahan diri untuk tidak memengaruhi keputusan klien (Khonke, 1982). Dalam
menjalankan peran sebagai advokat, perawat harus menghargai klien sebagai induvidu
yangmemiliki berbagai karakteristik. Dalam hal ini, perawat memberikan perlindungan terhadap
martabat dan nilai manusiawi klien selama dalam keadaan sakit.
2. Responsibilitas
Resposibilitas (tanggung jawab) adalah eksekusi terhadap tugas-tugas yang berhubungan dengan
peran tertentu dari perawat. Pada saat memberikan tempat.
3. Loyalitas
Loyalitas merupakan suatu konsep yang melewati simpati, peduli, dan hubungan timbal balik
terhadap pihak yang secara profesional berhubungan dengan perawat. Hubungan profesional
dipertahankan dengan cara menyusun tujuan bersama, menepati janji, menentukan masalah dan
prioritas, serta mengupayakan pencapaian kepuasan bersama (Jameton, 1984, Fry, 1991).
Untuk mencapai kualitas asuhan keperawatan yang tinggi dan hubungan dengan berbagai pihak
yang harmonis, loyalitas harus dipertahankan oleh setiap perawat baik loyalitas kepada klien,
teman sejawat, rumah sakit maupun profesi.

9.Malpraktek atau Neglected


Malpraktek adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat
kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam
menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan
diwilayah tersebut.
1. kelalaian memakai tolak ukur yakni :
a. Cara Langsung
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah
bertindak berdasarkan:
1). Adanya indikasi medis
2). Bertindak secara hati-hati dan teliti
3). Bekerja sesuai standar profesi
4). Sudah ada informed consent.
b. Cara Tidak Langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
1).Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai.
2).Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan.
3).Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.(gugatan pasien).
2. Upaya Pencegahan Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya
malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

3. Sanksi Hukum
a. Jika perbuatan malpraktik khususnya yang dilakukan oleh tenaga medis, terbukti dilakukan
dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa), maka adalah hal yang sangat
pantas jika yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan
ataupun kelalaian telah an telah melakukan perbuatan melawan hukum yang bisa menghilangkan
Jika perbuatan malpraktik khususnya yang dilakukan oleh tenaga medis, terbukti dilakukan
dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa), maka adalah hal yang sangat
pantas jika yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan
ataupun kelalainyawa seseorang.
Prita terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa), maka
adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena
dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu
menghilangkan nyawa seseorang, serta tidak menutup kemungkinan juga dapat mengancam dan
membahayakan keselamatan jiwa ibu yang melakukan aborsi.
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau
bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan
terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang.

b. Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (1)‘Barang siapa karena kealpaannya


menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidasna penjara paling lama
lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. (2)’Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling
tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap mereka yang terbukti melakukan
malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika
kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan. ”Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan
malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang
lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.
c. Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan aturan kode etik
profesi praktik dokter. Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh
seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian
kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk
mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365
Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP perdata).

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan
kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap
orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga
untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
d. Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat dipastikan
bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para tim medis akan
dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan juga
tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam
situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus
malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.
e. Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama
di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of
innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa
memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan
seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban
tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran
terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik
Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

f. Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (Kodeki) sangatlah perlu ditingkatkan untuk
menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan
oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan,
dll.
Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus
sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis Kode Etik
Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan
akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia.
g. Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat
dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk
memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus
kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika
ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya.
Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif
dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum
dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya
kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar
para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya.
A. Prinsip Etika Keperawatan
Pada saat menghadapi masalah yang menyangkut etika, perawat harus mempunyai kemampuan
yang baik untuk pasien maupun dirinya.
Beberapa ahli menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari. Perawat sebenarnya telah
menghadapi permasalahan etis, bahkan Thompson dan Thompson menyatakan semua keputusan
yang dibuat dengan, atau tentang pasien mempunyai dimensi etis.
Setiap perawat harus dapat mendeterminasi dasar-dasar yang ia miliki dalam membuat keputusan
misalnya agama, kepercayaan atau falsafah moral tertentu yang menyatakan hubungan
kebenaran atau kebaikan dengan keburukan.
Beberapa orang membuat keputusan dengan mempertimbangkan segi baik dan buruk dari
keputusannya, ada pula yang membuat keputusan berdasarkan pengalamannya. Dalam membuat
keputusan etis, seseorang harus berpikir secara rasional,bukanemosional.

B.Isu Etik Dalam Keperawatan


Manusia etik adalah manusia yang bertingkah laku baik karena ia selalu memilih, dia
bertanggungjawab kepada kata hatinya menurut petunjuk kata hatinya, dia bertanggungjawab
kepada siapapun yg berhak menuntut jawab dg sah atas perbuatannya satu-satunya pedoman bagi
tingkah lakunya ialah, dia berkepribadian keyakinan bahwa apa yg dilakukan itu adalah baik,
mempunyai integritas pribadi & tidak terombang ambing oleh berbudi luhur apapun dalam
pendiriannya yang etik.

10.Transplantasi Organ
Pada dasarnya, apabila organ-organ tubuh dari seorang yang telah meninggal dunia, seperti
ginjal, hati, kornea mata, dapat menolong menyelamatkan atau memperbaiki hidup seorang
lainnya yang masih hidup, maka transplantasi yang demikian adalah baik secara moral dan
bahkan patut dipuji. Patut dicatat bahwa donor wajib memberikan persetujuannya dengan bebas
dan penuh kesadaran sebelum wafatnya, atau keluarga terdekat wajib melakukannya pada saat
kematiannya: “Transplantasi organ tubuh tidak dapat diterima secara moral, kalau pemberi atau
yang bertanggung jawab untuk dia tidak memberikan persetujuan dengan penuh kesadaran.
11.Malpraktek Dan Neglected
pelanggaran hukum atau kejahatan. Jika kelalaian itu tidak sampai Kelalaian dapat bersifat
ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati – hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli
terhadap kepentingan orang lain tetapi akibat tindakan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan
suatu membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimannya,
namun jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan atau bahkan merenggut
nyawa orang lain.

F. Informed Consent
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai “suatu
kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya
setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk
menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure
sebagai berikut : Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter Kompetensi pasien
dalam memberikan persetujuan Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan
persetujuan.
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK
PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988.
Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan
Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan
di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed consent” karena jauh sebelum itu telah
ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak
pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada
pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk.
1. Bentuk-Bentuk Persetujuan
a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1)
dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya
pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
2. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka
pelaksanaan “informed consent”, bertujuan : Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien)
secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun
tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang
bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat
canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan
tidak ada alasan medisnya;
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan
pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif,
misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah
bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi
dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan
besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak
akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai
beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia.
2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi,
urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut
:
a. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
b. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang
sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
c. Dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping,
seperti terapi dengan sinar laser, dll.
d. Dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
e. Dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan
eksperimen dengan berobjekan pasien.
3. Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan
“jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi
orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya
diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping
terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan
adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan
medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat”
(culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis
belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan
pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai
pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan
harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive
(misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan
medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut
telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal
351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed
consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent
ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau
belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam
lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.

Anda mungkin juga menyukai