Anda di halaman 1dari 108

UNIVERSITAS INDONESIA

Analisa Water Treatment pada Water Cooling System

Laporan Kerja Praktik


PT ABBOTT INDONESIA

Disusun oleh:
AJENG INAS SETYORINI
1606828066

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2019
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Laporan Kerja Praktik ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Ajeng Inas Setyorini


NPM : 1606828066
Tanda Tangan :

Tanggal :

i Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KERJA PRAKTIK
PT ABBOTT INDONESIA
CIMANGGIS, DEPOK

Menerangkan bahwa mahasiswa di bawah ini:


Nama : Ajeng Inas Setyorini
NPM : 1606828066
Jurusan : Teknologi Bioproses

Telah menyelesaikan Kerja Praktik di PT. Amerta Indah Otsuka


Pada tanggal 1 Juli – 31 Juli 2019

Dengan judul laporan:

Analisa Parameter Water Treatment pada Water Cooling System

Depok, Agustus 2019

Menyetujui,

Pembimbing Lapangan

Ardila Fachrisa

Quality System Manager

PT Abbott Indonesia

ii Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KERJA PRAKTIK
PT ABBOTT INDONESIA

Disusun oleh:
AJENG INAS SETYORINI
1606828066

Disusun untuk melengkapi prasyarat menjadi Sarjana Teknik pada program studi
Teknologi Bioproses Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia
dan telah disetujui dan diajukan dalam Presentasi Kerja Praktik.

Telah disahkan dan disetujui pada:

Depok, Agustus 2019

Mengetahui,

Mengetahui, Menyetujui,

Koordinator Kerja Praktek Pembimbing Departemen

Dr. Ir. Yuliusman, M.Eng. Cindy Dianita S.T., M.Eng


NIP. 196607201995011001 NIP. 100211610211806891

iii Universitas Indonesia


iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian Kerja Praktik di
PT. Abbott Indonesia serta mampu menyelesaikan laporan Kerja Praktik mengenai
Analisa Parameter Water Treatment pada Water Cooling System di PT Abbott Indonesia
dalam waktu yang ditetapkan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kerja praktik ini tidak akan
selesai tepat waktu tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Orangtua penulis sebagai keluarga yang selalu memberikan doa, dukungan, dan
semangat kepada penulis
(2) Cindy Dianita S.T., M.Eng, selaku dosen pembimbing dalam penyusunan laporan
Kerja Praktik yang telah banyak membantu memberikan saran, masukan serta
pembelajaran dalam penyelesaian laporan Kerja Praktik;
(3) Dr. Ir. Yuliusman, M.Eng. selaku koordinator mata kuliah Kerja Praktik
Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia;
(4) Dr. Ir. Asep Handaya Saputra, M.Eng. selaku Kepala Departemen Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Indonesia;
(5) Ir. Rita Arbianti, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan banyak nasihat, arahan dan motivasi selama perkuliahan dan dalam
penyelesaian laporan Kerja Praktik kepada penulis;
(6) Annnisaa Mumtazaa dan Nurul Hikmah selaku sahabat dan rekan saya dalam
melaksanakan Kerja Praktik selama satu bulan di PT. Abbott Indonesia yang
senantiasa bertukar wawasan serta berbagi suka dan duka;
(7) Ibu Ardila Fachrisa Manager of Quality System PT. Abbott Indonesia sekaligus
pembimbing Kerja Praktik dari pihak perusahaan yang telah sabar dan peduli
dalam membimbing selama pelaksanaan Kerja Praktik;
(8) Kak Ninis, Kak Dessy, Kak Mayang selaku karyawan Quality System yang telah
memberikan penulis banyak pengalaman dan pengetahuan baru selama
melaksanakan Kerja Praktik;
iv Universitas Indonesia
v

(9) Pak Tanzuri, Mas Japar, dan Mas Wirda yang telah banyak memberikan
pengetahuan dan wawasan kepada penulis mengenai pengolahan air yang
terstandariasasi untuk digunakan dalam Water Cooling System.
(10) Kak Berliana dan Kak Lendy selaku teman seperjuangan yang saya temui di PT.
Abbott Indonesia yang senantiasa memberikan penghiburan;
(11) Pak Sriyono dan seluruh karyawan Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik
Universitas Indonesia yang telah membantu dan memfasilitasi penulis dalam
megurus hal-hal administratif yang berkaitan dengan mata kuliah Kerja Praktik;
(12) Prayoga, Hakim, Luthfiya, Cinda, Imel, Hasna, Talitha, Septiana, dan sahabat
dekat penulis yang lain yang senantiasan memberikan semangat dan dukungan
kepada penulis selama melaksanakan kegiatan Kerja Praktik;
(13) Seluruh teman organisasi Departamen Olahraga BEM FTUI 2018 yang telah
banyak memberikan keceriaan dan semangat kepada penulis selama
melaksanakan Kerja Praktik;
(14) Seluruh mahasiswa Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas
Indonesia terutama angkatan 2016 atas bantuannya selama ini
(15) Segenap karyawan PT Abbott Indonesia yang telah memberikan penulis banyak
pengalaman dan pengetahuan baru selama melaksanakan Kerja Praktik yang
belum dapat penulis sebutkan satu persatu;
(16) Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan
bantuan dan dukungan kepada penulis dalam bentuk apapun.
Penulis memohon maaf apabila di dalam Laporan Kerja Praktik ini, terdapat
banyak kesalahan yang terjadi, baik teknis maupun non teknis. Kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan pada penulisan berikutnya. Semoga
Laporan Kerja Praktek ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, serta dapat menjadi
kontribusi nyata bagi perkembangan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan

Depok, Agustus 2019

Penulis

v Universitas Indonesia
vi

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... x
BAB 1 ...................................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Kerja Praktik .............................................................................................. 3
1.3.1 Untuk Mahasiswa............................................................................................. 3
1.3.2 Untuk Universitas ............................................................................................ 3
1.3.3 Untuk Perusahaan ........................................................................................... 4
1.4 Ruang Lingkup Kerja Praktik ................................................................................ 4
1.5 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kerja Praktik .................................................... 4
1.6 Sistematika Penulisan Laporan Kerja Praktik ....................................................... 5
BAB 2 ...................................................................................................................................... 6
2.1 Sejarah dan Perkembangan PT Abbott Indonesia ................................................. 6
2.2 Perkembangan PT Abbott Indonesia ...................................................................... 7
2.3 Visi dan Misi Perusahaan ........................................................................................ 7
2.3.1 Visi Perusahaan ............................................................................................... 7
2.3.2 Misi Perusahaan ............................................................................................... 8
2.4 Budaya Perusahaan ................................................................................................. 8
2.5 Logo Perusahaan ..................................................................................................... 9
2.6 Motto Perusahaan.................................................................................................... 9
2.7 Lokasi dan Tata Letak Perusahaan ........................................................................ 9
2.8 Struktur Organisasi ............................................................................................... 11
2.8.1 Manufacturing Department ........................................................................... 12
2.8.2 Department Engineering and EHS &E (Environment, Health and Safety &
Energy) 14

vi Universitas Indonesia
vii

2.8.3 Departemen Pelayanan Teknis (Technical Service/TS) ................................. 17


2.8.4 Quality Departement ...................................................................................... 19
2.9 Proses Produksi ..................................................................................................... 26
2.9.1 Proses Produksi Liquid .................................................................................. 26
2.9.2 Proses Produksi Solid .................................................................................... 27
2.9.3 Alur Distribusi Produk Jadi .......................................................................... 28
2.10 Produk PT Abbott Indonesia ................................................................................ 29
2.10.1 Produk yang diproduksi ................................................................................ 29
2.10.2 Produk Impor untuk Pasar Lokal ................................................................. 30
2.11 Prestasi PT Abbott Indonesia ................................................................................ 31
BAB 3 .................................................................................................................................... 32
3.1 Air Pendingin ......................................................................................................... 32
3.1.1 Pengertian Air Pendingin .............................................................................. 32
3.1.2 Jenis Sistem Air Pendingin ............................................................................ 34
3.2 Komponen dalam Water Cooling System ............................................................. 37
3.2.1 Cooling Tower ................................................................................................. 38
3.2.2 Chiller ............................................................................................................. 40
3.2.3 AHU................................................................................................................ 42
3.2.4 Dehumidifier ................................................................................................... 43
3.3 Sumber Air Water Cooling System ........................................................................ 44
3.4 Zat Pengotor Dalam Air ........................................................................................ 44
3.4.1 Padatan Tersuspensi dalam Air .................................................................... 45
3.4.2 Padatan Terlarut ............................................................................................ 45
3.4.3 Kesadahan ...................................................................................................... 45
3.4.4 Alkalinitas (Alkalinity) .................................................................................. 45
3.4.5 Gas Terlarut ................................................................................................... 46
3.5 Masalah yang Timbul dalam Water Cooling System ........................................... 46
3.3.1 Korosi ............................................................................................................. 46
3.3.2 Scale ................................................................................................................ 47
3.3.3 Fouling ............................................................................................................ 48
3.3.4 Biological Contaminant .................................................................................. 48
3.6 Perawatan Water Cooling System......................................................................... 49
3.6.1 Pre-Treatment ................................................................................................. 49

vii Universitas Indonesia


viii

3.6.2 Monitoring ...................................................................................................... 53


3.6.3 Controlling ...................................................................................................... 58
BAB 4 .................................................................................................................................... 64
4.1 Metodologi Penelitian ............................................................................................ 64
4.1.1 Diagram Alir Penelitian ................................................................................. 64
4.1.2 Studi Literature dan Lapangan ..................................................................... 65
4.1.3 Metode Pengolahan Data ............................................................................... 65
4.2 Hasil dan Pembahasan .......................................................................................... 77
4.2.1 Data Pengamatan ........................................................................................... 77
4.2.2 Analisis Hasil Parameter ............................................................................... 81
BAB 5 .................................................................................................................................... 93
5.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 93
5.2 Saran ...................................................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 96

viii Universitas Indonesia


ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Logo PT Abbott Indonesia................................................................................................. 9


Gambar 2.2 Denah Pabrik PT Abbott Indoesia Cimanggis ................................................................... 10
Gambar 2.3 Tampak Atas PT Abbott Indonesia ................................................................................... 10
Gambar 2.4 Tampak Depan PT Abbott Indonesia ................................................................................ 11
Gambar 2.5 Struktur Organisasi PT Abbott Indonesia .......................................................................... 24
Gambar 2.6 Struktur Organisasi Departemen Manufaktur PT Abbott Indonesia .................................... 25
Gambar 2.7 Struktur Organisasi Departemen Pemastian Mutu (QA) PT Abbott Indonesia .................... 25
Gambar 2.8 Bagan Alir Proses Produksi Produk Liquid ....................................................................... 26
Gambar 2.9 Bagan Alir Proses Produksi Produk Solid ......................................................................... 28
Gambar 2.10 Alur Distribusi Produk Jadi ............................................................................................ 29
Gambar 3.1 Once through.system ........................................................................................................ 35
Gambar 3.2 Open evaporative recirculating systems ............................................................................ 36
Gambar 3.3 Closed nonevaporative recirculating systems .................................................................... 37
Gambar 3.4 Skema Menara Pendingin ................................................................................................. 39
Gambar 3.5 Skema Aliran Chiller ........................................................................................................ 41
Gambar 3.6 Skema Aliran AHU .......................................................................................................... 43
Gambar 3.7 Bentuk-bentuk Korosi ...................................................................................................... 47
Gambar 3.8 Pengaruh pH terhadap laju korosi baja ringan yang tidak terlindungi dalam air .................. 60
Gambar 4.1 Diagram Alir Penelitian .................................................................................................... 64
Gambar 4.2 Process Flow Water Cooling System ................................................................................ 66
Gambar 4.3 Ground Tank PT Abbott Indonesia ................................................................................... 68
Gambar 4.4 Cooling Tower PT Abbott Indonesia................................................................................. 68
Gambar 4.5 Chiller PT Abbott Indonesia ............................................................................................. 69
Gambar 4.6 Air Handling Unit PT Abbott Indonesia ............................................................................ 69
Gambar 4.7 Dehumidifier PT Abbott Indonesia ................................................................................... 70
Gambar 4.8 Grafik Perbandingan pH di Ground Tank dan Cooling Tower ........................................... 82
Gambar 4.9 Grafik Perbandingan M-Alkalinity di Ground Tank dan Cooling Tower ............................ 83
Gambar 4.10 Grafik Perbandingan Ca-Hardness di Ground Tank dan Cooling Tower .......................... 84
Gambar 4.11 Grafik Perbandingan T-hardness di Ground Tank dan Cooling Tower ............................. 85
Gambar 4.12 Grafik Perbandingan Iron di Ground Tank dan Cooling Tower ........................................ 86
Gambar 4.13 Grafik Perbandingan Silica di Ground Tank dan Cooling Tower ..................................... 87
Gambar 4.14 Grafik Perbandingan Conductivity di Ground Tank dan Cooling Tower .......................... 88
Gambar 4.15 Grafik Perbandingan Turbidity di Ground Tank dan Cooling Tower ............................... 89
Gambar 4.16 Grafik Perbandingan TSS di Ground Tank dan Cooling Tower....................................... 90
Gambar 4.17 Grafik Perbandingan Chlorine di Ground Tank dan Cooling Tower ................................. 91

ix Universitas Indonesia
x

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Parameter Air Pendingin ...................................................................................................... 34


Tabel 3.2 Cooling Water Treatment...................................................................................................... 51
Tabel 3.3 Klasifikasi Air Berdasarkan T Hardness ................................................................................ 55
Tabel 3.4 Jenis Metode Kontrol Untuk Scale ........................................................................................ 59
Tabel 3.5 Metode Kontrol Foulant........................................................................................................ 61
Tabel 4.1 Data Pengamatan Sampel Air I ............................................................................................. 77
Tabel 4.2 Data Pengamatan Sampel Air II ............................................................................................ 78
Tabel 4.3 Data Pengamatan Sampel Air III ........................................................................................... 78
Tabel 4.4 Data Pengamatan Sampel Air IV........................................................................................... 79
Tabel 4.5 Data Pengamatan Sampel Air V ............................................................................................ 80
Tabel 4.6 Data Pengamatan Sampel Air VI........................................................................................... 80
Tabel 4.7 Data Pengamatan Sampel Air VII ......................................................................................... 81
Tabel 4.8 Perbandingan Ortho-Phosphate ............................................................................................. 87
Tabel 4.9 Perbandingan Chloride ......................................................................................................... 91

x Universitas Indonesia
1

1. BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Industri farmasi merupakan salah satu industri strategis yang menyangkut
kesehatan manusia dalam rangka mewujudkan kesehatan nasional melalui aktivitasnya
dalam bidang pembuatan obat. Tingginya kebutuhan akan obat dalam dunia kesehatan
dan vitalnya aktivitas obat mempengaruhi fungsi fsiologis tubuh manusia, sehingga
melahirkan sebuah tuntutan terhadap industri farmasi agar mampu memproduksi obat
yang berkualitas. Industri farmasi harus membuat obat sesuai dengan tujuan
penggunaannya, memenuhi persyaratan yang ditetapkan, dan tidak menimbulkan resiko
yang membahayakan penggunaannya. Oleh karena itu, industri farmasi harus berupaya
untuk menghasilkan produk yang aman, bermutu, dan efektif, serta memenuhi standar
kualitas yang dipersyaratkan (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia,
2006). Salah satu upaya yang dilakukan industri farmasi dalam ragka meningkatkan
kualitas obat yang diproduksinya yaitu dengan menerapkan GMP (Good Manufactaring
Practice).

Salah satu upaya yang dilakukan industri farmasi dalam rangka meningkatkan
kualitas obat yang diproduksinya yaitu dengan menerapkan GMP (Good Manufacturing
Practise). Di Indonesia, istilah GMP lebih dikenal dengan CPOB (Cara Pembuatan Obat
yang Baik) yang dinamis. Melalui pedoman CPOB semua aspek yang berhubungan
dengan produksi dan pengendalian mutu obat diperhatikan dan ditentukan sedemikian
rupa dengan tujuan untuk menjamin bahwa produk obat dibuat senantiasa memenuhi
persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.

Dalam memproduksi suatu obat, setiap industri farmasi harus dapat memenuhi
Cara pembuatan Obat yang Baik (CPOB) agar dapat menjamin dan menghasilkan produk
yang bermutu. Perkembangan yang sangat pesat dan teknologi farmasi dewasa ini
mengakibatkan perubahan-perubahan yang sangat cepat pula dalam konsep serta
persyaratan CPOB. CPOB merupakan pedoman pembuatan obat bagi industri farmasi di
Indonesia yang bertujuan untuk menjamin obat yang dibuat secara konsisten dapat
1 Universitas Indonesia
2

memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunanya. CPOB
mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu.

Aspek-aspek yang berpengaruh dalam CPOB antara lain personalia, bangunan


dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan hygiene, produksi, pengawasan mutu, dokumentasi
dan inspeksi diri yang meliputi penanganan keluhan terhadap obat, penarikan kembali
obat, dan obat kembalian.

Salah satu aspek dalam CPOB adalah mengenai personalia, yang salah satunya
adalah engineer. Dalam industri farmasi engineer berperan penting dalam industri farmasi
untuk menunjang dan memenuhi suatu proses produksi berjalan dengan baik sesuai
dengan standar yang telah ditentukan oleh suatu industri farmasi untuk menjamin kualitas
obat yang dihasilkan. Sehingga seorang engineer dituntut untuk mempunyai wawasan,
pengetahuan yang luas dan pengalaman praktis yang memadai serta kemampuan dalam
memahami dan mengambil keputusan agar dapat mengatasi permasalahan- permasalahan
baik itu menyangkut proses yang melibatkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Departemen yang berkaitan langsung dengan hal tersebut salah satunya adalah
Departemen Engineering divisi Utility yang bertanggung jawab untuk menyediaan
sumber energi listrik, uap air panas, air bersih, pengatur suhu ruangan produksi (AC), dan
pemasangan peralatan.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, calon engineer harus mendapatkan


bekal pengetahuan dan pengalaman praktis yang cukup yang salah satunya dapat
diperoleh melalui kegiatan kerja praktik. PT. Abbott Indonesia memberi kesempatan
kepada calon engineer untuk melaksanakan kerja praktik yang berlangsung dari
tanggal 1 Juli 2019 – 31 Juli 2019.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan yang telah diuraikan, rumusan
masalah yang ingin dijawab dalam kerja praktik ini adalah sebagi berikut.

1. Bagaimana proses produksi dan treatment alat utilitas di pabrik PT. Abbott
Indonesia Cimanggis?

Universitas Indonesia
3

2. Bagaimana cara mendapatkan nilai-nilai dari parameter pH, M-Alkalinity, Ca-


Hardnes, T-Hardness, Iron, Silica, Ortho-Phospat, Conductivity, Turbidity, Total
Suspended Solid, Chlorine, dan Chloride?
3. Bagaimana cara kerja unit Cooling Tower, Chiller, AHU, dan Dehumidifier,
dalam menyuplai udara dingin untuk memfasilitasi proses produksi?
4. Bagaimana proses pengolahan air tanah sebelum masuk kedalam Cooling Tower
dan Chiller?
5. Bagaimana mengoptimalkan proses pengolahan air pada alat Water Cooling
System?

1.3 Tujuan Kerja Praktik


Tujuan dilaksanakannya Kerja Praktik ini adalah sebagai berikut.

1.3.1 Untuk Mahasiswa


Tujuan dilaksanakannya Kerja Praktik bagi mahasiswa adalah:
a. Mengetahui profil perusahaan PT. Abbott Indonesia Cimanggis.
b. Memperoleh pengalaman kerja secara aplikatif juga langsung di lapangan dalam
dunia industri, khususnya yang terkait dengan teknologi produksi produk-produk
obat dan pengolahan utilitas alat industri di PT Abbott Indonesia.
c. Mengenal dan memahami alur proses kerja dan treatment alat utilitas Cooling
Tower yang dibutuhkan untuk proses produksi obat PT Abbott Indonesia
d. Memenuhi salah satu mata kuliah wajib Departemen Teknik Kimia Fakultas
Teknik Universitas Indonesia yang merupakan prasyarat bagi mahasiswa untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknik.
1.3.2 Untuk Universitas
Tujuan diadakannya mata kuliah kerja praktik bagi universitas adalah :

a. Menciptakan keterkaitan dan kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak
universitas dengan pihak perusahaan dalam rangka meningkatkan wawasan,
keterampilan, penguasaan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) serta
profesionalisme sebagai tuntutan di era globalisasi.

Universitas Indonesia
4

b. Mengetahui kemampuan mahasiswa dalam mengaplikasikan ilmu yang telah


diberikan di perkuliahan dalam dunia kerja.
c. Mengetahui kesesuaian mata kuliah yang diadakan dengan kompetensi yang
dibutuhkan dalam dunia kerja sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan
kurikulum pembelajaran.
d. Mengetahui kompetensi Pendidikan Teknik Kimia untuk mengembangkan dan
meningkatkan kualitasnya, khususnya pada Departemen Teknik Kimia Fakultas
Teknik Universitas Indonesia.
1.3.3 Untuk Perusahaan
Tujuan penerimaan mahasiswa untuk kerja praktik di perusahaan adalah:
a. Menciptakan keterkaitan dan kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak
perusahaan dengan pihak universitas dalam rangka meningkatkan wawasan,
keterampilan, penguasaan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) serta
profesionalisme sebagai tuntutan di era globalisasi.
b. Mewujudkan CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan dalam hal
memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat di bidang pendidikan.
c. Mendapatkan masukan dan ide baru dari mahasiswa untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan.
1.4 Ruang Lingkup Kerja Praktik
Ruang lingkup kegiatan Kerja Praktik penulis di PT. Abbott Indonesia yang
berlokasi di Jalan Raya Jakarta Bogor KM 37 Cimanggis, Depok dilakukan di bagian
Quality System, namun untuk pengambilan data tugas khusus penulis mengambil data di
bagian Environmental, Health, and Safety, secara spesifik di utilitas alat proses. Fokusnya
adalah terkait sistem alat utilitas Cooling Water dengan treatment beberapa parameter
yang ditinjau sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan oleh pabrik. Selain itu,
dilakukan juga evaluasi terkait nilai dari parameter-parameter pada keluaran cooling
water yang ditinjau secara teoritis.

1.5 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kerja Praktik


Kerja Praktik dilaksanakan di PT. Abott Indonesia yang beralamat di Jalan Raya
Jakarta Bogor KM 37, Cimanggis, Depok. Pada Kerja Praktik ini, penulis ditempatkan di
Universitas Indonesia
5

Departemen Quality System sebagai supporting system dan diperbolehkan mengambil


data pada departemen Engineering divisi Utility. Pelaksanaan Kerja Praktik ini
berlangsung selama 1 bulan dari tanggal 1 Juli 2019 hingga 31 Juli 2019. Kerja Praktik
dilaksanakan pada hari Senin-Jumat pada pukul 08.00 – 17.00 WIB setiap harinya.

1.6 Sistematika Penulisan Laporan Kerja Praktik


Sistematika penulisan laporan kerja praktik ini dibagi menjadi beberapa bab yakni
sebagai berikut.
BAB 1 PENDAHULUAN
Pada Bab ini dijelasakan mengenai hal-hal yang melandasi pelaksanaan
kerja praktik, yaitu meliputi latar belakang, tujuan Kerja Praktik, rumusan
masalah, ruang lingkup Kerja Praktik, tempat dan waktu pelaksanaan
Kerja Praktik, metode pelaksanaan Kerja Praktik, tugas Kerja Praktik, dan
sistematika penulisan.
BAB 2 PROFIL UMUM PERUSAHAAN
Pada Bab ini dijelaskan mengenai profil umum perusahaan seperti sejarah
dan perkembangan, visi dan misi, budaya, logo, motto, lokasi dan tata
letak, struktur organisasi, proses produksi, produk, serta prestasi PT.
Abbott Indonesia Cimanggis.
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA
Pada Bab ini dituliskan beberapa teori dasar yang digunakan sebagai
landasan dalam menganalisa data pengamatan yang didapatkan dari hasil
kerja praktik.
BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang tugas khusus yang diberikan oleh PT. Abbott
Indonesia yang terdiri atas pendahuluan, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian, pengolahan data, hasil dan pembahasan.
BAB 5 PENUTUP
Pada Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran dari laporan.

Universitas Indonesia
6

2. BAB 2
PROFIL UMUM PERUSAHAAN

2.1 Sejarah dan Perkembangan PT Abbott Indonesia


Abbott adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang farmasi yang didirikan
oleh dokter dan pemilik apotek Dr. Wallace C. Abbott. Pada 1888 beliau memproduksi
obat-obat yang diformulasi secara akurat dan ilmiah dengan tujuan menyediakan terapi
yang lebih efektif untuk para pasien dan dokter dalam praktiknya.

Usaha ini dimulai dengan produksi obat granul "alkaloid" oleh Dr. Wallace C.
Abbott pada apotek miliknya yang bernama People’s Drug Store di Chicago. Obat-obat
yang ia temukan mengandung bahan aktif dari tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumputan.
Penjualan tahun pertama mencapai $2.000. Selain itu, juga berkembang menjadi
perusahaan berbadan hukum yang bernama “Abbott Alkaloidal Company”. Abbott adalah
sebuah penerbit buku-buku kedokteran sekaligus pabrik.

Setiap tahun Abbott selalu berkembang dan menemukan banyak terobosan baru
seperti Chlorazene hingga Xience V, yang menjadi obat terdepan saat ini.

Selama lebih dari 125 tahun, Abbott telah beradaptasi dengan lingkungan
perawatan kesehatan yang semakin kompleks dengan mempertahankan fokusnya yaitu
membantu tiap individu mencapai kesehatan terbaik yang mungkin dicapainya, di semua
tahap kehidupan, di seluruh dunia.

Abbott berdedikasi untuk membuat produk yang terbaik yang meliputi lingkaran
kehidupan, dari bayi baru lahir hingga lanjut usia, dari nutrisi hingga diagnostik melalui
pelayanan kedokteran dan terapi obat farmasi. Abbott memajukan ilmu dan teknologi
untuk selalu menghasilkan terobosan terbaru.

Area bisnis Abbott meliputi nutrisi untuk memelihara tubuh, diagnostik untuk
memberikan informasi akurat, perawatan vascular untuk memberikan perawatan jantung
dengan teknologi terkini, perawatan diabetes untuk membantu penderita diabetes hidup
lebih baik dan aktif, serta farmasi untuk menyediakan obat-obatan terpercaya bagi

6 Universitas Indonesia
7

kesehatan.

Fokus inovasi Abbott saat ini adalah merintis pengelolaan diabetes dengan
teknologi penginderaan inovatif mampu menampilkan kadar glukosa dengan sekali
pemindaian, merevolusi kesehatan jantung menggunakan alat yang membuka pembuluh
darah jantung yang tersumbat dan larut seiring waktu, serta membawa pemeriksaan
diagnostik saat ini yang lebih tinggi melalui sebuah pendekatan yang sebelumnya tidak
pernah ada untuk memberikan solusi diagnostik yang lebih efisien dan lengkap.

2.2 Perkembangan PT Abbott Indonesia


Pada 1970 PT Abbott Indonesia didirikan sebagai penyalur produksi obat Abbott
di Indonesia. PT Abbott Indonesia plant Cimanggis dibangun untuk menyalurkan
produksi dari Abbott Laboratories di Jakarta. Lebih dari 600 karyawan Abbott berfokus
pada membantu orang-orang Indonesia menjalani kehidupan terbaiknya selama lebih dari
40 tahun.

Operasi Abbott di Indonesia termasuk Kardiovaskular, Diabetes, Diagnostik,


Farmasi, dan Nutrisi. Namun pada plant Cimanggis, PT Abbott Indonesia hanya
memproduksi obat-obatan seperti Surbex, Brufen, Pedialyte, dan lainnya.

2.3 Visi dan Misi Perusahaan


2.3.1 Visi Perusahaan
Visi Abbott adalah menjadi bisnis yang terdepan, bertanggung jawab,
berkelanjutan, dan inklusif.

Abbott percaya bahwa bisnis yang bertanggung jawab, berkelanjutan dan inklusif
berperan penting dalam membangun masyarakat yang sehat dan sejahtera, sehingga
Abbott berupaya mendukung perkembangan kesejahteraan ekonomi, lingkungan dan
sosial melalui bisnis dan kerja sama kami dengan pihak lain.

Setiap hari, banyak orang di seluruh dunia mengandalkan produk Abbott tidak
hanya untuk hidup lebih lama, namun juga lebih baik, sehingga Abbott menjalankan
bisnis dengan cara yang benar, untuk jangka panjang dan demi manfaat bagi banyak
orang.
Universitas Indonesia
8

Upaya kemasyarakatan Abbott berfokus pada tiga prioritas yang menguntungkan


komunitas dan bisnis kami serta sejalan dengan keahlian ilmiah, kecerdasan bisnis dan
keunikan sumber daya yang dimiliki.

2.3.2 Misi Perusahaan


Untuk mewujudkan misi perusahaan, PT Abbott Indonesia memiliki misi yaitu :

1. Praktik bisnis yang bertanggung jawab, yaitu menjalankan bisnis dengan cara
yang benar untuk jangka panjang. Setiap hari, melalui tindakan besar maupun
kecil, memastikan bahwa bisnis yang dijalankan bermanfaat bagi banyak orang
yang akan dilayani.
2. Bisnis yang inklusif atau nilai bersama, yaitu dengan membangun kapasitas
rantai pasokan, menciptakan produk yang dilokalkan, memperluas jangkauan
produk dan mengatasi hambatan bagi pelayanan, Abbott bekerja untuk
memenuhi kebutuhan sosial yang sebelumnya terabaikan sekaligus membangun
bisnis.
3. Strategi kemanusiaan, yaitu Abbott dan yayasan Abbott Fund, mendukung
program sosial yang sejalan dengan bisnis kami, dengan memanfaatkan berbagai
keahlian khusus dari karyawan Abbott dan produk inovatif.

Sehingga misi PT Abbott Indonesia adalah “To become supply center for ASEAN
countries by providing high quality pharmaceutical products, with orientation to the
customer and stakeholder satisfaction whilst maintaining compliance to corporate and
ustomer regulations at the most effective cost”.

2.4 Budaya Perusahaan


Budaya kerja perusahaan adalah sesuatu yang diyakini dapat menghantarkan
perusahaan untuk mencapai goal yang telah ditetapkan. PT Abbott Indonesia memiliki
budaya kerja/ core value yang terdiri atas:

 Pioneering (Pelopor)
 Achieving (Meraih)
 Caring (Peduli)
Universitas Indonesia
9

 Enduring (Abadi)

2.5 Logo Perusahaan


Logo PT Abbott Indonesia terdiri atas huruf “A” yang melambangkan nama Dr.
Wallace Abbott sebagai pendiri Abbott.

Gambar 2.1 Logo PT Abbott Indonesia

(Sumber : Abbott.com, 2019)

2.6 Motto Perusahaan


PT Abbott Indonesia memiliki slogan yaitu “A Promise for Life”. Slogan tersebut
menggambarkan bahwa PT Abbott Indonesia berharap mampu berdedikasi untuk
memenuhi janji mengembangkan potensi manusia, di semua tempat, di segala aspek dan
tahap kehidupan. PT Abbott Indonesia percaya bahwa kesehatan adalah kunci pemenuhan
janji tersebut. Karena pada kondisi sehat, apapun mampu untuk dicapai. Dan itulah upaya
PT Abbott Indonesia membantu setiap orang mencapai kesehatan terbaik mereka di setiap
tahap kehidupan tidak akan pernah berakhir. Seperti inilah cara PT Abbott Indonesia
mewujudkan keyakinan tersebut menjadi praktik nyata setiap hari.

2.7 Lokasi dan Tata Letak Perusahaan


PT Abbott Indonesia memiliki pabrik yang terletak di Jalan Raya Jakarta Bogor
KM 37, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Indonesia, sedangkan kantor pusat terletak di
Wisma Pondok Indah 2, Suite 1100 Jalan Sultan Iskandar Muda KAv. V-TA Pondok
Indah, Jakarta Selatan. Pabrik memiliki luas bangunan 22.671 m², meliputi bangunan
kantor, bangunan pabrik yang teridiri dari bagian pemastian mutu, area proses, gudang,
area pengemasan, kantin, area teknik mesin, gudang bahan mudah terbakar, gudang bahan
limbah, dan sara pengeloloaan limbah. Rinciannya adalah: bangunan kantor 1.295 m²,
bangunan pabrik yang terdiri dari bagian pemastian mutu 247 m², produksi 1.548 m²,
Universitas Indonesia
10

gudang 2.420 m², sarana penunjang 833 m², parkir 1.939 m², taman 14.302 m², dan area
sisa 87 m².

Gambar 2.2 Denah Pabrik PT Abbott Indoesia Cimanggis

PT Abbott

Indonesia

Gambar 2.3 Tampak Atas PT Abbott Indonesia

(Sumber : Google Earth, 2019)

Universitas Indonesia
11

Gambar 2.4 Tampak Depan PT Abbott Indonesia

(Sumber : Google Earth, 2019)

2.8 Struktur Organisasi


Secara garis besar PT Abbott Indonesia terdiri dari Abbott Nutritional International
(ANI) Indonesia, Abbott International (AI) Indonesia, Abbott Diabetic Care (ADC),
Abbott Diagnostic Division (ADD), dan Established Pharmaceutical Operation (EPO).
ANI Indonesia berada di bawah pimpinan seorang Manajer dan bertanggung jawab
terhadap penjualan produk-produk nutrisi. ANI Indonesia terdiri dari beberapa divisi,
yaitu Divsi Pemasaran, Divisi Penjualan, dan Divisi Bisnis. AI Indonesia bertanggung
jawab terhadap penjualan produk-produk farmasi dan berada dibawah pimpinan seorang
Manajer yang membawahi Divisi Produk Farmasi dan Divisi Produk Rumah Sakit. AI
dan ANI masih berhubungan dengan bagian EPO dalam mengelola produk jadi,
sedangkan ADC dan ADD tidak berhubungan dengan EPO, tetapi produk langsung ke
distributor tanpa melalui Abbott Indonesia.
Pada produk farma local, EPO melakukan proses pembuatan sampai pengemasan,
sedangkan untuk produk impor, seperti nutrisi, hanya melakukan perubahan kemasan
(overlabeling). EPO juga melayani negara-negara pengimpor untuk produk-produk
tertentu seperti antibiotic (Klaritromisin, Eritromisin topical), vitamin (Surbex T, Surbex
Z), dan hematinic (Iberet, Iberet Folic), dengan melakukan proses pembuatan sampai
pengemasan.
EPO terdiri dari Departemen Manufaktur yang dipimpin oleh seorang Direktur dan
Universitas Indonesia
12

membawahi Manajer Manajemen Material, Manajer Produksi, Manajer Bagian Teknik


Mesin, Manajer Pelayanan Teknis, dan Manajer Keuangan serta Departemen Pemastian
Mutu yang dipimpin oleh seorang Kepala Mutu dan membawahi Manajer Pengawasan
Mutu, Manajer Pemenuhan Sistem Mutu dan Pelatihan, Spesialis Pengawasan Dokumen,
dan Manajer Pemastian Mutu.
Berikut ini adalah deskripsi dari jabatan dalam struktur organisasi pada PT Abbott
Indonesia di Plant Area atau EPO.

2.8.1 Manufacturing Department


Manufacturing Departement dipimpin oleh seorang Direktur dan membawahi
Departemen Material Management, Departemen Produksi, Departemen Engineering,
Departemen Technical Service, Departemen Environmental, Health, Safety and Energy.

2.8.1.1 Departemen Produksi


Bagian produksi bertugas melakukan proses pembuatan obat agar senantiasa di
hasilkan produk-produk bermutu tinggi yang memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan oleh Abbott Internasional dengan menerapkan prinsip-prinsip CPOB.

Manager produksi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh 3 orang supervisor,


yaitu 1 orang bertanggung jawab terhadap proses produksi produk solid (Solid Product
Supervisor), orang bertanggung jawab terhadap proses produksi liquid (Liquid Product
Supervisor) dan 1 orang yang bertanggung jawab terhadap proses pengemasaan
(Finishing Supervisor).

2.8.1.2 Departemen Management Material (MM)


Departemen Manajemen Material terdiri dari 5 bagian yaitu Pengawasan
Persediaan dan Perencanaan Produksi (Production Planning and Inventory
Control/PPIC), Gudang, Ekspor-Impor, Purchasing dan Distributor. Departemen
Manajemen Material berhubungan dengan bagian lain dalam kegiatannya yaitu
Departemen Pemastian Mutu, Produksi, Keuangan, Pemasaran dan Distribusi.

1) Production planning and Inventoty Control (PPIC) Production planning and


Inventoty Control (PPIC)

Universitas Indonesia
13

Merupakan jembatan antara bagian pemasaran dan bagian produksi. PPIC


menerjemahkan kebutuhan pengadaan barang ke dalam bentuk rencana
produksi dan rencana ketersediaan bahan baku serta bahan pengemas dengan
mempertimbangkan efisiensi, produktivitas dan produk yang bermutu serta
pengaturan persediaan untuk efisiensi biaya.

a) Perencanaan produksi
b) Perencanaan bahan dan kapasitas
c) Pengendalian persediaan
2) Gudang/Warehouse
Gudang PT.Abbott Indonesia memiliki fungsi diantaranya untuk penerimaan,
penyimpanan, penyiapan, penyaluran atau pengeluaran barang (bahan baku,
bahan pengemasan dan produk jadi).

a) Penerimaan
b) Penyimpanan
Barang-barang yang diterima dan disetujui oleh bagian pengawasan mutu
disimpan berdasarkan spesifikasinya, dan sistem penyimpanan dilakukan
secara locator system, yaitu dengan menggunakan abjad dan angka. Sistem
penyimpanan ini dimasukkan kedalam sistem komputerisasi BPCS, hal ini
dilakukan untuk mempermudah dalam penyimpanan dan pengambilan
barang.Gudang di PT.Abbott Indonesia.

c) Penyiapan barang
Gudang menyiapkan barang berupa bahan baku atau produk jadi untuk
dikirim ke distributor dan bagian produksi saat ada order. Gudang akan
mengeluarkan packing list berisi daftar barang yang harus disiapkan untuk
dikirim.

d) Pengeluaran barang
Barang dikeluarkan dari gudang ke bagian produksi atau ke distributor.

3) Purchasing

Universitas Indonesia
14

4) Distributor
5) Ekspor-Impor
2.8.2 Department Engineering and EHS &E (Environment, Health and Safety &
Energy)
Dalam pelaksanaan tugas, Engineering Department terdiri dari beberapa bagian, yaitu
:

2.8.2.1 Engineering
Bagian ini bertugas memelihara dan merawat perlengkapan, termasuk mesin-
mesin dan peralatan untuk proses produksi dan pengemasan.

2.8.2.2 Utility
Bertanggung jawab dalam penyediaan sumber daya yang diperlukan, agar pabrik
dapat berproduksi sesuai kebutuhan. Utility(sarana penunjang) meliputi Tenaga
listrik, compress air (udara bertekanan), Boiler (uap panas), HVAC (Heating,
Ventilation, and Air Conditioning) dan purified water (air bersih).

2.8.2.3 Kalibrasi
Semua alat ukur, mesin dan peralatan produksi harus dikalibrasi oleh bagian
kalibrasi agar tetap memiliki pengukuran sesuai standar.

Kalibrasi dapat dilakukan secara in situ dan ek situ. Kalibrasi alat secara in situ
dilakukan di tempat, sedangkan secara ek situ dilakukan oleh KIM LIPI (Kantor
Instrumentasi Metrologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Interval kalibrasi
dilakukan selama enam bulan atau satu tahun tergantung dari alat yang akan dikalibrasi.

Kemudian bagian departemen EHS & E dipimpin oleh seorang Manajer yang
bertanggung jawab dalam pengolahan limbah, kesehatan karyawan, keamanan dan
keselamatan karyawan dalam bekerja dan mengorganisir pengaturan energi.

1) Sistem manajemen EHS di PT. Abbott Indonesia


Pada ISO 14000 dan OHSAS 18000. EHS merupakan suatu sistem
pengorganisasian dan pengendalian kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan:

a) Mengintegrasikan EHS di dalam proses bisnis perusahaan (global


Universitas Indonesia
15

management standard & global technical standard) .


b) Memenuhi semua hukum peraturan pemerintahan mengenai EHS dalam
memenuhi Standar Manajemen Global Abbott. Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut maka dilakukan upaya yang harus dijalankan oleh Departemen EHS.
2) Tanggung jawab dari Departemen EHS PT. Abbott Indonesia
Departemen EHS PT. Abbott Indonesia bertanggung jawab dalam pengelolaan :

a) Lingkungan ( Environment)
Departemen EHS bertanggung jawab terhadap pengolahan limbah industri
sebelum dibuang ke lingkungan.

Limbah yang dihasilkan oleh PT. Abbott Indonesia dibedakan menjadi dua
macam yaitu :

(1) Limbah padat


Limbah padat PT. Abbott Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu :

(a) Limbah bahan beracun dan berbahaya (B3)


Yang termasuk limbah B3 yaitu bahan-bahan yang reaktif, mudah
terbakar, mudah meledak, beracun atau menyebabkan infeksi.
Limbah B3 akan dikumpulkan, ditimbang dan dikirim ke PT. Prima
Karya untuk diolah.

(b) Limbah domestik


Limbah domestik berasal dari sisa bahan kemas yang rusak antara
lain aluminium foil, kardus, karton, palet, dan sebagainya
dihancurkan dan diserahkan ke PPI.

(c) Limbah nutrisi


Limbah produk nutrisi yang kadaluarsa atau produk pengembalian
dijadikan sebagai makanan ternak sapi, ayam dan lain- lain.

(2) Limbah cair


Limbah cair PT. Abbott Indonesia berasal dari sisa produksi, sisa pencucian
dan limbah cair B3. Limbah cair B3 dikirim ke PT. Prima Karya dan limbah
Universitas Indonesia
16

cair selain limbah B3 diolah sendiri oleh PT. Abbott Indonesia. Pengolahan
limbah cair dilakukan secara kimia dan biologi melalui bebererapa tahapan
yaitu :

(a) Limbah cair akan masuk ke dalam tangki penampungan.


(b) Limbah tersebut ditampung dalam collected chamber. Kemudian
limbah dialirkan ke bak penampungan utama (equalization tank)
melalui bar screen berupa bak-bak kecil bersekat dengan tujuan
memisahkan padatan agar mengendap dalam bak tersebut sebelum
mencapai bak penampungan utama.
(c) Dalam equalization tank, limbah akan diaduk menggunakan
pengaduk agar padatan terhomogenisasi dalam campuran limbah
kemudian pemberian nutrisi untuk bakteri yang ada dalam
equalization tank.
(d) Limbah dari bak penampungan utama dipompa ke aerator tank
selama waktu tertentu. Dalam tangki ini dilakukan proses aerasi
dimana udara dipompa dari bawah ke dalam campuran limbah
sehingga berfungsi juga sebagai pengaduk.
(e) Pada bak aerasi ini ditambahkan urea dan NPK secara otomatis
melalui pompa sebagai sumber nutrisi bagi bakteri pengurai.
Dalam bak aerasi ini, pH limbah harus 6-8.
(f) Limbah kemudian dialirkan ke dalam clarifier tank untuk
memisahkan endapan dan bagian yang cair, dimana endapan
(lumpur mati) akan ditampung ke dalam sludge collector,
dikeringkan dalam sludge drying chamber dan dimasukkan ke
dalam drum plastic untuk dikirim ke PT. Prima Karya. Untuk
limbah hidup (limbah aktif) akan diolah kembali ke proses
sebelumnya. Sedangkan bagian yang cair (air hasil pengolahan)
akan dialirkan ke treated water tank.
(g) Air dalam treated water tank ditambahkan natrium hipoklorida
untuk membunuh bakteri dan kemudian dialirkan ke dalam tangki
Universitas Indonesia
17

yang berisi karbon aktif untuk menjernihkan air hasil pengolahan


dan menghilangkan bau.
(h) Air hasil pengolahan dialirkan ke dalam bak kontrol yang berisi
ikan mas. Selanjutnya, limbah yang telah jernih digunakan untuk
hidrant dan menyiram taman sehingga limbah cair tidak dibuang
ke sungai.
(i) Pemeriksaan air hasil pengolahan limbah cair dilakukan oleh
pihak dalam dan luar. Parameter pengolahan limbah cair
disesuaikan dengan SK Gubernur Jawa Barat No. 6 tahun 1999
yaitu :
b) Kesehatan (Healthy)
Departemen EHS bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan karyawan dengan
program kesehatan antara lain pemeriksaan umum setiap tahun (general check
up), pelatihan sanitasi dan higiene, pemberian asuransi kesehatan, pemantauan
sanitasi dan higiene karyawan pada saat bekerja serta tersedianya sarana klinik.

c) Keselamatan dan Keamanan (Safety)


Karyawan dilatih untuk menggunakan alat pelindung diri ketika bekerja sesuai
dengan lokasi kerja dan menggunakan alat pemadam kebakaran. APAR (Alat
Pemadam Api Ringan), detector kebakaran, alat pemadam kebakaran (sprinkler)
dan tersedia kotak Pertolongan Pertama pada Kecelakaan/first aid (P3K) pada
tempat tertentu.

d) Energi (Energy)
Mengorganisir pengaturan energi untuk mengurangi pemanasan global,
meminimalkan sumber daya yang tidak tergantikan.

2.8.3 Departemen Pelayanan Teknis (Technical Service/TS)


Departemen ini bertugas menangani masalah pengembangan produk baru, validasi
dan kualifikasi (bersama bagian pemastian mutu) dan produk ekspor PT. Abbot Indonesia
dan dipimpin oleh seorang Manajer. Jenis kegiatan yang dilaksanakan oleh Departemen
Pelayanan Teknis antara lain:

Universitas Indonesia
18

1) Validasi
a) Validasi proses
Jenis- jenis validasi yang dilakukan diantaranya :

(1) Validasi Prospektif


(2) Validasi Konkuren
(3) Validasi Retrospektif
PT. Abbott Indonesia melakukan validasi berdasarkan waktu, meliputi:

(a) Validasi rutin


Dilakukan untuk proses produksi setiap lima tahun sekali.

(b) Validasi incidental


Dilakukan jika terdapat perubahan dalam proses produksi, misalnya
penggunaan mesin baru, perubahan formulasi, perubahan fasilitas
penunjang dan bangunan serta perubahan proses pembersihan.

b) Kualifikasi peralatan/fasilitas/utility
Kualifikasi dilakukan terhadap alat maupun ruangan produksi meliputi
kualifikasi desain, kualifikasi instalasi, kualifikasi operasional dan kualifikasi
kinerja. Rekualifikasi dilakukan secara periodic dan tergantung peralatan.

c) Validasi pembersihan
Validasi pembersihan dilakukan untuk memastikan bahwa prosedur
pembersihan yang berlaku dan digunakan sudah tepat dan dapat dilakukan
berulang-ulang.

2) Pengembangan produk
Pengembangan produk baru dilakukan melalui percobaan formula dari Abbott
Laboratories menggunakan mesin dan peralatan yang dimiliki oleh PT. Abbott
Indonesia dan dilakukan penyesuaian hingga diperoleh produk yang sesuai
persyaratan.

3) Packaging development
a) Ekspor : Desain kemasan dirancang sesuai dengan permintaan negara tujuan
Universitas Indonesia
19

ekspor, menyangkut jenis kemasan primer yang digunakan, dan rancangan desain
tampilan kemasan.
b) Lokal : Desain kemasan dirancang sesuai dengan permintaan pasar.
4) Export product liaison meliputi :
a) Launching produk baru
b) Pengembangan produk ekspor baru
c) Penanganan keluhan ( complaint)
Beberapa Negara yang menjalin kerjasama impor dengan EPO PT. Abbott Indonesia
adalah Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Vietnam dan Hongkong.

2.8.4 Quality Departement


Departemen Pemastian Mutu PT. Abbott Indonesia dipimpin oleh seorang Head of
Quality dan dibawahnya terdapat empat bagian, yaitu Quality system, Compliance and
Training; Quality Assurance Operation; Quality Control; dan Document Control.
Departemen ini dipimpin oleh seorang Apoteker dan bertanggung jawab untuk menjamin
mutu produk yang dihasilkan memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh Badan POM
maupun standar Abbott Internasional.

2.8.4.1 Quality System, Compliance and Training


Bagian pemenuhan sistem mutu dan pelatihan merupakan bagian Departemen
Pemastian Mutu yang dipimpin oleh seorang Manajer. Kegiatan yang dilakukan oleh
bagian ini antara lain :

2.8.4.2 Pemastian Mutu Operasional (Quality Operation)


Tugas dan tanggung jawab bagian pemastian mutu operasional antara lain:

1) Inspeksi dan pengujian terhadap bahan pengemas.


2) Investigasi bahan/komponen yang berhubungan dengan masalah pengemasan
dan proses.
3) Pengambilan sampel dan pelabelan bahan pengemas dan produk jadi.
4) Pengawasan mutu selama proses pembuatan dan pengemasan.

Universitas Indonesia
20

5) Pemeriksaan dokumen produk setengah jadi dan produk jadi.


6) Menyetujui spesifikasi bahan.
7) Mengeluarkan produk setengah jadi dan produk jadi. Inspeksi yang dilakukan
oleh Quality Operation Departement yaitu:
(a) Production inspection

Inspeksi kegiatan produksi meliputi pemeriksaan dokumen batch record.

(b) Finishing Supply Inspection

Inspeksi finishing material meliputi inspeksi terhadap bahan kemas.

2.8.4.3 Document Control


Bagian pengawasan dokumen bertanggung jawab terhadap semua dokumen yang
berkaitan dengan produksi dan analisis, baik penyimpanan maupun perubahan dokumen.
Kegiatan yang dilakukan oleh bagian pengawasan dokumen antara lain:

a. Dokumen Lokal
Dokumen local mencakup pengisian BOP dan pembuatan laporan
(MO,FO), koordinasi jadwal revisi BOP (setiap tiga tahun), memelihara
BOP yang terbaru di setiap area, memelihara gambar-gambar, mengatur
prosedur pemantauan kembali dan memelihara data distribusi, mengatur
arsip-arsip yang berhubungan dengan dokumen mutu (buku besar, catatan
kalibrasi, catatan perawatan mesin, dan lain-lain), mengatur dokumen
permintaan perubahan, memelihara dan memperbarui dokumen mutu dan
catatn pelatiham. Dokumen pencatatan batch (MO,FO) sebelum diturunkan
untuk proses produksi harus ditandatangani oleh manajer produksi untuk
memastikan bahwa dokumen yang diturunkan adalah dokumen yang telah
disetujui dan efektif saat itu.
b. Dokumen dari Kepala Bagian
Dokumen dari kepala bagian mencakup kebijaksanaan atau standar Abbott,
Formula Induk Pengolahan Produksi dan Alternatif Pengolahan Produksi
yang Disetujui, Prosuder Pengawasan Standar, dan Metode Uji Standar.

Universitas Indonesia
21

2.8.4.4 Quality Control (QC)


Quality Control bertanggung jawab terhadap analisa produk yang akan dipasarkan
melalui pemeriksaan dengan parameter analitik. QC bertugas dalam mengatur aktivitas
dan fungsi laboratorium antara lain :

1) Analisa rutin untuk bahan baku, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi
termasuk investigasi hasil diluar spesifikasi.
2) Uji stabilitas.
3) Analisis metode transfer/verifikasi.
4) Kalibrasi dan validasi instrument.
5) Pengawasan kemungkinan terjadinya cross contamination dan prosedur
pembersihan.
6) Pengujian mikrobiologi, bioburdens, viable counts.
7) Microbiological monitoring area produksi.
8) Sampling bahan baku.
Pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan oleh bagian pengawasan mutu meliputi :

1) Pemeriksaan dan pengujian bahan baku


2) Pemeriksaan dan pengujian produk antara
Tujuan pemeriksaan ialah untuk menjaga dan mengontrol produk yang dihasilkan
tahap demi tahap, sehingga tidak terjadi kesalahan yang fatal setelah proses
produksi. Kesalahan pada satu tahap dapat segera ditanggulangi sebelum
dilaksanakan tahap berikutnya. Tahapan untuk setiap bentuk sediaan adalah :

a) Bentuk padat
(1) Pemeriksaan kadar air (LOD) granulat yang akan dicetak.
(2) Terhadap produk yang sedang dan selesai dicetak
(3) Terhadap produk yang sudah di treatment dilakukan pemeriksaan
fisik atau kimia mengenai daya lepas, apakah hasilnya sudah baik
atau belum.
(4) Terhadap produk yang telah disalut dan diberi penandaan, dilakukan
pemeriksaan secara visual dan pemeriksaan ketahanan tablet.

Universitas Indonesia
22

b) Bentuk cair
Pemeriksaan tersebut meliputi bau dan warna, kejernihan, pH dan kadar
zat berkhasiat.

3) Pemeriksaan dan pengujian produk ruahan


Pemeriksaan produk ruah ini antara lain meliputi:

a) Sediaan padat
Meliputi pemeriksaan kadar bahan berkhasiat, waktu hancur, disolusi,
potensi antibiotika dan vitamin serta pemeriksaan fisik.

b) Sediaan cair
Meliputi pemeriksaan kadar bahan berkhasiat, pH larutan, kejernihan,
berat jenis, viskositas, potensi antibiotik dan vitamin.

4) Pemeriksaan dan pengujian produk jadi


Pemeriksaan yang dilakukan sama seperti pemeriksaan produk ruahan, dilengkapi
dengan pemeriksaan keadaan kemasan dan perlengkapannya.

5) Pemeriksaan dan pengujian mikrobiologis


Pemeriksaan ini meliputi :
a) Pemeriksaan bahan baku dan produk jadi
b) Pemeriksaan wadah botol untuk produk oral steril
c) Pemeriksaan air
d) Pemeriksaan ruangan
6) Analisa stabilitas produk
Pemeriksaan dan pengujian stabilitas sangat penting untuk memonitor kestabilan
produk yang sudah beredar di pasaran selama masa kadaluarsanya karena
berkaitan dengan ditetapkannya tanggal kadaluarsa pada semua produk PT.
Abbott Indonesia. Pada pemeriksaan sediaan, di ambil contoh dari tiap lot untuk
dilakukan penetapan kadar dan evaluasi sifat fisik (pH, kekentalan, warna, bau,
kejernihan, dan warna penyalut) serta waktu hancur pada selang waktu tertentu.
Uji stabilitas yang dilakukan oleh PT. Abbott Indonesia yaitu:

Universitas Indonesia
23

a) Accelerated Stability
b) Long Term Stability
7) Kalibrasi dan validasi alat laboratorium
Kalibrasi alat dapat dilakukan oleh pihak internal maupun eksternal, tergantung
tingkat kerumitan alat. Alat-alat yang dikalibrasi oleh pihak eksternal, yaitu

a) Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT),


b) Kromatografi Gas (KG),
c) Climatic Chamber,
d) Spektrofotometri UV-Vis dan,
e) Spektrofotometri IR.
Kalibrasi dilakukan setiap enam bulan atau satu tahun sekali. Alat-alat yang
dikalibrasi oleh pihak internal (analis dan bagian teknik mesin), antara lain :

a) pH/conductivity meter,
b) polarimeter,
c) refraktometer,
d) oven dan lain- lain.
Laporan hasil kalibrasi internal dan eksternal masuk ke bagian pengawasan
mutu. PT. Abbott Indonesia memiliki 3 fasilitas laboratorium yaitu :

a) Laboratorium kimia
Alat-alat yang terdapat di laboratorium kimia antara lain timbangan, pH
meter, konduktometri, oven untuk strerilisasi alat-alat, oven vakum
untuk mengeringkan zat-zat yang tidak tahan panas dalam pemeriksaan
LOD, tanur, climatic chamber, destilator, shaker, sentrifuge,
fluorometer, sonicator, Karl Fisher, polarimeter, disintegration tester,
viscometer Brookfield, dan lain- lain.

b) Laboratorium mikrobiologi
Alat-alat yang terdapat di laboratorium mikrobiologi antara lain
inkubator, autoclave, dan Laminar Air Flow.

Universitas Indonesia
24

c) Laboratorium instrumen
Alat-alat yang terdapat di laboratorium ini antara lain High Performance
Liquid Chromatography, Gas Chromatography, Flame Fotometer,
Spektrofotometri alat uji disolusi, climatic chamber, FTIR.

Gambar 2.5 Struktur Organisasi PT Abbott Indonesia

Universitas Indonesia
25

Gambar 2.6 Struktur Organisasi Departemen Manufaktur PT Abbott Indonesia

Gambar 2.7 Struktur Organisasi Departemen Pemastian Mutu (QA) PT Abbott Indonesia

Universitas Indonesia
26

2.9 Proses Produksi


Secara umum terdapat dua jenis proses produksi, yaitu proses produksi untuk produk
solid dan proses untuk produk liquid.
2.9.1 Proses Produksi Liquid
Proses produksi liquid dimulai dengan proses persiapan bahan baku di gudang.
Setelah dilakukan penimbangan terhadap bahan baku yang akan digunakan dalam proses
produksi, kemudian dilakukan pengecekan kembali oleh supervisor atau group leader
produksi. Bahan baku telah ditimbang kemudian masuk ke dalam ruang WIP (Waiting in
Process) dan diberikan label identitas yang jelas.

Proses selanjutnya adalah proses Compound atau proses pencampuran bahan –


bahan di ruang compounding. Setelah selesai proses di ruang compounding, dilanjutkan
dengan proses filling atau memasukan produk kedalam botol. Proses ini disebut juga
dengan pemasangan primer. Produk yang telah melalui pengemasan primer kemudian
menuju ke proses pengemasan sterilisasi sebelum pengemasan sekunder.

Setelah pengemasan sekunder, produk masuk ke dalam WIP Finishing, untuk


kemudian dilakukan serah terima produk ke bagian gudang.

Bagan alir proses produksi liquid liquid dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.8 Bagan Alir Proses Produksi Produk Liquid

Universitas Indonesia
27

2.9.2 Proses Produksi Solid


Proses produksi produk solid diawali dengan proses persiapan bahan baku di
gudang. Bahan baku yang digunakan digunakan untuk proses produksi ditimbang,
kemudian hasil penimbangan tersebut diberikan yang jelas. Setelah dicek oleh supervisor
atau group leader, bahan baku tersebut kemudian masuk keruang WIP (Waiting in
Process).

Proses selanjutnya adalah proses compound atau pencampuran bahan – bahan baku
sesuai dengan komposisi produk. Setelah itu, dilakukan proses compressing atau
pencetakan tablet. Tablet yang telah dicetak kemudian dilapisi pada proses coating.
Setelah selesai, dilanjutkan dengan primary packaging stripping atau pengemasan tablet
ke dalam alumunium foil, kemudian blistering atau pengemasan tablet ke dalam alu – alu,
dan diakhiri di proses secondary packling atau penepakan akhir.

Untuk produk berbentuk granule, setelah proses compounding, berturut – turut


dilakukan proses granulasi, drying (pengeringan), sizing (pengayakan), dan lubrication
dilanjutkan dengan proses stripping, blistering, dan filling. Kemudian diakhiri dengan
secondary packing. Untuk produk vitamin, setelah dilakukan compressing, dilakukan
treatment tablet di mesin gradumet. Setelah itu baru dilakukan proses pelapisan (Coating),
primary packaging (Stripping, Blister) dan kemudian secondary packing.

Bagan alir produksi solid dan limbah yang dihasilkan dapat digambarkan sebagai
berikut.

Universitas Indonesia
28

Gambar 2.9 Bagan Alir Proses Produksi Produk Solid

2.9.3 Alur Distribusi Produk Jadi


Seluruh hasil produksi produk solid dan liquid disimpan dalam Finished Good
Warehouse atau gudang. Kemudian dilakukan sampling dan analisa atau pengecekan
kualitas oleh bagian Quality Control. Produk yang telah lulus pemeriksaan Quality
Control kemudian disimpan dalam approved room, sebelum diangkut oleh distributor
yang terdiri dari distributor lokal dan luar. Produk yang tidak lulus pemeriksaan Quality
Control atau reject products disimpan dalam Reject Product Warehouse untuk kemudian
diangkut oleh pihak ketiga berizin dari Kementrial Lingkungan Hidup yaitu PPLI
(Prasadah Pamunah Limbah Indonesia).

Universitas Indonesia
29

Gambar 2.10 Alur Distribusi Produk Jadi

2.10 Produk PT Abbott Indonesia


PT. Abbott Indonesia menghasilkan produk obat – obatan serta mendistribusikan
produk import dari Abbott Laboratories berupa produk nutrisi dan obat – obatan.

2.10.1 Produk yang diproduksi


a. Abbotic Granule 125 mg
b. Abbotic Granule 250 mg
c. Brufen 400 mg
d. Brufen 600 mg
e. Brufen Suspension
f. Cecon
g. Depakena Syrup
h. Depakote 250 mg
i. Eryderm 2%
j. Iberet Folic
k. Isoptin 80 mg
l. Pedialyte Bubble Gum
m. Pedialyte Solution
n. Surbex T

Universitas Indonesia
30

o. Surbex Z
p. Rytmonorm 150 mg
q. Urixin Tablet 400 g
r. Vidaylin L
2.10.2 Produk Impor untuk Pasar Lokal
A. Produk obat - obatan
a. Abbotic 500 mg
b. Abbotic XL
c. Aluvial Tablet
d. Chirocaine 5 mg
e. Depakote ER 200 mg dan 500 mg
f. Ethran 250 mg
g. Forane 250 mg
h. Lipanthyl
i. Hytrin Tablet
j. Isoptin SR
k. Niaspan
l. Norvir
m. Reductil
n. Sevorane 250 ml
o. Survanta 8 ml
p. Duphaston
B. Produk Nutrisi
c. Ensure
d. Pediasure
e. Isomil Plus
f. Isomil 1 Advance
g. Isomil 2 Advance
h. Similac Advance
i. Similac Grain Advance
j. Glucerna

Universitas Indonesia
31

2.11 Prestasi PT Abbott Indonesia


a. Most Admired Companies menurut majalah FORTUNE
Sejak 1984 Nomor 1 dalam Produk Kedokteran 2014 – 2016
b. Industry Group Leader
Indeks Ramah Lingkungan Dow Jones
c. 20 Perusahaan Terkemuka
Science, 12 Tahun
d. 100 Top Global Innovators
Thomson Reuters, 2014
e. Kepemimpinan di Tempat Kerja di Lebih dari 25 Negara

Universitas Indonesia
32

3. BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Air Pendingin


3.1.1 Pengertian Air Pendingin
Sistem pendinginan adalah suatu rangkaian untuk mengatasi terjadinya over
heating (panas yang berlebihan) pada mesin agar mesin bisa bekerja secara stabil. Air
pendingin adalah air limbah yang berasal dari aliran air yang digunakan untuk
penghilangan panas dan tidak berkontak langsung dengan bahan baku, produk antara dan
produk akhir (KEP-49/MENLH/11/2010). Sistem air pendingin merupakan bagian yang
terintegrasi dari proses operasi pada industri. Untuk produktifitas pabrik yang kontinu,
sistem tersebut memerlukan pengolahan kimia yang tepat, tindakan pencegahan, dan
perawatan yang baik. Kebanyakan proses produksi pada industri memerlukan air
pendingin untuk efisiensi dan operasi yang baik. Air pendingin sistem mengontrol suhu
dan tekanan dengan cara memindahkan panas dari fluida proses ke air pendingin yang
kemudian akan membawa panasnya. Total nilai dari proses produksi akan menjadi berarti
jika sistem pendingin ini dapat menjaga suhu dan tekanan proses dengan baik. Memonitor
& mengatur korosi, deposisi, pertumbuhan mikroba, dan sistem operasi sangat penting
untuk mencapai Total Cost of Operation (TCO) yang optimal.
Air pendingin mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap efisiensi total
engine serta umur engine. Apabila temperatur air pendingin masuk engine terlalu tinggi,
maka efisiensi mekanis engine akan menurun dan dikhawatirkan dapat terjadi over -
heatingi pada engine. Sedang bila temperatur air terlalu rendah, maka efisiensi termal
akan menurun (Handoyo, 1999). Proses pendinginan melibatkan pemindahan panas dari
satu substansi ke substansi yang lain. Substansi yang kehilangan panas disebut cooled,
dan yang menerima panas disebut coolant. Beberapa faktor yang membuat air menjadi
coolant yang baik adalah :
1. Sangar berlimpah dan tidak mahal.
2. Dapat ditangani dengan mudah dan aman digunakan.
3. Dapat membawa panas per unit volume dalam jumlah yang besar.
4. Tidak mengembang ataupun menyusut (volumenya) pada perubahan suhu dalam
range normal.

32 Universitas Indonesia
33

5. Tidak terdekomposisi.
Beberapa parameter penting dalam sistem air pendingin :
1. Konduktivitas mengindikasikan jumlah dissolved mineral dalam air.
2. pH, menunjukkan indikasi dari tingkat keasaman atau kebasaan dari air.
3. Alkalinitas, berupa ion carbonate (CO3-2) dan ion bicarbonate (HCO3-).
4. Hardness / kesadahan, menunjukkan jumlah ion calcium dan magnesium yang ada
dalam air.
Pada umumnya air digunakan sebagai media pendingin karena faktor-faktor sebagai
berikut:

1.Air merupakan malcri yang dapat diperoleh dalam jumlah besar.


2.Mudah dalam pcngaturan dan pengolahan.
3.Menyerap panas yang relatif tinggi persatuan volume.
4.Tidak mudah menyusut secara berarti dalam batasan dengan adanya perubahan
temperatur pendingin.
5.Tidak terdekomposisi.
Adapun syarat-syarat air yang digunakan sebagai media pendingin:

1.Jernih, maksudnya air harus bersih, tidak terdapat partikel-parlikel kasar yaitu batu,
krikil atau partikel-partikel halus seperti pasir, tanah dan lumut yang dapat
menyebabkan air kotor.
2.Tidak menyebabkan korosi.
3.Tidak menyebabkan fouling, fouling disebabkan oleh kotoran yang terikut saat air
masuk unit pengolahan air seperti pasir, mikroba dan zat-zat organik.
Secara umum, industri menerapkan parameter air pendingin ialah sebagai berikut:

Universitas Indonesia
34

Tabel 3.1 Parameter Air Pendingin

(Sumber: Setiadi, 2007)

Ada tiga system air pendingin yang biasa digunakan di industri yaitu :

1. Once through.system
2. Open evaporative recirculating.
3. Closed non-evaporative recirculating.
3.1.2 Jenis Sistem Air Pendingin
3.1.2.1 Once through system
Air pendingin digunakan sebagai pendingin pada heat exchanger hanya
dilewatkan sekali, selanjutnya langsung dikembalikan lagi ke badan air. Once through
systems digunakan bilamana kebutuhan air pendingin sangat banyak, ketersediaan sumber
air banyak dan murah serta memiliki fasilitas untuk menangani buangan air panas dari air
pendingin yang sudah digunakan. Once through system dimana air pendingin akan
melewati HE hanya sekali. Mineral-mineral dalam air akan relatif tetap jumlahnya, tidak
berubah. Polusi suhu yang disebabkan discharge dari sistem ini menjadi perhatian
lingkungan.

Keuntungan menggunakan Once through systems :

a. Tidak diperlukan cooling tower


b. Tidak diperlukan pengolan / trea tment pendahuluan
Kerugian menggunakan once through systems :

Universitas Indonesia
35

a. Korosi
b. Fouling
c. Sampah dan kotoran
d. Polusi / pencemaran temperatur di badan air

Gambar 3.1 Once through.system

(Sumber: Gumilar, 2011)

3.1.2.2 Open Evaporation Recirculating Systems


Air tawar yang berasal dari sungai atau danau dipompakan sebagai make-up
cooling tower setelah sebelumnya dilakukan treatment (sedimentasi dan koagulasi)
terlebih dahulu. Air tersebut digunakan untuk mendinginkan proses-proses di dalam
pabrik.

Air pendingin yang telah panas kemudian didinginkan di cooling tower untuk
kemudian disirkulasikan kembali ke dalam pabrik. Untuk menjaga kualitas air, misalnya
agar tidak terdapat algae/bacteria dan pengendapan (scaling), maka perlu diinjeksikan
beberapa jenis chemicals tertentu. Kualitas air juga dijaga melalui mekanisme make-
up dan blow-down.

Sistem ini banyak digunakan oleh pabrik yang berada dekat dengan sumber air
tawar atau jauh dari laut. Spesifikasi material untuk peralatan yang menggunakan air
tawar tidak perlu sebagus peralatan yang menggunakan air laut, karena air tawar lebih
tidak korosif dibandingkan dengan air laut. Open recirculating system banyak digunakan
dalam industri. Sistem ini terdiri dari pompa, HE, dan cooling tower. Pompa akan
meresirkulasikan air melalui HE, mengambil panasnya, lalu membuangnya di cooling
tower dimana panas tersebut akan dibuang dari air dengan cara evaporasi. Dalam sistem
ini, chemical akan lebih banyak digunakan karena komposisi air akan berubah saat

Universitas Indonesia
36

evaporasi berlangsung, dimana konstituen korosi dan scaling akan lebih pekat (Gumilar,
2011).

Air pendingin teruapkan sekitar 1% water. Kehilangan air akibat penguapan ini
harus dikompensasi oleh make up air pendingin.

Keungtungan menggunakan Open evaporative recirculating systems :

a. Jumlah kebutuhan air medikit (make up);


b. Memungkinkan untuk mengontrol korosi
Kerugian menggunakan Open evaporative recirculating systems :

a. Investasi (capital cost) lebih tinggi daripada once through;


b. Memerlukan cooling tower yang cukup besar;
c. System purge dan blowdown kemungkinan dapat mengakibatkan
pencemaran lingkungan

Gambar 3.2 Open evaporative recirculating systems

(Sumber: Gumilar, 2011)

3.1.2.3 Closed Nonevaporation Recirculating Systems


Air tawar pendingin digunakan untuk mendinginkan proses-proses didalam
pabrik. Air tawar pendingin yang telah panas didinginkan kembali di suatu “secondary
cooler” (biasanya plate heat exchanger) untuk selanjutnya disirkulasikan kembali secara

Universitas Indonesia
37

tertutup kedalam pabrik. Air laut dipakai untuk mendinginkan “secondary cooler” dengan
cara hanya sekali pakai (once through), sumber air berasal dari laut kemudian dibuang
lagi ke laut. Closed Nonevaporative Recirculating Systems yang menggunakan air
pendingin yang sama dan disirkulasikan berulang kali dalam siklus yang kontinu. Pada
sistem ini, komposisi air juga relatif konstan.

Air pendingin didinginkan pada secondary heat exchanger. Tidak ada kehilangan
akibat penguapan juga tidak ada pengembalian.

Keungtungan menggunakan Closed nonevaporative recirculating systems :

a. Air pendinginyang kembali relatif bersih


b. Temperatur air pendingin memungkinkan lebih tinggi dari 100 oC
Kerugian menggunakan Closed nonevaporative recirculating systems :

a. Investasi / capital cost sangat tinggi


b. Dibatasi oleh equipment secondary heat exchanger

Gambar 3.3 Closed nonevaporative recirculating systems

(Sumber: Gumilar, 2011)

3.2 Komponen dalam Water Cooling System

Universitas Indonesia
38

Water Cooling System merupakan suatu sistem yang prinsip kerjanya mendinginkan
air yang dimana air tesebut digunakan untuk mendinginkan udara yang akan digunakan
dalam proses produksi obat dengan standar CPOB. Untuk menghasilkan pendingin
ruangan yang baik di ruang produksi maka dibutuhkan beberapa komponen yaitu dimulai
dari pendingin air Cooling Tower dan Chiller, serta AHU, dan Dehumidifier.

3.2.1 Cooling Tower


3.2.1.1 Pengertian Cooling Tower
Menara pendingin didefinisikan sebagai alat penukar kalor yang fluida kerjanya
adalah air dan udara yang berfungsi mendinginkan air kontak langsung dengan udara
yang mengakibatkan sebagian kecil air menguap. Dalam kebanyakan menara pendingin
yang bekerja pada sistem pendinginan udara menggunakan pompa sentrifugal untuk
menggerakkan air ke atas melintasi menara.
Temperatur udara sebagaimana umumnya diukur dengan menggunakan
termometer biasa yang sering dikenal sebagai temperatur bola kering (dry bulb
temperature), sedangkan temperatur bola basah (wet bulb temperature) adalah temperatur
yang bolanya diberi kasa basah, sehingga jika air menguap dari kasa dan bacaan suhu
pada termometer menjadi lebih rendah daripada temperatur bola kering. Pada kelembaban
tinggi, penguapan akan berlangsung lamban dan temperatur bola basah (Twb) identik
dengan temperatur bola kering (Tdb). Namun pada kelembaban rendah sebagian air akan
menguap, jadi temperatur bola basah akan semakin jauh perbedaannya dengan temperatur
bola kering. Adapun sistem mesin pendingin yang paling banyak digunakan adalah sistem
kompresi uap. Secara garis besar komponen sistem pendingin siklus kompresi uap terdiri
dari:

1. Kompresor, berfungsi untuk mengkompresi refrijeran dari fasa uap tekanan


rendah evaporator hingga ke tekanan tinggi kondensor.
2. Kondensor, berfungsi untuk mengkondensasi uap refrijeran kalor lanjut yang
keluar dari kompresor.
3. Katup ekspansi, berfungsi untuk mencekik (throttling) refrijeran bertekanan
tinggi yang keluar dari konsensor dimana setelah melewati katup ekspansi ini
tekanan refrijeran turun sehingga fasa refrijeran setelah keluar dari katup ekspansi
ini adalah berupa fasa cair + uap.

Universitas Indonesia
39

4. Evaporator, berfungsi untuk menguapkan refrijeran dari fasa cair + uap menjadi
fasa uap
3.2.1.2 Fungsi Cooling Tower
Semua mesin pendingin yang bekerja akan melepaskan kalor melalui kondensor,
refrijeran akan melepas kalornya kepada air pendingin sehingga air menjadi panas.
Selanjutnya air panas ini akan dipompakan ke menara pendingin. Menara pendingin
secara garis besar berfungsi untuk menyerap kalor dari air tersebut dan menyediakan
sejumlah air yang relatif sejuk (dingin) untuk dipergunakan kembali di suatu instalasi
pendingin atau dengan kata lain menara pendingin berfungsi untuk menurunkan suhu
aliran air dengan cara mengekstraksi panas dari air dan mengemisikannya ke atmosfer.
Menara pendingin mampu menurunkan suhu air lebih rendah dibandingkan dengan
peralatan-peralatan yang hanya menggunakan udara untuk membuang panas, seperti
radiator dalam mobil, dan oleh karena itu biayanya lebih efektif dan efisien energinya.

3.2.1.3 Prinsip Kerja Cooling Tower


Prinsip kerja menara pendingin berdasarkan pada pelepasan kalor dan
perpindahan kalor. Dalam menara pendingin, perpindahan kalor berlangsung dari air ke
udara. Menara pendingin menggunakan penguapan dimana sebagian air diuapkan ke
aliran udara yang bergerak dan kemudian dibuang ke atmosfir. Sehingga air yang tersisa
didinginkan secara signifikan. Skema menara pendingin dapat dilihat pada gambar 3.2.

Gambar 3.4 Skema Menara Pendingin

(Sumber: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22673/4/Chapter%20II.pdf )

Universitas Indonesia
40

Prinsip kerja menara pendingin dapat dilihat pada gambar di atas. Air dari
bak/basin dipompa menuju heater untuk dipanaskan dan dialirkan ke menara pendingin.
Air panas yang keluar tersebut secara langsung melakukan kontak dengan udara sekitar
yang bergerak secara paksa karena pengaruh fan atau blower yang terpasang pada bagian
atas menara pendingin, lalu mengalir jatuh ke bahan pengisi. Sistem ini sangat efektif
dalam proses pendinginan air karena suhu kondensasinya sangat rendah mendekati suhu
wet-bulb udara. Air yang sudah mengalami penurunan suhu ditampung ke dalam
bak/basin. Pada menara pendingin juga dipasang katup make up water untuk menambah
kapasitas air pendingin jika terjadi kehilangan air ketika proses evaporative cooling
tersebut berlangsung.

3.2.2 Chiller
3.2.2.1 Pengertian Chiller
Chiller adalah mesin refrigerasi yang memiliki fungsi utama mendinginkan air
pada sisi evaporatornya. Air dingin yang dihasilkan selanjutnya didistribusikan ke mesin
penukar kalor ( FCU / Fan Coil Unit ). Pada sistem pendinginan ini dikenal beberapa jenis
chiller berdasarkan kompressor dan kondensornya.

3.2.2.2 Fungsi Chiller


Fungsi chiller adalah dalam sistem tata udara adalah mendinginkan media air,
dimna air disinggungkan pada bagian evaporator chiller. Air kemudian dialirkan ke AHU
(Air HandlingUnit) untuk diambil dinginnya dan dihembuskan ke ruangan. Pada Chiller
terdapat beberapa parameter yang menunjukkan unjuk kerjanya, antara lain; suhu air
masuk (inlet) ke evaporator dan suhu air keluar (outlet) dari evaporator, tekanan
discharge, serta tekanan suction. Dengan pembacaan suhu inlet dan outlet maka dapat
ketahui kapasitas atau kemampuan chiller untuk mendinginkan air. Pembacaan tekanan
discharge dan tekanan suction untuk mengetahui konsumsi refrigerator pada chiller
tersebut dan juga untuk mengetahui apabila terjadi kekurangan atau kelebihan tekanan
akibat adanya anomali tertentu.

3.2.2.3 Prinsip Kerja Chiller

Universitas Indonesia
41

Penarikan panas atau kalor dimulai pada evaporator. Heat Exchanger disini adalah
sebuah pipa yang ada pipa lain didalamnya, Berfungsi untuk mengalirkan air pada pipa
besar sedangkan pipa didalamnya berfungsi mengalirkan udara atau refrigerant.

Pada bagian Heat Exchanger, berlangsung proses pertukaran kalor antara


refrigeran yang dengan air. Kalor dari air ditarik ke refrigeran sehingga setelah melewati
Heat exchanger menyebabkan air didalamnya menjadi semakin dingin.

Air yang sudah menjadi dingin tersebut lalu diteruskan mengalir ke AHU (Air
Handling Unit) yang berfungsi untuk menjadikan udara menjadi dingin. AHU terdiri dari
Heat exchanger yaitu pipa dengan kisi-kisi yang mempunyai fungsi utama mendinginkan
air dan udara dengan proses pertukaran antara kedua komponen tersebut sehingga
menghasilkan suhu tertentu sesuai yang di inginkan.

Air yang dalam kondisi dingin ini akan melewati AHU kemudian suhunya akan
naik karena pertukaran kalor dari udara, kemudian air tersebut diteruskan kembali ke
chiller untuk di dinginkan lagi. Begitulah seterusnya cara kerja chiller ini berulang-ulang
sehingga dapat membantu mendinginkan udara misalnya pada sistem pendingin ruangan
atau Air Conditioner.

Gambar 3.5 Skema Aliran Chiller

(sumber: google.com)

Universitas Indonesia
42

3.2.3 AHU
3.2.3.1 Pengertian AHU
AHU merupakan singkatan dari Air Handling Unit. Di AHU ini terjadi proses
pengkodisian udara seperti suhu, kelembaban dan kebersihan udara. Di AHU terdapat
Cooling Coil, Filter dan Blower (fan). Sedangkan Ducting adalah saluran yang berfungsi
menyalurkan udara. Disebut “sistem” karena AHU terdiri dari beberapa mesin/alat yang
masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, yang terintegrasi sedemikian rupa
sehingga membentuk suatu sistem tata udara yang dapat mengontrol suhu, kelembaban,
tekanan udara, tingkat kebersihan, pola aliran udara serta jumlah pergantian udara di
ruang produksi sesuai dengan persyaratan ruangan yang telah ditentukan.

3.2.3.2 Fungsi AHU


Sistem Tata Udara atau yang lebih sering dikenal dengan AHU (Air handling
Unit) atau HVAC (Heating, Ventilating and Air Conditioning), memegang peran penting
dalam industri farmasi. Hal ini antara lain disebabkan karena :

 Untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan pembuatan produk,


 Memastikan produksi obat yang bermutu,
 Memberikan lingkungan kerja yang nyaman bagi personil,
 Memberikan perlindungan pada Iingkungan di mana terdapat bahan berbahaya
melalui pengaturan sistem pembuangan udara yang efektif dan aman dari bahan
tersebut.

Universitas Indonesia
43

AHU merupakan cerminan penerapan CPOB dan merupakan salah satu sarana
penunjang kritis yang membedakan antara industri farmasi dengan industri lainnya.

Gambar 3.6 Skema Aliran AHU

(Sumber: google.com)

3.2.4 Dehumidifier
3.4.2.1 Pengertian Dehumidifier
Dehumidifier artinya adalah alat untuk mengurangi kelembaban udara melalui
proses dehumidifikasi. Proses dehumidifikasi merupakan suatu proses penurunan kadar
air dalam udara. Penggunaan dehumidifier banyak ditemui pada bidang farmasi bisa
digunakan untuk melindungi stok obat-obatan, melindungi peralatan-peralatan di rumah
sakit yang sensitif, dan memantau tingkat kelembaban pada area produksi. Pada bidang
percetakan untuk melindungi platplat dan mesin pencetak sehingga menjaga konsistensi
dan kualitas plat cetakan.

3.4.2.2 Fungsi Dehumidifier


Pembuatan atau perancangan desain split air conditioning sebagai unit
dehumidifier yang digunakan untuk menghitung setiap variable (baik masuk atau keluar)
agar mengetahui beda nilai kelembaban sebelum dan sesudah melewati heater. Beban
kalor yang yang menyebabkan kenaikan suhu udara disebut beban kalor sensibel,
sedangkan yang berakibat terjadinya kenaikan kelembaban disebut beban kalor laten.
Dalam pembuatan desain ulang Air Conditioning (AC) ini. Perubahan kelembaban
dilakukan dengan menggunakan buatan panas listrik (lampu). Nilai kelembaban udara

Universitas Indonesia
44

dapat diketahui setelah pengukuran terhadap suhu bola kering/ Dry Bulb Temperature
(DBT) dan laju aliran udara.

3.4.2.3 Prinsip Kerja Dehumidifier

Dehumidifier bekerja dengan menarik dan menyedot air di udara dalam ruangan
dialirkan melalui pipa-pipa pendinginan sehingga terjadi pengembunan. Titik-titik air
yang terkumpul dari proses ini dibuang melalui tangki pembuangan atau keluar melalui
saluran pembuangan. Karena proses dehidrasi tersebut, maka udara yang disemburkan
kembali ke dalam ruangan menjadi kering dan hangat. Temperatur mengalami kenaikan
sekitar 40C.

3.3 Sumber Air Water Cooling System


Sumber-sumber air yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kehidupan adalah
sebagai berikut:

1) Air laut
Air laut memiliki kandungan garam-garam yang cukup banyak jenisnya dan salah
satu diantaranya adalah garam NaCl (2,7%)
2) Air tawar
Air tawar dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
 Air hujan
Air hujan merupakan sumber air yang sangat penting terutama bagi daerah
yang tidak memiliki atau memiliki sedikit sumber air tanah maupun air
permukaan.
 Air Permukaan
Air permukaan merupakan air baku utama bagi produksi air minum di kota-
kota besar. Sumber air permukaan dapat berupa sungai, danau, mata air,
waduk, empang, dan air dari saluran irigasi.
 Air Tanah
Air tanah merupakan sumber air yang berbentuk mata air atau sumur.

3.4 Zat Pengotor Dalam Air


Air menyerap zat-zat dalam perjalanan daur hidrologinya, sehingga menyebabkan air
tersebut menjadi tidak murni lagi. Zat-zat itu disebut sebagai zat pengotor atau impurities.

Universitas Indonesia
45

Zat pengotor dalam air pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam tigagolongan, yaitu
:Padatan tersuspensi, Padatan terlarut dan Gas terlarut.

3.4.1 Padatan Tersuspensi dalam Air


Padatan tersuspensi merupakan istilah yang diterapkan pada zat heterogen yang
terkandung dalam kebanyakan jenis air. Padatan tersuspensi terutama terdiri atas lumpur,
humus, limbah dan bahan buangan industri. Padatan tersuspensi menyebabkan air
menjadi keruh dan bila digunakan sebagai air umpan ketel akan menyebabkan
terbentuknya deposit, kerak dan atau busa. Padatan tersuspensi dalam air pendingin akan
menimbulkan endapan dan timbulnya korosi di bawah endapan tersebut.

3.4.2 Padatan Terlarut


Air adalah pelarut yang baik, sehingga dapat melarutkan zat-zat dari batu-batuan
dan tanah yang terkontak dengannya. Bahan-bahan mineral yang dapat terkandung dalam
air karena kontaknya dengan batu-batuan tersebut, antara lain : CaCO3, MgCO3, CaSO4,
MgSO4, NaCl, Na2SO4, SiO2 dan sebagainya. Air yang akan dipakai untuk pembangkit
uap atau sistem pendingin mempunyai dua parameter penting yang merupakan akibat dari
padatan terlarut, yaitu kesadahan (hardness) dan alkalinitas (alkalinity). Padatan terlarut
lainnya, seperti garam terlarut, asam dan zat organik.

3.4.3 Kesadahan
Kesukaran pembentukan busa oleh sabun dalam air merupakan indikasi kesadahan
air. Kesadahan air terutama diakibatkan oleh adanya ion-ion kalsium dan magnesium.
Sabun dalam air bereaksi lebih dulu dengan ion-ion ini sebelum dapat berfungsi untuk
menurunkan tegangan permukaan air. Kerugian yang dapat timbul akibat adanya
kesadahan dalam air industri diantaranya adalah pembentukan kerak dalam ketel dan
sistem pendingin, selain itu pemakaian sabun akan meningkat bila kesadahan terdapat
dalam air pencuci.

3.4.4 Alkalinitas (Alkalinity)


Alkalinitas air disebabkan oleh adanya senyawa alkalis dalam air. Alkalinitas
didefinisikan sebagai ukuran dari kapasitas air untuk menetralkan asam. Alkalinitas
dalam air ada tiga jenis yaitu: alkalinitas hidroksida (OH-alkalinity), alkalinitas karbonat
(CO3-alkalinity) dan alkalinitas bikarbonat (HCO3-alkalinity). Alkalinitas yang cukup

Universitas Indonesia
46

tinggi diperlukan pada air umpan ketel untuk mencegah korosi, akan tetapi kadar OH
yang terlalu tinggi dapat menimbulkan "kerapuhan kaustik" (Caustic Embrittlement).

3.4.5 Gas Terlarut


Berbagai gas dapat larut dalam air, antara lain : CO2, O2, N2, NH3, NO2 dan H2S.
Gas-gas yang terlarut tersebut pada umumnya tidak menimbulkan korosi kecuali CO2,
O2 dan NH3. Karbon dioksida sesungguhnya adalah suatu asam jika bergabung dengan
air, dan dengan demikian dapat menyerang logam. Oksigen terlarut dalam air merupakan
penyebab utama terjadinya korosi pada ketel dan sistem pendingin. Penghilangan oksigen
dari air umpan ketel dapat dilakukann dengan cara deaerasi secara fisik dan kimia

3.5 Masalah yang Timbul dalam Water Cooling System


Permasalahan pada Water Cooling System, apabila tidak dikontrol dengan baik, akan
menimbulkan efek negatif pada keseluruhan proses atau operasi. Contohnya
meningkatkan biaya perawatan, perbaikan peralatan, frekuensi shutdown lebih sering
(untuk cleaning), mengurangi efisiensi transfer panas, menimbulkan pemborosan bahan
bakar untuk power plant, analisis Water Treatment untuk mencegah rusaknya alat, dan
lain-lain. Beberapa permasalahan umum pada Water Cooling System, adalah sebagai
berikut:

3.3.1 Korosi
Istilah "korosi" (dalam sistem air pendingin) didefinisikan sebagai kerusakan
elektrokimia dari logam yang bersentuhan dengan air pendingin. Korosi terjadi ketika
arus listrik mengalir dari satu bagian logam (anoda) melalui air (elektrolit) ke bagian lain
dari logam (katoda). Korosi hanya terjadi di anoda. Katoda adalah kekuatan pendorong
aksi korosi. Bentuk korosi yang terkait dengan sistem air industri diilustrasikan pada
Gambar 3.7.

Universitas Indonesia
47

Gambar 3.7 Bentuk-bentuk Korosi

(Sumber: J. Paul Guyer)

Korosi adalah proses elektrokimia dimana logam kembali ke bentuk alaminya


sebagai oksida. Beberapa tipe korosi yang sering terjadi antara lain general attack, pitting,
dan galvanic attack. Kerugian yang ditimbulkan oleh korosi pada sistem air pendingin
adalah penyumbatan dan kerusakan pada sistem perpipaan. Kontaminasi produk yang
diinginkan karena adanya kebocoran-kebocoran, dan menurunnya efisiensi perpindahan
panas.

General attack terjadi apabila korosi yang muncul terdistribusi merata dan sama di
semua permukaan logam. Sedangkan pitting terjadi ketika hanya sebagian kecil dari
logam yang mengalami korosi. Walaupun begitu, pitting sangat berbahaya karena hanya
terpusat di sebagian area saja. Galvanic attack terjadi ketika dua logam yang berbeda
berkontak. Logam yang lebih aktif akan terkorosi secara cepat.

Faktor utama yang mempangaruhi terjadinya korosi adalah kondisi air pendingin itu
sendiri. Beberapa kondisi tersebut antara lain :

1. Oksigen atau dissolved gas yang lain.


2. Dissolved dan suspended solid.
3. Alkalinitas (pH).
4. Suhu.
5. Aktifitas mikroba.
3.3.2 Scale
Scale adalah lapisan padat dari material inorganik yang terbentuk karena
pengendapan. Scale terbentuk dari mineral, yang sebelumnya dilarutkan dalam air, yang
diendapkan dari air ke permukaan perpindahan panas atau saluran air aliran. Ketika air
diuapkan dalam menara pendingin, konsentrasi padatan terlarut menjadi lebih besar

Universitas Indonesia
48

sampai kelarutan garam mineral penyebab skala tertentu terlampaui. Ketika situasi ini
terjadi dalam sistem air pendingin yang tidak diolah, scale akan terbentuk pada
permukaan apa pun yang bersentuhan dengan air, terutama pada permukaan perpindahan
panas. Mineral scale yang paling umum adalah kalsium karbonat, kalsium fosfat, kalsium
sulfat, dan silica. Pembentukan scale magnesium silikat juga dimungkinkan dalam
kondisi tertentu. Kebanyakan garam lain, termasuk silika, lebih larut dalam air panas
daripada air dingin. Namun, sebagian besar garam kalsium dan magnesium, termasuk
kalsium fosfat dan kalsium karbonat, lebih larut dalam air dingin daripada dalam air
panas. Ini disebut "kelarutan terbalik." Suhu air akan meningkat ketika air resirkulasi
melewati sistem pendingin. Akibatnya, scale kalsium dan magnesium dapat terbentuk di
mana saja dalam sistem, tetapi kemungkinan besar pada permukaan yang dipanaskan
seperti penukar panas atau kondensor permukaan. Silika akan terbentuk di daerah yang
memiliki suhu air terendah, seperti di menara pendingin.

3.3.3 Fouling
Istilah "fouling" mengacu pada pengendapan bahan yang biasanya ditahan dalam
suspensi dalam air pendingin yaitu lumpur, endapan, dan SS lainnya yang dibawa ke
dalam sistem dengan air makeup; debu, kotoran, dan puing-puing yang keluar dari udara
melewati menara; kebocoran produk seperti minyak; produk korosi dari sistem; dan
organisme biologis, baik yang hidup maupun yang mati. Kombinasi dari salah satu atau
semua bahan ini dapat ada dalam air pendingin.

Penyebabnya dari mineral yang terlarut di dalam air terakumulasi dengan


mikrobiologi menimbulkan penumpukan kerak pada pipa – pipa air. Pembentukan kerak
dan deposit pada sistem air pendingin gangguan yang ditimbulkan oleh terbentuknya
kerak antara lain, penurunan efisiensi perpindahan panas, naiknya kehilangan tekanan
karena naiknya tahanan dalam pipa serta penyumbatan pada pipa-pipa berukuran kecil.
Fouling dapat dikendalikan secara mekanikal atau dengan menggunakan pengolahan
kimia.

3.3.4 Biological Contaminant


Biological contamination adalah pertumbuhan tidak terkontrol dari mikroba yang
dapat menimbulkan pembentukan deposit, fouling, corrosion, dan scale.

Universitas Indonesia
49

Organisme mikrobiologis terdiri dari tiga kelas: alga, bakteri, dan jamur. Organisme
biologis besar seperti kerang, siput, kerang, atau spesies serupa disebut sebagai organisme
makrobiologis. Kehadiran setiap pertumbuhan biologis dapat merusak operasi menara
pendingin. Masalah termasuk pengotoran, korosi, dan hilangnya efisiensi. Masalah-
masalah ini dapat menyebabkan downtime, biaya operasi yang lebih tinggi, dan bahkan
penggantian peralatan prematur. Selain itu, beberapa bakteri bersifat patogen dan dapat
menimbulkan risiko bagi kehidupan manusia.Menara pendingin (cooling tower)
merupakan bagian dari sistem air pendingin yang memberikan lingkungan yang baik
untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisma. Faktor yang mendukung
pertumbuhan mikroba antara lain :

1. Nutrien, hidrokarbon atau substansi organik lainnya sbg makanan dari mikroba.
2. Atmosfir, pertumbuhan organisme bergantung pada ketersediaan oksigen atau
karbondioksida.
3. Temperatur, organisme dapat membentuk slime dapat membentuk slime pada
suhu 4,4 – 65,6 C.
3.6 Perawatan Water Cooling System
3.6.1 Pre-Treatment
3.6.3.1 Pengolahan Air
3.6.1.1.1 Pengolahan Eksternal
Pengolahan eksternal dilakukan di luar titik penggunaan air yang bertujuan
untuk mengurangi atau menghilangkan impurities. Jenis-jenis proses pengolahan :

 Sedimentasi
Sedimentasi adalah suatu proses yang bertujuan memisahkan/mengendapkan
zat-zat padat atau suspensi non-koloidal dalam air. Pengendapan dapat
dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Cara yang sederhana adalah
dengan membiarkan padatan mengendap dengan sendirinya. Setelah partikel-
partikel mengendap, maka air yang jernih dapat dipisahkan dari padatan yang
semula tersuspensi di dalamnya. Cara lain yang lebih cepat adalah dengan
melewatkan air pada sebuah bak dengan kecepatan tertentu sehingga
padatannya terpisah dari aliran air dan jatuh ke dalam bak pengendap tersebut.
 Filtrasi

Universitas Indonesia
50

Proses ini khusus untuk menghilangkan zat padat tersuspensi. Proses filtrasi
bertujuan untuk menahan zat-zat tersuspensi (suspended matter) dalam suatu
fluida dengan cara melewatkan tersebut melalui suatu lapisan yang berpori-
pori, misalnya : pasir, anthracite, karbon dan sebagainya.
 Pelunakan (softening)
 Deionisasi (Demineralization)
Pertukaran ion secara luas digunakan untuk pengolahan air dan limbah cair,
terutama digunakan pada proses penghilangan kesadahan dan dalam proses
demineralisasi air.
 Deaerasi
Aerasi adalah proses mekanis pencampuran air dengan udara. Tujuan aerasi
adalah sebagai berikut :
 Membantu dalam pemisahan logam-logam yang tak diinginkan seperti
besi (Fe) dan mangan (Mn).
 Menghilangkan gas-gas yang terlarut dalam air terutama yang bersifat
korosif.
 Menghilangkan bau, rasa dan warna yang disebabkan oleh
mikroorganisme. Penurunan kualitas air tersebut disebabkan oleh bahan
organik yang mengalami dekomposisi, sisa-sisa atau bahan-bahan hasil
metabolisme mikroba.

3.6.1.1.2 Pengolahan Internal


Pengolahan internal adalah pengolahan yang dilakukan pada titik penggunaan
air dan bertujuan untuk menyesuaikan (conditioning) air kepada kriteria kondisi sistem
dimana air tersebut akan digunakan. Usaha untuk mencapai tujuan pengolahan internal
dilakukan dengan penambahan berbagai bahan kimia ke dalam air yang diolah. Bahan
bahan kimia tersebut, akan bereaksi dengan impurities sehingga tidak menimbulkan
gangguan dalam penggunaan air tersebut. Oksigen, sebagai contoh, dapat diikat dengan
menggunakan sodium sulfit atau hydrazine. Sifat lumpur yang dapat melekat pada logam
peralatan proses dihilangkan dengan penambahan bahan-bahan organik yang termasuk
dalam golongan tanin, lignin atau alginat.

Masalah-masalah umum yang membutuhkan pengolahan internal adalah :

Universitas Indonesia
51

(1) Masalah korosi


(2) Masalah pembentukan kerak

Air adalah pelarut yang baik, oleh sebab itu di dalamnya air paling tidak terlarut
sejumlah kecil zat-zat anorganik dan organik. Dengan kata lain, tidak ada air yang benar-
benar murni dan ini menyebabkan dalam setiap analisis air ditemukan zat-zat lain.

3.6.1.2 Chemical Treatment

Chemical Treatment pada air sirkulasi pada beberapa kasus tidka diperlukan jika
laju blowdown tinggi dan dijaga, namun beberapa kasus lainnya chemical treatment
diperlukan untuk mencegah terbentuknya kerak dan korosi. Asam Sulfat atau poliphospat
adalah yang paling umum digunakan untuk mengontrol terbentuknya kerak calcium
carbonat. Penambahan material yang mengandung cromat, fosfat atau campuran lainnya
juga sering diunakan untuk mengontrok korosi.

Air setelah beberapa waktu lama, akan tumbuh mikroorganisme seperti bakteri,
fungi, alga dan protozoa. Mikroorganisme ini akan berkembang terus dan menyebabkan
masalah berupa biological fouling yang mengurangi transfer panas pada cooling tower
dan menghambat laju alir air. Pengontrolan mikroorganisme harus dilakukan pada
cooling tower. Ada banyak pengolahan kimia untuk mengontrol mikroorganisme, namun
campuran yang mengandung copper tidak direkomendasikan. Campuran yang
mengandung chlorin atau bromin merupakan campuran yang efektif untuk mengontrol
mikroorganisme, tetapi penggunaan yang berlebihan dapat merusak material bangunan
cooling tower. Untuk pemeliharaan free residual clorin harus dijaga pada batas tertinggi
1 ppm (Mathie, Alton J. 1988). Berikut adalah beberapa chemical treatment yang serimg
digunakan.

Tabel 3.2 Cooling Water Treatment

Universitas Indonesia
52

No Products Name Description

NR CA – 330 Polimer kationik microbiocide yang sangat efektif dalam mengontrol pertumbuhan
1 (SEA WATER ANTI alga dan bakteri pada re-circulating cooling water systems dan mengontrol macro-
FOULANT) fouling pada one-through close system.

NR CCN – 202
(ANTI SCALE &
Larutan yang mengandung nitrite dan borate untuk mencegah terbentuknya kerak
2 CORROSION
dan karat pada sirkulasi air pendingin tertutup (chiller)
INHIBITOR FOR
CHILLER)

NR COB – 205
Mencegah terbentuknya pertumbuhan bakteri, alga, fungi dan slime pada sirkulasi
3 (MICROBIOCIDE FOR
air pendingin terbuka (cooling tower). Type non – oxidizing.
COOLING TOWER)

NR COB – 206 LIQUID Microbiocide berbentuk cairan untuk mencegah terbentuknya pertumbuhan
4 (MICROBIOCIDE FOR bakteri, alga, fungi dan slime pada sirkulasi air pendingin terbuka (cooling tower).
COOLING TOWER) Type oxidizing.

NR COB – 206 TABLET Microbiocide berbentuk tablet untuk mencegah terbentuknya pertumbuhan bakteri,
5 (MICROBIOCIDE FOR alga, fungi dan slime pada sirkulasi air pendingin terbuka (cooling tower). Type
COOLING TOWER) oxidizing.

NR COC – 203
(ANTI SCALE & Berfungsi sebagai dual purpose, scale dan corrosion inhibitor pada recirculation
6
CORROSION INHIBITOR cooling water system terbuka (cooling tower).
FOR COOLING TOWER)

NR COC – 204
(ANTI SCALE & Mencegah terbentuknya kerak dan korosi pada permukaan resirkulasi cooling
7
CORROSION INHIBITOR water system terbuka (cooling tower).
FOR COOLING TOWER)

NR EV Berfungsi sebagai scale inhibitor dan sequestering agents pada unit sea water
8
(ANTI SCALE) desalination.

Produk antiscalant dan antifoulant yang diformulasikan untuk reserve osmosis


NR FALCON ROT – 2440
system, sangat efektif mengendalikan proses kristalisasi dan particulate fouling
9 (RESERVE OSMOSIS
pada permukaan membran.
ANTI SCALANT)
(Specific gravity : 1.15 – 1.16)

Produk antiscalant dan antifoulant yang diformulasikan untuk reserve osmosis


NR FALCON ROT – 2660
system, sangat efektif mengendalikan proses kristalisasi dan particulate fouling
10 (RESERVE OSMOSIS
pada permukaan membran.
ANTI SCALANT)
(Specific gravity : 1.20 – 1.30)

NR MC – 207
Berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan alga dan bakteri pada resirkulating
11 (CONCENTRATE
cooling water system.
MICROBIOCIDE)

Biocide dengan toksisitas rendah yang dikembangkan khusus untuk perlindungan


mikrobiologis lengkap dari produk berbasis air terhadap pembusukan bakteri dan
NR MICROBIOCIDE B – N jamur di keadaan basah, terutama di mana ia akan digunakan pada suhu kamar yang
12
(MICROBIOCIDE)
tinggi.

Universitas Indonesia
53

No Products Name Description

NR SIR – 071 Menghilangkan silica yang terdapat dalam deposit atau kerak air pada boiler, heat
13
(SILICA REMOVER) exchanger, cooling tower, dan air conditioning.

(Sumber : newritachemical.com)

3.6.2 Monitoring
Untuk mengetahui kualitas cooling tower, maka parameter-parameter di dalamnya
harus ditunjau secara periodik melalui analisa laboratorium. Dengan mengetahui nilai
parameter kualitas air yang digunakan, maka pengendalian kualitas cooling tower dapat
dilakukan dengan baik. Berikut ini adalah parameter-parameter dalam analisa cooling
tower treatmenr yang harus dipantau secara periodik.

4.2.2.1 pH
Pembentukan kerak dan tendensi korosif karena air sebagian besar dipengaruhi
oleh pH. pH asam mengakibatkan korosi peralatan – peralatan logam setelah kontak
dengan air. pH basa dapat mengendapkan kalsium karbonat dari suatu larutan untuk
membentuk kerak pada permukaan perpipaan, pipa cooling water, peralatan pertukaran
panas, kondensor, dan lain- lain.

Banyak sistem pengolahan senyawa – senyawa kimia untuk mencegah kerak dan
korosi dikarenakan pH sebagai satu dari sekian banyak faktor pengendali yang penting.
Misalnya, pH air cooling water biasanya dikontrol pada nilai minimum sebesar 10,5.
Angka ini cukup tinggi untuk mencegah terjadinya korosi dan pada waktu yang sama juga
mengendapkan bermacam – macam garam pembentukan kerak. 6,5 hingga 9,0 adalah
kisaran pH netral khas untuk air yang bersirkulasi. Lebih disukai bahwa pH air yang
bersirkulasi dikendalikan dalam batas-batas ini sehingga kondisi korosif tidak terbentuk.
Pertimbangan khusus harus diberikan untuk persyaratan kondisi basa dalam sistem air
yang beredar.

4.2.2.2 M-Alkalinity
Alkalinitas dalam air disebabkan oleh adanya karbonat, bikarbonat, dan
hidroksida. M-Alkalinitas disebut sebagai alkalinitas metil oranye atau alkalinitas total
(titik akhir titrasi 4,4). Di bawah pH 4,4, tidak ada karbonat atau bikarbonat atau radikal
hidroksil gratis. Di bawah pH ini, keasaman mineral gratis membuat keberadaannya

Universitas Indonesia
54

diketahui. Ini berarti, pada atau lebih rendah dari pH 4,4, ada aktivitas ion hidrogen yang
cukup dalam air untuk menyebabkan keberadaan H2CO3, HCI dan lainnya. Cara
pengukuran menggunakan titrasi (volumetric) menggunakan asam kuat (HCl atau
H2SO4) indikator MO (M-Alkalinitas). Menyebabkan carry over dan korosi (Subyakto,
1997).

Jika nilai alkalinitas melebihi batas, maka bahan kimia polyphospat dapat dipakai
dengan konsentrasi 2-10 ppm. Bahan kimia ini dianggap ideal pada sistem resensi, karena
waktu retensi yang pendek sehingga tidak memungkinkan terjadinya perubahan menjadi
orthophospat (Subyakto, 1997).

4.2.2.3 Hardness
Menunjukkan jumlah calcium yang terlarut dalam air. Semakin tinggi konsentrasi
calsium yang terlarut maka nilai hardnessnya akan semakin dan kemungkinannya untuk
membentuk karat akan semakin tinggi pula.
Kalsium berintreaksi dengan phosphate organic maupun anorganik membentuk
lapisan pelindung korosi. Harga terkecil yang diperlukan 50 ppm sebagai CaCO 3. Bila
lapisan dibawah ini sebaiknya digunakan inhibitor seng atau molibdat.
Pada kadar kalsium tinggi (>10000 ppm sebagai CaCO3) perlakuan organic dan
basa mungkin akan memberikan masalah pengendapan. Perlakuan terbaik untuk ini ialah
phosphate terstabilkan dengan pH netral.

3.4.2.3.1 Ca-Hardness
Merupakan parameter penting dalam memperkirakan pertumbuhan kerak dari
kalsium karbonat dan biasa digunakan untuk meghitung cylcle number dari cooling tower.
Cycle number adalah perbandingan konsentrasi make up dengan konsentrasi padatan
terlarut dalam air blowdown.

3.4.2.3.2 T-Hardness
Jumlah hardness (kesadahan) dalam ar merupakan ukuran kapasitas konsumsi-
penyabunan dan tendensi pembentukan kerak. Senyawa kalsium dan magnesium
merupakan konstituen utama dari kesadahan pada air. Secara umum kesadahan air dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:

Universitas Indonesia
55

Tabel 3.3 Klasifikasi Air Berdasarkan T Hardness

Total Hardness (ppm) Klasifikasi

Kurang dari 15 air sangat lunak

15 – 60 air lunak (soft water)

61 – 120 air sadah – medium

121 – 180 air sadah (hard water)

lebih dari 180 air sangat sadah


(Sumber: J. Paul Guyer)

Pada air pendingin peningkatan kesadahan pada air dihindari karena dapat
menghasilkan endapan lumpur maupun kerak pada cooling tower. Maka karena alasan
inilah air cooling tower harus diolah sebaik mungkin sehingga presentase kemunculan
kesadahan pada air cooling tower mendekati nol.

Total Hardness dalam air dapat ditentukan dengan dua metode, yakni metode
titrasi penyabunan dan metode titrasi EDTA menggunakan indikator EBT. Erichrome
Black T (Erikrom Hitam T) adalah sejenis indikator yang berwarna merah muda bila
berada dalam larutan buffer pH 10 karena untuk mengurangi resiko gangguan selain itu
range pH agar indicator EBT dapat bekerja dengan baik. Diihat dari larutan EDTA pada
pH 10, larutan dapat menunjukkan persamaan jumlah molekuk antara molekul EDTA
sebagai titran dengan jumlah ion kesadahan sampel

4.2.2.4 Iron
Menunjujkkan jumlah ion besi yang terlarut dalam air. Ion besi diatas 4 ppm tidak
diperkenankan bila perlakuan phosphate terstabilkan dipergunakan. Baik itu dalam
bentuk terlarut dan tidak terlarut, iron dapat membentuk endapan besi dan menimbulkan
korosi pada endapan. Sehingga dapat menganggu kinerja Cooling Tower dan
mengkontaminasi air yang ada didalamnya.
4.2.2.5 Silica
Dalam badan air alami, silika terlarut atau silika reaktif tidak hadir melebihi 10
hingga 20 ppm kecuali jika sumber airnya berasal dari formasi geologi yang
mempromosikan jumlah silika yang lebih tinggi dalam air tanah, seperti yang ditemukan
di AS barat daya dan bentuk silika lainnya yang tidak larut dalam silika dapat dihilangkan

Universitas Indonesia
56

dengan pretreatment air baku yang efisien. Kelarutan silika tergantung pada suhu dan pH
air. Pada pH yang lebih tinggi, silika cenderung lebih mudah larut. Dalam kisaran pH dan
suhu normal, COC dari sistem air pendingin ditentukan sehingga konsentrasi silika
terlarut tidak melebihi 100 ppm seperti SiO2. Ketika air mentah itu sendiri mengandung
jumlah silika yang lebih tinggi, maka COC menjadi sangat terbatas. Semakin tinggi COC
bahwa sistem air pendingin dapat dioperasikan, semakin rendah jumlah makeup yang
diperlukan. Jika kadar silika tidak dijaga dalam kadar yang rendah, maka silica tersebut
akan menyebab kerak yang parah.
4.2.2.6 Ortho-Phosphate
Ortofosfat merupakan inhibitor anodik yang menggeser kurva-kurva polarisasi
anodik ke atas dan bersenyawa dengan ion-ion Ca serta ion-ion Zn membentuk lapisan
film pelindung yang tidak larut dalam air pada permukaan logam. Lapisan film yang
terbentuk antara ortofosfat dengan ion Ca2+ akan bereperan besar dalam proses inhibisi.
Ortofosfat akan berperan sebagai penghambat terbentuknya endapan CaCO3
(kapur) dengan jalan berikatan dengan Ca2+ membentuk kalsium fosfat (CaSO4).
Pembentukan lapisan kalsium fosfat akan mudah terbentuk pada katoda-katoda setempat
dari baja karbon. Penambahan garam-garam Zn mudah larut dalam sistem pendingin juga
berperan penting dalam proses inhibisi karena akan menabah kemampuan ortofosfat
dalam menghalangi proses korosi/perkaratan.

4.2.2.7 Conductivity
Daya hantar listrik adalah kemampuan air untuk mengalirkan arus listrik dan
kemampuan tercermin dari kadar padatan total dalam air dan suhu pada saat pengukuran.
Konduktivitas arus listrik mengalirkan arusnya tergantung pada mobilitas ion dan kadar
yang terlarut. Senyawa anorganik merupakan konduktor kuat dibandingkan dengan
senyawa organik. Pengukuran daya hantar listrik ini untuk melihat keseimbangan
kimiawi dalam air dan pengaruhnya terhadap kehidupan biota.

Menggambarkan kemampuan air dalam meneruskan listrik. Semakin baik suatu air
dapat menghantar listrik maka semakin banyak mineral terlarut di dalam air tersebut.
Semakin banyak mineral terlarut maka kemungkinan terbentuknya karat akan semakin
besar.

Universitas Indonesia
57

4.2.2.8 Turbidity
Merupakan tingkat kekeruhan dalam cairan yang ditunjukkan dengan jumlah
padatan yang tersuspensi di dalam air.

Kekeruhan mengurangi kejernihan air dan diakibatkan oleh pencemar-pencemar


yang terbagi halus, dari manapun asalnya, yang ada didalam air. Kekeruhan biasanya
disebabkan oleh lempung, partikel-partikel tanah dan pencemar-pencemar koloidal
lainnya. Tingkat kekeruhan tergantung pada kehalusan partikel-partikel dan
konsentrasinya. Kekeruhan diukur dengan suatu tubidimeter yang mengukur gangguan
lintasan cahaya melalui suatu contoh air. Air permukaan yang mengalami kenaikan
tingkat kekeruhan yang besar setelah terjadinya hujan sering disebut sebagai ”air yang
mengkilat”. Air semacam ini lebih sulit untuk diolah daripada air yang tingkat
kekeruhannya hampir-hampir tetap.

4.2.2.9 Total Suspended Solid


Merupakan residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran
partikel maksimal 2 mikrometer atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Yang
termasuk TSS adalah lumpur, tanah liat, logam oksida, sulfida, ganggang, bakteri dan
jamur. TSS memberikan kontribusi unruk kekeruhan dengan membatasi penetrasi cahaya
untuk fotosintesis dan visibilitas di perairan.

Informasi tentang bahan padat keseluruhan digunakan untuk perencanaan sarana-


sarana pengolahan air. Konsentrasi bahan padat terlarut keseluruhan, bersama-sama
dengan suatu analisis kimiawi terperinci, dipergunakan untuk menguji kecocokan
berbagai sumber air untuk berbagai pemanfaatan, misalnya industri dan pertanian.

4.2.2.10 Chlorine
Merupakan parameter untuk pengendalian dosis disinfectant. Jika tingkat
chlorine tinggi maka tingkat keasaman dalam air tinggi sehingga sodium hipoklorit dapat
dikurangi, jika rendah maka disarankan untuk penambahan sodium hipoklorit. Dimana
sodium hipoklorit digunakan untuk membunuh bakteri. Sesuai panduan untuk
menghindari kontaminasi mikroba dari sistem, pertahankan residu bebas kontinu sebesar
0,5 ppm dalam air yang bersirkulasi hingga maksimum residu bebas 1 ppm (saat
melakukan syok klorinasi).

Universitas Indonesia
58

4.2.2.11 Chloride
Parameter yang biasa digunakan sebagai indeks untuk mengendalikan cycle
number cooling tower. Cooling tower dengan konsentrasi Chloride yang tinggi cenderung
lebih bersifat korosif. Klorida tidak boleh lebih dari 300 ppm jika air pendingin yang
bersirkulasi akan bersentuhan dengan besi galvanis atau baja karbon telanjang.

3.6.3 Controlling
3.6.3.1 Pengendalian Pembentukan Kerak

Tiga metode dasar digunakan untuk mencegah pembentukan kerak dalam sistem
air pendingin:

a. Lepaskan bahan pembentuk kerak air sebelum digunakan. Ini termasuk


pelunakan, RO, dan teknologi lainnya.
b. Simpan bahan pembentuk kerak dalam larutan. Ini adalah metode kontrol skala
yang paling umum digunakan untuk air pendingin, dan dapat dicapai dengan
menggunakan salah satu atau kedua metode berikut ini yaitu menambahkan asam,
yang menurunkan pH air resirkulasi, atau menambahkan inhibitor skala ( fosfonat
atau polimer spesifik), yang memungkinkan COC lebih tinggi untuk
dipertahankan tanpa penskalaan. Asam menetralkan (menghancurkan) alkalinitas
mineral, salah satu unsur pembentuk skala kalsium karbonat. Namun, karena
bahaya yang terkait dengan penanganan asam kuat dan potensi kerusakan akibat
tumpahan asam, penggunaan asam dalam menara pendingin tidak dianjurkan.
c. Biarkan bahan pembentuk kerak air mengendap sebagai endapan. Perlakuan kimia
modern dapat mengubah atau memodifikasi skala kristal sedemikian rupa
sehingga tidak dapat saling menempel untuk membentuk endapan keras,
sebaliknya, mereka menjadi endapan yang dapat dihilangkan melalui filtrasi atau
blowdown.

Pengendalian gangguan ini dimaksudkan untuk mencegah pembentukan kerak


CaCO3 dengan menjaga agar kadar Ca dan alkalinitas dalam air sirkulasi cukup rendah,
dan mencegah pengendapan kerak pada permukaan logam. Untuk maksud pertama dapat
ditempuh dua cara, yaitu :

1. Menurunkan siklus konsentrasi air yang bersirkulasi atau

Universitas Indonesia
59

2. Menambah asam, misalnya H2SO4, agar pH air di bawah 7. Dapat digunakan


inhibitor kerak berupa bahan kimia seperti polifosfat, fosfonat, ester fosfonat dan
poliacrylat.
Tabel 3.4 Jenis Metode Kontrol Untuk Scale

Scale Control Method


Calcium Carbonate 1. Solubilize using phosphonates
2. Soluibilize using polymers (polyacrylate,
polymethacrylate, polymaleate)
3. Form sludge using specialty polymers
Calcium Phosphate 1. Solubilize using phosphonates
2. Solubilize using specialty copolymers or terpolymers
Calcium Sulfate Solubilize using copolymers of acrylate and acrylamide
Magnesium Silicate Maintain water chemistry of: pH < 9.0, magnesium hardness
< 500 ppm, and silica < 100 ppm
Silica 1. Maintain water chemistry with silica < 150 ppm
2. Solubilize with silica-specific polymer
(Sumber : J. Paul Guyer)

3.6.3.2 Pengendalian Korosi

Dalam sistem air pendingin, dua teknik dasar digunakan untuk memberikan
perlindungan korosi pada logam yang kontak dengan air yaitu, penggunaan inhibitor
korosi kimia dan meningkatkan pH air pendingin. Gambar x mengilustrasikan pengaruh
pH terhadap laju korosi baja ringan. Banyak sistem air pendingin mengandung komponen
yang dibuat terutama dari paduan tembaga dan baja ringan. Baja galvanis ada di menara
pendingin galvanis dan baja stainless mungkin ada di perpipaan. Karena pH air pendingin
meningkat (idealnya dalam kisaran 8,0 hingga 9,5), laju korosi tembaga dan baja ringan
akan menurun seperti yang ditunjukkan pada Gambar x, meskipun tingkat ph yang sangat
tinggi bersifat korosif terhadap tembaga. Peningkatan pH saja tidak selalu dapat
melindungi logam secara memadai, terutama karena air pendingin memiliki aerasi tinggi
(saturasi oksigen). Inhibitor korosi kimia digunakan untuk memberikan perlindungan dari
korosi pada komponen logam dari sistem air pendingin. Strategi utama untuk program
perlindungan korosi sistem pendingin adalah untuk memastikan perlindungan logam pada

Universitas Indonesia
60

penukar panas (yaitu logam tertipis dalam sistem). Tujuan kedua adalah untuk
memberikan perlindungan dari korosi pada pipa baja ringan. Ketika menara pendingin
baja galvanis adalah bagian dari sistem pendingin, inhibitor korosi khusus adalah metode
kontrol terbaik. Baja galvanis terkorosi pada tingkat pH di atas 9.0 dan di bawah 6.0.

Gambar 3.8 Pengaruh pH terhadap laju korosi baja ringan yang tidak terlindungi dalam air

(Sumber : J. Paul Guyer)

Kontrol korosi yang efektif membutuhkan pemeliharaan tingkat pH yang tepat,


ditambah menambahkan dosis pemeliharaan inhibitor korosi kimia. Inhibitor korosi kimia
membentuk lapisan pelindung atau penghalang pada permukaan logam sistem pendingin
yang telah dibersihkan sebelum menambahkan dosis tinggi inhibitor awal. Dosis awal
inhibitor pasif (melindungi) logam yang tinggi. Dosis yang tepat dari inhibitor korosi
harus dipertahankan terus menerus dalam air pendingin untuk memastikan perlindungan
berkelanjutan. Inhibitor korosi dibagi menjadi tiga kelas: katodik, anodik, dan pembuat
film umum. Inhibitor korosi membentuk film pelindung baik pada anoda, katoda, atau di
atas seluruh permukaan logam.

3.6.3.3 Pengendalian Pembentukan Fouling

Pembentukan fouling yang disebabkan oleh mikroorganisme dapat dicegah atau


dikendalikan menggunakan klorin, klorofenol, garam organometal, ammonium
kuartener, dan berbagai jenis mikrobiosida (biosida). Klorin merupakan chemicals yang
paling banyak dipakai. Dosis pemakaian klorin yang efektif adalah sebesar 0,3 sampai
1,0 ppm. Pengolahan yang tepat diperoleh secara percobaan, karena penggunaan
beberapa biosida secara bersama-sama kadang-kadang memberikan hasil yang lebih baik

Universitas Indonesia
61

dan senyawa-senyawa tersebut acap kali digunakan bersama klorin. Padatan tersuspensi
dalam air merupakan masalah yang cukup serius. Padatan tersuspensi tersebut dapat
menempel pada permukaan perpindahan panas sehingga mengakibatkan berkurangnya
efisiensi perpindahan panas. Salah satu metoda yang digunakan untuk mengendalikan
padatan tersuspensi adalah dengan melakukan filtrasi secara kontinu terhadap sebagian
air yang disirkulasi.

Kotoran dari lumpur dan produk korosi dapat dikontrol dengan penambahan
dispersant polimer yang larut dalam air, seperti polyacrylate. Penambahan sekitar 4
hingga 5 ppm polimer aktif, bersama dengan kecepatan air yang cukup (mis., 1 meter per
detik [3,28 kaki per detik]), dapat menjaga foulant dalam suspensi dan mencegahnya
diendapkan pada permukaan perpindahan panas. Dosis yang lebih tinggi (5 hingga 20
ppm) dari polimer aktif dapat diperlukan untuk sistem yang sangat kotor. Cara terbaik
adalah mengurangi pemuatan SS dengan melepaskannya secara mekanis dari sistem
melalui blowdown, filtrasi, dan pembersihan bak fisik. Menghapus minyak atau bahan
berminyak membutuhkan surfaktan tanpa busa. Tabel x merangkum metode kontrol yang
kotor.

Tabel 3.5 Metode Kontrol Foulant

(Sumber : J. Paul Guyer)

3.6.3.4 Penanganan Masalah Lumut/Mikroorganisme

Cara mengatasi tumbuhnya lumut dan mikroorganisme pada pendingin sekunder


adalah sebagai berikut:

1. Pencegahan kontaminasi nutrisi dan padatan tersuspensi pada air pendingin.


Untuk mencegah agar sekecil mungkin kontaminasi nutrisi dan padatan
tersuspensi yang berasal dari air make-up, dilakukan pra-pengolahan seperti
penyaringan.

Universitas Indonesia
62

2. Pemakaian bahan pengontrol lumut. Fungsi dari bahan pengontrol lumut


diklasifikasikan atas sterilisasi. Karena setiap bahan pengontrol lumut
mempunyai mekanisme kerja yang berbeda, maka apabila penanggulangan
lumut dilakukan, kondisi deposit lumut harus dipelajari supaya dapat memilih
bahan kimia yang sesuai.
3. Sterilisasi adalah suatu perawatan untuk merendahkan potensi pelekatan
mikroorganisme dalam sistem air pendingin dengan jalan pembunuhan
mikroorganisme. Bahan kimia yang mempunyai efek sterilisasi adalah
senyawa klor, senyawa organik, nitrogen-sulfur dan lain-lain. Mekanisme kerja
bahan-bahan kimia ini diperkirakan sebagai berikut: Bahan kimia ini
mempunyai reaktivitas yang tinggi terhadap radikal SH sistein (komponen
protein dalam mikroorganisme), dan membunuh mikroorganisme dengan jalan
melumpuhkan enzim (bagian yang aktif) radikal SH, atau membunuh
mikroorganisme dengan daya oksidasi dari bahan kimia tersebut. Secara
umum, klorinasi digunakan untuk sterilisasi karena efektif dan murah. Namun,
karena klor bersifat korosif terhadap metal, maka konsentrasi sisa klor
(residual chlorine) dalam air pendingin harus dikontrol meksimum 1 ppm
(Cl2).
4. Peredaman pertumbuhan mikroorganisme . Ini adalah perawatan dengan
menurunkan kecepatan pertumbuhan lumut dengan jalan meredam
pertumbuhan mikroorganisme dalam sistem pendingin air sekunder.
Mekanisme kerja bahan kimia yang digunakan hampir sama dengan
mekanisme kerja biocide-boicide lainnya, hanya penggunaannya yang
berbeda. Pada perawatan ini perlu dipertahankan pemakaian bahan kimia
secara kontinu / dalam waktu relatif lama walaupun konsentrasi kecil.
Sedangkan biocide lainnya adalah sebaliknya. Bahan kimia yang cocok untuk
perawatan secara biostatik adalah senyawa organik nitrogen-sulfur dan
senyawa-senyawa amina.
5. Pencegahan pelekatan: getah lendir yang diproduksi mikroorganisme bertalian
dengan pelekatan mikroorganisme pada permukaan padatan. Dalam
pencegahan pelekatan lumut, bahan kimia bereaksi dengan getah lendir dan
kemudian menetralisasinya, sehingga daya pelekatan mikroorganisme

Universitas Indonesia
63

diturunkan atau dilemahkan. Bahan kimia yang mempunyai efek seperti ini
adalah senyawa garam ammonium kwartener, senyawa bromine dan lain-lain.
6. Pengikisan lumut: perawatan ini adalah mengikis lumut yang melekat pada
system pendingin dengan bahan-bahan kimia. Bahan kimia yang mempunyai
efek mengikis adalah senyawa klor, peroksida, senyawa amina dan lainlain.
Mekanisme kerja bahan-bahan kimia ini menurunkan daya pelekatan lumut
dengan jalan denaturasi getah lendir dan membentuk gelembung- gelembung,
akibat reaksi bahan kimia dengan lumut, sehingga lumut secara alami terkikis.
Dengan demikian setelah penambahan bahan kimia, dengan menaikkan
kecepatan aliran air akan meningkatkan efek pengikisan.
7. Pendispersi lumpur: padatan tersuspensi dalam air akan menjadi gumpalan
(flocs) akibat aktivitas mikroorganisme dan terakumulasi sebagai lumpur.
Pengolahan dispersi lumpur bukan hanya meredam pembentukan gumpalan
tetapi juga mendispersi gumpalan yang telah terbentuk. Padatan tersuspensi
yang terdispesi dibuang keluar melalui air blowdown sehingga volume
akumulasi lumpur dikurangi. Bahan kimia untuk pencegahan pelekatan lumut
dan pengikisan lumut juga digunakan untuk pendispersi lumut dan untuk
bioflokulasi (penggumpalan akibat mikrobiologi) padatan tersuspensi. Juga
polielektrolit atau polimer digunakan untuk pendispersi anorganik padatan
tersuspensi atau peredaman penggumpalan padatan tersuspensi.
8. Penyaringan pembantu merupakan suatu pengolahan untuk menurunkan
akumulasi lumpur dan pelekatan lumut yaitu dengan jalan penyaringan
sebagian air pendingin yang disirkulasikan untuk membuang padatan
tersuspensi (Lestari, 2010).

Universitas Indonesia
64

4. BAB 4
LAPORAN PENELITIAN

4.1 Metodologi Penelitian


4.1.1 Diagram Alir Penelitian

Mulai

Studi Literatur dan


Studi Lapangan
Pengolahan Air menjadi
Udara Dingin

Pengumpulan Data
Parameter Kondisi Air

Analisis Data

Analisis Air yang Masuk


ke dalam Cooling
Tower Berdasarkan
Parameter yang Telah
ditetapkan PT Abbott
Indonesia

Output

Upaya Optimasi
Pengolahan Air dalam
Cooling Tower

Selesai

Gambar 4.1 Diagram Alir Penelitian

64 Universitas Indonesia
65

4.1.2 Studi Literature dan Lapangan


Studi literature dilakukan untuk mengumpulkan berbagai informasi terkait Water
Cooling System yang terdapat dalam PT. Abbott Indonesia, Cimanggis. Informasi yang
dikumpulkan yaitu jenis dan tipe tiap unit Water Cooling System seperti Cooling Tower,
Chiller, AHU, dan Dehumidifier, fungsi setiap unitnya, penjelasan mengenai setiap
parameter Water Treatment pada Cooling Water Sytem serta spesifikasi tiap unit Water
Cooling System pada pabrik PT Abbot Indonesia. Sumber informasi berasal dari jurnal,
buku, dan internet.

Selain studi literature, dilakukan juga studi lapangan. Studi lapangan dilakukan
untuk memahami secara nyata aliran proses dalam Water Cooling System dari air tanah
sampai menjadi uap dingin di ruang produksi. Informasi yang diperoleh dari studi
lapangan merupakan proses pada unit Water Cooling System, dan analisa parameter
Water Treatment untuk mencegah terjadinya kerusakan pada tiap unit Water Cooling
System. Selain itu juga mempelajari tipe dan jenis Cooling Tower, Chiller, AHU, dan
Dehumidifier yang digunakan beserta fungsinya pada pabrik. Kegiatan studi lapangan
juga dilakukan dengan diskusi dengan pembimbing lapangan dan operator di lapangan.

4.1.3 Metode Pengolahan Data


4.2.3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data di lapangan dengan
dibantu oleh operator. Pengumpulan data dilakukan selama 3 minggu. Minggu pertama
dilakukan pengambilan data berupa analisis air yang berada di Chiller. Pada minggu
kedua dilakukan pengambilan data untuk keseluruhan parameter di Ground tank dan
Cooling Tower. Dan untuk minggu ketiga dilakukan pengumpulan data mengenai proses
yang terjadi pada rangkaian Water Cooling System dengan bertanya kepada operator,
teknisi, dan supervisor di Utility Department.
Water Cooling System merupakan suatu sistem penunjang untuk proses produksi.
Unit yang digunakan dalam Water Cooling System yaitu Cooling Tower, Chiller, AHU,
dan Dehumidifier yang berfungsi untuk mendinginkan air yang diperoleh dari sumber air
di sumur sampai dapat menghasilkan uap dingin yang dibutuhkan untuk ruangan
produksi, dimana di ruang produski suhu ruangan harus tetap terjaga. Berikut adalah
process flow Water Cooling System di PT Abbot Indonesia.

Universitas Indonesia
66

Gambar 4.2 Process Flow Water Cooling System

Sebelum dihasilkannya uap dingin di ruang produksi, air yang masuk kedalam
Cooling Tower dan Chiller harus melalui serangkaian treatment untuk menghilangkan
pengotor yang dapat menurunkan efisiensi dari alat tersebut. Air dari sumur ditampung
sementara di dalam ground tank, didalam ground tank ini air sumur diberikan sodium
hipoklorit untuk membunuh bakteri dan lumut sebanyak 180 ml/hari. Selanjutnya air dari
ground tank tersebut akan masuk kedalam cooling tower untuk didinginkan, dari suhu
35°C yang masuk akan dihasilkan 27°C air yang akan di alirkan ke chiller. Di cooling
tower terdapat beberapa chemical yang diinjeksikan yaitu CA15000MT sebanyak 1 L/hari
yang bertujuan untuk menurunkan kadar sifat-sifat pengotor seperti fosfat, silica, dan iron
yang dapat menyebabkan scaling dan karat. Sodium hipoklorit sebanyak 250 ml/hari yang
bertujuan untuk membunuh bakteri dan lumut namun pemberiannya juga dilihat dari
kadar pH di dalam cooling tower. MB215 sebanyak 500 ml/hari yang bertujuan untuk

Universitas Indonesia
67

membuat pH agar stabil, serta penambahan HCl sekitar 50ml-100ml jika pH terlalu basa.
Kotoran-kotoran yang ditimbulkan dari reaksi kimia tersebut yang tersisa di cooling tower
akan dibuang melalui blowdown.
Di dalam chiller terdapat 2 bagian yaitu kondensor dan evaporator. Air yang
dikirim dari cooling tower akan masuk ke bagian kondensor dan akan dikirim lagi ke
cooling tower untuk didinginkan kembali, lalu di bagian evaporator air yang didapat dari
AHU akan didinginkan lagi dengan kompresor yang bekerja karena hembusan dingin dari
kondensor. Pada evaporator suhu air berkisar 6°C. Di chiller juga terdapat chemical yang
diinjeksikan yaitu Ca999 sebanyak 25 kg dengan selang 3 bulan sekali yang bertujuan
untuk mencegah kerak dan korosi, mengetahui kadar nitrit, membuat pH agar stabil, serta
menjaga suhu agar selalu rendah.
Air dingin dari chiller yang masuk ke AHU 1 digunakan untuk mendinginkan
udara yang dikirim dari Return Air, lalu udara dingin yang bersuhu 10°C yang menjadi
output AHU 1 dibantu dengan blower dihembuskan ke dehumidifier untuk diturunkan
kelembabannya dengan cara dipanaskan agar udara yang dihasikan merupakan udara
kering. Udara yang menjadi output dari dehumidifier bersuhu sekitar 30°C.
Udara yang menjadi output dari dehumidifier akan didinginkan kembali dengan
AHU 2 dengan dibantu air dingin yang dikirim dari chiller sehingga menghasilkan udara
bersuhu20°C-27°C yang akan di bagikan di ruangan produksi. Di ruangan produksi
tersebut memiliki suhu sekitar 20°C-27°C, dengan tingkat kelembaban maksimal 40%
dan perputaran udara antara supply air dan return air yang dilakukan dalam sehari
sebanyak 5-20x.
Berikut merupakan bentuk alat yang digunakan PT Abbott Indoensia dalam proses
pembuatan udara dingin yang akan digunakan di ruangan produksi.
1. Ground Tank
PT Abbott Indonesia memiliki 4 ground tank dimana air yang disimpan di
ground tank merupakan air tanah.

Universitas Indonesia
68

Gambar 4.3 Ground Tank PT Abbott Indonesia

2. Cooling Tower

Sistem aliran Cooling Tower yang digunakan di PT Abbott Indonesia adalah


Open Evaporative Recirculating System, dimana air tawar yang berasal dari sungai
atau danau dipompakan sebagai make-up cooling tower setelah sebelumnya
dilakukan treatment (sedimentasi dan koagulasi) terlebih dahulu. Sistem ini
banyak digunakan oleh pabrik yang berada dekat dengan sumber air tawar atau
jauh dari laut. Spesifikasi material untuk peralatan yang menggunakan air tawar
tidak perlu sebagus peralatan yang menggunakan air laut, karena air tawar lebih
tidak korosif dibandingkan dengan air laut. Open recirculating system banyak
digunakan dalam industri. Sistem ini terdiri dari pompa, HE, dan cooling tower.

Gambar 4.4 Cooling Tower PT Abbott Indonesia

Universitas Indonesia
69

3. Chiller
Chiller yang digunakan PT Abbot Indonesia adalah Water Cool Chiller. Mesin
refrigerasi dengan pendinginan air (water cooled chiller), pada prinsipnya hampir
sama dengan mesin refrigerasi pendinginan udara (air cooled chiller) dalam
distribusi udara dingin melalui AHU atau FCU. Perbedaan utamanya adalah
pendinginan refrigerannya, bukan dengan udara, tetapi dengan air, dimana airnya
didinginkan melalui menara air atau cooling tower. Mesin refrigerasi dengan
pendinginan air, pada umumnya ditempatkan dalam lantai bawah (basement)
suatu bangunan.

Gambar 4.5 Chiller PT Abbott Indonesia

4. Air Handling Unit


Di AHU terdapat Cooling Coil, Filter dan Blower (fan). Sedangkan Ducting
adalah saluran yang berfungsi menyalurkan udara.

Gambar 4.6 Air Handling Unit PT Abbott Indonesia

Universitas Indonesia
70

5. Dehumidifier
Dehumidifier artinya adalah alat untuk mengurangi kelembaban udara melalui
proses dehumidifikasi. Proses dehumidifikasi merupakan suatu proses penurunan
kadar air dalam udara. Penggunaan dehumidifier banyak ditemui pada bidang
farmasi bisa digunakan untuk melindungi stok obat-obatan, melindungi peralatan-
peralatan di rumah sakit yang sensitif, dan memantau tingkat kelembaban pada
area produksi.

Gambar 4.7 Dehumidifier PT Abbott Indonesia

4.2.3.2 Prosedur Kerja


Untuk mempertahankan agar kinerja alat Water Cooling System optimal maka
dibutuhkan pengontrolan terhadap air yang bersikulasi di dalam alat tersebut, yaitu
dengan cara dilakukannya analisa kualitas air yang berada di ground tank, Cooling Tower,
Chiller, dan Raw Water dengan beberapa parameter sebagai berikut. Namun untuk chiller
hanya dianalisa bagian TSS dan Raw Water hanya menganalisa Free Chlorine.

4.2.3.2.1 pH
Analisa langsung dengan menggunakan alat ukur pH meter digital.

4.2.3.2.2 Conductivity
Analisa langsung dengan menggunakan alat ukur conductivity meter digital

Universitas Indonesia
71

4.2.3.2.3 P- Alkalinity
1. Mengambil 20 ml sampel kedalam Erlenmeyer yang telah dibersihkan
dengan aquades
2. Menambahkan 2 tetes larutan SO 222 (P Indikator)
 Jika larutan tidak berwarna merah jambu maka P-Alkalinity = 0
 Jika larutan berwarna merah jambu, maka dilanjutkan ke tahap 3
3. Mengisi buret sampai ke tanda 0 dengan larutan SO 226 (N-50 H2SO4),
mentitrasi sampe hingga tidak berwarna.
4. Mencatat jumlah SO 226 yang digunakan.
Menggunakan sampel yang sama untuk analisa M-Alkalinity

Perhitungan :

Ukuran sampel 10 ml :

Ukuran sampel 50 ml :

Keterangan :

SO - 222 - P.Indikator

SO - 226 - N-50 H2 SO4 (titran)

4.2.3.2.4 M-Alkalinity
1. Menambahkan 5 tetes larutan SO 220 (M-Indikator) kedalam sampel yang
sama saat menguji P-Alkalinity, warna larutan akan menjadi biru
2. Tanpa mengisi kembali buret, melanjutkan titrasi dengan larutan SO 226

Universitas Indonesia
72

(N-50) H2SO4 kedalam sampel hingga warna berubah menjadi merah


kekuningan
3. Mencatat jumlah total SO 226 yang dipakai saat P-Alkalinity dan M-
Alkalinity
Menggunakan sampel yang sama untuk analisa Chloride
Perhitungan :

Ukuran sampel 10 ml :

Ukuran sampel 50 ml :

Keterangan :

SO – 226 - N-50 H2 SO4 (titran)

SO - 260 - M.Indikator

4.2.3.2.5 Ca-Hardness
1. Membilas erlenmeyer dengan aquadest. Ukur 50ml sampel yang akan
dianalisa dan tuang ke dalam Erlenmeyer tersebut.
2. Menambahkan 2ml larutan SO279 sambil dikocok
3. Menambahkan sejumput reagent SO280 dan dicampur
 Jika larutan berwarna ungu, Ca Hardness = 0
 Jika larutan tidak berwarna ungu, lanjutkan ke prosedur 4
4. Mengsi buret dengan larutan SO274
5. Mentitrasi sampel dengan larutan menjadi ungu

Universitas Indonesia
73

6. Mencatat jumlah ml larutan SO 274 yang dipakai

Perhitungan :

Keterangan :

SO – 274 - EDTA (titran)

SO – 279 - Buffer Hardness

SO – 280 - Indikator Ca Hardness

4.2.3.2.6 T-Hardness
4. Membilas erlenmeryer dengan aquadest. Ukur 50ml sampel yang akan
dianalisa dan tuang ke dalam Erlenmeyer tersebut
5. Menambhakan 2 ml larutan SO 275 sambil dikocok
6. Menambhakan sejemput reagent SO 277 dan dicampur
 Jika larutan berwarna biru, total hardness = 0
 Jika larutan tidak berwarna biru, lanjutkan ke prosedur 4
7. Mengisi buret dengan larutan SO 274
8. Mentitrasi sampel dengan larutan SO 274 hingga penambahan 1 tetes
;arutan SO 274 mengubah warna larutan menjadi biru
9. Menicatat jumlah ml ;arutan SO 274 yang dipakai

Perhitungan :

Keterangan :

SO – 274 - EDTA (titran)

SO – 275 - Buffer Hardness

SO – 277 - Indikator Total Hardness

Universitas Indonesia
74

4.2.3.2.7 Iron
Menyiapkan DR890, cuvet 2 buah, reagent FeHL dan air CT (sudah tidak
panas < 35C)
Memaasukkan 10 ml air CT ke dalam 2 buah cuvet
Cuvet pertama ditambahkan reagent FeHL (disebut sample) dan cuvet
kedua tidak ditambahkan reagent FeHL (disebut blanko)
Menghidupkan DR890, tekan program, tekan 33. Akan muncul
parameter deteksi Fe
Menekan timer 3 menit, enter
Setelah timer selesai (berbunyi), masukkan blanko ke dalam DR890 dan
tekan zero
Mengeluarkan blanko dan masukkan sample dan tekan read
Akan terlihat bacaan deteksi Fe di monitor DR890

4.2.3.2.8 Silica
1. Menyiapkan DR890, cuvet 2 buah, reagent Silica dan air CT (sudah tidak
panas < 35C)
2. Memasukkan 10 ml air CT ke dalam 2 buah cuvet
3. Cuvet pertama ditambahkan reagent Silica, yaitu SIH3, SIH1 (disebut
sample) dan cuvet kedua tidak ditambahkan reagent FeHL (disebut blanko)
4. Menghidupkan DR890, tekan program, tekan 89. Akan muncul parameter
deteksi Silica
5. Menekan timer 10 menit, enter
6. Setelah timer selesai (berbunyi), masukkan reagent Silica yaitu SIH2 ke
dalam sample dan air blanko tidak ditambahkan reagent Silica
7. Menekan timer 2 menit, enter
8. Setelah timer selesai (berbunyi), masukkan blanko ke dalam DR890 dan
tekan zero
9. Mengeluarkan blanko dan masukkan sample dan tekan read
10. Akan terlihat bacaan deteksi Silica di monitor DR890

Universitas Indonesia
75

4.2.3.2.9 Ortho-Phosphate
1. Menyiapkan DR890, cuvet 2 buah, reagent 460-SO726 (HCl 1:1), 460-
SH357 (TP 1), XP 2, sample air CT (sudah tidak panas < 35C)
2. Memaasukkan 1 ml air CT ke dalam 2 buah cuvet dan tambahkan 24ml
aquadest ke dalam 2 buah cuvet tersebut (pengenceran 25x)
3. Cuvet pertama ditambahkan 2ml reagent TP 1 dan 14 tetes XP 2 dan cuvet
kedua diatambahkan 2ml HCl 1:1 dan 14 tetes XP 2(disebut blanko)
4. Menghidupkan DR890, tekan program, tekan 155. Akan muncul parameter
deteksi Ortho-Phosphate
5. Menekan timer 10 menit, enter
6. Setelah timer selesai (berbunyi), masukkan blanko ke dalam DR890 dna
tekan zero
7. Mnegeluarkan blanko dan masukkan sample dan tekan read
8. Akan terlihat bacaan deteksi Silica di monitor DR890\
9. Nilai Ortho-Phosphate = hasil bacaan deteksi di monitor dikalikan 25
10. Apabila sample nya 25ml, dikalikan 25 (tidak pengenceran)

4.2.3.2.10 Turbidity
1. Menyiapkan DR890, cuvet 2 buah, aquadest dan air CT (sudah tidak panas
< 35C)
2. Memaasukkan 10 ml air CT ke dalam 1 buah cuvet (disebut sample)
3. Cuvet kedua masukkan aquadest (disebut blanko)
4. Menghidupkan DR890, tekan program, tekan 95. Akan muncul parameter
deteksi Turbidity
5. Memaasukkan blanki ke dalam DR890 dan tekan zero
6. Mengeluarkan blanko dan masukkan sample dan tekan read
7. Akan terlihat bacaan deteksi Turbidity di monitor DR890

4.2.3.2.11 Total Suspended Solid


1. Menyiapkan DR890, cuvet 2 buah, aquadest dan air CT (sudah tidak panas
< 35C)
2. Memaasukkan 10 ml air CT ke dalam 1 buah cuvet (disebut sample)
3. Cuvet kedua masukkan aquadest (disebut blanko)

Universitas Indonesia
76

4. Menghidupkan DR890, tekan program, tekan 94. Akan muncul parameter


deteksi TSS
5. Memaasukkan blanki ke dalam DR890 dan tekan zero
6. Mengeluarkan blanko dan masukkan sample dan tekan read
7. Akan terlihat bacaan deteksi TSS di monitor DR890

4.2.3.2.12 Chlorine
1. Menyiapkan DR890, cuvet 2 buah, aquadest dan air CT (sudah tidak panas
< 35C)
2. Memasukkan 10 ml air CT ke dalam 1 buah cuvet (disebut sample)
3. Cuvet pertama ditambahkan reagent chlorine (disebut sample) dan Cuvet
kedua tidak dimasukkan reagent chlorine (disebut blanko)
4. Menghidupkan DR890, tekan program, tekan 9. Akan muncul parameter
deteksi Chlorine
5. Menekan timer 30 detik untuk free chlorine, dan 3 menit untuk total
chlorine
6. Memasukkan blanko ke dalam DR890 dan tekan zero
7. Mengeluarkan blanko dan masukkan sample dan tekan read
8. Akan terlihat bacaan deteksi Chlorine di monitor DR890

4.2.3.2.13 Chloride
1. Menambahkan 1 ml larutan SO224 (Chloride indicator( sambal diasuk, ke
sampel yang mana ketika selesai menganalisa p-alkalinity M-alkalinity,
warna larutan menjadi kuning kehijauan
2. Mentitrasi dengan larutan SO229 sampai warna kuning kehijauan larutan
hilang dan berubah menjadi merah bata.

Perhitungan :

Ukuran sampel 10 ml :

Universitas Indonesia
77

Ukuran sampel 50 ml :

Keterangan :

SO – 224 - Indikator K2Cr04

SO – 229 - AgNO3 (titran)

4.2 Hasil dan Pembahasan


4.2.1 Data Pengamatan
12 Juli 2019

Tabel 4.1 Data Pengamatan Sampel Air I

WATER SAMPLE ANALYSIS


GROUND CT
PARAMETER UNIT LIMIT CT I LIMIT
TANK II
pH 7.7 6.3-7.2 8.9 9 7.8-8.8
M-Alkalinity ppmCaCO3 228 <200 480 453 5-300
Ca-Hardness ppmCaCO3 37 <100 70 63 -
T-Hardness ppmCaCO3 88 <150 140 126 <300
Iron ppmFe 0.38 <0.5 0.01 0.06 <3
Silica ppm SiO2 57.9 <30 54.6 63.5 <150
Ortho-Phosphate ppm PO4 N/A <5 N/A N/A <5
Conductivity µ.S/cm 196 <400 1921 2440 <4000
Turbidity NTU/FTU 24.3 <50 17.5 10.7 <20
Total Suspended Solid ppm Solid 1 <5 1 0 <5
0.25- 0.25-
T. Chlorine 0.45 0.38 0.35
0.75 0.75
Chloride N/A 150 N/A N/A 150

Universitas Indonesia
78

13 Juni 2019

Tabel 4.2 Data Pengamatan Sampel Air II

WATER SAMPLE ANALYSIS


GROUND TANK
PARAMETER UNIT LIMIT CT I CT II LIMIT
II

pH 6.8 6.3-7.2 8.8 8.9 7.8-8.8

M-Alkalinity ppmCaCO3 87 <200 713 800 5-300

Ca-Hardness ppmCaCO3 46 <100 30 38 -

T-Hardness ppmCaCO3 76 <150 161 81 <300

Iron ppmFe 0.42 <0.5 0.03 0.2 <3

Silica ppm SiO2 38.1 <30 56.1 48.3 <150


Ortho-Phosphate ppm PO4 3.2 <5 4.8 3.7 <5
Conductivity µ.S/cm 200 <400 3800 4101 <4000

Turbidity NTU/FTU 31 <50 17.8 16.3 <20

Total Suspended Solid ppm Solid 0 <5 1 0 <5


T. Chlorine 0.42 0.25-0.75 0.36 0.41 0.25-0.75

Chloride 28.711 150 161.3 170.3 150

22 Februari 2019

Tabel 4.3 Data Pengamatan Sampel Air III

WATER SAMPLE ANALYSIS

GROUND TANK
PARAMETER UNIT LIMIT CT I CT II LIMIT
II

pH 6.8 6.3-7.2 8.8 8.6 7.8-8.8

M-Alkalinity ppmCaCO3 86 <200 478 600 5-300

Ca-Hardness ppmCaCO3 30 <100 51 29 -

T-Hardness ppmCaCO3 40 <150 144 96 <300

Iron ppmFe 0.17 <0.5 0.03 0.05 <3

Silica ppm SiO2 28.3 <30 41.2 38.1 <150

Universitas Indonesia
79

Ortho-Phosphate ppm PO4 1.9 <5 4.4 3.8 <5

Conductivity µ.S/cm 271 <400 2817 3013 <4000

Turbidity NTU/FTU 13.8 <50 13.1 16 <20


Total Suspended Solid ppm Solid 1 <5 0 1 <5

T. Chlorine 0.48 0.25-0.75 0.3 0.287 0.25-0.75

Chloride 23.44 150 71.2 80.44 150

14 Desember 2018

Tabel 4.4 Data Pengamatan Sampel Air IV

WATER SAMPLE ANALYSIS


GROUND TANK
PARAMETER UNIT LIMIT CT I CT II LIMIT
II

pH 7.2 6.3-7.2 8.7 9.1 7.8-8.8

M-Alkalinity ppmCaCO3 162 <200 841 977 5-300


Ca-Hardness ppmCaCO3 42 <100 47 56 -

T-Hardness ppmCaCO3 101 <150 96 101 <300

Iron ppmFe 0.4 <0.5 0.03 0.01 <3


Silica ppm SiO2 21.5 <30 54.3 47.5 <150

Ortho-Phosphate ppm PO4 N/A <5 N/A N/A <5

Conductivity µ.S/cm 280 <400 3101 3401 <4000

Turbidity NTU/FTU 20.3 <50 16.3 17.1 <20


Total Suspended Solid ppm Solid 1 <5 4.9 5.01 <5
T. Chlorine 0.41 0.25-0.75 0.55 0.48 0.25-0.75

Chloride N/A 150 N/A N/A 150

Universitas Indonesia
80

29 November 2018

Tabel 4.5 Data Pengamatan Sampel Air V

WATER SAMPLE ANALYSIS


GROUND TANK
PARAMETER UNIT LIMIT CT I CT II LIMIT
II

pH 7.1 6.3-7.2 9.2 8.7 7.8-8.8

M-Alkalinity ppmCaCO3 140 <200 1192 900 5-300

Ca-Hardness ppmCaCO3 60 <100 70 50 -

T-Hardness ppmCaCO3 110 <150 152 125 <300

Iron ppmFe 0.3 <0.5 0.02 0.05 <3

Silica ppm SiO2 25 <30 47.3 39.4 <150


Ortho-Phosphate ppm PO4 3 <5 4.3 3.7 <5
Conductivity µ.S/cm 359 <400 2226 1210 <4000

Turbidity NTU/FTU 19 <50 11 10 <20

Total Suspended Solid ppm Solid 1 <5 2 1 <5


T. Chlorine 0.3 0.25-0.75 0.17 0.24 0.25-0.75

Chloride 61.3 150 364.2 271.03 150

8 Oktober 2018

Tabel 4.6 Data Pengamatan Sampel Air VI

WATER SAMPLE ANALYSIS

GROUND TANK
PARAMETER UNIT LIMIT CT I CT II LIMIT
II

pH 7.2 6.3-7.2 8.9 9.3 7.8-8.8

M-Alkalinity ppmCaCO3 162 <200 800 1011 5-300

Ca-Hardness ppmCaCO3 93 <100 89 97 -

T-Hardness ppmCaCO3 144 <150 204 199 <300

Iron ppmFe 0.43 <0.5 0.03 0.06 <3

Silica ppm SiO2 51.3 <30 51.3 41.7 <150

Universitas Indonesia
81

Ortho-Phosphate ppm PO4 N/A <5 N/A N/A <5

Conductivity µ.S/cm 118.95 <400 2190 2235 <4000

Turbidity NTU/FTU 35.7 <50 21.5 19.5 <20


Total Suspended Solid ppm Solid 1 <5 0 1 <5

T. Chlorine 0.395 0.25-0.75 0.38 0.4 0.25-0.75

Chloride 55.844 150 267 216.38 150

5 September 2018

Tabel 4.7 Data Pengamatan Sampel Air VII

WATER SAMPLE ANALYSIS


GROUND TANK
PARAMETER UNIT LIMIT CT I CT II LIMIT
II

pH 7.5 6.3-7.2 8.8 9.2 7.8-8.8

M-Alkalinity ppmCaCO3 129 <200 783 1158 5-300


Ca-Hardness ppmCaCO3 24 <100 40 51 -

T-Hardness ppmCaCO3 53 <150 88 91 <300

Iron ppmFe 0.47 <0.5 0.05 0.02 <3


Silica ppm SiO2 61.3 <30 58.7 57.4 <150

Ortho-Phosphate ppm PO4 N/A <5 N/A N/A <5

Conductivity µ.S/cm 400 <400 3811 3340 <4000

Turbidity NTU/FTU 20.1 <50 17.5 20.1 <20


Total Suspended Solid ppm Solid 1 <5 0 0 <5
T. Chlorine 0.35 0.25-0.75 0.35 0.37 0.25-0.75

Chloride 27.51 150 131.5 128.3 150

4.2.2 Analisis Hasil Parameter


Analisa parameter Water Treatnent dibutuhkan untuk menjadi acuan menganalsia
standar senyawa kimia yang terkandung dalam air yang mengalir yang berpotensi
menyebabkan masalah pada alat-alat Water Cooling System khususnya pada Cooling
Tower dan Chiller sehingga dapat mengetahui langkah berikutnya untuk mencegah
Universitas Indonesia
82

terjadinya kerusakan pada alat tersebut sehingga tidak mempengaruhi laju pembentukan
udara dingin untuk pendingin ruang sebagai penunjang proses produksi.
Nilai limit yang tertera pada data pengamatan tersebut diperoleh dari perushaan PT
Abbott Indonesia, sebab paramater-parameter tersebut berbeda pada setiap pabrik
disesuaikan pada spesifikasi alat yang digunakan dan cakupan industri yang berbeda pula.
Uji analisa parameter Water Treatment dilakukan di tua tempat yaitu di Ground Tank saat
air tanah pertama kali di tampung sebagai pengujian pre-treatment pengolahan air dan di
Cooling Tower saat air pertama kali tersirkulasi untuk dikirimkan ke alat-alat pendingin
selanjutnya.
Selain uji analisa parameter dilakukan juga sistem injeksi inhibitor di Cooling
Tower dan Chiller untuk mengolah air yang disirkulasikan untuk mencegah scale dan
korosi. Untuk industri farmasi alat utiltitas sebagai penunjang proses produksi mengacu
pada CPOB. Parameter yang tertulis N/A pada data pengamatan mengartikan bahwa tidak
terdapat data dikarenakan reagen dari buffer untuk analisa belum ada sehingga tidak dapat
dilakukan penganalisaan untuk saat ini, namun pada umumnya operator PT Abbott
Indonesia melakukan analisa untuk parameter tersebut.

4.2.2.1 pH

PERBANDINGAN PH
9,5
9,0
8,5
8,0 7,8 - 8,8
7,5
7,0 6,3 - 7,2
6,5
6,0
Limit CT

Limit GT

Sep-18 Oct-18 Nov-18 Dec-18 Feb-19 Jun-19 Jul-19


CT 1 8,8 8,9 9,2 8,7 8,8 8,8 8,9
CT 2 9,2 9,3 8,7 9,1 8,6 8,9 9,0
GT 7,5 7,2 7,1 7,2 6,8 6,8 7,7

Gambar 4.8 Grafik Perbandingan pH di Ground Tank dan Cooling Tower

Universitas Indonesia
83

Berdasarkan data yang diperoleh untuk perbandingan parameter pH di Ground


Tank tiap bulannya terdapat 5 dari 7 masuk dalam batas limit/kendali. pH tertinggi yaitu
7,7 pada bulan dan terendah 6,8 dengan rata-rata 7,18.hal teresbut menandakan untuk
parameter pH pada Ground Tank masih terkendali dengan baik walaupun ada yang diluar
limit namun masih tidak jauh dari limit tetapi dapat dijadikan sebagai peringatan.
Begitupula pada Cooling Tower pH tertinggi 9,3 dan 9,2 dan terendah 8,6 dan 8,7. pH
yang tinggi disebabkan karena sodium hipoklorit yang diberikan sedikit berlebih, dan
setelah dari ground tank dilanjutkan ke CT 1 dan CT 2 diberikan lagi sodium hipoklorit
sehingga pH menjadi semakin tinggi. Jika dilihat dari studi lapangan, hal ini juga dapat
dipengaruhi karena tidak adanya ruangan filter yang berfungsi untuk penampungan air
bersih dari air yang telah diinjeksikan sodium hipklorit sebelum dialirkan ke cooling
tower dimana hal ini dapat menghindari pH tinggi. Karena pada saat dari ground tank
menuju cooling tower air tersebut tidak di filter kembali. Selain itu ruangan filter ini juga
dapat berfungsi untuk filtrasi air dari lumpur yang berlebihan dari perubahan bakteri dan
lumut yang mati akibat disinfectant sodium hipklorit yang dapat menjadi salah satu alasan
penyebab tingginya pH.
4.2.2.2 M-Alkalinity

PERBANDINGAN M-ALKALINITY
1300
1200
1100
1000
900
800
700
600
500
400
300
200 5 - 300
100 <200
0

Sep-18 Oct-18 Nov-18 Dec-18 Feb-19 Jun-19 Jul-19


CT 1 783 800 1192 841 478 713 480
CT 2 1158 1011 900 977 600 800 453
GT 129 162 140 162 86 87 228

Gambar 4.9 Grafik Perbandingan M-Alkalinity di Ground Tank dan Cooling Tower

Berdasarkan data yang diperoleh untuk perbandingan parameter M-Alkalinity di


Ground Tank tiap bulannya selalu dalam limit yang telah ditentukan dimana menandakan

Universitas Indonesia
84

bahwa parameter M-Alkalinity masih terkendali dengan baik kecuali pada bulan juli 2019
yang melebihi batas limit sampai angka 228. Sedangkan untuk di Cooling Tower
semuanya melebihi limit yang telah ditentukan. Namun untuk parameter alkalinity di
dalam Cooling Tower yang standar umum yang direkomendasikan adalah maksimal 1000
ppm. Jadi walaupun melebihi limit yang telah ditetapkan PT Abbott Indonesia, tetapi
belum masih masuk dalam standar umum alkalinity dalam cooling tower kecuali pada
September 2018, Oktober 2018, dan Novemver 2018 yang menjadi titik tertinggi kadar
alkalinitas dan melebihi standar umum namun belum terlalu jauh jadi masih dapat
dikendalikan atau diturunkan. Parameter M-Alkalinity pada ground tank dan cooling
tower yang melebihi limit yang telah ditentukan PT Abbott Indonesia dikarenakan oleh
nilai pH yang tinggi. Dimana alkalinitas menunjukkan konsentrasi basa atau bahan yang
mampu menetralisir kemasaman dalam air. Penggunaan sodium hipklorit yang berlebih
menyebabkan kapasitas pembuffferan dari ion bikarbonat, karbonat dan hidroksida dalam
air yang berlebih. Sehingga ketiga ion tersebut di dalam air akan bereaksi dengan ion
hidrogen sehingga menurunkan kemasaman dan menaikkan pH. Dikarenakan Nilai pH
semakin besar, maka Alkalinity juga semakin besar dan kemungkinan untuk terbentuknya
kerak akan semakin besar yang berarti dapat menurutkan efisiensi dari Cooling Tower.

4.2.2.3 Ca-Hardness

PERBANDINGAN CA-HARDNESS
110
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
<100

Sep-18 Oct-18 Nov-18 Dec-18 Feb-19 Jun-19 Jul-19


CT 1 40 89 70 47 51 30 70
CT 2 51 97 50 56 29 38 63
GT 24 93 60 42 30 46 37

Gambar 4.10 Grafik Perbandingan Ca-Hardness di Ground Tank dan Cooling Tower

Universitas Indonesia
85

Berdasarkan data yang diperoleh Ca-Hardness tidak memiliki parameter. Namun


analisa kadar Ca-Hardness juga diperlukan untuk meghitung cylcle number dari cooling
tower. Cycle number adalah perbandingan konsentrasi make up dengan konsentrasi
padatan terlarut dalam air blowdown.pada Ground Tank. Kadar Ca-Hardness tertinggi
yaitu 93 pada bulan Oktober 2018, lalu terendah yaitu 24 pada bulan September 2018 dan
pada Cooling Tower tertinggi yaitu 89 di CT 1 dan 97 di CT 2 pada bulan Oktober 2018,
lalu terendah yaitu 30 untuk CT 1 pada bulan Juni 2019 dan 29 untuk CT 2 pada bulan
Februari 2018.

4.2.2.4 T-Hardness

PERBANDINGAN T-HARDNESS
300
270
240
210
180
150 <300
120
90
60
30 <150
0

Sep-18 Oct-18 Nov-18 Dec-18 Feb-19 Jun-19 Jul-19


CT 1 88 204 152 96 144 161 140
CT 2 91 199 125 101 96 81 126
GT 53 144 110 101 40 76 88

Gambar 4.11 Grafik Perbandingan T-hardness di Ground Tank dan Cooling Tower

Berdasarkan data yang diperoleh parameter T-Hardness pada tiap bulannya


berada pada limit yang telah ditentukan yang berarti untuk parameter T-Hardness di
Ground Tank ataupun di Cooling Tower tidak memiliki masalah yang signifikan dan
masih terkendali dengan sangat baik. Parameter T-haedness mengalami kenaikan kadar
dari ground tank ke cooling tower dikarenakan cooling tower memiliki kapasaitas alat
yang lebih besar dibandingkan ground tank dan lebih banyak penambahan chemical serta
treatment yang dilakukan di cooling tower.

Universitas Indonesia
86

4.2.2.5 Iron

PERBANIDNGAN IRON
0,5
0,45 <0,5
0,4
0,35
0,3
0,25 <3
0,2
0,15
0,1
0,05
0

Sep-18 Oct-18 Nov-18 Dec-18 Feb-19 Jun-19 Jul-19


CT 1 0,05 0,03 0,02 0,03 0,03 0,03 0,01
CT 2 0,02 0,06 0,05 0,01 0,05 0,2 0,06
GT 0,47 0,43 0,30 0,40 0,17 0,42 0,38

Gambar 4.12 Grafik Perbandingan Iron di Ground Tank dan Cooling Tower

Berdasarkan data yang diperoleh parameter Iron pada tiap bulannya berada pada
limit yang telah ditentukan yang berarti untuk parameter Iron di Ground Tank ataupun di
Cooling Tower tidak memiliki masalah yang signifikan dan masih terkendali dengan
sangat baik. Namun, penyebab untuk parameter iron mengalami penurunan di cooling
tower masih belum diketahui pasti penyebabnya melihat nilai conductivity pada cooling
tower juga lebih besar karena air di cooling tower mengalami pergerakan terus menerus
sehinnga kemampuan menghantarkan listrik lebih tinggi dan seharusnya nilai iron juga
lebih tinggi. Nilai Iron tertinggi terjadi pada CT 2 bulan Juni 2019.

Universitas Indonesia
87

4.2.2.6 Silica

PERBANDINGAN SILICA
70
60
<150
50
40
30
20
10 <30
0

Sep-18 Oct-18 Nov-18 Dec-18 Feb-19 Jun-19 Jul-19


CT 1 58,7 51,3 47,3 54,3 41,2 56,1 54,6
CT 2 57,4 41,7 39,4 47,5 38,1 48,3 63,5
GT 61,3 51,3 25 21,5 28,3 38,1 57,9

Gambar 4.13 Grafik Perbandingan Silica di Ground Tank dan Cooling Tower

Berdasarkan data yang diperoleh parameter Silica pada ground tank 4 dari 7
melebihi limit yang telah ditentukan PT Abbott Indonesia tiap bulannya. Kadar tertinggi
terjadi pada bulan September 2018 yaitu 61.3. Sedangkan kadar silika di Cooling Tower
berada pada limit tiap bulannya yang menandakan bahwa parameter silica masih
terkendali dengan sangat baik saat di Cooling Tower. Kadar silika sebaiknya di jaga dalam
kadar yang rendah karena jika tidak, maka silika tersebut akan menyebabkan kerak yang
parah. Silika yang tinggi di ground tank dapat terjadi karena tidak dilakukannya dengan
rutin blowdown pada deep well / air sumur sebelum dialirkan ke ground tank. Karena di
air sumur masih banyak pengotor-pengotor yang terikat di dalamnya sehingga pengotor-
pengotor tersebut terbawa ke ground tank dan saat diberikan sodium hipklorit akan
mengendap menjadi lumpur.

4.2.2.7 Ortho-phosphate
Tabel 4.8 Perbandingan Ortho-Phosphate

Tanggal Ground Tank Cooling Tower 1 Cooling Tower 2


Sep-18 N/A N/A N/A
Ortho- Oct-18 N/A N/A N/A
Phosphate Nov-18 3 4.3 3.7
Dec-18 N/A N/A N/A
Feb-19 1,9 4.4 3.8

Universitas Indonesia
88

Jun-19 3,2 4.8 3.7


Jul-19 N/A N/A N/A

Berdasarkan data yang diperoleh penulis tidak dapat melakukan perbandingan


Ortho-Phospate dikarenakan untuk beberapa bulan PT Abbott Indonesia tidak melakukan
pengujian untuk Ortho-phosphate karena reagen dari buffer untuk analisa tidak ada.
Padahal fungsi dari pengujian ortho-phosphate disini adalah untuk mengetahui kadar
yang baik untuk Ortofosfat menjalankan tugasnya sebagai penghambat terbentuknya
endapan CaCO3 (kapur) dengan jalan berikatan dengan Ca2+ membentuk kalsium fosfat
(CaSO4). Namun jika diliat untuk bulan yang dilakukan pengambilan uji parameter ini
dapat dilihat bahwa kadar orto-fosfat masih masuk dalam limit yaitu <5 yang menandakan
bahwa masih terkendali dengan baik.

4.2.2.8 Conductivity

PERBANDINGAN CONDUCTIVITY
5000
4000
3000 <4000
2000
1000
<400
0

Sep-18 Oct-18 Nov-18 Dec-18 Feb-19 Jun-19 Jul-19


CT 1 3811 2190 2260 3101 2817 3800 1921
CT 2 3340 2235 1210 3401 3013 4101 2440
GT 400 118,9 359 280 271 200 196

Gambar 4.14 Grafik Perbandingan Conductivity di Ground Tank dan Cooling Tower

Berdasarkan data yang diperoleh parameter Conductivity pada tiap bulannya


berada pada limit yang telah ditentukan yang berarti untuk parameter Conductivity di
Ground Tank ataupun di Cooling Tower tidak memiliki masalah yang signifikan dan
masih terkendali dengan baik kecuali pada bulan Juni 2019 pada Cooling Tower di CT 2

Universitas Indonesia
89

telah melebihi limit yaitu 4101. Tingginya angka ini dipengaruhi dengan kadar iron yang
pada bulan Juni 2019 memiliki kadar paling tinggi karena semakin banyaknya ion Fe
yang terlalut, maka kemampuan air untuk mengalirkan arus listrik semakin tinggi dimana
dapat dilihat dari nilai Conductivitynya. Pengukuran daya hantar listrik ini untuk melihat
keseimbangan kimiawi dalam air dan pengaruhnya terhadap kehidupan biota. Semakin
baik suatu air dapat menghantar listrik maka semakin banyak mineral terlarut di dalam
air tersebut. Semakin banyak mineral terlarut maka kemungkinan terbentuknya karat akan
semakin besar.

4.2.2.9 Turbidity

PERBANDINGAN TURBIDITY
40
30
<50

20
10
< 20
0

Sep-18 Oct-18 Nov-18 Dec-18 Feb-19 Jun-19 Jul-19


CT 1 17,5 21,5 11 16,3 13,1 17,8 17,5
CT 2 20,1 19,5 10 17,1 16 16,3 10,7
GT 20,1 35,7 19 20,3 13,8 31 24,3

Gambar 4.15 Grafik Perbandingan Turbidity di Ground Tank dan Cooling Tower

Berdasarkan dari data yang diperoleh parameter Turbidity pada tiap bulannya
berada pada limit yang telah ditentukan yang berarti untuk parameter Turbididy di
Ground Tank ataupun di Cooling Tower tidak memiliki masalah yang signifikan dan
masih terkendali dengan baik kecuali pada bulan Oktober 2018 pada Cooling Tower di
CT 1 telah melebihi limit yaitu 21,5. Semakin tinggi nilai kekeruhan maka kualitas air
semakin tidak baik. Kekeruhan mengurangi kejernihan air dan diakibatkan oleh
pencemar-pencemar yang terbagi halus, dari manapun asalnya, yang ada didalam air.
Kekeruhan biasanya disebabkan oleh lempung, partikel-partikel tanah dan pencemar-

Universitas Indonesia
90

pencemar koloidal lainnya. Tingginya nilai kekeruhan juga dapat mendukung terjadinya
scale karna berarti banyak juga partikel-partikel koloid yang akan mengendap.

4.2.2.10 Total Suspended Solid

PERBANDINGAN TSS
6 5,01
5
4 4,9
3 2
2 1 1 1 1 <5
1 1 1
1 0 0 1 0
0 0 0
0

Sep-18 Oct-18 Nov-18 Dec-18 Feb-19 Jun-19 Jul-19


CT 1 0 0 2 4,9 0 1 1
CT 2 0 1 1 5,01 1 0 0
GT 1 1 1 1 1 0 1

Gambar 4.16 Grafik Perbandingan TSS di Ground Tank dan Cooling Tower

Berdasarkan data yang diperoleh parameter TSS pada tiap bulannya berada pada
limit yang telah ditentukan yang berarti untuk parameter TSS di Ground Tank ataupun di
Cooling Tower tidak memiliki masalah yang signifikan dan masih terkendali dengan baik.
Parameter TSS mengalami kenaikan kadar dari ground tank ke cooling tower dikarenakan
cooling tower memiliki kapasaitas alat yang lebih besar dibandingkan ground tank dan
lebih banyak penambahan chemical serta treatment yang dilakukan di cooling tower.
Sehingga residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel
maksimal 2 mikrometer atau lebih besar dari ukuran partikel koloid semakin banyak.
Yang termasuk TSS adalah lumpur, tanah liat, logam oksida, sulfida, ganggang, bakteri
dan jamur.

Universitas Indonesia
91

4.2.2.11 Chlorine

PERBANDINGAN CHLORINE
0,65

0,45 0,25 - 0,75


0,25

0,05

Sep-18 Oct-18 Nov-18 Dec-18 Feb-19 Jun-19 Jul-19


CT 1 0,35 0,38 0,17 0,55 0,3 0,36 0,38
CT 2 0,37 0,4 0,24 0,48 0,28 0,41 0,35
GT 0,35 0,39 0,3 0,41 0,48 0,42 0,45

Gambar 4.17 Grafik Perbandingan Chlorine di Ground Tank dan Cooling Tower

Berdasarkan data yang diperoleh parameter chlorine tiap bulannya berada pada
limit yang telah ditentukan yang berarti untuk parameter Chlorine di Ground Tank
ataupun di Cooling Tower masih terkendali dengan baik kecuali pada bulan November
2018 di Cooling Tower 1 parameter chlorine diluar limit yaitu 0,17. Rendahnya kadar
chlorine ini dikarenakan oleh konsentrasi NH3 content yang disaat awal terkontamnasi
yang menyebabkan pH turun dan kadar chlorine naik. Dapat dilihat parameter chlorine di
cooling tower lebih rendah dibandingkan di ground tank dikarenakan pH pada cooling
tower lebih tinggi yang disebabkan oleh penambahan sodium hipklorit kembali sehingga
total chlorine di cooling tower lebih rendah dibandingkan di ground tank. Walaupun
demikian, nilai parameter tersebut masih dalam range limit dimana masih aman untuk
proses alat tersebut.

4.2.2.12 Chloride
Tabel 4.9 Perbandingan Chloride

Tanggal Ground Tank Cooling Tower 1 Cooling Tower 2


Sep-18 27,5 131.5 128.3
Chloride
Oct-18 55,8 267 216.4
Nov-18 61,3 364.2 271

Universitas Indonesia
92

Dec-18 N/A N/A N/A


Feb-19 23,4 71.2 80.44
Jun-19 28,7 161.3 170.3
Jul-19 N/A N/A N/A

Berdasarkan data yang diperoleh penulis tidak dapat melakukan perbandingan


Chloride dikarenakan untuk beberapa bulan PT Abbott Indonesia tidak melakukan
pengujian untuk Chloride karena reagen dari buffer untuk analisa tidak ada. Padahal
fungsi dari pengujian Chloride adalah sebagai indeks untuk mengendalikan cycle number
cooling tower. Cooling tower dengan konsentrasi Chloride yang tinggi cenderung lebih
bersifat korosif. Klorida tidak boleh lebih dari 150 ppmHCl jika air pendingin yang
bersirkulasi akan bersentuhan dengan besi galvanis atau baja karbon telanjang. Namun
jika diliat untuk bulan yang dilakukan pengambilan uji parameter ini dapat dilihat bahwa
kadar Chloride masih masuk dalam limit yang menandakan bahwa masih terkendali
dengan baik.

Treatment alat selain menggunakan water analysis juga dibantu dengan cara fisikal
yaitu dengan cara dikikis karat-karat atau lumpur yang menempel pada dinding-dinding
alat. Water analysis ini difokuskan untuk lebih menjaga kualitas air yang mengalir
sehingga mencegah terjaidnya karat, scale, foulig dan biological contaminant dan dapat
mengetahui penyebab awalnya kualitas air berubah sehingga operator dapat mengambil
langkah berikutnya untuk menangani permasalahannya. Namun metode water analysis
yang dilakukan oleh PT Abbott Indonesia masih sangat sederhana dan kurang akurat
dikarenakan masih menggunakan cara manual dimana sangat berpotensi untuk
mengalami kesalahan dalam pembersihan alat-alat laboratorium yang digunakan untuk
menganalisis sehingga ada pengotor yang membuat kurang akuratnya data yang
didapatkan serta ketidaktelitian analis saat melakukan pengambilan data untuk dianalisa,
sehingga alangkah baiknya untuk mengontrol kualitas air menggunakan online
monitoring dimana hal-hal yang tidak diinginkan dapat diminimalisir dengan komputer
dan dapat di atur juga penginjeksian chemical yang dibutuhkan serta lebih cepat dalam
mendeteksi masalah yang terjadi di dalam proses.

Universitas Indonesia
93

5. BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi dan pembahsasn yang telah dilakukan, diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam proses penghasilan udara dingin unruk pendingin ruangan produksi,


terdapat proses water treatment yang bertujuan untuk menghilangkan segala
pengotor dalam air yang dapat mengganggu dan menurunkan efisiensi kerja water
cooling system khususnya cooling tower dan chiller.
2. Proses treatment air dimulai dari penambahan sodium hipoklorit kedalam air tanah
yang berada di dalam ground tank, selanjutnya air akan melewati cooling tower
tujuannya adalah untuk mendinginkan air menjadi 27°C. Lalu air akan masuk
kedalam chiller, didalam chiller terjadi proses pendinginan kembali menjadi 6°C
dan akan dialirkan ke AHU untuk mendinginikan udara sampai 10°C lalu udara
dihembuskan ke dehumidifier untuk dipanaskan agar menurunkan kelembaban
udara dengan menyerap kandungan air yang terdapat di udara tersebut, dipanaskan
hingga 30°C. Selanjutnya udara yang sudah kering dihembuskan ke AHU untuk
didinginkan kembali dengan output suhu udara yang dikirimkan ke ruangan
produksi sekitar 20°C-27°C.
3. Prinsip untuk menyuplai pendingingan udara di ruangan produksi adalah
menggunakan water cooling system yaitu dimana udara didinginkan menggunkan
air dingin.
4. Pada parameter pH di ground tank tertinggi pada 7,7 dan di cooling tower tertinggi
pada 9,2 yaitu pada bulan Juli 2019 dan September 2018 sedangkan terendah pada
6,8 di ground taknk dan 8,6 di cooling tower pada bulan Februari 2019.
5. Pada parameter M-Alkalinty di ground tank tertinggi pada 228 dan pada cooling
tower tertinggi pada 1158 yaitu pada bulan Juli 2019 dan September 2018
sedangkan terendah pada 86 di ground tank dan 453 di cooling tower pada bulan
Februari 2019 dan Juli 2019.

93 Universitas Indonesia
94

6. Pada parameter Ca-Hardness di ground tank tertinggi pada 93 dan pada cooling
tower tertinggi pada 97 yaitu pada bulan Oktober 2018 sedangkan terendah pada
24 di ground tank dan 29 di cooling tower pada bulan September 2018 dan
Februari 2019.
7. Pada parameter T-Hardness di ground tank tertinggi pada 144 dan pada cooling
tower tertinggi pada 152 yaitu pada bulan Oktober 2018 dan November 2018
sedangkan terendah pada 40 di ground tank dan 81 di cooling tower pada bulan
Februari 2019 dan Juni 2019.
8. Pada parameter Iron di ground tank tertinggi pada 0,47 dan pada cooling tower
tertinggi pada 0,2 yaitu pada bulan September 2018 dan Juni 2019 sedangkan
terendah pada 0,17 di ground tank dan 0,01 di cooling tower pada bulan Februari
2019 dan Juli 2019.
9. Pada parameter Silica di ground tank tertinggi pada 61,3 dan pada cooling tower
tertinggi pada 63,5 yaitu pada bulan September 2018 dan Juli 2019 sedangkan
terendah pada 21,5 di ground tank dan 38,1 di cooling tower pada bulan Desember
2018 dan Februari 2019.
10. Pada parameter Conductivity di ground tank tertinggi pada 400 dan pada cooling
tower tertinggi pada 4101 yaitu pada bulan September 2018 dan Juni 2019
sedangkan terendah pada 196 di ground tank dan 1210 di cooling tower pada bulan
Juli 2019 dan November 2018.
11. Pada parameter Turbidity di ground tank tertinggi pada 35,7 dan pada cooling
tower tertinggi pada 21,5 yaitu pada bulan Oktober 2018 sedangkan terendah pada
19 di ground tank dan 10 di cooling tower pada bulan November 2018.
12. Pada parameter TSS di ground tank tertinggi pada 1 dan pada cooling tower
tertinggi pada 5,01 yaitu pada bulan Desember 2018.
13. Pada parameter Chlorine di ground tank tertinggi pada 0,48 dan pada cooling
tower tertinggi pada 0,55 yaitu pada bulan Februari 2018 dan Desember 2018
sedangkan terendah pada 0,3 di ground tank dan 0,17 di cooling tower pada bulan
November 2018.
14. Air yang mengalir pada water cooling system masih memiliki kualitas yang cukup
baik untuk digunakan dalam proses pendinginan udara namun jika dilakukan
treatment yang lebih baik maka akan mengoptimalkan kerja alat proses

Universitas Indonesia
95

pendinginan air sehingga output yang diberikan juga memiliki kualitas yang baik
untuk menunjang proses produksi.

5.2 Saran
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis, terdapat beberapa saran yang ingin
diberikan penulis kepada PT Abbott Indonesia, yaitu sebagai berikut:

1. Optimalisasi control parameter lebih ditingkatkan agar kemungkinan terjadinya


proses korosi, scaling, dan fouling dapat diminimalkan terutama pH dan
pengaturan cycle.
2. Waktu dan dosis chlorinasi perlu ditambah agar total residual Cl2 masuk dalam
batas kendali dengan tetap memonitor dan perlu diadakan perbaikan pada system
chlorinasi sehingga desinfektan dapat dilakukan secara optimal.
3. Water treatment yang dilakukan PT Abbott Indonesia masih sangat sederhana
dan terkadang kurang akurat karena kurang sterilnya alat yang digunakan dan
memungkinkan ketidaktelitian analis saat menganalisa, sehingga penulis
menyarankan untuk menggunakan online monitoring dimana hal-hal yang tidak
diinginkan dapat diminimalisir dengan komputer dan dapat di atur juga
penginjeksian chemical yang dibutuhkan serta lebih cepat dalam mendeteksi
masalah yang terjadi di dalam proses.

Universitas Indonesia
96

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Teknik Teknik Dasar Dasar Plc, Boiler, Cooling Tower, Genset,
MesinMesin Listrik. Dapat diakses pada: http://dunia- engineer. co.id/2011
/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html [Diakses 28 Juli 2019].
Austin, George T. 1996. Industri Proses Kimia. Edisi kelima, Jilid 1, Erlangga, Jakarta.
Betz Laboratories, 1991. Betz Handbook of Industrial Water Conditioning The 9th edition,
Betz Laboratories, Inc
Gumilar, Arie. 2011. Sistem air Pendingin. Jakarta: STE.
Hardayanti, Nurandani. 2006. Studi Evaluasi Instalasi Pengolahan Air Bersih Untuk
Kebutuhan Domestik Dan Non Domestik. Semarang: Universitas Diponegoro.
Hensley,J.C. 2009. Cooling Tower Fundamental 2nd edition. SPX Cooling
Technologies,Inc
Industrial Automation, PLC Programming, scada & Pid Control System. (2016). Types
of Control Valves – Application Advantages and Disadvantages.
https://automationforum.in/t/types-of-control-valves-application- advantages-and-
disadvantages/955 [Diakses 26 Juli 2019].
J. Paul Guyer. 2014. An Introduction to Cooling Tower Water Treatment. Continuing
Education and Development, Inc.
Keister, Timothy. 2008. Cooling Water Management Basic Principles and Technology.
New York: ProChemTech International.
Ludecke, H. and Kothe, B. 2006. Water Hammer. [ebook] Halle: KSB
Aktiengesselschaft.
Mathie, Alton J. 1998. Chemical Treatment for Cooling Tower Water. Fairmont Press.
MF Syahputra. 2010. Pengenalan Water Cooling System.Universitas Sumatra Utara.
Sumatra Utara.
Mulyono. Analisa Beban Kalor Menara Pendingin Basah Induced-Draft Aliran Lawan
Arah. Semarang; Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang. 2010.
Perry. Perry’s Chemical Engineers Handbook 8th ed. Page 12-17.
Roepandi, Opan. 2008. Pengoperasian Sistem Air Pendingin. Surabaya: PT. Indonesia
Power.
Setiadi, Tjandra. 2007. Pengolahan dan Penyediaan Air. Bandung:ITB.

96 Universitas Indonesia
97

Shah, R.K., dan Sekulic, D.P. (2003). Fundamentals of Heat Exchanger Design, pp.1-77.
John Wiley and Sons.
Society of Chemical Industry, 1996. Chemistry and Industry. Society of Chemical
Industry.
Toledo R T. 2007. Fundamentals of Food Process Engineering. New York (US): Springer
Science+Business Media, LLC.
WHO. (2012). WHO Good Manufacturing Practices: Water for Pharmaceutical Use.
WHO Technical Report Series, No. 970, 2012, Annex.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai