PENDAHULUAN
1
3. Teknik dan metode sampling apa saja kah yang dapat digunakan dalam penelitian?
4. Metode sampling apakah yang dapat digunakan untuk sampling hewan di perairan
(plankton, bentos, terumbu karang dan ikan karang)?
5. Meode sampling apakah yang dapat digunakan untuk sampling hewan di darat (burung,
serangga, mamalia dan herpertofauna)?
1.3 TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Menjelaskan tentang pengertian dari populasi dan sampel.
2. Menjelaskan kegunaan sampel dalam penelitian.
3. Menjelaskan macam-macam eknik dan metode sampling yang dapat digunakan dalam
penelitian.
4. Metode sampling yang dapat digunakan untuk sampling hewan di perairan (plankton,
bentos, terumbu karang dan ikan karang).
5. Meode sampling yang dapat digunakan untuk sampling hewan di darat (burung, serangga,
mamalia dan herpertofauna).
1.4 MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Dapat digunakan sebagai bahan tambahan materi terkait tentang materi teknik dan metode
sampling dalam penelitian.
2. Dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan proyek.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
1) Biaya yang lebih murah
2) Waktu yang relatif singkat
3) Kualitas informasi lebih baik, karena :
a. Jumlah yang relatif kecil memungkinkan dapat menggunakan tenaga peneliti /
asisten peneliti yang lebih terlatih,
b. Supervise yang ketat terhadap pengumpul data lebih mungkin dilakukan,
c. Kelompok penelitian yang lebih kecil memungkinkan untuk menggunakan metode
pengumpulan data yang lebih kompleks dan lebih akurat.
d. Data yang dikumpulkan dapat lebih menyeluruh (Komprehensif)
4
Teknik Sampling pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu probability
sampling dan non probability sampling.
1) Probability Sampling
Adalah teknik sampling yang memberikan kesempatan/peluang yang sama kepada setiap
anggota populasi untuk dapat dipilih menjadi anggota sample. Disebut juga random sampling,
sehingga sampel yang diperoleh disebut sampel random. Teknik semacam ini hanya dapat
digunakan apabila setiap unit atau anggota populasi bersifat homogen.
Teknik Probability Sampling atau Random Sampling ini dapat dibedakan menjadi
beberapa macam, diantaranya adalah:
a. Simple Random Sampling
Adalah cara pengambilan sample dari anggota populasi dengan menggunakan cara acak
tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam anggota populasi tersebut. Hakekat dari
pengambilan sampel secara acak sederhana (simple random sampling) ini adalah bahwa setiap
anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai
sample.
Keuntungan dari simple random sampling adalah:
Estimator yang tidak bias,
Pelaksanaan yang sangat mudah.
Sedangkan kelemahannya adalah:
Sampel mengumpul di satu tempat atau bahkan tersebar kemana – mana.
Kesulitan membuat Sample Frame (Daftar Anggota Populasi)
b) Proportionate Stratified Random Sampling
Adalah pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara
proporsional. Teknik ini biasa dilakukan bila anggota populasinya heterogen. Makin heterogen
suatu populasi, makin besar pula perbedaan sifat-sifat antara lapisan tersebut. Untuk dapat
menggambarkan secara tepat tentang sifat-sifat populasi yang heterogen, maka populasi yang
bersangkutan harus dibagi-bagi kedalam lapisan-lapisan (strata) yang seragam atau homogen, dan
dari setiap strata dapat diambil sampel secara random (acak).
Teknik sampling random strata proporsional digunakan apabila proporsi ukuran sub-
populasi atau jumlah satuan elementer dalam setiap strata relatif seimbang atau relatif sama besar.
Dalam sampel strata proporsional, dari setiap strata diambil sampel yang sebanding dengan besar
5
setiap strata dengan berpatokan pada pecahan sampling (sampling fraction) yang sama yang
digunakan. Pecahan sampling adalah angka yang menunjukkan persentase ukuran sampel yang
akan diambil dari ukuran populasi tertentu. Cara pengambilan sample dilakukan dengan
menyeleksi setiap unit sampling yang sesuai dengan ukuran unit sampling.
Keuntungannya ialah aspek representatifnya lebih meyakinkan sesuai dengan sifat-sifat
ynag membentuk dasar unit-unit yang mengklasifikasinya, sehingga mengurangi
keanekaragamannya. Karakteristik-karakeristik masing-masing strata dapat diestimasikan
sehingga dapat dibuat perbandingan. Kerugiannya ialah membutuhkan informasi yang akurat
pada proporsi populasi untuk masing-masing strata. Jika hal tersebut diabaikan maka kesalahan
akan muncul.
c) Disproportionate Stratified Random Sampling
Adalah pengambilan sample dari anggota populasi secara acak dan berstrata tetapi
sebagian ada yang kurang proposional pembagiannya. Strategi pengambilan sample sama dengan
proporsional. Perbedaanya ialah terletak pada ukuran sample yang tidak proporsional terhadap
ukuran unit sampling karena untuk kepentingan pertimbangan analisa dan kesesuaian.
d) Cluster Sampling / Area Sampling
Adalah Teknik sampling yang dilakukan dengan cara mengambil wakil dari setiap Daerah
atau Wilayah geografis yang ada. Teknik ini digunakan apabila ukuran populasinya tidak
diketahui dengan pasti, sehingga tidak memungkinkan untuk dibuatkan kerangka samplingnya,
dan keberadaannya tersebar secara geografis atau terhimpun dalam klaster-klaster yang berbeda-
beda. Apabila klaster itu bersifat wilayah geografis yang kecil, maka pengambilan sampelnya
dapat dilakukan satu tahap (simple cluster sampling). Akan tetapi jika klasternya besar atau
wilayah geografisnya besar, maka pengambilan sampel tidak cukup hanya satu tahap, melainkan
harus beberapa tahap. Dalam keadaan yang demikian gunakanlah teknik sampling klaster banyak
tahap (multistage cluster sampling).
Keuntungan menggunakan teknik ini ialah jika kluster-kluster didasarkan pada perbedaan
geografis maka biaya penelitiannya menjadi lebih murah. Karakteristik kluster dan populasi dapat
diestimasi. Kelemahannya ialah membutuhkan kemampuan untuk membedakan masing-masing
anggota populasi secara unik terhadap kluster, yang akan menyebabkan kemungkinan adanya
duplikasi atau penghilangan individu-individu tertentu.
6
2) Non Probability Sampling
Nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak
mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Unsur populasi yang terpilih
menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah
direncanakan oleh peneliti. Berikut adalah jenis-jenis dari nonprobability sampling:
a. Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan
kemudahan saja. Oleh karena itu ada beberapa istilah yaitu accidental sampling (tidak
disengaja). Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang
kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random).
Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel ini, hasilnya ternyata kurang obyektif.
b. Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Populasi
diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa populasi tersebut memiliki informasi
atau karakteristik yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama
judgement dan quota sampling.
Judgement Sampling
Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa sampel tersebut adalah sampel yang
paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya. Jadi, judment sampling umumnya memilih
sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai information rich.
Quota Sampling
Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun
tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
c. Snowball Sampling – Sampel Bola Salju
Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya.
Peneliti hanya tahu satu atau dua individu yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel.
7
lemah (Arinardi et al 1997). Menurut Hutabarat dan Evans (1985) plankton adalah suatu
organisme yang terpenting dalam ekologi perairan tawar, kemudian dikatakan bahwa plankton
merupakan salah satu organisme yang berukuran kecil dimana hidupnya terombang-ambing oleh
arus perairan, sedangkan Nontji (2007) mengemukakan bahwa plankton adalah organisme yang
hidupnya melayang atau mengambang di dalam air, kemampuan geraknya sangat terbatas hingga
organisme tersebut terbawa oleh arus, namun plankton mempunyai peranan penting dalam
ekosistem perairan tawar, karena plankton menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis organisme
air tawar dan laut lainnya. Selain itu hampir semua organisme air tawar memulai kehidupannya
sebagai plankton terutama pada tahap berupa telur sampai larva. Plankton juga merupakan mata
rantai untuk menunjang kehidupan bagi biota yang berada di dalam suatu perairan (Krismono dan
Sugianti 2007). Menurut Nybakken, plankton adalah organisme akuatik pada kolom perairan
dengan kekuatan lokomosi yang lemah sehingga pergerakannya tergantung pergerakan arus air.
A. Sampling plankton secara kualitatif
Pencuplikan plankton secara kualitatif di perairan dapat dilakukan dengan menarik jala
plankton baik secara horizontal maupun vertikal. Pada perairan yang banyak terdapat tumbuhan
air pencuplikan plankton dapat dilakukan dengan jala plankton bertangkai. Disamping jala
plankton, ikan planktivor sering merupakan pengumpul plankton yang sangat baik. Ikan tersebut
dapat mengumpulkan berbagai jenis plankton yang kadang-kadang tidak tertangkap jala. Untuk
menghindari agar plankton yang dimakan tidak dicerna lebih lanjut, ikan yang diperoleh harus
segera dibunuh.
B. Sampling plankton secara kuantitatif
Pada umumnya pengumpulan plankton secara kuantitatif dapat dilakukan dengan botol,
jaring, atau pompa. Cara sampling seperti ini umumnya dilakukan untuk mengetahui kepadatan
plankton per satuan volume dengan pasti.
1. Sampling plankton dengan botol
Botol gelas bermulut lebar dan bertutup gelas dipasang pada tali dan diturunkan sampai
kedalaman yang ditentukan dan air dibiarkan masuk ke dalamnya. Cara pengumpulan plankton
seperti ini memiliki kekurangan karena plankton motil dapat mengindar masuk ke dalam botol.
Untuk mengumpulkan plankton secara vertikal pada kedalaman tertentu dapat digunakan botol
Kemmerer Botol dikaitkan dengan tali dan diturunkan sampai kedalaman yang diinginkan.
8
Pemberat (mesenger) kemudian diturunkan sehingga melepaskan kait tutup yang terbuat dari
karet. Air yang tertampung dalam botol kemudian disaring dengan jala plankton.
9
tarikan selesai jala dibilas agar semua plankton masuk ke dalam botol penampung. Pembilasan
dilakukan dengan cara mencelupkan secara vertikal jala plankton berkali-kali tanpa melawati
batas mulut jala. Air tersaring dapat diketahui dengan mengalikan panjang tarikan dengan luas
mulut jala plankton.
10
3. Sampling plankton dengan pompa
Pompa yang cocok untuk mencuplik fitoplankton umumnya yang menggunakan gerakan
memutar. Air dari kedalam tertentu dipompa melalui pipa yang telah diberi tanda. Pada ujung
pipa perlu diberi pemberat agar tetap tegak lurus. Corong dipasangkan pada saluran masuk pipa
untuk mencegah plankton motil menghindar. Garis tengah pipa perlu disesuaikan dengan daya
hisap pompa. Air keluaran dari pompa disaring dengan jala plankton yang dibiarkan sebagian
terendam dalam air untuk menjegah rusaknya plankton.
11
Gambar 5. Continuous plankton recorder (CPR)
C. Pengawetan Sampel Plankton
Umumnya fiksasi dan pengawetan plankton dapat dilakukan dengan larutan formalin 2-
5%. Formalin 40% komersial merupakan larutan jenuh gas formaldehida dalam air.
Penggunaannya sebagai larutan fiksatif atau pengawet harus melalui pengenceran dengan
perbandingan 1:5. Formalin yang akan digunakan harus tersimpan dalam botol gelas atau
polythene. Hindari penggunakaan formalin yang tersimpan dalam botol kaleng karena
mengandung besi yang akan mengotori sampel plankton. Sebelum digunakan, formalin harus
ditambahkan borax (kalsium karbonat atau sodium karbonat) untuk menetralkan asam yang ada
di dalamnya. Asam akan melarutkan kapur atau rangka pada kebanyakan zooplankton. Untuk
penyimpanan dalam jangka panjang sebaiknya sampel plankton diawetkan dalam larutan
formalin 5% dalam air suling. Sampel disimpan dalam botol yang tertutup rapat. Pemanfaatan
formalin untuk mengawetkan fitoplankton perlu ditambahkan 5 tetes terusi (CuSO4) agar
fitoplankton tetap berwarna hijau.
D. Analisis Plankton
Bergantung tujuannya, pada umumnya analisis plankton yang mudah dilakukan adalah
pengukuran biomassa (berat kering, berat basa, atau volume plankton) dan pencacahan plankter.
Masing-masing cara tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pengukuran biomassa
bertujuan untuk mengetahui banyaknya plankton secara kuantitatif tanpa mengidentifikasi. Ini
merupakan cara yang praktis dan sederhana namun kurang teliti karena sering terbawa materi lain
di luar plankton. Pengukuran volume plankton kurang memberikan informasi yang tepat, oleh
karena rongga antara plankton sering ikut terukur. Pencacahan plankton dengan cara menghitung
jumlah plankter per satuan volume akan merupakan informasi yang lebih teliti, karena dapat
12
memberikan gambaran yang lebih pasti mengenai kepadatan plankton di suatu tempat. Kepadatan
plankton dapat digunakan untuk mengetahui penyebaran atau distribusi plankton dalam suatu
area. Perlu ditekankan di sini bahwa setiap organisme berukuran besar yang secara nyata bukan
merupakan bagian dari plankton harus disingkirkan sebelum pengukuran apapun dilakukan. Pada
makalah ini hanya akan diberikan bagaimana cara mencacah plankton untuk mengetahui
kepadatan plankton per satuan volume tertentu. Cara-cara pengukuran biomassa dan volume
plankton tidak dibicarakan.
E. Pencacahan Plankton
Satu sampel plankton dapat terdiri atas ribuan bahkan jutaan sel atau individu plankton.
Oleh karena itu mencacah seluruh sampel akan membutuhkan waktu yang lama. Untuk
mempermudah umumnya dilakukan mengencerkan sampel yang diperoleh dan diambil sebagian
kecil sampel. Tata cara pencacahan seperti ini disebut metoda subsampel. Cara pencacahan
dengan metoda subsampel pada dasarnya dilakukan dengan mencuplik sebagian kecil (sub
sampel) sampel plankton dan dicacah dibawah mikroskop. Besar kecilnya volume subsample
akan sangant bergantung pada alat yang tersedia serta kepekatan sampel. Terdapat beberapa cara
pencacahan plankton dengan metoda subsampel.
1. Cara Pertama.
Pengambilan subsampel dilakukan dengan cara menuangkan sampel plankton ke dalam
gelas piala bervolume 250 ml. Untuk memudahkan perhitungan, volume sampel dapat diencerkan
menjadi 100 - 200 ml (bergantung pada kepekatan sampel) dengan cara menambah atau
mengurangi larutan pengawetnya. Sampel diaduk hingga homogen dan dalam waktu yang
bersamaan diambil subsampelnya dengan mempergunakan pipet stempel bervolume 0,1 ml
(untuk fitoplankanton) atau 2,5 ml (untuk zooplankton). Sub sampel dituangkan ke dalam talam
pencacah sambil membilas toraks pipet dengan air. Talam pencacah yang sering digunakan
adalah Sedwick-rafter cell untuk fitoplankton dan Bogorov atau yang sejenis untuk zooplankton.
Plankton dicacah sekaligus diidentifikasi di bawah mikroskop dengan perbesaran sampai 25-200
kali bergantung pada ukuran plankter.
13
Gambar 6. Sedwick-rafter cell
Pencacahan dilakukan dengan cara menghitung seluruh plankter yang tampak pada talam
pencacah. Untuk mengidentifikasi zooplankton kadangkala diperlukan jarum sonde untuk
membalik sampel. Kepadatan plankton dalam sel atau individu per satuan volume dapat diketahui
dengan mempergunakan rumus :
D = q (1/f) (1/v)
Dengan:
D = jumlah plankter per satuan volume;
q = jumlah plankter dalam subsampel;
f = fraksi yang diambil (volume subsampel per volume sampel);
v = volume air tersaring.
2. Cara Kedua
Pencacahan plankton pada Sedgwick-rafter cell juga dapat dilakukan dengan cara lain. Isi
penuh Sedgwick-rafter cell dengan sampel plankton dan tutup dengan kover gelas secara baik
sehingga tidak ada rongga udara di dalamnya. Letakan Sedgwick-rafter cell berisi sampel
plankton tersebut di bawah mikrokop yang lensa okulernya dilengkapi dengan mikrometer okuler
Whipple. Cacah jumlah plankton dari 10 lapangan pandang secara teratur dan berurutan. Pada
setiap lapang pandang hitunglah jumlah tiap jenis plankton yang terlihat. Jumlah plankter
persatuan volume dapat ditentukan dengan rumus :
D = q (s/lp) (p/v)
Dengan:
D = jumlah plankter per satuan volume;
q = jumlah plankter dalam 10 pandangan;
14
s = jumlah lapang pandang Sedgwick-rafter cell;
lp = jumlah lapang pandang yang digunakan;
p = volume subsampel;
v = volume air tersaring.
Apabila terdapat plankter yang terletak pada garis batas okuler micrometer Whipple di sebelah
atas dan di sebelah kiri harus dimasukkan ke dalam perhitungan sedang pada garis batas bawah
dan sebelah kanan tidak. Hal ini bukanlah untuk yang mutlak, yang penting dilakukan secara
konsisten.
3. Cara Ketiga
Metoda subsampel juga dapat dilakukan dengan mengambil sebesar 0,04 ml sampel yang
telah diaduk homogen dengan pipet ukur 1 ml. Subsampel diletakan atau diteteskan pada objek
gelas dan ditutup dengan kover gelas berukuran 18 x 18 mm. Diasumsikan bahwa kover gelas
berukuran 18 x 18 mm dapat persis menutup 0,04 ml subsampel. Setelah diletakkan di bawah
mikroskop, diambil secara acak 20 pandangan yang meliputi seluruh permukaan kover gelas.
Pada tiap pandangan dihitung semua jenis plankton yang terlihat. Sebelumnya diameter dari
pandangan harus ditentukan terlebih dahulu dengan mikrometer okuler. Jumlah plankter dalam
satuan volume dapat ditentukan dengan rumus :
Dengan:
D = jumlah plankter per satuan volume;
q = jumlah plankter dalam 20 pandangan;
p = volume subsampel; c = luas kover gelas (324 mm2);
lp = luas 20 pandangan (mm2); v = volume air tersaring.
Cara tersebut sangat tidak praktis dan kemungkinan timbul kesalahan dalam perkiraan kepadatan
jumlah plankter sangat besar, walapun pencacahan plankton tidak dilakukan hanya pada 20
lapangan pandang tetapi pada seluruh permukaan kover gelas.
Selain dengan talam pencacah dan kover gelas seperti yang diuraikan di atas, pencacahan
plankton juga dapat dilakukan dengan mempergunakan talam pencacah lain seperti yang tertera
pada tabel satu. Yang terpenting adalah bahwa harus diketahui secara pasti berapa volume dan
kedalaman talam pencacah tersebut. Selain itu juga harus diketahui pula berapa besar ukuran
plankton yang akan dicacah. Sebagai contoh, zooplankton tidak mungkin dicacah dengan
15
mempergunakan Haemocytometer, Improve Naeubouer, atau Petroff Houser, karena ukuran rata-
rata individu zooplankton relatif lebih besar dari 0,2 mm.
Berdasarkan ketiga cara pencacahan plankton tersebut di atas, yang terpenting harus
diketahui secara pasti adalah: (1) berapa volume air yang berhasil tersaring oleh plankton net
(dalam liter atau meter kubik); (2) berapa volume sampel yang tertampung dalam botol plankton
net (dalam mililiter); (3) berapa banyak volume subsampel yang diambil (dalam mililiter); (4)
apabila dilakukan pengenceran terhadap sampel plankton, ini juga harus diperhitungkan. Apapun
tipe dalam pencacahnya, kepadatan plankter dalam dapat dihitung dengan mempergunakan
rumus berikut :
D = (l/p) q (1/v)
Dengan:
D = jumlah plankter per satuan volume;
q = jumlah plankter dalam subsampel;
p = volume subsampel;
l = volume sampel;
v = volume air tersaring.
Tabel 1. Beberapa jenis alat yang dipergunakan dalam mencacah sel plankton.
17
Saat surut metode terbaik adalah melalui transek kuadrat. Dalam hal ini peneliti membuat
satu garis transek tegak lurus garis pantai dan membuat membuat beberapa plot (kuadrat)
pengambilan sampel. Kuadrat dapat berukuran 0.5 x 0.5 meter atau 0.3 x 0.3 meter, dapat pula 1
x 1 m (Kundby, 2011). Pengambilan sampel epifauna dapat dilakukan dengan langsung secara
mekamis dengan menggunakan tangan. Sedangkan sampel infauna diperoleh dengan cara
mengambil substrat menggunakan sekop atau cethok.
18
pengambilan sampel dapat dibantu dengan penggunaan grab atau dredge. Pada sungai yang
dangkal, misalnya sungan berarus deras (stream) pengambilan sampel menggunakan semacam
net yang disebut surber net. Alat ini sangat representatit untuk mendapatkan sampel larva
serangga maupun makrofauna bentik lain yang umum terdapat ditepian sungai.
19
diletakkan dalam kertas Koran ataupun plastik sampel dan dilabeli untuk sampel yang telah
dipisahkan (baik yang identifikasi maupun yang belum teridentifikasi). Dalam mengidentifikasi
organisme dapat menggunakan buku petunjuk identifikasi jenis. Umumnya kelompok
makrofauna bentik yang tersaring berasal dari kelompok Mollusca (bivalvia dan gastropoda),
vermes (polychaeta dan oligochaeta), dan arthropoda (crustacean).
D. Analisis Data
Data yang dipeoleh ditabulasi secara keseluruhan kemudian dianalisis secara kuantitatif
untuk mengukur komunitas dan situasi populasinya. Salah satu pendekatan yang sering
digunakan untuk mengetahui kondisi makrofauna bentik adalah pendekatan berdasarkan indeks
diversitas Shannon-Wiener. Selanjutnya dari indeks Diversitas dapat diketahui kualitas suatu
perairan berdasarkan table kaulitas perairan berdasarkna indeks diversitas makrofauna bentik.
Formulasi Shannon Wiener dan table kaulitas perairan berdasarkan indeks diversitas yang
digunakan untuk makrofauna bentik sama dengan formulasi dan indeks untuk biota plankton.
Selain indeks diversitas Shannon-Wiener, seringkali digunakan Indeks Biotik Famili
(Family Biotic Index) yang sering digunakan untuk komunitas makrofauna bentik diperairan
tawar. Indeks ini didasarkan pada kemampuan toleransi makrofauna bentik terhadap paparan
cemaran organic. Nilai toleransi berkisar antara 0 – 10 yang nilainya semakin meningkat untuk
tiap family makrofauna seiring dengan penurunan kualitas air yang dihuninya. Nilai tersebut
dikembangkan oleh Hilsenhoff (1988) untuk menunjukkan variasi toleransi makrofauna bentik
yang selanjutnya digunakan untuk menghitung Modified Family Biotic Index (Indeks Biotik
Famili yang dimodifikasi) untuk mendeteksi tingkat pencemaran organic di perairan yang diamati
(Setyorini, 2007).
Tabel 2. Indeks Toleransi Makrofauna Bentik (Hilsenhoff, 1988 dalam Setyorini, 2007)
Taxon Nilai Taxon Nilai
EPHEMEROPTERA ODONATA
Baetida 5 Coenagrionidae 8
Caenidae 6 Agriidae 6
Ecdyonuridae 3 Platycnemidae 6
Lephtophlebiidae 3 Chlorocyphidae 3
Polymitarcydae 2 Gomphidae 3
HEMIPTERA Aeshnidae 3
Corixidae 5 Libellulidae 2
Gerridae 5 COLEOPTERA
Nepidae 5 Dytiscidae 5
TRICHOPTERA Gyrinidae 4
20
Hydropsichidae 4 Hygrobiidae dan Hydrophillidae 5
Odontoceridae 0 Hydraenidae 5
Polycentropodidae 6 DIPTERA
LEPIDOPTERA Chironomidae 8
Noctuidae 5 Syriphidae 10
ISOPODA HIRUDINEA
Cirolanidae 8 Glossiphoniidae 8
DECAPODA 6 BIVALVIA
GASTROPODA Unionidae 6
Physidae 8 Corbiculidae 6
Lymnaeidae 6 OLIGOCHAETA
Planorbidae 7 Lumbriculidae 5
Buccinidae 7 Tubificidae 10
Viviparidae 6
Bulimidae 8
Thiaridae 6
Dengan:
Ni = jumlah individu makrofauna bentik dari masing-masing family
ti = nilai toleransi masing-masing family makrofauna bentik
N = jumlah seluruh individu makrofauna bentik yang dikoleksi.
2.4.3 Metode Pemantauan kondisi Terumbu Karang
Penggunaan metode survey dalam menggambarkan kondisi terumbu karang biasanya
disajikan dalam bentuk struktur komunitas yang terdiri atas persentase tutupan karang hidup dan
karang mati, jumlah genera, jumlah spesies, kelimpahan, frekuensi kehadiran, bentuk
pertumbuhan dan indeks keanekaragaman jenis (Suharsono 1994 dalam Muzaki, 2011). Terdapat
beberapa metode yang telah dikembangkan dan umum digunakan para akademisi dan praktisi,
dimana masing-masing metode memiliki tujuan khusus yang berbeda serta tingkat
keunggulannya, kesulitanm dan kekurangan yang berbeda. Metode-metode tersebut antara lain:
21
a. Metode Manta Taw
b. Metode Line Intercept Transect (LIT)
c. Metode Belt Transect (Transek sabuk)
d. Metode kuadrat
e. Metode Rapid Resources Inventory (RRI)
Berdasarkan keputusan Kepala Badpedal No. 47 Tahun 2001, pemantauan kondisi terumbu
karang disarankan untuk menggunakan kombinasi metode manta taw dan LIT.
1. Metode Manta Taw
Merupaka metode yang sangat sederhana dan oaling mudah dilakukan, ditujukan untuk
mendeskripsikan gambaran umum tipe-tipe dan jumlah habitat serta segala bentuk bentik yang
ada disuatu wilayah termasuk kondisi terumbu karang. Dalam pelaksanaannya, manta taw
memerlukan beberapa peralatan seperti perahu bermotor, papan manta, peralatan skin diving, dan
diagram kategori persentase tutupan karang. Metode manta taw adalah sebagai berikut:
a) Seorang pengamat (dengan menggunakan peralatan skin diving) ditarik perahu pada
keceparan 3-5 km/jam pada suatu area studi. Pengamata memegang papan manta yang
dihubungkan ke perahu dengan tali sepanjang 18 meter.
22
Gambar 12. Kategori persen penutupan yang digunakan untuk memperkirakan tutupan karang
hidup, mati, soft coral dan pasir/rubble.
d) Jumlah maksimun taw yang direkomendasikan adalah 15 kali.
e) Ukuran papan manta yang direkomendasikan adalah 600 x 400 x 200 mm yang dilengkapi
denganpegangan untuk pengamat, lembar data, alat tulis, dan diagram kategori persentase
tutupan karang.
24
Gambar 14. Cara pencatatan data koloni karang pada LIT (English et al, 1994).
Gambar 15. Koloni karang masif berukuran besar dianggap dua data, CM, apabila garis
meteran melewati algae persis diatas koloni tersebut (English et al, 1994).
Analisis Data
Persentase tutupan untuk masing-masing kategori lifeform karang dapat dicari dengan rumus
berikut:
Persentase tutupan untuk karang hidup dapat dicari dengan rumus berikut:
25
Penentuan kriteria kondisi tutupan karang:
Parameter Kriteria baku kerusakan terumbu karang hidup (dalam %)
Persentase luas Rusak Buruk 0-24.9
Sedang 25-49.9
tutupan karang hidup
Baik Baik 50-74.9
Baik sekali 75-100
Sumber: KepMen LH No.04 Th. 2001 dalam Nababan, 2009
Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari metode LIT:
Kelebihan Kekurangan
Akurasi data dapat diperoleh dengan baik Membutuhkan tenaga peneliti yang banyak
Data yang diperoleh juga jauh lebih baik dan Survei membutuhkan waktu yang lama
lebih banyak Dituntut keahlian peneliti dalam
Penyahian struktur komunitas seperti identifikasi karang, minimal life form dan
persentase tutupan karang hidup/karang sebaliknya genus atau spesies
mati, kekayaan jenis, dominasi, frekuensi Peneliti dituntut sebagai penyelam yang
kehadiran, ukuran koloni dan baik
keanekaragaman jenis dapat disajikan secara Biaya yang dibutuhkan relative lebih besar
lebih menyeluruh
Struktur komunitas biota yang berasosiasi
dengan terumbu karang juga dapat disajikan
dengan baik
26
Pemantauan jangka panjang guna mengetahui kecenderungan perubahan kondisi terumbu
karang dilihat dari komunitas ikannya
Baseline data pembuatan zonasi untuk merancang kawasan konservasi laut (Marine
Protected Area/MPA)
Mempelajari dampak tekanan penagkapan terhadap komunitas ikan tertentu.
Salah satu metode sensus ikan karang yang mudah diaplikasikan adalah metode Reef Fish Visual
Census (RFVS) atau disebut juga Underwater Visual Census(UVC). Metode tersebut digunakan
untuk mengkaji dan memonitor komunitas ikan melalui kombinasi 2 teknik:
1. mendeteksi perbedaan pengelompokan ikan karang di lokasi-lokasi terumbu karang yang
berbeda dengan menggunakan kategori kelimpahan (abundance)
2. menghitung kelimpahan individu jenis ikan dan mengestimasi panjang total ikan untuk
menentukan standing stock dan struktur ukuran populasi jenis ikan spesifik.
Pada saat dilapangan, jenis ikan yang diamati harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
mudah diamati secara visual dan terdapat dalam jumlah yang melimpah
mudah diidentifikasi dan tidak memiliki perilaku kriptik (cryptic behavior)
berasosiasi dengan habitat terumbu karang
Lebih lanjut, jenis-jenis ikan karang dikelompokkan dalam kategori berikut:
a) Target spesies: mencakup jenis-jenis ikan yang menjadi target tangkapan nelayan,
misalnya Serranidae, Scaridae, Lethrinidae, Lutjanidae, Siganidae, Acanthuridae, dan
Haemulidae.
b) Indicator spesies: merupakan jenis ikan yang berperan sebagai bioindikator kesehatan
karang yaitu family Chaetodontidae.
c) Major spesies: berupa ikan-ikan yang umum terdapat di terumbu karang. Peranan khusus
ikan ini belum diketahui kecuali sebagai penyusun jarring-jaring makanan (peranan pada
struktur trofik). Misalnya ikan-ikan dari family Pomacanthidae, Pomacentridae, Labridae,
Tetraodontidae, dan Blenniidae.
Prosedur dalam sensus ikan karang dengan metode Reef Fish Visual Census (RFVS) atau disebut
juga Underwater Visual Census (UVC) adalah sebagai berikut:
Pengamatan dilakukan pada kedalaman 3 dan 10 meter.
Transek yang digunakan dapat sama dengan transek untuk LIT dengan panjang minimum
transek adalah 50 m.
27
Pengamatan dilakukan pada batas 2.5 kanan-kiri transek (total lebar 5 meter) dan 5 meter
ke atas transek. Dengan demikian untuk 50 meter transek akan memperoleh luasan
pengamatan seluas 50 m x 5 m = 250 m2. Khusus untuk perairan dengan tingkat visibility
rendah, lebar area pengamatan dapat dipersempit menjadi 2.5 m atau 2 m.
Gambar 16. cara melakukan visual sensus ikan karang (AIMS, 1997)
Setelah garis transek dibentangkan, pengamatan harus menunggu sekitar 5-15 menit. Hal
ini lakukan untuk mendapatkan gambaran awal kondisi ikan sekitar transek. Selain itu
juga dimaksudkan agar ikan-ikan kembali ke perilaku normal setelah sesaat terganggu
oleh aktivitas pembuatan transek.
Ikan-ikan yang termasuk target dan indicator harus didata secara kuantitatif sedangkan
untuk ikan major pendataan dapat dilakukan secara kuantitatif atau semi kuantitatif.
Untuk menghindari bias ikan yang sama terdata lebih dari sekali, sebaiknya pengamat
tidak melihat ke belakang.
2.5 TEKNIK SAMPLING PADA HEWAN DARAT
Teknik sampling yang dilakukan pada hewan memang lebih sulit dibandingkan dengan
sampling yang dilakukan pada tanaman. Hewan sulit untuk diamati dan tidak tetap. Pada saat
dilakukan sampling, hewan lebih sulit diamati karena memiliki mobilitas yang tinggi. Kegiatan
survai keanekaragaman jenis (biodiversitas) diperlukan untuk mendemonstrasikan keberadaan
atau ketidakberadaan nilai-nilai kualitas ekosistem dan konservasi seperti jenis-jenis yang secara
regional dan global terancam populasinya. Pada makalah ini akan dibahas beberapa teknik
sampling yang digunakan untuk mengambil data dari beberapa hewan yang ada di darat.
2.5.1 Survai Burung
a. Info umum
28
Burung merupakan salah satu vertebrata yang mempunyai ciri-ciri khusus, yakni tubuh
yang terbungkus oleh bulu, mempunyai 2 pasang anggota ekstrimitas, skeleton kecil, berongga,
kuat dan osifikasinya sempurna. Paruh pada burung merupakan modifikasi bibir, kulit luar yang
mengeras dan membentuk sarung zat tandauk membungkus tonjolan tulang. Tungkai memiliki 4
jari atau kurang , tarsometatarsus tertutup oleh kulit yang mengalami penandukan dan pada
umumnya bersisik. Ekor berfungsi sebagai pengatur keseimbangan dan mnegatur kendali saat
terbang (Muzaki, 2011).
Burung merupakan salah satu hewan yang dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas
lingkungan. Adanya sayap pada burung menyebabkan hewan ini umunya memiliki daerah jelajah
yang luas. Peakall (1992) dalam Hadi menyebutkan bahwa perubahan lokal yang dibutuhkan,
spesies indikator yang bersifat sedenter di habitatnya harus digunakan dalam kegiatan
monitoring, namun jika yang dibutuhkan adalah perubahan kontaminasi mencakup areayang luas
diukur dengan sumber yang terbatas, maka hewan dengan range luas akan memberikan petunjuk
yang lebih baik untuk kondisi umum (Muzaki, 2011).
Dalam melakukan survei burung, minimal ada 2 syarat yang harus terpenuhi, syarat
tersebut adalah :
1. Sumberdaya manusia yang kompeten.
Surveior minimal harus sudah familiar dan mampu untuk mengidentifikasi burung di
lapangan serta mampu mengaplikasikan metode yang digunakan.
2. Peralatan yang digunakan cukup memadai
Hal ini meliputi binokular, monokular, field giude, hand tally counter hingga buku catatan
lapangan.
Pengenalan pada dasarnya merupakan perhatian terhadap beberapa kombinasi sifat burung
termasuk penampilan tubuh, suara, perilaku dan tempat hidup burung. Tingkat pengenalan
burung di lapangan dikelompokkan sebagai berikut:
a. Dikenal dengan tepat
Ciri-ciri khas atau kombinasinya dapat dikenali secara menyeluruh dan pasti.
b. Dikenal dengan keraguan
Ciri-ciri yang terlihat adalah khas untuk jenis tertentu walaupun tidak selalu pasti, jenis
tersebut memang bisa diterima kehadirannya pada tempat dan waktu tersebut.
c. Belum dapat dipastikan
Ciri-ciri dikenal tetapi kehadirannya di habitat itu tidak diharapkan sehingga hasil
pengamatannya hanya merupakan informasi baru dan kurang meyakinkan karena tidak
didukung dengan bukti yang kuat.
Pengamatan terhadap burung yang dilakukan di alam terbuka dikenal sebagai bird
watching. Aspek yang diamati mulai dari identifikasi jenis berdasarkan morfologi, identifikasi
29
lewat suara, behaviour, populasi, ditribusi, dan lain-lain. Hal yang harus diperhatikan selama bird
watching adalah:
a. Perlengkapan: peta kawasan, tally sheet, buku catatan, alat tulis, buku panduan pengenalan
jenis burung, teropong, meteran roll, kompas, GPS, kamera dan tape recorder,
b. Metode pengamatan burung dengan cara : jalan mengendap-endap, mencari tempat yang baik
untuk bersembunyi, menggunakan atribut/pakaian yang tidak mencolok, tidak melakukan
kegiatan yang dapat menggangu burung, tidak melepaskan binokuler sampai deskripsi jenis
burung dapat tergambarkan ketika melakukan identifikasi dan membuat sketsa burung yang
terlihat dan mendeskripsikan ciri-cirinya.
c. Catatan yang biasa dicantumkan : nama pengamat, waktu dan tanggal pengamatan, lokasi
pengamatan, jenis habitat dan tipe vegetasi yang digunakan, cuacu, jumlah burung yang
ditemukan, aktivitas, jarak burung dengan pengamat, dan sebagainya, tergantung dari
penelitian yang dilakukan (Bismark, 2011).
Burung merupakan hewan yang mempunyai mobilitas tinggi, oleh karena itu dalam
mengidentifikasi burung diperlukan latian yang terus-menerus, sehingga hanya dengan melihat
burung tersebut melintas, sudah mempunyai gambaran tentang burung tersebut. Jika di lapangan
menemui kesulitan dalam mengidentifikasi, hal yang dapat dilakukan adalah mengambil foto
burung tersebut, namun jika foto masih kurang jelas, dapat dibuat sketsa sederhana yang
menggambarkan ciri-ciri menonjol/khusus dari burung tersebut (Muzaki, 2011).
b. Metode survai yang digunakan
Metode yang digunakan untuk survei burung ada beberapa macam. Penggunaan metode
tergantung dengan kondisi lapangan tempat pengambilan sampel serta data yang ingin
didapatkan.
30
b. Metode titik hitung (consentrasi count)
Metode titik hitung yakni metode pengamatan burung, dimana pengamat tetap berdiri di
suatu titik yang telah ditentukan selama periode waktu tertentu untuk mencatat dan
menghitung burung yang di jumpai. Penentuan titik dapat dilakukan secara acak maupun
sejalur dengan garis transek. Tiap titik mempunyai radius daerah pengamatan ± 50 m. Jarak
antara titik satu dengan yang lain ± 200-250 meter. Waktu pengamatan tiap titik 5-10 menit.
c. Metode Pemetaan
Metode pemetaan merupakan cara yang efektif untuk menghitung populasi burung dan
ukuran daerah jelajah. Pemetaan dapat digunakan untuk jenis burung yang memiliki teritori
dan musim berkembang biak yang jelas. Pengamatan dilaksanakan secara berulang setiap
pagi pada lokasi teritori burung. Biasanya dilakukan pada musing berkembang biak ketika
individu burung berada pada lokasi yang terbatas, aktif mempertahankan teritorinya dan
menghabiskan waktu di sekitar sarang. Jika lokasi pasti dapat diplotkan pada peta, maka
dimungkinkan untuk menghitumg jumlah pasangan burung dari setiap jenis yang ada.
Aplikasi metode ini merupakan pekerjaan yang intensuf di lapangan maupun analisis data.
Hasil pengamatan dapat menghasilkan peta detail sebaran dan ukuran teritori serta dapat
digunakan untuk memahami kondisi habitat. Juga menghasilkan perhitungan yang lebih
konsisten, dan tidak dipengaruhi oleh waktu pengamatan.
Beberapa kelemahan metode ini yaitu, memrlukan peta yang berkualitas untuk studi area,
memerlukan waktu sampai dengan 10 kali pengamatan, mencakup areal yang relatif kecil (1-
4 km2), memerlukan keterampilan tinggi dari pengamat untuk mengidentifikasi dan merekam
burung, kesulitan dala interprestasi hasil dan biasanya efektif untuk daerah temperate dan
jarang diterapkan di daerah tropik (Bismark, 2011).
31
d. Transek jalur
Pengamatan dengan menggunakan metode ini mengutamakan inventarisasi burung
sepanjang jalur 1000 m. Semua perjumpaan burung di hitung dan di catat jumlahnya. Burung
yangberada diluar jalur transek dan di belakang pengamat tidak dicatat. Jalur transek ini
disesuaikan dengan jalur-jalur yang sudah tersedia di lapangan agar diperoleh peluang
perjumpaan yang lebih besar dengan satwa yang diinginkan (Anonim, 2014).
32
a. Metode yang digunakan
1. Metode transek
Metode transek adalah metode pengamatan satwa mamalia besar, herbivora dengan
membuat garis atau jalur transek pada lokasi terpilih. Jumah dan panjang transek tergantung dari
besar dan luas areal yang akan dijadikan petak contoh pengamatan. Pengamtan dilakukan dengan
mengikuti transek atau jalur dan mencatat lokasi, jumlah dan aktivitas satwa liar yang ditemui di
spenajnag jalur. Penempatan transek ini dapt dengan cara acak atau ditempatkan pada daerah-
daetahhabitat yang merupakan tempat dijumpainya satwa yang akan diinventarisasi. Penempatan
transek dapat dilakukan secar random, sistematis, dengan stratifikasi mengikuti jalan setapak atau
zig-zag seperti gambar berikut:
33
menentukan jarak antara satwa dan pengamat (jarak lurus) atau jarak pengamatan. Serta
harus menentukan sudut kontak anatar posisi satwa yang terdeteksi dengan jalur
pengamatan atau sudut pengamatan.
Metode transek garis dilakukan oleh pengamat yang berjalan di sepanjang garis
transek dan mencatat setiap data yang diperlukan. Dengan menggunakan metode ini, lebar
atau luas dari lokasi pengamatan tidak langsung ditetapkan. Seorang pengamat, dapat
mencatat setiap jenis mamalia yang teramati sesuai dengan kemampuan jarak pandang
masing-masing pengamat. Metode transek garis dapat dilihat pada gambar 4.
34
Perangkap yang digunakan adalah life trap sehingga satwa yang tertangkap tidak akan mati.
Apabila satwa yang terperangkap sulit untuk diidentifikasi, satwa tersebut dapat diawetkan untuk
keperluan identifikasi misalnya oleh LIPI. Penggunaan tertangkap hidup juga dilakukan pada
penelitian dengan metode tangkap lepas. Satwa ditangkap, ditandai, dilepaskan dan ditangkap
kembali.
5. Metode pit fall
Metode ini ditujukan untuk menangkap mamalia kecil terestrial yang berukuran sangat kecil
yang sulit apabila ditangkap dengan perangkap biasa. Metode ini menggunakan ember dengan
diameter kurang lebih 30 cm yang ditanam di tanah sampai permuakaan atas ember, sejajar
dengan permukaan tanah.
35
Metode trap bisa dilihat pada gambar berikut.
Gambar 20. Desain metode pemasangan trap mamalia kecil pada line transek
6. Metode kamera trap (camera tapping)
Penggunaan kamera dalam inventarisasi satwa dilaksanakan guna mendapatkan data tanpa
kehadiran pengamat. Kamera harus memiliki sensor yang baik. Juga perlu dipertimbangkan jenis
baterai yang baik untuk dipasang dalam kamera trap untuk pengamatan jangka panjang. Kamera
diletakkan pada lokasi-lokasi yang diduga menjadi daerah jelajah, alur jalan pergerakan dari
satwa yang akan di inventarisasi.
7. Metode Pengamatan Cepat (Rapid Asessment)
Metode ini digunakan untuk mengetahui jenis-jenis mamalia yang terdapat di lokasi
pengamatan. Pengataman tidak harus dilakukan pada suatu jalur khusus atau lokasi khusus.
Pengamat cukup mencatat jenis-jenis mamalia yang ditemukan. Metode ini dapat digunakan
utnuk mengetahui jenis-jenis mamalia yang berada di lokasi pengamatan, tetapi tidak dapat
digunakan untuk menghitung pendugaan populasi.
36
Pemasangan trap sebaiknya dilakukan didekat jalur lintasan satwa, dekat dengan sumber
air, jalan setapak, dekat dengan pohon yang besar dan berlubang.
Melakukan wawancara dengan dengan orang desa, guide atau polisi hutan untuk
melengkapi data.
Data sangat penting tetapi keselamatan pengamat lebih penting jadi berhati-hatilah saat
melakukan pengamatan (Bismark, 2011).
c. Analisis Data
1) Menaksir kepadatan populasi dan jumlah populasi
Transek Jalur dan Garis
Keterangan
D = Kepadatan populasi (jumlah individu)
n = jumlah satwa yang teramati
L = panjang totak transek
w = lebar transek
Keterangan
Pd = Jumlah populasi
N = jumlah satwa yang teramati
L = panjang totak transek
w = lebar transek
A = Luas kawasan
Keterangan
D = Kepadatan
y = satwa yang teramati
L = Luas
37
Keterangan
P = Populasi
Xi = jumlah individu yang dijumpai pada
pengamatan ke-i (individu)
n = jumlah ulangan pengamatan
2) Keanekaragaman Jenis Satwa
Keanekaragaman jenis satwa diketahui dengan menggunakan indeks keanekaragaman
Shannon, yaitu :
Keterangan
H’ = Indeks keanekaragaman jenis (Shannon dan
Weaver)
ni = jumlah individu dalam satu jenis
N0 = jumlah individu dalam satu komunitas
Frekuensi satwa
Frekuensi keberadaan jenis satwa pada suatu lokasi diketahui dengan menghitung frekuensi
relatif (%):
38
1) Road Cruising
Dengan berjalan atau bergerak dengan kendaraan di lokasi pengamatan dan mencatat
semua herpetofauna yang dijumpao. Metode ini memang tidak bisa dilakukan di semua lokasi
dan untuk daerah-daerah yanng memang memiliki jalan yang relatif bisa dilalui oleh
kendaraan.
Kelemahan metode ini yaitu banyak membutuhkan waktu, menghasilkan data jenis yang
terbata, hanya dapat memverifikasi spesies-spesies yang bermigraso dengan cara
menyeberangi jalan, sampel bias karena hanya terbatas pada daerah-daerah yang memiliki
jalan, kadangkala berbahaya bagi pengamat, terutama di rute-rute yang padat dan hanya
efektif pada lokasi yang dilalui oleh jalan.
2) Survai Perjumpaan Visual (Visual Encounter Survai / VES)
Survai dilakukan pada suatu area atau habitat tertentu untuk periode waktu yang
ditentukan sebelumnya untuk mencari satwa. VES digunakan untuk ,engetahui kekayaan jenis
suatu daerah, mengumpulkan daftar jenis dan memperkirakan kelimpahan relatif spesies.
Teknik ini bukan metode yang tepat untuk menentukan kepadata (density) karena tidak semua
individu dalam area tersebut dapat terlihat dalam survai. VES dapat dilakukan di sepanjang
transek, sepanjang sungai, sekitar kolam dan lainnya.
Dalam menerapkan teknik inventarisasi herpetofauna, pengamat mengamati dan mencari
dengan menyusuri lokais yang telah ditentukan, terutaman pada tempat-tempat yang diduga
merupakan mikrohabitat katak, kodok, kadal, ular, dan lainnya. Tempat tersebut misalnya
lubang pohon atau tanah, sela-sela banir, dedaunan, tumpukan kayu lapuk, serasah, genangan
air, aliran sungai dan pada sela-sela batu sungai (Anonim, 2014).
3) Sampling Kuadrat (Quadrat sampling)
Metode ini dilakukan dengan menaruh berbagi seri kuadrat secara acak pada lokasi yang
ditentukan dalam sebuah habitat dan mencari secara seksama herpetofauna dalam kuadrat
tersebut. Biasanya digunakan untuk mempelajari herpetofauna yang terdapat dilantai htan
atau jenis-jenis yang menghuni daerah di sekitar sungai. Cara ini kurang efektif dilakukan
pada habitat yang memiliki penutupan tanah yang rapat serta lokasi-lokasi yang terjal karena
sulitnya menaruh kuadrat secara acak.
4) Transek Garis
39
Transek garis dapat digunakan untuk pengamatan herpetofauna pada berbagai habitat.
Beberapa herpetofauna sering memiliki respon yang berbeda terhadap gradient lingkungan
sehingga transek garis dapat mengidentifikasi perubahan populasi herpetofauna. Transek garis
diletakkan secara acak (misalkan panjang 200 m) pada sebuah habitat. Beberapa transek
(multiple transek) umumnya lebih baik daripada transek tunggal panjang setiap transek dan
jumlah titik sampling di setiap lokasi akan tergantung dari tujuan survai dan kondisi lokasi.
5) Metode straight line driff fence dan pitfall trap
Jebakan penjatuh (pitfall trapping) atau adalah salah satu metode yang paling banyak
digunakan untuk mengambil data herpetofauna. Umunya metode ini menggunakan wadah
kotak atau bulat yang disimpan di bawah air atau dalam tanah dengan bagian atas wadah
terletak di permukaan. Ukuran dan bentuk wadah umunya bervariasi tergantung spesies yang
akan dijebak. Pitfall trapping umumnya dikombinasikan dengan pagar pembatas (drift
fence). Drift fence adalah pagar pendek berukuran 0,5-1 meter yang terbuat dari jaring atau
plastik dan berguna untuk menuntun herpetofauna agar masuk ke dalam pitfall trapping,
panjangnya biasanya antara 5-15 m. Setiap bebrapa meter akan dipasang pitfall trapping.
c. Analisis Data
Data yang diambil dalam penelitian atau survai lapanagan dapat berupa data kuantitatif atau
kualitatif. Kegunaan data ini tergantung oleh berbagai faktor antara lain, desain eksperimen atau
prosedur sampling yang digunakan, pemilihan alat dan kemampuan menggunakan alat, dan
kondisi lingkungan. Analisis statistika digunakan untuk membantu memahami data-data yanng
diperoleh. Analisis statistika yang paling sederhana adalah analisis deskripsi.
Indeks yang umum digunakan adalah indeks keanekaragaman jenis (species diversity), yaitu
indeks shannon-weaver. Indeks ini digunakan untuk mengukur karakteristik dari komunitas pada
suatu lokasi pada waktu tertentu
Keterangan
H’ = indeks keanekaragaman jenis
ni = jumlah individu dalam satu jenis
N0 = jumlah individu dalam satu
komunitas
40
2.5.4 Pengamatan Serangga
a. Informasi Umum
Berbeda dengan vertebrata, serangga sangat beragam sehingga identifikasi jenis sulit
dilakukan. Entomologis biasanya pertama kali mengklasifikasikan serangga kedalam ordo. Ordo
utama serangga adalah diptera (lalat), coleoptera (kumbang), hemiptera (kepik), odonata
(capung), orthoptera (belalang), hymenoptera (semut), leppidoptea (kupu-kupu), dan isoptera
(rayap)
Informasi mengenai jenis serangga di suatu tempat penting untuk diketahui karena
serangga yang dapay hidup di berbagai habitat atau lingkungan dapat dijadikan indikator kondisi
lingkungan yang berbeda. Misalnya keberadaan sserangga dapat digunakan sebagai indikator
hutan primer, hutan sekunder, bekas terbakar, rawa, savana, dan sebagainya. Serangga juga dapat
menjadi bioindikator yang sensitif yang dapat mengungkapkan aspek lingkungan yang tidak
terlihat oleh mata. Untuk membandingkan kondisi di daerah yang berbeda sangat penting untuk
menggunakan metode yang sama dikedua lokasi.
b. Metode Pengamatan Serangga
1) Perangkap Cahaya (Light Traps)
Metode ini banyak digunakan untuk mengoventarisasi serangga yang tertarik dengan
cahaya misalnya ngengat. Hasil inventarisasi ngengat dapat dijadikan indikator umum
keragaman jenis. Lokasi dengan jumlah ngengat yang lebih banyak akan memiliki
keragaman jenis yang lebih baik.
Ngengat diinventarisasi pada tempat pengumpulan di lokasi survai. Biasanya berlokais
pada bukit atau sisi sungai. Lokasi ini dipaang beberapa layar putih yang digantung vertikal
agar terdeteksi oleh ngengat. Pada malam hari lampu dan lampu ultraviolet dipasang agar
ngengat tertarik oleh lembaran putih, menghampiri dan terjebak oleh lampu ultraviolet.
2) Perangkap Lengket (Sticky Traps)
Sticky trapes adalah lembaran kertas dengan ukuran tertentu yang di lumuri oleh bahan
yang lengket. Ketika serangga menyentuh kertas ini, mereka akan terjebak sehingga
pengamatan secara reguler bisa mengamati serangga yang terperangkap.
3) Jebakan Penjatuh (Pitfall Traps)
41
Pitfall trapping atau jebakan penjatuh adalah salah satu metode yang banyak digunakan
untuk mengambil data serangga yang ada dipermukaan tanah atau serasah. Metode ini juga
diigunakan untuk hepertofauna.
4) Perangkap Serangga Terbang (Flight Interceptors)
Ada beberapa jenis perangkap serangga terbang. Yang biasa digunakan adalah kasa
nyamuk sepanjang 1, 5 meter tinggi 35 cm yang di letakkan di atas tanah. Di bawah kasa ini,
diletakkan wadah berisi air deterjen untuk menangkap serangga. Beberapa serangga terbang
akan menabrak kasa dan terjatuh ke dalam wadah berisi air deterjen dan tenggelam. Metode
ini tentunya tidak dapat mewakili seluruh serangga di areal tersebut, akan tetapi dapat
memberikan standar yang dapat diulang (Bismark, 2011).
42
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah:
1. Populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat
– syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian, sedangkan sampel adalah sebagian dari
populasi yang memiliki ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti.
2. Kegunaan / keuntungan dengan menggunakan sampel dalam penelitian, yaitu biaya yang
lebih murah, waktu yang relatif singkat dan kualitas informasi lebih baik.
3. Teknik Sampling secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu probability
sampling dan non probability sampling.
4. Metode sampling untuk plankton dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif (dengan
botol, jarring (net), pompa serta CPR).
5. Metode sampling untuk makrofauna bentik dapat dilakukan dengan metode transek dan
metode kuadrat.
6. Survey kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan Metode Manta Taw, Metode Line
Intercept Transect (LIT), Metode Belt Transect (Transek sabuk), Metode kuadrat, dan Metode
Rapid Resources Inventory (RRI).
7. Survey Ikan Karang dapat dilakukan dengan metode Reef Fish Visual Census (RFVS) atau
disebut juga Underwater Visual Census (UVC).
8. Untuk mengamati burung bisa menggunakan metode titik hitung, concertration count, metode
pemetaan, dan transek jalur dan bisa dilakukan analisis data untuk melihat kelimpahan relatif
dari semua jenis burung.
9. Untuk mengamati mamalia bisa menggunakan metode transek (jalur dan garis), metode
pengamatan terkonsentrasi, metode lingkaran, metode perangkap, metode pitt fall, metode
kamera trap (camera tapping), metode pengamatan cepat. Analisis data bisa digunakan untuk
menaksir kepadatan populasi, menentukan kepadatan atau kelimpahan populasi.
10. Pengamatan Herpertofauna bisa dilakukan dengan metode road cruising, survai perjumpaan
visual, sampling kuadrat, transesk garis, Metode straight line driff fence dan pitfall trap.
Analisis data dapat digunakan untuk melihat indeks keanekaragaman jenis.
43
11. Pengamatan serangga bisa menggunakan metode perangkap cahaya, perangkap lengket,
jebakan penjatuh dan perangkap serangga terbang.
3.2 SARAN
Saran yang dapat diberikan terkait pembahasan dalam makalah ini adalah:
1. Ketika akan melakukan sampling terlebih dahulu harus mengenali kondisi lingkungan lokasi
sampling sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan teknik dan
metode sampling yang sesuai.
2. Teknik dan metode sampling yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan ciri
atau karakteristik yang dibutuhkan.
44
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2014. Proposal Kegiatan Ekspedisi Batas Negeri. Bogor: Uni Konservasi Fauna, IPB
Arinardi, O. H., A. B. Sutomo., S. A. Yusuf, Trimaningsih, E. Asnaryanti, S. H. Riyono. 1997.
Kisaran dan Kelimpahan Komposisi Plankton Predominan Di Perairan Kawasan
Timur Indonesia. LIPI. Jakarta.
Bismark, M. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keragaman Jenis pada
Kawasan Konservasi. Bogor: International Tropical Timber Organization (ITTO).
Dauvin, Jean-Claude, E. Thie´baut, J. L. G. Gesteira, K. Ghertsos, F. Gentil, M. Ropert, B.
Sylvand. 2004. Spatial structure of a subtidal macrobenthic community in the Bay of
Veys (western Bay of Seine, English Channel). Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology 307 (2004) 217– 235.
Hutabarat, S dan Evans, M. S. 1985. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta.
Johan. O. 2003. Metode Survei Terumbu Karang Indonesia. Disampaikan pada acara Training
Course: Karakteristik Biologi Karang, tanggal 7-12 Juli 2003, yang diselenggarakan
oleh PSK-UI dan Yayasan TERANGI, dan didukung oleh IOI-Indonesia.
Knudby, A., C. Roelfsema, M. Lyons, S. Phinn, S. Jupiter. 2011. Mapping Fish Community
Variables by Integrating Field and Satellite Data, Object-Based Image Analysis and
Modeling in a Traditional Fijian Fisheries Management Area. Remote Sens. 2011, 3,
460-483; doi:10.3390/rs3030460.
Krismono dan Sugianti. 2007. Distribusi Plankton di Waduk Kedungombo. Purwakarja-Jawa
Barat. Jurnal penelitian perikanan Indonesia.
Muzaki. F. K. 2011. Training On Methods of Bio-Ecological Sampling (Biological Factors for
Environment Quality Assessment). Ecology Laboratory – Departement of Biology.
Faculty of Mathematics and Natural Sciences. Sepuluh Nopember Institute of
Technology. Surabaya.
Nababan, T. 2009. Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup di Bagian Timur
Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam. Skripsi: Departemen Biologi –
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatra Utara: Medan.
Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1988. Marine Biology: An Ecological Approach, Fourth Edition. Addison
Westley Education Publisher Inc.
Sugiyono. 2003. Statistik Untuk Penelitian. Bandung. CV. Alfabeta.
Sukmara, A., A.J. Siahainenia dan C. Rotinsulu. 2001. Panduan Pemantauan Terumbu Karang
Berbasis-Masyarakat Dengan Metoda Manta Tow. Proyek Pesisir. Publikasi Khusus.
University of Rhode Island, Coastal Resources Center, Narragansett, Rhode Island,
USA.
Wardhana, Wisnu. 2003. Teknik Sampling, Pengawetan dan Analisis Plankton. Disampaikan
pada: “Pelatihan Teknik Sampling dan Identifikasi Plankton”, Balai Pengembangan
dan Pengujian Mutu Perikanan, Jakarta 7-8 Mei 2003.
45