Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN INTRACRANIAL SPACE OCCUPYING LESIONS

(ICSOL) RUANG PERAWATAN NEUROLOGI LONTARA III BAWAH


BELAKANG RS WAHIDIN SUDIROHUSODO TAHUN 2018

Nama Mahasiswa : Fifi Riskayani


Nim : R014172005

CI LAHAN CI INSTITUSI

Abdul Majid, M.Kep., Ns.,Sp.Kep.M.B

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Istilah SOL (Space-occupying lesion) intrakranial merupakan merupakan istilah yang
digunakan untuk generalisasi masalah tentang adanya lesi misalnya neoplama, baik jinak
maupun ganas, primer atau sekunder, dan masalah lain seperti parasit, abses, hematoma,
kista, ataupun malformasi vaskular. Tumor-tumor SOL intrakranial merupakan sekitar
9% dari seluruh tumor primer yang terjadi pada manusia. Karena tumor-tumor ini berada
pada sistem saraf pusat maka tumor ini menjadi masalah kesehatan yang serius dan
kompleks. Tumor-tumor ini umumnya berasal dari bagian parenkim dan neuroepitel
sistem saraf pusat kecuali mikroglia dan diperkirakan sekitar 40%-50% SOL intrakranial
disebabkan oleh tumor (Butt, Khan, Chaudrhy, & Qureshi, 2016).
ICSOL (Intracranial Space-occupying Lesion) merupakan generalisasi masalah
tentang ada lesi pada ruang intracranial khususnya mengenai otak. Banyak penyebab
yang dapat menimbulkan lesi pada otak seperti kontusio serebri, hematoma, infark, abses
otak dan tumor intracranial karena cranium merupakan tempat yang kaku dengan volume
yang terfiksasi maka lesi-lesi ini akan meningkatkan tekanan intracranial. Suatu lesi yang
meluas pertama kali, komodasi dengan cara mengeluarkan cairan serebrospinal dari
rongga kranium. Akhirnya vena mengalami kompresi dan gangguan sirkulasi darah otak
dan cairan serebrospinal mulai timbul dan tekanan intracranial mulai naik. Kongesti
venosa menimbulkan peningkatan produksi dan penurunan absorpsi cairan serebrospinal
dan meningkatkan volume dan terjadi kembali hal-hal seperti di atas (Jindal, Verma,
Gupta, & Mital, 2016).
B. Etiologi
ICSOL (Intracranial Space-occupying Lesion) disebabkan oleh lesi misalnya
neoplama, baik jinak maupun ganas, primer atau sekunder, dan masalah lain seperti
parasit, abses, hematoma, kista, ataupun malformasi vaskular, dimana semuanya
menimbulkan ekspansi dari volume dari cairan intrakranial yang kemudian menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Pembengkakan pada otak dapat dibagi dua yaitu
diffuse dan fokal (Cross, 2013).
Pembengkakan diffuse sering terjadi akibat peningkatan umum cairan di otak
diakibatkan oleh vasodilatasi atau edema. Gangguan sistem vasomotor dapat
menyebabkan vasodilatasi yang kemudian meningkatan aliran darah di serebrum. Hal ini
terjadi sebagai respons terhadap hypercapnia dan hipoksia, dan juga terjadi akibat head
injury. Selain itu, edema dapat terjadi dari tiga mekanisme yaitu vasogenik, sitotoksik
dan interstisial. Pada edema vasogenik terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah
serebral akibat disfungsi sawar otak. Pada edema sitotoksik terjadi jejas terhadap sel
endotel, sel glia dan neuron pada otak. Pada edema interstisial terjadi kerusakan pada
ventrikel-ventrikel otak, sering ditemukan pada kasus hidrosefalus (Cross, 2013; Jindal,
Verma, Gupta, & Mital, 2016).
Pembengkakan fokal dapat terjadi akibat abses serebral, hematoma, atau neoplasma.
Lesi menyebar ekstrinsik seperti hematoma subdural dan meningioma juga meningkatkan
tekanan pada kavitas otak dan disebut sebagai space-occupying lesion (Cross, 2013).
Pada neoplasma dapat ditemukan faktor-faktor resiko berikut:
1. Riwayat trauma kepala
2. Faktor genetic
3. Paparan zat kimia yang bersifat karsinogenik
4. Virus tertentu
5. Defisiensi imunologi
6. Kongenital
D. Klasifikasi
Menurut American Association of Neurological Surgeons (2012) berdasarkan jenis,
tumor dapat dibagi menjadi:
1. Jinak
a. Coustic neuroma
b. Meningioma
c. Pituitary adenoma
d. Astrocytoma (grade 1)
2. Malignan
a. Astrocytoma (grade 2,3,4)
b. Oligodendroglioma
c. Apendymoma
Berdasarkan lokasi tumor dapat dibagi menjadi:
1. Tumor Intradural
a. Ekstramedular
b. Cleurofibroma
c. Meningioma intramedural
d. Apendimoma
e. Astrocytoma
f. Oligodendroglioma
g. Hemangioblastoma
2. Tumor Ekstradural
Merupakan metastase dari lesi pertama
E. Manifestasi klinis
Menurut Cross (2013) & Brunner & Suddarth (2003) tanda dan gejala klinis dari
space-occupying lesion (SOL) sebagai berikut :
1. Gejala dan tanda umum
Gejala umum yang dapat ditemukan pada SOL adalah sakit kepala akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Sakit kepala dipengaruhi posisi dan postur dan
biasanya berat pada pagi hari. Sakit kepala juga bersifat sangat berat dan tidak
berkurang dengan obat nyeri. Selain itu, gejala peningkatan tekanan intrakranial lain
seperti muntah, kejang juga timbul. Pada beberapa kasus dapat terjadi perubahan
perilaku dan memori. Kejang yang terjadi bisa tipe fokal atau umum. Selain itu SOL
dapat menimbulkan tanda-tanda kelemahan, ataksia atau gangguan gait. Defisit juga
dapat ditemukan pada penglihatan dan saat pasien bercakap. Pemeriksaan funduskopi
atau optalmoskopi dapat menemukan papilloedema yaitu tanda peningkatan tekanan
intrakranial.
2. Tanda-tanda melokalisir
a. Lobus temporalis
Lesi pada lobus temporalis sering menimbulkan gangguan psikologis yang
umum seperti perubahan perilaku dan emosi. Selain itu pasien juga dapat
mengalami halusinasi dan déjà vu. Lesi pada lobus temporalis juga dapat
menyebabkan afasia.
Tumor pada daerah ini dapat mengakibatkan kejang dengan halusinasi,
fenomena motorik dan gangguan kesadaran eksternal tanpa penurunan kesadran
yang benar. Lesi lobus temporalis dapat mengarah kepada depersonalisasi,
gangguan emosi, gangguan sikap, sensasi déjà vu atau jamais vu, mikropsia atau
makropsia (objek kelihatan lebih kecil atau lebih besar daripada seharusnya),
gangguan lapangan pandang (crossed upper quadrantanopia) dan ilusi auditorik
atau halusinasi audotorik, Lesi bahagian kiri dapat mengakibatkan dysnomia dan
receptive aphasia, dan lesi pada bagian kanan menggangu persepsi pada nada dan
melodi.
b. Lobus frontalis
Lesi pada lobus frontalis dapat menyebabkan terjadinya anosmia. Gangguan
perilaku juga dapat terjadi dimana pasien itu cenderung berperilaku tidak sopan
dan tidak jujur. Afasia dapat terjadi apabila area broca terlibat.
Tumor pada lobus frontalis seringkali mengarah kepada penurunan progresif
intelektual, perlambatan aktivitas mental, gangguan personality dan reflex
grasping kontralateral. Pasien mungkin mengarah kepada afasia ekspresif jika
melibatkan bahagian posterior daripada gyrus frontalis inferior sinistra. Anosmia
dapat terjadi karena tekanan pada saraf olfaktorius. Lesi presentral dapat
mengakibatkan kejang motoric fokal atau defisit piramidalis kontralateral.
c. Lobus parietal
Lesi pada lobus parietal dapat menyebabkan terjadinya astereognosis dan
disfasia. Selain itu dapat juga terjadi kehilangan hemisensorik.
d. Lobus occipital
Lesi sebelum chiasma optic dari mata akan menyebabkan gangguan pada satu
mata saja. Lesi pada chiasma optic tersebut akan menyebabkan gangguan kedua
mata. Lesi di belakang chiasma optic akan menyebabkan gangguan pada mata
yang berlawanan.
e. Sudut serebellopontin
Lesi pada sudut serebellopontin dapat menyebabkan tuli ipsilateral, tinnitus,
nystagmus, penurunan refleks kornea, palsi dari sarat kranial fasialis dan
trigeminus.
f. Mesensefalon
Tanda-tanda seperti pupil anisokor, inabilities menggerakkan mata ke atas
atau ke bawah, amnesia, dan kesadaran somnolen sering timbul apabila terdapat
lesi pada mesensefalon.
Tumor intracranial dapat mengarah kepada gangguan fungsi serebral secara
umum dan memperlihatkan tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial. Karena itu,
dapat terjadi perubahan personalitas, penurunan intelektual, labilitas emosi, kejang, sakit
kepala, mual dan malaise. Jika tekanan intracranial meningkat di dalam rungan kranial
tertentu jaringan otak dapat mengalami herniasi ke dalam ruangan dengan tekanan
rendah. Sindroma yang paling sering ditemukan adalah herniasi lobus temporalis ke
dalam hiatus tentoria sehingga mengakibatkan kompresi saraf kranial III, batang otak dan
arteri cerebralis posterior. Tanda paling awal untuk sindroma ini adalah dilatasi pupil,
diikuti dengan stupor, komaposturasi deserebrasi dan kesulitan pernafasan. Satu lagi
sindroma herniasi penting terdiri daripada penurunan tonsilar cerebreli melewati foramen
magnum, sehingga mengakibatkan kompresi medullaris yang mengarah kepada apnea,
circulatory collapse dan kematian. Sindroma herniasi lain adalah lebih jarang dan
kepentingan klinis yang kurang jelas. Tumor intracranial dapat mengarah kepada defisit
fokal tergantung lokasinya.
C. Komplikasi
Menurut (Brunner & Suddarth, 2003) beberapa komplikasi yang mungkin terjadi
pada pasien yang mengalami SOL sebagai berikut :
1. Gangguan fungsi neurologis.
Jika tumor otak menyebabkan fungsi otak mengalami gangguan pada serebelum
maka akan menyebabkan pusing, ataksia (kehilangan keseimbangan) atau gaya
berjalan yang sempoyongan dan kecenderunan jatuh ke sisi yang lesu, otot-otot tidak
terkoordinasi dan ristagmus (gerakan mata berirama tidak disengaja) biasanya
menunjukkan gerakan horizontal
2. Gangguan kognitif.
Pada tumor otak akan menyebabkan fungsi otak mengalami gangguan sehingga
dampaknya kemampuan berfikir, memberikan rasional, termasuk proses mengingat,
menilai, orientasi, persepsi dan memerhatikan juga akan menurun.
3. Gangguan tidur & mood
Tumor otak bisa menyebabkan gangguan pada kelenjar pireal, sehingga
hormone melatonin menurun akibatnya akan terjadi resiko sulit tidur, badan malas,
depresi, dan penyakit melemahkan system lain dalam tubuh.
D. Pemeriksaan penunjang
Menurut Maxine, Stephen, & Michael (2013); Mustafa & Mahmoud (2014) beberapa
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Head CT-Scan
CT-Scan merupakan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi
pasien yang diduga menderita tumor otak. CT-Scan merupakan pemeriksaan yang
mudah, sederhana, non invasif, tidak berbahaya, dan waktu pemeriksaan lebih
singkat. Ketika kita menggunakan CT-Scan dengan kontras, kita dapat mendeteksi
tumor yang ada. CT-Scan tidak hanya dapat mendeteksi tumor, tetapi dapat
menunjukkkan jenis tumor apa, karena setiap tumor intrakranial menunjukkan
gambar yang berbeda pad CT-Scan.
Gambaran CT-Scan pada tumor otak, umumnya tampak sebagai lesi abnormal
berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Biasanya tumor otak
dikelilingi jaringan oedem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih rendah.
Adanya kalsifikasi, perdarahan atau invasi mudah dibedakan dengan jaringan
sekitarnya karena sifatnya hiperdens. Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata
bila pada waktu pemeriksaan CT-Scan disertai dengan pemberian zat kontras.
Kekurangan CT-Scan adalah kurang peka dalam mendeteksi massa tumor yang
kecil, massa yang berdekatan dengan struktur tulang kranium, maupun massa di
batang otak.
Pada perdarahan subdural akut CT-Scan kepala (non kontras) tampak sebagai
suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian
dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak
didaerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit didaerah bagian atas
tentorium serebeli. Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur
dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan
CT window width. Pergeseran garis tengah (middle shift) akan tampak pada
perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada middle shift
harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila middle shift hebat harus
dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.6
Pada fase akut subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga lebih
sulit dinilai pada gambaran CT-Scan, oleh karena itu pemeriksaan CT-Scan dengan
kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam waktu
48-72 jam setelah trauma. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal
akan tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan
jaringan otak. Perdarahan subdural akut sering juga berbentuk lensa (bikonveks)
sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma.
Pada fase kronik lesi subdural pada gambaran CT-Scan tanpa kontras menjadi
hipodens dan sangat mudal dilihat. Bila pada CT-Scan kepala telah ditemukan
perdarahan subdural, sangat penting untuk memeriksa kemungkinan adanya lesi lain
yang berhubungan seperti fraktur tengkorak, kontusio jaringan otak dan perdarahan
subarakhnoid.
Pada abses, CT-Scan dapat digunakan sebagai pemandu untuk dilakukannya
biopsi. Biopsi aspirasi abses ini dilakukan untuk keperluan diagnostik maupun terapi.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan pemeriksaan yang paling baik terutama untuk mendeteksi
tumor yang berukuran kecil ataupun tumor yang berada dibasis kranium, batang otak
dan di fossa posterior. MRI juga lebih baik dalam memberikan gambaran lesi
perdarahan, kistik, atau, massa padat tumor intrakranial.
3. Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dapat dijadikan salah satu kunci untuk menemukan
kelainan dalam tubuh. Misalnya pada abses serebri dapat ditemukan leukositosis.
4. Foto Toraks
Foto toraks dilakukan untuk mengetahui apakah ada tumor di paru yaitu
tempat tersering untuk terjadinya metastasis prmer paru. Pada hematoma, dapat
ditemukan juga perubahan struktur tulang, perubahan struktur garis (perdarahan/
edema) dan fragmen tulang.
5. Biopsi
Pada tumor otak, biopsy dilakukan untuk mengetahui jenis sel tumor tersebut
sehingga dapat membantu dokter untuk mengidentifikasi tipe dan stadium tumor dan
menentukan pengobatan yang tepat seperti apakah akan dilakukan pengangkatan
seluruh tumor ataupun dilakukan radioterapi.
6. Lumbal pungsi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan jenis infeksi atau tumor pada
otak. Namun, pemeriksaan lumbal pungsi dikontraindikasikan pada pasien dengan
tekanan intrakranial yang tinggi.
E. Penatalaksanaan
Menurut Dewanto, George, Suwono, Riyanto, & Turana (2009) ada 2 penata
laksanaan yang dapat dilakukan untuk penyakit SOL yaitu :
1. Terapi suportif
Terapi suportif berfokus pada meringankan gejala dan meningkatkan fungsi
neuroligik pasien. Terapi suportif yang utama digunakan adalah antikonvulsan dan
kortikosteroid.
a. Antikonvulsan
Antikonvulsan diberikan pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda
seizure. Phenytoin (300-400mg/d) adalah yang paling umum digunakan, tapi
carbamazepine (600-1000mg/h). Phenobarbitol (90-150mg/h) dan valproic acid
(750-1500mg/h) juga dapat digunakan.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi udem peritumoral dan emngurangi tekanan
intrakranial. Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat. Dexamethasone
adalah kortikosteroid yang dipilih karena aktifitas mineralkortikoid yang
minimal. Dosisnya dapat diberikan mulai dari 16mg/h tetapi dosis ini dapat
ditambah atau dikurangi untuk mencapai dosis yang yang dibutuhkan untuk
mengontrol gejala neurologik.
c. Manitol
Digunakan untuk mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
2. Terapi definitive
a. Pembedahan
Bertujuan mengurangi efek massa dan edema, melindungi dan
memperbaiki fungsi neurologis, mengurangi kejadian kejang, menjaga alirana
cairan serebrospinalis, dan memperbaiki prognosis
b. Terapi radiasi
Terapi radiasi mengantarkan radiasi yang mengionisasi sel-sel tumor.
Ionisasi ini merusak DNA seltumor dan menghentikan proses pembelahan sel
tumor dan menghentikan proses pembelahan seltumor yang pada akhirnya
mematikan sel tumor.
Terapi radiasi memainkan peran penting dalam pengobatan tumor otak
pada orang dewasa. Terapi radiasi adalah terapi nonpembedahan yang paling
efektif untuk pasien dengan malignant glioma dan juga sangat penting bagi
pengobatan pasien dengan low-grade glioma.
c. Kemoterapi
Kemoterapi hanya sedikit bermanfaat dalam pengobatan pasien dengan
melignant glioma. Kemoterapi tidak memperpanjang rata-rata pertahanan
semua pasien, tetapi sebuah subgroup tertentu nampaknya bertahan lebih lama
dengan penambahan kemoterapi dan radioterapi. Kemoterapi juga tidak
berperan banyak dalam pengobatan pasien dengan low-grade astrocytoma.
Sebaliknya kemoterapi disarankan untuk pengobatan pasien dengan
oligodendroglioma.
Penanganan khusus tergantung dari penyebab atau etiologi lesi intrakranial
tersebut. Antara etiologi dari Space-occupying lesion (SOL) adalah malignansi (tumor
primer atau metastasis), infeksi (abses serebri, subdural abses, epidural abses, kista
hidatid), perdarahan (intraserebral, subdural, epidural) dan granuloma
(neurosistiserkosis, tuberkuloma).
Apabila sudah ditegakkan tumor, dapat dilakukan biopsi untuk mengidentifikasi
secara histologi tipe dan grade dari tumor tersebut. Tumor otak biasanya ditangani
dengan operasi, terapi radiasi dan kemoterapi.
Pada abses serebri, terapi antimikroba harus diberikan bersamaan dengan
penanganan hipertensi intrakranial. Antibiotik diberikan selama 4 sampai 8 minggu.
Ukuran dan jumlah abses harus dievaluasi dari CT Scan atau MRI. Abses dengan
ukuran lebih dari 2,5cm dapat dieksisi atau diaspirasi. Abses dengan ukuran kurang dari
2,5cm diaspirasi untuk tujuan diagnostik.
Pada kasus perdarahan, tekanan darah harus diturunkan dan tanda-tanda vital
distabilkan. Operasi tidak direkomendasikan pada pasien dengan pendarahan di bawah
10cm3, dengan defisit neurologis minimal. Pasien dengan pendarahan >3cm di
serebelum dengan penurunan neurologis harus dioperasi segera. Antara tindakan
operasi yang dilakukan adalah drainase (burr hole) atau kraniotomi.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesis
a. Identitas klien: usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tgl MRS, askes, dst.
b. Keluhan utama: nyeri kepala disertai penurunan kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang: demam, anoreksi dan malaise peninggian tekanan
intrakranial serta gejala nerologik fokal.
d. Riwayat penyakit dahulu: pernah, atau tidak menderita infeksi telinga (otitis
media, mastoiditis) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis, abses paru, empiema),
jantung (endokarditis), organ pelvis.
2. Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : malaise
Tanda :ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter.
b. Sirkulasi
Gejala : adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis
Tanda :TD meningkat, N : menurun (berhubungan dengan peningkatan TIK
dan pengaruh pada vasomotor).
c. Eliminasi
Gejala :-
Tanda :
d. Nutrisi
Gejala : kehilangan nafsu makan, disfagia (pada periode akut)
Tanda :anoreksia, muntah, turgor kulit jelek, membran mukosa kering.
e. Hygiene
Gejala :-
Tanda :ketergantungan terhadap semua kebutuhan, perawatan diri (pada
periode akut).
f. Neurosensori
Gejala :sakit kepala, parestesia, timbul kejang, gangguan penglihatan.
Tanda :penurunan status mental dan kesadaran. Kehilangan memori, sulit
dalam keputusan, afasia, mata : pupil unisokor (peningkatan TIK),
nistagmus, kejang umum lokal.
g. Nyeri / kenyamanan
Gejala : sakit kepala mungkin akan diperburuk oleh ketegangan, leher /
pungung kaku.
Tanda : tampak terus terjaga, menangis / mengeluh.
h. Pernapasan
Gejala : adanya riwayat infeksi sinus atau paru
Tanda : peningkatan kerja pernapasan (episode awal). Perubahan mental
(letargi sampai koma) dan gelisah
B. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungn dengan kurangnya darah ke jaringan
otak
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
3. Risiko cedera berhubungan dengan kejang akibat lesi pada lobus otak
C. Rencana/intervensi keperawatan
Diagnosa Rencana keperawatan
Keperawatan NOC NIC
Gangguan Circulation status Peripheral Sensation
perfusi jaringan Tissue Prefusion: cerebral Management
cerebral
berhubungn Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor adanya daerah tertentu
dengan selama 3 x 24 jam diharapkan: yang hanya peka terhadap
kurangnya 1. Tekanan systole dan diastole dalam panas/dingin/tajam/tumpul
darah ke rentang yang diharapkan 2. Monitor status neurologis
jaringan otak 2. Tidak ada ortostatik hipertensi (GCS)
3. Tidak ada tanda-tanda peningkatan 3. Monitor adanya paretese
tekanan intrakranial (tidak lebih dari 4. Instruksikan keluarga untuk
15 mmHg) mengobservasi kulit jika ada Isi
4. Berkomunikasi dengan jelas dan atau laserasi
sesuai dengan kemampuan 5. Gunakan sarun tangan untuk
5. Menunjukkan perhatian, konsentrasi proteksi
dan orientasi 6. Batasi gerakan pada kepala,
6. Menunjukkan fungsi sensori motori leher dan punggung
cranial yang utuh : tingkat kesadaran 7. Kolaborasi pemberian analgetik
membaik, tidak ada gerakan gerakan 8. Monitor adanya tromboplebitis
involunter 9. Diskusikan menganai penyebab
perubahan sensasi
Gangguan rasa Ansiety 1. Observasi reaksi nonverbal dari
nyaman nyeri Fear level ketidaknyamanan
berhubungan Sleep Deprivation 2. Bantu pasien dan keluarga untuk
dengan Comfort, Readines for Enchanced mencari dan menemukan
peningkatan dukungan
TIK Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Kontrol lingkungan yang dapat
selama 3 x 24 jam diharapkan: mempengaruhi nyeri seperti
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu suhu ruangan, pencahayaan dan
penyebab nyeri, mampu kebisingan
menggunakan tehnik non 4. Kurangi faktor presipitasi nyeri
farmakologi untuk mengurangi 5. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
nyeri, mencari bantuan) menentukan intervensi
2. Klien dapat mengambil tindakan untuk 6. Ajarkan tentang teknik non
mengurangi nyeri
farmakologi: napas dala,
3. Tanda Tanda vital dalam rentang
relaksasi, distraksi, kompres
normal (tekanan darah: 120/80
hangat/ dingin
mmHg, nadi: 60-80 x/menit,
7. Tingkatkan istirahat
pernafasan: 16-20x/menit)
8. Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berkurang dan
antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur
Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
Risiko cedera Risk Kontrol Environment Management
berhubungan
dengan kejang Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Sediakan Iingkungan yang
akibat lesi pada selama 1 x 24 jam diharapkan: aman untuk pasien
lobus otak 1. Klien terbebas dari cedera 2. Identifikasi kebutuhan
2. Mampu mengenali perubahan status keamanan pasien, sesuai
kesehatan dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif pasien dan
riwayat penyakit terdahulu
pasien
3. Menghindarkan lingkungan
yang berbahaya (misalnya
memindahkan perabotan)
4. Memasang side rail tempat
tidur
5. Menyediakan tempat tidur
yang nyaman dan bersih
6. Menempatkan saklar lampu
ditempat yang mudah
dijangkau pasien.
7. Membatasi pengunjung
8. Menganjurkan keluarga untuk
menemani pasien.
9. Mengontrol lingkungan dari
kebisingan
10. Memindahkan barang-barang
yang dapat membahayakan
11. Berikan penjelasan pada
pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya perubahan
status kesehatan dan penyebab
penyakit.
BAB III
WEB OF CAUTION (WOC)

Lesi, neoplasma, parasit,


abses, hematoma, kista,
malformasi vaskular

Pertumbuhan sel otak abnormal


Risiko nutrisi
Gangguan
kurang dari
Tumor otak termoregulasi
kebutuhan

Gejala spesifik tumor otak Mengganggu fungsi Peningkatan massa otak Obstruksi saluran CSS
berdasarkan lokasi spesifik bagian otak Muntah ↑ suhu tubuh

Penekanan jaringan otak Penyumbatan di ventrikel


Batang otak Subkortikal
cerebrum tertekan
tertekan
Infiltrasi/invasi jaringan Ventrikel otak membesar
otak
Hemisfer Temporalis parietalis Oksipital frontalis
Edema serebral Hidrosefalus Kehilangan auto
serebri
Ganggaun suplai darah di regulasi serebral
Gejala Gejala Gangguan Gejala otak
halusinasi, sindrom penglihatan perubahan Kelebihan
Merangsang ↑ TIK
afasia, gerstmann’s kepribadian, volume cairan Kompresi subkortikal
korteks
motorik hemiparesis emosional dan Hipoksia serebral dan batang otak
Gangguan tingkah laku,
disintegrasi Tubuh melakukan mekanisme
persepsi
Kejang perilaku kompensasi :
Risiko cedera sensori Kompensasi tubuh ↓ volume darah intracranial Gagal
mental. Nyeri
mempercepat ↓ volume cairan serebrospinal kompensasi
Epileps pernafasan ↓ kandungan cairan intra sel
i mengurangi sel-sel parenkim
Statis vena serebral
Pola napas
Fosa posterior Hipotalamus Cerebellum tidak efektif Bergesernya ginus medialis labis
temporal ke inferior melalui insisura Obstruksi system serebral
tentorial Obstruksi drainage vena
Gangguan Gangguan produksi Gangguan berjalan, retina
berjalan, nyeri hormon, gangguan otot tidak
kepala, muntah cairan dan elektrolit terkoordinasi Ganggua Hernia serebral Puil edema, gangguan
Kematian
perfusi serebral penglihatan

Risiko cedera
Gangguan persepsi
sensori
Sumber: Batticaca & Fransisca (2008); Judha (2011)
DAFTAR PUSTAKA

American Association of Neurological Surgeons (AANS), A. A. (2012). Brain Tumors.


Rolling meadows: AANS.

Batticaca, & Fransisca, B. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan System
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Brunner, & Suddarth. (2003). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 3.
Jakarta: EGC.

Butt, M., Khan, S., Chaudrhy, N., & Qureshi, G. (2016). Intracranial Space Occupying
Lession a Morphological Analysis. Journal of Neurology, 21(6).

Cross, S. (2013). Intracranial Space-Occupying Lesion. Underwood's Pathology: A Clinical


Approach. 6th Edition. Elseiver.

Dewanto, George, Suwono, W., Riyanto, B., & Turana, Y. (2009). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

Jindal, N., Verma, S. R., Gupta, P. K., & Mital, M. (2016). Imaging of Intracranial Space
Occupying Lesions: A Prospective. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences ,
34-41.

Judha, M. (2011). Sistem Persarafan dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Gosyen


Publising.

Maxine, A., Stephen, J., & Michael, W. (2013). Current Medical Diagnosis and Treatment fo
Intracranial Space-occupying lesion. McGrawHill, 979.

Mustafa, Z., & Mahmoud. (2014). Intra Cranial Space Occupying Lesions In Saudi Patients
Using Computed. Asian Journal of Medical Radiological Research, 25-28.

Internasional, N. (2014). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015 -21017 Edisi
10. Jakarta: EGC.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan. Philadelphia: Elsevier.

Bulechek, G. M., M Dochterman, J., & Butcher, H. (2013). Nursing Intervention


Classification (NIC) Edisi Bahasa Indonesia. Philadelphia: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai