& forum pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan studi ilmu kepolisian. Berisi tulisan
ilmiah, ringkasan hasil penelitian, resensi buku atau gagasan orisinil yang kritis dan segar.
Redaksi mengundang para ahli, akademisi, praktisi, atau siapa saja yang berminat untuk berdiskusi
dan menulis sambil mengkomunikasikan gagasan dan pikirannya dengan masyarakat luas.
Tulisan dalam Jurnal Ilmu Kepolisian tidak selalu mencerminkan pendapat redaksi.
ISSN : 2620-2025
Produksi Sriyanto
Sirkulasi Siswanto
Aris Tarwoko
Eka Agus Supriyanto
Jurnal Ilmu Kepolisiaan Volume 12 Nomor 1 April 2018 ISSN : 2621-8410
DAFTAR ISI
5 Dari Redaksi
6 Urgensi Peran Profesionalisme Polri dalam Praktik
Demokrasi Lokal
Muradi
18 Persiapan Polri Menghadapi Pilkada 2018 dan Pilpres
2019
Tb. Ronny Rachman Nitibaskara
24 Pemilukada dalam Kerangka Negara Demokrasi
Pancasila
Bambang Widodo Umar
32
Pilkada, Pelayanan Publik dan Tugas Polisi
Adrianus Meliala
36 Program Promoter Kapolri dalam rangka Mewujudkan
Profesionalisme Polri
Aris Cai Dwi Susanto
46 Efektivitas Pelaksanaan Program Kerjasama Polri dengan
JICA di Bidang Polmas
A. Wahyurudhanto
62 Penerapan Mediasi Penal dalam Perkara Kecelakaan Lalu
Lintas yang Melibatkan Keluarga Inti
Ari Prayitno
Resensi buku
72 Heroik; Penumpasan Teroris di Bumi Wali
Eko Budiman
Sebagai media yang mengkhususkan pada kajian tentang kepolisian memang kami harus
mengakomodir banyaknya persoalan yang muncul dalam dinamika tugas polisi. Dinamika masyarakat
yang berkembang dengan cepat telah memberikan tantangan tersendiri bagi tugas-tugas kepolisian.
Di satu sisi tantangan tersebut dapat memberikan kontribusi kesan positif dari masyarakat, namun di
sisi lain bisa jadi justru memunculkan kontroversi yang dapat berujung pada kesan negatif terhadap
polisi.
Untuk edisi pertama di tahun 2018 ini, sejumlah tulisan mengisi diskusi kita melalui Jurnal Ilmu
Kepolisian. Tulisan utama kami hadirkan tentang Pilkada untuk menyambut tahun 2018 sebagai
tahun politik dimana tahun ini terdapat sejumlah Pilkada Serentak, dimana Polri bertanggung-
jawab untuk menjaga agar pelaksanaan pesta demokrasi kali ini berlangsung dengan aman dan
damai. Selain itu terdapat juga tulisan mengenai restorative justive dan hasil penelitian mengenai
efektivitas kerjasama Polri dengan JICA di bidang Polmas. Resensi buku pada edisi ini mengulas
buku yang berisi mengenai kinerja satuan kewilayahan dalam melaksanakan salah satu tugas operasi,
yaitu penanganan terorisme.
Seperti sudah menjadi sikap kami untuk mengakomodasi semua pemikiran yang berkaitan
dengan ilmu kepolisian, namun kami tegaskan bahwa tidak semua tulisan yang dimuat mencerminkan
pendapat redaksi, tetapi kami akan selalu berusaha menempatkan diri sebagai moderator. Sehingga
melalui diskusi di Jurnal Ilmu Kepolisian ini kami ingin mendudukan persoalan pada proporsi yang
tepat. Tentu saja ada pro dan kontra dari berbagai pendapat yang muncul dalam tulisan-tulisan di
Jurnal Ilmu Kepolisian, namun justru semakin ragam pendapat akan semakin memberikan kontribusi
pada pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan ilmu kepolisian.
Sidang pembaca yang terhormat. Akhir kata, kami ingin agar Jurnal Ilmu Kepolisian semakin
lama akan semakin mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi para pembaca. Sebagai media
informasi dan forum pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan studi Ilmu Kepolisian,
kami berharap dari sini akan terakomodasi diskusi tentang pemikiran-pemikiran bagi kemajuan
Polri dan bagi kepentingan masyarakat. Memang tiada gading yang tak retak, mohon maaf kalau
masih ada kekurangan. Selamat membaca dan terimakasih.
Salam dari kami,
Redaksi.
Abtract:
The link between the police and politics is factually inevitable, even in many countries, the position of
the police is closeness and tends to coincide with politics. In the context of Indonesia, after separation from the
TNI, the Police is faced with efforts to build a professional police force. This effort to promote professionalism
encourages the Police to improve institutions and personnel, especially in responding to the political dynamics
in the vortex of democracy. This paper will analyze about how the Police linkages as a related institution
in the implementation of local elections. The emphasis in this paper is how the Police is able to perform its
roles and functions professionally. The role of the Police professional is marked by three indicators, namely:
First, the process of law enforcement conducted by the Police must not interfere with the contestation of local
elections; secondly, ensuring that the role and function of the Police in securing local elections does not benefit
one of the contestants, especially incumbent; and thirdly, the Police is in a neutral position and remains in an
impartial position and leaning towards one of the contestants.
Abstrak :
Hubungan antara polisi dan politik secara faktual tidak dapat dihindari, bahkan di banyak
negara, kedudukan polisi adalah kedekatan dan cenderung bertepatan dengan politik. Dalam konteks
Indonesia, setelah berpisah dari TNI, Polisi dihadapkan dengan upaya untuk membangun kekuatan
polisi yang profesional. Upaya untuk meningkatkan profesionalisme ini mendorong kepolisian untuk
meningkatkan institusi dan personel, terutama dalam menanggapi dinamika politik dalam pusaran
demokrasi. Makalah ini akan menganalisis tentang bagaimana hubungan Polisi sebagai institusi
terkait dalam pelaksanaan pemilihan lokal. Penekanan dalam makalah ini adalah bagaimana Polisi
mampu menjalankan peran dan fungsinya secara profesional. Peran profesional Polisi ditandai oleh
tiga indikator, yaitu: Pertama, proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Polisi tidak boleh
mengganggu kontestasi pemilihan lokal; kedua, politik.2 Figure Budi Gunawan dianggap terlalu
memastikan bahwa peran dan fungsi Polisi dekat dengan Ketua Umum PDI Perjuangan,
dalam mengamankan pemilihan lokal tidak Megawati Soekarnoputri dianggap menjadi
menguntungkan salah satu kontestan, terutama kekuatiran publik atas praktik penegakan
petahana; dan ketiga, Polisi berada dalam posisi hukum Polri tidak lagi professional. Meski
netral dan tetap dalam posisi tidak memihak dan Budi Gunawan menang dalam Pra Peradilan,
condong ke arah salah satu kontestan. namun hal tersebut tidak membuat posisi Budi
Gunawan melenggang memimpin Polri, karena
desakan publik terlanjur mengubah persepsi
Kata Kunci: Polri, Profesionalisme, Pilkada, umum terkait dengan warna politik Budi
Demokrasi, Netralitas Gunawan yang dianggap kental dan condong
ke PDI Perjuangan, yang akan mempengaruhi
kinerja Polri secara keseluruhan.3
I. Pendahuluan
Budi Gunawan adalah satu dari banyak
Keberadaan institusi kepolisian dalam
kasus yang mencuat karena Tarik menarik
politik praktis kerap kali mengundang perdebatan
kekuatan politik. Di era presiden sebelumnya
serius. Setidaknya bila di bandingkan dengan
bahkan langkah memaksakan calon di luar
sejumlah Negara yang memosisikan institusi
nama yang diusulkan oleh internal Polri juga
kepolisian semata hanya menjadi bagian dari
pernah dilakukan. Hal ini adalah bagian dari
instrumen penegakan hukum. Hal yang berbeda
kuasa presiden sebagai kepala Negara dalam
jika dibandingkan dengan insitusi kepolisian di
mengajukan nama-nama yang ingin diposisikan
Negara di mana posisi institusi kepolisian juga
sebagai kapolri. Publik mungkin masih ingat
memiliki akses politik atau setidaknya memiliki
bagaimana langkah ‘zig zag’ Timur Pradopo
daya tawar politik dalam dinamika sebuah
yang dalam hitungan hari bisa menjadi perwira
Negara. Bahkan dalam fase tertentu, kepolisian
tinggi Polri bintang empat dan tidak pernah
kerap kali beririsan dan berhadap-hadapkan
diperhitungkan di internal Polri. Indikasinya
dengan institusi militer, yang mana selama ini
adalah nama Timur Pradopo tidak diajukan dan
posisi keduanya memiliki daya tawar politik
masuk pembahasan Dewan Kepangkatan dan
yang relative besar.1
Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) saat itu.4 Di era
Dalam konteks ke Indonesiaan, anggapan Orde Baru, intervensi dan kontrol pemerintah
bahwa Polri tidak berjarak dengan pemerintah atas Polri jauh lebih brutal dan tanpa perlawanan,
terus mengemuka. Hal ini ditandai dengan baik dari masyarakat sipil maupun internal Polri
proses pergantian pimpinan Polri yang dianggap sendiri. Apalagi saat ini Polri masih bersama
penuh dengan kepentingan politik pemerintah. TNI dalam format ABRI. Hampir tidak ada
Kegagalan Budi Gunawan akibat ditetapkan perlawanan ataupun pertimbangan dari internal
sebagai tersangka oleh KPK sebagai Kapolri untuk bisa setidaknya membuat posisi internal
meski diajukan oleh Presiden dan kemudian tidak gaduh. Pada kondisi terburuk, posisi Polri
disetujui oleh DPR dalam uji kelayakan menjadi 2 Kompas.com.(2018). “Budi Gunawan Calon kapolri Terkaya, Hartanya
Lebih dari Rp. 22,7 M”. Dikutip dari: https://nasional.kompas.com/
penegas, bagaimana posisi Polri dianggap tidak read /2016/0 6/14/0724 0301/ bud i.g unawan.ca lon.k apol r i.terk aya.
cukup bisa dikatakan bebas dari kepentingan 3
hartanya.lebih.dari.rp.22.7.m (diunduh 1 April 2018).
Detik.com. (2018). “Calon Kapolri Komjen Budi Gunawan Titipan
Megawati, Ini Jawaban PDIP” Dikutip dari: https://news.detik.com/
berita/2800675/calon-kapolri-komjen-budi-gunawan-titipan-megawati-
1 Lihat misalnya Bayley, David H. (August 1971). “The Police and Political ini-jawaban-pdip?9911012= (diunduh 1 April 2018).
Change in Comparative Perspective”. Law and Society Review. Hal. 91- 4 Kompas.com. (2018). “Ini Dia Sosok Timur Pradopo”. Dikutip dari: https://
119 Beltran, Adriana. (June 2009). Protect and Serve? The Status of Police nasional.kompas.com/read/2010/10/04/20123528/Ini.Dia.Sosok.Timur.
Reform in Central America. Washington: WOLA. Terutama Bab 1. Pradopo (Diunduh 1 April 2018).
bahkan menjadi subordinat TNI kala itu, di praktik kecurangan, tidak mengarahkan publik
bawah kewenangan Menhankam yang juga maupun keluarga besar Polri untuk memilih
panglima ABRI.5 salah satu kandidat, dan yang ketiga adalah tidak
memperbolehkan fasilitas yang dimiliki Polri
Keterkaitan Polri dengan politik di
untuk kepentingan kampanye politik.
tingkat lokal jauh lebih memiliki daya tawar
politik yang lebih. Dengan instrumen penegakan
II. Polisi dan Politik
hukum yang melekat, membuat Polri cenderung
berada dalam posisi yang mengendalikan Suatu lembaga kepolisian dapat
pola hubungan yang terbangun. Sistem didefinisikan sebagai badan pemerintah yang sah
pemilihan umum di tingkat lokal yang berbiaya yang diberi wewenang untuk menjaga ketertiban,
tinggi membuat posisi kepala daerah rentan mencegah kejahatan, dan menegakkan hukum-
penyalahgunaan kewenangan dan korupsi. Pada hukum pemerintah. Dengan kata lain, institusi
kondisi itulah posisi Polri mengontrol situasi dan kepolisian memastikan bahwa pemerintah tetap
pola hubungan antar Polri dengan kepala daerah.6 menjadi entitas yang stabil dan terhormat dalam
pada situasi yang lebih ekstrem, bahkan kepala masyarakat. Secara konsep, jangkauan polisi
daerah yang terduga melakukan penyalahgunaan tidak mengecualikan siapa pun dalam penegakan
kekuasaan dan korupsi dijadikan ‘ATM Berjalan’ hukum. Kenyataannya, pengaruh politik atas
oleh oknum aparat penegak hukum.7 polisi tidak memungkinkan terwujudnya
teori ini. Politik adalah seni mengerahkan
Tulisan ini akan menganalisis tentang
kekuatan seseorang atas pemerintah atau urusan
bagaimana kaitan Polri sebagai institusi terkait
publik. Tindakan politik dapat menghasilkan
dalam pelaksanaan Pilkada. Penekanan dalam
memaksakan kepentingan seseorang di dalam
tulisan ini adalah bagaimana institusi kepolisian
pemerintahan, dalam kepemimpinan di dalam
mampu menjalankan peran dan fungsinya secara
pemerintahan, mengendalikan sumber daya, dan
professional. Peran professional Polri tersebut
memegang jabatan pemerintah.
ditandai dengan tiga indicator, yakni: Pertama,
proses penegakan hukum yang dilakukan Dilema terkait dengan “apa yang diinginkan
oleh Polri tidak boleh mengganggu kontestasi publik” dengan apa yang seharusnya “diinginkan
pelaksanaan Pilkada; kedua, Memastikan bahwa oleh publik” terkait dengan kepentingan
peran dan fungsi Polri dalam pengamanan nasional jangka panjang, dan “kepentingan
Pilkada tidak menguntungkan salah satu dari politik” dari polisi itu sendiri. Karena itu,
kontestan yang ada, terutama Petahana; dan kepolisian dihadapkan pada dilema apakah akan
ketiga, institusi Polri berada dalam posisi yang memimpin opini publik atau mengikutinya,
netral dan tetap berada dalam posisi yang tidak apakah untuk mencegah dan mengurangi
berpihak dan condong ke salah satu kontestan. kejahatan atau berkonsentrasi untuk mengejar
Ada tiga hal yang perlu digarisbawahi berkaitan pelanggar, sementara harapan pemerintah dan
dengan netralitas institusi keamanan dan publik sering tetap ambigu dan dalam fase
penegak hukum, termasuk Polri, yakni, tidak tertentu justru berlawanan. Karena itu dalam
melakukan pembiaran terkait dengan terjadinya dua situasi harus berbeda karena hubungan
kuat antara polisi dan Negara menjadi penegas,
5 Muradi. (2010). Polisi, Politik & Korupsi. Bandung: PSKN Unpad. Hal. 34-
7.
tetapi bahkan jika konvensi berbeda, khususnya
6 Muradi. Ibid. hal. 23-5. dalam hal intervensi publik pada masalah
7 Muradi. Ibid. Hal. 26-8. Lihat juga Harian Haluan.com. (2018). “Kepala
Daerah Rawan Dijadikan ATM Aparat Penegak Hukum”. Dikutip dari: kontroversial yang dianggap mengancam
https://harianhaluan.com/mobile/detailberita/37001/kepala-daerah-
rawan-dijadikan-atm-aparat-penegak-hukum (Diunduh 2 april 2018). kepentingan nasional. Institusi polisi, seperti
halnya sebagai bagian yang menjalankan fungsi rentan terhadap praktik-praktik penyimpangan
Keamanan dalam Negeri, harus menampilkan seperti penyalahgunaan kewenangan kepolisian,
watak profesionalismenya dan publik berhak korupsi, serta penggunaan tindak kekerasan.10
menilai. Karena, kepemimpinan profesional Masalah kepercayaan menjadi titik rawan bagi
harus mampu menegaskan dirinya, dan tidak kepolisian dalam memainkan perannya dalam
boleh hilang dan publik kehilangan figure kepala perpolitikan nasional di suatu negara. Goldsmith
kepolisiannya. Polisi berhak menangani sebuah secara khusus menggarisbawahi faktor
kasus tetapi harus berhati-hati dalam berpihak kepercayaan public terhadap lembaga kepolisian
pada jebakan politik yang mengarahkan institusi juga menentukan tingkat akseptabilitas politik
kepolisian pada kepentingan politik tertentu. lembaga tersebut dalam system politik yang
tengah berubah. Dalam banyak kasus di
Kepolisian di banyak negara memiliki posisi
Asia dan Afrika, permasalahan kepercayaan
tawar politik yang berbeda dalam perpolitikan
public terhadap lembaga kepolisian menjadi
setiap negara. Hal tersebut tergantung dari
problematika tersendiri bagi internal lembaga
bagaimana lembaga kepolisian setiap negara
tersebut untuk mengikuti irama politik rejim
memposisikan atau diposisikan dalam system
yang berkuasa hingga pada internalisasi nilai-
perpolitikan nasional. Banyak dari para peneliti
nilai perpolisian demokratik.11
terkait dengan polisi dan politik membaginya ke
dalam beberapa faktor yakni: pertama, terkait Keempat, legitimasi politik dan
dengan posisi lembaga kepolisian itu sendiri, akuntabilitas politik lembaga kepolisian. konteks
di mana posisi lembaga kepolisian akan juga ini terkait dengan seberapa eksisnya lembaga
mempengaruhi tingkat daya tawar politik kepolisian di mata elit politik dan masyarakat
lembaga kepolisian terhadap elit politik; apakah secara luas. Hal ini menjadi indicator bagaimana
polisi nasional, polisi federal, ataukah gabungan keberadaan lembaga kepolisian di banyak negara
keduanya, sifat-sifat lembaga kepolisian, latar menjadi begitu penting atau sebaliknya.12
belakang social pimpinan kepolisian, faksi-faksi
Perbedaan dalam faktor-faktor tersebut
yang ada di internal lembaga kepolisian, tingkat
secara alamiah mengikuti tipe-tipe dari rejim yang
profesionalisme, serta peran dan fungsi lembaga
berkuasa; rejim otoriter dan rejim demokratik,
kepolisian itu sendiri.8
hal ini dimaksudkan untuk memahami sebuah
Kedua, proses sejarah pembentukan pergantian rejim dari rejim otoriter menjadi
dari lembaga kepolisian. sebagaimana militer, sebuah rejim yang demokratik. Hal tersebut juga
kepolisian juga memiliki tradisi sejarah yang dimaksudkan untuk memahami bagaimana tipe-
menjadi titik daya tawar kepolisian secara politik, tipe rejim tersebut dapat terdefinisikan. Dengan
baik langsung maupun tidak langsung, serta begitu akan makin memahami bagaimana posisi
seberapa besar pengaruh dan intervensi institusi kepolisian dalam politik, dengan berbagai faktor
militer ke dalam lembaga kepolisian.9 dan tipe-tipe rejim yang membawahinya.
Ketiga, citra lembaga kepolisian di mata Diamonds (1999) dan Geddes (1999)
masyarakat. sebagai lembaga yang berhubungan membagi rejim otoriter menjadi tiga bagian:
laingsung dengan masyarakat, kepolisian sangat Rejim Partai-Tunggal; Rejim Militer, dan Rejim
10 Hinton, Mercedes S. (2006). The State on the Street: Police and Politics in
8 Bailey, Jhon and Lucia Dammert. (2006). Public Security and Police Reform Argentina and Brazil. Colorado: Lynne Rienner Publisher. Hal. 3-5.
in the Americas. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press. Hal. 6-11. 11 Goldsmith, Andrew. (2005). Police Reform and the Problem of Trust.
9 Seleti, Yonah. (Jun, 2000). The Public in the Exorcism of the Police in Theoretical Criminology. Vol. 9, No. 4. Hal. 443-470.
Mozambique:Challenges of Institutional Democratization. Journal of 12 Uildriks, Niels and Piet Van Reenen.(2003). Policing Post-Communist
Southern African Studies. Vol. 26, No. 2, Special Issue: Popular Culture Societies: Police-Public Violence, Democratic Policing, and Human Rights.
and Democracy. Hal. 349-364. Intersentia: Antwerp. Khususnya Bab 1.
personal.13 Ketiganya merupakan inti dari sekian menentukan kadar dan tingkat kooptasi militer
variasi rejim otoriter yang ada di dunia. Bahkan terhadap rejim yang dijalankan atau dipengaruhi
dalam beberapa konteks tertentu, gabungan atau dan dikontrol.16
irisan antara ketiga rejim tersebut disebut juga
Sedangkan rejim personal terdefinisikan
sebagai Hybrids Regime.14
sebagai “personalist regimes as ones in which the
Rejim Partai-Tunggal didefiniskan leader, who usually came to power as anofficer
sebagai “the party has some influence over policy, in military coup or as leader of a single-party
controls most access to political power and government , had consolidated control over
government jobs, and has functioning local-level policy and recruitment in his own hands, in the
organizations”.15 Definisi tersebut mencakup process marginalizing other officers influence
sebagian besar dari kepartaian dan anggotanya and or reducing the influence and functions of
secara inheren merupakan pegawai pemerintah the party”.17 Sebagaimana model kepemimpinan
yang menjalankan roda pemerintahan dari yang absolute, rejim personal ini memusatkan
tingkat pusat hingga daerah. Meski ada kekuasaannya ada pada perseorangan yang
partai politik lain, tapi biasanya merupakan mengontrol semua kebijakan dan mekanisme
penggembira saja, tidak memberikan efek suatu negara.
apapun secara politik. Dengan kata lain, rejim
Dari ketiga model rejim otoriter tersebut,
partai tunggal merupakan actor satu-satunya
peran dan posisi lembaga kepolisian cenderung
yang mampu mengontrol kekuasaan politik dan
menjadi sub-ordinate dari kekuasaan. Perbedaan
tugas-tugas pemerintahan. Di banyak negara
yang mencolok antara kepolisian dan militer
Afrika dan Asia, keberadaan rejim partai tunggal
adalah pada bagaimana posisi militer yang secara
dijadikan sebuah legitimasi untuk menjaga
actor kelembagaan mampu mengambil proporsi
persatuan nasional, dan mencegah munculnya
peran yang relatif strategis dari pada kepolisian.18
sentiment keetnisan yang akan mengancam
Bahkan pada kadar tertentu, lembaga kepolisian
masyarakat dan keutuhan negara.
menjadi sub-ordinate dari militer, baik sebagai
Sementara itu rejim militer didefinisikan bagian utama rejim yang memerintah, ataupun
sebagai “governed by an officer or retired officer, with sebagai kepanjangan tangan dari rejim yang
the support of the military establishment and some tengah berkuasa. Dalam konteks inilah
routine mechanism for high level officers to influence sesungguhnya dapat dilihat bagaimana kultur
policy choice and appointment”. Mengacu pada yang terbangun dalam lembaga kepolisian akan
Finer (1962), Parmutter (1971), dan Huntington cenderung mengikuti kultur penguasa yang
(1988), bahwa kepentingan korporasi militer tengah memerintah.19
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
sebuah rejim militer dalam system yang autokratis.
16 Finer, S. E. (1988). The Man on the Horseback: The Role of the Military in
Dalam pengertian bahwa kepentingan korporasi Politics. London: Printer Publishers. Hal. 149-151. Perlmutter, Amos.
(1977). The Military and Politics in Modern Times: On Professionals,
militer yang terejahwantahkan ke dalam sosok Praetorians, and Revolutionary Soldiers. New Haven: Yale University Press.
pp. 104-108. Huntington, S. P. (1988). The Soldier and the State: the theory
perwira yang terlibat aktif dalam pemerintahan and Politic of Civil-Military Relations. Cambridge: Harvard University
Press.
17 Ulferder, Jay. (2005). Contentious…, Pp. 310-334. See also Linz, Juan
13 Diamond, Larry. (1999). Developing Democracy: Toward Consolidation. J. and Alfred Stephan. (1996). Problems of Democratic Transitions and
Baltimore: Jhon Hopkins University Press. Geddes, Barbara.(1999) as Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe.
quoted in Ulfelder, Jay. (2005). Contentious Collective Action and the Baltimore: Jhon Hopkins University Press. Hal. 51-4.
Breakdown of Authoritarian Regimes. International Political Science, Vol. 18 Call, Charles T. (Nov,2003). Democratisation, War and State-
26. No.3. Hal. 311-334. Building:Constructing the Rule of Law in El Salvador. Journal of Latin
14 Ulferder, Jay. (2005). Contentious…, Hal. 310-334. American Studies, Vol. 35, No. 4. Hal. 827-862.
15 Linz, Juan J. and Alfred Stephan. (1996). Problems of Democratic Transitions 19 Henry Bienen, “The Initial Involvement: Public Order and Military in
and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Africa”, in Bienen, Henry (ed). (1968). The Military Intervenes: Case Study
Europe. Baltimore: Jhon Hopkins University Press. Hal. 12-14. in Political Development. New York. Hal. 37-9.
Kebalikan dari rejim otoriter sebagaimana bukan tidak pernah terjadi. Bahkan secara
pembahasan di awal, maka pada rejim terbuka kepolisian dan juga militer diajak
demokratik, otoritas sipil tidak hanya sekedar untuk mendukung rejim yang berkuasa agar
symbol melainkan juga dipilih dalam mekanisme kekuasaannya dapat dipegang selama mungkin.22
demokratik yang terbuka dan terawasi oleh Hal yang paling krusial dari konteks ini adalah
public. Secara umum definisi demokrasi bisa bahwa keberadaan actor-aktor negara di bidang
diartikan sebagai: keamanan, khususnya kepolisian cenderung
rentan oleh adanya tekanan public untuk lebih
a system where most powerful collective
baik dalam menjalankan peran dan fungsinya
decision makers are selected through
sebagai salah satu dari institusi keamanan.23
fair, honest, and periodic elections in which Sementara di sisi lain, oportunitas para perwira
candidate freely compete for votes and which kepolisian dalam merengkuh karir menjadi
virtually all the adult population is eligible pengkondisian yang sinergis dengan adanya
to vote.20 intervensi pemerintah maupun militer ke dalam
internal kepolisian dalam rejim demokratik.24
Dalam rejim demokratik, posisi lembaga Dalam konteks tersebut di atas, pola
kepolisian tidak lagi menjadi kepanjangan hubungan antara lembaga kepolisian dengan
tangan dari penguasa atau dibawah sub-ordinate pemerintah dan militer dalam konteks
militer, sebagaimana yang terjadi pada tiga tersebut bervariasi. Kebanyakan upaya untuk
model rejim otoriter. Di samping itu, posisi melakukan intervensi dari pemerintah adalah
lembaga kepolisian juga relatif sederajat dengan pada tiga hal yakni: pengangkatan pimpinan
militer, sehingga upaya untuk memosisikan kepolisian, meminta dukungan keamanan untuk
kepolisian di bawah control dan kendali militer melanggengkan kekuasaan, serta membangun
relatif tertutup oleh adanya mekanisme control keseimbangan kekuasaan, khususnya tekanan
dan pengawasan dari parlemen dan public dari pihak militer pada kekuasaan.25 Sedangkan
secara langsung. Meski demikian bukan berarti upaya militer untuk mengkooptasi dan mensub-
langkah-langkah untuk mengintervensi dan ordinat lembaga kepolisian dilakukan karena tiga
atau berupaya memosikan kepolisian di bawah alasan: permintaan eksekutif untuk membantu
militer atau menjadi kepanjangan tangan lembaga kepolisian dalam memerangi kejahatan,
kekuasaan tidak terjadi. Dalam konteks transisi sentiment kelembagaan karena pasca pemisahan
demokrasi di beberapa negara Asia, Afrika, dan kepolisian lebih memiliki tingkat kesejahteraan,
Amerika Latin upaya tersebut dilakukan melalui dan kemampuan administrator dan operasional
mekanisme pembuatan undang-undang yang kepolisian pasca pemisahaan masih belum baik.
mengarahkan posisi lembaga kepolisian berada Adapun bentuk-bentuk intervensi dan langkah
di bawah bayang-bayang militer.21
22 Kincaid, Douglas A. and Eduardo Gamarra. 1994. Police-Military
Relations. In L. Erk Kjonnerud (ed). Hemispheric Security in
Di samping itu, intervensi rejim Transition:Adjusting to the Post-1995 Environment. Washington D.C:
National Defense University. Hal. 149-167.
demokratik terhadap internal kepolisian 23 Kincaid, Douglas A. (Winter, 2000). Demilitarization and Security in
El Salvador and Guatemala Convergent of Success and Crisis. Journal of
InteramericanStudies and World Affairs. Vol. 42,No. 4. Special Issue:
20 Huntington, S.P. (1991). The Third Wave: Democratization in the Late Globalization and Democratization in Guatemala. Hal. v-58.
Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press. Hal. 6-7. 24 For example Skolnick, J.H. (1966). Justice Without Trial. Law Enforcement in
21 For example see Call, Charles T. (Nov, 2003). Democratisation, War and Democratic Society. New York: Wiley. Skogan, W.G. (2008). Why Reform
State Building: Construction the Rule of Law in El Salvador. Journal of Fail. Policing and Society. Vol. 18, No. 1. Hal. 23-34.
Latin American Studies. Vol. 35, No. 4. Hal. 827-862. Seleti, Yonah. 25 Beltran, Adriana. (June 2009). Protect and Serve? The Status of Police
(Jun, 2000). The Public in the Exorcism of the Police in Mozambique: Reform in Central America. Washington: WOLA. Pp.15-21. de Fransisco
Challenges of Institutional Democratization. Journal of Southern African Z, Gonzalo. “Armed Conflict and Public Security in Colombia” in Bailey,
Studies, Vol. 26, No. 2, Special Issue: Popular Culture and Democracy. Jhon and Lucia dammert. (2006). Public Security and Police Reform in the
Hal. 349-364. Americas. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press. Hal. 94-110.
untuk mensub-ordinasikan kepolisian oleh yang ada bertanggung jawab langsung Mabes
militer dilakukan dengan tiga cara: Pendekatan Polri, tidak ke kepala daerah maupun DPRD.28
perundang-undangan, kebijakan eksekutif
Kedua, Berkaitan dengan pendanaan yang
terkait perbantuan kepada lembaga kepolisian,
membatasi ruang gerak pengamanan. Pendanaan
dan kudeta militer.26
untuk pengamanan Pilkada misalnya menguras
keuangan internal Polri. Namun perubahan
III. Urgensi Profesionalisme Polri dan kebijakan membuat posisi Polri secara keuangan
untuk pengamanan Pilkada relative baik.
Pelaksanaan Pilkada
Pendanaan pengamanan untuk aparat keamanan
Pada pelaksanaan Pilkada langsung sejak
masuk dalam skema pendanaan politik yang
2005 hingga pelaksanaan Pilkada 2018, banyak
berasal dari APBN maupun APBD. Akan tetapi,
hal yang berubah dan membuat posisi institusi
hal ini juga terkendala dengan kemampuan
Polri melakukan penyesuaian, baik secara
keuangan dari masing-masing daerah. karena
kelembagaan maupun personil. Dari pelaksanaan
itu menjadi tidak mengherankan jika di daerah
Pilkada Langsung tersebut, ada tiga hal yang
dengan kemampuan keuangan terbatas justru
kerap kali menjadi permasalahan bagi Polri, yakni:
memiliki tingkat kerawanan politik yang tinggi.
Pertama, menyangkut soal maneuver oknum
Pada kondisi ini Polri juga dihadapkan pada
anggotanya dalam memanfaatkan hajat politik
pengamanan Pilkada yang prima, karena itu
lima tahunan tingkat provinsi dan kabupaten
pendanaan ekstra untuk pengamanan juga kerap
kota. Hal ini berkaitan dengan pengawasan
menjadi konsern dari pimpinan Polri.29
yang lebih intensif dan berlapis. Jika di tingkat
nasional, posisi personil Polri di awasn tidak Ketiga, kerja sama dan koordinasi
hanya oleh atasan, maupun internal Polri seperti dengan instansi terkait, seperti Kejaksaan, TNI
Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) dan Badan Intelijen Nasional (BIN). Dalam
maupun Divisi Profesi dan Pengamanan (Div. sejumlah kasus, kerap kali oknum dari Kejaksaan,
Propam), tapi juga oleh Komisi Kepolisian TNI maupun BIN memiliki kepentingan politik
Nasional (Kompolnas) dan juga dalam derajat tertentu untuk memenangkan kandidatnya pada
tertentu oleh parlemen, terutama Komisi 3 Pilkada langsung. Hal inilah yang membuat
DPR RI. Sementara di tingkat daerah, baik posisi Polri menjadi dilemma karena berbenturan
provinsi maupun kabupaten/kota instrument dengan kepentingan instansi lain dengan agenda
pengawasan hanya ada di internal, tidak ada yag berlawanan.30
Kompolnas maupun parlemen. Keberadaan
parlemen daerah lebih banyak sebagai mitra, Dari tiga permasalahan yang dihadapi
sebagaimana posisi Kepala Satuan Wilayah oleh Polri dari tiap pelaksanaan Pilkada sejak
(Kasatwil) dengan kepala daerah.27 situasi ini 2005, maka dibutuhkan langkah yang lebih
juga dipertegas dengan keberadaan Polri sebagai tegas dan tepat untuk tetap menjaga agar
instansi vertical yang mana posisi dari Satwil 28 Lihat UU Pemerintahan Daerah No. 23/2014, khususnya Pasal 19. Lihat
juga Kemendagri.go.id. (2018). TNI, Polri dan Kejaksaan Bakal dapat
26 Meyer, Maureen and Roger Atwood. (June 29, 2007). “Reforming the Dana Bantuan APBD”. Dikutip dari: http://www.kemendagri.go.id/
Ranks: Drug-Related Violence and the Need for Police Reform in Mexico”. news/2015/12/17/tni-polri-dan-kejaksaan-bakal-dapat-dana-bantuan-
Position Paper. Washington; WOLA. Rodrigues, Corrine Davis. (2006). apbd (Diunduh 2 april 2018).
Civil Democracy, Perceived Risk, and Insecurity in Brazil: An Extension 29 Lihat misalnya. CNNIndonesia.com. (2018). “Polisi Fokus Amankan
of the Systenic Social Control Model.. The ANNALS of the American Lima Daerah rawan Konflik Pilkada 2018”. Dikutip dari: https://www.
Academy of Political and Social Science; 605. Hal. 242-263. Loe, Chyntia cnnindonesia.com/nasional/20171127180829-20-258436/polisi-fokus-
H. (1977). Police and Military in Resolution of Ethnic Conflict. The amankan-lima-daerah-rawan-konflik-pilkada-2018 (Diunduh 2 April
ANNALS of the American Academy of Political and Social Science; 433. 2018).
Hal. 137-149. 30 Lihat misalnya. Tempo.co. (2018). “Netralitas Jaksa Dianggap Krusial
27 Pandupraja, Adnan. (2002). Peran Polri dengan Otonomi Daerah. Dikutip di Masa Pilkada”. Dikuti dari: https://pilkada.tempo.co/read/1054313/
dari: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5086/peran-polri- netralitas-jaksa-dianggap-krusial-di-masa-pilkada (Diunduh 3 April
dengan-otonomi-daerah (Diunduh 2 April 2018). 2018).
profesionalisme Polri dalam pelaksanaan Pilkada institusi kepolisian juga bagian dari instrumen
dapat terukur dan dijadikan pijakan untuk demokrasi. Selain aktif dalam Sentra Gakumdu,
kepentingan profesionalisme Polri. Dengan Polri juga berinisiatif membentuk Satgas Anti
tiga permasalahan tersebut diatas dan tiga Politik Uang, yang muaranya adalah penguatan
indicator sebagaimana yang diuraikan di awal, demokrasi. Satgas Anti Politik Uang ini bagian
maka profesionalisme Polri secara operasional dari inisiatif Polri sebagai institusi penegak
dapat dilihat pada tujuh hal yang menjadi hukum yang berkontribusi untuk penguatan
perhatian Polri, yakni: Pertama, kebijakan dalam demokrasi.34
bentuk diskresi kepolisian. Diskresi kepolisian
Ketiga, efektifitas pengamanan hajat
ini khususnya terkait dengan menghentikan
politik demokrasi. Langkah Polri untuk
penanganan kasus untuk sementara waktu yang
tetap berada dalam posisi konsentrasi untuk
melibatkan kepala daerah dan atau kandidat
pengamanan akan memberikan efek positif bagi
yang maju dalam pilkada langsung. Langkah ini
penguatan profesionalisme Polri. Sejauh ini,
dinilai sebagai bagian dari kebijakan pimpinan
upaya memperkuatprofesionalisme Polri adalah
yang berorientasi pada menjaga jarak dari
dengan memastikan bahwa Pilkada berlangsung
kontestasi politik. Pada fase ini juga Polri akan
aman dan publik dapat menyalurkan aspirasi
memiliki fokus pada penanganan pengamanan
politiknya dan bebas dari tekanan dan ancaman.
pelaksanaan Pilkada.31penekanan ini juga
Sebagaimana diketahui bahwa intimidasi dan
selain memastikan bahwa Polri tidak dianggap
ancaman kepada pemilih kerap kali terjadi dan
melakukan kriminalisasi, ke internal juga
dilakukan, bahkan di Negara dengan tradisi
mengurangi kemungkinan penyimpanan yang
demokrasi yang baik. Oleh karena itu, upaya
dilakukan oleh internal di Polri sendiri.32
memastikan bahwa pemungutan suara berjalan
Kedua, efektifitas penegakan hukum dengan aman dan kondusif menjadi ukuran
kepemiluan. Pada konteks ini, Polri berada sejauhmana Polri dapat bekerja dengan baik dan
dalam Sentra Gakumdu bersama kejaksaan professional.35
dan juga Bawaslu. Efektifitas penegakan
Keempat, deklarasi dan melakukan ikrar
hukum kepemiluan ini juga menjadi bagian
netral dari institusi terkait. Deklarasi dan ikrar
dalam tiga indicator sebagaimana penjelasan
adalah bagian dari penegasan bahwa Polri sebagai
di awal.33 Karena itu, Polri tidak lagi merasa
institusi berkomitmen untuk tidak berupaya atau
bahwa penegakan hukum kepemiluan memiliki
membiarkan personil dan anggotanya bersikap
nilai strategis sebagai bagian dari penguatan
dan berlaku tidak netral. Meski secara institusi
demokrasi. Praktik politik yang sehat dan baik
Polri dilarang untuk aktif dan terlibat dalam
akan menguatkan demokrasi, secara faktual
politik praktis, sebagaimana yang ditegaskan
hal ini juga ditegaskan dalam implementasi
oleh UU No. 2/2002 tentang Polri, terutama
perpolisian demokratik misalnya, yang mana
Pasal 28, namun penekanan netral dan tidak
31 Tribunnews.com. (2018). “Polri Tak Ingin Dianggap Melakukan terlibat dalam politik praktis bila menggunakan
Kriminalisasi Saat Memanggil Calon Kepala Daerah Bermasalah”.
Dikutip dari: http://www.tribunnews.com/nasional/2018/01/12/polri-tak- pendekatan tiga indicator di awal, maka menjadi
ingin-dianggap-melakukan-kriminalisasi-saat-memanggil-calon-kepala-
daerah-bermasalah (diunduh 3 April 2018).
luas. Karena tidak hanya sebagai personal
32 Lihat misalnya. Okezone.com. (2018). “Kasus yang Libatkan Oknum Polisi
di Papua Turun Drastis di 2017, dari 357 ke 197”. Dikutip dari: https:// 34 Lihat Kompas.com. (2018). “Apa Bedanya Satgas Anti Politik uang
news.okezone.com/read/2017/12/28/340/1836840/kasus-yang-libatkan- dengan Sentra Gakkumdu”. Dikutip dari: https://nasional.kompas.com/
oknum-polisi-di-papua-turun-drastis-di-2017-dari-357-ke-197 (Diunduh read/2018/01/05/08251841/apa-bedanya-satgas-antipolitik-uang-dengan-
3 April 2018). sentra-gakkumdu (Diunduh 4 April 2018).
33 Kompas.com. (2018). “Bawaslu Yakin satgas Politik Uang Tak Tumpang 35 Lihat misalnya Mediaindonesia.com. (2018). “Jangan Ada Intimidasi dan
Tindih Dengan Sentra Gakumdu”. Dikutip dari: https://nasional.kompas. Pemaksaan di Pilkada”. Dikutip dari: http://www.mediaindonesia.com/
com/read/2018/01/09/11565511/bawaslu-yakin-satgas-politik-uang-tak- read/detail/150545--jangan-ada-intimidasi-dan-pemaksaan-di-pilkada
tumpang-tindih-dengan-sentra-gakkumdu (diunduh 4 April 2018). (Diunduh 5 April 2018).
anggota atau personil Polri tapi juga mengacu Politik identitas yang diusung dalam aksi massa
pada kelembagaan Polri itu sendiri. Karena itu tersebut juga membela secara politik publik, yang
menjadi penting penegasan untuk netral dalam mana membuat situasi politik kurang kondusif.
kapasitas kelembagaan dan juga personil. Salah Hal tersebut pada akhirnya merepotkan institusi
satu yang memudahkan bagi personil Polri Polri dalam pengamanan dan penegakan hukum.
adalah adanya buku saku atau panduan terkait
Dan ketujuh, pada praktiknya, peran
dengan hal yang berhubungan dengan peran
dan fungsi Polri secara professional juga harus
dan fungsi Polri dalam pengamanan Pilkada dan
melakukan supervisi pada satuan kerja wilayah
hajat demokrasi lainnya.
yang tengah melakukan Pilkada langsung, atau di
Kelima, tata kelola koordinasi dengan masa yang akan datang, pembentukan pengawas
instansi keamanan dan penegakan hukum secara terpusat agar dapat melakukan langkah-
lainnya. Selain dengan langkah yang bersifat langkah untuk mengantisipasi pelaksanaan hajat
formal dalam bentuk Sentra Gakkumdu, perlu politik bersamaan, mulai demokrasi di tingkat
kiranya Polri mengambil inisiatif melakukan lokal, parlemen di tingkat lokal, parlemen
komunikasi dan koordinasi yang lebih dekat. nasional, baik DPR maupun DPD dan juga
Posisi Polri yang berada di depan sebagai pemilihan presiden. Dalam konteks pelaksanaan
komponen utama pengamanan Pilkada Pilkada yang tengah berjalan, keberadaan
memungkinkan untuk mengambil inisiatif supervisi menjadi titik tolak jangkauan Mabes
dalam membangun komunikasi dan koordinasi Polri untuk memastikan peran dan fungsi dari
dengan institusi keamanan dan penegak hukum, Polri dapat selaras dengan agenda penguatan
baik TNI, BIN, maupun kejaksaan. Sejauh hal demokrasi.
itu dapat dilakukan, maka akan dapat membantu
kondusifitas pelaksanaan hajat politik lima IV. Penutup
tahunan.
Tujuh hal yang berkaitan dengan indicator
Keenam, dalam kerangka penguatan profesionalisme Polri dalam pelaksanaan Pilkada
institusi Polri yang professional, Polri juga terintegrasi dengan tiga indicator, yakni: proses
dapat melakukan langkah-langkah pre-emtif penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri
dan preventif pada pihak-pihak yang cenderung tidak boleh mengganggu kontestasi pelaksanaan
tidak netral dalam pelaksanaan Pilkada, baik dari Pilkada; Memastikan bahwa peran dan
unsur penegak hukum dan keamanan, maupun fungsi Polri dalam pengamanan Pilkada tidak
dari unsur lainnya. Langkah Polri dapat menjadi menguntungkan salah satu dari kontestan yang
bagian untuk kontribusi agar pelaksanaan ada, terutama Petahana; dan ketiga, institusi
Pilkada dapat berlangsung dengan baik. Sejauh Polri berada dalam posisi yang netral dan tetap
ini hal tersebut dapat dilakukan, karena berkaca berada dalam posisi yang tidak berpihak dan
pada sejumlah peristiwa politik, salah satunya condong ke salah satu kontestan. Penekanan
Aksi Bela Islam (ABI) 212 tahun 2016 dan penting berkaitan dengan netralitas Polri adalah
2017.36 Pembelajaran politik yang bisa diambil pada upaya untuk tidak melakukan pembiaran
Polri terkait dengan ABI 212 2016 dan 2017 terkait dengan terjadinya praktik kecurangan,
adalah bahwa arah politik yang berkembang tidak mengarahkan publik maupun keluarga
juga merusak demokrasi secara keseluruhan. besar Polri untuk memilih salah satu kandidat,
dan yang ketiga adalah tidak memperbolehkan
36 Misalnya, lihat bbc.com. (2018). “Reuni Aksi 212 dan Orang-orang Di
dalam Pusarannya, Di mana Mereka sekarang?” Dikutip dari: http://www. fasilitas yang dimiliki Polri untuk kepentingan
bbc.com/indonesia/trensosial-42191751 (Diunduh 6 April 2018).
kampanye politik. Selama hal tersebut dapat
dilakukan oleh Polri, maka menjadi institusi Decalo, Samuel. Mar., 1973. “Military
professional dalam mengawal penguatan Coups and Military Regimes in Africa”. The
demokrasi adalah suatu keniscayaan.
Journal of Modern African Studies,Vol.
11,No. 1. Hal. 105-127.
Daftar Pustaka
Bailey, Jhon and Lucia Dammert. (2006). Dateline. (2009). “Trouble in Thailand:
Public Security and Police Reform in the Americas. Riots, Police Crackdown, Corruption threaten
Pittsburgh: University of Pittsburgh Press. political order, economy” [Online] Available:
http://www.dateline.ucdavis.edu/dl_detail.
lasso?id=10784 (April 17, 2009)
Bayley, David H. (August 1971). “The
Police and Political Change in Comparative Diamond, Larry. 1999. Developing
Perspective”. Law and Society Review. Pp. 91- Democracy: Toward Consolidation. Baltimore:
Jhon Hopkins University Press.
119
Finer, S. E. 1988. The Man on the Horseback:
Beltran, Adriana. ( June 2009). Protect and
The Role of the Military in Politics. London:
Serve? The Status of Police Reform in Central
Printer Publishers.
America. Washington: WOLA.
Goldsmith, Andrew. 2005. Police Reform
and the Problem of Trust. Theoretical Criminology.
Call, Charles T. ( Nov, 2003 ).
Vol. 9, No. 4. Hal. 443-470.
“Democratisation, War and State-
Building:Constructing the Rule of Law in El Harasymiw, Bohdan. ( Jun, 2003). Policing,
Salvador”. Journal of Latin American Studies, Democratization and Political Leadership in
Vol. 35, No. 4. Hal. 827-862. Postcommunist Ukraine. Canadian Journal
of Political Science, Vol. 36, No. 2. Canadian
Carter, H. Marshal and Otwin Marenin. Political Science Association.
1977. “The Police in the Community Henry Bienen, “The Initial Involvement:
Perceptions on a Government Agency in Public Order and Military in Africa”, in Bienen,
Action in Nigeria”. African Law Studies, No. 15. Henry (ed). 1968. The Military Intervenes: Case
Study in Political Development. New York. Pp.
Crouch,Harold. ( Jul., 1979). 37-9.
“Patrimonialism and Military Rule in Indonesia”.
World Politics, Vol. 31, No. 4. de Fransisco Z, Hinton, Mercedes S. 2006. The State on the
Gonzalo. “Armed Conflict and Public Security Street: Police and Politics in Argentina and Brazil.
in Colombia” in Colorado: Lynne Rienner Publisher.
Bailey, Jhon and Lucia dammert. (2006). Hills, Alice. Jun, 1996. “Towards a Critique
Public Security and Police Reform in the Americas. of Policing and National Development in
Pittsburgh: University of Pittsburgh Press. Hal. Africa”. The Journal of Modern African Studies.
94-110. Vol. 34, No. 2. Cambridge University Press.
Relations. Cambridge: Harvard University Press. Government. London: Butler & Tanner.
--------, 1991. The Third Wave: McCoy, Alfred. R. Anderson and Thongchai
Democratization in the Late Twentieth Century. Winichakul (Eds). 2009. Policing
Norman: University of Oklahoma Press.
America’s Empire: The United States, The
Hunter, Wendy. Autumn, 1997. “Continuity Philippines, and the Rise of Surveillance State
or Change? Civil-Military Relations in (New Perspectives in Southeast Asian Studies).
Democratic Argentina, Chile, and Peru”. Wisconsin: University of Wisconsin Press.
Political Science Quarterly, Vol. 112, No. 3.
Meyer, Maureen and Roger Atwood. June
Kalmanowiecki, Laura. Mar., 2000. 29, 2007. “Reforming the Ranks: Drug-Related
“Origins and Aplications of Political Policing in Violence and the Need for Police Reform in
Argentina”. Latin American Perspectives, Vol. Mexico”. Position Paper. Washington; WOLA.
27, No. 2, Violence, Coercion, and Rights in the
Muradi. (2010). Polisi, Politik & Korupsi.
Americas.
Bandung: PSKN Unpad
Kincaid, Douglas A. and Eduardo
Pandupraja, Adnan. (2002). Peran Polri
Gamarra. 1994. “Police-Military Relations”.
dengan Otonomi Daerah. Dikutip dari: http://
In L. Erk Kjonnerud (ed). Hemispheric Security
www.hukumonline.com/berita/baca/hol5086/
in Transition:Adjusting to the Post-1995
peran-polri-dengan-otonomi-daerah
Environment. Washington D.C: National
Defense University. Perlmutter, Amos. 1977. The Military
and Politics in Modern Times: On Professionals,
Kincaid, Douglas A. Winter, 2000.
Praetorians, and Revolutionary Soldiers. New
“Demilitarization and Security in El Salvador
Haven: Yale University Press.
and Guatemala Convergent of Success and
Crisis”. Journal of InteramericanStudies Price, Robert M. (April 1971). “A
and World Affairs. Vol. 42,No. 4. Special Theoritical Approach to Military Rule in New
Issue: Globalization and Democratization in States: Reference Group Theory and Ghanaian
Guatemala. Pp. v-58. case”. World Politics 23.
Linz, Juan J. and Alfred Stephan. Rodrigues, Corrine Davis. 2006. “Civil
1996. Problems of Democratic Transitions and Democracy, Perceived Risk, and Insecurity in
Consolidation: Southern Europe, South America, Brazil: An Extension of the Systenic Social
and Post-Communist Europe. Baltimore: Jhon Control Model”. The ANNALS of the American
Hopkins University Press. Academy of Political and Social Science; 605.
Hal. 242-263.
Loe, Chyntia H. 1977. “Police and Military
in Resolution of Ethnic Conflict”. The ANNALS Robert Shanafelt. 2006. “Crime, Power,
of the American Academy of Political and Social and Policing in South Africa: Beyond Protected
Science. Privilege and Privileged Protection” in Pino,
Nathan and Michael Wiatroski. Democratic
Lobe, Jim and Anne Manuel. Nov., 1987.
Transition in Transitional and Developing
“Police Aid and Political Will: US Policy in El
Countries. London: Ashgate. Hal. 149-164.
Salvador (1962-1987)”. Woshinton: WOLA
Scobell, Andrew. Jan., 1994. “Politics,
Marshall, Geoffrey. 1965. Police and
Skogan, W.G. 2008. “Why Reform Fail. Tanner, Murray Scot. (Oct., 2000).
Policing and Society”. Vol. 18, No. 1. Hal. 23-34. Review: Will the State Bring You Back in?
Policing and Democratization. Comparative
Seleti, Yonah. Jun, 2000. “The
Politics,Vol. 33, No. 1. Hal.104-108 Ulfelder,
Public in the Exorcism of the Police in
Jay. 2005. “Contentious Collective Action and
Mozambique:Challenges of Institutional
the Breakdown of Authoritarian Regimes”.
Democratization”. Journal of Southern African
International Political Science, Vol. 26. No.3.
Studies. Vol. 26, No. 2, Special Issue: Popular
Hal. 311-334.
Culture and Democracy. Hal. 349-364.
Uildriks, Niels and Piet Van Reenen.2003.
Seligson, Mitchell A. May, 2002. “The
Policing Post-Communist Societies: Police-Public
Impact of Corruption on Regime Legitimacy:
Violence, Democratic Policing, and Human Rights.
A Comparative Study of Four Latin American
Intersentia: Antwerp.
Countries”. The Journal of Politics, Vol. 64, No.
2. Hal. 408-433. Wasikhongo, Joab M.N. 1976. “:The Role
and Character of Police in Africa and Western
Shin, Doh Chull and Byong-Kuen Jhee.
Countries: A Comparative Approach to Police
2005. “How Does Democratic Regime
Isolation”. International Journal of Criminology
Change Affect Mass Political Ideology? and Penology 4. Hal. 383-96
A case Study of South Korea in Comparative
Abstract
Many analyzes of research and research are often questioned why Indonesians are easily involved
and provoked by the conflict, including the use of the Pilkada and the Pilpres by irresponsible persons to
cause conflicts among the people. Social conflicts that occur are always related to social tensions that occur in
Indonesia’s plural society. Whereas the apparatus has limitations, both personal and institutional. Therefore,
security issues including the predicted mass anarchy may arise in the 2018 and 2016 PILPRES 2019, it
is not appropriate for each party to impose on the security forces alone. Society including politicians should
help. The aid is primarily to not do the deeds that will lead to and provoke anarchist actions supporting each
candidate.
Abstrak
Banyak analisa berupa riset maupun penelitian yang kerap mempermasalahkan mengapa
masyarakat Indonesia mudah terlibat dan terpancing konflik termasuk dengan dimanfaatkannya
Pilkada dan Pilpres tersebut oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menimbulkan konflik
di antara masyarakat. Konflik sosial yang terjadi selalu berkaitan dengan ketegangan sosial yang
terjadi dalam masyarakat majemuk Indonesia. Padahal aparat mengalami keterbatasan-keterbatasan,
baik secara personal maupun kelembagaan. Oleh karena itu masalah keamanan termasuk anarki
massa yang diprediksi mungkin akan timbul dalam Pilkada 2018 maupun Pilpres 2019 mendatang,
tidak patutlah bila setiap pihak harus membebankan pada aparat keamanan saja. Masyarakat termasuk
politisi harus turut membantu. Bantuan tersebut terutama adalah tidak melakukan perbuatan yang
akan menjurus dan memancing perbuatan anarkis pendukung masing-masing calon.
dan Pilpres tersebut oleh oknum yang tidak perasaan antagonis dan permusuhan di antara
bertanggung jawab untuk menimbulkan konflik anggota kelompok (may help to re-establish unity
diantara masyarakat. and cohesion where it has been threatened by hostile
and antagonistic feeling among the members) dan
Salah satu jawaban pertanyaan diatas
sebagai suatu mekanisme untuk menata ulang
mungkin dapat dilihat melalui analisa Piere
nilai-nilai agar sesuai dengan kondisi baru (social
L. Van Berghe. Beliau mengemukakan bahwa
conflict is a mechanism for adjustment of norms
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
adequate to new conditions). Tetapi, sangat tidak
majemuk yang rawan dengan konflik. Masyarakat
elok apabila memanfaatkan konflik tersebut
majemuk itu sendiri memiliki sifat dasar sebagai
untuk mencapai kedua tujuan diatas.
berikut:
Berdasarkan uraian yang dikemukakan
1. Terjadi segmentasi ke dalam bentuk
secara singkat sebelumnya, dapat dipahami
kelompok-kelompok yang sering kali
dan dimaklumi betapa mudahnya masyarakat
memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-
Indonesia tersulut dan terpancing untuk terlibat
kebudayaan, yang berbeda satu sama lain;
dalam suatu kekerasan yang tidak jarang
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke berujung pada konflik sosial, termasuk dalam
dalam lembaga-lembaga yang bersifat non- pesta demokrasi PILKADA 2018 dan PILPRES
komplementer; 2019 kelak yang akan diselenggarakan nanti.
3. Di antara anggota masyarakat kurang
mengembangkan konsensus atas nilai-nilai lll. Konflik Sosial & Antisipasi Polri
sosial dasar;
Konflik sosial sebagaimana dikemukakan
4. Secara reaktif seringkali terjadi konflik di
secara singkat sebelumnya, selalu berkaitan
antara kelompok yang satu dengan kelompok
dengan ketegangan sosial yang terjadi dalam
yang lain;
masyarakat majemuk Indonesia. Keduanya
5. Secara reaktif integrasi sosial tumbuh di atas memiliki hubungan erat berdasarkan tahapan-
paksaan (coercion) dan saling ketergantungan tahapan sebagai berikut:
di dalam bidang ekonomi;
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok a. Adanya suatu insiden yang dirasakan begitu
atas kelompok-kelompok yang lain. buruk oleh suatu kelompok masyarakat,
sehingga peristiwa itu dijadikan katalisator
Sebagai masyarakat majemuk yang terdiri kemarahan. Kelompok masyarakat itu mulai
dari berbagai macam agama, etnis, bahasa, resah dan tegang sehingga secara perlahan,
daerah dan sub-sub kebudayaan lainnya, tentu keresahan itu turut dirasakan oleh kelompok-
merupakan hal yang wajar bila dalam masyarakat kelompok lain di masyarakat.
Indonesia timbul suatu gejolak yang berujung
pada munculnya konflik sosial. Khususnya dalam Momen ini, akan dimanfaatkan beberapa
rangka mempertahankan dan memuluskan oknum tertentu dengan memanfaatkan
calonnya masing-masing agar berhasil mencapai adanya kecurangan dalam Pilkada dan
tujuan. Pilpres, penipuan, dan seterusnya.
Konflik sosial itu sendiri menurut Lewis A. b. Dalam kondisi diatas, terdapat segolongan
Coser (1956) memiliki fungsi untuk menegakkan kecil orang dari kelompok yang marah,bersifat
kesatuan atau menegakkan kembali kesatuan sangat keras dan cenderung melakukan
dan kohesi yang telah terancam oleh perasaan- kekerasan, memancing-mancing timbulnya
personil yang akan diterjunkan, jumlah dan mengantisipasi keseluruhan peristiwa dan
kesatuan, sistem komando, persenjataan dan arah perkembangan.
logistik, langkah-langkah taktis dan lainnya.
- Communication
Yang perlu diperhatikan dalam perencanaan
ini adalah elastisitas. Karena, dalam situasi Communication atau Komunikasi, harus
krisis perubahan-perubahan berjalan dengan dilakukan secara efektif baik sebelum,
sangat cepat. Aparat keamanan dituntut sewaktu atau sesudah tindak kekerasan
mampu mengkaji ulang dan memperbaharui massa. Komunikasi ini harus cepat dan
rencana-rencanaya sendiri. Pada saat ini, efektif dari petugas lapangan ke pusat
semua tindakan aparat dituntut cepat dan komando begitupula sebaliknya. Informasi
akurat, dalam arti tepat waktu, tepat cara dan yang disampaikan ke pusat komando harus
tepat tempat. segera dicermati untuk memperhitungkan
berbagai hal yang terkait dengan situasi.
Mungkin disaat inilah kemampuan diskresi
Termasuk prediksi situasi tersebut. Maka,
amat diperlukan. Selama tidak bertentangan
pusat komando juga harus dapat bertindak
dengan hukum dan undang-undang dengan
sebagai pusat intelejen. Komunikasi ini juga
catatan meminimalisir kemungkinan
dilakukan berupa koordinasi terhadap rumah
jatuhnya korban untuk menghindari tahap
sakit, dinas kebakaran, militer, maupun dinas
insiden dan jatuhnya korban jiwa yang telah
lain yang dapat membantu menangani tindak
diuraikan sebelumnya. Musuh terbesar pada
kekerasan massa;
situasi krisis tersebut adalah waktu;
- Coordination
- Analisa kelompok massa
Setelah komunikasi dibangun dengan baik,
Analisa Kelompok Massa ini dilakukan
koordinasi akan lebih mudah dilakukan. Karena,
berdasarkan pada ketegangan sosial
keberhasilan koordinasi amat bergantung pada
yang tengah berlangsung di masyarakat
terpeliharanya komunikasi. Koordinasi ini
pengusung salah satu calon kepala daerah
merupakan masalah vital, apabila ada kesatuan
maupun presiden. Yang hasilnya dapat
yang tidak terkoordinir, kemudian melakukan
digunakan untuk memetakan kelompok
tindakan diluar komando, akan membahayakan
masyarakat mana yang akan berpotensi
seluruh operasi. Hal ini dapat mengakibatkan
besar memicu timbulnya kekacauan. Serta,
kerusuhan makin meluas (perhatikan tahap
memetakan kemungkinan-kemungkinan
insiden dan jatuhnya korban jiwa diatas).
yang akan terjadi. Analisa ini diperlukan
Misalnya ada kesatuan yang melakukan
untuk merumuskan tindakan pengamanan.
penembakan sehingga mengakibatkan jatuhnya
Disamping itu, di saat konflik sosial makin korban, akan dapat memicu massa yang simpati
meluas, perlu diperhatikan 4 aspek penting dengan korban untuk ikut-ikutan dalam huru-
lainnya yaitu Containment, Communication, hara guna melampiaskan kemarahan. Maka,
Coordination dan Control (De Jong, 1994). dalam penanganan kasus kerusuhan apapun,
hendaknya tidak memancing kemarahan
- Containment
massa lebih lanjut dengan melakukan tindakan
Containtment atau pemblokiran bertujuan represif yang mengakibatkan jatuhnya korban;
melokalisir tindak kekerasan massa atau
kerusuhan agar tidak meluas. Untuk - Control
menciptakan ruang gerak bagi aparat guna Aspek ini adalah pengawasan segala unsur
Abstract
Pemilukada is a means to realize a democratic system of government, in which the people of the region as
the holder of sovereignty have the right to give mandate to the candidate leader to be its leader in the region.
So far, the implementation of Pemilukada has not been running cleanly, honestly and fairly. The indications
are among others the corruption committed by the Pemilukada executor along with the prospective candidate
of the Regional Head. Similarly, the election executor is under the control of a party to manipulate the results
of polling and vote counting, as well as the successful team of candidates for Head of Region or campaign
team to hire preman groups to participate in campaigning for mass mobilization, intimidation and pressure
against political opponents and others. Therefore, in order to make Pemilukada within the framework of
Pancasila Democracy Country, it is necessary to develop a political culture towards authentic democracy that
genuine with Pancasila needs effort to strengthen the characteristic of Indonesian nation and state.
Abstrak
Pemilukada merupakan sarana untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis, yang
mana rakyat di daerah sebagai pemegang kedaulatan mempunyai hak untuk memberikan mandat
kepada calon pemimpin menjadi pimpinannya di daerah. Selama ini pelaksanaan Pemilukada
cenderung belum berjalan secara bersih, jujur, dan adil. Indikasinya antara lain adanya korupsi yang
dilakukan oleh pelaksana Pemilukada bersama bakal calon Kepala Daerah. Demikian pula pelaksana
Pemilukada berada dibawah kendali suatu partai untuk melakukan manipulasi hasil pengutan
maupun penghitungan suara, juga tim sukses calon Kepala Daerah atau tim kampanye menyewa
kelompok preman ikutserta berkampanye untuk melakukan pengerahan massa, intimidasi, dan
tekanan terhadap lawan politik dan lain-lain. Untuk itu dalam rangka menjadikan Pemillukada dalam
kerangka Negara Demokrasi Pancasila, diperlukan pengembangan budaya politik ke arah otentik
demokrasi yang genuine dengan Pancasila dibutuhkan upaya untuk memperkokoh karakteristik
bangsa dan negara Indonesia.
kepemimpinan dipilih dari bawah (bottom dengan cara yang mungkin tidak sah.
up). Siapa yang akan memimpin suatu daerah,
Dalam Pemilukada, umumnya para perserta
rakyatlah yang berhak menentukan orangnya.
berusaha dengan segala macam cara baik
Berkaitan dengan sistem kepartaian, di positif maupun negative untuk memenangkan
mana partai politik merupakan salah satu wujud pemilihan. Cara yang melanggar aturan antara
dari kebebasan berserikat dan berkumpul yang lain memanfaatkan Pegawai Negeri Sipil
di jamin konstitusi sebagai prasyarat berjalannya (PNS) sebagai mesin politik untuk mencapai
demokrasi, fungsinya sebagai wahana partisipasi kemenangan. Dengan persebaran yang luas di
masyarakat dalam mengembangkan demokrasi Indonesia dan dalam satu kendali dari atas, PNS
dengan landasan menjunjung tinggi kebebasan, bisa dijadikan obyek untuk mendulang suara.
kesetaraan kebersamaan, kejujuran, sportifitas Meskipun telah dikeluarkan berbagai aturan
dan keadilan. Selain itu partai sebagai sarana pencegahannya, namun secara terselubung
komunikasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen tetap menjadi sasaran yang menarik. Apalagi
politik, pengelola konflik, artikulasi dan agregrasi hingga kini netralitas PNS masih dipertanyakan
kepentingan. oleh banyak fihak, karena sistem karier mereka
ditentukan oleh atasan, demikian pula loyalitas
Perlu Pemilukada Langsung dan Serentak bersifat patrimonial yang kuat mengabdi kepada
pimpinan. Aturan itu antara lain UU Nomor
Selama ini pelaksanaan Pemilukada
5 Tahun 2014 tentang ASN, UU Nomor 10
cenderung belum berjalan secara bersih, jujur,
Tahun 2016 tentang Disiplin PNS, PP Nomor
dan adil. Indikasinya antara lain adanya korupsi
42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps
yang dilakukan oleh pelaksana Pemilukada
dan Kode Etik ASN, SEKSN Nomor B-2009/
bersama bakal calon Kepala Daerah. Demikian
KSN/11/2017 tentang Pengawasan Netralitas
pula pelaksana Pemilukada berada dibawah
ASN khusus pada Pemilukada 2018, dan Surat
kendali suatu partai untuk melakukan manipulasi
Menpan-RB Nomor B/1/M.SM.00.00/2017
hasil pengutan maupun penghitungan suara,
tentang Pelaksanaan Netralitas ASN.
juga tim sukses calon Kepala Daerah atau tim
kampanye menyewa kelompok preman ikutserta Karena alasan tersebut perlu diadakan
berkampanye untuk melakukan pengerahan Pemilukada secara langsung dan serentak
massa, intimidasi, dan tekanan terhadap untuk membangun keseimbangan dalam
lawan politik dan lain-lain. Selain kasus-kasus pelaksanaannya dengan harapan kecurangan-
tersebut juga terdapat hal yang tidak wajar yaitu kecurangan atau penyimpangan-peyimpangan
keharusan bagi bakal calon Kepala Daerah dapat dieliminir sehingga Pemilukada memberi
untuk membayar sejumlah “uang mahar” kepada dampak positif bagi kelangsungan demokrasi
suatu partai, padahal ketentuan itu bertentangan di Indonesia. Selain menghemat anggaran,
dengan nilai integritas dan pengabdian kepada Pemilukada juga diharapkan bisa mengurangi
bangsa dan negara. Apabila ketentuan tersebut ketegangan sosial sebagai akibat dari naiknya
terus dilakukan tidak menutup kemungkinan tensi politik yang mengarah pada potensi
hanya orang-orang berduit saja atau orang-orang konflik sosial disertai kekerasan yang meluas.
yang sekiranya didukung oleh pengusaha dapat Meskipun tidak menutup kemungkinan konflik
menjadi bakal calon. Ini kalau dibiarkan Kepala “lokal” dapat terjadi karena gairah politik dalam
Daerah terpilih bisa tersandra oleh pengusaha mewujudkan demokrasi sulit untuk dihidari,
yang telah mendukungnya untuk mendapatkan demikian menurut Sorencen (1993). Seiring
proyek-proyek guna mengembalikan modal hal itu Robert Dahl (1998) mengingatkan,
konflik lokal yang terjadi di berbagai level dan digunakan oleh elit politik, Kepala Daerah
segmen masyarakat bersumber pada pemegang dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara
kekuasaan dapat membuat kemrosotan wibawa langsung oleh rakyat melalui Pemilukada untuk
penguasa yang pada gilirannya sering diikuti menjamin agar Kepala Daerah menjadi mitra
oleh kekerasan dan anarki, dan hal itu sama sejajar dengan DPRD.
sekali tidak kondusif bagi bangunan budaya
Pemilukada juga untuk menghormati
demokrasi.
gagasan founding father semasa pra kemerdekaan
Pemilukada langsung dan serentak yang tertarik pada teori Rousseau (1793)
merupakan perspektif baru dalam kerangka tentang grass-root democracy. Gagasan itu perlu
negara demokrasi yang diharapkan dapat mendapat perhatian karena dalam teori itu
memenuhi kaidah demokrasi Pancasila pada berlaku demokrasi secara langsung. Demikian
level struktur dan kultur di Indonesia. Pada tingkat pula dinilai ada keselarasan dengan kebiasaan
struktur, Pemilukada merupakan mekanisme masyarakat Indonesia dalam hal menyelesaikan
yang saling kait-mengkait (inerdependensi) masalah melalui “musyawarah dan mufakat”
dalam hubungan anatara pemerintah pusat sebagai bentuk otentik demokrasi. Sedangkan
dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan parlement dipandang sebagai “wadah” untuk
Pemilu. Dalam konteks sistem perwakilan pun menyalurkan saluran suara rakyat. Di negara-
sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan negara yang baru merdeka, parlement sebagai
dari perwujudan struktur kelembagaan yang wakil rakyat diisi orang-orang tua yang arif dan
demokratis. Di tingkat filosofi dan substasi bertindak sebagai wakil suku (Soedjatmoko,
(pemerintah pusat dan daerah) tidak ada 1991). Pandangan ini dimungkinkan selaras
perbedaaan, hanya di tingkat daerah orientasinya dengan substantive democracy. Dalam otentik
lebih bersifat teknik. Dengan terkaitnya Pemilu demokrasi, musyawarah dan mufakat menjadi
dengan Pemilukada hal ini bisa menjadi sarana tumpuan utama, tidak ada debat ataupun protes
untuk membangun saling kontrol kekuasaan yang bersifat tendensius serta subyektif atas
antara pemerintah pusat dengan pemerintah kinerja lembaga-lembaga tinggi negara. Setiap
daerah maupun antara pemerintah dengan kritik dan protes diajukan dengan argumentasi
masyarakat sipil (civil society). yang jelas dan obyektif. Pada dasarnya
otentik demokrasi adalah demokrasi yang
Pada tingkat kultur, mekanisme
mengedepankan etika, kearifan dan kepatutan
Pemilukada adalah untuk menjaga budaya
dalam bersikap dan bertindak. Di sinilah
kekuasaan yang seimbang dan saling
kualitas individu menjadi tumpuan utama baik
menghormati antara DPRD dan Kepala
dalam hal mental maupun intelektual, juga
Daerah/Wakil Kepala Daerah. Inilah salah satu
keseimbangan hubungan baik secara individual
ciri pemerintahan yang menganut pembagian
maupun kelembagaan. Derajat kepentingannya
kekuasaan yang seimbang dan saling mengecek,
ialah terpilihnya pejabat politik yang akuntabel
baik untuk lembaga legislatif maupun eksekutif
sesuai dengan needs for achievment rakyatnya.
sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui pemilihan umum. Keduanya memiliki
Kerangka Negara Demokrasi Pancasila
kekuasaan yang seimbang meskipun tugas
dan wewenangnya berbeda, keduannya saling Masa kini seperti dikatakan Ortega Y.
mengontrol melalui pembuatan Peraturan Gasset (1959) merupakan jaman manusia massa.
Daerah dan APBD, dan keduanya memiliki Keadaan ini sering dimanfaatkan oleh pemimpin
legitimasi dari rakyat. Dalam bahasa yang sering yang tidak bertanggungjawab atau golongan
yang mementingkan diri atau kelompoknya loncat”, berpindah dari satu “ideologi” ke ideologi
sendiri untuk dengan segala cara mendapatkan lainnya? Ketika anggota parpol digerakkan
dukungan sebanyak mungkin dari massa. Sikap olah syahwat kekuasaan dan akses ekonomis?
mental demikian itu bukan merupakan dasar Mungkinkah hal itu menjadi “ideologi” parpol
yang sehat dalam membangun negara demokrasi di negeri ini ?
secara besar-besaran. Pengertian demokrasi, hak
Di titik inilah Pancasila harus dihidupkan,
asasi manusia seolah mendapat arti lain dari
seiring bahkan secara inheren dalam Pemilukada
tujuannya, sehingga dapat dikatakan pengaruh
yang berlangsung di NKRI. Tentu saja bukan
Barat terhadap negara berkembang seperti
dihidupkan dalam penerapan yang bersifat
Indonesia adalah superficial atau dangkal sekali,
libido, keserakahan sistemik dalam perebutan
bahkan menjadi negatif atau terbalik.
kekuasaan yang massif seperti yang terjadi
Secara umum perlu diakui bahwa bangsa sekarang. Tapi sebaliknya tumbuh kian matang,
Indonesia belum mampu membumikan nilai- dewasa, cerdas dan jitu dalam merespon dan
nilai, budaya, tradisi yang terkandung di dalam memberi solusi pada tantangan kerakusan
ideologi Pancasila menjadi konsep tentang sistem sistemik tersebut. Negeri ini secara imperatif,
politik Pancasila, sistem ekonomi Pancasila, juga berlaku untuk semua lapisan masyarakat, mesti
dalam sistem hukum Pancasila (kecuali bung segera di-Pancasila-kan.
Hatta dalam konsep koperasi di Indonesia) (goes
Adanya optimisme bahwa dengan
to beyond the ideology). Demikian pula dalam hal
pelaksanaan pesta demokrasi yang berjalan jujur
implementasi aksi-aksi pelaksanaannya sebagai
dan adil kemudian secara otomatis akan tercapai
penutup ideologi (the end of ideology).
demokrasi Pancasila, hal ini hanya merupakan
Apa yang menjadi alasan kuat untuk suatu impian apabila tidak disertai dengan
memenuhi hal itu, bukannya kenyataan perubahan yang mendasar, perubahan struktural.
(ekonomis, politis, juridis dsb) kian tragis, tapi Seringkali dilupakan demokrasi merupakan hasil
juga fakta yang seringkali terilusi bahwa negeri dari suatu perkembangan dan hal ini tergantung
ini kian jauh dari cita-cita ideologis. Terus dari sejarah ketata-negaraan suatu bangsa
terang saja keadaan menjadi semakin galau, lebih dan tingkat kesadaran masyarakat yang pada
tepatnya semakin kuat mengingkari ideologinya akhirnya merupakan hasil kegiatan manusia
sendiri, Pancasila. Kalau benar bangsa ini yang bekerja untuk itu. Jhon Dewey (2001)
memiliki ideologi, kalau benar Pancasila sebagai mengatakan: “demokrasi bukanlah ready-made-
ideologi, kalau benar Pancasila adalah ideal concept melainkan sikap dan jiwa yang harus
abstrak yang telah menjadi kesepakatan bersama, digali, dicari dan ditemukan dari suatu generasi
yang telah diformalkan, yang dalam pergerakan sebagai Philosophy of education”. Tujuannya ialah
waktu —yang tak kunjung menjadi nyata — demi perkembangan yang sesempurna mungkin
menjadi semacam obsesi saja, maaf ! bagi manusia sesuai dengan martabatnya.
Dalam kaitan Pemilukada, menjadi suatu Kondisi inilah yang mengganggu dalam
pertanyaan : apa sesungguhnya ideologi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Optimisme
sistem kepartaian di Indonesia, yang dalam penerapan Pemilukada belum menyadarkan
sejarah awal berdiri dengan tiang ideologis pikiran bahwa demokrasi adalah titik-titik akhir
sebagai penyangga, lalu kini digerakkan dan daripada perkembangan ideologi dan bentuk
bekerja dengan ideologi apa ? Ketika seorang final pemerintahan. Melalui Pemilukada dapat
anggota partai begitu mudah menjadi “kutu dijadikan momentum untuk memperjelas sistem
demokratisasi di Indonesia. Pemilukada menjadi bersama. Akibatnya antara lain muncul money
aspirasi awal masyarakat sebagai realitas arus politic ataupun deal-deal dagang sapi. Di sini
bawah untuk mencapai tujuan tersebut. Realitas tampak betapa besar bedanya jalan pikiran
tersebut merupakan pengejawentahan aspirasi Barat dengan gagasan founding father dalam
publik secara nyata, dan sebagai parameter pemikiran demokrasi Indonesia yang sangat
dari demokratisasi di Indonesia. Terlepas dari memperhatikan kepentingan bersama, dan setiap
pemikiran demokrasi dapat dirumuskan secara mengambil keputusan dilakukan berdasarkan
berbeda, dalam ketatanegaraan Indonesia tanggungjawab yang besar.
belum ditemukan unsur-unsur dasar atau family
Melihat perkembangan demokrasi
resemblance yang membuat sistem ketatanegaraan
Indonesia yang saat ini cenderung belum
NKRI secara khas dikatakan sebagai demokrasi
mengarahkan pada keseimbangan hubungan
Pancasila.
kekuatan (balance of power) antar lembaga tinggi
Perlu disadari bahwa beberapa sistem negara juga dengan masyarakat sipil, hal tersebut
Eropa Kontinental hingga kini masih ada yang menimbulkan kontradiksi-kontradiksi sitem
lekat dengan kelembagaan NKRI antara lain di yang berlaku. Apabila kondisi ini berkepanjangan,
bidang politik, hukum, dan ekonomi. Menjadi tidak menutup kemungkinan menjadi feedback
aneh penerapan sistem-sistem itu karena dalam kembalinya negara dalam bentuk negara
kenyataan cenderung membuat rakyat menjadi kekuasaan (Huntington, 1991). Kekuasaan
pelayanan bagi kepentingan elit penguasa. menjadi alat utama untuk menyelesaikan
Rakyat dan aparat yang sebenarnya adalah obyek berbagai masalah, hokum terkesampingkan
dari ideal-ideal pelayanan justru menjadi korban sehingga kebenaran akan dimonopoli oleh yang
atau sumber eksploitasi dalam penyelenggaraan kuat (dominan) baik secara politik maupun
negara. Dalam kondisi demikian semua fihak ekonomi (populisme), meskipun di dalam UUD
dirugikan, baik pemerintah maupun rakyatnya. 1945 dan ideologi Pancasila tidak membenarkan
Nusantara ini bukanlah sebuah negeri yang tidak (Sularto, 2001).
memiliki sistem pemerintahan. Masyarakat
Karena itu perlu diwaspadai dalam
Nusantara sudah memiliki sistem itu meskipun
penerapan sistem demokrasi dan nilai-nilai
masih sederhana dan berlaku secara eksklusif di
hak asasi manusia ”ala Barat”, sekalipun pihak
tiap-tiap kesatuan kecil masyarakat. Sistem yang
Barat menunjukan antusias untuk membantu
berlaku itu juga berlaku secara eksklusif bagi
mewujudkan dalam upaya melembagakan
suatu komunitas yang sering disebut sebagai
sistem demokrasi dan hak asasi manusia, namun
lembaga adat. Umumnya dalam lembaga adat
sesungguhnya paham demokrasi dan hak asasi
tidak mengenal perbedaan antara kepentingan
manusia juga telah lahir di Indonesia bersamaan
privat dengan kepentingan publik seperti yang
dengan gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia
dikenal dalam negara modern, semua adalah
melawan penjajahan yang tidak dicemari oleh
kesatuan dalam hubungan komunal.
praktek-praktek hirarkhis dan pengaruh dari
Bias pemahaman demokrasi ala Barat kekuasaan kolonialisme. Dari sini dalam usaha
dengan optimisme masyarakat akan kearifan membangun negara demokrasi harus benar-
lokal nampak terus berkembang, dampaknya benar dilandasi oleh nilai-nilai dasar sosial
ialah dalam usaha mencapai checks-and-balances budaya bangsa Indonesia yang telah melembaga
antar lembaga tinggi negara sulit tercapai, dalam ideologi Pancasila.
kecuali cheks-and-balances demi kemenangan
Pada dasarnya bangsa Indonesia telah
kelompok sendiri, bukan untuk kemenangan
paham bahwa tugas dari sebuah negara beserta untuk penerapan Trias Politica Montesquieu
lembaga dan aparatusnya adalah menjaga dalam kriteria “pemisahan kekuasaan” atas tiga
“kemuliaan manusia” sebagaimana difitrahkan lembaga tinggi negara di daerah yang perlu
oleh sang Pencipta. Tugas itu bukanlah hanya diwujudkan. Selain itu untuk memenuhi pola
menciptakan kondisi-kondisi dan infrastruktur hubungan pemerintahan pusat dan daerah
yang memungkinkan bagi manusia untuk dalam sistem desentralisasi yang pada dasarnya
mempertahankan dan mengembangkan hak- kedaulatan rakyat dalam kerangka sistem
hak asasi serta mengembangkan ataupun pemerintahan demokrasi tidak dapat dibagi
mengaktualisasikan semua potensi kemanusiaan, ke dalam hirarkhi demokrasi nasional dengan
tetapi juga suatu perlindungan di mana ia akan demokrasi lokal.
terhindar dari tindakan distruktif yang dapat
Dari analisis di atas dalam membangun
menganiayanya, baik yang dilakukan oleh sesama
kerangka negara demokrasi Pancasila melalui
manusia maupun oleh negara lewat institusinya.
Pemilukada tujuan utama adalah dapat dicapainya
Masalah itu tidak sekedar disebabkan oleh
hubungan checks-and-balances antar lembaga
lemahnya fundamen logis dan rasional sistem
tinggi negara di pusat maupun di daerah dan
ketatanegaraan ala Barat yang tidak selaras
terpilihnya calon-calon pemimpin daerah yang
dengan dasar filosofi maupun epistemotologi
memiliki jiwa “negarawan” dengan daya pikir
dari bangsa Indonesia. Keadaan ini nampak saat
kritis dan kreatif yang hanya mengutamakan
negara terjebak ke dalam paradigma yang melihat
pengabdian kepada bangsa dan negara, bukan
“sebab-musabab”terjadinya pelanggaran hak asasi
lagi sebagai “politikus” yang berorientasi kepada
manusia yang efeknya memaksa “sistem hukum”
partai karena sudah duduk dalam lembaga
lebih memfokuskan atau terdominasi oleh peran
eksekutif ataupun legislatif. Ini pun sesuai dengan
pelaku (pelanggar hukum) dan peran aparat/
nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia yang
institusi (pelaksana hukum). Selain itu, sistem
bersifat komunal untuk melandasi hubungan
hukum civil law (kontinental) yang dibangun
dalam partai politik yang bersifat Patronagen-
atas dasar falsafah Oksidental (masyarakat
Parteien (Max Weber, 1990) yang mana prinsip
Barat) sebagai tatanan masyarakat yang sifatnya
affection berpeluang melahirkan kader-kader
individual, tampak mengalami kesulitan bahkan
partai yang berkualitas asal dilandasi oleh sistem
ketidakcocokan dalam penerapannya di tengah
kaderisasi yang benar. Namun demikian menurut
masyarakat Timur (falsafah Oriental termasuk
Karl Manheim (1990). jika sistem kaderisasi
Indonesia) yang memiliki realitas historis dan
partai berorientasi pada provit, maka yang akan
kultural bersifat komunal, yang sangat berbeda
terjadi adalah erosi patron clien dan lahir kader-
bahkan secara diametral dengan masyarakat
kader yang ambiguitas.
Barat.
Untuk itu Soedjatmoko (1991)
Dengan telah ditetapkan pelaksanaan
menawarkan langkah yang bisa dilakukan
Pemilukada oleh Komisi Pemilihan Umum
secara simultan dalam upaya membangun
(KPU) pada tanggal 27 Juni 2018 yang
kerangka negara demokrasi Pancasila , yaitu :
rencananya akan berlangsung di 171 daerah
1) reformasi konstitusi (constitutional reform)
yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115
yang menyangkut perumusan kembali falsafah,
kabupaten, hal ini memberikan porsi yang
kerangka dasar, sistem, dan perangkat legal;
seimbang dalam kedaulatan rakyat bagi rakyat di
2) reformasi kelembagaan dan pemberdayaan
daerah untuk memberikan legitimasi kepada elit
lembaga-lembaga politik (institutional reform
politiknya. Demikian pula merupakan landasan
and empowerment); 3) pengembangan kultur
atau budaya politik (political culture). Melalui Wave: Democratization in The Late Twentieth
pelaksanaan Pemilukada diharapkan dapat Century. University of Oklahoma Press.
menjadi titik tolak melahirkan demokrasi
Ortega Y. Gasset. 1959. Vukan Kuic, “Man
Pancasila di Negara Kesatuan Republik
and Crisis. José Ortega y Gasset ,” The Journal of
Indonesia.
Politics 21, no. 2 (May, 1959).
Abstract:
General Election of Regional Head (Pilkada), is basically a public service. This is by reason of, first,
the goal is for the public’s own interest in order to elect a leader. Second, the accessory is public in the sense
that a number of citizens have equal rights and need to be treated equally. However, in contrast to basic
public services, Pilkada is a secondary or tertiary public service, since the need to organize new elections is felt
urgently after basic services are met. Therefore, Pilkada needs to be preserved its existence and its relevance
as a public facility provided by the state in order to meet democratic leader seeking demands.
Abstrak:
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada), pada dasarnya adalah pelayanan publik. Hal ini
dengan alasan, pertama, tujuannya adalah untuk kepentingan publik sendiri dalam rangka memilih
pemimpin. Kedua, pengaksesnya adalah publik dalam artian sejumlah warganegara yang memiliki
hak sama dan perlu bahkan harus diperlakukan secara sama pula. Namun demikian, berbeda
dengan pelayanan publik dasar, pilkada merupakan pelayanan publik sekunder atau bahkan tertier,
karena kebutuhan menyelenggarakan pilkada baru dirasakan urgen setelah berbagai layanan dasar
terpenuhi. Oleh karena itu, pilkada perlu dijaga eksistensi dan relevansinya sebagai suatu fasilitas
publik yang disediakan negara guna memenuhi kebutuhan mencari pemimpin secara demokratis.
kebutuhan yang penting untuk direalisasikan. berbagai hal menarik yang muncul saat itu,
salahsatunya adalah tentang dijadikannya masjid
Tidak semua pihak setuju cara pandang
sebagai basis politik serta lokasi kampanye.
ini. Elemen masyarakat yang menganggap
Hal tersebut menjadikan hampir tidak ada
kebutuhan bernegara sebagai utama dan vital
lagi kawasan yang bebas politicking ketika itu,
boleh-boleh saja memandang bahwa tidak
dan menimbulkan ancaman terjadinya konflik
perlu mengaitkan pilkada dengan ketersediaan
horizontal setiap saat.
sekolah, beras atau listrik, misalnya. Pada saat
tidak ada beras pun, katakanlah begitu, berpolitik
Tugas Kepolisian
dan bernegara bisa dan harus tetap jalan.
Kepolisian dalam hal ini termasuk instansi
Dalam kaitan du acara pandang itulah,
yang paling direpotkan oleh pelayanan publilk
pilkada perlu dijaga eksistensi dan relevansinya
yang satu ini. Bagi sebagian aparat kepolisian,
sebagai suatu fasilitas publik yang disediakan
pilkada dianggap aktivitas pelayanan publik
negara guna memenuhi kebutuhan kita mencari
yang malah mengganggu publik itu sendiri.
pemimpin secara demokratis. Mengapa
Sehingga, sebagaimana terlihat di beberapa
mengatakan demikian?
daerah, malah di-emoh-i oleh publik. Buktinya
Penyebabnya adalah, dewasa ini adalah rendahnya prosentase keikutsertaan
sudah cukup banyak pihak yang meragukan pemilih dibanding jumlah pemilih tetap dalam
kemanfaatan pilkada.Pilkada dianggap membawa beberapa pilkada yang lalu.
ekses negatif daripada efek positif. Dengan
Bagaimana tidak dijauhi, pilkada yang
kata lain, pilkada membawa lebih banyak hal
seharusnya damai malah sering rusuh. Wilayah
mudharat daripada solusi yang mujarab. Sudah
yang semula aman-tenteram berubah jadi tegang
biaya penyelenggaraannya mahal, umumnya
karena masing-masing kelompok pendukung
prosesnya bertendensi membelah masyarakat
siap bentrok karena tidak siap kalah. Belum lagi
pula. Masyarakat yang tadinya guyub, kemudian
menyangkut isu ataupun berita yang bersliweran,
terpecah seiring dengan jumlah calon-calon
baik yang dilontarkan secara langsung atau
yang maju.
melalui media sosial. Ada yang berisi konten
Tidak hanya itu, calon yang terpilih politis, ada pula yang menyinggung SARA
kemudian banyak tertangkap karena terjerat (suku, agama, ras dan golongan). Berpolitik
korupsi. Kalaupun tidak terjerat korupsi, menjadi sesuatu yang serba boleh, tanpa aturan
maka calon yang maju pilkada boleh jadi tidak dan bahkan boleh “mematikan” pihak lain.
merakyat atau bahkan tidak/kurang dikenal
Tambah lagi kini kehadiran fenomena
karena karbitan. Kemunculannya di pilkada
hoax alias berita palsu atau berita plintiran (hate
lebih merupakan hasil lobby para elite politik
spin). Saat berita palsu itu menyangkut SARA,
setempat, dengan kepentingannya masing-
maka bayangkan efek destruktifnya. Pihak-
masing, dan tak lupa mengalir pula sejumlah
pihak yang menjadi korban akan pusing tujuh
dana dengan dalih uang mahar, biaya kampanye
keliling. Membersihkan nama kembali menjadi
dan lain-lain.
pekerjaan maha berat. Amat tidak adil apabila
Pilkada DKI tahun lalu, sebagai contoh, hoax dibiarkan dan pelakunya bebas berkeliaran
boleh dibilang membawa hal yang makin begitu saja.
menjadikan pilkada kritikal untuk tetap
Singkat cerita, pilkada mulai diragukan
dilanjutkan di tahun-tahun mendatang. Dari
(minimal secara tidak resmi oleh kalangan
kepolisian) sebagai pelayanan publik yang perlu jenis maladministrasi hingga tindak pidana.
didukung dengan persiapan jauh-jauh hari dan
Demikianlah amat sulit membersihkan
yang memerlukan anggaran negara amat besar.
praktek politik yang kotor dimana kepolisian
Hal itu bukanlah karena negaranya ogah-ogahan
bisa sepenuhnya dan selamanya bersih. Amat
men-deliver pilkada sebagai suatu layanan, entah
sulit menjaga integritas anggota pada saat para
dalam bentuk kesiapan yang rendah atau aparat
pemain politik lokal itu memiliki, katakanlah,
yang tidak siap. Yang hampir selalu terjadi adalah,
hubungan kerabat atau sama-sama sekampung
persiapan pilkada itu sendiri berlangsung prima,
dengan anggota.
namun kontestannya yang justru bermasalah:
karena berkonflik dalam partai sendiri, tidak
lolos verifikasi, pernah terlibat pidana, sengaja
Penutup
diungkap dosa-dosa masa lalunya atau ada pula Telah diuraikan di atas bahwa kalau kita
yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) tidak ingin pilkada kehilangan tujuan utamanya
oleh instansi penegak hukum. yakni sebagai mekanisme sirkulasi elite yang
disepakati di negara demokrasi, maka kita wajib
Sejalan dengan itu, masyarakat selaku
menjaganya. Salahsatu caranya adalah agar
pemilih juga kerap dijadikan obyek oleh tim
kembali meletakkan hakekat pilkada sebagai
pemenangan maupun oleh aparat dari berbagai
entitas pelayanan publik.
instansi. Salahsatu bentuknya adalah agar
masyarakat melahap berita atau informasi terkait Dengan mengatakan demikian, maka
SARA atau sisi gelap menyangkut kontestan pilkada perlu kembali dikelola dengan standar-
tertentu sehingga akhirnya menyeberang standar pelayanan publik pada umumnya,
memilih kontestan yang lain. melihat publik sebagai pihak yang pertama dan
satu-satunya diuntungkan oleh keberadaaannya
Melalui statemen di atas, penulis ingin
dan, untuk itu, memiliki proses kerja yang jelas,
menyatakan pula bahwa produsen dari isu SARA
ajeg dan akuntabel.
sebenarnya bukan hanya masyarakat. Aparat dari
berbagai instansi juga bisa menjadi pelaku aktif, Jika hal itu bisa terjadi, bisa dibayangkan
khususnya jika diperintah oleh kepala daerah tugas kepolisian akan amat ringan. Kepolisian
yang mau kembali maju di masa kepemimpinan hanya akan bertugas menjaga pilkada dari anasir
kedua. Alhasil, sikap netral dan seimbang yang eksternal yang ingin mengacau, mengingat
seyogyanya diperlihatkan lalu dibuang jauh- para penyelenggara maupun partisipan pilkada
jauh. itu sendiri telah bersepakat menjauhi praktek-
praktek buruk dan kotor. (*)
Dalam setting seperti itulah kepolisian mesti
bekerja. Dalam situasi penuh kontraksi (akibat
menguatnya kepentingan serta perilaku-perilaku
yang tidak orisinil), kepolisian kini menghadapi
situasi baru. Kebaruan itu berupa modus, motif
dan tujuan kejahatan yang bisa ditemui terkait
pilkada. Alhasil, menghadapi permasalahan
ini, kepolisian setempat harus siap-siap untuk
“kecipratan”. Maksudnya, akan ada saja oknum-
oknum kepolisian yang dengan bemacam-
macam cara ikut melakukan mulai dari berbagai
Abstract
The Promoter Programe were accured for increasingly Polri’s professionalism, modern and trusted.
These are described in eleven items programe. Otherwise, on practicaly there are still many reports and
complaines bear on police performance. Using the concept ‘pursuit to professionalism’, the police are hoped to
be have ability as a professional institution.
Abstraksi :
Program Promoter kapolri telah dicanangkan untuk meningkatkan profesionalisme Polri.
Profesional, modern dan terpercaya dijabarkan dalam sebelas program. Namun pada prakteknya
masih banyak laporan dan pengaduan dari masyarakat terkait kinerja Polri. Dengan menggunakan
konsep pursuit to professionalism, polri diharapkan mampu untuk menjadikan dirinya lembaga yang
profesional.
internal menuju Polri yang bersih dan bebas dari (delapan ratus enam)3. Hal ini juga diperkuat
KKN, guna terwujudnya penegakan hukum yang dengan hasil operasi tangkap tangan (OTT)
obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan1. oleh fungsi Propam Polri pada bulan Juli sampai
dengan oktober 2016 sebanyak 259 (dua ratus
Senada dengan itu, Pada perayaan
lima puluh Sembilan) kasus4. Hal senada juga
HUT Bhayangkara ke-71 di Monas Jakarta,
didapatkan dari data hasil survey dari litbang
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo
kompas tanggal 14-16 Juni 2017 Kinerja polri
menyampaikan lima instruksi untuk Polri.
masih ada masyarakat yang menilai kinerja polri
Pertama, Jokowi berpesan agar Polri
10,5% tetap buruk, dan 10,3 % makin buruk. 5
memperbaiki manajemen internal Polri.
Hal itu bertujuan menekan budaya-budaya Hal yang sama, disampaikan Profesor
negatif di Polri, seperti korupsi, penggunaan Adrianus Meliala dalam bukunya yang berjudul
kekerasan, penyalahgunaan wewenang, dan “Mengkritisi Polisi”, bahwa polisi dapat dikatakan
suap. Kedua, Jokowi menginstruksikan agar belum profesional, yang terlihat dari tampilan
Polri memantapkan soliditas internal dan kerja anggota-anggota polri, misalnya polisi
profesionalisme. Hal itu merupakan tindak lalu lintas yang kerap terlambat hadir di jalan
lanjut dari instruksi pertama. Ketiga, optimalkan yang macet, atau anggota Satuan Bhayangkara
modernisasi Polri guna mendukung terwujudnya (Sabhara) yang meminta “salam tempel” dari
Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan kendaraan-kendaraan angkutan, sikap anggota
berkepribadia. Ia menambahkan, modernisasi reserse yang ogah-ogahan dalam menuntaskan
juga bagian dari antisipasi ancaman di masa kasus, atau etos kerja petugas Binmas yang “asal
depan. Keempat, Polri harus meningkatkan sudah selesai” saat memberikan penyuluhan, mau
kesiapsiagaan operasional melalui upaya deteksi tak mau juga masih merupakan gambaran yang
dini dan deteksi aksi dengan strategi profesional dipersepsikan oleh masyarakat tentang polisi
proaktif. Dengan begitu, kata Jokowi, Polri dan organisasi kepolisian dewasa ini6.
tetap dapat lincah bertindak menghadapi
Berdasarkan hal tersebut maka penulis
perkembangan situasi yang meningkat secara
tertarik dengan permasalahan profesionalisme
cepat. Adapun instruksi terakhir adalah Polri
polri yang diformulasikan ke dalam judul
diminta meningkatkan kerja sama koordinasi
“Program Promoter Kapolri Dalam rangka
dan komunikasi dengan semua elemen, baik
Mewujudkan Profesionalisme Polri”.
pemerintah maupun masyarakat, di Indonesia,
juga di negara lain. Menurut Jokowi, hal itu Terdapat dua permasalahan yang penulis
diperlukan untuk memastikan polisi bisa bahas dalam makalah ini, yaitu :
bekerja dengan baik dan profesional2.
1. Bagaimana program promoter Kapolri dalam
Ditengah Presiden dan Kapolri mewujudkan profesionalisme Polri?
menginginkan adanya perbaikan dan
2. Sektor mana saja yang harus dibenahi agar
profesionalisme di tubuh Polri, namun
polri dapat Profesional?
kenyataanya hal ini bertolak belakang dengan
data dari Ombudsman RI pada tahun 2015 Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah
lalu yang mencatat adanya laporan dugaan
maladministrasi di kepolisian sebanyak 806 3 https://www.selasar.com/politik/ombudsman-beberkan-maladministrasi-
kepolisian-lagi, diakses tanggal 18 November 2017
1 https://w w w.kompasiana.com/eric_nico/program-promoter-kapolri, 4 Video Conference Kapolri dengan Kapolda jajaran tanggal 24 oktober 2016
diakses tanggal 18 November 2017. 5 http://tribratanews.polri.go.id/?p=232913,diakses tanggal 18 November
2 https://nasional.tempo.co/read /890114/lima-pesan-jokowi-di-hut- 2017
bhayangkara-polri, diakses tanggal 18 November 2017 6 Meliala, Adrianus, 2001, mengkritisi polisi, Jakarta: Kanisius
sebagai syarat ujian akhir semester teori hukum. demarkasi tegas atas peran polisi. Beberapa
Disamping itu juga untuk mengetahui apakah melihatnya sebagai mengubah cara melakukan
program promoter kapolri dapat meningkatkan bisnis dan link yang bahkan lebih sedikit gagasan
profesionalisme Polri dan sektor mana yang profesionalisme untuk pengiriman layanan yang
harus dibenahi. lebih baik (Burgess et al 2006)8.
7 Kurniawan, Agung, 2005, Transformasi Pelayanan Publik, Yogyakarta: 8 Fleming, Jenny, The Pursuit of Profesionalism
Pembaruan. 9 Ibid.
kepolisian yang lebih baik, dan pembentukan sehingga semakin mudah dan cepat diakses oleh
strategi anti-korupsi yang berseragam (Lan-yon masyarakat, termasuk pemenuhan kebutuhan
2007;111). Resolusi AMPC telah ‘menempatkan Almatsus dan Alpakam yang makin modern.
pendidikan’ sebagai fokus profesionalisasi Terpercaya dengan Melakukan reformasi
kepolisian’ (Lanyon 2006:13)10. internal menuju Polri yang bersih dan bebas dari
KKN, guna terwujudnya penegakan hukum yang
Di Indonesia, pengelolaan organisasi
obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
polri dilaksanakan dengan menerapkan
sistem administrasi kepolisian. Administrasi Kapolri juga menetapkan 11 proram prioritas
Polri dibagi menjadi dua bidang yaitu bidang dalam rangka menuju Polri yang Profesional,
operasional dan pembinaan. Bidang operasional Modern, dan Terpercaya (Promoter).
meliputi fungsi-fungsi kepolisian yaitu Sabhara,
11 Program Prioritas Kapolri tersebut,
Polantas, Reserse, Intelpol, Brimob, Polair,
yaitu 12:
Pol udara, dan Polisi Satwa. Sedangkan fungsi
pembinaan terdiri dari pengorganisasian, sistem 1. Pemantapan reformasi internal Polri.
manajemen personil, hubungan tata cara kerja
2. Peningkatan pelayanan publik yang lebih
(HTCK), sistem manajemen logistik, sistem
mudah bagi masyarakat dan berbasis TI.
manajemen keuangan, sistem pengawasan ,
sistem perencanaan program dan anggaran11. 3. Penanganan kelompok radikal prokekerasan
Manajemen Polri yang bersentuhan dengan dan intoleransi yang lebih optimal.
masyarakat adalah manajemen operasional.
Fungsi-fungsi yang ada di dalam-nyalah yang 4. Peningkatan profesionalisme Polri menuju
menjadi etalase dan tolok ukur profesionalisme keunggulan.
polri dimata masyarakat. Masyarakat menuntut 5. Peningkatan kesejahteraan anggota Polri.
polri untuk dapat melaksanakan tugas-tugasnya
secara baik dan professional. 6.
Tata kelembagaan, pemenuhan
proporsionalitas anggaran dan kebutuhan
Seperti yang telah disampaikan di awal Min Sarpras.
bahwa dalam meningkatkan profesionalisme
Polri, Kapolri Jenderal polisi H. Drs. M. Tito 7. Bangun kesadaran dan partisipasi masyarakat
karnavian, Phd dengan jargonnya promoternya terhadap Kamtibmas.
(professional, modern, dan terpercaya) berupaya 8. Penguatan Harkamtibmas (Pemeliharaan
untuk meningkatkan profesionalisme anggota Keamanan dan Ketertiban Masyarakat).
Polri menjadi lebih baik. Adapun penjabarannya
adalah Profesional, dengan meningkatkan 9. Penegakan hukum yang lebih profesional
kompetensi SDM Polri yang semakin berkualitas dan berkeadilan.
melalui peningkatan kapasitas pendidikan dan 10. Penguatan pengawasan.
pelatihan, serta melakukan pola-pola pemolisian
berdasarkan prosedur baku yang sudah dipahami, 11. Quick Wins Polri.
dilaksanakan, dan dapat diukur keberhasilannya.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan
Modern: Melakukan modernisasi dalam
bahwa Polri meningkatkan profesionalismenya
layanan publik yang didukung teknologi
dengan meningkatkan kapasitas pendidikan dan
pelatihan, serta melakukan pola-pola pemolisian
10 Ibid.
11 Djamin, Awaloedin, 2011, Sistem Administrasi Kepolisian Republik 12 https://www.scribd.com/document/324067773/Buku-Panduan-Program-
Indonesia, Jakarta , Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, hal.52 Promoter-Kapolri . Diakses tanggal 18 November 2017
berdasarkan prosedur baku yang sudah dipahami, to the 20 best student in all recruitment stages,
dilaksanakan, dan dapat diukur keberhasilannya. wheater in the SEBA, SECAPA, SIP, AKPOL,
Namun di dalam proses pendidikan dan latihan PTIK, SELAPA, SESPIM or SESPIMTI. The
di Polri masih terdapat praktek-praktek korupsi, rest have to fight for higher positions and ranks.
sebagaimana yang ditulis oleh Muradi dalam In observations and discussions with the personel
bukunya “Politics and Govermance in Indonesia( of the Polri, from brigadiers to officers at lower,
The police in the era reformasi)” menerangkan middle, and higher levels at Polri headquarters,
bahwa polda and polres offices, I found that the roles of
the personnel bureau were dominant compared
“ Corrupt practice in the Polri were entrenched
with those of the propam. In fact, almost every
and tended to lead to the formation cartels. This
unit and most individual personnel in the
occurred in the recruitment of new members
bureaus play roles as intermediaries, brokers
of the police, from the lower level of police
and fixers, who become liasons and problem
brigadier down to the level of he ordinary police
solving agents for promotions, assignment and
investigator and detective skills, paramilitary
education indide the polri at the levels.14
police skills, intelligence skills, or schools such
as the brigadier police school (SEBA), police (jaminan untuk promosi dantugas dikonfirmasi
Inspector candidate School (SECAPA), police oleh Mabes Polri diterapkan hanya kepada
Inspector School (sekolah Inspektur Polisi: 20 siswa terbaik di semuat tahap perekrutan,
SIP), Police Academy (AKPOL), Police apakah itu di SEBA, SECAPA, SIP, AKPOL,
University (PTIK), Police Advanced Officer PTIK, SELAPA, SESPIM atau SESPIMTI.
School (SELAPA), Police Staff Leadership Sisanya harus berjuang untuk lebih tinggi
Collage (SESPIM) and Police School for Staff dan berperingkat. Dalam pengamatan dan
And Chairman (SESPIMTI)”13 (praktek pembahasan dengan personil polri, dari
korupsi sudah meengakar dan cenderung brigadier ke petugas di tingkat bawah,
mengarah pada formasi kartel. Ini terjadi pada menengah dan tinggi di mabes polri, Polda
rekruitmen anggota baru polisi dari tingkat dan Polres, saya menemukan bahwa peran biro
yang lebih rendah dari brigadir polisi sampai SDM lebih dominan dibandingkan dengan
pada penyidik polisi dan keterampilan detektif, Propam. Sebenarnya hampir setiap unit
keterampilan polisi paramiliter, keterampilan dan sebagian besar individual di Biro SDM
intelijen, atau sekolah polisi seperti SEBA, memainkan peran perantara, calo, dan pemecah
SECAPA, SIP, AKPOL, PTIK, SELAPA, masalah, yang menjadu penghubung dan agen
SESPIM, SESPIMTI.) pemecah masalah untuk promosi, tugas dan
pendidikan di dalam Polri di semua level).
Pun demikian halnya dengan proses
penempatan dan jabatan juga terjadi korupsi Baru-baru ini, beredar berita tentang
untuk mengkondisikan agar personel yang Kasus kecurangan-kecurangan penerimaan
di level bawah masuk dalam posisi 20 besar brigadir polri dan Akpol di beberapa Polda di
yang dapat dipromosikan, sebagaimana yang Indonesia. Antar lain terjadi di polda Sumatera
disampaikan Muradi sebagai berikut: Selatan seperti yang diberitakan oleh media
online, Kumparan.com
A guarantee for promotion and assignment to be
comfirmed by The polri headquarters applies only “Empat perwira Polda Sumatera Selatan
(Sumsel) dicopot dari jabatanya. Mereka diduga
13 Muradi,2014, Politics and Govermance in Indonesia, The police in The
Era Reformasi, Jakarta, Routledge. Hal 94 14 Ibid.
kuat menerima suap dalam proses rekrutmen atau dosen. Hal ini dikarenakan banyak yang
masuk Polri pada 2016. Tidak hanya itu saja, masih berpendidikan S-1 dan proses mutasi
mereka juga diduga menerima suap dari proses ke lembaga pendidikan tidak didasarkan atas
seleksi anggota polisi yang ingin bersekolah. kompetensi dan kebutuhan lembaga pendidikan.
Bahkan banyak yang beranggapan bahwa para
Perwira polisi itu yakni Kombes Pol drg Soesilo
komisaris besar yang ditempatkan di lemdik
Pradoto, AKBP Deni Dharmapala, AKBP
hanya untuk naik pangkat atau untuk ‘parkir
Edya Kurnia, AKBP M Thoat Achmad. Serta
sementara’ menunggu jabatan di kewilayahan.
tiga orang bintara Bripka Is, Bripka NH, dan
Dari lembaga pendidikan pun, polri masih belum
Bripka D. Mabes Polri akan melakukan sidang
dapat dikatakan profesional dalam mengelola
kode etik untuk mereka.
lembaga pendidikan sebagai tempat menimba
Tapi ada baiknya Mabes Polri tak hanya ilmu dan keterampilan kepolisian. Seharusnya
berhenti di sidang etik saja. Polri harus apabila Polri belum mampu dalam mengelola
membuktikan semangat bersih-bersih di lembaga pendidikan ada baiknya diserahkan
bawah Kapolri Jenderal Tito Karnavian. kepada pihak ketiga yang berkompeten dalam
Pecat dan pidanakan perwira polisi itu.”Kasus pendidikan sehingga ilmu dan keterampilan yang
di Polda Sumsel mencerminkan bahwa masih diajarkan dapatrelevan dengan perkembangan
ada saja fakta walau tidak dapat dipukul rata tuntutan masyarakat akan polisi. Pun tentunya
atau generalisir, kalau masuk Polisi atau mau tenaga pengajarnya bukan dari kepolisian sendiri.
sekolah dilingkungan Polri, membutuhkan dan Tenaga pengajar dari anggota Polri dikhususkan
menggunakan sejumlah uang yang tidak sah. kepada sekolah-sekolah kejuruan (vokasional).
Terlepas nantinya uang itu alirannya kemana,”
Menurut penulis bukan hanya pendidikan
jelas Komisioner Komisi Kepolisian Nasional
dan pelatihan, yang dapat meningkatkan
(Kompolnas) Andrea H Poeloengan”15
profesionalisme, melainkan juga diantaranya
Dengan seleksi penerimaan yang buruk, kesejahteraan anggota Polri. Menurut
otomatis akan berdampak terhadap hasil pengalaman penulis ketiga berdinas bahwa gaji
pendidikan yang dihasilkan. Yang muaranya merupakan hal yang penting bagi seorang polisi.
profesionalitas tidak akan terwujud. Ketika gaji tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidup anggota Polri maka yang terjadi adalah
Selain permasalahan penerimaan peserta
penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang
didik, hal yang perlu dikaji adalah tenaga
yang dimilikinya. Hal ini senada dengan yang
pendidik serta bahan materi yang diajarkan
disampaikan Reza Giri Amriel dalam bukunya
kepada para siswa dan nantinya. Belum lagi lama
“Polisi bukan Manusia, membentuk polisi santun
pendidikan apakah sudah dikaji bahwa dengan
dan berempati”, ia mengatakan bahwa “untuk
lamanya pendidikan tersebut dapat menghasilkan
profesi seberat Polri, penghasilan yang mereka
personil polri yang profesional. Berkenaan
terima pada waktu-waktu sebelumya memang
dengan tenaga pendidik, Menurut pengamatan
jauh dari cukup. Ketidakcukupan itu mendorong
penulis bahwa anggota Polri yang berpangkat
personil Polri untuk memanfaatkan otoritas
komisaris besar yang ditempatkan di jabatan
yang mereka punya sebagai instrument untuk
dosen utama PTIK dan akpol kebanyakan tidak
memperoleh penghasilan sampingan, betapapun
mempunyai kualifikasi sebagai tenaga pendidik
penghasilan itu illegal sifatnya16.
Hal yang kedua yang perlu diperhatikan dalam pekerjaan. (Cherniss, 1980)18. Hal ini
untuk membuat polri profesional adalah perlu mendapat perhatian serius dari pimpinan
Anggaran. Anggaran di Polri yang tidak polri agar dapat memahami stress kerja anggota,
mencukupi semua kebutuhan Polisi dalam misalnya dengan penyegaran atau rotasi jabatan
satu tahun, seperti contoh anggaran dalam hal dan rotasi tempat tugas sehingga tidak sampai
penyelidikan dan penyidikan di Fungsi Reskrim. terjadi anggota yang bertugas di daerah terpencil
Menurut pengalaman penulis anggran tersebut akan tetap bekerja disana sampai puluhan tahun.
hanya mampu membiayai kegiatan penyelidikan Sedangkan rekan kerjanya di kota besar dalam
dan penyidikan di polres hanya sampai bulan waktu yang lama.
Juli itupun terkadang tidak semua biaya diajukan
Hal ke-empat adalah jumlah polisi yang
anggarannya. Hal tersebut senada dengan yang
belum ideal. Sehingga mengakibatkan banyak
disampaikan oleh Profesor adrianus Meliala
pekerjaan yang tidak dapat tertangani oleh
dalam bukunya yang berjudul ‘mengkritisi
polisi dengan baik. Misalnya seorang anggota
polisi’ bahwa “sudah bukan rahasia lagi bahwa
jaga piket polsek yang berjumlah 3 orang
mengingat kondisi anggaran yang pas-pasan,
ketika piket terjadi lima kejahatan yang hampir
Polri tidak mungkin melengkapi anak buahnya
bersamaan, maka secara otomatis anggota polsek
secara optimal”17. Hal ini juga menyumbang
tersebut akan kewalahan dalam menangani
belum profesionalnya Polri melaksanakan
kelima kejahatan tersebut. Yang aujungnya
tugasnya. Hal klasik memang, kekurangan
akan terlihat bahwa anggota Polri tidak
organisasi adalah masalah anggaran namun
profesional dalam melaksanakan tugas. Ketidak
memang demikian adanya anggaran yang
idelan ini diperparah dengan adanya tugas
digunakan membiayai tugas-tugas kepolisian
beberapa anggota menjadi driver pimpinan atau
memang masih bisa dikatakan tidak cukup.
sekretaris pribadi pimpinan, yang seharusnya
Hal yang ketiga yang dapat memperngaruhi dapat dimanfaatkan tenaganya untuk melayani
profesionalitas anggota polri adalah adalah Stress masyarakat. Rasio jumlah polisi dan masyarakat
kerja. Strees kerja dikarenakan beban pekerjaan tergambar dibawah ini :
yang berlebih dan katidakpuasan terhadap
pekerjaannya. Profesor adrianus Meliala dalam
bukunya yang berjudul ‘mengkritisi polisi’
mengungkapkan bahwa “pelbagai cara pandang
dan pembahasana dapat diketengahkan guna
mengomentari mengapa gambaran tersebut
muncul (baca: ketidak-profesionalan). Salah
satunya adalah pembahasanpsikologis yang
mengasumsikan bahwa penampilan yang Data rasio diatas terlihat bahwa secara
mengecewakan tadi diakibatkan oleh gejala nasional jumlah polisi dibandingkan dengan
burn-out yang timbul dikalangan anggota Polri. masyarakat 1 : 574, sedangkan angka rasio
Konsep psikologi ini menunjuk pada kondisi terendah ada di daerah sumatera utara dan
penarikan diri (self-retreat) oleh seseorang dari selatan, rasionya 1 : 1200. Hal ini masih jauh
pekerjaannya, sebagai respons terhadap stress dikatakan kata ideal. Hal ini belum dikurangi
yang berlebihan atau akibat ketidakpuasan dengan anggota Polri yang sakit, yang sedang
dalam pendidikan, bekerja diluar struktur Polri,
17 Meliala, Adrianus, 2001, mengkritisi polisi, Jakarta: Kanisius. Hal.141 18 Ibid.
atau sedang melaksanakan tugas kedinasan b. Periode 2010 – 2015 Tahap Partnership.
lainnya. Dan sudah barang tentu hal tersebut
Tingkat kepuasan terhadap rasa aman dan
dapat menyebabkan ketidakprofesionalan
keadilan diharapkan semakin baik, tuntutan
Polri dalam melayani masyarakat. Maka perlu
masyarakat akan melebar pada manajemen
direncanakan kedepan untuk menambah jumlah
rasa aman dan adil yang akuntabel, transparan,
anggota Polri sehingga mendekati angka ideal
open dan patuh rule of law.
dalam melayani masyaratat sehingga tercapai
profesionalitas tugasnya. c. Periode 2016 – 2025 Tahap Strive for
Excellence.
Hal yang ke-lima adalah Budaya
organisasi yang saat ini masih tercermin budaya Tahap ini kebutuhan masyarak akan lebih
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sudah tidak mengharapkan multi dimensional service
dapat dibantahkan lagi dan sudah menjadi quality yang efektif dan efisien ditengah
rahasia umum bahwa di Polri masih melakukan globalisasi kejahatan yang makin canggih.
praktik-praktik tersebut. Sehingga ada istilah
Saat ini kita sudah berada di tahap ketiga,
“tempat basah dan tempat kering”. Di tempat
Strive for Excelence. Atau dengan kata lain tahap
basah anggotanya cenderung rajin sedang di
pelayanan prima. Namun pada kenyataannya
tempat kering anggotanya cenderung bermalas-
tahap-tahap sebelumnya, trust building dan
malasan. Budaya koruptif ini ada di berbagai
pathnership building masih belum terwujud.
layanan kepolisian kepada masyarakat mulai
dari reserse, polantas, intelijen, Binmas, Sabhara, Tantangan polri kedepan apabila kita
Polair dan juga fungsi lain yang berhubungan tidak profesional adalah Polri dihadapkan pada
dengan pelayanan masyarakat. Mau tidak mau, tantangan, ancaman yang datang dari internal
suka tidak suka budaya ini harus dihilangkan maupun ekstenal dalam rangka mempertahankan
karena akan menambah rusak citra polri dimata atau meningkatkan capaian di masa-masa yang
masyarakat. Budaya koruptif ini tidak dapat akan datang. Antara lain : 20
menjadi alasan pembenar untuk menutupi
anggaran Polri yang minim. 1. Membangun kepercayaan (Trust Building)
19 https://www.scribd.com/doc/127347455/Grand-Strategi-Polri. Diakses 20 Karnavian, Tito, dkk, 2016. Polri Dalam Arsitektur Negara. Jakarta. Pensil
tanggal 18 November 2017 324. Hal 242
A. Wahyurudhanto
Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK
Jl. Tirtayasa Raya 6. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
E-mail : wrudhanto@gmail.com
Abstract
This study focuses on program evaluation, intended to provide recommendations for decision-making
as a follow-up of the implementation of Police cooperation program with JICA in the field of Polmas. The
study will provide an analysis by comparing the findings or facts contained in the evaluation component
with predefined standards or criteria. This research uses qualitative approach. While the research method
using CIPP program evaluation model (Contect, Input, Process, Product). In general, door to door system
(sambang) training, problem solving, and task controls organized by JICA in the form of ICT and IHT in
terms of product benefits obtained during program implementation, have a positive effect on capacity building
. In addition, these activities also provide a positive effect of building a good perception of Bhabinkamtibmas
performance by the community.
Abstrak
Penelitian ini fokus pada evaluasi program, dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi bagi
pengambilan keputusan sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan program kerjasama Polri dengan
JICA di bidang Polmas. Penelitian akan memberikan analisis dengan membandingkan temuan atau
fakta yang terdapat pada komponen evaluasi dengan standar atau kriteria yang telah ditentukan
sebelumnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan metode penelitian
menggunakan model evaluasi program CIPP (Contect, Input, Process, Product). Secara umum
pelatihan door to door system (sambang), problem solving (pemecahan masalah), dan kendali tugas
yang diselenggarakan oleh JICA dalam bentuk ICT maupun IHT dari sisi manfaat hasil (product)
yang diperoleh selama pelaksanaan program, memberikan efek positif dalam peningkatan kapasitas
anggota. Di samping itu kegiatan tersebut juga memberikan efek positif berupa terbangunnya
persepsi yang baik mengenai kinerja Bhabinkamtibmas oleh masyarakat.
Manfaat hasil (product) yang diperoleh selama dalam perkembangannya telah dimodifikasi
pelaksanaan program. dengan kebijakan tentang Polmas sebagai
perpolisian masyarakat, yaitu suatu upaya agar
3. Tujuan Penelitian dan Keluaran masyarakat dapat menjadi polisi bagi dirinya
dan komunitasnya sendiri, dengan polisi sebagai
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan
fasilitator. Dalam masyarakat yang teratur (dan
data dan informasi yang dapat dimanfaatkan
stabil secara politik), warga dapat mengharapkan
untuk mengambil keputusan dalam hal:
hidup dengan rasa aman (tanpa “fear of crime”)
perbaikan, keberlanjutan, perluasan dan
dan akan berpaling kepada polisi untuk
penghentian program yang telah dilaksanakan.
memberikan perlindungan dan pelayanan.
Proses pengambilan keputusan dilakukan
dengan membandingkan temuan atau fakta yang Penerapan model Community Policing
terdapat pada komponen evaluasi dengan standar di beberapa wilayah di Indonesia tidak bisa
atau kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. dilepaskan dari kondisi kekinian Indonesia
dalam arus reformasi yang berimbas pula pada
Dari penelitian ini diperoleh keluaran
institusi kepolisian. Tuntutan reformasi sektor
berupa prosiding penelitian yang berisi mengenai
keamanan saat itu disikapi dengan reformasi
laporan penelitian, analisia, serta rekomendasi
Polri yang dinyatakan dalam empat paradigma.
atas hasil penelitian yang dilakukan.
Pertama, perubahan pendekatan, dari pendekatan
militeristik ke pendekatan profesionalitas. Kedua,
mengubah pendekatan kekuasaan menjadi
B. Kerangka Teori pendekatan yang mengedepankan pelayanan.
1. Community Policing di Indonesia Ketiga, pendekatan yang berorientasi koperasi
berubah menjadi pendekatan yang berorientasi
Menurut para ahli seperti Trojanowich pasar. Dan keempat, berusaha memperoleh
(1998), Bayley (1988), dan Rahardjo (2001) yang kepercayaan dan dukungan masyarakat
secara garis besar menekankan pada pentingnya (Muhammad, 2004 : 14).
kerjasama antara polisi dengan masyarakat
tempat bertugas untuk mengidentifikasi dan Dalam perkembanganya muncul model
menyelesaikan masalah-masalah sosialnya perpolisian yang melibatkan masyarakat dengan
sendiri. Konsep Polmas yang diadopsi Polri dua pilar utama yaitu kemitraan (partnership)
sekarang ini, bervariasi. Ada yang mirip sistem dan pemecahan masalah (problem solving).
Koban atau Chuzaiso dari Jepang, sistem Program Polmas mengembangkan tanggung
Neighbourhood Policing dari Singapura, atau jawab bagi kontrol kejahatan dari polisi kepada
Community Policing dari Amerika Serikat. masyarakat umum. Polisi bekerjasama dengan
Konsep tersebut dimodifikasi di Indonesia, komunitas di dalam mengidentifikasi masalah-
karena karakteristik budaya masyarakatnya. masalah dan menerapkan berbagai strategi, yang
Perlu ada penyesuaian cara bertindak sebagai seringkali memfokuskan pada upaya-upaya
penjabaran konsep Polmas tersebut dengan mengatasi persoalan tertentu untuk mengurangi
karakteristik masyarakat. Meski demikian, kejahatan dan ketakutan akan kejahatan di
pengertian Polmas sampai saat ini masih ada masyarakat. Khusus untuk program JICA
yang mengartikan pemolisian masyarakat dan di Indonesia, dipromosikan pengembangan
pembinaan Kamtibmas maupun Community Polmas melalui pendekatan berupa door to door
Oriented Policing (COP). Namun demikian system yang telah dikenal sebelumnya sebagai
pendekatan sambang, problem solving atau
pemecahan masalah, serta kendali tugas sebagai kebijakan dan program. Secara umum, istilah
bentuk kontrol atas aktivitas Polmas yang sudah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran
dilakukan. (appraisal), pemberian angka (ratting)
dan penilaian (assessment) kata-kata yang
2. Pelatihan
menyatakan usaha untuk menganalisis hasil
Menurut Mathis (2002), pelatihan adalah kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam
suatu proses dimana orang-orang mencapai arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan
kemampuan tertentu untuk membantu dengan produksi informasi mengenai nilai atau
mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, manfaat hasil kebijakan. Ketika hasil kebijakan
proses ini terikat dengan berbagai tujuan pada kenyataan mempunyai nilai, hal ini karena
organisasi, pelatihan dapat dipandang secara hasil tersebut member sumbangan pada tujuan
sempit maupun luas. Secara terbatas, pelatihan atau sasaran, dalam hal ini dikatakan bahwa
menyediakan para pegawai dengan pengetahuan kebijakan atau program telah mencapai
yang spesifik dan dapat diketahui serta tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti
keterampilan yang digunakan dalam pekerjaan bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas
mereka saat ini. Terkadang ada batasan yang atau diatasi (Dunn, 1999).
ditarik antara pelatihan dengan pengembangan,
Program adalah kegiatan atau aktivitas yang
dengan pengembangan yang bersifat lebih
dirancang untuk melaksanakan kebijakan dan
luas dalam cakupan serta memfokuskan pada
melaksanakn untuk waktu yang tidak terbatas.
individu untuk mencapai kemampuan baru yang
Kebijakan tertentu bersifat umum dan untuk
berguna baik bagi pekerjaannya saat ini maupun
merealisasikan kebijakan disusun berbagai jenis
di masa mendatang.
program. (Wirawan, 2012 : 16). Ralp Tyler,
Pelatihan menurut Gary Dessler (2009) 1950 (dalam Suharsimi, 2007) mendefinisikan
adalah Proses mengajarkan karyawan baru atau bahwa evaluasi program adalah proses untuk
yang ada sekarang, ketrampilan dasar yang mengetahui apakah tujuan program sudah
mereka butuhkan untuk menjalankan pekerjaan dapat terealisasi. Sedangkan Cronbach (1963)
mereka”. Pelatihan merupakan salah satu usaha dan Stufflebeam (1971) evaluasi program
dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia adalah upaya menyediakan informasi untuk
dalam dunia kerja. Dalam pengembangan disampaikan kepada pengambil keputusan.
program pelatihan, agar pelatihan dapat
Dari berbagai definisi di atas, dapat
bermanfaat dan mendatangkan keuntungan
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
diperlukan tahapan atau langkah-langkah yang
evaluasi program adalah kegiatan untuk
sistematik. Secara umum ada tiga tahap pada
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya
pelatihan yaitu tahap penilaian kebutuhan,
sesuatu program yang selanjutnya informasi
tahap pelaksanaan pelatihan dan tahap evaluasi.
tersebut digunakan untuk menentukan alternatif
Atau dengan istilah lain ada fase perencanaan
atau pilihan yang tepat dalam mengambil sebuah
pelatihan, fase pelaksanaan pelatihan dan fase
keputusan.
pasca pelatihan.
4. Model Evaluasi CIPP
3. Evaluasi Program
Model yang digunakan dalam penelitian
Istilah evaluasi mempunyai arti yang
ini adalah model pengambilan keputusan
berhubungan, masing-masing menunjuk pada
yang dikembangkan oleh Stufflebeam yang
aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil
dikenal dengan CIPP Evaluation Model. CIPP
merupakan singkatan dari Context, Input, hasil yang dicapai setelah program dilaksanakan.
Process and Product. Dalam buku Riset Terapan
Pertimbangan menggunakan model CIPP,
oleh Endang Mulyatiningsih (2011: 126),
karena model tersebut dinilai cocok bagi proses
mengemukakan bahwa evaluasi CIPP dikenal
evaluasi program pendidikan dan pelatihan
dengan nama evaluasi formatif dengan tujuan
dengan fokus pada kegiatan Polmas. Komponen
untuk mengambil keputusan dan perbaikan
utama yang dilatih dalam kegiatan Polmas
program.
berupa 3 (tiga) pokok kegiatan yaitu kegiatan
Model evaluasi ini pada awalnya digunakan kunjungan (DDS / Door to Door System), kegiatan
untuk mengevaluasi ESEA (the Elementary and pemecahan masalah (problem solving), dan sisten
Secondary Education Act). CIPP merupakan supervisi atau pengendalian tugas.
singkatan dari, context evaluation : evaluasi
Dengan melihat variasi jenis data yang
terhadap konteks, input evaluation : evaluasi
dikumpulkan pada setiap komponen evaluasi,
terhadap masukan, process evaluation : evaluasi
menunjukkan bahwa evaluasi program
terhadap proses, dan product evaluation : evaluasi
dengan menggunakan CIPP memerlukan
terhadap hasil. Keempat singkatan dari CIPP
penggabungan beberapa jenis metode dan alat
tersebut itulah yang menjadi komponen evaluasi.
pengumpulan data. Jenis data evaluasi program
Model evaluasi CIPP adalah sebuah pendekatan
lebih banyak menggunakan data kualitatif dan
evaluasi yang berorientasi pada pengambil
cara memperolehnya tidak memerlukan alat
keputusan (a decision oriented evaluation approach
ukur yang rumit. Data dapat diperoleh dari
structured) untuk memberikan bantuan kepada
dokumen usulan program, dokumen rencana
administrator atau leader pengambil keputusan.
program, dokumen sumber daya yang terlibat
Stufflebeam mengemukakan bahwa hasil
dalam pelaksanaan program dan dokumen hasil
evaluasi akan memberikan alternatif pemecahan
yang telah dicapai program.
masalah bagi para pengambil keputusan.
Pengumpulan data juga dilakukan dengan
Manfaat model ini untuk pengambilan
metoda wawancara mendalam, observasi, serta
keputusan (decision making) dan bukti
melalui wawancara dan angket berupa kuesioner.
pertanggung jawaban (accountability) suatu
Subjek dan sumber data penelitian, secara
program. Tahapan evaluasi dalam model ini
otomatis diambil dari subjek yang terlibat dalam
yakni penggambaran (delineating), perolehan
pelaksanaan program, yaitu : representasi JICA
atau temuan (obtaining), dan penyediakan
di Indonesia (Mabes Polri) sebagai inisiator
(providing) bagi para pembuat keputusan.
program, pelaksana program, dari Dit Binmas
Baharkam Polri dan Polres Bekasi dan para
instruktur, peserta Program yaitu Polda yang
C. METODA PENELITIAN menjadi pilot project, pelaksana tindak lanjut
Penelitian ini menggunakan pendekatan program yaitu para Kasat Binmas, Kapolsek, dan
kualitatif. Sedangkan metode penelitian Bhabinkamtibmas yang menjalankan program
menggunakan model evaluasi program CIPP Polmas, dan masyarakat sebagai pihak yang
(Contect, Input, Process, Product). Keunggulan terkait dengan pelaksanaan program.
model CIPP yaitu memberikan suatu format Analisis data dilakukan sesuai dengan jenis
evaluasi yang dilakukan secara komprehensif, data yang diperoleh. Secara umum, data kualitatif
untuk memahami aktivitas-aktivitas program dianalisis secara deskriptif kualitatif yang
mulai dari munculnya ide program sampai pada diurutkan sesuai dengan komponen evaluasi.
Dalam penelitian ini juga dilakukan pengisian : Polda Metro Jaya, Polda Bali, Polda Kalimantan
kuesioner untuk memperoleh data kuantitatif Selatan, dan Polda Sumatera Selatan.
yang memberikan gambaran mengenai hasil
pengukuran produk baik berupa kinerja D. Hasil Dan Pembahasan
Bhabinkamtibmas maupun persepsi masyarakat
1. Kegiatan Kunjungan Warga (Door to Door
akan kinerja Bhabinkamtibmas sebagai hasil
System)
dari proyek kerjasama Polri dengan JICA.
Data tersebut dianalisis dengan cara deskriptif Dari hasil tabulasi kuesioner mengenai
kuantitatif. kegiatan kunjungan warga, dipilih 10
jawaban teratas untuk kecenderungan sangat
Karena pertimbangan waktu pelaksanaan
setuju dan setuju. Rincian persentase jawaban
dan angaran yang tersedia, penelitian ini
anggota bhabinkamtibmas yang menjadi
dilakukan di wilayah yang bisa mewakili
responden dalam penelitan ini adalah sebagai
pelaksanaan program. Wilayah yang dipilih, yaitu
berikut :
1. Polda Bali
NO PERNYATAAN SS S KS TS
2. Menyiapkan informasi dan pesan kamtibmas 64.04% 34.21% 0.88% 0.88%
22. Menyampaikan cara menghubungi polisi atau
polsek terdekat 92.59% 7.41% 0.00% 0.00%
23. Menyampaikan prosedur memperoleh SIM 83.33% 16.67% 0.00% 0.00%
24. Menyampaikan prosedur memperoleh SKCK 82.41% 17.59% 0.00% 0.00%
17. Menyampaikan cara mencegan tindak pidana 91.67% 7.41% 0.93% 0.00%
26. Menyampaikan prosedur melaporkan
kehilangan 91.67% 7.41% 0.93% 0.00%
27. Menyampaikan prosedur melaporkan pencurian 83.33% 15.74% 0.00% 0.93%
25. Menyampaikan prosedur memperoleh Surat Ijin
Keramaian 71.30% 27.78% 0.93% 0.00%
29. Cara mengisi blanko laporan kunjungan 92.59% 5.56% 0.93% 0.93%
30. Mengerti maksud dibuatnya blanko laporan
kunjungan 92.59% 5.56% 1.85% 0.00%
Dari hasil tabulasi kuesioner mengenai kegiatan problem solving, dipilih 10 jawaban teratas
untuk kecenderungan sangat setuju dan setuju. Rincian persentase jawaban anggota bhabinkamtibmas
yang menjadi responden dalam penelitan ini adalah sebagai berikut :
1. Polda Bali
NO PERNYATAAN SS S KS TS
2. Mencatat setiap laporan/pengaduan
masyarakat 92.59% 7.41% 0.00% 0.00%
7. Penanganan TPTKP mengutamakan
menolong korban 92.59% 7.41% 0.00% 0.00%
12. Penanganan perkara ringan selalu mencatat
laporan/pengaduan masyarakat 92.59% 7.41% 0.00% 0.00%
17. Penanganan perkara ringan, memberikan
pandangan perkara tersebut diteruskan atau
diselesaikan secara kekeluargaan 92.59% 7.41% 0.00% 0.00%
20. Apabila kedua belah pihak berdamai, saya
selalu membuat surat kesepakatan bersama
tentang penyelesaian perkara 84.26% 15.74% 0.00% 0.00%
5. Polda Bali
NO PERNYATAAN SS S KS TS
1. Mengerti tugas2 sebagai Bhabinkamtibmas 87.96% 12.04% 0.00% 0.00%
2. Selalu mendapat arahan dr perwira polsek 83.33% 16.67% 0.00% 0.00%
3. Selalu menuliskan laporan kegiatan 74.07% 25.93% 0.00% 0.00%
9. Diwajibkan oleh perwira polsek/Kanit BInmas
membuat rencana kerja 92.59% 6.48% 0.93% 0.00%
10. Diwajibkan oleh perwira polsek/Kanit BInmas
membuat evaluasi atas tugas2 87.96% 11.11% 0.93% 0.00%
Secara keseluruhan, dari dimensi aktivitas Bhabinkamtibmas yang menjadi program utama
dalam kerjasama Polri dengan JICA di bidang Polmas, yaitu pada kegiatan kunjungana ke warga (door
to door system), kegiatan pemecahan masalah (problem solving) dan sistem kendali tugas, tergambar
dalam tabel sebagai berikut:
9. Polda Bali
JAWABAN RESPONDEN (%)
NO. PERNYATAAN
SS S KS TS
1. Kegiatan kunjungan ke warga 63.46% 26.09% 8.05% 2.40%
2. Kegiatan problem solving 76.62% 20.42% 2.50% 0.46%
3. Sistem Kendali Tugas 73.24% 21.48% 4.17% 1.11%
JUMLAH 69.47 % 23.43 % 5.55 % 1.55 %
yang dikembangkan oleh Kepolisian program, berjalan dengan baik. Dari hasil
Jepang, memberikan pengaruh positif bagi pengamataan, wawancara, maupun pengisian
optimalisasi implementasi Polmas. Namun kuesioner, menunjukkan adanya manfaat bagi
dalam praktik di lapangan, muncul kendala, anggota Bhabinkamtibmas dalam melakukan
yaitu biaya pemeliharaan dan perawatan implementasi Polmas. Namun karena
rumah yang menjadi tempat tinggal kebijakan dari JICA yang menjadikan In
sekaligus kantoir anggota Bhabinkamtibmas, Country Training (ICT) sebagai bentuk dari
karena tuidak bisa teranggarkan di DIPA. trainining of trainer (TOT), untuk mencetak
D Polres Tanah Bumbu, Polda Kalimantan instruktur yang nanti mengembangkan di
Selatan misalnya, karena keberhasilan dalam wilayah dalam bentuk In House Training
melibatkan perusahaan dengan program CSR (IHT) tidak tersosialisikan dengan memadai
(Corporate Social Responsibilty), bisa terbangun dalam manajemen operasional di Polri,
36 Rumah Kantor untuk Bhabinkamtibmas. sehingha tidak semua wilayah merespon
Namun, untuk pemeliharaan dan perawatan dalam bentuk IHT. Pelaporan yang tidak
sampai sekarang menjadi kendala tersendiri. sampai ke Biro Kerma Asisten Operasi
Operasi Kapolri menunjukan bahwa
9. Perkembangan dinamika masyarakat dalam
kegiatan ini masih cenderung parsial, karena
implementasi Polmas menumbuhkan
hanya terorganisasir di lingkup Direktorat
kreativitas di masyarakat untuk memadukan
Binmas saja, padahal implementasi Polmas
program Polmas dengan kearifan lokal dalam
merupakan sarana strategi dalam rangka
rangka menekan angka kriminalitas. Di Polda
menunjang tugas pokok dan fungsi Polri.
Bali, karena intensitas masyarakat dalam
implementasi Polmas, kini berkembangkan 2. Melalui aktivitas pelatihan dalam bentuk
“4 Pilar” dalam implementasi Polmas, yaitu door to door system (sambang), problem solving
Bhabinkamtibmas, Babinsa, Kepala Desa / (pemecahan masalah), dan kendali tugas,
Lurah, dan Tokoh Adat. Dalam penyelesaian diperoleh masukan (inputs) atau hasil selama
masalah (Problem solving), pelibatan pihak pelaksanaan program berupa peningkatan
unit Reskrim di Polsek juga dilakukan, kapasitas bagi anggota Bhabinkamtibmas,
sehingga sejak awal sudaj ada upaya untuk terutama dalam menjalankan tugasnya
efektifitas langkah-langkah dalam rangka terkait implementasi Polmas. Namun dalam
implementasi Polmas. realitas di lapangan, diperlukan pelatihan
tambahan sesuai kebutuhan riil anggota
Babinkamtibmas, yaitu pelatihan teknik
D. Simpulan komunikasi, retorika, dan tenik negosiasi.
Dari temuan di lapangan dan pembahasan 3. Proses (process) dalam pelaksanaan program
di muka, diperoleh beberapa kesimpulan dalam kerja sama antara Polri dengan Jica di
penelitian ini, yaitu: bidang Polmas, dalam level nasional berjalan
dengan baik, karena adanya program In
1. Pelaksanaan kerja sama antara Polri dengan Country Training (ICT). Namun dalam
JICA di bidang Polmas, dalam bentuk pengembangan di wilayah melalui program
pelatihan door to door system (sambang), In House Training (IHT), tidak bisa berjalan
problem solving (pemecahan masalah), dan optimal, karena belum adanya kesamaan
kendali tugas dalam konteks (contects) persepsi megenai pengembangan pelatihan
antara tujuan program dan pelaksanaan Polmas model kerjasama Polri-JICA di
Guili Zhang, et al. 2011. Using the Context, Anthony J. 2007. Evaluation Theory, Models, and
Input, Process, and Product Evaluation Model Application. San Francisco: Jossey-Bass.
(CIPP) as a Comprehensive Framework to Guide
Walker, Samuel. 2001. Police Accountability
the Planning, Implementation, and Assessment
: the Role of Citizen Oversight. Terjemahan oleh
of Service-learning Programs. Journal of Higher
Tim PTIK. Omaha, USA : Wadsworth.
Education Outreach and Engagement, Volume 15,
Number 4, p. 57. Widoyoko, Eko Putro. 2013. Evaluasi
Program Pembelajaran:Panduan Praktis bagi
Karatas Hakan, 2011. CIPP evaluation
Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta:
model scale: development, reliability and validity.
Pustaka Pelajar.
Journal Procedia Social and Behavioral Sciences
15 (2011) 592–599. Winardi. 2003. “Teori Organisasi dan
Pengorganisasi”. Jakarta, PT RajaGrafindo
Mitra Farsi & Maryam Sharif. 2014.
Persada.
Stufflebeam’s CIPP Model & Program Theory:
A Systematic Review. International Journal of Wirawan. 2011. Evaluasi: Teori, Model,
Language Learning and Applied Linguistics Standar, Aplikasi dan Profesi. Jakarta: Rajagrafindo
World, Volume 6 (3), July 2014; 400 ‐406. Persada.
Stufflebeam, Daniel L. dan Shinkfield,
Ari Prayitno
Mahasiswa Magister Ilmu Kepolisian Angkatan VII STIK-PTIK.
Jln Tirtayasa Raya Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
E-mail : ariprayitno2007@gmail.com
Abstract
This paper tries to show us that the positive law in Indonesia can not always be implemented by
law enforcement officers and give fairness to all parties involved in criminal cases. In the case of traffic
accidents involving core family the police are often bumped into two dilemmas between continuing the case
investigation to the court or not continuing the case investigation due to consideration of the psychological
factors of the suspect and the core family feeling condition. Investigators only know two things related to the
completion of a criminal case that is P21 and SP3, if the investigator chose not to continue the investigation
because of the psychological factors of the suspect and the core family feeling condition then of course the case
must be stopped but on the contrary the terms of stopping a criminal case is clearly regulated in KUHAP ,
There is no reason to stop the investigation if it is not included in the terms established so that the formulation
of ADR as a form of criminal penalty in technical investigation is required to accommodate these interest.
Abstrak
Tulisan ini mencoba memperlihatkan kepada kita bahwa tidak selamanya hukum positif
yang ada di Indonesia dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dalam memberikan rasa
adil bagi semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana. Pada kasus kecelakaan lalu lintas yang
melibatkan keluarga inti polisi seringkali dibenturkan dengan dua hal yang menjadi dilema yaitu
antara melanjutkan penyidikan perkara hingga ke pengadilan atau tidak melanjutkan penyidikan
perkara dikarenakan pertimbangan faktor psikologis tersangka dan kondisi perasaan keluarga inti.
Penyidik hanya mengenal dua hal terkait penuntasan sebuah perkara pidana yaitu P21 dan SP3,
jikalau penyidik memilih untuk tidak melanjutkan penyidikan karena faktor psikologis tersangka
dan kondisi perasaan keluarga inti maka tentunya perkara harus di hentikan akan tetapi sebaliknya
syarat menghentikan sebuah perkara pidana sudah jelas diatur dalam KUHAP, tidak didapat suatu
alasan menghentikan penyidikan bilamana tidak termasuk ke dalam syarat yang telah ditetapkan
sehingga perlu rumusan ADR sebagai bentuk penuntasan perkara pidana dalam teknis penyidikan
untuk mengakomodir kepentingan ini.
dalam kehidupan manusia. Hukum progresif hukum yang berasaskan keadilan, kemanfaatan
ini, ditawarkan untuk mengatasi krisis di era dan kepastian dapat tercapai dengan baik sesuai
global sekarang ini. Dedikasi para pelaku hukum dengan harapan masyarakat yang sudah dewasa
mendapat tempat yang utama untuk melakukan pada masa sekarang ini.
perbaikan. Para pelaku hukum, harus memiliki
empati dan kepedulian pada penderitaan yang 3. Landasan Teori
dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan
rakyat harus menjadi orientasi utama dan tujuan A. Teori Hukum Progresif
akhir penyelenggaraan hukum. Dalam konsep
hukum progresif, hukum tidak mengabdi pada Teori Hukum Progresif yang dicetuskan
dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang oleh Profesor Satjipto Rahardjo ini menegaskan
berada di luar dirinya. Ini berbeda dengan bahwa hukum bertugas melayani manusia, dan
tradisi analytical jurisprudence yang cenderung bukan sebaliknya3. “Hukum itu bukan hanya
menepis dunia luar dirinya; seperti manusia, bangunan peraturan, melainkan juga bangunan
masyarakat dan kesejahteraannya. Dalam ide, kultur, dan cita-cita” (Profesor Satjipto
konteks diskresi, para penyelenggara hukum Rahardjo).
dituntut untuk memilih dengan bijaksana Prof. Satjipto Raharjo, S.H., yang
bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada menyatakan pemikiran hukum perlu kembali
pada mereka berdasarkan aturan-aturan resmi, pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk
dipakai sebagai dasar untuk menempuh cara manusia. Dengan filosofis tersebut, maka
yang bijaksana dalam menghampiri kenyataan manusia menjadi penentu dan titik orientasi
tugasnya berdasarkan pendekatan moral dari hukum. Hukum bertugas melayani manusia,
pada ketentuan-ketentuan formal selain itu bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum
diskresi merupakan faktor wewenang hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari
yang dijalankan secara bertanggungjawab kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan
dengan mengutamakan pertimbangan moral oleh kemampuannya untuk mengabdi pada
dari pada peraturan abstrak. Diskresi dilakukan kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum
karena dirasakan sarana hukum kurang efektif progresif menganut “ideologi” : Hukum yang
dan terbatas sifatnya dalam mencapai tujuan pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.
hukum dan sosial. Oleh karena itu kehadiran
pelaku hukum yang arif, visioner, dan kreatif, Dalam masalah penegakan hukum, terdapat
sangat diperlukan untuk memandu pemaknaan 2 (dua) macam tipe penegakan hukum progresif:
yang kreatif terhadap aturan-aturan yang 1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam
demikian itu. penegakan hukum progresif. Idealnya,
mereka terdiri dari generasi baru profesional
2. Tujuan Penulisan hukum yang memiliki visi dan filsafat yang
Untuk menjelaskan tentang bagaimana mendasari penegakan hukum progresif.
suatu permasalahan kepolisian bila dikaji dengan 2. Kebutuhan akan semacam kebangunan di
berdasarkan teori hukum yang ada.Perkembangan kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan
masalah sosial dan masalah kepolisian menuntut serta teoritisi hukum Indonesia.
POLRI untuk dapat menyelesaikan berbagai
persoalan tersebut dengan menggunakan
3 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori
pendekatan pendekatan teori hukum agar tujuan Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Jakarta :
2013), hal. 190
geometris. (ii) Iustitia commutative (keadilan yaitu ; Pribadi (Integritas fisik, kebebasan
komutatif atau tukar menukar), menunjuk pada berkehendak, kehormatan/nama baik, privacy,
keadilan berdasarkan prinsip aritmetis, yaitu kebebasan kepercayaan, dan kebebasan
penyesuaian yang harus dilakukan apabila terjadi berpendapat). Kepentingan- kepentingan
perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum. (iii) dalam hubungan rumah tangga/domestic
Iustitia legalis (keadilan hukum), yang menunjuk (Orang tua, anak, suami/istri). Kepentingan
pada ketaatan terhadap hukum. Bagi Aquinas, substansi meliputi perlindungan hak milik,
menaati hukum bermakna sama dengan bersikap kebebasan menyelesaikan warisan, kebebasan
baik dalam segala hal (dan diasumsikan hukum berusaha dan mengadakan kontrak, hak
itu berisi kepentingan umum), maka keadilan untuk mendapatkan keuntungan yang sah,
hukum disebut juga sebagai keadilan umum pekerjaan, dan hak untuk berhubungan
(iustitia generalis). dengan orang lain.
5 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori 6 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori
Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Jakarta : Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Jakarta :
2013), hal. 140 2013), hal. 141
Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai Pengaitan hukum progresif dengan kelima
beberapa karakteristik umum sebagai berikut: teori hukum pendahulunya ini cukup beralasan
(Rationis sufficientis), karena dinamika
1. Aliran Studi Hukum Kritis ini mengkritik
masyarakat yang ditangkap oleh berbagai teori
hukum yang berlaku yang nyatanya memihak
hukum yang telah mengemuka tentu mengalami
ke politik, dan sama sekali tidak netral.
perubahan yang signifikan. Di samping itu
2. Ajaran Studi Hukum Kritis ini mengkritik sebuah teori dalam disiplin ilmu apa pun hanya
hukum yang sarat dan dominan dengan dipandang sebagai bentuk kebenaran sementara
ideologi tertentu. (meminjam prinsip Falsifiable Karl Popper)
sebelum ditemukan teori lain yang dipandang
3. Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai
lebih sophiticated. Kesadaran akan hukum
komitmen yang besar terhadap kebebasan
sebagai sebuah proses untuk terus menjadi,
individual dengan batasan-batasan tertentu.
melahirkan kesadaran baru bahwa hukum
Karena itu aliran ini banyak berhubungan
harus terus menerus mencari jati diri. Ibarat
dengan emansipasi kemanusiaan.
ular yang terus berganti kulit, maka diperlukan
4. Ajaran Studi Hukum Kritis ini kurang keterbukaan wawasan dari para pakar hukum
mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang untuk terus melangkah ke arah idealisme hukum
abstrak dan pengetahuan yang benar-benar dan melawan bentuk kemandegan hukum dan
objektif. Karena itu, ajaran Studi Hukum pendewaan atas berhala teoritis dalam panggung
Kritis ini menolak keras ajaran-ajaran dalam ilmiah (Francis Bacon menyebutnya dengan
aliran positivisme hukum. istilah Idola Theatri).
pembakuan yang tertulis agar berkekuatan menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas yang
sehingga para penegak hukum memiliki melibatkan keluarga inti, menurut pengalaman
keyakinan yang kuat dalam menyelesaikan penulis bahwa hakekatnya kecelakaan lalu lintas
sebuah permasalahan sosial tanpa ada lagi adalah sebuah kelalaian (kecuali didalam BAP
menonjolkan sikap yang meragukan. ditemukan unsur kesengajaan), lalu kelalaian ini
adalah sebagai sebuah bentuk ketidaksengajaan,
Memang terkait dengan konsep Restoratif
ketidak sengajaan logikanya cukup diselesaikan
Justice dalam penyidikan kecelakaan lalu lintas
dengan permohonan maaf.
telah banyak dilakukan oleh para penyidik yang
ada di kesatuan kewilayahan, namun faktanya Ide inilah yang membuat penulis
para penyidik masih banyak yang bingung mendukung konsep Restorative Justice
bahkan tidak yakin dengan keputusan yang diterapkan dalam penyidikan kecelakaan lalu
diambil untuk menyelesaikan perkara secara lintas yang melibatkan keluarga inti. Penyidik
alternative dispute resolution ( ADR ). Hal kadang terjebak dengan keraguan dan atensi dari
ini terjadi karena ketiada tegasan para kepala satuan atas yang mensaratkan penyidik harus
satuan yang masih meragukan akan legalitas menyelesaikan sebuah persoalan secara mutlak
ADR tersebut, dengan demikina memang sudah yang berujung pada tindakan prosedural hukum
sepantasnya ADR menjadi sistem adopsi dari terhadap tersangka kecelakaan lalu lintas.
hukum perdata yang harus pula dimasukkan
Padahal kita ketahui bersama bahwa
kedalam RUU KUHAP sebagai salah satu
integritas penyidik adalah independen atas
bagian dari bentuk penyelesaian perkara pidana
tindakan penyidikan yang dilakukannya.
( lalu lintas ).
Pengalaman penulis dalam menyelesaikan
Terkait dengan penyidikan kasus kecelakaan beberapa perkara kecelakaan lalu lintas, pada
lalu lintas yang diselesaikan secara ADR, hal lain saat dilakukan pemeriksaan triwulan kerap
yang mempengaruhi adalah pandangan negatif disalahkan oleh satuan atas karena menyelesaikan
dari sesama penegak hukum atau masyarakat perkara kecelakaan yang seharusnya dilakukan
pemerhati hukum yang terlanjur memandang penyidikan positivistik menurut tim pemeriksa,
tindakan ADR sebagai penyelesaian yang sarat meskipun penulis tetap konsisten menjawab
dengan pungli. Hal ini sangat disayangkan ketika dengan alasan sosial dan pertimbangan lain
disatu sisi pemerintah membuat kebijakan sebagai tetap saja secara de facto disalahkan, padahal
jawaban atas perkembangan dan pembaharuan pihak yang berperkara saja (keluarga inti)
hukum, disisi lain dinilai terkesan sarat dengan sudah merasa adil dan tidak ada masalah,
penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, bukankah tujuan dari sebuah pembaharuan
memang secara teknis perlu diatur bentuk bentuk hukum seperti itu. Disamping itu administrasi
seperti apa saja yang dapat diselesaikan dengan teknis berkas penyidikan tetap penulis lengkapi
pendekatan Restoratif Justice dan administrasi bahkan melibatkan kepala desa para pihak dan
seperti apa yang harus dipenuhi oleh penyidik kepala desa di tkp kecelakaan dengan maksud
demi menjawab pandangan negatif dari sesama agar semakin banyak orang yang mengetahui
penegak hukum dan masyarakat pemerhati maka semakin terang dan transparanlah sebuah
hukum. penyidikan.
Pada dasarnya penulis sangat mendukung Penulis merasa mediasi penal sangat efektif
bahwa pendekatan Restoratif Justice dapat dalam menyelesaikan sebuah permasalahan
digunakan sebagai jalan keluar untuk sosial ( lalu lintas ) pada masa sekarang ini. Hal
ini selaras dengan pembaharuan hukum yang sehingga kesipilannya tidak dirasakan, sampai-
dicita citakan Presiden Republik Indonesia sampai terdapat kata-kata “hukum sengaja dibuat
Ir.Joko Widodo yang salah satu diantaranya untuk dilanggar”, “berani membela yang bayar”,
adalah mengurangi tindakan pemenjaraan “hukum dapat dibeli”, dan masih banyak lagi.
karena penjara bukan satu satunya tempat untuk Mafia hukum, bahkan mafia peradilan adalah
merubah perilaku orang menjadi benar. Hal itu hamba-hamba hukum yang secara intelektual
disampaikan beliau setelah mengevaluasi lapas dan akademis belajar tentang hukum, namun
lapas yang sudah dinilai overcapacity, penjara justru mereka-merekalah yang bermain-main
banyak namun penghuninya semakin banyak, mempermainkan hukum dan basis hukumnya.
ini menandakan bahwa perubahan perilaku yang Ini hal yang sangat memprihatinkan.
dilakukan di dalam lapas tidak berhasil.
Pendidikan hukum yang mencetak sarjana-
Dengan demikian menyelesaikan persoalan sarjana dan ilmuwan hukum lebih menekankan
kecelakaan lalu lintas dengan melibatkan keluarga pembelajaran rule of law untuk mencetak
inti meskipun dengan korban meninggal dunia tukang-tukang hukum yang mumpuni dan
haruslah didukung dengan memperhatikan mempunyai kemampuan artificial dan esoteric
aspek sosial dan psikologi tersangka. Pimpinan dalam pembuatan maupun penegakan hukum.
yang terkait dengan teknis penyidikan seharusnya Hukum dibuat sedemikian rupa, seartifisial
lebih proaktif dalam menerima informasi mungkin sehingga hukum berkarakter das
informasi pembaharuan hukum pidana yang sollen yang dalam prakteknya menjauh dari
ada sehingga dalam memberikan petunjuk dan masyarakat. Sisi lain dari kemampuan berhukum
arahan ke satuan bawah dapat jelas dan konsisten tidak lagi penting, seperti pembentukan rule of
dan sesuai dengan harapan masyarakat. man. Padahal, hukum dibuat oleh manusia,
ditegakkan oleh manusia dan ditujukan untuk
Hukum progresif hadir sebagai sebuah
manusia. Berarti manusia adalah tokoh sentral
pencerahan pemikiran sekaligus sebagai kritik
dalam berhukum. Hukum tidak dibutuhkan
yang tegas atas belenggu positivisme yang
kalau tidak ada manusia dan masyarakat
mengformalisasi hukum modern. Negara-negara
modern saat ini meletakkan system hukumnya Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan
pada hukum modern yang sangat sarat dalam kerangka hukum progresif adalah dengan
dengan bentuk-bentuk formal, procedural dan mengubah kultur pembuatan dan penegakan
birokratis. Ini mengakibatkan hukum menjadi hukum agar terbentuk kultur hukum yang baik
suatu institusi yang penuh dengan artificial dan di masyarakat. Penegakan hukum diarahkan
esoteric, sehingga hukum hanya bisa dijangkau pada penegakan hukum yang bersifat kolektif.
dan dijamah oleh orang-orang tertentu yang Kolektif yang dimaksud bukan menjadi sarang
telah menjalani inisiasi dan pendidikan khusus. bagi komponen penegak hukum untuk membuat
Hukum semakin menjauh dari masyarakat kompromi-kompromi politis, tetapi untuk lebih
sebagai basis dan bahan hukum, bahkan hukum mengefektifkan penegakan hukum pada sesuatu
merupakan suatu mesin yang sengaja diproduksi yang jauh lebih besar kepentingannya, yaitu
untuk memproduksi masyarakat sebagaimana kepentingan mensejahterakan dan memberikan
yang diinginkannya. Hukum adalah sebuah keadilan kepada rakyat (bringing justice to the
tatanan. people). Oleh karena itu diperlukan recruitment
fungsionaris hukum yang lebih mengutamakan
Lembaga kepolisian banyak dinilai oleh
predisposisi spiritual, disamping kemampuan
masyarakat sebagai lembaga yang sangat otonom
akademis dan menerapkan prinsip reward and
punishment sebagai spirit bagi mereka untuk positivistik dalam menyelesaikan kasus kecelakaan
terus berprestasi sekaligus sebagai ancaman lalu lintas yang melibatkan keluarga inti sungguh
yang menyakitkan bagi yang tidak memiliki sangat tidak relevan dilakukan meskipun peraturan
komitment keadilan dan kebenaran. yang ada mengharuskan penyidik menyelesaikan
kasus dengan proses hukum secara legal formal
Hukum progresif lebih mengutamakan pada
karena penekanan terdapat korban yang meninggal
faktor manusia daripada hukumnya, sehingga
dunia. memediasi antar pihak dan menyelesaikan
faktor perilaku menjadi sesuatu yang paling
perkara secara ADR adalah satu satunya cara
penting di atas faktor peraturan dalam berhukum.
terbaik yang harus dilakukan menurut penulis
Oleh karena itulah, hukum progresif di antaranya
karena bila dilakukan secara legal formal maka akan
bernafaskan teori-teori hukum alam, karena letak
bertentangan dengan hati nurani penulis karena
kepedualiannya terhadap hal-hal yang bersifat
penulis yakin dapat mempertanggung jawabkan
meta-juridical dan lebih mengutamakan the search
baik secara administrasi mamupun secara moral
for justice. Meta-Juridical yang disampaikan dalam
dan hukum.
hukum alam adalah mutatis mutandis yang ada
dalam dunia hukum. Kemampuan IQ (Intellectual
Daftar Pustaka
Quotient) diperlukan untuk mewakili hukum
analitis dengan bantuan logika. Namun, dibutuhkan 1. Buku
kemampuan lain, yaitu EQ (Emotional Quotient),
Atmasasmita, Romli. 2012. Teori Hukum
yaitu kemampuan berpikir dengan hati nurani
Integratif : Rekonstruksi terhadap teori hukum
dan badan. Terakhir, diperlukan SQ (Spiritual
pembangunan dan teori hukum progresif.
Quotient), yaitu kesempurnaan intelegensi dengan
Yogyakarta : Genta Publishing.
memanfaatkan semua kemampuan, yaitu akal, hati
nurani dan spiritual. Keseluruhan ini ada pada Fadjar, A. Mukthie. 2013. Teori-teori Hukum
setiap manusia sebagai kesatuan kodrati yang Kontemporer. Malang : Setara Press.
diberikan oleh Tuhan. Pound, Roescoe. 1954. An Introduction to the
Philosophy of Law. Yale University Press.
Kesimpulan Tanya, Bernard L. Et al. 2013. Teori Hukum
: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Bahwa pembaharuan dalam perkembangan
Generasi. Cetakan ke IV. Yogyakarta : Genta
hukum di Indonesia sudah tidak bisa lagi
Publishing.
semata mata mengedepankan sisi positivistik
dalam menyelesaikan berbagai permasalahan Unger, Roberto M. 1983. The Critical
yang menyangkut tentang kepolisian termasuk Legal Studies Movement. First Edition. Harvard
didalamnya terkait dengan penanganan penyidikan University Press. Cambridge.
kecelakaan lalu lintas. Hukum progresif kemudian Unger, Roberto M. 1999. Gerakan Studi
menjadi salah satu jawaban yang harus di Hukum Kritis. Jakarta : ELSAM.
kedepankan karena memunculkan aspek sosial Unger, Roberto M. 2010. Teori Hukum
dan moral dalam penegakan hukum. Termasuk Kritis : Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern.
didalamnya menyoal tentang kasus kecelakaan lalu Bandung : Nusa Media.
lintas yang melibatkan keluarga inti pun kemudian
menjadi batu masalah yang harus dipecahkan Jurnal
dengan pendekatan kritis agar tujuan hukum yang Muntansyir, Rizal. 2008. Landasan Filosofis
berkeadilan, berkepastian dan berkemanfaatan Mazhab Hukum Progresif :Tinjauan Filsafat
dapat tercapai. Mengedepankan paradigma Ilmu. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1.
RESENSI BUKU
Buku ini memiliki daftar isi yang dibagi yaitu Dr. Safruddin Prawiranegara, Soemitro
menjadi beberapa penjelasan dan runtutan cerita Djojohadikoesoemo, dan Dahlan Jambek
atau kisah keberanian para Bhayangkara Polres yang kemudian menjadi dasar gerakan
Tuban dalam menumpas aksi para teroris dan komunisme di Sumatra dan Sulawesi Utara.
terorisme di satuan wilayahnya sebagai berikut Dan pemberontakan yang paling terkenal yang
(1) Menengok catatan sejarah, (2) Mereka dinamakan G 30 S/PKI ditahun 1965 olehPartai
telah menetas, (3) Tugas Negara, (4) Berita aksi Komunis Indonesia yang menewaskan 7 (tujuh)
terkutuk, (5) #Kamitidaktakut, (6) Abdi Negara Pahlawan Revolusi.
berseragam Bhayangkara, (7) Firasat Ajun
Pada bagian ‘Mereka telah menetas’,
Komisaris Besar Polisi, (8) Kegelisahan yang
menjelaskan bahwa dibalik kemajuan yang
terjawab, (9) Sistem Bumi Wali, (10) Kronologi,
telah diraih bangsa Indonesia selama 72 tahun,
(11) A.P.P, (12) Kebun jagung saksi bisu, (13)
ternyata terdapat sekelompok orang yang ingin
Barang bukti, (14) Teroris bukan rekayasa, (15)
menghancurkan peradaban kemajuan tersebut.
Penyisiran II, dan (16) Penghargaan Kapolda.
masyarakat Indonesia yang dahulu dikenal
Pada bagian ‘Menengok catatan sejarah’, mancanegara sebagai bangsa yang ramah dan
dijelaskan secara umum rentetatan kasus aksi- gotong royong kini seakan-akan berubah
aksi perlawanan terhadap ideologi NKRI yang di menjadi bangsa yang penuh curiga dan saling
istilahkan oleh penulis sebagai aksi ‘makarisme’ menghujat tiada henti. Albanna menawarkan
paska kemerdekaan Negara Republik Indonesia. solusi agar pada usia dini atau anak-anak
Pada bab ini, seolah penulis ingin mengatakan diberikan perhatian khusus dan terhindar serta
bahwa latar belakang aksi-aksi terorisme yang dijauhkan dari pemahaman-pemahaman yang
terjadi saat ini yang tidak terlepas dari sejarah salah atau radikal. Dia juga menyatakan bahwa
aksi-aksi ‘makarisme’ yang pernah terjadi di memberantas bentuk-bentuk terorisme dan
negeri ini sehingga sejatinya aksi-aksi terorisme penjajahan bukanlah tugas TNI, Polri, Pemda
saat ini merupakan rentetan dan sisa-sisa dan Pemerintah pusat semata, melainkan tugas
simpatisan yang terjadi di masa lalu. Sejarah segenap anak bangsa yang memiliki pendirian
aksi-aksi ‘makarisme terssbut dimulai di tahun akan ideologi Pancasila. Kemudian membangun
1949 yang dinamakan NII (Negara Islam diri dengan nilai-nilai keimanan dapat menjadi
Indonesia) atau DI (Darul Islam yang dipimpin solusi dan perisai bagi masuknya paham-paham
oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terorisme yang berkembang saat ini.
dan aksinya menyebar kebeberapa daerah di
Pada bagian ‘Tugas Negara’, berisi kritikan
Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah,
secara umum bagi pemimpin yang masih
Sulawesi, dan Aceh. Ditahun 1950 terjadi
memikirkan kepentingan egosentris dan
pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil di
bukannya kepentingan bangsa dan Negara.
Bandung dan ditahun yang sama pemberontakan
Untuk itulah diperlukan sikap saling bekerja sama
yang komandoi oleh Dr. Soumoukil dan
antar lembaga negara dengan pembangunan
Kapten Andi Azis di Makassar. Ditahun 1950
jiwa yang utuh. Lembaga Bhayangkara di Bumi
pula terjadi pemberontakan RMS (Republik
Wali merupakan contoh yang tepat bagi sikap
Maluku Selatan) di Ambon oleh Dr. Soumoukil.
aparat negara yang saling bahu membahu dalam
Ditahun 1958 terdapat aksi ‘makarisme’ yang
memberantas terorisme. Revolusi mental bukan
dinamakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner
menjadi tanggung jawab Presiden semata, namun
Republik Indonesia) atau Permesta (Perjuangan
menjadi tanggung jawab setiap pemimpin
Rakyat Semesta) dengan tokoh sentralnya
kelembagaan dan anak buahnya. Institusi Polri
telah secara nyata membangun profesionalitas orang tak dikenal, dan juga tahapan-tahapan
dan moderinitas di setiap bentuk-bentuk tindakan pertama yang dilakukan Kapolres
pelayanannya kepada masyarakat walaupun hasil dalam merespon kejadian tersebut.
berupa peningkatan kepercayaan masyarakat
Pada bagian ‘Sistem Siaga Bumi Wali’,
belum lah signifikan. Melalui Promoter,
berisi berbagai macam fitur dan kegunaan dari
Polri mulai bangkit dan berbenah di dalam
aplikasi SIBI (Sistem Siaga Bumi Wali) yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
merupakan aplikasi andalan Polres Tuban dalam
berbasis Profesional, Modern dan Terpercaya.
memberikan pelayanan kepasa masyarakat
Generasi muda sebagai indikator keberhasilan
dengan memanfaatkan sistem informasi
dan di sisi lain kehancuran suatu bangsa.
dan teknologi informasi sekaligus wujud
Pada bagian ‘Berita Aksi Terkutuk’, berisi implementasi dari Program Promoter Kapolri
penanganan aksi terorisme oleh Polri mendapat dan Revolusi Mental Presiden RI.
Pro berupa dukungan dari masyarakat
Pada bagian ‘Kronologi’, berisi detail
#kamitidaktakut dan Kontra dari masyarakat
kejadian percobaan penembakan anggota Lalu
berupa cibiran dan sangkaan berupa rekayasa.
Lintas di Pos Jatipeteng yang dilakukan oleh
Pada bagian ‘#kamitidaktakut’, berisi orang tak dikenal dari dalam mobil Terios
pandangan penulis terhadap prespektif kelompok berwarna putih serta detail kejadian kejar-
teroris yang menganggap Polri sebagai kafir harbi kejaran antara petugas SPK dengan mobil patroli
yang harus di basmi karena berusaha memerangi dan pengendara terios putih.
dan membunuh mereka. Dari kaca mata teoris,
Pada bagian ‘A.P.P’, berisi arahan dan
pemerintah Indonesia disebut Thogut karena
tindakan Kapolres tuban kepada bawahannya
menyembah selain Allah dan siapapun yang
dalam menangani percobaan penembakan yang
mengabdi kepada pemerintah dianggap kafir.
dilakukan oleh terduga teroris yang melarikan
Pada bagian ‘Abdi Negara Berseragam diri serta langkah-langkah koordinasi dengan
Bhayangkara’, berisi minimnya apresiasi Kodim Tuban dan Brimobda Jawa Timur.
masyarakat terhadap keberhasilan tugas
Pada bagian ‘Kebun Jagung Saksi Bisu’,
Polri khususnya pada pemberantasan dan
berisi cerita yang runut dan detail tentang
pengungkapan kasus-kasus terorisme. Dibahas
kerjasama yang solid antara Polri dan TNI dalam
juga tentang anggapan masyarakat terhadap
melakukan perlawanan terhadap terduga teroris
berbagai aksi terorisme dan pengungkapannya
di kebun jagung.
merupakan hasil rekayasa Polri.
Pada bagian ‘Barang bukti’, berisi rasa
Pada bagian ‘Ajun Komisaris Besar Polisi’,
bangga Kapolda dan pejabat utama Polda
berisi cerita tentang firasat seorang Kapolres
(Karo ops dan Dir Intel) terhadap keberhasilan
Tuban berupa perasaan yang mengganjal dan
Kapolres Tuban dan jajarannya dalam menangani
kegelisahan ketika akan menghadiri pernikahan
dan melumpuhkan aksi terorisme yang terjadi di
salah satu anak dari seniornya di kepolisian.
wilayahnya serta arahan Kapolres terkait TKP
Pada bagian ‘Kegelisahan yang Terjawab’, dan barang bukti serta tidak beredarnya foto
berisi jawaban atas kegelisahan Kapolres Tuban pelaku terorisme di media sosial.
yang berupa laporan oleh Kasat Lantas Polres
Pada bagian ‘Teroris Bukan Rekayasa’, berisi
Tuban yang mengatakan bahwa salah satu
langkah-langkah yang dilakukan Polri paska
anggota pada fungsi Lalu Lintas, ditembak oleh
pelumpuhan terduga teroris berupa konferensi
pers dan penggelaran barang bukti di depan (1) bentuk dan pola kerjasama antara Polri dan
awak media serta peningkatan kewaspadaan oleh TNI menciptakan sebuah harmoni dan sinergi
jajaran dilapangan dan di mako Polres Tuban yang dahsyat yang teramat kuat dan terbukti
yang seakan menjawab anggapan masyarakat mampu melumpuhkan aksi terorisme yang
selama ini yang menganggap bahwa keberadaan terjadi di wilayah Kabupaten Tuban. (2) Sinergi
teroris itu rekayasa. antara Polri dan TNI yang terdapat di dalam
buku tersebut sekaligus menjadi contoh nyata
Pada bagian ‘Penyisiran II’, berisi langkah-
bagi para aparat dan lembaga negara di semua
langkah yang dilakukan Kapolres berupa
lini dalam rangka membangun, melayani dan
melakukan penyisiran yang kedua kalinya di
melindungi bangsa melalui kebersamaan. (3)
tempat kejadian perkara dengan melibatkan
Runtutan bentuk dan pola perbantuan serta
anjing pelacak dan berhasil menemukan barang
komunikasi yang dilakukan oleh Kapolres Tuban
bukti tambahan serta penggantian kerusakan
dapat menjadi pedoman bagi jajaran Polres dan
kebun jagung warga dan upaya pemulihan
Satuan wilayah yang ada di Polri. (4) Urut-
trauma warga sekitar TKP paska kejadian.
urutan tindakan penanganan yang dilakukan
Pada bagian ‘Penghargaan Kapolda’, berisi oleh kapolres Tuban dapat dijadikan contoh
pemberian penghargaan kepada 21 orang jajaran dan pedoman bagi jajaran Polri dan khususnya
Polres Tuban yang terlibat dalam penanganan satuan wilayah dalam hal ini Polres-Polres baik
aksi terorisme dan meningkatnya kesadaran kota dan kabupaten yang ada di seluruh wilayah
anggota jajaran Polres Tuban dalam berlatih dan nusantara.
waspada terhadap aksi-aksi terorisme di masa
Tidak ada gading yang tak retak, begitupun
yang akan datang.
yang berlaku pada buku Heroik-Penumpasan
Pada intinya buku ini berisi tentang sejarah teroris di bumi wali. Penilaian subjektif dari
pemberontakan atau makarisme yang pernah peresensi terhadap kelemahan buku Heroik-
terjadi di Indonesia dan menceritakan kronologis Penumpasan teroris di bumi wali yang akan
kejadian aksi terorisme yang dilakukan oleh disajikan berikut ini tentunya perlu dikritisi
enam orang jaringan teroris yang tergabung dan dikomentari yang nantinya dapat menjadi
dalam Jamaah Ansharut Daulah ( JAD) pada sumbang kritik dan saran bagi penulis buku
tanggal 8 April 2017 yang disajikan secara tersebut. Beberapa kelemahan yang terdapat
detail dan lengkap. Buku ini semakin valid dan pada buku tersebut diantaranya (1) pada bagian
semakin dapat dipercaya karena berisi kumpulan daftar isi, tidak dilengkapi keterangan nomor
pengakuan dan testimoni dari para saksi hidup halaman. Fungsi dari keterangan halaman pada
dan aktor dilapangan yang terjun langsung daftar isi dapat memudahkan pembaca dalam
menghadapi aksi terorisme tersebut. Buku ini mencari sub judul yang diinginkan. (2) Tidak
juga disajikan dengan bahasa yang sederhana banyak referensi yang digunakan di dalam bagian
dan dapat diterima semua kalangan. Yang tak ‘Menengok catatan sejarah’ menjadikan ulasan
kalah serunya, terdapat beberapa bagian dari yang disajikan tidak didukung dengan data
buku ini yang merekam dan menceritakan dan fakta yang valid dan juga penjelasan serta
aksi-aksi menegangkan yang terjadi ditengah- pembahasan yang disajikan masih secara singkat
tengah pengepungan kelompok terorisme yang dan umum sehingga terkesan pembahasan pada
bertempat di kebun jagung oleh jajaran Polri dan bagian tersebut hanyalah pendapat dan opini
TNI yang terlibat. Buku ini juga mengandung penulis buku semata. (3) pada bagian ‘‘Mereka
beberapa pesan yang ingin disampaikan yakni telah menetas’ disebutkan solusi untuk anak usia
dini agar terhindar dari pemahaman terorisme, kontak senjata antara teroris dengan Polri dan
namun pembahasan tersebut tidak dijelaskan TNI yaitu berupa penggantian materil bagi
secara mendetail dan komprehensif, ada baiknya pemilik kebun yang telah rusak, namun tidak
dijelaskan dengan didukung data dan fakta disebutkan secara gamblang bentuk-bentuk
berupa hasil survei dan hasil penelitian sejauh pemulihan trauma bagi masyarakat sekitar
mana paham-paham terorisme meracuni dan kebun jagung yang dimungkinkan mengalami
mempengaruhi anak usia dini di Indonesia atau trauma yang hebat paska kejadian kontak senjata
di Negara lain. Dapat juga disajikan data dan tersebut.
fakta atau hasil penelitian terkait peran media
Secara keseluruhan buku ini menawarkan
sosial dan media informasi semisal facebook,
penyajian penulisan yang berbeda yaitu
instagram, youtube yang memang digandrungi
merangkum dan berusaha menceritakan kembali
di kalangan anak usia dini dan dapat menjadi
testimoni dan pengakuan dari para aktor
pintu masuk bagi penyebaran paham-paham
dilapangan dan saksi mata kejadian penanganan
radikal dan terorisme. Pada bagian ‘Tugas
terorisme yang terjadi pada hari sabtu tanggal
Negara’ disebutkan oleh penulis, solusi bagi sifat
8 April 2017. Gaya penulisannya pun dapat
egosentris para pemimpin lembaga negara yaitu
dimengerti dan dapat diterima oleh berbagai
dengan pembangunan jiwa yang utuh. Hal ini
kalangan dengan latar belakang pendidikan dan
juga dirasa sangat umum dan tidak komprehensif
usia. Waktu dan tanggal kejadian yang terbilang
dibahas pada bagian tersebut. ada baiknya penulis
baru atau up to date yaitu pada catur wulan
membahas dan mengupas secara mendalam
pertama di tahun 2017, menjadikan buku ini
program nawacita, revolusi mental dan panduan
sebagai bacaan terkini dan sesuai dengan realita
good governance yang menjadi program prioritas
yang ada saat ini setidaknya terdapat 2 (dua)
poemerintahan saat ini, sehingga diharapkan apa
hal yang dapat dipelajari yaitu pola dan modus
yang dimaksud penulis dengan pembangunan
operandi teroris saat ini serta pola, koordinasi
jiwa yang utuh bagi para pemimpin lembaga
dan bentuk-bentuk komunikasi dan penanganan
negara dapat dikupas dan menyajikan solusi
terorisme yang dilakukan oleh Polri dan TNI.
yang komprehensif serta mendalam. Kemudian
disebutkan juga oleh penulis uapaya-upaya dari
Kapolres Tuban dalam melakukan pemulihan Peresensi :
atau rehabilitasi terhadap trauma para warga Eko Budiman
sekitar kebun jagung termasuk pemiliknya paska (Mahasiswa S2 Angkatan VII STIK-PTIK)