Anda di halaman 1dari 669

1:^;.

O0o3

PENGANTAR LINGUSTIK UMUM

PmPliSJMG'SM
BADAI^ 3AHASA

LVVf
If

I mill 11
SERIILDEP

Diterbitkan dalam kexangkalndonesianLinguistics DevelopmentProject,pioyek kerja


sama antara Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia dan Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Asia Tenggara
dan Oceania, Universitas Negeri Leiden, Belanda.

Gambar sampul: Prasiddha Multi Artwork Studio


SERIILDEP
di bawah redaksi W.A.L. Stokhof

pengantar linguistik
umum

Ferdinand de Saussure

BADAM BAHASA
Fi;ND!D!KAi*j NASiOMA.1

GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS


1988
M-

Original EdiUon: COURS DE LINGUISTIQUE GENERALE


By: Ferdinand de Saussure
Copyright © 1973 by Payot,Paris

Edisi Indonesia: PENGANTAR LINGUISTIK UMUM


Copyright © 1988, GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS
P.O.BOX 14, BULAKSUMUR,YOGYAKARTA

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis


dari penerbit,sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa
pun, baik cetak, photoprint, microfilm dan sebagainya.

327.43.12.88

Dicetak pada:
GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS
8711154-C3E

ISBN979-420-I12.X

"T
f
i

Judul asli : Cours de Linguistique Gencrale


Pcngarang ; Ferdinand de Saussure
Penerjemah : Rahayu S. Hidayat
Pcnyunting : Harimurti Kridalaksana
Penerbit asli : Payot, Paris, 1973
Redaktur seri ILDEP : W.A.L. Stokhof
Asistcn redaktur • A.E. Almanar, S. Moeimam, B.L. Soepranyoto
Penasehat redaktur : Amran Halim, Anton M. Mocliono, A. Tceuw dan
H. Steinhauer
ISI

Mongin-Ferdinand de Saussure (1857 — 1913).


Bapak Linguistik Modern Dan Pelopor Strukturalisme
oleh Harimurti Kridalaksana 1
PengantarolehTuliode Mauro 31
Prakata Pada Edisi Pertama oleh Ch. Bally dan
Alb. Sechehaye 55

PENDAHULUAN

Bab I SelayangPandangSejarah Linguistik 63


Bab II Materi dan Tugas Linguistik; Hubungan-
nya dengan Ilmu-ilmu di Sekitarnya 70
Bab III Objek Linguistik 73
Bab IV Linguistik Langiie dan Linguistik Parole 85
Bab V Unsur Intern dan Unsur Ekstern dari
Langue 88
Bab IV Pengungkapan Longwe melalui Aksara 92
Bab VII Fonologi 102

LAMPIRAN
PRINSIP FONOLOGI

Bab I Jenis-jenisFonologi Ill


Bab IT FonemdalamPertuturan 125

BAGIAN PERTAMA
PRINSIP-PRINSIP UMUM

Bab I HakekatTanda Bahasa 145


Bab II Ketakterubahandan KeterubahanTanda . 152
Bab III Linguistik Statis dan Linguistik Evolutif 162
VI

BAGIAN KEDUA
LINGUISTIK SINKRONIS

Bab I Hal-hal Umum 191


Bab IT Maujud Konkretdalam Langue 193
Bab TIT Identitas, Realitas, Valensi 199
Bab TV Valensi Bahasa 204
Bab V Hubungan Sintagmatis dan Hubungan
Asosiatif 219
Bab VI Mekanisme Langue 226
Bab VII Tata Bahasa dan Bagian-bagiannya 235
Bab VIII Peran Maujud Abstrak dalam Tata Ba
hasa 239

BAGIAN KETIGA
LINGUISTIK DIAKRONIS

Bab I Hal-hal Umum 245


Bab II Perubahan-perubahan Bunyi 250
Bab III Konsekuensi Bunyi bagi Tata Bahasa 263
Bab IV Analog! 274
Bab V Analog! dan Evolus! 285
Bab VI. Et!molog!Rakyat 292
Bab VII Aglut!nas! 296
Bab VIII Satuan,Ident!tas dan Reahtas D!akron!s ... 300
LAMPIRAN PADA BAGIAN KETIGA DAN
KRFMPAT 305

BAGIAN KEEMPAT
LINGUISTIK GEOGRAFIS

Bab I Keb!nekaan Langue 317


Bab II Komphkas! Keb!nekaan Geografis 321
Bab III Sebab-sebab Keb!nekaan Geograf!s 326
Bab IV Penyebaran Gelombang-gelombang Ba
hasa 329
vu

BAGIAN KELIMA
MASALAH-MASALAH LINGUISTIK RETROSPEKTIF

Bab I DuaPerspektif Diakronis 347


Bab II Ltt/igt/i-TertuadanPrototipe 351
Bab III Rekonstruksi 355
Bab IV Jejak Langue di dalam Antropologi dan
Arkeologi
Bab V Runipun Langue dan tipe-tipe Langue 369

BioerafidanTelaahmengenaiF.deSaussure 374
4-74-
Noreen dan Saussure
CatalanTambahan
Catalan
DaftarSingkatanPustakaAcuan
Kepustakaan
Indeks
»
MONGIN-FERDINAND DE SAUSSURE
(1857-1913)
BAPAK LINGUISTIK MODERN DAN
PELOPOR STRUKTURALISME

oleh

^ Harimurti Kridalaksana

Nama Saussure tidak akan terhapus dari dunia linguistik


abad ini maupun abad-abad kemudian. Semua peneliti linguistik
tahu siapa dia dan apa karyanya, bahkan tahi> istilah-istilah yang
diciptakannya; tetapi kami yakin, tidak banyak orang yang
membaca karyanya, apalagi menghargai buah pikirannya. Mak-
lumlah tidak semua ahli linguistik memahami bahasa Perancis
yang menjadi media karya-karyanya. Sebenarnya dalam bahasa
Inggris, satu-satunya bahasa dunia yang boleh dikata dikuasai
oleh kebanyakan ahli linguistik, terdapat dua terjemahan: yang
pertama oleh Wade Baskin*(1959) dan yang kedua oleh Roy
Harris (1984); namun kalau kita lihat perkembangan linguistik
dewash ini, nyata bahwa para ahli linguistik yang terkenal pun
tidak membacanya secara teliti. (Kekecualian tentulah harus
diberikan kepada sarjana Amerika seperti Bloomfield dan Wells
yang dengan cermat mempelajari karya pelopor linguistik mo
dern itu).
Dalam usaha untuk membuat karya sarjana besar itu
langsung sampai kepada pembaca Indonesia, diusahakanlah
terjemahan atas edisi kritis mutakhir yang cukup andal, yakni
buah karya sarjana Italia, Tullio de Mauro. Di dalamnya tidak
hanya terdapat apa yang dikenal sebagai karya Saussure,
melainkan tinjauan kritis yang sangat mendalam dari Mauro.
Dengan menyimak seluruh buku ini diharapkan pembaca akan
benar-benar memahami ajaran sarjana linguistik yang besar itu.
Membaca kuliah-kuliah sarjana itu bukanlah pekerjaan
yang mudah, oleh sebab itu kami merasa perlu memberikan
sedikit pengantar pada buku ini, supaya pembaca dapat dengan
mudah mengikuti terjemahan ini. Di samping itu pengantar ini
dimaksudkan juga untuk memaparkan pengaruh Saussure dalam
linguistik dan ilmu-ilmu lain hingga kini.
Mongin-Ferdinand de Saussure lahir di Jenewa pada 26
November 1857 dari keluarga Protestan Perancis (Huguenot)
yang beremigrasi dari daerah Lorraine ketika perang agama pada
akhir abad ke-16. Bakatnya dalam bidang bahasa sudah nampak
sejak kecil. Pada umur 15 tahun ia menulis karangan "Essai sur
les langues" dan pada tahun 1874 mulai belajar bahasa Sanskerta.
Mula-mula ia - sesuai dengan tradisi keluarganya - belajar ilmu
kimia dan fisika di Universitas Jenewa, kemudian belajar ilmu
bahasa di Leipzig pada tahun 1876 sampai 1878 dan di Berlin
pada tahun 1878 sampai 1879. Di perguruan tinggi itu ia belajar
dari tokoh besar linguistik ketika itu, yakni Brugmann dan
Hiibschmann. Ketika masih mahasiswa, ia sudah membaca karya
ahli linguistik Amerika, William Dwight Whitney. The Life and
Growth of Language: an Outline of Linguistic Science (1875),
yang sangat mempengaruhi teorinya pada hari kemudian. Pada
tahun 1880 ia mendapat gelar doktor summa cum laude dari
Universitas Leipzig dengan disertasinva De I'emploi du genitif
absolu en Sanscrit.
Pada tahun 1^78 ketika berusia 21 tahun (dua tahun
sebelum memperolen gelar doktor), Saussure telah membuktikan
dirinya sebagai ahli linguistik historis yang sangat cemerlang,
tidak kalah dengan teman-teman sekelasnya yang kemudian
terkenal sebagai kelompok Junggrammatiker. Karyanya yang
berjudul Mimoire sur le systeme primitif des voyelles dans les
langues indo-europeennes 'Catatan tentang sistem vokal purba
dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa' merupakan bukti kecemer-
langan itu; dan dalam usia semuda itu ia sudah dianggap tokoh
besar dalam bidang ini. Karya ini merupakan contoh yang sangat
baik tentang penerapan metode rekonstruksi-dalam guna men-
jelaskan hubungan ablaut dalam bahasa-bahasa Eropa. Ia antara
lain mengajukan hipotesis bahwa vokal-vokal panjang berasal
dari vokal pendek dan luncuran. Ia sampai kepada rumusan itu
f" 7 f"

dengan membuat analisis fonologis atas pola-pola morfologis.


(Hipotesis ini dibuktikan kebenarannya ketika bahasa Hatti
ditemukan pada tahun 1927 oleh sarjana Polandia J. Kurylo-
wicz.) Sekalipun sumbangannya bagi linguistik historis tersebut
sungguh besar, namun ia lebih dikenal karena sumbangannya
dalam linguistik umum. (Perlu kita catat bahwa ia termasyhur
karena sebuah buku yang tidak pernah ditulisnya!) Memang ia
mengajar bahasa Sanskerta, Gotik, dan Jerman Tinggi kuno
serta linguistik komparatif Indo-Eropa di Ecole Pratique des
Hautes Etudes Universitas Paris sejak ia berumur 24, mengganti-
kan Michel Break (Di antara mahasiswanya terdapat orang yang
kemudian menjadi ahli linguistik besar, seperti Meillet dan
Grammontk Namun, ia hanya mengajar di situ sampai 1891,
kemudian ia pindah ke Jenewa dan meneruskan mengajar
bahasa Sanskerta dan linguistik historis komparatif. Di antara
ahli-ahli linguistik sezaman yang dikenalnya ialah Baudouin de
Courtenay dan Kruszewski. yakni sarjana-sarjana yang dianggap
pelopor teori fonologi. Berkali-kali ia menolak untuk mengem-
bangkan pandangan-pandangan teoretisnya, namun pada akhir-
nya ia terpaksa memberi kuliah linguistik umum karena guru
besar yang bersangkutan, yakni Joseph Wertheimer, berhenti
sebelum waktunya. Tugas ini dijalankannya sampai ia meninggal
pada 22 Februari tahun 1913. Tiga seri kuliahnya tentang
linguistik umum dikumpulkan oleh beberapa mahasiswanya dan
diterbitkan pada tahun 1916. Kumpulan kuliah yang diberi judul
Cours de Lin^uistique Ge.nerale itulah yang menjadikannya
terkenal sebagai peletak dasar linguistik modern. (Secara hara-
fiah terjemahan judul itu ialah 'Pelajaran Linguistik Umum',
tetapi terjemahan yang wajar tentulah Pengantar Linguistik
Umum).
Sebagai buku yang berasal dari catatan kuliah beberapa
mahasiswa tentulah karya tersebut mengandung banyak per-
soalan. Ini perlu dikemukakan tanpa meremehkan para pengum-
pul kuliah yang kemudian menjadi ahli linguistik yang juga
terkemuka, yakni Ch. Bally, A. Sechehaye, dan A. Riedlinger.
Kritis yang pernah diajukan terhadap edisi ketiga sarjana itu
bahwa (1) penyajiannya mungkin tidak seperti yang dibuat oleh

-
Saussure, jadi tidak sesuai dengan urutan logis dalam argumenta-
sinya; (2) pembahasan tentang hakekat tanda bahasa tidak
setuntas dalam catatan kuliahnya; (3) uraian tentang bunyi
bahasa tidak secermat yang disangka dilakukan oleh Saussure.
Jadi, kita tidak usah heran bila kemudian muncul eksegesis seper-
ti yang dibuat oleh R. Godel (1957) dan R. Engler (1967). Edisi
Tullio de Mauro yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
ini merupakan salah satu dari rangkaian edisi tentang kuliah-
kuliah Saussure, namun yang membedakannya dengan yang lain
ialah catatan-catatan yang dihasilkan dari penelitian yang menda-
1am dan meluas sehingga merupakan edisi atas karya Ferdinand
de Saussure yang representatif. Catatan Mauro yang dimuat di
sini pasti berguna untuk memahami teori Saussure, dan latar
belakangnya seeara memadai.
Dalam suratnya bertahun 1894 kepada salah seorang
rnuridnya, Antoine Meillet, ia mengeluh bahwa hingga saat itu
linguistik tidak pernah berusaha menentukan hakekat objek yang
diselidikinya; padahal tanpa operasi yang elementer seperti itu.,
suatu ilmu tidak dapat mengembangkan metode yang tepat.
Ketidakpuasannya itu baru dapat diatasinya setelah dalam tiga
seri kuliah linguistik umum di Jenewa, ia berusaha menguraikan
hakekat bahasa dan aspek-aspek asasi lainnya. Dalam kuliah-
kuliahnya itu pada dasarnya Saussure mengemukakan masalah-:
masalah berikut:
1. perbedaan di antara langue, parole, langage,
2. perbedaan di antara penyejidikan diakronis dan sinkronis,
3. hakekat apa yang disebut tanda bahasa,
4. perbedaan di antara hubungan asosiatif dan sintagmatis dalam
bahasa,
5. perbedaan di antara valensi, isi, dan pengertian.
Seeara ringkas ajaran Saussure mengenai kelima masalah
tersebut diuraikan di bawah ini.

1. Perbedaan di antara Langue, Parole dan Langage

Sudah agak lama Saussure merasa bahwa penyelidikan


ilmiah terhadap bahasa tidak harus dilakukan seeara historis;
tetapi karena pengaruh pendidikannya, ia tidak dapat menghin-
darkannya dan belum mampu mempelajari bahasa secara cermat
sampai ia terpengaruh oleh Emile Durkheim (1858-1917) yang
menulis Des Regies de la Methode Sociologiques ^1885) sehingga
ia berkesiinpulan bahwa kajian mengenai bahasa dapat bersifat
ilmiah tanpa harus kembali ke sejarah. Memang dalam kuliah-
kuliahnya itu Saussure tidak pernah menyebut Durkheim, tetapi
dari catatan-catatan lain nyata bahwa ia memperhatikan teori
sarjana sosiologi itu. Di samping itu kita ketahui pula bahwa
ketika Saussure masih mengajar di Paris teori Durkheim sedang
jaya-jayanya. Jadi, ada gunanya di sini bila kita simak sari
pandangan sarjana sosiologi itu. "t"<?ore/
Dalam buku itu Durkheim menjelaskan bahwa masyarakat ^
pantas diteliti secara ilmiah karena interaksi anggota-anggotanya
menimbulkan adat istiadat, tradisi, dan kaidah perilaku yang
seluruhnya membentuk kumpulan data yang mandiri. Fenomena
yang disebutnya fakta sosial ini dapat diteliti secara ilmiah
sebagaimana ilmu-ilmu fisika menyelidiki benda atau objek.
Sekalipun fakta sosial itu berada di dalam dan melalui budi
manusia, fenomena itu ada di luar si individu dalam hal telah
menungguinya pada waktu ia lahir dan ada terus setelah ia mati.
Fenomena itu bukan basil ciptaannya, tetapi diterima olehnya
sebagai bagian dari warisan budayanya. Lagi pula fenomena itu
ada di luar kehendak si individu, mengendalikan inpuls-inpuls
dasar dari jiwanya dan mengatur perilakunya agar sesuai dengan
standar masyarakat. Atas dasar itu Durkheim membedakan
kesadaran kolektif dan kesadaran individu. Fenomena itu bukan
gejala psikologis maupun biologis, namun tetap nyata karena
merupakan objek dari budi. Kesadaran atas fenomena itu datang
dari pengamatan; dan kita mengetahui keberadaannya melalui
pengalaman. Demikianlah inti teori Durkheim.
Ajaran Durkheim tersebut memberikan rangsangan kepa-
da Saussure dalam menyelidiki bahasa. Bahasa dapat dianggap
sebagai "benda" yang terlepas dari pemakaian penuturnya karena
diwariskan dari penutur lain yang mengajarkannya, dan bukan
ciptaan si individu. Bahasa adalah fakta sosial karena meliputi
suatu masyarakat dan menjadi kendala bagi penuturnya. Kendala
ini sangat mencolok karena bahasa tidak memberi pilihan lain
kepada pemakainya kalau ia ingin mempergunakannya untuk
berkomunikasi, dan karena dipaksakan melelui pendidikan.
Bahasa sebagaimana fakta sosial berada lepas dari perkembang-
an historisnya karena kalau tidak, bahasa yang ada sekarang
secara kualitatif berbeda daripada yang dahulu karena memper-
oleh unsur-unsur baru dan kehiiangan beberapa unsur jiain.
Bahasa sebagaimana fakta sosial dapat dipelajari secara tepat
terpisah dari perilaku penuturnya.
Dalam bahasa Perancis terdapat tiga kata yang mengan-
dung pengertian bahasa, tetapi yang cukup berbeda sehingga
dimanfaatkan oleh Saussure untuk mengungkapkan aspek-aspek
bahasa. Perbedaan itu memungkinkan sarjana itu memerikan
bahasa sebagai benda atau objek yarig dapat diteliti secara
- ilmiah. Ketiga kata itu ialah langue, parole dan langage.
Yang dimaksud dengan parole ialah keseluruhan apa yang
diujarkan orang, termasuk konstruksi-konstruksi individu yang
muncul dari pilihan penutur, atau pengucapan-pengucapan yang
diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi ini berda-
sarkan pilihan bebas juga. Dengan singkat parole adalah manifes-
tasi individu dari bahasa. Jadi, parole itu bukan fakta sosial
karena seluruhnya merupakan basil individu yang sadar. Fakta
sosial harus meliputi seluruh masyarakat dan menjadi kendala
terhadapnya dan bukan memberinya pilihan bebas. Dalarn
masyarakat tentulah banyak parole dan realisasi dari kendala-
kendala gramatikal suatu bahasa - katakanlah kalau semua penu-
tur memakai bahasa secara gramatikal. Gabungan parole dan
kaidah bahasa oleh Saussure disebut laneage^ Walaupun meliputi
seluruh masyarakat dan mengandung kendala sebagaimana ter
dapat dalam kaidah gramatikal, langage tidaklah memenuhi
syarat sebagai fakta sosial karena terkandung di dalamnya faktor-
faktor individu yang berasal dari pribadi penutur. Bila penutur
pribadi dan perilakunya dimasukkan, selalu akan ada unsur
kerelaan, yang merupakan unsur yang tak teramalkan. Langage
tidak mempunyai prinsip keutuhan yang memungkinkan kita
untuk menelitinya secara ilmiah.
Kalau kita dapat menyisihkan unsur-unsur individu dari
langage, maka kita dapat membuang unsur-unsur yang tak
teramalkan. Dan kemudian kita akan memperoleh konsep
bahasa yang sesuai dengan konsep fakta sosial. Inilah yang
disebut langue. Saussure menggambarkannya sebagai "langage L.AI}lClu£,
dikurangi parole". Jelasnya, langue adalah keseluruhan kebiasaan
yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat
bahasa, yang memungkinkan para penutur saling memahami dan
menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masya
rakat. Kalau kita mendengar parole dari masyarakat lain, kita
hanya mendengar bunyi, bukan fakta sosial dari bahasa. Kita
tidak dapat menghubungkan bunyi-bunyi itu dengan fakta-fakta
sosial yang oleh masyarakat bahasa itu dikaitkan dengan bunyi-
bunyi itu. Bila kita mendengar parole dalam masyarakat kita
sendiri, kita menanggapi bunyi-bunyi yang berkaitan dengan
fakta-fakta sosial menurut seperangkat kaidah. Kaidah-kaidah
ini, yang dapat disebut konvensi atau tata bahasa, merupakan
kelaziman-kelaziman yang dipaksakan oleh pendidikan kepada
kita. Kaidah-kaidah ini meliputi seluruh masyarakat sehingga
semua penutur dapat saling memahami dan memberikan kenda-
la pada perorangan sehingga kita tidak mempunyai pilihan lain
dalam mengaitkan bunyi dengan faktor sosial untuk berkomuni-
kasi. Penutur dewasa tidak sadar akan kendala-kendala itu.
Sebaliknya anak-anak sering bertanya-tanya mengapa mereka
harus memakai suatu bentuk dan bukannya bentuk lain.
Sebagaimana kesadaran kolektif hasil pemikiran Dur-
kheim, langue sifatnya tidak sempurna dalam diri penutur.
Dalam parole termasuk apa pun yang diungkapkan penutur;
langage mencakup apa pun yang diungkapkan serta kendala yang
mencegahnya mengungkapkan hal-hal yang tidak gramatikal;
dalam langue terdapat batas-batas negatif terhadap apa yang
harus dikatakannya bila ia mempergunakan suatu bahasa secara
gramatikal. Jadi, langue itu sejenis kode, suatu jenis aljabar, atau
seperti dikatakan oleh Saussure, "... suatu sistem nilai yang
murni, yang ditentukan semata-mata oleh pengaturan unsur-
unsur sesaat."
Dengan demikian langue nampaknya merupakan abstraksi.
Saussure sendiri sadar akan hal itu, tetapi ia tidak merasa
terhalang untuk mempelajari bahasa secara ilmiah karena (1) ia
berpendirian bahwa "sudut pandang menciptakan objek peneli-
tian, (2) tidak ada ilmu yang hanya mempelajari wujud-wujud
konkret karena kalau demikian terpaksa ilmu itu mempelajari
ciri-ciri individu yang tidak terbatas jumlahnya. Untuk membuat
suatu penyelidikan ilmiah, kita perlu membuat "penyederhanaan
secara konvensional atas data", supaya objek dapat dibatasi
secara tepat. Caranya ialah dengan mengabstraksikan hal-hal
konkret yang dipelajari suatu ilmu. Dalam studi sinkronis kita
mengabstraksikan fakta-fakta yang memang dalam perjalanan
waktu berubah. Dengan demikian bahasa dapat diselidiki seolah-
olah sebagai sistem atau sesuatu yang berkeadaan stabil, tanpa
masa lampau atau masa depan.
Pandangan tersebut memerlukan pertanggungjawaban, dan
Saussure memberikannya dengan membandingkan sifat-sifat
parole dan langue sebagai berikut:
1. parole sebagai perbuatan bertutur selamanya bersifat per-
orangan, bervariasi, berubah-ubah, dan mengandung banyak hal
baru. Di dalamnya tidak ada kesatuan sistem, jadi tidak dapat
diteliti secara ilmiah.
2. Supaya sesuatu dapat didekati secara ilmiah, objek itu
haruslah "diam" karena kita harus menghitung dan mengukur-
nya. Parole terjadi dari pilihan perorangan yang tidak terhitung
jumlahnya, banyak sekali pengucapan dan kombinasi-kombinasi
baru. Jadi, pemerian terhadapnya bersifat tak terbatas.
3. Parole bukanlah sesuatu yang kolektif, semua perwujudannya.
bersifat sesaat, pengungkapannya bersifat sesaat dan heterogen,
dan merupakan perilaku pribadi. Parole dapat diungkapkan
dengan rumus:
(! + !' + 1" + 1"' ...)
4. Sebaliknya langue adalah pola kolektif, dim' bersama oleh
semua penutur, jadi dapat diungkapkan dengan , mus:
(1 + 1 + 1 + 1+14- 1 ...) = 1
5. Langue berada dalam bentuk "keseluruhan kesan yang tersim-
pan dalam otak setiap orang", yang hampir menyerupai "kamus
yang dibagikan kepada setiap orang ..., ada pada setiap orang,
sama untuk semua orang, tetapi tidak terpengaruh oleh kemauan
para penyimpannya."
6. Langue adalah "produk sosial dari kemampuan bahasa dan
sekaligus merupakan keseluruhan konvensi yang dipengaruhi
oleh kelompok sosial untuk memungkinkannya mempergunakan
kemampuan itu."
7. Karena merupakan "tempat menyimpan tanda-tanda yang
diterima orang dari penutur lain dalam masyarakat," pada
dasarnya langue adalah benda pasif, sedangkan parole adalah
benda aktif.
8. Langue adalah perangkat konvensi yang kita terima, slap
pakai, dari penutur-penutur terdahulu. Nampaknya bahasa itu
berubah demikian lambatnya sehingga cukup^beralasan bila kita
mempelajarinya seolah-olah tidak mengalami perubahan.
Apa yang dari satu sudut pandang merupakan abstraksi
bisa jadi merupakan hal yang konkret dari sudut lain. Saussure
menyimpulkan bahwa adalah "khayalan kalau langue dan parole
ditilik dari satu sudut pandang". Secara keseluruhan parole tidak
dapat diselidiki karena bersifat heterogen. Sebaliknya langue
telah dan dapat diselidiki. Dengan mudah kita dapat mempelajari
bahasa mati dan memahami organisasinya tanpa mempertim-
bangkan wicara; memang bahasa dapat diselidiki secara ilmiah
hanya bila wicara diabaikan. Jadi, dari sudut ini langue bersifat
konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepa-
kati secara kolektif. Tanda bahasa itu dapat diungkapkan
menjadi lambang tulisan yang konvensional, sedangkan parole
tidak mungkin digambarkan secara terinci karena ucapan kata
yang terkecil sekalipun melibatkan gerak otot yang tak terhitung
jumlahnya yang sulit sekali dikenali dan ditandai dengan tulisan.
Ringkasnya, Saussure beranggapan bahwa hanya aspek
bahasa yang sepadan dengan fakta sosial itu sajalah satu-satunya
objek penyelidikan ilmu linguistik. Langue bukanlah fakta fisik,
melainkan fakta sosial, yang dapat diselidiki secara memadai
karena mengandung pola-pola di belakang ujaran-ujaran pada
penutur. Pola itulah yang stabil sifatnya, baik sepanjang waktu
maupun dalam kesadaran penuturnya. Polia itu berubah demikian
lambatnya sehingga kita tidak akan kehilangan apa-apa bila
mengabstraksikannya dari realitas perubahan.
10

2. Perbedaan di antara Penyelidikan Sinkronis dan Diakronis

Dalam abad ke-19 para Juhggrammatiker mengatakan


bahwa satu-satunya cara ilmiah mempelajari bahasa ialah pende-
katan historis atau pendekatan diakronis, artinya dengan melihat
perkembangannya sepanjang masa. Walaupun dididik dalam
paradigma historis di Leipzig dan di Berlin, Saussure menentang
pandangan ini. la berpendapat bahwa beberapa aspek bahasa
memang dapat dipahami dengan mempelajari sejarah bahasa,
tetapi ada fakta-fakta lain yang hanya dapat diperoleh bila
dipandang secara sinkronis saja. Untuk menjelaskan kedua sudut
pandang itu diambilnya contoh batang pohon yang ditetak secara
horisontal atau yang dipotong secara vertikal dari bawah ke atas.
Data yang diperoleh dengan tetakan horisontal merupakan
perbandingan bagi jenis informasi yang diungkapkan dalam
penyelidikan terhadap bahasa secara sinkronis. Potongan itu
memperlihatkan tahap atau keadaan tertentu bahasa {etat de
langue). Permukaan yang terbuka demikian memperlihatkan sel,
lingkaran dan serat yang dibandingkan dan dibedakan satu dari
yang lain karena jelas tempatnya pada permukaan itu. Pemerik-
saan data secara demikian tidak mengharuskan kita untuk
mengetahui tentang masa jlampau atau sejarah dari apa yang
kelihatan oleh kita: setiap hal dapat ditandai dan diuraikan secar.a
teliti semata-mata dengan hal-hal lain yang tampak bersamanya.
Demikian pula halnya para penutur mempergunakan tanda-tan-
da yang menjadi unsur bahasa. Mereka tidak mesti tahu etimolo-
gi sebuah kata untuk mempergunakannya: jarang mereka tahu
perkembangan pembentukan kata yang dipergunakannya, juga
mereka tidak memerlukan pengetahuan itu untuk memperguna
kan kata secara betul. Sepanjang hidupnya para penutur tidak
perlu menyadari perubahan-perubahan dalam unsur-unsur ba
hasa lain.
Bila potongan itu dibuat dari bawah ke atas, gambaran laih
akan muncul: makin ke atas nampak garis-garis yang samar-
samar kemudian bercabang dan berpisah, meluas ke seluruh
batang atau menghilang menyatu dengan serat lain. Jelas bahwa
potongan semacam itu tidak memberikan data yang sama dengan
data yang diberikan oleh potongan horisontal yang memperlihat-
PERPUSmK^mM
BADAN BAHASA
11
KE^TNTE";A!J PSmmi BSmM

kan semuanya dari teras sampai ke lingkaran pohon. Potongan


vertikal hanya dapat memperlihatkan keping tipis yang sejajar
dengan perkembangan historis dari satu satuan dalam tahap
sinkronis.
Dari analogi ini nampak bahwa kajian sinkronis bahasa
mempunyai beberapa keuntungan dari sudut praktis maupun
ilmiah, lebih dari kajian historis. Pendekatan historis tidak dapat
dimanfaatkan untuk mempelajari perkembangan bentuk-bentuk
bahasa sampai diperoleh informasi yang andal tentang (1)
hubungan sistematis di antara bentuk-bentuk itu dalam tahap
bahasa sebelumnya,(2) perbedaan di antara hubungan sistematis
dalam pelbagai tahap perkembangan bahasa. Ada kemungkinan
bahwa data dari tahap sebelumnya sudah lenyap. Misalnya:
potongan horisontal atas "pohon Inggris" pada zaman Chauser
memperlihatkan adanya sejumlah infleksi nominal; potongan lain
dari "batang pohon" yang sama memperlihatkan infleksi yang
lebih sedikit. Potongan vertikal mungkin saja memperlihatkan
nomina atau mungkin nomina itu tidak ada sama sekali:
potongan vertikal yang tepat itu dibuat hanya atas dasar
informasi yang diperoleh dari dua potongan historis.
/jadi, linguistik historis alih-alih satu-satunya sarana untuk
mempelajari bahasa secara ilmiah, pendekatannya saja tidak
ilmiah. Artinya, bidang ini memang tidak dan tidak dapat
mempergunakan metode dan prinsip penyelidikan ilmiah. Untuk
mempelajari sejarah suatu bahasa maupun untuk membanding-
kan dua bahasa yang berkerabat, deskripsi sinkronis yang cermat
atas sekurang-kurangnya dua tahap yang sebanding tidak boleh
ditinggalkan.

3. Hakekat Tanda Bahasa

Sejauh ini bagi Saussure linguistik yang ilmiah sifatnya


harus mempelajari pola-pola yang menyesuaikan ujaran masing-
masing dengan kekangan sosial yang dipaksakan oleh masyarakat
bahasa. Telah kita lihat pula bahwa menurut sarjana itu linguistik
diakronis bukan merupakan satu-satunya kajian bahasa ilmiah,
melainkan ilmiah dalam arti jabaran karena harus memanfaat-
12

kan hasil penelitian linguistik sinkronis. Di sinilah kita harus


mengkaji definisi Saussure tentang objek linguistik yang "konkret
dan integral". Jelas objek itu ialah langue, tetapi itu pun belum
menjelaskan semuanya. Karena langue itu "khazanah tanda",
objek linguistik yang "konkret dan integral" ialah tanda bahasa.
Sebagaimana diutarakan pada bagian I, sejak mahasiswa Saus
sure sudah mempelajari karya ahli linguistik Amerika, Whitney.
Sarjana itu antara lain menyatakan bahwa pada hakekatnya
bahasa adalah pranata yang didasarkan pada konvensi sosial dan
merupakan perangkat penggunaan yang berlaku dalam masyara-
kat, dan merupakan perbendaharaan kata dan bentuk yang
masing-masing adalah tanda yang arbitrer dan konvensional.
Menurut Saussure, dengan menekankan sifat institusional dan
konvensional bahasa, Whitney telah menempatkan ilmu linguis
tik pada tempatnya yang tepat.
Namun, Saussure memperingatkan bahwa adalah keliru
anggapan bahwa langue sebagai khazanah tanda berarti bahasa
merupakan daftar kata-kata. Dalam pandangan Saussure tanda
bahasa "menyatukan konsep dan citraTkustis, bukan benda dan
nama ..., jadi merupakan wujud psikis dengan dua muka"sebagai
tergambar dalam diagram berikut.

konsep sigmfie petanda tanda


citra akustis sigmfiant penanda bahasa

Saussure dengan tegas menandaskan bahwa tanda bahasa


itu merupakan wujud psikis karena ia tidak mempertlmbangkan
wujud dari parole. Ia menyarankan bahwa pengkajian ilmiah
terhadap wicara dapat dan harus dilakukan, tetapi kajian
linguistik yang sebenarnya ialah kajian tentang langue; bila
kajian itu telah diselesaikan, prinsip yang sama dapat diterapkan
terhadap pflro/e. Alasan lain untuk mendefinisikan tanda bahasa
secara demikian ialah bahwa image acoustique 'citra akustis' itu
bersangkutan dengan ingatan atau kesan bunyi yang dapat kita
dengar dalam khayal, bukan ujaran yang diucapkan. Pandangan
ini membebaskan Saussure dari keharusan untuk menggarap
segi-segi fonetik yang menyangkut persoalan itu. Salah satu
13

manfaat konsep citra akustis ialah bahwa komponennya jelas


batasnya, sedangkan bunyi yang kita ujarkan tidak demikian;
citra akustis dapat digambarkan dengan tulisan secara cermat,
sedangkan bunyi tidak. Kata Saussure, "citra bunyi tidak lebih
daripada keseluruhan unsur atau fonem yang jumlahnya terbatas,
yang dapat diwujudkan dengan lambang tertuiis yang jumlahnya
sepadan." Saussure tidak merinci bagaimana sesungguhnya wu-
jud bunyi itu, tetapi jelas bahwa ia berusaha mencari juga
kesepadanan fakta sosial pada lapisan bunyi bahasa: bunyi
konkret selamanya menandai penuturnya, sedangkan bunyi-
bunyi yang membentuk citra akustis, yang disebut fonem,
merupakan jangkauan perbedaan-perbedaan bunyi yang dimung-
kinkan oleh fonologi suatu bahasa. Sekalipun kebanyakan
ortografi tidak sempurna, abjad yang sempurna akan mempunyai
sebanyak-banyaknya lambang sesuai dengan adanya perbedaan-
perbedaan bunyi dalam bahasa.
Bagian lain dari tanda bahasa ialah konsep. Saussure tidak
merinci tentang apa yang disebutnya konsep, selain daripada
menyatakan bahwa konsep itu lebih abstrak daripada citra
akustis. Sebagaimana bagian lain dari langue, konsep bersifat
pembeda semata-mata, dan secara langsung bergantung pada
citra bunyi yang berkaitan. Itulah sebabnya tanda mempunyai
dua muka yang tidak dapat dipisahkan. Saussure menyebut
konsep itu signifie 'yang ditandai; petanda', dan citra akustis itu
signifiant'yang menandai; penanda' Tak satu pun dari keduanya
itu tanda karena tanda itu merupakan kesatuan dua muka yang
tidak dapat diceraikan. Kesatuan keduanya itu dapat diibaratkan
dengan selembar kertas karena tidak mungkin kita menggunting
satu sisi tanpa menggunting sisi yang lain. Dalam tanda bahasa,
bila citra akustis diubah, maka berub&h pulalah konsep; dan
sebaliknya. Memang pandangan ini tidak memperhitungkan
homonim.
Definisi Saussure bahwa tanda bahasa adalah objek linguis-
tik yang konkret dan integral nampaknya merupakan usaha
Saussure untuk membuat linguistik ilmiah dengan membuat,
penyederhanaan konvensional terhadap data. Oleh sebab itu,
para ahli linguistik harus sepakat apa sepatutnya yang merupakan
14

objek disiplin mereka. Kesepakatan mereka itulah yang mem-


bentuk penyederhanaan yang konvensional; penyederhanaan di
sini berupa kajian terhadap aspek psikis dari tanda bahasa, bukan
aspek ujaran. Jadi, tanda adalah konkret dalam pengertian khu-
sus yang demikian, dalam arti tidak ada satu pun yang ditinggal-
kan dari definisi yang diperlukan oleh sudut pandangnya karena
sudut pandang itulah yang menciptakan objek. Maksudnya sudut
pandang menentukan apa yang dianggap konkret (menyeluruh)
sebagai \di\ja\\ \abstrak (sebagian). Di samping itu tanda bahasa
merupakan objek integral dari linguistik; mengkaji salah satu
muka tanda bahasa, entah signifie entah siginifiant, secara
terpisah berarti mengkaji abstraksi dari langue, bukan faktanya.
Istilah tanda yang dipergunakan Saussure bersifat sangat
umum, bisa berarti apa yang oleh orang lain disebut kalimat,
klausa, frasa, kata, atau morfem. Namun, istilah morfem yang
dipergunakannya terbatas pada pengertian afiks, inflektif dan
derivatif, tidak pada akar atau dasar. Tanda itu ada dua jenis;
yang pertama ialah tanda tunseal yang tidak dapat dianalisis atas
bagian yang lebih kecil, dan sintasma yang terjadi dari dua bagian
bermakna atau lebih.
Semua tanda mempunyai dua sifat utama: arbitrer dan
/mier. Pandangan Saussure tentang kearbitreran bersifat tradisi-
onal, dalam arti tidak ada motivasi entah aspek bunyi dalarn
benda yang ditandainya. Sifat ini dalam arti yang sempit hanya
terdapat dalam tanda tunggal. Dalam sintagma seperti kata
majemuk atau frasa terdapat motivasi relatif; misalnya bentuk-
bentuk inflektif diwujudkan secara sama untuk menandai hu-
bungan makna yang sama, konstruksi sintaktis yang diperguna
kan dalam situasi yang sama diwujudkan secara sama pula. Jadi,
sintagma bermotivasi satu sama lain.
Karena istilah lambang menunjukkan sedikit banyak moti
vasi, Saussure lebih suka mempergunakan istilah tanda untuk
menyatakan ungkapan dalam bahasa. Onomatope mungkin
membatasi kearbitreran tanda, tetapi ia berpendapat bahwa
tanda-tanda semacam itu tidak cukup banyak untuk meniadakan
prinsip-prinsip dasarnya.
Kelinieran tanda bahasa paling nampak dalam signifiant
15

yang dapat dipecah atas bagian-bagian yang berurutan. Bentuk-


bentuk yang berurutan ini disebutnya rangkaian wicara. la
meramalkan bahwa akibat-akibat fakta ini dalam linguistik akan
tak terkirakan karena linieritas merupakan dasar dari meka-
nisme bahasa dan menjadi kriteria yang membedakan bahasa
dari sistem tanda lain.
Kecuali sifat arbitrer dan linier seperti diuraikan di atas,
Saussure mengajukan dua sifat lain yang nampaknya berlawanan,
yakni sifat tak tertukarkan dan tertukarkan, tetapi tidak dari titik
pandang yang sama. Tanda bahasa dikatakan bersifat tak
tertukarkan karena setiap generasi mewarisi bahasa dan tanda-
tanda yang menjadi bagiannya, dan baik masyarakat maupun
orang perorang bersikap pasif dalam menerimanya. Jadi, sifat
konvensional dari bahasa khusus Jenisnya, dan anggapan bahwa
ada perjanjian eksplisit tentang makna di antara penutur bukan-
lah anggapan yang benar. Menurut Saussure bahasa merupakan
contoh dari "hukum yang ditolerir oleh masyarakat, bukannya
kaidah yang disetujui secara bebas oleh anggota-anggota
rnasyarakat".
la menyebutkan 4 alasan mengapa tanda bahasa itu - jadi
juga langue - bersifat tak tertukarkan: (1) karena tanda bersifat
arbitrer, tanda apa pun tak ada yang lebih baik daripada yang
lain sehingga tak ada pilihan atau perbincangan di antara
pemakai bahasa; (2) sekalipun ada kemungkinan orang ingin
mengubah sistem tulisan yang arbitrer sifatnya karena unsur-
unsurnya terbatas jumlahnya - itu pun dapat dikritik orang -
namun tanda bahasa tak terbatas jumlahnya, dan ketakterba-
tasan ini menghalangi perubahan bahasa;(3) bahasa merupakan
sistem yang sangat rumit, dan ini diakui oleh segelintir ahli
bahasa. Namun, mereka tidak berhasil mengubah bahasa secara
asasi;(4) bahasa adalah satu-satunya sistem sosial yang dipergu-
nakan semua orang; oleh sebab itu di antara penutur terdapat
sikap konservatif dalam menghadapi perubahan kebiasaan
bahasa.
Ketertukaran tanda bahasa - dan juga bahasa - adalah
fakta sejarah yang tak dapat ditolak. Sifat itu ada, kalau kita
pergunakan sudut pandang lain, yakni sudut pandang historis,
yang menimbulkan pergeseran hubungan di antara signifiant dan
16

signifie sebagai akibat perubahan bunyi dan pergeseran analogi.


Menurut pandangan penutur semasa, alasan-alasan tiadanya
perubahan bahasa cukup nyata namun bagi penyelidikan ilmiah
fiksi tentang bahasa yang stabil bukan hanya sah melainkan juga
peril!. Agar kita dapat memandang kehidupan bahasa lebih
objektif, perlu sekali dipertimbangkan akibat-akibat kumulatif
dari para penutur dan perjalanan waktu terhadap sistem itu.

4. Hubungan Asosiatif dan Hubungan Sintagmatis

Sebagaimana diuraikan di atas, tanda bahasa sebagai objek


linguistik mempunyai dua sifat utama: arbitrer dan linier.
Kelinieran tanda bahasa - menurut Saussure - akan memberikan
akibat yang tak terkirakan bagi linguistik. Dalam rangkaian
wicara pelbagai mata rantai berurutan sesuai dengan urutan
waktu, tetapi tidak ada alasan yang jelas mengapa satu mata
rantai mengikat mata rantai yang lain. Sekalipun kita tidak dapat
melihat mengapa suatu kombinasi dibolehkan dan yang lain
tidak, namun kita dapat menentukan kaidah-kaidah bagi kons-
truksi yang dibolehkan dengan menyimak mata rantai dalam
ujaran dan meneliti mata rantai lain yang mungkin muncul.
Setiap mata rantai dalam rangkaian wicara mengingatkari
orang pada satuan bahasa lain karena satuan itu serupa atau
berbeda dari yang lain dalam bentuk dan makna. Inilah yang
disebutnya hubungan-hubungan asosiatif. Hubungan ini disebut
hubungan in absentia karena butir-butir yang dihubungkan itu
ada yang muncul, ada yang tidak dalam ujaran. (Istilah asosiatif
dalam linguistik sudah diganti dengan istilah paradigmatis, atas
saran salah seorang pengikut Saussure, Louis Hjelmslev, seorang
ahli linguistik Denmark).
Yang dimaksud dengan hubungan-hubungan sintagmatis
adalah hubungan di antara mata rantai dalam suatu rangkaian
ujaran. Hubungan ini disebut hubungan in praesentia karena
butir-butir yang dihubungkan itu ada bersama dalam wicara.
Suatu sintagma dapat berupa satuan berurutan apa saja yang jelas
batasnya; jumlahnya sekurang-kurangnya ada dua. Segmen itu
bisa berupa fonem, suku kata, morfem, kata, frasa, dan
sebagainya.
17

Menurut Saussure, bentuk-bentuk bahasa dapat diuraikan


secara cermat dengan meneliti hubungan asosiatif (atau paradig-
matis) dan hubungan sintagmatis itu. la menekankan pentingnya
gagasan itu dengan memberi contoh dari dunia di luar linguistik,
yakni tiang bangunan. Tiang itu berhubungan satu sama lain dan
dengan bagian lain dari bangunan (secara sintagmatis karena
hubungan ada bersama sekaligus) dan berhubungan dengan jenis
tiang lain yang bisa saja dipergunakan, misalnya tiang gaya
Doria, Ionia, atau Korintia (secara asosiatif di antara tiang yang
ada itu dengan tiang lain yang mungkin terpikir oleh kita, tetapi
tidak ada).

5. Perbedaan di antara Valensi, Isi dan Pengertian

Langue dipandang oleh Saussure sebagai perangkat hu


bungan di antara tanda bahasa yang stabil. Sebagaimana diung-
kapkan di atas, ada dua jenis hubungan, yaitu hubungan
sintagmatis dan hubungan paradigmatis. Melalui kedua hu
bungan itulah tanda bahasa dapat diuraikan, dan hasilnya ialah
pemerian tentang valensi (Perancis valeur). Konsep ini merupa-
kan inti dari pandangan Saussure yang paling dasar tentang
organisasi bahasa.
Pandangan Saussure itu dapat kita pahami dengan mene-
rima kenyataan bahwa tanda bahasa itu penting, bukan sebagai
peristiwa bunyi melainkan sebagai pengganti atau wakil dari
unsur-unsur luar bahasa. Tanda itu pertama-tama kita kenal
dengan mendengarnya, namun ucapan orang jarang kita perhati-
kan. Yang kita perhatikan ialah gagasan, benda, atau situasi yang
menarik perhatian kita melalui ujaran si pembicara. Saussure
menyimpulkan bahwa para ahli linguistik berbeda tugasnya
dengan para ahli di bidang lain. Seorang ahli zoologi misalnya
menghadapi data secara "langsung". Tugas ahli linguistik sama
dengan ahli astronomi yang memperoleh data secara tidak
langsung namun tidak dapat dibantah keberadaannya.

"Bahasa mempunyai ciri yang mencolok dan aneh, karena tidak


mempunyai wujud yang dapat ditangkap, namun tidak membiar-
18

kan kita untuk menyangsikan bahwa wujud-wujud itu ada;


bekerjanya wujud-wujud itu membentuk keberadaannya."

Dengan kata lain ciri utama tanda bahasa tidak dapat dicari pada
wicara, tetapi dalam hubungannya dengan unsur-unsur luar
bahasa, melalui sejenis konvensi sosial. Dari sinilah tampil sifat
pertama valensi atau nilai, yakni menyangkut substitusi atau
penggantian suatu benda untuk benda lain yang sifatnya ber-
lainan. Uang adalah contoh yang jelas.
Untuk menunjukkan bahwa konsep valensi atau nilai dapat
diterapkan dalam penyelidikan bahasa, mula-mula harus dibahas
identitas linguistis, kemudian realitas linguistis, dan akhirnya
valensi linguistis. Kemudian ia menunjukkan bahwa konsep
valensi linguistis mencakup kedua konsep yang pertama.
Bagi Saussure identitas linguistis bersangkutan dengan
munculnya kembali unsur bahasa yang sama. Untuk menjelaskan
bahwa suatu tanda bahasa dalam suatu ujaran itu sama dengan
tanda itu dalam ujaran lain, Saussure mengetengahkan kata
Perancis pas dalam kalimat Je ne sais pas dan Ne dites pas cela.
Kata ini secara etimologis bersangkutan dengan kata Latin
passum 'tangga', tetapi etimologi tidak memberikan penyele-
saian karena masalahnya bersangkutan dengan identitas sinkro-
nis. Kesamaan kedua pas itu tidak terletak pada kesamaan
fonetis maupun semantis. Ia menjelaskannya dengan contoh
berikut. Bagaimana kita menandai kereta api jam 8.15 dari
Zurich ke Jenewa pada hari-hari yang berlainan? Apa yang
raembuat kereta api itu "sama" bukan karena ditarik oleh
lokomotif listrik, uap, diesel pada hari-hari yang berlainan,
bukan pula karena gerbongnya, melainkan kenyataan bahwa (1)
kereta api itu berangkat pukul 8.15, dan (2) berjalan dari Zurich
ke Jenewa. Kereta api itu bukanlah kereta api yang "sama" bila
berangkat pada waktu yang lain atau dari tempat yang lain atau
ke tempat lain.
Bagi Saussure realitas sinkronis adalah sesuatu yang kita
temukan di dalam bahasa dan bukan yang kita paksakan ke
atasnya. Namun, wujud bahasa yang konkret tidak secara
langsung nampak.
19

Untuk menjelaskan ciri valensi yang lain ia memperguna-'


kan permainan catur sebagai perbandingan. Ia menyatakan
bahwa buah catur bukanlah unsur permainan. Nilai buah catur
terdapat dalam hubungannya dengan buah catur Iain dan gerak
yang dibuatnya. Bentuk bahannya tidak penting karena kalau
buah itu hilang atau pecah, behda lain, entah batu entah tutup
botol, dapat menggantikanhya selama benda itu membuat gerak
yang menjadi ciri buah catur yang bersangkutan. Realitasnya
tidak terletak pada bahannya, yang menggambarkan benda apa
itu, melainkan pada perbedaannya dengan buah catur lain, yang
menggambarkan bukan benda apa itu.

"Dengan singkat itulah sebabnya mengapa konsep valensi menca-


kup konsep satuan, wujud yang konkret, dan realitas."

Jadi, valensi dapat ditukar dengan sesuatu yang sifatnya berlain-


an yang dianggap bernilai sama(misalnya,vjang dengan roti); dan
dapat dibatasi melalui . hal-hal yang serupa (misalnya, dolar
Amerika dibandingkan dengan sterling Inggris).
Valensi linguistis h'arus didekati dari sudut konseptual dan
material. Bagi Saussure pikiran tanpa "ungkapan dalam kata^^
kata" hanyalah "benda yang tidak jelas dan tidak mempunyai
bentuk". Jadi, mustahil untuk menemukan wujud atau satuan
pikiran bila tidak melalui bahasa, sama mustahilnya untuk
menemukan wujud bahasa dengan mempelajari bunyi semata-
mata. Identitas atau realitas linguistis, jadi bahasa itu sendiri,
dapat digambarkan secara menyeluruh sebagai rangkaian bagian-
bagian yang berdampingan yang dibatasi di satu pihak oleh
gagasan-gagasan yang tak beraturan dan di pihak lain oleh bunyi
yang juga kabur. Dengan perkataan lai% tidak ada satuan pikiran
yang mendahului ungkapan bahasa, sebagaimana tidak ada
kapan bahasa bekerja serentak pada tahap konseptual dan
material (bunyi) sehingga langue menggarap satuan-satuannya
sambil membentuknya. Saussure menyimpulkan bahwa linguistik
ibekerja pada batas-batas di mana unsur iDunyi dan pikiran
bergahung: gabungan itu menghasilkan bentuk, bukan substansi.
Pandangan tersebut memberi Saussure kejelasan atas ciri tanda
bahasa yang arbitrer karena tidak ada sistem dari luar yang
20

mengatur penggabungan bentuk dan makna. Valensi linguistis


seluruhnya tetap berupa hubungan dan hanya fakta sosial saja
yang dapat menciptakan sistem bahasa. Masyarakat diperlukan
bila nitai akan ditegakkan karena nilai itu sendiri ada karena
penggunaan dan penerimaaa umum. Seorang diri penutur tidak
mampu untuk menetapkan suatu nilai tunggal.
Ada tiga istilah kunci yang dipergunakan Saussure untuk
menggarap sisi konseptual dari valensi, yakni valensi, isi, dan
pengertian.
Pengertian, atau dalam bahasa Perancis signification, dide-
finisikan sebagai asosiasi suatu bunyi dengan suatu konsep, jadi
pada dasarnya sama dengan makna referensial dalam semantik.
Valensi dari suatu unsur bahasa ditentukan dengan menyelidiki
unsur lain dalam sistem bahasa karena unsur-unsur itu beropo-
sisi, baik secara paradigmatis maupun secara'sintagmatis. Seba-
gaimana diketahui bagi Saussure langue adalah sistem unsur-
unsur yang saling tergantung yang nilai masing-masingnya
semata-mata ditentukan dari keberadaan unsur-unsur lain secara
serentak. Isi atau dalam bahasa Perancis contenu dari suatu
sistem mencakup pengertian dan valensi. Bagi Saussure penger
tian adalah konsep positif sedangkan valensi lebih bersifat negatif
atau relatif. Jadi, gagasan tentang valensi tersebut memperlihat-
kan bahwa adalah sangat keliru untuk menganggap unsur bahasa
hanya sebagai gabungan bunyi dan konsep. Pendefinisian sema-
cam itu berarti memisahkan unsur bahasa dari sistemnya dan
memberi kesan bahwa kita mulai dari unsurnya dan baru
kemudian membentuk sistemnya dengan mengumpulkannya,
padahal seharusnya kita mulai dari sistem yang utuh dan melallii
analisis diperoleh unsur-unsurnya.
Untuk menjelaskan pendiriannya itu Saussure mem-
bandingkan leksem-leksem dalam dua sistem yang berbeda yaitu
bahasa Inggris dan bahasa Perancis. la mengambil kata Inggris
sheep dan mutton dan padanan Perancisnya mouton. la menun-
jukkan bahwa ketiga leksem itu mengandung pengertian yang
sama, karena kata Inggris sheep merupakan nama hewan dan
mutton adalah makanan yang disiapkan dari hewan itu, sedang
kan leksem Perancis mouton bermakna kedua-duanya. Namun
21

mouton jelas tidak memiliki valensi yang sama dengan sheep


maiipun mutton karena leksem ini merupakan bagian dari suatu
sistem yang anggota-anggota lainnya adalah nama hewan atau
daging yang berasal dari hewan itu, sedangkan leksem sheep
merupakan bagian dari sistem leksikal yang anggota-anggota
lainnya nama hewan dan mutton t^rmasuk dalam perangkat yang
anggota-anggota lainnya nama makanan. Jadi, ketiga leksem itu
tidak mempunyai isi yang samh, sekalipun memiliki pengertian
yang sama dalam konteks yang tepat.
Konsep valensi ini dipergunakan bukan hanya untuk
menyelidiki aspek konseptual dari bahasa, melainkan juga aspek
material atau fonetiknya. Sebagaimana contoh kereta api dan
buah catur tersebut di atas, yang diperlukan oleh satuan-satuan
secara material tidak lain hanyalah agar dibedakan dari satuah-
satuan lain yang berjenis sama. Secara fonetis tidak peduli jenis
bunyi apa yang dipergunakan oleh suatu bahasa selama bunyi-
bunyi itu saling berbeda. Demikian pula halnya dengan aksara
karena kita dapat membentuk kata yang sama dengan bentuk
huruf yang berlainan menurut posisinya dalam kata itu.
Bagi Saussure bahasa adalah forma atau bentuk dan bukan
substansi yang identik dengan aspek material dari bahash.
Kesimpulannya adalah bahwa langue merupakan khazanah
tanda bahasa. Tahda bahasa adalah kesatuan yang timbul dari'
asosiasi citra akustik dengan konsep, dan asosiasi inilah satu-
satunya fakta positif dari bahasa. Tanda bahasa hanya dapat
dikenalpastikan secara penuh bila tempatnya dalam sistem telah
ditentukan. Hal ini dapat dilakukan secara cermat karena bahasa
bersifat linier sehingga memungkinkan kita untuk menjelaskan
hubungan sintagmatis dan paradigmatis setiap tanda bahasa.
Demikianlah secara singkat pandangan Saussure tentang
hakekat bahasa dan linguistik.

II

Marilah sekarang kita telaah jasa-jasa Saussure bagi kita


dewasa ini. Khususnya dalam bidang linguistik, telaah yang kita
buat haruslah telaah yang kritis karena perbedaan waktu 80
22

tahun cukup mehonjolkan perkemhangan atau kemajuan wawa-


san kita tentang bahasa dan linguistik. Kecuali implikasi ajaran
Saussure dalam linguistik, kami paparkan secara singkat penga-
ruhnya dalam strukturalisme dan semiotika.

(1) Pengaruh Saussure dalam linguistik abad XX

Dalam bidang linguistik tidak perlu diragukan lagi bahwa


konsep-konsep dasarnya diterima orang, entah secara eksplisit,
entah secara implisit. Perbedaan di antara langue, parole,
langage, dan di antara diakroni dan sinkroni, serta di antara
hubungan paradigmatis dan sintagmatis jelas mempengaruhi
pemikiran linguistik sampai sekarang. Namun, harus dicatat
bahwa dalam perinciannya tidak semua konsep tersebut diterima
orang mentah-mentah.
Bila pada halaman-halaman di atas kita melihat bahwa bagi
Saussure sasaran akhir linguistik hanyalah langue, harus kita
catat bahwa pada tahun-tahun kemudian orang memperta-
nyakannya dan menjawab bahwa parole pun pantas diteliti.
Kritik terhadap Saussure inilah yang menjadi landasan penyeli-
dikan sosiolinguistik dewasa ini.
Pemisahannya yang tegas antara iinkroni dan diakroni pada
tahun 1928 dalam Kongres Linguistik Internasional pertama di
Den Haag oleh tiga orang sarjana yang sebenarnya pengikut
Saussure, yakni Trubetzkoy, JakobsPn, dan Karcevskij, telah
ditentang habis-habisan., Ketiga penganut aliran Praha itu
menyatakan bahwa seorang peneliti dapat bebas bergerak pada
sumbu waktu tanpa mengurangi kesahihan prosedur atau hasil
penelitiannya sehingga diakroni bukannya terpisah dari sinkro
ni, melainkan saling melengkapi. Penyelidikan linguistik historis
akhir-akhir ini pun menunjukkan bahwa perubahan bahasa
cukup sistematis, jadi pendapat Saussure seperti terurai di atas
tidak diikuti orang lagi. Namun, perlu kami ingatkan bahwa hasil
penyelidikannya dalam linguistik jlndo-Eropa tidak dapat diing-
kari orang lagi.
Teori Saussure bahwa bahasa adalah forma dan btikan
substansi diikuti secara konsisten oleh penegak aliran glosematik
- aliran yang secara langsung mewarisi semua pandangan Saus-
23

sure, Louis Hjelmslev. Pandangan ini kemudian dijadikan


landasan teori aliran stratifikasi yang dirumuskan oleh Sydney
Lamb. Akhir-akhir ini pandangan itu ditentang oleh Kenneth L.
Pike yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya sistem relasi
(= forma) melainkan juga sistem satuan(= substansi).
Usaha Saussure tintuk memperhatikan perbedaan di antara
valensi, isi, dan pengertian menjadi dasar penyelidikan apa yarig
disebut medan makna dalam semantik sehingga pelbagai aspfek
semantik dan leksikologi dapat lebih dijelaskan.
Di Amerika Serikat teori Saussure tentang tanda bahasa
sangat diabaikan orang. Tidak demikian halnya di Eropa. Boleh
dikata, linguistik Eropa berorientasi pada semiotika (lihat pasal 3
di bawah ini). Namun, dewasa ini pandangannya tentang kear-
bitreran tanda bahasa banyak ditentang orang. Godel, salah
seorang muridnya dan juga ahli linguistik yang terkemuka,
menuturkan bahwa Saussure pernah memikirkan untuk memba-
tasi sifat arbitrer itu pada tanda bahasa tungg"hl, sedangkan tanda
bahasa yang kompleks bermotivasi. la tidak sempat mengem-
bangkan pemikiran tentang soal ini karena lalu meninggal dunia.
Sesungguhnya jasa Saussure tidak terletak pada segi-segi
yang terinci seperti tersebut di atas melainkan pada dasar-
dasar filosofis ilmu linguistik. Kuliah-kuliahnya itu telah meletak-
kan prinsip-prinsip teori tentang bahasa dan menyediakan
kerangka bagi linguistik modern. Cara penyajiannya yang suges-
tif, merangsang, dan tidak dogmatis membuka kesempatan bagi
ahli-ahli linguistik kemudian untuk menjelajahi medan bahasa
yang sangat luas dan menjadikan linguistik ilmu yang sangat kaya
akan wawasan tentang milik manusia yang sangat kompleks itu.
Seperti dikatakan oleh Leonard Bloomfield,

'The value of the Cours lies in its clear and rigorous demonstra
tion of fundamental principles ;..
The essential point, ... is that de Saussure .. has given us the
theoretical basis for a science of human speech"(1923: 317-9).

(2) Strukturalisme dalam antropologi dan kesusastraan

Sebagaimana diungkapkan di atas, Saiissure mengajarkan


24

bahwa seluruh sistem bahasa sebagai forma dan bukan substansi


dapat disederhanakan dan dijelaskan sebagai relasi sintagmatis
dan paradigmatis; dan bahwa sistem itu terjadi dari tingkat-
tingkat struktur; pada tiap-tiap tingkat terdapat unsur-unsur yang
saling berkontras dan saling berkombinasi untuk membentuk
satuan-satuan yang lebih tinggi. Prinsip-prinsip penstrukturan
pada tiap tingkat pada dasarnya sama. Tujuan linguistik ialah
mencari sistem (= langue) tersebut dari kenyataan yang konkret
(= parole). Ajaran tersebut menjadi dasar dari apa yang disebut
pendekatan strukturalistis. Untuk memahami pendekatan terse
but perlu dicatat apa yang disebut struktur. Suatu deskripsi
pernah diberikan oleh Jean Piaget, seorang ahli psikologi dan
pemikir Swiss. Menurut sarjana itu, struktur adalah suatu tatanan
wujud-wujud yang mencakup keutuhan, transformasi, dan
pengaturan diri. Dikatakan "keutuhan" karena tatanan wujud itu
bukannya kumpulan semata melainkan karena tiap-tiap kompo-
nen struktur itu tunduk kepada kaidah intrinsik dan tidak
mempunyai keberadaan bebas di luar struktur. Dikatakan "trans
formasi" karena struktur itu tidak statis dan bahan-bahan baru
terus menerus diproses oleh dan melalui struktur itu. Dikatakan
"pengaturan diri" karena struktur itu tidak pernah meminta
bantuan dari luar untuk melaksanakan prosedur transformasional
tersebut; jadi struktur itu bersifat "tertutup".
Jadi, pada hakekatnya strukturalisme adalah suatu cara
pandang yang menekankan persepsi dan deskripsi tentang struk
tur seperti diuraikan oleh Piaget tersebut. Persepsi itu melibatkan
kesadaran bahwa alam semesta tidak terjadi dari objek-objek
yang keberadaannya bebas. Cara pandang setiap pengamat tidak
pernah seratus persen objektif, bahkan setiap pengamat tidak
dapat menghindarkan diri untuk menciptakan sesuatu dari apa
yang diamatinya.
Bahwasanya alam semesta terjadi dari relasi (Saussure:
forma) dan bukan benda (Saussure: substansi) adalah prinsip
dasar dalam strukturalisme.
Salah seorang sarjana yang menerapkan pandangan struk-
tural dalam linguistik ajaran Saussure dalam penyelidikan antro-
pologi ialah Claude Levi-Strauss (lahir 1904). la yakin bahwa
analisis kebudayaan (bahkan analisis atas kehidupan sosial.
25

termasuk seni dan agama) dapat dilaksanakan dengan memper-


gunakan analisis bahasa sebagai model. Bukan hanya itu saja:
sifat paling hakiki aspek-aspek kebudayaan sama dengan sifat-
sifat bahasa.
Seperti penyelidik linguistik, ia mulai mengidentifikasikan
unsur-unsur yang sekali pandang merupakan kumpulan yang tak
beraturan (Saussure: parole). Ia mencari makna yang dalam dari
ketidakteraturan itu. Ia memandang perilaku budaya, upacara,
ritus, kekerabatan, hukum perkawinan, cara memasak, sistem
totem, bukan sebagai wujud yang intrinsik; yang diperhatikannya
ialah hubungan-hubungan kontrastif di antara unsur-unsur yang
membentuk strukturnya masing-masing, sepadan dengan struk-
tur fonologis suatu bahasa.|Jadi, "seperti fonem, istilah kekera
batan adalah unsur makna; seperti fonem, istil^h-istilah keke
rabatan itu memperoleh makna hanya bila diintegrasikan ke
dalam sistem". Unsur-unsur itu dapat diorganisasikan menurut
struktur oposisi dan korelasi tertentu.
Bagi Levi-Strauss sistem-sistem kebudayaan merupakan
gabungan yang membentuk sejenis bahasa. Dengan cara pandang
demikian dapat diperoleh pemahaman yang pentina tentang
"sikap-sikap tak sadar" dari masyarakat yang diselidikift
Pendekatan strukturalistis tidak hanya mempengaruhi
antropologi, melainkan juga kesusastraan. Sekelompok sarjana
yang menekankan forma dalam mempelajari karya sastra sudah
lama giat di Rusia sejak tahun 20-an. Kelompok yang melibatkan
ahli-ahli linguistik dan sejarah sastra seperti Boris Eichenbaum,
Viktor Shklovsky, Roman Jakobson, Boris Tomasjevsky, Juri
Tynyanov terkenal sebagai aliran formalis Rusia. Mereka berang-
gapan bahwa tugas mereka adalah mempelajari struktur sastra,
dengan mengamati secara objektif hakekat sastra yang khas dan
penggunaan alat-alat fonemis dalam karya sastra, dan bukan
mempelajari amanat, sumber, atau sejarah sastra. Puisi terjadi
dari kata-kata, bukan subjek-subjek puitis, jadi perhatian kriti-
kus sastra haruslah ditumpukan pada bahasa yang menyebabkan
seni sastra berada.
Sarjana yang mempunyai teori yang cukup eksplisit dalam
pendekatan sastra secara strukturalistis ialah Roman Jakobson
(1896-1982). Ia berusaha mendekati puisi secara linguistik
26

karena poetika baginya adalah bagian dari linguistik. Untuk


mempelajari bahasa puitis ia mempergunakan konsep polaritas
dan konsep ekuivalensi.
Konsep tentang polaritas diambilnya dari teori Saussure
tentang hubungan sintagmatis dan asosiatif (paradigmatis). Kon
sep ini memperlihatkan oposisi biner metafora dan metonimia.
Metafora bersifat paradigmatis, sedangkan metonimia bersifat
sintagmatis. Keduanya mendasari proses pembentukan tanda-
tanda bahasa atas seleksi dan kombinasi. Atas dasar itu ia
memberikan definisi tentang fungsi puitis bahasa sebagai fungsi
untuk memanfaatkan seleksi dan kombinasi untuk meningkatkan
ekuivalensi.
Jakobson menyatakan bahwa gaya-gaya literer pelbagai
aliran dapat dibedakan atas pemanfaatan metafora atau metoni
mia: aliran romantisisme, simbolisme, dan surrealisme menguta-
makan metafora, sedangkan aliran realisme dan kubisme mengu-
tamakan metonimia.
Dalam teorinya, kepuitisan atau fungsi puitis tidak terbatas
pada puisi, melainkan terdapat dalam semua penggunaan bahasa.
Jadi, bila akan mempelajari fungsi puitis linguistik tidak boleh
membatasi pada puisi saja.

(3) Warisan Saussure: semiotika

Dalam salah satu bagian dari PLU Saussure menyatakan


bahwa ia membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda-
tanda dalam masyarakat. Di dalamnya dipelajari terjadi dari apa
saja tanda-tanda itu dan kaidah-kaidah apa yang mengaturnya.
Ilmu itu disebutnya semiologi. Linguistik hanyalah sebagian kecil
dari ilmu umum itu.
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama per-
buatan dan tingkah manusia membawa makna atau selama
berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sisterh
pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di
mana ada tanda, di sana ada sistem. Sekalipun hanyalah
merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat ber-
peran sebagai model untuk semiologi. Sebabnya terletak pada
ciri arbitrer dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda-
27

tanda bukan bahasa pun dapat dipaiidang sebagai fenomen yang


arbitrer dan konvensional, misalnya upacara, mode, keper-
cayaan, dan Iain-lain.
Dalam perkembangannya yang terakhir kajian mengenai
tanda dalam masyarakat didominasi oleh karya filsuf Amerika,
Charles S. Peirce (1839-1914), yang ajarannya jauh lebih te -
rinci daripada tulisan Saussure yang lebih programatis itu; oleh
sebab itu istilah semiotika yang lebih lazim dalam dunia Anglo-
Sakson, dan bukannya istilah semiologi yang terkenal di Eropa
Kontinental, lebih banyak dipakai orang.
Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan
teori Saussure ialah Roland Barthes (1915-1980). la menerapkan
model Saussure dalam penelitiannya tentang karya-karya sastra
dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian.
Bagi Barthes komponen-komponen tanda, yakni penanda
(Saussure: signifiant) dan petanda (Saussure: signifie), terdapat
juga pada tanda-tanda bukan bahasa; antara lain terdapat pada
mite, yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan yang di-
bentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan
identitasnya. (Mite bagi Barthes bukan mitos dalam pengertian
klasik). Hanya mite merupakan sistem semiotis lapisan kedua,
yang dibentuk berdasarkan rangkaian semiotis yang ada sebelum-
nya. Apa yang berstatus sebagai tanda dalam lapisan pertama
berfungsi sebagai penanda bagi lapisan kedua. Jadi, gambarnya
adalah sebagai berikut

03
penanda petanda
C3
-C
f 03

tanda penanda

tanda
28

Menurut Barthes, hubungan antara mite dengan bahasa


terdapat pula dalam hubungan antara penggunaan bahasa literer
dan estetis dengan bahasa biasa. Dalam fungsi ini yang diutama-
kan adalah konotasi, yakni penggunaan bahasa untuk mengung-
kapkan sesuatu yang lain daripada apa yang diucapkan. Baginya
lapisan pertama itu taraf denotasi, dan lapisan kedua taraf
konotasi: penanda-penanda konotasi terjadi dari tanda-tanda
sistem denotasi. Jadi, konotasi dan kesusastraan pada umumnya,
merupakan salah satu sistem penandaan lapisan kedua yang
ditempatkan di atas sistem lapisan pertama dari bahasa.
Ada pula situasi yag terbalik: tanda dari lapisan pertama
menjadi petanda lapisan kedua. Dalam hal ini sistem lapisan
kedua itu menjadi metabahasa. Jadi, dapat dibedakan semiosis
dan semiotika. Yang pertama itu merupakan bahan kajian bagi
yang kedua; dan yang kedua itu merupakan metabahasa bagi
yang pertama.

Ill

Demikianlah secara ringkas ajaran Saussure dalam kuliah-


kuliahnya dan pengaruhnya pada alam pemikiran abad ke-20 ini.
Selanjutnya kami persilakan pembaca mendalami sumbangan
Saussure tersebut secara lebih saksama dalam buku ini.

Kepustakaan terbatas

Barthes, Roland
1953 Le Degre Ziro de I'Ecriture. Paris: Seuil.
Baskin, Wade (penerjemah)
1959 Course in General Linguistics. Terjemah-
an dari buku F.de Saussure. New York:
Philosophical Library.
Bloomfield, Leonard
1923 "Review of Cours de Linguistique Generate
by Ferdinand de Saussure". Modern
Language Journal 8: 317-9.
29

Culler, Jonathan
1975 Structuralist Poetics: Structuralism, Lingu
istics and the Study of Literature. London:
Routledge.
1976 Saussure. London: Fontana/Collins.
Dineen, Francis P.
1967 An Introduction to General Linguistics.
New York: Holt, Rinehart and Winston.
Ehrmann, Jacques (ed.)
1970. Structuralism. New York: Anchor Books.
Engler, Rudolph (ed.)
1967-74 Cours de Linguistique Generale. Wiesba
den: Otto Harrasowitz.
Godel, Robert
1957 Les Sources Manuscrites du Cours de
Linguistique Gin^rale de F. de Saussure.
Geneva & Paris: Droz.
Harris, Roy
1984 Course in General Linguistics by F. de
Saussure. Terjemahan. London: Duck
worth.
Hartsthorne, Charles dan Paul Weiss (ed.)
1965 Collected Papers of Charles Sanders Peir-
ce. Cambridge, Mass.: The Belknap Press
of Harvard University Press.
Hawkes, Terence
1978 Structuralism & Semiotics. London: Me-
thuen & Co Ltd.
Hjelmslev, Louis
1943 Prolegomena to a Theory of Language.
Madison: University of Wisconsin Press.
Jakobson, Roman dan Morris Halle
1956 Fundamentals of Language, ben Haag:
Mouton.
Jakobson, Roman
I960 "Closing Statement: linguistics and poe
tics" Style and Language Thomas Sebeok
(ed): 350-77
30

Koerner, E.F.K.
1973 Ferdinand de Saussure: the Origin and De
velopment of His Linguistic Thought in
Western Studies of Language. Braun
schweig: Vieweg.
Lamb, Sydney
1966 Outline & Stratificational Grammar. Wa
shington: Georgetown University Press.
"Lane, Michael (ed.)
1970 Structuralism: A Reader. London: Jona
than Cape.
Levi-Strauss, Claude
1958 Anthropologie Structurale. Paris: Plon.
Pike, Kenneth L
1982 Linguistic Concepts: An Introduction to
Tagmemics. Lincoln & London: Univer
sity of Nebraska Press.
Sampson, Geoffrey
1980 Schools of Linguistics: Competition and
Evolution. London: Hutchinson.
Wells, Rulon S
1947 "De Saussure's System of Language",
Word 3: 1-37.
Wintle, Justin (ed.)
1981 Makers of Modern Culture. London:
Routledge & Kegan Paul.
PENGANTAR

Oleh

Tulio de Mauro

Sejak tahun-tahun pertama abad XVIII, generasi silih


berganti di dalam keluarga tua Jenewa, Saussure: ahli ilmu alam,
ahli fisika, ahli ilmu bumi. Mendalami bidang ilmu alam dan ilmu
eksakta merupakan warisan keluarga, yang diterima dengan
kebanggaan yang sadar. Satu-satunya kekecualiari adalah Alber-
tine Adrienne de Saussure, yang pada awal abad XIX memi-
sahkan diri dari tradisi tersebut dan memalingkan pandangan ke
estetika karya-karya romantik filsafat idealis Jerman, dan ke
•pendidikan. Dua generasi kemudian, Ferdinand de Saussure
melakukan pilihan yang juga sama sekali tidak biasa bagi
keluarganya (dan seorang teman kakeknya dari pihak ayah,
Adolphe Pictet, perintis studi palaeontologi linguistik dan
sesepuh kultur Jenewa pada pertengahan abad XIX, pasti
memainkan peran yang penting). Pada usia 19 tahun, setelah
selama 2 semester mengikuti kuliah kimia, fisika, dan ilmu alam
di UniVersitas Jenewa, Saussure muda memutuskan untuk men
dalami bidang kesusastraan dan khususnya bidang linguistik,
yang telah dikenalnya sedikit pada masa remaja, dan untuk ini ia
pergi ke Jerman, yaitu ke Leipzig dan Berlin, pusat-pusat dunia
bagi studi filologi pada zaman itu.
Sedangkan penolakan terhadap tradisi keluarga adalah
mengenai isi penelitian. Forma mentis ilmiah, yang merupakan
warisan keluarga dari masa lalu, melalui pengajaran langsung
dari ayahnya telah menyumbangkan ciri-ciri yang paling khas di
dalam pribadi intelektual dan karyanya; penolakan terhadap
segala mistifikasi, segala penjelasan yang menyesatkan; kecer-
matan gaya Galilea di dalam memperkenalkan neologisme teknik
(ia lebih suka mendefinisikan neologisme tersebut dengan tepat.
32

menetapkan kembali dan mendisiplin secara teknis penggunaan


kata-kata yang lazim); kesediaan untuk meragukan kembali tesis-
tesis dan demontrasi ilmu yang paling berharga sesuai dengan
gerak hati untuk mengkaji kembali; perhatian pada fakta-fakta
khusus maupun pada hubungan sistematis di antara fakta-fakta
tersebut. Pada akhir Autobidgraphie-nya, Darwin melukiskan
perilaku ilmiah sebagai suatu kbmbinasi antara keragu-raguan
yang memadai dan imajinasi yang terpercaya: setiap pendirian,
yang paling diakui sekali pun, dianggap sebagai hipotesis yang
mungkin, yang patut ditinjau kembali dan dikembangkan.
Ferdinand de Saussure telah menginkarnasikan perilaku tersebut
di dalam linguisftk.
Mungkin justru kecenderungan bawaan lahir pada peneli-
tian yang didorong sampai titik batas pengetahuan inilah yang
membawanya keluar dari bidang tempat nenek moyangnya
berkembang, untuk menuju ke bidang ilmu yang masih in fieri,
yaitu keadaan linguistik pada zaman itu. Di dalam perjalanan
pendidikannya, anak muda ini terbentuk dengan sangat cepiafi la
jberumur dua puluh ketika mulai membentuk diri, dua puluh
satu tahun ketika menulis Mimoire sur les Voyelles, yang
dianggap sebagai "buku tentang linguistik historis yang terbaik
yang pernah ditulis". la berumur 22 tahun ketika, tepat sebelum
menerima ijazah, mendengar pertanyaan baik hati dari seorang
ilmuwan guru besar Universitas Leipzig apakah secara kebetulan
ia bersaudara dengan ahli linguistik besar Swiss, Ferdinand de
Saussure. Ia belum lagi berumur 24 tahun ketika, sesudah kuliah
selama satu semester di Sorbonn^ tempat ia menyempurnakan
pendidikannya, ia mendapat kepercayaan untuk mengajarkan
tata bahasa bandingan di fakultas yang sama, dan sejak itu ia
bertugas membuka disiplin baru pada beberapa universitas di
Perancis.
Dapat dimaklumi bahwa setelah permulaan yang berat dan
menegangkan, menyusul jeda panjang untuk membenahi diri.
Tetapi jeda ini berlarut bertahun-tahun lamanya: karya-karya
Saussure selalu merupakan "karya yang patut diabadikan"(seper-
ti kata Jakob Wackernagel di belakang hari), tetapi juga selalu
makin tipis dan jarang. Pada tahun 1894, tiga tahun setelah ia
kembali dari Jenewa, penyelenggaraan kongres para orientalis
dan peran sertanya dalam kongres tersebut melalui karya tulis
33

sangat penting artinya bagi sejarah studi Baltika dan merupakan


demonstrasi bakat yang besar-b'esaran dan terakhir kalinya di
depan umum. Kemudian ia mengurung diri di dalam penelitian
yang kadang-kadang diberitakan secara samar kepada sahabat-
sahabatnya; tetapi ia hampir-hampir membisu di depan pubtik
ilmiah internasional.
Pada tahun 1913, tepat setelah ia meninggal, seorang murid
dan sahabat Jenewa mehulis mengenai dirinya bahwa ia "hidup
menyendiri". Gambaran tentang kesendirian ini memang dapat
dibuktikan melalui pemencilan dirinya yang makin meningkat,
kebisuan ilmiah yang berlarut-larut, melalui beberapa ciri kehi-
dupan pribadinya, dan melalui kesedihan yang meliputi
pertemuan-pertemuan terakhir dengan murid-muridnya dan
surat-suratnya.
Padahal, meskipun hanya dari segi riwayat hidup, salahlah
kita kalau menekankan pentingnya pernyataan mengenai kesen-
diriannya itu. Sahabatnya memang tidak banyak: tetapi terdiri
dari Michel Breal, Gaston de Paris, dan Wilhem Streitberg,
nama-nama besar dalam studi baihasa dan filologi dari kedua
negara yang merupakan avant-garde bidang-bidang tersebut,
yaitu Jerman dan Perancis. Dan walaupun ruang kuliahnya, di
Paris dan di Jenewa mungkin nampak, dan memang, separuh
kosong, daftar murid-muridnya yang baru-baru ini disusun
kembali dengan penuh kesabaran yang patut dihargai rnenun-
jukkan bahwa banyak di antara mereka yang pada akhir abad
XIX dan pada awal abad XX rrierupakan kader menengah, dan
mata rantai vital bagi universitas Perancis dan Swiss Roman.
Terlebih lagi, mereka yang mengarahkan linguistik modern telah
dibentuk oleh pangajaran Saussure: Paul Passy adalah satu di
antara yang pertama-tama menyusun wawasan fungsional bagi
gejala fonetis; Maurice Grammont, tokoh fonetik abad XX
adalah satu di antara yang pertama-tama mengusulkan penafsiran
perubahan diakronis secara sistematis; Antoine Meillet, yang
oleh seorang filolog besar seperti Giorgio Pasquali dianggap
sebagai "ahli linguistik paling genius dalam abad XX", adalah
tokoh yang tak diragukan lagi dalam bidang linguistik historis
alirain Perancis, ia berbeda dengan ahli-ahli lain dalam penyu-
sunan dan peninjauan kembali atas suatu penafsiran sejarah
34

linguistik secara sosiologis; Charles Bally, yang telah membawa


penelitian stilistika ke taraf ilmiah; Albert Sechehaye, yang
menyingkap ladang subur bagi penelitian di titik pertemuan
psikologi dan linguistik; Serge Karcevskij, yang menerapkan
pada bahasa Slavia pandangan dinamis mekanisme bahasa yang
disusun oleh Saussure, dan yang di Moskow pada tahun 1915, di
Praha pada tahun dua puluhan, ikut menulis Theses yang disusun
oleh para linguis Moskow yang juga pendiri aliran Praha, la juga
meneruskan gagasan-gagasan tokoh linguis Swiss dari Trubetz-
koy sampai Jakobson, dan bahkan sampai generasi yang lebih
muda.
Terlalu banyak tokoh luar biasa untuk dianggap sebagai
suatu kebetulan semata. Tidak bisa tidak, kita melihat mereka
sebagai basil pengabdian yang setia pada pendidikan ke arah
penelitian, dan sebagai tanda adanya kemauan untuk menurun-
kan ilmu pada murid-murid itu. Kenyataan ini juga menghapus
citra pengasingan diri Saussure.
Kontras antara pengasingan dan peran serta itu tidak hanya
menguasai kehidupan pribadi dan jalan hidup Saussure sebagai
manusia. Kami menemukannya kembali pada taraf yang lebih
dalam di dalam hubungan Saussure dengan linguistik dan
pemikiran zamannya dan zaman kita.
Topik-topik dan prosedur penelitian yang kini kita anggap
sebagai khas Saussure merajai segala kultur pertengahan kedua
abad XIX. Prosedur suatu tata bahasa deskriptif atau tata bahasa
statis dirasakan oleh Spitzer, ditekankan oleh Whitney, Brug-
mann dan Osthoff, Ettmayer, Gabelentz, Marty; perlunya
menelaah gejala-gejala fonis dalam hubungan dengan fungsi
penyandang makna dipertahankan oleh sekelompok besar ilmu-
wan, seperti Dufriche, Winteler, Passy, Sweet, Baudouin, Krus-
zewski, Noreen; Frege membedakan antara makna (Bedeutung)
dan arti (Sinn); Svedelius mengawali "aljabar bahasa", Noreen
membedakan antara studi substansi dan studi forma atas kan-
dungan semantik dan aspek-aspek fonis; Whitney, Steinthal,
Paul, Finck menegaskan aspek sosial dari fakta-fakta bahasa, dan
bersama banyak ahli Junggramatiker menekankan perlunya
menelaah bahasa dalam konteks sosial; Steinthal yang mengikuti
jejak Humboldt, mengusulkan kembali pandangan global pada
35

peristiwa-peristiwa bahasa. Deretan nama-nama itu dapat dilan-


jutkan dengan mengingat kembali pemikiran Schuchardt yang
mempertajam kepekaan akan segi pengungkapan individual yang
konkret; kaum Junggramatiker dan peneliti geolinguistik yang
dengan cara berbeda menggarisbawahi segi "kebetulan" dari
perubahan-perubahan bahasa; Peirce dan Marty yang merasakan
mendesaknya kebutuhan akan suatu ilmu lambang yang umum;
dan sekali lagi Peirce, Marty, Mach dan Dewey yang mengawali
reevaluasi saat-saat abstrak dari pengalaman manusia. Tak selalu-
mungkin untuk dikatakan apakah para ilmuwan itu mengenal
gagasan Saussure dan apakah Saussure mengenal gagasan mere-
ka. Meskipun seandainya jawabannya harus negatif, adalah suatu
kenyataan bahwa secara keseluruhan Saussure telah hidup di
dalam hubungan saling tukar dengan zamannya dalam keserasian
yang mendalam.
Di samping itu, kita tabu betapa hutang budi linguistik,
semiologi, antropologi zaman kita kepada Saussure. Konsep-
konsep dan tema-tema yang dikandung Cours de Liguistique Ge
nerate(Pengantar Linguistik Umum)telah digunakan sebagai inti
bagi berbagai arah penelitian. Yang menyatakan diri diilhami
oleh Cours adalah sosiolinguistik dengan Meillet dan Sommer-
felt, stilistika Jenewa dengan Bally, linguistik psikologis dengan
Sechehaye, kaum fungsionalis seperti Frei dan Martinet, kaum
institusionalis Italia seperti Devoto dan Nencioni, para ahli fono-
logi dan kaum strukturalis Praha seperti Karcevskij, Trubetzkoy
dan Jakobson, linguistik matematis dengan Mandelbrot dan
Herdan, semantik dengan Ullmann, Prieto, Trier, Lyons, psiko-
linguistik dengan Brosson dan Osgood, para historikus seperti
Pagliaro dan Coseriu, dan juga Bloomfield (tetapi para pengikut-
nya tidak), Hjelmslev dan aliran glosematiknya, Chomsky (lebih
daripada simpatisannya).
Sebenarnya cukup kalau kita melihat daftar kata-kata yang
muncul untuk pertama kali di dalam Cours atau yang di dalam
buku tersebut mendapat pengukuhan pengertian tertentu yang
pasti dan kemudian tetap sahib: synchronie, diachronie, idiosyn-
chronie, panchronie, panchronique, dan Iain-lain; langue,
langage, parole; signe, signifiant, signifie; unite lingulstique:
syntagme, syntagmatique, execution, conscience linguistique; pho-
36

nime, phonologie; substance dan forme linguistique; iconomie


liriguistique, valeur linguistique; code, circuit de la parole, module;
itat de langue, statique, simiologie, s^miologiqtie, seme; opposi
tion, oppositif, relatif, diffirentiel; chaine, dan mungkin structure,
namun yang pasti systime. Jarang ada kata-kata kunci di dalam
linguistik mutakhir yang acap digunakan dalam berbagai arah
pehelitian, yang tidak bersiimber dari Cours de Linguistique
Generale.
Namun, di balik keterikatan-keterikatan itu, pribadi Saus-
sure tidak henti-hentinya melepaskan diri dan berusaha untuk
orisinal pada zamannya. Nyatanya^ memang hanya materi bagi
pemikiran- pemikirannya yang dibert oleh zamannya, sedangkan
bentuk akhir konsepsinya adalah asli Saussure. Bagaimana
Saussure sampai pada bentuk tersebut, telah menjadi masalah
pokok riwayat hidup ilmiah maupun intelektualnya, yang meru-
pakan penelitian tiga puluh tahun lamanya dan tidak memuas-
kan. la mencapai bentuk tersebut pada akhir masa hayatnya dan
ia menggariskan batas-batas penemuannya pada pembukaan,
kesimpulan dan saat-saat penting dalam kuliah linguistik unium
yang kedua dan ketiga (1908-1909, 1910-1911) di Jenewa. Karya
R. Godel dan R. Engler yang mutakhir memungkinkan kita
untuk memahami gagasan Saussure tersebut.
Meskipun demikian, tidak banyak yang dapat ditampilkan
oleh Cours de Linguistique G^nirale. Seperti kita ketahui, naskah
karya ini telah disusun oleh Bally dan Sechehaye dengan bertitik
tolak dari catatan yang dibuat oleh para murid Saussure selama
tiga masa perkuliahan linguistik umum dan dari catatan tulisan
tangan Saussure yang tidak banyak, yang ditemukan di antara
kertas-kertas miliknya setelah ia meninggal dunia. Syukurlah
petilan-petilan pemikiran Saussure (kecuali beberapa salah tang-
kap) pada umumnya dipahami dan dicatat dengan setia sehingga
Cours merupakan kumpulan ajaran Saussure yang paling leng-
kap, dan mungkin akan tetap bernasib seperti itu. Jadi, hutang
budi kita pada Bally dan Sechehaye jelas dan besar. Tetapi,
adalah mengkhianati usaha mereka untuk menyebarluaskan
teori-teori guru tersebut, jika kita menyembunyikan kenyataan
bahwa Cours, yang merupakan reproduksi setia dari unsur-
unsur ajaran linguistik Saussure, tidak asli di dalam pendaraping-
37

an unsur-unsur tersebut. Padahal, urutan, seperti yang ditekan-


kan oleh Saussure sendiri, adalah bagian pokok di dalam teori
bahasa, dan mungkin lebih penting daripada urutan di dalam
teori Iain. Karya Bally dan Sechehaye ini baru sekarang benar-
benar dilanjutkan oleh para ahli linguistik yang bersedia mema-
hami, dan membuat orahg lain paham bahwa, sadar atau tidak,
sebagian besar linguistik abad XX telah berfungsi sedemikian
rupa sehingga setelah penyusunan Cours, ajaran Saussure dite-
mukan kembali dalam bentuk yang paling asli dan melihat
perspektif baru terbuka di depannya.
Titik tolak pemikiran-pemikiran Saussure adalah kesadaran
tinggi akan individualitas yang mutlak dan unik dari setiap tindak
pengungkapan yang disebutnya parole. la mengajak murid-
muridnya untuk memperhatikan seseorang yang sedang berbi-
cara dan berseru: "Perang, kataku, perang!". Kita melihat secara
spontan bahwa orator tersebut telah mengulangi dua kali kata
yang sama, telah berkata dua kdM perang. Hal ini memang benar,
tetapi hanya dalam pengertian tertentu. Jika kita perhatikan
kandungan "psikologis" (saya menggunakan istilah Saussure
sendiri) efektif dan konkret yang disampaikan setiap kali oleh
kata perang, ataupun tindak fonis konkret untuk merealisasi
perang setiap kali, kita setiap kali berhadapan dengan sesuatu
yang berbeda, yaitu sambil mengatakan perang membayangkan
dalam benaknya genderang, defile kemenangan, panji-panji yang
berkepak ditiup angin; atau membayangkan saudaranya laki-laki
mati atau sebuah rumah yang haneur; von Clausewitz akan
berpikir tentang perpanjangan politik perang dengan berbagai
cara, sedangkan prajurit Schweik akan berpikir tentang kata-kata
yang demi sopan santun tidak kami sebutkan di sini. Tetapi yang
dimaksud Saussure adalah pada orang yang sama pun, dan pada
wacana yang sama pun, jika kata yang sama diulang, kita
menyampaikan dua hal yang berbeda pada pelafalan yang
pertama dan kedua: "Perang, kataku, perang!". Dan pelafalan
konkret tidak kurang berbedanya pula setiap kali, sampai kita
dapat menegaskannya dengan yakin pada diri orang yang sama.
Tes psikologis dan asosiasi di satu pihak, alat-alat analisis
elektroakustis dan elektromiografis yag semakin peka di lain
pihak, kini memberi kita penegasan instrumental dari apa yang
38

telah dikemukakan Saussure dengan semacam intuisi seniman.


Kata yang sama, diulang dalam pidato orang yang sama, pada
saat yang satu dan yang lain akan memiliki penampilan yang
berbeda: jika kita tidak benar-benar membuat abstraksi dari hal
yang kecil-kecil, maka dalam realisasinya yang konkret makna
tertentu nampak pada penampilan yang satu dan yang lain seolah
dibentuk dari asosiasi dan resonansi emotif yang berbeda.
Sedangkan bunyi yang riil pun, jika kita perhatikan integritas
efektifnya, akan memiliki infleksi dan nuansa yang berbeda
setiap kali. Hanya Croce yang bersikeras menekankan ciri
individual dan keunikan dari tind^k pengungkapan khusus itu.
Tetapi apa yang bagi Croce merupakan titik akhir, bagi Saussure
merupakan titik tolak.
Jika memang perang berlainan dalam kasus yang satu
dengan kasus yang lain, maka benar pula kalau kita katakan
bahwa perang berbeda karena di dalam konteks yang berbeda
kata tersebut memiliki nuansa dan makna yang berbeda pula.
Untuk mempertegas hal ini, jelas kita harus memiliki ubi-
consistam, atau titik tegas yang tidak berubah yang memungkin-
kan kita untuk mengatakan bahwa sesuatu berubah dan berbeda.
Tetapi jika kita kesampingkan pandangan-pandangan tersebut,
yaitu tidak memandang cara kita menggunakan bahasa, tetapi
. cara kita menghayati bahasa yang kita gunakan, justru di dalam
wacana konkretlah, sebagai penutur dan pendengar, kita menge;
nali pada saat-saat berbeda, pengulangan yang berbeda dari kata
perang justru sebagai pengulangan-pengulangan, atau dengan
kata lain sebagai variasi dari hal tertentu yang untuk dapat
berbeda harus tetap identik dari sudut pandang tertentu.
Sudut pandang itu bukan dan tidak mungkin merupakan
sudut pandang substansi psikologis atau fonis yang membentuk
kata. Dari sudut pandang itu, pertuturan yang seperti telah kita
lihat, berbeda yang satu dengan yang lain dan tak mungkin
ditinjau kembali. Jadi, sudut pandang yang mungkin bagi
identifikasi bukanlah sudut pandang penampilan. Sudut pandang
ini harus dicari bukan dari apa yang "dilakukan" para penutur,
melainkan dari apa yang "diketahui" para penutur, artinya apa
yang terdapat di dalam pengetahuan mereka: para penutur tahu
bahwa kedua pengulangan atau pengulangan yang tak terhitung
39

dari kata perang, di luar batas variasi makna dan bunyi,


sebenarnya merupakan replika dari satuan yang sama.
Deret tak takrif berbagai bunyi yang dihasiikan maupun
deret tak takrif berbagai makna sekali pun, membentuk dua
deret yang dapat dikat^kan sinambung ("sinambu^' dalam
pengertian matematika, artinya bahwa karena dua bunyi atau
dua makna sangat berdekatan, selalu mungkin ditemukan suatu
bunyi atau suatu makna antara), Dalam deret-deret yang
sinambung itu, para penutur membuat berbagai pengelompokan
sambil mengacu pada batas-batas yang mengidentifikasi gejala-
gejala yang secara psikologis atau fonis berbeda berdasarkan
identitas fungsi niereka; bunyi-bunyi di dalam kelompok tertentu
berbeda secara fonis tetapi semuanya dapat menyampaikan
makna tertentu yang sama;sedangkan makna di dalam kelompok
tertentu berbeda secara pSikologis, naihun semuanya dapat
disampaikan dengan satu bunyi tertentu. Kumpulan batas-batas
antara berbagai pengelompokan ini adalah langue. Jadi, langue
adaiah kumpulan batas-batas artikulasi yang membuat massa
realisasi fonis dan massa makna menjadi tak sinambung. Berkat
langue, pendengar memulangkan realisasi fonis tertentu ke salah
satu kelas realisasi fonis, dan satu makna tertentu ke salah satu
kelas makna. Untuk memperjelas perbedaan antara kedua sudut
pandang itu, yaitu sudut pandang parole atau penampilan, dan
sudut pandang langue atau pengetahuan, Saussure menarnpilkan
pembedaan dalam tata istilah: ia menggunakan sens 'makna'
(atau signification 'perlambangan') dan phonation 'pembunyiah'
bagi substansi yang membentuk parole, dan setelah lama ragu-
ragu, ia rnengusulkan petanda untuk menyebut kelas makna,
dan penanda untuk menunjuk kelas pembunyian.
Kelas-kelaS yang oleh Saussure disebut penanda dan
petanda seperti yang kita katakan sek^ang ini tanpa kesulitan,
merupakan kelas "abstrak". Bila pada saat mendengar bunyi
tertentu di dalam situasi tertentu, kita memulangkaj^ pembunyian
dan makna ke pertalian tertentu antara penanda dan petanda,
misalnya ke kata 'perang', kita melakukan kegiatan mengklasifi-
kasi dengan jalan abstraksi. Lagi pula, pada saat kita berbicara,
kita tidak hanya merealisasi persatuan makna dan bunyi yang
terletak secara statis di dalam kelas yang dibentuk oleh pertalian
40

suatu kelas penanda dan suatu kelas petanda. Kita juga mereali-
sasi suatu pertalian makna dan pembunyian yang secara dinamis
merupakan aktualisasi dari suatu kelas (atau suatu gabungan
kelas-kelas) yang sudah ada en puissance 'dalam bentuk potensi'
(seperti yang sering dikatakan Saussurf). Penyebutan hubungan
antara langue dan parole dari segi realisasi aktif dibuat oleh
Saussure dengan jalan menggunakan istilah skolastik kuno,
puissance 'potensi' dan acte 'tindak', tetapi lebih sulit baginya
untuk menyebutkan hubungan yang sama dalam tataran audition
'pendengaran'.
Mudahnya kita menerima, pada pertigaan kedua abad XX,
istilah-istilah seperti abstrait 'abstralk', abstraction 'abstraksi',
tidak dikenal pada akhir abad XIX, seperti yang kita lihat,
sedangkan sebagai kelanjutan dari Kant,seratus tahun pemikiran
filosofis telah menilai negatif kedua istilah tersebut sehingga
abstrait dan abstraction bermakna secara bulat "dikesampingkan",
atau secara keliru dan salah dikesampingkan.
Itu sebabnya mengapa Saussure, yang meskipun berhasil
memahami dan merumuskan dengan sempurna sifat abstrak dari
satuan-satuan bahasa, terpaksa menghindari penggunaan abs
trait, yang menimbulkan kesalahpahaman. Akhirnya, ia berbi-
cara mengenai satuan-satuan psychique 'psikis' (istilah yang
dengan teliti dibedakan dari psychologique 'psikologis'), atau
mengacu kepada istilah skolastik lagi: substance 'substansi' dan.
forme 'bentuk'. Kesatuan bunyi konkret dan makna konkret
adalah substance, sedangkan apa yang diaktualisasi dalam parole,
artinya himpunan penanda dan arti langue, disebut dan dirumus-
kan oleh Saussure sebagai forme.
Pembentukan kelas abstrak atau formal yang disebut
Saussure penanda dan petanda tidak tergantung demi alasan
intrinsik apa pun pada substansi fonis atau psikologis. Misalnya,
['mite] dan ['mi:te] diklasifikasikan dalam bahasa Itaha sebagai
manifestasi yang berbeda dari satu satuan penanda yang sama,
satuan yang dapat kita lambangkan dengan /mite/; sedangkan
kedua satuan ini di dalam bahasa Jerman digolongkan sebagai
tnanifestasi yang berbeda, yang dapat kita lambangkan dalam
ejaan Jerman yang umum dengan Mitte 'pusat' dan Miete 'uang
sewa' atau dengan /mite/ dan /mi:te/. Perbedaan yang sama pada
41

tataran substarisi tidak dikenal dalam satu /angue, tetapi diguna-


kan dalam langue yang lain untuk membentuk dua kelas bentuk
yang berbeda. Jadi, kelas-kelas fortiial tidak tegantung secara
otomatis dan tetap dari eiri-ciri fisik suatu substansi. Demikian
pula halnya dengan perlambangan dan arti dalam bahasa Jerman
("Kind"), dalam bahasa Yunani ("t^knon") atau dalam bahasa
Napoli ("criatura"), sedangkan dalam bahasa Latin ("puella" dan
"puer"), Rumania ("pupa" dan "pupo") dan dalam bahasa Italia
("bambino" dan "bambina") kedua bentuk ini dikaitkan dengan
dua arti yang berbeda.
Pada dasarnya, pembedaan yang ditampilkan oleh penanda
dan arti di dalam realisasi fonis dan perlambangan adalah
independantes 'bebas' dari ciri-ciri intrinsik substansi fonis dan
psikologis. Artinya pembedaan tersebut bersifat semen a. Pada
mulanya tidak ada keterikatan yang mekanis di antara eiri-
eiri pralinguistis dan substansi fonis, di antara ciri-ciri dunia
benda atau pun di dalam cara kita menanggapi dunia tersebut,
tetapi sebaliknya ada kemampuan (bawaan lahir di dalam otak
setiap orang) untuk membedakan dengan bebas dan mengaso-
siasikan dengan bebas dalam kelas-kelas, tindakan dan data-data
yang berasal dari pengalamannya, dan mengatur secara berbeda
kelas-kelas yang.terbentuk itu.
Dengan berbagai pertimbangan, Saussure cenderung untuk
menyebut tanda, segala persatuan antara sebuah penanda dan
sebuah petanda, mulai dari satuan-satuan terkecil (yang kemu-
dian disebut Frei sebagai monime: aim-, -ont. parl-, -er, dan
Iain-lain) sampai kepada satuan-satuan sengkarut yang disebut
Saussure sintagma {chien 'anjing'; //parfe 'ia berbicara'; par id
s'il vous plait 'silakan lewat sini'; ce soir 'malam ini';7a tune reve
avec plus de paresse 'bulan bermimpi makin malas', dan Iain-
lain). Jadi dapat dikatakan bahwa tanda, sebagaimana dibentuk
oleh persatuan dua kelompOk abstrak yang terbentuk secara
semena, memang sama sekali semena.
Saussure melihat di dalam kesemenaan tanda, prinsip dasar
dari segala kenyataan bahasa. Kesemenaan ini melahirkan suatu
prinsip klasifikasi dari sistem semiologis (ritus, tradisi, kode
komunikasi, segala macam /angage) sesuai dengan tinggi ren-
42 (

dahnya kadar kesemenaan tersebut. Kedua, kesemenaan


memungkinkan bagi bahasa verbal untuk merealisasi diri me-
tiurut prinsip lain, yaitu prinsip kelinieran: seandainya tanda-
tanda bahasa tidak semena, balk dari segi semantik maupun dari
segi bunyi, maka tanda-tanda tersebut tidak akan dapat dikodifi-
kasi (sebab mereka memang dikodifikasi) dalam suatu urutan
situasi-situasi, "purports"(Hjelmslev) yang linier, yang disajikan
secara menyatu di dalam ingatan, persepsi, pengetahuan para
penutur.
Organisasi langue pada dasarnya berasal dari pertemuan
dua prinsip. Kesemenaan adalah ^sal dari sifat pertentangan
satuan-satuan penanda dan arti: sittuan-satuan tersebut, yang
tidak memiliki dasar yang mutlak, memang sudah begitu karena
satuan-satuan tersebut dibatasi oleh satuan-satuan lain yang hadir
bersama mereka. Sebaliknya, kelinieran merupakan asal mula
sifat sintagmatis dari satuan-satuan: satuan-satuan ini, selama
mereka muncul secara linier, di sepanjang pores urutan-urutan,
dapat dipilah menjadi bagian-bagian semantik-penanda yang
lebih sempit. Kebertentangan dan sintagmatisitas merupakan
akar ganda dari apa yang oleh Saussure disebut "perimbangan"
dan yang oleh para penyunting, kemudian diikuti oleh Martinet,
disebut "ekonomi" bahasa. Bahasa lebih dari sekadar kumpulan
segala tanda, bahkan dapat dianggap sebagai kumpulan dari
tanda-tanda yang mungkin. Artinya bahasa dibentuk dari bagian-
bagian penanda dan arti yang terkecil {unites concretes 'satuan
konkret', Saussure, monime dalam peristilahan Frei dan Marti
net) dan skema-skema dasar (yang disebut Saussure "abstrak")
dari kombinasi yang mungkin di antara mereka. Dengan kata
lain, langue adalah sistem struktur-struktur yang mungkin dari
tanda-tanda yang terkeciK Saussure menekankan secara tegas
segi sifat potensial, segi "produktivitas" dan, seperti yang dikata-
kannya, segi "kreativitas" bahasa: fakta bahwa suatu kombinasi
sintagmatis tertentu ada, jelas tidak sepenting fakta bahwa
kombinasi itu dapat ada. Kondisi bagi produksi tanda-tanda baru
yang sengkarut adalah anologi, yang merupakan kekuatan kreatif
bahasa.
Sifat "sistemis" langue memaksa linguistik untuk bersifat
"sistematis": meskipun hanya mendeskripsikan yang berarti harus
43

menetapkart valensi satuan tersebut, perlu untuk melihat satuan


tersebut di dalam segala asosiasi bertentangan yang mungkin
(yang kini kita sebut paradigmatis) dan di dalam segala kemung-
kinan kombinasi sintagmatis. Dengan kata lain, meskipun tujuan
penelaahan tidak secara langsung mengenai sistem, tetapi hanya
satu bagian dari sistem, sekecil apa pun, kalau kita ingin
penelaahan tersebut lengkap, kita harus memandang bagian
tersebut dalam hubungan dengan keseluruhan yang memberinya
nilai, atau dalam hubungan dengan seluruh sistem bahasa itu
sendiri.
Sifat sistemis langue juga memaksa agar linguistik mengem-
bangkan penelitian-penelitiannya terutama di lingkup di mana
berbagai satuan dan struktur yang mungkin, hadir bersama,
artinya pada lingkup kemutakhiran dan koeksistensi fungsional:
lingkup ini oleh Saussure disebut. smfcronw atau, lebih tepat,
idiosinkronis. Penelaahan idiosinkronis, seperti yang dimaksud
oleh Saussure, tidak mengesampingkan tinjauan diakronis,
artinya tinjauan pada evaluasi suatu sistem dan salah satu bagian
sistem dalam masa, dan juga tidak mengesampingkan perban-
dingan sistem-sistem dan bagian-bagian sistem yang secara
genetis serumpun, yang merupakan pusat perhatian linguistik
abad XIX. Saussure memberikan premis bagi tinjauan idiosin
kronis, tetapi (berbeda dari apa yang dilakukan linguistik abad
XIX dengan perbandingan) ia tidak memberikan monopoli
tinjauan tersebut kepada penelitian linguistik.
Dan alasan premis ini sederhana: hanya atas dasar idiosin
kronis kita dapat membuktikan kebenarari konfrontasi antara
satuan-satuan bahasa yang menjadi bagian dari sistem bahasa
yang berbeda. Pendapiat ini peka karena dua alasan: karena,dari
segi biografis, inilah pokok masalah dari renungan-renungan
Saussure yang pertama mengenai "filsafat linguistik"; dan karena
dua di antara penafsir Saussure yang paling mendalam, yaitu
Mario Lucidi dan Robert Godel, secara terpisah, telah memper-
tahankan bahwa konsepsi Saussure mengenai sistem dan
idiosinkronis mengurung linguistik "di dalam satu lingkaran"
(Godel SM 221)dan menjanjikan kemuiigkinan bagi perbanding
an diakronis (Lucidi, karya tulis yang tidak diterbitkan dikutip
oleh De Mauro 1966, 130-131). Selanjutnya, penulis memberani-
44

kan diri untuk mengatakan bahwa konsepsi tersebut menimbul-


kan suatu konsekuensi, antara lain, tidak mungkinnya untuk
berkomunikasi. Dan, kenyataannya kedua ilmuwan itu dan yang
telah bergabung dengan mereka memang benar, dalam arti
mereka tidak melihat bahwa Saussure menyusun dengan teliti
pembedaan antara makna dan arti, antara bunyi dan penanda.
artinya antara penampilan atau parole dan sistem atau langue.
Pembedaan yang telah kami tekankan sejak awal pendahuluan
ini, dan di mana Saussure telah sering menghentikan renungan-
renungannya, yang tiba-tiba nampak tidak dapat dipercaya sama
sekali, tidak dihayati secara menyeluruh sampai munculnya
sebuah artikel pendek namun penting dari A. Burger yang
sampai kini pun belum banyak diperhatikan: beberapa halaman
mengenai sens ('makna') atau signification ('perlambangan'),
petanda dan vaienr 'valensi' yang jelas bertentangan dengan apa
yang telah dideskripsikan Godel di dalam SM, tetapi sebenarnya
bersatu secara sempurna dengan penafsiran yang selebihnya,
telah meletakkan tafsir gagasan Saussure pada poros yang
sebenarnya dan membuka perspektif teoretis yang paling pen-
ting. Berkat pembedaan antara makna dan arti, bunyi dan
penanda, Saussure menyusun pengertian sistem dan idiosinkroni
yang terlindung dari konsekuensi-konsekuensi tak logis yang tak
akan menghantam pengertian ini kalau tidak ada pembedaan itu
(dan menghantamnya di mata mereka yang tidak menghayati
pembedaan tersebut secara mendalam). Lagi pula, pembedaan
tersebut memberi dasar bagi studi diakronis.
Atas dasar apa kita mempertentangkan satuan-satuan
bahasa, yang menjadi bagian sistem bahasa yang berbeda,
sebagai satuan yang secara genetis serumpun? Bukan berdasar-
kan identitas bunyi mereka (tanpa ini kami tidak akan dapat
menjelaskan mengapa kita mempertentangkan, sebagai istilah-
istilah di dalam urutan yang sinambung, bahasa Latin calidum
dan bahasa Perancis //o/, chaud, yang tidak menunjukkan
kesamaan sedikit pun, dan mengapa, sebaliknya, kita tidak
menganggap sebagai terletak pada garis perkembangan sinam
bung yang sama, dua kalimat bahasa Latin seperti I VITELLI
DEI ROMANI SONO BELLI, "pergilah, O Vitellius, ke bunyi
45

perang dewa Romawi", dan kalimat bahasa Italia yang


homograf'); tidak atas dasar identitas makna mereka (oleh
karenanya kita harus menganggap kata Italia spada sebagai
perkembangan dari gladium dan kita tidak dapat menganggap
kata Italia cattivo 'jahat' sebagai perkembangan dari kata latin
captivus 'narapidana'); tidak juga atas dasar kesamaan makna
dan bunyi yang mutakhir: dalam hal ini kita harus menganggap
secara genetis serumpun (tetapi kami waspada) kata Jerman
Feuer "api" dan kata Perancis feu "api", kata Inggris bad "jahat"
dan kata Persia bad "jahat". Terakhir, nilai itu sendiri pun tidak
merupakan dasar yang kuat: selama dua buah istilah menjadi
bagian dari sistem-sistem yang berbeda, keduanya pasti memiliki
valensi yang berbeda pula (Lucidi benar sekali telah menekankan
hal ini). Jadi, Chomsky dan Halle benar dengan bicara tentang
"the still puzzling phenomenon of language change": perubahan
bahasa memang masih merupakan gejala teka-teki bagi para ahli
linguistik yang tidak mengenal gagasan Saussure. Begitu bersifat
teka-tekinya sehingga kita bahkan tidak berhasil menghalalkan
dasar dari pernyataan kita mengenai suatu perubahan.
Masalah tersebut bagi Saussure, dari segi renungannya,
relatif sederhana. Rumus yang digunakannya untuk menyele-
saikan masalah tersebut adalah sebagai berikut: suatu seri
pedoman idiosinkronis antara makna divergen, tetapi yang juga,
di dalam setiap keadaan langue di mana mereka hadir bersama,
merupakan variasi dari arti yang sama dan dari penanda yang
sama, menghubungkan dari suatu seri diakronis (calidum dan
chaud) atau dari suatu seri komparatif (}^a.iin\ndtus dan India
kuno jdtds). Dengan berdasarkan pedoman-pedoman inilah ahli
linguistik komparatif telah dan masih dapat membuat orang
awam keheranan kalau ia menerangkan, misalnya, bahwa kata
Jerman Tur "sama" dengan kata Italia fuori, zehn sama dengan
dix.
Jadi, jelas bahwa konsepsi Saussure mengenai langue
sebagai sistem idiosinkronis, dengan pembedaan antara pelaksa-
naan dan sistem, bukan saja tidak menyangkal melainkan
sebaliknya mengukuhkan secara lebih tegas studi diakronis. Perlu
ditambahkan bahwa konsepsi tersebut memperjelas masalah-
masalah lain seperti yang sebagian dari kita berkesempatan
46

melihatnya, misalnya masalah komunikasi antara dua individu


atau masalah (yang merupakan variasi yang lebih rumit dari yanjj
sebelumnya) terjemahan dari satu langue ke langue lain. Tetapi,
Saussure tidak berhenti pada kedua masalah yang telah menarik
perhatian pada masa yang lebih mutakhir. Meskipun demikian.
menurut pendapat saya, ia telah memberikan kunci untuk
menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan cara yang ter-
baik di antara cara-cara lain.
Dari kesemenaan, lahir dua ciri yang bertentangan dalam
bahasa. Pertama kapasitasnya untuk berubah bersama waktu.
Karena penanda, arti dan susunan mereka di dalam sistem, bebas
dari ikatan-ikafan kaku yang menghubungkan mereka dengan
kenyataan logis atau alami, dan sebagainya, langue mungkin
mcngalami perubahan yang paling mendalam, paling tak terduga,
paling tidak "logis" dan paling tidak "alami". Demikianlah terjadi
bahwa tradisi-tradisi langue yang berjauhan dapat mulai menuju
ke satu titik pertemuan, atau bahwa satu tradisi langue yang sama
dapat retak menjadi beberapa langue yang berbeda secara
mendalam. Langue tidak memiliki, di hadapannya, batas-batas
lain kecuali batas-batas yang benar-benar universal (tentu saja
universal bagi mahluk manusia), dari struktur alat persepsi dan
kesadaran manusia dan dari alat bunyi dan akustiknya. Di dalam
batas-batas ini, kemungkinan untuk mengelompokkan deret tak
terbatas dari berbagai bunyi dan berbagai makna dalam penanda
dan dalam arti, tak terbatas.
Kesamaan, sebaliknya, ternyata merupakan penangkal
goncangan-goncangan yang ditimbulkan oleh perubahan-
perubahan yang mungkin dari bunyi dan makna. Bunyi dan
makna merupakan penanda dan petanda suatu bahasa, mereali-
sasi mereka, tetapi tidak mengauskan mereka. Jadi, mereka
bahkan dapat berayun seluas-luasnya, dan karena mereka ber-
rayun seluas-luasnyalah (perlu diingat keanekaragaman makna
dan bunyi dalam kalimat "perang, kataku, perang!") sistem batas-
batas tidak perlu berubah. Jadi, kesemenaan adalah sekaligus
kondisi dan kocfisien perubahan maupun stabilitas sistem-sistem
bahasa.
Terakhir, berkat analisis Saussure yang mendalam, dari
kesemenaan muneul suatu konsekuensi: segi sosial mutlak dan di
47

dalam penyusunan mereka dalam sistem tidak memenuhi tuntun-


an alam apa pun yang merupakan faktor luar bagi mereka. Satu-
satunya dasar yang sahih bagi konfigurasi mereka yang khusus di
dalam langue mana pun, adalah konsensus sosial. Pendek kata,
konsensus sosial bahkan menjadi bagian dari konsepsi konven-
sionalis sejak Aristoteles sampai ke Whitney: tetapi konsensus
sosial ini terbatas pada kenyataan bahwa langue, yang dianggap
sebagai daftar kata, memasukkan sebagai bagian terpenting,
"petanda" yang sejalan dengan "benda" sehingga merupakan
peristiwa yang disusun sebelumnya. Artinya konsensus sosial
hanya bebas untuk mengatur penanda: tetapi dunia arti dipaksa-
kan ke dalam konvensi sebagai suatu kenyataan yang sudah ada
sebelumnya. Di dalam konsepsi Saussure mengenai kenyataan
bahasa, organisasi makna dalam arti tidak kurang semenanya
daripada organisasi bunyi dalam penanda sehingga konsensus
sosial adalah segalanya. Penggunaan langue oleh masyarakat
merupakan syarat bagi langue untuk viable 'dapat hidup'.
Wittgenstein satu-satunya, dan baru 40 tahun kemudiah,
yang berhasil melihat dengan kejelasan yang sama, ciri langue
yang mutlak sosial. "Sistem tanda dibuat untuk masyarakat,
seperti kapal dibuat untuk laut", kata Saussure di dalam salah
satu kuliahnya yang kedua dengan gambaran sugestif yang
digunakannya, persis sama dengan Wittgenstein, untuk meru-
muskan, dengan memberi bentuk yang dapat diraba, suatu
gagasan yang menurut ukuran kita sekarang merupakan pemba-
haruan yang mendalam dan bersejarah. Seperti juga keseme-
naan, hubungan sosial merupakan faktor/stabilitas dan sekaligus
perubahan. Justru karena langue bersifat sosial, maka ia terlin-
dung dari ulah para individu atau kelompok-kelompok kecil. Di
samping itu, sifat sosial ini pula yang membuat langue berubah,
ketika tuntunan akan pembedaan-pembedaan yang sudah ada
berkurang atau, sebaliknya, ketika muncul tuntunan pembedaan-
pembedaan baru.
Kesemenaan dan aspek sosial langue, dikombinasikan
dengan sengkarutnya hubungan pertentangan dan hubungan
sintagmatis di antara satuan-satuan konkret, menyebabkan mun
cul dan hilangnya pembedaan, mutlak tak terduga. Perubahan
menyentuh pembedaan dan menimbulkan berbagai reaksi pada
sistem.
48

Perubahan dari satu keadaan bahasa ke keadaan lain tidak


mengikuti nalar universal mana pun. Linguistik, di dalam
mendeskripsikan langue, dihadapkan pada gejala-gejala yang
kebetulan, dikungkung oleh waktu dan ruang, dihasilkan oleh
basil tak terduga dari perjumpaan peristiwa-peristiwa heterogen
di dalam sistem, yang intern maupun ekstern dalam hubungan
dengan keseimbangan sistem bahasa pada suatu masa tertentu.
Menempatkan kesemenaan pada pusat aspek-aspek univer
sal yang sama di segala langue, akhirnya memaksa kita untuk
mengakui hal berikut ini: langue tertentu, yang penanda dan
petandanya bersifat kebetulan, memiliki kesahihan yang terbatas
di dalam waktu dan ruang, jika dikaitkan dengan masa gerak
tertentu masyarakat manusia.
Histoire, 'sejarah' dan historique, 'historis', merupakan
istilah-istilah yang selama berabad-abad dibebani berbagai mak-
na oleh tradisi, dan yang akhirnya membingungkan. Dalam
linguistik, histoire antara lain telah digunakan sebagai sinonim
d&n devenir 'menjadi', dari diachronie. Dengan pengertian ini,
Saussure menekankan ciri "anti historis" bagi sistem bahasa dan
bagi linguistik sinkronis yang dideskripsikannya. Tetapi histoire
dan historique juga bermakna lain: makna yang muncul pada saat
orang berkata, misalnya yang historique di dalam sistem hukum
juridis, seperti yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa
dalam waktu dan masyarakat, terlepas dari ada atau tidak adanya
perkembangan di dalam waktu. Dalam pengertian ini, seperti
yang ditangkap Saussure juga, keadaan langue historique, bukan
karena bahasa itu "berkembang" melainkan karena motivasi yang
menunjangnya bersifat kebetulan, ditetapkan dalam waktu dan
masyarakat. Jika, seperti yang nampaknya benar, kita hanya
menganggap makna yang kedua ini (yang tidak menyangkal
tetapi lebih tepat memasukkan makna yang pertama)sama sekali
sesuai dengan gagasan dan dengan bahasa historisisme:modern,
kami perlu menarik suatu kesimpulan. Saussure, dengan mem-
perdalam analisis segi universal dari kenyataan bahasa, dengan
menyusun versi pribadi dari grammaire generale 'tata bahasa
umum' yang kuno, telah menonjolkan ciri langue yang mutlak
semena, dan oleh karenanya mutlak sosial: dengan demiKian ia
telah mengukuhkan cm langue yang mutlak historis. ^
49

Kesemenaan merupakan bentuk umum dari kemampuan


biologis manusia uiituk mengkoordinasikan dan mengasosiasikan
di dalam waktu yang sama pada semua makhluk manusia, dan
melahirkan sistem bahasa yang berbeda bagi setiap masyarakat.
Jadi, kesemenaan adalah kekhasan yang di dalam diri manusia
merupakan warisan biologis, dari sinilah peristiwa-peristiwa
sosial dan berkala, bertemu dengan peristiwa historis. Keseme
naan adalah bentuk tempat alam niembuat sejarah bagi dirinya.
Justru di sinilah akar yang terdalam dari ketidakpahaman
yang menyertai Cours; di sinilah letak alasan mengapa teks ini,
di antara yang paling dikutip dan yaiig paling terkenal dalam
sejarah kebudayaan abad XX, nampak sangat terkucil di dalam
kebudayaan itu. Suatu dasar pemikiran ilmiah dan rasional dan
suatu perspektif grammaire generate yang rasionalis adalah demi
tercapainya kesimpulan yang sangat berbau sejarah; di samping
itu, pandangan historis pada kenyataan bahasa, bebas dari segala
tekanan-tekanan mistik dan tak masuk akal yang biasanya
menyertai historisisme sastra, dan pandangan ini dapat dibukti-
kan pada tataran yang paling ketat, empiris dan analitis. Hal ini
cukup untuk membingungkan mereka yang secara akademis
terbiasa memisahkan nalar dalam ilmu dan nalar dalarh sejarah,
jiwa geometri dan jiwa seni. Geometri yang ketat di sini adalah
adanya demonstrasi ekstern, yaitu pengakuan akan kesejarahan
mutlak dari peristiwa-peristiwa bahasa.
Bentuk pemikiran Saussure sendiri mengandung kekuatan
pada reaksi-reaksi yang ditimbulkannya selama setengah abad.
Kalau kami meninjau pemikiran tersebut secara keseluruhan,
kami mengerti sekali kejengkelan para historikus yang dipi-
sahkan dari segala jenis verbalisme dan dibawa ke tataran yang
bukan main ketatnya, seperti juga kejengkelan para ilmuwan,
yang enggan mengikuti jalinan yang sebenarnya logis untuk
menuju hasil-hasil yang bersifat sejarah, yang tidak biasa bagi
mereka. Kami mengerti bagaimana hubungan-hubungan intern
di dalam pemikiran yang seperti itu telah dikaburkan oleh cara
menuiis para penyunting, sedangkan jalan pikiran yang asli
dihiasi oleh tambahan-tambahan dan kepalsuan. Kami melihat
mengapanya dan bagaimananya dari tuduhan-tuduhan yang
keras dan sekaligus tanpa arah terhadap buku ini yang dituduh
50

berturut-turut sebagai berbau psikologi dan sekaligus berbau


ilmiah, terlalu halus dan sekaligus kasar serta polos, mengarah ke
idealisme tapi juga positivisme, spiritualisme borjuis dan juga
materialisme. Kami akhirnya mengerti, di dalam penolakan
unfuk memahami pemikiran Saussure, secara keseluiaihan,
masing-masing rupanya memilih untuk mengambil beberapa
cuplikan dari Cours yang dapat digunakan sebagai senjata
pertahanan atau serangan di dalam polemik yang berlangsung
selama setengah abad ini.
Mungkin tidak hanya karena alasan-alasan filologis kalau
pemikiran Saussure disampaikan kepada kita tidak dalam ben-
tuknya yang asli. Mungkin perlu ada berbagai eksperimen yang
diilhami oleh satu tafsir dari bagian kecil sebelum tertonjol
kemungkinan bagi tafsir tersebut untuk muncul dalam keseng-
karutan yang menyeluruh dan asli. Ini merupakan jalan kembali
yang tidak tanpa kesulitan. Dan oleh karenanya Cours juga
pantas dikomentari seperti tulisan Croce merigenai Encyclopedie
susunan Hegel: "Singkatnya buku ini bukan buku yang mudah,
sebagai apa adanya maupun seperti apa yang saya tampilkan.
Tapi saya kira kesulitan, bagi orang yang berpikir, lebih
merupakan daya tarik daripada penolakan."
Pandangan-pandangan yang lalu seharusnya berguna untuk
memperdalam antara lain hal yang memang merupakan pendapat
umum, yaitu: pemikiran Saussure telah menjadi pusat berbagai
perkembangan, beberapa di antaranya masih merupakan usaha
awal, di dalam lingkup ilmu-ilmu sejarah dan antropologi; dan
hanya karena klasifikasi memuakkan bagi cara berpikir historis,
tidak dapat disangkal bahwa Cours adalah satu di antara buku-
buku paling penting di dalam kebudayaan abad XX. Mencoba
untuk membuat tafsir yang sahih, baik dari segi dokumenter
maupun dari segi kritik, merupakan usaha yang penting bagi
linguistik, dan tidak hanya bagi linguistik. Kepentingan bukan
saja dari segi sejarah dan peradaban: sering sekali (cukup
mengacu pada karya-karya seperti yang telah disebutkain di
muka, karya Burger mengenai signification dan valeur) tafsir
yang lebih baik bertumpang tindih dengan kemajuan yang nyata
di dalam teori umum mengenai peristiwa-peristiwa bahasa.
Semua ini bertujuan membekukan kenyataan bahwa karya yang
51

ada belum cukiip. Untuk selebihnya, cukup dikatakan bahwa


perdebatan kritik mengenai naskah yang digunakan maupun
yang tidak oleh para penyunting Cours, baru merupakan awal.
Sumbangan dalam bentuk kritik langka, pendalaman yang harus
dilakukan pasti cukup banyak, mated yang hampir diterbitkan
masih perlu dibaca dengan sabar. Di samping itu, banyak mated
yang tidak diterbitkan yang belum diteliti secara umum oleh
seorang pun: buku catatan kuliah linguistik histods, surat-surat
pribadi, naskah mengenai anagram dan mengenai hikayat Ger-
mania. Penelitian yang luas masih harus dilakukan untuk
mengumpulkan dan memahami dokumen-dokumen yang terse-
dia di sekitar riwayat hidup dan karya ilmiah Ferdinand de
Saussure. '
Telah diusahakan, di dalam Notices, untuk menyiapkan
lapangan bagi orang yang akan menulis biografi lengkalp Saus
sure: jadi telah diusahakan untuk mengumpulkan dan mengatur
data yang telah diketahui (tetapi sering kali tersebar dan sulit
didapat) mengenai kehidupan sehari-had dari pribadi, pendidik-
an, lingkungan pergaulan SauSsure. Di samping itu, berkat
kebaikan hati R. Godel, R. Jakobson dan perpustakaan Jenewa,
telah dapat ditambahkan pada fakta-fakta yang ada, beberapa
penjelasan baru dan memperbaiki atau menafsirkan secara lebih
balk beberapa faktor yang diketahui. Kemudian telah dibuat
beberapa catatan mengenai perkembangan gagasan-gagasan teori
Saussure dari sejak Mimoire sampai ke ketiga kuliah linguistik
umum dan beberapa penerangan mengenai hubungan antara
Saussure dan ilmuwan lain: dengan tulisan ini saya berharap
dapat menyumbangkan perhatian baru pada ilmuwan seperti
Kruszewski, Marty, Noreen, saudara spiritual Saussure yang
sebenarnya, yang telah dilupakan dalam ingatan para ahli
linguistik. Akhirnya, untuk memberikan'gambaran yang merang-
kum masalah-masalah yang kemudian ditelaah sedara lebih
analitis di dalam komentar, kami berusaha untuk menuliskan
peninggalan Cours di dalam berbagai aliran linguistik dari
berbagai negara. Dihairapkan sekali agar saya diberitahu, khusus-
nya mengenai bagian ini, kalau ada kekurangan (yang pasti
banyak), agar saya selalu dapat memperjelas peninggalan yang
besar sekali dari buku ini di mana pun.
52

Catatan pada komentar di sini mempunyai berbagai tujuan.


Beberapa di antaranya bertujuan hanya melengkapi, dengan
mengembangkan, acuan-acuan pada penulis-penulis dan pada
fakta yang terdapat dalam teks. Banyak di antaranya catatan-
catatan yang membandingkan Cours dengan materi yang tidak
diterbitkan atau yang akan diterbitkan: catatan tulisan tangan,
catatan kuliah oleh murid-murid, surat-surat Saussure, dan Iain-
lain. Dan perbandingannya paling sering dikaitkan, di satu pihak,
dengan analisis karya penulisan yang dilakukan oleh Bally dan
Sechehaye, di lain pihak dengan analisis isi vexatae quaestiones
interpretatif dan teoretis. Catatan lain, untuk mensejarahkan
teks Saussure, mencoba untuk memperlihatkan pendahulunya di
dalam peradaban yang lampau atau di dalam renungan-renungan
dan penerbitan-penerbitannya, dan juga mencoba untuk mem
perlihatkan perkembangan dan perubahan sudut pandang antara
1916 sampai kini.
Renvois 'pengacuan' yang akan terdapat di dalam catatan
biografis dan kritis dan di dalam komentar, mengacu pada
halaman di dalam teks berbahasa Perancis dari CLG. terbitan
tahun 1922. Angka-angka yang terdapat di samping teks Saussure
mengacu pada catatan-catatan di dalam komentar.
Sebagai dasar pekerjaan ini, adalah dua jenis penelitian:
membaca teks-teks yang akan segera diterbitkan dan menjelajahi
daftar pustaka yang luas dan tersebar. Penelitian yang pertama
tidak mungkin terlaksana tanpa kerja sama yang erat dari Rudolf
Engler. Berkat campur tangannya, penerbit Harrassowitz de
Wiesbaden mengizinkan saya sejak tahun 1964 untuk melihat dan
menggunakan cetak coba penerbitan Engler. Saya kira kesempat-
an seperti ini tidak sering terjadi, oleh karenanya rasa terima
kasih saya sangat besar.
Di dalam penelitian yang kedua, seperti juga peneliti-
peneliti Italia yang lain, saya terbentur pada kekacauan
perpustakaan-perpustakaan kami dan keterbatasan sarana yang
konyol, yang disediakan bagi penelitian dan keterbatasan pero-
lehan buku-buku di institut-institut perguruan tinggi kami. Kalau
karya ini telah diperoleh, saya tidak akan mengatakan diselesai-
kan, tapi paling tidak dimulai, itu adalah berkat bantuan yang
dermawan dan bcrsahabat dari para ahli Italia dan negara-negara
53

lain. Izinkanlah saya menyampaikan terima kasih secara khusus


kepada: F. Albano Leoni (Goteborg), J. Balasz (Budapest), E.
Benveniste (Paris), J. Cremona (Cambridge), C. de Simone
(Tubingen), W. Dressier (Wina), juga kepada R. Engler,
Kennosouke Ezawa (Koln), R. Godel (Jenewa), C. Luporini
(Fiorensia), nona Matthee Marcellesi (Paris), L.E. Rossi(Roma)
dan P. Palumbo (Palermo), nona Inga Scekina (Moskow) dan
Dieter Wanner (Swiss).
Perpustakaan umum dan perpustakaan universitas di Jene
wa telah menjawab dengan dermawan permintaan saya yang
berhubungan dengan dokumen Saussure yang tersimpan di sana.
Robert Godel telah memberikan penerangan yang sangat berhar-
ga, juga bagi penerbitan versi Perancis. Roman Jakobson telah
menjawab dengan sabar dan yakin, pertanyaan-pertanyaan saya
mengenai masalah pemikiran Saussure, di dalam wawancara yang
berlangsung lama di Roma.
Berbagai masalah telah dapat dibicarakan, secara tatap
muka atau melalui surat, dengan ilmuwan lain - di samping
Robert Godel dan Roman Jakobson - yang saya ingin berterima
kasih atas koreksi mereka dan usul-usul mereka: R. Amacker
(Jenewa), E. Garroni (Roma), G. Lepschy (Reading), B.
Marzullo (Bologna), L. Prieto (Jenewa), R. Simone (Palermo).
Ringkasan kritis I. Baumer, G. Derossi, R. Engler, L. Muraro
Vaiani, V. Pisani, L. Zgusta yang telah saya baca sebelum
penerbitan edisi Perancis ini, telah sangat berguna bagi saya, baik
melalui kesetujuan maupun ketidaksetujuan mereka. Untuk edisi
Perancis ini saya ucapkan terima kasih kepada penerjemah, L.J.
Calvet dan P. van Molle (U.C. Louvain).
Catatan-catatan dan komentar mengenai Saussure, edisi
Italia dipersembahkan kepada Antonio Pagliaro, satu di antara
ahli linguistik Italia yang langka yang sejak bertahun-tahun
diilhami, di dalam pengajarannya, oleh teori-teori Ferdinand de
Saussure. Buku ini banyak berhutang budi kepadanya dan saya
ingin rriemperbaharui penghormatan yang sama.

Tulio de Mauro
54

N.B.
Nama-nama ilmuwan Rusia telah ditranskripsikan ke dalam
ejaan internasional.
Catatan penerjemah: nama-nama tersebut telah ditranskripsikan
dalam ejaan yang lazim di dalam bahasa Indonesia.

Catatan
1. Kalimat homograf dalam bahasa Italia, I vitelli del romani sono belli, berarti
"anak sap! orang Romawi bagus"(Catatan penerjemah bahasa Perancis)
Di dalam kata pengantar tulisan kritik Cours yang mutakhir, Rudolf Engler
hanya menyebut tiga penelitian yang setelah SM. (1957), menggunakan
naskah Saussure sebagai sumbernya = artikel A. Burger telah disebut di sini,
essai seorang ahli muda Italia yang menonjol, Giorgio Derossi (lihat daftar
singkatan) dan Introduction d la semantique karya penulis sendiri.
Dapat ditambahkan pada daftar pendek ini beberapa karya yang unik; yakni
karya Heincmann, karya G. Lepschy mengenai kesemenaan (tetapi di dalam
karya-karya selanjutnya Lepschy tetap tidak memperhatikan pemikiranr
pemikiran Saussure yang diterangi oleh karya-karyanya yang tidak diterbit-
kan = bdk. juga karya terbaru Lepschy 1970, 42-52) dan terutama tulisan-
tulisan terbaru Engler sendiri, E. Buyssens dan R. Godel (lihat singkatan-
singkatan di bagian akhir buku ini.
2. Istilah temuan Saussure yang telah lazim digunakan oleh masyarakat
linguistik di Indonesia {langage, langue, parole) tidak diterjemahkan
(penerjemah).
PRAKATA PADA EDISI PERTAMA

Oleh

Ch. Bally dan Alb. Sechehaye

Kami sangat sering mendengar Ferdinand de Saussure


menyesali kurangnya prinsip dan metode yang menjadi ciri khas
linguistik, lingkungan tempat bakatnya berkembang, dan selama
hayatnya ia mencari dengan ulet patokan yang seharusnya
mengarahkan pemikirannya di tengah-tengah kemelut ini.'. Baru
pada tahun 1906, ketika ia menggantikan Joseph Wertheimer^ di
Universitas Jenewa, ia dapat memperkenalkan gagasan-gagasan
pribadinya yang dimatangkan selama bertahun-tahun. Ia mem-
berikan kuliah linguistik umum tiga kali, pada tahun 1906-1907,
1908-1909, 1910-1911. Memang benar bahwa tuntutan untuk
memenuhi program memaksanya untuk menggunakan separuh
dari setiap masa perkuliahan untuk menerangkan bahasa-bahasa
Indo-Eropa, sejarahnya, deskripsinya; sehingga bagian terpen-
ting dari pokok masalah yang didalaminya sangat dikurangi.^
Semua mereka yang telah beruntung mengikuti pelajaran-
nya yang begitu subur, menyesalkan bahwa tak satu pun bukunya
terbit. Setelah meninggalnya master tersebut, kami masih ber-
harap akan menemukan di dalam naskah miliknya, yang dengan
sukarela diserahkan kepada kami oleh Ny. de Saussure, gambar-
an yang sama atau paling tidak memadai dari pelajaran-
pelajarannya yang genius itu. Kami semula mengira bahwa
mungkin untuk menerbitkan sebuah buku berdasarkan penyun-
tingan catatan-catatan pribadi Ferdinand de Saussure yang diga-
56

bung dengan catatan mahasiswa. Tetapi, besarlah kekecewaan


kami: kami tak mendapatkan apa pun atau hampir tak satu pun
yang berhubungan dengan buku catatan penerus-penerusnya.
Ferdinand de Saussure selalu menghancurkan kertas buram yang
digunakannya untuk mencatat kuliahnya yang istimewa itu dari
hari ke hari secara tergesa-gesa! Laci meja tulisnya hanya
menyajikan kepada kami catatan-catatan yang cukup kuno/
yang bukannya tak bernilai, tetapi tidak mungkin dipergunakan
dan digabung dengan materi yang terdapat di dalam ketiga
kuliahnya.
Kenyataan ini lebih mengec^wakan lagi bagi kami karena
kewajiban profesional telah menghHangkan seluruh kesempatan
kami untuk mengikuti kuliah-kuliahnya yang terakhir, yang
menandai di dalam karier Ferdinand de Saussure, suatu periode
yang sama gemilang dengan periode yang sangat lampau, ketika
Memoire sur les voyelles terbit.®
Oleh karenanya kami terpaksa mencari catatan yang ditulis
oleh para mahasiswa di dalam ketiga kuliah tersebut. Buku
catatan yang lengkap telah diserahkan kepada kami, untuk kedua
kuliah pertama oleh Louis Caille, Leopold Gautier, Paul Regard
dan Albert Riedlinger; untuk kuliah yang ketiga, yang terpen-
ting, oleh Ny. Albert Sechehaye, Georges Degallier dan Francis
Joseph.'* Kami berhutang budi pada Louis Briitsch untuk catatan-
nya mengenai satu segi yang khusus'; kami menyampaikan pul^t
rasa terima kasih sepenuh hati kepada semuanya. Kami nyatakan
pula rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Jules Ronjat,
ahli bahasa-bahasa Roman yang terhonmat, yang telah bersedia
memeriksa naskah sebelum dicetak, dan yang telah memberikan
pendapat yang berharga.
Apa yang akan kami lakukan dengan bahan-bahan ini?
Perlu ada suatu tinjauan kritis. Bagi setiap kuliah dan bagi setiap
perincian di dalam kuliah, dengan jalan membandingkan semua
versi, haruslah kami sampai pada pemikiran yang telah kami
terima gemanya, yang kadang-kadang semrawut. Bagi kedua
kuliah pertama, kami telah mendapat bantuan dari A. Riedli
nger, salah satu penerus yang telah mengikuti pemikiran Ferdi
nand de Saussure dengan penuh perhatian; karyanya mengenai
gagasan ini sangat berguna bagi kami.® Bagi kuliah ketiga, salah
57

satu dari kami, A. Sechehaye, telah melakukan pekerjaan rumit,


yaitu merangkum dan menyunting.'
Tetapi selanjutnya? Bentuk pengajaran lisan, yang sering-
kali kontradiktif dengan pengajaran dalam buku, menimbulkan
kesulitan yang terbesar. Lagipula Ferdinand de Saussure adalah
manusia yang memperbaharui diri terus-menerus, pemikirannya
berkembang ke segala jurusan, namun demikian tanpa saling
berkontradiksi.
Menerbitkan seluruhnya seperti bentuk aslinya juga tidak
mungkin; pengulangan-pengulangan yang tak terhindarkan di
dalam penyajian lisan, berbagai perumusan yang bertumpang
tindih pasti akan membuat wajah buku tersebut heteroklit.
Membatasi diri pada satu kuliah -tapi yang sama?-akan memiS'
kinkan buku ini dari semua kekayaan yang tersebar berlimpah di
dalam kedua kuliah yang lain; kuliah ketiga pun, yang paling
mantap, pasti tak akan dapat secara mandiri memberikan
gambaran lengkap dari teori-teori dan metode Ferdinand de
Saussure.'"
Kami mendapat anjuran agar -menerbitkan beberapa nas-
kah yang sangat orisinal, seba^aimana adanya. Gagasan ini mula-
mula nampak cemerlang, tetapi kami segera melihat bahw%
gagasan ini akan menyalahi jalan pikiran Ferdinand de Saussure,
yaitu dengan hanya menyajikan euplikan-cuplikan dari suatu
bangunan yang nilainya baru akan muncul dalam keseluruhan
karyanya."
Kami memutuskan untuk mengambil jalan keluar yang
paling nekad, namun, percayalah, yang paling masuk akal:
mencoba suatu rekonstruksi, suatu sintesis, atas dasar ketiga
kuliah, dengan menggunakan semua bahan yang tersedia, terma-
suk catatan pribadi Ferdinand de Saussure. Jadi hal ini merupa-
kan penciptaan kembali, cukup sulit karena harus seratus persen
objektif. Pada setiap butir kami harus, dengan mendalami setiap
pemikiran sampai ke dasarnya dan dengan berpatokan pada
keseluruhan sistem, mencoba melihat gagasan tersebut dalam
bentuknya yang terumus dengan jalan memisahkannya dari
variasi, unsur sampingan yang terdapat dalam kuliah lisan,
kemudian mengintegrasikan dalam lingkungan yang wajar.
Semua bagian disajikan dalam urutan yang sesuai dengan
58

keinginan penulis, bahkan apabila maksud tersebut lebih meru-


pakan terkaan daripada pernyataan eksplisit.'^
Dari kerja mengasimilasi dan merekonstruksi ini, lahirlah
buku yang kami sajikan, bukannya tanpa rendah diri, kepada
masyarakat ilmu dan kepada semua pencinta linguistik.'^
Gagasan pokok kami adalah membangun suatu kesatuan
organis tanpa melupakan suatu pun yang dapat menyumbang
penyajian secara keseluruhan. Tetapi justru di sinilah mungkin
kami akan mendapat kritik ganda.
Pertama, orang dapat berkata bahwa "himpunan" ini tidak
lengkap: pengajaran master tersebut tidak pernah berpretensi
untuk mencakup semua segi linguistik, maupun untuk menerangi
semua segi secara sama terang; dari segi materi memang ia tidak
sanggup. Lagi pula pusat minatnya berlainan sekali. Dengan
bimbingan beberapa prinsip dasar dan pribadi, yang dapat
ditemukan kembali di segala tempat di dalam karyanya dan yang
membentuk kerangka dari jalinan kokoh dan beraneka ragam
ini, ia bekerja secara mendalam dan berkembang ke permukaan
pada saat prinsip-prinsipnya menemukan penerapan yang sangat
mencolok, namun juga pada saat prinsip-prinsip tersebut terben-
tur pada suatu teori yang mungkin turut terlibat.
Oleh karenanya beberapa cabang ilmu hanya dibicarakan
sambil lalu, semantik misalnya.''* Kami tidak mendapat kesan
bahwa kekurangan-kekurangan ini merupakan keseluruhan ba-
ngunan. Tidak hadirnya "linguistik parole" lebih mencolok lagi.
Dijanjikan kepada pendengar kuliah ketiga, bahwa studi tersebut
seharusnya mendapat tempat terhormat di dalam kuliah-kuliah
selanjutnya;'^ namun kita semua tahu betul mengapa janji
tersebut tak dapat ditepati. Karhi membatasi diri pada pengum-
pulan kembali dan penempatan pada tempatnya yang wajar,
petunjuk-petunjuk yang samar dari rencana tersebut yang telah
disebut sambil lalu, kami tidak mungkin melangkah lebih jauh
lagi.
Sebaliknya, mungkin orang akan menuduh kami telah
menerbitkan pengembangan gagasan yang menyentuh butir-butir
yang telah diperoleh sebelum Ferdinand de Saussure. Tidak
mungkin semuanya merupakan hal baru di dalam karangah yang
begitu luas; namun apakah kami tidak akan dipersalahkan
59

apabila prinsip-prinsip yaflg telah dikenal, yang diperlukan bagi


penjelasan secara menyeluruh, tidak kami gali kembali? Sehing-
ga, bab mengenai perubahan fonetik akan mencakup hal-hal
yang telah dibicarakan orang lain, dan mungkin secara lebih
terumus. Tetapi, di samping bagian ini menyembunyikan rincian
yang orisinal dan berharga, pembacaan sepintas pun akan
menunjukkan bahwa apa jadinya kalau bagian ini ditiadakan;
dan ini bertentangan dengan pemahaman prinsip-prinsip yang
menjadi dasar Ferdinand de Saussure di d'alam meletakkan
sistem linguistik statisnya.
Kami merasa bertanggung jawab atas segala kemungkinan
kritik, yang dilancarkan pada penulis sendiri, yang mungkin tidak
akan mengizinkan penerbitan halaman-halaman ini.'^
Tanggung jawab ini kami terima seluruhnya, dan kami
ingin menanggungnya secara mandiri. Apakah kritik akan dapat
membedakan antara Ferdinand de Saussure dan penafsir-
penafsirnya? Kami merasa berterima kasih dapat menanggung
pukulan-pukulan yang akan tidak adil kalau diarahkan kepada
kenangan yang sangat kami hargai ini.

Jenewa, Juli 1915

Ch. BALLY, Alb. SECHEHAYE

KATA PENGANTAR EDISI KEDUA

Edisi kedua ini tidak memuat perubahan mendasar apa pun


dari teks edisi pertama. Para penyuntjng membatasi diri pada
perubahan-perubahan kecil'^ yang bertujuan membuat karangan
ini lebih jelas dan lebih tepat dari segi-segi tertentu.

Ch. BALLY, Alb. SECHEHAYE


60

KATA PENGANTAR EDISI KETIGA

Kecuali beberapa koreksi kecil, edisi ini"* sesuai dengan


yang terdahulu.

Ch. BALLY, Alb. SECHEHAYE


PENDAHULIIAN
BAB I

SELAYANG PANDANG SEJARAH


LINGUISTIK"^

Ilmu yang terbentuk di sekitar fakta-fakta langue^^^ ini telah


melalui tiga tahap sebelum mengakui apa yang sebenarnya
menjadi objek tunggalnya.^'
Dalam sejarah, orang mulai dengan apa yang disebut "tata
bahasa". Pengkajian yang diresmikan oleh bangsa Yunani terse-
but, dilanjutkan terutama oleh bangsa Perancis, didasarkan pada
logika dan menghindari segala pandangan ilmiah dan objektif
mengenai langue itu sendiri. Tata bahasa hanya bertujuan
memberikan kaidah-kaidah untuk membedakan bentuk-bentuk
yang benar dari yang tidak benar; tata bahasa adalah disiplin
normatif, sangat jauh dari observasi murni, dan sudut pandang-
nya dengan sendirinya sempit.^^
Kemudian muncui filologi. Sebelumnya telah ada di Alex
andria, suatu aliran "fiiologis", namun istilah ini terutama
dikaitkan dengan gerak ilmiah yang diciptakan oleh Friedrich
August Wolf sejak tahun 1777 dan yang berlanjut sampai kini.^^
Langue bukanlah satu-satunya objek filologi, yang terutahia
bertujuan menetapkan, menginterpretasi, mengomentari teks-
teks. Pengkajian yang pertama ini membawa filologi kepada
telaah sejarah kesusasteraan, adat istiadat, pranata, dan Iain-
lain. Di mana pun ia mempergunakan metode yang khas, yaitu
64

kritik. Kalau filologi menelaah masalah-masalah bahasa, hal itu


terutama untuk membandingkan teks-teks yang berasal dari
berbagai abad, menetapkan langue khas setiap penulis, menelaah
dan menjelaskan prasasti-prasasti yang dituliskan dalam langue
arkais atau yang tidak jeias. Kemungkinan besar penelitian-
peneiitian itulah yang mempersiapkan linguistik historis; karya
Ritschi mengenai Plato dapat disebut linguistik, tetapi dalam
bidangi tersebut kritik filologis memiliki kekurangan di satu segi:
filologi terlalu terikat pada langue tertulis dan melupakan langue
hidup dan memang zaman Yunani dan Latin antik hampir
menyita seluruh perhatiannya.
Periode ketiga dimulai ketika orang mendapati bahwa
berbagai langue mungkin diperbanuingkan. Ini asal mula filologi
komparatif atau "tata bahasa bandingan". Pada tahun 1816, di
dalam karya berjudul Systeme de la conjugaison du Sanscrit
Franz Bopp menelaah hubungan-hubungan yang mempersatukan
bahasa Sanskerta dengan bahasa Germania, Yunani, Latin, dan
sebagainya.^'' Bopp bukanlah yang pertama kali menemukan
pertalian itu dan menyatakan bahwa semua langue berasal dari
satu rumpun. Penelitian yang sama telah dilakukan sebelum dia,
terutama oleh orang Inggris ahli bahasa Timur, W. Jones (t
1794); tetapi beberapa pernyataan di sana-sini tidak membukti-
kan bahwa pada tahun 1816 orang telah memahami secara umum
arti dan pentingnya kenyataan tersebut." Jadi, Bopp tidak pantas
disebut sebagai penemu hubungan bahasa Sanskerta dengan
bahasa-bahasa Eropa dan Asia tertentu, tetapi ia telah mema
hami bahwa hubungan antara langue yang serumpun dapat
menjadi bahan bagi sebuah ilmu yang otonom. Menjelaskan
bentuk suatu langue dengan bentuk langue yang lain, itulah yang
belum pernah dilakukan orang.
Belum tentu Bopp dapat menciptakan ilmunya, - paling
tidak sedemikian cepatnya - tanpa penemuan bahasa Sanskerta.
Bahasa yang muncul sebagai saksi ketiga di samping bahasa
Yunani dan Latin itu memberikan kepadanya suatu dasar
penelitian yang lebih luas dan kokoh;" kelebihan itu makin
menonjol karena, mujur dan di luar dugaan, bahasa Sanskerta
memiliki kondisi yangsangat menguntungkan untuk menjelaskan
perbandingan tersebut.
65

Berikut ini sebuah contoh. Perhatikan paradigma bahasa


Latin genus (genus, generis, genere, genera, generum, dan Iain-
lain), dan bahasa Yunani genos, (genos, geneos, ginei, genea,
geneon, dan Iain-lain); deretan-deretan itu tidak menunjukkan
apa pun, baik bila diteliti secara sendiri-sendiri maupun bila
diperbandingkan. Kejadiannya akan lain kalau ditambahkan
deretan yang sama dari bahasa Sanskerta (ganas, ganasas, ganasi,
ganassu, ganasdm dan Iain-lain). Pandangan sepintas pada
deret Sanskerta ini cukup untuk menemukan hubungan antara
paradigma Yunani dan Latin. Dengan sementara menganggap
bahwa ganas merupakan bentuk asal karena anggapan ini
membantu penjeiasan, disimpulkan bahwa ^ lenyap di dalam
bentuk Yunani gene(s)os, dan sebagainya, setiap kali berada di
antara dua konsonan. Kemudian disimpulkan bahwa, dalam
kondisi yang sama,s menjadi r di dalam bahasa Latin. Kemudian
dari segi tata bahasa, paradigma Sanskerta menjelaskan dengan
tepat pengertian kata dasar, unsur yang berhubungan dengan
suatu satuan (ganas-) yang tetap dan dapat dirumuskan. Bahasa
Latin dan Yunani hanya dapat diketahui asalnya melalui fakta
bahasa Sansekerta. Jadi berkat adanya unsur s yang tidak ada lagi
dalam bahasa|Indo-Eropa itulah bahasa Sanskerta ada gunariya.
Dan memang pada bagian-bagian lain bahasa itu tidak mengan-
dung ciri-ciri prototipe: itu sebabnya bahasa itu telah menga-
caukan sama sekali sistem konsonan. Tetapi pada umumnya,
unsur-unsur asal yang masih terkandung dalam bahasa itu secara
ajaib membentuk penelitian - dan secara tidak sengaja bahasa itu
tepat sekali untuk menjelaskan bahasa-bahasa lainnya di dalam
setumpuk kasus.
Sejak permulaan, bermunculan di samping Bopp, para ahli
linguistik yang punya nama: Jacob Grirpm, pendiri penelitian
bahasa Germania (Deutscne Grammallknyd telah diterbitkan
dari tahun 1822 sampai 1836); Pott, yang penelitian etimologinya
telah menyediakan sejumlah besar bahan bagi para ahli linguis
tik; Kuhn yang meneliti linguistik dan sekaligus mitoiogi banding-
an; para ahli bahasa-bahasa India, Benfey dan Aufrecht, dan
Iain-lain ~9
Akhirnya, di antara wakil aliran tersebut, perlu disebut
secara khusus nama Max Miiller, G. Curtius dan Aug.
66

Schleicher. Ketiganya, dengan caranya masing-masing telah


banyak menyumbang pengkajian komparatif. Max Miiller^" telah
mempopulerkannya dengan sarasehannya yang cemerlang {Lec
tures on the science of language, 1861); tetapi hal itu bukanlah
karena kesadaran yang berlebihan. Curtius.-^' ahli filologi yang
lerkemuka, terkenal terutama karena bukunya Principes d'e-
tymologie grecque (1879), adalah satu di antara mereka yang
pertama kali mengawinkan tata bahasa bandingan dengan filologi
klasik. la telah mengikuti perkembangan ilmu baru dengan
curiga, dan kecurigaan tersebut akhirnya menjadi timbal balik.
Akhirnya Schleicherlah*^^ yang pertama yang mencoba meng-
kodifikasi hasil-hasil penelitian secara terinci. Bukunya Abre
ge de gramniaire comparee des langues indo-germanicpies (1861)
adalah semacam sistematisasi dari ilmu yang dibina oleh Bopp.
Buku itu, yang digunakan bertahun-tahun lamanya, paling
memperlihatkan wajah aliran komparatif, yang membentuk
periode pertama linguistik Indo-Eropa.
Tetapi aliran itu, yang tak dapat dibantah lagi telah
membuka lapangan baru yang subur, tidak sampai membentuk
ilmu langue yang sebenarnya. Aliran itu tidak pernah memikir-
kan untuk menelaah hakekat objek penelitiannya. Padahal,
tanpa kegiatan mendasar ini, suatu ilmu tidak mampu untuk
membentuk metodenya.
Kekeliruan pertama, yang merupakan bibit dari segala
kekeliruan yang lain, adalah di dalam penelitiannya, yang
memang terbatas pada bahasa-bahasa Indo-Eropa, tata bahasa
bandingan tidak pernah mempertanyakan untuk apa melakukan
pendekatan-pendekatan itu, dan apa makna hubungan-hubungan
yang ditemukannya? Tata bahasa bandingan hanya bersifat
komparatif yang semestinya historis. Kemungkinan besar, per-
bandingan merupakan syarat penting bagi segala pelacakan
historis. Tetapi sebagaimana adanya, tata bahasa bandingan
tidak dapat menyimpulkan apa pun. Dan kalau para komparatis
tidak menemukan kesimpulan itu, lebih-lebih karena mereka
meneliti perkembangan dua bahasa seperti seorang ahli ilmu
alam yang meneliti persilangan dua tanaman, maka Schleicher,
misalnya, yang selalu mengajak kita untuk bertitik tolak dari ba
hasa Indo-Eropa sehingga memberi kesan ahli sejarah, tidak ragu
67

ragu untuk mengatakan bahwa dalam bahasa Yunani e dan o


merupakan dua "tingkatan" (Stufen) yokalisme. Karena itulah
bahasa Sanskerta memperlihatkan sistem alternasi vokalis yang
membuat Schleicher mempunyai gagasdn tingkatan ini- Jadi
dengain anggapan bahwa alternasi vokalis ini harus ditelusuri
seciara terpisah dan sejajar pada setiap bahasa, sebagaimana
tumbuh-tumbuhan sejenis yang secara mandiri tumbuh dengan
tahap yang sama, Schleicher melihat di dalam o Yunani suatu
tingkat pengerasan dari e. Padahal, itu adalah alternasi Indo-
Eropa yang tercermin secara berbeda dalam bahasa Yunani dan
Sanskerta, tanpa harus ada hubungan di antara akibat-akibat
gramatikal yang ditimbulkannya di dalam bahasa yang satu
maupun yang lain (lihat halaman 260 dan seterusnya}^^
Metode yang hanya komparatif itu menimbulkan sehim-
punan konsepsi yang keliru yang tidak ada hubungannya dengan
kenyataan, dan yang asihg bagi kondisi yang sebenarnya dart
langage mana pun. Kita seharusnya meneliti langue sebagai suatu
bidang khusus, pengatur alam yang keempat; dari situlah akan
muncul cara berpikir yang akan mengherankan ilmu lain. Kini
kita tidak dapat membaca delapan sampai sepuluh baris yang
ditulis pada zaman itu tanpa dikejutkan oleh keganjilan-
keganjilan pikiran dan istilah-istilah yang digunakan untuk
membenarkan keganjilan tersebut.
Tapi dari segi metodologis, bukannya tidak berguna untuk
mengetahui kekeliruan-kekeliruan ini: kesalahan-kesalahan se-
buah ilmu pada taraf permulaannya merupakan gambaran yang
diperbesar dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan para indi-
vidu yang terlihat dalam penelitian-penelitian ilmiah awal, dan
kami akan berkesempatan untuk menyebutkan banyak di dalam
uraian kami.
Baru menjelang tahun 1870 orang mulai mempertanyakan
apa saja syarat-syarat kehidupan langue. Maka Orang akan
mendapati bahwa hubungan-'hubungan yang mempersatukan
langue-langue tersebut haiiyalah salah satu segi dari gejala
bahasa, bahwa perbandingan hanya suatu cara, suatu metode
untuk menelusuri fakta.
Linguistik yang sebenarnya, yang mengembalikan perban
dingan pada tempat yang semestinya, lahir dari studi bahasa-
68

bahasa Roman dan bahasa-bahasa Germania. Studi Roman yang


dibuka oleh Diez,'^"* - bukunya Grammaire des langues romanes
bertahun 1836-1838, - memberi sumbangan khusus dengan
mendekatkan linguistik pada objek yang sebenarnya. Hal ini
mungkin karena para ahii bahasa roman berada dalam kondisi
yang menguntungkan, yang tidak dikenal para ahii bahasa Indo-
Eropa; kita mengenal bahasa Latin, asal bahasa-bahasa Roman;
dan juga adanya dokumen yang sangat banyak memungkinkan
kita untuk mengikuti sampai ke detail perkembangan bahasa-
bahasa tersebut. Kedua unsur tersebut membatasi bidang hipote-
sis dan rtiemberikan pada seluruh penelitian ini wajah yang
sangat konkret. Para ahii bahasa Germania berada dalam kondisi
yang serupa; kemungkinan besar bahasa Proto Germania tidak
dikenal secara langsung, tetapi sejarah bahasa-bahasa yang
diturunkannya dapat ditelusuri, dengan bantuan berbagai doku
men yang berasal dari berbagai abad. Bahkan para ahii bahasa
Germania, yang lebih dekat dengan kenyataan, telah berhasil
merumuskan konsepsi-konsepsi yang berbeda dengan konsepsi
pada pemrakarsa studi Indo-Eropa.^^
Dugaan pertama telah diberikan oleh ahii Amerika
Whitney,-^'' penulis Life and growth oflanguage (1875). Tak lama
kemudian terbentuk aliran baru yaitu kaum Junggrammatiker,
yang pemimpinnya semua orang Jerman: K. Brugmann, H.
Osthoff, para ahii bahasa Germania W. Braune, E. Sievers, H.
Paul, ahii bahasa Slavia Leskien, dan Iain-lain. Jasa mereka
adalah menempatkan semua hasil perbandingan di dalam pers-
pektif historis, dan dari sana menyambung fakta-fakta dalam
urutan yang wajar. Berkat mereka, orang tidak lagi melihat
langue sebagai organisme yang berkembang sendiri, tetapi
sebagai suatu hasil scmangat kolektif dari masyarakat bahasa.
Berkat mereka pula, orang mengerti betapa kelirunya dan tidak
memadainya gagasan-gagasan dari filologi dan tata bahasa
bandingan.' Meskipun demikian, betapapun besarnya jasa yang
diberikan oleh aliran tersebut, tidak dapat dikatakan bahwa ia
telah menerangi masalahnya secara menyeluruh dan kini pun
masalah-masalah dasar dalam linguistik umum masih menunggu
penyelesaian.
69

Catatai\
1 Aliran baru, yang melihat kenyataan dari dekat itu, berperang melawan
istilah kaum komparatis, dan khususnya melawan metafora yang digunakan-
nya. Sejak saat itu orang tidak berani lagi berkata: "Langue berbuat ini dan
itu", maupun berbicara mengenai "kehidupan langue", dan sebagainya,
karena langue bukan suatu bentukan dan hanya ada pada diri penutur.
Meskipun demikian jangan melangkah terlalu jauh, cukup kalau kita saling
mengerti. Ada gambaran-gambaran tertentu yang tak dapat dilewatkan
begitu saja. Memaksakan bahwa kita hanya menggunakan istilah-istilah yang
sesuai dengan kenyataan langage, sama derigan menganggap bahwa
kenyataan-kenyataan tersebut tidak merupakan misteri bagi kita. Padahal
banyak misteri yang harus dipecahkan; bahkan marilah jangan ragu untuk
menggunakan pada kesempatan yang tepat, ungkapan-ungkapan yang pada
zamannya itu telah dikutuk.^®
BAB II

MATERI DAN TUGAS LINGUISTIK;


HUBUNGANNYA DENGAN ILMU-ILMU
DI SEKITARNYA^^

Materi'"' linguistik dibentuk pertama-tama oleh semua


pcngungkapan langage manusia, apakah itu bangsa biadab atau
beradab, zaman kuno, klasik atau dekadensi, dengan memperhi-
tungkan, pada setiap masa, tidak hanya langage benar dan
"langage indah", tetapi segala bentuk pengungkapan. Ini belum
semua: mengingat langage sering kali sulit diteliti, seorang linguis
harus memperhitungkan teks-teks tertulis karena hanya melalui
teks tertulis ia dapat mengenal idiom-idiom yang lampau atau
yang jauh:
Tugas linguistik adalah:
(a) mendeskripsikan dan menyusun sejarah"' semua langue
yang dapat dicapainya, yang berarti menyusun sejarah
rumpun langue dan menyusun kembali kalau mungkin
langue induk dari setiap rumpun;
(b) mencari kekuatan yang memegang pcranan penting dan
universal di dalam semua langue, dan menarik darinya
hukum-hukum uinum yang dapat dijadikan patokan
bagi semua gejala dalam sejarah;"^
(c) membatasi diri dan merumuskan din sendiri,'*-^
Linguistik mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu-
71

ilmu lain yang kadang-kadang meminjamkan data, kadang-


kadang memasok data. Batas-batas yang memisahkan linguistik
dari ilmu-ilmu lain ini tidak selalu nampak dengan jelas.
Misalnya, linguistik harus dipisahkan sama sekali dari etnografi
dan prasejarah, di mana langue hanya campur tangan sebagai
dokumen; juga dibedakan dari antropologi,'*'* yang mempelajari
manusia hanya dari segi jenis, sedangkan langage adalah fakta
sosial. Tapi apakah lalu harus mengintegrasikan linguistik ke
dalam sosiologi? Apa hubungan antara linguistik dengan psikolo-
gi sosial? Pada dasarnya, semua psikologis sifatnya di dalam
langue, termasuk pengungkapan materi dan mekaniknya, mi
salnya perubahan bunyi; dan karena linguistik mensuplai psikolo-
gi sosial dengan data berharga ini, apakah tidak sepantasnya
linguistik menjadi bagian psikologi sosial? Pertanyaan yang
begitu banyak hanya kami singgung sedikit di sini untuk dibahas
kemudian.
Hubungan antara linguistik dan fisiologi tidak sulit untuk
diuraikan: hubungannya adalah unilateral, dalam arti bahwa
pengkajian langue membutuhkan penerangan dari fisiologi
bunyi, tetapi tidak memberikan data apa pun kepadanya.
Pokoknya perancuan di antara kedua disiplin ini tidak mungkin:
apa yang pokok bagi langue, akan kita lihat nanti, bukanlah ciri
fonis dari lambang bahasa."*^
Mengenai filologi, telah kami tetapkan: filologi jelas
berbeda dari linguistik, meskipun banyak titik-titik pertemuan di
antara kedua ilmu tersebut dan pelayanan timbal balik yang
mereka berikan.
Lalu apa kegunaan linguistik? Sedikit sekali orang yang
memiliki gagasan yang jelas mengenai hal ini; dan ini bukan
tempatnya untuk menetapkan gagasan-gagasan tersebut. Tetapi
yang jelas, misalnya, masalah-masalah bahasa menarik mereka
semua, ahli sejarah, ahli filologi, dan Iain-lain, yang pekerja'an-
nya menangani teks. Lebih jelas lagi pentingnya linguistik bagi
kultur pada umumnya: di dalam kehidupan individu dan
masyarakat, tidak ada faktor yang lebih penting daripada
langage. Tidak dapat diterima kalau pengkajiannya tetap men
jadi bagian beberapa ahli; sebenarnya semua orang sedikit
banyak mengurusinya; tetapi - konsekuensi paradoksal dari
72

pentingnya langage - tidak ada bidang di mana muncul begitu


banyak gagasan absurd, prasangka, ilusi, fiksi. Dari segi psi-
kologi, kekeliruan-kekeliruan ini tidak dapat diremehkan;
namun tugas ahli linguistik khususnya adalah memaparkan
kekeliruan tersebut, dan sedapat mungkin menghilangkannya.
BAB III

OBJEK LINGUISTIK fC

1. Langue;definisinya"*^ i !
Apa objek'*^ otentik dan konkret bagi linguistik? Per-
tanyaan ini sulit sekali; akan kita lihat nanti mengapa; mari kita
berusaha untuk menemukan kesujitan itu.
Ilmu-ilmu yang lain beroperasi pada objek-objek yang
sudah tersedia sebelumnya dan yang kemudian dapat ditinjau
dari berbagai segi; di dalam bidang kita, ha! ini tidak terjadi.
Seseorang melafalkan kata Perancis nu: seorang pengamat yang
dangkal akan tergoda untuk melihatnya sebagai objek konkret
bagi linguistik; tetapi kalau diperiksa lebih teliti akan didapatkan
berturut-turut tiga atau empat hal yang sama sekali berbeda,
tergantung dari cara kita mengamatinya: sebagai bunyi, sebagai
pengungkapan suatu gagasan, sebagai turunan dari Latin nudum,
dan sebagainya. Sama sekali bukan objek yang mendahului sudut
pandang, nampaknya sudut pandang yang menciptakan objek,
lagi pula tak ada satu pun petunjuk sebelumnya bahwa salah satu
dari cara menelaah fakta tersebut adalah lebih awal atau lebih
tinggi dari cara yang lain.
Sebaliknya, apa pun cara yang dipakai, gejala bahasa terus
menerus memperlihatkan dua muka"*^ yang berkaitan dan muka
yang satu hanya ada kalau ada muka yang lain. Misalnya:
74

1 . Suku-suku kata yang dilafalkan merupakaa kesan akus-


tis yang tertangkap oleh telinga, tctapi bunyi-bunyi itu tak akan
ada tanpa alat-alat bunyi: demikianlah n hanya ada dalam kaitan
dengan kedua aspek di atas. Jadi, kita tidak dapat memeras
langue dalam bentuk bunyi, maupun memisahkan bunyi dari
gerak mulut; timbal baliknya, orang tidak mungkin merumuskan
gerak alat-alat bunyi kalau tidak menggunakan kesan akustis
(lihat halaman|l()9 dan seterusnya).
2. Tapi marl kita anggap bahwa bunyi merupakan benda
yang scderhana: apakah bunyi yang membuat lungage'? Tidak,
bunyi hanyalah alat peniikiran dan tidak hadir dengan sendirinya.
Dari sini niuncul kaitan baru yang cukup rumit: satuan akustis
vokal yang kompleks bersama gagasan membentuk sebuah satu
an sengkarut, baik fisiologis maupun mental. Dan ini belum lagi
seluruhnya:
3. Langage memiliki segi individual dan segi sosial, dan
kita tidak dapat menelaah yang satu tanpa yang lain. Sebaliknya:
4. Setiap ScVaX langage sekaligus berimplikasi sebuah sistem
yang tetap dalam suatu evolusi; setiap saat langage merupakan
institusi mutakhir dan hasil masa lalu. Pada pandangan pertama,
nampaknya sangat mudah untuk membedakan sistem ini dari
sejarahnya, antara apa adanya dan apa tadinya; kenyataannya,
hubungan yang mengikat kedua hal tersebut begitu erat sehingga
sulit untuk dipisahkan. Apakah masalahnya akan lebih sederhana
seandainya kita menelaah gejala bahasa dari asalnya, seandainya
kita mulai dengan mempelajari langage anak-anak?''^ Tidak,
karena kelirulah gagasan kita kalau mengira bahwa dalam hal
langage, masalah asal berbeda dengan keadaan yang permanen.^"
Dengan kata lain kita tidak keluar dari lingkaran.
Demikianlah, dari sudut mana pun kita mengkaji rhasa-
lahnya, tak satu pun tempat di mana objek linguistik yang sejati
tampil di hadapan kita; di mana pun, kita menjumpai dilema ini;
atau kita mementingkan hanya satu segi dari setiap masalah,
maka kita ccndcrung untuk tidak menangkap dualitas yang
disebutkan di atas; atau, kalau kita mempelajari langage dari
segala segi sekaligus, objek linguistik akan nampak bagi kita
sebagai setumpukan benda heteroklit yang kacau balau, tanpa
hubungan di antara mereka. Kalau kita mengikuti cara ini, maka
75

kita membuka pintu bagi berbagai ilmu - psikologi, antropologi,


tata bahasa normatif, filologi, dan sebagainya, - yang jelas kita
bedakan dari linguistik, tetapi yang, karena adanya metode yang
keliru, dapat menurut langage sebagai salah satu objek mereka.^'
Menurut hemat kami, cuma ada satu jalan keluar bagi
semua kesulitan ini; kita hams menempatkan dirt khususnya di
bidang langue dan menganggapnya sebagai norma dari segala
pengungkapan langage yang lain.
Rupanya, di antara sekian banyak duaiitas, langue\ah satu-
satunya yang nampaknya mungkin didefinisikan seeara otonom
dan memberikan titik tolak yang memuaskan.
Tetapi apakah langue itu?^^ Bagi kami langue berbeda dari
langage-,^^ kalau langue hanya merupakan suatu bagian tertentu,
pokok, itu benar. Langue sekaligus merupakan produk masyara-
kat dari langage dan suatu himpunan konvensi yang perlu, yang
diterima oleh seluruh masyarakat untuk memungkinkan berfung-
sinya langage pada diri para individu. Dilihat secara keseluruhan,
langage adalah multi bentuk dan heteroklit; dan psikis, ia pun
menjadi bagian, baik dari bidang individu maupun dari bidang
sosial; ia tidak dapat diklasifikasikan dalam kategori fakta
kemanusiaan mana pun karena kita tidak tahu bagaimana
menonjolkan keutuhannya.
Langue, sebaliknya merupakan suatu keutuhan dan suatu
prinsip klasifikasi. Begitu kita berikan tempat baginya, yang
pertama di antara fakta-fakta langage, kita memasukkan suatu
pengaturan di dalam suatu himpunan yang tidak dapat dimasuk-
kan klasifikasi mana pun.
Orang dapat membantah dasar klasifikasi ini dengan
mengatakan bahwa berfungsinya langage terdapat pada keadaan
yang kita dapat dari alam, sedangkan langue adalah suatu hal
yang dihayati dan konvensional, yang seharusnya dibawahi oleh
naluri alami dan bukan dilangkahi.
Inilah jawabannya.
Pertama, tidak terbukti bahwa fungsi langage, sebagaimana
fungsi tersebut diungkapkan pada saat kita bicara, seluruhnya
alami, artinya bahwa alat bunyi kita dibuat untuk berbicara
seperti kaki kita yang dibuat untuk berjalan.^'' Para linguis sangat
w

76

tidak setuju mengenai hal ini. Schingga menurut Whitney, yang


mcngasimilasikan langue dengan suatu pranata sosial seperti juga
bentuk-bentuk pranata yang lain, adalah suatu kebetulan, de
ngan alasan kemudahan bahwa kita menggunakan alat bunyi se-
bagai alat langue: manusia mungkin saja lebih memilih gerak dan.
menggunakan gambar visual daripada gambaran akustis.^^ Ke-
mungkinan besar pendapat tersebut terlalu mutlak; langue
bukanlah pranata sosial yang persis sama dengan pranata yang
lain (lihat halaman 148 dan seterusnya dan halaman 157-158);
lagi pula Whitney melangkah terlalu jauh dengan mengatakan
bahwa pilihan kita jatuh secara kebetulan pada alat bunyi;
padahal pilihan ini seakan dipaksakan oleh alam. Tetapi menge
nai satu hal, linguis Amerika ini benar: langue adalah suatu
konvensi, dan jenis tanda yang kita gunakan tidak jadi soal. Jadi,
masalah alat bunyi adalah sekunder di dalam masalah langage.
Suatu definisi dari apa yang disebut langage larticuli dapat
menegaskan gagasan tersebut. Dalam bahasa Latin, articulus
berarti "anggota, bagian, subbagian di dalam urutan benda".
Dalam hal langage, artikulasi dapat berarti subbagian ujaran
dalam suku kata, atau pun subbagian rantai makna dalam satuan
yang mengandung makna, dalam pengertian inilah orang berkata
dalam bahasa Jerman gegliederte Sprache. Atas dasar definisi
kedua ini, kita dapat mengatakan bahwa bukan langage lisan,
yang alamiah pada diri manusia, melainkan kemampuan mem-
bentuk suatu langue, artinya suatu sistem berbagai tanda yang
sesuai dengan berbagai gagasan.
Broca telah menemukan bahwa kemampuan berbicara
terletak di dalam otak depan kiri; atas dasar ini orang mengata
kan bahwa langage berciri alamiah.''^ Tetapi kita tahu bahwa
lokaiisasi ini telah ditetapkan bagi segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan langage, termasuk tulisan, dan penetapan
ini, bersama dengan penelitian yang dilakukan tentang berbagai
bentuk afasia karena kerusakan pada bagian otak ini, nampaknya
menunjukkan: 1) bahwa kesulitan pada bahasa lisan selalu ada
kaitannya dengan kesulitan pada bahasa tertuiis; 2) bahwa dalam
semua kasus afasia atau agrafia yang terkena bukanlah kemam
puan untuk menghasilkan suatu bunyi atau menelusuri suatu
tanda, melainkan kemampuan untuk menciptakan dengan suatu
77

alat, apa pun alat itu, tanda-tanda suatu iangage yang teratur
Semua ini membuat kita percaya bahwa di atas kegiatan berbagai
alat terdapat suatu kemampuan yang lebih umum, yang meme-
rintah tanda-tanda, dan inilah kemampuan berbahasa. Dan dari
situ kita dibawa ke kesimpixlan yang sama dengan yang di atas.
Untuk menempatkan langue di tempat pertama dalam
pengkajian Iangage, kita dapat mempertahankan argumen be-
rikut, bahwa kemampuan -alami atau tidak - untuk mengartiku-
lasikan kata-kata^*^ hanya muiigkin dengan bantuan alat yang
diciptakan dan disediakan oleh kelompok; jadi bukanlah angan-
angan untuk mengatakan bahwa langueXah yang merupakan
satuan Iangage.

2. Tempat Langue di dalam Peristiwa Langage

Untuk menemukan di dalam himpunan langage, bidang


yang menyerupai langue, kita hams menempatkan diri di depan
tindak individual yang memungkinkan kita untuk menyusun
kembali sirkuit kata-kata.^ Tindak ini mensyaratkan paling
sedikit dua individu; ini minimum yang hams dicapai agar
sirkuitnya lengkap. Jadi, misalnya dua orang, A dan B, yang
bercakap-cakap:
78

Titik tolak sirkuit ada di dalam otak salah satu, misalnya A,


di mana fakta sadar, yang kami sebut konsep, diasosiasikan
dengan penampilan lambang bahasa atau gambaran akustis yang
digunakan untuk mengungkapkan mereka. Anggaplah suatu
konsep tertentu menimbulkan di dalam otak suatu gambar
akustis yang sesuai: hal ini merupakan gejala psikis; kemudian
diikuti oleh proses fisiologis: otak mengantarkan pada alat-alat
bunyi suatu impuls yang sesuai dengan gambar. Kemudian
gelombang bunyi memancar dari mulut A ke kuping B; proses
fisik murni. Kemudian sirkuit berlangsung dalam diri B dengan
urutan terbalik: dari kuping ke otak, transmisi fisiologis dari
gambaran akustis; di dalam otak, asosiasi psikis dari gambar itu
dengan konsep yang sesuai. Kalau B sekarang yang berbicara,
tindak baru ini akan mengikuti - dari otaknya ke otak A - jalan
yang persis sama dengan yang pertama dan melalui tahap urutan
yang sama, yang dapat digambar sebagai berikut:
Pendengaran Pembunyian
-«4"

k: Konsep
g: Gambar akustis

Pembunyian Pendengaran

Analisis ini tidak menganggap diri lengkap; masih mungkin


dibedakari lagi antara: sensasi akustis murni, identifikasi sensasi
tersebut dengan gambar akustis laten, gambar tata otot pada
pembunyian, dan seterusnya. Kami hanya memperhatikan unsur-
unsur yang dinilai pokok; tetapi tabel kami memungkinkan untuk
segera membedakan bagian-bagian fisik (gelombang suara) dari
bagian fisiologi (pembunyian dan pendengaran) dan psikis
(gambar verbal dan konsep). Sangat perlu dicatat bahwa gambar
verbal tidak berbaur dengan suara itu sendiri dan bahwa gambar
verbal adalah psikis, sama dengan konsep yang berhubungan
dengannya.
79

Sirkuit, seperti yang kami sajikan, dapat dibedakan lagi


atas:
a) bagian luar (getaran bunyi yang bergerak dari mulut ke
hidung) dan bagian dalam, yang menyangkut sisanya;
b) menjadi bagian psikis dan bagian non-psikis, yang kedua
mencakup baik fakta fisiologi yang berkedudukan dalam alat-
alat, maupun fakta fisik di luar individu;
c) bagian aktif dan bagian pasif: yang aktif adalah segala
yang bergerak dari pusat asosiasi seorang penutur ke telinga
penutur lainnya, dan yang pasif adalah segala yang bergerak dari
telinga penutur terakhir ini ke pusat asosiasinya;'''
Terakhir, di dalam bagian psikis yang terletak di dalam
otak, orang dapat menyebut pengungkapan bagi segala yang aktif
(k-g) dan reseptif bagi segala yang pasif (g-k).
Perlu ditambahkan kemampuan asosiasi dan koordinasi,
yang pengungkapannya dalam bentuk tanda yang tidak lagi
berdiri sendiri; kemampuan inilah yang memainkan peran terse-
bar di dalam organisasi langue sebagai sistem (lihat halaman 219
dan seterusnya).^^
Tetapi untuk dapat memahami dengan baik peran ini, kita
harus keluar dari tindak individual, yang hanya merupakan
embrio dari langage, dan menelaah peristj^a sosial.
Di antara semua individu yang dipersatukan oleh langage,
tersedia semacam sarana: semua memproduksi kembali, — ke-
mungkinan besar tidak secara tepat, tetapi kira-kira — tanda-
tanda yang sama yang dihubungkan pada konsep-konsep yang
sama.

Di mana asal kristalisasi sosial tersebut? Bagian mana dari


sirkuit yang mungkin dipermasalahkan di sini? Karena mungkin
saja semuanya juga tidak berperan serta di sini.
Bagian fisik dapat segera dikesampingkan. Kita akan
mendengarkan orang berbicara dalam langue yang tidak kita
kenal, kita memang menangkap bunyi-bunyi, tetapi, karena kita
tidak paham, kita berada di luar peristiwa sosial.
Bagian psikis pun tidak seluruhnya berperan: segi pengung
kapan berada di luar permasalahan karena pengungkapan tidak
pernah dilakukan secara masal; pengungkapan selalu individual,
dan individu selalu menjadi tuan pengungkapannya sendiri; kita
80

akan menyebutnya parole.^''


Berkat kerja kemampuan reseptif dan koordinatiflah ter-
bentuk pada diri penutur, guratan yang kurang lebih sama bagi
semuanya. Bagaimana produk sosial ini disajikan agar langue
muncul secara terpisah sama sekali dari yang lain? Seandainya
kita dapat mencakup jumlah gambar verbal yang dibayangkan
oleh semua individu, kita akan menyentuh kaitan sosial yang
membentuk langue. Ini adalah perbendaharaan yang tertumpuk
dari praktek parole pada diri para penutur yang adalah anggota
masyarakat yang sama. Suatu sistem tata bahasa yang praktis
hadir dalam setiap otak, atau lebih tepat lagi di dalam otak
sekumpulan individu. Karena langue tidak lengkap dalam diri
seorang individu pun, ia hanya hadir secara sempurna di dalam
massa.^"*
Dengan memisahkan langue dari parole, kita sekaligus
memisahkan: 1) apa-apa yang sosial dari apa-apa yang individual;
2) apa-apa yang pokok dari apa-apa yang tambahan dan kurang
lebih bersifat kebetulan.'"-''
Langue bukan kegiatan penutur, langue merupakan produk
yang "direkmrf individu secara pasif; langue tidak pernah menga-
sumsikan premeditasi, dan penalaran hanya turut campur pada
kegiatan klasifikasi yang akan ditelaah pada halaman 219 dan
seterusnya.
Parole_sebaliknya adalah suatu tindak individual dari,
kemaiian dan kecerdasan dan dalam tindak ini perlu dibedakan;
1) kombinasi-kombinasi kode^*" bahasa yang dipergunakan penu
tur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya; 2) mekanisme
psikis-fisik yang memungkinkan dia mengungkapkan kombinasi-
kombinasi tersebut.^^
Perlu dicatat bahwa kami telah merumuskan hal dan bukan
kata; sehingga pembedaan yang telah ditetapkan tidak perlu
diraneukan dengan istilah ambigu yang bertumpang tindih antara
langue yang satu dengan langue yang lain. Misalnya, dalam
bahasa Jerman Sprache berarti langue dan langage, Rede kurang
lebih bermakna parole, tetapi mencakup pula makna khusus,
yaitu "wacana". Dalam bahasa Latin, sermo tepatnya bermakna
langage dan parole sedangkai! lingua berarti langue, dan seterus
nya. Tak satu kata pun berkaitan .secara tepat dengan pengertian-
81

pengertian yang telah dijelaskan di atas; oleh karena itu seg^la


definisi yang dibuat mengenai suatu kata akan sia-sia. Adalah
salah suatu metode yang bertolak dari kata untuk merumuskan
hal.^«
1) Langue adalah suatu benda tertentu di dalam kumpulan
heteroklit peristiwa-peristiwa langage. Kita dapat melokalisasi di
dalam bidang yang pasti di dalam arus di mana gambaran
berasosiasi dengan konsep. Langue adalah bagian sosial dari
langage, berada di luar individu, yang secara mandiri tidak
mungkin menciptakan maupun mengubahnya. Langue hanya
hadir sebagai basil semacam kontrak di masa lalu di antara para
anggota masyarakat. Lagi pula individu perlu belajar untuk
mengenai aturan permainannya; seorang anak hanya dapat
menghayati sedikit demi sedikit.^^ Langue merupakan sesuatu
yang berbeda dari seorang manusia yang dikucilkan dari penggu-
naan parole, yang menyimpan langue, asal ia memahami
lambang-lambang bunyi yang didengarnya.
2) Langue, berbeda dari parole, merupakan objek yang
dapat diteliti secara terpisah. Kita tidak lagi bicara tentang langue
mati, tetapi kita sangat mungkin mempelajari organisme langue
tersebut. Bukan saja ilmu bahasa dapat mengesampingkan unsur-
unsur langage yang lain, tetapi ilmu bahasa hanya mungkin kalau
unsur-unsur yang lain tersebut tidak tercampur di dalam langue.
3) Kalau langage bersifat heterogen, langue yang lebih
terbatas bersifat homogen: langue adalah sistem lambang di mana
yang terpenting adalah persatuan makna dengan gambaran
akustis dan di mana kedua bagian dari lambang itu juga psikis
sifatnya.
I 4) Langue, tak lebih dan tak kurang dari parole, adalah
suatu objek yang sifatnya konkret, dan hal ini sangat mengun-
tungkan pengkajiannya. Lambang-lambang bahasa, supaya pada
dasarnya bersifat psikis, tidak merupakan abstraksi; asosiasi yang
dihalalkan oleh musyawarah kolektif, dan yang seluruhnya
membentuk langue, adalah realitas yang berkedudukan di dalam
otak^Dengan kata lain lambang-lambang bahasa dapat dianggap
sebagai teraba. Tulisan dapat mengkodifikasikannya dalam
gambar-gambar konvensional, sedangkan tidak mungkin me-
motret pertuturan secara terinci; pembunyian sebuah kata.
82

sekecil apa pun, menunjukkan gerakan otot yang tidak terbatas


dan sangat sulit untuk diketahui maupun digambar. Sebaliknya
dalam langue tidak ada lagi gambaran akustis, dan langue dapat
ditafsirkan dalam gambar visual yang khusus. Mengingat jika kita
mengabstraksikan gerakan yang perlu tersebut untuk mengung-
kapkannya di dalam parole, setiap gambaran akustis, seperti
akan kita lihat, hanyalah kumpulan dari unsur-unsur atau fonem
yang jumlahnya terbatas, yang juga berkemungkinan untuk
digambarkan oleh sejumlah lambang yang sesuai di dalam
tulisan. Kemungkinan mengkodifikasikan unsur-unsur bahasa
inilah yang membuat kamus dan buku tata bahasa merupakan
penampilan andal karena langue merupakan inventaris gambaran
akustis, dan tulisan adalah bentuk teraba dari gambar tersebut.™

3. Tenipat Langue di dalam Fakta-fakta Manusia, Semioiogr'

Ciri tersebut membuat kita menemukan ciri lain yang lebih


penting. Langue yang dibatasi sedemikian rupa di dalam sekum-
pulan fakta-fakta langage dapat diklasifikasikan di antara berba-
gai fakta manusia, sedangkan langage tidak.
Kita baru saja melihat bahwa langue adalah suatu pranata
sosial; tetapi ia berbeda karena berbagai ciri dari pranata politis^
hukum,dan Iain-lain. Untuk mengetahui cirinya yang khas, harus
dimasukkan kelas fakta yang baru.
Langue adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan
gagasan, dan oleh karenanya dapat dibandingkan dengan tulis
an dengan abjad tuna rungu, dengan ritus simbolis, dengan
bentuk-bentuk sopan santun, dengan tanda-tanda militer, dan
Iain-lain. Hanyaj bedanya langue merupakan yang terpenting di
antara sistem-sistem tersebut.™
Jadi kita dapat menerima suatu ilmu yang mengkaji
kehidupan tanda-tanda di dalam kehidupan sosial; langue mung-
kin akan menjadi bagian dari psikologi sosial; dan dengan
sendirinya dari psikologi umum; kita akan menyebutnya semiolo-
g/'(dari bahasa Yunani semeionn,"tanda").™
Semiologi mungkin akan menunjukkan kepada kita terdiri
83

dari apa saja tanda-tanda tersebut, hukum apa saja yang


mengatur mereka. Karena ilmu tersebut belum ada, dapat
dikatakan bahwa ilmu tersebut tidak akan ada; tetapi ilmu
tersebut berhak untuk hadir, tempatnya telah ditetapkan sebe-
lum ia lahir. Linguistik hanyalah satu bagian dari ilmu yang
umum itu, hukum yang akan ditemukan oleh semiologi akan dapat
diterapkan pada linguistik, dan linguistik akan berkaitan dengan
suatu bidang yang sangat khusus di dalam kumpulan fakta
manusia. Adalah tugas ahli psikologi untuk menetapkan tempat
yang tepat bagi semiologi;" tugas ahli linguistik adalah merumus-
kan apa yang membuat langue menjadi suatu sistem khas di
dalam kumpulan peristiwa semiologis. Masalah itu akan dibicara-
kan di bawah ini. Di sini kita hanya mengingat satu hal: kalau
untuk pertama kalinya kita telah dapat memberi tempat linguistik
di antara ilmu-ilmu, itu adalah karena kita telah mengaitkannya
dengan semiologi.
Mengapa semiologi belum diakui sebagai ilmu yang oto-
nom, yang, seperti ilmu mana pun, memiliki objek yang khas
baginya? Hal itu adalah karena kita berputar di dalam sebuah
lingkaran: di satu pihak, tak ada yang lebih khas daripada langue
untuk membuat orang mengerti hakekat masalah semiologi;
tetapi, untuk menyajikannya seeara memadai,langue perlu dikaji
dari dalam. Sementara itu, sampai kini, orang hampir selalu
menelaah langue untuk keperluan lain, dari sudut pandang lain.
Pertama, ada konsepsi dangkal di dalam masyarakat luas:
yaitu masyarakat melihat langue sebagai suatu tata nama (lihat
halaman 145). Hal itu meniadakan segala penelitian mengenai
hakekat langue yang sebenarnya.^'*
Kemudian, ada pendapat ahli psikologi yang meagkaji
mekanisme tanda pada diri individu; sudut pandang ini merupa-
kan metode yang paling mudah, tetapi tidak membawa kita lebih
jauh dari pengungkapan individual dan tidak mencapai tanda,
yang hakekatnya sosial.
Atau pun juga, apabila orang mendapati bahwa tanda harus
dikaji seeara sosial, orang hanya memperhatikan eiri-eiri bahasa
yang mengaitkannya dengan pranata-pranata lain, yaitu pranata
yang kurang lebih tergantung dari kemauan kita. Oleh kare-
nanya, dengan mengesampingkan eiri-eiri yang hanya menjadi
84

bagian sistem semiologis umumnya dan langue khususnya, orang


tidak sampai ke sasaran. Tanda pada tingkatan tertentu selalu
juga menghindar dari kemauan pribadi atau sosial, dan itu ciri
tanda yang khas; tetapi ciri itu pula yag tidak nampak pada
pandangan pertama.
Dengan demikian, ciri tersebut hanya muncul secara jelas
di dalam langue, tetapi ia tampil di dalam hal-hal yang paling
sedikit ditelaah, dan sebagai akibatnya orang tidak melihat
dengan jelas perlunya atau kegunaan yang khas dari ilmu
semiologi. Bagi kita, sebaliknya. Masalah langue di atas sega-
lanya adalah masalah semiologis, dan semua pengembangan kita
mengambil manfaat dari fakta yang penting ini. Kalau kita ingin
menemukan hakekat langue yang sebenarnya, kita harus mem-
perhatikan langue pertama-tama dari apa-apa yang ada kesa-
maannya dengan semua sistem yang organisasinya sama, dan
faktor-faktor bahasa yang nampaknya seakan sangat penting
pada pandangan pertama (misalnya peran alat wicara), harus
diperhatikan hanya pada tataran kedua, yaitu apabila faktor-
faktor tersebut berguna untuk membedakan langue dari sistem-
sistem lain. Dengan cara ini, kita tidak hanya menerangi masalah
bahasa, tetapi sambil memperhatikan ritus, adat istiadat, dan
sebagainya sebagai tanda, kita berpikir bahwa fakta bahasa
muncul dalam bentuk lain, dan kita merasakan perlunya menge-
lompokkan mereka di dalam semiologi dan menjelaskan mereka
dengan hukum-hukum ilmu tersebut.

Catatan
1. Perlu dihindari perancuan semiologi dengan semantik yang menelaah
perubahan-perubahan makna, yang oleh Ferdinand de Saussure tidak
ditelaah secara metodis; tetapi perumusan prinsip dasarnya akan kita
temukan di halaman 156—157
2. Bandingkan Ad. Naville Classifications des sciences, ed. ke-2,ihalanian 104.
?!,_ ■. "t;>?
... r ,., >-

BAB IV

LINGUISTIK LANGUE DAN


LINGUISTIK PAROLE^'

Dengan memberikan kepada ilmu bahasa tempat yang


tepat di dalam kumpulan pengkajian langage, kita sekaligus telah
menetapkan linguistik secara utuh. Segala unsur langage yang
lain, yang membentuk parole, menempatkan diri dengan sen-
dirinya di bawah ilmu yang pertama tersebut, dan berkat
subordinasi inilah semua tataran linguistik mendapatkan tempat-
nya yang wajar.
Mari kita perhatikan, misalnya, produksi bunyi yang
diperlukan parole: alat wicara sama eksternnya terhadap langue
seperti alat-alat listrik yang dipergunakan untuk mentranskripsi
abjad Morse berada di luar abjad tersebut; dan penyembunyian,
dalam arti pengungkapan gambaran akustis, tidak ada pe-
ngaruhnya sama sekali bagi sistem itu sendiri. Dalam hubungan
ini, kita dapat membandingkan langue dengan sebuah simfoni
yang kenyataannya tidak tergantung dari cara mengungkapkan-
nya; kesalahan-kesalahan yang mungkin dibuat oleh para pemain
musik yang memainkannya tidak mempengaruhi kenyataan ter
sebut sama sekali.^''
Kita mungkin dapat mengoposisikan pemisahan pem-
bunyian, dari langue dengan transformasi fonetis, alternasi bunyi
yang dihasilkan dalam parole dan yang memberi pengaruh begitu
mendalam pada nasib langue itu sendiri. Apakah kita berhak
untuk menganggap bahwa langue hadir bebas dari gejala terse-
86

but? Ya, karena gejala tersebut hanya mengenai substansi


material dari kata. Kalau mereka mempengaruhi langue sebagai
sistem tanda, itu hanya secara tidak langsung, melalui perubahan
interpretasi yang diakibatkannya, sedangkan gejala itu sendiri
tidak ada hubungannya dengan fonetik (lihat halaman 168--169).
Mungkin menarik untuk diteliti sebab-sebab perubahan tersebut,
dan pengkajian bunyi akan membantu kita. Tetapi hal itu bukan
yang terpenting: bagi ilmu bahasa, cukuplah kalau dinyatakan
adanya transformasi bunyi dan dihitung dampaknya.
Dan apa yang telah kami bicarakan mengenai pembunyian
akan benar pada tataran parole yang lain. Kegiatan penutur harus
dikaji di dalam keseluruhan disiplin yang mempunyai tempat di
dalam linguistik hanya dalam hubungan mereka dengan langue.
Jadi pengkajian langage terdiri dari dua bagian: yang satu,
yang penting, berobjek langue, yang pada dasarnya sosial dan
tidak tergantung dari individu: pengkajian ini khususnya psikis;
yang lain, yang sekunder, berobjek tataran individual dari
langage, artinya parole termasuk di dalam pembunyian:
bagian ini sifatnya psikis-fisik.^^ .
Kemungkinan besar, kedua objek itu berkaitan erat dan
saling menunjang: langue perlu agar parole dapat saling dipahami
dan menghasilkan segala dampaknya, tetapi parole perlu, agar
langue terbentuk. Secara historis, faktaparole selalu mendahului.
Bagaimana mungkin kita menghubungkan suatu gagasan dengan
suatu gambar verbal, seandainya orang tidak terlebih dahulu
menangkap hubungan tersebut di dalam suatu pertuturan? Di
lain pihak, hanya dengan mendengar orang lainlah kita belajar
bahasa ibu kita; bahasa ibu melembaga di dalam otak kita hanya
melalui urutan pengalaman yang tak terhitung jumlahnya.
Terakhir, paroleV^h yang membuat langue berubah: kesan-kesan
yang kita tangkap pada saat kita mendengar orang lainlah yang
mengubah kebiasaan bahasa kita. Jadi, ada saling keter-
gantungan antara langue dan parole; langue sekaligus alat dan
produk parole. Tetapi semua ini tidak menghalangi keduanya
untuk menjadi dua hal yang berbeda sama sekali.^*^
Langue hadir secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan
yang tersimpan di dalam setiap otak, kira-kira seperti sebuah
kamus yang semua eksemplarnya identik, yang akan terbagi di
87

kalangan individu (lihat halaman 80). Jadi langue adalah se-


suatu yang ada pada setiap individu, sama bagi semuanya dan
berada di luar kemauan penyimpannya. Cara hadirnya langue
dapat diungkapkan dengan rumus-rumus:
1 + 1 + 1 + 1 ... = 1 (mode^^ kolektif) <T>Aa Itr
Dengan cara bagaimana parole hadir dalam kolektivitas
yang sama? Parole adalah jumlah dari apa yang dituturkan orang
dan mengandiing: a) kombinasi individual, yang tidak lergantung
cfari kemauan mefeka yang menuturkannya, b) tindak pembu-
nyian yang juga suka rela, dan perlu bagi pengungkapan
kombinasi-kombinasi tersebut.^"
Jadi, tidak ada yang kolektif di dalam parole; pengung-
kapannya secara individual dan sementara. Jadi, tidak lebih dan
tidak kurang dari penjumlahan kasus-kasus khusus menurut
rumus:

(1 + r + 1" + 1"' ...)


Melihat alasan tersebut, akan tak masuk akal kalau kita
menggabung langue dan parole di bawah satu jurusan. Keselu-
ruhan global dari langage tidak diketahui karena tidak homogen,
sedangkan pembedaan dan subordinasi yang telah diusulkan
menjelaskan segalanya.
Demikianlah dikotomi pertama yang kita jumpai begitu
kita mencoba membuat teori langage. Harus dipilih antara dua
jalan yang tidak mungkin diambil sekaligus; jalan-jalan tersebut
harus ditelusuri secara terpisah.
Kalau perlu kita dapat mempertahankan nama linguistik
bagi masing-masing disiplin tersebut dan bicara tentang linguistik
parole.^^ Tetapi, jangan sampai disiplin tersebut dirancukan de
ngan linguistik yang sebenarnya, yaitu menjadikan /angae seba-
gai objek satu-satunya.
Kami akan berpegang hanya pada yang terakhir ini, dan
kalau di dalam penjelasan selanjutnya kami menggunakan
penerangan dari pengkajian parole, kami akan berusaha agar
tidak menghapus batas yang memisahkan kedua bidang tersebut.
i!. U:

•Vj .1

BAB V

UNSUR INTERN DAN UNSUR EKSTERN DARI


LANGUt?^

Definisi langue yang kami rumuskan beranggapan bahwa


kami akan membebaskan dari padanya semua yang asing bagi
organisme, bagi sistemnya, singkatnya semua yang disebut
dengan istilah "linguistik ekstern".®^ Padahal linguistik inilah
yang menelaah hal-hal penting, dan pada hal-hal inilah orang
terutama berpikir apabila orang melakukan pengkajian langage.
Hal tersebut adalah semua segi yang menghubungkan
linguistik dengan etnologi, semua hubungan yang mungkin ada
antara sejarah suatu langue dan sejarah suatu ras atau suatu
kebudayaan. Kedua sejarah tersebut berbaur dan menjaga
hubungan timbal balik. Hal ini mengingatkan kita sedikit pada
hubungan yang didapati di antara gejala-gejala linguistik yang
sebenarnya (lihat halaman 73 dan seterusnya). Adat istiadat
suatu bangsa menimbulkan reaksi balik terhadap langue-nya,
dan, di lain pihak, langueAah yang membentuk bangsa dalam
lingkup yang luas.'^"'
Kedua, perlu disebut hubungan yang ada antara langue dan
sejarah politik. Peristiwa-peristiwa sejarah seperti pendudukan
Romawi, memiliki dampak yang tak terbilang pada sekian
banyak fakta bahasa. Penjajahan, yang hanya satu bentuk dari
pendudukan, membawa suatu langue ke wilayah yang berbeda-
beda sehingga mengakibatkan perubahan di dalam langue
tersebut. Dapat disebutkan sebagai contoh, segala jenis peristi-
89

wa: Norwegia telah menerima bahasa Denmark dengan menyatu-


kan diri secara politis dengan negara tersebut; memang benar
kini bangsa Norwegia mencoba untuk menghapuskan pengaruh
bahasa tersebut. Politik dalam negeri pun tidak kurang penting-
nya bag! kehidupan langue: pemerintah tertentu seperti Swiss,
mengakui kehadiran sejumlah langue, sedangkan Perancis, cen-
derung ke kesatuan bahasa-bahasa khusus (bahasa hukum, tata
istilah ilmu, dan Iain-lain).
Hal ini membawa kita pada butir ketiga: hubungan langue
dengan berbagai bentuk pranata, agama, sekolah, dan Iain-lain.
Pranata-pranata tersebut juga berkaitan erat dengan pengem-
bangan sastra suatu langue, gejala yang sangat umum yang tidak
dapat dipisahkan dari sejarah politik. Dari segala jurusan, bahasa
sastra melampaui batas-batas yang nampaknya digariskan oleh
kesusasteraan; coba kita tinjau pengaruh salon, istana, akademi-
akademi. Di lain pihak bahasa sastra menimbulkan masalah
besar dalam konflik yang terjadi antara bahasa tersebut dengan
dialek lokal (lihat halaman 323 dan seterusnya), ahli linguistik
harus pula meneliti hubungan antara bahasa buku dengan bahasa
sehari-hari karena bahasa sastra mana pun, yang merupakan
produk budaya, berhasil memisahkan wilayah eksistensinya dari
wilayah alami, yaitu wilayah bahasa percakapan.^^
Terakhir, apa pun yang berhubungan dengan perluasan
langue secara geografis dan dengan perbedaan dialek adalah
linguistik ekstern. Mungkin sekali, pada butir inilah pembedaan
antara linguistik ekstern dan linguistik intern nampak paling
paradoksal karena gejala geografis berkaitan erat dengan eksis-
tensi langue mana pun. Sementara itu, kenyataannya gejala
tersebut tidak mempengaruhi organisme intern langue.^^
Selama ini, orang menganggap bahwa sama sekali tidak
mungkin memisahkan masalah tersebut dari pengkajian langue
itu sendiri. Ini pendapat yang telah menguasai terutama sejak
orang begitu banyak menekankan "Realia" tersebut. Kalau
tanaman, organisme internnya diubah oleh faktor-faktor asing
seperti tanah, iklim, dan Iain-lain; bukankah organisme gramati-
kal terus-menerus tergantung dari faktor-faktor asing di luar
perubahan bahasa? Nampaknya istilah teknis dan kata pinjaman
90

yang membanjiri bahasa sukar dijelaskan kalau orang tidak


memperhatikan asal usulnya. Mungkinkah kita membedakan
perkembangan alami organis suatu idiom dari bentuk-bentuk
rekaan seperti bahasa sastra, yang disebabkan oleh faktor-faktor
ekstern, dan sebagai akibatnya tak organis?
Kita berpikir bahwa pengkajian gejala ekstern bahasa
sangat berguna; tetapi keliru kalau dikatakan bahwa tanpa
mereka kita tidak mungkin mengetahui organisme intern bahasa.
Mari kita ambil contoh kata pinjaman dari bahasa asing; semula
kita dapat melihat bahwa itu sama sekali bukan unsur tetap di
dalam kehidupan suatu langue. Di beberapa lembah yang
terpencil ada patois yang tidak pernah menerima istilah rekaan
satu pun dari luar. Apakah kita akan berkata bahwa bahasa-
bahasa tersebut membutuhkan pengkajian "teratologis" seperti
yang tidak mengenal pembauran? Tetapi, yang terutama, kata
pinjaman tidak diperhitungkan lagi sebagai kata pinjaman,
begitu kata tersebut ditelaah dalam lingkup sistem. Kata tersebut
hanya ada dalam hubungannya dan oposisinya dengan kata-kata
yang berasosiasi dengannya, sama saja dengan tanda pribiimi
mana pun. Secara umum,kita tidak pernah perlu untuk mengeta
hui keadaan di mana suatu langue berkembang'®® Bagi idiom
tertentu, seperti Zend dan Paleo Slavia, diketahui pun tidak
bangsa-bangsa yang telah mempergunakannya. Tetapi, ketidak-
tahuan itu tidak menghambat kita sama sekali untuk mempelajari.
idiom tersebut dari dalam dan untuk memperhitungkan perubah-
an yang mereka alami. Pokoknya, pemisahan kedua pendapat
ini perlu, dan makin kita meninjau secara ketat, makin baik.
Bukti terbaik adalah bahwa masing-masing pendapat terse
but menciptakan suatu metode yang berbeda. Linguistik ekstern
dapat mengumpulkan rincian demi rincian tanpa merasa terikat
di dalam lingkup sebuah sistem. Misalnya, tiap penulis dapat
mengelompokkan sesuka hatinya peristiwa-peristiwa yang berhu-
bungan dengan perluasan suatu bahasa sastra di hadapan dialek,
kita selalu dapat mempergunakan penghitungan sederhana.
Kalau kita mengatur peristiwa-peristiwa tersebut secara kurang
lebih sistematis, itu hanya untuk kebutuhan kejelasan.
Lain lagi halnya bagi linguistik intern. la tidak menerima
sembarang pengaturan; langue adalah suatu sistem yang memiliki
91

susunan sendiri. Perbandingan dengan permainan catur*^" akan


mcmperjelas ciri tersebut. Dalam catur lebih mudah dibedakan
antara ekstern dan intern; kenyataan bahwa permainan itu
berpindah dari Persia ke Eropa merupakan faktor ekstern,
sedangkan yang intern adalah segala yang mengenai sistem dan
aturan-aturannya. Kalau saya menukar bidak kayu dengan
bidak gading, perubahan ini tidak mempengaruhi sistem. Tetapi,
kalau saya kurangi atau saya tambah jumlah bidaknya, perubahan
ini akan sangat mempengaruhi "tata bahasa" permainan. Cukup
jelas pula bahwa perhatian khusus perlu untuk melakukan
pembedaan semacam ini sehingga di dalam setiap kasus orang
akan mengajukan pertanyaan mengenai hakekat gejala, dan
untuk menjawab pertanyaan tersebut orang akan meninjau
aturan berikut ini: yang intern adalah semua yang mengubah
sistem pada taraf mana pun.^'

i u V ;• 'i 1• Tl' j A' ?.i J fJ

hi -i
BAB VI

PENGUNGKAPAN LANGUE
MELALUI AKSARA

1. Perlunya Mengkaji Pokok Masalah Tersebut^^


Yang menjadi objek pengkajian kita adalah produk sosial
yang tersimpan di dalam otak setiap orang, artinya langue. Tetapi
produk tersebut berbeda sesuai dengan masyarakat bahasa: yang
tampil di hadapari kita adalah berbagai langue. Seorang ahli
linguistik dipaksa untuk mengenal sebanyak mungkin langue,
untuk menarik, dari tujuan dan perbandingan mereka, apa-apa
yang universal bagi semuanya.
Padahal kita mengenal langue pada umumnya hanya
melalui tulisan. Bagi bahasa ibu sekali pun, dokumen tersedia
setiap saat. Sedangkan bagi suatu idiom yang digunakan di
tempat yang jauh, lebih perlu lagi kita mengacu pada data
tertulis; apalagi kalau idiom tersebut tidak ada lagi. Untuk
mempergunakan dokumen langsung dalam kasus apa pun, setiap
saat, kita harus membuat apa yang kini dilakukan
• f
di Wina
93 T
dan*
Paris: yaitu koleksi contoh fonografis dan semua langue. Lagi
pula orang harus mengacu pada tulisan untuk menjelaskan
kepada orang lain teks yang dihimpun dengan cara ini.
Oleh karenanya, meskipun tulisan itu sendiri berada di luar
sistem intern, tidak mungkin kita menghindari cara yang terus-
97

abad XIV aksara tidak berubah lagi, sedangkan langue terus


berkembang, dan sejak saat itulah terjadi ketidaksesuaian yang
semakin parah antara bunyi dan ortograf. Akhirnya, karena
orang terus menyetujui bentuk yang tidak sesuai, hal itu
berakibat pada sistem tulisan itu sendiri: pengungkapan grafis oi
memiliki nilai yang tidak ada hubungannya dengan unsur-unsur
yang membentuknya.
Kita dapat menampilkan contoh yang tak terbatas jum-
lahnya. Dan kita bertanya, mengapa orang menuliskan mais dan
fait apa yang kita lafalkan dan fel Mengapa c sering sama
perannya dengan si Ini adalah karena kita mempertahankan
huruf yang tidak lagi memiliki kesahihan.
Sebab itu terjadi setiap waktu sekarang ini bunyi / kita yang
dipatalisasi berubah menjadi yod', kita mengucapkan eveyer,
mouyer, seperti essuyer^ nettoyer, tetapi kita tetap menulis
eveiller, mouiller.
Sebab lain dari ketidaksesuaian antara grafi dan lafal:
apabila suatu masyarakat meminjam abjadnya d^ri masyarakat
lain,sering terjadi sumber sistem grafi tersebut disesuaikan secara
salah pada fungsinya yang baru, orang terpaksa mereka-reka,
misalnya orang akan menggunakan dua huruf untuk menampil
kan satu bunyi. Ini adalah kasus 'P (frikatif dental tak bersuara)
pada bahasa-bahasa Germania: abjad Latirt tidak menyediakan
lambang apa pun untuk mengungkapkannya sehingga orang
membuat th. Raja Merovia, Chilperic mencoba untuk menam-
bahkan di antara huruf Latjn, lambang khusus bunyi tersebut,
tetapi ia tidak berhasil, dan kelaziman mempertahankan th.
Bahasa Inggris abad pertengahari pernah. memiliki e tertutup
(misalnya dalam sed "pembibitan"), dan e terbuka (misalnya
dalam led "mengar^kan") karena abjad tidak menyediakan
lambang yang berbeda untuk kedua bunyi tersebut, orang
menggunakannya untuk menuliskan seed dan lead. Dalam bahasa
Perancis, untuk mengungkapkan bunyi desis s, orang mengguna
kan lambang ganda ch, dan seterusnya.
Masih ada persoalan lain, yaitu etimologi; masalah ini
hangat pada abad-abad tertentu, misalnya di zaman Renaisans.
Bahkan sering etimologi keliru yang memaksakan grafi; akibatnya
orang menambahkan d dalam kata poids, seakan kata tersebut
98

berasal dari bahasa Latin pondus, padahal sebenamya la berasal


dari pensum. Tetapi tidak penting apakah penerapan prinsip
tersebut benar atau tidak: prinsip aksara etimologis itu sendirilah
yang keliru.
Pi tempat lain, sebab tidak ada; beberapa tindakan
berlebihan bahkan tidak dapat berlindung di baUk etimologi.
Mengapa dalam bahasa Jerman orang menulis than dan bukan
tunl Dikatakan bahwa h melambangkan aspirasi yang mengikuti
konsonan; kalau begitu seharusnya h ditaitibahkan di mana pun
ada aspirasi, dan sekian banyak kata tidak pernah ditulis dengan
h {Tugend, Tisch, dan sebagainya).

5. Dampak Ketidaksesuaian^^

Akan terlalu panjang kalau kita mengklasifikasi ketidak-


konsekuenan tulisan. Salah satu yang paling parah adalah
banyaknya tanda yang digunakan untuk bunyi yang sama.
Misalnya, bagi i, di dalam bahasa Perancis kita memiliki /, g, ge
(jolt 'cantik', geler *membeku', geai 'beo'); bagi z tanda z dan ^
untuk tanda s, c, f, dan t(nation 'bangsa'),ss(chasser 'berburu'),
sc (acqukscer 'mQnyctapxi'), sg (acquiesgant 'yang menyetujui'),
X (dix 'sepuluh'); bagi k tanda c, qu, k, ch, cc, cqu (acquerir
'meniperoleh'). Sebaliknya, berbagai bunyi digambarkan oleli
tanda yang sama: misalnya t melambangkan t atau s; g melam
bangkan g atau z, dan seterusnya.'"®
Perlu dicatat pula "grafi tak langsung". Dalam bahasa
Jerman, meskipun sama sekali tidak ada konsonan ganda di
dalam Zettel, Teller, dan sebagainya, orang menuliskan tt, II
dengan tujuan satu-satunya, yaitu menunjukkan bahwa vokal
yang mendahului pendek dan terbuka. Dengan penyimpangan
yang sama pula bahasa Inggris menambahkan e pepet di akhir
kata untuk memanjangkan vokal yang mendahuluinya. Banding-
kan made 'membuat' (kala lampau) (lafalkan med) dan mad
(lafalkan mdd). Huruf e itu, yang sebenamya hanya dibutuhkan
dalam suku kata tunggal, menciptakan suku kata yang kedua bagi
mata.
Grafi yang tidak masuk akal tersebut masih erat hubungan-
r£RF yS"D\!rlAAs
99 I CADA^ BAHAS^
[;| pr-MH'v'.-f A %i
L .1' 'l. ■ .V'', " "'1"''.."!^
nya dengan sesuatu di dalain langue, sedangkan yang lain tidak
ada gunanya sama sekali. Bahasa Perancis mutakhir tidak
memiliki konsonan ganda, kecuali di dalam bentuk kuno dari
kala mendatang mourrai 'akanmatV, courrai 'akan lari'. Meski-
pun demikian, abjad kita mengada-ada konsonan ganda yang
tidak logis {bourru 'bengis', sottise 'kebodohan', souffrir 'nrien-
derita', dan sebagainya).
Pernah terjadi pula bahwa karena tidak ditetapkan dan
masih mencari kaidahnya, tulisan bimbang. Oleh karenanya
muncul ejaan yang mengambang yang menunjukkan adanya
coba-coba yang dilakukan di berbagai zaman untuk melambang-
kan bunyi. Misalnya dalam ertha, erdha, erda, atau pun dalam
thrl, dhri, dri, di dalam bahasa Jerman Tinggi Kuno, th, dh, d
melambangkan bunyi yang sama, tapi yang mana? Tidak mung-
kin kita mengetahuinya melalui tulisan. Akibatnya terjadi kom-
plikasi yaitu, di hadapan dua grafi yang bentuknya sama, orang
tidak selalu dapat memutuskan apakah itu melambangkan dua
lafal di dalam kenyataannya. Dokumen yang berisi dialek yang
berdekatan menuliskan kata yang sama dengan asca dan ascha.
Jika itu memang bunyi yang sama, contoh itu termasuk kasus
ejaan mengambang. Jika tidak sama, perbedaannya bersifat
fonologis dan dialektal, seperti pada bentuk-bentuk Yunani
palzd, palzdd, paiddo. Atau mungkin pula hal itu terjadi di
zaman yang berurutan. Misalnya mula-mula di dalam bahasa
Inggris terdapat hwat, hweel, dan sebagainya, kemudian what,
wheel, dan sebagainya, kita berhadapan dengan perubahan grafi
atau perubahan fonetik?
Hasil yang jelas dari itu semua adalah bahwa tulisan
mengaburkan langue. Tulisan bukan pakaian, melainkan penya-
maran. Contoh yang jelas adalah ejaaft kata Perancis oiseau
'burung' di mana tak satu pun bunyi dari pelafalannya {wazo)
dilambangkan oleh tanda yang seharusnya sehingga tak ada
gambaran langue yang tersisa.
Hasil yang lain adalah bahwa semakin tulisan tidak melam-
bungkan apa yang seharusnya dilambangkannya, semakin kuat
kecenderungan menggunakan tulisan sebagai dasar. Para ahli
tata bahasa bersikeras menonjolkan bentuk tertulis. Secara
psikologis, hal itu mudah dijelaskan, namun akibatnya sangat
100

tidak diinginkan. Penggunaan kata seperti "melafalkan" dan


"lafal" merupakan contoh dari penyimpangan itu dan memutarba-
likkan hubungan yang sebenarnya di antara tulisan dan langue.
Bila dikatakan kita harus melafalkan sebuah huruf dengan cara
tertentu, yang diambil sebagai model adalah gambaran akustis.
Agar oi dapat dilafalkan wa, seharusnya oi memang ada sebagai
gambaran. Namun kenyataannya, wa lab yang dituliskan oi.
Untuk menjelaskan kejanggalan itu orang menambahkan bahwa
dalam hal itu terjadi pelafalan o dan i yang terkecuali. Lagi-lagi
ungkapan yang keliru karena berarti langue tergantung dari
aksara. Nampaknya aksara tak dapat diganggu gugat, seolah-
olah tanda gratis merupakan norma.
Fiksi itu tertampil sampai ke kaidah tata bahasa, misalnya
kaidah h dalam bahasa Perancis. Kita memiliki kata-kata yang
awalnya vokal tanpa aspirasi, namun dituliskan dengan h sebagai
kenangan pada bentuk Latinnya, misalnya homme 'laki-laki'
(dahulu kala ome) karena berasal dari /ic>mo.|Tetapi, kita juga
memiliki kata lain yang berasal dari bahasa Germania, yang
semula h nya memang dilafalkan: /lac/ie 'kapak', hareng 'baring',
honte 'main', dan sebagainya. Selama aspirasi ada, kata-kata itu
tunduk pada bukum konsonan awal sebingga orang mengatakan:
deu haches, le hareng, sedangkan menurut bukum kata yang
diawali vokal, orang mengatakan deu- z-hommes, I'omme. Pada
zaman itu kaidabnya adalab "di depan h aspirat perangkaian dan
pengbilangan tidak terjadi", dan kaidah itu dianggap benar.
Namun, kini rumus itu tidak bermakna lagi: h aspirat tidak ada
lagi, atau jika yang disebut seperti itu adalab bal yang bukan
bunyi, namun di depan bunyi itu tidak boleb dilakukan perang
kaian dan pengbilangan. Jadi, ada lingkaran setan, dan h menjadi
mabluk fiktif yang dibasilkan oleb aksara.
Yang menetapkan lafal suatu kata bukanlab ejaannya,
namun sejarabnya. Bentuknya, pada saat tertentu, menggambar-
kan suatu saat dalam evolusi yang barus diikutinya dan diatur
oleb bukum yang pasti. Setiap tabap dapat ditetapkan oleb tabap
sebelumnya. Namun, ada satu bal yang tidak boleb dilupakan,
dan yang sering dilupakan orang, yaitu nenek moyang kata, atau
etimologinya.
Nama kota Aucb adalab as dalam transkripsi fonetik. Itu
101

satu-satunya kasus di mana ch di dalam ejaan kita melambangkan


s di akhif kata. Tidak dapat dikatakan menjelaskan kalau kita
berkata bahwa ch final dilafalkan s hanya dalam kata itu. Satu-
satunya masalah adalah mengetanui bagaimana kata Latin Auscii
berubah menjadi oS, sedangkan ejaan tidak penting.
Gageure 'taruhan' dilafalkan dengan d atau dengan u?
Beberapa orang menjawab gazor karena heure 'jam' dilafalkan
dr. Yang lain mengatakan: tidak, seharusnya gaziir karena ge
berpandanan i, di dalam gedle 'rumah tahanan' misalnya.
Perdebatan tak berguna! Masalah yang sebenarnya adalah
etimologi: gageure 'taruhan' telah dibentuk berdasarkan gager
seperti juga tournure 'gaya' yang berasal dari tourner 'meng-
gayakan'. Keduanya menjadi bagian tipe derivasi yang sama:
gazur sajalah yang dapat dibenarkan: gaior adalah lafal yang
timbul karena pengaruh aksara yang salah.
Namun tirani huruf lebih mendalam lagi: karena dipaksa-
kan pada massa, huruf mempengaruhi langue dan mengubahnya.
Hal itu hanya terjadi di dalam idiom yang sangat susastra, di
mana dokumen tertulis memegang peran yang sangat penting.
Kemudian gambaran visual berhasil menciptakan lafal yang
merusak, hal tersebut benar-benar merupakan fakta patologis.
Hal itu sering nampak di dalam bahasa Perancis. Misalnya bagi
nama keluarga Lefevre (dari Latin faber), terdapat dua ejaan,
yang satu populer dan sederhana, Lefevre, yang lain ilmiah dan
etimologis, Lefibvre. Berkat kerancuan antara v dan u di dalam
aksara kuno, Lefebvre dibaca Lefebure, dengan b yang dalam
kenyataan tidak pernah ada di dalam kata itu dan u berasal dari
kekeliruan. Tapi sekarang bentuk itulah yang dilafalkan.
Sangat mungkin bahwa salah kaprah itu semakin sering
terjadi, dan makin sering orang melafalkan huruf yang tidak ada
gunanya. Di Paris, orang sudah menyebut: sept femmes 'tujuh
wanita' dengan menyaringkan t nya. Darmesteter meramalkart
bahwa suatu saat orang bahkan melafalkan kedua huruf akhir
dari vmgt'dua puluh', benar-benar skandal ejaan.""
Salah kaprah bunyi itu benar-benar menjadi bagian langue,
hanya saja tidak dihasilkan oleh percaturan alami, tetapi disebab-
kan oleh faktor yang berada di luar dirinya. Linguistik harus
menempatkannya dalam pengamatannya di dalam ruang khusus,
yaitu kasus teratologis.
BAB VII

FONOLOGI

1. Derinisi'"^

BJla aksara dihapuskan dari pikiran, penutur yang dipi-


sahkan dari gambaran peka itu mungkin hanya menangkap suatu
massa seragam yang tidak dapat diperbuat apa pun. Hal itusama
seperti melepas pelampung dari pelajar renang.
Yang penting adalah mengganti yang buatan dengan yang
alami, namun hal itu tidak mungkin selama orang tidak mempela-
jari bunyi bahasa karena bunyi yang dipisahkan dari tanda
grafisnya akan menjadi pengertian yang kabur sehingga orang
memilih penunjang berupa aksara lagi, meskipun menyesatkan.
Bahkan para ahli linguistik yang pertama, yang tidak mengenal
sama sekali fisiologi bunyi yang dilafalkan, setiap saat masuk ke
perangkap itu. Mengesampingkan huruf, bagi mereka sama
dengan kehilangan pijakan, sedangkan bagi kita hal itu merupa-
kan langkah pertama menuju ke kebenaran karena telaah bunyi
itu sendiri yang menyediakan pertolongan yang kita cari. Ahli
linguistik di zaman modern akhirnya mengerti, dengan mem-
perhatikan hasil penelitian ahli lain (ahli faal, ahli teori lagu, dan
sebagainya), mereka telah memberi linguistik suatu ilmu bantu
yang membawanya melampaui batas kata tertulis.
Fisiologi bunyi (Jerman Laut- atau Sprachphysiologie)
sering disebut "fonetik" (Jerman Phonetik, Inggris phonetics).
103

Istilah tersebut nampaknya kurang tepat, kami menggantinya


dengan istilah fonologi. Karena fonetik berarti dan harus terus
berarti studi evolusi bunyi, kita tidak mungkin merancukan di
bawah satu nama yang sama dua studi yang sama sekali berbeda.
Fonetik adalah ilmu historis, menganalisis peristiwa, perubahan
dan bergerak bersama waktu. Fonologi berada di luar waktu
karena mekanisme pelafalan selalu serupa.'®^
Bukan saja kedua telaah itu tidak terancu, keduanya
bahkan tidak dapat dipertentangkan. Yang pertama merupakan
bagian yang sangat penting di dalam ilmu bahasa, sedangkan
fonologi - saya ulang lagi - hanya suatu disiplin bantu dan
bergerak di tataran parole (lihat halaman 85). Kemungkinan
besar orang tidak melihat dengan jelas kegunaan gerakan
pembunyian, seandainya langue tidak ada, namun gerakan itu
tidak membentuk langue, dan bila semua gerakan alat ucap telah
dijelaskan untuk memproduksi setiap bunyi, orang tidak men-
jelaskan apa pun mengenai masalah langue. Langue merupakan
sistem yang didasari oposisi psikis dari bunyi-bunyi tadi, seperti
juga permadani merupakan karya seni yang dihasilkan oleh
oposisi visual di antara benang dengan berbagai warna. Jadi,
yang penting bagi analisis adalah percat.uran oposisi itu, dan
bukannya cara menghasilkan wama-warna.
Pehjelasan sistem fonologi terdapat pada Lampiran, hala
man 111. Di sini kami hanya berusaha mencari pertolongan yang
dapat diharapkan oleh linguistik dari ilmu tadi untuk menghin-
dari ilusi aksara.

2. Aksara Fonologis^®'*

Ahli linguistik pertama-tama minta agar diberi sarana


untuk melambangkan bunyi-bunyi, yang menghapus kesalahpa-
haman. Memang, sejumlah sistem grafis telah diusulkan.'"^
Apa prinsip suatu aksara fonologis yang sebenarnya?
Aksara itu harus dapat melambangkan suatu tanda, setiap unsur
di dalam rangkaian tuturan. Namun hal itu tidak selalu disadari:
misalnya ahli fonologi Inggris, yang lebih meminati klasifikasi
daripada analisis, melambangkan bunyi-bunyi tertentu dengan
104

dua atau bahkan tiga huruf. Sebaliknya, pembedaan antara


bunyi letupan dan bunyi hirup (lihat halaman 125 dan seterusnya)
seharusnya, seperti yang kami usulkan, dilakukan secara ketat.
Mungkinkah alfabet fonologis diganti dengan ejaan yang
lazim? Pertanyaan itu menarik, namun hanya dapat dijelaskan
sedikit di sini. Menurut kami, aksara fonologis harus tetap hanya
digunakan oleh para ahli linguistik. Pertama, bagaimana memak-
sakan sistem yang seragam bagi orang Inggris, Jerman, Perancis,
dan Iain-lain. Kedua, alfabet yang diterapkan pada semua langue
cenderung dipenuhi tanda diakritis, tanpa menyinggung penam-
pilan teks seperti itu yang pasti mengecewakan,jelas bahwa demi
ketepatan, aksara itu akan mengaburkan segala sesuatu yang
ingin diperjelasnya, dan membingungkan pembaca. Kerugian itu
tidak mungkin dapat ditutup oleh kelebihan yang cukup. Di luar
il'munya, ketepatan fonologis tidak begitu diinginkan.'"^
Masih ada masalah pembacaan. Kita membaca dengan dua
cara: kata baru atau tidak dikenal dieja huruf demi huruf,
namun kata yang lazim terbaca dengan sekejap mata, terlepas
dari huruf yang membentuknya; gambaran kata itu memberi kita
nilai ideografis. Di sini ejaan tradisional dapat menuntut haknya:
perlu dibedakan tant 'banyak' dari temps 'waktu'; et 'dan', est
'adalah (kala kini)', dan ait 'mempunyai (modus subjongtif)'; du
'dari' dari du 'harus {participe passe)'; il devait 'ia harus' dari Us.
devaient 'mereka harus', dan sebagainya. Mari kita harapkan
agar aksara yang lazim itu bebas dari hal-hal yang sangat tidak
masuk akal. Jika di dalam pengajaran bahasa suatu alfabet
fonologis dapat membantu, kita tidak mungkin menggeneralisasi
penggunaannya.

108
3. Kritik dari Kesaksian Aksara

Setelah melihat sifat aksara yang menyesatkan, kelirulah


kita kalau mengira bahwa tindakan pertama yang harus dilaku
kan adalah mereformasi ejaan. Pelayanan fonologi yang sebenar-
105

nya adalah memungkinkan kita berhati-hati menghadapi bentuk


tertulis itu, yang harus kita gunakan untuk sampai ke langue.
Kesaksian aksara hanya bernilai jika diinterpretasikan. Bagi
setiap kasus kita harus menyusun sistem fonologi dari idiom yang
dipelajari, artinya tabel bunyi yang digunakannya. Memang
setiap langue berfungsi atas dasai* sejumlah fonem yang sangat
berbeda. Sistem itu adalah satu-satunya realitas yang menarik
perhatian ahli linguistik. Tanda grafis hanya suatu gambaran
yang ketepatannya masih harus ditetapkan. Kesulitan menetap-
kan bervariasi sesuai dengan idiom dan lingkungan.
Jika berurusan dengan langue kuno, kita hanya memiliki
data yang tidak langsung. Jadi,sumber apa yang harus digunakan
untuk menyusun sistem fonologi?
1) Pertama, indeks luar, dan terutama kesaksian ahli
linguistik mutakhir yang telah mendeskripsikan bunyi dan lafal
zamannya. Misalnya ahli tata bahasa Perancis abad XVI dan
abad XVII, terutama mereka yang berkein^nan memberi pen-
jelasan kepada orang asing, telah meninggalkan catatan yang
menarik. Namun, sumber itu sama sekali tidak meyakinkan
karena penyusunannya tidak memiliki metode fonologi sama
sekali. Deskripsi mereka dibuat berdasarkan intuisi, tanpa
kelugasan ilmiah. Jadi, kesaksian mereka masih harus diinterpre
tasikan lagi. Misalnya, nama-nama bagi bunyi memberi petunjuk
yang bermakna ganda: ahli tata bahasa Yunani menyebut
konsonan bersuara (seperti b, d, g) dengan istilah konsonan
"tengah"(m^sai), sedangkan konsonan tak bersuara (seperti p, t,
k) dengan psilat, yang diterjemahkan penutur bahasa Latin
dengan tenues.
2) Penjelasan yang lebih meyakinkan dapat diperoleh
dengan jalan mengkombinasikan kedua data tadi dengan indeks
intern, yang kami kelompokkan dalam dua golongan:
a) Indeks yang didapat dari keteraturan evolusi fonetik.
Jika orang akan menetapkan nilai suatu huruf, hal yang
sangat penting untuk diketahuinya adalah huruf itu melambang-
kan bunyi apa pada zaman dulu. Nilainya yang mutakhir
merupakan hasil evolusi yang seharusnya dapat mengesamping-
kan hipotesis tertentu. Misalnya, kita tidak tahu secara pasti apa
nilai f Sansekerta pada mulanya, namun karena huruf tersebut
106

melanjutkan k palatal dalam bahasa Indo-Eropa, data yang


terakhir ini membatasi dengan jelas berbagai anggapan.
Jika, di samping titik tolak, kita masih mengetahui evolusi
sejajar dari bunyi-bunyi yang serupa yang terdapat dalam langue
yang sama di zaman yang sama, kita dapat bernalar berdasarkan
analogi dan menarik suatu proporsi.
Masalahnya jelas lebih mudah jika hams menetapkan lafal
antara yang dikenal sekaligus titik tolaknya dan titik tibanya.'"*^
Tulisan au dalam bahasa Perancis (misalnya dalam kata sauter
'melompat') pada abad Pertengahan merupakan diftong karena
au terdapat pada posisi antara al yang paling kuno dan o dalam
bahasa Perancis modern. Dan jika melalui jalan lain diketahui
bahwa pada saat tertentu au diftong masih ada, pastilah diftong
itu ada pada zaman sebelumnya. Kami tidak mengetahui dengan
pasti bunyi apa yang dilambangkan oleh z dalam sebuah kata
Jerman Tinggi Kuno wazer, namun patokannya adalah di satu
pihak, kata water yang paling kuno, dan di lain pihak, bentuk
niodern wasser. Jadi, z tadi seharusnya bunyi antara di antara t
dan s, dan k^nii dapat membuang hipotesis apa pun yang tidak
dapat disatukan dengan t atau dengan s. Misalnya, tidak mungkin
kami mengira bahwa huruf itu melambangkan bunyi palatal
karena di antara dua bunyi dental kita hanya dapat menganggap
bunyi dental lagi.
b)Indeks kontemporer. Jenisnya banyak. Misalnya keane-
kaan grafi: pada zaman tertentu dalam bahasa Jerman Tinggi
Kuno terdapat wazer, zehan, tapi tidak pernah ada wacer, cehan,
dan seterusnya. Jika di tempat lain ditemukan pula esan dan
essan, waser dan wasser, dan seterusnya, dapat disimpulkan
bahwa z itu melambangkan bunyi yang sangat dekat dengan s,
namun cukup berbeda dengan bunyi yang dilambangkan dengan
c pada zaman yang sama. Bila selanjutnya ditemukan bentuk-
bentuk seperti wacer, dan sebagainya, hal itu membuktikan
bahwa kedua fonem tadi, yang pada zaman dahulu sangat
berbeda, sekarang kurang lebih rancu.
Teks-teks puitis merupakan dokumen yang sangat berharga
untuk mengenali lafal. Jika sistem persajakan didasari oleh
jumlah suku kata, kuantitas atau oleh keserasian bunyi (aliterasi,
asonansi, rima), monumen tersebut dapat memberi kita penjelas-
107

ah bagi beberapa masalah. Jika bahasa Yunani membedakan


beberapa vokal panjang dalam grafinya (misalnya 6 dituliskan
w), sedangkan bahasa lairi mengesarnpingkan ketepatan itu,
kepada penyairlah kita hams bertanya mengenai kuantitas a, i,
dan u. Dalam bahasa Perancis Kuno,rima mefnungkinkan untuk
mengenali, misalnya, sampai zamhn mana konsonan akhir dalam
gras dan faz (Latin facid 'saya berb.uat') berbeda, dan sejak
kapan keduanya saling mendekat dan terancu. Rima dan asonan-
si masih menjelaskan kepada kita bahwa dalam bahasa Perancis
Kuno, huruf e yang berasal dari Latin a(misalnya pire 'ayah' dari
patrem, tel 'seperti' dari talem, mer 'laut' dari mare) semula
melambangkan bunyi yang berbeda dari bunyi e yang lain. Kata-
kata itu tidak pernah berima atau berasonansi dengan elle 'dia
(perempuan)'(dari ilia), vert 'hijau'(dari viridem), be//e 'cantik'
(dari be//a), dan sebagainya.
Untuk mengakhiri contoh, mari kita ambil grafi kata-kata
pinjaman dari bahasa asing, permainan kata, bahasa kacau, dan
sebagainya. Misalnya dalam bahasa Gotik, kawtsjo menerangkan
lafal cautio dalam bahasa Latin pasar. Lafal rwd pada kata roi
ditegaskan pada akhir abad XVIII oleh anekdot berikut ini yang
dikutip oleh Nyrop, Grammaire Historique de la Langue Fran-
caise, l', halaman 178: di dalam pengadilan revolusi seorartg
wanita ditanya apakah ia telah mengatakan di depan saksi bahwa
ia membutuhkan seorang roi 'raja'. Wanita itu menjawab "bahwa
ia sama sekali tidak bicara tentang roi seperti Capet atau yang
lain, tetapi tentang rouet maitre, alat untuk merajut."''®
Berbagai cara memberi informasi seperti di atas membantu
kita untuk mengetahui dalam batas tertentu,sistem fonologi pada'
suatu zaman dan untuk memperbaiki kesaksian aksara sambil
memanfaatkannya.
Jika berhadapan dengan bahasa hidup, satu-satunya meto-
de yang masuk nalar adalah: a) menyusun sistem bunyi seba-
gaimana yang dijumpai pada pengamatan langsung; b) mem-
perhitungkan sistem tanda yang digunakan untuk melambangkan
- secara tidak sempurna - berbagai bunyi. Banyak ahli tata bahasa
yang masih menggunakan metode kuno yang telah dikritik di
atas, yaitu dengan mengatakan bagaimana setiap huruf dilafalkan
di dalam langue yang ingin mereka deskripsikan. Dengan cara
108

ini, tidak mungkin kita menerangkan dengan jelas sistem


fonologi dari suatu idiom.
Meskipun demikian, jelas bahwa kita telah mengalami
kemajuan yang besar dalam bidang itu, dan bahwa para ahli
fonologi telah banyak menyumbang di dalam mengubah gagasan
kita mengenai aksara dan ejaan.
109

LAMPIRAN

PRINSIP-PRINSIP FONOLOGI
BAB I

JENIS-JENIS FONOLOGIS

I. Definisi Fonem'"

[Untuk bagian ini kami telah memanfaatkan transkripsi


stenografi dari tiga buah ceramah F. de S! pada tahun 1897
mengenai Theorie de la syllabe, di mana ia membicarakan juga
prinsip-prinsip umum dari bab pertama. Di samping itu, sebagian
besar catatan pribadinya juga diwarnai fonologi. Dari berbagai
segi, catatan tersebut menjelaskan dan meiengkapi data yang
diberikan oleh kuliah I dan III. (ed.)]"2
Banyak ahli fonologi terlalu mementingkan tindak pem-
bunyian, artinya produksi bunyi-bunyi oleh alat bunyi (laring,
mulut, dan Iain-lain) dan mengesampingkan segi akustis. Metode
ini tidak benar: bukan saja kesan yang timbul di telinga diberikan
kepada kita sama langsungnya dengan gambaran penggerak dari
alat bunyi, tetapi lebih lagi, kesan tersebutlah yang menjadi dasar
alami bagi teori apa pun."^
Data akustis telah ada secara tidak disadari pada saat orang
menelaah berbagai satuan bunyi; melalui telingalah kita menge-
tahui apa sebenarnya b, t, dan Iain-lain. Seandainya kita dapat
mereproduksi segala gerakan mulut dan laring yang sedang
menghasilkan serangkain bunyi, dengan sarana kinematografi,
tidak mungkin kita menemukan unsur-unsur bawahan di dalam
urutan gerakan artikulasi tersebut. Kita tidak tabu di mana suatu
11'2

bunyi mulai dan di mana ia berakhir. Bagaimana menegaskan,


tanpa kesan akustis, bahwa dalam fal, misalnya, terdapat tiga
satuan, dan bukan dua atau empat? Di dalam wicara yang
terdengar kita dapat langsung menangkap apakah suatu bunyi
masih atau tidak lagi sama secara mandiri. Selama kita mendapat
kesan adanya sesuatu yang homogen, bunyi tersebut adalah
tunggal. Yang penting, juga bukan panjangnya kaitan (itulah
nada balok) atau kaitan ganda (bdk. fal dan fdf), tetapi mutu
kesannya. Rangkaian akustis tidak dapat dibagi dalam tempo
yang teratur, tetapi dalam tempo yarig homogen, yang berciri
satuan kesan, dan inilah titik tolak yang wajar bagi pengkajian
fonologis."'*
Dalam hal ini abjad Yunani primitif patut kita kagumi.
Setiap bunyi sederhana dalam bahasa ini diungkapkan oleh hanya
satu lambang grafis, dan sebaliknya setiap lambang berhubungan
dengan satu bunyi sederhana, selalu yang sama. Ini adalah
penemuan genius, yang telah diwariskan pada bangsa Latin. Di
dalam tuMsan bdrbaros "barbar",|^B|A|P|B|A |P|0|;S|, setiap
huruf berhubungan dengan suatu tempo yang homogen. Di da
lam gambar di atas, garis horisontal melambangkan rangkaian
bunyi, garis-garis kecil vertikal melambangkan perpindahan dari
satu bunyi ke bunyi lain. Di dalam abjad Yunani primitif tidak
terdapat grafem kompleks seperti "ch" yang melambangkan S,
maupun lambang sederhana yang melambangkan bunyi ganda
Vuntuk ks. Prinsip tersebut, yang perlu dan memadai bagi.
aksara fonologis yang baik^ telah direalisasi bangsa Yunani secara
menyeluruh.^
Bangsa-bangsa lain tidak menangkap prinsip tersebut, dan
abjad mereka tidak menganalisis pertuturan dalam tahap akustis
yang homogen. Bangsa Siprus KunO misalnya, berhenti pada
satuan-satuan kompleks, jenis pa, ti, tco, dan Iain-lain. Yang
disebut tulisan silabis; penamaan yang sangat tidak tepat karena
sebuah suku kata dapat juga dibentuk dengan cara lain, misalnya
113

pak, trai, dan Iain-lain. Sedangkan bangsa Semit hanya mene-


kan konsonan-konsonan; kata scipQxii bdrbaros mestinya mere-
ka lulls BRBRS.
Jadi, pembatasan bunyi-bunyi pertuturan hanya dapat
dilakukan alas dasar kesan akustis; tetapi.untuk mendeskripsi-
kannyaj lain lagi ceritanya. Deskripsi hanya mungkin dibuat
berdasarkan tindak artikulasi karena satuan-satuan akustis ter-
tanigkap dalam bentuk rangkaian tak teranalisis. Kita hams
menambahkan data gerakan pembunyi, sehingga tampak bahwa
bagi bunyi yang sama terjadi tindak yang sama: b(tempo akustis)
b' (tempo artikulasi). Satuan-satuan pertama yang diperoleh
ketika memotong-motong pertuturan akan terdiri dari b dan b';
satuan-satuan tersebut disebut fonem. Fonem adalah kumpulan
kesan-kesan akustis dan gerakan artikulasi dari satuan yang
terdengar dan satuan yang dituturkan, yang satu menentukan
yang lain sehingga fonem sudah merupakan satuan kompleks,
yang satu kakinya berada di dalam setiap rangkaian.'
Unsur yang pertama-tama diperoleh melalui analisis wicara
nampak seperti mata rantai dari rangkaian tersebut, saat-saat tak
teruraikan yang tidak dapat ditelaah di luar tempo yang didu-
dukinya sehingga sebuah kumpulan seperti ta selalu merupakan
satu saat ditambah satu saat, satu fragmen dari suatu rangkaian
terteritu ditambah satu fragmen lain. Sebaliknya, fragmen tak
teruraikan t, secara mandiri, dapat ditelaah in abstracto, di liiar
tempo. Orang dapat bicara mengenai t pada umumnya sebagai
jenis T (kita akan melambangkan jenis-jenis dengan huruf
besar), mengenai i sebagai jenis 7, dengan hanya memperhatikan
ciri pembedanya, tanpa memperhitungkan segala sesuatu yang
tergantung dari urutan di dalam tempo. Sama saja dengan
kumpulan dalam dunia musik do, re, mi yang hanya dapat
ditelaah sebagai suatu deret konkret di dalam tempo;tetapi kalau
saya mengambil salah satu dari unsumya yang tak temraikan,
saya akan dapat menelaah in abstracto.
Setelah menganalisis satu jumlah wicara yang memadai yang
berasal dari berbagai langue, kita akan mengenai dan mengklasi-
fikasi unsur-unsur yang digunakan langue tersebut sehingga kita
114

mendapati bahwa kalau kita melalaikan nuansa-nuansa akustis


yang tak terbatas jutnlahnya, jumlah jenis yang ditampilkannya
bukannya tidak terbatas; Daftar dan deskripsi yang terinci dapat
dilihat di dalam karya-karya tulis yang khusus;^ di sini kami ingin
menunjukkan prinsip-prinsip dasar yang konstan dan sederhana
dari klasifikasi semacam itu."^
Tetapi, sebelumnya mari kita telaah sepintas lalu alat ucap,
permainan alat-alat yang mungkin, dan peran dari alat-alat yang
sama itu sebagai penghasil bunyi.

3/117
2. Alat Ucap dan Cara Bekerjanya7

1. Untuk mendeskripsikan alat tersebut, kami membatasi


diri pada gambar skematis,
di mana A adalah rongga
hidung, B rongga mulut, C
laring, yang berisi glotis 3 -
di antara kedua pita suara.
Di dalam mulut perlu
dibedakan <X dan a, lidah
P - Y ( P adalah ujung
lidah dan y sisanya), gigi
atas d, palatum yang terdiri
dari bagian depan, bertu-
lang dan tetap f-h, dan ba
gian belakang, lembut dan
bergerak atau velum i,
terakhir uvula <J •
Huruf Yunani me-
nunjuk pada alat-alat yang
aktif di dalam artikulasi,
sedangkan huruf Latin me-
nunjuk bagian-bagian yang
pasif.
115

Glotis 2, yang dibentuk oleh dua otot sejajar atau pita


suara, membuka dengan merentang ataii menutup dengan
pendempetan. Penutupan sempurna tidak akan dipermasa-
lahkan; sedangkan pembukaan, kadang-kadang lebar, kadang-
kadang sempit. Pada kasus yang pertama, udara lewat dengan
bebas, pita suara tidak bergetar; dalam kasus kedua, lewatnya
udara menetapkan getaran suara. Tidak ada alternatif lain di
dalam pemancaran bunyi secara wajar.
Rongga hidung adalah alat yang benar-benar tetap dilewati
udara yang dapat dihentikan dengan mengangkatjuvula l<j, hanya
itu. Jadi rongga hidung seperti pintu yang dibuka atau ditutup.
Sedangkan rongga mulut dapat melakukan gerakan yang
sangat bervariasi: kita dapat meningkatkan panjangnya saluran
dengan bibir, membengkakkan atau mengerutkan pipi, menyem-
pitkan atau bahkan menutup rongga dengan gerakan-gerakan
bibir dan lidah yang bervariasi tanpa batas.
Peran alat-alat yang sama itu sebagai produktor bunyi
berhubungan langsung dengan mobilitas mereka: keseragaman
yang sama di dalam tugas laring dan rongga hidung, keaneka-
ragaman yang sama di dalam tugas rongga mulut.
Udara yang keluar dari paru-paru mula-mula melewati
glotis, ada kemungkinan penghasilan bunyi laring dengan pen
dempetan pita siiara. Namun, bukan permainan laring yang
dapat menghasilkan variasi fonologis yang memungkinkan kita
untuk membedakan dan mengklasifikasikan bunyi bahasa; dalam
hubungan ini, bunyi laring seragam. Apabila terungkap secara
langsung, seperti apa yang dipancarkan oleh glotis, bunyi
tersebut bagi kita nampak kurang lebih tak bervariasi dalam
kualitas.
Saluran hidung hanya bertugas sebagai resonator bagi
getaran berbunyi yang melaluinya; jadi ia juga tidak memainkan
peran sebagai penghasil bunyi.
Sebaliknya, rongga mulut ditumpuki tugas sebagai genera
tor bunyi dan resonator. Kalau glotis terbuka lebar, tak satu
pun getaran laring terjadi, dan suara yang tertangkap oleh kita
hanya berasal dari rongga mulut. (Kita serahkan kepada ahli
fisika untuk meriiutuskan apakah itu bunyi atau bising). Kalau
116

sebaliknya, pendempetan pita-pita suara menyebabkan glotis


bergetar, mulut campur tangan hanya sebagai modifikator bunyi
laring tersebut.
Oleh karena itu, di dalam penghasilan bunyi, faktor-faktor
yang dapat memainkan peran adalah hembusan nafas, artikulasi
mulut, getaran laring, dan resonansi hidung.
Tetapi menyebutkan satu persatu faktor penghasil bunyi
tersebut, belum menetapkan unsur-unsur pembeda fonem. Un-
tuk mengklasifikasi unsur yang terakhir ini, pengetahuan kita
tentang apa yang membentuknya kurang penting daripada yang
membedakan mereka. Sayangnya faktor yang negatif mungkin
memiiiki kepentingan yang lebih besar bagi klasifikasi daripada
faktor positif. Misalnya, hembusan nafas, yang merupakan unsur
positif dan selalu muncul dalam pembunyian mana pun, tidak
memiiiki nilai pembeda; sedangkan ketidakhadiran resonansi
hidung, merupakan faktor negatif namun berguna, baik dalam
kehadiran maupun untuk memberikan ciri fonem. Jadi, yang
terpenting agar kedua faktor yang disebutkan di atas konstan,
dibutuhkan dan memadai bagi penghasilan bunyi, adalah:
a) hembusan nafas,
b) artikulasi mulut.
sedangkan kedua faktor berikut dapat ditiadakan atau ditam-
bahkan pada kedua faktor yang pertama:
c) getaran laring
d) resonansi hidung
Di lain pihak, kita sudah tahu bahwa a, c dan d seragam,
sedangkan b mengandung variasi tak terbatas.
Lagi pula perlu diingat bahwa sebuah fonem dikenali
apabila telah ditetapkan pembunyiannya, dan bahwa sebaliknya
semua jenis fonem akan ditelapkan dengan cara menetapkan
semua pembunyian. Padahal jenis-jenis, seperti yang tampak
dalam klasifikasi faktor-faktor yang berperan dalam penghasilan
bunyi, hanya dibedakan oleh ketiga faktor yang terakhir. Jadi,
untuk setiap fonem perlu disusun: bagaimana artikulasi mulut-
nya, apakah ia men^andun^ bunyi laring ( ) atau tidak
([ ]), apakah ia mengandung resonansi hidung( )atau tidak
([ ]). Kalau salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak ditetap
kan, pengenalan bunyi tidak lengkap; tapi begitu ketiganya
117

diketahui, kombinasi mereka yang bermacam-macam menetap-


kan semua jenis terpenting dari pembunyian.
Sehingga diperoleh skema dari variasi yang mungkin:

I II III IV

a Hembusan naf • Hembusan nal.Hembusan naf • Hembusan naf.


b Art. mulut Art. mulut Art. mulut Art.lmulut
c [ ] .•—
[ ]
d [ ] ( ]

Kolom I berisi bunyi-bunyi tak bersuara. II, bunyi-


bunyi bersuara. III, bunyi-bunyi tak bersuara dinasalisasi, IV,
bunyi-bunyi bersuara dinasalisasi.
Tetapi sebuah unsur yang tak dikenal muncul: macam
artikulasi mulut sehingga perlu ditetapkan variasi yang mungkin.

3. Klasifikasi Bunyi Menurut Artikulasi Mulut."®

Pada umumnya orang mengklasifikasi bunyi-bunyi berda-


sarkan daerah artikulasinya. Titik tolak kami akan berbeda. Di
mana pun daerah artikulasi, selalu terjadi suatu Pembukaan,
artinya suatu tingkatan pembukaan tertentu di antara dua batas
ekstrem yang berupa: penutupan sempurna atau pembukaan
maksimum.
Atas dasar ini, dan berjalan dari pembukaan minimum
sampai ke pembukaan maksimum, bunyi-bunyi dapat diklasifika-
sikan dalam tujuh kategori yang diberi nomor 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6.
Hanya di dalam setiap nomor ini kami memisahkan fonem-fonem
dalam berbagai tipe menurut daerah artikulasi yang khas bagi
mereka.
Kami akan menyesuaikan diri dengan tata istilah yang
lazim, meskipun tata istilah tersebut tidak sempurna atau tidak
benar dipandang dari berbagai jurusan: istilah-istilah seperti
gutural, palatal, dental, likuida, kurang lebih tidak logis. Akan
lebih masuk akallah kalau palatal dibagi dalam beberapa daerah
118

sehingga, dengan memperhatikan artikulasi lidah, kita akan


dapat selalu mengatakan dalam hubungan dengan titik mana
terjadi pendempetan pokok bagi setiap kasus. Kami akan
mengambil manfaat dari gagasan tersebut dan, dengan meng-
gunakan huruf-huruf dalam gambar di halaman 114, kami akan
melambangkan setiap artikulasi dengan suatu rumus di mana
angka pembukaan terdapat di antara huruf Yunani yang menan-
dai alat aktif (sebelah kiri) dan huruf Latin yang mengacu pada
alat pasif (sebelah kanan). Sehingga P o e berarti dengan tingkat
pembukaan yang berbentuk penutupan sempurna, ujungdidah
menempel pada alveola gigi atas e.
Terakhir, di dalaip setiap artikulasi, berbagai jenis fonem
dibedakan dengan kesimultanan - bunyi laring dan resonansi
hidung - yang ketidakhadiran maupun kehadirannya akan
merupakan unsur pembeda.
Berdasarkan prinsip inilah kanii akan mengklasifikasi
bunyi-bunyi. Skemanya akan sederhana dan mengklasifikasi
secara masuk akal; jadi jangan berharap menemukan fonem-
fonem yang kompleks atau khusus, apa pun kegunaannya dari
segi praktis, misalnya bunyi aspirat (ph, dh, dan Iain-lain),
frikatif(te, dz, pf, dan Iain-lain), konsonan lemah, vokal lemah(e
atau e senyap, dan Iain-lain), maupun sebaliknya fonem-fonem
sederhana yang peiiting secara praktis dan tidak termasuk
golohgan yang diperhatikan sebagai bunyi yang dibedakan.
A. —Pembukaan zero: bunyi oklusif. Kelas tersebut
mencakup semua fonem yang diperoleh dengan penutupan
sempurna, hentian mutlak tetapi sekejap dari rongga rhulut.
Tidak perlu diteliti apakah bunyi tersebut dihasilkah pada saat
penutupan atau pembukaan; sebenarnya ia dapat dihasilkan
dengan dua cara (lihat halaman 127 dan seterusnya).
Menurut daerah artikulasi dibedakan tiga tipe pokok dari
bunyi oklusif: tipe labial (p, b, m), tipe dental (t, d, n), tipe yang
disebut gutural {k, g, h),
Yang pertama diaftikulasikan dengan kedua bibir, pada
kasus yang kedua ujung lidah meneinpel pada bagian depan
palatal, dan yang ketiga punggung lidah bertemu dengan bagian
belakang palatal.
Di dalam banyak langue, khususnya dalam bahasa Indo-
■A

119

Eropa, secara jelas dibedakan dua artikulasi gutural, yang satu,


palatal pada/-/i, yang lain velar pada ii. Tetapi dalam bahasa
lain, Perancis misalnya, perbedaan tersebut diabaikan, dan
telinga mengasimilasi sebuah k belakang, seperti dalam kata
court, dan sebuah k depan, seperti dalam kata qui.
Tabel berikut menunjukkan rumus-rumus dari berbagai
fonem tersebut:

LABIAL DENTAL GUTURAL

P b (m) t d ! (n) k g

a o a <*o a ao a P o e P o e p o e Jfo h jro h yo h

[] [] [1 .—

[ [ 11 [ ] 11 ....

in [1 ....

Bunyi nasal m, n, h khas bunyi hentian bersuara yang


dinasalisasi; apabila orang melafalkan arnba, uvula naik menutup
rongga hidung pada saat orang berpindah dari m ke h.
Dalam teori, setiap tipe memiliki nasal tanpa getaran glotis,
atau tak bersuara; itu sebabnya dalam bahasa-bahasa Skandina-
via, m tak bersuara ada setelah bunyi tak bersuara. Di dalam
bahasa Perancis dapat ditemukan pula contoh-contoh, tetapi para
penutur tidak melihatnya sebagai unsur pembeda.
Bunyi nasal digambar di dalam tanda kurung dalam tabel.
Memang kalau artikulasi mereka mengandung penutupan mulut
secara sempurna, pembukaan rongga hidung merupakan ciri
pembukaan atas (lihat kelas C).
B. —Pembukaan 1; Frikatif atau Spiran, ditandai oleh
penutupan rongga mulut tak sempurna, yang memungkinkan
lewatan udara. Istilah spiran sangat irnium sifatnya; sedangkan
frikatif, tanpa menyebut tingkat penutupannya, mengingatkan
kita pada kesan gesekan yang dihasilkan oleh lewatriya udara
(Lat. fricdre)
Dalam kelas ini kita tidak dapat lagi membedakan dalam
120

tiga tipe, seperti pada kategori pertama. Pertamaj bunyi labial


yang sebenarnya (dihubungkan dengan oklusif p dan b), sangat
jarang digunakan. Kita lakukan abstraksi: bunyi-bunyi tersebut
biasanya diganti oleh bunyi labio-dental, yang dihasilkan dleh
pendempetan bibir bawah dan gigi (/" dan v dalam bahasa
Perancis); bunyi-bunyi dental terbagi dalam beberapa variasi,
tergantung dari bentuk ujung lidah pada saat pendempetan,
tanpa merinci lebih lanjut, kami menyebut dengan p: fi dan
)9" berbagai bentuk ujung lidah.
Mengenai bunyi yang berhubungan dengan palatal, telinga
pada umumnya membedakan artikulasi depan (palatal) dan
artikulasi bekalang (velar) *

LABIO-DENT. DENTAL

/ V
> d s z s

aid ct I d Pid Pid p'ld p'ld P'ld P%d


[1 — [1 [] [1
[J 11 [1 [] [1 [1 [1 [J

PALATAL GUTURAL

X' y' X y

yif y i/ Yli y\i


M [1
[] [1 I I

Inggris th dalam thing


5- Inggris th dalam then
s Perancis s dalam si
z Perancis s dalam rose
S Perancis ch dalam chant
i Perancis g dalam ginie
x' Jerman c/i dalam/c/{
y' Jer. Ut. g dalam liegen
X Jerman ch dalam Bach
y Jer. Ut.g dalam Tage
121

Apakah dalam bunyi frikatif terdapat unsur-unsur yang ada


hubungannya dengan n, m,\h, dan Iain-lain dalam bunyi oklusif,
artinya sebuah v nasal, z nasal, dan Iain-lain? Memang mudah
untuk dimisalkan, sehingga terdengar bunyi v nasal dalam kata
Perancis inventer, tetapi pada umumnya frikatif nasal bukan
bunyi yang disadari dalam suatu langue.

C. — Pembukaan 2: Bunyi-bunyi Nasal(lihat halaman 119).

D. — Pembukaan 3: Bunyi-bunyi Likuida.


Dua macam artikulasi terdapat dalam kelas ini:
1) Artikulasi lateral: lidah menempel pada bagian muka
palatal, tapi dengan membiarkan terbuka di sebelah kanan dan
kiri, posisi lafal sebuah'if di dalam rumus kami. Menurut daerah
artikulasi, tidak dibedakan I dental, /' palatal atau "lemah" danj#
gutural atau velar. Hampir di dalam semua bahasa,fonem-fonem
tersebut adalah bunyi bersuara, sama dengan b, z, dan Iain-lain.
Namun, bunyi tak bersuara pun bukannya tidak mungkin; dalam
bahasa Perancis juga ada, sebuah I yang mengikuti bunyi tak
bersuara dilafalkan tanpa bunyi laring (misalnya dalam pluie,
yang dioposisikan dengan bleu); tetapi kita tidak sadar akan
adahya perbedaan ini.
Tak ada gunanya bicara tentang I nasal yang sangat jarang
dan tidak dibedakan, meskipun memang ada terutama setelah
bunyi nasal (misalnya dalam bahasa Perancis branlant 'yang
goyah').
2) Artikulasi vibran: lidah tidak sedekat palatal dibanding-
kan dengan lafal /, tetapi ia bergetar, dengan jumlah getaran yang
bervariasi (lambang v dalam rumus), dan dengan begitu diper-
oleh tingkat pembukaan yang sama dengan bunyi lateral.
Getaran tersebut dapat dihasilkan dengan diia cara: dengan
ujung lidah menempel ke muka pada alveola (r yang disebut
"roule" dalam bahasa Perancis), atau ke belakang, dengan bagian
beiakang lidah (r "grasseyd"). Kalau perlu dapat diulahgi pembi-
caraan mengenai vibran tak bersuara dan nasal seperti pada
bunyi lateral.
122

i t r

p'3 c y/3 l-h y/3 i c r3 dv

I 1 w [] [] []

Di luar tingkat 3, kita memasuki bidang lain: dari konsonan


kita beralih ke vokal. Sampai saat ini, kami tidak memberi tahu
lebih dahulu tentang perbedaan tersebut. Hal itu adalah karena
niekanisnxe pembunyian tetap sama. Rumus sebuah bunyi vokal
persis sama dengan rumus konsonan bersuara mana pun. Dari
jurusan artikulasi mulut, tidak ada perbedaan yang perlu dibuat.
Hanya dampak akustis yang berbeda. Setelah melampaiii tingkat
pembukaan tertentu, mulut berfungsi terutama sebagai resona
tor. Tamber bunyi laring muncul sepenuhnya dan bising mulut
hilang. Makin mulut tertutup, makin bunyi laring terhambat;
makin kita membukanya, makin berkurang bisingnya. Dengan
cara itulah, yang benar-benar mekanis, bunyi menguasai di dalam
vokal.

E. — Pembukaan 4:iuii
Dalam hubungan dengan vokal lain, bunyi-bunyi tersebut
membutuhkan penutupan yang lebih besar, cukup dekat dengan
penutupan pada konsonan. Akibatnya, kemudian akan muncul
beberapa konsekuensi, yang menguatkan nama semi-vokal yang
biasanya diberikan pada fonem-fonem tersebut.
i dilafalkan dengan bibir ditarik (tanda -) dan artikulasi
di muka, u dengan bibir bulat(tanda °)dan artikulasi belakang, u
dengan posisi bibir u dan artikulasi i.
Seperti seinua vokal, iuii memiliki bentuk yang dinasalisa-
si, tetapi jarang terjadi dan kita dapat mengesampingkannya.
Perlu dicatat bahwa bunyi-bunyi yang ditulis in dan un dalam
ejaan Perancis berhubungan dengan hal lain (lihat di bawah ini).
Apakah.terdapat i tak bersuara, artinya diartikulasikan
123

tanpa bunyi laring? Masalah yang sama muncul bagi u dan u dan
bagi semua vokal. Fonem-fonem tersebut, yang seharusnya sama
dengan konsonan tak bersuara, memang ada, tetapi jangan
dirancukan dengan vokal bisik, artinya yang diartikulasikan
dengan glotis kendur.
Kita dapat menga-
similasikan vokal tak
i u a bersuara dengan h aspi-
rat yang dilafalkan di de-
" y 4/ "y A i °y4/ pannya, sehingga di
dalam hi pertama ter-
dengar i tanpa getaran,
kemudian i wajar.

F. — Pembukaan 5: e o p, yang artikulasinya sama dengan


artikulasi i u u. Vokal yang dinasalisasi itu banyak (e 6
misalnya dalam bahasa Perancis dalam pin 'pinus', pont 'jemba-
tan' brun 'coklat'). Beptuk-bentuk tak bersuara adalah h aspirat
dalamTte/to/to.
N.B'. ~ Banyak bahasa mfembedakati berbagai tingkat
pembukaan, sehingga bahasa Perancis memiliki paling sedikit
dua seri, yang satu disebut tertutup e d o (misalnya dalam de
'dari', dos 'punggung', deux 'dua', yang lain terbuka g g g
misalnya dalam mer'laut', mort'mati', meurt'mati').

e o d 6 d ;5
= r5f "Y^i °y5/ -ySf "y 5 / 'rsf

D D D
124

G. — Pembukaan 6: a,
a a pembukaan maksimal, yang
memiliki bentuk nasal yang
Y6 h y6h
memang agak mendempet, d
(misalnya dalam grand 'besar'),
sebuah bentuk tak bersuara, h
D dari ha.

Catalan
1. Memang benar bahwa orang Yunani menulis X,0» ^ untuk kh, th, ph; ^
EP (J/ melambangkan pherd, tetapi hal ini adalah suatu pembaharuan
mutakhir, dalam prasasti tua tertulis KHAP12 dan bukan XAPIiS. Prasasti
yang sama mendukung dua buah tanda untuk bunyi k, yaitu kappa, tetapi ini
merupakan fakta yang berbeda: di sini terdapat dua nuansa riil dalam lafal, k
kadang-kadang palatal, kadang-kadang velar; lagi pula kemudian koppa
hilang. Terakhir, butir yang lebih peka. Di dalam prasasti primitif Yunani
Latin sering terjadi konsonan ganda dilambangkan oleh satu huruf sederha-
na, sehingga kata Latin fuisse ditulis FUISE, jadi terdapat penyimpangan
dari prinsip karena s ganda ini diucapkan dua kali lebih pahjang,seperti yang
kita ketahui juga, dan tidak homogen serta memberikan bunyi yang berbeda.
Tetapi kekeliruan ini termaafkan karena kedua konsonan tersebut, tanpa
dirancukan, memiliki ciri yang sama *j(bdk. halaman 127 dan seterusnya),
2. Bdk. Sievers, Grunziige der Phonetik, ed. ke-5. 1902, Jespersen, Lehrbuch
der Phonetik, ed. ke-2.1913: Roudet, Elements dephonetique ginerale, 1910.
3. Deskripsi yang terlalu singkat oleh'F. de Saussure telah dilengkapi dalaih
Lehrbuch der Phonetik susunan Jespersen, yang kami pinjam pula prinsipnya
mengenai rumus-rumus fonem yang akan disusun di sini. Tetapi, Jespersen
hanya melengkapi bentuk, penyajian, dan pembaca pasti yakin bahwa
perubahan tersebut tidak berpengaruh apa pun bagi gagasan F. de S.
(Penyunting).
4. Setia kepada metode penyederhanaannya, F. de Saussure merasa tidak perlu
membuat pembedaan pada kelas A, meskipun dalam bahasa Indo-Eropa dua
seri K,dan K2 sangat penting,|Jadi pengabaian di sini memang disengaja
(Penyunting).
BABII

FONEM DI DALAM PERTUTURAN

1. Perlunya Mengkaji Bunyi-bunyi di dalam Pertuturan 119

Di dalam karya-karya tulis khususnya dan terutama di


dalam karya-karya ahli fonetik Inggris, dapat ditemui analisis
bunyi/flngage yang sangat teliti.1'20
Apakah analisis itu cukup bagi fonologi untuk memenuhi
kewajibannya sebagai ilmu pelengkap linguistik? Sekian banyak
perincian yang dikumpulkan tidak memiliki nilai secara sendiri,
hanya sintesislah yang penting. Seorang ahli linguistik sama
sekali tidak perlu mengetahui sebanyak-banyaknya tentang fono
logi, cukup ia meminta orang untuk menyediakan baginya
sejumlah tertentu data yang diperlukan untuk analisis langue.
Metode fonologi ini, khususnya pada suatu butir tertentu
keliru, terlalu mengabaikan bahwa dalam langue bukan hanya
terdapat bunyi, melainkan serangkaian bunyi pertuturan. Meto
de ini belum menaruh perhatian yang cukup pada hubungan
timbal balik di antara bunyi tersebut. Padahal bukan bunyi yang
tertangkap pertama-tama oleh kita, suku kata teftangkap secara
lebih langsimg daripada bunyi-bunyi yang membentuknya. Kita
telah melihat bahwa beberapa aksara kuno melambangkan
satuan-satuan suku kata, kemudian sekali baru orang sampai
sistem alfabet.
Lagi pula linguistik: seandainya, pada suatu saat, di dalam
suatu langue tertentu, semua a berubah menjadi o, tidak
126

ada akibat apa pun; kita dapat berpuas diri dengan mengamati
gejala tersebut tanpa berusaha untuk menjelaskan secara fono-
logis. Ilmu bunyi hanya menjadi berharga apabila dua atau
sejumlah unsur terlibat dalam suatu hubungan ketergantungan
intern karena ada batas variasi bunyi yang lain; pun fakta bahwa
ada dua unsur, menimbulkan suatu hubungan dan suatu aturan,
suatu hal yang sangat berbeda dari pengamatan. Oleh karena itu,
di dalam pencarian prinsip fonologi, ilmu bekerja ke arah yang
salah dengan menunjukkan pilih kasihnya bagi bunyi-
bunyi terpisah. Dua fonem sudah cukup untuk membuat orang
kebingungan. Misalnya, dalam bahasa Jerman Tinggi Kuno,
hagl, balg, wagn, long, donr, dorn, kemudian menjadi hagal,
balg, wagan, long, donnar, dorn sehingga menurut jenis dan
pengaturan pergantian dalam kelompok hasilnya berbeda:
kadang-kadang sebuah vokal muncul di antara dua konsonan,
kadang-kadang kelompoknya tetap utuh. Tetapi, bagaimana
merumuskan hukumnya? Dari mana datangnya perbedaan itu?
Kemungkinan besar dari kelompok-kelompok konsonan (gl, Ig,
gn, dan sebagainya) yang terdapat dalam kata-kata tersebut.
Jelas bahwa konsonan terdiri dari sebuah oklusif yang dalam
kasus yang satu didahului, dan dalam kasus yang lain diikuti oleh
sebuah bunyi alir atau sebuah bunyi sengau, tetapi apa akibat-
nya? Selama g dan n dianggap sebagai kuantitas homogen, kita
tidak mengerti kenapa kontak g-n menghasilkan dampak yang
berbeda dari kontak n-g.
Maka, di samping fonologi jenis-jenis, ada tempat untuk
suatu ilmu yang mengambil titik tolak kelompok-kelompok biner
dan keberturutan fonem-fonem, dan ini ilmu yang berbeda sama
sekali. Dalam pengkajian bunyi-bunyi terpisah, cukup diamati
posisi alat-alat wicara. Kualitas akustik fonem tidak menjadi
masalah karena ditetapkan oleh telinga, sedangkan mengenai
artikulasi, orang bebas untuk menghasilkannya sesuka hatinya.
Tetapi begitu kita berurusan dengan dua bunyi yang dikombina-
si, masaiahnya menjadi lebih rumit, kita terpaksa memperhitung-
kan ketidaksesualan yang mungkin antara hasil yang dicari dan
basil yang sebenarnya, kita tidak selalu mampu untuk mengung-
kapkan keinginan kita. Kebebasan untuk menghubungkan jenis-
jenis fonologis dibatasi oleh kemungkinan menghubungkan
127

gerakan-gerakan artikulatoris. Untuk melihat apa yang terjadi di


dalam kelompok-kelompok, perlu dibentuk suatu fonologi di
mana kelompok-kelompok itu seharusnya dianggap sebagai
kesamaan aljabar; suatu kelompok biner mengakibatkan se-
jumlah unsur mekanis dan akustis yang saling mempengaruhi;
apabila yang satu berubah, petubahan tersebut menimbulkain
suatu akibat pada yang Iain-lain, yang dapat dihitung.
Apabila di dalam gejala pembunyian, sesuatu menampak-
kan suatu ciri universal yang muncul di atas segalu kebinekaan
lokal fonem-fonem, kemungkinan besar itu adalah keteraturan
yang dipermasalahkan di atas. Di sinilah pentingnya fonologi
kelompok bunyi bagi linguistik umum. Sementara orang pada
umumnya membatasi diri pada pemberian aturan pengucapan
segala bunyi, unsur-unsur langue ymg secara kebetulan bprubah.
fonologi kombinatoris ini menetapkan kemungkinan-kemungkin^
an dan inenetapkan hubungan-hubungan konstan fonem-fonem
yang saling bergantung. Sehingga kasus hagl, balg, dan seba-
gainya (lihat halaman 126),|menimbulkan masalah sonan Indo-
Eropa yang begitu banyak diperdebatkan, padahal inilab bidang
di mana kita sangat membutuhkan fonologi seperti yang didefini-
sikan di atas, karena persukuan kata dalam hal ini merupakam
satu-satunya fakta yang berperan dari awal sampai akhir
Masalah itu bukan satu-satunya yang harus dipecahkan pleh
metode tersebut, tetapi satu kenyataan yang jelas; hampir tidak
mungkinlah untuk membicarakan masalah sonan di luar penga-
kuan hukum-hukum yang mengatur kombinasi fonem-fonem.

2. Hirupan dan Letupan 121

Kita mulai dari pengamatan dasar: apabila orang melafal-


kan suatu kelompok appa, orang menangkap suatu perbedaan
antara kedua bunyi p, yang satu berkaitan dengan penutupan,
yang kedua dengan pembukaan. Kedua kesan tersebut cukup
serupa sehingga orang telah melambangkan urutan pp dengan
satu p (lihat halaman 124, catatan 2 dan 3). Meskipun demikian
perbedaan itu memungkinkan kita untuk membedakan dengan
128

tanda khusus (><) kedua p dalam appa {appa) dan mengenal


keduanya pada saat tidak dalam keadaan berurutan (bdk. apta,
atpd). Pembedaan ini dapat dil^jutkan di luar oklusif dan
diterap^an pada bunyi frikatif {affa), bunyi sengau amma, bunyi
alir (a?/a), dan pada umumnya dapat diterapkan pada semua
fonem sampai juga vokal-vokal (adoa), kecuali a. Tadi telah
disebutkan bahwa penutupan disebut hirupan dan pe^bukaan
disebut letupan;jp disebut implosif(3) atau ekspiojsif (p). Dapat
pula orang bicara tentang bunyi-bunyi menutup dan bunyi-bunyi
membuka.
Besar kemungkinan,dalam kelompok seperti appa, dibeda-
kan di samping hirupan dan letupan,suatu kesenggangan di mana
oklusi diperpanjang ad libitum, dan menjadi fonem dengan
pembukaan lebih besar, seperti dalam kelompok alia, di mana
pemancaran bunyi itu sendiri yang terus berlangsung di dalam
alat-alat wicara. Secara umum, di dalam pertuturan mana pun
terdapat fase antara yang akan kita sebut tenggang atau
artikulasi panjang. Tetapi tenggang ini dapat bersenyawa dengan
artikulasi implosif karena dampaknya sama. Selanjutnya hanya
akan disebut hirupan atau letupan 1'
Metode tersebut, yang tidak akan dapat diterima dalam
suatu pengkajian fonologi yang lengkap, dapat dibenarkan dalam
suatu uraian yang mengarah pada suatu skema yang sesederhana
mungkin dari gejala persukuan kata yang dilihat dart faktor
pokoknya. Kami tidak beranggapan dengan metode ini akan
menyelesaikan semua kesulitan yang ditimbulkan oleh pemecah-
an pertuturan dalam suku-sukn kata, tetapi hanya memberikan
dasai" yang masuk akal bagi pengkajian masalah ini.
Satu eatatan lagi. Jangan merancukan gerakan-gerakan
menutup dan membuka yang diperlukan penghasilan bunyi-
bunyi, dengan berbagai pembukaan bunyi-bunyi itu sendiri.
Sembarang fonem dapat berupa implosif maupun eksplosif;
tetapi memang benar bahwa pembukaan mempengaruhi hirupan
dan letupan, dalam arti bahwa pembedaan antara kedua gerakan
tersebut akan sangat berkurang kejelasannya apabila pembukaan
bunyi lebih besar. Misalnya^^dengan i u u, masih tertangkap
sekali perbedaannya; dalam alia, mungkin diamati i menutup dan
129

i membuka; begitu juga dalam a^lia, akha dibedakan dengan


jelas buiiyi implosif dari bunyi eksplosif yang merigikuti sehing-
ga, bertentangan dengan kebiasaannya, aksara kadang-kadang
menandai pembedaan ini; w Inggris, y Jerman dan sering kali y
Perancis (dal^ yeux, dan Iain-lain) merupakan bunyi-bunyi
membuka (u, j)^yang beroposisi dengan u dan i yang digunakan
sebagai^ dan t. Tetapi pada tingkatan pembukaan yang lebih
tinggi (e dan o), hirupan dan letupan, yang secaral tedretis
terdengar (bdk. a^eii, a^&a), dalam ;praktiknya sangat sulit
dibedakan. Terakhir, seperti yang telah kita lihat di atas, pada
tingkatan tertinggi, a tidak menunjukkan hirupan maupun
letupan karena bagi fonem ini pembukaan menghapus semua
perbedaan yang semacam ini.
Kita perlu mengadakan tabel fonem kecuali bagi
a, dan menyusun daftar satuan-satuan yang tak teruraikan;
dan Iain-lain.
II, dan Iain-lain,
m dan Iain-lain,
r dan Iain-lain.
1 dan Iain-lain.
11, dan Iain-Iain.
a

Sama sekali kami tak bermaksud meniadakan pembedaan


yang terdapat dalam grafi(y w), kami tetap menjaganya dengan
seksama; pembenaran butir ini terdapat di belakang di bagian 7.
Untuk pertama kalinya, kita keluaf dari abstraksi; untuk
pertama kalinya muncul unsur-unsur konkret, yang tak dapat
dipisahkan, yang menduduki suatu posisi dan merupakan suatu
waktu di dalam pertuturan; dapat dikatakan bahwa P bukan apa-
apa kecuali suatu satuan abstrak yang mencakup ciri-ciri yang
sama dari ^ dan p, yang hanya ditemui dalam kenyataan, persis
sama dengan B P M yang disatukan dalam abstraksi lebih tinggi,
yaitu bunyi-bunyi labial. Orang bicara tentang P seperti orang
bicara tentang jenis hewan; ada jenis jantan dan betina, tetapi
tidak ada jenis ideal dari jenis lain. Abstraksi inilah yang telah
kita bedakan dan klasifikasikan sampai saat ini; tetapi perlu kita
melangkah lebih jauh lagi dan mencapai unsur konkret.
Adalah suatu kekelinian yang besar bagi fonologi kalau
130

menelaah abstraksi tersebut sebagai satuan riil, tanpa mengamati


lebih dekat perumusan satuan tersebut. Abjad Yunani berhasil
membedakan unsur-unsur abstrak tersebut, dan analisis yang
dikemukakannya memang, seperti yang telah kami sebutkan,
nierupakan yang paling menonjol; tetapi analisis ini masih belum
sempuma,dan berhenti pada tingkat tertentu.
Memang apalah artinya p, tanpa ciri lain? Kalau kita
menelaahnya dalam waktu,sebagai anggota wicara, ia tidak akan
khusus atau p, apalagi karena kelompok ini jelas tak dapat
dipisahkan; dan kalau kita meninjaunya di luar pertuturan dan
waktu, ia bukan lagi benda yang tidak memiliki kehadirannya
yang khas dan yang tidak dapat diapa-apakan. Apa makna yang
mandiri dari kelompok seperti / + g? Dua abstraksi tidak dapat
membentuk satu saat^ dalam waktu. Lain halnya kalau kita
bicara tentang )k, tic, Ik, tk dan dengan demikian mengelompok-
kan unsur parole yang sebenamya. Kita melihat mengapa bukup
ada dua unsur untuk membingungkan fonologi tradisional> dan
dengan demikian terdapat kemustahilan untuk menelaah, Seperti
yang dilakukan. melalui satuan-satuan fonolOgis abstrak.
Tadi telah disebutkan teori bahwa dalam sembarang fonem
sederhana yang ditelaah dalam wicara, misalnya p dalam pa atau
apa, terdapat secara berturutan sebuah hirupan dan sebuah
letupan (^f>pa). Kemungkinan besai; pembukaan mana pun harus
didahului suatu penutupan; untuk mengambil satu contoh lagi,
kalau saya mengatakan saya harus, setelah melakukan
penutupan r, menuturkan dengan anak tekak sebuah r membuka
sementara letupan p terbentuk ke arah bibir. Tetapi untuk
menjawab sanggahan tersebut, cukup kita memastikan yang
mana segi pandang kita. Dalam tindak pembunyian yang akan
kami analisis, kami hanya memperhitungkan unsur-unsur pem-
beda, yang tertangkap oleh telinga dan dapat digunakan untuk
membatasi satuan-satuan akustis' dalam pertuturan. Hanya
satuan-satuan akustis-ntotoris inilah yang harus ditelaah sehing-
ga pelafalan r eksplosif yang menyertai pelafalan p eksplosif bagi
kita tidak ada karena tidak menghasilkan bvinyi yang terdengar,
atau paling tidak, tidak berarti di dalam rangkaian fonem-fonem
tersebut. Inilah prinsip pokok yang harus dihayati untuk mema-
hami penjelasan berikutnya.
131

3.Berbagai Kombinasi Letupan dan Hirupan di dalam


Pertuturan'^^

Marilah sekarang kita lihat apa hasil dari urutan letupan


dan hirupan di dalam keempat kombinasi yang secara teoritis
mungkin:l" < >,2° > <,3° < <,4° > >.

l" Kelompok Eksplosif-Implosif. (< >). Orang selalu


dapat, tanpa merusak pertuturan, menggabung djia /pnem
yaitu sebuah eksplosif dan sebuah implosif. Misalnya: kr, kl, ym,
dan sebagainya (bdk. kata Sanskerta krta-, kata Ferancis kite
"quitter" (meninggalkan), bahasa Indo-Eropa ymto-, dan seba-
gaiiiya). Kemungkinan besar, korhbinasi-kombinasi tertentu,
seperti kt, dan sebagainya, tidak memiliki dampak akustis yang
tertangkap oleh telingga di dalam praktek pengungkapan, tetapi
bukannya tidak benar bahwa setelah melafalkan sebuah' k
membuka, alat-alat wicara berada dalam posisi yang dikehendaki
untuk menuju ke penutupan pada sembarang titik. Kedua fase
pembunyian tersebut dapat bergantian tanpa saling mengganggu.

2" Kelompok Implosif-Eksplosif (> < ). Dalam kondisi-


kondisi yang sama, dan dengan catatan yang sama, selalu
ada kemungkinan untuk menggabung dua fonem j^aitu sebuah
implosif dan sebuah eksplosif; sehingga terjadi im, fit, dan
sebagainya,,(bdk. bahasa Yunahi haima, bahasa Ferancis actif,
dan sebagainya).
Besar kemungkinan saat-saat artikulatoris yang berurutan
ini tidak berurutan sewajar kasus yang terdahulu. Antara hirupan
pertam'a dan letupan pertama ada perbedaan tersebut, yaitu
letupan yang cenderung membuat mulut bersikap netral, tidak
mengikat saat berikutnya, sedangkan hirupan menciptakan posisi
tertentu yagn tidak dapat digunakan sebagai titik tolak sem
barang letupan. Sehingga selalu diperlukan suatu gerakan
penyesuaian yang bertujuan mendapatkan posisi alat-alat wicara
yang perlu bagi pelafalan fonem kedua; sehingga, sementara
orang melafalkan s di dalam kelompok ^p, ia harus menutup bibir
untuk menyiapkan pelafalan p membuka. Tetapi pengalaman
menunjukkan bahwa gerakan penyesuaian ini tidak menghasil-
132

kan apa pun yang berarti, hanya bunyi-bunyi samar yang tidak
perlu diperhitungkan, dan juga tidak mengganggu kelanjutan
rangkaian.

3" Rangkaian Eksplosif (< <). Dua letupan dapat


dihasilkan berurutan; tetapi kalau letupan kedua merupakan
fonem yang kurang atau sama terbukanya, tidak didapatkan
kesan akustis, suatu satuan yang bisa ditemukan dalam kasus
yang sebaliknya seperti pada kedua kasus terdahulu; pk dapat
dilafalkan {pka) tetapi kedua bunyi ini tidak membentuk rang
kaian karena jenis P dan K sama terbukanya. Hal ini terjadi
pada lafal yang tidak wajar apabila orang berhenti setelah bunyi a
pertama dalam cha-pka.^ Sebaliknya, memberi kesan kesi-
nambungan (bdk. prix)-, ry juga tidak menimbulkan kesulitan
(bdk. rim). Mengapa demikian? Karena pada saat letupan
pertama terjadi, alat wicara sudah berada dalam posisi yang
dikehendaki untuk menghasilkan letupan kedua tanpa mengang-
gu dampak akustis dari bunyi pertama: misalnya dalam, prix,
sementara p dilafalkan, alat-alat wicara sudah berada dalam
posisi f. Tetapi tidak mungkin kita melafalkan rangkaiari sinam-
bung dalam deret yang sebaliknya rp; ini bukan karena secara
mekanis tidak mungkin bagi kita mengambil posisi ^ pada saat
kita melafalkan r membuka, melainkan karena gerakan P.
tersebut, yang bertemu dengan pembukaan p yang lebih kecil,
tidak dapat tertangkap oleh telinga. Sehingga kalau orang ingin
memperdengarkan P0, ia harus melafalkannya dua kali dan
pengungkapannya akan tersendat.
Suatu rangkaian .eksplosif sinambung dapat terdiri dari
lebih dari dua unsur, asal saja orang masih berpindah dari
pembukaan ^yang lebih kecil ke pembukaan yang lebih besar
(misalnya krwd). Dengan mengabaikan kasus-kasus yang tidak
perlu kita perdebatkan lagi^, dapat dikatakan bahwa jumlah
letupan yang mungkin dibatasi secara alami oleh jumlah derajat
pembukaan yang dapat dibedakan secara praktis.

4° Rangkaian Letupan (> >) dikuasai oleh hukum


yang sebaliknya. Selama sebuah foriem lebih terbuka dari
yang berikutnya, kita mendapat kesan kesinambungan
133

(misalnya ir, kalau syarat ini tidak terpenuhi, apabila fonem


berikutnya lebih terbuka atau sama terbuka dengan yang
terdahulu, pelafalan masih mungkin, tetapi tidak ada lagi kesan
kesinambungan: sehinggai dalam asrta memiliki ciri yang sama
dengan kelompok pfe dalam cha-pka (lihat di atas,|halaman 131
dan seterusnya). Gejala ini sejajar dengan gejala yang teiah kita
analisis di dalam rangkaian eksplosif: dalam H t berkat derajat
pembukaannya yang lebih rendah, memberikan kesempatan
letupan pada r; atau kalau diambil suatu rangkaian yang kedua
fonemnya tidak dilafalkan pada daerah yang sama, seperti rm, m
nya tidak memberi kesempatan pada ^ untuk melptup, 'tetapi
hasilnya sama saja, r meletup secara sempurna dengan pelafalan
yang lebih tertutup. Kalau tidak, seperti pada kasus sebaliknya
letupan yang terdengar, yang secara mekanis perlu, akan
memutuskan rangkaian.
Tampak bahwa rangkaian letupan, seperti juga rangkaian
eksplosif, dapat terdiri dari dua unsur, apabila salah satunya
memiliki pembukaan yang lebih banyak daripada yang berikut
nya (bdk. ars).
Kita tinggalkan pemutusan rangkaian, dan marilah kita
menempatkan diri di depan rangkaian sinambung yang wajar,
yang dapat disebut rangkaian "fisiologis", yang dapat diwujudkan
oleh kata Perancis particuMrement, atau p&t^ulyerma. Rang
kaian ini ditandai oleh urutan rangkaian eksplosif dan letupan
yang bertahap, yang sesuai dengan pembukaan dan penutupan
alat-alat wicara.
Rangkaian wajar yang dirumuskan seperti di atas mengaki-
batkan kenyataan-kenyataan berikut, yang sangat penting.

4. Batas Suku Kata dan Puncak Vokalis'^^

Apabila di dalam serangkaian bunyi terjadi perpindahan


hirupan ke letupan(> <), akan diperole^dampak khusus, yaitu
adanya batas suku kata, misalnya dalam ik dari particuMrement.
Kondisi mekanis yang terjadi secara kebetulan dan teratur ini,
serta memiliki dampak akustis yang tertentu, menjamin keha-
diran kelompok implosif-eksplosif secara mandiri di dalam
134

susunan fonologi: apa pun bunyi yang membentuknya, ciri


tersebut tetap ada; kelompok ini merupakan satu jenis tersendiri
yang mengandung bunyi-bunyi sebanyak kombinasi yang mung-
kin ada.
Pada kasus-kasus tertentu, batas suku kata dapat, berada
pada puncak yang berbeda dari serf fonem yang sama. Hal ini
tergantung dari cepat lambatnya perpindahan hirupan ke letup-
an. Sehingga, di dalam kelompok ardra, rangkaian tidak terpu-
tus, meskipun kita memutusnya seperti h^kra atau seperti ardra,
karena ara yang merupakan rangkaian implosif, sama bertahap-
nya dengan ar, rangkaian eksplosif. I^al yang |ama mungkin
terjadi pada iilye dari particuliirement(ulye atau ^ye).
Kedua, akan kita lihat bahwa di tempat terjadinya perpin
dahan dari kesenyapan ke hirupan pertama(>), misalnya dalam
krt dari artiste, atau dari hirupan ke letupan(< >),seperti dalam
f>krt dari particuUerement, bunyi tempat terjadinya hirupan
pertama tadi dapat dibedakan dari bunyi-bunyi di sampingnya
karena kekhasan, yaitu dampak vokalis. Dampak ini sama sekali
tidak tergantung dari tingkat pembukaan yang lebih besar pada
bunyi a, karena dalam pr^, bunyi r menghasilkan dampak yang
sama; dampak ini inheren di dalam hirupan pertama, apa pun
jenis fonologisnya, artinya tingkat pembukaannya; juga tidak
penting apakah hirupan ini datang setelah kesenyapan atap
letupan. Bunyi yang memberi kesan tersebut oleh ciri hirupan
pertamanya dapat disebut puncak vokalis.
Satuan itu disebut pula sonan dan semiia bunyi yang
mendahuluinya atau mengikutinya di dalam suku kata yang sama
disebut konsonan. Istilah vokal dan konsonan seperti yang kita
lihat pada halaman 122 digunakan untuk menyebut jenis-jenis
lain; sonan dan konsonan digunakan untuk menyebut fungsi-
fungsi di dalam suku kata. Tata istilah ganda ini menghindarkan
kita dari kerancuan yang selama ini terjadi. Jadi jenis I adalah
sama dalam fidUe 'setia' dan pied 'kaki': yaitu vokal; tetapi ia
sonan di dalam fid^e 'setia' dan kosonan di dalam pied 'kaki'.
Pengamatan menunjukkan bahwa sonan selalu implosif sedang-
kan konsotian kadang-kadang implosif(misalnya T di dalam kata
Inggris boi yang tertulis "boy) kadang-kadang eksplosif (mi-
135

salnya y di dalam kata Perancis ^yi yang tertulis "pied"). Hal ini
memperlihatkan dengan jelas pembedaan yang terdapat antara
kedua fungsi tersebut. Memang benar e o a selalu merupakan
sonan, tetapi hal itu hanya suatu kebetulan: karena mereka
memiliki pembukaan yang lebih besar dari bunyi-bunyi lain
mereka selalu berada di awal rangkaian implosif. Sebaliknya,
letupan yang memiliki pembukaan minimal, selalu konsomn.
Dalam praktek,fonem-fonem berpembukaan 2,3 dan 4(sengau,
likUida, semi-vokal) yang mungkin memainkan kedua peran ter-
gantung dari lingkungan mereka dan hakekat pelafalan.

5. Kritik Terhadap Teori Persukuan Kata'^'*

Di dalam wicara mana pun, dan di dalam suku kata


manapun, telinga menangkap pemisahan sebuah sonan dalam
suku kata. Kedua fakta ini sudah diketahui, tetapi kita patut
mempertanyakan kesahihannya. Berbagai penjefesan telah
diberikan:
l" Dengan teramatinya beberapa fonem lebih bersuara dari
yang lain, orang berusaha menetapkan suku kata berdasarkan
sonoritas fonemnya. Tetapi mengapa fonem-fonem bersuara
seperti i dan u tidak selalu membentuk suku kata? Lagi pula, di
mana berhentinya sonoritas, karena frikatif seperti s dapat
membentuk suku kata, misalnya dalam pst? Kalau memang
hanya sonoritas pertemuan bunvi-bunyi dasarnya, bagaimana
menjelaskan kelompok seperti wl (misalnya: kata Indo Eropa
*wlkos "serigala"), di mana justru unsur-unsur paling tidak
bersuara yang membentuk suku kata?

2° Sievers adalah yang pertama menetapkan bahwa bunyi


yang tergolong dalam vokal mungkin saja tidak memberikan
kesan vokal (telah kita lihat misalnya y dan w tidak berbeda
dengan i dan u); tetapi kalau ditanyakan mengapa terjadi fungsi
ganda, atau dampak akustis ganda (karena kata "fungsi" tidak
mempunyai arti lain), jawabnya: bunyi tertentu mempunyai
fungsi tertentu tergantung dari "tekanan suku kata" yang didapat-
nya atau tidak.
136

Di sinilah letak lingkaran setannya: atau saya bebas dalam


keadaan apa pun untuk memberi sesuka hati tekanan suku kata
yang menciptakan sonan sehingga tidak ada alasan untuk memi-
lih istilah persukuan kata dari sonan; atau, kalau tekanan suku
kata ada artinya, mungkin diperlukan hukum suku kata. Yang
terjadi adalah bukan saja orang tidak membuat hukum tersebut.
tetapi keadaan sonantis disebut "silbenbilend", seakan pemben-
tukan suku kata tergantung dari tekanan tersebut.
Tampak di sini bagaimana metode kita bertentangan
dengan kedua metode di atas: dengan analisis suku kata, seperti
apa adanya di dalam tuturan, kita memperoleh satUan yang tak
tergoyahkan, yaitu bunyi membuka dan bunyi menutup. Kemu-
dian dengan mengkombinasikan satuan-satuan tersebut, kita
berhasil menetapkan batas suku kata dan puncak vokalis. Oleh
karenanya, kita mengetahui dalam kondisi fisiologis mana
dampak-dampak akustik tersebut seharusnya dihasilkan. Teori-
teori yang dikritik di atas mengikuti jalan sebaliknya: orang
mengambil jenis-jenis fonologi secara terpisah, dan dari bunyi-
bunyi tersebut ditetapkan batas suku kata dan tempat sonan.
Padahal, karena ada deret fonem apa pun, mungkin saja ada satu
cara melafalkan yang lebih wajar dan lebih mudah dari yang lain:
tetapi pemilihan antara lafal membuka dan lafal menutup muncul
dalam skala yang luas, dan justru dari pemilihan inilah, dan
bukan langsung dari jenis-jenis fonologi, tergantung persukuan
kuta.
Mungkin sekali teori ini tidak menyelesaikan segala masa-
lah. Jadi, hiatus yang begitu sering digunakan, tidak lain adalah
rangkaian implosif terputus, dengan atau tanpa kehendak kita:
misalnya i-i(dalam il cria) atau u-i (dalam ebahi). Hiatus lebih'
mudah terjadi pada jenis-jenis fonologis yang pembukaannya
besar.
Ada juga kasus rangkaian eksplosif terputus, yang tanpa
penahapan, termasuk dalam rangkaian fonis yang sama dengan
kelompok-kelompok yang wajar; kita telah menelaah kasus ini
ketika membicarakan kata Yunani'A:tem<?, halaman 132, catatan.
Contoh lain adalah kelompok pzta: kelompok ini hanya dapat
dilafalkan secara normal seperti pzta:jadi harus mengandung dua
suku kata, dan memang dimilikinya kalau bunyi z yang dila-
137

ringisasi diperdengarkan dengan jelas; tetapi kalau z melemah


karena ia salah satu dari fonem yang pembukaannya sangat
sedikit, oposisi antara z dan a berakibat bahwa yang tertangkap
bukan lagi satu suku kata dan yang terdengar kira-kira pz^.
Bagi kasus mana pun yang sejenis, campur tangan kehen-
dak dan maksud dapat. menipu dan dalam batas tertentu
membelokkan kebutuhan fisiologis. Sering kali sulit untuk
dikatakan dengan pasti bagian mana yang menjadi bagian salah
satu dari kedua faktor tersebut. Meskipun demikian, pembu-
nyian menghendaki adanya urutan hirupan dan letupan, dan
inilah syarat dasar persukuan kata.

6. Rentang Waktu Hirupan Dan Letupan'^''

Dengan menjelaskan suku kata melalui permainan hirupan


dan letupan, kita dibawa pada suatu pengamatan yang luas, yang
hanya merupakan generalisasi suatu fakta metrik. Dalam kata-
kata Yunani dan Latin dibedakan dua macam panjang: panjang
alami (mater) dan panjang karena posisi (foetus). Mengapa fac
panjang di dalam/nctwj? Jawabnya: karena adanya kelompok c/;
tetapi kalau dasarnya kelompok itu sendiri, suku kata mana pun
yang dimulai dengan dua kons.^an juga memiliki ciri panjang;
padahal tidak semuanya|(bdk. c/ienj, dan Iain-lain).
Alasan sebenarnya adalah karena letupan dan hirupan
sama sekali berbeda dalam hubungan panjangnya. Letupan
selalu begitu cepat sehingga tak tertangkap oleh telinga; itu pula
sebabnya mengapa letupan tidak memberi kesan vokalik. Hirup
an satu-satunya yang dapat ditangkap; ini yang memberi kesan
bahwa vokal yang mengawali panjang.
Di lain pihak kita tahu bahwa vokal-vokal yang terletak di
depan sekelompok yang dibentuk dari oklusif atau frikatif likuida
dilafalkan dengan dua cara: dalam patrem, a dapat panjai^ ataii
pendek: hal ini bermula dari prinsip yang sama. Memang ir dan tr
terlafalkan juga: cara melafalkan yang pertama memungkinkan
bagi a untuk tetap pendek; cara pelafalan kedua membentuk
suku kata panjang. Pelafalan ganda dari a ini tidak mungkin di
dalam kata seperti foetus karena hanya t satu-satunya yang ter
lafalkan di samping ct.
138

7. Fonem-fonem dengan Pembukaan Keempat. Diftong. Masalah


Ejaan'^^

Terakhir, fonem-fonem dalam kelompok pembukaan ke


empat perlu pula diperhatikan. Telah kita lihat pada halaman
12^129 bahwa bertentangan dengan yang terjadi ada bunyi-
bunyi lain, kebiasaan telah menyediakan bagi fonem-fonem ini
ejaan ganda (w = u, u = u, y = i, i = i). Ini karena di dalam
kelompok seperti aiya, auwa tertangkap, lebih baik daripada di
teny)at mana pun, perbedaan yang^ ditandai oleh < dan
>;i dan u jelas memberi kesan vokal, i dan u konsonan.'^ Tanpa
menganggap diri menjelaskan fakta tersebut, kami mengamati
bahwa i konsonan ini tidak pernah ada ^alam bentuk menutup.
Jadi, tidak mungkin diperoleh ai yang i nya memberi dampak
yang sama dengan y dalam aiya (bandingkan kata Inggris boy
dengan kata Perancis pied). Jadi, karena posisilah y merupakan
konsonan dan i merupakan vokal karena variasi I tersebut juga
tidak dapat terungkap di sembarang tempat. Pengamatan yang
sama dapat diterapkan bagi u dan w,u dan w.
Hal ini menjelaskan masalah diftong. Diftong hanyalah
suatu kasus khusus dari rangkaian implosif; kelompok hrta dan
^uta juga mutlak sejajar; beda keduanya adalah hanya pembu
kaan unsur kedua: sebuah diftong adalah sebuah rangkaian
implosif dari dua fonem yang fonem keduanya relatif terbuka.
Oleh karena itu memberi kesan akustik yang khas: seolah sonan
itu berlanjut di dalam unsur kedua kelompok tersebut. Sebalik-
nya kelompok seperti tya tidak ada bedanya dengan kelompok
seperti tra, kecuali oleh tingkatan pembukaan eksplosif yang
terakhir. Hal ini sama saja dengan mengatakan bahwa kelompok-
kelompok yang disebut diftong menaik oleh para ahli fonologi
bukanlah diftong, tetapi kelompok eksplosif-implosif yang unsur
pertamanya relatifterbuka, tetapi tanpa mengakibatkan apa pun
^dari segi akustik (t^a). Sedangkan kelompok-kelompok tipe ho,
ia, dengan tekanan pada u dan i, seperti yang didapati di dalam
beberapa dialek Jerman (bdk.' buob, liab), juga diftong palsu
yang tidak memberi kesan satuan seperti ou, ai, dan Iain-lain;
kita tidak dapat melafalkan uo sebagai implos. + implos, tanpa
memutus rangkaian, kecuali kalau suatii rekan memaksakan
pada kelompok tersebut satuan yang tidak ada secara alami.
139

Definisi diftong tersebut, yang meletakkan diftong pada


prinsip umum rangkaiian implosif, menunjukkan bahwa diftong
bukanlah seperti yang dikira orang, sesuatu yang tidak ada
hubungannya, tidak tergolongkan di antara gejala-gejala fonolo-
gis. Tidak ada gunanya membuatkan kotak khusus untuknya.
Ciri khasnya sebenarnya tidak ada artinya atau tidak penting
sama sekaU: yang penting bukannya menetapkan akhir dari
sonan, tetapi awalnya.
Sievers dan banyak ahliilinguistik'^' membedakan aksara i,
u, a, f, n dan Iain-lain dan i, jj(,. r, n, dan Iain-lain (j =
"unsilbisches" i, i = "silbisches" i), dan mereka menulis mirta,
mairta, miarta, sedangkan kami menulis mirta, mairta, myarta.
Karena ternyata bahwa i dan y merupakan jenis fonologi yang
sama, mereka menginginkan di atas segalanya satu tanda generis
yang sama (sama halnya dengan anggapan bahwa rangkaian
bersuara terbentuk dari jenis-jenis yang berdampingan). Tetapi,
catatan ini, meskipun didasari oleh kesaksian telinga berten-
tangan dengan akal sehat dan justru menghapus pembedaan yang
sebenarnya penting sekali dilakukan. Akibatnya: 1) i, u membu-
ka (= y, w) dirancukan dengan i, u menutup; misalnya orang
tidak- dapat membedakan antara newo dan neuo; 2) sebaliknya,
orang memecah i, u menutup menjadidua(bdk. mirta dan mairta).
Berikut ini beberapa contoh kelemahan ejaan tersebut. Misalnya
kata Yunani kuno dwis dan dusi, dan di lain pihak rhdwd dan
rheuma: kedua oposisi tersebut terjadi persis dalam lingkungan
fonologis yang sama dan terungkap secara wajar oleh oposisi
gratis yang sama: tergantung apakah u diikuti oleh fonem yang
lebih atau kurang terbuka, ia dapat membuka(w)atau menutup
(m). Tetapi kalau ditulis duis, dusi, rheuo, rheuma, semuanya
akan hilang. Demikian pula halnya dalam bahasa Indo-Eropa
kedua serf mater, mdtrai, mdteres, matrsu dan suneu, sunewai,
sunewes, sunusu, sama sekali sejajar di dalam memperlakukan r
di satu pihak dan u di lain pihak; di dalam yang kedua paling
tidak oposisi antara hirupan dan letupan nampak di dalam
aksara, sedangkan oposisi tersebut dikaburkan oleh grafi yang
dikritik di atas {sunue, sune\iai, suneues, sunusu). Bukan saja
seharusnya mempertahankan perbedaan yarig dibuat oleh kebia-
saan, antara bunyi membuka dan bunyi menutup (u:w dan lain-
140

lain), tetapi kita seharusnya memperluas ke seluruh sistem dan


menuliskan, misalnya: mater, rndtpai, mdtepes, matrsu; sehingga
permainan persukuan kata muncul dengan jelas; puncak vokalis
dan batas suku kata akan muncul dengan sendirinya.
Catalan para penyunting. Teori-teori tersebut menerangi
sejumlah masalah, yang beberapa di antaranya telah ditelaah
oleh F. de Saussure di dalam kuliah-kuliahnya. Berikut ini kami
berikan beberapa contoh.
1. Sievers mengutip beritni}nn (Jerman beritenen) sebagai
contoh khas yang memperlihatkan bahwa bunyi yang sama dapat
berfungsi dua kali secara bergantian, yaitu sebagai^yonun dan
dua kali sebagai konsonan (sebenarnya n di sini hanya berfungsi
satu kali sebagai konsonan dan harus ditulis beritnnn; tetapi ini
tidak penting). Tidak ada contoh yang lebih mencolok untuk
memperlihatkan bahwa "bunyi" dan "jenis" bukan sinonim.
Memang, seandainya kita tetap menekan n, artinya mengguna-
kan hinipan dan lafal tertahan, kita akan memperoleh hanya satu
suku kata panjang. Untuk menciptakann alternansi n sonan dan
konsonan, hirupani(n pertama) harus diikuti letupan n kedua),
kemudian membuat hirupan lagi (n ketiga). Karena kedua
hirupan tersebut tidak didahului oleh hirupan lain, keduanya
memiliki ciri sonantis.
2. Di dalam kata Perancis seperti meurtrier 'pembunuh\
ouvrier 'buruh', dan Iain-lain, akhiran -trier, -vrier dahulu kala
hanya membentuk satu suku kata (mengenai lafalnya, bdk
halaman 142 catatan 3). Kemudian orang mulai melafalkannya
sebagai dua suku kata {meur-tri-er, dengan atau tanpa hiatus,
artinya -ihe atau -thye). Terjadi perubahan, tetapi bukannya
meletakkan "tekanan suku kata" pada unsur i, melainkan dengan
mengubah lafal eksplosifnya menjadi lafal implosif.
Orang awam mengucapkan ouverier untuk ouvrier: gejala
yang serupa dengan di atas, hanya saja unsur kedua dan bukan
ketiga yang lafalnya berubah dan menjadi sonan: uvrye-uv^e.
Kemudian sebuah e terbentuk di depan r sonan.

3. Perlu dicatat pula kasus yang begitu terkenal, yaitu vokal-


vokal protetik di depan s yang diikuti oleh konsonan di dalam
bahasa Perancis: kata latin scutum —> isciitum —*■ Perancis
141

escu, ecu. Kelompok ^i^,telah kita lihat pada halaman 182,


adalah rangkaian terputuis; lebih wajar. Tetapi 5 implosif itu
harus membentuk puncak vokalis apabila ia berada di awal
kalimat atau apabila kata yang mendahului berakhir dengan
sebuah konsonan yang pembukaannya kecil. i dan e protetis
hanya menonjolkan ciri sonantis tersebut; ciri fonologis mana
pun yang tidak peka cenderung untuk membengkak kalau kita
pertahankan. Ini gejala yang terjadi pada kasus esclandre dan
lafal pasar* esquelette, estatue. Gejala yang sama pula yang kita
dapati dalam lafal kasar preposisi de, yang ditranskripsikan ed:
un ceil ed tanche. Dengan terjadinya sinkope, de tanche menjadi
d'tanche; tetapi agar d terdengar pada posisi tersebut, ia harus
implosif: ^tanche, dan sebuah vokal terbentuk di depannya
seperti pada kasus terdahulu.
4. Sebenarnya tidak perlu kita kembali pada masalah sonan
Indo-Eropa, dan mempertanyakan misalnya mengapa kata Jer-
man Tinggi Kuno hagl berubah menjadi hagal, sedangkan balg
tetap. I pada kata jj^ang terakhir, unsur kedua dari suatu
rangkaian implosif {bal^, memainkan peran konsonan, sehingga
tidak ada alasan baginya untuk berubah fungsi. Sebaliknya I,
yang juga implosif, dari hagl membentuk puncak vokalis. Karena
sonantik, telah terbentuk di depannya sebuah vokal yang lebih
membuka (sebuah a, kalau ejaan dapat dipercaya). Lagi pula,
vokal ini melemah bersama waktu karena kini Hagel dilafalkan
kembali ha^. Bahkan itulah yang membedakan lafal kata
tersebut dengan lafal kata Perancis aigle; I menutup dalam kata
Germania ^an nfiembuka dalam kata Perancis dengan e final
senyap (^gte)

Catatan
I. Justru itulah salah satu butir dalam teori, yang paling mudah diserang. Untuk
menghindari sanggahan, dapat dicatat bahwa artikulasi panjang seperti
halnya artikulasi / merupakan basil dari dua kekuatan; (1) tekanan udara
pada dinding yang menghambatnya dan (2) tahanan dinding tersebut yang
menyempit untuk mengimbangi tekanan tadi. Jadi, tenggang hanya berupa
hirupan yang dilanjutkan. Oleh karenanya, jika pulsa dan tenggang yang
jenisnya sama, dampaknya sinambung dari ujung ke ujung. Mengingat hal
itu, bukannya tidak logis apabila kedua jenis artikulasi tersebut dipersatukan
142

dalam satu satuan mekanis dan akustis. Letupan, sebaliknya, beroposisi


dengan keduanya: letupan menurut definisi merupakan pelepasan; lihat juga
bagian 6 (Penyunting). •
2. Kemungkinan besar beberapa kelompok dari kategori tersebut lazim di
dalam bahasa-bahasa tertentu (misalnya kt awal dalam bahasa Yunani;(bdk
ktein6)\ tetapi meskipun mudah dilafalkan, kelompok ini tidak merupakan
satuan akustis (lihat catatan berikutnya).
3. Di sini demi penyederhanaan yang disengaja, fonem hanya diperhatikan
tingkat pembukaannya, tanpa memperhitungkan tempat maupun ciri khusus
pelafalannya (apakah itu sebuah bunyi bersuara atau tidak, apakah itu bunyi
getar atau lateral, dan sebagainya). Jadi, kesimpulan yang ditarik dari prinsip
tunggal pembukaan tidak dapat diterapkan pada semua kasus riil tanpa
kecualian. Sehingga dalam sebuah kelompok seperti frya ketiga unsur
pertama sulit dilafalkan tanpa pemutusan rangkaian: trya (kecuali kalau y
gugur bersama r karena palatalisasi); padahal ketiga unsur tersebut try
membentuk rangkaian eksplosjf sempurnal(bdk juga halaman 140 mengenai
meuTy pembunuh, dan sebagainya); sebaliknya trwa X\ddk menimbulkan
kesulitan, Perlu dicatat pula rangkaian seperti pm/a, dan sebagainya, di
rnana sulit sekali untuk tidak melafalkan bunyi sengau secara implosif
(pmta). Kasus-kasus menyimpang ini khususnya muncul di dalam letupan,
yang secara alamiah merupakan tindak mendadak dan tidak mengalami
keterlambatan. (Penyunting).
4. Jangan merancukan unsur pembukaan keempat ini dengan frikatif palatal
lembut (liegen dalam bahasa Jerman Utara). Jenis fonologi ini termasuk
golongan konsonan dan memang memiliki semua ciri konsonan.

* (Catatan penerjemah Indonesia). Seharusnya squelette daT\\statue.


BAGIAN PERTAMA
PRINSIP-PRINSIP UMUM
BAB I

HAKEKAT TANDA BAHASA

1. Tanda, Petantda, Penanda^^^

Bagi orang-oranjg tertentu, bahasa^ yang dikembalikan ke


prinsip dasamya, merupakan sebiiah tata nama, artinya sebiiah
daftar istilah yang mewakili sejumlah hal atau ^nda.^^^ Misal-
nya:
Konsepsi tersebut da-
pat dikritik dari segala segi.
Pertama prinsip tersebut
mensyaratkan adanya gagas- I t ARBOR
an yang sudah jadi sebelum
ada kata(mengenai butir ini,
lihat lebih jauh, halaman
204); kedua, prinsip tersebut
tidak mengatakan apakah ' : EQVOS
kata berwujud bunyi atau
berwujud psikis karena ar
bor dapat ditinjau dari ke
dua aspek tersebut; ketiga,
prinsip tersebut membiarkan orang menganggap bahwa hubung-
an yang menyatukan kata dengan hal atau benda merupakan
146

kegiatan yang sangat sederhana, suatu pandangan yang jauh dari


kebenaran. Sementara itu pandangan yang terlalu sederhana
dapat mendekatkan kita pada kenyataan, dengan menunjukkan
kepada kita bahwa satuan bahasa adalah sesuatu yang ganda,
yiang dibentuk dari pendekatan dan unsur.
Kita telah melihat pada halaman 78, dalam pembicaraan
mengenai arus wicara, bahwa istilah-istilah yang terlibat dalam
tanda bahasa, keduanya bersifat psikis dan dikumpulkan dalam
otak kita dalam hubungan asosiatif. Butir ini perlu ditegaskan.
Tanda bahasa menyatukan, bukan hal dengan nama,
melainkan konsep dan gambaran akustis.''^^® Yang terakhir ini
bukannya bunyi materiil, sesuatu yang murni fisik, melainkan
kesan psikis'^' yang ditinggalkan bunyi tersebut, pengungkapan
yang diberikan kepada kita oleh kesaksian indria kita pada bunyi
tersebut; ia bersifat sensorial, dan kalau kita terpaksa menyebut-
nya "materiil", itu hanyalah dengan makna di atas dan berbeda
dengan istilah lain dalam asosiasi, yaitu konsep yaug pada
umumnya lebih abstrak.
Ciri psikis gambaran akustis tadi muncul dengan jelas
apabila kita mengamati bahasa kita sendiri. Tanpa menggerak-
kan bibir maupun lidah, kita dapat berbicara dengan diri sendiri
atau menyitir sebaris sajak di luar kepala. Hal ini dimungkinkan
karena kata-kata dalam bahasa, bagi kita, adalah gambaran.
akustis. Kita perlu menghindari pembicaraan tentang "fonem"
yang membentuk gambaran akustis tersebut. Istilah ini, yang
melibatkan suatu gagasan tindakan pembunyian, hanya dapat
diterapkan pada kata lisan dan pada realisasi gambaran yang
terdapat di dalam wacana. Dengan berbicara tentang bunyi dan
suku kata sebuah kata, kita terhindar dari kesalahpahaman itu,
asalkan kita ingat bahwa kita berurusan dengan gambaran
akustik.
Jadi lambang bahasa ada
lah satuan psikis yang bermuka
dua, yang dapat digambarkan Konsep
sebagai berikut:
Gambaran
Kedua unsur tersebut ber-
akustis
satu padu dan saling memicu. '^
Kalau kita mencari makna dari
147

kata Latin arbor atau kata yang digunakan bahasa Latin untuk
menamai konsep "pohon", jelaslah bahwa hanya pendekatan
yang dilakukan langue nampak bagi kita sesuai dengan kenya-
taan, dan kita mengesampingkan pendekatan yang lain, yang
mungkin ada'^^
Definisi ini menimbulkan masalah terminologi yang be-
sar,'33 Yang kita sebut tanda adalah kombinasi konsep dan
gambaran akustik: tetapi dalam bahasa sehari-hari, istilah ter-
sebut pada umumnya hanya menunjuk gambaran akustis, misal-
nya sebuah kata {arbor, dan Iain-Iain). Orang lupa bahwa kalau
arbor disebut tanda, hanyalah jika ia menyandang konsep
"pohon", sehingga gagasan yang berasal dari bagian sensori
menumbuhkan gagasan dalam keseluruhan tanda.

Makna ganda akan hilang seandaiiiya kita menyebut ketiga


pengertian di atas dengan nama^nama yang saling membntuhkan
dan sekaligus bertentangan. Kami usulkan untuk tetap naemakai
kata signe (tanda) untuk menunjuk keseluruhannya, dan meng-
ganti concept(konsep) dan image acoustique (gambaran akustis)
masing-masin^ dengan petanda dan penanda; istilah-istilah
yang terakhifini memiliki kel'^bihan, yaitu meriandai dposisi yang
memisahkan keduanya, atau memisahkan mereka dari kese
luruhan di mana mereka menjadi bagian. Sedangkan mengenai
tanda, kalau kami mempertahankannya, adalah karena kami
tidak tahu harus diganti dengan apa, sedangkan bahasa sehari-
hari tidak menyediakan istilah yang lain.^^^
Tanda bahasa yang definisinya seperti di atas ini memiliki
dua ciri dasar. Dengan mengemukakan ciri-ciri tersebut kita
membentuk prinsip yang sebenarnya dari penelaahan bidang ini.
148

2. Prinsip Pertama: Kesemenaan Tandai'35

Ikatan yang mempersatukan penanda dengan petanda


bersifat semena, atau juga, karena lambang bahasa kita mengar-
tikan sebagai keseluruhan yang dihasilkan oleh asosiasi suatu
penanda dengan suatu petanda, kita dapat mengatakan bahwa:
tanda bahasa bersifat semena.
Sehingga gagasan "soeur" 'saudara perempuan' tidak ada
hubungan intern sama sekali dengan urutan bunyi s-d-r yang
merupakan penandanya: penanda dapat saja diungkapkan oleh
bentuk apa pun yang lainnya: sebagai bukti terdapat perbedaan
antara bahasa-bahasa dan adanya bahasa-bahasa yang berbeda:
petanda "boeuf" 'sapi' memiliki penanda b-6-f d\ sisi perbatasan
yang satu, dan o-k-s (Ochs) di sisi yang lain.'"
Prinsip kesemenaan tanda tidak dibantu oleh seorang pun;
tetapi sering kali lebih mudah untuk menemukan suatu kenya-
taan daripada memberinya tempat yang sesuai. Prinsip yang
dikemukakan di atas menguasai seluruh ilmu bahasa; konse-
kuensi yang diturunkannya tak terhitung jumlahnya. Memang
konsekuensi-konsekuensi tersebut dengan sekali pandang tidak
nampak dengan sama jelas;, baru setelah berulang kembali kita
akan menemukannya dan bersamanya muncul pula kepentingan
utama dari prinsip tersebut."®
Satu catatan sambil lalu: apabila semiologi telah tersusun,
ilmu ini harus mempertanyakan apakah cara-cara pengungkapan
yang didasarkan pada tanda-tanda alami - misalnya pantomim -
tercakup di dalamnya?!'^^ Seandainya semiologi menerimanya,
objek yang pokok baginya tetap saja berupa himpunan sistem-
sistem yang didasari oleh kesemenaan tanda. Memang sarana
pengungkapan apa pun yang diterima dalam suatu masyarakat
pada dasarnya didasari oleh suatu kebiasaan kolektif atau, yang
sama saja artinya, oleh konvensi. Tanda-tanda sopan santun,
misalnya, yang sering kali nampak sebagai pengungkapan alami
(ingat bangsa Cina yang menghormati kaisarnya dengan mem-
bungkuk sampai ke tanah sembilan kali), bukannya tidak ditetap-
kan oleh suatu peraturan; peraturan itulah yang memaksa orang
untuk mempergunakan tanda-tanda tersebut, bukannya nilai in-
trinsik mereka. Jadi, dapat dikatakan bahwa tanda-tanda yang
149

sama sekali semena, lebih dapat mengungkapkan gagasan proses


semiologis yang Iain; itu sebabnya langue adalah yang paling
kompleks dan paling tersebar dibandingkan sistem-sistem peng-
ungkapan yang lain, juga yang paling khas dan semuanya; de-
ngan pengertian ini linguistik dapat menjadi pemandu umum
dari semiologi mana pun, meskipun langue hanyalah suatu sistem
yang khas.
Orang telah mempergunakan kata lambang untuk
menyebut lambang bahasa, atau lebih tepat apa yang kita sebut
penanda. Terdapat beberapa keberatan untuk menerimanya dan
mi justru disebabkan oleh prinsip kita yang pertama. Ciri
lambang adalah bahwa ia tidak selalu semena, ia tidak hampa;
ada suatu dasar dari ikatan alami antara penanda dan petanda.
Lambang keadilan, timbangan, tidak mungkin diganti dengan
sembarang lambang, sebuah kereta misalnya.
Kata semena perlu pula dijelaskan. Kata ini tidak boleh
memberi gagasan bahwa penanda tergantung dari pilihan bebas
penutur (akan nampak di bawah ini bahwa bukan wewenang
individu untuk mengganti sebuah lambang, sekali lambang itu
melembaga di dalam suatu masyarakat bahasa); yang kami
maksud adalah tanpa motif, artinya semena dalam kaitannya
dengan petanda karena penanda tidak memiliki ikatan alami apa
pun dengan petanda di dalam kenyataan.'""
Sebagai kesimpulan mari kita catat dua keberatan yang
mungkin diajukan pada peletakan prinsip yang pertama ini:
1. Mungkin saja kita bertopang pada onomatopS^'*^ untuk
mengatakan bahwa pilihan penanda tidak selalu semena. Tetapi
onomatope tidak pernah merupakan unsur-unsur organis di
dalam suatu sistem bahasa. Lagi pula jumlahnya jauh lebih
sedikit daripada yang diperkirakan. Kata-kata seperti fouet
'cambuk' atau glas 'bunyi lonceng gereja pertanda ada orang
meninggal' dapat menusuk telinga-telinga tertentu karena
suaranya yang sugestif; tetapi untuk melihat bahwa kata-kata
tersebut asalnya tidak memiliki ciri ini, cukup kita melihat
bentuk-bentuk kata Latinnya (fouet adalah turunan dari fagus
"hetre" 'nama pohon hutan berbatang tinggi dan lurus berkulit
keputihan', glas = classicum).; ciri-ciri bunyi kata-kata itu
dalam perkembangan mutakhir, atau lebih tepat yang diberikan
150

orang kepada kata-kata itu, adalah hasil wajar dari evolusi bunyi.
Sedangkan mengenai onomatope sejati (tipe glou-glou, tic-
tac, dan sebagainya), bukan saja jumlahnya sangat sedikit, tetapi
pilihan mereka pun sebenarnya semena karena mereka hanya
tiruan kira-kira dan sudah setengah konvensional bagi bunyi-
bunyi tertentu (bandingkan kata Perancis ouaoua dan Jerman
wauwau). Di samping itu, sekali kata-kata itu dimasukkan ke
dalam langue, sedikit banyak akan terbawa dalam evolusi bunyi,
morfologi, dan sebagainya yang dialami kata-kata lain bdk.
pigeon 'merpati', dari kata Latin kasar pipid, yang merupakan
onomatope): bukti yang jelas bahwa onomatope telah kehilangan
sesuatu dari cirinya yang semula dan mengenakan ciri tanda
bahasa yang umum, yang tanpa motif.
2. Seruan,^'^^. yang sangat dekat dengan onomatope, juga
patut mendapat komentar yang sama dan tidak lebih berbahaya
bagi tesis kami. Orang tergoda untuk melihatnya sebagai
ungkapan-ungkapan spontan dari kenyataan, jadi didikte oleh
alam. Tetapi untuk sebagian besar daripadanya, dapat dikatakan
tidak selalu ada hubungan antara petanda dan penanda. Cukup-
lah kita bandingkan dua bahasa untuk melihat betapa ungkapan-
ungkapan tersebut berubah dari bahasa yang satu ke bahasa yang
lain (misalnya dalam bahasa Perancis aie\ sama dengan bahasa
Jerman au!). Lagi pula kita tahu bahwa banyak seruan yang mulai
memiliki makna tertentu (bdk. double] mordieu\ = mort Dieu,
dan sebagainya).
Ringkasnya, onomatope dan seruan memiliki kepentingan
yang sekunder, dan asal usul lambangnya sebagian mudah
diperdebatkan.

3. Prinsip Kedua; Ciri Linier Penandaj'"'''

Penanda (signifiant), yang hakekatnya auditif, berlangsung


dalam waktu dan memiliki ciri-ciri yang sama dengan waktu:
| a)ia
mengisi masa tertentu dalam waktu, dan b) masa ukur dalam satu-
satunya dimensi, yaitu sebuah garis.
Prinsip ini gamblang, tapi nampaknya orang selalu lalai
menyebutkannya; kemungkinan besar karena prinsip ini terlalu
151

sederhana; padahal prinsip ini sangat mendasar dan konsekuen-


sinya tak terhituhg; kepentingannya sania dengan prinsip perta-
ma. Seluruh mekanisme langue tergantung padanya (lihat hala-
man 219). Bertentangan dengan penanda visual (isyarat pela-
yaran, dan sebagainya) yang dapat menimbulkan komplikasi
serempak di sejumlah dimensi, penanda akustis hanya ada dafain
garis waktu; unsur-unsurnya terungkap satu persatu; semua itu
membentuk suatu rangkaian. Ciri ini segera muncul begitu orang
mengungkapkannya melalui aksara dan kalau orang mengganti
garis ruang dari tanda-tanda grafis dengan urutan dalam waktu.
Pada kasus-kasus tertentu hal ini tidak nampak dengan
jelas. Seandainya saya menekankan sebuah suku kata, nampak-
nya saya mengumpulkan pada titik yang sama unsur-unsur
bermakna yang berbeda. Tetapi ini ilusi: suku kata dan tekanan-
nya hanya suatu tindak pembunyian; tidak ada dualitas di dalam
tindak ini, yang ada hanya berbagai oposisi dengan apa yang ada
di sampingnya (mengenai hal ini lihat halaman 230).

Catalan
1. Istilah gambaran akustis ini mungkin nampak terlalu sempit. karena di
samping pengungkapan bunyi suatu kata ada juga pengungkapan artikulasi,
yaitu gambar otot-otot pada tindak pembunyian. Tetapi bagi F. de Saussure,
langue pada dasarnya merupakan khazanah dari apa yang diterima dari luar
(lihat halaman 80). Gambaran akustis adalah terutama pengungkapan wajar
dari kata sebagai butir bahasa yang abstrak, di iuar segala realisasi oleh
parole. Jadi, segi artikulatoris dapat dianggap terkandung di dalamnya, ataii
pendek kata, hanya bersifat sekunder dibanding dengan gambaran akustis
(Penyunting).
BAB n
KETAKTERUBAHAN DAN
KETERUBAHAN TANDA

146
1. Ketakterubahan

Diiihat dari gambaran yang diungkapkannya, penanda


nampaknya seperti dipilih secara bebas, tapi sebaliknya di-
pandang dari masyarakat bahasa yang memakainya, penanda
tidak bebas, ia dipaksakan. Masyarakat tidak dimintai pendapat
sama sekali, dan penanda yang dipilih oleh langue tidak mungkin
diganti dengan yang lain. Kenyataan ini, yang nampaknya
mengandung suatu kontradiksi dapat disebut dalam bahasa
sehari-hari " dipaksain". Kepada langue dikatakan: "Pilihlah!"
tetapi ditambahkan:"Harus tanda yang ini dan bukan yang lain."
Bukan saja seorang individu tidak mungkin, seandainya dia
menginginkannya, untuk mengubah sesuatu pada pilihan yang
telah dilakukan, tetapi masyarakat pun tidak dapat memaksakan
kekuasaannya pada satu kata pun; masyarakat terikat pada
langue seperti apa adanya.
Jadi, langue tidak dapat diikat dengan suatu kontrak, dan
justru karena itulah tanda bahasa begitu menarik untuk diteliti;
karena kalau kita ingin memperlihatkan bahwa hukum yang
diterima di dalam suatu masyarakat adalah sesuatu yang kita
turuti, dan bukan aturan yang ditetapkan secara bebas, langue
lab bukti yang paling mencolok.
Mari kita tinjau bagaimana lambang bahasa tidak tunduk
pada kemampuan kita, dan kemudian kita tarik konsekuensi-
153

konsekuensi penting yang berasal dari gejala tersebut.


Di abad mana pun dan sejauh mana pun kita melihat ke
masa lalu, langue selalu nampak seperti warisan dari abad
sebelumnya. Pemberian nama pada benda dan hal, yang terjadi
pada suatu waktu tertentu, yang membuat terlaksananya kontrak
antara konsep dan gambaran akustik, dapat ditangkap oleh
imajinasi; tap! tak seorang pun pernah menghasilkannya. Gam
baran bahwa hal ini mungkin pernah terjadi, telah ditanamkan
pada kita oleh'kewaspadaan kita yang tinggi mengenai kesemana-
an tanda bahasa.
Sebenarnya, tak satu masyarakat pun pernah mengenai
langue yang lain daripada sebagai warisan generasi sebelumnya
dan harus diterima seperti apa adanya. Itu sebabnya mengapa
masalah asal langange tidak sepenting seperti yang pada umum-
nya disangka."'' Bahkan bukan masalah yang seharusnya diaju-
kan; satu-satimya objek riil bagi linguistik adalah kehidupan
wajar dan teratur dari suatu idiom yang telah terbentuk. Suatu
keadaan langue tertentu selalu merupakan hasil faktor-faktor
historis, dan faktor-faktor inilah yang menjelaskan mengapa
lambang itu tak terubah, artinya kedap terhadap segala substitusi
semena.

Tetapi berkata bahwa langue merupakan warisan tidak


menjelaskan apa pun kalau kita tidak melangkah lebih jauh.
Apakah pada saat-saat tertentu kita tidak dapat mengubah
aturan-aturan yang ada dan kita warisi? s
Pertanyaan ini memaksa kita untuk meletakkan langue di
dalam rangka sosialnya dan untuk mengajukan pertanyaan
seperti kalau kita mempertanyakan pranata-pranata sosial lain-
nya. Bagaimana terjadihya perubahan pranata-pranata tersebut?
Inilah pertanyaan yang lebih umum yang melingkupi pertanyaan
mengenai ketakterubahan. Pertama kita harus memperhatikan
banyak sedikitnya kebebasan yang dimiliki pranata-pranata yang
lain; orang akan melihat bahwa bagi masing-masing pranata
terdapat keseimbangan yang berbeda antara tradisi yang dipaksa-
kan dan tindakan bebas dari masyarakat. Kemudian akan kita cari
mengapa di dalam satu kategori tertentu, faktor-faktor tradisi
sedikit banyak lebih kuat daripada faktor-faktor masyarakat.
Akhirnya, kembali pada langue, kita akan mempertanyakan
154

mengapa faktor historis dari perpindahan mendominasi langue


sepenuhnya dan mengabaikan segala perubahan bahasa yang
umum dan mendadak.
Untuk menj-awab pertanyaan tersebut bisa saja diajukan
segala argumentasi dengan mengatakan, misalnya, bahwa per-
ubahan-perubahan bahasa tidak terikat pada urutan generasi,
yang bukannya bertumpuk yang satu di atas yang Iain seperti laci-
iaci meja, melainkan bercampur, saling menyerap dan masing-
masing mengandung individu-individu dari segala usia. Kita perlu
mengingat pula besarnya usaha yang diperlukan untuk belajar
bahasa ibu dan menarik kesimpulan darinya tentang ketidak-
mungkinan terjadinya perubahan yang menyeluruh. Perlu di-
tambahkan pula bahwa renungan tidak campur tangan di dalam
kegiatan suatu bahasa; bahwa penutur, pada dasarnya, tidak
menyadari aturan-aturan langue; dan kalau mereka tidak me-
nyadarinya, bagaimana mereka akan bisa mengubahnya? Se-
andainya mereka menyadarinya, harus diingat bahwa fakta-fakta
bahasa tidak mengundang kritik sama. sekali sehingga setiap
masyarakat pada umumnya puas dengan langue yang mereka
terima.
Masalah-masalah tersebut memang penting, tetapi itu
bukan yang primer; kami memilih masalah-masalah berikut, yang
lebih penting,lebih langsung, dan menentukan bagi yang lain:
1.- Ciri semena tanda. Di atas, kesemenaan memaksa kita
untuk menerima kenyataan bahwa secara teoritis tidak mungkin
ada perubahan; tetapi dengan memperdalam pengamatan, kami
sebenarnya melihat bahwa kesemenaan tanda itu sendiri yang
melindungi langue dari segala percobaan untuk mengubahnya.
Masyarakat, meskipun lebih sadar dari yang seharusnya, tidak
akan dapat membantah hal ini. Karena, agar suatu hal diper-
masalahkan, ia harus berada pada norma yang masuk akal. Kita
bisa misalnj/a, berdebat apakah bentuk monogami dalam per-
kawinan lebih masuk. nalar daripada bentuk poligami dan
mengajukan alasan-alasan bagi keduanya. Kita juga mungkin
dapat memperdebatkan suatu sistem lambang karena suatu
tanda mempunyai hubungan yang masuk akal dengan benda yang
ditunjuk (lihat halaman 149); tetapi bagi langue, sistem tanda-
tanda semena, dasar ini menyesatkan, dan akan runtuhlah
155

seluruh dasar perdebatah; tidak ada motif apa pun untuk memilih
soeur dari bukan sister, Ochs dan bukan boeuf 'lembu', dan
sebagainya^
2. - Besarnya jumlah tanda-tanda yang diperlukan untuk
membentuk langue mana pun. Akibat dari fakta ini sarigat besar.
Suatu sistem aksara yang terdiri dari dua puluh sampai empat
puluh huruf kalau perlu dapat diganti dengan sistem lain. Begitu
pula bagi langue seandainya ia mencakup jumlah unsur yang
terbatas; tetapi lambang bahasa tak terhitung jumlahnya.
3. - Ctrl sistem yang terlalu kompleks. Suatu langue
merupakan suatu sistem. Dari segi ini, langue tidak seluruhnya
^emena karena sistem memiliki nalar tertentu. Tetapi justru
karena alasan inilah masyarakat tidak mampu mengubah langue
sekehendaknya. Karena sistem tersebut merupakan mekahisme
yang kompleks; ia hanya dapat dicap melalui renungan; bahkan
para penutur yang memakainya sehari-hari sama sekali tidak
mengenal sistem tersebut. Perubahan semacam ini hanya dapat
ditangkap dengan bantuan para spesialis, ahli tata bahasa, ahli
logika, dan sebagainya; tetapi pengalan^an menunjukkan bahwa
sampai sekarang campur tangan para ahli ini sia-sia.
4. - Pertahanan kolektif menentang pembaharuan bahasa
mana pun. Langue - dan penelaahan ini adalah awal dari yang
lain -setiap saat merupakan milik setiap orang; tersebar di dalam
suatu massa dan dipakai oleh mereka. Langue adalah sesuatu
yang digunakan semua individu sepanjang hari.''*® Dari segi ini,
langue tidak dapat dibandingkan dengan {franata lainnya. Kode-
kode, ritus suatu agama, bendera kapal, dan sebagainya,
merupakan sistem yang digunakan oleh sejumlah individu terten
tu dan selama waktu yang terbatas; sebaliknya dalam hubung-
an dengan langue setiap orang berperan serta setiap saat, dan
itulah sebabnya langue terus-menerjus mendapat. pengaruh dari
semuanya. Fakta pokok ini cukup untuk memperlihatkan tidak
mungkinnya suatu revolusi. Di antara semua pranata sosial,
langue adalah yang paling sedikit memberi kesempatan kepada
inisiatif. Langue bersenyawa dengan kehidupan masyarakat, dan
karena ini secara alami bertahan, masyarakat merupakan faktor
pelestari.
Meskipun demikian tidak cukup kalau dikatakan bahwa
langue merupakan produk kekuatan sosial untuk memperlihat-
156

kan dengan jelas bahwa langue tidak bebas. Langue juga


merupakan warisan dari zaman sebelumnya sehingga perlu
ditambahkan keterangan bahwa kekuatan sosial bergerak ber-
sama waktu. Kalau langue memiliki ciri tetap, itu bukan hanya
karena ia terikat pada bobot kdlektivitas, tetapi juga karena ia
ditempatkan dalam waktu. Kedua fakta ini tak terpisahkan.
Kapan pun, solidaritas dengan masa lalu menggagalkan kebebas-
an untuk memilih. Kita mengatakan /lomme|'orang' dan chien
'anjing' karena dulu kita juga mengatakan homme dan chien.^^^
Hal ini tidak berarti bahwa di dalam gejala seluruhnya tidak
terdapat hubungan di antara kedua faktor yang berfentangan itu:
konvensi semena yang memungkinkan pilihan bebas dan waktu
yang menetapkan pilihan. Karena tanda semena maka ia hanya
mengenal satu aturan, yaitu tradisi, dan karena tanda didasari
oleh tradisilah maka ia semena.'^®

151
2. Keterubahan.

Jalannya waktu, yang menjamin kesinambungan langue,


menimbulkan dampak lain, yang nampaknya kontradiktif dengan
dampak di atas. Waktu memungkinkan tanda-tanda bahasa
diganti dengan kecepatan tertehtu. Meskipun demikian ke-
terubah dan ketakterubahan dari segi tertentu sama-sama me
rupakan ciri tanda bahasa.
Pada analisis terakhir, kedua fakta.ini solider: tanda selalu
berganti karena tanda bersifat sinambung. Yang mendominasi di
dalam pergantian mana pun adalah tetap dipertahankannya
bahan yang lama; ketidaksetiaan pada masa lalu relatif sifatnya.
Itulah sebabnya mengapa prinsip pergantian didasari oleh
prinsip kesinambungan.
Pergantian tanda di dalam waktu beraneka ragam bentuk-
nya, dan masing-masing merupakan bahan bagi bab yang penting
di dalarn linguistik.'^^ Sekilas pandang, inilah hal yang penting
untuk dikemukakan.
Pertama-tama, jangan sampai terjadi kesalahpahaman
mengenai kata pergantian tanda tersebut. Kata itu mungkin
membuat orang niengira bahwa pergantian khusus berarti per-
157

ubahan fonetis yang dialami penanda, atau perubahan makna


^ang terjadi pada petanda. Pandangan ini tidak memadai. Apa
pun faktor pergantiannya, entah terpisah entah tergabung,
pergantian selalu mengaikibatkan perubahan hubungan antara
petanda dan penanda.^^
Berikut ini beberapa contoh. Kata Latin necdre yang
bermakna 'membunuh' dalam bahasa Peraneis menjadi nqyer
'menenggelamkan', dengan makna yang kita kenal. Baik gam-
baran akustis maupun konsep, keduanya berubah; tetapi tidak
ada gunanya kita membedakan kedua bagian dari gejala ini;
cukuplah kalau kita amati secara keseluruhan bahwa hubungan
antara gagasan dan lambang'^^ merenggang dan telah terjadi per
ubahan dalam hubungan mereka. Kalau kita tidak membanding-
kan necdre dari bahasa Latin klasik dengan bahasa Peraneis
noyer, tetapi mempertentangkannya dengan necare dalam bahasa
Latin rakyat pada abad IV dan V,yang bermakna'menenggelam
kan', kasusnya menjadi agak berbeda. Tetapi di sini pun,
meskipun tidak ada pergantian yang penting pada penanda, ada
perubahan hubungan antara gagasan dan lambang.
Kata Jerman Kuno dritteil, 'sepeiiiga', menjadi Drittel
dalam bahasa Jerman Modern. Dalam hal ini, meskipun konsep-
nya tetap sama, hubungan telah berubah dengan dua cara:
penanda bukan hanya berubah secara materiil, tetapi juga secara
gramatikal; dia tidak lagi mengandung gagasan Teil; sekarang ia
merupakan kata biasa. Bagaimana pun juga selalu terjadi
perubahan hubungan.
Dalam bahasa Inggris Kuno, bentuk prasastra fdt "kaki"
tetap fot (Ing. Mod. foot), sedangkan bentuk jamaknya foti,
"kaki-kaki", menjadi fit (Ing. Mod. feet). Pergantian apa pun
yang telah terjadi di sini, satu hal sudah pasti: ada perubahan
dalam hubungan; muncul hubungan yang lain antara materi fonis
dan gagasan.
Sebuah langue sama sekali tidak berkekuatan untuk mem-
pertahankan diri terhadap faktor-faktor yang setiap waktu
mengubah hubungan antara penanda dan petanda. Ini adalah
salah satu konsekuensi dari kesemenaan lambang.
Pranata manusia yang lain — adat istiadat, undang-undang,
dan sebagainya -semuanya didasari, dengan taraf yang berbeda,
oleh hubungan wajar antara hal-hal; di dalam pranata diperlukan
158

keselarasan antara sarana yang digunakan dan tujuan yang ingin


dicapai. Bahkan mode yang menetapkan pakaian kita tidak
seluruhnya semena: orang tidak mungkin dalam hal tertentu
pielepaskan diri dari syarat-syarat yang ditetapkan oleh tubuh
manusia. Langue, sebaliknya, sama sekali tidak terbatas di dalam
pemilihan sarananya karena kita tidak mungkin melihat apa
yang mungkin menghambat gabungan suatu gagasan dengan
suatu deret bunyi.'^'
Untuk menonjolkan bahwa langue adalah pranata murni,
Whitney dengan benar telah menekankan ciri semena dari
tanda'^® dan oleh karenanya, ia telah meletakkan linguistik pada
arah yang benar. Tetapi ia tidak melangkah cukup jauh dan tidak
melihat bahwa ciri semena tersebut memisahkan sama sekali
langue dari semua pranata lain. Hal ini nampak dengan jelas
dari cara langue berkembang; tak ada yang lebih kompleks
dari ini: karena langue terletak sekaligus dalam massa sosial dan
dalam waktu, tak seorang pun mampu mengubahnya, dan di
samping itu, kesemenaan lambang-lambangnya secara teoretis
menyebabkan kebebasan untuk meletakkan hubungan apa pun
antara materi fonis dan gagasan. Akibatnya, kedua unsur terse
but yang bersatu di dalam tanda, tetap memiliki kehidupan
masing-masing pada proporsi yang tidak dikenal di mana pun;
dan bahwa langue berganti, atau lebih tepat berkembang, di
bawah pengaruh semua agen yang dapat mengenai bunyi maupun
makna. Evolusi ini fatal; tak ada satu pun contoh langue yang.
dapat bertahan terhadapnya. Pada suatu saat selalu nampak per-
ubahan-perubahan.
Prinsip ini begitu benarnya sampai harus diterapkan pula
pada bahasa buatan. Orang yang menciptakannya dapat meme-
gangnya selama bahasa tersebut tidak beredar; tetapi begitu
bahasa tersebut memenuhi tugasnya dan menjadi milik semua
orang, tak mungkin diawasi lagi. Bahasa Esperanto adalah
sebuah contoh dari usaha ini; kalau bahasa ini berhasil dibentuk,
apakah ia akan terhindar dari hukum yang fatal ini? Sekali ia
dilepas, mungkin sekali bahasa tersebut akan masuk ke dalam
kehidupan semiologisnya; ia akan disiarkan berdasarkan hukum
yang sama sekali berbeda dengan hukum penciptaan dengan
renungan, dan kita tak mungkin kembali ke belakang. Siapa pun
159

yang menganggap diri menyusun suatu langue yang tak terubah,


dan masa depan harus menerimanya sebagaimana adanya, sama
dengan induk ayam yang mengerami telur bebek: langue yang
diciptakannya bagaimanapun juga akan terbawa oleh arus yang
menyeret semua langue, tanpa memperdulikan harapan pen-
ciptanya.'^^
Kesinambungan tanda di dalam waktu, yang dikaitkan
dengan pergantian di dalam waktu, merupakan prinsip semiologi
umum; contoh yang jelas adalah sistem aksara, bahasa orang
bisu, dan sebagainya.
Tetapi apa dasar perlunya perubahan? Mungkin kami akan
ditegur karena tidak membicarakan butir ini seeksplisit prinsip
ketakterubahan. Ini adalah karena kami tidak membedakan
berbagai faktor pergantian. Kita perlu menelaah faktor-faktor
tersebut dalam variasinya untuk dapat mengetahui sejauh mana
mereka diperlukan.
Sebab-sebab kesinambungan a priori dapat dicapai oleh
pengamat. Tetapi tidak sama halnya dengan sebab-sebab per
gantian di dalam waktu. Lebih baik kalau untuk sementara kita
menolak untuk memperhitungkannya secara pasti dan membatasi
diri dengan membicarakan secara umum perubahan hubungan-
hubungan. Waktu mengubah apa pun. Jadi, tidak ada alasan bagi
langue untuk terhindar dari hukum universal ini.'®'
Mari kita ringkas argumentasi yang telah dikemukakan
sebegitu jauh berdasarkan prinsip-prinsip yang telah dibicarakan
di dalam pendahuluan.
1. Untuk menghindari kemandulan definisi kata, kami telah
terlebih dahulu membedakan, di dalam gejala menyeluruh yang
ditampilkan oleh langage, dan faktor: langue dan parole. Langue
bagi kami adalah langage dikurangi parole. Langue adalah him-
punan kebiasaan bahasa yang memungkinkan seorang penutur
untuk memahami dan membuat dirinya dipahami.
2. Tetapi definisi di atas masih meletakkan langue di luar
kenyataan sosialnya; ia nampak tidak riil karena hanya men-
cakup satu segi dari kenyataan, yaitu segi individual. Harus ada
massa penutur agar terjadi suatu langue. Kapan pun, dan
bertentangan dengan kelihatannya, langue berada di luar fakta
sosial karena ia merupakan gejala semiologis.'^' Hakekat
160

sosialnya merupakan satu dari kedua ciri internnya; definisi


langue yang lengkap mdnghadapkan kita pada skema berikut:

Tetapi dalam kondisi


ini, langue mengandung kehi-
Langue dupan dan bukannya hidup;
kami hanya memperhitung-
kan kenyataan sosial dan
bukan fajcta sejarah."'^
3. Mengingat tanda ba-
Massa hasa bersifat serriena, nam-
penutur
paknya langue yang didefinisi-
kan seperti di atas, merupa
kan sistem yang bebas, ter-
organisasi menurut kehen-
dak, terikat hanya pada prin-
sip nalar. Prinsip sosialnya, dilihat dari dirinya sendiri, tidak
bertentangan dengan segi pandang itu. Kemungkinan besar
psikologi kolektif tidak bergerak pada materi yang murni logis;
harus dif>erhitungkan pula segala yang membuat nalar berfungsi
dalam hubungan praktis antara para individu. Padahal, yang
menghambat kita untuk memandang langue sebagai konvensi
yang biasa saja, terubah sesuai dengah kehendak para peminat,
bukanlah psikologi ini; gerak waktulah yang bergabung dengan
gerak kekuatan sosial; di luar berlangsungnya waktu, kenyataan
bahasa tidak lengkap dan tak satu kesimpulan pun mungkin.
diperoleh.
Seandainya kita ambil langue dalam waktu, tanpa massa
penutur - misalnya seseorang yang hidup terpencil selama
berabad-abad - mungkin kita tidak akan melihat pergantian apa
pun karena waktu tidak menimbulkan akibat pada langue.
Sebaliknya kalau kita memperhatikan massa tanpa waktu, kita
tidak akan melihat dampak kekuatan sosial yang menimpa langue
mereka.c Supaya sesuai dengan kenyataan, jadi perlu ditam-
161

bahkaii pada skema kami yang pertama, sebuah tanda yang


menunjukkan jalannya waktu: Waktu
Sekarang langue tidak lagi
bebas k'arena waktu memungkin- « Langue
kan kekuatan sosial yang menge-
nainya untuk menimbulkan. dam-
pak, dan kita sampai pada prinsip
kesinambungan, yang mienghapus
kebebasan. Tetapi, kesinambun
gan pasti berakhir dengan pergan- Massa
tian: perubahan, besar maupun penutur
kecil, hubungan-hubungan.

Catalan
1. Keliru kalau orang menganggap Saussure tidak logis atau paradoksal, karena
memberi langue k^ua sifat yang kontradiktif. Dengan mempertentangkan
kedua istilah yang mencolok ini, ia hanya ingin menonjblkan kebenaran,
yaitu bahwa langue berubah tetapi para penutur tidak mungkin mengubah-
nya. Dapat pula dikatakan bahwa langue tertutup bagi interferensi tetapi ter-
buka bagi perkembangari. (Penyunting)
BAB III

LINGUISTIK STATIS DAN


LINGUISTIK EVOLUTIF

1. Dualitas Intern pada Semua Ilmu yang Bergerak di Bidang


Valensl"^'

Sedikit sekali ahli linguistik yang sadar bahwa campur


tangan faktor waktu adalah khas untuk menciptakan kesulitan
tersendiri di dalam linguistik dan bahwa campur tangan ini
meletakkan ilmu mereka di persimpangan jalan yang sama sekali
menyebar.
Sebagian besar ilmu yang lain tidak mengenal dualitas
radikal ini; waktu tidak menimbulkan dampak khusus pada
mereka. Astronomi telah mengamati bahwa bintang-bintang
mengalami perubahan yang mencolok, tetapi ilmu ini tidak harus
memecah diri menjadi dua disiplin. Penalaran dalam geologi
selalu didasarkan pada urutan-urutan; tetapi apabila geologi
menelaah keadaan tetap pada tanah, geologi tidak membentuk
objek studi yang berbeda. Ada ilmu deskriptif dalam ilmu
hukum dan sejarah hukum; tak seorang pun mempertentangkan
keduanya. Sejarah politik negara-negara seluruhnya berg ;rak di
dalam waktu; meskipun demikian kalau seorang ahli sejarah
membuat lukisan suatu zaman, kita tidak mendapat kesan keluar
dari sejarah. Sebaliknya ilmu pranata-pranata politik pada
dasarnya deskriptif, tetapi ilmu bisa saja, kalau diperlukan,
mengelola masalah sejarah tanpa menganggu keutuhannya."'"
163

Sebaliknya dualitas yang kita bicarakan dipaksakan di


dalam ilmu ekonomi. Di sini, berbeda dengan apa yang terjadi
pada kasus-kasus sebelumnya, ekonomi politik dan sejarah
ekonomi membentuk dua disiplin yang jelas terpisah di dalam
ilmu yang sama; karya-karya yang terbit akhir-akhir ini memper-
jelas pembedaan tersebut.'^^ Meskipun tidak sepenuhnya terlak-
sana, pembedaan ini dipaksakan oleh kebutuhan intern objek
studi: dan kebutuhan yang sama memaksa kita untuk memecah
linguistik menjadi dua bagian yang masing-masing memiliki .
prinsip sendiri. Seperti juga dalam ekonomi politik, kita ber-
hadapan dengan pengertian nilav, di dalam kedua ilmu, kita
melihat sistem perpadanan antara hal-hal yang termasuk di dalam
bidang yang berbeda: dalam ekonomi politik, pekerjaan dan
upah, dalam linguistik, petanda dan penanda."'^
Jelas bahwa semua ilmu seharusnya wajib mencatat dengan
lebih teliti poros-poros tempat hal-hal yang mereka telaah. Di
mana pun perlu dibedakan seperti dalam gambar berikut:
1. poros simultanitas (AB),
mencakup hubungan antara
hal-hal yang bersama hadir, di
mana segala campur tangan
waktu diabaikan, dan
2. poros suksesivitas (CD); di
sini kita tak akan pernah dapat
menelaah hanya satu hal, tetapi ^ B
di sini terletak hal-hal yang
terdapat pada poros pertama
dengan perubahan mereka.
Bagi ilmu yang berurus-
an dengan nilai, pembedaan D
ini menjadi kebutuhan prak-
tis, dan dalam kasus tertentu menjadi kebutuhan mutlak. Dalam
bidang ini para ilmuwan dihadapkan pada tantangan untuk
menyusun penelitian mereka secara ketat tanpa memperhitung-
kan kedua poros, tanpa membedakan sistem nilai-nilai itu
sendiri, dengan sistem nilai-nilai yang ditelaah dalam waktu.
Pembedaan ini paling dipaksakan pada linguistik. Karena
langue merupakan sistem nilai murni, yang ditentukan hanya
164

oleh keadaan sementara dari unsur-unsur yang membentuknya.


Selama melalui salah satu segi ini suatu nilai berakar di dalam
hal-hal dan hubungan wajar di antara mereka (seperti modal
tanah yang bernilai secara propcrsional dengan apa yang dihasil-
kannya), nilai tersebut dapat diikuti sampai tingkatan tertentu, di
dalam waktu, tetapi tetap harus diingat bahwa setiap saat ia
tergantung dari sistem nilai mutakhir. Hubungannya dengan hal-
hal bagaimana pun juga memberinya dasar alami, dan oleh
karenahya penilaian yang kita berikan tidak pernah sepenuhnya
semena; keterubahannya terbatas. Tetapi kita baru saja melihat
bahwa dalam linguistik, tidak ada tempat bagi data ■alami."''
Perlu ditambahkan bahwa semakin sebuah sistem nilai
bersifat kompleks dan tersusun secara ketat, semakin ia perlu,
berkat kesengkarutannya, untuk ditelaah secara berturutan pada
kedua poros. Padahal tak ada satu sistem pun yang memiliki ciri
seperti langue: di mana pun tak ada ketepatan yang sedemikian
rupa untuk menetapkan nilai-nilai, jumlah dan keanekaan istilah
yang begitu besar, yang berada dalam saling ketergantungan yang
begitu erat. Jumlah tanda yang begitu besar, yang telah disebut-
kan untuk menjelaskan kesinambungan langue, melarang kita
secara simultan, hubungan-hubungan di dalam waktu dan hu-
bungan-hubungan di dalam sistem.
Inilah sebabnya mengapa kami membedakan dua linguistik.
Bagaimana kami harus menyebutnya? Istilah-istilah yang ada
tidak semuanya memadai untuk menandai pembedaan ini. Oleh
karena itu, sejarah dan "linguistik historis" tidak dapat digunakan
karena istilah-istilah tersebut mengundang gagasan yang terlalu
kabur;'^ karena sejarah politik mencakup deskripsi berbagai
zaman dan kiSah peristiwa-peristiwa, orang akan membayangkan
bahwa dengan mendeskripsikan keadaan langue yang berurutan
berarti orang mempelajari langue berdasarkan poros waktu;
padahal untuk melakukan hal itu seharusnya orang meninjau
secara terpisah gejala-gejala yang membuat bahasa berpindah
dari satu keadaan ke keadaan lain. Istilah evolusi dan linguistik
evolutif lebih tepat, dan kita akan sering menggunakannya;
sebaliknya kita .dapat bicara tentang ilmu keadaan-keadaan
langue linguistik statis.'^^
Tetapi, untuk lebih menonjolkan oposisi dan persilangan
165

kedua macam gejala yang berkaitan dengan objek yang sama,


kami memilih bicara tentang linguistik sinkronis dan linguistik
diakronis}^^ Yang sinkronis adalah semua yang berhubungan
dengan segi statis dalam ilmu kita, yang diakronis adalah semua
yang memiliki ciri evolusi. Demikian ^\x\a sinkroni dan diakroni
akan mengacu pada suatu keadaan langue dan suatu tahap
evolusi.

2. Dualitas Intern dan Sejarah Linguistik 171

Hal yang paling menonjol ketika orang meneliti fakta-fakta


langue adalah bahwa bagi penutur urutan fakta-fakta tersebut
dalam waktu tidak ada: penutur berhadapan dengan suatu
keadaan. Bahkan ahli linguistik yang ingin memahami keadaan
tersebut harus mengesampingkan semua yang telah menghasil-
kan keadaan tersebut dan tidak memperhatikan diakroni. Hanya
dengan meniadakan masa lalu, keadaan itu dapat masuk ke
dalam kesadaran para penutur. Campur tangan sejarah hanya
akan menyelewengkan penilaian ahli linguistik. Adalah tidak
masuk akal kalau orang menggambar panorama pegunungan
Alpen dengan sekaligus menyatakannya dengan puncak-puncak
pegunungan Yura; suatu panorama harus diambil dari satu titik.
Begitu pula halnya dengan langue: orang tidak dapat mendeskrip-
sikannya ataupun menetapkan norma-norma pemakaian dengan
menempatkan diri pada suatu keadaan tertentu. Ketika seorang
penyelidik linguistik mengikuti evolusi langue, ia mirip dengan
peninjau di pegunungan Yura yang berjalan dari ujung yang satu
ke ujung yang lain untuk mencatat pergantian perspektif.
Sejak linguistik modern ada, dapat dikatakan bahwa ia
tenggelam dalam diakroni. Tata bahasa bandingani bahasa Indo-
Eropa menggunakan data yang dimilikinya untuk merekonstruksi
secara hipotesis suatu tipe langue terdahulu; perbandingan
baginya hanyalah suatu sarana untuk menghidupkan kembali
masa lalu. Metodenya sama dengan metode penelaahan khusus pa
da kelompok bahasa turunan (bahasa-bahasa Roman, bahasa-
bahasa Germania, dan Iain-Iain); keadaan-keadaan itu ditunjuk-
kan hanya dalam petilan dan secara sangat tidak lengkap. Itulah
kecenderungan yang dicetuskan oleh Bopp; bahkan konsepsi
166

langue campur aduk dan meragukan.'^^


Lagi pula, bagaimana cara meneliti mereka yang telah
meneliti langue sebelum berdirinya studi linguistik, artinya "tata
bahasa" yang diilhami oleh metode tradisional? Anehnya, segi
pandang mereka, mengenai masalah yang menjadi pikiran kami,
sama sekali tidak mungkin disanggah. Karya-karya mereka
dengan jelas menunjukkan pada kita bahwa mereka ingin
mendeskripsikan keadaan-keadaan; program mereka sinkronik
ketat. Jadi, tata bahasa Port-Royal mencoba untuk mendeskripsi
kan keadaan bahasa Perancis di zaman Louis XIV dan menetap-
kan nilai-nilainya. Untuk melakukan hal ini tata bahasa tersebut
tidak perlu melihat bahasa abad pertengahan; ia mengikuti
dengan setia poros horisontal (lihat halaman 163) dan tidak
pernah menyeleweng; jadi metode tersebut benar, tapi itu tidak
berarti bahwa aplikasinya sempurna. Tata bahasa tradisional
tidak mengenai bagian-bagian menyeluruh dari langue, misalnya
pembentukan kata; ia normatif dan mengira dapat memaksakan
aturan-aturan dan bukannya mengamati fakta; pandangan me
nyeluruh hanya akan menyesatkannya; bahkan sering kali ia ti
dak membedakan kata tertulis dan kata lisan, dan Iain-lain.
Tata bahasa klasik dikecam karena tidak ilmiah; padahal
dasarnya lebih kokoh dan objeknya lebih pasti kalau dibanding-
kan dengan linguistik Bopp. Linguistik ini karena me-
nempatkan diri di bidang yang tidak)dibatasi dengan jelas, tidak
tahu dengan pasti ke tujuan mana ia menuju. Ia bimbang di
antara dua bidang karena ia tidak tahu membedakan dengan
jelas antara keadaan dan urutan.
Setelah terlalu banyak memperhatikan sejarah, linguistik
kembali ke segi pandang statis tata bahasa tradisional, tetapi
dengan semangat baru dan dengan metode yang berbeda, dan
metode historis akan memberi sumbangan dalam peremajaan ini;
ialah yang sebaliknya, akan berfungsi menjelaskan keadaan-
keadaan bahasa. Tata bahasa kuno hanya melihat fakta sinkro-
nis, linguistik membuka susunan baru bagi gejala-gejala; tetapi
hal ini tidak meneukupi; perlu ditonjolkan pertentangan dari
kedua susunan tersebut untuk dapat ditarik konsekuensi-konse-
kuensi yang dikandungnya.'^''
167

3. Contoh-contoh untuk Melukiskan Dualitas Intern

Oposisi antara kedua segi pandang -- sinkronis dan diakronis


- adalah mutlak dan tidak ada kompromi.'^'' Beberapa fakta
akan menunjukkan pada kita di mana letak perbedaannya dan
mengapa perbedaan ini tak bisa ditawar.
Kata Latin cripus, 'berombak, bergelombang, keriting'
menimbulkan kata dasar Perancis crep-, yang membentuk kata
kerja crepir 'melepa', dan decrdpir, 'mengupas lepa'. Di lain
pihak, pada suatu waktu, bahasa Perancis meminjam kata Latin
decrepitus, 'usang karena usia', untuk membentuk decrepit, dan
orang melupakan asal katanya. Tentu saja kini massa penutur
menghubungkan antara "un mur decrepi" 'tembok lepa aus' dan
"un homme ddcrepif 'laki-laki uzur' meskipun secara historis
kedua kata tersebut tidak saling berhubungan; orang sering
mengatakan la fagade decrepite d'une maison 'tembok muka
rumah yang usang'. Dan ini merupakan fakta statis karena
mengenai hubungan antara dua istilah yang hadir bersama dalam
langue. Agar hal ini terjadi, penjelasan tentang gejala-gejala
tertentu dalam evolusi perlu; crisp- mengalami perubahan
pengucapan menjadi crep-, dan pada suatu waktu bahasa
Perancis meminjam kata baru dari bahasa Latin: fakta-fakta
diakronis ini-jelas kelihatan-sama sekali tidak ada hubungannya
dengan fakta statis yang dihasilkannya; fakta-fak'ta tersebut
berlainan jenis.
Berikut ini sebuah contoh lain, yang sangat sering terjadi.
Dalam bahasa Jerman Kuno Tinggi jamak gast 'tuan rumah',
semula gasti, dan jamak hunt 'tangan', hanti, dan Iain-lain. Lama
kemudian i- tersebut menjadi umlaut, artinya dampaknya adalah
mengubah flimenjadi ^ dalam suku kata terdahulu:|g«5t/^ gesti
hanti henti, kemudian i- kehilangan bunyinya dan menghasil-
kan gesti geste, dan seterusnya. Akibatnya, kini terdapat Gast:
Caste, Hand: Hande, dan sekelompok besar kata-kata yang
memperlihatkan perbedaan yang sama antara bentuk tunggal dan
bentuk jamak. Fakta yang kurang lebih sama terjadi pula dalam
bahasa Anglo-Saxon: semula terdapat kata fdt 'kaki', jamak
*fdti\ top 'gigi', jamak *tdpi; gos 'angsa', jamak *gosi, dan Iain-
lain. kemudian dengan perubahan fonetik pertama, yaitu umlaut,
168

*fdti menjadi *feti, dan dengan perubahan kedua, luluhnya i


akhir, *feti menjadi/<?/; sejak saat itu,/dr memiliki bentuk jamak
fet; top, tip; gos, ges (Inggris modern: foot: feet, tooth: teeth,
goose:geese).
Sebelumnya, ketika orang mengucapkan gast: gasti, fdt:
foti, bentuk jamak ditandai oleh penambahan i saja; Gast: Gdste
dan fdt : fit merupakan mekanisme baru untuk menandai
bentuk jamak. Mekanisme ini tidak sama bagi kedua kasus:
dalam bahasa Inggris Kuno, hanya ada oposisi vokal; dalam
bahasa Jerman, lebih dari itu, yaitu ada atau tidaknya akhiran -e;
tetapi perbedaan tersebut di sini tidak penting.
Hubungan antara timggal dan jamak. apa pun bentuknya,
dapat dijelaskan setiap saat dengan poros horisontal, yaitu:

#< # Zaman A.
#< # Zaman B.

Faktanya, apa pun bentuknya, yang telah menimbulkan


perubahan dari satu bentuk ke bentuk lain, sebaliknya akan
ditempatkan pada poros vertikal, yang menghasilkan skema
berikut:

• ->•Zaman A.
i I
•< —•Zaman B.

Contoh yang kami modelkan menggugah sejumlah pemikir-


an yang langsung menyangkut pokok pembicaraan kami:
1. Fakta-fakta diakronis ini sama sekali tidak dimaksudkan
untuk menandai sebuah nilai dengan tanda lain: fakta bahwa gasti
telah menghasilkan gesti, geste (Gdste) tidak ada hubungannya
dengan bentuk jamak kata benda; dalam tragit-^ trdgt, umlaut yang
sama mcngena fleksi verbal, dan begitulah seterusnya. Jadi, suatu
fakta diakronis merupakan peristiwa yang memiliki kehalalan
pada dirinya sendiri; konsekuensi-konsekuensi sinkronis khusus
yang mungkin dihasilkan sama sekali di luar dirinya.
2. Bahkan fakta-fakta diakronis ini tidak cenderung untuk
T

169

mengubah sistem. Tidak ada keinginan untuk mengganti suatu


sistem hubungan dengan yang lain; perubahannya tidak terjadi
pada pendampingan, tetapi pada unsur-unsur yang berdamping-
an.

Di sini kita dapati lagi prinsip yang telah disebutkan di


muka: sistem tidak pernah diubah secara langsung; sistem sendiri
tak terubah; hanya unsur-unsur tertentu yang berubah tanpa
memperhatikanisolidaritasyang menghubungkan mereka dengan
keseluruhan. Ha! ini dapat diandaikan dengan salah satu planet
yang mengelilingi matahari berubah bentuk dan berat: fakta yang
terpisah ini mungkin akan menimbulkan akibat-akibat umum
dan mengubah keseimbangan seluruh sistem matahari. Untuk
menjelaskan jamak, diperlukan oposisi kedua bentuk: atau fdt:
*fdti, atau fdt:fet; kedua proses ini sama-sama mungkin, tetapi
kita telah beralih dari yang satu ke yang lain boleh dikatakan
tanpa menyentuhnya; bukan himpunannya yang berubah tempat
dan bukan pula sistem yang satii menurunkan sistem yang lain,
tetapi satu unsur dari sistem yang pertama telah berubah, dan hal
ini cukup untuk melahirkan sistem yang lain.
3. Tinjauan ini membuat kita lebih memahami ciri keadaan
yang selalu tak terduga. Bertentangan dengan gagasan kita
yang selama ini salah, bahasa bukanlah sUatu mekanisme yang
diciptakan dan disusun berdasarkan konsep-konsep yang akan
diungkapkan. Sebaliknya, kita melihat bahwa keadaan yang
dihasilkan oleh perubahan tidak dimaksudkan untuk menandai
makna yang dikandungnya. Suatu keadaan yang tak terduga ada
di depan mata:fdt:fet, dan kita memperlakukannya sebagai ciri
perbedaan tunggal jamak; tetapi ini tidak berarti bahwa/dt:fet
lebih baik dan fdt: *fdti. Pada setiap keadaan, jiwa menyatukan
diri dengan materi yang ada dan menghidupkannya. Pandangan
ini, yang berasal dari iinguistik historis, tidak dikenal oleh tata
bahasa tradisional, yang tidak akan mungkin mendapatkannya
dengan metode yang dimilikinya. Sebagian besar ahli filsafat
bahasa juga tidak mengenalnya: padahal tidak ada yang lebih
penting dari pandangan ini bagi segi pandang filsafat.
4. Apakah fakta-fakta yang menjadi bagian deret diakronis
paling tidak sama jenisnya dengan fakta-fakta dalam deret
sinkronis? Tidak sama sekali. Karena telah kami tetapkan bahwa
170

perubahan terjadi di luar kemauan siapa pun. Sebaliknya, fakta


dalam sinkroni selalu berarti; fakta ini selalu mengundang dua
hal sekaligus; bukannya Gdste yang mengungkapkan jamak,
melainkan oposisi Gasi : Gdste. Pada fakta diakronis, justru
sebaliknya: fakta ini hanya berlaku untuk satu hal, dan agar
sebuah bentuk baru (Gdste) muncul, bentuk lama (gasti) harus
memberikan tempatnya.
Jadi, keinginan untuk mengumpulkan fakta-fakta yang
begitu tersebar di dalam disiplin yang sama merupakan usaha tak
masuk akal. Di dalam perspektif diakronis kita berurusan dengan
gejala-gejala yang tidak ada hubungannya dengan sistem sama
seicali, meskipun mereka merupakan faktor yang menentukan
bagi sistem.
Berikut ini contoh-contoh lain yang akan menegaskan dan
melengkapi kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari contoh-
contoh pertama.
Dalam bahasa Perancis, tekanan selalu terletak di suku
kata terakhir, kecuali kalau suku terakhir mengandung e pepet
iCaj. Ini merupakan fakta sinkronis, suatu hubungan antara
himpunan kata bahasa Perancis dan tekanan. Dari mana datang-
nya fakta ini? Dari keadaan di masa lalu. Bahasa Latin memiliki
sistem tekanan yang berbeda dan lebih rumit: tekanan terletak di
suku kata kedua dari akhir kalau suku kata akhir tersebut
panjang; kalau ia pendek, tekanan pindah ke suku ketiga (bdk.
amfcus, dnlmd). Aturan ini memperlihatkan hubungan-hubungan
yang sama sekali tidak ada persamaannya dengan aturan dalam
bahasa Perancis. Kemungkinan besar, tekanannya sama dalam
arti bahwa tekanan tersebut tetap berada di tempat yang sama;
dalam kata Perancis tekanan selalu men^enai suku kata yang
langsung diturunkan dari bahasa Latin:,flmfcwm ami, dni-
man —» dme. Meskipun demikian, kedua formula ini berbeda
pada dua zaman karena bentuk kata-katanya telah berubah. Kita
tahu bahwa semua yang dahulunya tekanan, hilang atau melemah
menjadi e pepet. Setelah terjadi perubahan ini, posisi tekanan
tidak lagi sama terhadap keseluruhan kata; sejak saat itu, para
penutur, yang sadar akan adanya hubungan baru ini, secara
naluriah meletakkan tekanan di suku kata terakhir, juga pada
kata-kata pinjaman yang berasal dari kata tertulis (facile, consul
171

ticket, burgrave, dan Iain-lain). Jelas bahwa tidak ada keinginan


untuk mengubah sistem, menerapkan rumus baru, karena di
dalam kata seperti anucum —» ami, tekanan tetap berada di
suku kata yang sama; tetapi telah terjadi peristiwa diakronis:
tempat tekanan telah berubah dengan sendirinya. Aturan tekan
an, seperti aturan apa pun yang menyangkut sistem bahasa,
adalah pengaturan unsur-unsur, suatu basil kebetulan dan di luar
kehendak dalam evolusi
Berikut ini sebuah kasus yang lebih mencolok lagi dalam
bahasa Paleoslavia slovo, I'kata', pada kasus instrumental tunggal
berubah menjadi slovem b , pada nominatif jamak slova, pada
genitif jamak slov 'b, dan sebagainya ; di dalam deklinasi
tersebut setiap kasus memiliki akhiran sendiri. Tetapi kini vokal-
vokal "lemah" b dan b, yang merupakan perwakilan Slavia
berupa I dan U Indo-Eropa. telah hilang. Itu sebabnya dalam
bahasa Cekoslowakia misalnya, terdapat slovo, slovem, slova,
slov; demikian juga zena, 'wanita', akusatif tunggal fenu,
nominatif jamak zeny, genitif jamak fen. Di sini genitif {slov,
zin) memiliki akhiran zero.^®* Nampak di sini bahwa sebuah
lambang materiil tidak diperlukan untuk mengungkapkan
suatu gagasan; langue mungkin saja hanya memiliki oposisi
antara sesuatu dengan tak suatu pun: di sini misalnya, kita
mengenai zen sebagai genitif jamak hanya karena ia bukan zina
maupun zenu, atau pun bentuk lain. Pada pandangan pertama
nampaknya aneh bahwa suatu gagasan yang begitu khustis, yaitu
genitif jamak, ditandai ziro; tapi justru inilah bukti bahwa
semuanya berasal dari suatu kebetulan. Langue adalah suatu
mekanisme yang terus berfungsi meskipun mengalami perusak-
an.

Semua ini menegaskan prinsip-prinsip yang telah dirumus-


kan dan yang kanii ringkas sebagai berikut:
Langue adalah suatu sistem yang semua bagian-bagiannya
dapat dan harus diamati di dalam saling ketergantungan sinkro-
nis.
Perubahan-perubahan yang tidak pernah terjadi pada suatu
bagian dari sistem, tetapi pada salah satu unsurnya, hanya dapat
terjadi diteliti di luar sistem. Kemungkinan besar setiap perubahan
berakibat pada sistem; tetapi perubahannya hanya mengenai satu
172

butir; tidak ada hubungan intern apa pun dengan konsekuensi-


konsekuensi yang mungkin ditimbulkannya pada keseluruhan.
Perbedaan yang hakiki antara unsur berurutan dan unsur yang
bersama-sama ada, antara peristiwa sebagian dan peristiwa
yang menyentuh sistem, melarang kita untuk menyatukan ke-
duanya sebagai materi dari satu

4. Beberapa Perbandingan untuk Melukiskan Perbedaan Kedua


Kelompok'^

Untuk menunjukkan sekaligus otonomi dan saling ke-


tergantungan pendekatan sinkronis dan diakronis, kita dapat
membandingkan sinkrbni dengan proyeksi sebuah benda pada
penampang. Memang proyeksi mana pun tergantung dari benda
yang diproyeksikan, tetapi proyeksi berbeda dengan bendanya,
benda adalah sesuatu yang lain. Tanpa benda tidak akan ada ilmu
proyeksi; cukup kita meneliti benda-benda itu sendiri. Dalam
linguistik, terdapat hubungan yang sama antara realitas historis
dan suatu keadaan langue, yang dapat dibandingkan dengan
proyeksi pada suatu saat tertentu. Bukan dengan mengamati
benda-benda, artinya peristiwa-peristiwa diakronis yang kita
kenali keadaan-keadaan sinkronisnya, juga bukan karena kita
mempunyai satu gambar pifoyeksi geometris kita dapat mem-
pelajari, dari kedekatan
sekalipun, berbagai jenis
benda.
Kalau kita me-
motong batang pohon
secara melintang kita
akan melihat penampang
dengan gambar yang ku-
rang lebih rumit; pada-
hal ini hanya gambar se-
rat-serat "yang meman-
jang, dan kita akan me-
lihatnya dengan me-
motong batang itu secara
173

memanjang. Di sini kita melihat lagi bahwa satu perspektif


tergantung dari perspektif yang lain: potongan memanjang
menunjukkan serat-serat yang membentuk tumbuhan, dan
potongan melintang menunjukkan pengelompokkan dengari
pengaturan tertentu; tetapi potongan kedua berbeda dengan
yang pertama karena ia memperlihatkan hubungan tertentu di
antara serat-serat yang tidak akan pernah kita lihat pada
• I I
penampang memanjang. ■
Tetapi, dari semua perbandingan yang dapat kita bayang-
kan, yang paling jelas adalah perbandingan antara permainan
langue dengan permainan catur.'®^ Di mana pun, kita berhadap-
an dengan suatu sistem nilai-nilai dan kita melihat perubahannya.
Permainan catur nampak seperti realisasi rekaan, sama dengan
bahasa yang realisasinya alami,
Mari kita perhatikan lebih dekat.
Pertama, suatu keadaan permainan sama benar dengan
keadaan langue. Nilai setiap buah catur tergantung dari posisi
mereka di atas papan, demikian pula di dalam langue, setiap
unsur memiliki nilainya dalam oppsisi dengan unsur yang Iain.
Kedua, sistem selalu sementara sifatnya; ia berubah dari
posisi yang satu ke posisi yang lain. Memang benar bahwa nilai-
nilai tergantung juga dan khususnya dari suatu konvensi yang tak
tergoyahkan, yang ada sebelum permainan dimulai dan bertahan
selama permainan. Aturan yang sekali diterima akan bertahan ini
juga ada pada langue; inilah prinsip-prinsfp tetap dari semiologi.
Terakhir, untuk berpindah dari keseimbangan yang satu ke
yang lain, atau ~ menurut tata istilah kami ~ dari satu sinkroni ke
sinkroni yang lain, pemindahan satu butir buah catur cukup;
tidak ada kegopohan umum. Inilah fakta diakronis dengan segala
kekhasannya. Memang;
a) Setiap langkah catur hanya menggerakkan satu butir
buah catur; begitu juga dalam langue, perubahan-perubahan
hanya mengenai unsur-unsur yang berdiri sendiri.
b) Meskipun demikian langkah tadi memiliki gema di
seluruh sistem;tidak mungkin bagi pemain untuk meramalkan
dengan tepat batas-batas dampak tadi. Perubahan nilai yang
dihasilkannya tergantung dari keadaan, aklan nol, atau sangat
gawat, atau cukup penting. Suatu langkah mungkin merombak
174

keseluruhan permainan dan menimbulkan akibat-akibat bahkan


bagi anak-anak catur yang saat itu tidak seharusnya terpengaruh.
Kita baru saja melihat bahwa hal yang sama mungkin terjadi pula
pada langue.
c) Pemindahan sebutir anak catur keseimbangan sebelum-
nya dan keseimbangan selanjutnya. Perubahan yang terjadi tidak
menjadi bagian dari kedua keadaan itu: padahal keadaan justru
yang penting.
Dalam permainan catur, posisi mana pun memiliki ciri
khusus. yaitu merupakan akibat dari pendahulunya; tidak penting
sama sekali bagaimana jalannya sampai ke situ'*^'; seseorang
yang mengikuti seluruh permainan tidak memiliki kelebihan
sedikit pun terhadap orang yang datang pada saat permainan
sedang seru; untuk mendeskripsikan posisi tersebut, tidak ada
gunanya mengingat apa yang terjadi sepuluh detik sebelumnya.
Semua juga dapat diterapkan pada langue dan menyebabkan
pembedaan radikal antara pendekatan diakronis dan sinkronis.
Parole hanya berfungsi pada keadaan langue, dan perubahan-
perubahan yang terjadi antara keadaan-keadaan tidak memain-
kan peran apa pun dalam parole.
Hanya ada satu titik di mana perbandingan keliru; pemain
catur mempunyai maksud ketika melakukan pemindahan dan
ketika melakukan tindakan terhadap sistem; sedangkan langue,
tidak didasari pra pemikiran apa pun; unsur-unsur bahasa
berpindah secara spontan dan kebetulan - atau lebih tepat ber-
ubah: umlaut dari Hdnde menjadi hanti, dari Gdste menjadi
gasti (lihat halam 167-168) telah menghasilkan pembentukan
jamak baru, dan juga telah menimbulkan bentuk verbal seperti
trdgt menjadi tragit, dan Iain-lain. Agar permainan catur sama
dari segala segi dengan langue, pemainnya harus tidak sadar dan
tidak cerdik. Namun, perbedaan satu-satunya inilah yang mem-
buat perbandingan lebih membangun karena ia menunjukkan
kebutuhan mutlak untuk membedakan kedua kelompok gejala
dalam linguistik. Karena, seandainya fakta-fakta diakronis tidak
dapat dilebur dalam sistem sinkronis yang dihasilkannya, bahkan
meskipun suatu perubahan jenis ini dilakukan dengan kehendak,
perubahan ini mungkin akan terjadi pula apabila kekuatan
membuta menganggu organisasi sistem tanda.
175

5. Perbedaan Metode dan Prinsip pada Kedua Pendekatan


Linguistik'^^

Perbedaan antara pendekatan diakronis dan sinkronis


terdapat dalam segala butir.
Misalnya - dan untuk memulai fakta yang paling nyata -
kedua pendekatan linguistik tidak sama penting. Mengenai butir
ini, jelas bahwa segi sinkronis paling penting, karena bagi
penutur segi inilah satu-satunya realitas yang sebenarnya (lihat
halaman 164—165). Demikian pula halnya bagi ahli linguistik; ka-
lau ia menempatkan diri pada perspektif diakronis, bukan lagi
langue yang dilihatnya, melainkan sederet peristiwa yang meng-
ubah langue. Sering ditegaskan orang bahwa tidak ada yang lebih
penting daripada mengetahui asal-usul dari suatu keadaan
tertentu; hal ini benar dari segi tertentu: kondisi-kondisi yang
telah membentuk keadaan tersebut menjelaskan pada kita
mengenai hakekat yang sebenarnya dan menghindarkan kita
dari berbagai ilusi (lihat halaman 168 dan seterusnya); tetapi
justru ini membuktikan bahwa diakroni bukan suatu tujuan.
Diakroni dapat disamakan dengan jumalisme: diakroni mem-
bawa kita ke mana pun asalkan kita tahu arahnya. -
Metode bagi setiap linguistik pun berbeda, dan berbeda
dalam dua hal:
a)Sinkroni hanya mengenai satu perspektif, yaitu perspektif
penutur, dan seluruh metodenya adalah mengumpulkan kesaksi-
an mereka; untuk mengetahui sejauh mana suatu hal merupakan
suatu kenyataan, cukuplah dicari sejauh mana kenyataan ter
sebut hadir dalam alam sadar subjek.'^^ Linguistik diakronis,
sebaliknya, harus membedakan dua perspektif, yang satu
pektif, yang mengikuti arus waktu; yang lain retrospektif^, yang
melawan arus waktu: jadi terdapat dua muka pada metode
diakronis. Hal ini akan dibicarakah lebih lanjut di bagian kelima.
b) Perbedaan kedua adalah mengenai batas bidang yang
dicakup setiap disiplin. Studi sinkronis tidak mengambil sebagai
objeknya semua yang bersifat simultan, tetapi mengambil sebagai
fakta-fakta yang berhubungan dengan setiap langue-, dan apabila
diperlukan, pemisahan dilakukan sampai ke dialek dan dialek
bawahan. Sebenarnya istilah sinkroni kurang jelas; seharusnya
176

diganti dengan istilah, yang memang panjang, idiosinkronis.^^^


Sebaliknya linguistik diakronis bukan hanya tidak memerlukan-
nya, tetapi juga menolak perincian semacatn ini: unsur-unsur
yang ditelaahnya tidak selalu harus berasal dari satu bahasa
(bandingkan bahasa Indo-Eropa* esti, Yunani isti, Jerman ist,
Perancis esi). Justru pergantian fakta-fakta diakronis dan per-
tambahannya dalam ruang yang menciptakan berbagai idiom.
Untuk membuktikan kekerabatan dua bentuk, cukup kalau
keduanya memiliki hubungan sejarah, meskipun tidak langsung.
Perbedaan ini bukanlah yang paling mencolok, rnaupun
yang paling mendalam: antinomi radikal antara fakta evolutif dan
fakta statis mengakibatkan bahwa semua istilah yang berhubung-
an dengan masing-masing fakta tidak saling mempengaruhi.
Istilah mana pun dapat digunakan untuk menjelaskan kenyataan
tersebut. Demikianlah maka "gejala" isinkronis sama sekali
berbeda dengan gejala diakronis (lihat halaman 169-170); yang
satu merupakan hubungan antara unsur-unsur simultan, yang lain
merupakan substitusi suatu unsur dengan unsur lain dalam
waktu, suatu peristiwa. Kita akan nielihat juga halaman 199
bahwa identitas diakronis dan sinkronis adalah dua hal yang
berbeda: dari segi sejarah, sangkalan pas sama dengan substantif
pas, sedangkan dalam bahasa mutakhir kedua unsur tersebut
berbeda. Kenyataan-kenyataan ini cukup untuk membuat kita
sadar akan perlunya memisahkan kedua sudut pandang tersebut;
tetapi kebutuhan tersebut akan nampak paling jelas di dalam
pembedaan yang akan kami lakukan sekarang.

6. Aturan Sinkronis dan Aturan Diakronis'*'^

Orang sering berbicara tentang aturan-aturan dalam


linguistik; tetapi apakah fakta-fakta bahasa dalam kenyata
an dikuasi oleh aturan-aturan, dan seperti apa aturan tersebut?
Mengingat langue adalah suatu pranata sosial, kita dapat me-
ngira a priori bahwa langue diatur oleh paksaan-paksaan yang
sama dengan yang mengatur kehidupan kolektif. Padahal
semua aturan sosial memiliki dua ciri pokok: pertama meng-
haruskan dan kedua umum-, aturan sosial dipaksakan, dan
177

berlaku untuk segala kasus, tetapi tentu saja dalam waktu dan
tempat yang terbatas.
Apakah aturan-aturan langue sesuai dengan definisi ter-
sebut? Untuk mengetahuinya, hal pertama yang harus dilakukan,
sesuai dengan apa yang telah dikatakan di atas, adalah memisah-
kan sekali lagi bidang sinkronis dari bidang diakronis. Di sini
terdapat dua masafah yang tidak boleh dirancukan: berbicara
tentang aturan bahasa pada umumnya adalah sama dengan ingin
menangkap bantu.
Berikut ini beberapa contoh dari bahasa Yunani, di mana
"aturan-aturan"sinkronis dan diakronis dirancukan:
1) Aspirasi bersuara bahasa IndoEropa menjadi aspirat tak
bersuara: *dhumos —> thumos "hembusan kehidupan", *bherd
pherd 'saya membawa', dan Iain-lain.
2)Tekanan tidak pernah melewati batas suku kata sebelum
suku kata terakhir.
3)Semua kata berakhiran vokal atau berakhiran s, n, r, dan
tidak pernah konsonan lain.
4) 5 di awal kata yang terietak di depan vokal berubah
menjadi h (dilafalkan dengan'hembusan kasar'): *septm (Latin:
septem) » heptd.
5) m di akhir kata diganti dengan n: *jugom zugon (bdk.
Latin:jugum^).
6) Oklusif final runtuh: *gunaik —> gunai, *epheret —»
*ephere, *epheront^ dpheron.
Aturan yang pertama diakronis sifatnya: apa yang tadinya
db berubah menjadi th, dan seterusnya. Aturan kedua mem-
perlihatkan hubungan antara kesatuan kata dan tekanan, se-
macam kontrak antara dua unsur yang hadir bersama: ini adalah
aturan sinkronis. Begitu pula halnya dengan aturan ketiga
karena aturan ini mengenai kesatuan kata depgan akhirannya.
Aturan 4, 5, dan 6 adalah diakronis: apa yang tadinya s menjadi
h; -n menggantikan m; -t, k, dan seterusnya, hilang tanpa
meninggalkan bekas.
Perlu dicatat pula bahwa aturan 3 adalah hasil dari aturan 5
dan 6; dua fakta diakronis telah menciptak^n sebuah fakta
sinkronis.
Sekali kedua kategori tersebut dipisahkan, kita melihat
178

bahwa aturan 2 dan 3 tidak sama dengan aturan 1, 4, 5, 6.


Aturan sinkronis umum sifatnya, tetapi tidak mengharus-
kan. Mungkin sekali la dipaksakan pada para individu karena
adany'a kendala kebiasaan kolektif (lihat halaman 155), tetapi di
sini kami tidak akan menelaah paksaan yang dikenakan pada
penutur. Maksud kami, di dalam langue tidak ada satu kekuatan
pun yang menjamin pemeliharaan keteraturan apabila itu menge-
nai suatu butir. Aturan sinkronis hanya mengungkapkan kelom-
pok yang ada, aturan sinkronis mengatur keadaan objek-objek;
aturan ini sama dengan aturan yang mengatur pohon di kebun
buah dalam kelompok lima-lima (satu di tengah dan empat
mengelilinginya). Dan kelompok yang dirumuskannya tidak
tetap, justru karena pengaturan ini tidak mengharuskan, sehing-
ga tidak ada yang lebih teratur daripada aturan sinkronis yang
menguasai tekanan dalam bahasa Latin (aturan yang dapat
dibandingkan secara tepat dengan aturan 2); padahal aturan
tekanan ini tidak bertahan terhadap perubahan, dan menyerah
pada aturan baru, yaitu aturan dalam bahasa Perancis (lihat
halaman 169-170 dan seterusnya). Singkatnya, kalau kita bicara
tentang aturan sinkronis, kita bicara tentang pengaturan, tentang
prinsip keteraturan.
Diakroni sebaliknya mengharuskan adanya faktor dinamis
yang menghasilkan suatu dampak,suatu yang dikerjakan. Tetapi
eiri yang mengharuskan ini tidak cukup untuk menerapkan istilah
aturan pada fakta-fakta evolutif; kita hanya dapat berbicara soal
aturan apabila sekumpulan fakta mengikuti aturan yang sama.
Meskipun terdapat beberapa kesan yang sebaliknya, peristiwa-
peristiwa diakronis selalu bersifat kebetulan dan khusus.'^^
Bagi fakta-fakta semantik, kita segera melihatnya; kalau
kata Peraneis poutre 'kuda betina' kemudian bermakna 'tiang
penunjang', hal ini terjadi karena sebab-sebab khusus dan tidak
tergantung dari perubahan lain yang mungkin terjadi di saat yang
sama; hal ini hanya satu di antara keeelakaan yang terjadi dalam
sejarah suatu langue.
Bagi perubahan sintaksis dan morfologis, persoalannya
tidak begitu jelas pada pandangan pertama. Pada suatu zaman
hampir semua bentuk kasus subjek kuno hilang dalam bahasa
Perancis. Apakah di sini terdapat sekumpulan fakta yang
179

mengikuti aturan yang sama? Tidak, karena semuanya hanya


sejumlah besar manifestasi dari satu fakta yang berdiri sendiri.
Pengertian khusus kasus subjeklah yang mengalami pefubahan
dan hilangnya kasus ini menyebabkan hilangnya sederet bentuk.
Bagi siapa pun yang melihat langue hanya dari kulitnya, gejala
unik ini tenggelam dalam manifestasinya yang beraneka ragam;
tetapi gejala itu sendiri pada dgsamya adalah satu, dan merupa-
kan suatu peristiwa historis yahg berdiri sendiri, seperti juga
perubahan makna yang terjadi pada kata poutre; perubahan ini
nampak seperti suatu aturan hanya karena perubahan ini terjadi
dalam suatu sistem: pendampingan ketat dari sistemlah yang
menciptakan ilusi bahwa fakta diakronis mengikuti kondisi yang
sama seperti fakta sinkronis.
Terakhir, bagi perubahan fonetis, sama saja halnya; meski-
pun demikian orang sering berbicara tentang aturan fonetis.
Memang orang melihat, bahwa pada suatu saat, di suatu daerah,
semua kata yang mengandung kekhususan fonetis tertentu
mengalami perubahan yang sania. Aturan 1 pada halaman 177
(* dhumos —»• Yunani thumds) mengenai semua kata Yunani yaftg
mengandung aspirat bersuara (bdk *nebhos niphos, *medhu
m^thu, *anghd —>■ dnkho, dan Iain-lain.); aturan 4 {*septm —>
heptd) dapat diterapkan pada serpo herpo, *sus hits, dan
pada semua kata yang dimulai dengan s. Keteraturan ini, yang
kadang-kadang dibantah, nampak bagi kami sangat melembaga;
pengeeualian-pengecualian tidak mengurangi fatalnya perubahan
semacam ini karena pengecualian dapat diterapkan oleh aturan
fonetik yang lebih khusus (lihat contoh trikhes: thriski halaman
184) atau oleh campur tangan fakta jenis lain (analogi, dan Iain-
lain.). Jadi nampaknya tak satu pun sesuai dengan definisi kata
aturan yang diberikan di atas. Padahal, berapa pun jumlah kasus
di mana suatu aturan fonetis terbukti, semua fakta yang
dicakupnya hanyalah manifestasi dari satu fakta tertentu.
Masalah sebenarnya adalah bagaimana mengetahui apakah
perubahan fonetis mengenai kata atau hanya mengenai bunyi;
jawabnya tidak meragukan: dalam kata nephos, mithu, ankhd,
dan Iain-lain, fonem tertentu, yaitu aspirat bersuara Indo-Eropa
yang berubah menjadi aspirat tak bersuara, s di awal kata Yunani
180

primitif yang berubah menjadi h, dan Iain-lain, dan setiap fakta


berdiri sendiri, bebas dari peristiwa-peristiwa lain sejenisnya,
tidak pula tergantung dari kata-kata\asalnya.^ Semua kata ini
mengalami perubahan alami dalam bunyinya, tetapi hal ini
janganlah menyesatkan kita dari hakekat fonem yang sebenar-
nya.
Apa yang menjadi dasar bagi kita untuk menegaskan
bahwa kata-kata itu sendiri tidak terpengaruh secara langsung di
dalam transformasi fonetik? Dasarnya adalah kenyataan yang
sangat sederhana, yakni bahwa perubahan semacam ini pada
dasarnya terjadi di luar kata dan tidak dapat mempengaruhi kata
secara mendalam. Kesatuan kata tidak hanya dibentuk oleh
kumpulan fonem-fonem tersebut; kesatuan kata tergantung dari
ciri lain di samping ciri materiilnya. Misalnya sebuah senar piano
sumbang: setiap kali kita menyentuhnya ketika memainkan
sebuah lagu, terdapat sebuah nada yang sumbang; tetapi di
mana? Dalam melodi itu sendiri? Pasti tidak; bukan melodinya
yang terkena; melainkan pianonya yang rusak. Kejadian ini
persis sama dengan kejadian dalam fonetik. Sistem fonem-fonem
merupakan alat yang kita mainkan untuk melafalkan kata-kata
dalam bahasa kita; apabila salah satu unsur tersebut mengalami
perubahan, akibatnya beraneka ragam, tetapi fakta itu sendiri
tidak mempengaruhi kata, yang dapat dikatakan seperti melodi
dalam inventaris kita.
Jadi,fakta-fakta diakronis khusus sifatnya; perubahan suatu
sistem terjadi dalam peristiwa-peristiwa yang tidak saja di luar
sistem (lihat halaman 168-169), melainkan juga berdiri sendiri
dan tidak membentuk sistem di antara mereka.'^"'
Man kita ringkaskan: fakta-fakta sinkronis, apa pun ben-
tuknya, menunjukkan suatu keteraturan, yang sama sekali tidak
mengharuskan. Fakta-fakta idiakronis sebaliknya, dipaksakan
pada langue, tetapi tidak pernah umum sifatnya.
Dengan kata lain, dan ini kesimpulan kami, baik fakta
sinkronis maupun fakta diakronis tidak dikuasai oleh aturan-
aturan seperti yang didefinisikan di atas dan kalau orang tetap
ingin bicara mengenai aturan bahasa, istilah ini akan mencakup
makna yang sama sekalipun berbeda tergantung dari penerapan-
nya: apakah itu pada fakta sinkronis atau pada fakta diakronis.
181

7. Adakah Sudut Pandang Pankronis?'*^^

Sampai di sini kami telah memakai istilah aturan dalam


pengertian hukutn. Tetapi, apakah mungkin dalam langue ter-
dapat aturan-aturan dalam pengertian ilmu fisika dan alam,
artinya hubungan-hubungan yang dapat dibuktikan di mana pun
dan selalu? Dengan kata lain apakah langue dapat ditelaah dari
jurusan pankronis?
Kemungkinan besar. Karena terus-menerus terjadi
perubahan fonetis, gejala ini secara umum dapat dianggap
sebagai salah satu segi konstan dari /angage; jadi ini salah satu
aturan langage. Dalam linguistik seperti juga dalam permainan
catur (lihat halaman 172 dan seterusnya), terdapat aturan-aturan
yang bertahan terhadap peristiwa apa pun. Tetapi ini adalah
prinsip-prinsip umum yang hadir terlepas dari fakta-fakta* kon-
kret; begitu kita berbicara mengenai fakta khusus dan tersentuh,
tidak ada lagi sudut pandang pankronis. Jadi, setiap perubahan
bunyi, bagaimana pun luasnya, terbatas pada waktu dan daerah
tertentu; tak ada satu perubahan pun yang terjadi setiap saat dan
di setiap tempat; perubahan hanya ada dalam sejarah. Justru
inilah ciri uQtuk mengenali mana yang langue dan mana yang
bukan. Fakta konkret yang dapat dijelaskan secara pankronis
pasti bukan fakta bahasa. Misalnya kata chose 'benda': dari sudut
pandang diakronis, kata ini beroposisi dengan kata Latin causa
yang menurunkannya; dari sudut pandang sinkronis, kata ini
beroposisi dengan semua unsur yang dapat diasosiasikan dalam
bahasa Perancis modern. Hanya bunyi kata itu sendirilah iS^z)
yang dapat ditelaah secara pankronis; tetapi bunyi tersebut tidak
memiliki nilai linguistis; dan bahasa dari segi pandang pankronis
§QZ di dalam ujaran seperti iin soz admirab^d "une chose
admirable",'sesuatu yang mengagumkan', bukan sebuah kesatu-
an. Kelompok ini merupakan massa yang tak tentu bentuknya,
yang tidak dibatasi oleh apapun; dan memang, mengapa Sqz dan
bukan gza atau nsQ? Ini bukan nilai karena tidak mengandung
makna. Sudut pandang pankronis tidak pernah mengenai fakta-
fakta tertentu dalam langue.
182

8. Akibat Perancuan Sinkronis dan Diakronis'^

Dua kasus dapat ditampilkan di sini;


a) Kenyataan sinkronis nampak seperti sangkalan bagi
kenyataan diakrbnis, dan kalau ditelaah secara dangkal, orang
mengira bahwa hariis memilih; padahal tidak perlu menailih;
kenyataan yang satu tidak meniadakan yang lain. Italau dipit
pernah berarti "mbpris"('hinaan') dalam bahasa Perancis, hal ini
tidak menghalanginya untuk memiliki makna yang sama sekali
berbeda sekarang; etimologi dan nilai sinkronis merupakan dua
ha! yang berbeda. Sama juga halnya, tata bahasa tradisional
Perancis modern mengajarkan bahwa, dalam hal tertentu,
participe present berubah bentuk dan disesuaikan dengan kata
benda seperti sebuah adjektif (bdk. "une eau courankf' 'air
mengalir'), dan dalam hal lain dia tak berubah bentuk (bdk "une
personnelcowran/ dans la rue"'seorang lari di jalan'). Tetapi tata
bahasa historis memperlihatkan bahwa kasus ini bukan mengenai
isatu bentuk yang sama: yang pertama merupakan kelanjutan dari
participe Latin (currentem) yang berubah bentuk, sedangkan
yang lain berasal dari gerundif ablatif tak berubah bentuk
(currenddy. Apakah kenyataan sinkronis menentang kenyataan
diakronis, dan apakah tata bahasa tradisional harus dikutuk demi
tata bahasa historis? Tidak, karena nantinya yang nampak hanya
separuh dari kenyataan; jangan mengira bahwa fakta histpris
yang terpenting dan cukup untuk membentuk langue. Ke-
mungkinan besar, dari sudut pandang asalnya, terdapat dua
bentuk dalam participe courant; tetapi kesadaran bahasa men-
dekatkan keduanya dan hanya mengenai satu bentuk: kenyataan
ini sama mutlak dan kokoh seperti kenyataan yang lain.
b) Kenyataan sinkronis begitu berkaitan dengan kenyataan
diakronis sehingga orang merancukannya, atau orang menilai
penelaahan keduanya secara terpisah-sebagai berlebihan. Orang
mengira dapat menjelaskan makna kata pere 'ayah' dalam ba
hasa Perancis mutakhir dengan mengatakan bahwa pater
dalam bahasa Latin memiliki makna yang sama. Contoh lain: a
pendek bahasa Latin dalam suku kata terbuka bukan awal
183

berubah menjadi i: di samping/flc/d terdapat conficid, di samping


amicus, inimicus, dan Iain-lain. Sering orang merumuskan bahwa
a dari facio menjadi i di dalam conficid karena ia tidak lagi
berada pada suku kata pertama. Hal ini tidak benar: tidak pernah
a dari facio "menjadi" i dalam conficid. Untuk menunjukkan
kenyataan yang sebenarnya perlu dibedakan dua zaman dan
empat unsur; semua orang mengatakan facid confacidy
kemudian confacid berubah menjadi conficid, sedangkan facid
tidak mengalami perubahan sehingga orang mengatakan facid —
— conficid.
Jadi

facid <—» confacid Zaman A.

facid *—> conficid Zaman B.

Kalau memang ada perubahan, itu terjadi antara confacid dan


conficid; dan aturan yang dirumuskan secara keliru bahkan tidak
menyebutkan kata yang pertama! Kemudian, di samping per
ubahan ini, yang tentu saja diakronis, terdapat fakta kedua yang
sama sekali berbeda dengan yang pertama dan yang mengenai
oposisi sinkronis murni antara facid dan conficio. Orang tergoda
untuk mengatakan bahwa kenyataan ini bukan fakta, melainkan
sebuah hasil. Padahal, ini memang fakta (dipandang dari segi
sinkronis), dan bahkan semua gejala sinkronis memilifti hakekat
tersebut. Yang menghalangi kita untuk mengetahui nilai sebenar
nya dari oposisi facid conficid adalah karena nilai tersebut
tidak sangat berarti. Tetapi, meskipun orang menelaah pasangan
Gast Caste, gebe gibt sekalipun, akan nampak bahwa
oposisi tersebut juga merupakan hasil kebetulan dari evolusi
bunyi, dan tidak merupakan gejala tata bahasa yang berarti dari
segi pandang sinkronis. Karena kedua jenis gejala ini satu sama
lain sangat erat hubungannya, yang satu menentukan yang lain,
orang mengira bahwa tidak ada gunanya untuk membedakan

PERpyGmc^.f\M
BADAM BAHASA
KESEflTESAN FtMDSDiKAll fiASIONAl
184

keduanya; nyatanya linguistik telah merancukan keduanya sela-


ma berpuluh tahun tanpa melihat bahwa metodenya tidak
berguna.
Meskipun demikian kekeliruan ini muncul dalam kasus-
kasus tertentu. Misalnya untuk menjelaskan kata Yunani phuk-
tos, orang dapat mengira bahwa cukup mengatakan: dalam
bahasa Yunani g atau kh berubah menjadi k di depan konsonan
tak bersuara, dengan menjelaskan hal ini melalui hubungan
sinkronis, seperti phugein: phuktos, lekhos: lektron, dan Iain-lain.
Tetapi orang terbentur pada kasus seperti trikhes: thriksi, di
mana ditemukan kerumitan: "perpindahan" dari t V.Q th. Bentuk-
bentuk kata ini hanya dapat dijelaskan secara historik, melalui
kronologi relatif. Tema primitif *thnkh, diikuti oleh desinen -si,
menghasilkan thriksi, gejala yang sangat kuno, yang sama dengan
gejala yang menghasilkan lektron, dari akar kata lekh-. Lama
kemudian,,^emua aspirat yang diikuti oleh aspirat lain di dalam
kata yang sama berubah menjadi tak bersuara, dan *thrikhes
berubah menjadi trikhes; thriksi tentu saja tidak terkena aturan
tersebut.

9. Kesimpulan 197

Jadi linguistik berada di persimpangan jalan yang kedua.


Pertama kita harus memilih antara langue dan parole (lihat
halaman 89); dan sekarang kita di persimpangan jalan, yang satu
menuju ke diakroni, yang lain menuju ke sinkroni.
Sekali kita memiliki prinsip gahda ini di dalam mengklasifi-
kasi, dapat ditambahkan bahv/a semua yang diakronis dalam
langue hanya hadir dalam parole^'^^. Di dalam parole\ah terdapat
benih segala perubahan: setiap perubahan dilontarkan pertama
kali oleh sejumlah individu sebelum masuk dalam kelaziman
(usage). Bahasa Jerman modern memiliki: ich war, wir waren,
sedangkan bahasa Jerman Kuno,sampai abad XVI, menasrifkan:
ich was, wir waren (bahasa Inggris masih menggunakan: I wrw, we
185

were). Bagaimana terjadinya substitusi dari war ke was ini?


Beberapa orang, yang terpengaruh oleh waren, telah mencipta-
kan war dengan jalan analogi; ini adalah fakta dalam parole.
Bentuk ini, karena sering diulang, dan diterima oleh masyarakat,
menjadi fakta dalam langue. Tetapi tidak semua pembaharuan
dalam parole berhasil seperti di atas, dan selama perubahan
tersebut sifatnya individual,tidak akan kami perhatikan karena
kami menelaah langue; perubahan hanya masuk dalam bidang
telaah kami apabila masyarakat menerimanya.
Suatu fakta evolusi selalu didahului oleh suatu fakta, atau
lebih tepat oleh sekumpulan fakta yang sama di lingkungan
parole-, hal ini sama sekali tidak mengurangi perbedaan yang
telah dijelaskan di atas, sebaliknya pembedaan ditegaskanjdi sini
karena dalam sejarah pembaharuan mana pun selalu ditemui dua
saat yang berbeda: 1. saat di mana pembedaan muncul pada diri
para individu; 2. saat di mana pembedaan menjadi fakta langue,
yang sama dari luar, tetapi diterima oleh masyarakat.
Skema berikut menunjukkan bentuk penalaran yang harus
diikuti dalam studi linguistik:

Sinkroni

Langue

Langage Diakroni

Parole

Peiiu diakui bahwa bentuk teoretis dan ideal suatu ilmu


tidak selalu bentuk yang dipaksakan oleh kebutuhan praktis
kepada ilmu. Dalam linguistik, kebutuhan tersebut lebih memak-
sa daripada dalam ilmu lain; kebutuhan ini dalam batas tertentu
menjelaskan kerancuan yang kini terjadi di dalam penelitian-
penelitian linguistik. Meskipun seandainya Ipembedaan yang
186

ditetapkan di sini diterima secara mutlak, orang tetap tidak dapat


memaksakan, demi perincian itu, suatu orientasi yang jelas bagi
penelitian.
Itu sebabnya mengapa di dalam studi sinkronis dari bahasa
Perancis Kuno, linguis menelaah fakta-fakta dari prinsip-prinsip
yang sangat berlainan dengan fakta dan prinsip yang menghasil-
kan penemuan sejarah bahasa yang sama ini, dari abad XIII
sampai abad XX. Sebaliknya, fakta dan prinsip tersebut dapat
dibandingkan dengan fakta dan prinsip yang menjelaskan des-
kripsi suatu bahasa Bantu mutakhir, bahasa Yunani Kuno tahun
400 sebelum Kristus, atau pun bahasa Perancis mutakhir. Hal ini
adalah karena berbagai deskripsi ini berada pada tataran yang
sama; kalau setiap idiom membentuk suatu sistem tertutup, maka
segalanya mengharuskan prinsip-prinsip tertentu yang konstan,
yang dapat ditemukan kembali pada setiap idiom karena kita
berada pada tataran yang sama. Begitu pula halnya dengan studi
diakronis: apakah orang menjelajahi suatu periode tertentu dari
bahasa Perancis(misalnya dari abad XIII sampai abad XX), atau
suatu periode bahasa Jawa, atau bahasa mana pun, di mana pun
orang menelaah fakta yang sama sehingga cukup baginya kalau
mendekatkan fakta-fakta tersebut untuk menyusun kenyataan
umum dalam studi diakronis. Idealnya setiap ilmuwan menekuni
salah satu aspek penelitian ini dan mengumpulkan sebanyak
mungkin fakta diakronis; tetapi sulit sekali untuk memiliki
berbagai bahasa secara ilmiah. Lagi pula setiap bahasa praktis
membentuk satu kesatuan bidang, dan orang terpaksa untuk
menelaahnya secara statis dan secara historis. Meskipun d^mi-
kian jangan lupa bahwa dalam teori kesatuan tersebut dangkal
sifatnya, sedangkan keanekaragaman idiom mengandung suatu
satuan yang dalam. Apakah dalam penelaahan suatu bahasa
tinjauan diarahkan pada segi diakronis, kita harus selalu menem-
patkan setiap fakta pada tatarannya dan jangan merancukan
metodenya.
Kedua bagian linguistik yang sudah kita batasi ini akan
menjadi objek studi kita secara berurutan.
187

Linguistik sinkronis akan mengurusi hubungan-hubungan


logis dan psikologis yang menghubungkan unsur-unsur yang
hadir bersama dan membentuk sistem, seperti yang dilihat oleh
kesadaran kolektif yang sama.
Linguistik diakronis sebaliknya akan menelaah hubungan-
hubungan di antara unsur-unsur yang berturutan dan tidak dilihat
oleh kesadaran kolektif yang sama, dan yang satu menggantikain
yang lain tanpa membentuk sistem di antara mereka.

Catatan
1. Menurut Meillet {Mem. de la Soc. de Ling., IX halaman 365 dan seterusnya)
dan Gauthiot {La fin de mot en indo-europ^en, halaman 158 dan seterusnya),
bahasa Indo-Eropa hanya mengenal -n final dan tidak mengenal -m. Kalau
teori tersebut diterima, cukup kalati aturan 5 dinimuskan sebagai berikut: -n
final dipertahankan dalam bahasa Yunani; nilainya sebagai contoh tidak
berkurang karena gejala fonetis yang menghasilkan pencagaran keadaan
kuno sama hakekatnya dengan gejala fonetis yang nampak dalam penibahan
(lihat halaman 252 dan seterusnya)(Penyunting).
2. Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa contoh-contoh yang disebutkan di atas
sifatnya hanya sebagai penunjuk: linguistik mutakhir berusaha*dengan
benar - untuk mengaitkan sebanyak mungkin kelompok penibahan bunyi
pada prinsip awal yang sama. Itu sebabnya mengapa Meillet menjelaskan
semua transformasi oklusif Yunani melalui pelemahan lafal secara bertahap
(lihat Mem. de la Soc. de ling., IX halaman 163 dan seterusnya). Wajarlah
kalau kesinipulan-kesimpulan mengenai ciri penibahan bunyi didasarkan
pada fakta-fakta umum tersebut. (Penyunting)
3. Teori tersebut, yang telah diterima secara umum, baru-baru ini telah
diserang oleh M.E. Lerch {Das invariable Participium praesenti, Erlangen
1913), tetapi kami kira tanpa hasil. Jadi, tidak terjadi pengharusan sebuah
contoh yang, pada pokoknya, tetap akan mengandung nilai didaktis.
(Penyunting)
BAB 1

HAL-HAL UMUM^""

Objek linguistik sinkronis umum adalah menyusun prinsip-


prinsip dasar bagi sistem idiosinkronis mana pun, dan faktor-
faktor pembentuk langue mana pun. Banyak hal yang telah
dijelaskan di muka lebih tepat menjadi bagian linguistik sinkro
nis. Oleh karenanya, ciri-ciri umum tanda dapat dianggap
sebagai bagian yang terpadu dalam linguistrk sinkronis, meski-
pun ciri-ciri tersebut telah kita gunakan untuk membuktikan
perlunya membedakan kedua linguistik itu.
Dalam linguistik sinkronis jugalah tercakup apa yang
disebut "tata bahasa umum" karena hanya di dalam keadaan
suatu langue terjadi berbagai hubungan yang merupakan bidang
tata bahasa. Selanjutnya, kami hanya menelaah beberapa prinsip
pokok, yang sangat penting artinya bagi penelaahan masalah
linguistik sinkronis yang lebih khusus, maupun menjelaskan
rincian suatu keadaan langue.
Secara umum, lebih sulit melakukan studi linguistik statis
daripada studi sejarah.^®' Fakta-fakta evolusi bersifat lebih
konkret, dan dapat lebih diterima khayal. Hubungan-hubungan
yang teramati berjalin di antara istilah-istilah yang berurutan
yang dapat ditelaah tanpa kesukaran. Adalah mudah dan bahkan
menyenangkan untuk mengikuti sederet transformasi. Namun,
linguistik yang berkecimpung dalam nilai-nilai dan hubungan-
hubungan yang hadir bersama lebih banyak menemui kesulitan.
Dalam prakteknya, suatu keadaan langue tidak berupa
sebuah titik, melainkan suatu ruang waktu yang relatif panjang.
192

dan di dalamnya sangat sedikit terjadi perubahan. Ruang waktu


itu dapat sepuluh tahun, sebuah generasi, satu abad, bahkan
lebih panjang pun mungkin. Suatu langue dapat sedikit sekali
berubah dalam waktu yang panjang, namun kemudian mengala-
mi transformasi besar-besaran dalam waktu beberapa tahun saja.
Dari dua langue yang hadir bersama dalam satu masa, yang satu
dapat berkembang banvak sedangkan yang lain tidak. Maka,bagi
yang satu perlu dilakukan studi diakronis sedangkan bagi yang
lain studi sinkronis. Suatu keadaan mutlak berarti suatu keadaan
tanpa perubahan, dan mengingat langue bagaimana pun juga
berubah, mempelajari suatu keadaan langue berarti menga-
baikan perubahan yang tidak penting, sama dengan ahli matema-
tika yang mengabaikan kuantitas tak terbatas di dalam
penghitungan-penghitungan tertentu, misalnya penghitungan
logaritma.
Dalam sejarah politik dibedakan zaman, yang merupakan
sebuah titik dalam waktu, dari masa, yang mencakup jangka
waktu tertentu. Meskipun demikian, ahli sejarah menyebut
zaman Antonin, zaman Perang Salib, ketika ia berbicara tentang
himpuuan ciri yang sifatnya konstan selama waktu itu. Dapat
dikatakan pula bahwa linguistik statis mengurusi zaman; namun
istilah keadaan lebih baik. Awal dan akhir suatu zaman umumnya
ditandai oleh suatu revolusi yang relatif mendadak dan cende-,
rung mengubah keadaan hal-hal yang tetap. Istilah keadaan
menghindarkan sangkaan bahwa dalam langue tidak terjadi
perubahan. Sebaliknya, istilah zaman, justru karena dipinjam
dari sejarah, membuat kita kurang berpikir tentang langue itu
sendiri melainkan lebih melihat ke hal-hal yang melingkunginya
dan membentuknya. Singkatnya, kata zaman lebih mengacu pada
apa yang telah kita sebut sebagai linguistik ekstern (lihat halaman
88).
Lagi pula pembatasan dalam waktu bukanlah satu-satunya
kesulitan yang kami temui dalam mendefinisikan suatu keadaan
langue; masalah yang sama muncul dalam perumusan ruang.
Singkatnya, pengertian keadaan langue hanyalah kira-kira.
Dalam linguistik statis, seperti dalam kebanyakan ilmu, pemba-
hasan hanya mungkin jika ada penyederhanaan data yang
dilakukan secara konvensional.^"^
iI-

BAB II

MAUJUD KONKRET DALAM LANGUE

1. Maujud dan Satuan. Definisl^"^


Tanda-tanda yang membentuk langue bukanlah merupakan
abstraksi, melainkan benda konkret (lihat halaman 82). Tanda-
tanda dan hubungan di antara merekalah yang dipelajari oleh
linguistik. Kita dapat menyebutnya maujud konkret dari ilmu
tersebut.
Perlu diingat dua prinsip yang menguasai masalah tersebut:
1) Maujud bahasa hanya ada karena kerja sama antara
penanda dan petanda (lihat halaman 147). Begitu yang diperta-
hankan hanya salah satu unsur saja, maujud itu kehilangan daya
dan berubah menjadi benda abstrak. Setiap saat ada risiko hanya
berhasil mencapai sebagian dari maujud, sementara kita mengira
memegangnya secara utuh. Itulah yang mungkin terjadi, mi-
salnya jika orang memilah tuturan menjadi suku kata, padahal
suku kata hanya bernilai jika dipandang dari segi fonologi.
Urutan bunyi hanya bersifat kebahasaan jika mendukung suatu
gagasan, sedangkan secara mandiri urutan bunyi hanyalah materi
bagi studi fisiologi.
Begitu pula halnya bagi petanda, begitu kita memisahkan-
nya dari penandanya. Konsep seperti "rumah","putih","rnelihat",
dan sebagainya, jika ditelaah secara mandiri, merupakan bagian
dari psikologi. Konsep itu hanya menjadi maujud bahasa jika
diasosiasikan dengan gambar akustik. Dalam langue, sebuah
konsep adalah kualitas dari substansilbunyi^®'* seperti juga suara
tertentu merupakan kualitas dari konsep.
Sering kali satuan bermuka dua itu dibandingkan dengan
satuan pribadi manusia yang dibentuk dari raga dan jiwa. Na-
mun, perbandingan itu tidak memuaskan. Mungkin lebih baik
jika dibandingkan dengan komposisi kimia, air misalnya, yang
merupakan kombinasi hidrogen dengan oksigen. Jika keduanya
194

• • • 20S
ditinjau satu persatu, akan kehilangan ciri-ciri air.
2) Maujud bahasa hanya dapat ditetapkan secara lengkap
jika ia dibatasi, dipisahkan dari segala sesuatu yang me-
lingkunginya pada tuturan.^"^ Maujud yang dibatasi atau satuan
inilah yang beroposisi di dalam mekanisme langu^
Pada tinjauan pertama orang tergoda untuk mengasimilasi-
kan tanda bahasa dengan tanda visual, yang mungkin hadir
bersama dalam ruang tanpa terancu, dan orang membayangkan
bahwa pemisahan unsur-unsur bermakna dapat dilakukan de
ngan cara yang sama, tanpa memerlukan kerja otak sama sekali.
Kata "bentuk" yang sering digunakan untuk menyebut unsur-
unsur tadi - bdk. ungkapan "bentuk verbal","bentuk nominal"-,
turut menyesatkan kita. Namun, orang tabu bahwa tuturan me-
miliki ciri utama, yaitu bersifat linear (lihat halaman 151). Jika
ditelaah secara mandiri, tuturan hanyalah sebuah garis, pita
sinambung, yang bagi telinga tidak cukup terbedakan dan tidak
cukup jelas. Oleh karenanya'diperlukan makna.^"® Apabila kita
mendengar suatu langue yang tidak kita kenal, kita tidak akan
tabu bagaimana harus menganalisis urutan bunyi tersebut. Hal
itu disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak mungkin melakukan
analisis itu jika hanya memperhatikan aspek bunyi yang terdapat
dalam gejala bahasa. Namun, apabila kita mengetahui makna
apa dan peran apa yang harus diberikan pada setiap bagian dari
rangkaian bunyi tadi, maka kita akan melihat bahwa bagianr
bagian itu memilah diri, dan pita i yang sinambung terpotong-
potong dalam bagian-bagian yang jelas; padahal analisis yang kita
lakukan sama sekali tidak bersifat materi.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa langue tidak tampil
sebagai himpunan tanda yang telah dibatasi terlebih dahulu
sehingga cukup dipelajari makna dan pendampingannya. Langue
merupakan suatu massa yang semrawut sehingga hanya perha-
tian dan kebiasaan memungkinkan kita untuk menemukan unsur-
unsur tertentu. Satuan tidak memiliki ciri yang khas, dan satu-
satunya definisi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
sepotong suara yang jika dipisahkan dari apa yang mendahului
dan apa yang mengikutinya di dalam tuturan, merupakan penanda
dari konsep tertentu.
195

2. Metode dan pembatasan^*^

Orang yang memiliki sebuah langue akan membatasinya


dalam satuah-satuan dengan cara yang sangat sederhana ~ paling
tidak dalam teori. Metodenya adalah menempatkan diri dalam
parole, yang dianggap sebagai dokumen bahasa dan menampil-
kannya dalam bentuk dua rangkaian yang sejajar, yaitu rang-
kaian konsep (a) dan rangkaiaii gambaran akustis (b).
Pembatasan yang benar'inenuntut bahwa pembagian di
dalam rangkaian akustik {affy ..••) sesuai dengan pembagian di
dalam rangkaian konsepl(a'/J'y'

P'

Misalnya dalam bahasa Perancis ada sizlaprd: dapatkah


saya memotong rangkaian tersebut setelah / dan menampilkan
sizel sebagai satuan? Tidak: cukup kita menelaah konsepnya
untuk melihat bahwa pembagian itu keliru. Pemotongan menjadi
suku kata: siz-la-prd juga secara a priori tidak bersifat bahasa.
Satu-satunya pembagian yang mungkin adalah: 1) si-i-la-prd ("si
je la prends" 'jika itu saya ambil'), dan 2) si-2-l-aprd ("si je
I'apprends" 'jika saya mempelajarinya'), dan pembagian itu
ditentukan oleh makna yang diberikan pada parole tersebut.^'"
Untuk memeriksa hasil kegiatan tadi dan meyakinkan di»
bahwa yang ditelaah tadi memang sebuah satuan, dalam mem-
bandingkan sederet kalimat di mana satuan'yang sama bertemu,
seharusnya dalam setiap kasus orang ttiemisahkan satuan terse
but dari konteksnya dertgan syarat bahwa makna memungkinkan
pembatasan itu. Misalnya anggota dari kalimat: lafgrsdiivd "la
force du vent"'kekuatan angin' dan abudfgrs "a bout de force"
'tidak kuat lagi'. Di dalam kedua kalimat tersebut, konsep yang
sama bertumpang tindih dengan rangkaian bunyi yang/sama^"
j fgrs. Jadi, dapat dikatakan bahwa/^»rs merupakan satuan bahasa.
196

Tetapi, di dalam ilmtiforsapark "il me force a parler";"memaksa-


ku berbicara",fgrs mempunyai makna yang sama sekali berbeda
sehingga merupakan satuan yang lain.

3. Kesulitan dalam Pembatasan^*^

Metode tersebut, yang begitu sederhana dalam teorl,


apakah dapat dengan mudah diterapkan? Kita tergoda untuk
mengira begitu, apabila kita berangkat dari gagasan bahwa
satuan-satuan yang hams dipilah berupa kata-kata karena, apa
kah kalimat itu kalau bukan kombinasi kata-kata, dan apakah
ada unsur lain yang langsung dapat dilihat selain itu? Jadi, kita
ambil contoh di atas tadi siilaprd, dan kita mengatakan bahwa
kalimat itu terbagi menjadi empat satuan yang berhasil dibatasi
oleh analisis kita, dan yang bempa kata yang jumlahnya sama: si-
je-l'- apprends. Meskipun demikian, kami segera menjadi ragu
melihat kenyataan bahwa kita sudah sering berdebat mengenai
l^akekat kata, dan dengan berpikir sedikit, kita melihat bahWa
yang dimaksud dengan kata dapat disamakan dengan pengertian
kami mengenai satuan|konkret.^'^
Untuk meyakinkan diri, cobalah kita pikirkan cheval dan
bentuk jamaknya chevaux. Orang lazim mengatakan bahwa
kedua bentuk itu berasal dari kata benda yang sama. Padahal jika.
ditelaah secara utuh, kedua bentuk itu sangat berbeda, baik
maknanya maupun bunyinya. Dalam mwa ("le mois de d6cem-
bre" 'bulan Desember') dan mwaz ("un mois apres" 'sebulan
kemudian'), kita juga melihat kata yang sama dengan dua aspek
yang berbeda, tetapi ini sama sckali bukari satuan konkret:
memang maknanya sama, namun rangkaian bunyinya berbeda.
Jadi, begitu orang ingin mengasimilasikan satuan konkret dengan
kata, orang berhadapan dengan suatu dilema: atau orang hams
mengesampingkan hubungan, padahal jelas ada, yang menghu-
bungkan cheval dengan chevaux, mwa dengan mwaz, dan
setemsnya, dan mengatakan bahwa kedua bentuk itu berbeda;
atau, jangan bicara tentang satuan konkret dan puas dengan
abstraksi yang menyatukan berbagai bentuk yang berasal dari
kata yang sama. Lagi pula banyak kata yang merupakan satuan
197

sengkarut, yang dengan mudah dibedakan satuan bawahannya


(sufiks, prefiks, akar). Kata jadian seperti desir-eux 'sangat
ingin'., malheur-eux 'sengsara' dapat dipilah menjadi bagian-
bagian yang masing-masing memiliki makna dan peran yang
jelas. Sebaliknya, terdapat satuan-satuan yang lebih luas dari
kata: komposisi(porteplume 'tangkai pena'), ungkapan {s'il vous
plait 'silakan'), bentuk fleksi (// a iti 'dia telah berada'), dan
sebagainya. Namun, satuan-satuan itu menimbulkan kesulitan
dalam pembatasan, yang sama dengan yang terjadi pada kata,
dan sangat sulit untuk rnemisahkan sederet satuan-satuan dalam
rangkaian bunyi dan mengatakan atas dasar unsur konkret mana
suatu langue berfungsi.
Kemungkinan besar penutur tidak mengenal kesulitan itu,
apa pun yang bermakna pada tingkatan tertentu nampak sebagai
unsur konkret bagi mereka, dan mereka membedakannya de
ngan mudah di dalam wacana. Namun, masalahnya adalah
bagaimana merasakan deretan cepat dan peka dari satuan-satuan
itu, dan memperhitungkannya melalui analisis yang metodik.
Sebuah teori yang cukup menyebar menganggap bahwa
satu-satunya satuan konkret adalah|kalimat:^''* kita hanya berca-
kap dengan kalimat dan baru sesudahnya kita dapat memisahkan
kata-kata yang membentuk kalimat itu. Namun, patut diingat,
sampai sejauh mana kalimat menjadi bagian langue (lihat
halaman 221)? Jika kalimat berada dalam parole, tidak dapat
dianggap sebagai satuan bahasa. Meskipun demikian, mari kita
anggap bahwa kesulitan itu tidak ada. Jika kami menampilkan
sekelompok kalimat yang mungkin dituturkan, ciri mereka yang
pajing mencolok adalah bahwa mereka tidak mirip sama sekali
satu sama lain. Pada pandangan pertauia, kita tergoda untuk
menyamakan besarnya keanekaragaman kalimat dengan keane-
karagaman yang tidak lebih kecil dari ihdividu yang membentuk
jenis hewan, namun itu merupakan ilusi. Dalam sekelompok
hewan yang berjenis sama, ciri-ciri yang sama jauh lebih banyak
jumlahnya daripada ciri yang membedakan mereka. Di antara
kalimat-kalimat, sebaliknya, justru keanekaragaman yang me-
nguasai, dan begitu kita mencari apa yang menyatukan semua
kalimat di dalam keanekaragaman itu, kita menjumpai lagi,
tanpa mencarinya, kata dengan.segala ciri gramatikalnya, dan;
198

kita kembali ke kesulitan yang sama.

4. Kesimpulan^*^

Di dalam kebanyakan bidang yang menjadi objek ilmu,


masalah satuan bahkan tidak pernah ada karena satuan itu sudah
ada sebelumnya. Misalnya, dalam ilmu hewan, binatanglah yang
muncul pada isaat pertama. Astronomi juga berfungsi atas dasar
satuan-satuan yang terpisah di ruang angkasa, yaitu bintang-
bintang. Dalam ilmu kimia orang dapat mempelajari jenis dan
komposisi potasium bikromat tanpa ragu sejenak puri bahwa itu
sebuah objek yang rumusannya jelas.
Apabila suatu ilmu tidak memiliki satuan konkret yang
segera teramati, itu adalah karena satuan itu tidak penting
baginya. Dalam sejarah, misalnya, mana satuan konkretnya,
individu, zaman, atau bangsa? Kita tidak tahu, tapi itu tidak
penting. Orang tetap dapat menyusun karya sejarah tanpa
melihat dengan jelas hal itu.
Namun, sama dengan permainan catur yang seluruhnya
berada dalam kombinasi berbagai buahnya, /angwe pun memiliki
ciri suatu sistem yang seluruhnya didasarkan pada oposisi satuan-
satuan konkretnya. Kita tidak dapat mengabaikannnya, maupun
bergerak selangkah tanpa memperhitungkannya, namun pemba--
tasan mereka merupakan masalah yang begitu peka sehingga kita
bertanya-tanya apakah satuan-satuan itu memang benar ada.
Jadi, langue memiliki ciri yang aneh dan |mencolok, yaitu
tidak adanya maujud yang teramati pada pandangan.pertama,
namun kita yakin bahwa maujud itu ada dan bahwa permainan di
antara merekalah yang membentuk langue. Kemungkirian besar
di situlah letak ciri yang membedakan langue dari pranata
semiologis lainnya.
BAB III

IDENTITAS,REALITAS,VALENSP'6

Pernyataan di atas tadi menempatkan kami di depan


masalah yang lebih penting lagi, yaitu bahwa dalam linguistik
statis pengertian dasar apa pun langsung tergantung dari gagasan
yang dimiliki orang tentang satuan dan bahkan terancu dengan
satuan. Ttulah yang ingin kami tunjukkan secara berurutan,
mengenai pengertian identitas, realitas dan nilai sinkronis.
A. Apa yang dimaksud dengari sinkronis? Yang
dimaksud bukan identitas yang menghubungkan kata sangkalan
pas dengan kata Latin passum. Identitas itu diakronis sifatnya,
dan akan ditelaah di tempat lain, halaman 302-303. Yang
dimaksud adalah identitas yang tidak kalah menariknya yang
mendasari kami untuk menyatakan bahwa dua buah kalimat
seperti "Je ne sais pas" 'saya tidak tahu' dan "ne dites pas cela"
'jangan katakan hal itu' mengandung unsur yang sama. Orang
akan mengat^kan bahwa itu merupakan masalah yang tak ada
gunanya dipermasalahkan: di sana ada identitas karena di dalam
kedua kalimat itu potongan bunyi yang sama {pas) dikenakan
makna yang sama. Namun, penjelasan itu tidak cukup karena
meskipun kesesuaian antara potongan bunyi tadi dengan konsep
membuktikan adanya identitas (lihat contoh di atas "la force du
vent"'kekuatan angin': bout de force" 'tidak kuat lagi'), yang
sebaliknya tidak terjadi: mungkin saja ada identitas tanpa
kesesuaian itu. Apabila, di dalam suatu ceramah, terdengar kata
200

Messieurs!'Saudara-saudara!' diulangi berkali-kali, orang merasa


bahwa setiap kali ungkapan yang sama yang dikatakan, padahal
variasi debit dan intonasi menampilkannya di dalam berbagai
penggal, dengan perbedaan bunyi yang mencolok - sama
menlcioloknya dengan perbedaan bunyi yang digunakan untuk
membedakan kata-kata yang berbeda (bdk. pomme 'apel' dan
paume 'telapak tangan', goutte 'tetesan' dan je goute 'saya
mencicip',/Mir 'lari menghindar' dan fouir 'menggali (binatang)',
dan sebagainya). Lagi pula, perasaan adanya identitas itu tetap
ada, meskipun dari sudut pandang semantik pun tidak ada
identitas mutlak antara Messieurs yang satu dan yang lain.
Demikian juga halnya dengan sebuah kata yang dapat mengung-
kapkan gagasan yang sangat berbeda tanpa terganggu identitas-
nya (bdk. "adopter une mode"'mengikuti mode' dan "adopter un
enfant" 'mengangkat anak', "\a fleur du pommier" 'bunga apel'
i dan "\a fleur de la noblesse" 'elite di kalangan bangsawan', dan
seterusnya).
Mekanisme bahasa secara utuh bergerak di atas identitas
dan perbedaan. Perbedaan merupakan pasangan dari identitas.
Jadi, masalah identitas terdapat di mana-mana. Namun, di lain
pihak, masalah itu sebagian terancu dengan masalah wujud dan
masalah satuan, dan hanya merupakan suatu komplikasi yang
sebenarnya produktif. Ciri tersebut sangat nampak dari perban-
dingan dengan beberapa fakta yang ditelaah di luar langage.
Misalnya kita bicara tentang identitas dua buah kereta ekspres
"Jenewa-Paris pk. 8.45 malam" y&ng berangkat dua puluh empat
jam. Di mata kita, kereta ekspresnya yang itu-itu juga, padahal
kemungkinan besar lokomotifnya, wagonnya, personelnya,
semuanya berbeda. Misalnya lagi sebuah jalan dibongkar, kemu-
dian dibangun kembali, kita mengatakan bahwa itu jalan yang
sama, padahal materialnya sama sekali berbeda dengan jalan
yang lama. Mengapa jalan dapat dibangun kembali sampai ke
dasarnya dan jalan itu tetap yang sama? Karena maujud yang
dibentuknya tidak murni materiil. Maujud itu dibentuk atas dasar
kondisi tertentu yang terlepas dari material yang sementara
sifatnya, misalnya situasinya terhadap jalan-jalan lain. Begitu
pula halnya dengan kereta ekspres tadi: jam keberangkatan,
jadwal dan pada umumnya semua keadaan yang membedakan-
nya dari kereta ekspres yang lain. Setiap kali kondisi yang sama
201

muncul, diperoleh maujud yang sama. Padahal maujud yang


disebutkan di atas tidak abstrak karena sebuah jalan atau sebuah
kereta ekspres tak tertangkap di luar realisasi materiil.
Mari kita pertentangkan kasus tadi dengan kasus yang sama
sekali berbeda dari sebuah pakaian yang telah dicuri dari saya
dan saya temukan kembali di tukang loak. Apa yang saya
dapatkan adalah maujud materiil, yang hanya ada dalam substan-
si mati, cita, cita pelapis, kain bersulam yang digunakan untuk
hiasan, dan sebagainya. Baju lain, meskipun sangat mirip dengan
baju tadi, bukan milik saya. Namun,identitas bahasa tidak sama
dengan identitas baju, identitas bahasa sama dengan identitas
kereta ekspres dan identitas jalan. Setiap kali saya menggunakan
kata Messieurs, saya memperbaharui materinya sehingga terda-
pat tindak pembunyian yang baru dan tindak psikologis yang
baru. Hubungan di antara kedua penggunaan kata yang sama itu
tidak terdapat pada identitas materiilnya maupun pada ke-
miripan yang sempurna dari makna, melainkan pada unsur-unsur
yang harus diteliti dan yang dapat menyentuh dari dekat hakekat
satuan bahasa yang sebenamya.
B. Apa yang dimaksud dengan rea//tolsinkronis?^'® Unsur-
unsur konkret dan abstrak mana saja di dalam langue yang dapat
disebut realitas?
Kita ambil contoh pembedaan jenis kata: apa dasar dari
klasifikasi kata menjadi substantiva, adjektiva, dan sebagainya?
Apakah klasifikasi itu dibuat berdasarkan prinsip logis murhi,
ekstra-linguistik, yang diterapkan dari luar pada tata bahasa,
seperti juga derajat bujur dan lintang yang diterapkan pada bola
dunia? Atau apakah klasifikasi itu ada hubungannya dengan
sesuatu yang mempunyai posisi dalam sistem bahasa dan dikuasai
oleh sistem itu? Singkatnya, apakah atas dasar realitas sinkronis?
Anggapan kedua nampaknya sangat mungkin, namun anggapan
pertama dapat pula dibenarkan. Apakah dalam "ces gants sont
bon marche" 'sarung tangan itu murah', ton marchi 'murafb'
merupakan adjektiva? Secara logis maknanya memang ^jektivh,
namuri secara gramatikal hal itu meragukan karena bon marche
tidak berperilaku seperti sebuah adjektif (tak berubah bentuk,
tak mungkin ditempatkan di depan substantiva, dan sebagainya).
Lagi pula bon marche dibentuk dari dua kata, padahal justru
202

penjenisan kata gunanya adalah mengelompokkan kata-kata


yang terdapat di dalam suatu langue. Bagaimana suatu kelompok
kata dapat menjadi bagian dari "jenis" tersebut? Sebaliknya lagi,
orang tidak memperhitungkan ungkapan itu ketika mengatakan
bahwa bon 'bagus' adalah sebuah adjektiva dan marchi 'pasar'
sebuah substantiva. Jadi, kita berhadapan dengan klasifikasi yang
salah atau tidak lengkap. Pembedaan kata-kata menjadi substan
tiva, verba, adjektiva, dan sebagainya, bukanlah realitas bahasa
yang tak berbantah.^^'
Demikianlah,-linguistik terus-menerus bekerja atas dasar
konsep-konsep yang dibentuk oleh para ahli tata bahasa sehing-
ga kita tidak tahu apakah konsep-konsep itu memang berhu-
bungan dengan faktor-faktor yang membentuk sistem bahasa.
Namun, bagaimana harus mengetahuinya? Dan, jika konsep-
konsep itu merupakan hantu, realitas apa yang dapat diperten-
tangkan dengannya?
Untuk menghindari ilusi, kita harus meyakinkan diri bahwa
maujud konkret dalam langue tidak tampil secara mandiri pada
pehgamatan kita. Kita harus berusaha menggapainya dan kita
hanis menyentuh kenyataan. Bertolak dari situ, kita dapat
menyusun semua klasifikasi yang dibutuhkan linguistik untuk
mengatur fakta-fakta yang harus ditelaahnya.^^" Di lain pihak,
meletakkan klasifikasi itu pada dasar yang lain dari maujud
konkret ~ misalnya mengatakan bahwa jenis kata merupakaii
faktor bahasa hanya karena jenis itu sesuai dengan kategori logis,
~ berarti melupakan bahwa tidak ada fakta bahasa yang bebas
secara fonis dipilah menjadi unsur-unsur yang bermakna.^^^
C. Terakhir, segala pengertian yang dibicarakan dalam
a:linea ini pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang telah
kami sebut valensi di tempatllain.^^^ Perbandingan sekali lagi
depgan permainan catur akan membuat kita paham (lihat
halamhni 172-173 dan seterusnya). Ambil kuda sebagai contoh:
apakah secara mandiri kuda itu unsur dari permainan catur? Jelas
bukan karena di dalam sifat materinya yang murni, di luar
kotaknya dan kondisi permainan yang lain, kuda tadi tidak
bermakna apa pun bagi pemain dan hanya menjadi unsur yang
konkret setelah diberi nilai tertentu dan menjadi bagian dari
nilai itu. Misalnya selama permainan berlangsung, anak
203

catur itu hancur atau hilang. Dapatkah itu diganti dengan


padanan yang lain? Tentu saja: bukan hanya dapat diganti oleh
kuda yang lain, bahkan bentuk yang sama sekali berbeda
dengannya dapat dinyatakan identik, asal diberi nilai yang sama.
Jadi, nampak sekarang bahwa di dalam sistem semiologis, seperti
langue ini, di mana unsur-unsur saling berkaitan secara berim-
bang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, pengertian
identitas rancu dengan pengertian nilai dan/sebaliknya.^^^
Itulah sebabnya mengapa secara pasti pengertian nilai
menutup pengertian satuan, maujud konkret, dan realitas.
Meskipun demikian, jika di satu pihak tak ada perbedaan
mendasar di antara berbagai aspek tersebut, di lain pihak
masalahnya dapat diajukan berturut-turut dalam berbagai ben
tuk. Apakah orang berusaha merumuskan satuan, realitas,
maujud konkret atau nilai, semuanya akan kembali pada m^alah
pusat yang sama,yang menguasai seluruh linguistikstatis.
Dari sudut pandang pelaksanaan, mungkin menarik untuk
mulai dari satuan-satuan, merumuskan mereka dan memperhi-
tungkan keanekaan mereka di saat menyusun klasifikasi. Se-
harusnya perlu dicari dasar pemilahan menjadi kata-kata karena
kata, meskipun sulit dirumuskan, merupakan satuan yang ada
dalam pikiran, sesuatu yang menjadi pusat di dalam mekanisme
bahasa. Tetapi, masalah itu dapat menjadi pokok pembicaraan
yang memenuhi satu buku sendiri. Kemudian, seharusnya kita
mengelompokkan berbagai sub-unit, kemudian berbagai satuan
yang lebih luas, dan seterusnya. Dengan merumuskan unsur-
unsur yang ditelaah secara demikian itu, ilmu kita mungkin
memenuhi tugasnya secara menyeluruh karena ilmu kita dapat
mengembalikan semua.gejala yang ada ke tempatnya dalam
prinsip dasarnya. Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita tidak
akan pernah berhadapan dengan masalah inti itu, atau tidak
pernah akan memahami besarnya kesulitan. Jika berurusan
dengan langue, kita selalu tergoda untuk bergerak atas dasar
satuan-satuan yang perumusannya tidak jelas.
Meskipun demikian, bagaimana pun pentingnya satuan,
lebih bijaksana jika kita menelaah masalahnya dari segi nilai
karena itulah, menurut kami, yang merupakan aspek terpenting.
BAB IV

VALENSI BAHASA

1. Laague sebagai Gagasan yang Tersusun dalam Materi Biinyi':224


Untuk memahami bahwa langue hanya merupakan suatu
sistem valensi yang mumi, cukup kalau kita menelaah kedua
unsur yang berperan serta di dalam cara kerja langue, yaitu
gagasan dan bunyi.
Secara psikologis, dengan mengesampingkan pengung-
kapan langue dalam kata, pikiran kita hanyalah suatu massa yang
tidak tetap dan campur aduk. Para ahli filsafat dan ahli linguistik
selalu sepakat untuk menerima bahwa tanpa adanya tanda, kita
tidak akan dapat membedakan dua gagasan secara jelas dan
konstan. Secara mandiri, pikiran seperti kabut yang unsur-
unsurnya tak mungkin dibatasi. Tidak ada gagasan yang tersusun
teriebih dahulu, dan tak ada satu pun yang berbeda, sebelum
munculnya f/an^ue.
Di hadapan kerajaan yang mengambang ini, apakah bunyi
itu sendiri merupakan maujud yang tercipta sebelum ada langue?
Juga tidak. Substansi bunyi tidak lebih tetap maupun lebih tegar.
Bunyi bukanlah sebuah cetakan tempat gagasan harus dibentuk,
melainkan suatu materi kenyal yang pada gilirannya terpilah
dalam bagian-bagian yang berbeda untuk mewujudkan penanda
yang dibutuhkan oleh gagasan. Jadi, kami dapat menyajikan
fakta bahasa secara utuh, artinya /angue, sebagai sederet bagian
201

muncul, diperoleh maujud yang sama. Padahal maujud yang


disebutkan di atas tidak abstrak karena sebuah jalan atau sebuah
kereta ekspres tak tertangkap di luar realisasi materiil.
Mari kita pertentangkan kasus tadi dengan kasus yang sama
sekali berbeda dari sebuah pakaian yang telah dicuri dari saya
dan saya temukan kembali di tukang loak. Apa yang saya
dapatkan adalah maujud materiil, yang hanya ada dalam substan-
si mati, cita, cita pelapis, kain bersulam yang digunakan untuk
hiasan, dan sebagainya. Baju lain, meskipun sangat mirip dengan
baju tadi, bukan milik saya. Namun,identitas bahasa tidak sama
dengan identitas baju, identitas bahasa sama dengan identitas
kereta ekspres dan identitas jalan. Setiap kali saya menggunakan
kata Messieurs, saya memperbaharui materinya sehingga terda-
pat tindak pembunyian yang baru dan tindak psikologis yang
baru. Hubungan di antara kedua penggunaan kata yang sama itu
tidak terdapat pada identitas materiilnya maupun pada ke-
miripan yang sempuma dari makna, melainkan pada unsur-unsur
yang harus diteliti dan yang dapat menyentuh dari dekat hakekat
satuan bahasa yang sebenamya.
B. Apa yang dimaksud dengan rea//to5lsinkronis?^^® Unsur-
unsur konkret dan abstrak mana saja di dalam langue yang dapat
disebut realitas?
Kita ambil contoh pembedaan jenis kata: apa dasar dari
klasifikasi kata menjadi substantiva, adjektiva, dan sebagainya?
Apakah klasifikasi itu dibuat berdasarkan prinsip logis murhi,
ekstra-linguistik, yang diterapkan dari luar pada tata bahasa,
seperti juga derajat bujur dan lintang yang diterapkan pada bola
dunia? Atau apakah klasifikasi itu ada hubungannya dengan
sesuatu yang mempunyai posisi dalam sistem bahasa dan dikuasai
oleh sistem itu? Singkatnya, apakah atas dasar realitas sinkronis?
Anggapan kedua nampaknya sangat mungkin, namun anggapan
pertama dapat pula dibenarkan. Apakah dalam "ces gants sont
bon marche" 'sarung tangan itu murah', bon marche 'muraW
merupakan adjektiva? Secara logis maknanya memang adjektiva,
namuri secara gramatikal hal itu meragukan karena bon marche
tidak berperilaku seperti sebuah adjektif (tak berubah bentuk,
tak mungkin ditempatkan di depan substantiva, dan sebagainya).
Lagi pula bon marche dibentuk dari dua kata, padahal justru
202

penjenisan kata gunanya adalah mengelompokkan kata-kata


yang terdapat di dalam suatu langue. Bagaimana suatu kelompok
kata dapat menjadi bagian dari "jenis" tersebut? Sebaliknya lagi,
orang tidak memperhitungkan ungkapan itu ketika mengatakan
bahwa bon 'bagus' adalah sebuah adjektiva dan marche 'pasar'
sebuah substantiva. Jadi, kita berhadapan dengan klasifikasi yang
salah atau tidak lengkap. Pembedaan kata-kata menjadi substan
tiva, verba, adjektiva, dan sebagainya, bukanlah realitas bahasa
yang tak berbantah.^'^
Demikianlah, linguistik terus-menerus bekerja atas dasar
konsep-konsep yang dibentuk oleh para ahli tata bahasa sehing-
ga kita tidak tahu apakah konsep-konsep itu memang berhu-
bungan dengan faktor-faktor yang membentuk sistem bahasa.
Namun, bagaimana harus mengetahuinya? Dan, jika konsep-
konsep itu merupakan hantu, realitas apa yang dapat diperten-
tangkan dengannya?
Untuk menghindari ilusi, kita harus meyakinkan diri bahwa
maujud konkret dalam langue tidak tampil secara mandiri pada
pengamatan kita. Kita harus berusaha menggapainya dan kita
harus menyentuh kenyataan. Bertolak dari situ, kita dapat
menyusun semua klasifikasi yang dibutuhkan linguistik untuk
mengatur fakta-fakta yang harus ditelaahnya.^^'' Di lain pihak,
meletakkan klasifikasi itu pada dasar yang lain dari maujud
konkret ~ misalnya mengatakan bahwa jenis kata merupakan
faktor bahasa hanya karena jenis itu sesuai dengan kategori logis,
- berarti melupakan bahwa tidak ada fakta bahasa yang bebas
secara fonis dipilah menjadi unsur-unsur yang bermakna.^^^
C. Terakhir, segala pengertian yang dibicarakan dalam
alinea ini pada dasarnya tidak beibeda dengan apa yang telah
kami sebut valensi di tempatl lain.^^^ Perbandingan sekali lagi
dengan permainan catur akan membuat kita paham (lihat
halaman 172-173 dan seterusnya). Ambil kuda sebagai contoh;
apakah secara mandiri kuda itu unsur dari permainan catur? Jelas
bukan karena di dalam sifat materinya yang murni, di luar
kotaknya dan kondisi permainan yang lain, kuda tadi tidak
bermakna apa pun bagi pemain dan hanya menjadi unsur yang
konkret setelah diberi nilai tertentu dan menjadi bagian dari
niiai itu. Misalnya selama permainan berlangsung, anak
203

catiir itu hancur atau hilang. Dapatkah itu diganfi dengan


padanan yang lain? Tentu saja: bukan hanya dapat diganti oleh
kuda yang lain, bahkan bentuk yang sama sekali berbeda
dengannya dapat dinyatakan identik, asal diberi nilai yang sama.
Jadi, nampak sekarang bahwa di dalam sistem semiologis, seperti
langue ini, di mana unsur-unsur saling berkaitan secara berim-
bang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, pengertian
identitas raincu dengan pengertian nilai dan/sebaliknya.^^^
Itulah sebabnya mengapa secara pasti pengertian nilai
nienutup pengertian satuan, maujud konkret, dan realitas.
Meskipun demikian, jika di satu pihak tak ada perbedaan
mendasar di antara berbagai aspek tersebut, di lain pihak
masalahnya dapat diajukan berturut-turut dalam berbagai ben
tuk. Apakah orang berusaha merumuskan satuan, realitas,
maujud konkret atau nilai, semuanya akan kembali pada masalah
pusat yang sama,yang menguasai seluruh linguistik statis.
Dari sudut pandang pelaksanaan, mungkin nienarik untuk
mulai dari satuan-satuan, merumuskan mereka dan memperhi-
tungkan keanekaan inereka di saat menyusun klasifikasi. Se-
harusnya perlu dicari dasar pemilahan menjadi kata-kata karena
kata, meskipun sulit dirumuskan, merupakan satuan yang ada
dalam pikiran, sesuatu yang menjadi pusat di dalam mekanisme
bahasa. Tetapi, masalah itu dapat menjadi pokok pembicaraan
yang memenuhi satu buku sendiri. Kemudian, seharusnya kita
mengelompokkan berbagai sub-unit, kemudian berbagai satuan
yang lebih luas, dan seterusnya. Dengan merumuskan unsur-
unsur yang ditelaah secara demikian itu, ilmu kita mungkin
memenuhi tugasnya secara menyeluruh karena ilmu kita dapat
mengembalikan semua gejala yang ada ke tempatnya dalam
prinsip dasarnya. Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita tidak
akan pernah berhadapan dengan masalah inti itu, atau tidak
pernah akan memahami besarnya kesulitan. Jika berurusan
dengan-/angMC, kita selalu tergoda untuk bergerak atas dasar
satuan-satuan yang perumusannya tidak jelas.
Meskipun demikian, bagaimana pun pentingnya satuan,
lebih bijaksana jika kita meneiaah masalahnya dari segi nilai
karena itulah, menurut kami, yang merupakan aspek terpenting.
BAB IV

VALENSI BAHASA

1. Langue sebagai Gagasan yang Tersus'un dalam Materi Bunyi'S224

Untuk memahami bahwa langue hanya merupakan suatu


sistem valensi yang murni, cukup kalau kita menelaah kedua
iinsur yang berperan serta di dalam cara kerja langue, yaitu
gagasan dan biinyi.
Secara psikologis, dengan mengesampingkan pengung-
kapan langue dalam kata, pikiran kita hanyalah suatu massa yang
tidak tetap dan campur aduk. Para ahli filsafat dan ahli linguistik
selalu sepakat untuk menerima bahwa tanpa adanya tanda, kita
tidak akan dapat membedakan dua gagasan secara jelas dan
konstan. Secara mandiri, pikiran seperti kabut yang unsur-
unsurnya tak mungkin dibatasi. Tidak ada gagasan yang tersusun
terlebih dahulu, dan tak ada satu pun yang berbeda, sebelum
munculnya//angwe.
Di hadapan kerajaan yang mengambang ini, apakah bunyi
itu sendiri merupakan maujud yang tercipta sebelum ada langue?
Juga tidak. Substansi bunyi tidak lebih tetap maupun lebih tegar.
Bunyi bukanlah sebuah cetakan tempat gagasan harus dibentuk,
melainkan suatu materi kenyal yang pada gilirannya terpilah
dalam bagian-bagian yang berbeda untuk mewujudkan penanda
yang dibutuhkan oleh gagasan. Jadi, kami dapat menyajikan
fakta bahasa secara utuh, artinya langue, sebagai sederet bagian
,213

Alterasi tanda-tanda bahasa menunjukkan korelasi terse-


but dengan jelas. Justru karena unsur a dan b samasekali tidak
mampu sebagaimana adanya sampai ke daerah sadar, - yang
terus-menerus hanya menangkap perbedaan alb, - bahwa
masing-masing unsur itu tetap bebas mengiibah diri sesuai dengan
hukum yang berada di luar fungsi maknawi mereka. Genitif
jamak dalam bahasa Cekoslowakia z^n tidak ditandai oleh tanda
positif apa pun (lihat halaman 171). Padahal kelompok bentuk-
bentuk zina:zin berfungsi sama baiknya dengan zena:ienb telah
mendahuluinya. Itu berarti bahwa perbedaan tanda sajalah yang
berperan, dan iena hanya berarti karena ia/berbeda.^^
Berikut ini sebuah contoh lain yang lebih menjelaskan
bahwa ada sistematika di dalam percaturan perbedaan bunyi:
dalam bahasa Yunani ephen adalah impar/a/t dan isten adalah
aoristus, meskipun keduanya dibentuk dengan cara yang sama.
Hal itu adalah karena ephen termasuk dalam sistem indiAraft/kala
kini phemi "saya berkata", sedangkan tidak ada bentuk kala kini
*'stemi, jadi justfu hubungan phemi - 4phen yang sesuai dengan
hubungan antara kala kini dan kala imperfektum (bdk. deiknumi-
edeiknum)'dan sebagainya. Jadi, tanda-tanda tersebut befgerak
bukan karena valensi intrinsik mereka, namun karena posisi
relatif mereka.
Lagi pula tidak mungkin kalau bunyi, unsur materiil,
secara mandiri menjadi bagian langue. Bagi langue, bunyi hanya
sesuatu yang sekunder, suatu materi yang diciptakannya. Segala
valensi konvensional memperlihatkan sifat itu, yaitu tidak teran-
cu dengan unsur tersentuh yang menjadi penunjangnya. Jadi,
bukan logam dari sekeping uang yang menetapkan valensi uahg
tersebut. Sebuah keping-yang secara nominal bervalensi lima
ft-ank hanya mengandung separuh dari jumlah itu dalam bentuk
perak. Yang harus ada adalah pengakuan yang letaknya di dalam
atau lebih jauh dari batas politik. Hal itu lebih benar lagi bagi
penanda bahasa. Dalam esensihya, perianda sama sekali tidak
fonis, tidak berbentuk, bukan dibentuk dari substansi materiil
melainkan hanya oleh perbedaan yang memisahkan gambaran
akustis dari gambaran akustis yang lain.^^^
Prinsip tersebut begitu mendasar sehingga dapat diterapkan
pada segala unsur materiil dalam langue, termasuk fonem. Se-
214

tiap idiom membentuk kata-katanya berdasarkan suatu sistem


unsur bunyi yang masing-masing membentuk suatu satuan yang
jelas terbatas dan yang jumlahnya benar-benar pasti. Padahal
ciri unsur-unsur itu bukan, seperti yang dikira orang, kualitas
mereka sendiri yang khas, melainkan hanya kenyataan bahwa
mereka tidak saling rancu. Pada dasarnya gejala merupakan
maujud yang beroposisi, relatif daninegatif.^^^
Buktinya, penutur memiliki kebebasan untuk melafalkan,
selama bunyi-bunyi masih berbeda satu dengan lainnya.
Oleh karenanya dalam bahasa Perancis, adat bahasa yang meng-
uvularkan r tidak menghalangi banyak orang yang menggetar-
kannya, langue itu sendiri tidak terganggu. Langue hanya menun-
tut perbedaan dan tidak memaksa seperti yang dibayangkan
orang, bahwa bunyi harus bersifat tetap. Bahkan saya dapat
melafalkan r Perancis seperti ch Jerman dalam kata Bach, dock,
dan sebagainya, sedangkan dalam bahasa Jerman, saya tidak
mungkin menggunakan r sebagai ch karena langue itu mengenal
kedua unsur tadi dan harus membedakannya. Demikian pula
dalam bahasa Rusia, tidak ada kebebasan bagi t di samping t' (t
palatal) karena hasilnya akan merancukan dua bunyi yang
dibedakan oleh langue (bdk. govorit'"berbicara" dan govorit "dia
berbicara"), tetapi ada kebebasan yang lebih besar bagi th (t
aspirat) karena bunyi itu tidak ada dalam sistem fonologi
Rusia.
Karena orang melihat hal yang serupa di dalam sistem
tanda yang lain.yaitu sistem aksara, kami akan mengambilnya
sebagai perbandingan demi memperjelas seluruhl masalah.^^®
Kenyataan:
1) tanda aksara bersifat semena. Misalnya tidak ada
hubungan antara huruf t dengan bunyi yang diwakilinya;
2) Valensi huruf bersifat negatif murni dan diferensial se-
hingga orang yang sama dapat menuliskan t dengan variasi
seperti:
215

Yang terpenting adalah bahwa tanda itu tidak rancu dalam penu-
lisannya dengan tanda i, d, dan sebagainya;
3) Valensi aksara hanya berfungsi berdasarkan oposisi
timbal balik di dalam lingkungan sistem yang pasti, dibentuk
oleh sejumlah huruf yang terbatas. Ciri itu, tanpa harus serupa
dengan yang kedua, berkaitan erat dengannya karena keduanya
tergantung dari yang pertama. Karena tanda gratis bersifat
semena, bentuknya sangat tidak penting, atau lebih tepat hanya
penting dalam batas-batas yang dipaksakan oleh sistem:
4) Cara menghasilkan tanda itu sama sekali tidak penting
karena tidak melibatkan sistem (hal itu merupakan akibat
dari ciri yang pertama). Apakah saya menulis huruf dengan tinta
putih atau hitam, berbentuk ceruk atau tonjolan, dengan
menggunakan pena atau pisau, semua itu tidak penting bagi
makna huruf-huruf tadi.

4. Tanda Ditelaah Secara Utuh^^^

Semua yang telah dijelaskan di atas sama dengan mengata-


kan bahwa di dalam iangue hanya ada perbedaan. Terlebih
lagi: suatu perbedaan pada umumnya mensyaratkan unsur-unsur
yang positif dan di antara unsur-unsur itu terjadi perbedaan.
Namun, dalam Iangue yang ada hanya perbedaan tanpa unsur
positif. Apakah kita mengambil petanda atau penanda, Iangue
tidak mengandung gagasan maupun bunyi yang ada sebelum
sistem bahasa, melainkan hanya perbedaan konseptual dan per
bedaan bunyi^"*® yang dihasilkan oleh sistem itu. Gagasan apa
dan materi bunyi apa yang terdapat dalam suatu tanda itu yang
terdapat di dalam tanda lain. Buktinya, valensi suatu istilah dapat
berubah tanpa menyentuh makna maupun bunyi, dan hanya
karena istilah lain yang berdekatan dengannya mengalami peru-
bahan (lihat halarftan 209).^'^'
216

Tetapi mengatakan bahwa segalanya negatif di dalam


langue memang benar, selama kita berurusan dengan petanda
dan penanda secara terpisah: begitu kita menelaah tanda se-
cara utuh, kita berhadapan dengan sesuatu yang positif di dalam
tatarannya. Sistem bahasa adalah sederet perbedaan bunyi yang
dikombinasi dengan sederet perbedaan gagasan. Namun, pe-
nonjolan sejumlah tanda bunyi dengan sejumlah potongan yang
terjadi di dalam massa pikiran, menurunkan sistem valensi; dan
sistem itulah yang membentuk hubungan sebab akibat di antara
unsur bunyi dan psikis di dalam setiap tanda. Meskipun petanda
dan penanda secara terpisah befsifat diferensial dan negatif,
kombinasi keduanya merupakan peristiwa positif. Bahkan hal itu
merupakan satu-satunya jenis fakta yang dikandung langue
karena ciri khas pranata bahasa adalah justru menjaga keseja-
jaran di antara kedua tataran perbedaan itu.^"^^
Beberapa fakta diakronis merupakaii contoh yang jelas,mi-
salnya sejumlah kasus di mana alterasi penanda mengakibatkan
alterasi gagasan, dan di situ nampak bahwa pada dasarnya jumlah
gagasan yang dibedakan sesuai dengan jumlah tanda yang
berbeda. Bila dua buah istilah rancu karena adanya alterasi
bunyi (misalnya decrepit = decrepitus dan decrepi yang berasal
dari[crwpus), gagasan cenderung rancu pula, meskipun tadinya
sangaf berbeda. Apakah suatu istilah membedakan dirinya dari
istilah lain (misalnya chaise 'kursi' dan chaire 'daging')? Mau
tidak mau perbedaan yang baru saja lahir cenderung bersifat
maknawi,^'*^ meskipun tidak selalu hadir, pada serangan pertama
sekali pun. Sebaliknya perbedaan ideal apa pun yang tertangkap
oleh akal berusaha mengungkapkan diri melalui penanda yang
berbeda, dan dua gagasan yang tidak dibedakan lagi oleh akal
berusaha merancukan diri di dalam penanda yang sama.
Begitu kita membandingkan dua tanda - unsur positif ~
kita tidak dapat lagi berbicara tentang perbedaan. Istilah itu akan
kurang tepat karena perbedaan hanya dapat diterapkan pada-
perbandingan dua gambaran akustis, misalnya pere dan mere,
atau pada perbandingan dua gagasan, misalnya gagasan "p^re"
dan gagasan "mere". Dua buah tanda yang masing-masing
mengandung^"^ sebuah petanda dan sebuah penanda bukan
,213

Alterasi tanda-tanda bahasa menunjukkan korelasi terse-


but dengan jelas. Justru karena unsur a dan b samasekali tidak
■mampu sebagaimana adanya sampai ke daerah sadar, - yang
terus-menerus hanya menangkap perbedaan alb, - bahwa
masing-masing unsur itu tetap bebas mengtibah diri sesuai dengan
hukum yang berada di luar fungsi maknawi mereka. Genitif
jamak dalam bahasa Cekoslowakia zSn tidak ditandai oleh tanda
positif apa pun (lihat halanian 171). Padahal kelompok bentuk-
bentuk zSna: zSn berfungsi sama baiknya dengan zena: ienb telah
mendahuluinya. Itu berarti bahwa perbedaan tanda sajalah yang
berperan, dan zena hanya berarti karena ia/berbeda.^^'*
Berikut ini sebuah contoh lain yang lebih menjelaskan
bahwa ada sistematika di dalam percaturan perbedaan bunyi:
dalam bahasa Yunani ephen adalah impar/a/t dan esten adalah
aoristus, meskipun keduanya dibentuk dengan cara yang sama.
Hal itu adalah karena 6phen termasuk dalam sistem indikatifkala
kini phemi "saya berkata", sedangkan tidak ada bentuk kala kini
*'stemi, jadi justtu hubungan phemi - iphen yang sesuai dengan
hubungan antara kala kini dan kala imperfektum (bdk. deiknumi-
edeiknum)^ dan sebagainya. Jadi, tanda-tanda tersebut befgerak
bukan karena valensi intrinsik mereka, namun karena posisi
relatif mereka.
Lagi pula tidak mungkin kalau bunyi, unsur materiil,
secara mandiri menjadi bagian langue. Bagi langue, bunyi hanya
sesuatu yang sekunder, suatu materi yang diciptakannya. Segala
valensi konvensional memperlihatkan sifat itu, yaitu tidak teran-
cu dengan unsur tefsentuh yang menjadi penunjangnya. Jadi,
bukan logam dari sekeping uang yang menetapkan valensi uang
tersebut. Sebuah keping yang secara nominal bervalensi lima
frank hanya mengandung separuh dari jumlah itu dalam bentuk
perak. Yang harus ada adalah pengakuan yang letaknya di dalam
atau lebih jauh dari batas politik. Hal itu lebih benar lagi bagi
penanda bahasa. Dalam esensihya, perianda sama sekali tidak
fonis, tidak berbentuk, bukan dibentuk dari substansi materiil
melainkan hanya oleh perbedaan yang memisahkan gambaran
akustis darigambaran akustis yang lain.
Prinsip tersebut begitu mendasar sehingga dapat diterapkan
pada segala unsur materiil dalam langue, termasuk fonem. Se-
214

tiap idiom membentuk kata-katanya berdasarkan suatu sistem


unsur bunyi yang masing-masing membentuk suatu satuan yang
jelas terbatas dan yang jumlahnya benar-benar pasti. Padahal
ciri unsur-unsur itu bukan, seperti yang dikira orang, kualitas
mereka sendiri yang khas, melainkan hanya kenyataan bahwa
mereka tidak saling rancu. Pada dasarnya gejala merupakan
maujud yang beroposisi, relatif daninegatif.^^*^
Buktinya, penutur memiliki kebebasan untuk melafalkan,
selama bunyi-bunyi masih berbeda satu dengan lainnya.
Oleh karenanya dalam bahasa Perancis, adat bahasa yang meng-
uvularkan r tidak menghalangi banyak orang yang menggetar-
kannya, langue itu sendiri tidak terganggu. Langue hanya menun-
tut perbedaan dan tidak memaksa seperti yang dibayangkan
orang, bahwa bunyi harus bersifat tetap. Bahkan saya dapat
melafalkan r Perancis seperti ch Jerman dalam kata Bach, dock,
dan sebagainya, sedangkan dalam bahasa Jerman, saya tidak
mungkin menggunakan r sebagai ch karena langue itu mengenal
kedua unsur tadi dan harus membedakannya. Demikian pula
dalam bahasa Rusia, tidak ada kebebasan bagi t di samping t' (t
palatal) karena hasilnya akan merancukan dua bunyi yang
dibedakan oleh langue(bdk. govorit'"berbicara" dan govorit "dia
berbicara"), tetapi ada kebebasan yang lebih besar bagi th (t
aspirat) karena bunyi itu tidak ada dalam sistem fonologi
Rusia.237
Karena orang melihat hal yang serupa di dalam sistem
tanda yang lain, yaitu sistem aksara, kami akan mengambilnya
sebagai perbandingan demi memperjelas seluruhl masalah.^^®
Kenyataan;
1) tanda aksara bersifat semena. Misalnya tidak ada
hubungan antara huruf t dengan bunyi yang diwakilinya;
2) Valensi huruf bersifat negatif murni dan diferensial se-
hingga orang yang sama dapat menuliskan t dengan variasi
seperti:
215

Yang terpenting adalah bahwa tanda itu tidak rancu dalam penu-
lisannya dengan tanda i, d, dan sebagainya;
3) Valensi aksara hanjra berfungsi berdasarkan oposisi
timbal balik di dalam lingkungan sistem yang pasti, dibentuk
oleh sejumlah huruf yang terbatas. Ciri itu, tanpa harus serupa
dengan yang kedua, berkaitan erat dengannya karena keduanya
tergantung dari yang pertama. Karena tanda gratis bersifat
semena, bentuknya sangat tidak penting, atau lebih tepat hanya
penting dalam batas-batas yang dipaksakan oleh sistem:
4) Cara menghasilkan tanda itu sama sekali tidak penting
karena tidak melibatkan sistem (hal itu merupakan akibat
dari ciri yang pertama). Apakah saya menulis huruf dengan tinta
putih atau hitam, berbentuk ceruk atau tonjolan, dengan
menggunakan pena atau pisau, semua itu tidak penting bagi
makna huruf-huruf tadi.

4. Tanda Ditelaah Secara Utuh^^'

Semua yang telah dijelaskan di atas sama dengan mengata-


kan bahwa di dalam langue hanya ada perbedaan. Terlebih
lagi: suatu perbedaan pada umumnya mensyaratkan unsur-unsur
yang positif dan di antara unsur-unsur itu terjadi perbedaan.
Namun, dalam langue yang ada hanya perbedaan tanpa unsur
positif. Apakah kita mengambil petanda atau penanda, langue
tidak mefiganduhg gagasan maupun biinyi yang ada sebelum
sistem bahasa, melainkan hanya perbedaan konseptual dan per
bedaan bunyp'*" yang dihasilkan oleh sistem itu. Gagasan apa
dan materi bunyi apa yang terdapat dalam suatu tanda itu yang
terdapat di dalam tanda lain. Buktinya, valensi suatu istilah dapat
berubah tanpa menyentuh makna maupun bunyi, dan hanya
karena istilah lain yang berdekatan dengannya mengalami peru-
bahan (lihat halaman 209).^'*'
216

Tetapi mengatakan bahwa segalanya negatif di dalam


langue memang benar, selama kita berurusan dengan petanda
dan penanda secara terpisah: begitu kita menelaah tanda se-
cara utuh, kita berhadapan dengan sesuatu yang positif di dalam
tatarannya. Sistem bahasa adalah sederet perbedaan bunyi yang
dikombinasi dengan sederet perbedaan gagasan. Namun, pe-
nonjolan sejumlah tanda bunyi dengan sejumlah potongan yang
terjadi di dalam massa pikiran, menurunkan sistem valensi; dan
sistem itulah yang membentuk hubungan sebab akibat di antara
unsur bunyi dan psikis di dalam setiap tanda. Meskipun petanda
dan penanda secara terpisah bersifat diferensial dan negatif,
kombinasi keduanya merupakan peristiwa positif. Bahkan hal itu
merupakan satu-satunya jenis fakta yang dikandung langue
karena ciri khas pranata bahasa adalah justru menjaga keseja-
jaran di antara kedua tataran perbedaan itu.^''^
Beberapa fakta diakronis merupakan contoh yang jelas,mi-
salnya sejumlah kasus di mana alterasi penanda mengakibatkan
alterasi gagasan, dan di situ nampak bahwa pada dasarnya jumlah
gagasan yang dibedakan sesuai dengan jumlah tanda yang
berbeda. Bila dua buah istilah rancu karena adanya alterasi
bunyi (misalnya decrepit = decrepitus dan decrepi yang berasal
dz.x\\crispus), gagasan cenderung rancu pula, meskipun tadinya
sangaf berbeda. Apakah suatu istilah membedakan dirinya dari
istilah lain (misalnya chaise 'kursi' dan chaire 'daging')? Mau
tidak mau perbedaan yang baru saja lahir cenderung bersifat
maknawi,^^^ meskipun tidak selalu hadir, pada serangan pertama
sekali pun. Sebaliknya perbedaan ideal apa pun yang tertangkap
oleh akal berusaha mengungkapkan diri melalui penanda yang
berbeda, dan dua gagasan yang tidak dibedakan lagi oleh akal
berusaha merancukan diri di dalam penanda yang sama.
Begitu kita membandingkan dua tanda ~ unsur positif ~
kita tidak dapat lagi berbicara tentang perbedaan. Istilah itu akan
kurang tepat karena perbedaan hanya dapat diterapkan pada-
perbandingan dua gambaran akustis, misalnya pere dan mere,
atau pada perbandingan dua gagasan, misalnya gagasan "pdre"
dan gagasan "mere". Dua buah tanda yang masing-masing
mengandung^^ sebuah petanda dan sebuah penanda bukan
217

berbeda, melainkan hanya berciri. Di antara keduanya


hanya ada oposisi. Seluruh mekanisme langage, yang akan di-
bahas di bawah ini, berfungsi atas dasar oposisi semacam itu dan
atas dasar perbedaan) bunyi^'*^ dan konseptual yang diakibatkan-
nya.
Apa yang benar bagi valensi, benar pula bagi satuan (lihat
halaman 203). Tanda adalah suatu unsur dari rangkaian tuturan
yang berkaitan dengan konsep tertentu; jadi petanda maupun
penanda kodratnya memang diferensial.
Jika diterapkan pada satuan, prinsip pembedaan dapat
dirumuskan sebagai berikut: ciri-ciri satuan rancu dengan satuan
itu sendiri. Dalam langue, seperti juga dalam sistem semiologis
apa pun, apa yang membedakan tanda justru semua yang
membentuknya. Perbedaanlah yang membuat cjrinya, seperti
perbedaan pula yang membuat valensi dan satuan.
Konsekuensi lain, yang cukup paradoksal, dari prinsip yang
sama itu: apa yang lazim disebut "peristiwa tata bahasa" pada
dasarnya sesuai dengan definisi satuan karena peristiwa tata
bahasa selalu mengungkapkan oposisi unsur-unsur. Hanya saja
oposisi itu kebetulan sangat maknawi, misalnya pembentukan
jamak Jerman jenis Nacht: Ndchte. Setiap unsur yang hadir di
dalam peristiwa tatia bahasa (tunggal tanpa umlaut dan tanpa ^
final, dioposisikan dengan jamak dengan umlaut dan -e) dibentuk
oleh sederet oposisi di dalam lingkungan sistem. Jika disajikan
terpisah, Nacht maupun Ndchte tidak ada artinya, jadi segala
sesuatu berupa Nacht: Ndchte dengan rumus aljabar alb, di mana
a dan b bukan unsur sederhana, melainkan masing-
masing merupakan hasil suatu himpunan hubungan. Langue
dapat dikatakan merupakan aljabar yang unsur-unsurnya seng-
karut. Di antara oposisi yang dicaki4)nya, ada yang lebih
maknawi daripada yang lain, tetapi satuan dan peristiwa tata
bahasa hanyalah riama-nama yang berlainan untuk menunjuk
berbagai aspek di dalam peristiwa yang umum, yaitu percaturan
oposisi bahasa. Hal itu begitu benarnya sehingga kita dapat saja
menelaah maplah satuan yang dimulai dengan peristiwa tata
bahasa. Ketika mengajukan oposisi seperti Nacht: Ndchte, orang
akan bertanya-tanya satuan apa saja yang berperan di dalam
oposisi itu? Apakah hanya kedua kata itu atau seluruh deret kata
218

yang serupa? atau hanya a dan d? atau semua bentuk tunggal dan
bentuk jamak?,dan seterusnya.
Satuan dan peristiwa tata bahasa tidak akan terancu
seandainya tanda bahasa dibentuk oleh sesuatu yang lain daripa-
da perbedaan. Namun,langue memang seperti itu sehingga dari
mana pun kita menelaahnya, tidak mungkin kita menemukan
sesuatu yang sederhana. Di mana pun akan terdapat perimbang-
an kompleks dari unsur-unsur yang saling bergantung. Dengan
kata lain langue adalah suatu bentuk dan bukan suatu substansi
(lihat halaman 206). Orang tidak akan pernah merasa cukup jelas
mengenai kebenaran itu karena semua kekeliruan dalam tata'
istilah kita, segala cara kita yang salah di dalam menyebut hal-
hal yang berkaitan dengan langue berasal dari anggapan yang
otomatis bahwa ada substansi dalam gejala bahasa.
BAB V

HUBUNGAN SINTAGMATIS DAN


HUBUNGAN ASOSIATIF

246
1. Definisi

Jadi, di dalam suatu keadaan langue, segalanya didasari


oleh hubungan. Bagaimana hubungan itu berfungsi?
Hubungan dan perbedaan di antara unsur-unsur bahasa
berlangsung di dalam dua lingkungan yang berbeda, yang
masing-masing diturunkan oleh tataran valensi tertentu. Oposisi
di antara dua tataran itu akan menjelaskan kodrat masing-masing
unsur. Hubungan dan perbedaan itu berkaitan dengan dua
bentuk di dalam kegiatan mental kita, keduanya sangat dibu-
tuhkan di dalam kehidupan bahasa.
Di satu pihak, di dalam wacana. kata-kata bersatu demi
kesinambungan, hubungan yang didasari oleh sifat langue yang
linear, yang meniadakan kemungkinan untuk melafalkan dua "i
unsur sekaligus (lihat halaman 151). linsur-unsur itu mengatur
diri yang satu sesudah yang lain di rangkaian parole. Kombinasi t
tersebul yang ditunjang olph keluasan, dapat disebut sin-
tagma^'^'^^. Jadi sintagma selalu dibentuk oleh dua atau sejumlah
satuan berurutan (misalnya: relire 'membaca kembali'; centre
tous'menentang semuanya'; la vie humaine 'kehidupan manusia':
Dieu est ban 'Tuhan Maha Pengasih'; s'il fait beau temps, nous
sortirons 'jika cuaca cerah, kami akan keluar', dan seterusnya).
220

Begitu terletak di dalam suatu sintagma, suatu istilah kehilangan


valensinya karena istilah itu dipertentangkan dengan istilah yang
mendahului dan yang mengikuti, atau dengan keduanya.
Di lain pihak, di iuar wacana, kata-kata yang mempunyai
kesamaan berasosiasi di dalam ingatan, oleh karenanya memben-
tuk kelompok-kelompok tempat berbagai hubungan berkuasa.
Misalnya kata enseignement'pengajaran' secara tidak sadar akan
memunculkan dalam pikiran, sekelompok kata lain (enseigner
'mengajar', renseigner 'menerangkan', dan seterusnya, atau
armement 'persenjataan, changement 'perubahan', dan seterus
nya, atau education 'pendidikan', apprentissage 'pendidikan
keterampilan'). Dari segi mana pun, semua kata itu memiliki
kesamaan satu dengan lainnya.
Nampak bahwa koordinasi itu sangat berbeda dengan
bentuk koordinasi yang pertama. Koordinasi ini tidak ditunjang
oleh keluasaan; kedudukannya adalah di otak dan menjadi
bagian dari kekayaan dalam yang membentuk langue dalam diri
setiap individu. Kami akan menyebutnya hubungan asosiatif.^^^
Hubungan sintagmatis adalah in praesentia. Hubungan itu
didasari oleh dua atau sejumlah istilah yang juga hadir dalam
suatu seri yang efektif. Sebaliknya, hubungan asosiatif menyatu-
kan istilah-istilah in absentia di dalam sederet mnemonis yang
potensial.
Dari sudut pandang ganda itu, suatu satuan bahasa dapat
dibandingkan dengan bagian tertentu dari sebuah bangunan,
sebuah pilar misalnya. Pilar itu di satu pihak berhubungan
dengan atap yang ditunjangnya. Pendampingan kedua satuan itu,
yang hadir secara sejajar di dalam ruang dapat dibandingkan
dengan hubungan sintagmatik. Di lain pihak, jika pilar itu
bergaya dora, maka mengingatkan pada gaya-gaya lain (ionia,
corintia, dan sebagainya), yang merupakan unsur yang tak hadir
dalam ruang; maka hubungan itu bersifat asosiatif.,
Kedua urutan koordinasi tersebut perlu dijelaskan secara
khusus.
221

,249
2. Hubungan sintagmatis

Contoh-contoh yang kami berikan di halaman 219 telah


memperlihatkan bahwa pengertian sintagma tidak hanya berlaku
bagi kata,namun juga bagi kelompok kata, bagi satuan sengkarut
ukuran apa pun dan jenis apa pun (kata majemuk, kata turunan,
anggota suatu kalimat, seluruh kalimat).
Tidak cukup jika kita hanya menelaah hubungan yang ada
di antara berbagai bagian dalam sebuah sintagma (misalnya
contre 'kontra' dan tous 'semua' dalam contre tous 'menentang
semuanya', contre 'kontra' dan mattre 'guru' dalam contramaitre
'mandor'); kita perlu juga memperhatikan hubungan yang ada
antara keseluruhan dan bagian-bagiannya (misalnya contre tous
'menentang semuanya' dipertentangkan di satu pihak dengan
contre 'kontra', di lain pihak dengan tous 'semua', atau contre-
maitre dipertentangkan dengan contre 'kontra' dan maitre
'guru').
Mungkin saja orang akan menyanggah pendapat di atas.
Kalimat adalah tipe tersempurna dari sintagma. Namun, kalimat
merupakan bagian dari parole, bukan langue (lihat halaman
79-80) apakah tidak sewajarnya kalau sintagma merupakan
bagian dari parole juga? Kami kira tidak. Ciri khas parole adalah
adanya kebebasan dalam mengkombinasi. Jadi, patut diper-
tanyakan apakah semua sintagma memang bebas.
Pertama yang dijumpai adalah sejumlah besar ungkapan
yang menjadi bagian langue', ungkapan itu merupakan ungkapan
beku, yang tak dapat diubah oleh adat bahasa, meskipun di
dalamnya masih dapat dibedakan bagian-bagian yang bermakna.
(bdk. a quoi bon? 'untuk apa?', allons done! 'ayo', dan seba-
gainya). Begitu pula halnya, meskipun pada tingkatan yang lebih
rendah, dengan ungkapan seperti prendre la mouche 'naik pitam',
forcer la main d quelqu'un 'memaksa seseorang', rompre une
lance 'memperjuangkan' atau juga avoir mal d 'sakit' (la tete
■ 'kepala', dan sebagainya), d force de 'berkat' (soins 'rawatan',
dan sebagainya), que vous ensemble? 'yang berkenan di hati
Anda?', pas n'est besoin de 'tidak membutuhkan', dan seba
gainya, di mana yang lazim menimbulkan makna dan tata kalimat
222

yang khas.^^° Permainan itu tidak mungkin diimprovisasi, namun


ditimbulkan oleh tradisi. Dapat dikemukakan pula kata-kata
yang, meskipun siap sama sekali untuk dianalisis, bersifat khas
karena adanya penyimpangan morfologis di dalam penggunaan-
nya (bdk. difficulte 'kesulitan' dibandingkan dengan facility
'kemudahan', dan sebagainya, mourrai'akan mati' dibandingkan
dengan dormirai 'akan tidur', dan sebagainya).
Namun itu belum seluruhnya. Semua tipe sintagma yang
dibangun dari bentuk-bentuk yang teratur harus dimasukkan
dalam langue dan bukan dalam parole. Memang, karena tidak
ada suatu pun yang abstrak di dalam langue, tipe-tipe sintagma
itu hanya ada jika langue telah merekam contoh yang cukup
banyak. Bila sebuah kata seperti indecorable 'tak tertata' muncul
dalam parole (lihat halaman 282 dan seterusnya), bentuk itu
harus merupakan tipe yang jelas, dan untuk menjadi pasti hanya
mungkin jika ada asosiasi dengan kata yang sama dalam jumlah
yang mencukupi, yang menjadi bagian dari langue (impardonn-
able 'tak terampuni', intolerable 'tak tertahankan', Infatigable
'tak bisa lelah', dan seterusnya). Halnya akan tepat sama dalam
hal kalimat dan kelompok kata yang dibangun berdasarkan pola
yang teratur, seperti misalnya kombinasi la terre tourne 'bumi
berputar', que vous dit-il? 'apa yang dikatakannya pada Anda?',
dan sebagainya, memenuhi syarat tipe umum, yang pada giliran-
nya merupakan penunjang di dalam langue dalam bentuk ingatan
yang konkret.^^'
Namun, perlu diakui bahwa di dalam lingkungan sintagma,
tidak ada batas yang jelas antara peristiwa bahasa, pemarkah
adat kolektif, dan peristiwa parole, yang tergantung dari kebe-
bassan individu. Di dalam sekelompok kasus, sulit untuk meng-
klasifikasi suatu kombinasi satuan karena masing-masing faktor
bersaing untuk menghasilkan kombinasi itu, dan dalam proporsi
sedemikian rupa sehingga tidak mungkin ditetapkan.
223

3.Hubungan asosiatlf^''^

Kelompok-kelompok yang dibentuk berdasarkan asosiasi


mental tidak hanya menyatukan istilah-istilah yang memiliki ciri
yang sarna. Otak menangkap pula hakekat hubungan yang
mengaitkan istilah-istilah itu dalam setiap kasus dan berdasarkan
itu mencipta deret asosiatif yang sama banyaknya dengan
keanekaan hubungan. Misalnya dalam enseignement 'penga-
jaran', enseigner 'mengajar', enseignons 'mari kita mengajar',
dan seterusnya, terdapat satu unsur yang sama pada semua istilah
itu, yaitu kata dasarnya. Namun, kata enseignement 'pengajaran'
mungkin terlibat dalam deretan yang didasari oleh unsur yang
sama lainnya, yaitu sufiks (bdk. enseignement 'pengajaran',
armement 'persenjataan', changement 'perubahan', dan seba-
gainya); dan asosiasi dapat pula hanya berdasarkan analogi pada
petanda {enseignement'pengajaran', instruction 'latihan', appren-
tissage 'pendidikan keterampilan', Mucation 'pendidikan', dan
sebagainya), atau sebaliknya, berdasarkan persatuan gambaran
akustis (misalnya enseignement 'pengajaran' dan justement
'justru')^.'Jadi, ada kalanya terdapat persatuan yangdigandai oleh
makna dan bentuk, ada kalanya persatuan bentuk atau hanya
persatuan makna. Kata apa pun selalu dapat mencolok segala
yang dapat diasosiasikan dengannya dengan cara apa pun.
Sintagma langsung mengingatkan pada suatu rangkaian
berurutan dan dari sejumlah unsur yang tertentu, sedangkan
istilah-istilah di dalam suatu rumpun asosiatif tidak tampil dalam
jumlah yang terbatas maupun dalam aturan tertentu. Jika kita
mengasosiasi desir-eux 'yang menginginkan', chaleur-eux 'berse-
mangat', peur-eux 'penakut', dan sebagainya, kita tak mungkin
meramalkan berapa jumlah kata yang akan muncul di ingatan
maupun dalam urutan makna kata-kata itu akan mucul. Sebuah
istilah yang muncul seolah menjadi pusat konstelasi, titik di mana
istilah-istilah yang lain berkonvergensi dalam koordinasi, dap
yang jumlahnya tak tentu (lihat gambar di bawah ini).^"'^
Meskipun demikian, dari kedua ciri deret asosiatif itu, yaitu
urutan tak tentu dan jumlah tak terbatas, hanya yang pertama
yang selalu harus ada, sedangkan yang kedua dapat dikesamping-
kan. Itu yang terjadi di dalam tipe khas semacam pengelompokan
224

ini, yaitu paradigma fleksi. Dalam bahasa Latin, dalam kata


dominus, dornini, domino, dan seterusnya, kita memang men-
jumpai sekelompok asosiatif yang dibentuk oieh sebuah unsur
yang sama, yaitu tema nominal domin-, namun deretnya tidak
tak terbatas seperti deret enseignement 'pengajaran', changement
'perubahan', dan sebagainya; jumlah kasus terbatas. Namun
sebaliknya, urutannya tidak diatur dalam ruang, dan hanya
berdasarkan tindakan semenalah ahli tata bahasa mengelompok-
kannya dengan cara itu dan bukan dengan cara yang lain. Bagi
alam sadar penutur, nominatif sama sekali bukan kasus pertama
dalam deklinasi, dan istilah-istilah itu mungkin muncul dalam
urutan apa pun sesuai dengan kesempatan yang ada.^'*

enseignement

enseigner / clement
/. \
appreritissage changement
enseighons \ justement
/
/
education armement V
/ \
etc. \ etc.
/
/
etc. etc.
\
/ etc.
etc. \
/
etc. etc.

pengajaran

/ \ N
mengajar / \ kepar\asan
penyuluhan perubahan
belajar z'' \ kecopetan
pendidikan persenjataan n
/
dst. \ -dst.
dst. dst. N
/ \ dst.
ds't. / \

dst. dst.
225

Catatan
1. Hampir tidak ada gunanya untuk ditekankan bahwa telaah sintagma tidak
rancu dcngan sintaksis, Sintaksis, seperti yang akan kita lihat pada halaman
235 dan seterusnya, hanya sebagian dari telaah sintagma.(Penyunting)
2. Kasus yang terakhir ini memang jarang dan dapat dianggap tidak wajar
karena otak secara wajar mengesampingkan asosiasi yang mengganggu nalar
wacana. Namun, kehadjrannya dibuktikan oleh suatu kategori yang lebih
terbatas, yaitu kategori permainan kata yang didasari oleh kerancuan yang
tidak logis yang dapat dihasilkan oleh homonimi biasa, seperti bila seseorang
mengatakan:"Les musiciens produisent les sons et les grainetiers les vendent"
(dalam bahasa Perancis sons dapat berarti bunyi dan bekatul, sehingga
kalimat itu bermakna 'Pemain musik menghasilkan bunyi dan pedagang biji-
bijian menjualnya'). Kasus itu harus dibedakan dari kasus di mana suatu
asosiasi, yang meskipun kebetulan sifatnya, dapat difunjang oleh kesamaan
gagasan (bdk. kata Perancis ergot 'taji\- ergoter 'menyanggah gaya pokroP,
dan kata Jerman blau: durchblduen 'mehinjau bertubi-tubi'). Hal itu
menyangkut interpretasi baru'mengenai salah satu istilah yang berpasangan
dan merupakan peristiwa etimologi merakyat (lihat halaman 292). Fakta itu
menarik bagi evolusi semantis, namun dari sudut pandang sinkronis fakta itu
hanya termasuk dalam kategori: enseigner 'mengajar': enseignement 'penga-
jaran', yang telah disebutkan di atas. (Penyunting)
BAB VI

MEKANISME LANGUE

I. Solidaritas Sintagmatis^^^

Secara keseluruhan, perbedaan bunyi^^^ dan konsep yang


membentuk langue merupakan basil dua macam perbandingan.
Pendekatan antar unsur-unsur ada kalanya asosiatif, ada kalanya
sintagmatis. Pengelompokan secara asosiatif dan secara sintag-
matis, pada umumnya disusun oleh langue. Himpunan hubungan-
hubungan lazim itulah yang membentuk dan mengarahkan
berfungsinya langue.
Hal pertama yang mencolok mata kami di dalam susunan
tadi adalah adanya solidaritas sintagmatis: hampir semua satuan
bahasa tergantung dari apa yang melingkunginya di tuturan, atau
dari bagian-bagian berurutan yang membentuknya.
Pembentukan kata cukup untuk mendemonstrasikan kea-
daan itu. Satuan seperti desireux 'yang menginginkan' terdiri dari
dua satuan bawahan (desir-eux), namun keduanya bukanjah dua
bagian bebas yang ditambahkan satu pada yang lain (aesir +
eux). Satuan itu merupakan suatu basil, suatu kombinasi dari dua
unsur yang solider, yang banya bervalensi karefia keberbu-
bungannya di dalam suatu satuan yang lebih luas (desir x eux).
Sufiks, secara terpisab, tidak ada. Yang menjamin tempatnya di
dalam langue adalab sederet istilab lazim seperti chaleur-eux,
chanc-eux, dan sebagainya. Demikian juga kata dasar tidaklab
227

otonom. Kata dasar hanya ada dalam kombinasi dengan sebuah


sufiks. Di dalam roul-is 'ayunan', unsur roul- bukanlah apa-apa
tanpa sufiks yang mengikutinya. Keseluruhan hanya ada berkat
adanya bagian-bagian, sedangkan bagian-bagian juga berarti
karena posisinya di dalam keseluruhan, dan itulah sebabnya
mengapa hubungan sintagmatis antara bagian dan keseluruhan
sama pentingnya dengan hubungan antara bagian-bagian.^^'
Itulah prinsip umum yang dapat diterapkan pada segala tipe
sintagma seperti yang disebut di atas, halaman 219. Kita selalu
berhadapan dengan satuan-satuan yang lebih luas yang dibentuk
dari satuan-satuan yang lebih kecil, yang masing-masing berada
dalam hubungan solidaritas yang timbal balik.
Memang benar bahwa langue merupakan satuan-satuan
yang bebas, tanpa hubungan sintagmatik, baik dengan bagian-
bagiannya maupun dengan satuan yang lam. Padanan kalimat
seperti oui 'ya', non 'tidak', merci 'terima kasih', dan sebagainya
merupakan contoh yang jelas. Namun fakta itu, yang memang
terkecuali, tidak cukup untuk mengubah prinsip umum. Dalam
aturannya, kita berbicara bukan dengan tanda-tanda yang terpi-
sah, melainkan dengan kelompok tanda, dengan massa terorgani-
sasi yang juga berupa tanda. Dalam langue segalanya kembali ke
perbedaan, namun segalanya juga kembali pada pengelompokan.
Mekanisme itu, yang terbentuk dalam sederet istilah yang
berurutan,sama dengan berfungsinya sebuah mesinyang konipo-
nennya bergerak timbal balik meskipun komponen itu diletakkan
dalam satu dimensi saja.

2. Dua Bentuk Pengelompokan yang Berfungsi Secara Simultan'^^

Di antara pengelompokan sintagmatis yang dibentuk


seperti di atas, terdapat hubungan saling tergantung; pengelom
pokan itu saling menguasai. Sedangkan koordinasi dalam ruang
berguna untuk menciptakan koordinasi asosiatif dan koordinasi
ini, pada gilirannya dibutuhkan untuk memilah bagian-bagian
sintagma.
Misalnya komposisi de-faire 'membongkar'. Kami dapat
menyajikannya pada pita horizontal yang sama dengan tuturan:
228

c/e'- fatre m»-

Namun, secara simultan dan pada poros lain, di cfalam alam


bawah sadar terdapat satu atau sejumlah deret asosiatif yang
mencakup satuan-satuan yang memiliki satu unsur yang sama
dengan sintagmanya, misalnya:

cfe-faire

deco'^ier /c
'^aipe
cfdpi.dcer reydir&
%
%

decoCtdre contre/aire
JsL

Demikian pula, jika kata Latin quadruplex merupakan sintagma,


itu adalah karena ditunjang oleh dua deret asosiatif juga:

quQctrU'piejc -»>•

quacfrufie^ sSi/n/jiex
quadrifforts 'irtjdeX
quctClrci^tri/a CGriiu/sleX
- dsh.
229

Selama bentuk-bentuk yang lain itu mengambang di sekeliling


difaire'membongkar' atau di sekitar quadruplex, kedua kata itu
dapat dipilah menjadi satuan bawahan, dengan kata lain,
merupakan sintagma. Jadi, difaire 'membongkar' tidak akan
dapat dipilah seandainya bentuk-bentuk yang lain yang mengan-
dung di- ataufaire itienghilang dari langue: dan sintagma itu akan
menjadi satuan sederhana dan kedua bagiannya tidak akan
tertentangkan lagi.
Sekarang kita mengerti permainan dari sistem ganda itu di
dalam wacana.
Ingatan kita memiliki cadangan dari segala tipe sintagma
yang kurang lebih sengkarut, dari jenis maupun keluasan apa
pun, dan pada saat kita menggunakannya, kita mengintegrasikan
kelompok asosiatif untuk menetapkan pilihan kita. Apabila
seseorang mengatakan marchons!'mari kita berjalan', secara tak
sadar ia ingat pada berbagai kelompok asosiatif yang di persim-
pangannya terdapat sintagma marchons! 'mari kita berjalan'.
Sintagma itu hadir di satu pihak di dalam deret marche!'jalan'
marchez!'silakan jalan', dan oposisi antara marchons!'mari kita
berjalan' dan bentuk-bentuk itu yang menetapkan pilihannya. Di
lain pihak, marchons!'mari kita jalan' mengingatkan kita pada
deret montons!'mari kita naik', mangeons'mari kita makan',dan
sebagainya. Di dalam setiap deret kita tahu apa yang harus
diubah untuk memperoleh pembedaan yang khas pada satuan
yang dicari. Jika kita mengganti gagasan yang akan diuiigkapkan,
dan oposisi lain diperlukan untuk memunculkan valensi lain, kita
akan mengatakan, misalnya, marchez!'silakan jalan' atau won-
'mari kita naik'.
Jadi, tidak ciikup jika kita mengatakan, dengan menempat-
kan diri pada sudut pandang positif, kita ambil marchons!'mari
kita berjalan!' karena sintagma itu bermakna apa yang ingin kita
ungkapkan. Sebenarnya gagasan bukan menjolok suatu bentuk,
namun seluruh sistem yang laten, yang berkat sistem itu kita
memperoleh oposisi yang diperlukan untuk membentuk tanda.
Sistem itu sendiri mungkin tidak memiliki maknanya sendiri. Jika
suatu saat tidak ada lagi marche!'jalan', marchez!'silakan jalan'
di samping marchons!'mari kita berjalan', beberapa oposisi akan
luluh dan valensi marchons! akan berubah ipso facto.
230

Prinsip itu dapat diterapkan pada sintagma dan kalimat tipe


apa pun, bahkan yang paling sengkarut pun. Pada saat kita
melafalkan kalimat: "que vous dit-il?" 'apa yang dikatakannya
pada Anda?', kita mengubah sebuah unsur di dalam tipe
sintagmatis yang laten, misalnya "que te dit-il?" 'apa yang
dikatakannya padamu?'~ "que nous dit-il?"'apa yang dikatakan
nya pada kita?', dan sebagainya, dan karena variasi itulah pilihan
kita ditetapkan pada pronomina vous 'anda'. Oleh karenanya,
dalam kegiatan itu, yang secara mental mengesampingkan se^ala
yang menimbulkan perbedaan yang dikehendaki mengenai butir
yang dikehendaki, pengelompokan asosiatif dan tipe sintagmatis
berperan bersama-sama.
Sebaliknya, proses penetapan dan pilihan menguasai
satuan-satuan yang paling kecil, sampai ke unsur-misur
fonologis,^''^ apabila satuan itu diberi valensi. Kami tidak kanya
mengacu pada^k^asus seperti (tulisan "petite") dibandirtgkan
dengan piM (tulisan "petit"), atau bahasa Latin domini di samping
domino, dan sebagainya, di mana perbedaan secara kebetulan
hanya ada pada satu fonem, namun pada peristiwa yang lebih
khusus dan lebih sulit, yaitu sebuah fonem yang secara miittdiri
memainkan peran di dalam sistem bahasa. Jika, misalnya^lam
bahasa Yunani, m, p, t, dan sebagainya tidak pernah Mapat
berada di akhir kata, hal itu sama dengan mengatakan bahwa
kehadiran dan ketidakhadirannya pada posisi tertentu tidak
diperhitungkan di dalam struktur kata dan di dalam struktur
kalimat. Padahal, di dalam hal yang sama, bunyi yang terpisah
berada di akhir kata. Hal itu sama dengan mengatakan bahwa
kehadiran dan ketidakhadirannya pada posisi tertentu tidak
diperhitungkan di dalam struktur kata dan di dalam struktur
kalimat. Padahal, di dalam hal yang sama, bunyi yang terpisah,
seperti juga satuan apa pun yang lain, akan dipilih oleh oposisi
mental yang ganda: misalnya dalam kelompok anma, bunyi m
beroposisi sintagmatis dengan bunyi lain yang mengelilinginya
dan beroposisi asosiatif dengan bunyi lain yang ada dalam otak,
misalnya:
231

a n m a

3. Kesemenaan Mutlak dan Kesemenaan Relatif^^

Mekanisme bahasa dapat ditampilkan dari sudut pandang


lain yang sangat penting.
Prinsip dasar dari kesemenaan tanda tidak menghalangi
untuk membedakan, di dalam setiap langue, apa yang mutlak
semena, artinya tanpa motif, dari apa yang relatif semena. Hanya
sebagian dari tanda yang sifatnya mutlak semena, sedangkan di
bagian lain muncul gejala yang memungkinkan untuk mengenali
tingkat kesemenaan tanpa harus menghapusnya: tanda mungkin
bersifat relatif semena.
Misalnya vingt 'dua puluh' tidak bermotif, namun dix-neuf
'sembilan belas' tidak sama tingkat kesemenaannya dengan yang
pertama karena kata itu dibentuk dari unsur-unsur lain yang
dapat digabung dengan unsur lain pula, misalnya dix-neuf
'sembilan belas', vingt-neuf 'dua puluh sembilan', dix-huit 'de-
lapan belas', soixante-dix 'tujuh puluh', dan sebagainya.|Jika
dipisahkan, dix 'sepuluh' dan neuf 'sembilan' berkedudukan
sejajar dengan vingt 'dua puluh', namun kata dix-neuf mempa-
kan kasus rnotivasi relatif. Begitu pula halnya dengan poirier
'pohon per',, yang mengingatkan kita pada kata sederhana poire
'per' dan sufiks -ier berasosiasi dengan cerisier 'pohon ceri',
pommier 'pohon apel', dan sebagainya. Sedangkan bagi frine
'pohon frine', chine 'pohon chine', halnya sangat berbeda.
Bandingkan pula berger 'gembala', yang sama sekali tak bermo
tif, dan vacher 'gembala sapi' yang relatif bermotif. Demikian
pula pasangan geole 'penjara' dan cachot'bui', hache 'kapak' dan
couperet 'parang', concierge 'penjaga apartemen' dan portier
'penjaga pintu',/adw 'dahulu kala' dan owrre/ow 'dahulu',souvent
'sering' dan friquemment'kerapkali', aveugle 'buta' dan boiteux
232

'pincang', sourd 'tuli' dan bossu 'bungkuk', second 'kedua' dan


deuxidme 'kedua', bahasa Jerman Laub dan bahasa Perancis
feuillage 'daun-daunan', bahasa Perancis metier 'pekerjaan' dan
Jermah Handwerk. Bentuk jamak kata Inggris ships 'kapal-kapal'
yang dapat diasosiasikan pembentukannya dengan seluruh deret
flags 'bendera-bendera', birds 'burung-burung', books 'buku-
buku', dan sebagainya, sedangkan men 'laki-laki', sheep 'biri-
biri', tidak berasosiasi dengan apa pun. Kata bahasa Yunani doso
'saya akan memberi' mengungkapkan gagasan masa mendatang
dengan suatu tanda yang membangkitkan asosiasi dengan liisd,
stiso, tupso, dan sebagainya, sedangkan eimi 'saya akan pergi'
sama sekali terpisah dari yang lain.
Sekarang ini bukan tempatnya untuk mencari faktor-faktor
yang menentukan motivasi di dalam setiap kasus, motivasi selalu
begitu lengkap sehingga analisis sintagmatis menjadi lebih
mudah dan makna satuan bawahan jadi lebih jelas. Memang ada
unsur-unsur pembentuk yang jelas, seperti -ier dalam poir-ier
'pohon per', di samping ceris-ier 'pohon ceri', pommier 'pohon
apel', dan sebagainya, namun ada unsur pembentuk lain yang
kabur atau sama sekali hampa. Misalnya, sampai sejauh mana
sufiks -ot berkaitan dengan suatu unsur bermakna dalam cachot
'bui'?^^'. Dengan mendampingkan kata-kata seperti coutelas
'parang pendek', fatras 'onggokan', platras 'puing', canevas
'kanvas', kita mendapat kesan bahwa -as adalah unsur pemben
tuk substantiva, namun kita tidak dapat merumuskannya dengan
pasti. Lagi pula, di dalam hal yang paling jelas sekali pun,
motivasi tidak selalu mutlak. Hal itu bukan hanya karena unsur-
unsur yang membentuk suatu tanda bermotif memang semena
(bdk. dix 'sepuluh' dan «eir/'sembilan') dalam rf/x-ncM/'sembilan
belas'), namun valensi istilah itu secara utuh tidak selalu sama
dengan jumlah valensi setiap bagiannya. Misalnya, poir x ier
tidak sama dengan poir + ier (lihat halaman 226).
Apabila pada gejala itu sendiri, unsurnya dapat dijelaskan
dengan prinsip yang telah disebutkan pada alinea terdahulu,
maka pengertian secara relatif bermotif berarti: 1) analisis istilah
itu, jadi hubungan sintagmatis; 2) asosiasi dengan satu atau
sejumlah istilah, jadi hubungan asosiatif. Hal itu tidak lain adalah
mekanisme yang membuat suatu istilah siap mengungkapkan
233

suatu gagasan. Sampai di sini, satuan nampak bagi kami seperti


valensi, artinya sebagai unsur-unsur dalam suatu sistem, dan
kami menelaahnya terutama berdasarkan oposisinya. Sekarang
kami menyadari bahwa solidaritas yang menghubungkan unsur-
unsur tadi dapat bersifat asosiatif dan|sintagmatis, dan solidaritas
itulah yang membatasi kesemenaan. Dix-neuf 'sembilan belas'
secara asosiatif solider d&ngan dix-huit 'delapan belas', soixante-
dix 'tujuh puluh', dan sebagainya dan secara sintagmatis, solider
dengan unsur-unsurnya yaitu dix 'sepuluh' dan neuf 'sembilan'
(lihat halaman 227). Hubungan ganda itulah yang memberinya
sebagian dari valensinya.
Segala yang berciri bahasa sebagai sistem, menuntut, dan
ini keyakinan kami, untuk ditelaah dari sudut pandang ini, yang
tidak menghalangi ahli linguistik, yaitu pembatasan keseme
naan.-''^. Ini adalah satu-satunya dasar yang memungkinkan.
Memang seluruh sistem bahasa didasari oleh prinsip tak bernalar
dalam kesemenaan tanda, yang jika diterapkan tanpa pembatas
an, akan mengakibatkan kesengkarutan yang tak terhingga.
Namun, otak berhasil memasukkan suatu prinsip keteraturan di
dalam bagian-bagian tertentu dari massa tanda, dan itulah peran
motif relatif. Seandainya mekanisme bahasa seluruhnya bernalar,
orang dapat mempelajari sistem itu secara mandiri, Namun,
mengingat mekanisme hanyalah koreksi sebagian di dalam sistem
yang secara alami kacau balau, kita menerima sudut pandang
yang dipaksakan oleh kodrat langue itu sendiri, yaitu dengan
mempelajari mekanisme itu sebagai pembatasan kesemenaan.
Tak ada langue yang segalanya tidak bermotif. Namun jika
kita menganggap bahwa seluruhnya bermotif, akan sangat tidak
mungkin mengingat kodrat langue itu sendiri. Di antara kedua
batas ekstrem - sedikitnya organisasi dan sedikitnya kesemenaan
- terdapat segala variasi. Berbagai idiom selalu mencakup unsur-
unsur yang bersifat ganda itu - sama sekali semena dan relatif
bermotif - namun dalam proporsi yang sangat berlainan, dan itu
merupakan ciri yang penting yang dapat diperhitungkan di dalam
mengelompokkannya.
Dalam batas tertentu - yang jangan diketatkan dari dekat,
namun yang membuat peka salah satu bentuk oposisi itu - dapat
234

dikatakan bahwa langue di mana kebermotifan mencapai tingkat


maksimum bersifat lebih leksikologis, sedangkan langue yang
motifnya minimum dapat dikatakan lebih bersifat gramatikal.
Namun,itu bukah berarti bahwa "leksikon" dan "semena" di satu
pihak, "tata bahasa" dan "motif relatif di lain pihak, selalu
sinonim, ada sesuatu yang umum dalam prinsipnya. Keduanya
seperti dua buah kutub yang di antaranya terjadi percaturan
seluruh sistem, dua arus berlawanan yang berbagi gerakan
bahasa: kecenderungan menggunakan alat leksikologis, tanda
bermotif, dan kesukaan menggunakan alat tata bahasa, artinya
kaidah pembentukan.
Misalnya tampak bahwa bahasa Inggris memberi tempat
yang.jauh lebih leluasa pada yang tak bermotif daripada bahasa
Jerman, namun tipe yang ultra-leksikologis adalah bahasa Cina,
sedangkan bahasa Indo-Eropa dan bahasa Sanskerta merupakan
contoh yang ultra-gramatikal. Di dalam lingkungan langue yang
sama, gerakan evolusi apa pun dapat ditandai oleh peralihan
yang terus menerus dari bermotif ke semena dan dari semena ke
bermotif. Gerakan bolak-balik itu sering kali menghasilkan per-
pindahan proporsi sedikit dari kedua kategori tanda itu. Misalnya
bahasa Perancis dibandingkan dengan bahasa Latin, memiliki ciri
antara lain peningkatan kesemenaan yang sangat besar, kalau
dalam bahasa Latin inimicus mengingatkan kita pada in dap
amicus dan oleh karenanya bermotif, kata Perancis ennemi
'musuh' tak bermotif sama sekali. Kata itu masuk dalam
kesemenaan mutlak yang memang merupakan syarat dasar bagi
tanda bahasa. Perpindahan itu dapat dilihat di dalam bpratus-
ratus contoh: bdk. constdre (stare): codter 'berharga', fabrica
ifaber): forge 'leburan', magister (magis): maitre 'guru', berbl-
cdrius (berblx): berger 'gembala', dan sebagainya. Perubahan itu
menimbulkan fisionomi yang sangat khas pada bahasa
Perancis.^^'*
BAB VII

TATA BAHASA DAN BAGIAN-BAGIANNYA

1. Definisi. Pembagian TradisionaP^^

Linguistik statis atau deskripsi suatu keadaan bahasa dapat


disebut tata bahasa, dalam arti yang sangat jelas, dan memang
digunakan, yang dijumpai dalam ungkapan "tata bahasa per-
mainan catur", "tata bahasa Bursa", dan sebagainya di mana ada
suatu objek yang sengkarut dan sistematis, yang melibatkan
berbagai valensi yang hadir bersaina.
Tata bahasa menelaah langue sebagai sistem sarana peng-
ungkapan. Berbicara tentang tata bahasa sama dengan berbicara
tentang sinkroni dan maknawi, dan mengingat tak satu sistem
pun berada di sejumlah zaman sekaligus, bagi kami tidak ada
"tata bahasa historis". Yang disebut tata bahasa historis sebenar-
nya adalah jinguistik diakronis.^^
Definisi kami tidak sesuai dengan definisi yang lebih
terbatas yang biasa diberikan orang. Tata bahasa kami adalah
morfologi dan sintaksis digabung, sedangkan leksikologi atau
ilmu kata tidak termasuk di dalamnya.
. Namun, apakah pembagian itu sesuai dengan kenyataan?
Apakah pembagian itu selaras dengan prinsip-prinsip yang baru
saja kita letakkan.
Morfologi menelaah berbagai kategori kata (verba, nomi-
236

na, adjektiva, pronomina, dan sebagainya) dan berbagai bentuk


fleksi (tasrif, deklinasi). Untuk memisahkan telaah sintaksis,
dinyatakan bahwa telaah itu berobjek fungsi-fungsi yang didu-
duki oleh satuan-satuan bahasa, sedangkan morfologi hanya me-
nelaah bentuknya. Misalnya morfologi mengatakan bahwa gene-
tif kata Yunani pMlax 'penjaga' adalah phulakos, sedangkan
sintaksis menjelaskan penggunaan kedua bentuk itu.
Namun pembedaan itu bersifat semu: deretan bentuk-
bentuk substantif phulax hanya menjadi paradigma fleksi karena
dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang diduduki betrbagai ben
tuk. Dan sebaliknya, fungsi itu hanya dibenarkan oleh morfologi
jika setiap fungsi sesuai dengan tanda bunyi tertentu. Deklinasi
bukan sebuah daftar bentuk maupun sederet abstraksi logis,
namun suatu kombinasi dari dua hal (lihat halaman 193): bentuk
dan fungsi solider dan sulit, untuk tidak mengatakan tidak
mungkin, untuk memisahkan keduanya. Secara linguistis, mor
fologi tidak memiliki objek riil dan otonom, morfologi tidak
dapat membentuk disiplin yang terlepas dari sintaksis.
Di lain pihak^ logiskah kalau leksikologi dikeluarkan dari
tata bahasa? Pada pandangan pertama, seperti yang tertera di
kamus, kata-kata nampaknya tidak ada hubungannya dengan
telaah tata bahasa, yang pada umumnya terbatas pada hubungan
yang ada di antara satuan-satuan. Namun, segera tampak bahwa
begitu banyak hubungan yang dapat dijelaskan, baik oleh kata-
kata maupun oleh sarana gramatikal. Misalnya dalam bahasa
Latin yio dan/acid beroposisi secara sama dengan dicor dan dico,
bentuk-bentuk gramatikal dari kata yang sama. Dalam bahasa
Rusia pembedaan antara. perfektif dan imperfektif diparkah
secara gramatikal dalam sprosti': sprdSivat''meminta', dan secara
leksikologis dalam skazdt': govorft' 'berkata'. Pada umumnya
preposisi dimasukkan ke dalam tata bahasa, padahal ungkapan
preposisional en consideration de 'menimbang' pada dasamya
leksikologis karena kata consideration 'pertimbangan' berada di
situ dengan maknanya yang khas. Jika kata Yunani peitho:
peitfiomai dibandingkan dengan kata Perancis je persuade 'saya
meyakinkan': j'obeis 'saya patuh', tampak bahwa oposisi yang
pertama bersifat gramatikal sedangkan oposisi kedua bersifat
leksikologis. Sejumlah hubungan yang di dalam beberapa langue
237

diungkapkan oleh kasus atau preposisi, di dalam langue yang lain


diungkapkan oleh komposisi, yang lebih menyerupai kata
(Perancis: royaume des deux.'Kerajaan Allah' dan Jerman:
Himmerleich), atau oleh derivasi (Perancis: moulin d vent 'kincir
angin' dan Polandia: wiatr-ak) atau juga oleh kata sederhana
(Perancis: bois de chauffage 'kayu bakar' dan Rusia: drovd,
Perancis: bois de construction 'kayu bangunan' dan Rusia lis).
Pertukaran di antara kata sederhana dan ungkapan bentukan,
yang terjadi di lingkungan bahasa yang satna (bdk. considdrer ■
'mempertimbangkan' dan prendre en consideration, se venger
'membalas dendam' dan tirer vengeance de) juga sangat sering
terjadi.
Jadi, nampaklah bahwa dari sudut pandang fungsi, peristi-
wa leksikologis dapat rancu dengan peristiwa sintaksis. Di lain
pihak kata yang bukan merupakan satuan sederhana dan fakter-
ubah pada dasarnya tidak berbeda dengan anggota suatu kalimat,
dengan suatu fakta sintaksis. Pendampingan satuan-satuan
bawahan yang membentuknya patuh pada prinsip dasar yang
sama dengan pembentukan kelompok kata.
Ringkasnya, pembagian tradisional di dalam tata bahasa
memang berguna dari segi praktis, namun tidak sesuai dengan
perbedaan wajar dan tidak dipersatukan oleh hubungan logis apa
pun. Tata bahasa hanya dapat dibangun atas dasar suatu prinsip
yang berbeda dan lebih tinggi.

2. Pembagian Menurut Nalar^*'^

Interpretasi morfologi, sintaksis, dan leksikologi dapat


dijelaskan oleh, kodrat yang pada dasarnya sama pada seinua
fakta sinkronis. Tak satu batas pun dapat digariskan di antara
ketiganya sebelumnya. Hanya pembedaan yang diletakkan di
atas di antara hubungan sintagmatis dan hubungan asbsiatiflah
yang patut dijadikan cara klasifikasi yang wajar, satu-satunya
yang dapat diletakkan sebagai dasar sistem tata bahasa.
Segala sesuatu yang membentuk keadaan suatu langue
harus dapat dikembalikan pada suatu teori sintagma dan pada
suatu teori asosiasi. Mulai saat ini bagian-bagian tertentu dari
238

tata bahasa nampaknya mengelompokkan diri tanpa kesulitan di


dalam salah satu kelotnpok itu: fleksi jelas menipakan suatu
bentuk khas dari asosiasi bentuk di dalam otak penutur.
Sebaliknya sintaksis, menurut definisi yang lazim, yaitu teori
pengelompokan kata, masuk dalam sintagma, karena pengelom-
pokan itu selalu melibatkan paling tidak dua satuan yang
didistribusi dalam ruang. Tidak semua fakta sintagmatis dikelom-
pokkan dalam sintaksis, namun semua fakta sintaktis menjadi
bagian sintagmatik.
Butir tata bahasa mana pun akan memperlihatkan penting-
nya menelaah setiap masalah dari sudut pandang- ganda itu.
Misalnya pengertian kata menimbulkan dua masalah yang berbe-
da tergantung dari sudut pandang mana kata tersebut ditelaah,
dari sudut pandang asosiatif atau dari sudut pandang sintagmatis.
Ad.]GkX\vSi grand 'besar' di dalam sintagma menimbulkan dualitas
bentuk {grd garso "grand gargon"'anak besar' dan grd dfd grand
enfant" 'anak besar'), dan secara asosiatif dualitas yang lain
(maskulin: gra "grand"'besar',feminin: grdd"grande"'besar'X
Seharusnya setiap fakta dapat dikembalikan, dengan cara
seperti di atas, ke tatarannya, yaitu sintagmatis atau asosiatif, dan
mengatur seluruh materi tata bahasa pada kedua poros alami itu.
Hanya pemilahan itu yang akan memperlihatkan apa yang perlu
diubah di dalam rangka kegunaan linguistik sinkroriis. Tligas itu
tentu saja tidak dapat dilaksanakan di sini karena kita sedang
membicarakan prinsip-prinsip yang lebih umum.
BAB VIII

PERAN MAUJUD ABSTRAK DIDALAM


TATA BAHASA2^«

Ada pokok masalah penting yang belum disentuh dan yang


justru memperlihatkan perlunya menelaah segala masalah tata
bahasa dari kedua sudut pandang yang dibedakan di atas. Pokok
masalah itu adalah maujud abstrak di dalam tata bahasa. Marl
kita lihat dahulu dari sudut pandang asosiatif.
Mengaitkan dua buah bentuk bukan hanya merasakan
bahwa keduanya memiliki sesuatu yang sama, namun juga
membedakan kodrat hubungan yang menguasai asosiasi. Misal-
nya penutur sadar bahwa hubungan yang menyatukan enseigner
'mengajar' dengan enseignement 'pengajaran' atau juger 'meni-
lai' dengan jugement 'penilaian' tidak sama dengan hubungan
yang mereka dapati di antara enseignement 'pengajaran' dan
jugement 'penilaian' (lihat halaman 223 dan setefusnya). Di
sinilah sistem asosiasi berkaitan dengan sistem tata bahasa.
Dapat dikatakao bahwa jumlah klasifikasi sadar dan metodis
yang dibuat oleh ahll tata bahasa yang menelaah keadaan bahasa
tanpa memperhitungkan sejarah, pasti bertemu dengan jumlah
asosiasi, sadar atau tidak, yang berperan di dalam parole.
Asosiasilah yang menanamkan di dalam otak kita, rumpun kata,
paradigma fleksi, unsur-unsur pembentuk: kata dasar, sujfiks,
desinensi, dan sebagainya (lihat halaman 307 dan seterusnya).
Tapi apakah asosiasi tidak hanya mengenai unsur berma-
teri? Kemungkinan besar tidak, kita sudah tabu bahwa asosiasi
240

menyatukan kata-kata yang dihubungkan hanya oleh maknanya


(bdk. enseignement 'pengajaran', apprentissage 'pendidikan
keterampilan', education 'pendidikan', dan sebagainya). Halnya
pasti sama dalam tata bahasa: misalnya ketiga genitif dalam
bahasa Latin; 'domin-i, reg-is, ros-drum. Bunyi ketiga desinensi
ini tidak beranalogi sedikit pun yang memungkinkan asosiasi.
Meskipun demikian ketiganya berkaitan berkat perasaan adanya
valensi bersama yang mengharuskan penggunaan yang sama. Hal
itu cukup untuk menciptakan asosiasi meskipun penunjang
materiil tidak hadir, dan dengan cara inilah pengertian genitif
secara mandiri mengambil posisi di dalam langue. Dengan proses
yang sama pula, desinensi dalam fleksi -us, -I, -6, dan sebagainya
(dalam dominus, domini, domino, dan sebagainya), berkaitan di
dalam alam sadar dan menimbulkan pengertian yang lebih umum
mengenai kasus dan desinensi sebab akibat. Asosiasi yang sama,
namun lebih luas lagi, menghubungkan semua substantiva,
semua adjektiva, dan sebagainya, dan menetapkan pengertian
kategori kata.
Segala unsur itu ada dalam langue, namun sebagai maujud
ahstrak. Telaah mengenai maujud itu sulit karena tak dapat
diketahjui dengan pasti apakah alam sadar para penutur selalu
sama wawasannya dengan analisis ahli tata bahasa. Namun, yang
terpenting adalah bahwa maujud abstrak selalu didasari oleh
maujud konkret. Tak ada abstraksi gramatikal yang mungkin
tanpa sederet unsur materiil yang dijadikan substrata, dan selalu
pada unsur-unsur itu akhirnya harus berpatokan.
Mari sekarang kita tempatkan diri pada sudut pandang
sintagmatis. Valensi suatu kelompok sering kali dikaitkan dengan
tatanan unsur-unsurnya. Pada saat menganalisis suatu sintagma,
penutur tidak membatasi diri dengan membedakan bagian-
bagiannya. la juga menelaah semacam tata urutan yang terdapat
di antara bagian-bagian itu. Makna kata Perancis desir-uex atau
kata Latin signi-fer tergantung dari posisi masing-masing satuan
bawahannya: kita tidak murigkin mengatakan eux-desir atau fer-
signum. Suatu valensi bahkan mungkin tidak memiliki hubungan
apa pun di dalam sebuah unsur kodrat (misalnya -eux atau -fer)
dan dihasilkan oleh satu-satunya urutan istilah. Jika misalnya
dalam bahasa Perancis, kedua kelompok je dois dan dois-je?
241

memiliki makna yang berbeda, itu adalah karena urutannya


berbeda. Suatu langue kadang-kadang mengungkapkan suatu
gagasan melalui urutan istilah, sedangkan gagasan yang lain
diungkapkan dengan satu atau sejumlah istilah konkret. Bahasa
Inggris, dalam tipe sintagma gooseberry wine 'arak dari frambus
hitam',.goW watch 'arloji emas', dan sebagainya mengungkapkan
hubungan dengan urutan istilah yang sederhana, yang di dalam
bahasa Perancis diungkapkan dengan preposisi. Pada gilirannya,
bahasa Perancis modern mengungkapkan pengertian pelengkap
langsung hanya dengan posisi substantiva setelah verba transitif
(bdk. je cueille une fleur 'saya memetik bunga'), sedangkan
bahasa Latin dan langue yang lain mengungkapkannya dengan
menggunakan akusatif, yang berciri desinensi khusus, dan seba
gainya.
Namun, susunan kata memang tak dapat dibantah lagi
merupakan suatu maujud abstrak, sementara cukup jelas dan
gamblang bahwa maujud itu berhutang budi pada satuan-satuan
konkret yang mengandungnya dan yang berderet di satu dimensi.
Suatu kekeliruan jika kita mengira bahwa ada suatu sintaksis tak
berbentuk di luar satuan-satuan materiil itu yang tersebar di
dalam ruang. Dalam bahasa Inggris the man 1 have seen 'lelaki
yang telah kulihat' memperlihatkan suatu peristiwa sintaksis yang
diungkapkan dengan zero, sedanglcan bahasa Perancis mengung
kapkan peristiwa yang sama dengan que 'yang'. Namun, justru
perbandingan dengan peristiwa sintaksis Perancis itulah yang
menimbulkan ilusi bahwa kehampaan tadi mungkin bermakna
sesuatu. Padahal sebenarnya satuan-satuan materiil yang dideret
dalam urutan tertentu itulah yang menciptakan valensi tersebut.
Di luar sejumlah istilah konkret kita tidak mungkin bernalar
mengenai suatu kasus sintaksis. Lagi pula, hanya berdasarkan
fakta bahwa kita memahami suatu kompleksitas bahasa (misal-
nya kata-kata Inggris yang dikutip di atas), deretan istilah itu
merupakan ungkapan gagasan yang memadai.
Suatu satuan materiil hanya ada karena bermakna, ada
fungsi yang didudukinya. Prinsip itu sangat penting untuk
mengenali satuan-satuan terbatas karena kita tergoda untuk
mengira bahwa satuan itu ada berkat ciri materinya yang murni,
242

misalnya aimer 'mencintai' dapat hadir berkat bunyi yang


membentuknya. Sebaliknya - seperti yang baru saja kita lihat -
suatu makna, suatu fungsi hanya ada berkat tunjangan suatu
bentuk materiil. Jika prinsip itu telah dirumuskan menurut
sintagma yang lebih luas atau tipe sintaksis,itu adalah karena kita
terbawa untuk melihat di dalamnya, abstraksi bukan materiil
yang mengambang di atas istilah-istilah yang membentuk kali-
mat. Kedua prinsip itu, sambil saling melengkapi, sesuai dengan
pernyataan kami mengenai pembatasan satuan (lihat halaman
193-194).
BAGIANKKTIGA

LINGUISTIK DIAKRONIS
BAB I

HAL-HAL IJMUM269

Linguistik diakronis tidak menelaah hubungan antara un-


sur-unsur bahasa yang hadir bersama, tetapi menelaah hubungan
antara unsur-unsur yang berurutan yang saling mengganti di
dalam waktu.
Memang imobilitas mutlak tidak ada (lihat halaman 157
dan seterusnya); setiap bagian langue mengalami perubahan; di
dalam setiap periode terjadi evolusi yang kurang lebih besar.
Evolusi tersebut dapat berbeda dalam kecepatan maupun intensi-
tasnya, tetapi prinsipnya sendiri tetap sama; arus langue mengalir
tanpa henti, apakah arusnya tenang atau deras, itu merupakan
masalah sekunder.
Memang. benar bahwa evolusi sinambung tersebut sering
kali tersamar dalam bahasa sastra. Bahasa sastra, seperti yang
akan kita lihat pada halaman 323 berikut ini, bertumpang tindih
dengan bahasa kasar, artinya dengan bahasa alami, tetapi kondisi
kehadirannya berbeda. Sekali bahasa tersebut terbentuk, pada
umumnya tetap stabil dan cenderung tidak berubah; ketergan-
tungannya pada tulisan sangat menjamin pelestariannya. Jadi,
bukan bahasa sastra yang dapat memperlihatkan pada kita
seberapa besar variasi bahasa-bahasa sastra yang dirasuki segala
macam aturan sastra.
246

Fonetik, atau lebih tepat fonetik secara utuh, merupakan


objek pertama linguistik diakronis. Memang evolusi bunyi tak
terbanding dengan pengertian keadaan. Membandingkan fonem-
foneni atau kelompok-kelompok fonem dengan bentuk-bentuk
sebelumnya,sama saja dengan melakukan studi linguistik diakro
nis. Zaman yang terdahulu kurang lebih dapat diperbandingkan,
tetapi bila dua zaman berbaur, fonetik berhenti terlibat; yang
ada hdnya deskripsi bunyi-bunyi bahasa dan menjadi objek
fonologi.
Sifat fonetik diakronis sangat bertalian dengan prinsip yang
mengatakan bahwa apa pun yang berhubungan dengan fonetik
dalam pengertian yang luas (lihat halaman 63), tidak mengan-
dung makna maupun gramatik. Untuk menyusun sejarah bunyi
sebuah kata, orang dapat mengesampingkan makna dan hanya
memperhatikan kulit materiilnya, memilah kepingan-kepingan
bunyi tanpa mempertanyakan apakah kepingan-kepingan terse-
but mengandung makna. Misalnya dapat dicari kelompok -ewo-
yang tidak bermakna apa pun - menjadi apa di dalam bahasa
Yunani-Atika. Seandainya evolusi langue tidak menyempit men
jadi evolusi bunyi, oposisi objek-objek yang menjadi bagian dari
linguistik akan segera menjadi terang: orang akan melihat
dengan jelas bahwa diakronis sama dengan non-gramatikal
sedangkan sinkronis sama dengan gramatikal.
Tetapi apakah hanya bunyi yang berubah bersama waktu?
Kata berganti makna, kategori gramatikal berkembang. Kita
melihat unsur-unsur yang menghilang bersama bentuk yang
mengungkapkannya (misalnya dualis dalam bahasa Latin). Teta
pi, jika semua fakta sinkronis asosiatif dan sintagmatis mem-
punyai sejarah, bagaimana mempertahankan perbedaan mutlak
antara diakroni dan sinkroni? Kesulitan timbul begitu kita keluar
dari fonetik mumi.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa banyak per-
ubahan gramatikal yang dapat diuraikan dengan perubahan
bunyi. Penciptaan bentuk gramatikal dalam bahasa Jerman
Hand: Hdnde 'tangan': 'tangan-tangan', yang mengganti hunt:
hand (lihat halaman 165), dapat dijelaskan seluruhnya oleh peris-
tiwa fonetis. Peristiwa fonetis pula yang menjadi dasar pemben-
"247

tukan kata majemuk Springbrunnen 'air mancur', Reitschule


'sekolah menunggang kuda' dan sebagainya. Dalam bahasa
Jerman Tinggi Kuno unsur pertama bukan verba melainkan
substantiva misalnya beta-hus bermakna 'rumah ibadah'. Tetapi
kemudian vokal akhir luluh secara fonetis {beta—> bet-, dan
sebagainya) dan terjadi sentuhan semantis dengan verba (beten,
dan sebagainya), sehingga Bethaus akhirnya bermakna 'rumah
untuk bersembahyang'.
Hal yang serupa terjadi di dalam kata-kata majemuk yang
di dalam bahasa Germania Kuno dibentuk dengan kata lich
'penampilan luar' (bandingkan kepada mannolich 'yang berpe-
nampilan pria', redolich 'yang nampaknya bernalar'). Kini
sebagian besar adjektiva (bandingkan kepada verzeihlich 'ter-
maafkan' glaublich 'terpercaya', dan sebagainya), -lich menjadi
sebuah akhiran, yang terbanding dengan pardorin-able 'termaaf-
kan', croy-able 'dapat dipercaya', dan sebagainya, sedangkan
pada saat yang sama penafsiran unsur pertama berubah: yang
nampak bukan lagi sebuah substantiva, melainkan akar verba.
Hal itu disebabkan oleh sejumlah kasus luluhnya vokal akhir
(misalnya redo- red-), disamakan dengan akar verba (red- dari
reden 'berbicara').
Oleh karenanya glaublich, glaub- didekatkan kepada
glauben 'percaya' dan tidak Glaube 'kepercayaan' dan meskipun
ada perbedaan kata dasar, sichtlich 'tampak' diasosiasikan pada
sehen 'melihat' dan tidak lagi pada Sicht'pemandangan'.
Di dalam kasus-kasus tersebut di atas dan di dalam semua
kasus yang serupa, perbedaan antara linguistik sinkronis dan
linguistik diakronis jelas. Perlu diingat bahwa kita tidak boleh
menyatakan melakukan telaah tata bahasa historis bila pada
kenyataannya kita menelusuri bidang diakronis dengan mempe-
lajari perubahan bunyi, dan menelusuri bidang sinkronis dengan
mengkaji konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkan perubahan
bunyi tersebut.
Tetapi, pembatasan tersebut tidak menghilangkan semua
kesulitan. Evolusi suatu fakta gramatikal, baik kelompok aso-
siatif mauplin sintagmatis, tidak terbanding dengan evolusi bunyi.
Evolusi tata bahasa: tidak sederhana, terbentuk dari berbagai
248

peristiwa khusus dan hanya satu bagian saja yang termasuk


perubahan bunyi. Di dalam asal usul jenis sintagmatis, seperti
kala mendatang bahasa Perancis prendre ai yang menjadi
prendrai 'akan mengambil', dapat dibedakan paling sedikit dua
peristiwa. Yang satu psikologis sifatnya, yaitu sintesis dari dua
unsur konsep, yang lain fonetis dan tergantung dari yang
pertama: yaitu pengurangan dari dua tekanan kelompok menjadi
satu tekanan (prendre at prendrai).
Fleksi verba kuat dalam bahasa Germania (tipe Jerman
modern geben 'memberi', gab 'memberi; lampau', gegeben 'telah
memberi', dan sebagainya, bandingkan dengan bahasa Yunani
leipd, dipon, leloipa, dan sebagainya), sebagian besar didasari
oleh permainan ablaut pada vokal kata dasar. Alternasi tersebut
(lihat halaman 268 berikut ini) yang asalnya cukup sederhana,
kemungkinan besar befasal dari peristiwa fonetis murni; namun
agar oposisi-oposisi tersebut secara fungsional menjadi sangat
penting, sistem fleksi primitif perlu disederhanakan oleh sederet
proses: hilangnya berbagai variasi kala kini dan nuansa-nuansa,
hilangnya imperfektum, kala mendatang dan aoristus, pengha-
pusan reduplikasi pada kala perfektum, dan sebagainya. Per-
ubahan-perubahan tersebut, yang semula tidak fonetis, telah
mempersempit fleksi verbal menjadi sekelompok bentuk yang
terbatas, di mana alternasi kata dasar mengandung nilai makna
yang sangat penting. Misalnya kita dapat menyatakan bahwa
oposisi e .• a lebih bermakna dalam geben:gab daripada oposisi e;
o di dalam bahasa Yunani leipd: leloipa, karena tidak adanya
reduplikasi di dalam perfektum Jerman.
Jadi, jika fonetik karena suatu hal turut campur di dalam
evolusi, bidang tersebut tidak dapat menjelaskan seluruh evolusi.
Begitu faktor bunyi dihilangkan, didapatkan residu yang nam-
paknya menunjang gagasan adanya "sejarah tata bahasa", dan
inilah kesulitan yang sebenarnya. Perbedaan - yang harus dijaga
- antara diakronis dan sinkronis membutuhkan penjelasan yang
terinci yang tidak dapat dicakup oleh kuliah ini.^
Selanjutnya kami akan mengkaji berturut-turut perubahan
bunyi, alternasi dan peristiwa analogi, dan sebagai penutup
beberapa patah kata mengenai etimologi populer dan aglutinasi.
249

Catatan
1. Di samping alasan didaktis tersebut, mungkin dapat ditambahkan bahwa F.
de Saussure tidak pernah membicarakan linguistik parole dr'dala'm kuliah-
kuliahnya (lihat halaman 63 dan seterusnya). Kita ingat bahwa kebtasaan
baru selalu dimulai oleh sederet peristiwa individual (lihat halaman 105).
Mungkin kita dapat menerima bahwa pengajar kita menolak menyebutkan
peristiwa gramatikal, dengan pengertian bahwa suatu tindak terpisah pasti
bukan langue dan bukan pula sistem bahasa tempat tergantung himpunan
kebiasaan kolektif. Selama fakta-fakta tersebut menjadi bagian parole,
fakta-fakta itu hanya cara khusus dan terjadi sewaktu-waktu untuk meng-
gunakan sistem yang telah tersusun. Hanya pada saat suatu pembaharuan,
yang sering diulang, terpateri di dalam ingatan dan masuk ke dalam sistem,
barulah pembaharuan tersebut mempunyai dampak mengubah kese-
imbangan nilai-nilai dan langue ipso facto dan secara spontan (rerubah.
Mungkin kita dapat menerapkan apa yang telah dijelaskan pada halaman 168
mengenai evolusi bunyr pada evolusi gramatikal: masa depannya berada di
luar sistem karena sistem tidak pernah nampak evolusinya; kita hanya
melihatnya pada saat-saat tertentu dalam keadaan sudah jadi. Penjelasan di
atas hanyalah usul dari pihak kami. (Penyunting).
BAB II

perubAhan-perubahan BUNYI

270
1. Keteraturan yang Mutlak

Telah kita lihat pada halaman 179 bahwa perubahan bunyi


tidak mengenai kata, tetapi bunyi. Fonemlah yang berubah; yaitu
peristiwa yang terpisah, seperti juga semua peristiwa diakronis,
tetapi yang konsekuensinya mengubah semua kata dengan cara
yang sama di mana fonem tersebut berada. Dalam pengertian
itulah perubahan bunyi bersifat mutlak teratur.
Dalam bahasa Jerman, semua f menjadiei,, kemudian aj:
win, triben, lihen, zlt telah menjadi Wein treiben, leihen, Zeit.
Semua u menjadi au: hits, zun^ ruch Haus, Zaun, Ranch.
Demikian pula U berubah menjadi eu: hUsir Mauser, dan
sebagainya. Sebaliknya|diftong ie berubah menjadi i, tetapi tetap
dituliskan ie: bandingkan kepada blegen, lieb. Tier. Sejajar
dengan itu semua uo menjadi u: muot^ Mut, dan sebagainya.
Semua z (lihat halaman menjadi s (ditulis ss):\wdier Wasser,
fliezen fliessen, dan sebagainya. Semua h dalam hilang
bila terletak di antara dua vokal:\lihen, sehen leien, seen (tetap
ditulis leihen, sehen). Semua w berubah menjadi v labiodental
(dituliskan tv): wazer wasr (Wasser).
Dalam bahasa Perancis, semua I palatal menjadi y (jod):
piller'menghancurkan', bouillir'mendidih' dilafalkan piye, buyir,
dan seterusnya.
251

Dalam bahasa Latin, apa yang tadinya intervokalis muncul


sebagai r di zaman lain: *genesis, *asen —*■ generis, arena dan
sebagainya.
Perubahan bunyi apa pun, yang dilihat dari dekat, akan
menegaskan keteraturan sempurna dari perubahan-perubahan
tersebut.

2. Kondisi-kondisi Perubahan Bunyi

Contoh-contoh di atas telah menunjukkan bahwa gejala


fonetis, jauh dari mutlak, paling sering berhubungan dengan
kondisi yang tertentu: dengan kata lain, bukan jenis fonologis
yang berubah, melainkan fonem sebagaimana ia tampil di dalam
keadaan lingkungan tertentu, penekanan tertentu, dan seba
gainya. Demikianlah caranya s menjadi r dalam bahasa Latin bila
terletak di antara dua vokal dan pada beberapa posisi lainnya.
Sedangkan dalam kondisi lain s tetap (bandingkan kepada est,
senex, equos).
Perubahan mutlak sangat jarang terjadi. Perubahan seperti
itu sering muncul dengan ciri tersembunyi atau dengan kondisi
yang terlalu umum. Misalnya di dalam bahasa Jerman imenjadi
ei, at, tetapi hanya pada suku kata bertekanan; kj, bahasa Inido-
Eropa menjadi h dalam bahasa Germania (bandingkan kepada
kata Indo-Eropa kjolsom, Latin collum, Jerman Hals); tetapi
perubahan tak terjadi setelah s (bandingkan kepada kata Yunani
skotos dan gotik skandus \ 'hayangan'). ^
Lagi pula pembagian perubahan menjadi perubahan mut
lak dan bersyarat, didasari oieh pandangan yang dangkal. Lebih
masuk akal kalau kita bicara, seperti juga yang makin banyak di-
lakukan orang, tentang gejala fonetis spontan dan \kombinasi^^^.
Gejala fonetis bersifat spontan bila hasilnya oleh sebab-sebab
intern, dan bersifat kombinasi bila merupakan hasil kehadir-
an sebuah atau sejumlah gejala lain. Misalnya perpindahan
o Indo-Eropa ke a Germania (bandingkan kepada bahasa
Gotik skadus, Jerman Hals, dan sebagainya) merupakan peristi-
wa spontan. Mutasi konsonantis atau "Lautverschiebungen"
bahasa Germania merupakan tipe perubahan spontan: misalnya
252

k, Indo-Eropa menjadi h dalam bahasa Proto Germania (ban-


dingkan kepada bahasa Latin collum dan Gotik hals), / Proto
Germania, yang tetap terpelihara di dalam bahasa Inggris,
menjadi z (dilafalkan ts) dalam bahasa Jerman Tinggi (bdk.
Gotik taihun, Inggris ten ,Jerman zehn). Sebaliknya, perpindah-
an dari bahasa Latin ct, pt ke bahasa Italia tt(bdk/acmm fatto,
captlvum —> cattivo) merupakan peristiwa kombirtasi karena un-
sur yang pertama diasimilasikan ke unsur yang kedua. Umlaut
bahasa Jerman juga disebabkan oleh kasus ekstern, yaitu
kehadiran i di dalam suku kata yang berikutnya: sementara gast
tidak berubah, gasti menjadi gesti, Gdste.
Perlu dicatat bahwa pada setiap kasus hasilnya tidak
dipermasalahkan dan tidak penting apakah ada perubahan atau
tidak. Misalnya, jika orang membandingkan Gotik fisks dengan
Latin piscis dan Gotik skadus dengan Yunani skotos, ia akan
mendapati pada kasus pertama kehadiran i, sedangkan pada
kasus kedua perpindahan dari o ke a. Pada kasus yang pertama
bunyi tetap sebagaimana adanya, sedangkan pada kasus kedua
terjadi perubahan bunyi, tetapi yang penting bunyi-bunyi terse-
but telah bergerak secara mandiri.
Jika suatu peristiwa fonetis bersifat kombinasi, selalu
dengan persyaratan; tetapi jika peristiwa itu spontan, tidak selalu
mutlak karena mungkin saja dipengaruhi secara negatif ol^h
ketidakhadiran beberapa faktor perubahan. Misalnya A:; Indo-
Eropa secara spontan menjadi qu dalam bahasa Latin (banding-
kan kepada quattuor, inquilma, dan sebagainy), tetapi A/ harus
tidak diikuti oleh misalnya o dan w (bandingkan kepada cotfidie,
cold, secundus, dan sebagainya). Demikian pula kehadiran i
Indo-Eropa di dalam bahasa Gotik fisks, dan sebagainya adalah
dengan syarat: i harus tidak diikuti r atau H. Jika diikuti kedua
konsonan tersebut i menjadi e, yang dituliskan at (bandingkan
kepada wair = Latin vir dan maihstus = Jerman Mist).

3. Metode

Rumus-rumus yang menjelaskan gejala-gejala tadi harus


253

memperhitungkan pembedaan-pembedaan yang telah diterang-


kan di atas. Kalau tidak, ada risiko kesalahan dalam penjelasan.
Berikut ini beberapa contoh kekeliruan.
Menurut rumus lama dari hukum Verner, "dalam bahasa
Germania semua P bukan awal berubah menjadi d jika diikuti
tekanan"; bandingkan di satu pihak dengan *faper *fader(Jerman
Vater), *lipume —» *lidume (iermaxxlitten), di lain pihak dengan
*pris (Jgrman drei), *brdper (Jerman Bruder) *lipo (Jerman lei-'
de), di manap tak berubah. Rumus tersebut memberi peran aktif
kepada tekanan dan memasukkan klausal pembatas bagi P awal.
Sebenarnya, gejalanya sangat berbeda: dalam bahasa Germania,
seperti juga dalam bahasa Latin,jp cenderung menjadi bersuara
secara spontan di tengah kata; satu-satunya yang menghalangi
sonoritas adalah tekanan pada vokal terdahulu. Sekarang nam-
pak bahwa semuanya terbalik: peristiwanya spontan dan bukan
kombinasi, sedangkan tekanan merupakan hambatan dan bukan
penyebab; Jadi, kita harus mengatakan;"Semua/Pdi tengah kata
menjadi d, kecuali kalau dihalangi oleh tekanan yang diletakkan
pada vokal terdahulu.
Untuk membedakan dengan baik apa yang spontan dan apa
yang kombinasi, perlu dianalisis tahap-tahap perubahan dan
jangan menelaah hasil sekejap sebagai hasil langsung. Jadi, untuk
menjelaskan rotasisasi (bandingkan kepada bahasa Latin
*genesis generis), tidak benar kalau dikatakan bahwa s
menjadi r di antara dua vokal karena s yang tidak memiliki bunyi
laring, tidak pernah akan dapat memberi builyi r secara langsung.
Sebenarnya terjadi dua proses: s menjadi z melalui perubahan
kombinasi; namun z yang tidak ada di dalam sistem bunyi bahasa
Latin telah diganti Oleh bunyi yang sangat dekat dengannya yaitu
r, dan perubahan ini spontan. Jadi, karena kekeliruan yang besar
orang merancukan dua peristiwa yang berbeda menjadi satu
peristiwa. Kekeliruannya adalah, pertama, menelaah hasil seke
jap sebagai hasil langsung {s r dan'bukan z r), kedua,
menganggap gejala kombinasi, padahal pada bagian pertama
tidak demikian halnya.^^^ Hal ini sama dengan mengatakan
bahwa di dalam bahasa Perancis e di depan nasal berubah
254

menjadi a. Sebenarnya secara berturut-turut terjadi perubahan


kombinasi, nasalisasi e oleh n (bandingkan dengan bahasa Latin
ventum Perancis vent 'angin', Latin/emma Perancis fem3
feme 'wanita') kemudian perubahan spontan dari e menjadi d
(bdk. vdnt, fdnj9, kini vd, fam). Kalau kita berpendirian bahwa
hal itu hanya terjadi di depan konsonan nasal: yang penting
bukan mengetahui mengapa e mengalami nasalisasi, melainkan
• mengetahui apakah perubahan e menjadi d bersifat spontan atau
kombinasi.
Kekeliruan yang paling besar yang akan kami kemukakan
di sini meskipun metode tersebut tidak ada hubungannya dengan
prinsip yang telah dikemukakan di atas, adalah cara merumuskan
hukum fonetik dengan melihat hasil kini, seakan-akan fakta-
fakta yang ditelaah hadir untuk selamanya, dan bukan lahir dan
mati dalam satu porsi waktu. Ini kacau balau karena dengan
begitu orang menghapus semua urutan kronologis peristiwa.
Kami telah menekankan hal tersebut pada halaman 183 dan
seterusnya, dengan menganalisis gejala-gejala berurutan yang
menjelaskan dualitas tnkhes: thriksL Bila orang mengatakan: "s
menjadi r dalam bahasa Latin", terdapat kesan bahwa rotasisasi
bersifat inheren dalam kodrat langue, dan orang tidak dapat
berbuat apa pun menghadapi pengecualian seperti causa, rlsus,
dan sebagainya. Hanya rumus "s intervokalis menjadi r dalam
bahasa Latin pada zaman tertentu" memberi wewenang untuk
berpikir bahwa pada saat s berubah menjadi r, causa, risus, dan
sebagainya, tidak memiliki s intervokalis sehingga terhindar dari
perubahan, dan memang orang masih mengatakan cflM^^a, rissus.
Dengan alasan yang sama kita harus berkata:"a menjadi e cfalam
dialek Ionia" (bandingkan kepada mdter meter, dan seba
gainya) karena tanpa rumus tersebut orang hanya dapat mem-
bentuk pdsa, phdsi, dan sebagainya (yang masih berbentuk
pansa, phansi, pada zaman terjadinya perubahan).

4. Sebab-sebab Perubahan bunyi

Penelitian sebab-sebab tersebut adalah salah satu masalah


yang paling sulit bagi linguistik. Sejumlah penjelasan telah
255

diajukan, natnun tak satu pun menjelaskan masalah dengan


lengkap.
I. Telah dikatakan bahwa ada kemungkinan ras memberi
pengaruh bagi arah perubahan bunyi. I)i sini kita berhadapan
dengan masalah antropologi bandingan: namun, apakah alat
bicara bervariasi sesuai dengaii perbedaan ras? Tidak, ada juga
yang tidak berbeda pada setiap individu: scoring negro yang
ditempatkan sejak lahir di Perancis, berbahasa Perancis sama
fasihnya dengan pribumi. Lagi pula, bila orang menggunakan
ungkapan seperti "alat ucap Italia" atau "mulut Germania tidak
menerima bunyi itu", ada risiko mengubah suatu fakta historis
menjadi ciri permanen. Kekeliruan tersebut dapat dibandingkan
dengan rumus secara keliru mehgungkapkan gejala fonetis
dengan melihat basil kini. Menganggap bahwa mulut Ionia tidak
menerima d panjang dan mengubahnya menjadi e, sama keliru-
nya dengan mengatakan: d "menjadi" e dalam bahasa Ionia.
Alat ucap Ionia tidak menolak untuk melafalkan d karena
pada beberapa hal dapat melafalkan(d. Jadi, itu bukan ketidak-
mampuan antropologis, melainkan perubahan kebiasaan lafal.
Demikian pula halnya dalam bahasa Latin yang tadinya tidak
mempertahankan s intervokalis (*genesis generis), sesaat
kemudian memasukkannya(bandingkan kepada *rissus—> risus).
Perubahan-perubahan tersebut tidak menunjukkan adanya
kesiapan alat ucap Latin.
Kemungkinan besar ada arah umum bagi gejala-gejala
fonetis pada suatu zaman tertentu di lingkungan bangsa tertentu.
Terjadinya monoftong dari diftong di dalam bahasa Perancis
modern merupakan manifestasi dari kecenderungan tersebut.
Namun, meskipuh didapati arus umum yang sama di dalam
sejarah politik, ciri historisnya tidak diragukan dan orang tidak
melihat pengairuh langsung dari ras.
II. Orang sering menganggap perubahan fonetis sebagai
penyesuaian pada kondisi tanah dan iklim. Beberapa bahasa
Utara memiliki ban yak konsonan, sedangkan beberapa bahasa
Selatan lebih banyak menggunakan vokal sehingga menimbul-
kan bunyi yang serasi. Iklim dan kondisi kehidupan memang
memperigaruhi langue, tetapi masalahnya menjadi sengkarut
begitu orang masuk ke detail; misalnya di samping idiom-idiom
256

Skandinavia, yang menggunakan begitu banyak konsonan,idiom


Skandinavia Selatan dan Finlandia lebih vokaiis daripada bahasa
Italia sekali pun. Perlu dicatat pula bahwa penumpukan konso
nan di'dalam bahasa Jerman mutakhir merupakan peristiwa yang
sangat mutakhir sebagai akibat luluhnya vokal belakang ber-
tekanan, bahwa beberapa diaiek Selatan (Perahcis)lebih memilih
vokal daripada bahasa Perancis Utara, bahwa bahasa Serbia
memiliki konsonan yang sama banyaknya dengan bahasa Rusia di
Moskow, dan seterusnya.
III. Orang telah memasukkan hukum pengurangan usaha,
yang mungkin menukarkan dua pelafalan menjadi satu, atau lafal
yang sulit diganti dengan yang mudah. Gagasan tersebut, apa pun
yang dikatakan orang, patut ditelaah: hukum tersebut dapat
menjelaskan sebab-sebab gejala di atas dalam batas-batas terten-
tu, atau paling tidak menunjukkan arah penyelidikan kita.
Nampaknya hukum pengurangan usaha menjelaskan se-
jumlah kasus: misalnya perpindahan oklusif ke spiran {habere
avoir 'mempunyai'), luluhnya massa suku kata yang sangat besar
di dalam banyak bahasa, gejala asimilasi (misalnya ly II,
*alyos Germania alias, tn —» nn, *atnos —» Latin annus),
perubahan diftong menjadi monoftong yang hanya merupakan
variasi dari asimilasi (misal ai e, Perancis maizon mtzo
"maison"'rumah'), dan sebagaihya.
Namun, kita dapat pula menyebutkan sejumlah kasus di
mana kejadiannya adalah yang sebaliknya. Misalnya, monoftong
dapat dipertentangkan dengan perubahan i u u Jerrnan menjadi ei
au eu. Jika orang menganggap bahwa pelemahan Slavia dari a, e
ke d, i merupakan akibat pengurangan usaha, maka harus diingat
bahwa gejala yang sebaliknya terjadi di dalam bahasa Jerman
Voter, geben —* geben), yaitu perubahan karena pertam-
bahan usaha. Jika orang menganggap bahwa bunyi bersuara lebih
mudah dilafalkan daripada bunyi tak bersuara (bdk. opera
diaiek Selatan obra), yang sebaliknya pasti membutuhkan usaha
yang lebih besar, meskipun demikian bahasa Spanyol mengalami
perubahan dari zkex(bdk. hixo"putra"yang dituliskan hijo), dan
bahasa Germania telah mengalami perubahan bdg menjadip t k.
Jika hilangnya aspirasi (bdk. bahasa Indo-Eropa *bherd Ger
mania beran)dianggap sebagai pengurangan usaha,lalu bagaima-
257

na dengan bahasa Jerman yang justrirmenaruh aspirasi di tempat


yang tadinya tidak beraspirasi(Tanne, Pute, dan sebagainya yang
dilafalkan Thahne, Fhute)?
Pengamatan-pengamatan tersebut tidak berpretensi meno-
lak penyelesaian yang diusulkan orang. Sebenarnya kita hampir
tidak mungkin menentukan bagi setiap langue, apa yang lebih
mudah atau apa yang lebih sukar untuk dilafalkan. Pelemahan
memang benar berkaitan dengan pengurangan usaha dalam
pengertian panjang pendeknya bunyi, namun benar pula bahwa
pelafalan yang diabaikan jatuh pada bunyi panjang, sedangkan
bunyi pendek membutuhkan perhatian lebih banyak. Jadi,
dengan mengasumsikan kecenderungan-kecenderungan yang
berbeda, orang dapat menampilkan dua fakta yang bertentangan
dengan warha yang sama. Demikian pula halnya dengan k yang
menjadi tS (bandingkan kepada bahasa Latin cidere —*■ Italia
cedere), nampaknya kalau kita hanya memperhatikan unsur
perubahan yang ekstrem, terdapat peningkatan usaha; namun
kesannya mungkin berbeda seandainya orang menyusun kembali
rangkaiannya: k menjadi k' palatal melalui asimilasi vokal
berikutnya; kemudian k' berubah menjadi ky yang pelafalannya
tidak menjadi lebih sulit: dua unsur berjalan bersama di
dalam k', sekarang dibedakan dengan jelas. Kemudian dari ky
terjadi perpindahan berturut-turut ke ty, tx', ts di mana pun
dengan usaha yang makin kecil.
Mungkin di sini perlu dilakukan pengkajian yang luas, dan
agar menjadi lengkap perlu ditelaah sekaligus dari sudut pandang
fisiologis (masalah pelafalan) dan dari siidut pandang psikologis
(masalah perhatian).
IV. Penjelasan yang mendapat perhatian sejak beberapa
tahun ini adalah melihat perubahan lafal sebagai akibat pendidik-
an fonetis di masa kanak-kanak kita. Hanya melalui banyak
mengira-ngira, mencoba-coba dan memperbaikilah seorang anak
berhasil melafalkan apa yang didengarnya dari lingkungannya; di
sinilah mungkin terdapat bibit perubahan. Beberapa ketidakte-
tapan yang tidak diperbaiki dibawa oleh individu dan menetap
pada generasi yang tumbuh. Anak-anak kita sering melafalkan k
sebagai t, m^skipun langue kita tidak menyebutkan perubahan
fonetis tersebut di dalam sejarah bahasa. Namun, keadaan tidak
258

sama bagi salah lafal yang lain; misalnya di Paris banyak anak
melafalkan fl'eur, bl'anc dengan /' palatal; sedangkan di dalam
bahasa Italia, florem telah berubah menjadi fl'ore kemudian
menjadi fiore, dengan proses yang sama.
Kenyataan-kenyataan tersebut di atas patut mendapat
perhatian sepenuhnya, namun masalahnya tetap utuh. Memang
sebenarnya kita tidak mengetahui mengapa suatu generasi
mempertahankan ketidaktepatan tertentu dan memelihara pela-
falan yang benar untuk kasus-kasus yang lain, padahal semuanya
terjadi secara alami. Sebenarnya pilihan pelafalan yang keliru
sifatnya benar-benar semena, dan kita tidak melihat alasannya.
Terlebih lagi, mengapa gejala tersebut kali ini berhasil menem-
bus dan bukan di saat yang lain?
Pengamatan tersebut berlaku pula bagi semua penyebab
perubahan yang telah disebutkan di muka, jika gerakan mereka
diakui. Pengaruh iklim, kecenderungan ras dan kecenderungan
pengurangan usaha hadir secara permanen atau lestari. Tetapi
mengapa pengaruh-pengaruh tersebut bereaksi secara tak
menentu, kadangkala mengenai butir yang satu dan kadangkala
mengenai butir yang lain di dalam sistem fonologi? Suatu
peristiwa bersejarah harus mempunyai sebab yang menentukan,
sedangkan di sini kita tidak tabu apa yang muncul(memacu
perubahan, padahal sebabnya sudah ada sejak lama. Hal itulah
yang paling sulit untuk dijelaskan.
V. Acap kali orang mencari salah satu dari sebab yang
menentukan di dalam keadaan bangsa secara umum pada suatu
saat tertentu. Langue mengarungi berbagai jzaman, ada yang
lebih resah daripada yang lain. Orang mencoba mengaitkan
bahasa-bahasa tersebut dengan periode-periode yang resah di
dalam sejarah untuk dapat menemukan hubungan antara keti-
dakstabilan politis dengan ketidakstabilan bahasa. Setelah berha
sil, orang mengira dapat menerapkan kesimpulan mengenai
langue pada umumnya pada perubahan-perubahan bunyi. Mi
salnya orang mengamati bahwa perubahan paling radikal di
dalam bahasa Latin, di dalam perpindahannya ke bahasa-bahasa
Roman, bertepatan dengan zaman penyerbuan j/ang paling
resah. Agar kita tidak tersesat, haruslah berpegang pada dua
perbedaan:
259

a) Kestabilan politis tidak mempengaruhi langue dengan


cara yang sama seperti ketidakstabilan politis; tidak ada gerakan
timbal balik sama sekali. Bila keseimbangan politis memperlam-
bat evolusi langue, ini merupakan sebab positif meskipun datang
dari luar, sedangkan ketidakstabilan yang memberi dampak
sebaliknya hanya bereaksi secara negatif. Imobilitas, terhentinya
suatu idiom dapat disebabkan oleh peristiwa-peristiwa di luar
langue (pengariih suatu alirari, istana, akademi, aksara, dan
sebagainya), yang pada gilirannya mendapat pengaruh positif
dari keseimbangan sosial dan politik. Sebaliknya, jika suatu
perubahan radikal yang berasal dari keadaan suatu bangsa
mempercepat evolusi bahasa, itu adalah karena langue kembali
mendapat kemerdekaannya sehingga dapat mengikuti arusnya
yang teratur.^^^ Imobilitas bahasa Latin pada zaman klasik
disebabkan oleh peristiwa-peristiwa luar bahasa dan tidak dapat
dibandingkan dengan perubahan yang dialaminya kemudian
karena perubahan tersebut terjadi secara mandiri, tanpa peng
aruh keadaan luar bahasa tertentu.
b) Di sini kita hanya berhadapan dengan gejala-gejala
fonetis, dan bukan segala jenis perubahan langue. Dapat
dimengerti bahwa perubahan gramatikal seharusnya dipengaruhi
oleh faktor-faktor di atas karena tata bahasa dalam hal tertentu
mencakup nalar, jadi lebih peka terhadap pengaruh perubahan
luar, yang memberi dampak langsung pada nalar. Tetapi kita
tidak berhak untuk menyatakan bahwa pada zaman resah di
dalam sejarah suatu bangsa, terjadi evolusi bunyi-bunyi idiom
yang dipercepat.
Bagaimanapun juga tidak mungkin kita menemukan zaman
apa pun, walau baihasa nampak dalam keadaan stabil, yang bebas
dari perubahan bunyi.
VI. Hipotesis "substratum awal bahasa" juga telah dijajagi:
beberapa perubahan mungkin disebabkan oleh populasi pribumi
yang berbaur dengan pendatang baru. Misalnya, perbedaan
antara bahasa Oc dan bahasa Oil berkaitan dengan proporsi yang
berbeda dari unsur asli Keltik di kedua Galia. Teori tersebut
telah pula diterapkan pada keanekaan dialek di Italia, yang
dikembalikan sesuai dengan daerahnya pada pengaruh Liguria,
Etruski, dan sebagainya. Namun, pertama-tama hipotesis ter-
260

sebut mengasumsikan keadaan-keadaan yang jarang ditemui. Di


samping itu apakah yang dimaksud dengan pernyataan bahwa
dengan menerima bahasa baru, populasi asli telah memasukkan
sesuat'u yang berasal dari kebiasaan bunyi mereka? Hal itu dapat
ditefima dan cukup wajar; tetapi jika kembali mengacu pada
faktor-faktor yang tak terjelaskan, misalnya ras, dan sebagainya,
kita kembali jatuh ke dalam kegelapan yang telah disebutkan di
atas.

VII. Penjelasan terakhir-yang sebenarnya tidak pantas


disebut penjelasan- menyamakan perubahan bunyi dengan
perubahan mode. Tetapi yang terakhir ini belum pernah dijelas-
kan: orang hanya tabu bahwa perubahan mode tergantung dari
hukum peniruan, yang banyak ditelaah para ahli psikologi.
Meskipun penjelasan di atas' tidak menyelesaikan masalah,
penjelasan tersebut memiliki kelebihan dengan' memasukkan
masalah perubahan bunyi ke bidang yang lebih luas: prinsip
perubahan bunyi mungkin seluruhnya bersifat psikologis. Hanya,
di mana titik tolak peniruannya, itulah yang menjadi misteri, baik
bagi perubahan bunyi maupun bagi perubahan mode.

5. Gerak Perubahan Bunyi tidak Terbatas

Jika kita mencoba menguji dampak dari perubahan-


perubahan bunyi, kita segera melihat bahwa dampak tersebut tak
terbatas dan tak terhitung, artinya kita tidak dapat meramalkan
di mana perubahan akan berhenti. Naiflah kalau kita mengira
bahwa kata hanya dapat berubah sampai batas tertentu seakan
kata memiliki sesuatu di dalam dirinya yang dapat membatasi
perubahannya. Ciri perubahan bunyi tersebut bertalian dengan
kesemenaan tanda bahasa, yang tidak ada hubungannya sama
sekali dengan makna.274
Orang dapat saja melihat pada saat tertentu bahwa bunyi-
bunyi kata telah mengalami perubahan dan sampai berapa jauh
perubahan tersebut, namun orang tidak mungkin mengatakan
sebelumnya sampai batas mana kata tersebut berubah atau
menjadi tidak dikenali lagi.
Bahasa Germania telah memindahkan kata Indo-Eropa
261

*aiwom (bandingkan kepada Latin aevom) menjadi *aiwan,


*aiwa, *aiw, seperti juga semua kata yang memiliki akhiran yang
sama. Kemudian *aiw menjadi ew di dalam bahasa Jerman Kuiib,
seperti semua kata yang mancakup kelompok qiw. Kemudian
semua w akhir berubah menjadi o, dan didapatkan fo. Kemudian
eo berubah menjadi eo, io sesuai dengan aturan yang juga sangat
umum. Kemudian to menjadi ie, je, dan di dalam bahasa Jerman
modern menjadi/e (l>andingkaB kepada "das schonste, was ichje
gesehen habe"'yang tercantik yang pernah saya lihat").
Kalau yang ditelaah hanya titik tolak dan titik sampainya,
kata mutakhir tidak mengandung sebuah pun unsur primitif lagi.
Sementara itu, jika setiap tahap ditelaah secara terpisah, hasilnya
sangat meyakinkan dan teratur. Lagi pula setiap tahap dibatasi
dampaknya, tetapi secara keseluruhan memberi kesan adanya
sejumlah perubahan yang tak terbatas. Akan didapati keadaan
yang sama pada bahasa Latin calidum, kalau dibandingkan tanpa
transisi dengan apa yang ada dalam bahasa Perancis modem (Sq,
ditulis "chaud" 'panas'), kemudian dengan menyusun tahap-
tahapnya: calidum, calidu, caldu, cald, calt, tsalt, tSaut, Saut, sgt,
so. Silakan bandingkan lagi bahasa Latin kasar "waldanju-^ ge
(dituiiskan "gain"), minus —*■ mwe (dituliskan "moins"), hoc illi—*
wi (dituliskan "oui").
Gejala fonetis juga tak terbatas dan tak terhituhg dalam
pengertian bahwa gejala tersebut mengenai jenis lambang apa
pun, tanpa adanya pembedaan antara adjektif, substantif, dan
sebagainya, antara akar kata, akhiran, desinens, dan sebagainya.
Keadaan pasti demikian a priori karena seandainya tata bahasa
turut campur, gejala fonetis akan berbaur dengan peristiwa
sinkronis, suatu hal yang sama sekali tidak mungkin. Inilah yang
dapat disebut ciri buta dari evolusi bunyi-bunyi.^'^
Misalnya dalam bahasa Yunani j' luluh setelah n bukan
hanya di dalam 'angsa', *menses 'bulan' (yang mengha-
silkan khines, mines), di mana s tidak mempunyai nilai gramati-
kal, melainkan juga di dalam bentuk-bentuk verbal jenis
*etensa, *ephansa, dan sebagainya (yang menghasilkan iteina,
ephena, dan sebagainya), di mana s berguna untuk memarkah
aoristus. Di dalam bahasa Jerman Tinggi Menengah, vokal
bertekanan awal I, i, d, 6 berubah menjadi seragam e (gibil —*■
'262

Giehel, meistar —> Meister), meskipun perbedaan kualitas vokal-


nya memarkah sejumlah desinens. Oleh karenanya akusatif
tunggal boton dan genitif dan datif tunggal boten terancu dengan
boteri.
Jadi, jika gejala-gejala fonetis tidak dihentikan oleh batas
apa pun, gejala tersebut pasti berakibat kekacauan yang menda-
lanri di dalam organisasi tata bahasa. Aspek inilah yang akan kami
telaah sekarang.
BABin

KONSEKUENSI BUNYI BAGI TATA BAHASA

1. Putusnya Hubungan Gramatikal^^^

Konsekuensi pertama dari gejala fonetis adalah memutus-


kan hubungan gramatikal yang menyatukan dua unsur atau lebih.
Oleh karenanya terjadi bahwa sebuah kata tidak dirasakan
sebagai derivasi dari kata lain. Contoh-contoh:

Latin mansio -*mansi6ndticus " ■


I menage
''rumah'-'rumah tangga'
Dahulu kesadatan bahasa meiihat adanya derivasi dari mansio
di dalam mansidndticus, kemudian kekacauan bunyi telah memi-
sahkan keduanya. Demikian pula halnya dengan:

Latin (vervex vervecdrius)"


Latin pasar berbix — berbicdrius 'biri'biri' - 'gembala'
Perancis brebis || berger

Dengan sendirinya pemisahan tersebut ada akibatnya bagi


valensi: itulah sebabnya mengapa di dalam beberapa bahasa
daerah berger akhirnya memiliki makna khusus "gembala sapi
jantan".
Demikian pula halnya bagi;
264

Latin Gratidnopolis - grdlidnopolitdnus decent -undecint


'sepuluh'
-'sebelas'
Vtranch Grenoble II Grisivaudan dlx || onze
(dari Grenoble)

Kasus yang serupa terjadi pada bahasa Gotik bTtan 'meng-


gigit' bitum 'kami telah menggigit' - bitr 'menyengat pahit'.
Karena adanya perubahan t ts (z) di satu pihak, dan
pelestarian kelompok tr di lain pihak, bahasa Germania mem-
buat: bljan, bijun II bitr.^^^
Evoiusi fonetik juga memutuskan hubungan wajar yang
tadinya ada di antara dua bentuk fleksi di dalam kata yang sama.
Misalnya, comes - comiten di dalam bahasa Perancis Kuno
menjadi cuens ii comte, bard - bardnem —*■ ber II baron, presbiter -
presbiterium prestre ii provoire. Di tempat lain, desinenslah
yang terbelah dua. Bahasa Indo-Eropa menandai semua akusatif
tunggal dengan -m' akhir yang sama {*ek]Wom, *owim, *podm,
*mdterm, dan sebagainya). Di dalam bahasa Latin, tidak ter
jadi perubahan di dalam desinens itu, tetap> di dalam bahasa
Yunani, pengucapan yang sangat berbeda dari nasal sonan dan
konsonan telah menciptakan dua deret bentuk yang berbeda:
hippon, d(w)in: pdda, mdtera. Akusatif jamak menunjukkan
peristiwa yang sangat mirip (bandingkan dengan hippous dan
pddas).

2. Terhapusiiya Komposisi Kata-kata

Dampak gramatikal yang lain dari perubahan bunyi adalah


baKwa bagian-bagian yang berbeda yang membentuk sebuah
kata, yang berperan menetapkan nilai kata tersebut, tidak dapat
dianalisis lagi: kata tersebut menjadi suatu keutuhan yang tak
terpilah. Contoh-contoh: bahasa Perancis ennemi 'musuh'
(bandingkan dengan bahasa Latin in-imicus — amlcus), dalam
bahasa Latin perdere (bandingkan dengan bentuk yang lebih
kuno per-dare — dare), amiclo yang semula *ambjacid — jacid,
dalam bahasa Jerman Drittel (tadinya drit-teil—teil).
Di samping itu, nampak bahwa kasus di atas sama dengan
267

dialek. Dialek Paris mengubah r intervokalis menjadi z, misal-


nya p^re 'ayah' mire 'ibu' dilafalkan pise, mise, sedangkan baha*
sa Perancis sastra hanya mempertahankan dua percontoh dari
lafal kedaerahan tersebut: chaise 'kursi' besides 'melotot'
(kembaran dari bericles yang berasal dari biryl). Kasus tersebut
sangat sama dengan kasus kata Picardie rescapi 'yang selamat'
yang masuk ke dalam bahasa Perancis sehingga dipertentangkan
dengan richappi'yang selamat'. Kalau di dalam bahasa Perancis
terdapat secara berdampingan cavalier 'penunggang' dan cheva
lier 'ksatria'. cavalcade 'pawai' dan chevauchie 'menunggang
kuda', hal itu adalah karena cavalier dan cavalcade telah dipinjam
dari bahasa Italia. Pada dasarnya itu sama saja dengan calidum
yang menjadi chaud 'panas' di dalam bahasa Perancis dan caldo
di dalam bahasa Italia. Semua contoh di atas adalah kata
pinjaman.
Jika sekarang orang menganggap bahwa kata ganti Latin
me muncul di dalam bahasa Perancis dengan (jua bentuk: me dan
moi saya' ("il me voit" 'ia melihat saya' dan "c'est moi qu'il voit"
"sayalah yang dilihatnya), orang akan mengatakan: kata Latin me
yang tak bertekananlah yang menjadi me, sedangkan me berte-
kanan menjadi moi. Padahal ada tidaknya tekanan bukan tergan-
tung dari hukum-hukum fonetis yang telah mengubahjme ke me
dan moi, melainkan dari peran kata tersebut di dalam kalimat; itu
adalah dualitas dalam tata bahasa. Demikian pula halnya di
dalam bahasa Jerman *ur tetap ur- jika bertekanan, dan menjadi
er- jika bertekanan awal (bandingkan kepada urlaub: erlauben).
Namun, permainan tekanan tersebut berkaitan dengan tipe
komposisi dimana ur- masuk, dan oleh karenanya berkaitan
pula dengan kondisi gramatikal dan sinkronis. Terakhir, untuk
kembali pada contoh kami di muka, perbedaan bentuk dengan
tekanan yang nampak pada bard: baronem jelas telah ada
sebelum terjadi perubahan bunyi.
Sebenarnya di mana pun tidak ada bentuk kembar fonetis.
Evolusi fonetik hanya lebih menekankan perbedaan yang telah
ada sebelumnya. Di mana pun bila perbedaan tersebut bukan
disebabkan oleh sebab-sebab luar seperti kasus kata-kata pinjam
an tadi, perbedaan merancang dualitas gramatikal dan sinkronis
sama sekali tidak ada hubungannya dengan gejala fonetis.
268

4. Alternasi

Di dalam dua buah kata seperti maison 'rumah': minage


'rum^h tangga' orang tidak begitu tergoda untuk menyelidiki apa
yang membuat unsur-unsur tersebut berbeda. Hal ini adalah
karena unsur-unsur yang berbeda {-ezd dan -en-) tidak dapat
dibandingkan, atau karena tak ada satu pasangan pun yang dapat
dipertentangkan dengan pasangan tadi. Tetapi, sering terjadi
bahwa k^dua kata yang berdekatan itu hanya dibedakan oleh
satu atau dua unsur yang mudah diamati, dan keserupaan yang
sama berulang secara teratur di dalam sederet pasangan yang
sejajar. Di sini kita berhadapan dengan peristiwa tata bahasa
yang paling luas dan paling biasa di mana perubahan bunyi
memainkan peran; peristiwa yang disebut alternasi.
Di dalam bahasa Perancis semua d Latin yang berada dalam
suku kata terbuka menjadi eu akibat adanya tekanan, atau ou
bila ada tekanan sesudahnya. Dari sinilah muncul bentuk-bentuk
kembar seperti pouvons 'kami dapat': peuvent 'mereka dapat',
oeuvre 'karya': owvner 'buruh', nouveau 'baru': ne«/'baru', dan
sebagainya, yang unsur pembedaan dan variasinya yang teratur
dapat dengan mudah diamati. Dalam bahasa Latin, rotasisasi
mengakibatkan perubahan gerd 'saya membawa' menjadi gestus
'membawa: lampau 'oneris 'berbeban' dengan onus 'beban',
maeror 'penderitaan' dengan maestus 'menderita', dan seba
gainya. Di dalam bahasa Germania karena s diperlakukan secara
berbeda sesuai dengan posisi tekanan, maka dalam bahasa
Jerman Tinggi Tengahan terdapat 'kehilangan':/er/oren
'hilang', kiesen 'memilih': gekoren 'telah memilih',/ne^en 'beku':
gefroren 'telah beku', dan sebagainya. Luluhnya e Indo-Eropa
tercermin di dalam bahasa Jerman Modern dalam oposisi beissen
'menggigit': biss 'menggigit: lampau', leiden 'menderita': litt
'telah menderita', reiten 'mengendarai': ritt 'telah mengendaraj'
dan sebagainya.
Di dalam contoh-contoh di atas, unsur kata dasarlah yang
terkena perubahan; namun dengan sendirinya semua bagian kata
mungkin mengalami hal yang serupa dan menampilkan oposisi
yang serupa. Misalnya,lazim sekali bahwa sebuah awalan muncul
dengan berbagai bentuk sesuai dengan kodrat awal kata dasarnya
269

(bandingkan kepada bahasa Yunani apo-didomi 'mengembali-


kan'; ap-irchomai 'pergi', bahasa Perancis inconnu 'tak dikenal':
inutile 'tak berguna'). Alternasi Indo-Eropa e:o, yang kemung-
kinan besar disebabkan oleh perubahan bunyi, terdapat dalam
sejumlah besar unsur akhiran (bahasa Yunani hippos: hippe
'kuda', pher-o-men 'kami membawa': phir-e-te 'kamu memba-
wa', gin-os: *gen-e-os yang mengganti *g4n-es-os, dan seba-
gainya). Bahasa Perancis Kuno(memperlakukan secara khas a
Latin yang bertekanan sesudah unsur palatal sehingga terjadi
alternasi e: ie di dalam sejumlah desihens (bandingkan kepada
c/iunr-er 'menyanyi' ; jug-ier 'menilai', chant-e: 'menyanyi: past
j)art': jugi^ 'menilai: past part', chan-tez'anda menyanyi': jugiez
'anda menilai', dan sebagainya).
Jadi, alternasi dapat dirumuskan sebagai berikut: pertalian
antara dua bunyi atau kelompok-kelompok bunyi tertentu, yang
berpermutasi secara teratur di antara dua deret bentuk yang hadir
bersama.
Gejala fonetis tidak dapat secara mandiri menjelaskan
kasus bentuk kembar, demikian pula kita akan melihat dengan
mudah bahwa gejala tersebut bukanlah penyebab satu-satunya
maupun yang terpenting dari alternasi. Kalau orang mengatakan
bahwa unsur Latin nov- karena perubahan fonetis menjadi neuv-
dan nouv- (neuve dan noaveau 'baru'), orang melebur suatu
satuan imajiner dan orang mengesampingkan dualitas sinkronis
yang ada sebelumnya. Posisi nov- di dalam nov-us dan di dalam
nov-ellus yang berbeda, sudah ada sebelum terjadi perubahan
fonetis dalam bahasa Perancis dan sekaligus merupakan gramati-
kal (bandingkan kepada bard: baronem). Dualitas itulah yang
merupakan asal alternasi dan yang memungkinkan terjadinya
alternasi. Gejala fonetis tidak memecahkan suatu satuan, ia
hanya membuat oposisi antara unsur-unsiir yang hadir bersama
menjadi lebih terasa melalui perbedaan bunyi. Itulah kekeliruan
yang dilakukan oleh banyak ahli linguistik. Mereka mengira
bahwa alternasi bersifat fonetis hanya karena bunyi-bunyi mem-
bentuk materinya dan perubahan bunyi-bunyi tersebut muncul di
dalam benih alternasi. Sebenarnya, apakah ditinjau dari jurusan
titik tolaknya atau dari titik tibanya, alternasi selalu menjadi
bagian tata bahasa dan linguistik sinkronis.
FEfipyGmKAAN
CADAN BAHASA ^70
KEf^ENTEraM PENDiDIKAN NASIONAL

5. Hukum Alternasi

Apakah alternasi dapat diterjemahkan dalam hukum-


hukum? Dan apa kodrat hukum-hukum tersebut?
Misainya alternasi e: i, yang begitu spring di dalam bahasa
Jerman Modern. Namun, kalau semua kasus dikumpulkan dalam
satu kelompok yang campur aduk {geben 'memberi': gibt 'dia
memberi', Feld 'lapangan': Gefilde 'bidang", Wetter 'cuaca':
wittern 'meneium', helfen 'menolong': HUfe 'bantuan', sehen
'melihat': Sicht 'pandangan', dan sebagainya), kita tidak dapat
merumuskan prinsip urrtum apa pun. Tetapi, jika dari kumpulan
tersebut kita keluarkan pasangan geben: gibt untuk dioposisikan
dengan schelten 'memarahi': schilt 'ia memahami', helfen: hilft,
nehmen 'mengambil': nimmt 'ia mengambil', dan sebagainya,
kita akan melihat bahwa alternasi tersebut bertepatan dengan
pembedaan kala, pelaku, dan sebagainya. Di dalam lang 'pan-
jang'; Ldnge 'panjangnya', stark 'kuat',; Stdrke 'kekuatan', hart
'keras': H'drte 'kerasnya', dan sebagainya, oposisi a: e yang sangat
serupa berkaitan dengan pembentukan substantiva; di dalam
Hand 'tangan'; Hande 'tangan-tangan', Gavt'tamu': Gaste 'tamu
tamu', dan sebagainya, oposisi berkaitan dengan pembentukan
jamak, dan semua kasus yang begitu sering terjadi dan oleh
peneliti-peneliti Germania disebut ablaut (lihat juga finden.
'menemukan' : fand 'ketemu', atau finden : Fund 'penemuan',
binden 'menjilid': band 'terjilid' atau binden: Bund 'pita' schies-
sen 'menembak': schoss 'tertembak': Schuss 'penembakan',
fliessen 'mengaki': floss 'mengaki: lampau': Fluss 'arus', dan
sebagainya). Ablaut, atau variasi vokalis akar kata yang berte
patan dengan oposisi gramatikal merupakan sebuah contoh
penting bagi alternasi, tetapi tidak ada ciri khusus yang membe-
dakannya dari gejala umum.
Kita melihat bahwa alternasi biasanya terbagi secara ceratur
di antara sejumlah unsur, dan bahwa alternasi bertepatan dengan
kontras yang penting di dalam fungsi, kategori, dan determinasi.
Kita bisa berbicara tentang hukum alternasi gramatikal, namun
hukum tersebut hanyalah peristiwa fonetis yang kebetulan
melahirkannya. Peristiwa fonetis tersebut menciptakan suatu
oposisi bunyi yang teratur di antara dua deret kata yang
menimbulkan oposisi valensi, nalar menangkap perbedaan
271

tnateriil tersebut dan membuatnya berarti dan menyandang


perbedaan konseptual (lihat halaman 168 dan seterusnya).
Seperti juga semua hukum sinkronis, hukum alternasi gramatikal
juga hanya merupakan prinsip pengaturan tanpa paksaan. Ada-
lah sangat keliru apabila dikatakan, seperti yang lazim dilakukan
orang, bahwa a dalarp kata Nacht berubah menjadi d di dalam
bentuk jamak Ndchte. Hal ini memberi ilusi bahwa dari kata yang
satu ke kata yang lain telah terjadi suatu alternasi yang diatur
oleh suatu prinsip paksaan. Padahal sebenarnya kita berhadapan
dengan.posisi biasa dari bentuk-bentuk yang merupakan basil
evolusi fonetijs. Memang benar bahwa analogi, yang akaii dibahas
kemudian, dapat menciptakan pasangan-pasangan baru yang
menampilkan perbedaan bunyi yang sama.^^® (bdk. Kranz
'krans': Krdnze 'krans-krans' terhadap Gast: Gdste, dan sebagai- .
nya). Akhirnya, hukum tersebut nampak diterapkan sebagai
suatu aturan yang mengatur kebiasaan sedemikian rupa sehingga
mengubahnya. Tetapi, jangan lupa bahwa di dalam bahasa,
permutasi-permutasi tersebut berada di dalam kekuasaan analo-
gis yang berlawanan. Hal ini cukup untuk menandai bahwa
aturan-aturan tersebut selalu berbahaya dan sepenuhnya sesuai
dengan hukum sinkronis.
Mungkin pula terjadi bahwa kondisi bunyi yang telah
meiiimbulkan alternasi masih dapat diamati. Misalnya, pasangan
pasangan yang disebutkan pada halaman 270, di dalam bahasa
Jerman Tinggi Kuno berbentuk: geban: gibit, feld: gafildi, dan
sebagainya. Padazamanitu,ketika akar kata masih diikuti i, akar
kata tersebut muncul dengan i dan bukan e, sedangkan pada
kasus-kasus yang lain akar kata mengandung e. Alternasi dalam
bahasa Latin facid: conficid, amicus: inimicus, facilis: dificilis,
dan sebagainya juga berkaitan dengan kondisi bunyi yang dapat
diungkapkan oleh penutur sebagai berikut: a di dalam kata tipe
facid, amicus dan sebagainya beralternasi dengan i di dalam kata-
kata yang sekelas di mana a tersebut berada di dalam suku
tengah.
Namun, oposisi-oposisi bunyi di atas justru menimbulkan
pengamatan yang sama dengan hukum gramatikal mana pun:
yaitu penganjatan sinkronis. Begitu kita melupakannya, kita
berisiko melakukan kekeliruan di dalam penafsiran seperti yang
272

telah dijelaskan pada halaman.183. Menghadapi pasangan/add:


conficio, kita harus waspada agar jangan merancukan hubungan
antara kata-kata yang hadir bersama itu dengan hubungan yang
mengaitkan kata-kata yang hadir berurutan secara diakronis
(confacid —*■ conficio). Kalau orang tergoda untuk menyamakan-
nya, hal itu adalah karena perbedaan bunyinya masih nampak di
dalam pasangan itu, tetapi kegiatannya terjadi di masa lalu dan
bagi penutur pasangan itu hanya merupakan oposisi sinkronis.
Semua itu menegaskan apa yang telah dijelaskan mengenai
alternasi yang bersifat sangat gramatikal. Untuk menyebut
alternasi, orang menggunakan secara benar istilah permutasi,
namun lebih baik kita menghindarinya karena justru kita sering
menggunakan bagi perubahan bunyi dan karena istilah tersebut
menimbulkan gagasan yang selalu mengenai gerakan padahal
kita berhadapan dengan keadaan.

6. Alternasi dan Hubungan Gramatikal


Kita telah melihat bagaimana evolusi fonetik, yang dengan
mengubah bentuk kata-kata, memberi dampak putusnya hubung
an gramatikal yang semula rnenghubungkan kata-kata tersebut.
Namun, hal itu hanya benar bagi pasangan-pasangan seperti
maison 'rumah': menage 'rumah tangga'. Tell: Drittel, dan
sebagainya. Begitu kita berurusan dengan alternasi, keadaannya
berbeda.
Pertama, jelas bahwa segala oposisi bunyi yang agak teratur
di dalam dua unsur cenderung menyusun hubungan di antara
mereka. Wetter secara naluriah dibandingkan dengan wittern
karena orang terbiasa melihat e beralternasi dengan /. Lebih jelas
lagi, begitu para penutur merasakan bahwa suatu oposisi bunyi
diatur oleh suatu hukum umum, pertalian yang menjadi kebia-
saan tersebut terpaksa mereka perhatikan dan berperan meng-
eratkan hubungan gramatikal daripada merenggangkannya.
Misalnya, ablaut bahasa Jermai^(lihat halaman 270) menekankan
persepsi satuan akar melalui variasi vokalis.
Demikian pula halnya dengan alternasi yang tidak berarti,
namun berkaitan dengan kondisi yang mumi bunyi. Awalan re-
(reprendre 'mengzmbW kembali', regagner 'mencapai kembali'
273

retoucher 'menisik', dan sebagainya) menjadi r- depan vokal


{rouvrir 'membuka kembali', racheter 'menembus', dan seba
gainya). Demikian pula halnya dengan awalan in-, yang sangat
produktif meskipun berasal dari bahasa ilmu, muncul di dalam
kondisi-kondisi yang sama dalam dua bentuk yang berbeda: e-
(dalam inconnu 'tak dikenal', indigne 'tak pantas', invertebre 'tak
bertuiang belakang', dan sebagainya), dan in- (di dalam inavou-
able 'tak terakui', inutile 'tak berguna', inesthetique 'tak estetis',
dan sebagainya). Perbedaan tersebut sama sekali tidak mema-
tahkan, kesatuan konsepsi, karena makna dan fungsi dianggap
identik dan bahwa bahasa ditetapkan berdasarkan kasus-kasus di
mana bahasa menggunakan salah satu bentuk.

1.. , . ■ !1 fin :'

■ !, ■ J ^ "/(i

i ■'
• -.in;-' ^ q;;:v - U-A '

• o.;•
BAB IV

ANALOGI

279
1. Definisi dan Contoh-contoh

Dari apa yang telah dijelaskan di muka, ternyata gejala


fonetis merupakan faktor pengacau. Di segala tempat di mana
gejala tersebut tidak menciptakan alternasi, ia berperan mereng-
gangkan hubungan-hubungan gramatikal yang mempersatukan
kata-kata sehingga jumlah bentuk-bentuk bertambah tanpa ada
gunanya, mekanisme bahasa menjadi gelap dan rumit apabila
ketakteraturan yang lahir dari perubahan bunyi menimpa bagian-
bagian yang dikelompokkan dalam tipe umum. Dengan kata Iain,
apabila kesemenaan mutlak menimpa kesemenaan relatif (lihat
halaman 233).
Untunglah, dampak perubahan-perubahan tersebut diim-
bangi oleh analogi^^". Dari analogilah berasal semua perubahan
wajar dari aspek luar kata-kata yang tidak bersifat fonetis.
Analogi mempersyaratkan suatu model dan tiruannya yang
teratur. Suatu bentuk analogis adalah suatu hentuk yang dibuat
berdasarkan gambar dari satu atau sejumlah bentuk lain berdasar-
kan aturan tertentu.
Misalnya, nominatif Latin honor 'kehormatan' bersifat
analogis. Semua orang mengatakan bonds: hondsem, kemudian
dengan adanya rotasisasi .v, menjadi bonds: bondrem. Sejak itu
akar kata mempunyai bentuk ganda. Dualitas tersebut kemudian
275

dihilangkan dengan adanya bentuk baru honor, yang dibentuk


berdasarkan model orator: ordtorem, dan sebagainya, dengan
prosedur yang akan kami kaji di bawah ini dan yang sejak
sekarang kami kembalikan pada kalkulasi proporsional keempat:

ordtorem: ordtor = honorem: x.

X = honor

Jelaslah sekarang bahwa untuk mengimbangi tindakan


memecah belah yang dilakukan perubahan bunyi (honos:
honorem), analogi telah mempersatukan kembali bentuk-bentuk
tersebut dan menyusun keteraturan {honor: honorem).
Dalam bahasa Perancis, lama sekali orang mengatakan; il
preuve, nous prouvons. Us preuvent 'ia, kami, mereka, membuk-
tikan'. Kini orang mengatakan ilprouve. Us prouvent 'ia, mereka
membuktikan', bentuk-bentuk yang tidak dapat dijelaskan secara
fonetis. 11 aime 'ia mencintai' berawal dari kata Latin amat,
sedangkan nous aimons 'kami mencintai' beranalogi dengan
amons. Sebenarnya orang juga harus mengatakan amable dan
bukan aimable 'tercintai'. Dalam bahasa Yunani,s menghilang di
antara dua vokal: -eso- menjadi -eo- (bdk. geneos dari *genesos).
Meskipun demikian kita menjumpai s juga meskipun terletak di
antara dua vokal, yaitu pada kala mendatang dan aoristus dari
verba bervokal: liisd 'saya akan melepaskan', dusa, 'saya
melepaskan' dan sebagainya. Hal tersebut disebabkan oleh
analogi bentuk-bentuk tipe tupso, dupsa, di mana s tidak luluh
sehingga tetap memelihara bentuk kala mendatang dan aoristus
dengan s. Dalam bahasa Jerman, Gdst 'tamu': Gdste 'tetamu'.
Balg 'kulit': Bdlge 'kulit-kulit', dan sebagainya bersifat fonetis
sedangkan Kranz: Krdnze (bentuk lebih kuno: kranz: kranza),
flats 'leher'; Hdlse 'leher-leher', (bentuk lebih kuno: halsa) dan
sebagainya merupakan peniruan.
Analogi berfungsi mengatur dan cenderung mempersatu
kan proses pembentukan dan fleksi. Tetapi analogi juga ada
penyimpangannya: di samping Kranz: Krdnze, dan sebagainya,
terdapat pula Tag 'hari': Tage 'hari-hari', Salz 'garam': Salze
'garam', dan sebagainya yang karena satu dan lain sebab
276

bertahan terhadap analogi. Oleh karenanya kita tidak dapat


mengatakan sebelumnya sampai sejauh apa luasnya peniruan
suatu model, maupun tipe-tipe apa saja yang menimbulkannya.
Demikian pula tidak selalu bentuk-bentuk yang paling banyak
yang menimbulkan analogi. Dalam perfektum Yunani pheugo
Mari', di samping bentuk aktif pepheuga, pepheugas, pepheuga-
men, dan seterusnya, semuanya berfleksi tanpa a: pephugmai,
pephiigmetha, dan seterusnya, namun bahasa Homerus mem-
perlihatkan bahwa a tersebut tidak terdapat pada bentuk jamak
dan pada dual aktif (bdk. Homerus: I'dmen, ei'kton, dan seba-
gainya). Analogi hanya bertolak dari persona pertama tunggal
aktif dan menimpa hampir seluruh paradigma perfektum indika-
tif. Kasus tersebut sangat menarik karena di sini analogi menaruh
unsur -a- pada kata dasar, yang semula adalah unsur fleksi, yaitu
pepheuga-men. Padahal yang sebaliknya — unsur akar kata
ditaruh pada akhiran — seperti yang akan kita lihat pada
halaman 287, lebih sering terjadi.
Acap kali dua atau tiga kata yang terpisah cukup untuk
menciptakan suatu bentuk yang umum, misalnya desinens.
Dalam bahasa Jerman Tinggi Kuno, verba lemah tipe haben,
lobdn, dan sebagainya memiliki -m pada orang pertama tunggal
kala ini: habem, lobom; -m tersebut berasal dari beberapa
verba serupa dengan verba-verba yang berakhiran -mi da
lam bahasa Yunani: bim, stdm, gem, tuom, yang secara mandiri
telah memaksakan akhiran tersebut pada semua fleksi verba
lemah. Perlu dicatat di sini bahwa analogi tidak menghapus
keanekaan bunyi, melainkan menggeneralisasi suatu gaya pem-
bentukan.

2. Gejala-gejala Analogis bukan Perubahan

Para ahli linguistik pertama tidak memahami hakekat


gejala analogi, yang mereka sebut "analogi palsu". Mereka
mengira bahwa dengan menciptakan honor, bahasa Latin "terke-
coh" mengenai prototipe bonds.. Bagi mereka, semua yang
menyimpang dari klasifikasi yang telah ada merupakan ketidak-
teraturan, suatu penyimpangan dari bentuk ideal. Hal tersebut
277

adalah karena adanya ilusi yang sangat khas pada zatnan itu.
Orang melihat di dalam keadaan asal langue adanya sesuatu yang
superior dan sempurna, tanpa mempertanyakan apakah keadaan
tersebut tidak didahului oleh keadaan yang lain. Segala kebebas-
an diariggap keganjilan. Aliran Junggrammatikerlah yang perta-
ma kalinya memberi tempat yang sebenarnya pada analogi
dengan menunjukkan bahwa analogic bersama perubahan bunyi,
merupakan faktor besar di dalam evolusi langue, proses yang
mengubah keadaan langue tersebut.
Namun, apa hakekat gejala-gejala analogis? Apakah gejala
tersebut, seperti yang dikira pada umumnya,^ merupakan per-
ubahan-perubahan?
Peristiwa analogis apa pun merupakan drama dengan tiga
orang pelaku, yaitu: 1) pewaris sah dari keturunan (misalnya
honos); 2) saingan (honor)-, 3) pelaku kolektif yang terbentuk
dari bentuk-bentuk yang telah membentuk konkuren (honorem,
orator, oratorem, dan sebagainya). Dengan mudah orang meng-
anggap honor sebagai suatu perubahan, suatu "metaplasma" dari
honos. Kata yang terakhir itulah yang memberi substansi yang
terbesar. Namun, satu-satunya bentuk yang dianggap tak ada di
dalam generasi honor, adalah justru honos.
Gejala tersebut dapat digambarkan dengan skema berikut:

BENTUK YANG BERUBAH BENTUK BAKU


honos honorem
(yang tidak masuk orator, oratorem -> honor
dalam perhitungan) dan sebagainya
(kelompok generator)
Jelas sekarang bahwa ini semua adalah "paraplasma", penempat-
an sebuah bentuk saingan di samping bentuk tradisional, atau
suatu penciptaan. Kalau perubahan bunyi memasukkan unsur
baru dengan menghapus af)a yang tadinya ada (honorem meng-
gantikan honosem), bentuk analogis tidak selalu harus disertai_
hiljmgnya bentuk yang didampinginya. Honor dan honos hadir
bersama beberapa waktu dan dapat digunakan secara bergantian.
Meskipun demikian karena bahasa menolak untuk memperta-
hankan dua buah penanda yang melambangkan satu gagasan,
278

yang paling sering terjadi adalah bentuk prlmitif yang kurang


teratur, dilupakan orang dan akhirnya hilang. Hasil itulah yang
membuat orang mengira ada suatu perubahan: kegiatan analogis
selesa'i, maka keadaan yang kuno (hands: hondrem) dan yang
baru (honor: hondrem) muncul dalam oposisi yang sama dengan
oposisi yang dihasilkan oieh evolusi fonetik. Meskipun demikian,
pada saal honor lahir, tak ada perubahan apa pun karena honor
tidak menggantikan unsur apa pun. Hilangnya hands bukan pula
suatu perubahan karena gejala ini tidak tergantung dari gejala
yang pertama tadi. Di tempat mana pun tempat orang mengikuti
jalannya peristiwa bahasa, orang melihat bahwa pembaharuan
analogis dan penghapusan bentuk kuno merupakan dua hal yang
berbeda dan tidak ada transformasi di bagian mana pun.
Analogi begitu sedikitnya mengandung ciri pengganti
sebuah bentuk dengan bentuk lain sehingga sering kali orang
melihat terjadi analogi tanpa ada pergantian apa pun. Dalam
bahasa Jerman orang dapat memisahkan bentuk pengecilan -chen
dari substantif mana pun dalam pengertian konkret. Seandainya
bentuk Elefantchen dimasukkan di dalam bahasa tersebut,
bentuk itu tak akan menghapus bentuk apa pun yang sudah ada
sebelumnya. Demikian pula dalam bahasa Perancis, berdasarkan
model pension: 'penginapan': pensionnaire 'penginap', reaction
'reaksi': reactionnaire 'reaksioner', dan sebagainya, orang dapat
menciptakan interventionnaire atau repressionnaire, yang ber-
makna 'yang setuju dengan intervensi', 'yang setuju dengan
penindasan'. Proses tersebut jelas sama dengan apa yang tadi
menurunkan honor: keduanya membutuhkan rumus yang sama:

reaction:reactionnaire = repression:x.

X = repressionnaire

dan pada kasus mana pun tidak ada alasan sedikit pun untuk
berbicara soal perubahan: repressionnaire tidak menggantikan
unsur apa pun. Contoh lain: di satu pihak terdapat analogi//naux
untuk finals 'final', yang dianggap lebih teratur. Di lain pihak
orang dapat membentuk adjektif firmamental dan memberinya
bentuk jamak firmamentaux 'yang berasal dari cakrawala'.
279

Apakah orang akan berkata bahwa di dalam finaux terjadi per-


ubahan sedangkan di dalam firmamentaux terjadi penciptaan?
Pada keduanya terjadi penciptaan. Berdasarkan model mur 'din-
ding'; emmurer'menyekap dalam sel', orang telah membuat tour
'keliling': entourer 'mengelilingi', dan jour 'hari': ajourer 'melu-
bangi'. Derivasi yang relatif mutakhir tersebut, nampak seperti
suatu penciptaan. Tetapi, jika saya perhatikan bahwa pada suatu
zaman terdahulu orang sudah mempunyai entorner dan ajorner,
yang dibangun dari torn dan Jorn, apakah saya harus berubah
pendapat dan menyatakan bahwa entourer dan ajourer merupa-
kan perubahan dari kata-kata yang lebih kuno? Jadi, ilusi
"perubahan" analogis berasal dari hubungan yang dibuat orang
antara unsur yang tua dan yang muda, namun hal itu keliru
karena pembentukan-pembentukan yang disebut perubahan
(tipe honor) kodratnya sama dengan perubahan yang kami sebut
penciptaan (tipe repressionnaire).

3. Analogi Prinsip Penciptaan Langue

Kalau tadi analogi diperlihatkan dari apa yang bukan


analogi, sekarang kami mengkajinya dari sudut pandang positif,
maka segera nampak bahwa prinsipnya terancu dengan prinsip
penciptaan bahasa pada umumnya. Tapi yang mana?
Analogi bersifat psikologis. Namun, hal itu tidak cukup
untuk membedakannya dengan gejala-gejala fonetis karena
gejala-gejala tersebut dapat ditelaah secara mandiri (lihat hala-
man 260). Kita harus melangkah lebih jauh dan mengatakan
bahwa analogi bersifat gramatikal: analogi mensyaratkan kesa-
daran dan pemahaman adanya suatu hubungan yang mempersa-
tukan bentuk-bentuk di antara mereka. Meskipun gagasan tidak
penting di dalam gejala fonetis, intervensi gagasan perlu bagi
analogi.
Di dalam perpindahan s intervokalis ke r dalam bahasa
Latin (bandingkan kepada honosem -> honorem), tidak nampak
adanya campur tangan perbandingan dengan bentuk-bentuk lain,
maupun makna kata: bentuk honosem yang sudah matilah yang
berpindah ke honorem. Sebaliknya, untuk menelaah munculnya
280

honor di samping honos, kita perlu meminta bantuan pada


bentuk-bentuk lain, seperti yang diperlihatkan rumus proporsio-
nal keempat berikut ini:

ordtorem:orator = honorem:x

X = honor,

dan kombinasi tersebut tidak memiliki kehaialan apa pun


seandainya nalar tidak mengasosiasikan makna mereka dengan
bentuk yang niembentuk kombinasi tersebut.
Oleh karenanya, di dalam analogi semuanya bersifat
gramatikal; namun mari segera kita tambahkan bahwa pencip-
taan yang membentuknya mula-mula hanya menjadi bagian dari
parole karena penciptaan merupakan karya kebetulan seorang
penutur yang terpisah. Di dalam lingkup itulah dan di dalam
batas langueVah kita seharusnya menelaah gejala analogi. Meski-
pun demikian perlu dibedakan dua hal; 1) pemahaman hubungan
yang mengaitkan bentuk-bentuk generator di antara mereka; 2)
bentuk yang diciptakan oleh perbandingan, bentuk yang direka
oleh penutur urttuk mengungkapkan gagasan. Hanya hasil itulah
yang menjadi bagian parole.
Jadi, analogi sekali lagi memberi kita pelajaran untuk
memisahkan langue dari parole (lihat halaman 63 dan seterus-
nya). Analogi menunjukkan pada kita akan ketergantungan
parole dari langue dan memungkinkan kita untuk meraba
permainan mekanisme bahasa, seperti yang dideskripsikan pada
halaman 229. Ciptaan apa pun harus didahului oleh suatu
perbandingan yang tidak sadar dari materi-materi yang tersimpan
di dalam inventaris bahasa di mana bentuk-bentuk pembangkit
ditata berdasarkan hubungan sintagmatis dan asosiatif.
Oleh karena itu seluruh bagian gejala terbentuk lebih
dahulu sebelum orang melihat bentuk baru yang muncul.
Kegiatan langage yang sinambung yang memilah satuan-satuan
yang berada dalam inventarisnya, bukan hanya mengandung
segala kemungkinan agar satu bahasa sesuai dengan kebiasaan,
melainkan juga segala kemungkinan pembentukan analogis.
Jadi, kelirulah kalau kita mengira bahwa proses pembangkit baru
281

muncul pada saat terjadi penciptaan karena unsur-unsurnya


sudah ada. Sebuah kata yang saya bentuk secara mendadak
seperti iruUcor-able, sudah ada di dalam kekuatau bahasa
Perancis; orang dapat meriemukan lagi semua unsur tersebut di
dalam sintagma seperti d^cor-er 'menghias', d^cor-ation 'dekora-
si': pardonn-able 'termaafkan', mani-able 'dapat diolah'; in-
connu 'tak dikenal', in-sensi 'tak waras', dan sebagainya, dan
realisasinya di dalam parole merupakan peristiwa yang tak berarti
dibandingkan dehgan kemungkinan untuk membentuknya.
Singkatnya, analogi dilihat secara mandiri hanyalah sebuah
aspek dari gejala penafsiran, suatu pengungkapan kegiatan
umum yang membedakan satuan-satuan untuk kemudian meng-
gunakan mereka. Itu sebabnya mengapa kami mengatakan
bahwa analogi memang seluruhnya bersifat gramatikal. dan
sinkronis.
Ciri analogi tersebut menjolok dua pengamatan yang
menguatkan pendapat-pendapat kami mengenai kesemenaan
mutlak dan kesemenaan relatif (lihat halaman 230 dan seterus-
nya):
1) Kita dapat menggolongkan kata-kata berdasarkan
kemampuan relatif mereka di dalam menurunkan kata-kata lain
sesuai dengan kadar kemampuan mereska untuk memilah diri.
Kata-kata sederhana, memang tidak produktif ,{bdk. magasin
'toko', arbre 'pohon', racine 'akar', dan sebagainya). Magasinier
'peinilik toko' tidak diturunkan oleh magasin; kata tersebut
dibentuk berdasarkan model prisonnier 'narapidana': prison
'penjara', dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan erhma-
gasiner 'menimbun' yang hadir berkat analogi emmailloter
'membungkus dengan kain': maillot'kain peinbungkus', encadrer
'memberi birigkai': cadre 'bingkai', encapuchonner 'menutup
kepala': capuchon 'kerudung', dan sebagainya.
Jadi, di dalam setiap langue terdapat kata-kata yang
produktif dan yang steril, namun proporsi di antara keduanya
bervariasi. Sebenarnya hal itu sama saja dengan pembedaan yang
dibuat pada halaman 234 di antara bahasa-bahasa 'leksikologis"
dan bahasa-bahasa "gramatikal". Dalam bahasa Cina, sebagian
282

besar kata-katanya tak terpilah, sebaUknya di dalam bahasa


rekaan, kata-kata hampir seluruhnya terbelah. Seorang penutur
bahasa Esperanto bebas sepenuhnya untuk membangun berbagai
kata baru dari sebuah akar kata.

2) Kami telah mencatat pada halaman 275 bahwa ciptaan


analogis apa pun dapat ditampilkan sebagai suatu kegiatan yang
serupa dengan rumus proporsional keempat. Acap kali orang
menggunakan rumus tersebut untuk menjelaskan gejala itu
sendiri, sedangkan kami telah mencari kehalalannya di dalam
analisis dan menyusun kembali unsur-unsur yang disuplai oleh
bahasa.

Ada konflik di antara kedua konsepsi tersebut. Jika rumus


proporsional keempat merupakan penjelasan yang memadai,
mengapa kita harus membuat hipotesis mengenai pemilahan
unsur-unsur? Untuk membentuk indecorable 'tak terhias' sama
sekali tidak perlu diuraikan unsur-unsurnya (in^decor-able),
cukup kalau kita mengamati himpunan tersebut dan menempat-
kannya di dalam|persamaan:

pardonner:impardonnable, dan sebagainya = decorer: x

X = indecorable

Dengan demikian kita tidak memaksa penutur untuk melakukan


kegiatan yang rumit, yang terlalu serupa dengan analisis yang
teliti yang dilakukan ahli tata bahasa. Dalam kasus seperti
krantz:Krdnze yang dibuat berdasarkan Gast: Gdste, pemilihan
nampak kurang mungkin dibandingkan dengan rumus proporsio
nal keempat karena akar kata model tersebut kadang kala Gast
kadang kala Gast-. Oleh karenanya orang terpaksa memindah-
kan ciri bunyi Gdste ke Kranze.
Teori yang mana yang sesuai dengan kenyataan? Perlu
dicatat terlebih dahulu bahwa kasus Kranz tidak harus menge-
sampingkan analisis. Kami telah mendapati adanya alternasi di
dalam akar kata dan awalan (lihat halaman 268-269), dan perasa-
an adanya alternasi mungkin saja ada di samping analisis positif.
283

Kedua konsepsi yang bertentangan itu tercermin di dalam


dua doktrin tata bahasa yang berbeda. Teori-teori tata bahasa
kita bekerja dengan rumus proporsional keempat; mereka
misalnya menjelaskan pembentukan preteritum bahasa Jerman
dengan bertitik tolak pada kata-kata utuh. Kepada murid
dikatakan: dengan model setzen 'duduk', setzte 'duduk lampau',
bentuklah preteritum lachen 'tertawa% dan sebagainya! Sebalik-
nya, di dalam sebuah pasal tertdntu, tata bahasa Hindu mengkaji
akar kata (setz-, lack-, dan sebagainya), sedangkan di dalam
pasal lain dikaji akhiran preteris (-te, dan sebagainya). Tata
bahasa tersebut memberikah unsur-unsur yang merupakan hasil
analisis, dan murid harus menyusun kembali kata-kata yang utuh.
Di dalam kamus bahasa Sanskerta, verba diatur sedemi-
kian rupa sehingga nampak akar katanya.
Sesuai dengan kecenderungan yang dominan dari setiap
kelompok bahasa, para ahli teori tata bahasa akan tunduk ke
salah satu metode tersebut.
Bahasa Latin Kuno nampaknya memudahkan prosedur
analisis. Berikut ini bukti yang nyata. Kuantitas tidaklah sama di
dalam fdctus 'membuat' dan dctus 'melakukan', meskipun ada
fdcio 'saya membuat' dan ago 'saya melakukan'. Harus dianggap
bahwa dctus berasal dari *agios dan menyebabkan memanjang-.
nya vokal ke bunyi bersuara yang mengikutinya. Hipotesis
tersebut ditegaskan sepenuhnya oleh bahasa-bahasa Roman:
oposisi specio 'saya melihat': spdctus'telah melihat' dibandingkan
dengan tigo 'saya menutup': tectus 'telah menutup' tercermin
dalam bahasa Perancis di dalam dipit(= despdctus)'walau', dan
toit (tectum) 'atap\ Bandingkan kepada/con^cid 'saya meleng-
kapi': confdcius 'telah melengkapi' (Perancis confit 'manisan'),
dibandingkan dengan rdgo 'saya memerintah':Irictus 'telah me-
merintah'(directus Perancis droit 'hak'). Meskipun demikian,^
*agtos, *tegtos, *regtos, tidak diwariskan oleh bahasa Indo-
Eropa, yang pasti menggunakan *dktos, *tiktos, dan seterus-
nya. Bahasa Latin prasejarahlah yang telah memperkenalkan
unsur-unsur tersebut, meskipun sangat sulit untuk melafalkan
sebuah bunyi bersuara di muka bunyi tak bersuara. Hal itu hanya
mungkin terjadi dengan betul-betul menyadari akan adanya akar
kata ag-, teg-. Jadi, bahasa Latin Kuno mempunyai perasaan
284

yang kuat sekali mengenai keping-keping kata (kata dasar,


akhiran, dan Iain-lain) dan pendamping mereka. Mungkin saja
bahwa bahasa-bahasa modern kita tidak memiliki perasaan yang
sama kuatnya, namun bahasa Jerman memiliki perasaan yang
lebih kuat dibandingkan bahasa Perancis(lihat halaman 310).
BABV

ANALOGI DAN EVOLUSI

1. Bagaimana suatu Pembaharuan Ahalogis masuk ke dalam


Langue

Tak satu pun unsur dapat masuk ke dalam langue tanpa


dicoba terlebih dahulu di dalam parole, dan semua gejala evolutif
berakar di dalam lingkungan individu. Prinsip tersebut, yang
telah disebutkan pada halaman 184, khususnya dapat diterapkan
pada pembaharuan analogis. Sebelum honor menjadi saingan
yang mampu menggantikan honos, harus ada penutur pertama
yang menemukannya secara mendadak, llalu ditiru oleh yang
lain dan diulang, sampai pemakaian kata tersebut menjadi
kebiasaan.
Nampaknya semua pembaharuan analogis memiliki bintang
terang tersebut. Setiap saat kita melihat kombinasi-kombinasi
yang segera mati karena mungkin tidak diterima oleh bahasa.
Langage anak-anak banyak menghasilkan unsur tersebut karena
mereka kurang mengenal kebiasaan dan belum menguasai
bahasa dengan baik. Mereka mengatakan viendre yang seharus-
nya venir 'datang', mouru yang seharusnya mort 'mati', dan
sebagainya. Tetapi, bahasa orang dewasa pun menghasilkannya
juga. Oleh karena itu banyak orang mengganti trayait dengan
traisait 'ia memerah susu' (bahkan tertulis di dalam karya
286

Rousseau). Semua pembaharuan tersebiit seeara mandiri


memang teratur sekali, dan dapat dijelaskan dengan cara yang
sama dengan pembaharuan yang telah diterima. oleh bahasa.
Maka viendre didasarkan pada proporsi:

eteindrai: eteindre 'mematikan' = viendrai: x


X: viendre,

sedangkan traisait dibuat befdasarkan model plaire: plaisait


'menyenangkan hati', dan sebagainya...
Bahasa hanya mempertahankan sebagian kecil dari pencip-
taan wicara, namun unsur-iinsur yang bertahan jumlahnya cukup
banyak sehingga dari zaman yang satu ke zaman yang lain kita
melihat sejumlah bentuk baru yang memberi.wajah baru pada
kosakata dan tata bahasa.
Seluruh pasal terdahulu memperlihatkan dengan jelas
bahwa analogi seeara mandiri tidak mungkin merupakan faktor
evolusi. Namun, benar bahwa substitusi berkelanjutan dari
bentuk-bentuk tua oleh bentuk-bentuk baru itu merupakan salah
satu aspek yang paling mencolok di dalam perubahan bahasa.
Setiap kali suatu ciptaan menetap dan menghapus saingan,
benar-benar terasa adanya sesuatu yang tercipta dan sesuatu yang
ditinggalkan, dan dari sudut pandang itu analogi memang
menduduki tempat yang penting sekali di dalam teori evolusi.
Butir itulah yang akan kami tegaskan.

2. Pembaharuan Analogis, Simptom Perubahan Penafsiran

Langue tidak henti-hentinya menafsir dan memilah satuan-


satuan yang diberikan kepadanya. Tetapi bagaimana mungkin
bahwa penafsiran tersebut berubah dari generasi yang satu ke
generasi yang lain?
Sebab dari perubahan tersebut harus dicari di dalam massa
yang sangat besar, faktor-faktor yang tak henti-hentinya meng-
ancam analisis yang telah diterima di dalam suatu keadaan
bahasa. Akan kami catat beberapa di antaranya.
287

Yang pertama dan yang terpenting adalah perubahan bunyi


(lihat Bab II). Dengan membuat beberapa analisis ambigu dan
analisis yang tidak mungkin, perubahan buhyi mengubah kondisi-
kondisi pemilihan, dan sekaligus hasilnya, sehingga terjadi
pemindahan batas-batas satuan dan perubahan kodrat mereka.
Lihat pada halaman 247, mengenai komposisi seperti beta-
hus dan redo-lich, dan padal halaman 265 mengenai fleksi nominal
dalam bahasa Indo-Eropa.
Namun bukan hanya peristiwa fonetis. Terdapat pula
aglutinasi, yang akan dibicarakan nanti, yang dampaknya men-
ciutkan suatu kombinasi unsur-unsur menjadi suatu satuan;
kemudian menciutkan segala macam keadaan di luar kata,
namun mampu mengubah analisis. Memang karena analisis
berasal dari suatu himpunan perbandingan, jelas bahwa analisis
setiap saat tergantung dari lingkungan asosiatif unsur tersebut.
Oleh karena itu bentuk superlatif bahasa Indo-Eropa *swad-is-
to-s mengandung dua akhiran yang bebas: -is-, yang menandai
gagasan komparatif(misalnya Latin mag-is 'lebih') dan -to-, yang
menandai tempat tertentu bagi objek di dalam suatu deret
(bahdingkan kepada bahasa Yunani tri-to-s 'ketiga'). Kedua
akhiran tersebut beraglutinasi (bandingkan kepada bahasa Yuna
ni hed-isto-s, atau lebih tepat hid-ist-os 'tercantik'). Namun,pada
gilirannya aglutinasi tersebut sangat didukung oleh peristiwa di
luar bentuk superlatif: yaitu bentuk komparatif dengan is- yang
keluar dari kebiasaan, disisihkan oleh pembentukan dengan -jos;
-is- yang tidak lagi dikenal sebagai unsur otonom,sehingga tidak
dibedakan lagi di dalam -isto-.
Perlu dicatat sambil lalu bahwa ada kecenderungan umum
untuk memperkedl unsur kata dasar demi unsur pembentukan
terutama apabila kata dasar diakhiri sebuah vokal. Itu sebabnya
dalam bahasa Latin, akhiran -tat- (veri-tdt-em 'kebenaran', yang
seharusnya *vero-tdt-em, perbandingkan kepada bahasa Yunani
deind-tet-a 'kekerasan') menyisihkan i dari kata dasar sehingga
analisis menjadi ver-itdt-em; demikian pula halnya dengan RdmU-
nus, Albd-nus (bandingkan kepada aenus 'perunggu' yang sehar-
rusnya *aes-no-s 'tembaga') yang menjadi Rdm-dnus, dan seba-
gainya.
Padahal, apa pun asal mula perubahan penafsiran tersebut,
selalu nampak melalui munculnya bentuk-bentuk analogis.
288

Memang, jika hanya satuan-satuan yang hidup yang dirasakan


oleh para penutur pada saat tertentu, yang dapat melahirkan
pembentukan analogis, sebaliknya segala pemilihan tertentu dari
satuan-satuan mensyaratkan kemungkinan untuk meluaskan
kebiasaan. Jadi, analogi adalah suatu bukti yang menentukan
bahwa suatu unsur pembentuk ada pada suatu saat tertentu
sebagai satuan yang bermakna. Merididnalis 'Selatan' yang
seharusnya meridialis, menunjukkan bahwa orang memilih
septentri-ondlis, regi-dndlis, dan untuk menunjukkan bahwa
akhiran -tdt- ditambah sebuah unSur i yang dipinjam dari kata
dasar orang hanya menunjuk celer-itdtem 'kecepatan'; pdg-dnus
'pedesaan' yang dibentuk berdasarkan pdg-us 'desa', cukup
untuk memperlihatkan bagaimana bahasa-bahasa Latin meng-
analisis Rom-dnus; analisis redlich (halaman 246—247)ditegaskan
oleh kehadiran sterblich 'yang dapat mati', yang dibentuk dengan
akar verba, dan sebagainya.
Sebuah contoh yang sai^at aneh menunjukkan bagaimana
analogi bergerak pada satuan-jsatuan baru dari zaman ke zaman.
Dalam bahasa Perancis modem somnolent 'terkantuk-kantuk'
dianalisis somnol-ent, seolah kata tersebut sebuah present partici
ple. Buktinya, ada kata kerja somnoler 'tidur ayam'. Namun,
dalam bahasa Latin somno-lentus dipotong, seperti succu-lentus,
dan sebagainya, yang lebih kuno lagi somn-olentus ("yang berbau.
kantuk', dari olere, seperti vin-olentus 'yang berbau anggur').
Dengan demikian dampak yang paling terasa dan yang
paling penting dari analogi adalah mengganti bentukan-bentukan
kuno, yang tak teratur dan jenuh dengan yang lebih wajar yang
dibentuk dari unsur-unsur yang hidup.
Kemungkinan besar kejadiannya tidak selalu berlangsung
sedemikian sederhana: kegiatan bahasa disertai oleh kebim-
bangan tanpa akhir, perkiraan, dan setengah analisis. Kapaii pun
sebuah idiom tidak mungkin memiliki sistem dengan satuan yang
tetap.^®' Ingat apa yang telah dijelaskan mengenai fleksi *ek-
wos di samping fleksi *pods pada halaman 265. Analisis yang tak
sempurna ini sering menimbulkan penciptaan analogis yang ka-
cau. Bentuk-bentuk Indo-Eropa *geus-etai, *gus-tos, *gus-tis me
nunjukkan untuk mengenali akar kata geus- gus- "mencicipi";
tetapi di dalam bahasa Yunani s intervokalis luluh. sehingga
289

analisis geuomai, geustds terganggu. Oleh karena itii


terjadi pengambangan, dan kadangkala geus- kadangkala geur
yang diamati orang. Pada gilirannya analogi menjadi saksi
pengambangan tersebut, dan orang bahkan melihat katai-kata
dasar eu- yang mengandung s final (misalnya: pneu- 'angin',
pnedma 'ban', adjektiva yang berasal dari kata kerja pneus-tds).
Namun dalam susunan meraba-raba sekali pun, analogi
bergerak pada langue. Oleh kajfena itu, meskipun analogi secara
mandiri bukan suatu peristiwa evolusi, analogi mencerminkan
perubaban-perubahan dari saat ke saat, yang muncul dalam
ekonomi bahasa dan menghasilkan kombinasi-kombinasi baru.^®^
Analogi merupakan kolaborator yang efektif dari segala
kekuatan yang terus-menerus mengubah arsitektur suatu idiom,
dan oleh karena itu analogi merupakan suatu faktor yang kuat di
dalam evolusi.

3. Analogi, Prinsip Pembaharuan dan Pelestarian

Orang sering tergoda untuk mempertanyakan apakah


analogi memang begitu penting di dalam perkembangan-
perkembangan yang terdahulu, dan apakah analogi melakukan
kegiatan yang sama luasnya dengan perubahan-perubahan bunyi.
Sebenarnya sejarah setiap bahasa memungkinkan untuk mene-
mukan tumpukan peristiwa analogis, dan apabila ditelaah secara
utuh, penataan kembali yang sinambung itu memainkan peran
yang besar di dalam evolusi bahasa, bahkan lebih besar daripada
peran perubahan bunyi.
Namun satubal yang menarik perhatian para ahli linguistik
secara khusus: di dalam massa besar gejala analogis yang nampak
selama beberapa abad evolusi. hampir semua unsur terpelihara,
hanya saja unsur-unsur tersebut didistribusikan secara lain.
Pembaharuan yang dilakukan analogi bersifat lebih temaram
daripada riil. Langue adalah sebuah gaun yang dipenuhi tambal
sulam yang dibuat dari kainnya sendiri. Empat dari lima unsur
Perancis adalah Indo-Eropa, jika ingat pada substansi yang
membentuk kalimat-kalimat kita. Sedangkan kata-kata yang
diplndahkan secara utuh, tanpa perubahan analogis, dari bahasa
290

induk sampai ke bahasa Perancis modern, dapat ditulis dalam


satu halaman (misalnya: est « *esH 'adalah', nama-nama
bilangan, beberapa kata seperti ours'beniang', nez'hidung',ptre
'ayah'; chien 'anjing', dan sebagainya). Mayoritas kata-kata
merupakan kombinasi-kombinasi bam bempa unsur-unsur bunyi
yang direnggut dari bentuk-bentuk yang lebih kuno. Dalam
pehgertian itu, dapat dikatakan bahwa analogi, justm karena
selalu menggunakan materi yang kuno bagi pembahaman yang
dilakukannya, bersifat sangat konservatif.
Namun analogi bukannya faktor pelestarian yang kurang
mendalam; dapat dikatakan bahwa analogi campur tangan tidak
saja pada saat materi-materi yang ada sebelumnya disebar di
dalam satuan-satuan bam, nielainkan juga ketika bentuk-bentuk
tetap serupa. Pada kedua kasus tersebut, proses yang terjadi
bersifat psikologis. Untuk dapat memahami hal tersebut, cukup
kita ingat bahwa prinsip analogi pada dasarnya sama dengan
prinsip mekanisme/angage (lihat halaman 279).
Kata Latin agunt 'mereka melakukan' berpindah dalam
keadaan kurang lebih utuh sejak zaman prasejarah (ketika itu
orang mengatakan *agonti) sampai di ambang izaman Roman.
Selama jarak waktu tersebut, generasi-generasi secara bertumt-
turut mengambil kata tersebut tanpa munculnya unsur saingan
yang mungkin menghapuskannya. Apakah analogi tidak ber-
peran apa pun di dalam pencagaran tersebut? Sebaliknya,
stabilitas kata agunt memang karya analogi, sama seperti pemba
haman mana pun. Agunt dikurung: di dalam suatu sistem, kata
tersebut solider dengan bentuk-bentuk lain seperti dicunt'mere
ka mengatakan', legunt 'mereka membaca' dan sebagainya, dan
bentuk-bentuk lain seperti agimus'kami melakukan',agitis 'anda
melakukan' dan sebagainya. Dalam lingkungan tersebut agunt
mempunyai banyak kesempatan untuk digantikan oleh bentuk
yang terjadi dari unsur-unsur baru. Yang berpindah bukanlah
agunt, melaihkan ag-nut. Bentuknya tidak berubah karena ag-
dan -unt secara teratur dicek di dalam deret-deret lain. Iringan-
iringan bentuk yang diasosiasikan dengan agunt iivXah yang telah
291

mempertahankan bentuknya selatna ini. Bandingkan lagi dengan


sex-tus 'keenam' yang bertopang juga pada deret-deret
yang padat: di satu pihak sex 'enam',sex-aginta'keenam puluh',
dan sebagainya, di lain pihak quar-tus 'keempat', quin-ius
'kelima', dan sebagainya.
Dengan demikian, bentuk-bentuk mempertahankan ben
tuknya karena tak henti-hentinya dibuat kembali secara analogis.
Sebuah kata sekaligus dipahami sebagai satuan dan sebagai
sintagma, dan kata tersebut dilestarikan sedemikian rupa sehing-
ga unsur-unsurnya tidak berubah. Sebaliknya, eksistensinya ha-
nya dipertanyakan kalau unsur-unsurnya keluar dari kebiasaan.
Lihat apa yang terjadi dengan kata-kata Perancis dites 'anda
berkata', dan faites 'anda berbuat', yang bertalian langsung
dengan kata Latin dic-itis, fac-itis, namun yang tidak lagi memiliki
titik penunjang di dalam fleksi verbal yang mutakhir. Bahasa
mencari jalan untuk menggantinya; orang mendengar disez,
faisez yang dibuat berdasarkan model plaisez 'anda menyenang-
kan', lisez 'anda membaca', dan sebagainya^ dan bentuk-bentuk
akhiran yang baru tersebut telah lazim di dalam sebagian besar
kata majemuk (contredisez 'anda menyangkal', dan sebagainya).
Satu-satunya bentuk yang tidak terkena analogi adalah
tentu saja kata-kata mandiri, seperti nama diri, terutama nama-
nama tempat (bandingkan dengan Paris, Jenewa, Agen, dan
sebagainya), yang tidak mungkin dianalisis sehingga tidak
mungkin ditafsirkan unsur-unsurnya dan tak ada bentuk saingan
yang muncul di samping mereka.
Oleh karena itu pelestarian sebuah bentuk dapat disebab-
kan oleh dua faktor yang sama sekali berlawanan: pengucilan
sepenuhnya atau pembatasan yang sempit di dalam suatu sistem,
yang dengan tetap utuh bagian-bagian pokoknya selalu menyela-
matkan suatu bentuk. Di dalam bidang ahtaralah bentuk-bentuk
yang tidak cukup dilindungi oleh lingkungannya mungkin me-
nerima dampak analogi pembaharuan.
Namun, apakah itu pelestarian bentuk yang terjadi dari
sejumlah unsur, ataukah penataan kembali materi bahasa di
dalam konstruksi baru, peran analogi sangat besar; analogilah
yang selalu menentukan nasib bentuk bahasa.
BAB VI

ETIMOLOGI RAKYAT^^

Kita sering menangkap kata secara salah karena bentuk dan


maknanya kurang kita kenal, dan kebiasaan sering kali yang
menyebabkan salah kaprah tersebut. Misalnya dalam bahasa
Perancis Kuno, coute-pointe (dari coute, varian dari couette
'seiimut' dan pointe, past participle dari poindre 'menusuk'),
telah berubah menjadi courte-pointe 'kain penutup ternpat tidur
di atas seprei', seolah-olah kata tersebut merupakan komposisi
dari adjektiva court 'pendek' dan substantiva poirite 'tusuk'.
Pembaharuan tersebut, bagaimana pun anehnya, tidak terjadi
secara kebetulan sepenuhnya, melainkan merupakan usaha coba-
coba untuk menjelaskan secara kira-kira kata yang mengganggu
dengan mengaitkannya pada sesuatu yang telah dikenal.
Gejala tersebut diberi nama etimologi. Pada pandangan
pertama, analogi itu sama sekali tidak berbeda dengan analogi
biasa. Ketika seorang penutur, yang lupa akan adanya kata
surdit^ 'kebisuan' menciptakan secara analogis kata sourdite,
hasilnya akan sama dengan seandainya ia tidak mengerti makna
surditi dan mengubahnya karena lingat pada adjektiva sourd
'bisu'. Jadi, satu-satunya perbedaan adalah bahwa bentuk-bentuk
analogis bernalar, sedangkan etimologi rakyat mengalami proses
yang agak serba kebetulan dan hanya berakhir pada kekacauan.
Meskipun demikian, perbedaan tersebut yang hanya
293

menyangkut hasilnya, tidaklah sangat penting. Keanekaan jenis-


nya adalah hal yang lebih mendasar. Unttik meinperlihatkan
seperti apa jenis tersebut,.mari kita mulai dengan memberikan
beberapa contoh tipe-tipe utama dari etimologi rakyat.
Pertama, ada kasus di mana kata mendapat penafsiran
bam, namun bentukpya tidak bembah. Dalam bahasa Jerman,
durchblauen 'menampar bertubi-tubi' secara etimologis berasal
dari bliuwan 'memukul'; tetapi orang mengaitkannya dengan
blau 'bim' karena adanya 'bim-biru' yang dihasilkan piikulan-
pukulan. Pada abad pertengahan, bahasa Jerman telah memm-
jam dari bahasa Perancis kata aventure 'petualangan' yang
dibentuknya secara teratur menjadi dbentiire, kemudian Aben-
teuer. Tanpa mengubah bentuk kata itu, orang mengasosiasikan-
nya dengan Abend 'ceritera yang diceriterakan pada saat berga-
dang' sehingga pada abad XVIII orang menuliskan Abendteuer.
Kata Perancis Kuno soufraite 'keprihatinan' (= suffracta dari
subfrangere) t^lah menimbulkan adjektiva souffreteux, 'papa'
yang sekarang dikaitkan dengan souffrir 'menderita', yang
maknanya sama sekali berbeda. Lais 'harta warisan' adalah
substantif verbal dari /amer 'meninggalkan', tetapi kini orang
mengaitkannya dengan Uguer 'menghibahkan' dan menuliskan
legs 'hibah'. Bahkan ada orang-orang yang mengucapkannya
le-g-s. Hal ini dapat memberi kesan bahwa disitu telah terjadi
perubahan bentuk sebagai akibat penafsiran baru. Namun,
sebenarnya itu adalah pengaruh dari bentuk tertulis, dan orang
tngin, tanpa mengubah lafal, menandai pengacuannya pada
bentuk asal kata tersebut, yaitu laisse. Dengan cara yang sama
homard 'udang galah' yang dipinjam dari bahasa Nordika Kuno
human (bdk. bahasa Denmark hummer) mendapat d di akhir
kata sebagai akibat analogi dengf^n kata Perancis yang berakhiran
-ard, cuma di sini kekelirua i penafsiran yang muneul dalam
ortografi terjadi pada akhiran kata, yang dirancukan dengan
akhiran yang lazim (bdk. bavard 'cerewet', dan sebagainya).^®^
Namun, paling sering adalah orang mengubah bentuk kata
untuk menyesuaikannya dengan unsur-unsur yang dikira dikenal-
nya, misalnya kasus choucroute 'kool asam' (dari Sauerkraut).
Dalam bahasa Jerman, dromeddrius menjadi Trampeltier 'bina-
tang yang menginjak-injak'. Komposisi tersebut memang bam.
294

namun mengandung kata-kata yang sudah ada, yaitu (rampeln


'menginjak-injak' dan Tier 'binatang'. Bahasa Jerman Tinggi
Kuno telah membentuk dari bahasa Latin margarita 'mutiara'
menj'adi mari-greoz 'batu kerikil laut' dengan mengkombinasikan
dua buah kata yang telah dikenal.^^^
Terakhir, inilah sebuah kasus yang sangat menarik: kata
Latin carbunculus 'kerang kecil' telah menimbulkan kata Jerman
Karfunkel(melalui asosiasi dengan funkeln 'memercik') dan kata
Perancis escarboucle yang dikaitkan dengan kata boucle. Calfeter,
calfetrer menjadi calfeutrer'merintang' karena ada pengariih kata
feutre. Yang mencolok pada pandangan pertama dari contoh-
contoh tersebut adalah bahwa masing-masing mencakup suatu
bagian yang sama sekali baru, di samping unsur konkret yang
sudah ada {Kar- escar-, cat-). Namun, kita keliru kalau mengira
bahwa di dalam unsur-unsur tersebut terdapat bagian yang
diciptakan, suatu yang muncul dari suatu gejala. Yang sebalik-
nyalah yang benar: contoh-contoh tersebut adalah etimologi
rakyat yang berhenti setengah jalan. Karfunkel mempunyai dasar
yang sama dengan Abenteuer(jika diterima bahwa -teuer merupa-
kan residu yang tak dapat dijelaskan). Sama halnya dengan
homard, di mana horn- tidak berkaitan dengan apa pun.
Oleh karena tingkat perubahan bentuk tidak mencipta-
kan perbedaan-perbedaan mendasar ^di antara kata-kata yang
diolah secara salah oleh etimologi rakyat, kata-kata tersebut
semua memiliki ciri yang sama, yaitu merupakan penafsiran biasa
dari bentuk-bentuk yang tidak dikenal melalui bentuk-bentuk
yang dikenal.
Sekarang jelas, dalam hal apa etimologi mirip dengan
analogi dan dalam hal apa etimologi berbeda.
Kedua gejala tersebut hanya memiliki satu ciri yang sama:
di dalam keduanya digunakan unsur-unsur bermakna yang
disediakan oleh bahasa, namun untuk selebihnya unsur-unsur itu
berbeda sama sekali. Analogi selalu mempersyaratkan diiupa-
kannya bentuk sebelumnya. Berdasarkan bentuk analogis it
traisait (lihat halaman{825), tidak ada analisis apa pun mengenai
bentuk kunonya it trayait. Kealpaan tersebut memang diperlukan
agar saingannya dapat muncul. Analogi tidak menarik keun-
tungan apa pun dari substansi tanda-tanda yang digantinya.
295

Sebaliknya, etimologi rakyat dipersempit menjadi penafsiran


bentuk kuno. Ingatan kepada bentuk kund, meskipun kabur,
merupakan titik tolak perubahan bentuk yang diderita bentuk
kuno tersebut. Jadi, dalam etimologi terdapat keiiangan, sedang-
kan dalam analogi adalah kealpaan yang menjadi dasar analisis,
dan perbedaan ini sangat penting.
Jadi, etimologi ralcyat hanya bergerak^^ di dalam keadaan
khusus, dan hanya menyangkut kata-kata yang jarang digunakan,
kata teknis atau kata asing, yang diserap penutur kata secara
tidak sempurna. Sebaliknya, analogi merupakan peristiwa yang
umum yang menjadi bagian kegiatan bahasa yang wajar. Kedua
gejala tersebut, yang begitu mirip dari beberapa segi, pada
dasarnya saling bertentangan, keduanya harus dibedakan dengan
cermat.
BAB VII

AGLUTINASF«'

1. Detinisi

Di samping analogi, yang baru saja kita tekankan penting-


nya, ada faktor lain yang turut campur di dalam penghasilan
satuan-satuan baru, yaitu aglutinasi.
Tak ada cara pembentukan lain yang masuk secara
sungguh-sungguh di dalam pengamatan; kasus onomatope (lihat
Ikalaman 149) dan kasus kata-kata yang dilebur dari segala
macam kepingan oleh seorang individu tanpa turut campurnya
analogi (misalnya gaz 'gas'), apalagi etimologi rakyat; hanya
berperan sangat kecil, atau tidak berperan sama sekali.
Aglutinasi adalah dua atau sejumlah kata yang asalnya
berbeda, tetapi yang sering bertemu di dalam sintagma atau di
dalam kalimat, bersatu dalam satu satuan mutlak atau yang sulit
dipilah. Jadi, aglutinasi kita sebut proses dan bukan prosedur
karena kata yang terakhir ini mengandung makna suatu kehen-
dak, suatu maksud, sedangkan tak adanya kehendak justru
merupakan ciri pokok aglutinasi.
Berikut ini beberapa contoh. Dalam bahasa Perancis,
semula orang mengatakan ce ci dengan dua kata, kemudian
menjadi ceci 'ini' yang merupakan kata baru meskipun unsur-
unsur pembentuknya dan materinya tidak berubah. Bandingkan
297

lagi: bahasa Perancis tousjours —*■ toujours 'selalu', aujour d' hul
aujourd' hui 'hari ini', d^s jd —*■ dijd 'sudah', vert jus -* verjus
'sari anggur hijau'. Aglutinasi juga dapat memateri sub-sub
bagian suatu kata, seperti yang telah kita lihat padai halamaa287
mengenai superlatif Indo-Eropa *swdd-is-to-s dan superlatif
Yunani hed-isto-s.
Kalau dilihat lebih dekat, dapat dibedakan tiga tahap di
dalam gejala tersebut:
1. Kombinasi sejumlah kata di dalam sintagma, yang dapat
dibandingkan dengan kata-kata lain;
2. Aglutinasi yang sebenarnya, yaitu sintesis dari unsur-
unsur sintagma menjadi sebuah satuan baru. Sintesis tersebut
terjadi karena dirinya sendiri, demi kecenderungan mekanis; bila
sebuah konsep majemuk diungkapkan dengan sederet satuan
bermakna yang sangat lazim; nalar, yang dapat dikatakan
mengambil jalan pendek, menolak analisis dan menerapkan
konsep tersebut seluruhnya pada sekelompok tanda yang kemu-
dian menjadi satuan sederhana;
3. Semua perubahan lain yang mungkin mengasimilasikan
kelompok yang lebih kuno menjadi sebuah kata sederhana:
penyatuan tekanan (vert-jus verjus), perubahan bunyi yang
khusus, dan sebagainya.
Sering kali orang beranggapan bahwa perubahan bunyi dan
tekanan (3) mendahului perubahan-perubahan yang muncul di
dalam bidang gagasan (2), dan bahwa harus dijelaskan sintesis
semantik dengan aglutinasi dan sintesis materinya. Padahal
mungkin sekali keadaannya tidak demikian: lebih tepat adalah
karena orang telah menangkap satu gagasan di dalam vert jus,
tous jours, dan sebagainya, maka orang membuat kata-kata
sederhana, dan akan kelirulah kalau kita memutarbalikkan
hubungan tersebut.

2. Aglutinasi dan Analogi

Kontras antara analogi dan aglutinasi cukup mencolok:


1. EH dalam aglutinasi, dua atau sejumlah satuan berbaur
menjadi satu melalui sintesis (misalnya encore 'lagi', yang berasal
298

dari hanc horam), atau juga dua sub baigian yang hanya
membentuk kesatuan (bandingkan kepada hed-isto-s, yang bera-
sal dari *swdd-is-to-s). Sebaliknya, analogi berangkat dari satuan-
satuaiT yang lebih kecil untuk membuat satuan yang lebih besar.
Untuk menciptakan pdg-dnus, analogi telah mempersatukan
sebuah akar kata pdg- dan sebuah akhiran -dnus.
2. Aglutinasi hanya beroperasi di lingkungan sintagmatis;
kegiatannya menyangkut sebuah kelompok yang tersedia,
aglutinasi tidak memperhatikan hal-hal lainnya. Sebaliknya,
analogi mengacu pada deret asosiatif maupun sintagmatis,
3. Aglutinasi sama sekali tidak suka rela, tidak- aktif sama
sekali. Telah kami katakan bahwa aglutinasi adalah sebuah
proses yang mekanis, di niana perakitan terjadi dengan sen-
dirinya. Sebaliknya, analogi merupakan proses yang mensyarat-
kan analisis dan kombinasi, suatu kegiatan cerdik, suatu maksud.
Orang sering kali menggunakan istilah konstruksi dan
struktur untuk menunjuk pembentukan kata, namun istilah-
istilah tersebut tidak bermakna sama apabila diterapkan pada
aglutinasi dan analogi. Di dalam aglutinasi, istilah-istilah tersebut
mengingatkan kita pada penyemenaan unsur-unsur secara lambat,
yang karena adanya saling sentuh di dalam sintagma, telah me-
ngalami sintesis yang dapat berakhir pada terhapusnya satuan-
satuan asal. Sebaliknya, pada kasus analogi, konstruksi berarti.
pendampingan yang diperoleh sekejap di dalam wicara, oleh
pertemuan sejumlah unsur yang dipinjam dari berbagai deret
asosiatif.
Jelas sekarang betapa pentingnya kita membedakan cara
pembentukan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu
dalam bahasa Latin,' possum 'saya bisa' tak lain dan tak bukan
adalah suatu senyawa dari dua kata potis sum 'saya gurunya': itu
adalah suatu aglutinasi. Kata Latin signifer 'pembawa berita',
agricola 'petani', sebaliknya adalah hasil analogi, atau konstruksi
yang dibuat berdasarkan model yang disediakan oleh bahasa.
Istilah-istilah komposisi dan derivasi hanya mungkin dikelom-
pokkan di dalam penciptaan analogis.'
Sering kali sulit untuk menentukan apakah suatu bentuk
yang teranalisis dilahirkan dari aglutinasi ataukah ia itu muncul
sebagai konstruksi analogis. Para ahli linguistik telah berdebat
299

tanpa akhir mengenai bentuk-bentuk *es-mi, *es-ti, *ed-mi,


dan sebagainya di dalam bahasa Indo-Eropa. Apakah unsur-
unsur es-, ed-, dan sebagainya, itu pada suatu zaman yang sangat
kuno merupakan kata-kata yang sebenamya, yang kemudian
diaglutinasikan dengan kata lain: mi, ti, 4an sebagainya, ataukah
*es-mi, *es-ti, dan sebagainya merupakan hasil kombinasi dengan
unsur-unsur yang berasal dari satuan-satuan kompleks Iain
sehingga aglutinasi dapat ditelusuri pada zaman sebelum pem-
bentukan desinens dalam bahasa Indo-Eropa? Karena tidak
adanya, saksi sejarah, mun'gkin pertanyaan tadi tidak akan
terjawab..
Hanya sejarah yang dapat memberi kita penjelasan. Setiap
kali sejarah memungkinkan untuk menegaskan bahwa suatu
unsur sederhana dahulunya merupakan dua atau sejumlah unsur
di dalam kalimat, kita berhadapan dengan aglutinasi: misalnya
kata Latin hunc, berasal dari horn ce (ce dipertegas secara
epigrafis). Tetapi, begitu informasi historis tidak ada, sulit bagi
kita untuk menetapkan mana yang aglutinasi dan mana yang hasil
analogi.

Catalan

1. Hal itu sama saja dengan mengatakan bahwa kedua gejala tersebut
mengombinasikan kegiatan mereka di dalam sejarah langue, tetapi aglutinasi
selalu mendahului, dan aglutinasilah yang menyediakan model bagi analogi.
Misalnya tipe komposisi-komposisi yang menimbulkan kata Yunani hippd-
dromo-s, dan sebagainya. lahir dari aglutinasi sebagian pada suatu zaman
bahasa Indo-Eropa disaat desinens tidak dikenal(ekwo dromo pada saat itu
sepadan dengan komposisi Inggris seperti country house), tetapi analogilah
yang melakukan pembentukan produktif sebelum unsur-unsurnya berse-
nyawa secara mutlak. Demikian pula halnya kala mendatang dalam bahasa
Perancis (Je ferai 'saya akan berbuat', dan sebagainya), yang lahir di dalam
bahasa Latin kasar dari aglutinasi infinitif dengan kala kini kata kerja habere
(facere habed = 'saya ada sesuatu yang harus dikerjakan'). Jadi, berkat turut
campurnya analogilah aglutinasi menciptakan tipe-tipe kalimat dan bekerja
untuk tata bahasa. Jika aglutinasi bergerak sendiri, mendorong sintesis
unsur-unsur sampai menjadi satuan mutlak, dan hanya akan menghasilkan
kata-kata tak terpilah dan tak produktif (tipe hanc horam —* encore 'lagi'),
artinya aglutinasi bekerja bagi leksikon. (Penyunting)
BAB VIII

SATUAN,IDENTITAS DAN REALITAS


DIAKRONIS288

Linguistik statis berfungsi pada satuan-satuan yang hadir


sesuai dengan rangkaian sinkronis. Apa yang telah dijelaskan di
muka membuktikan bahwa di dalam urutan diakronis orang tidak
berurusan dengan unsur-unsur tak terbatas secara sekaligus,
seperti yang dapat digambarkan oleh grafik berikut:
H . zaman A

zaman B
Sebaliknya, dari saat ke saat unsur-unsur tersebut menyebar
secara lain karena adanya peristiwa-peristiwa yang berperan di
panggung bahasa sehingga unsur-unsur tersebut lebih dapat kalau
digambarkan dalam skema berikut ini:
1 zaman A

H- -" zaman B
Skema tersebut merupakan basil dari apa yang telah dijelaskan
mengenai konsekuensi evolusi bunyi, analogi, aglutinasi, dan
sebagainya.
301

Hampir semua contoh yang telah disebutkan sampai se-


karang merupakan pembentuk kata; berikut ini adalah pemben-
tukan yang berasal dari kalimat. Bahasa Indo-Eropa tidak
mengenal preposisi, hubungan-hubungan ditandai dengan se-
jumlah kasus yang dibekali kekuatan makna. Pun tidak ada kata
kerja majemuk yang dibentuk dengan praverba, tetapi yang ada
hanya partikel-partikel, kata-kata kecil yang ditambahkan pada
kalimat untuk menegaskan dan memberi nuansa pada gerak
verba. Oleh karena itu tidak ada padanan kalimat Latin ire ob
mortem 'menyongsong kematian', maupun obire mortem. Se-
harusnya orang mengatakan: ire mortem ob. Demikian pula
keadaan bahasa Yunani primitif: 1)dreos baino kdta; dreos baino
berarti 'saya datang dari gunung' karena genitif mengandung
valensi ablatif, sedangkan kdta menambahkan nuansa .'isambil
turun'. Pada zan\an lain, 2) katd oreos baino di mana katd
memainkan peran preposisi, atau juga 3) kata-baino oreos
karena terjadi aglutinasi verba dengan partikel yang menjadi
praverba.
Di sini terdapat tiga gejala yang berbeda, tetapi kese-
muanya didasarkan pada penafsiran satuan-satuan: 1. pem-
bentukan suatu jenis kata baru, yaitu preposisi, dan hal itu terjadi
hanya dengan perpindahan satuan-satuan yang diterima. Ada
unsur khusus, yang semula tidak berarti, mungkin karena sebab
yang kebetulan, telah memungkinkan pengelompokan baru:
bentuk kata, yang semula bebas, bersatu dengan substantiva
oreos, dan himpunan tersebut bersatu dengan baino dan menjadi
pelengkapnya; 2. munculnya sebuah tipe verba baru (katabaino):
hal itu adalah pengelompokan psikologis yang lain, yang diper-
mudah pula oleh suatu distribusi satuan-satuan secara khusus dan
diperkuat oleh aglutinasi; 3. sebagai konsekuensi wajar: pele-
mahan makna desinens genitif (dre-os); bentuk katdlsih yang
akan ditugasi mengungkapkan gagasan dasar yang dahulu hanya
ditandai oleh genitif: desinens -os berkurang sekali pentingnya.
Menghilangkan unsur tersebut di masa mendatang sudah ada
benihnya di dalam gejala tersebut.
Pada ketiga kasus tersebut kita memang berhadapan
dengan pemilihan baru dari satuan-satuan. Substansinya tetap
sama, hanya fungsinya berbeda karena - perlu dicatat-tidak ada
perubahan bunyi apa pun yang turut campur untuk merangsang
302

salah satu pemindahan tersebut. Di lain pihak, meskipun


materinya tidak berubah, kita tidak boleh mengira bahwa
semuanya terjadi di bidang makna: tidak ada gejala sintaksis
tanpa' persatuan serangkaian tertentu konsep-konwp dengan
serangkaian tertentu satuan-satuan bunyi (lihathalaman241),
dan justru hubungan tersebut yang telah diubah. Bunyi-bunyi
berlahan, namun satuan-satuan bermakna itu tidak lagi sama.
Telah kami jelaskaji' pada halaman 156—157 bahwa per-
Ubahan tanda merupakan perpindahan hubungan antara penanda
dan petanda. Definisi tersebut berlaku bukan saja bagi perubah-
an unsur-unsur sistem, melainkan juga bagi evolusi sistem itu
sendiri, atau apa yang disebut gejala diakronis secara keselu-
ruhan.
Meskipun demikian, ketika orang telah mendapati perpin
dahan tertentu dari satuan-satuan sinkronis, orang sama sekali
tidak menyadari apa yang telah terjadi di dalam langue. Ada
masalah satuan diakronis yang mandiri: yaitu patut diperta-
nyakan, pada setiap peristiwa, unsur mana yang secara langsung
menjadi akibat kegiatan perubahan. Kita telah menjumpai
masalah semacam itu di dalam perubahan bunyi (lihat halaman
179). Perubahan bunyi hanya mengenai fonem yang terpisah,
sedangkan kata sebagai satuan tidak diperhitungkan sama sekali.
Karena terdapat segala macam peristiwa diakronis, kita harus
menyelesaikan sejumlah masalah yang serupa, dan satuan-satuan
yang tercakup di dalam bidang ini tidak selalu harus berkaitan
dengan satuan-satuan yang terdapat di dalam bidang sinkronis.
Sesuai dengan prinsip yang telah dikemukakan pada bagian satu,
pengertian satuan tidak mungkin sama di dalam kedua bidang
tersebut. Pendek kata pengertian tersebut tak akan terjelaskan
secara sempurna selama kita belum menelaahnya dari dua segi,
yaitu segi statis dan segi evolutif. Satu-satunya jalan keluar bagi
masalah satuan diakronislah yang memungkinkan kita untuk
melampaui penampilan gejala.evolusi dan mencapai intinya. Di
sini seperti juga di dalam linguistik sinkronis, pengetahuan
tentang satuan-satuan sangat diperlukan untuk dapat membeda-
kan ilusi dari kenyataan (lihat halaman 202),
Namun, masalah lain yang. sangat peka adalah masalah
identitas diakronis. Memang, agar saya dapat mengatakan bahwa
303

sebuah satuan telah bertahan untuk tetap sama, atau bahwa


sambil bertahan sebagai satuan yang berciri^ satuan tersebut telah
berubah bentuk atau makna — karena gejala kemungkinan itu
memang ada — saya harus tabu apa pijakan saya untuk menyata-
kan bahwa sebuah unsur yang diambil dari suatu zaman, misalnya
kata Perancis chaud 'panas', adalah sama dengan sebuah unsur
yang diambil dari abad lain, niisalnya kata Latin calidum.
Menghadapi pertanyaan tersebut, besar kemungkinan
orang akan menjawab bahwa calidum telah berubah secara
teratur.menjadi chaud berkat hukum-hukum bunyi, dan oleh
karenanya chaud = calidum. Itu yang disebut identitas bunyi.
Demikian pula halnya dengan sevrer 'menghentikan pemberian
ASr dan separdre; sebaliknya orang akan mengatakan bahwa
fleurir 'mekar' tidak sama dengan florere (yang seharusnya
menimbulkan *flouroir), dan sebagainya.
Kaitan semacam itu nampak pada pandangan pertama
mencakup pengertian identitas diakronis pada umumnya.
Namun, sebenarnya tidak mungkin kalau bunyi memberikan
identitas pada dirinya sendiri. Mungkin benar kalau orang
mengatakan bahwa kata Latin mare pasti muncul dalam bahasa
Perancis dalam bentuk mer karena semua a menjadi e pada
kondisi-kondisi tertentu karena e tak bertekanan di akhir kata
luluh, dan sebagainya. Tetapi menyatakan bahwa hubungan a
e, e zero, dan sebagainyalah yang menimbulkan identitas,
adalah memutarbalikkan fakta karena justru sebaliknya: karena
ada kaitan mare: mer saya menilai bahwa a menjadi e, bahwa e
akhir luluh, dan sebagainya.
Jika dua orang yang berasal dari daerah yang berbeda di
Perancis, yang saitu mengatakan se fdcher 'marah', sedangkan
lainnya se fdcher, perbedaannya hanya sekunder dibandingkan
dengan fakta-fakta gramatikal yang memungkinkan kita menge-
nali satu satuan bahasa yang sama di dalam kedua bentuk yang
berbeda. Atau identitas diakronis dari dua kata yang begitu
berbeda seperti calidum dan chaud 'panas' hanya berarti
bahwa orang telah berpindah dari satuan yang satu ke satuan
yang lain melalui sederet identitas sinkronis di dalam wicara,
tanpa terputusnya hubungan di antara mereka karena adanya
304

perubahan bunyi secara berturut-turut. Itulah sebabnya mengapa


kami telah dapat mengatakan pada halaman|l99 bahwa sama
menariknya untuk mengetahui bagaimana Messieurs!'tuan-tuan'
yang diulang sekian kali secara berturut-turut di dalam suatu
pidato tetap sama dengan dirinya sendiri, dengan mengetahui
mengapa pas (sangkalan) sama dengan pas (substantiva), atau
sama pula dengan mengapa chaud 'panas' sama dengan calidum.
Masalah yang kedua itu sebenarnya hanya lanjutan dan kompli-
kasi dari masalah yang pertama.
LAMPIRAN

PADA BAGIAN KETIGA DAN KEEMPAT^®'

A. Analisis Subjektif dan Analisis Objektif

Analisis satuan-satuan bahasa, yang setiap saat dilakukan


oleh para penutur, dapat disebut analisis subjektif. Analisis
tersebut jangan dirancukan dengan analisis objektif yang berda-
sarkan sejarah. Di dalam sebuah bentuk seperti kata Yunani
hippos 'kuda' ahli tata bahasa membedakan tiga unsur: sebuah
akar, sebuah akhiraq dan sebuah desinens (hipp-o-s), sedangkan
orang Yunani sendiri hanya mendapati dua {hipp-os, lihat
halaman 265). Analisis objektif mengamati empat satuan bawah-
an di dalam amabds''V.au patut dicintai' (am-a-bd-s), sedangkan
orang Romawi memilih secara lain: amd-bd-s. Mungkin sekali
mereka melihat -bds sebagai fleksi utuh yang beroposisi dengan
akar kata. Di dalam kata-kata Perancis entier (Latin in-teger
'utuh'), enfant 'anak' (Latin in-fans 'yang tidak berbicara'),
enceinte 'hamil' (Latin in-cincta 'tanpa ikat pinggang'), ahli
sejarah bahasa melihat awalan yang sama, yaitu en- yang saniq
dengan in- privatif Latin. Sedangkan analisis subjektif para
penutur tidak melihatnya sama sekali.
Ahli tata bahasa sering tergoda untuk mengamati kekeli-
ruan di dalam analisis spontan bahasa, padahal sebenarnya
analisis subjektif tidak lebih keliru daripada analogi yang "keliru"
j(lihat halaman 276). Bahasa tidak keliru, hanya sudut pandang-
nya yang berbeda. Tidak ada ukuran yang sama antara analisis
306

yang dilakukan individu dan analisis ahli sejarah, meskipun


keduanya menggunakan prosedur yang sama: yaitu konfrontasi
deret-deret yang menunjukkan kesemenaan unsur. Keduanya
terbenarkan, dan masing-masing mempunyai valensinya sendiri,
namun akhirnya analisis para penuturlah yang penting karena
analisis tersebut didasarkan langsung pada fakta-fakta bahasa.
Analisis historis hanya merupakan turunan. Analisis terse
but pada dasarnya bertugas memproyeksikan konstruksi-kons-
truksi dari zaman-zaman yang berbeda pada satu bidang tunggal.
Sebagai seleksi spontan, analisis tersebut bertujuan mengenali
satuan-satuan bawahan yang masuk di dalam sebuah kata, hanya
saja analisis tersebut membuat sintesis dari semua pemilihan yang
terjadi sepanjang waktu, untuk dapat mencapai yang paling
kuno. Kata dapat dibandingkan dengan rumah yang telah diubah
sekian kali susunan dalamnya dan tujuannya. Analisis objektif
menjumlah dan menumpuk distribusi-distribusi yang berturutan
itUi namun bagi mereka yang tinggal di rumah tersebut, selalu
hanya satu. Analisis hipp-o-s yang dibahas di atas tidak keliru
karena kesadaran penutur yang melakukannya, hanya saja analis
tersebut bersifat 'anakronis'. Analisis tersebut berasal dari zaman
lain dari|zaman analisis dilakukan. Analisis hipp-o-s tidak
menyanggah hlpp-os dari bahasa Yunani klasik, tetapi kita tidak
boleh menilainya secara sama. Ini sama saja dengan sekah lagi
menunjukkan perbedaan radikal antara linguistik diakronis dan
sinkronis.
Dan hal itu bahkan memungkinkan kita untuk menyele-
saikan masalah metode yang masih mengambang di dalam
linguistik. Para filolog komparatis membagi kata-kata menjadi
akar, tema, akhiran, dan sebagainya, dan memberi mereka
valensi yang mutlak. Kalau kita membaca Bopp dan para
pengikutnya, kita mengira bahwa Yunani membawa suatu
perbekalan akar-akar dan akhiran-akhiran bersama mereka sejak
waktu yang tak dapat diingat lagi dan bahwa mereka bertugas
mengumpulkan kata-kata mereka dengan mengatakan bahwa
pater misalnya, bagi mereka adalah pa ditambah akhiran ter,
bahwa doso bagi mulut mereka merupakan kumpulan dari do
ditambah so ditambah desinens pelaku, dan sebagainya.
307

Kita perlu dan harus bergerak melawan penyimpangan


tersebut, dan jalan yang sangat tepat untuk bereaksi adalah:
amatilah apa yang terjadi di dalam bahasa-bahasa masa kini, di
dalam langue sehari-hari, dan jangan membuat proses apa pun
bagi periode-periode kuno, jangan mengamati gejala-gejala yang
kini tak teramati. Dan karena yang paling acap terjadi adalah
bahasa hidup tidak memungkinkan orang untuk melakukan
analisis seperti yang dilakukan Bopp, kaum Junggrammatiker,
yang teguh pada prinsip mereka, menyatakan bahwa akar, tema,
akhiran, dan sebagainya merupakan abstraksi nalar kita dan
bahwa, jika orang menggunakan pembedaan tersebut, itu
hanyalah untuk memudahkan penjelasan. Tetapi, kalau memang
tidak ada pembenaran bagi pemilihan dalam kategori-kategori
tersebut mengapa harus dilakukan pemilihan? Dan kalau orang
melakukannya, atas nama apa ia dapat menyatakan bahwa suatu
pemilihan seperti hipp-o-s, misalnya, lebih baik daripada pe
milihan lain seperti hipp-os?
Setelah melihat kekeliruan doktrin kuno, yang mudah
diterapkan, aliran baru berpuas diri dengan meletakkannya
dalam teori, sedangkan dalam prakteknya aliran tersebut tetap
merasa serba salah karena berada di dalam sebuah alat, ilmiah
yang bagaimana pun juga tidak mungkin diabaikannya. Begitu
orang bernalar mengenai "abstraksi" tersebut, orang melihat
bagian dari kenyataan yang diperlihatkannya, dan pembetulan
sangat sederhana pun eukup untuk menunjukkan makna yang
sah dan tepat kepada kepalsuan ahli tata bahasa tersebut. Kami
telah berusaha menjelaskan di atas, dengan memperlihatkan
bahwa, karena dipersatukan dengan analisis subjektif bahasa
hidup oleh hubungan dalam, analisis objektif mendapat tempat
yang sah dan pasti di dalam metode linguistik.

B. Analisis Subjektif dan Penentuan Satuan-satuan Bawahan

Untuk melakukan analisis orang hanya dapat menyusun


metode ataupun merumuskan definisi-definisi, setelah me-
nempatkan diri pada bidang sinkronis. Itulah yang ingin kami
tunjukkan melalui beberapa pengamatan bagian-bagian kata:
308

awalan, akar, kata dasar, akhiran, desinens^


Marilah kita mulai dengan desinens, yakni ciri fleksional
atau unsur yang berubah di akhir kata yang membedakan bentuk-
bentidc paradigma nominal atau verbid. Di dalam zeiignu-
mi, zeiignu-s, zeugnu-si, zeugnu-men, dan sebagainya 'saya
menambatkan (kuda, sapi, pada kereta)', desinens -mi, -s,
-si, dan sebagainya, terbatasi hanya karena desinens tersebut
beroposisi di antara mereka dan dengan bagian awal kata
(zeiignu-). Telah kita lihat (halaman 171 dan 213) mengenai
bentuk genitif bahasa Ceko ien yang beroposisi dengan bentuk
nominatif iena, bahwa tidak hadirnya desinens dapat memainkan
peran yang sama dengan desinens biasa. Oleh karena itu dalam
Yunani, zeiignul 'tambatkan' dioposisikan dengan zeugnu-te\
'silakan tambatkan', dan sebagainya, atau bentuk vokatif rhitorl
'Hai pembicara', dioposisikan dengan rhetor-os, dan sebagainya,
dalam bahasa Perancis mars (ditulis 'marche!''jalan'), dioposisi
kan dengan marso (dituliskan 'marchonsV 'mari kita berjalan'),
merupakan bentuk-bentuk fleksi berdesinens zero.
Melalui penghapusan desinens, didapatkan tema fleksi atau
kata dasar, yang secara umum adalah unsur lazim yang didapat
secara spontan dari pefbandingan sederet kata-kata yang se-
kerabat berfleksi maupun tidak, dan yang menyandang gagasan
yang sama bagi semua kata tersebut. Oleh karena itu dalam
bahasa Perancis, di dalam deret roulis 'gulungan' rouleau
'gelondong', rou/er 'menggulung', roulage 'penggulungan', roule-
ment'perputaran' orang dengan mudah mendapatkan kata dasar
rout-. Namun, analisis para penutur sering membedakan kata-
kata dari berbagai jenis, dasar atau lebih baik dari berbagai
tingkat di dalam kerabat kata yang sama. Unsur zeugnii, yang
didapat di atas dari zeugnu-mi, zeugnds, dan sebagainya adalah
kata dasar tingkat pertama. Unsur tersebut dapat diuraikan
karena jika dibandingkan dengan deret-deret lain {zeugnumi,
zeuktos, zedksis, zeukter, zugon, dan sebagainya di satu pihak,
zeugnumi, deiknumi, orniimi, dan sebagainya di lain pihak),
pembelahan zeug-nu tampil dari dirinya sendiri. Oleh karena itu
zeug- (dengan bentuk-bentuk alternasinya zeug-, zeuk-, zug-,
lihat halaman 274) merupakan kata dasar tingkat kedua, namun
309

unsur itu terkalahkan karena orang tidak dapat memilah lebifa


jauh dengan tnembandingkannya dengan bentuk-bentuk se-
kerabat.
Yang disebut akar adalah unsur terkalahkan tersebut dan
yang sama pada semua kata dari kerabat yang sama. Di samping
itu, karena pemilahan subjektif mana pun dan peniilahan
sinkronis hanya dapat memisahkan unsur-unsur materiil dengan
jalan menjajagi porsi makna yang merupakan bagian masing-
masing unsur, akar dalam hai ini merupakan unsur di mana
makna yang sama bagi semua kata sekerabat mencapai abstraksi
dan keumuman yang maksimum. Tentu saja ketidaktentuan
tersebut bervariasi dari akar ke akar, tetapi pada batas tertentu
hal itu tergantung pula dari tingkat keterkalahkan kata dasar:
semakin kata dasar mengalami pemilihan, semakin maknanya
berkesempatan menjadi abstrak. Oleh karena itu zeugmdtion
bermakna 'tambatan kecil', zeugma 'tambatan' tanpa kepastian
yang jelas, terakhir zeug- mencakup gagasan tak pasti dari
'menambatkan'.
Nampaknya sebuah akar, sebagaimana adanya, tidak dapat
membentuk kata dan menerima penambahan sebuah desinehs
secara langsung. Sebenarnya kata selalu mengandung gagasan
yang relatif pasti, paling tidak dari sudut pandang tata bahasa.
Hal ini berlawanan dengan keumuman dan abstraksi yang
merupakan ciri akar. Bagaimana kita harus bemalar di hadapan
kasus yang sangat kerap di mana akar dan tema fleksi nampak
berbaur, seperti yang terlihat di dalam kata Yunani phldks,
gcmtif phlogds 'nyala', dibandingkan dengan akar phleg-: phlog-
yang terdapat pada semua kata yang sekerabat (bandingkan
kepada phleg-6, dan sebagainya)? Bukankah hal itu bertentangan
dengan pembedaan yang baru saja kita susun? Tidak, karena kita
harus membedakan phleg-: phlog- dalam pengertian umum dan
phlog- yang bermakna khusus, dengan akibat kita hanya menga-
mati bentuk materiilnya dan mengesampingkan maknanya. Un
sur bunyi yang sama di sini memiliki dua valensi yang berbeda;
jadi membentuk dua unsur bahasa yang berbeda (lihat halaman
196). Demikian pula halnya dengan zeugnii!'tambatkan!' di atas
yang nampak bagi kita sebagai sebuah kata berfleksi dengan
desinens zero sehingga kita mengatakari bahwa p/i/dg- 'nyala'
310

merupakan tema dengan akhiran zero. Tidak mungkin terjadi


perancuan: kata dasar tetap berbeda dari akarnya, meskipun dari
segi bunyi kedua unsur tersebut sangat serupa.
•Jadi, akar merupakan kenyataan bagi kesadaran para
penutur. Memang benar bahwa mereka tidak selalu memilahnya
dengan ketepatan yang sama; terdapat perbedaan hubungan di
dalam lingkungan bahasa yang sama atau di dalam bahasa-bahasa
yang berbeda.
Di dalam beberapa idiom, ciri-ciri yang pasti menandai
akar bagi perhatian para penutur. Misalnya, di dalam bahasa
Jerttian, akar memiliki aspek yang cukup seragam, hampir
semuanya monosilabis (bdk. streit-, bind-, haft-, dan sebagainya)
dan mematuhi aturan-aturan struktur tertentu: fonem-fonem
tidak muncul dalam sembarang susunan; beberapa kombinasi
konsonan seperti oklusif + bunyi alir tidak pernah berada di
akhir kata: werk- mungkin, wekr- tidak mungkin: kita menjumpai
helf-, werd-, namun tak akan ada hefl-, wedr.
Perlu diingat bahwa alternasi teratur, terutama dr antara
vokal, terasa lebih menguatkan meskipun tidak melemahkan
perasaan adanya akar dan satuan-satuan bawahan pada umum-
nya. Pada titik tersebut pula, bahasa Jerman, dengan permainan
variasi ablautnya (lihat halaman 269-270)sangat berbeda dengan
bahasa Perancis. Akar-akar dalam bahasa-bahasa Semit, pada
tingkatan yang lebih tinggi lagi, mempunyai ciri yang sama.
Alternasi dalam bahasa-bahasa tersebut sangat teratur dan
menetapkan sejumlah besar oposisi yang rumif (bandingkan
dengan bahasa Ibrani qdtal, qtaltem, qtol, qitlu, dan sebagainya,
yakni perwujudan verba yang sama yang bermakna "membunuh")
Lagi pula alternasi tersebut merupakan ciri yang mengingatkan
kita pada monosilabisme Jerman, tetapi lebih mencolbk: alterna
si tersebut selalu mencakup tiga konsonan (lihat halaman 371
berikut ini).
Dalam hubungan tersebut, bahasa Ferancis sama sekali
berbeda. Bahasa itu memiliki sedikit alternasi dan di samping
akar-akar monosilabis (roul-, march-, mang-), memiliki juga
banyak akar yang terdiri dari dua dan bahkan tiga suku kata
(commenc-, hesit-, epouvant-). Lagi pula bentuk-bentuk akar
tersebut menyediakan kombinasi-kombinasi yang terlalu ber
beda, terutama pada akhir kata, untuk dapat takluk di bawah
311

aturan (bandingkan kepada tu-er, regn-er, guid-er, grond^er,


souffl-er, tard-er, entr-er, hurl-er, (membunuh, memerintah,
membimbing, tnemarahi, meniup, memperlambat, masuk, ber-
teriak), dan sebagainya). Jadi,jangan heran kalau perasaan akan
adanya akar sangat sedikit di dalam bahasa Perancis.
Penentuan akar diimbangi dengan penentuan awalan dan
akhiran. Awalan mendahului bagian kata yang disebut kaita
dasar, misalnya hupo- di dalam bahasa Yunani hupo-zeiignumi.
Akhiran adalah unsur yang ditambahkan pada akar untuk
membentuk kata dasar (misalnya: zeug-mat-), atau ditambahkan
pada kata dasar pertama untuk membentuk kata dasar tingkat
kedua (misalnya zeugmat-io-). Telah kita lihat di atas bahwa
unsur tersebut, seperti juga desinens, dapat diungkapkan dengan
zero. Jadi, penyarian akhiran hanya merupakan satu muka dari
analisis kata dasar.
Akhiran kadangkala memiliki makna konkret, valensi
semantis, seperti dalam zeuk-ter-, atau -ter- bermakna pelaku,
pelaku tindakan, kadangkala memiliki fungsi gramatikal murni,
seperti dalam zeugnu(-mi), di mana -nu- menandai gagasan kala
kim. Awalan dapat juga memainkan salah satu peran di atas,
tetapi bahasa-bahasa kita jarang memberinya fungsi gramatikal.
Misalnya, ge- dari past participle Jermanr {ge-setzt, dan sebagiai-
hya), awalan-awalah perfektif bahasd Slavia(Rusia na-pisdt', dan
sebagainya).
Awalan juga berbeda dengan akhiran karena sebuah ciri
yang, meskipun tidak mutlak, bersifat cukup umum: awalan lebih
terbatasi karena lebih mudah dipisahkan dari keseluruhan kata.
Hal ini disebabkan oleh kodrat unsur tersebut; pada sebagian
besar kasus,.apa yang tersisa setelah penghapusan sebuah awalan
adalah sebuah kata berbentuk (bandingkan kepada recommencer
'mulai lagi': commencer 'mulai', indigne 'tak pantas'; digne
'pantas', maladroit'canggung': adroit'terampii', cqntrepoids'im-
bangan': poids 'berat', dan sebagainya). Hal itu lebih mencoioic
lagi di dalam bahasa Latin, Yunani, dan Jerman. Perlu ditam
bahkan bahwa sejumiah awalan berfungsi seperti kata bebas:
bandingkan dengan bahasa Perancis contre 'kontra', mal'buruk,
avant 'sebelum', sur 'di atas', bahasa Jerman unter, vor, dan
sebagainya, Yunani kata, pro, dan sebagainya. Halnya berbeda
312

sekali untuk akhiran: kata dasar yang diperoleh dari penghilang-


an unsur tersebut merupakan kata yang tidak lengkap; misalnya
bahasa Perancis organisation 'organisasi'; organis- (organisasi),
bahas'a Jerman Trennung: trenn-, bahasa Yunani zeugma: zeug-,
dan sebagainya, dan di lain pihak, akhiran sendiri tidak memiliki
kehadiran otonom.
. Alhasil, paling sering kata dasar sudah dibatasi di awal
penggunaannya sebelum dibandingkan dengan bentuk-bentuk
lain, penutur tahu di mana menempatkan batas antara awalan
dan apa-apa yang mengikutinya. Sedangkan bagi akhir kata,
halnya tidak sama: di sini tak ada satu batas pun yang dipaksakan
di luar konfrontasi bentuk-bentuk yang memiliki kata dasar yang
sama atau akhiran yang sama, dan perbandingan tersebut
menghasilkan pembatasan yang bervariasi sesuai dengan kodrat
kata-kata yang dibandingkan.
Dari sudut pandang analisis subjektif, akhiran dan kata
dasar hanya bemilai karena adanya oposisi sintagmatis dan
.asosiatif: dapat saja, sesuai dengan kemunculannya, kita mene-
mukan sebuah unsur pembentuk dan sebuah unsur dasar di
dalam dua bagian yang beroposisi di dalam sebuah ka^, apa pun
bagian-bagian itu, asalkan mereka menimbulkan oposisi. Di
dalam kata Latin dictdtorem, misalnya, orang akan melihat
sebuah kata dasar dictdtdr-(em), kalau dibandingkan dengan
consul-em, ped-em, dan sebagainya. Tetapi orang akan men-
dapatkan kata dasar dictd-(tdrem)jika orang membandingkannya
dengan lic-to-rem, scrip-torem, dan sebagainya; sebuah kata
dasar dic-(tdtdrem), jika orang ingat pada pd-tdtdrem, cantd-
tdrem. Secara umurn dan dalam keadaan-keadaan yang mengun-
tungkan, penutur dapat dibawa untuk melakukan pemilihan apa
pun (misalnya: dictdt-drem, sesuai dengan am-drem, ard-drem,
dan sebagainya, dictdtdrem, sesuai dengan of-dtdrem, ar-
dtdrem, dan sebagainya). Kita tahu (lihat halaman 287) bahwa
hasil dari analisis-analisis spontan tersebut terungkap di dalam
pembentukan analogis di setiap zaman. Analisis itulah yang
memungkinkan kita untuk membedakan satuan-satuan bawahan
(akar, awalan, akhiran, desinens) yang disadari oleh langue dan
valensi yang mengikatnya.
313

C. Etimologi290

Etimologi bukan disiplin yang terpisah atau bagian dari


linguistik evolutif; etimologi hanyalah penerapan khusus dari
prinsip-prinsip yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sinkro-
nis maupun diakronis. Etimologi menelusuri masa lalu kata-
kata sampai menemukan sesuatu yang menjelaskan kata-kata
tersebut.
Apabila orang berbicara tentang asal-usul sebuah kata dan
orang mengatakan bahwa kata tersebut 'berasal' dari kata lain,
ini dapat bermakna macam-macam: misalnya sel 'garam' berasal
dari kata Latin sal karena perubahan bunyi biasa; labourer
'mengerjakan tanah' berasal dari kata Perancis kuno labourer
yang maknanya 'bekerja pada umumnya', di sini terjadi perubah
an makna. Couver 'mengerami' berasal dari kata Latin cubSre
'ditiduri', setelah mengalami perubahan bunyi maupun makna.
Terakhir apabila orang mengatakan pomrnier berasal dari
pomme, orang mendapati hubungan derivasi gramatikal. Dalam
ketiga kasus pertama orang berusaha dengan identitas diakronis,
sedangkan dalam kasus keempat terletak pada hubungan sinkro-
nis dari sejumlah kata yang berbeda: padahal apa yang telah
dijelaskan mengenai analogi menunjukkan bahwa justru di
situlah bagian terpenting dalam penelitian etimologis.
Etimologi dari bonus tidak ditetapkan karena berasal dari
dvenos. Tetapi, jika orang menemukan bahwa bis berasal dari
dvis dan bahwa dari situ orang dapat menyusun hubungan dengan
duo, hal tersebut dapat disebut kegiatan etimologis. Demikian
pula halnya dengan pembandingan oiseau 'burung' dengan
avicellus karena pembandingan tersebut memungkinkan kita
untuk menemukan kembali hubungan yang mempersatukan
oiseau dengan avis.
Jadi, pada dasarnya etimologi adalah penjelasan kata-kata
melalui penelitian hubungan-hubungannya dengan kata-kata
lain. Menjelaskan berarti; menghubungkan dengan istilah-istilah
yang telah dikenal, dan di dalam linguistik menjelaskan sebuah
kata, adalah menghubungkannya dengan kata-kata lain, karena
tidak selalu perlu ada hubungan antara bunyi dan makna (prinsip
kesemenaan tanda, lihat halaman 148).
314

Etimologi tidak berpuas diri dengan menjelaskan kata-kata


terpisah, ia menyusun sejarah kerabat kata dan juga menyusun
sejarah unsur-unsur pembentuk, awalan, akhiran, dan seba-
gainya.
Seperti linguistik statis dan evolutif, etimologi mendeskrip-
sikan fakta-fakta, namun deskripsi tersebut tidak metodis
karena tidak dilakukan pada arah tertentu. Untuk menelaah
sebuah kata yang diambil sebagai objek penelitian, etimologi
meminjam informasi dari fonetik, morfologi, semantik dan
sebagainya. Untuk mencapai tujuannya, etimologi menggunakan
segala sarana yang disediakan linguistik, namun ia tidak meng-
hentikan perhatiannya pada kodrat kegiatan yang harus dilaku-
kannya.

Catalan

1. F. de Saussure tidak menelaah, paling tidak dari sudut pandang sinkronis,


masalah kata majemuk. Jadi. masalah tersebut hams ditunda sama sekali.
Jelas bahwa pembedaan diakronis, yang diletakkan di atas, di antara bentuk-
bentuk komposisi dan aglutinasi tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
adanya di sini karena yang dibicarakan adalah keadaan bahasa. Hampir
tidak perlu dijelaskan sebenarnya bahwa penyajian tersebut, yang menelaah
satuan-satuan bawahan, tidak berpretensi mehyelesaikan masalah yang lebih
peka yang dikemukakan pada halaman 195 dan 203, yaitu mengenai definisi
kata yang ditelaah sebagai satuan. (Penyunting)
BAGIAN KEEMPAT

LINGUISTIK GEOGRAFIS
BAB I

KEBINEKAAN LANGUW'

Dengan menelaah masalah hubungan gejala bahasa dengan


ruang, kita meninggalkan linguistik intern untuk memasuki
linguistik ekstern, seperti yang telah disebutkan Jalam Pasal 5
dari Pendahuluan.
Yang mencolok dalam penelitian langue, pertama adalah
kebinekaannya, yaitu perbedaan bahasa yang nampak begttu kita
lewat dari negeri yang satu ke negeri yang lain atau, bahkan dari
daerah yang satu ke daerah yang lain. Keanekaragaman dalam
waktii acap kali tidak terlihat oleh peneliti, tetapi keaneka
ragaman dalam ruang segera terlihat; masyarakat primitif pun
merasakanhya berkat hubungan mereka dengan suku-suku lain
yang menggunakan bahasa yang berbeda. Justru karena perbe
daan inilah suatu masyarakat sadar akan idiom yang dimilikinya.
Perlu dicatat pula bahwa perasaan itu menimbulkan ang-
gapan pada masyarakat primitif bahwa langue merupakan kebia-
saan, tradisi yang sama dengan tradisi pakaian atau persenjataan.
Istilah idiom memang sangat tepat digunakan untuk menyebut
langue sebagai pencerminan ciri-ciri khusus_ suatu masyarakat
(dalam bahasa Yunani idioma berarti "tradisi khusus"). Ini adalah
suatu gagasan yang benar, tetapi kemudian disalahartikan; ketika
318

orang sampai memandang tangue bukan sebagai atribut


bangsa, melainkan sebagai atribut ras, seperti juga warna kulit
atau bentuk kepala.
ferlu ditambahkan pula bahwa setiap bangsa menganggap
idiomnya melebihi idiom lain. Orang yang menggunakan langue
lain otomatis dianggap tidak bisa berbieara sehingga kata
Yunani bdrbaros muncul dengan makna 'gagap', sama dengan
kata Latin balbus. Dalam bahasa Rusia, orang Jerman disebut
Nemtsy yang artinyaj'si bisu'.
Itu sebabnya mengapa kebinekaan geografis menjadi tema
pertama dalam linguistik; perbedaan ini menandai awal peneli-
tian ilmiah mengenai langue, bahkan yang dilakukan oleh orang
Yunani sekali pun. Memang benar bahwa mereka hanya menga-
mati variasi yang terdapat dalam berbagai dialek Helenia, tetapi
pada umiimnya pusat minat mereka hampir-hampir tidak melam-
paui batas-batas negeri Yunani sendiri.
Setelah menyadari bahwa dua langue berbeda, orang secara
naluriah menemukan analogi di dalamnya. Hal ini merupakan
kecenderungan yang wajar pada diri penutur. Para petani suka
membandingkan patois mereka dengan patois di daerah tetangga;
orang yang fasih berbagai langue menyadari adanya kesamaan-
kesamaan dalam berbagai langue tersebut. Tetapi, yang meng-
herankan, ilmu itd sendiri sangat lambat di dalam mengkaji
kenyataan-kenyataan tersebut. Oleh karenanya hanya orang
Yunani yang telah mengamati banyaknya kesamaan di antara
kosakata Latin dan kosakata mereka, namun meteka tidak
berhasil menarik kesimpulan linguistik apa pun.
Dalam kasus-kasus tertentu, pengamatan ilmiah atas ana
logi ini menunjukkan bahwa dua atau sejumlah idiom dipersatu-
kan oleh suatu ikatan kekerabatan, artinya berbagai langue itu
memiliki asal yang sama. Sekelompok /angue yang dihubungkan
dengan cara itu disebut satu rumpun; linguistik modern telah
mengakui adanya rumpun Indo-Eropa, Semit, Bantu', dan Iain-
lain. Langue-langue yang serumpun itu kemudian dapat saling
diperbandingkan dan acapkali huburigan kekerabatan yang lebih
luas dan lebih kuno dapat juga ditemukan. Orang mencoba
menemukan analogi antara analogi rumpun Finno-Ugrika? dan
rumpun Indo-Eropa, antara rumpun Indo-Eropa dan rumpun
319

Semit, dan seterusnya. Tetapi perbandingan semacam itu segera


terbentur pada hambatan yang tak tertembus. Jangan kita
mengacaukan antara yang mungkin diperlihatkan dan yang dapat
diperlihatkan. Hubungan universal antara berbagai langue tidak
mungkin ada, tetapi memang seperti anggapan seorang ahli
iinguistik Italia, Trombetti'^, hubungan itu tidak mungkin dibuk-
tikan karena besarnya perubahan yang terjadi.
Jadi, di samping kebinek^an di dalam rumpun, terdapat
kebinekaan mutlak, tanpa hubungan kekerabatan yang dapat
dikenali,atau ditunjukkan. Metode Iinguistik apa yang mungkin
digunakan bagi masing-masing kasus tersebut?
Mari kita mulai dari yang kedua, yang paling sering terjadi.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, ada langue dan rumpun-
rumpun langue yang tak terbatas jumlahnya yang masing-masing
tidak mungkin dipertemukan. Misalnya antara bahasa Cina'dan
bahasa-bahasa Indo-Eropa. Hal ini tidak berarti bahwa perban
dingan harus dikesampingkan, perbandingan tetap mungkin
dilakukan dan tetap ada gunanya, baik perbandingan tata bahasa
dan bentuk-bentuk umum yang mengutarakan pikiran, maupun
sistem tata bunyi. Perbandingan dapat dilakukan pada peristiwa-
peristiwa yang sifatnya diakronis, seperti evaluasi fonetis dari dua
langue, dan Iain-lain. Berdasarkan pemikiran itu, kemungkinan-
kemungkinan yang jumlahnya tak terhitung hanya terbatas pada
beberapa data konstan, fonis maupun psikis, yang membentuk
langue. Dan sebaliknya, penemuan data konstan yang merupa-
kan tujuan utama perbandingan mana pun, dilakukan atas
berbagai langue yang tidak dapat saling dipertemukan.
Sedangkan kategori kebinekaan yang pertama, yaitu yang
terdapat di dalam berbagai langue serumpun, membuka bidang
perbandingan yang tidak terbatas. Dua buah langue dapat
berbeda tingkat perbedaannya: ada yang kesamaannya menak-
jubkan, seperti bahasa Zend dan Sanskerta, atau ada yang
nampak berbeda sama sekali, seperti bahasa Sanskerta dan
bahasa Irlandia; segala nuansa di tingkatan antara mungkin saja
terjadi: oleh karenanya bahasa Yunani dan Latin lebih berdekat-
tan daripada antara keduanya dengan bahasa Sanskerta, dan
seterusnya. Berbagai langue yang tingkat perbedaannya sangat
320

rendah disebut dialek: tetapi janganlah kka memberi makna bagi


istilah ini secara kaku dan pasti; kita akan melihat pada halaman
334 bahwa di antara dialek dan langue terdapat perbedaan
jumlah, bxikan perbedaan kodrat.

Catalan
1. Bantu adalah sekumpulan langue yang digunakan suku-suku bangsa
di Afrika bagian selatan garis khatulistiwa, misalnya suku Kafir.
(Penyunting)
2. Rumpun Fino-Ugrika yang mencakup antara lain bangsa Suomi,
Mordvin, Lapon, dan Iain-Iain, adalah rumpun langue yang diguna
kan di Rusia Timur dan Siberia, dan pasti berasal dari bahasa
primitif yang sama. Rumpun tersebut berhubungan dengan kelom-
pok yang sangat besar, yaitu bahasa-bahasa Uralo-Altaik yang
belum terbukti asalnya, meskipun telah ditemukan sejumlah ciri
yang sama di dalam masing-masing langue.
3. Lihat karyanya I'Unita d'origine del linguaggio, Bologna, 1905.
(Penyunting)
BAB II

KOMPLIKASI KEBINEKAAN GEOGRAFIS^'^

1. Koeksistensi Sejumlah Bahasa di Wilayah yang Sama

Sampai di sini kebinekaan geografis (Htampilkan dialam


bentuk yang ideal: sekian daerah, sekian langue yang berbeda.
Dan kita dapat mengatakan demikian karena pemisahan geogra
fis tetap merupakan faktor paling lazim bagi kebinekaan bahasa.
Mari sekarang kita telaah kenyataan sekunder yang muncul
mengacaukan hubungan tersebut dan yang menghasilkan koek
sistensi sejumlah langue di daerah yang sama.
Masalahnya di sfm bukan percampuran riil, organis, dari
dua langue yang saling menembus dan menghasilkan perubahan
di dalam sistem (bandingkan dengan bahasa Inggris setelah
kemenangan bangsa Normandia). Bukan pula sejunrilah langue
yang nyata terpisah secara teritorial, tetapi yang tercakup dalam
batas-batas sebuah negara politis, seperti kasus Swiss. Kaini
hanya akan menelaah dua langue yang dapat hidup berdamping-
an di satu daerah dan hidup bersama tanpa bercampur. Hal ini
sering terjadi, namun kita perlu membedakan dua hal.
Pertama, dapat terjadi bahwa langue suatu masyarakat
yang baru datang menambah langue rhasyarakat pribumi.
Misalnya di Afrika Selatan, di samping sejumlah dialek Afrika,
hadir bahasa Belanda dan bahasa Inggris, sebagai hasil pen-
jajahan yang terjadi berturut-turut, sama halnya dengan bahasa
322

Spanyol yang melembaga di Meksiko. Jangan dikira bahwa


penginjak-injakan langue yang semacam itu merupakan kekha-
san zaman niodern. Setiap saat terlihat bangsa-bangsa yang
bercampur tanpa percampuran bahasa. Kasus yang jelas adalah
peta Eropa yang mutakhir; di Irlandia digunakan bahasa Kelt dan
Inggris, banyak orang Irlandia yang fasih dalam kedua langue
tersebut. Di Bretagne digunakan bahasa Breiz dan bahasa
Perancis; di daerah Baska, bahasa Perancis dan bahasa Spanyol
digunakan bersama bahasa Baska. Di Finlandia, bahasa Swedia
dan bahasa Finlandia hidup bersama sejak lama, bahasa Rusia
ditambahkan kemudian; di Kurlandia dan di Livonia digunakan
bahasa Lette, Jerman dan Rusia; bahasa Jerman, yang diimpor
oleh para pendatang yang datang pada abad pertengahan di
bawah pengaruh kelompok Hausea, dipakai oleh lapisan khusiis
di dalam masyarakat; kemudian bahasa Rusia diimpor melalui
jalan penaklukan. Lituania mehgalami masuknya bahasa Polan-
dia di samping bahasa Lituania sebagai akibat persatuan dengan
Polandia, dan bahasa Rusia sebagai hasil penyatuan di'bawah
kekaisaran Moskwa- Sampai abad XVIII, bahasa Slavia dan
Jerman digunakan di daerah timur Jerman mulai dari sungai
Elba. Di bebefapa negeri percampuran langue-langue lebih
banyak lagi; di Macedonia ditemukan semua bahasa yang dapat
dikenal: bahasa Turki, Bulgaria, Serbia, Yunani, Albania,
Rumania, dan sebagainya, bercampur dengan berbagai cara,
tergantung daerahnya.
Langue-langue tersebut tidak selalu bercampur secara
mutlak; koeksistensi mereka di dalam daerah tertentu tidak
menghalangi kemungkinan pemilahan daerah. Bisa terjadi misal-
nya, dari d\x& langue, yang satu digunakan di kota-kota, sedang-
kan yang lain digunakan di desa-desa; tetapi pemilahan itu tidak
selalu jelas.
Di zaman kuno, sama gejalanya. Seandainya kita memiliki
peta bahasa kekaisaran Romawi, peta tersebut akan menampil-
kan fakta yang serupa dengan zaman modern. Itu sebabnya di
Campania, menjelang akhir pemerintahan Republik orang meng-
gunakan bahasa Osko seperti yang tercatat dalam prasasti
Pompei; bahasa Yunani yang merupakan langue kelompok
masyarakat yang mendirikan Napoli, dan Iain-lain; bahasa Latin
323

bahkan mungkin bahasa Etruski karena bangsa Etruski pernah


berkuasa di daerah itu sebelum kedatangan bangsa Romawi. Di
Kartago, bahasa Punique atau Fenisia tetap bertahan di samping
bahasa Latin (bahasa itu masih hidup pada zaman penyerbuan
bangsa Arab), belum lagi bahasa Numid yang pasti digunakan di
daerah itu. Dapat dikatakan bahwa pada zaman kuno, di seluruh
wilayah Laut Tengah, negeri-negeri yang b^xlangue tunggal
merupakan perkecualian.
Yang paling acap terjadi, bertumpuknya langue-langue
adalah disebabkan oleh penyerbuan bangsa yang lebih besar
kekuatannya tetapi ada juga yang disebabkan oleh penjajahan,
dan penyusupan secara damai; kemudian ada kasus suku-suku
pengembara yang membawa languenya ke mana pun. Itulah yang
dilakukan oleh bangsa Tsigana yang menetap di Hongaria dan
membangun desa yang kuat. Fenelitian mengenai langue mereka
menunjukkan bahwa besar kemungkinan mereka datang dari
India pada zaman yang tidak diketahui. Di daerah Dobroudja, di
muara sungai Donau, terdapat desa-desa Tatar yang terpencar,
yang memarkah noda-noda di peta bahasa daerah itu.

2. Bahasa Sastra dan Bahasa Lokal

Apa yang telah dijelaskan di atas belum mencakup seluruh


kenyataan: kesatuan bahasa dapat dihancurkan apabila suatu
idiom alamiah mendapat pengaruh dari bahasa sastra. Hal itu
pasti terjadi setiap kali suatu masyarakat mencapai tingkatan
peradaban tertentu. Yang kami maksud dengan "bahasa sastra"
bukan hanya bahasa kesusasteraan, melainkan, dalam pengertian
yang lebih umum, segala Jenis bahasa halus, resmi atau tidak,
yang digunakan oleh seluruh masyarakat. Dilihat dari kodratnya,
langue hanya mengenai dialek-dialek yang tidak saling menguasai
dan oleh karenanya langue memiliki variasi yang tak terbatas.
Tetapi, karena peradaban dalam perkembangannya melipatgan-
dakan komunikasi, orang memilih berdasarkan semacam kon-
vensi tak tertulis, salah satu dialek yang ada dan menjadikannya
alat penghubung bagi segala keperluan dan digunakan oleh
324

seluruh bangsa. Motif pemilihan itu bermacam-macam: kadang-


kadang orang memilih dialek daerah yang paling maju peradab-
annya, kadang-kadang daerah yang memiliki kekuasaan politis
tempat kedudukan kekuasaan pusat; kadang-kadang ada kalang-
an istana yang memaksakan languenya kepada seluruh bangsa.
Sekali suatu dialek diangkat ke tingkat bahasa resmi dan umufn,
dialek tersebut jarang dapat mempertahankan bentuk aslinya.
Unsur-unsur dialek daerah lain akan berbaur di dalamnya, dan
dialek itu semakin lama semakin heterogen, namun tanpa
kehilangan ciri asalnya: misalnya di dalam bahasa Pefancis sastra
tampak jelas hadirnya dialek Ile-de-France, sedangkan dialek
Toskani hadir di dalam bahasa Italia. Meskipun demikian,
bahaSa sastra tidak melembaga dalam waktu singkat, dan
sebagian besar anggota masyarakat berdwibahasa, mereka sekali-
gus menguasai bahasa umum dan patois daerah masing-masing.
Itulah yang sering tampak di daerah-daerah Perancis, misalnya di
Savoie bahasa Perancis merupakan langue yang diimpor dan
belum menyingkirkan patois daerah tersebut. Kejadian yang
sama lazim terjadi di Jerman dan Italia, atau di mana pun dialek
bertahan di samping bahasa resmi.
Keadaan yang sama terjadi mengikuti jalannya waktu, di
dalam masyarakat mana pun yang mencapai tingkatan peradaban
tertentu. Bangsa Yunani memiliki bahasa A:o/n^, yang berasa^l
dari bahasa Attika dan Ionia, dan di samping koine ini, dialek-
dialek daerah tetap hidup. Bahkan di zaman Babilonia kuno,.
diperkirakan ada satu bahasa resmi di samping dialek-dialek.
Apakah bahasa umum harus memiliki bentuk aksara
tertentu? Puisi Homerus membuktikan yang sebaliknya. Meski
pun puisi tersebut lahir di zaman yang belum atau sedikit sekali
menggunakan aksara, langue yang digunakan bersifat kbnvensio-
nal dan memiliki segala ciri bahasa sastra.
Peristiwa-peristiwa yang dipermasalahkan dalam pasal ini
begitu acap terjadi sehingga dianggap sebagai sesuatu yang
wajar di dalam sejarah langue. Namun, kami perlu membuat
abstraksi dari segala yang mengaburkan kebinekaan geografis
alamiah, untuk dapat menelaah gejala pokok tanpa memperhati-
kan pemasukan bahasa asing dan pembentukan bahasa sastra.
Penyederhanaan skematis ini nampaknya tidak menggambarkan
325

kenyataan; namun kejadian alamiah hams ditelaah secara man-


diri terlebih dahulu.
Berdasarkan prinsip yang kami anut, kami misalnya akan
menyebut Brussel sebagai daerah Germania karena kota terse-
but terletak di Belgia bagian bahasa Vlams. Meskipun di kota itu
digunakan juga bahasa Perancis, satu-satunya hal yang penting
bagi kami adalah garis demarkasi antara daerah Vlams dan
daerah Walton. Demikian pula, kalau dilihat dari sudut pandang
yang sama, Liege harus dianggap sebagai daerah Roman, karena
terletak di daerah Wallon; bahasa Perancis hanyalah bahasa asing
yang ditumpukkan pada dialek yang masih serumpun. Demikian
pula Brest secara kebahasaan menjadi bagian Breton; paidahal
bahasa Perancis yang digunakan berbeda sama sekali dengan
langue penduduk asli Bretagne; Berlin tempat bahasa Jerinan
Tinggi satu-satunya bahasa yang digunakan, dikelompokkan
dalam daerah Jerman Rendah, dan seterusnya.
BAB III

SEBAB-SEBAB KEBINEKAAN GEOGRAFIS^*^^

I. Waktu,sebagai Penyebab Utama

Kebinekaan mutlak (lihat halaman 317-318) menimbulkan


masalah yang spekulatif. Sebaliknya kebinekaan dalam rumpun
meletakkan kita pada bidang pengamatan dan dapat diarabkan
ke kesatuan. Oleh karenanya bahasa Perancis dan bahasa daerah
Selatan, keduanya berasal dari bahasa Latin pasar, yang berkem-
bang secara berbeda di bagian utara dan di bagian selatan Galia.
Asal langue-langue tersebut yang sama, merupakan basil idari
perwujudan peristiwa-peristiwa.
•Untuk memabami dengan baik bagaimana semua itu
terjadi, mari kita bayangkan kondisi teoretis yang sesederbana
mungkin, yang memungkinkan kita untuk menelaab penyebab
utama dari pembedaan dalam ruang, dan mari kita kaji apa yang
mungkin terjadi seandainya 7angue yang digunakan di daerab
yang begitu terbatas - sebuab pulau kecil misalnya -dibawa oleb
kelompok-kelompok manusia ke daerab lain, yang juga terbatas,
misalnya sebuab pulau lain. Pada suatu saat akan nampak rr;uncul
di antara langue kelompok pertama (F) dan langue kelompok
kedua (FO keanekaragaman dalam !kosakata, tata babasa, lafal,
dan Iain-lain.
Jangan membayangkan bahwa langue yang dipindabkan
adalab satu-satunya yang berubab,sedangkan langue masyarakat
asli tetap sama; keadaan yang sebaliknya pun tidak mutlak
o^O
327

terjadi. Suatu pembaharuain mungkin terjadi di pihak yang satu


atau di pihak yang Iain, atau sekaligus pada keduanya. Bila suatu
ciri bahasa a dapat digantikan oleh ciri yang lain (b, c, d, dan
sebagainya), pembedaan dapat terjadi dengan tiga cara:

a (kerabat F)
<

a (kerabat F')

Oleh karenanya, pengkajian tidak dapat dilakukan secara unila


teral, pembaharuan pada kedua/angue sama pentingnya.
Apa yang menciptakan perbedaan-perbedaan tersebut?
Bila kita mengira bahwa ruang adalah satu-satunya yang
menyebabkan perbedaan, kita menjadi korban ilusi. Ruang itu
sendiri tidak dapat berbuat banyak terhadap langue. Esok hari
setelah pendaratan di F', kelompok-kelompok yang datang dari F
masih menggunakan langue yang sama dengan yang mereka
gunakan sehari sebelumnya. Drang melupakan faktor waktu
karena waktu tidak sekonkret ruang; namun kenyataannya,
waktulah penyebab perbedaan bahasa. Kebinekaan geografis
harus dijelaskan berdasarkan perbedaan waktu.
Misalnya ada dua ciri yang berbeda b dan c. Tidak pernah
orang berpindah dari 6 ke c atau dari c ke b. Untuk menemukan
Jalur dari kesatuan ke kebinekaan, orang harus menelusuri
sampai ke asal b dan c. yaitu a; a lah yang menjadi tempat
bentuk-bentuk terdahulu sehingga skema pembedaan geografis
yang berlaku bagi semua kasus yang serupa adalah;
328

F F'

a <—> a

i i
b c

Pemisahan kedua idiom tersebut adalab bentuk gejala yang


teraba, tetapi tidak dapat menjelaskap gejala itu. Mungkin
sekali, peristiwa bahasa ini tidak perlu dibedakan berdasarkan
keanekaragaman tempat walau sekecil apa pun perbedaannya,
tetapi secara mandiri jarak tidak menciptakan perbedaan. Isi
tidak dapat dihitung dengan luas, tetapi hanya mungkin dengan
bantuan dimensi ketiga, yaitu tinggi. Demikian pula skema
perbedaan geografis, yang baru lengkap apabila diproyeksikan
dalam waktu.
Fendapat di atas akan disanggah dengan alasan bahwa
keanekaragaman lingkungan, iklim, relief tanah, tradisi khas
(misalnya pada masyarakat pegunungan dan pada masyarakat
pesisir), dapat mempengaruhi/angue, maka dalam hal ini variasi
yang diteliti tergantung dari letak geografis. Penga'ruh-pengaruh
tersebut memang tak terbantah (lihat halaman 255); meskipun
demikian bila sudah terbukti, kita masih perlu melakukan
pembedaan di sini. Arah gerakan memang ditentukan oleh
lingkungan, arah itu ditetapkan oleh ketidaktentuan yang terjadj
pada segala hal tanpa dapat ditunjukkan maupun dideskripsikan.
Sebuah u berubah menjadiu pada suatu saat, di lingkungan .
tertentu, Tetapi, mengapa ia berubah pada saat itu dan di
lingkungan itu, dan mengapa ia menjadi ii ^an bukan o,
misalnya? Hal inilah yang tidak mungkin dijelaskan. Namun,
perubahan itu sendiri, terlepas dari arahnya yang khas dan
manifestasinya yang tertentu, atau dengan kata lain ketidaktetap-
an langue hanya nampak dalam waktu. Jadi, keanekaragaman
geografis merupakan aspek sekunder dari gejala umum. Kesa-
tuan idiom-idiom yang serumpun hanya dapat ditemukan daltim
waktu. Itulah prinsip yang harus dihayati oleh ahli perbandingan,
jika ia tidak ingin menjadi korban ilusi yang menyesatkan.
329

2. Gerak Waktu di dalam Suatu WHayah yang Sinambung

Andaikata sekarang ada sebuah negeri ekabahasa, artinya


di mana masyarakatnya berbahasa seragam dan populasinya
tetap, misalnya Galia menjelang tahun 450 setelah Masehi, saat
bahasa Latin melembaga kuat di seluruh negeri. Apa yang akan
terjadi?
1. Karena imobilitas mutlak tidak a^§ dalam langue (Uhat
halaman 158 dan seterusnya), setelah jangka waktu tertentu
langue tidak lagi serupa dengan bentuk semula.
2. Evolusi tidak akan seragam di seluruh daerah, tetapi bervari-
asi menurut tempat; orang tidak pernah menemukan langue
berubah secara sama di seluruh daerah tempat langue diguna-
kan. Sehingga bukan skenta;

melainkan skema

mm

yang menggambarkan kenyataan.


Bagaimana bermulanya dan terjadinya kebinekaan yang
berakhir dengan terciptanya berbagai bentuk dialek? Masalah ini
tidak sesederhana seperti kelihatannya'. Gejala itu memperlihat-
kan dua ciri pokok:
I. Evolusi berbentuk pembaharuan-pembaharuan yang ber-
turutan dan cermat, dan membentuk begitu banyak fakta yang
terpilah sehingga dapat ditelusuri, dideskripsi, dan diklasi-
fikasi berdasarkan kodratnya (fakta fonetis, leksikdlogis,
330

morfologis, sintaktis, dan sebagainya).


2. Masing-masing pembaharuan terjadi di wilayah tertentu,
dengan bentuk yang berbeda. Ada dua hal yang mungkin
terjadi: atau bentuk suatu pembaharuan meliputi seluruh
wilayah dan tidak menciptakan perbedaan dialektal apa pun
(hal yang paling Jarang terjadi); atau seperti yang lazim
terjadi, perubahan hanya terjadi di sebagian wilayah sehingga
setiap fakta dialektal memiliki bentuk yang khas. Hal-hal yang
telah kami utarakan di muka mengenai perubahan fonetis,
seharusnya dapat diterapkan pada pembaharuan mana pun.
Jika sebagian wilayah mengalami perubahan. dari a ke e\

mungkin saja bahwa perubahan dari ^ ke z terjadi di wilayah yang


sama, hanya saja dalam batasrbatas yang berbeda.

Eksistensi bentuk-behtuk yang berbeda inilah yang menjelaskan


kebinekaan bahasa daerah di segala butir di dalam bidang suatu
langue, bila kebinekaan tersebut dilepaskan dari evolusi alurniah-
nya. Bentuk-bentuk itu tidak mungkin diramalkan; tak ada
yang dapat digunakan untuk meramalkan perluasan bentuk-
bentuk itu, kita harus puas hanya dengan melihat hasilnya. Bila
tumpukan itu digambarkan pada peta, batas-batasnya akan saling
bersilang sehingga membentuk kombinasi yang sangat rumit.
Konfigurasinya acap kali paradoksal; misalnya c dan g bahasa
Latin di muka a berubah menjadi tS dz, lalu s, i (bandingkan
331

cantum —» chant, virga verge), di seluruh wilayah Perancis


utara kecuali Picardie dan sebagian Normandia, di mana c dan g
tidak berubah (bandingkan dengan bahasa Picardie cat, sedang-
kan dalam bahasa Perancis chat, rescape dan bukan richapp4,
dan vergue dari virga, yang baru-baru ini diterima di dalam
bahasa Perancis seperti yang telah disebutkan di atas, dan
seterusny'a).
Apa yang akan muncul dari keseluruhan gejala itu?
Meskipun pada suatu saat suatu langue berkuasa di seluruh
wilayah, lima atau enam abad kemudian penduduk di kedua
ujung wilayah itu mungkin tidak lagi saling mengerti; sebaliknya,
mereka yang mendiami salah satu ujung akan mengerti bahasa
daerah-daerah tetangga. Orang yang melakukan perjalanan di
negeri itu dari ujung ke ujung akan mendapati hanya Sedikit
sekali variasi dialektal di daerah-daerah yang bertetangga;
namun perbedaan-perbedaan itu semakin bertambah tiap kali ia
berpindah hingga pada akhirnya ia akan menemukan langue
yang tidak dimengerti oleh penduduk daerah tempat ia berang-
kat. Atau, jika kita berangkat dari satu titik di wilayah itu untuk
berkitar ke segala penjuru, kita akan melihat jumlah divergensi
yang membesar di setiap penjuru, hanya saja pembesarannya
tidak sama.
• Kekhasan yang ditemui di dalam bahasa suatu desa akan
ditemukan kembali di daerah-daerah tetangganya, tetapi tidak
mungkin diramalkan sampai sejauh mana ciri tersebut menyebar.
Oleh karenanya di Douvaine, desa di propinsi Haute-Savoie,
nama Jenewa dilafalkan denva. Lafal itu tersebar sangat jauh ke
timur dan ke selatan; tetapi di sisi lain danau Leman, kata itu
dilafalkan dzenva, meskipun bukan dua dialek yang sangat
berbeda karena bagi sebuah gejala yang lain, batas-batasnya
mungkin berbeda. Misalnya di Douvaine, orang mengucapkan
daue dan bukan deux ("dua"), tetapi lafal tersebut memiliki
daerah penyebaran yang jauh lebih terbatas daripada lafal'denva
karena di kaki gunung Saleve, hanya beberapa kilometer dari
situ, deux dilafalkan due.
332

3. Diaiek-diaiek tidak Memiliki Batas Alami

Pengertian dialek yartg lazim berbeda sama sekali. Orang


menganggap dialek sebagai tipe-tipe bahasa yang sangat tertentu,
dapat dipastikan dengan jelas dan di atas peta tergambar daerah-
daerah yaiig berdampingan dan berbeda (a, b, c, d, dan
seterusnya).

i' /A '
^ > f *
w % *

Tetapi perubahan alamiah dialek menghasilkan sesuatu


yang Iain sama sekali. Begitu orang meneliti setiap gejala dan
menetapkan daerah penyebaran dialek itu, ia harus mensubstitu-
sikan pengertian yang lama dengan sesuatu yang baru, yang
dapat dirumuskan sebagai berikut: yang ada adalah ciri-ciri
alamiah dialek, sedangkan dialek alamiah tidak ada; atau sarna
saja dengan: jumlah dialek sama dengan jumlah wilayah.
Dengan demikian pengertian dialek alamiah pada dasarnya
tidak dapat dibandingkan dengan pengertian wilayah yang
kurang atau lebih luas. Kita harus memilih salah satu: atau orang
rnerumuskan suatu dialek berdasarkan ciri-cirinya secara mtuh
sehingga ia harus menetap di satu titik di peta dan hanya
memperhatikan bahasa daerah setempat; dan begitu ia melang-
kah lebih jauh, ia tidak akan menemukan kekhasan yang persis
sama; atau orang merumuskan dialek berdasarkan salah satu
cirinya; maka mungkin sekali ia akan menemukan suatu wilayah,
yang meliputi wilayah penyebaran ciri tertentu tersebut. Kalau
begitu tidak perlu lagi dicatat bahwa cara itu merupakan
prosedur rekaan, dan batas-batas yang digariskan secara demi
kian tidak memperlihatkan kenyataan dialek yang sebenarnya.
Penelitian ciri-ciri dialek adalah titik tolak usaha memeta-
kan bahasa (kartografi bahasa), contohnya adalah Atlas Linguis-
333

tique de la France, karya Gillieron. Perlu dicatat pula atlas


Jerman karya Wenker' . Bentuk atlas tersebuf menampilkan
semuanya karena orang terpaksa mempelajari negeri itu daerah
demi daerah, dan bagi setiap daerah sebuah peta hanya menca-
kup sejumlah kecil ciri dialek; daerah yang sama harus digambar
berkali-kali untuk memberi gambaran kekhasan fonetis, leksiko-
logis, mprfologis, dan sebagainya, yang saling bertumpang tindih.
Penelitian semacam itu membUtuhkan organisasi, angket yang
sistematis dalam bentuk kuesioner, dengan bantuan responden
setempat, dan sebagainya. Baik untuk dicantumkan di sini
adanya angket patois d\ daerah Swiss Roman. Salah satu
keuntungan dengan adanya atlas bahasa adalah tersedianya
bahan bagi penelitian dialektologi: misalnya, sejumlah monbgrafi
yang baru saja terbit, didasarkan pada Atlas Gillieron.
Orang telah menyebut batas ciri-ciri dialek dengan "garis
isoglos" atau "isoglos". Istilah itu dibentuk dari contoh isoterm,
tetapi maknanya tidak jelas dan tidak tepat karenia isoglos
berarti "yang berbahasa sama". Jika kita menerima bahwa
glosseme berarti "ciri idiomatis", lebih baik kita menggunakan
istilah garis isoglosematis, seandainya istilah itu boleh digunakan;
tetapi kami lebih cenderung menyebut: gelombang pembaharuan
dengan mengaeu pada gambaran yang dikemukan oleh J.
Schmidt dan yang akan mendapat pembenaran dalam pasal
berikut.
Apabila kita memperhatikan sebuah peta bahasa, kita
sering melihat dua atau tiga gelombang yang hampir bertemu dan
berbaur ke arah tertentu:

vA
r" ^
-— •' □ -
' D
334

Jelas bahwa dua titik A dan B yang dipisahkan oleh wilayah


semacam itu, menunjukkan sejumlah perbedaan tertentu yang
membentuk dua bahasa daefah yang jelas perbedaannya. Dapat
pula terjadi bahwa pertemuan gelombang-gelombang itu bukan-
nya sebagian-sebagian melainkan terjadi di seluruh keliling dua
buah daerah atau sejumlah daerah:

iv;'P
'•
-OX•
Vi

Apabila pertemuan ini cukup banyak, kita dapat kurang lebih


berbicara tentang dialek. Pertemuan-pertemuan tersebut dapat
dijelaskan dengan peristiwa sosial, politik, keagamaan, dan Iain-
lain, yang kami kesampingkan di sini; pertemuan-pertemuan ini
menyingkap, tanpa menghapus sama sekali, peristiwa pokok dan
alami dari perbedaan yang disebabkan oleh wilayah-wilayah
bebas.

4. Langue tidak Memiiiki Batas Alami

Sulit dijelaskan dimana letak perbedaan antara langue dan


dialek. Sering sebuah dialek disebut langue karena memiiiki
kesusasteraan,. hal ini terjadi pada bahasa Portugis dan baha
sa Belanda. Masalah pemahaman juga ikut berperan; otomatis
orang akan mengatakan bahwa orang-orang yang tidak saling
mengerti adalah mereka yang menggunakan langue yang berbe-
da. Meskipun demikian, langue yang berkembang di suatu
wilayah, dan hidup di lingkungan masyarakat yang menetap,
dapat dipakai sebagai patokan untuk melihat peristiwa yang
menyerupai dialek, di tingkatan yang lebih tinggi; disitu orang
menemukan gelombang-gelombang pembaharuan, hanya gelom-
335

bang-gelombang pembaharuan tersebut melingkupi daerah yang


sama bagi befbagai langue.
Dalam kondisi ideal seperti yang baru saja dimisalkan, kita
tidak dapat menarik batas antara langue yang serumpun daripada
antara dialek-dialek; keluasan wilayah trdak menjadi masalah.
Kita tidak mungkin menentukan dimana berakhirnya bahasa
Jerman Tinggi dan di mana mulai bahasa Jerman Rendah, begitu
pula tidak mungkin kita men^lusuri garis demarkasi antara
bahasa Jerman dan bahasa Belanda, antara bahasa Perancis dan
bahasa Italia. Ada titik-titik ujung di mana dapat dikatakan
secara pasti: "Di sini bahasa Perancis yang dipakai, di sini bahasa
Italia yang dipakai"; tetapi begitu kita masuk ke daerahnya, kita
melihat bahwa pembedaan tersebut menghilang. Wilayah yang
padat dan lebih terbatas, yang semula dibayangkan, merupakan
tempat peralihan antara dua langue, seperti misalnya di.daerah
Perancis Selatan di" antara bahasa Perancis dan bahasa Italia
ternyata tidak ada batasnya. Lalu bagaimana dapat digariskan
batas bahasa yang tepat dalam bentuk[yang pasti di wilayah yang
dari ujung ke ujung penuh dengan dialek yang bertahap
perbedaannya? Pembatasan langue seperti juga pembatasan
dialek tenggelam dalam transisi-transisi. Dialek-dialek hanya
dipisah-pisahkan secara semena di atas seluruh wilayah bahasa,
demikian pula halnya dengan batas yang dianggap memisahkan
dudi langue, hanya ada secara konvensional.
Meskipun demikian, perubahan tajam antara satu bahasa
ke bahasa lain sering kali terjadi: dari mana asal perubahan ini?
Dari keadaan yang tidak menguntungkan yang menghambat
munculnya transisi-transisi yang tidak peka itu. Fakta yang paling
mengacaukan adalah perpindahan penduduk. Masyarakat selalu
dikenal dengan gerakan pergi-datang. Setelah berabad-abad
berjalan, perpindahan tersebut telah mengacaukan segalanya,
dan di banyak tempat, bekas peralihan langue terhapus. Rumpun
Indo-Eropa merupakan contoh yang tepat. Langue yang serum-
pun ini mestinya semula sangat erat berhubungan dan memben-
tuk rangkaian wilayah-wilayah bahasa yang tak terpisahkan, yang
dapat kita telusuri pokok-pokoknya secara garis besar. Itu
sebabnya mengapa bahasa Slavia bertumpang tindih dengan
bahasa Iran dan Germania, dan hal ini sesuai dengan pembagian
336

Iqngue ini secara geografis; begitu pula bahasa Germania dapat


dianggap sebagai mata rantai yang menghubungkan bahasa
Slavia dan.Keltika, dan bahasa Keltika berhubungan erat dengan
bahasa Italia; bahasa Italia merupakan penengah antara bahasa
Keltika dan Yunani sehingga tanpa mengenal posisi dari semua
langue itu, seorang ahli linguistik mungkin tanpa ragu-ragu
menempatkan berbagai langue tersebut di tempat yang benar.
Namun, begitu kita menelaah batas antara dua kelompok langue,
misalnya batas bahasa Germania-Slavia, ada lompatan yang
mendadak tanpa transisi apa pun, kedua langue bertubrukan dan
bukannya yang satu lebur ke dalam yang lain. Ini karena dialek
perantara telah hilang. Masyarakat Slavia maupun masyarakat
Germania tidak selalu menetap; mereka berpindah dan saHng
menaklukkan daerah masing-masing; masyarakat Slavia dan
Germania yang sekarang bertetangga bukan masyarakat yang
dulunya saling berhubungan. Seandainya orang Italia yang
berdiam di Calabre; datang untuk menetap di daerah perbatasan
Perancis; perpindahan ini tentu akan menghancurkan transisi,
yang tidak peka, yang baru saja kami kemukakan, antara bahasa
Perancis dan Italia; peristiwa yang serupalah yang terjadi pada
bahasa-bahasa Indo-Eropa.
Tetapi ada sebab-sebab lain yang turut menghapus transisi
tersebut, misalnya perluasan langue pengantar yang menghapus
patois (lihat halaman 323 dan seterusnya). Sekarang bahasa
Perancis sastra (yang dulunya bahasa Ile-de-France) bertubrukan
di perbatasan dengan bahasa resmi Italia (dialek Toska yang
disebarluaskan), dan suatu kekayaan yang berharga kalau kita
masih dapat menemukan patois peralihan di pegunungan Alpen
Barat, sedangkan di banyak daerah perbatasan bahasa, semua
bekas tuturan antara {parlers intermMiaires)telah terhapus.

Catatan

1. Lihat lagi Weigand: LinguistischerAtlas des dakorumanischen Gebiets(1909)


dan Millardet: Petit atlas linguistique d'une rigion des Landes (1910).
BAB IV

PENYEBARAN GELOMBANG-GELOMBANG
BAHASA

1. Kekuatan Pergaulan' dan Semangat Keda^rahan^^^

Penyebaran fakta-fakta bahasa terjadi berdasarkan hukum


yang sama dengan tradisi apa pun, mode misalnya. Di dalam
masyarakat manusia terdapat dua kekuatan yang bergerak
bersama-sama tanpa henti dan ke arah yang berlawanan: di satu
pihak semangat memiliki ciri, "semangat kedaerahan"; di lain
pihak kekuatan "pergaulan" yang menciptakan komunikasi antar
manusia.
Karena semangat kedaerahan itulah suatu masyarakat
bahasa yang terbatas tetap setia kepada tradisi-tradisi yang
berkembang di lingkungannya. Tradisi-tradisi tersebut adalah
yang pertama dihayati oleh seseorang pada masa kanak-
kanaknya; dari situ muncul kekuatan dan ketahanan. Seah-
dainya tradisi-tradisi tersebut bergerak sendiri, tradisi itu akan
menciptakan ciri-ciri khas yang tak terbatas dalam langue.
Tetapi akibat yang ditimbulkan oleh ciri-ciri tersebut di-
koreksi oleh gerakan kekuatan yang berlawanan. Bila semangat
kedaerahan membuat manusia menetap, ''pergaulan** memaksa
mereka untuk berhubungan di antara sesamanya. ^'Pergaulan''
lith yang membawa orang lalu lalang dari tempat lain ke suatu
desa, yang memindahkan sebagian masyarakat pada saat pesta
atau pasar malam, yang menyatakan orang-orang dari borbagai
338

daerah di bawah bendera-bendera, dan seterusnya. Singkatnya,


prinsip persatuanlah yang menentang gerakan perpecahan yang
ada dalam semangat kesuku^in.
Berkat "pergaulan" terjadi perluasan dan perpaduan suatu
langue. "Pergaulan" bergerak dengan dua cara: kadang-kadang
secara negatif: artinya menyebabkan perpecahan dialek dengan
membunuh suatu pembaharuan pada saat ia muncul di suatu
tempat; kadang-kadang secara positif: artinya mendorong persa-
tuan dengan menerima dan menyebarluaskan pembaharuan
tersebut. Dari bentuk "pergaulan" yang kedualah kata gelombang
berasal, untuk menunjuk batas-batas geografis bagi fakta dialek-
tal (lihat halaman 333); garis isoglossematis merupakan tepi
ujiing suatu tumpahan yang menyebar, dan yang dapat pula
berbalik arah.
Sering orang heran melihat dua tuturan yang berasal dari
satu langue, di daerah-daerah yang terpisah sangat jauh, memiliki
ciri-ciri bahasa yang sama, hal ini adalah karena perubahan yang
mula-mula muncul di suatu ternpat. di wilayah tertentu tidak
menemui hambatan di dalam penyebarannya dan meluas sangat
jauh dari tempatnya bertolak. Tak ada satu pun yangjmenahan
kegiatan "pergaulan" di dalam masyarakat bahasa di mana hanya
ada transisi-transisi yang tidak peka.
Generalisasi suatu peristiwa tertentu, apa pun batasnya.
membutuhkan waktu, dan waktu kadang-kadang dapat diukur.
Misalnya perubahan dari ke yang telah disebarluaskan oleh
pergaulan di seluruh Jerman kontinental, semula menyebar ke
Selatan, antara tahun 800 dan 850, kecuali di daerah Perancis, di
mana bertahan dalam bentuk tak bersuarg,^ dan baru kemu-
dian berubah menjadi d. Perubahan dari t ke z (lafal: ts) terjadi
dalam batas-batas yang lebih terbatas dan telah dimulai di zaman
sebelum ada dokumen tertulis; z mungkin bermula dari Alpen
menjelang tahun 600 dan meluas sekaligus ke Utara dan ke
Selatan, di Lombardia. Di dalam Charta Thuringe dari abad Vll f
masih dibaca. Di zaman yang lebih mutakhir, I dan u Germania
berubah menjadi diftong (bdk. mein untuk mln, fbraun dari
brun)', gejala yang bermula dari Bohemia menjelang tahun 1400
ini, membutuhkan waktu 300 tahun untuk sampai di sungai Rhin
dan mempengaruhi langue mutakhir daerah itu.
339

Fakta-fakta bahasa ini tersebar dengan jalan penularan,


dan mungkin saja sama kejadiannya pada gelombang-gelom-
bang; gelombang-gelombang bermula dari satu titik dan menye-
bar. Hal ini membawa kami ke penemuan penting yang kedua.
Kita sudah melihat bahwa faktor waktu cukup untuk
menjelaskan kebinekaan geogfafis. Tetapi prinsip ini baru
dibenarkan seluruhny'a apabila kita menelaah tempat di mana
pembaharuan lahir.
Mari kita ambil lagi contoh perubahan konsonantis Jerman.
Apabila fonem t menjadi ts di suatu tempat di wilayah Germania,
fonem yang baru cenderung untuk menyebar ke daerah sekitar
tempat asalnya, dan karena penyebaran dalani ruang inilah
fonem tersebut masuk ke dalam pergulatan dengan tprimitif atau
dengan bunyi-bunyi lain yang muncul di tempat-tempat lain. Di
tempat kelahirannya, pembaharuan semacam ini merupakan
peristiwa fonetis murni; tetapi di tempat lain pembaharuan ini
terjadi hanya secara geografis dan penularan. Jadi, skema yang
berbentuk:

ts

hanya bermanfaat dalam bentuknya yang sederhana di dalam


lingkungan pembaharuan; kalau diterapkan pada penyebaran,
skema ini akan memberikan gambaran yang tidak benar.
Ahli fonetik, oleh karenanya, membedakan dengan teliti
lingkungan-lingkungan pembaharuan, di mana suatu fonem
berkembang hanya dalam poros waktu, dari daerah-daerah
penularan, yang disebabkan sekaligus oleh waktu dan ruang,
tidak termasuk dalam teori peristiwa fonetis murni. Pada saat
sebuah ts, yang datang dari luar, menggantikan t, hal ini bukanlah
perubahan prototipe tradisional, tetapi peniruan dari langue
tetangga tanpa mempedulikan prototipe tersebut; apabfla suatii
340

bentuk herza 'hati', datang dari Alpen, menggantikan herta yang


lebih arkais di Thuringe, jangan bicara tentang perubahan
fonetis, tetapi tentang pemungutan fonem.

2. Dua Kekuatan Menuju ke Prinsip Tunggal

Di titik tertentu pada suatu wilayah - yang kami maksud


dertgan titik di sini adalah bidang minimal yang bisa dianggap
titik (lihat halaman 332), sebuah desa misalnya - mudah untuk
dibedakan adanya kedua kekuatan, semangat kesukuan dan
"pergaulan"; suatu peristiwa hanya dapat tergantung dari satu
kekuatan; ciri apa pun yang sama dengan bahasa lain berasal dari
"pergaulan"; ciri apa pun yang hanya terdapat dalam langue di
tempat yang di atas berasal dari kekuatan kedaerahan.
Tetapi begitu kita bicara tentang wilayah, sebuah kecamat-
an misalnya, kesulitan baru muncul; tidak lagi dapat ditetapkan
yang mana dari kedua faktor tersebut yang berhubungan dengan
suatu gejala tertentu; keduanya, meskipun bertentangan, sama-
sama terlibat di dalam setiap ciri bahasa. Sesuatu yang membeda-
kan bagi kecamatan A lazim dipakai di desa-desa kecamatan
tersebut; di sini kekuatan memiliki ciri yang berpengaruh karena
kekuatan ini melarang kecamatan A untuk meniru sesuatu darj
kecamatan B tetangganya; dan sebaliknya kekuatan ini melarang
B meniru A. Tetapi kekuatan pemersatu, artinya "pergaulan"
juga memainkan peran karena kekuatan ini muncul dalam
perbedaan-perbedaan yang ada di antara desa-desa kecamatan A
(A^, A^, A^, dan setdrusnya). Maka, pada suatu bidang, kedua
kekuatan ter^but bersam£t-sama berpengaruh, meskipun pro-
porsinya berbeda. Semakin "pergaulan" mendorong suatu pem-
baharuian, semakin melebar pula wilayahnya; sedangkan pada
semangat kedaerahan, gerakannya adalah menahan suatu peris
tiwa bahasa di dalam batas-batas yang ditentukannya, dan
menjaga dari persaingan luar. Tidak mungkin diramalkan apa
nanti hasil dari gerakan kedua.kekuatan itu. Kita telah melihat di
halaman 338 bahwa di daerah Germania, yang terbentang dari
Alpen sampai ke laut Utara, perpindahan menjadi d terjadi di
mana-mana,sedangkan perubahan dari tkets(z) hanya terjadi di
341

Selatan; semangat kedaerahan telah menciptakan pertentangan


antara Selatan dan Utara; tetapi di dalam batas-batas ini, berkat
pergaulan, ada splidaritas kebahasaan. Maka pada dasarnya
tidak ada perbedaan mendasar di antara gejala-gejala kedua
dengan yang pertama. Kekuatan-kekuatan sama-saina hadir;
hanya intensitasnya yang berbeda.
Ini berarti bahwa dalam prakteknya, di dalam penelitian
pengujian bahasa yang terjadi di suatu wilayah, kita dapat
mengesampingkan kekuatan yang memiliki ciri khas, atau. sama
saja dengan menganggapnya sebagai aspek negatif dari kekuatan
pemersatu. Apabila kekuatan pemersatu ini cukup kuat.
kekuatan itu akan membentuk persatuan di seluruh wilayah,
kalau tidak gejalanya akan berhenti di tengah jalan,. dan hanya
meliputi sebagian wilayah; daerah|yang terbatas ini pun tidak
menggambarkan kesatuan \yang padu dibandingkan dengan
bagian-bagian yang terdapat di dalamnya. Itulah sebabnya
mengapa kita dapat mengarahkan segalanya hanya pada kekuat
an pemersatu tanpa memperhitungkan fakta semangat kedaerah
an karena kekuatan ini sama saja dengan kekuatan pergaulan
yang khas bagi setiap daerah.

3. Perbedaan Bahasa di Wilayah-wilayah yang Terpisah

Apabila kita menyadari bahwa di dalam suatu masyarakat


ekabahasa perpaduan bervariasi berdasarkan gejala-gejala, bah
wa pembaharuan tidak seluruhnya bersifat umum, bahwa kesi-
nambungan geografis tidak menghalangi pembedaan yang terus-
menerus, maka kita hanya dapat menelaah kasus satu langue
yang berkembang sejajar di dua wilayah'yang terpisah.
Gejala itu sering kali terjadi: misalnya pada saat bahasa
Germania dari kontinen^memasuki pulau-pulau Britania, per-
kembangannya memisah; di suatu pihak dialek-dialek Jerman; di
lain pihak Anglo-Saxon, yang menghasilkan bahasa Inggris. Kita
juga bisa mengemukakan bahasa Perancis yang dipindahkan ke
Kanada. Pemencaran tidak selalu sebagai akibat pendudukah
atau penaklukan: pemencaran dapat pula terjadi karena pemen-
cilan: bahasa Rumania kehilangan hubungan dengan masyarakat
342

Latin berkat adanya masyarakat Slavia di antara keduanya. Lagi


pula penyebabnya tidak penting sama sekali; ifiasalahnya pada'
pokoknya adaiah mengetahui apakah pemencaran memegang
peran di dalam sejarah berbagai langue dan apakah pemencaran
menimbulkan dampak lain di samping dampak yang muncul di
dalam kesinambungan.
Untuk lebih dapat menghayati peran waktu yang penting,
di atas kami teldh menggambarkan suatu langue yang mungkin
berkembang sejajar di dua wilayah yang terpisah jauh, misalnya
dua pulau kecil, di mana faktor penyebaran ke masing-masing
wilayah dapat dikesampingkan. Tetapi begitu kita berada di dua
wilayah yang cukup luas, gejala tersebut muncul kembali dan
menimbulkan perbedaan dialektal sehingga masalahnya menjadi
lebih rumit di segala tingkatan di wilayah yang tidak sinambung.
Kita tidak perlu memperhitungkan pemencaran bagi masalah
yang dapat dijelaskan t^npa faktor tersebut.
Inilah kesalahan yang dibuat oleh para ahli pertama studi
bahasa Indo-Eropa (lihat halaman 64). Dihadapkan pada se-
rumpun besar langue yang kemudian menjadi sangat berbeda
satu dengan lainnya, tidak terpikir oleh mereka bahwa hal
tersebut terjadi bukan karena faktor geografis. Perbedaan antara
langue yang terdapat di tempat-tempat yang terpisah, nampak
lebih mudah dibayangkan, dan bagi pengamat yang dangkal.,
hal itu perlu dan cukup untuk menjelaskan perbedaan. Itu belum
semuanya: orang juga menghubungkan pengertian langue dengan
pengertian kebangsaan, kebangsaan menjelaskan langue; maka
orang membedakan bahasa Slavia, Germania, Keltika, dan Iain-
lain sebagai kelompok-kelompok lebah yang keluar dari sarang
yang sama; masyarakat-masyarakat tersebut, yang terpencar
karena perpindahan dari lapisan primitif, seharusnya membawa
serta bahasa Indo-Eropa yang sama dari sekian banyak wilayah
yang berbeda. ^
Setelah sekian lama, baru orang menyadari kekeliruan
tersebut; baru pada tahun 1877, karya Johannes Schmidt: Die
Verwandtschaftsverlhatnisse der Indogermanen, membixka mata
para ahli linguistik dengan tampilnya teori gelombang YWe/Zen-
theorie)}'^*' Orang sadar bahwa pengelompokan di tempat cukup
untuk menjelaskan hubungan-hubungan tirnbal balik antara
343

bahasa-bahasa Indo-Eropa, tanpa perlu memperhatikan bahwa


berbagai kelompok masyarakat meninggalkan tempatnya (lihat
halaman 335); perbedaan-perbedaan dialektal telah <ian semes-
tinya terjadi sebelum bangsa-bang$a menyebar ke berbagai arah.
Oleh karenanya, teori gelombang tidak hanya memberikan
gambaran yang tepat mengenai prasejarah bahasa Indo-Eropa
tetapi juga menjelaskan hukum-hukum awal bagi semua gejala
pembedaan dan syarat-syarat bagi kekerabatan langue.
Tetapi teori gelombang ini bertentangan dengan teori
migrasi tanpa harus rnengesampingkannya. Sejarah bahasa-
bahasa Indo-Eropa menyajikan banyak contoh mengenai
kelompok-kelompok yang terpisah dari keluarga besarnya kare-
na migrasi, dan keadaan itu mestinya menimbulkan dampak
khusus; dampak itu yang turut menentukan perbedaan di dalam
kesinambungan; sulit sekali dikatakan seperti apa dampak
tersebut, dan ini mengembalikan kita pada masalah pengujian
suatu langue di wilayah-wilayah yang terpencar.
Mari kita lihat bahasa Inggris Kuno. Langue ini terlepas
dari induknya, bahasa Germania, karena migrasi. Mungkin saja
bahasa Inggris bentuknya tidak seperti yang kita lihat sekarang
seandainya pada abad V. orang^orang Saxon tetap tinggal di
kontinen. Tetapi apa saja dampak khusus dari pemencaran ini?
Untuk menelaahnya, kita harus bertanya dahulu apakah suatii
perubahan tidak mungkin terjadi sekali pun di dalam kesinam
bungan gepgrafis. Misalkan orang Inggris menduduki Jutland dan
bukan Kepulauan Britahia; dapatkah dipastikan bahwa peris-
tiwa-pelfistiwa yang lazim terjadi sebagai akibat pemencaran
tidak mungkin terjadi di wilayah-wilayah yang bersebelahan?
Kalau orang mengatakan bahwa ketidaksinambungan menyebab-
kan bahasa Inggris tetap memakai^ kuno, sedangkan bunyi ini
berubah menjadi d di seluruh benua (misalnya: Inggris thing dan
Jerman Ding), itu seolah-olah orang menganggap bahwa dalam
bahasa Germania kontinental, perubahan ini menyeluruh berkat
kesinambungan geografis, padahal keumuman {generalisation)
ini mungkin saja gagal justru karena kesinambungan. Kekeliruan
timbul, seperti yang selalu terjadi, karena orang membedakan
dialek terpencil dan dialek-dialek yang sinambung. Padahal
sebenarnya tidak ada jaminan sama sekali bahwa seandainya
344

koloni Inggris menetap di Jutland pasti akan ketularan bunyi d.


Kita telah melihatnya, misalnya di dalam lingkungan bahasa
Perancis k (+fl) tetap bertahan di sudut yang dibentuk oleh
Picardie dan Normandia, sedangkan di tempat-tempat lain
berubah menjadi bunyi desis s (ch), Jadi, penjelasan melalui
pemencilan tetap tidak cukup dan dahgkal. Bahkan kita tidak
perlu menggunakan faktor ini untuk menjelaskan perbedaan; apa
yang dapat ditimbulkan oleh pemencilan dapat pula ditimbulkan
oleh kesinambungan geografis; kalau ada perbedaan di antara
keduanya, kita tidak mungkin mengamatinya.
Namun, dengan menelaah dua langue yang-serumpun,
tidak dari aspek negatif karena perbedaan, tetapi dari aspek
positif karena solidaritas, akan didapati bahwa di dalam pe
mencilan, segala hubungan jelas terputus saat perpisahan,
sedangkan di dalam kesinambungan geografis solidaritas tertentu
tetap ada, bahkan di antara langue yang jelas berbeda, asalkan
langue tersebut dihubungkan oleh dialek-dialek perantara.
Bahkan, untuk menilai tingkat pengelompokan berbagai
langue, harus ada perbedaan yang jelas antara kesinambungan
dan perhencilan. Pada kasus yang terakhir ini kedua langue
memiliki, dari masa lalu yang sama, sejumlah ciri-ciri yang
membuktikan kerumpunan mereka, tetapi karena setiap langue
telah berkembang sendiri-sendiri, ciri-dri baru yang muncul di
langue yang satu tidak mungkiij ditemukan di dalam bahasa yang
lain (dengan memperhitungkan kemungkinan kasus ciri-ciri yang
muncul setelah perpisahan yang secara kebetulan serupa di dalam
kedua/angue).
Jelas bahwa hal yang tidak masuk hitungan adalah hubung
an antara ciri-ciri tersebut sebagai basil penularan. Secara umum,
suatu langue yang berkembang terpisah secara geografis apabila
dibandingkan dengan langue yang serumpun dengannya menun-
jukkan sekelompok ciri-ciri yang hanya khas pada languelterse-
but. d^n apabila langue tersebut terpecah lagi, berbagai dialek
yang dihasilkannya akan memiliki ciri-ciri sama yang memperli-
hatkan perumpunan yang lebih erat yang menghubungkan
mereka, dan terpisah dari dialek-dialek di wilayah lain. Mereka
benar-benar membentuk sebuah cabang yang berbeda dan
terlepas dari induknya.
345

Lain lagi halnya dengan hubungan antara langue di wilayah


yang sinambung; ciri-ciri kesamaan yang diperlihatkannya tidak
selalu tebih kuno daripada ciri-ciri yang membedakan mereka.
Memang,setiap saat suatu pembaharuan yang bermula dari suatu
titik dapat menyebar dan bahkan melingkupi seluruh wilayah.
Sebaliknya, karena wilayah pembaharuan luasnya berbeda dari
kasus yang satu ke kasus yang lain, dua Jangue yang bersebelah-
an dapat memiliki kekhasan yang sama tanpa membentuk
kelompok yang terpisah di dalam keseluruhan, dan masing-
masing dapat dihubungkan dengan langue yang didekatkan oleh
ciri-ciri yang lain, seperti yang terjadi pada bahasa-bahasa Indb-
Eropa.

Catalan

1. Kami kira lebih baik mempertahankan istilah penulis yang ekspresif


ini, meskipun dipinjam dari bahasa Inggris (^Intercourse, lafalkan
interkorsi 'hubungan sosial, perdagangan,.komuhikasi'), dan lebih
memadai dipakai dalam bahasa lisan daripada da|am tulisan te'ori.
(Penyunting)
BAGIAN KELIMA

MASALAH-MASALAH LINGUISTIK
RETROSPEKTIF

KESIMPULAN
BAB I

DUA PERSPEKTIF LINGUISTIK DIAKRONIS^''

Kalau linguistik sinkropis hanya memerlukan satu perspek-


tif, yaitu penutur bahasa, dan oleh karenanya hanya memerlukan
satu metode, linguistik diakronis mengharuskan sekaligus pers-
pektif yang mengikuti arah waktu, dan perspektif retrospektif
yang melawan arah waktu (lihat halaman 175-176).
Perspektif yang pertama sesuai dengan jalannya peristiwa
yang sebenamya; perspektif inilah yang harus digunakan untuk
menulis bab mana pun dalam linguistik historis, untuk mengem-
bangkan titik historis apa pun dari suatu langue. Metodenya
hanya mengecek dokumen-dokumen yang tersedia. Tetapi di
dalam menghadapi sekelompok kasus yang semrawut, cara yang
demikian tidak cukup dan tidak dapat diterapkan di dalam
penelitian linguistik diakronis.
Memang, untuk dapat menelaah sejarah suatu langue
secara terinci dengan mengikuti arah waktu, kita harus memiliki
potret bahasa yang tidak terbatas, yang diabadikan dari saat ke
saat. Padahal persyaratan tersebut tidak pernah terpenuhi: ahli»
bahasa-bahasa Roman misalnya, yang beruntung menguasai
bahasa Latin, yang menipakan titik tolak penelitian mereka, dan
tidak memiliki sejumlah besar dokumen yang berasal dari
berbagai abad, menyatakan setiap kali tentang banyaknya
kekosongan-kekosongan di dalam dokumentasi mereka. Maka
terpaksalah mereka tidak mengikuti metode prospektif, menehti
dokumen yang ada di depan mata, dan melakukan cara yang
berlawanan arah, yaitu mundur ke belakang dengan retrospeksii
348

Dari segi pandang ini orang menempatkan diri pada abad


tertentu bukan untuk meneliti apa yang dihasilkan suatu bentuk,
melainkan apa bentuk yang lebih kuno yang melahirkan bentuk
tersebut.
Kalau prospeksi menghasilkan penceritaan sederhana dan
didasari seluruhnya oleh kritik terhadap dokumen, sebaliknya
retrospeksi menuntut metode rekonstruksi, yang berpegang pada
perbandingan. Bentuk kuno dari sebuah tanda yang berdiri
sendiri tidak mungkin ditelusuri, sedangkan dua tanda yang
berbeda tapi asalnya sama, seperti bahasa Latin pater, Sanskerta
pitar-, atau akar kata Latin ger-d dan akar kata ges-tus, melalui
perbandingan telah membuka pandangan ke kesatuan diakronis
yang menghubungkan tanda-tanda tersebut dengan suatu prototi-
pe yang dapat direkonstruksi dengan jalan induksi! Semakin
banyak istilah yang dapat diperbandingkan, semakin tepat
induksi yang dilakukan, dan induksi tersebut akan menghasilkan
rekonstruksi yang lengkap apabila datanya memadai.
^ Begitu pula dengan langue secara keseluruhan. Dari bahasa
Baska tidak mungkin ditelaah apa pun karena. dalam keadaan
terisolir bahasa tersebut tidak dapat diperbandingkan. Tetapi di
dalam bahasa-bahasa Yunani, Latin, Slavia Kuno, dan Iain-lain,
dapat ditemukan unsur-unsur kuno yang sama yang terdapat di
masing-masing bahasa dan dapat dilakukan rekonstruksi prototi-.
pe bahasa Indo-Eropa,sebagaimana keadaannya sebelum terjadi
perbedaan menurut ruang. Dan apa yang telah dilakukan bagi
rumpun bahasa secara menyeluruh, diulangi dalam lingkup yang
lebih kecilj - dan tetap dengan cara yang sama - bagi masing-
masing bagian rumpun tersebut, di segala bidang yang dianggap
perlu dan mungkin. Sejumlah bahasa- misalnya, dikuatkan
kerumpunannya langsung dari dokumen-dokumen,tetapi bahasa
Germania yang menjadi induk berbagai langue tersebut hanya
diketahui secara tidak langsung melalui metode retrospektif.
Masih dengan cara yang sama, para ahli linguistik telah meneliti,
dengan hasil yang berlainan, satuan kuno dari rumpun-rumpun
bahasa yang lain (lihat halaman 319).
Jadi metode retrospektif membawa kita memasuki masa
lalu suatu langue di balik dokumen-dokumen yang paling tua. Itu
sebabnya sejarah prospektif bahasa Latin sama sekali tidak
349

dimulai pada abad III atau IV Sebelum Masehi; tetapi re^


konstruksi bahasa Indo-Eropa telah memungkinkan orang untuk
membayangkan apa yang terjadi di dalam periode yang terben-.
tang di antara satuan kuho dan dokumen-dokumen Latin yang
pertama, dan hanya setelah itu orang dapat menelusuri sejarah
prospektif.
Dalam hal ini, linguistik evolutif dapat disamakan dengan
geologi yang juga merupakan ilmu historis; ilmu ini pernah
mencieskripsikan zaman-zaman stabil (misalnya keadaan dataran
Leman yang mutakhir), dengan jalan mengabstraksikan apa-apa
yang mungkin mendahului, tetapi ilmu ini terutama berurusan
dengan peristiwa, dengan transformasi, yang hubungan di antara
mereka membentuk diakronl. Meskipun dalam kenyataannya
dan yang paling sering terjadi, pandangan mata hanya dapat
retrospektif; sebelum nienjelaskan apa yang menyebabkan ba-
gian bumi tersebut menjadi seperti keadaunnya yang ihutakhir.
Bukan hanya metode kedua perspektif ini yang mencolok
perbedaannya, dari jurusan didaktis pun tidak menguntungkan
kalau kita menggunakan keduanya sekaligus di dalam pene-
laahan yang sama. Sehingga penelitian perubahan fonetis
menampilkan dua lukisan yang sangatberbeda menurut prosedur
penelitiannya. Dengan melakukan prospeksi, pertanyaannya
adalah S Latin Klasik menjadi apa di dalam bahasa Perancis. Ma-
ka akan nampak suatu bunyi tunggal yang bervariasi dalam per-
kembangannya menurut waktu dan melahirkan sejumlah fonem:
bdk. piSem —*■ pye (pied 'kaki'), vintum va (vent 'angin'),
lictum li (lit), necdre - nwaye (noyer 'tenggelam') dan seterus-
nya. Sebaliknya, kalau diteliti secara retrospektif apa bentuk
Latin dari e terbuka bahasa Perancis, akan terlihat bahwa bunyi
yang tunggal ini semula adalah berbagai fonem: bdk. <iSr (terre
'tanah') = tjSrram, \^ri (verge 'tongkat besi') = virgam, (fait
'fakta') = factum, dan Iain-lain. Evolusi unsur-unsur pembentuk-
an ini dapat pula disajikan dalam dua caru, dari dua buah lukisan
yang dihasilkannya juga akan berbeda; seperti apa yang telah ka-
mi jelaskan di halaman 286 dan seterusnya mengenai pembentuk-
an serupa telah lebih dahulu membuktikannya. Kalau, misalnya
diteliti (secara retrospektif) asal sufiks partisip Perancis -t^, akan
ditemukan -dtum dalam bahasa Latin; bentuk ini mulanya.
350

dihubungkan dengan kata kerja denominatif Latin yang berakhir


are, yang sebagian besar berasal dari kata benda feminin yang
berakhiran -a (bdk. plantare: planta; Yunani timad: tima, dan
seterusnya); sebaliknya, -atum tidak muncul bila sufiks Indo-
Eropa -to- tidak dengan sendirinya hidup dan produktif (bdk.
Yunani, klu-to-s, hdXxn, in-clu-tu-s, Sanskerta gru-ta-s, dan
seterusnya); -dtum masih mencakup unsur pembentuk -m pada
akusatif tunggal (lihat halaman 264). Sebaliknya, apabila ditanya-
kan (secara prospektif) dalam bentuk-bentuk Perancis mana
terdapat sufiks -to-, orang ^kan dapat menyebutkan bukan hanya
berbagai sufiks, yang produktif maupun tidak, daii participe passi
(aime = Latin amdtum,fini = Latinfinltum, clos = Latin clausum
ba^ *daudtum, dan seterusnya), tetapi masih banyak yang lain,
seperti -u = Latin utum (bdk. cornu = corhatum), -tif {snfiks
ilmu) = Latin -tivum (bdk. cornu = cornutum), -ft/(sufiks ilmu)
= Latin -tivum (bdk,fugitif = fugitivum sensitif, rUgatif, negatif,
dan Iain-lain), dan sejumlah kata yang tidak mungkin dianalisis,
seperti point = Latin punctum, de = Latin datum, cMtif = Latin
captivum, dan Iain-lain.
BAB n

LANGUE TERTUA DAN PROTOTIPE^'s

Pada taraf awal> linguistik Indo-Eropa tidak memahami


tujuan sebenarnya dari studi perbandingan, maupiin peiitingnya
metode rekonstruksi (lihat halaman 66). Inilah salah satu
kesalahan yang menonjol: memberikan peran yang berlebih-
lebihan dan mendekati eksklusif kepada bahasa Sanskerta di
dalam membandingkan. Karena bahasa ini merupakan dokumen
tertua bagi bahasa Indo-Eropa, dokumen tersebut dianggap
sebagai prototipe. Kesalahan lain adalah menganggap bahasa
Indo-Eropa sebagai yang menurunkan bahasa Sanskerta, Yuria-
ni, Slavia, Keltika, Italia, dan meletakkan salah satu bahasa ini di
posisi.bahasa Indo-Eropa. Kerancuan yang parah ini menimbul-
kan akibat yang bermacam-macam dan mendalam. Besar
kemungkinan hipotesis ini tidak pemah dirumuskan sejelas
seperti yang baru saja kami lakukan, tetapi pada prakteknya
orang mengakui secara implisit. Bopp menulis bahwa "ia tidak
percaya bahwa bahasa Sanskerta mungkin merupakan sumber
dari bahasa-bahasa di atas", seakan-akan mungkin merumuskan
anggapan yang seperti ini, meskipun dengan ragu-ragu sekali
pun.
Hal ini membuat orang bertanya apa yang dimaksud
dengan pernyataan bahwa suatu langue lebih kuno atau lebih tua
dari yang lain. Dalam teori terdapat tiga kemungkinan interpre-
tasi:
352

1. Orang dapat berpikir tentang asal pertaiiia atau titik


tolak suatu langue; tetapi dengan sedikit pertimbangan, orang
melihat bahwa tidak ada satu langue pun yang dapat diukur
umurnya karena setiap langue merupakan kelanjutan dari langue
yang digunakan sebelumnya. Langue bukan manusia: kesinam-
bungan yang mutlak dalam perkembangannya menghalangi kita
untuk membedakan generasi-generasi langue, dan Gaston Paris
benar dengan membantah pengertian anak bahasa dan bahasa
induk karena pengertian ini mensyaratkan interupsi. Jadi, kita
tidak dapat mengatakan suatu langue lebih tua dari yang Iain -
berdasarkan pengertian tersebut.
2. Orang dapat pula mengemukakan bahwa keadaan langue
ditemukan pada zaman yang lebih kuno: sehingga bahasa Parsi
yang terdapat pada prasasti Achem6nid lebih kuno daripada
bahasa Parsi dalam Firdousi. Selama itu mengenai dua langue
(seperti kasus di atas) yang pasti urutannya dan sama-sama
terkenal, dengan sendirinya hanya yang kuno yang patut djperha-
tikan. Tetapi, seandainya kedua persyaratan di atas tidak ter-
penuhi, kekunoan itu tidak penting sama sekali; itu sebabnya
bahasa Lituavi, yang dinyatakan baru ada pada tahun 1540,
tidak kurang pentingnya dari bahasa Paleosiberia yang sudah ada
sejak abad X, atau bahkan dari bahasa Sanskerta di dalam
Rigveda.
3. Terakhir kata "kuno" dapat berarti suatu keadaan
langue yang lebih arkais, artinya yang bentuk-bentuknya lebih
dekat dengan model primitif, terlepas dari faktor penanggalan.
Dalam hal ini, mungkin dikatakan bahwa bahasa Lituavi abad
XVI lebih kuno daripada bahasa Latin abad III sebelum Masehi.
Kalelu bahasa Sanskerta dianggap jauh lebih kunoi dari
bahasa-bahasa lain, ini berarti hanya dalam pengertian kedua
atau ketiga; padahal bahasa ini bisa diartikan dengan keduanya.
Di satu pihak, orang setuju bahwa tembang-tembang Veda lebih
antik daripada teks-teks Yunani yang paling kuno; di lain pihak,
yang lebih besar dibandingkan dengan ciri-ciri langue lain (lihat
halaman 64-65).
353

Sebagai kelanjutan dari gagasan kacau mengenai kekunoan


yang mengakibatkan bahasa Sanskerta diletakkan di awal semua
rumpun bahasa, kemudian para ahli linguistik, meskipun sudah
melepaskan diri dari gagasan adanya bahasa induk, masih terus
menganggap sangat penting ciri-ciri yahg ada pada bahasa
Sanskerta, yang sebenamya merupakan bahasa yang sejajar
dengan langue lain.
Di dalam bukunya Origines indo-europiennes (lihat hala-
man 362), Ad. Pictet, meskipun mengakui secara eksplisit adanya
suatu masyarakat primitif yang memiliki languenya sendiri, tetap
yakin bahwa acuan ke bahasa Sanskerta merupakan kaharusan,
dan bahwa ciri-cirinya bernilai jauh lebih tinggi daripada ciri-ciri
bahasa Indo-Eropa lain bersama-sama.299 pusi inilah yang
selama bertahun-tahun telah mengaburkan masalah-niasalah
yang paling penting, seperti masalah vokalisme primitif misalnya.
Kekeliruan ini kerap kali terulang dan secara mendalam.
Ketika mengkaji cabang-cabang tertentu dari,rumpun Indo-
Eropa, orang tertawa untuk melihat di dalam langue yang dikenal
paling tua adanya wakil yang mernadai dan cukup bagi kese-
luruhan kelompok, tanpa berusaha untuk lebih mengenai kea-
daan primitif yang sama pada seluruh kelompok. Misalnya, ahli-
ahli membicarakan bahasa Germania, tanpa ragu-ragu orang
menyebut bahasa Gotik karena langue itu lebih awal beberapa
abad dari dialek-dialek Germania yang lain. Langue itu menjadi
prototipe dengan jalan dipas-paskan, sumber bagi dialek-dialek
yang lain. Sedangkan rumpun Slavia hanya didasarkan pada
bahasa Slavom atau Paleoslavia, yang digunakan pada abad X
karena langue yang lain lebih rnuda.
Seben^rnya sangat jarang terjadi dua bentuk bahasa yang
tercetak dalam tulisan pada zaman-zaman yang berurutan meng-
hasilkan satu langue yang persis sama, di dalam dua masa dalam
sejarahnya. Yang lebih sermg terjadi kita dihadapkan pada dua
dialek, yang bukan kelanjutan dari salah satu di antaranya.
Kekecualian-kekecualian menegaskan hukum ini: yang paling
jelas adalah posisi bahasa-bahasa Roman terhadap bahasa Latin:
dengan kembali dari bahasa Perancis ke bahasa Latin, orang
melihat garis vertikal; wilayah langue itu secara kebetulan sama
dengan wilayah di mana bahasa Latin digunakan, dan masing-
354

masing bahasa hanya merupakan bahasa Latin yang berkembang.


Sama halnya dengan bahasa Pars! abad pertengahan. Tetapi
kejatjian yang sebaliknya jauh lebih sering terjadi: ciri-ciri yang
merupakan peninggalan berbagai abad terdapat dalam berbagai
dialek yang serumpun. Misalnya unsur-unsur Germania terdapat
berturut-turut di dalam bahasa Gotik di Ulfilas, yang tidak
diketahui kelanjutannya, kemudian di dalam teks-teks berbahasa
Jerman Tinggi Kuno lain di dalam teks-teks berbahasa Anglo-
Saxon, Nore, dan seterusnya; padahal tak satu pun dari dialek-
dialek tersebut atau kelompok dialek, merupakan kelanjutan
dari yang sebelumnya. Keadaan tersebut dapat digambarkan
dengan skema berikut, di mana huruf-huruf menunjuk pada
dialek-dialek dan titik-titik adalah zaman yang berurutan:

A.. Zaman 1

Zaman 2

.C... ..D. Zaman 3

ill.. 'E Zaman 4

Ilmu bahasa hanya harus puas dengan keadaan ini; kalau


tidak dialek(A) yang pertama dikenal akan mengandung segala
sesuatu yang mungkin ditemukan pada dialek-dialek berikutnya,
sedangkan kalau dicari titik temu dari semua dialek ini(A,B, C,
D,dan Iain-lain), akan ditemukan suatu bentuk yang lebih kuno
dari A, misalnya prototipe X, dan tidak akan terjadi kerancuan
antara A dan X.
BAB III

REKONSTRUKSI

1. Hakekat dan Tujuan^^

Kalau satu-satunya cara merekonstruksi adalah dengan


membandingkan, maka perbandingan tidak mempunyai tujuan
lain kecuali rekonstruksi.. Dengan risiko menjadi tidak produktif,
hubungan-hubungan yang nampak di antara sejumlah bentuk
harus ditempatkan dalam perspektif waktu dan menuju kepada
rekonstruksi bentuk yang tunggal. Kami telah menegasl^annya
berulang kali (halaman 328—329 dan seterusnya) sehingga untuk
menjelaskan kata Latin medius terhadap Ikat^a Yunani misos
seharusnya, tanpa menelusuri sampai ke bahasa Indo-Eropa,
menampilkan sebuah etimon yang lebih kuno *methyos yang
dapat dihubungkan secara historis dengan medius dan misos.
Apabila bukan membandingkan dua kata dari bahasa yang
berbeda, melainkan mempertentangkan dua bentuk yang di-
anggap satu, penegasan sama pula : dalam bahasa Latin gero
dan gestus bisa ditelusuri ke akar yang dahulu kala sama
bagi kedua bentuk tersebut.
Mari kita catat sambil lalu bahwa perbandingan mengenai
perubahan fonetis harus terus-menerus dibantu oleh tinjauan
morfologis. Di dalam meninjau kata Latin patior dan passus,
saya mengikutsertakan factus, dictus, dan sebagainya karena
passus merupakan bentukan yang sejenis dengan keduanya;
dengan berpegangan pada hubungan morfologis antara facto dan
356

factus, died dan dictus, dan sebagainyalah saya dapat membentuk


hubungan yang sama di zaman yang lampau antara patior dan
*pat-US. Begitu pula, apabila perbandingan dilakukan pada
tataran morfologi, saya harus menjelaskannya dengan bantuan
fonetik; kata Latin melidrem dapat dibandingkan dengan kata
Yunani hedio karena secara fonetis yang satu berasal dari
*meliosem, *meliosm dan yang .lain berasa dari *hadioa,
*hadiosa, *hadiosm.
ini mengharuskan adanya pendekatan dari semua data yang khas
untuk memberikan penjelasan. Tetapi, pekerjaan ini harus selalu
menghasilkan hipotesis yang didasari rutnus tertentu-, dan bertu-
juan menyusun sesuatu yang telah lampau; perbandingan selalu
kembali pada rekonstruksi bentuk-bentuk.
Tetapi apakah pandangan ke jmasa lalu bertujuan me-
rekonstruksi bentuk-bentuk lama secara lengkap dan konkret?
Apakah sebaliknya pandangan tersebut membatasi diri pada
pernyataan-pemyataan abstrak dan tidak lengkap, mengenai
bagian-bagian kata, seperti misalnya pernyataan bahwa /Latin
dalam katafumus berhubungan dengan p Itali, atau bahwa unsur
pertama dari kata Yunani dllo, Latin aliud, sudah berbentuk a
dalam bahasa Indo-Eropa? Sebenarnya perbandingan dapat
dibatasi pada cara meneliti yang kedua; bahkan dapat dikatakan
bahwa metode analisisnya hanya bertujuan memberikan pemr
buktian yang tidak sempurna itu. Tetapi, dari sejumlah fakta
yang berdiri sendiri itu, dapat ditarik kesimpulan yang lebih
umum: misalnya sekelompok peristiwa yang sama dengan kata
Latin fumus memungkinkan ki^ menyimpulkan dengan yakin^
bahwa p terdapat dalam sistem fonologi bahasa Italia; begitu
pula, kalau kita dapat menyatakan bahwa Indo-Eropa memiliki
fleksi pronominal dengan adanya akhiran tunggal netral -d, yang
berbeda dari akhiran adjektiva -m, inilah fakta morfologi iimum
yang didapat dari keseluruhan pembuktian-pembuktian yang
seridiri-sendiri (bdk. kata Latin istud, aliud dipertentangkan
dengan bonum, kata Yunani to *tod, dllo = *allod diperten
tangkan dengan ka/dn, bahasa Inggris that, dan seterusnya). Kita
dapat melangkah lebih jauh lagi: dengan menyusun kembali fakta
yang bermacam-macam ini, kita menuju sintesis dari semua yang
357

berhubungan dengan bentuk umuiti, untuk merekonstruksi kata-


kata secara lengkap (misalnya Indo-Eropa *alyod), paradigma
fleksi, dan sebagainya. Untuk sampai ke sana pernyataan-
pernyataan yang sama sekali berdiri sendiri dikelompokkan
jadi apabila misalnya terbagi unsur di dalam bentuk yang telah
direkonstruksi seperti ^alyod diperbandingkan, akan nampak
perbedaan yang besar antara -d yang merupakan masalah tata
bahasa, dan -a, yang tidak berarti sama sekali. Suatu bentuk yang
telah disusun kembali bukan merupakan bentukan yang padat,
tetapi suatu kumpulan yang dapat dipecah-pecah secara fonetis,
dan masing-masing unsur tersebut dapat ditelusuri kembali dan
diuji. Bahkan bentuk-bentuk yang telah disusun kembali selalu
merupakan cermin dari kesimpulan umum yang dapat diterapkan
pada mereka. Kata Indo-Eropa untuk "kuda" diperkirakan
terbentuk secara berturut-turut *akvas, *ak,vas, *ek,vos, akhir-
anya *ek,wos;^s satu-satunya yang tidak berubah, demikian pula
jumlah fonem.
Jadi, tujuan rekonstruksi bukanlah untuk menyusun kem
bali bentuk itu sendiri, lagi pula hal ini konyol, melainkan untuk
mengkristalisasi, mengkondensasi suatu kesimpulan menyeluruh
yang dianggap benar, dari hasil-hasil yang dapat diperoleh setiap
saat; dengan kata lain, untuk merekam kemajuan-kemajuan
dalam ilmu kita. Kita tidak harus mencari pembenaran bagi para
ahli linguistik yang dianggap memiliki gagasan yang cukup aneh
itu untuk menyusun bahasa Indo-Eropa dari dasar sampai
puncaknya, seperti yang dilakukan mereka? Bahkan mereka
tidak memikirkan hal tersebut ketika mereka menelaah langue
yang terkenal secara historis (orang tidak mempelajari bahasa
Latin secara linguistik untuk dapat fasih dalam bahasa tersebut),
dan dengan sendirinya demikianlah halnya ketika mereka mene
laah kata-kata terpisah di dalam bahasa-bahasa prasejarah.
Lagi pula, meskipun rekonstruksi masih harus direvisi kita
tidak mungkin melewatinya hanya untuk mendapatkan gambaran
menyeluruh dari bahasa yang dipelajari, dan dari tipe bahasa
yang merupakan induk bahasa tersebut. Rekonstruksi merupa
kan alat yang penting sekali untuk menggambarkan secara relatif
mudah sekumpulan peristiwa-peristiwa umum, sinkronis, dan
diakronis. Garis besar bahasa Indo-Eropa segera menjadi jelas
358

oleh rekohstruksi yang menyeluruh: misalnya, bahwa sufiks dulu


dibentuk dari unsur-unsur tertentu {t, s, r, dan sebagainya) dan
bukan dari unsur lainnya, bahwa vokal yang rumit di dalam
verba bahasa Jerman (bdk. werden, wirst, ward, wurde, warden)
sebenamya berasal dari altematif primitif yang sama: e-o -ziro.
Juga sejarah masa lain lebih mudah dipelajari; tanpa melakukan
rekonstruksi teflebih dahulu, akan janh lebih sulit untuk menje-
laskan perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang masa sejak
zaman prasejarah.

2. Taraf Kepastian Rekonstruksi

Ada bentuk-bentuk rekonstruksi yang benar-benar pasti,


tetapi ada juga yang dapat diperdebatkan atau jelas menimbul-
kan masalah. Padahal, seperti yang baru saja kita lihat, taraf
kepastian relatif penyusunan kembali bergantung pada bagiah
demi bagian yang mempengaruhi kesimpulan tersebut. Dengan
anggapan ini, dua kata hampir pernah berasal dari satu dasar;
antara bentuk-bentuk Indo-Eropa yang begitu jelas seperti *esti
"il esf dan *diddti "il donne" ada perbedaan; karena di dalam kata
yang kedua, pengulangan vokal menimbulkan keraguan (bdk.
Sanskerta dadati dan Yunani didosi).
Pada umumnya kita terbawa untuk mengira bahwa rekon
struksi kurang dapat memastikan seperti kelihatannya. Ada tiga
peristiwa yang dapat menambah kepercayaan kita:^"'
Pertama, yang terpenting, telah dijelaskan pada halaman
113 dan setenisnya: di dalam sebuah kata, yang merupakan data,
dapat ditangkap bunyi-bunyi yang membentuknya,jumlah bunyi-
bunyi tersebut dan batas-batas mereka: kita telah melihat,
halaman 131, apa yang harus dipikirkan mengenai bantahan
beberapa ahli linguistik yang memandang ke dalam mikroskop
fonologi. Di dalam kelompok seperti -sn- kemungkinan besar ada
bunyi-bunyi terselubung atau bunyi antara; tetapi adalah anti-
linguistik kalau kita memperhitungkan bunyi-bunyi tersebut;
telinga biasa tidak menangkapnya dan terutama para penutur
selalu sepaham mengenai jumlah unsur-unsur tersebut. Dengan
demikian dapat kita katakan bahwa di dalam bentuk Indo-Eropa
359

*ekjwos hanya ada lima unsur yang berbeda, yang dapat


dibedakan, yang harus diperhatikan oleh para penutur.
Kedua, mengenai sistem unsur-unsur fonologi tersebut di
dalam setiap bahasa. Langue mana pun berfungsi dengan
sejumlah fonem yang jumlahnya sama sekali tidak terbat§s (lihat
halaman 104-105). Sedangkan dalam bahasa Indo-Eropa, semua
unsur yang membentuk sistem, muncul paling sedikit dalam
selusin bentuk yang dibuktikan melalui rekonstruksi, kadang-
kadang beribu-beribu. Jadi kita yakin mengenai semuahya.
Terakhir, untuk mengenai satuan-satuan fdnologis suatu
bahasa, tidak harus menganggap satuan-satuan itu sebagai
satuan-satuan yang dapat dibedakan dan seharusnya tidak saling
dikacaukan (lihat halaman 213-214). Hal ini begitu pentingnya
sehingga unsur-unsur fonologi suatu langue yang akan direkon-
struksi seharusnya dapat dilambangkan dengan angka maupun
tanda apa pun. Di dalam *ek]Wds, tidak ada gunanya menetap-
kan sifat mutlak dari e, mempertanyakan apakah ini fonem
terbuka atau tertutup, diartikulasikan kurang lebih ke muka,dan
sebagainya; selama kita tidak akan menemukan berbagai jenis S,
hal ini tidak penting dilakukan, yang perlu adalah tidak menga-
caukannya dengan unsur-unsur yang berbeda di dalam bahasa itu
(a, 6, e, dan Iain-lain). Hal ini sama saja dengan mengatakan
bahwa fonem pertama dalam *ekjwos tidak berbeda dengan
fonem kedua di dalam *medhyds, dengan fonem ketiga dalam
*dg^, dan seterusnya, dan tanpa menetapkan sifat-sifat fonisnya,
kita mengelompokkannya dan menampilkannya dengan nomor-
nya di dalam tabel bahasa Indo-Eropa. Dengan demikian
rekonstruksi bentuk *ekiWos berarti padanan Indo-Eropa dari
bahasa Latin equos, Sanskerta agva-a,dan Iain-lain, dibentuk dari
5 fonem tertentu yang terdapat di dalam deretan fonologi langue
kuno.
Di dalam batas-batas yang baru saja kami kemukakan,
penyusunan kembali yang kami lakukan menjadi besar nilainya.

E \DA^] AAHASA
BAB IV

JEJAK LANGUE DI DALAM ANTROPOLOGI


DAN ARKEOLOGI

1. Langue dan Ras'^"^

Berkat metode retrospektif, seorang ahli linguistik da-


pat menelusuri abad-abad silam dan menyusun kembali berba-
gai langue yang digunakan oleh masyarakat-masyarakat, lama
sebelum mereka dikenal dalam sejarah. Tetapi, apakah rekon-
struksi ini tidak mungkin memberi penerangan kepada kita
tentang bangsa-bangsa itu sehdiri, ras mereka, hubungan darah
antara mereka, hubungan sosial mereka, adat istiadat mereka,
dan sebagainya? Dengan kata lain apakah bahasa membawa
terang kepada antropologi, etnografi, prasejarah? Secara sangat
umum orang mengira begitu; kami berpendapat bahwa sebagian
besar hal itu ilusi belaka. Mari kita teliti secara singkat beberapa
aspek di dalam masalah umum ini.
Pertama-tama ras: adalah suatu kekeliruan untuk mengira
bahwa dari masyarakat bahasa itu dapat disimpulkan hubung
an kekeluargaan, bahwa rumpun bahasa mencakup rumpun
bangsa. Kenyataannya tidak sesederhana itu. Misalny.a, pada ras
Germania terdapat ciri-ciri antropologi yang sangat jelas: rambut
pirang, kepala panjang, badan tinggi,dan seterusnya; tipe Skan-
dinavia merupakan contoh yang sempurna. Meskipun demikian
tidak selalu masyarakat yang menggunakan bahasa-bahasa Ger
mania memiliki ciri-ciri tersebut; misalnya bangsa Alimanes, di
kdki pegunungart Alpen, memiliki tipe antropologi yang sangat
361

berbeda dengan bangsa Skandinavia. Dapat tidaknya dipastikan


bahwa suatu bahasa merupakan milik suatii ras dan bahwa
seandainya bahasa tersebut digunakan oleh bangsa-bangsa lain,
hal ini dipaksakan melalui penaklukan. Mungkin sekali, kita
melihat bangsa-bangsa memakai atau terpaksa memakai biahasa
bangsa penakluknyai, seperti bangsa Galia setelah kemenangan
bangsa Romawi; tetapi hal itu tidak menjelaskan seluruh kenya-
taan: pada kasus bangsa-bangsa Germania, misalnya, meskipun
mereka menaklukkan berbagai bangsa, mereka tidak mungkin
merasuki semua bangsa itu; untuk dapat terjadi seperti itu
dibutuhkan dominasi yang lama sekali di masa prasejarah, dan
faktor-faktor lain yang tidak jelas.
Dengan demikian, antara hubungan darah dan masyarakat
bahasa nampaknya tidak ada hubungan yang penting atau diper-
lukan, dan tidak mungkin disimpulkan dari keduanya; bleh
karenanya, dalam kebanyakan kasus di mana ciri antropologi dan
ciri bahasa tidak berhubungan, tidak perlu kita mempertentang-
kan atau memilih salah satu dari kedua kenyataan tersebut;
masing-masing peristiwa memiliki nilainya sendiri.

2. Etnisme

Jadi, apa yang dapat kita petik dari kenyataan bahasa?


Satuan rasa itu sendiri hanya dapat merupakan faktor sekunder
dan tidak penting sama sekali bagi masyarakat bahasa, tetapi ada
satuan lain, yang lebih penting, yaitu yang dibentuk oleh
hubungan sosial: kita dapat menyebutnya etnisme. Mari kita
artikan istilah tersebut sebagai satuan yang terjadi karena
hubungan kompleks antara agama, kebudayaan, pertahanan diri,
dan sebagainya, yang dapat terjadi di antara bangsa-bangsa, yang
berbeda ras sekali pun dan tanpa adanya hubungan politis.
Di antara etnisme dan /angue terjadi hubungan timbal balik
seperti yang telah disebutkan di halaman 88: hubungan sosial
cenderung untuk menciptakan masyarakat bahasa dan kemung-
kinan mencetak ciri-ciri tertentu pada /angue yang dipakai, dan
sebaliknya, masyarakat bahasalah yang dalam batas-batas terten
tu membentuk satuan etnis. Pada umumnya satuan etnis cukup
362

menjelaskan masyarakat bahasa. Misalnya, pada awal abad


pertengahan ada etnisme roman yang, tanpa hubungan politik,
menghubungkan bangsa-bangsa yang asalnya bermacam-macam.
Sebaliknya, untuk memecahkan masalah satuan etnis pada
langue\3h kuncinya; bahasa merupakan ciri paling menonjol
dibandingkan dengan ciri yang lain. Salah satu contoh adalah:
pada zaman Italia kuno terdapat bangsa Etruski di samping
bangsa-bangsa Latin; apabila kita mencari ciri-ciri kesantaan
antara keduanya, dengan harapan dapat menemukan asal yang
sama, kita dapat mengacu pada segala yang j merupakan pening-
galan kedua bangsa tersebut: monumen, ritus keagamaan, prana-
ta politik, dan sebagainya, tetapi kita tidak akan sampai pada
kepastian yang diberikan secara langsung oleh bahasa: empat
kalimat bahasa Etruski cukup untuk memperlihatkan kepada kita
bahwa masyarakat pemakainya sama sekali berbeda dari kelom-
pok etnis yang menggunakan bahasa Latin.
Dengan demikian di dalam hubungan ini dan di dalam
batas-batas tertentu, langue merupakan dokumen historis;
misalnya bahwa bahasa-bahasa Indo-Eropa merupakan suatu
rumpun membawa kita pada kesimpulan tentang adanya etnisme
primitif, di mana bangsa-bangsa yang kini menggunakan berbagai
langue tersebut merupakan pewaris, baik langsung maupun tidak
langsung.

3. Paleontologi Linguistik

Kita tahu bahwa masyarakat bahasa memungkinkan kita


untuk mengurnpulkan kelompok sosial, namun apakah langue
menunjukkan kepada kita hakekat dari etnisme itu?
Sejak lama orang berpikir bahwa langue merupakan sum-
ber dokumen yang tidak habis-habisnya mengenai bangsa-bangsa
yang menggunakannya dan mengenai prasejarah mereka. Adol-
phe Pictet, salah satu perintis di bidang bahasa Keif, terkenal
terutama oleh bukunya Les Origines indo-europeennes(1859-63).
Karya ini telah dijadikan contoh bagi karya-karya lain; dan tetap
merupakan yang paling menarik. Pictet ingin menelusuri, melalui
kesaksian yang diberikan oleh bahasa-bahasa Indo-Eropa, ciri-
363

ciri dasar kebudayaan bangsa "Arya", dan dia mengira dapat


mengelompokkan berbagai aspek; benda (alat, senjata, binatang
piaraan), kehidupan sosial (apakah bangsa ini pengembara atau
petani?), keluarga, pemerintah; ia mencari asal bangsa Arya,
yang diperkirakannya di Baktria; ia mempelajari flora dan faiina
di daerah yang pernah mereka tinggali. Inilah karya yang paling
berbobot yang pernah ditulis mengenai langue; ilmunya kemu-
dian diberi nama paleontologi linguistik.
Penelitian Iain di bidang ini banyak dilakukan sejak
munculnya karya Pictet; salah satu dari yang paling mutakhir
adalah karya Herman Hirt (Die Indogermanen, 1905-1907)^ Ia
mengikuti teori J. Schmidt (lihat halaman 342-343) di dalam
menentukan daerah yang ditinggali bangsa-bangsa Indo-Eropa;
tetapi ia tidak segan-segan menggunakan teori paleontologi
linguistik: data dalam kosakata menjelaskan padanya bahwa
bangsa-bangsa Indo-Eropa adalah petani, dan ia menolak me-
nempatkan bangsa-bangsa ini dalam kelompok Rusia Selatan
yang lebih bersifat pengembara; frekuensi kata pohon, dan
terutama jenis-jenis tertentu (pinus, bouleau, hitre, chine)
membuatnya berpikir bahwa negeri bangsa-bangsa ini berhutan
dan terletak di antara Harz dan Vistula, lebih tepatnya di daerah
Brandebourg dan Berlin. Perlu dicatat pula bahwa sebelum
Pictet, Adalbert Kuhn dan yang Iain-lain telah menggunakan
linguistik untuk merekonstruksi mitos dan agama bangsa-bangsa
Indo-Eropa.
Kadang-kadang langue tidak dapat memberikan kejelasan
semacam ini, dan kalau ini terjadi, menurut kami tergantung
pada sebab-sebab berikut:
Pertama etimologi yang tidak pasti; sedikit demi sedikit
orang menyadari betapa jarangnya kat^-kata yang asalnya pasti,
dan orang jadi lebih berhati-hati. Ini salah sebuah contoh
kecerobohan masa lalu;servus dan servdre disejajarkan walaupun
mungkin sebenarnya tidak boleh; kemudian kata yang pertama
diberi arti "penjaga", lalu orang menarik kesimpulan bahwa
semula budak adalah penjaga rumah.-Padahal belum dibuktikan
bahwa servdre mengandung arti "menjaga". Ini belum semuanya;
makna kata berkembang: arti sebuah kata acap kali berubah
pada saat suatu masyarakat berpindah tempat tinggal. Kedua,
364

orang menyangka bahwa tidak hadirnya suatu kata merupakan


bukti bahwa kebudayaan primitif tidak mengenal benda yang
disebut dengan kata tersebut; ini keliru. Misalnya kata "mengolah
tanah" tidak ada di dalam bahasa-bahasa Asia; tetapi hal ini tidak
berarti bahwa pekerjaan tersebut semula tidak dikenal: peng-
olahan tanah dapat saja merupakan istilah kuno dan hilang dari
penggunaan atau pun dilakukan dengan cara Iain, yang disebut
dengan kata-kata lain.
Kemungkinan kata-kata pinjaman merupakan faktor ketiga
yang menimbuikan keraguan. Suatu kata dapat langsung diterima
oleh suatu lungue pada saat suatu benda dikenal oleh masyarakat
yang menggunakan langue tersebut, misalnya nama tanaman
chanvre baru dikenal kemudian di lembah Laut Tengah, dan
lebih lambat lagi di daerah-daerah Utara; setiap kali, nama
chanvre masuk ke dalam langue bersama tumbuhannya. Dalam
banyak hal, ketidakhadiran data-data ekstra linguistik menyulit-
kan kita untuk mengetahui apakah hadirnya suatu kata di dalam
sejumlah langue merupakan pinjaman ataukah bukti tradisi
primitif yang sama.
Itu tidak berarti bahwa kita tidak mungkin memilah tanpa
ragu beberapa ciri umum dan bahkan beberapa data yang pasti:
misalnya jumlah istilah lazim yang menunjukkan kekerabatan
sangat besar dan diwariskan secara sangat jelas. Kenyataan
tersebut memungkinkan kita untuk menegaskan bahwa di dalam
bahasa-bahasa Indo-Eropa, keluarga merupakan pranata yang
teratur meskipun rumit karena bahasa mereka mengenal ber-
bagai nuansa dalam bidang itu yang tidak dapat kami abaikan. Di
dalam Homerus eindteres berarti "ipar wanita" dalam pengertian
"para istri dari sejumlah saudara laki-laki" dan galddi "ipar wani
ta" dalam pengertian "hubungan antara istri dan saudara wanita
suaminya"; jadi kata Latin janitrices berhubungan dengan eind
teres dari segi bentuk maupun makna. Demikian pula "ipar lelaki,
suami saudara perempuan" tidak disebutkan sama dengan "ipar
lelaki, hubungan antara suami-suami dari sejumlah saudara
wanita". Di sini kita dapat menguji secara sangat terinci, tetapi
pada umumnya orang terpaksa puas dengan keterangan yang
umum sifatnya. Begitu pula halnya dengan binatang; bagi jenis-
365

jenis yang penting seperti bangsa lembu, tidak saja orang dapat
menyusun hubungan antara kata Yunani boils, Jerman Kuh,
Sanskerta gau-s, dan seterusnya, dan merekonstruksi kata Indo*
Eropa *gdu-s, tetapi fleksi pun memiliki ciri-ciri yang sama pada
semua langue; sehingga tidak mungkin apabila kata itu merupa-
kan kata pinjaman dan langue lain.
Perlu ditambahkan di sini, dengan lebih ferinci, peristiwa
morfologis lain yang memiliki''ciri ganda ini, yaitu peristiwa
tersebut terbatas di. wilayah tertentu dan menyangkut suatu segi
dalam organisasi masyarakat.
Meskipun telah dijelaskan panjang lebar mengenai hubung
an antara dominus dan domus, para ahli linguistik belum merasa
puas karena pada titik tertentu adalah luar biasa bahwa sufiks
-no- membentuk kata turunan sekunder; sedangkah belum
pernah diketahui adanya bentukan seperti di dalam b^tisa
Yunani *oiko-no-s atau *oike-no-s dari ofkos, atau di dalam
bahasa Sanskerta *agva-na dari agva-'. Tetapi, jusitru kelangkaan
ini yang membuat sufiks pada kata dominus menjadi berarti dan
menonjol. Sejumlah kata Germania menurut kami cukup mem-
berikan bukti:
1. *peuda-na-z pemimpin dari *peudO, raja', gotik
piudans, bahasa"'Saxon Kuno thiodan (*peudd gotik piuda,'=
bahasa Oskan touto 'rakyat').
2. *druj(ti-na-z (sebagian mengalami perubahan menjadi
*drUjj(-ti-na-z) *pemimpin dari *(dt't^-ti-z, angkatan bersenjata',
merupakan asal kata Kristen untuk Seigneur, artinya "Dieu",lihat
norr. Drottinn, Anglo-Saxon keduanya berakhiran-fna-
z.

3. *kindi-na-z pemimpin dari *kindi-z - Latin gens'.


Karena pemimpin gens dalam hubungan dengan pemimpin
*peudd merupakan wakil raja, istilah Germania kindins ini
(hilang sama sekali Icemudian) digunakan oleh Ulfilas untuk
menyebut Gubernur Romawi di suatu propinsi karena wakil
kaisar, bagi konsep Germania, sama dengan pemimpin klan
terhadap suatu piudans; asimilasi ini menarik sekali dari segi
366

sejarah, dan tidak ragu lagi bahwa kata kindins, yang bukan kata
Romawi, membuktikan bahwa masyarakat Germania pada saat
itu dibagi-bagi dalam kindi-z. Misalnya sufiks sekunder -no-
ditambahkan pada kata Germania mana pun untuk memberi
makna 'pemimpin suatu kelompok'. Sehingga dapat dinyatakan
bahwa kata Latin tribunus berarti sama dengan 'pemimpin tribu^'^
seperti juga piudans pemimpin piuda, dan demikian pula halnya
dengan domi-nus, 'pemimpin domus^, karena pemecahan dari
touta = piuda. Dominus, dengan sufiksnya yang unik, bagi kami
merupakan bukti yang kuat bukan saja dari suatu masyarakat
bahasa tetapi juga masyarakat berpranata yang merupakan
peralihan antara etnisme Italia dan etnisme Germania. Tetapi,
perlu diingat sekali lagi bahwa pendekatan satu bahasa ke bahasa
lainnya jarang menunjukkan tanda yang khas.

4..Tipe Bahasa dan Mentalitas Kelompok Sosial^^

Langue tidak memberikan banyak kejelasan yang pasti dan


autentik mengenai tingkah laku dan pranata suatu masyarakat
yang menggunakannya. Apakah bahasa tidak juga menunjukkan
cirf mental suatu kelompok sosial yang menggunakannya? Ini
adalah pendapat yang diterima di mana langue merupakaq
cermin dari jiwa suatu bangsa: tetapi keberatan yang sangat
menentang pandangan tersebut: unsur-unsur bahasa tidak selalu
ditetapkan oleh sebab-sebab psikis.
Bahasa-bahasa Semit menerangkan hubungan substantif
diterminant dengan substantif ditermini(bdk. Perancis'la parole
de Dieu" sabda Ilahi), dengan penggabungan yang benar-benar
menjadikan bentuk khusus, yang disebut "keadaan terbentuk",
dari determine yang ditempatkan di depan diterminant. Misalnya,
dalam bahasa Ibrani ddbar 'sabda" dan eldhim^ ^Allah": dbar,
'elohim berarti 'sabda Ilahi'. Apakah kita akan menganggap
bahwa tipe kalimat ini memperlihatkan sesuatu dari mentalitas
bangsa Semit? Pernyataan seperti itu tidak bijaksana karena ba
hasa Perancis Kuno menggunakan bentuk yang sama: bdk. le
cor Roland, les quatre fUs Aymon, dan Iain-lain. Padahal bentuk
ini lahir di dalam bahasa Romawi secara kebetulan, baik dari segi
367

morfologis maupun fonetis: reduksi kasus yaing ekstrim


menyebabkan munculnya beiituk baru tersebut di dalam bahasa
Roman. Tidak mungkinkah kebetulan yang sama terjadi dengan
b&hasa Proto- semit? Dengan demikian peristiwa sintaksis yang
nampaknya merupakan salah satu ciri yang sudah terpateri tidak
menunjukkan tanda ying pasti dari mentalitas bangsa Semit.
Contoh lain: bahasa Indo-Eropa primitif tidak mengenal
komposisi pada unsur verbal pertama. Apabila bahasa Jerman
memilikinya (bdk. Springbrunnen, dan sebagainya),
apakah kita harus berprasangka bahwa pada suatu saat bangsa
Germania mengubah cara berpikir mereka yang diwariskan
nenek moyang? Kita telah melihat bahwa pembaharuan tersebut
adalah suatu kebetulan yang tidak hanya materiil, tetapi terlebih
lagi negatif: hilangnya a di dalam betahCis (lihat halaman 247).
Semua itu terjadi di luar kesadaran, di dalam pergantian bunyi-
bunyi, yang segera memaksakan dominasi pada pikiran dan
memaksanya masuk ke jalur khusus yang terbuka baginya oleh
materi tanda-tanda. Sekelompok penelitian yang sama menguat-
kan pendapat kami; ciri-ciri psikologis masyarakat bahasa sama
sekali tidak mempengaruhi peristiwa bahasa seperti hilangnya
suatu vokal atau perubahan tekanan, dan banyak hal lain yang
serupa yang setiap saat mungkin merombak hubungan tanda
dengan gagasan di dalam bentuk langue mana pun.
Bukannya kita tidak perlu menetapkan tipe gramatikal
bahasa-bahasa (apakah itu dikenal secara historis ataupun di-
susun kembali) dan menggolong-golongkan berbagai langue
tersebut menurut cara yang digunakan untuk mengemukakan
gagasan: tetapi dari pembatasan dan dari pengelompokan ini,
orang tidak mungkin menyimpulkan apa pun dengan pasti di luar
bidang linguistik.

Catatan

1. Bdk. lagi d'Arbois de Jubainville: Lespremiers habitants de I'Europe


(1877), O. Schrader: Sprachvergleichung und Urgeschichte, Id.:
Reallexikon der indogermanischen Altertumskunde (karya yang
sedikit lebih tua dari karya Hirt), S. Feist: Europa im Lichte der
Vorgerschichte(1910).
2. Tanda itu berarti aleph(humf peirtama adjad Ibrani) atau oklusif glotal yang
hampir sama dengan hamzah halus dalam bahasa Yunani.
BAB V

RUMPUN LANGUE DAN


TIPE-TIPE LANGUE

Kita baru saja melihat bahwa langue tidak dipengaruhi


secara langsung oleh jiwa penutumya: perlu ditegaskan lagi
dengan terakhir kali menunjukkan konsekuensi prinsip tersebut:
tidak satu rumpun bahasa pun menjadi anggota suatu tipe bahasa
langsung dan untuk selanianya.
Menanyakan pada tipe mt^a sekelompok langue digolong-
kan adalah melupakan bahwa /angue berkembang; dengan
sendirinya di dalam evolusi ada unsur stabilitas. Atas dasar apa
orang berani memaksakan batas-batas pada suatu kegiatan yang
tidak mungkin dibatasi?
Banyak yang pada saat membicarakan ciri-ciri suatu rum-
pun /angwe, pikirannya tertuju pada ciri-ciri /angwe primitif, dan
masalah tersebut bukannya tidak mungkin dipecahkan karena
ini mengenai langue pada suatu zaman. Tetapi, begitu orang
menganggap bahwa ciri-ciri tertentu permanen dan waktu
maupun ruang tidak berpengaruh sedikit pun, orang menentaiig
prinsip-prinsip dasar linguistik evolutif. Tak satu ciri pun perma
nen; ciri tersebut bertahan hanya karena kebetulan.
Misalnya rumpun bahasa Indo-Eropa; orang mengenai ciri-
ciri bahasa asalnya; sistem bunyinya sangat(teratur dan)sederha-
na, tidak ada kelompok konsonan kompleks,tidak ada konsonan
ganda; sistem vokal monoton, tetapn memungkinkan alter-
nasi yang sangat teratur dan sangat gramatikal (lihat halaman
370

270,358); tekanan naik, yang pada prinsipnya dapat ditempatkan


di suku kata mana pun dan dengan begitu mempengaruhi oposisi
gramatikal; irama kuantitatif hanya mengenai oposisi suku kata
panjang dan pendek; sangat mudah dibentuk komposisi dan
derivasi; fleksi nominal dan verbal sangat bervariasi; kata
berfleksi yang mengandung determinator menjadi otonom di
dalam kalimat sehingga konstruksi sangat bebas dan jarang
terdapat kata gramatikal yang bernilai determinatif atau relasio-
nal (preverba, preposisi, dan sebagainya).
Sementara itu, dengan mudah kita melihat bahwa ciri-ciri
tersebut tidak bertahan secara menyeluruh di berbagai bahasa
Indo-Eropa, dan banyak di antaranya (misalnya peranan irama
kuantitatif dan tekanan naik)tidak lagi ditemukan di dalam baha
sa mana pun; beberapai di antara langue tersebut bahkan telah
mengubah aspek primitif bahasa Indo-Eropa sehingga orang
mengira itu tipe linguistik yang berbeda sama sekali, misalnya
ijahasa Inggris, Armenia, Irlandia, dan sebagainya.
Akan lebih berdasar rasanya kalau membicarakan bebe-
rapa transformasi yang kurang lebih menyeluruh di berbagai
langue yang serumpun. Misalnya melemahnya mekanisme flek-
sional secara bertahap, yang telah disebutkan di atas, meru-
•pakan hal umum di dalam bahasa Indo-Eropa, meskipun pe-
nampilannya sangat berbeda: bahasa Slavia paling kuat ber
tahan, sedangkan bahasa Inggris hampir menghilangkan fleksi
tersebut sama sekali. Sebaliknya kita melihat hal yang cukup
umum juga, yaitu terbentuknya urutan yang kurang lebih tetap di
dalam pembentukan kalimat, dan prosedur analitis di dalam
penampilan gagasan cenderung menggantikan prosedur sintesis:
nilai sebab akibat yang ditunjukkan oleh preposisi (lihat halaman
301), bentuk-bentuk verbal kompleks yang dibentuk dengan
verba bantu, dan sebagainya.
Kita telah melihat bahwa suatu ciri prototipe mungkin tidak
terdapat di dalam suatu langue turunan: kasus yang sebaliknya
mungkin pula terjadi. Tidak jarang pula didapati ciri-ciri umum
bagi semua langue yang serumpun yang merupakan unsur yang
tidak berasal dari langue kuno; ini kasus harmoni vokalis (arti-
nya asimilasi tertentu dari bunyi semua volcal dalam sufiks suatu
kata pada vokal terakhir dari akar kata). Gejala ini nampak
371

pada bahasa Ouralo-Altaika, sekelompok besar langue yang


digunakan di Eropa dan di Asia, mulai dari Finlandia sampai
Manchuria; tetapi ciri yang menonjol ini adalah mungkin sekali
berkat perkembangan sebelumnya; jadi ciri ini merupakan ciri
Umum yang tidak berasal dari langue kuno sehingga tidak dapat
digunakan untuk membuktikan asal yang sama (sangat tidak
mungkin) dari bahasa-bahasa ini, demikian pula ciri aglutinasi
mereka. Kita tabu juga bahwa bahasa Cina semula tidak
monosilabis.
Apabila orang membandingkan bahasa-bahasa Semit de-
ngan prototipe yang direkonstruksi; pada pandangan pertama
orang terkejut melihat bertahannya ciri-ciri tertentu; lebih dari
rumpun-rumpun lain, rumpun Semit membuat orang berpikir
tentang tipe yang tidak berubah, permanen, .intrinsik bagi
rumpun tersebut. Orang mengetahuinya dari ciri-ciri berikut
yang di antaranya bertentangan secara mencolok dengan ciri-ciri
bahasa Indo-Eropa: tidak adanya kata majemujc, sedikit sekali
derivasi, fleksi yang sangat sederhana(di dalam Proto Semit lebih
berkembang daripada di dalam bahasa-bahasa turunannya)
sehingga urutan kata mengikuti aturan yang sangat ketat. Ciri
yang paling mencolok adalah hukum akar kata (lihat halaman
309-310); akar kata selalu mengandung tiga konsonan (misalnya
q-t-l'membunuh')yang ada di semua bentuk di dalam satu langue
(bdk. Ibrani qdtal, qdfld, qfol, qifli, dan seterusnya) maupun di
dalam langue lain (bdk. Arab qatala, qutila, dan sebagainya).
Dengan kata lain, konsonan menerangkan "makna konkret" kata-
kata, nilai leksikologis mereka, sedangkan vokal, dengan kom-
petisi antara prefiks dan sufiks, secara khusus menandai nilai
gramatikal melalui alternasi mereka (misalnya kata Ibrani qdfal
'dia telah membunuh', q(ol 'membunuh', dengan sufiks qtdl-u
'mereka telah membunuh', dengan prefiks ji-qtdl 'dia akan
membunuh' dengan prefiks dan sufiks ji-qtl-u 'mereka akan
membunuh', dan seterusnya).
Berhadapan dengan peristiwa-peristiwa ini dan meskipun
ada penegasan seperti di atas, kita harus tetap pada pendirian
kita; tidak ada ciri yang tidak berubah; tetapnya ciri di atas
merupakan kebetulan; kalau suatu ciri bertahan dalam waktu,
ciri tersebut dapat pula hilang bersama waktu. Untuk kembali ke
kasus bahasa Semit, ternyata bahwa "hukum"tiga konsonan tid^
372

khas bagi rumpun itu karena rumpun-rumpun langue lain


menunjukkan gejala yang serupa pula. Di dalam bahasa Indo-
Eropa pun, konsonantisme akar kata diatur oleh hukum tertentu;
miisalnya, akar kata tidak pernah mengandung dua bunyi dari seri
i, u, r, I, m, n, setelah bunyi e; akar kata seperti *serl tidak
mungkin, dan seterusnya. Pemikian pula, pada tingkatan lebih
tinggi, permainan vokal bahasa Semit, bahasa Indo-Eropa
memperlihatkan hal yang sama meskipun tidak sekaya bahasa
Semit, oposisi seperti kata-kata Ibrani dabar 'kata-kata', dbdr-im
'perkataain', dibre-hem 'perkataan mereka' mengingatkan kita
pada oposisi kata-kata Germania Gast: Gdste, fliessen :floss,
dan Iain-lain. Bagi kedua kasus ini, prosedur gramatikalnya
sama. Ini adalah fonetis murni berkat terjadinya evolusi membu-
ta; tetapi alternasi yang dihasilkannya telah ditangkap oleh akal,
yang telah dilekatkannya pada nilai gramatikal dan telah me-
nyebarkannya melalui analogi model-model yang dihasilkan
secara kebetulan oleh evolusi fonetik. Sedangkan pada bertahan-
nya ketiga konsonan Semit, ketahanan tersebut hanya kira-kira
dan sama sekali tidak mutlak. Kita boleh merasa pasti se
cara a priori; tetapi peristiwa-peristiwa menegaskan pan-
dangan tersebut: di dalam bahasa Ibrani, misalnya, akar kata
'dnaS-im "orang-orang laki" mengandung tiga konsonan yang
berbunyi, bentuk tunggalnya 'U hanya memiliki dua konso;
nan; reduksi fonetik yang paling kunolah yang mengandung tiga
konsonan. Lagi piifa, meskipun diterima bahwa itu suatu perta-
hanan yang tidak mutlak, haruskah kita melihat ciri inheren pada
akar katanya? Tidak; yang terjadi hanyalah bahwa bahasa-
bahasa Semit mengalami alterasi fonetik lebih banyak daripada
bahasa-bahasa lainnya, dan bahwa konsonan lebih terpelihara di
kelompok bahasa ini daripada di kelompok bahasa lain. Jadi, ini
merupakan gejala evolutif, fonetis dan bukan gejala gramatikal
maupun permanen. Menyatakan bahwa akar kata tidak bisa
berubah sama dengan mengatakan bahwa akar kata tidak
mengalarni perubahan fonetis, tidak lebih: dan orang tidak berani
memastikan bahwa perubahan itu tidak akan pernah terjadi.
Secara umum, apa yang telah diproduksi oleh waktu dapat
dirombak atau diubah oleh waktu.
Dengan mengakui bahwa Schleicher melakukan pemerko-
373

saan atas fakta (kenyataan)dengan melihat langue sebagai benda


organik yang tnempunyai evolusinya sendiri, kita selartjutnya,
tanpa sadar, menganggap langue sebagai benda orjganik dehgan
cara lain, yaitu dengan menganggap bahwa "bakat"(ginie) suatu
ras atau suatu kelompok etnis cenderung untuk selalu membawa
langue ke satu arah yang telah ditetapkan.
. Serangan yang baru saja,kami lakukan di dalatn hal batas-
batas ilmu kita, memberikan penjelasan yang sangat negatif
sifatnya, tetapi hal ini justru menarik karena sesuai dengan
gagasan pokok kuliah ini: linguistik mempelajari satu-satunya
objek yang sebenarnya, yaitu langue dan bagi langue itu
sendiri?'^^

Catalan

1. Meskipun bab ini tidak membicarakan linguistik retrosp)ektif, kami menaruh-


nya di sini karena bab ini dapat dijadikan kesimpulan bagi seluruh karya ini.
(Penyunting)
BIOGRAFI DAN TELAAH MENGENAI
F. DE SAUSSURE

1. Keluarga

Ferdinand de Saussure lahir di Jenewa pada tanggal 26


November 1857^ Keluarganya adalah keluarga yang paling tua
dan paling dikenal Ji kota itu: pendiri keturunan ini adalah
Mongin atau Mengin Schouel, yang berasal dari kota Saulx-
sure-sur^Moselotte (Lorraine), penasehat dan penjinak bu?
rung yang kenamaan dari Due de Lorraine. Anaknya, Antoine
(1514-1569) mewarisi pekerjaan dan kekayaan ayahnya, tetapi
kemudian menjadi.partisan Calvin, dituduh oleh pemerintah
perwakilan Christina sebagai yang mempengaruhi Due Charles
yang masih muda itu untuk menganut agama reformasi, laly
dipenjara pada tahun 1550. Setelah berhasil melarikan diri, ia
meninggalkan Lorraine pada tahun 1552 dengan seluruh keluar
ganya. Setelah bertahun-tahun mengembara di antara NeuchStel,
Strasbourg, Lausanne dan Jenewa,ia sampai di dua kota terakhir
yang terbuka untuk menerima kaum minoritas yang tertindas dari
seluruh Eropa (ia menjadi borjuis kota tersebut pada tahun
1556). Keturunan langsung keluarga ningrat ini adalah Elie de
Saussure (1635-1662), putra Jean-Baptiste (wafat 1647), kemu
dian menetap di Jenewa tempat Antoine wafat pada tahun 1569;
nama Saussure akhirnya dihubungkan dengan nama Jenewa,
"Sparta protestan", "jiwa yang kuat, setia, bangga atas iatoleran-
sinya di dalam gerakan penginjil". (Fisher).
Pada awal abad XVIII, keluarga Saussure membeli sebuah
rumah mewah dari J. A. Lullin, di rue de la Cite. Beberapa tahun
375

kemudian, pada tahun 1723, mereka memiliki pula sebuah


tempat tinggal musim panas di Creux de Genthod, sebuah rumah
desa gaya Genthod di teluk kecil danau Leman yang berhutan.
Pada zaman itulah lahir Saussure yang pertama yang menonjol di
dalam studinya: Nicolas (1709-1791), pengacara, ahli agronomi
bereputasi di Eropa, yang turut berperan serta di dalam pe-
nyusunan Encyclopedie (dari karya inilah lahir buku Vignes,
raisins, vendanges et vins, Lausanne, 1778). Putranya, Horace
Benedict (17 Februari 1740 - 22 Januari 1799), di antara kaum
intelektual Jenewa di abad XVIII, mungkin hanya tertandingi
oleh Jean-Jacques Rousseau: dikenal karena kematangannya
pada usia yang masih muda, dan hal ini sering disamakan oleh
para penyusun biografi dengan cucu keponakannya. 'Horace
Benedict menjadi guru besar filsafat dan ilmu pada umur 22
tahun di Academic Jenewa, kemudian ia menjadi rektornya pada
tahun 1774-1775. Ia tertarik pada botani, elektrologi, mekanika,
mineralogi, hidrologi, geologi, dan pada tanggal 3 Agustus 1787
ia menaklukkan puncak Mont Blanc yang terkenal itu. Penye-
lidikan ilmiahnya tercetak dalam bentuk yang tidak sistematis di
dalam Voyages dans les Alpes pricddes d'un Essai sur I'histoire
naturelle des environs de Geneve, 4 jilid, NeuchStel - Jenewa -
Paris 1779 - 1796. Dua di antara anak-anaknya kemudian
mengikuti tradisi sang ayah: Albertine-Adrienne (1766-1841),
penulis Education progressive, istri Jacques Necker (guru botani
di Jenewa), sepupu dan teman Nyonya de Stael, penerjemah
Litterature dramatique karangan W. von Schlegel, teman para
tokoh Jerman dalam aliran idealis dan romantis dan di Jenewa,
teman Adolphe Pictet, guru pertama Ferdinand (bdk. A. M.
Bernardinis, 11 pensiero educativo di A.N. de S., Florence
1965, halaman XXXIV, surat untuk Pictet (1822) mengenai
hubungan dialektis antara kebutuhan memetik "sejumlah besar
fakta" dan membangun suatu "sistem"). Nicolas-Theodore (1767-
1845) kakek Ferdinand, ahli fisika, kimia,,ilmu alam, juga guru
besar di Jenewa dalam bidang geologi dan mineralogi (jasanya
antara lain identifikasi dan proses pembentukan mineral yang,
untuk mengenang ayahnya, diberi nama Saussuritej).
Putra sulung Nicolas-Theodore adalah Theodore (1824 -
1903): Walikota Genthod selama setengah abad (1850 - 1900),
376

dua kali terpilih menjadi deputi Dewan Agung, kolonel di artileri


Swiss, patriot (mungkin ia turut campur di dalam tnemulangkan
keponakannya dari Paris ke tanah air), ketua Asosiasi Seni Swiss,
penulis dua drama dan ttudes sur Id langue frangaise. t>e V
orthographe des norm propres; Istri Theodore, "pemimpin
keluarga", mengabadikan diri di dalam menurunkan "tradisi,
penghormatan kepada nenek moyang...." kepada para kepona
kannya. Putra kedua, Henri (27 November 1829^20 Februari
1905), mendalami geologi, memperoleh gelar doktor di Giessen,
kemudian doktor honoris causa di Jenewa,antara umur 25 dan 27
tahun melakukan perjalanan penyelidikan yang panjang di
Antila, Meksiko, Amerika Serikat, dan membawa pulang koleksi
mineral yang berharga serta koleksi entomologis. Sekembalinya
di tanah air, ia mengawini putri keluarga ningrat di Jenewa,
keluarga Pourtales. Dari perkawinan ini lahir, setelah Ferdinand,
Horace (1859-1926),jihli ukiran air keras, lukisan wajah dan lu-
kisan pemandangan (potret Ferdinand, hasil lukisanhya, masih
tersimpan di puri Vufflens, lihat catatan di hal. 407-408); Leo
pold (1866-1925), perwira angkatan laut Perancis dari tahun 1881
(Valois 1913. 127) sampai 1899, yang kemudian mendalami studi
bangsa Annam dan Cina serta astronomi Cina kuno, Ren6 (lahir
1868), ahli matematika, guru pada umur 27 tahun di Universitas
Katolik Washington, privat-docent di Jenewa kemudian di Berne,
dari tahun 1904 sampai 1924, juga penulis filsafat dan logika
dalam bahasa-bahasa buatan dan bahasa alamiah.
Di lingkungan inilah tempat "kultur intelektual tertinggi
merupakan tradisi sejak lama"(Meillet), Saussure muda dibesar-
kan.
Dia keturunjan orang-orang hebat. Kakek buyutnya, Hora
ce Benedict adalah sesepuh geologis, mineralogi dan meteorologi
Alpen.... Ayahnya , naturalis pula, memberikan teladan
kepada anak-anaknya mengenai disiplin kerja yang metodis dan
ketidakpuasan pada hasil yang dicapai.... Nampaknya ibu-
nya.... memiliki bakat dan selera tinggi, ia seorang ahli musik
yang matang. Keanggunan rumah yang sederhana di ceruk
.Genthod dengan rumput hijau berpagar dua baris pohon berusia
ratusan tahun, pantulan danau, cakrawala Alpen pada musim pa-
nas, dan musim dingin di apartemen Tertasse yang luas di Jene
wa, dengan lemari-lemari kaca yang penuh koleksi macam-
377

macam buku, album, ukiran yang berlimpah, itulah lingkung-


an..., F. de S. dibesarkan. (David)
Perasaannya bersatu de'ngan pemandangan yang dinikmati-
nya dan dijelajahinya dari segala arah. Ceruk Genthod, dengan
kebun kastanye yang mengingatkan kita akan keteduhan semi-
nari antik. yang misterius, dengan jalan-jalan yang membawa
pandangan ke horison biru dari danau kita dan lebih ke atas tagi
puncak Mobt-Blanc yang tlitaklukkan pertama kalinya oleh
seorang ilmuwan kakek,- ^ang memberi kenangan bersama
kebesaran keluarga, permainan dan kenang-kenangan masa
kecil, yang dinikmati bersama sekian banyak kakak dan adik di
dalam semacam surga dunia. Kemudian ada teras tinggi Tertasse
dan rumah bangsawannya, di mana pemimpin keluarga yang
anggun.... telah menanamkan secara tradisional, penghormatan
kepada nenek moyang....(F. de Crue)^.

2. Studi awal.

S. mulai dengan studinya di kolese Hofwyt,di dekat Berne,


di mana A. Pictet pernah menjadi murid pula: yang terakhir ini,
penulis Origines indo-europiennes. Essai de paUontologie
linguistique (2 jilid, Jenewa 1859-1863), adalah salah satu dewa
pembimbing masa kanak-kanak S. yang dikenalnya pada umur
12-13 tahun,selama liburan di, Malagny(Versoix). S. sendiri ber-
bicara tentang obrolannya dengan ilmuwan tua itu, tentang
kegairahan kekanak-kanakan pada paleontologi lingustik dan
pada etimologi, yang diperkuat oleh kakeknya dari pihak ibu,
comte Alexandre-Joseph de Poustales, pendiri dan amatir kapal
pesiar menurut prinsip-prinsip matematika yang rumit dan,
menurut S., pencipta etimologi yang tidak lebih meyakinkan
daripada kapal pesiar yang begitu ditaruh di danau L6man,
tenggelam dibawa arus. Meskipun demikian, berkat ajaran
linguistik dari Pictet dan kakeknya, pada tahun 1870 S. masuk
Institut Martine di mana profesor Millenet, yang wafat pada
umur 90 tahun, pada akhir tahun 1913, mengajarkannya bahasa
Yunani dengan menggunakan dasar tata bahasa Hass. Begitu
bahasa itu berhasil dihayati (ia sudali fasih berbahasa Perancis,
Jerman, Inggris dan Latin), S. memutuskan untuk menemukan
378

"sistem bahasa umum" dan pada tahun 1872 menyelesaikan nas-


kah yang berjudul Essai sur les langues yang dipersembahkannya
kepada Pictet. Tema pokoknya adalah, bermula dari analisis
bahasa mana pun, mungkin untuk menelusuri akar bi dan trikon-
sonantis, dengan syarat bahwa p=b=f=v, k=g=ch, t=d=th.
"Bukti" banyak, misalnya R-K merupakan tanda universal bagi
dominasi atau kekuatan keras : rex, regis; Rache, riigen,
dan Iain-lain", seperti yang disebut lagi kemudian oleh S. sendiri
di dalam Souvenirs.
Pictet menjawab anak muda ini dengan ramah dan menga-
jaknya untuk terus mendalami bahasa, tetapi menjauhkan diri
dari "sistem bahasa universal mana pun". Pengaruh ilmuwan,
yang berumur 70 tahun, pada anak muda itu ternyata lebih
mendalam daripada sekadar episode di atas. Pictet mengemuka-
kan pengamatan dan minatnya pada S. karena ia teman dan
bekerja sama dengan Cousin, dan teman W. von Schlegel (yang
memperkenalkan kultur Perancis dan Swiss dengan bantuan
temannya Albertine, bibi Ferdinand), dan ia mendalami estetika
berdasarkan teori-teori gurunya dan teman-temannya kaum idea-
lis, Hegel dan terutama Schelling. Bukannya tidak mungkin bila
ia merupakan perantara pertama di antara Saussure dan kultur
romantik dan idealis. Mungkin hanya hipotesis, tetapi jelas S.
menemukan tauladan hidup pada dirinya: pada tahun 1878, tiga
tahun setelah penulisnya meninggal dunia, terbit edisi kedua
Origines, dan Saussure membuat kritik {Journal de Geneve, 17,
19 dan 21 April 1878 = Recueil 391-402) vang nampaknya
mengandung bakat yang luar biasa yang oleh Benveniste disebut
"manusia pembangun.":

Di tengah-tengah berbagai karya terpenting yang telah kami


sebutkan, nampaknya kita harus berhenti mencari hubungan
tersembunyi, gagasan yang sama yang pada umumnya menghu-
bungkan semua karya yang berjiwa sama. Namun, kalau dilihat
dari dekat, kita melihat dengan jelas bahwa semua karya lahir di
lingkungan yang mengikuti jalan pikiran yang sama. Pada dirinya
terdapat kemelitan tanpa jemu, kegemaran pada penjelajahan
baru dan jauh, sampai pada batas-batas terakhir kemampuan
manusia. Pictet berhenti di depan setiap sphynx dan merenung-
kan semua keajaiban dunia Nampaknya fakta-fakta yang
379

kelihatan hanya merupakan dasar untuk mencari sesuatu yang


belum diketahui, istilah-istilah padananlah yang haras ditanya-
kan dan kalau mungkin|dipecahkan.... Di sanalah selalu, di ling-
kup imaginasi dan ilmu, pikirannya bergerak {Rec. 394-395).

Pada musim gugur tahun 1872, orang tuanya menganggap


bahwa anak ini belum cukup "matang" untuk gimnasium dan
memaksanya menunggu setahun di Kolese negeri. Sebenarnya,
gambaran tentang pemuda itu adalah:

Masalah apa pun menarik baginya: ia membaliknya, raeng-


galinya, tidak pernah meninggalkannya sebelum merumuskan-
nya, baginya dan |bagi rekan-rekannya, penyelesaian yang di
kemukakannya merupakan penyajian yang tepat dan niengagum-
kan bagi seorang yang masih remaja. Setelah itu ia berpendapat
bahwa kenyataan mungkin berada di tempat lain, balikan
mungkin bertentangan. Sebab meskipun ia membutuhkan kete-
patan di dalam penyajian, ia lebih menghormati 1 kenyataan
sehingga sesaat setelah ia rnenyatakan sesuatu, orang dapat
mengira bahwa ia hanya ingin menjejakkan kaki pada suatu tesis
yang didasari oleh argumen tak lengkap, untuk lebih memperli-
hatkan dirinya yang lemah.(David)

Selera membangun antitesis nampaknya melembaga pada


dirinya lebih sebagai suatu kebiasaan bawaan lahir daripada
sebagai basil pembudayaan.
Suatu hari, seluruh kelas di kolese membaca petikan teks
Herodotus dan anak ini yang belum "matang" menghadapi bentuk
orang ketiga jamak yang merupakan salah satu dari sekian
banyak "pengecualian" dalam tata bahasa Yunani:
Pada saat saya melihat bentuk itu , saya yang
biasanya sangat pelamun, hal yang biasa terjadi pada diri murid
yang mengulang, tiba-tiba tertarik luar biasa karena saya baru
saja berpikir I begini : XeY4|x^ot rlxfpvToa: , jadi
: TerixaTW ; jadi N =l«

Pada usia 16 tahun: tiga tahun sebelum Brugmann, S. telah


menemukan nasalis sonans di dalam prasejarah bahasa Yunani.
Pada tahun 1873 ia masuk gimnasium (sederajat dengan
SMA); dan mengikuti anjuran Picfet, pada tahun 1874 ia mulai
mempelajari bahasa Sanskerta dari tata bahasa Bopp, yang
380

didapatnya di perpustakaan umum Jenewa. Mungkin di tahun-


tahun itulah terjadi kontak pertama antara S. dan Paul Oltra-
mare guru besar bahasa dan kesusastraan. S. mendapatkan edisi
kedua dari Grundziige des griechischen Etymologic, karangan
Curtius.
Pada tahun 1875, pada usia 18 tahun, ia lulus dari gim-
nasium; untuk memenuhi keinginan orang tuanya dan sesuai
dengan tradisi keluarga, ia mendaftarkan diri untuk mengikuti
kuliah fisika dan kimia di universitas Jenewa. Tetapi ia tertarik
pada hal yang lain sama sekali, yaitu bidang yang didalami oleh
gurunya, Pictet, yang baru saja meninggal dunia. Jadi, pada saat
yang sama ia juga menghadiri kuliah filsafat dan sejarah seni dan
terutama ia tetap berniat meneruskan penyelidikannya di bidang
linguistik. Di fakultas sastra, Joseph Wertheimer sudah 2 tahun
menjadi guru besar "linguistik dan filologi", menggantikan Krauss
yang mengajar materi yang sama dengan judul "filologi" ke-
mudian "linguistik bandingan" antara tahun 1869 dan 1873.
Wertheimer (Soultz 1833 - Jenewa 1908) tetap menduduki posisi
gurunya sampai tahun 1905 sebelum digantikan oleh Ferdinand
de Saussure. Wertheimer adalah ahli teologi, rabi terkemuka di
Jenewa selama lebih dari setengah abad, ia hampir tidak tahu apa
pun mengenai linguistik. Kafya satu-satunya selama 30 tahun
mengajar adalah sebuah karya tulis berjudul La linguistique.
Discours prononce le 30 octobre 1877 d I'ouverture du cours dc
linguistique (Jenewa 1877), "jiplakan" yang sulit disembunyikan
(SM 2)dari karya M. Breal, De laforme et de lafonction des mots
(Paris, 1866). Saussure, yang sangat waspada, menghindari peng-
ajaran linguistik dan sebaliknya menghadiri kuliah-kuliah tata ba
hasa Yunani dan Latin dari seorang guru pribadi, Louis Morel,
yang mengulang apa yang pernah dipelajari oleh Saussure tahun
sebelumnya di Leipzig, di kuliah kerja dan seminar George
Curtius. Saussure sering berbicara lama dengan Morel khususnya
mengenai masalah yang mengganggu pikirannya sejak 3 tahun
yang lalu: Curtius, di dalam Grunziige nya, sampai pada akaf
kata dengan -n- bagi kasus seperti ; tapi bagaimana
dengan alfa di dalam TeTAxaroti , dan di dalam rari? ? Tetapi
Morel tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Saussure
mencari di dalam Vergleichende Gramatik karangan Bopp:
381

semula penemuan -r- vokalis dalam bahasa India Kuno menun-


jukkan bahwa ia berada di jalan yang bepar (kalau bhrtas mung-
kin, mengapa tidak membentuk *tntas juga?; tetapi kemudian ia
tersesat oleh teori Bopp yang keliru mengenai ciri tipe b^hrtds
yang terbelakang dibandingkan dengan bahasa Yunani ftpT6<;
Bagi pemuda Jenewa ini Bopp merupakan model: tesisnya
membuat Saussure takut mencari bukti-bukti lain dari kehadiran
nasalis sonans yang asli. Bagaimanapun juga Saussure telah
memilih masa depannya. Pada musirri semi 1876, dengan
perantaraan temannya Leopold Faure, ia minta pada Abel
Bergaigne untuk menjadi anggota Society de linguistique de Paris,
yang baru saja berdiri. Pada tanggal 13 Mei 1876, ia diterima
(namanya tercantum di daftar anggota pada tanggal 1 Januari
1878 sebagai mahasiswa filsafat yang bertempat tinggal di
Leipzig, Hospitalstr. 12 : MSL 3,1878). Pada tahun 1876, banyak
di antara teman Jenewanya (Edouard Favre, Lucien, Raoul,
Edmond Gautier) mempelajari teologi dan hukum di Leipzig:
orang tua Saussure merestui pilihan pemuda ini. Ia diizinkan
untuk kuliah di universitas Jerman, dan terutama, untuk mempe
lajari linguistik.'*

3. Leipzig dan "Memoire".

Saussure tinggal selama 4 tahun di Leipzig, dengan mele-


watkan waktu cukup lama pula di Berlin: dari musim gugur 1876
sampai tengah tahun pertama 1880. Selama tahun 1876 (Streit-
berg 1914. 204), jadi sebelum tiba di Leizpig, ia menyiapkan
karya-karya tulisnya yang pertama untuk Societe: yang pertama
dibacakan di Paris dalam pertemuan tanggal 13 Januari 1877, dan
MSL. 3, 1877 berisi berbagai catatan mahasiswa umur 19 tahun
ini; sufiks -T- (197 dst. =Rec. 339 - 352) dan Sur une classe de
verbes latins en - eo (179 - 192 = Rec. 353 - 369)"masih sebagian
terikat pada teori abad yang lampau" (Meillet), "tidak memper-
lihatkan cakar singa itu" (Streitberg). Meskipun demikian sudah
nampak tendensi-tendensi tertentu bahwa ia "mengacu pada
otoritas" Bopp, tetapi mengutip Compendium karya Schleicher
{Rec. 352) sambil mengambil jarak dengannya, mungkin menye-
382

lesaikan diri dengan posisi kritik yang diambil Breal (Meillet,


Lingstique historique et linguistique generate, 2, 218).
Pada musim gugur tahun 1876, Saussure berada di
Leipzig. la mengunjungi rumah H. Hubschmann untuk mem-
pelajari suatu privatisimum bahasa Persia Kuno, dan dalam
pertemuan itu tokoh besar Iran ini menanyakan pendapatnya
mengenai hipotesis yang baru saja dirumuskan oleh K. Brug-
mann, yang menduga bahwa/^ di dalam kata-kata sepertii Tarii;
berasal dari nasalis sonans yang tua sekali yang menjadi -un-
dalam rumpun Germania. Kenyataan ini memberi dampak
pertentangan pada pemuda Jenewa ini: ia kecewa (nampak di
dalam tulisannya yang sangat ironis di dalam Souvenirs 20-21)
telah kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan penemuan-
nya, tetapi juga menemukan kepercayaan baru kepada kemam-
puannya, sendiri. Bukti yang pertama nampak di dalam karya
tubs yang ketiga untuk Societe {La transformation latine de tt en
ss suppose-t-elle un intermediare st? [MSL 3, 1877, 293-298 =
Rec. 379-39] dan terutama di dalam karya tulis keempat, yang
disusun antara bulan November-Desember 1876 (Streitberg
1914. 204). Hasil yang paling meyakinkan (Essai d'une distinction
des differents a indo-europeens, MSL 3, 1877, 359-370 = Rec.
379-390) yang muncul pula di saat yang bersamaan pada karya-
karya lain (yang kemudian menjadi dasar serangan Osthoff,
Die neuste Sprachforschung, hal. 14, yang dilakukan pula oleh
Streitberg tapi tanpa dasar yang kuat, 1914. 204-206), adalah
penjelasan vokal timber e pada bahasa Indo-Eropa, berdasarkan
pengolahan secara berbeda dari bunyi-bunyi velar bahasa India
Kuno di muka bunyi a yang berhubungan dengan bunyi-bunyi a,
6 Yunani dan Latin, dan di depan bunyi a yang berhubungan
dengan bunyi e Yunani dan Latin. Penulis muda itu meminta
maaf sejak di halaman pertama atas kebodohannya dan menya-
takan akan melakukan "studi yang lebih mendalam dan luas
mengenai masalah yang sama". Ketika tulisannya dibaca di Paris
(21 Juli 1877), Saussure telah mulai bekerja menulis Memoire
dan, sudah setahun lamanya ia terjun di kalangan ilmuwan di
Leipzig.
Di samping mengikuti kuliah bahasa Persia Kuno dari
Hubschmann, Saussure menghadiri kuliah bahasa Irlandia Kuno
dari Windisch (ia menyimpan catatannya di dalam sepuluh buku
383

yang berjudul Altirische Grammatik : SM^ 15), sejarah bahasa


Jerman dari Braune, sejarah bahasa Slavia dan sejarah bahasa
Lituavi dari A. Leskien; hubungannya dengan Leskien penting
karena partisan yang pertama dalam tesis neogramatik yang tidak
memperhatikan hukum-hukum bunyi ini (Bolelli 1965. 160, 171)
juga penerjemah Whitney (lihat infra, 425,) dan temanlNoreen
{infra, 460). Terutama, Saussure akhirnya dapat mendengarkan
G. Curtius, di dalam seminar-seminarnya ia membuat dua
Vortrdge, yang satu mengenai Ablaut "terselubung" tipe
^5eciv: x^Oe, WiAvd-vtEv: S(i(xv5-i« . Brugmann (yang di dalam
Souvenirs, Saussure menyatakan hanya mengikuti kuliahnya
sekali dan mengikuti kuliah Osthoff dua kali), yang tidak hadir di
dalam seminar, menemui Saussure keesokan harinya untuk
menanyakan petunjuknya mengenai kasus-kasus alternasi lain
seperti status : stdtor yang menurut Saussure {Souvenirs 21-23)
membuktikan bahwa pengertian Brugmann tentang Ablaut masih
sangat kacau.
Segera, atau tak lama kemudiaan, terasa ketegangan di
antara Saussure dan para pengajar Jerman di Leipzig: penyesalan
yang berakar mengenai masalah nasalis sonans, serangan-serang-
an pertama dari Osthoff, kemudian polemik berkelanjutan
yang dilancarkan olehnya, sampai mengarah pada hinaan kepada
Saussure dan|Mdller (lihat infra), sikap dingin yang menyambut
Memoire, semua ini merupakan tanda-tanda ketegangan. Jadi
bukanlah suatu kebetulan kalau, kecuali epigrafis Theodor
Baunack, satu-satunya teman baru Saussure di Leipzig adalah
Rudolf Kogel, murid Braune dan lawan Brugmann. Saussure
melewatkan kedua semester tahun 1877 dan semester pertama
tahun 1878 untuk menulis beberapa karya kecil Exceptions au
rhotacisme MSL 3, mi.299, I, U = ES, OS, MSL, 3, 1877,
299 = Rec. 376, 377-378) dan Memoire. Pada bulan Juli 1878,
Saussure pergi ke Berlin untuk mengikuti kuliah ahli bahasa
Sanskerta dari Hermann Oldenberg, dan ahli bahasa Kelt dan
India, yakni Heinrich Zimmer, penerjemah Whitney, keduanya
pada saat itu adalah guru-guru pribadi. Saussure kembali ke
Leipzig pada akhir tahun 1879 {Souv. 15, Streitberg 1914.
210). Memoire terbit setahun yang lalu dan, meskipun mendapat
banyak tantangan, nama Saussure terkenal: tak lama sebelum
384

ujian tesisnya, pemuda ini memperkenalkan din pada kuliah


yang diberikan oleh ahli bahasa Germania di Leipzig, F.
Zarncke, yang menanyakan kepadanya dengan ramah apakah ia
saudara dari penulis Memoire, linguis Swiss yang terkenal
Ferdinand de Saussure(De Crue, F. de S. 16, Wackernagel 1916.
165).
Memoire sur le systeme primitif des voyelles dans les langues
indo-europeennes terbit di Leipzig pada bulan Desember 1878
(tanggal di lembar pertama 1879; cetak ulang Paris 1887).
Pendahuluannya memperlihatkan ciri khusus sikap ilmiah Saus
sure.

Mempelajari berbagai bentuk yang mengandung apa yang


disebut a Indo-Eropa, adalah objek pokok tulisan ini: vokal-
vokal sisanya akan diperhatikan hanya kalau bersangkutan
dengan gejala-gejala vokal a. Tetapi, kalau setibanya di akhir
penelitian, label vokalisme Indo-Eropa mengalami perubahan
sedikit pada pandangan kita dan kita melihatnya terkumpul
seluruhnya di sekitara, dan menunjukkan sikap lain terhadapnya,
jelas bahwa sebenarnya sistem vokal secara keseluruhanlah yang
akan termasuk di dalam lingkup penyelidikan kami dan namanya
harus ditulis di halaman pertama.
Tidak ada materi yang lebih kontroversial daripada karya
ini; pendapat-pendapat yang terpecah|hampir tak terbatas, dan
banyak penulis yang jarang menerapkan gagasan-gagasannya
dengan jelas. Ditambah lagi masalah a yang berhubungan dengan
sederet masalah fonetik dan morfologi yang masing-masing
menunggu giliran untuk dipecahkan, sedang yang lain malahan
belum dipermasalahkan sama sekali. Sehingga seringkali, di
dalam penjelajahan, kita terpaksa mengarungi wilayah-wilayah
paling gelap di dalam bahasa Indo-Eropa. Kalau kita tetap berani
berpetualang di dalamnya, dengan keyakinan bahwa]eksperimen
kita akan tersesat berkali-kali di dalam labirin, itu adalah karena,
bagi siapa pun yang mendalami studi ini, memecahkan masalah
semacam ini bukanlah sembrono, seperti juga yang sering
dikatakan; ini kebutuhan, ini pelajaran yang pertama harus
dilalui; karena kita bukannya berspekulasi, tetapi meneliti data-
data dasar, yang tanpa mereka segalanya akan mengambang, se-
galanya menjadi semena dan tidak pasti". {Mem. 1-2 = Rec. 3)".
385.

Kesimpulan-kesimpulan di dalam Memoire telah berkali-


kali disintesiskan (Meillet 1913, Streitberg 1914, Meillet 1937.
473-475, Waterman 1963. 43-48, Birnbaum 1957. 7-8, Leroy
1965. 56-59, Vallini 1969): rangka hubungan antara gejala-gejala
vokalis di dalam bahasa-bahasa kuno dapat dikatakan sudah
ditetapkan secara pasti; fungsi ganda, vokalis maupun konsonan-
tis, dalam suatu deret artikulasi ditemukan: yaitu adanya sonan
*1, *u, */, *r, *m, *n,: dua foritiula alternasi vokalis terdapat di
dalam rumpun Indo-Eropa secara umum (z6ro, do,do dan A/a,
e, 6), yang kedua mengacu pada yang pertama dengan membe-
rikan pada A (didefinisikan oleli hubungannya dengan bahasa
Latin, Yunani a=a India-Kuno dan Iran-Kuno i)fungsi "koefisien
sonantis" karena kemampuannya bersatu dengan puncak suku
kata sebelumnya untuk memberikan sonan panjang (jadi *a <
*aA, *6 < *6A, dst). Hal ini menjelaskan struktur akar kata
dwisuku dan memungkinkan kita untuk menemukan sonan
panjang.
Nilai Mimoire merupakan kontras-kontras : anekdot
Zarncke memperlihatkan bahwa karya tersebut, dengan "glan-
zende Entdeckung", cepat menarik perhatian dan rasa kagum
para spesialis pada orang muda ini, misalnya, seperti yang
dikemukakan oieh L. Havet, guru besar di College de France di
dalam intisarinya Journal de Geneve, 25 Februari 1879) atau,
di ujung lain Eropa, oleh M. Kruszewski (lihat infra catatan 6),
Tetapi tokoh-tokoh terkemuka linguistik Jerman zaman itu
memberikan reaksi yang negatif. Pemuda negeri utara, H.
Moller, yang berjasa menemukan unsur A dengan nama sva indo-
germanicum, menerima tesis Saussure. Osthoff melancarkan kri-
tik dengan nada yang makin keras terhadap Moller dan Saussure:
"Meskipun begitu, saya harus menanggapi prinsip Saussure ini,
yaitu memasukkan bunyi e (a,) dalam semua akarnya dan tanpa
perbedaan,sebagai suatu kekeliruan dan terlalu dipengaruhi oleh
sikap yang terlalu kaku dalam mengambil konsekuensi, walaupuri
saya mengakui ketajaman pemikirannya (Saussure) dalam hal
penyusunan. dan pelaksanaan (teori/ajarannya)" {Morphol.
Untersuch. auf d. Gebiete der idg. Sprachen, vol. II
386

Leipzig 1879, 125-126); di dalam jilid IV, karya yang sama


(Leipzig 1881), Osthoff mengulang kritiknya terhadap "kebutuh-
an akan sistem" yang dikemukakan oleh Saussure {Memoire 163)
dan ifienyebut karyanya sebagai "misslungene", "kelahiran pre-
matur", "ein radikaler irrtum" {pp. cit. 215 no.l, 279, 331, 346-
348).
Bertentangan dengan kritik-kritik yang dilancarkan, bebe-
rapa gagasan dalam Mimoire tampil tanpa disebut penulisannya.
Di dalam tulisan beberapa Jungramniatiker, seperti dalam
Griechische Grammatik (Leipzig 1880) karangan Gustav Meyer,
yang pertama menggunakan basil kerja dan penemuan selama
sepuluh tahun yang lalu, menurut Meillet(1937. 477), tetapi juga
"yang pertama tidak mengakui nama saya", seperti yang kemu-
dian ditulis Saussure dengan pahft pada tahun 1903 {Souv. 23)3.
Penerapan tersebut, dan justru karena setengah-setengah, malah
lebih memperlihatkan betapa substansi teori dan posisi Saussure
tetap tidak dipahami oleh tokoh-tokoh resmi di bidang linguistik
zaman itu (Meillet 1913 dalam F.d.5, 74, De Crue dalam F.d.S.
16, Streitberg 1914. 208, Sommerfelt 1962. 297). Untuk itu harus
menunggu Ablaut karya Hirt (1900) sebelum orang membica-
rakan keseluruhan teori Saussure di dalam karya Jerman yang
penting. Tetapi tidak pernah gagasan Saussure diterapkan secara
efektif (kecuali A.G. Noreen) sebelum 5. indo-europien et H
hittite (Symbolae in honorem J. Rozwadowski, I, Krakow 1927,
95-104), sebelum Etudes indo-eiiropiennes (I, Krokow 1927,
khususnya hal. 21-1€) karangan Jerzy Kurylowicz, dan terutama
sebelum Origines de la formation des noms en indo-europien I
(Paris 1935) karangan Emile Benveniste yang menggarisbawahi
betapa, sesudah Saussure, masalah struktur bahasa Indo-Eropa
tetap tidak diperhatikan {Origines I).
Pengalaman penulis Memoire penting dipandang dari bebe
rapa segi. Saussure, seperti juga temannya, H. Moller, meng-
hadapi linguistik dan mendalami epos Germania (A. Cuny,
"Chamito-Semitique et indo-europ6en" dalam Melanges de
linguistique ecc. Ginneken, Paris 1937, hal 141-147, hal 142):
pernyataan diberikan oleh Moller yang sama, paling tidak
baginya sendiri (dan bagi Karl Verner), yang menjelang tahun
387

1880 menempatkan krisis yang membuat dia meninggalkan


linguistik tndo-Eropa dan menerjunkan diri ke studi kom-
paratif antara bahasa Indb-Eropa dan bahasa Semit (H.Mdller,
Semitisch and Indogermanisch, I.T., Konsonanten, Kppenhagen
1906(tapi 1907), hal. VIII-IX). Menurut Godel (pengantar pada
Saussure, Souv. 14), sebaliknya kita tidak niemiliki data yang
pasti bagi Saussure karena baru pada tahun 1894 nampak tanda-
tanda keputusan, tetapi dalam' kaitan dengan masalah-masalah
linguistik umum (lihat infra, hal. 447), dan kita tidak yakin
apakah Saussure mempelajari Nibelungen sebelum 1900 (meski-
pun begitu, di dalam program kuliah-kuliah Paris yang disajikan
oleh Fleury 1965, 54-^6, jelas ada perhatian pada dokumen-do-
kumen sastra Jerman Kuno dan Jerman Menengah: lihat infra
431-432). Singkatnya, kecilny simpati yang berkali-kali ditampil-
kan Saussure bagi"kebodohan Jerman yang menakutkan"(Souv.,
Lettres 121-123, Notes 59) sebagian besar merupakan reaksi
terhadap sikap ilmuwan Leipzig.
Memoire berpengaruh sekali di dalam pembentukan pendi-
dikan Saussure (Grammont 1933. 153-*154, Bimbaum 1957. 8,
Lepschy 1966. 42-43, 48): penelitiannya memaksanya untuk
berusaha sampai ke sintesis(Havet, 1908), mendorongnya untuk
menggali "data dasar", mengubahnya menjadi "manusia pendiri"
(Benveniste, 1963. 8). Disamping itu, membuatnya berhubungan
dengan masalah-masalah rekonstruksi suatu sistem bahasa yang
harus mengandung substansi a karena relasinya di dalam wicara
tidak diketahui. Penelitiannya membawa dia untuk menganggap
bahwa satuan bahasa sebagai satuan opositif dan relasional yang
murni, di dalam kofungsionalitas "sistematik" mereka, dan bukan
sebagai atom-atom yang berdiri sendiri (Hjelmslev 1942. 37 dst,
1944.141,1947. 72,1951. 59-60,1961. 79; Buyssens 1961. 20dst.,
Kukenheim 1962! 68, Derossi 1965. 9 dst), yang tetap dianggap
"mengambang" oleh Collinder 1962, 13 (tetapi bdk. Buyssens
1961. 18).
Pada bulan Februari 1880(Meillet 1913)Saussure memper-
tahankan tesisnya De I'emploi du genitif absolu en sanserif
(Jenewa 1881, dicetak ulang dalam i?ec. 269-338). Mereka yang
388

ditaklukkan "dari segi estetika"(Wackernagel) yang terdapat di


dalam M^moire secara umum menganggap tesis itu sebagai bukti
master filologi yang istimewa sebagaimana adanya, tetapi tidak
penting dilihat dari segi konseptual atau metodologis. Hal ini
tidak benar. Pertama, memilih pokok masalah di dalam tataran
sintaksis, artinya di dalam tataran yang dikesampingkan oleh
Bopp, oleh linguistik aliran Bopp, Schleicher, Junggrammatiker
dan kemudian oleh banyak pihak di kalangan linguistik struktural
Euro-Amerika (Meillet 1937. 477, De Mauro 1966. 177 dst),
patut dipuji. Kedua, menghadapi pustaka acuan khusus yang
kuno yang mengolah genitif mutlak secara mengambang dan
menuju ke studi komparatif (Rec. 271-272), Saussure mengusul-
kan untuk menetapkan nilai konstruksi dengan mengintegrasi-
kannya kembali ke dalam bahasa tertentu, mengikuti arah
penelitian yang diawali oleh Whitney (namanya dikutip di awal
karya = Rec. 272). Dalam orientasi pandangan ini, nilai genitif
mutlak ditetapkan dengan menjelaskan "ciri khususnya" (Rec.
275), "ciri pembedanya"(278) "dengan memperhatikan penggu-
naan lokatif mutlak"(275). Maka kita melihat bahwa bahkan di
bidang linguistik, peristiwa konkret, dan bukan hanya di dalam
atmosfer yang dimaterialisasi di dalam bahasa Indo-Eropa yang
direkonstruksi (ini membuat kita mengoreksi sebagian pendapat
Buyssens 1961. 20 dst), Saussure memberi nilai pada pendapat-
nya yang baru bahwa nilai suatu satuan linguistik adalah relasi-
onal dan opositif. Hadirnya sebuah kata kunci di dalam linguistik
post-Saussure (ciri pembeda) dan peninjauan atas istilah-istilah
yang digunakan di dalam deskripsinya (Rec. llTi) memperlihat-
kan betapa Saussure sangat memperhatikan rnasalah terminologi.
Pertahanan tesis yang cerdik (Favre, F.d.S. 30) berakhir
dengan memberikan gelar doktor, Summa cum laude et dissera-
tione egregia (De Crue F.d.S. 16).
E. Favre, rekan belajamya, menuliskan kenang-kenangan
dari pertahanan tersebut : "seandainya ia tidak rendah hati
peranan akan berbalik: pemuda yang diuji mungkin saja meng-
interogasi ilmuwari pengujinya" (F.d.S. 30). Dan ia menam-
bahkan:
389

Pengetahuannya universal : tak satu pun bidang, apakah itu


puisi, kesusastraan, politik, kesenian, sejarah, ilmu alam, tak
diketahuinya. la menyusun sanjak, ia melukis. Dia tidak menge-
nal bluff, istilah jelek untuk hal yang buruk ; ia rendah hati,
bertanggung jawab, berterus terang dan jujur. Kami yang lain,
teman-teman belajarnya {Souv. 20), mengenalnya dari pengalam-
an.

Kami tidak tahu, tapi dapat menebak motif-motif yang


mendorong doktor muda Leipzig ini (yang mempunyai hubung-
an yang tidak baik dengan beberapa ahli Jerman, dan yang seba-
liknya sudah terikat dengan lingkungan Societe) untuk melanjut-
kan studinya di Paris. Namun,sebelum ke Paris, Saussure sempat
mengadakan penyelidikan yang mendntukan : perjalanan ke
Lituania. Benveniste 1965. 23 mengatakan bahwa itulah "titik
gelap di dalam biografinya".^ Banyak hal yang kami tidak ketahui
; masa yang pasti (diperkirakan antara Maret dan September
1880), tempat-tempat yang dikunjungi. Tetapi tidak benar kalau
dikatakan bahwa kami tidak mengetahui "apa yang dipelajarinya
di sana". Kami bisa memperkirakan di satu pihak bahwa in loco
Saussure melebur diri di dalam pengertian-pengertian yang ke-
mudian digunakannya di dalam kuliah-kuliahnya tentang bahasa
Lituavi pada tahun 1888-1889 di Paris (Fleury 1965, 66), dan pa-
da tahun 1901-1902 di Jenewa (lihat infra), juga di dalam
penyusunan peta dialek Lituavi yang dijanjikannya, tetapi nam-
paknya tidak pernah dikirimkannya kepada R. Gauthiot {Let-
tres, 100). Tetapi di pihak lain kami memperoleh tiga data yang
sangat penting dari perjalanan itu:

a) Mengenai bahasa Lituavi, bahasa yang tinggi nilainya


bagi pengenalan bahasa Indo-Eropa, ia pergi untuk mempela-
jarinya di sana dan telah memperoleh hasil dari penelitiannya
yang paling mendalam (Bally dalam F.d.S. 53);
b)Pada usia semuda itu ia telah menciptakan suatu metode,
ia telah mengganti bukti tertulis dengan kesaksian lisan di dalam
penelitian linguistik dan suatu hari ia pergi ke Lituavi untuk
mempelajari dialek-dialek yang, sampai kini, masih mengandung
aspek Indo-Eropa yang arkais (Favre dalam F.d.S. 31);
390

c) Doktor muda dari Universitas Leipzig pergi ke Lituania


untuk mempelajari, dari segi lisannya, dialek-dialek yang sampai
kini masih menyimpan aspek-aspek Indo-Eropa yang begitu
arkais dan yang nuansa-nua^a dalam infleksinya memaparkan
padanya beberapa segi dari rahasia sejarah bahasa manusia.
Dengan demikian ia adalah salah satu yang pertama kali
menjajagi penelitian bahasa secara langsung yang setelah itu
mengubah metode dan masalah linguistik. Beberapa saat kemu-
dian, Saussure tiba di Paris (Muret 1913, dalam F.d.S. 43).

Kami juga menemukan sunlber, pendapat dari Saussure


sendiri mengenai pengalamannya, berkat kaitan yang erat antara
tiga bukti: 1) bahasa Lituavi penting karena aspek arkaisnya,
maka ia penting dalam hubungannya dengan bahasa Indo-Eropa
(a, b,c);2)lebih penting lagi adalah bahwa Saussure menelitinya
di tempat(a); 3) sehingga, ia merupakan salah seorang yang (c)
menciptakan suatu metode (b) yang mementingkan bukti lisan
dari bukti tertulis (b), penelitian langue secara langsung ke
penelitian tidak langsung (c), artinya ia membentuk suatu
penelitian berdasarkan bukti lisan (b), dan penelitian parole
manusia (c).
Berhadapan dengan interpretasi semacam ini dan menge-
sampingkan keraguan Benveniste yang tidak mungkin diperbaiki,
kami mendapati posisi yang berbeda sama sekali dari ahli yang
paling benvenang mengenai studi gaya Saussure. Godel {SM 33)
secara umum menganggap bahwa kalimat yang membuka kata
pengantar PLU, yang mengatakan bahwa masalah-masalah di
dalam linguistik umum akan mengikuti Saussure "dengan setia"
dan "selama hidupnya", adalah berlebihan, dan menyokong
secara lebih khusus bahwa kritik radikal terhadap metode yang
ada dan masalah-masalah linguistik umum baru dijajagi oleh
Saussure setelah ia tiba di Paris.
Namun, analisis yang kami lakukan atas Memoire, tesis
doktor dan bukti-bukti perjalanan ke Lituania, mendorong kami
untuk meragukan pendapat R. Godel. Tinggal satu segi yang
patut diperbincangkan. Saussure sendiri telah menggarisbawahi
pentingnya "orang Amerika, Whitney" pada pandangannya, khu-
susnya mengenai orientasi dasar linguistik; Godel menganggap
391

kecil kesaksian Sechehaye atas tanggal pertemuan Saussure


dengan Whitney. Menurut Sechehaye (1917,9)"dalam priode itu
(masa-masa kehidupan di Leipzig), sebuah buku kemungkinan
besar telah memberi pengaruh yang mendalam pada pikirannya
dan telah mengarahkannya ke arah yang benar : yang kami
maksud adalah karya ahli Sanskerta Amerika, Whitney, Life and
Growth of Language (terbit pada tahun 1875)". Menurut Godel,
"kata-kata "kemungkinan besar" menunjukkan bahwa apa yang
dikemukakan Sechehaye lebih merupakan dugaan daripada
informasi yang diberikan oleh Saussure sendiri". Lagi pula,
Godel menambahkan, belum tentu buku-buku Whitney menda-
pat banyak tanggapan di Leipzig: "Saussure dapat saja mengenal-
nya kemudian". Mengenai butir ini, kita boleh tidak sependapat
dengan Godel.
Whitney (1827-7 Juni 1894; bdk. mengenai dirinya H.H
Bender, dalam Dictionary of American Biography, vol. 20,
London-New York 1936, dan potret panjahg lebar mengenai
Terracini 1949. 73-121) sangat terkenal sebagai ahli bahasa
Sanskerta di Jerman tempat ia menyempurnakan pendidikannya
pada tahun 1850 di Berlin dengan Bopp dan di Leipzig (justru)
dengan Rudolf Roth; ia, bekerja sama dengan Roth, telah
menyiapkan penerbitan "Atharva Veda Samhita" (Berlin 1856)
yang diikuti oleh "Alphabetisches Verzeichnis der Versanfange
der Atharva-Samhita" {Indische Studien 4, 1857). Kegiatan di bi-
dang Hindu yang dilakukan Whitney, yang secara umum dihargai
di Jerman (bdk. misalnya H. Schweizer-Siedler dalam KZ, n.F.,
I, 1873, 269-272), diakui secara resmi dengan pemberian hadiah
Bopp pada tahun 1870 oleh Akademi Berlin. Akhirnya, pada
masa Saussure berada di Leipzig, terbit karya Whitney, "A
Sanscrit Grammar, Including both the Classical Language, and
the Older Dialects of Veda and Brahmana" {Bibiliothek indoger-
manischer Grammatiken, Vol. 11, ed. Breitkopf dan Hartel,
Leipzig 1879). Karya ini terbit bersama terjemahannya dalam
bahasa Jerman oleh Zimmer, pembimbing Saussure di Berlin.
Pasti, menurut kutipan tesisnya yang telah dikemukakan
(Rec.272), bahwa Saussure mengenai Sanscrit Grammar, yang di
kalangan ahli Jerman mendapat banyak tanggapan, terutama
karena arah metodologisnya yang istimewa : A. Hillebrandt,
392

yang menyadari bakat ini dengan gembira (Bezzenberger Beitrd-


ge 5, 1880. 388-345), menyebutkan sebagai "batu tonggak dalam
sejarah tata bahasa dalam bahasa India Kuno", memujinya
karen'a sebaliknya dari studi komperatif yang biasa, bakat
tersebut adalah ingin menjadi dan menjadi suatu "penelitian
keadaan bahasa")(hal. 338).Tidak mungkin mengira bahwa ciri
itu tidak terlihat oleh ahli teori sinkroni. Di samping itu,
kenyataan bahwa pengaruh Whitney atas Saussure bermula dari
masa-masa di Leipzig sekarang diakui, dengan pernyataan dari
Robert Godel di dalam Journal de Geneve. Samedi litteraire
110 (11-12 Mei 1968).
Kami tidak memiliki peninggalan (selain kesaksian Seche-
haye) yang meyakinkan untuk mengatakan bahwa Saussure telah
mengenal karangan teoretis Whitney. Meskipun demikian perke-
nankan kami menelaah masalah ini lagi. Karya-karya teoretis
Whitney (sumber acuannya sering berubah-ubah menurut sum-
ber yang berbeda maupun kritik yang berbeda) adalah:
1. Language and the Study of Language. Twelve Lectures on the
Principles of Linguistic Science by W.D.W., London 1867
(Ceramah-ceramah tahun 1863);
2. Life and Growth of Language, London 1875:
3. Language and its Study with Special Reference to the Indoeuro-
pean Family of Languages. Seven Lectures by W.D.W.,
London 1876, ed. kedua 1880 (edisi ringkaS dari 1)
1. Nampaknya tidak pernah diterjemahkan ke dalam ba
hasa Jerman, (tetapi dikomentari secara panjang lebar oleh W.
Clemm, KZ 18, 1869. 119-125;
2. Terbit bersama terjemahannya dalam bahasa Perancis
{La vie du langage, Paris 1875) dan tahun berikutnya dalam
bahasa Italia di dalam terjemahan F. D'Ovidio(Milano 1876) dan
dalam bahasa Jerman {Leben und Wachstum der Sprache, Leipzig
1876) di dalam terjemahan guru Saussure, yaitu Auguste
Leskien. Peleburan kembali karya nomor 1, yang sama dengan
nomor 3, disusun oleh Julius Jolly pada tahun 1874: Die Sprach-
wissenchaft W.D.W's Vorlesungen ilber die Principien der
vergleichenden Sprachforschung, fur das deutsche Publikum
bearbeitet und erweitert von J.J. (Munich 1874, dengan pengantar
mengenai Whitney dan teorinya (hal. III-XVII)). Pada tahun
393

yang sama terbit di dalam G.G.A., 18 Februari 1874, 205-218,


sebuah artikel panjang dari Jolly mengenai Whitney, orientalis
dan ahli linguistik umum.
Hampir tidak bisa dipercaya bahwa karya-karya yang
begitu meluas dengan pokok masalah dan dari seorang penulis
yang menjadi guru Saussure dan Saussure sendiri mengenai dan
mengaguminya justru tidak dikenal oleh Saussure. Untuk mene-
gaskan ketidaktahuan S., kami juga harus menolak kesaksian
eksplisit dari Sechehaye. Pendek kata, tanpa menghubungkan S.
dengan ahli teori Whitney pun, minat Saussure pada teori
memang terbukti. Tetapi bukanlah gegabah kalau kita percaya
pada Sechehaye dan mengakui bahwa, sejak masa kehidupan di
Jerman, minatnya pada teori umum bahasa (pada tahun 1894
Saussure akan mengatakan bahwa minat tersebut hadir di
jiwanya "sejak lama") menemukan sumber acuan pada diri
orientalis Amerika pencipta lingustik statis.

4. Paris : Sekolah dan "Societe"

Saussure menetap di Paris pada musim gugur 1880 (pada


tahun 1881 ia tinggal di 3, rue de POdeon). Francis de Crue
adalah salah satu teman belajar {F.d.S. 21). Ia mengikuti kuliah-
kuliah Michel Breal dan (mulai bulan Februari 1881), di Ecoles
des Hautes Etudes, kuliah bahasa Iran dari J. Darmesteter,
bahasa Sanskerta dari A. Bergaigne (keduanya bersikap dingin di
dalam laporan mereka mengenai mahasiswa baru ini), dan
terakhir, kuliah filologi latin dari Louis Havet, yang telah menge-
mukakan kekagumannya pada Saussure dan mengulangi-
nya lagi dengan bersemangat di dalam laporannya pada tahun
1881 (Fleury 1965.39). Edouard Favre bercerita: "suatu hari, kata
orang, seorang pengajar membahas pokok masalah yang telah
diteliti oleh Saussure, meminta kepadanya untuk menggantikan
tempatnya dan, hari itu, mahasiswa dari Jenewa itu memberi
kuliah" (F.d.S. 31). Pengajar tersebut mungkin sekali Havet.
Memang, dalam kuliah-kuliah Havet, Saussure menggantikannya
untuk berbicara tentang masalah n dan m "vokal" dan bunyi-
bunyi velar (Fleury 1965. 40). Saussure membentuk diri dengan
394

sangat cepat.'Breal menyerahkan kuliah-kuliahnya di Ecole dan


pada tanggal 30 Oktober 1881, pada usia 24 tahun, ia ditetapkan
sebagai "lektor kepala mata kuliah bahasa Gotik dan Jerman
Tinggi Kuno"(/M5L . 5, 1884. XIII, Gauthiot dalam F.d.S 75).
Kuliah mulai pada tanggal 5 November. (Muret dalam F.d.S).
Pada hakekatnya kuliahnya semula mengenai "bahasa Germania"
(Gauthiot 90; Meillet dalam F.d.S. 75). Gajinya (disetujui walau
ada sedikit kesulitan dari pihak Cour des comptes karena
Saussure sebenarnya dapat — tetapi tidak mau — menjadi warga-
negara Perancis) mula-mula 2000 Franc. Selanjutnya, ketika pro
gram kuliahnya bertambah dan sejak 1888 Saussure menjadi
"lektor kepala" sepenuhnya, gajinya naik menjadi 2500 dan
kemudian menjadi 3000 franc (Fleury 1965, 40-41).
Berkali-kali orang menekankan jumlah dan mutu mahasis-
wa di dalam masa perkuliahan S. di Paris (Meillet \9\'i=F.d.S.
76, Muret 1913 = F.d.S. 43-44, Gauthiot 1914 ; F.d.S. 90-92).
Namun, perkiraan itu lebih rendah daripada hasil penelitian yang
paling mutakhir (Fleury 1965. 53-67). Dalam waktu 9 tahun,
jumlah mahasiswanya mencapai 112, angka yang sangat tinggi
apabila kita memperhatikan bahwa saat itu untuk pertama
kalinya diadakan kuliah linguistik historis dan komparatif di
sebuah universitas Perancis (Benveniste, 1965. 22) dan bahwa
ilmuwan muda itu, seperti yang kita lihat nanti, tidak memuaskan
diri dengan pendengar dan memaksa mahasiswanya untuk meng-
hasilkan karya pribadi setiap minggu. Tetapi, mutu mahasiswa
tidak kalah dengan jumlahnya, 40 adalah mahasiswa asing; 16
Jerman,9 Swiss (di antaranya para linguis dan filolog H. Meylan,
H. Micheli, E. Muret, G. de Blouoy),4 Rumania(M. Calloiano,
M. Demetrescu, J. Dianu atau Diano, D. Evolceanu), 4 Belgia
(di antaranya terdapat salah satu murid yang diharapkan dapat
berkembang, tetapi menghilang secara prematur, F. Mohl,
L.J. Parmentier dan ahli bahasa India L. de La Vallee-Poussin),
2 Rusia (F. Braun, I. Goldstein), 2 Hongaria (Ch. Gerecz,
I. Kont), 2 Belanda (G.B. Huet, A.G. van Hamel), A. Enander
dari Swedia, J. Kirste dari Austria.
Di antara mahasiswa Perancis, di samping tokoh-tokoh
dunia seperti penyair Piere Quillard dan Marcel Schwob, guru-
guru sekolah menengah dan sejumlah "agrege de Funiversite",
395

terdapat pula dua puluhan nama pengajar linguistik, filologi


klasik, keltologi, Indianistik, Slavistik: E.M. Audouin, P. Boyer
(1887-1891). Arsene Darmesteter (1881-1882), E Ch Lange,
H. Lebegue, L. Leger (1881-1882), P. Lejay, S. Levi, H. Lich-
tenberger (1883-1884), F. Lot (1890-1891), H. Pernot (1890-
1891), J. Psichari (1887 - 1888). Catatan-catatan ilmiah mengenai
Braun, lahir tahun 1862 di St. Petersbourg dengan nama kecil
Fedor, mula-mula hidup di Rusia sebagai ahli bahasa Germania,
kemudian di Jerman sebagai ahli bahasa Slavia dengan nama
kecil Friedrich dan meninggal di Jerman, telah dikumpulkan oleh
G. Lepschy, "Contribute all'identificazione degli ascoltatori di
Saussure a Parigi: Fedor-Friedrich Braun", Studi e saggi linguisti-
ci, 32, 1969, 20^210.
Perlu dikemukakan pula G.E. Guieysse, yang mengikuti
kuliahnya sejak tahun 1887 dan nampaknya merupakan murid
kesayangan Saussure yang menangisi kepergiannya pada tahun
1889, L.L. Duvau yang atas usul Saussure sendiri diminta
menggantikannya di Ecole des Hautes Etudes (t 14 Juli 1903),
Maurice Grammont (yang menghadiri kuliahnya yang terakhir),
Paul Passy (yang menghadiri kuliah tersebut antara tahun 1885
dan 1887) dan Antoine Meillet yang terdaftar pada Ecole sejak
tahun 1885, mengikuti berbagai seminar sejak 1887 dan yang
menggantikan Saussure pada tahun 1889-1890 pada saat Saussure
cuti sakit (dan untuk pergi ke Lituania [Redard]).
Tak mungkin rasanya mengemukakan apa arti Saussure
bagi aliran linguistik Perancis dan juga kebudayaan dunia, tanpa
menonjolkan bakat-bakat pedagogisnya.

Seminar-seminar, diadakannya di Ecole des Hautes Eudes


..., wataknya membenci kalimat-kalimat yang melambung dan
pertengkarari di kalangan ilmuwan yang sering kali hanya jual
omong (De Crue dalam.F.d.5.|17).
la mengajarkan selama sepuluh tahun dengan cemerlang
dan kewibawaanya yang tanpa tanding dan, diantara pengajar
yang disegani, ia adalah yang paling didengar dan paling disukai.
Yang kami kagumi di dalam kuliah-kuliahnya adalah adanya
penjelasan yang luas dan dapat dipertanggungjawabkan, metode
yang sistematis, pandangan umum yang dihubungkan dengan
396

rincian yang tepat, kata-katanya jelas, mudah dimengerti dan


indah. Selama 30 tahun selanjutnya, ia kukenang sebagai salah
satu yang paling bersemangat intelektual tinggi yang pernah
kutemiii dalam hidup (Muret dalam F.d.S. 43-44)".
F. de Saussure memang benar seorang master: untuk
menjadi pengajar, tidak cukup dengan mengulangi buku pegang-
ari yang sudah betul dan dikenai semua orang di depan para
pendengar, tetapi harus memiliki doktrin dan metode dan
menyajikan ilmu dengan warna pribadi. Pelajaran yang diterima
mahasiswa dari F. de S. mempunyai niiai umum, mereka menyi-
apkan diri untuk bekerja dan membentuk jiwa; rumus-rumusnya
dan definisi-definisinya melekat dalam ingatan seperti pemandu
atau model. Dan ia membuat ilmu dicintai dan dirasakan. Jelas,
pikirannya yang seperti penyair sering membuat penyajian
kuliahnya berbentuk imajinasi dan tidak mungkin dilupakan lagi.
Di belakang rincian yang diberikannya, kita menangkap suatu
dunia gagasan yang umum dan kesan-kesan; lagi pula nampaknya
ia tidak pernah memberikan kenyataan yang sudah jadi di dalam
kuliah-kuliahnya. Ia mempersiapkan dengan teliti apa-apa yang
akan dikemukakannya, tetapi ia baru memberikan bentuk yang
pasti bagi gagasan-gagasannya pada saat berbicara; dan ia
berhenti berwujud, tepat pada saat ia mengemukakan sesuatu;
pendengarnya seakan bergantung pada gagasan yang sedang
dibentuk yang tercipta lagi di depannya dan yang tepat pada saat
gagasan tersebut terumus secara paling sistematis dan paling
jelas. Pribadinya membuat ilmunya dicintai, orang heran melihat
mata biru yang penuh misteri itu menangkap kenyataan dengan
ketepatan yang tinggi; suaranya yang berirama dan serak mem-
buang kekeringan dan hambarnya fakta tata bahasa. Di hadapan
gayanya yang aristokratis dan muda, tak terbayangkan adanya
keluhan bahwa linguistik tidak hidup (Meillet dalam F.d.S. 76-77)
Saussure menjalin hubungan langsung dengan mahasiswa-
mahasiswanya. Dari satu kuliah ke kuliah berikutnya, mereka
harus mengerjakan "latihan praktek", "membangun . . . (suatu)
tata bahasa berdasarkan teks tertentu", "menginterpretasikan
teks secara bergilir", mengerjakan "latihan membaca", dan sete-
rusnya (laporan de Saussure dalam Fleury 1965. 56, 57, 58, 59,
dst). Sehingga 30 atau 40 tahun kemudian, murid-muridnya, yang
bukan ahli linguistik sekalipun, tetap mengingat pelajaran terse
but (Benveniste 1965, 27).
397

Dari tahun 1881 sampai 1887, kuliah-kuliahnya mengenai


bahasa Gotik dan Jerman Tinggi Kuno. Pada tahun 1887-1888
kuliahnya diperluas dengan tata bahasa komparatif Yunani -
Latin. Tahun berikutnya ditambah dengan bahasa Lituavi, dan
akhimya kuliah-kuliah tersebut pada prakteknya berisi linguistik
Indo-Eropa (Gauthiot dalam F.d.S. 90 dan Fleury 1965. 53-67).
Setiap tahun Saussure menyusun laporan pendek tentang
kuliahnya (disunting oleh Fleu^y, cit.). Di dalam laporan-lapor-
annya nampak "doktrin logis yang membimbingnya"(Benveniste
1965, 29). Dualisme antara "sudut pandang fisiologis" dan
"historis" nampak dengan jelas dan sudah menguasai kuliahnya
pada tahun 1881 (Fleury 1965. 55). Di sini dim di kuliah-kuliah
berikutnya, tujuan utama adalah "menonjolkan ciri pembeda
bahasa Gotik di tengah rumpun Germania"(ibid. 56). Benveniste
(cit. 29) mencatat ungkapan "traits distinctifs" sebagai modem
tapi aneh: "sebenarnya Saussure telah menggunakan istilah
"caractere distinctif secara tepat di.dalam tesisnya (supra 1421).
Benveniste sendiri pun menekankan laporan mengenai kesim-
pulan kuliah kedua di Paris:

Kesamaan di antara dialek-dialek, baik di antara mereka


maupun dengan bahasa Jerman modern mengandung bahaya.
Makna kalimat-kalimat cukup mudah untuk diterka sehingga
kekhususan tata bahasa terlepas dari perhatian; inilah yang
sering kali menyebabkan kerancuan gagasan mengenai bentuk-
bentuk dan {aturan-aturan... Seorang pemula harus menyusun
sendiri tata bahasanya berdasarkan teks tertentu dan membentuk
hukum yang ketat. Bahkan interpretasi dilakiikan secara eksklusif
pada petikan yang cukup banyak dari puisifOtfrid...., Baru pada
akhir -tahun, dan setelah mengenai dengan baik tata bahasa
Otfrid, para mahasiswa diperkenalkan kepada teks Tatien dan
Isidore, dan mereka diajak untuk menandai setiap divergensi
dengan dialek yang mereka kenal (Fleury 1965. 57).
Dan Benveniste berkomentar(1965,30-31):
Secara implisit di sini kami membahas prinsip deskripsi
sinkronis yang diterapkan pada keadaan Suatu langue atau suatu
teks: di sini pun itu membutuhkan suatu definisi pembeda dari
keadaan langue atau dialek-dialek; sebaliknya hal ini berimplikasi
398

bahwa k'ekhasan suatu langue yang satu dengan yang lain, dan
tidak boleh ditelaah sendiri sendiri Lebih dari [sekadar
mengajarkan tata bahasa komparatif secara kuno - yaitu mem-
bandingkan bentuk-bentuk yang terpisah dalam hubungan-
hubungan tanpa kepaduan - S. memperkenalkan kepada maha-
siswanya metode deskriptif yang telah dibedakannya di dalam
analisis historis....

Mungkin sekali kemauan untuk bereksperimen dengan


menghubungkan analisis linguistik dengan masalah-masalah
umum ini yang telab menghindarkan Saussure dari "krisis" yang
kami sebutkan di atas (supra 419-420): singkatnya di dalam ku-
liahnya, perhatian kepada kesusastraan tidak kurang (misalnya,
pembahasan Hildebrandslied yang dibaca pada tahun 1883^
1884), tetapi laporan-laporannya seringkali terbatas pada pen-
Jelasan mahasiswa karena selama tahun pelajaran mereka tidak
sempat mengkaji dan membaca teks sastra dari negeri Utara
(Fleury 1965, 61) atau membaca Mittelhochdeutsch (dimasukkan
dalam program relatif terlambat, pada tahun 1887-1888: Fleury
1965, 65).
Perhatian Saussure pada linguistik umum tidak sekedar
merupakan dugaan implisit yang ditentukan dalam rumus des
kriptif yang jelas, analisis historis yang mendalam, gaya pribadi
di dalam kuliah-kuliahnya di Paris. Meillet menulis (1916: 33):.
Saya belum pernah mendengar kuliah P. de S. mengenai
linguistik umum. Tetapi gagasan F. de S. cepat sekali terbentuk
dengan |pasti Doktrin yang diajarkannya di dalam kuliah
linguistik umum (di Jenewa) adalah doktrin yang mempengaruhi
kuliah tata bahasa komparatif yang diberikannya 20 tahun lebih
awal di Ecole des Hautes Etudes dan yang saya ikuti. |Saya
mendapatinya lagi sebagaimana adanya karena sering kali dok-
trinnya mudah ditebak.

Tetapi pada tahun |1885-1886, dua tahun sebelum Meillet


mulai menghadiri kuliah Saussure,. kuliahnya memiliki ciri yang
khas:

Karena sebagian besar mahasiswa telah mengikuti semi-


narnya tahun yang lalu, memungkinkan baginya untuk mendo-
rong mereka lebih ilmiah, yaitu studi tata bahasa Gothik.. Studi
399

tersebut.... dan beberapa kuliah yang membicarakan garis-garis


besar metode linguistik dan kehidupan langue, telah mengisi
semester pertama dan sebagian semester kedua (dalam Fleury
1965. 62).

Di antara yang menghadirf kuliahnya terdapat Paul Passy


yang kemudian menjadi ahli fonetik, yang karyanya Etudes sur
les changements phonetiques et leurs caracteres geniraux (Paris
1890, khususnya hal. 227), disukai oleh Noreen {infra 509-
510), dan dianggap sebagai "penyajian yang paling jelas dari
teori fungsionalis mengenai perubahan fonetis" (Martinet
1955,42).
Di samping memberi kuliah di Sorbonne, Saussure meng-
abdikan diri pada Socidte de Linguistique. Terdaftai^dan dikenal
sejak Iqma {supra 380-381) .ia menghadid seminar-seminar
secara pribadi sejak tanggal 4 Desember 1880 (Meillet dalam
F.d.S 75). Ia cepat sekali menguasai tugas-tugas administratif
(Benveniste 1965. 24), dan menyajikan karya tulis pada seminar
tanggal 22 Januari dan 28 Mei 1881, mengenai "akar Ario-Eropa
jpada eiua" {Rec. 600), tanggal 30 Desember 1881 mengenai
"fonetik patois di Fribourg" {Rec. 600-601; Baudoin menghadiri
seminar tersebut, lihat infra) tanggal 4 Februari 1882, lagi
mengenai patois Fribourg {Rec. 601). Pada tahun pertama
kehidupan di Parislah berasal catatannya dalam MSL 4. 1881.
432(/?ec. 403)mengenai "Ayaiiinvwv < ♦•AYa-iiev(Ao>v dalam hubung-
annya dengan bahasa Sanskerta man-ma "pikiran").
Pada seminar tanggal 16 Desember 1882, L. Havet mele-
takkan jabatannya sebagai "sekretaris pembantu". Dia digantikan
dleh Saussure.

Sampai saat keberangkatan dari Paris, laporan tentang


seminar-seminar selalu disusun dengan keanggunan yang khas
Saussure; tetapi laporan-laporan tersebut terlalu jarang menye-
butkan observasi yang dilakukannya di mana ia dengan sangat
halus dan ksatria menunjukkan titik-titik lemah yang terdapat di
dalam karya tulis yang baru didengarnya atau butir-butir yang
menarik (Meillet dalam F.d.S. 75-76).
Pada periode yang sama, Saussure menduduki jabatan
dxrcktwr Memoires de la Societe de Linguistique {MSL), sam^
pai mengawasi redaksinya dan mengontrol koreksi dengan
400

sangat teliti. Seminar-seminar Societe, dengan Breal, Bergaigne,


Havet dan anggota-anggota dari luar negeri, menjadi tempat di
mana gaya dan aliran Saussure terbentuk. Perlu dicatat, di antara
anggota-anggota dari luar negeri, nama-nama seperti J.
Baudouin de Courtenay, yang berkali-kali bertemu Saussure dan
memperkenalkan kepadanya karya-karya H. KruszewskiJ
Sepuluh tahun hidup di Paris relatif dipenuhi dengan
catatan dan catatan pribadi, yang kadang-kadang sangat pendek,
tetapi semuanya menampilkan "ein Kabinettsstiick" (Wackerna-
gel).
1884: Une loi rythmique de la langue grecque fini merupa-
kan lex Saussure mengenai bahasa tribraka. Melanges Graux 737-
748 = Rec. 464—476); surat mengenai nama-nama keluarga besar
Aris yang diterbitkan oleh A. Giraud-Teulon, Les origines du
manage et de la famille, Jenewa 1884, 494-503(=Rec. 477-480);
catatan dalam MSL 5, 1884; VMique libujd-paleoslave lobiizati,
Sudo, vieux-haut-allemand murg murgi(khususnya 232, 418, 449
= ^ec. 404, 405, 406-407).
1885: 5 Desember,karya tulis mengenai lex fiowcoAog (Rec.
417-418).
1887: "Comparatifs et superlatifs germaniques de la forme
inferus, infimus"(Md. Renter 383 dst. = Rec. 418-489); karya
tulis untuk Societe (17 Desember) mengenai hubungan rumpun
tak langsung antara kata Latin co/Zis dan Jerman Tinggi Kuno
holz (Rec. 601); 8 Januari dan 2 April 1887 Sur un point de la
phonetique des consonnes en indo-europeen (MSL 6, 1889. 246-
251 = Rec. 420-432).
1888: karya tulis mengenai gerundif Latin (14 Januari 1888
= Rec. 601).
1889: MSL jilid VI berisi catatan, sebagian sudah disebut di
atas karena berasal dari tahun-tahun sebelumnya mengenai ocJriv»
ludus, aAjcucuv'; Jer. Schwalbe, wara^w, Xvl ov, x rjvq, ip/Jrj ig,
Sanskerta stdkd-s, mengenai komparatifoaxpwv, mengenai kata
Gotik wilwan (Rec., 408-419, 433^34). Juga berasal dari tahun
yang sama, catatan dalam MSL 1, 1892 (hal. 73-93) mengenai
"enam" dalam bahasa Indo-Eropa, mengenai tp ujcto<, Ixvmc,,
bahasa Prusia Kuno siran, mengenai u dan mengenai bentuk
feminin berakhiran"dalam bahasa Prusia Kuno, mengenai kata
401

Gotik Paurban, mengenai axeutv, eniTrjde^, m i<*vn£ t, rjvia,


OK uoei<, X, © untuk KS, Ps, mengenai — vn6o — untuk
-oi*Yo- mengenai kata Atika ->pV untuk - p& mengenai kata
Lituania (Rec. 435-463). Masih kerja untuk Societd: 26
Januari mengenai kekhasan persajakan Homerus (Rec. 603), 9
Februari mengenai noAA(5<, 8 Juni mengenai aksen dalam bahasa
Lituania (disusun kembali untuk MSL 8, 1894. 425-448 = Rec.
490-512, sebagai artikel pertama suatu serf yang nyatanya tidak
pernah ada kelanjutannya: Meillet F.d.S. 82).
1891: Di dalam tiga sidang Societe, Saussure membahas
kata benda Jerman dari Vistule, etimologi Hexe dan akhirnya
beberapa aspirat tak bersuara seperti th dalam prthus, "luas", di
mana h a : dengan catatan tersebut, yang mengulang kembali
masalah Mdmoire, berakhirlah periode Paris(SM 23,. catatan 1).
Catatan-catatan Paris, lebih yang tersurat di judul, dikuasai
oleh penelaah dan perbandingan bahasa-bahasa Germania (ety
mons dari dt8f,v, ludus, xpVn. wuktA?, dtxiwv)dan bahasa-bahasa
Baltik( yuoTit^w, t|*0i)pi(, itiitiv, nept, )• Bahasa
Baltik menarik perhatian Saugsure secafa khusus selama tahun-
tahun terakhir ia berada di Paris, demikian pula selama tahun-
tahun pertama di Jenewa. Ia menyusun kembali karya tulisnya
mengenai tekanan dalam bahasa Lituania dan memusatkan
perhatian pada pokok masalah yang sama di dalam karya tulis
yang dibacakan di dalam Kongres Orientalis Internasional ke X,
bulan September 1894 (Actes I 89 dan selanjutnya Anzeiger
dalam IF 6, 1896, 157-166). Ia juga menelaah bahasa Lituavi
dalam risalahnya dalam IF jilid 4, 1894, untuk menghormati
Leskien, Suv le nominatif pluriel et le genitif singulier de la decli-
naison consonantique en lituanien (hal. 456-470 = Rec. 513-525).
Meillet yang pasti masih ingat pada surat tanggal 4 Januari
1894 (lihat infra 452-453) menulis mengenai penelitian bahasa
Lituavi:

F. de S. sangat khawatir melihat masalah-masalah jenis ini


402

terbuang'percuma akibat petunjuk-petunjuk yang tidak lengkap


yang karena hanya menunjukkan perincian, memberikan hasil
yang tidak benar. Tidak ada kenyataan ilmiah di luar suatu sistem
iengkap di mana semua peristiwa diletakkan di tempatnya yang
tepat.... (dalam F.d.S. 82).
Di samping itu, Saussure sendiri telah menulis di dalam risa-
lahnya mengenai nominatif {cit. ud. 457= Rec. 514):

Bagaimana pun juga kita tidak boleh bertitik toiak dari prinsip
yang mengatakan bahwa vaiensi suatu bentuk adalah keutuhan di
dalam teks yang digaii, artinya di daiam keseluruhan situasi
, morfologis, fonetis, ortografis, y^ng mengelilinginya dan mene-
ranginya.

Pemikiran yang timbnj pada masa Mimoire dan tesis


mengenai keberadaan dait kesisteman bentuk-^entuk feahasa
mendapatkan jawaban di dalam karya tersebut, mungkin begitu
pula dengan diskusi-diskusinya dengan Baudouin dan pembaca
Prinzipien karya Kruszewski. Kami mengetahui sekarang bahwa
diskusi tersebut merupakan pencerminan renungan di tahun-
tahun pertama di Jenewa dan di situ kami mendapatkan bibit
utama dari Cours de Linguistique Generate.
Pada tahun 1891, oleh sebab-sebab yang kurang jelas,
Saussure memutuskan untuk meninggalkan Paris. F. de Crue
menulis mengenai hal ini (dalam F.d.S. 18-19):

Semangat patriotis juga merupakan agama. Demikianlah,


pada saat P. de. S. akan memasuki kalangan elite Paris dan
mendapatkan kedudukan penting di College de France yang
termasyur itu , ia menolak masa depannya yang pasti penuh
kemuiiaan, untuk dapat tetap memiliki kewarganegaraan Swiss".

Lebih jelas bagi E. Favre {F.d.S. 33-34), "ia seharusnya


dapat menggantikan M. Breal di College de France seandainya ia
menjadi orang Perancis", tetapi "ilmuwan ini tetap orang Jenewa
yang patriotis"dan karena itulah ia kembali ke Jenewa, di mana
universitas telah menyediakan tempat baginya dibidang linguistik
(lihat infra). Maka Saussure meninggalkan Paris. Di Arsip
Nasional masih tersimpan penghargaan (yang nampaknya di-
403

ilhami oleh Gaston Paris) ketika ia mendapatkan bintang kehor-


matan "bagi orang asing":

Tuan de Saussure telah bereputasi sebagai ahli linguistik


dan filologi ketika, atas undangan kami, ia datang ke Paris dan
bersedia menjadi lektor kepala di jurusan sejarah dan filojogi di
Ecole des Hautes Etudes. Sekarang di Jenewa ia akan mendiiduki
kursi profesor yang diciptakan khusus untuknya. Dengan mening-
galkan kami, ia membawa penjelasan bagi semua rekan seker-
janya, dan Tuan Michel Breal dan Tuan Gaston Paris, sebagai
anggota Institut, menjadi penyambung lidah dan pikiran bersama
di Ecole dengan menyampaikan keinginan agar Tuan de Saus
sure, melalui pemberian gelar kehormatan itu, membawa serta
bukti nyata dari penghargaan kami dan rasa terima kasih kami
(dikutip dari Fleury 1965. 41 - 42).

5. Jenewa:Pengajaran dan Penelitian.

Di Jenewa, Saussure mulai mengajar pada awal semester


musim dingin 1891 (jSM 24 dan Muret dalam F.d.S. 44 dan 47).
Ia yang dari tahun 1891 sampai tahun 1896 menjadi guru besar
luar biasa diangkat menjadi guru besar tetap bahasa Sanskerta
dan bahasa-bahasa Indo-Eropa(De Crue dan Favre dalam]F.d.s.
17 dan 31). Di samping tugas-tugasnya di bidang pengajaran, ia
juga direktur perpustakan F.S dari ilmu-ilmu sosial, dan
karyanya dalam tugas ini, "mengatur pemasukan buku dari hari
ke hari dan klasifikasinya" (De Crue dalam F.d.S. 18). Dari
semester musim panas tahun 1899 hingga semester musim dingin
1908, setiap tahun ia memberi kuliah fonologi bahasa Perancis
modern dan mulai tahun 1900-1901 juga memberi kuliah persa-
jakan Perancis ("Studi kaidah persajakan dari abad XVI sampai
sekarang"), keduanya di dalam seminar Perancis modem (jSM
13 |dan 26). Selama semester musim panas tahun 1904 ia
menggantikan Emile|Redard mengajar bahasa dan kesusastraan
Jerman dan memberi kuliah tentang Nibelungen; ia juga menga
jar linguistik umum sejak tahun 1907 (lihat infra).
Selama 21 tahun, sampai saat wafatnya, Saussure memberi
kuliah lengkap bahasa Sanskerta setiap tahun. Ia menyiapkan
sendiri dengan sangat teliti latihan-latihan bagi rnahasiswa yang
404

kemudian mengirim pekerjaan mereka ke rumah sehingga pada


kuliah berikutnya pekerjaan mereka sudah dikoreksi.

Tak ada yang lebih luar biasa dari caranya menghargai


pekerjaan kami. la mendapati kesulitan yang begitu khusus dan
dapat dihindari, ia banyak memuji meskipun pekerjaan kami
penuh kesalahan. Tetapi, yang sebaliknya juga terjadi, karena
kekeliruan tertentu membuatnya geregetan. Suatu hari, setelah
menyatakan kepada saya - suatu hal yang sangat jarang terjadi -
bahwa saya hanya membuat satu kesalahan di dalam satu
halaman yang panjang, ia memberitahu dengan sedih bahwa
meskipun demikian ia memberi angka nol karena kasus yang tak
termaafkan, saya telah mengacaukan a pendek dengan a panjang
(Duchosal 1950. Ia mengikuti kuliah pada tahun|1896-1898).
Dengan kewibawaan yang ditunjukkan pada kami pada
pertemuan pertama, guru ini telah menanamkan disiplin inte-
lektual yang sampai kini - saya berbicara mengenai saya sendiri -
belum pernah kami kenal. Saya ingat suatu hari ia mengembali-
kan pekerjaan bahasa Sanskerta saya - karena ia bersusah payah
memberi kami latihan dan memeriksanya - di mana saya
mengacaukan banyak a panjang dan a pendek dan sering lupa
memberi titik di bawah jdan di bawah n. Ia memberi catatan ini:
saya hams menjaga|Anda sejak sekarang dari bahasa Sanskerta
kira-kira (Sechehaye dalam F.d.s. 64).

S. Karcevskij, yang menghadiri kuliah bahasa Sanskerta


pada tahun 1911-1912, menyimpan 40 halaman latihan,semuanya
tulisan tangan Saussure {SM 26, catatan 13).
Di samping bahasa Sanskerta dan kuliah yang telah
disebutkan di atas mengenai fonologi dan persajakan Perancis,
Saussure memusatkan perhatian terutama pada kuliah bahasa
Yitnani dan Latin dan, dengan perhatian yang sedikit lebih
banyak, terutama di tahun-tahun pertama, pada kuliah bahasa-
bahasaiGermania^. Karena alasan yang pada pokoknya pedago-
gis, di dalam memberikan kuliah kepada pendengar yang tingkat
pengetahuannya lebih tinggi, Saussure mengalihkan perhatian
dari pokok masalah yang lebih teknis yang dibahas di Paris. Baru
pada tahun 1897, ketika di Jenewa dibentuk kelompok pengikut
Saussure yang bermutu tinggi, kuliah diberikan lebih terarah,
lebih bervariasi dan lebih berbobot. Tepatnya pada tahun 1897,
405

Bally meminta pada Saussure untuk memberi kuliah bahasa


Gotik, dan empat tahun kemudian memintanya memberi kuliah
bahasa Lituavi (Duchosal 1950, SM 26). Muridnya sangat sedikit
(Gautier 1916): Bally, salah satu yang paling setia, mengikuti
kuliah dari 1893 sampai 1906 SM 16); Duchosal adalah murid
satu-satunya selama satu lahun kuliah bahasa Gotik dan di
samping Duchosal, pengikut setia lainnya adalah A. Sechehaye
yang hadir dari tahun 1891 sampai tahun 1893 dan V. Tojetti yang
menghadiri kuliah pertama dan kemudian kuliah bahasa Gotik
(Sechehaye dalam F.d.S. 61). Pada tahun-tahun terakhir, L.
Gautier, A. Riedlinger, P.P. Regard juga rajin datang. Naskah
yang sedikit yang dapat disimpan (Saussure biasanya mengubah
catatan yang dipersiapkan untuk kuliah) menunjukkan betapa
telitinya ia memberi kuliah di Jenejva (SM 26), meskipun ada
perbedaan yang jelas "antara pendengar di Paris dan di Jenewa".

Tetapi hal tersebut tidak membuatnya putus asa. Dengan kapur


di tangan, sejak kedatangannya selalu berdiri, tidak pernah
melihat catatan, ia memenuhi papan tulis yang besar-besar
dengan berbagai istilah, kutipan dari berbagai naskah kuno yang
menakjubkan, dan, tak henti-hentinya, tanpa terbalik, pan-
dangannya kadang-kadang terarah ke langit melalui jendela yang
tinggi, memberikan penjelasan dengan suara yang lembut dan
mendatar. Mengikuti kata-katanya tidak selalu mudah ...
(Duchosal 1950).

Seperti juga murid Perancis, murid Jenewa terkesan akan


kejelasan kuliah yang disajikan, dan di balik itu mereka Imelihat
metode yang umum:

Memberi gambaran tentang cara anda memberi penjelasan


merupakan hal yang mustahil karena hal itu unik. Hal itu
merupakan imaginasi ilmiah yang paling berisi yang dapat
dibayangkan orang, dan dari situ memancar gagasan-gagasan
kreatif; caranya mengajar lentur tapi sekaligus tegas... metode-
nya..... merupakan penerang pandang yang menakjubkan
(Bally 1908 dalam F.d.S. 32-33; bdk. juga Bally 1913, Sechehaye
dalam F.d.5. 62-63,/5M 26-27).
406

Kecuali' tugas universitas, yang dilaL^^anakan dengan


sangat tekun, kehidupan S nampak berlalu dengan tenang;
Saussure mengawini Marie Faesch, keturunan keluarga tua
Jenewa, dan dari perkawinan tersebut lahir Raymond dan
Jacques. Musim dingin, ia sering tinggal di kota, di rurnah La
Tertasse, musim panas di Malagny, di dekat Versoix, tempat
tinggalnya di masa kanak-kanak, semula sekali-kali dan kemu-
dian lebih teratur (sejak 1903) di Creux de Genthod (David
dalam F.d.S. 36 dan Saussure Lettres 94, 98,99 dan surat tanggal
26 Februari 1903). Sejak 1907, surat-suratnya beralamat Vuf-
flens sur Merges {Lettres, 107), keluarga Faesch memiliki sebuah
puri (menaranya, menurut legenda, kemungkinan tempat ratu
Berthe) di kota itu. Perjalanan yang dapat kami ketahui jarang :
ke Perancis dan ke Paris pada tahun 1893 {Lettres, 93), ke Italia,
tempat ia berlibur dengan istrinya ke Napoli pada bulan Desem-
ber 1905, dan ke Roma mulai Januari 1906, di hotel Pincio de la
via Gregoriana {Lettres, 105-106), kembali ke Paris ditemani istri
dan ipar perempuannya pada tahun 1909 {Lettres, 120-121), ke
Inggris dan Paris pada tahun 1911 (surat kepada Meillet
tertanggal 11 Oktober 1911). Setelah kongres kaum orientalis
pada tahun 1894 (lihat lebih lanjut), ia jarang mengadakan
hubungan dengan dunia luar. Surat-suratnya lambat dan tidak
teratur. Saussure sendiri bergurau mengenai epistolophobienya
{Lettres, 93); di dalam suratnya kepada Meillet bertanggal 27
November 1900, misalnya, "saya mulai menulis sebuah surat
untuk Anda yang tidak pernah saya kirim. Tapi segera akan saya
kirim": "segera" ini adalah tanggal 28 Oktober 1902, tanggal dari
suratnya yang kemudian. Di samping Meillet (surat-surat yang
diterimanya dari Saussure telah dipelajari oleh Benveniste pada
tahun 1963), terjadi surat-menyurat di antaranya dengan Streit-
berg yang pada tahun 1903 meminta kepada Saussure penjelasan
mengenai asal mula Memoire. Dari situ tersusun Souvenirs (lihat
supra c.l) yang diperoleh Streitberg bukan dari Saussure melain-
kan setelah wafatnya, dari Ny. Saussure (Streiberg 1914. 203 c.
!)•
Pada masa kehidupan di Jenewa, karya yang diterbitkan
dan kegiatan ilmiah juga makin jarang. Pada tahun 1894 ia
mengorganisasi kongres kaum. orientalis ke-X yang diadakan di
407

Jenewa pada bulan September. Pada tanggal 8 September


Saussure menyajikan karya tulis mengenai tekanan dalam bahasa
Lituavi (Surat kepada Meillet tertanggal 4 Januari 1894, Lettres
94, 95, Meillet 1913 = F.d.S. 79, 81-82, Bally dalam F.d.S. 55,
Rec. 603-604). "Sejak tanggal itu karya yang diterbitkan makin
jarang .... "(Meillet 1913). Earn pada tahun 1897 muncul lagi
catatan singkat {I.F. 7, 1897. 216 = Rec. 539-541), ringkasan
karya J. Schmidt, Kritik der Sonantentheorie, Fine sprachwissen-
schaftliche Untersuchung (Weimar 1895). la menerbitkan prasas-
ti Phrygia di dalam E. Chantre, Mission en Cappadoce (Paris
1898, 165 dst. = Rec. 542-575). Pada tahun 1897-1898, catatan
sterio dari tiga kuliah mengenai teori suku kata, yang dikemuka-
kan pada sebuah seminar musim panas di universitas dan ditrans-
kripsikan oleh Bally, tidak (Jiterbitkan karena Saussure ber-
keberatan (Bally da\a.m.F.d.S. 56, dan bdk. FLU63). la menulis
tiga karya tulis untuk Societe d'histoire et d'archeologie, ia
menjadi anggota sejak 14 Februari 1892(Favre dalam F.d.s 33):
tanggal 28 Maret 1901 mengenai nama Oron pada zaman
Romawi {Journal de Gendve 1 April 1901 = Rec. 604-605);
tanggal 29 Januari 1903 mengenai toponim Joux, Jura (ia meng-
ajarkan ini pada J. Loth, bdk. Revue celtique 28,1907. 340 = Rec.
607), Genthod, dan Iain-lain ("Origines de quelques noms de
lieux de la region genevoise'^. Bull, de la Soc. d'hist. et d'arch. de
Geneve". 2. 1907. har342 =Rec. 605); disunting dengan beberapa
catatan dari L. Gauchot dalam Indicateur d'histoire suisse, 1920.
286-298) tanggal 17 Desember 1904, mengenai bangsa-bangsa
Burgonde di wilayah Romawi {Les Burgondes et la langue
burgonde en. pays roman = Rec. 606). Selama 9 tahun terakhir
masa hidupnya, ia masih menulis karyanya yang sedikit : Dari
||>'«HTiVuni5 sampai TpiKT<ix«no< {Melanges Nicole, Jenewa 1905.
503-514 =Rec. 576-584), Sur les composes latin du type agricola
(Melanges Havet, Paris 1909. 59-71 = Rec. 585-594), Adjectifs
indo-europeens du type caecus "aveugle" {Festschriftf. W. Thom-
sen, Leipzig 1912. 202-206 = Rec. 595-599). Perlu ditambahkan
pula ringkasan karya P. Oltramare, Histoire des idees thiosophi-
ques dans L'Inde (Journal de Geneve, 29 Juli 1907), dan artikel
"Alamans" dalam Dictionnaire historique, g^ographique etstatisti-
que du canton de Vaud, yang diterbitkan oleh E. Mottaz, 1911,1,
408

hal. 54-56. Setelah ia wafat, terbit berkatJasa P.E. Martin, "La


destruction d'Avenches dans les sagas scandinaves, d'apres des
traductions et des notes de F.d.S.", Indicateur d'histoire suisse,
1915,1-13.
Meillet, di dalam kenangan kepada gurunya yang telah
tiada (nekrologi), menampilkan dua alasan dari kekurangan di
dalam karya Saussure setelah tahun 1894: semacam sifat perfek-
sionis ("F.d.S. tidak lagi merasa cukup maju sebelum teori
mengenai fakta bahasa apa pun untuk disajikan kepada umum
.... Terlalu memikirkan penyusunan sebuah karya yang pasti, ia
hanya menerbitkan catatan-catatan kecil sekadar memecah kesu-
nyian") dan pc^hatian kepada "masalah-masalah baru, yang
sebagian luar linguistik, seperti puisi Nibelungen..." (F.d.S. 78-
79). Ini merupakan butir yang penting sekali dari interpretasi
biografi dan proses pembentukan gagasan-gagasan Saussure
untuk menetapkan nilai kedua alasan yang dikemukakan Meillet.
Penyelidikan pada naskah-naskah yang diterbitkan menun-
jukkan bahwa Saussure sangat tertarik pada Nibelungen: ia
menulis (SM Inv. A.V.) 150 lembar catatan mengenai Nibe
lungen, 14 buku tulis dan 22 halaman mengenai Tristan, sebuah
catatan terdapat pada surat tertanggal 1903 dan sebuah buku tulis
tertanggal 1910: Meillet (loc. cii) nampaknya mengajar pada
tanggal sebelum tahun 1903, tidak jauh dari tahun 1894. Tesis
Saussure bahwa "sebuah buku yang berisi petualangan Thesee,
dan hanya petualangan Theseelah yang merupakan dasar suatu
cabang besar dari legenda pahlawan Germania", hal ini mungkin
sekali disebabkan oleh "lalu lintas mitologi klasik ke arah Utara
dengan perantaraan para pelaut... dan mengenai konstelasi"(SM
14 dan 28). Intensifikasi kuliah bahasa Germania sejak tahun
1898 (delapan kuliah di dalam 12 tahun), kuliah mengenai
Nibelungen sebagai pengganti E. Redard, ada kaitannya dengan
perhatian Saussure tersebut, yang dapat diterka pula dari karya
tulisnya mengenai bangsa Burgonde: "orang patut mempermasa-
lahkan apa pesan Helvetia Burgondia di dalam kreasi dan
penyebaran legenda epik Nibelungen" (Bull." cit.= Rec. cit).
Perhatian pada legenda ini pasti bertentangan dengan
bayangan tradisional tentang Saussure yang menganjurkan pemi-
409

sahan antara linguistik intern dan linguistik ekstern dan perlunya


mempelajari bahasa "sebagaimana adanya dan bagi bahasa
tersebut", di luar konteks sosio-historis. Tanpa maksud untuk
membahas kebenaran bayangan tersebut sekarang, perlu diingat
bahwa sejak tahun 1894 Saussure menulis kepada Meillet:" pada
analisis terakhir, baru segi warna-warni suatu bahasa yang
membuat bahasa tersebut berbeda dari yang lain sebagai bagian
dari masyarakat tertentu, yang memiliki asal tertentu. Justru segi
yang mendekati etnografi ini yang mulai menarik perhatian saya"
(l^ettres.95). Dan salah seorang muridnya di Jenewa niengatakan:

Kelemahan karya, yang secara umum sangat baik, yang


disusun oleh Bally dan Sechehaye. adalah memberi kesan bahwa
F.d.S telah memisahkan perubahan bahasa dari kondisi luar yang
mempengaruhi bahasa tersebut.... Tetapi penulis kata pengantar
itu lebih dari satu kali mendengarkan F.d.S. menyebutkan
melalui kondisi ekstem bukan hanya perubahan bahasa, melain-
kan juga terpeliharanya ciri-ciri tertentu. Deniikianlah maka ia
menjelaskan bahwa kehebatan arkaisme bahasa Lituania merupa-
kan akibat lamanya pertahaban pengaruh Yunani-Romawi di
daerah yang menggunakan bahasa Lituavi .... (Regard 1919.
10-11).

Justru di dalam rangka inilah (yang seperti kita ketahui,


mengandung pengolahan teori yang sadar di dalam linguistik
umum aliran Saussure) terdapat bukti perhatian S. pada gejala-
gejala yang inheren di dalam kotiteks kultural bahasa-bahasa
Germania.
Karena adanya hubungan antara penelitian ekstern, filolo-
gi, dan perhatian pada teori, maka tidak mengherankan apabila
kita mendapatkap pandangan yang teoretis di dalam catatan
mengenai masalah filologi. Kita segera akan melihatnya pula di
dalam buku-buku catatan mengenai Nibelungen. Di dalam salah
satu buku catatan tersebut(disimpan di Perpustakaan Umum dan
di universitas di Jenewa. Ms. fr. 3958 4), dapat dibaca misalnya
pengamatannya yang penting mengenai ciri semiologis dari
lambang (hal. 4 sampul dan hal. 1):
- Legenda tersusun dari sebuah seri lambang di dalam
410

makna yang harus ditetapkan.


- Lambang tersebut, tanpa disadari, tunduk pada ketidakte-
tapan yang sama dan pada hukum yang sama seperti seriiua sen
lambang, misalnya seri lambang yang berupa kata-kata di dalam
bahasa.
-Lambang tersebut, semuanya menjadi bagian SemiologL
"Tak ada satu -metode pun yang menganggap bahwa lam
bang harus tetap, maupun harus berubah terus-menerus, lam
bang mungkin sekali berubah di dalam batas-batas tertentu.
- Identitas lambang tidak pernah dapat ditetapkan begitu ia
menjadi lambang, artinya dituangkan dalam massa sosial yang
menetapkan nilainya setiap waktu.
Misalnya runa (abjad Germania kuno), v merupakan
"lambang". Identitasnya nampak begitu jelas, dan mendekati
konyol kalau kita menyakinkan dengan: lambang tersebut ber-
bentuk v ; dan dibaca z ; merupakan abjad kedelapan, yang
secara mistik dfsebut zann, dan akhirnya acap kali abjad ini
dikutip sebagai kata yang pertama.
Beberapa saat kemudian lambang ini merupakan abjad
yang ke 10...., tetapi di sini lambang itu mulai menunjukkan
kesatuan. Di mana identitasnya sekarang? Biasanya orang men-
jawab dengan senyum, tanpa sama-sama memperhatikan makna
filosofis dari hal tersebut, yang tak lebih dan tak kurang memper--
lihatkan bahwa lambang apa pun, hanya ada kdrena terdapat di
dalam perbedaan - tidak mungkin sama sekali ditentukan
identitasnya di saat kemungkinan.
Di dalam pikiran yang umum inilah kami membahas
masalah legenda mana pun karena setiap tokoh merupakan
lambang yang berubah-ubah - persis sama dengan abjad Germa-
ma kuno - a) nama, b) posisinya terhadap yang lain, c) ciri,
d)mngsi, perbuatan; kalau sebuah nama diganti, mungkin bahwa
sebagian perbuatan diganti, dan sebaliknya, atau cerita selu-
ruhnya berubah hanya karena.kecelakaan semacam ini.
Pekerjaan lain yang menyibukkan S. di tahun-tahun
pertama abad ini adalah penelitian "anagram"(Starobinski 1964).
Ia pasti telah berbicara atau menulis kepada Meillet mengenai
masalah itu sebelum tanggal 23 September 1907, tanggal surat
kepada seorang muridnya di Paris yang berisi rasa terima
411

kasihnya karena telah berjanji untuk membacakan buku-buku


catatannya bahwa ia tnemperluas penelitiannya tentang Homerus
di lingkungan bahasa-bahasa Indo-Eropa yang lain. Hipotesis
Saussure adalah bahwa di samping norma-norma metris yang
diketahui, persajakan dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa Kuno
juga tunduk pada aturan-aturan dasar tertentu mengenai distri-
busi unsur fonis di dalam sanjak: 1) unsur-unsur fonis pasti
berjumlah genap pada akhir sanjak 6,8; hal itu terjadi karena 2)
urutan difon dan trifon menimbulkan gema ; 3) terlepas dari
tinjauan kembali 1 dan 2, kita bisa meneruskan hipotesis bahwa
polifon (bifon dan trifon) mereproduksi di dalam sanjak, fonem
dari suatu kata yang penting"(nama-nama dewa atau yang lain).
Oleh karena itu merupakan polifon anagramis {Lettres 110-112).
Menurut Saussure, norma-norma tersebut terdapat bukan hanya
pada Homerus dan di dalam sanjak Latin, tefapi juga di dalam
Hildebrandslied dan di Veda hLettres 113), sehingga "sejak
zaman Indo-Eropalah orang yang menyusun carmen telah secara
sadar, mengatur suku-suku kata yang masuk di dalam carmen
tertentu. Vdtes mana pun sebenamya terutama merupakan ahli
fonem .... "{Lettres 114). Pentingnya penelitian itu bagi Saussure
dapat diukur dari kenyataan bahwa dalam beberapa bulan, dari
tanggal 23 September 1907 sampai. tanggal 8 Januari 1908,
Saussure menulis kepada muridnya di Paris empat surat panjang
yang merupakan separoh dari korespondensi yang berlangsung
selama 17 tahun. Surat-surat mengenai penelitian tersebut men-
dadak terputus pada bulan Januari 1908: mungkin kedua cende-
kiawan sudah membicarakan masalahnya ketika Meillet tiba di
Jenewa pada bulan Juli 1908. Dari surat-surat Saussure dapat
disimpulkan bahwa muridnya di Paris ragu-ragu untuk menjawab
terus terang dengan mengemukakan pendapat negatifnya tentang
penelitian tersebut secara menyeluruh. Nampaknya, dari data
yang dikumpulkan oleh Starobinski (1964, 1967, 1969) dan dari
buku karangan.-karangan L. Gautier, murid yang sangat dekat
dengan Saussure pada tahun-tahun tersebut (bdk. hal. 438,
451, 456), penelitian mengenai anagram diperpanjang sampai
musim gugur 1908: "Studi mengenai versifikator Latin modern
membuatnya tertarik pada pemenang-pemenang hadiah Certa-
412

men Hoefftianum dari Academic d' Amsterdam. la mempelajari


dari dekat puisi Latin karangan Giovanni Pascoli, yang berkali-
kali memenangkan hadiah tersebut: teks-teks tersebut nampak
jelas ■ mengacu pada prosedur "hypogram". Pada suatu tanggal
yang oleh Leopold Gautier diletakkan pada akhir tahun 1908,
Saussure menulis kepada Pascoli untuk menanyakan apakah
penyair tersebut secara sadar menggunakan metode komposisi.
Suratnya tak mendapat balasan. Saussure menganggap diamnya
Pascoli sebagai sangkalan dan ia meninggalkan telaah anagram-
nya". Jadi, lebih dari sikap tertutup Meillet, diamnya Pascolilah
yang mendorong Saussure untuk mengakhiri penelitiannya: Rossi
1968 juga menekankan hal ini. Menurut R. Jakobson (seminar
yang tidak diterbitkan, Roma,Januari 1967)studi yang dilakukan
Saussure pantas diterbitkan seluruhnya dan diperbaiki. Hal ini
nampaknya dapat diperdebatkan. Seandainya sikap tertutup
Meillet (atau, seperti yang dikira banyak ahli linguistik lain,
diamnya penyair Italia, Pascoli) mendorong Saussure untuk
berhenti, hal itu terjadi karena Saussure sendiri ragu-ragu
mengenai kesahihan karyanya. StarObinski sendiri, penyunting
utama dari teks-teks yang berhubungan dengan anagram, nam
paknya turut ragu-ragu dan keraguan ini nampaknya beralasan.
Naskah Saussure penting artinya karena di samping nilai biogra-
fis, di dalamnya terdapat gagasan-gagasan teoritis yang berhar-
ga: misalnya gagasan "urutnya" dan linearitas tanda bahasa,
untuk pertama kalinya dikemukakan dengan jelas di dalam
naskah mengenai anagram (Starobinski 1964. 254 dst., Rossi
1968. 113-127); bdk. juga G. Nava, "Lettres de F. de. S a G.
pascoli", CFS ' 24, 1968. 73-81, dan P. Wunderli, "Saussures
Anagramm-Studien", Neue Zurcher, Nr. 73. 13. 2. 1972 hal. 51-
52).
Yang tetap menjadi tanda tanya adalah mengapa penelitian
itu dan penelitian sebelum tahun 1894 tidak pernah terlaksana.
Meillet, seperti telah kita ketahui, menjawab dari segi psikologis
: keinginan untuk sempurna mungkin telah menghentikan Saus
sure. Tapi nyatanya, kita melihat hal yang berbeda. Banyak
kesaksian dari penerus-penerusnya di Paris dan Jenewa memper-
lihatkan bahwa Saussure juga menuntut dari murid-muridnya
413

ketelitian yang besar. Benveniste telah menghayati makna


berikut ini:

Lebih lagi dari iltnu yang lain,latihan ketepatan dan keteli


tian merupakan syarat di dalam linguistik. Seharusnya kepada
mahasiswa diajarkan bahwa suatu bahasa dibentuk dari sejumlah
unsur yang khusus yang masing-masing hams sungguh-sungguh
dikenali. Apabila kita puas dengan kira-kira, kita akan membuat
analisis yang salah. Pun dasar deskripsi dan perbandingan
berperan; hubungan atau penelusuran tidak mungkin benar
apabila didasarkan pada bentuk-bentuk yang dibangun secara
salah atau direproduksikan seenaknya.... Tata bahasa bandingan
semula hanya hubungan-hubungan antara bentuk-bentuk yang
diambil secata serampangan dari langue yang serumpun. S.j
sebaliknya, mempertentangkan dialek-dialek hanya untuk mene-
mukan ciri-ciri khas pada satu bahasa .... la memugaf....
keunikan bahasa. Implikasinya adalah bahwa kekhasan satu
langue berhubungan satu dengan lainnya dan ddak boleh diperla-
jari secara terpisah .... (Benveniste 1965. 28-29, 30).
Segi pandangan yang terlalu lama mendominasi telah
menganggap linguistik struktural pada umumnya dan aliran
Saussure khususnya sebagai linguistik anti-filologi. Padahal seba-
liknyalah yang terjadi. "Seandainya kita ingin menetapkan ciri
rnana yang paling menandai linguistik abad 20, dibandingkan
dengan linguistik abad sebelumnya, kita harus jmengarahkan ...
kegiatan tersebut untuk sampai ke fakta konkret untuk merumus-
kan satuan-satuan bahasa berdasarkan fakta tersebut" (Prieto
1964. 11). Jika pada saat kita menyebutkan nilai satuan bahasa
kita tidak menetapkan seperti yang dilakukan oleh tata bahasa
bandingan," hubungan-hubungan yang kurang lebih sama di
lingkungan langue yang lain, tetapi sebaliknya, menetapkan pada
saat kita membatasi fungsinya dan unsur-unsur ko-fungsional dari
sistem itu sendiri, jika, seperti yang ditulis Saussure di dalam
kertas kerjanya mengenai nominatif bahasa Lituavi {Rec. 514:
Sur le nom. cit. 457), "nilai suatu bentuk seluruhnya berada di
dalam teks yang digali, artinya di dalam keseluruhan peristiwa
morfologi, fonetis, ortografis yang melingkupinya dan menjelas-
414

kannya", maka penelitian filologis (pada kasus bahasa mati) dan


penelitian lapangan yang mendalam (pada kasus bahasa hidup)
tidak lagi merupakan kemewahan, melainkan kebutuhan yang
vital ihtrinsik. Perjalanan ke Lituania, penghayatan filologis dari
tesisnya, selera pada "segi orisinal dan ekspresif dari suatu langue
yang membuat langue tersebut berada dari langue lain", ke-
hilangan ciri kemelitan biografis untuk mencari kejelasan pada
cahaya yang berasal dari konsep pusat linguistik baru, yaitu
konsep sistematisnya satuan bahasa, yang menyandang konsep
kekhasan historis akar kenyataan bahasa mana pun pada tataran
semantik dan tataran pengungkapan. Sejak tahun-tahun di.
Leipzig, semakin jelas bahwa Saussure harus mengakui "kegaga-
lan" (Lettres. 95) pendekatan pada telaah bahasa bagian demi
bagian. Perlunya memulai semua lagi dengan penerangan dari
konsep operasional pada sistem, G. Mounin (1966) telah mem-
lihatkan bahwa konsep tersebut sebagian besar tetap asing bagi
Meillcit. Saussure, yang dibebani kesadaran "akan besarnya
tugas" yang harus dikerjakan untuk membangun secara efektif
linguistik baru (Lettres, 95), memberi kesan pada penenisnya di
Paris hanya sebagai orang yang dilanda kompleks hiperkritis.
Sebenarnya, sadar akan betapa sulitnya tugas tersebut, yang siap
dihadapinya pada tahun 1894 (lihat infra), ia memilih mempro-
yeksikannya jauh ke masa depan dan menganggapnya sebagai
tugas kolektif. Ia menulis hal berikut di dalam ringkasan Kritik
karangan Schmidt:

Ketika kita untuk pertama kali menyusun teori bahasa,


salah satu prinsip dasar.... adalah, pada kasus mana pun, suatu
aturan yang memiliki ciri bergerak di dalam keadaan langue(=di
antara 2 istilah kontemporef), dan bukan di dalam peristiwa
fonetik(= 2 istilah beruriitan) tidak pernah hanya memiliki lebih
dari satu validitas kebetulan (Rec. 5^)
Dihadapkari pada pertanyaan Godel ("Di mana tepatnya
posisi linguistik umum di dalam karier dan kegiatan ilmiah F.d.S."
[SM 24]), nampaknya kita hartis menjawab dengan menegaskan
apa yang ditulis oleh Bally dan Seehehaye pada pembukaan
pengantar CLG:
417

Di dalatn kuliah kedua (1908-1909), sebaliknya, Saussure


segera menghadapi masalah hubungan antara teori tanda dan
teori bahasa dengan ketetapan hati, dan menampilkan definisi
sistem, satuan,.identitas dan nilai linguistik. Berdasarkanl/:brpu5
yang mengandung definisi dasar itu, ia menampilkan adanya dua
perspektif metodologis yang berbeda bagi studi peristiwa ba
hasa. Masalah deskripsi sinkronis dan deskripsi diakrohis ditelu-
surinya dengan cepat. Kuliah kedua pada dasarnya mencermin-
kan apa yang dipikirkan Riedlinger yang dikemukakan dalam
pertemuan dengan Saussure pada tanggal 9 Januari 1%9(SM
29-30).

Langue adalah suatu sistem yang ketat, dan teorinya harus


merupakan sistem yang sama ketatnya dengan bahasa.Di sinilah
kesulitannya karena bisa saja pernyataan dan pengamatan bahasa
diletakkan berurutan, namun masalahnya adalah mengatur semu-
anya dalam satu sistem.

Selama pertemuan itu, Saussure mengemukakan berkali-


kali ketidakpuasannya pada jalan kuliahnya, ketidaktetapan
gagasan-gagasannya, dan menyajikan pelajaran tahun itu seperti
suatu "persiapin bagi kuliah filosofis mengenai linguistik".
Kuliah ketiga memang mengarah ke sana: ia memasukkan
metode deduktif dari kuliah kedua ke dalam analisis yang kaya
pada kuliah pertama. Semula ia mengembangkan pokok masalah
"langiie", artinya linguistik ekstem. Itulah justru hipotesis Saus
sure yang tua: pada tahun 1891 pun, di dalam ketiga kuliah
pembukaan di Jenewa, ia telah mempertahankan bahwa:

trejala-gejala yang paling dasar dalam langue hanya


teraba atau^nampak dengan jelas, terklasifikasi dan dimengerti,
apabila kita dari semula sampai akhir mengacu pada telaah
langue... Yyi lain pihak, keinginan untuk mempelajari langue
dengan melupakan bahwa langue pada dasarnya dikuasai oleh
prinsip-prinsip tertentu yang diringkas di dalam gagasan langage,
merupakan pekerjaan yang sama sekali tidak berarti dan terlepas
dari dasar ilmiah yang sebenarnya. Oleh .karena itu, terus-
menerus telaah babasa yang umum akan diisi oleh berbagai
macam -pengamatan yang dilakukan di bidang tertentu pada
418

langue yang satu atau yang lain (Notes 65). .

Suatu dialektika yang berkelanjutan menghubungkan


telaah' umum dan telaah historis-deskriptif: tetapi dari segi
didaktik, prioritas kembali pada "langue" karena "kegiatan fungsi
tersebut (langage) hanya dapat ditelaah.... dari segi langue yang
ada" {ibid). Kerangka ini, di mana teori bermula dari "langue"
untuk kemudian mencapai "langue" di dalam kesemestaannya
dan akhirnya "kegiatan dan keadaan langage pada individu-
individu" (Godel Notes 65) adalah testamen linguistik alifan
Saussure. Namun, hal itii tidak nampak dengan jelas di dalam
susunan PLU (lihat FLU catatan 11). Lagi pula, Regard telah
mengamati (1919, 10-11):

Kelemahan karya, yang secara umum baik sekali ini, yang


telah diterbitkan oleh Bally dan Sechehaye, adalah membiar-
kan orang mengira bahwa F.d.S. telah mengisahkan perubahan
bahasa dari kondisi luar tempatnya bergantung dan memisahkan-
nya dari realitas dan mempersempit pada abstraksi yang sama
sekali tidak dapat dijelaskan.

Di dalam kuliah ketiga, ciri-ciri umum "langue" ditarik dari


studi "langue", tetapi studi keadaan langage "pada individu"
sedikit sekali dibahas.
Di dalam pertemuan dengan L. Gautier pada tanggal 6 Mei
1911, Saussure menyatakan sekali lagi rasa tidak puasnya:

Saya merasa dihadapkan pada suatu dilema: atau menya-


jikan pokok masalah di dalam segala kesengkarutannya dan
mengakui keragu-raguan saya, yang tidak cocokbagi kuliah yang
merupakan bahan yang diajukan. Atau membuat sesuatu yang
disederhanakan, yang lebih sesuai untuk pendengar mahasiswa
yang bukan ahli linguistik. Tetapi, pada setiap langkrh, saya
merasa dihentikan oleh kebimbangan {S.M. 30)

"Kenyataan pertama" (artinya bahwa "langue" berbeda


dari parole") dan "yang pokok", atau juga "masalah satuan"
nampaknya jelas bagi Saussure. tetapi ia menyatakan bahwa
untuk sampai kepada sebuah kesimpulan yang pasti, ia memerlu-
419

kan renungan selama "berbulan-bulan"; dan Saussure ragu-ragu


untuk melihat kembali "catatan tuanya yang membukit" dan
untuk mulai lagi penelitian yang lama untuk penerbitan "pokok
masalah yang menjadi pikirannya terutama sebelum 1900
Pernyataan yang terakhir ini dipertegas lagi oleh bahan-
bahan yang tidak diterbitkan, dan berdasarkan bukti itu, dapat
dikatakan bahwa periode perhatian paling penuh bagi penyusun-
an suatu teori umum yang utuh mengenai bahasa, terletak di
antara 1890 dan 1900. Pada tahun 1901 kuliah-kuliah pembukaan
di Jenewa membahas masalah hubungan antara evaluasi dan
konservasi bahasa (yang dilihatnya sebagai hubungan dialektilO
dan antara linguistik umum, linguistik historis dan filologi(
37-39, Sechehaye dalam F.d.S. 62). Bally (1913. 9) menyebutkan
penelitian umum yang berasal dari "20 tahun sebelumnya ,jadi di
sekitar tahun 1893. Dokumen pribadi yang terpenting mengenai
hal itu adalah surat kepada Meillet bertanggal 4 Januari 1894:
Awal artikel saya mengenai intonasi akan terbit.... Tetapi
saya sangat muak'akan semua itu, dan kesulitan pada umumnya
untuk menulis sepuluh baris kalimat yang masuk akal mengenai
langue. Karena sejak lama mengkhususkan perhatian pada
klasifikasi iogis dari fakta-fakta tersebut, pada klasifikasi jurusan-
jurusan yang mendasari penelitian fakta tersebut, saya makin
melihat besarnya pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk
menunjukkan kepada para ahli linguistik apa yang dilakukannya;
sambil membatasi setiap kegiatan pada kategori yang telah
direncanakan; dan sekaligus membatasi ketidakkonsistenan yang
cukup besar di dalam kegiatan bidang linguistik.
Akhirnya, hanya segi keaslian suatu langue saja yang
membuat langue itu berbeda dari langue lainnya sebagai milik
masyarakat tertentu yang memiliki asal tertentu. Sudut pandang
yang mendekati etnografilah, yang masih menarik perhatian saya:
dan justru saya tidak dapat lagi terjun ke bidang tersebut tanpa
dilatari gagasan-gagasan tertentu, dan menelaah fakta tertentu
yang terdapat pada lingkungan tertentu.
Tak henti-hentinya kekonyolan istilah yang lazim diguna-
kan, perlunya mengubah istilah tersebut, dan menunjukkan
benda jenis apa langue itu pada umumnya, datang merusak
kesenangan historis saya, meskipun saya sama sekali tidak
420

mengharapkan akan mengurusi /angwe pada umumnya.


Hal itu akan berakhir, di luar kemauan saya,dengan sebuah
buku di mana tanpa antusiasme dan semangat saya akan
menerangkan mengapa tidak ada satu istilah pun yang digunakan
dalam bidang linguistik yang dapat saya beri art! apa pun. Dan
hanya setelah menulis buku ini, saya akui, saya akan dapat me-
nulis pekerjaan saya lag! yang selama ini saya tinggaikan.
Ituiah aiasan yang mungkin konyol, yang dapat menjelas-
kan kepada Duvau mengapa, misalnya, saya terlambat setahun
iamanya untuk menulis kertas kerja yang secara materiil tidak
suiit, dan akhirnya saya tidak berhasil menghindari ungkapan-
ungkapan yang sebenarnya menjijikkan karena kalSu tidak, saya
harus mengadakan reformasi yang radikal (Lettres 95-96).

Dari pekerjaan "reformasi radikal" yang dicoba antara


tahun 1893 dan 1894, hampir tidak ada naskah catatan yang
tertinggal. Catatan yang disusun dari bentuk yang paling terumus
adalah catatan 9(SM 36, Notes 55-59; dan lihat infra PLU 206,
207—218). Dalam catatan tersebut Saussure menjelaskan
mengapa langue merupakan suatu bentuk dan bukan suatu
subsntansi. Penjelasan ini mungkin penting sekali di dalam
riwayat kegiatan Saussure dalam bidang ilmu. la bersiap-siap
untuk menjauhkan diri dari konvensionalisme Whitney, yang
kemungkinan besar telah menguasainya pada awal kegiatannya:
memang, penulisan sebuah buku yang direncanakan, di dalam
suratnya kepada Meillet terpaksa tertunda ketika, setelah
Whitney meninggal (17 Juni 1894), American Philological Asso
ciation mengundangnya untuk menghadiri peringatan ahli lingu
istik tersebut sehubungan dengan kongres ahli linguistik Amerika
pertama yang akan diadakan pada akhir bulan Desember
1894 di Philadelphia. Pada bulan November, Saussure menulis
cepat-cepat sekitar 70 halaman (SM 31): tetapi pekerjaan ter
sebut juga tidak selesai dan Saussure bahkan tidak mengirim
pesan apa pun ke Amerika (SM 32). Namun catatan-catatan
yang tersimpan (SM 43-46 dan Notes 59-65) berharga sekali:
di dalamnya tertulis gagasan Whitney yang diterima oleh Saus
sure, yaitu bahwa langue adalah "pranata manusia" (5M 43),
tetapi menggarisbawahi bahwa langue berbeda dengan jenis-
421

jenis institusi lainnya karena tidak ada "hubungan intern" di


antara unsur-unsur yang berfungsi di dalam langue, tidak ada satu
pun kebutuhan logis atau alami yang menghubungkan mereka.
Itulah sebabnya mengapa "langage yang tidak didasarkan pada
hubungan-bubungan alami, tidak dapat dikoreksi oleh akal",
Menurut Saussure, batas konvensionalisme Whitney dan konven-
sionalisme filosofis terdapat dalam kepercayaan bahwa realitas
fonis dan makna adalah sesuatd yang sudah ada, dapat disentph,
di luar sistem langue dan sebelum langue sehingga mungkinlab
dibangun bubungan konvensional di antara ke duanya, wujud
yang terlibat tidak berwujud, tidak berpribadi: "suatu langue
dibentuk oleb sejumlab bal ekstern yang digunakan oleb pikiran
sebagai tanda. Hanya pada keadaan tertentu di mana bal ekstern
merupakan tanda (ditangkap sebagai tanda), ia menjadi bagian
dari langue dengan alasan apa pun (5M 43). Ungkapari dan
pengertian "kesemenaan tanda" tidak muncul secara eksplisit di
dalam catatan tersebut, tetapi sudab mulai terbentuk (libat infra
460-466).
Kemustabilan untuk menetapkan kemandirian suatu wu
jud babasa atas dasar wujud "fonologis" nya (atau, seperti yang
kita gunakan sekarang,fonetis) adalab tema dasar dalam naskab-
naskab catatan tabun 1897 {Notes 49-54) dan dari tiga ceramab
yang digunakan di dalamj^yLt/ dan seterusnya. Pengacuan pada
ciri pembeda dan opositif dari satuan-satuan langue dan pada
"dualitas fundamental" sebagai konsekuensi yang harus diderita
langue, yang lahiir di medan peristiwa sejarab, tetapi berfungsi
tanpa memperbatikan sedikit pun riwayat yang lebib awal (dan
muka yang satu maupun yang lainnya yang berlawanan, ter-
gantung dari kesemenaan yang dikandung tanda babasa), selalu
muncul .di dalain percakapan pribadi (Muret dalam F.d.S. 47,
Meillet F.d.S. 84, Secbebaye F.d.S. 65):

Pernah juga terjadi ia mengembangkan gagasaii tersebut di


depan kami, yang tak henti-hentinya mengganggu pikirannya
yang digunakan sebagai kunci pasak pikirannya mengenai organi-
sasi dan bekerjanya langue. Dan yang penting baginya bukanlah
sekian banyak tanda itu sendiri maupun perbedaan di antara
tanda-tanda, yang membentuk percaturan yang bernilai oposisi.
422

Meskipun Saussure sebelumnya pernaH menelaah pokok


tnasalah yang sama (di d^am catatan tentang Whitney, la
menyatakan dengan yakin "sejak bertahun-tahun yang lain" akan
"dualitas fundamental" langue(SM 45), karena terbaca ungkap-
an yang bermakna sama,"menjadi buah pikiran sejak lama", dan
di dalam surat kepada Meillet pada tahun 1894, dan kedua
pefnyataan ini, seperti yang telah kita lihat, cukup ditegaskan
seperti yang dipertahankan Godel, masa meditasi yang lama dan
giat, pasti sepuluh tahun terakhir dari abad 19,
Sementara itu, kuliah-kuliahnya masih terus menampakkan
keragu-raguan dan kebimbangan yang tidak mau -hilang dari
benak Saussure (Regard 1919. 11). Hanya ada satu cara untuk
menjelaskan: diperlukan waktu setengah abad bagi linguistik
untuk memahami apa sebenamya kesemenaan tanda yang
disebut oleh Saussure, untuk menghayati pengertian valensi,
untuk menemukan kembali pengertian ekonomi dan bahwa
satuan bahasa memiliki ciri sendiri-sendiri dalam isi dan ungkap-
an, untuk meletakkan masalah universals of language dan
definisi eksplisit dari batasan yang ditentukan dalam suatu teori
deskripsi. Seperti juga Peirce, Kruszewski, Baudouin, Marty dan
Noreen, Saussure terlalu cepat setengah abad bagi zamannya:
bahkan satu abad kalau kita memperhitungkan kenyataan bahwa
gagasan pokok di dalam pikirannya telah dihayati selama tahun-
tahun penelitian di Leipzig seperti kata orang, kesialan besar bagi
seorang ilmuwan untuk "menemukan Amerika", menemukan
sesuatu yang sebenarnya sesudah dikenal sejak lama: tetapi lebih
dramatis lagi, bagi ilmuwan Vikings, yang menemukan Amerika
terlalu cepat. Saussure telah mengalami drama ini, perpecahan
antara naluri akan kebenaran dan betapa hano/nya suatu kenya
taan fundamental sekali kenyataan itu dihayati, dan penderitaan
dalam pengucilan ketika menelaah dan mengembangkan kenya
taan tersebut.

Kesan umum... adalah cukup dengan common sense-


... menginsankan semua hantu.... Padahal keyakinan itu bukan
keyakinan kita. Kita sebaliknya sangat yakin bahwa siapa pun
yang menjejakkan kakinya di medan bahasa dapat menganggap
diri meninggalkan semua analogi surga dan dunia....(V<7te.9 64).
423

Pada tahun-tahun terakhir, ia mulai diakui: ilmuwan


Jerman masih menentangnya {Lettres 108), tetapi Ablaut karang-
an Hirt membahas Memoire. Meillet, yang setelah Duvau
meninggal, merupakan muridnya yang terbaik, mempersem-
bahkan kepadanya adi karya Introduction. Pada tanggal 14 Juli
1908, Meillet bersama.murid-mudd Jenewa juga menghadiahkan
kepadanya, pada suatu upacara yang khidmat, rangkuman
berbagai penelitian (Muret, De Crue, Bally dalam F.d.S. 47-48,
23, 51 dan Bally 1908). Pada tahun 1909 ia ditetapkan sebagai
anggota Akademi Des Sciences Denmark dan tahun berikutnya
anggota Institut de France (Lettres 120-121, De Crue dan Muret
dalam F.d.S. 23 dan 48). Padahal, pada tahun 1916 Gautier
menulis, "laki-laki itu hidup menyendiri". "Gambaran
terakhir" dari dunianya adalah gambaran seorang "bangsawan
yang lanjut usia, tetap berwibawa, agak lelah, dan pandangannya
yang bermimpi dan cemas mengandung pertanyaan yang dibawa
sampai akhir hidupnya"(Benveniste 1965. 34). Suatu kesedihan
yang tidak jelas meliputi pertemuan-pertemuannya dengan Ried-
linger (SM 29) dan Gautier (SM 30). Pada musim panas tahun
1912 karena sakit Saussure terpaksa berhenti mengajar, ia
beristirahat di puri Faesch di Vufflens, berusaha lagi untuk mulai
studi baru, misalnya sinologi (mungkin mengikuti jejak kakak-
nya, Leopold), tetapi keadaannya memburuk sampai pada
malam tanggal 22 Februari 1913 ia meninggal. "Gazette de
Lauzanne" tanggal 27 Februari menulis:

Penghormatan terakhir telah dilaksanakan bagi Ferdinand


de Saussure. Upacara telah berlangsung di Genthod. Di mulai di
gereja di mana dihadapan hadirin yang banyak, Lucian Gautier,
pendeta dan profesor, telah mengucapkan.... pidato.... Dekan
Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Jenewa, pro
fesor Francis de Crue, kemudian menjabarkan riwayat profesio-
nal almarhum. Di atas makam, pendeta Georges Berguer telah
mengucapkan doa perpisahan.
Beberapa saat kemudian Meillet menulis:
la telah menghasilkan buku tata bahasa bandingan yang
terbaik yang pernah ditulis, penuh dengan gagasan dan disajikan
424

dengan teori yang mantap, ia meninggalkan kesan yang menda-


1am pada diri sejumlah muridnya, namun demikian ia tidak
memenuhi seluruh tugasnya.

Untuk melengkapi tugas tersebut, penerbitan PLU


memang harus terlaksana, dan merupakan kerja kritis dari dua
generasi ahli linguistik. Penyebaran yang luas dan subur dari
gagasannya "sebagai kehidupan kedua, yang di masa mendatang
akan berbaur dengan kehidupan kita"(Benveniste 1963. 21).

7. Pembentukan Saussure di Bidang Linguistik Umum.

Seperti yang ditulis R. Engler(1966. 35),"Sistem tidak lahir


secara lengkap dari kepala Saussure". Sistem itu merupakan basil
(yang selama ini tidak sempat mengalami reorganisasi terakhir)
ajaran yang berturut-turut, yang beberapa di antaranya, seperti
yang kita lihat, sangat maju untuk zamannya. Tetapi, sebelum
ajaran tersebut perlu diingat pendidikan guru-gurunya yang
pertama, dan kemudian di dalam proses pembentukan suatu
teori, ciri-ciri kepribadian yang begitu khas yang dibawanya
sejak lahir, ciri yang sulit dipisahkan dari fakta objektif di dalam
karya teori dan di dalam metamorfose pendidikannya.
Kebiasaan untuk berpikiran ilmiah adalah, seperti yarig
telah kami kemukakan, bawaan keturunan,pada diri Saussure
(supra 408-409). Demikian pula mungkin selera pada "semua
yang sulit diterka" (supra 411-412), yang diperkuat oleh kontak
yang terlalu cepat dengan Pictet, selera pada penelitian fakta
fundamental, di segala bidang (supra 420). Ini bukan mistikisme
sama sekali, tapi sebaliknya, kebutuhan untuk menghindari
*kata-kata upacara", untuk imemahami hal-hal secara mendalam
dan hati-hati dan membuat hal-hal tersebut dipahami (supra
428-429). Itulah akar sikapnya yang logis dan problematis yang
mehgejutkan orang sezamannya (supra 411-412). AJkhirnyaf,
kalau kita berpikir bahwa nyatanya intuisi bagi dri wujud bahasa
yang tersusun secara objektif, "sistematis", adalah awal dari
penemuan yang terlalu maju dari nasalis sonans (supra 412) dan
425

awal dafi "sistem umum langage"(supra 411-412) masih awal dan


agak kekanak-kanakan, kita bisa bertanya apakah gagasan sistem
bukan semacam puncak kesempumaan dari kehidupan intelek-
tual Saussure, suatu prinsip akhir, titik tertinggi dari. renungan
teori yang dihubungkan dengan asal mula kepandaiannya.
Di antara mer?ka yang secara langsung berjasa bagi
pembentukan Saussure, Pictet, seperti yang telah kami'sebutkan
(supra 310-413), nampaknya niemberi pengaruh yang terbesar.
Pertemuannya dengan ilmuwan di Leipzig dan Berlin pasti telah
menyumbang dengan memberikan pada Saussure penguasan
teknik analisis komparatif antara langue yang sempuma. Tetapi
karena tidak ada dokumen yang lebih jelas, tidak mungkin
diketahui siapa di antara mereka yang memainkan peran yang
setaraf dengan peran Pictet atau guru-guru spiritual seperti
Bopp (lihat supra 413-414) dan terutama Whitney t(supra 423
dst.). Pada masa kehidupan di Paris, Saussure sebaliknya pasti
telah berhasil mendekati G. Paris (supra 435-436). Di dalam
kuliah pembukaan yang mendahului pengajaran di Jenewa,
ilmuwan itu (dan bukan Breal) disebut bersama H. Paul, P.
Meyer, H. Schuchardt, Baudouin dan Kruszewski (lihat menge-
nai hal ini, supra 433 dan catatan 7), di dalam daftar yang pendek
dari mereka yang "telah maju selangkah dalam pengetahuan
tentang langage"(Notes. 66).
Di atitara ajaran teori pertama yang disadari oleh Saussure,
terdapat pengertian mengenai hakekat opositif dan relasional
dari wujud bahasa, yang sudah ada di dalam Mimoire (supra 420)
dan di dalam disertasi mengenai generatff absolut (420-421),
yang dikutip kemudian di dalam kuliah-kuliahnya di Paris(42^
430)dan di'dalam penelitian bahasa Lituavi(Meillet dalam F.d.S.
82 dan supra 434). Pengertian siStem yang melengkapi pengertian
sebelumnya,juga dominan di dalam Mimoire (supra420-421), di
dalam kuliah-kuliah di Paris dan di dalam studi bahasa Lituavi
(Rec. 514 dan lihat supra 434).
Kedua ajaran itu telah tercermin lebih awal pada tataran
metode penelitian dan teori metode tersebut. Berkat kedua
ajaran itu, analisis suatu wujud bahasa menjadi penelitian "ciri
pembeda" dibandingakan dengan wujud lain yang ikut hadir
426

bersamanya (supra 421), dan deskripsi suatu langue terutama


merupakan "linguistik suatu keadaan", yang berbeda dengan
linguistik evolutif di dalam kuliah-kuliah di Paris pada tahun 1882
(supra 429—430)dan kemudian di dalam ringkasan buku karang-
an Schmidt pada tahun 1897 (supra 446-447).
Beberapa konsekuensi berasal dari inti pertama gagasan-
nya, yaitu setelah kecenderungan filologi ekstrem di dalam
mendeskripsikan suatu langue, kecenderungan yang terampil
dalam cara mengajar yang teliti dan berdisiplin (supra 437, 446).
Hal itu memungkinkan, di dalam membandingkan berbagai
langue hidup, untuk mengganti pengetahuan yang didapat dari
skematisasi jenis buku oleh pengetahuan langsung, konkret,
melalui penelitian lapangan (supra 422-423). Gagasan tentang
sistem, yang menuju pembedaan antara linguistik statis dan
linguistik evolutif, juga membawa Saussure untuk menangkap
perbedaan dan hubungan antara sistem dan realisasi sistem,
langue dan parole, pengamatan yang berasal dari perjalanannya
ke Lituania (supra 422) dan yang kemudian diperkuat oleh
pertemuannya dengan Baudouin dan. penemuan Kruszewski
(supra 433 dan catatan 7). Kelanjutan dari pembeda tersebut
adalah pembedaan antara studi fisiologis dan studi "historis" dari
sistem fonologi bahasa, yang telah dikemukakan di dalam
laporan mengenai kuliah di Paris pada tahun 1881 (supra 430)..
Gagasan baru itu semula terdapat di dal^m rangka konven-
sionalisme Whitney. Pengacauan pada Whitney ini jelas nampak
pada saat ia pertama kali mencoba menarik sintesis dari berbagai
pandangan umum mengenai "kehidupan bahasa" yang ditangani
Saussure pada tahun 1885 (supra 431). Konsepsi Whitney rupa-
nya membuat Saussure relatif tidak puas, dan setelah tahun 1885,
ia tidak meninggal.kan pemikiran tentang teori umum. Tuntutan
itu, yang dikemukakan di dalam ringkasan Schmidt tahun 1897
(supra 447), telah dibenarkan dalam kuliah pembukaan tahun
1891, seperti yang telah kami kemukakan (supra 450), ia
mempertahankan perlunya analisis khusus sebagai pelengkap
teori umum. Dan demi tuntutan itu pula, faktualisme linguistik
kontemporer yang cenderung positif membuat Saussure muak.
Faktualisme yang dipenuhi istilah yang secara tidak sadar
427

berkaitan dengan istilah yang dipakai. Tuntutan akan dibentuk-


nya alat peristilahan (jadi konseptual), yang akan memungkinkan
linguistik untuk membatasi gejala, telah nampak sejak zaman
tesis {supra 421), tapi menjadi domfnan menjelang tahun 1894,
seperti yang tertulis di dalam surat pertama kepada Meillet,
tahun 1894 tepatnya, dan di dalam naskah catatan, juga tahun
1894, yang dikutip berikut ini.
Dalam tahun inilah Saussure mematangkan gagasannya
yang paling orisinal. Di dalam gagasan itulah orang menemukan
dengan .lambat gagasan inti dari aliran Saussure: gagasan bahasa
sebagai bentuk, gagasan relativitas, arbitrer dan kesejarahan
radikal dari organisasi bahasa secara menyeluruh. Kesaksian
yang berharga mengenai gagasan itu telah ditinggalkan oleh
Sechehaye:

Di samping merupakan suatu kesempatan ia ingin sekali


membawa kita kepada jalan pikirannya. Ia, di dalam pertemuan-
pertemuan kekeluargaan, mengajukan masalah-masalah teori etis
yang kemudian dibahasnya.... di dalam kuliah linguistik umum
.... Pernah juga di hadapan kita ia mengembangkan gagasan yang
tak henti-hentinya menjadi buah pikirannya, dan yang penting
baginya bukanlah sekian banyak tanda itu sendiri maupun
perbedaan di antara berbagai tanda, yang membentuk percaturan
yang bernilai oposisi (Sechehaye dalam F.d.S. 65).

Kami melihat lagi "kunci pasak" ini di dalam catatan antara


tahun 1893 dan 1894, penjagaan penulisan buku yang Jdisebut-
kan Saussure di dalam suratnya kepada Meillet pada tahun 1894
dan pembukaan dari artikel rhengenai Whitney:

Beberapa orang yang waspada mengatakan: "/angwe adalah


suatu yang sama sekali di luar manusia, dan terorganisasi sendiri,
seperti tumbuhan parasit yang menyebar di permukaan kita."
Orang arif yang lain: "langue adalah suatu yang manusiawi, tetapi
tumbuh dan berfungsi secara alami." Whitney mengatakan:
^'langue adalah pranata manusia." Dan kata-katanya telah me-
ngubah pores linguistik.
Selanjutnya, kami kira mengatakan:"langue adalah pranata
manusia, tetapi kodratnya sedemikian rupa sehingga pranata
428

manusia lainnya, kecuali tulisan, hanya akan menyesatkan kita


dari esensi yang sebenarnya, apabila kita percaya akan analogi
yang terdapat di antara mereka."
Pranata yang lain, memang seluruhnya didasarkan (dengan
kadar yang berbeda) pada hubungan-hubungan alami di antara
berbagai benda Misalnya, hukum suatu bangsa, atau sistem
politik bahkan mode yang begitu cepat berubah yang menetapkan
cara kita berpakaian, yang tidak dapat berpisah sekejap pun dari
data proporsi tubuh manusia.
Tetapi,langage dan tulisan tidak didasarkan pada hubungan
alami antara berbagai benda. Tidak ada hubungan kapan pun
antara bunyi desis dan bentuk huruf S, demikian pula tidak lebih
sulitlah bagi kata cow,, dibandingkan kata vacca, untuk
menyebutkan seekor sapi.
Inilah yang Whitney tidak pernah lelah mengulang-ulang
agar lebih terasa bahwa langage adalah pranata murni. Hanya
saja hal ini berimplikasi lebih banyak lagi. Perlu diketahui bahwa
langage adalah pranata yang tak ada yang menyamainya (kalau
tulisan disertakan) dan bahwa terlalu berani untuk mengira bahwa
sejarah langage pasti sama dengan sejarah pranata lainnya meski-
pun jauh terpisah((Nore5 59-60).

Penjelasan mengenai ciri khusus pranata bahasa, ciri "lebih


banyak lagi" dihubungkan dengan konvensionalisme Whitnye,
terdapat di dalam catatan panjang bagi kata pengantar buku-
linguistik umum yang dibayangkan pada tahun 1893-1894: tak
ada substansi di dalam langue, atau juga tak ada yang berwujud
secara otonom sebagai langue, dan, sebaliknya, seluruhnya
merupakan buah hasil "kegiatan gabungan atau sendiri-sendiri
dari kekuatan fisiologis, psikis, mental". Artinya, langue bukan
titik pertemuan yang ditetapkan oleh konvensi di antara substansi
akustis tertentu dan substansi mental tertentu ("konsep-konsep").

Makin kita mendalami mated yang disuguhkan oleh linguis


tik, makin kita meyakini kenyataan yang memaksa kita untuk
benar-benar berpikir, dan tidak ada gunanya untuk menutup-
riutupi adanya hubungan yang terjadi antara benda-benda yang
sudah ada sebelumnya, di dalam bidang ini, rfengan benda-benda
itu sendiriy dan digunakan untuk merumuskan mereka(Notes 56).
429

Perbedaan berbagai langue hanya dapat dibuktikan pada


perbedaan itu sendiri, dan bukan di dalam hakekat materi akustis
atau konseptual tempat perbedaan itu beroperasi.
Dari sinilah asalnya kebutuhah akan ketepatan yang sangat
formal di dalam teori bahasa. Karena liriguistik bukan bidiang
tempat berbagai hal d^pat diteropong dari sembarang jurvisan,
tapi sebaliknya karena dijalin oleh perbedaan semena, diperlu-
kan penelitian awal untuk merumuskan perbedaan dasar itu.
Teori langage akan bertugas pokok menjabarkan apa yang
kita maksud dengan perbedaan dasar. Mustahil bagi kami untuk
sependapat bahwa kita berhak menyusun teori tanpa memelalui
taraf perumusan ini, meskipun cara kerja yang menyenangkan ini
nampaknya hingga sekarang memuaskan bagi lingkungan ahli
linguistik "{Notes55-56).
Ciri korelatif dari wujud bahasa mana pun akan ditegaskan
di dalam cuplikan berikut ini: •
Kita tidak pernah boleh menganggap satu segi bahasa
sebagai lebih awal dan lebih tiggi daripada segi-segi lainnya dan
menjadikannya titik tolak. Kita berhak melakukannya, sean-
dainya ada satu segi yang muncul di luar segi-segi lainnya, artinya
di luar segala kegiatan abstraksi dan generalisasi dari pihak kita.
Tetapi, cukup dengan merenungkan saja, kita melihat bahwa
tidak ada satu pun yang kasusnya seperti ini (Notes 56).

Konsekuensi ekstrem dari kelanjutan renuhgan itu berciri


unik Hegel
Bagi setiap hal yang telah kami anggap sebagai suatu kebe-
naran kamisampai pada sejumlah jalan yang kami akui tidak tahu
hariis memilih yang mana. Untuk menyajikan secara serasi
keseluruhan usul kami, seharusnya kami memilih titik tolak yang
tetap dan pasti. Tetapi apa yang cenderung kami bangun, adalah
bahwa di dalam linguistik salah kalau kita menerima suatu fakta
sebagai sesuatu yang terumus di dalam fakta itu sendiri.
Jadi, benar-benar terdapat kekosongan yang perlu dari
segala titik tolak, dan kalau pembaca tertentu bersedia mengikuti
jalan pikiran kami dengan seksama dari awal sempai akhir jilid
ini, kami yakin bahwa ia akan mengakui, bahwa tidak mungkin
mengikuti aturan yang sangat ketat (Notes 56-57)
430

Masalah keteraturan bagi doktrin teori linguistik tetap


menjadi pertanyaan bagi Saussure sampai tahun-tahun terakhir
hayatnya, seperti yang nampak pada cuplikan yang telah dikutip
dari pertemuan-pertemuannya dengan Riedlinger (supra 450)
dan perubahan rangka ketiga kuliahnya. Mungkin sekali konsepsi
suatu semiologi sebagai teori umum tanda, yang lebih awal dari
tahun 1901 (tanggal penerbitan Classification des Sciences
karangan Naville yang mengacu kepada ilmu baru Saussure:
supra Catatan 9), dan formalitas, yang menyertai konsepsi
tersebut, dari "prinsip dasar", artinya dari prinsip semena, telah
sejak beberapa tahun merupakan jalan keluar yang memuaskan
bagi Saussure, sebagai yang nampak bahwa itulah dasar dari
mukadimah dan gerak langkah kuliah kedua. Namun demikian,
rangka itu berubah pada masa peralihan dari kuliah kedua ke
kuliah ketiga (supra 450), dan baru pada pelajaran tanggal 19
Mei 1911, yang merupakan akhir dari kuliahnya yang ketiga dan
terakhir, Saussure memperkenalkan istilah signifie 'petanda'dan
signifiant 'petanda' (SM 85), yang perlu untuk merumuskan
secara lebih tegas prinsip semena yang telah dikemukakan dalam
istilah-istilah lainnya dua belas hari sebelumnya (SM 82) dan
diulang dalam bentuk yang lebih mendalam hanya pada kedua
pelajaran terakhir, tanggal 30 Juni dan 4 Juli (SM 90-92). Pada
puncak pengajarannya, dengan mensejarahkan secara radikal,
Saussure berhasil melihat dengan sangat jelas bahwa kesemenaan
tanda bukan hanya meliputi sisi penanda malainkan juga sisi
petanda tanda maupun langue karena makna juga hanya bernilai
dalam hubungannya dengan sekelilingnya (SM 91, Cat. 150 dan
151), dan dunia ini, seperti juga bunyi-bunyi, bersifat amorf
sebelum terjadinya organisasi langue, yang semena dan oleh
karenanya "sistemis"(dan oleh karenanya historis)(SM 91. 151).
Baru pada akhir kuliahnya Saussure menemukan prinsip penyatu
teori bahasa (atau paling tidak, barii pada akhir kuliahnya ia
menganggap mampu menyajikan kepada murid-muridnya).
Menurut konsepsi besar dan tradisional dari gejala bahasa,
kita dapat mengidentifikasi suatu wujud bahasa tertentu sebagai
wujud khusus melalui makna atau melalui bunyi. Ada berbagai
cara untuk merealisasi kdXSi Messieurs!, tetapi berbagai realisasi
431

yang berbeda itu ternyata memiliki identifikasi yang sama karena


mereka mengemukakan satu makna yang "sama bagi semuanya",
menurut penjelasan kuno. Aristoteleslah yang menjadi dasar su-
dut pandang ini. Kritik terhadap sudut pandang itu dan pene-
muan fluktuasi di dalam dunia petanda, mendorong linguistik
post-Bopp ke bunyi yang dianggap sebagai "patokan yang lebih
menyakinkan" (menurut istilah Pott) bagi pengkajian wujud
bahasa daripada petanda yarig bervariasi. Messieurs! dapat
memiliki makna majemuk yang tanpa batas, tetapi berbagai reali-
sasinya itu tetap sama secara fonis.
Saussure bertolak dari kesadaran yang tajam dari argumen-
tasi mengenai kedua sudut pandang itu, artinya ia menerima
keduanya. Bentuk-bentuk fonis bervariasi tanpa batas, makna
bervariasi tanpa batas. Antara cara melafalkan Messieursl yang
satu dan yang lain, terdapat sebuah jurang. Di antara keduanya
dapat disisipkan sejumlah lafal tanpa batas, demikian pula ada
jurang pemisah di antara suatu makna dan makna yang lain yang
dihubungkan dengan berbagai realisasi yang mungkin dari sebu
ah kata, dan di antara keduanya juga mungkin terdapat berbagai
makna baru yang mengantarai. Di samping itu Saussure mene-
kankan bahwa makna antara dan bentuk fonis antara dapat Juga
tersisip di antara makna dan bunyi kata yang dianggap sebagai
berbeda. Dengan kata lain, ia menangkap ciri kesinambungan
yang terdapat pada penampilan konkret, tindak konkret dari
parole. Bukan suatu kebetulan kalau nama H.Schuchardt dikutip
di antara mereka yang mengembangkan pengetahuan tentang
langue. Dan seandainya Saussure mengenalnya, mungkin ia
mengutip, sebagai mukadimah dari pemikirannya, Esthetique,
karya Croce.
Meskipun demikian (dan di sinilah mulainya pencabangan)
pengelompokan itu memang nyata: itulah yang setiap saat
menjadi dasar dari setiap pembicaraan kami, di mana pembedaan
dan identifikasi pelengkap beroperasi secara konkret, efektif.
Jadi, apa dasar bagi pengelompokan tersebut?.
Bertahun-tahun lamanya (antara Paris dan tahun-tahun
pertama di.Jenewa), Saussure terpaksa menerima jawaban
konvensionalis Whitney, yaitu suatu konvensi, dan hanya kon-
vensi, yang memungkinkan kita untuk memecah lafal dan makna
432

yang berbeda menjadi satuan-satuan (atau pembedaan antara


iafal tersebut dan makna tersebut dan lafal serta makna yang
dekat dari segi fonis dan psikologis). Tetapi, konvensionalisme
(tanpa memperlihatkan kelemahannya dari segi historis konkret
karena orang tidak tabu di mana, bilamana dan dengan cara apa
terjadi konvensi) memiliki kelemahan teoritis yang radikal:
konvensionalisme'menganggap bahwa istilah yang dikatakan oleh
konvensi, identitasnya sudah tersusun, tetah diidentifikasi.
Langue, sebagai mekanisme yang memimpin identifikasi dan
diversifikasi, mendahulukan segala konvensi. Itulah sebabnya
mengapa orang yang menganalisisnya "ditinggalkan oleh semua
analogi surga dan dunia".
Jawaban Saussure yang terakhir dipusatkan pada teori me-
ngenai kesemenaan. Di dalam deret produksi fonis tak terbatas
dan di dalam deret makna yang di mana keduanya membentuk
dua lapisan yang sinambung, langue memisahkan wujud yang
berlainan, menampilakan batas-batas di mana gejala-gejala yang
secara psikologis dan fonis berada, diidentifikasi. Langue adalah
mekanisme yang (di luar kemauan individu) memimpin identifi
kasi diskriminasi tersebut. Bahasa merupakan gabungan lafal,
batas yang membuat massa realisasi fonis dan massa makna, jadi
tak sinambung (istilah mutakhir adalah berciri tersendiri). Berkat
langue, pembicara mengkatagorikan suatu wujud fonis tertentu
sebagai wujud penanda dan satu perseptif atau konseptif atau
konseptual wujud petanda, Di dalam kategorisasi itu, tidak ada
satu alasan intrisik pun yang mempengaruhi hakekat substansi
fonis-akustis maupun konseptual; [a] dan [a:] dikelompokkan
sebagai penampilan yang berbeda dari satu satuan bahasa yang
sama yang dilambangkan oleh /a/ di dalam bahasa Italia atau di
dalam dialek Napoli sebagai penampilan yang berbeda dari 2
wujud yang berbeda yang dilambangkan oleh /a/ dan /a:/ (atau
oleh a dan a) di dalam bahasa Perancis atau Latin. Sebagaimana
yang dilihat jelas oleh Saussure, terjadi proses yang sama di
dalam berbagai perlambangan (makna) dan petanda. Seorang
makhluk kecil berkelamin betina dan yang lain berkelamin jantan
menimbulkan satu petanda dalam bahasa Jerman ("Kind") atau
dalam bahasa Yunaniilrejcvov), sedangkan di dalam bahasa Italia
433

menirnbulkan 2 petanda yang berbeda("bambino"dan"bambina")


atau dalam bahasa Latin ("puer" dan "puella").
Persamaan dan perbedaan fonis-akustis atau konseptual
dan psikologis tidak menjelaskan mengapa terjadi penyamaan
dan pembedaan tersebut. Jadi, hal tersebut tidak terdapat di
dalam bidang alami, atau sebabnya, tetapi di dalam bidang
peristiwa sejarah. Hal tersebut, dengan kata lain, semena.
Tingkatan yang paling n^endalam (mengenai penelitian
tingkatan ini, lihat Martinet 1957. 115-116 dan Godel 1959. 32),
dari arti kesemenaan tanda bukan terletak pada halaman-halam-
an 148-149 PLU yang penuh kebingungan, melainkan pada Bab
IV dari bagian kedua, yang berisi valensi bahasa(FLU 208, 217):
tanda bahasa semena karena merupakan kombinasi(semena tapi
tidak perlu lagi ditekankan) dari dua muka, petanda dan penanda
yang semena, dalam arti mereka menyatukan (dan rnembedakan)
makna yang terpencar dan tipe-tipe realisasi fonis yang terpencar
secara semena tanpa adanya motivasi Ibgis m'aupun alami.
Hakekat tanda bahasa yang "sistemis" berasal dari keseme
naan. Pembatasan tanda, yang bebas dari motivasi apa pun yang
berhubungan dengan substansi konseptual atau fonis, dipercaya-
kan pada pembatasan t^nda oleh tanda itu sendiri. Dan karena
pembatasan itu tidak memiliki dasar lain kecuali usus loquendi
dari suatu masyarakat bahasa, maka sistem langue bersifat sangat
sosial pada segala seginya, baik yang semantik maupun yang
fonologis dan morfologis (Frei).
Dari kesemenaan timbul pula metodologi baru bagi des-
kripsi tanda, yang tidak boleh lagi didasarkan pada segi fonis-
akustis atau pntologis-logis-psikologis, melainkan pada segi pem
bedaan fonis-akustis dan ontologis-logis-psikplogis yang diguna-
kan di dalam langue tertentu untuk membentuk tanda yang se-
dapat-dapatnya berbeda. Prinsip metodologi itu hanya dising-
gung sedikit di dalam PLU dan baru dikembangkan dengan
panjang lebar, di dalam penelitian aliran Praha, Perancis dan
glosematik, dan di dalam pembangunan semantik fungsional ber-
kat karya-karya ilmuwan Swiss (Frei, Burger, Godel), dan berkat
Lamb dan Prieto.
434

8. Peninggalan di berbagai Negara.

PLU diterbitkan pada tahun 1916 (337 halaman), kemu-


dian setelah halaman diperbaharui tidak berubah lagi (331 ha
laman) pada edisi tahun 1922, 1931, 1949, 1955, dan seterusnya.
.... Sejumlah ikhtisar (pada umumnya lebih bersifat kritik) me-
nyambut edisi pertama: Bourdon 1917, Gautier 1916, Grammont
1917, Jaberg 1937. 123-136 (terbit Desember 1916), Jespersen
1917, Lommel 1921, Meillet 1916, Meillet 1917, Niedermann
1916, Oltramare 1916, Ronjat 1916, Schuchardt 1917, Sechehaye
1917, Terracini 1919, Wackernagel 1916. Edisi kedua juga dibuat
ikhtisarnya oleh: Abegg 1923, Gombocz 1925, Gregoire 1923,
Lommel 1922, Lommel 1924, Marouzeau 1923, Uhlenbeck 1923.
Banyak juga yang telah menerjemahkannya : Jepang (Gengoga-
kugenron, terjemahan H. Kobayashi, Tokyo 1928, ed. ke-2 1940
(dengan daftar pustaka hal. 1-10), ed. ke-3 1941 (dengan
pengantar baru), ed. ke-4 1950) Jerman {Grundfragen der
allgemeinen Sprachwissenschaft, Berlin-Leipzig 1931, terjemahan
H. Lommel dengan kata pengantar yang pendek berisi ucapan
terima kasih kepada L. Gautier, Bally, Sechehaye. Karya ini,
yang telah disusun ikhtisarnya oleh Herman 1931, Ammann 1934
b, dicetak kembali dua puluh enam tahun kemudian, Berlin 1967,
"dengan daftar baru dan suatu kata tambahan dari Peter voo
Pohlenz"; Rusia {Kurs obsiej lingvistiki, Moskow 1933, pener-
jemah H.M. Suhotin, komentar oleh R.J. §or, kata pengantar
oleh D.N. Vvedenskij, yang dikutip di sini dengan nama
Vvedenskij 1933; nomor pertama dari koleksi itu "Jazykovedy
zapada" tidak pernah diterbitkan lagi; tidak dikenal di Eropa
Barat: bdk. SM 24, catatan 3, Slusareva 1963. 34); Spanyol
{Curso de lingiUstica general, terjemahan Amado Alonso, kata
pengantarnya dikutip di sini dengan nama Alonso 1945, ed. ke-2
1955, ed. ke-3 1959, ed. ke-4 1961); Inggris {Course in General
Linguistics, New York, Toronto, London, 1959, dicetak ulang
dalam bentuk paperback 1966, terjemahan W. Baskin, dengan
translator's introduction hal. XI-XII; ikhtisar oleh H. Frei, CPS
17, 1960. 72-73; menerjemahkan langue-parole-lqngage dengan
language-speaking /juga speech]-[human] language; Polandia
{Kurs iezykoznawstwa ogolnego, terjemahan Krystina Kasprzyk,
435

Warsawa 1961); Hungaria (lihat infra 477); Italia (oleh penulis


karya ini, ed. pertama Bari 1967, ed. ke-4 paperback ^ah 1972).
Semua ini tidak cukup rasanya untuk memberikan gambar-
an tentang luasnya pengarub iPLU, tetapi lebih tepat dikatakan
kalau catatan di atas mengingatkan kita bahwa setelah tahun
1930, "tidak ada linguistik umum.... yang tidak dimulai dengan
acuan pada \PLU "(Malmberg 1954. 9, dan bdk. Sechehaye 1940.
1). Meskipun demikian, ada masa-masa sepi. Karya-karya yang
banyak mengutip nama ilmuwan yang berjasa sebagai pendiri
linguistik ini, tidak menyebut nama Saussure. Misalnya buku
ilmiah populer M. Pei (The Story of Language, ed. pertama,
London 1952, ed. kedua 1957) atau, karya yang bertingkat lebih
tinggi, buku pegangan susunan H.A. Gleason(An Introduction to
Descriptive Linguistics, New York 1956) dan Ch. F. Hockett(A
Course in Modern Linguistics, New York 1958). Pada beberapa
kasus (Carrol 1953. 15) PLU dicatat di antara karya pangantar
linguistik yang baik: ini hampir sama saja dengan mengutip
Odyssee di antara karyanya mengenai teknik navigasi. Tetapi,
peninggalan PLU di Amerika Serikat perlu diteliti secara lebih
luas.
Secara umum, acuan kepada TLU dapat dikatakan suatu
keharusan. Sering pangacuan itu berupa penyebutan beberapa
perbedaan khas Saussure, seperti langue-parole, sinkronis-dia-
kronis, petanda-penanda: bdk, sekedar contoh sederhana. Otto
1934. 180, Herman 1936-1938. I, II, Brdndal 1943. 92 dst.,
Sturtevant 1947. 3, Dieth 1950. 3, 8, 16, Porzig 1950. 108,
Kronasser 1952. 21, Carroll 1953. 11,12,15, Baldinger 1957,12,
21, Ammer 1958. 9 dst., 46 dst., 59, Schmidt 1963. 6-10,
Borgstrom 1963. 4-5, Malmberg 1963. 8-9. Pun di dalam contoh-
contbh di atas, pengacuan lebih mengarah pada kritik; suatu
penilaian menyeluruh telah dicoba pada sejumlah karya, di
antaranya, dengan membatasi pilihan kami pada yang paling
penting dari segi tahun, penyebaran dan gema karya-karya
tersebut, dapat dicatat (secara kronologis): Bally 1908, Havet
1908, Bally 1913, Id. dalam F.d.S. 51-57, Breal 1913, Meillet
1913, Streitberg 1914 (ditulis lebih awal dari \PLU tetapi secara
keseluruhan tetap mencoba menilai karya Saussure, termasuk
436

aspek-aspek metodologis yang kemudiaTi dieksplisitkan dalam


PLU); Gautier 1916, Jaberg 1937 (tetapi diterbitkan 1916),
Meillet 1916, Wackernagel 1916, Grammont 1917, Jespersen
1917,'Meillet 1917, Schuchardt 1917, Sechehaye 1917, Regard
1919. 3-11, Terracini 1919, Lommel 1921, Id. 1922, Id. 1924,
Jakobson 1929. 16 dst., Ipsen 1930. 11-16, Pagliaro 1930. 86 dst.,
Weisgerber 1932, Mathesius 1933, Trubetzkoy 1933, Vvedenskij
1933, Amman 1934, Buhler 1934. 17-20, Jakobson 1936. 237,
Alonso 1945, Wagner 1947. 21, Wells 1947, Sommerfelt 1952,
Malmberg 1954, Arens 1955. 388-402. Waterman 1956, Birn-
baum 1957,(Godel)5M(1957), Redard 1957, CikobaVa 1959.13,
63, 84 dst., 97-99, 125, 160, Heinimann 1959, Ullmann 1959. 2,
Hjelmslev 1961. 7, Collinder 1962, Jakobson 1962. 293-294,
Kukenheim 1962. 91-94, Malmberg 1963, 8, Benvehiste 1963,
Gipper 1963. 13, 19, 20 dst., 22 dst., 29 dst., 46, Jaberg 1965. 17-
19, Leroy 1965. 79-91, Benveniste 1966. 20-21, Lepschy 1966. 31-
48.
Daftar tersebut, yang pasti, mengandung kekurangan un-
tuk memperlihatkan bahwa ^LU hadir kurang lebih di semua
negara. Kami akan mencoba memberi gambaran yang lebih terin-
ci. Kami mendapat gambaran yang jelas melalui karya yang teliti
dari E.F.F. Koerner, Bibliographia Saussureana 1870-1970,
Moetuchen (N.J.) 1972.
PERANCIS. Di negara ini pengaruh Saussure paling diakui
secara menyeluruh (Meillet 1913, Gauthiot 1914, Grammont
1933. 153-154, Kukenheim 1962. 91 dst. Benveniste 1965. 24-28,
dan lihat supra 428). Pengaruh langsung dan mendalam telah
mencetak Meillet (Alonso 1945. 28-29, Martinet 1953. 577,
Cikobava 1959. 84, Benveniste 1962. 93, Bolelli 1965. 401,
Lepschy 1966. 134-135) dan Grammont (Grammont 1933. 9-20.
Benveniste 1962. 93), yang utama pleh pengaruh tersebut telah
dapat, meskipun ada beberapa pplehiiik, memajukan penelitian
strukturalis (B. Malmberg, M.G.,'dalam Stadia Linguistica I,
1947. 52-55). Tentu saja pengaruh tidak's0lalu berarti pemaham-
an.Jengkap dari prinsip teori Saussure. G. Mounin berkali-kali
menggarisbawahi dengan benar bahwa Meillet tidak pernah
memahami secara mendalam pengertian "sistem" yang dikemuka-
kan oleh Saussure dan bahwa ketidakpahaman ini cukup besar di
437

kalangan "Meilletis" seperti J. Vendryes dan M. Lejeune


(Mounin 1966. 26 dst., 1968. 76-78). Disebutkan juga kemung-
kinan pengaruh Saussure pada P. Passy (supra 428). Secara tidak
langsung, tetapi cukup mendalam, Saussure telah mempengaruhi
R. Gauthiot (Purler de Buividze, Paris 1903, hal 4, Benveniste
1965. 27), Vendryes (Vendryes 1921. 437, lordan-Bahner 1962.
326, Sommerfelt 1962.'90, Cikobava 1959. 84 dst., Boldli 1965.
421)dan Benveniste(Cikobava 1959. 84 dst., Lepschy 1966.134),
yang telah menelaah kembali masalah yang terdapat dalam
Memoire (supra 419) yang, meskipun dengan ragu-ragu dan tidak
paham yang mungkin sekali disebabkan oleh Meillet, akhirnya
tiba pada "penghayatan yang penuh dan positif dari pemikiran
Saussure", seperti yang diakui Mounin 1968. 76-78, dan mem-
persembahkan telaah fundamentalnya kepada Saussure (lihat
kutipan di dalam daftar singkatan). Di dalam tulisan-tulisan Mar
tinet, tafsir yang berbau Saussure sangat jarang dan sangat sing-
kat, tetapi setiap acuan menambah unsur baru pada aspek-aspek
dasar PLU,dan menjadi patokan yang tepat dan meyakinkan di
dalam se|arah aliran Saussure yang rumit. Elements de linguis-
tique ginerale, meskipun nama Saussure tidak disebut di dalam-
nya, merupakan buku pegangan linguistik yang paling beraliran
Saussure ; dan Saussure hidup kembali di dalam salah satu ciri
yang paling menonjol dari karya Martinet: "ia dapat menunjuk-
kan wibawa yang sama di hadapan kaum strukturalis dan para
ahli tata bahasa bandingan tradisional; sumbangan Martinet
bermutu, dan sekarang karya semacam ini makin jarang saja
karena telah berhasil mengasimilasikan diri dengan strukturalis-
me maupun tata bahasa bandingan"(Lepschy 1966. I29).
Melalui Meillet, Grammont, Vendryes, Benveniste dan
Martinet, Saussure mempengaruhi secara kurang lebih jelas
semua ahli linguitik Perancis. Sebagai coritoh dapat disebutkan
nama-nama L. Tesniere (Tesnidre 1939. 83-84, Lepschy 1966.
146), yang karyanya Elements de syntaxe structurale (Paris 1959)
banyak diilhami gagasan Saussure meskipun tidak mengacu
secara jelas (bdk. misalnya halaman 17, catatan); G. Mounin
(bdk. khususnya Mounin 1963. 21-24 dan karya menyeluruh yang
sangat baik tahun 1968); Haudricourt dan Juilland (Burger 1955.
438

19 dst.). Dauzat telah menuntut hak sebagai anak sulung gagasan


Saussure (Lepschy 1966. 71, catatan 41). Pichon telah menyusun
kritik (1937 dan 1941); kritik yang disusun oleh Marcel Cohen
memihki kepentingan khusus, tetapi sementara itu ia tidak ragu-
ragu menyatakan hutang budi yang besar terhadap linguistik
modern, bahkan linguistik meterialis Saussure (Cohen 1956. 26,
75, 89, 163). Seperti yang kita lihat nanti, pengaruh Saussure
meluas, khususnya di Perancis, keluar dari bidang linguistik, dan
hal ini, yang mungkin tak terelakkan, kadang-kadang telah
menjurus kepada "kurang lebih jurnalistik" seperti yang dituduh
oleh G. Mounin 1968. 79-83.
JEPANG. Pengaruh Saussure di Jepang "besar sekali"
(Izui, 1963. 54-55)j dan gagasan Saussure mungkin telah me-
nyumbang gagasan awal E.D. Polivanov, murid Baudouin (V.V.
Tvanov, "Linguisticeskie vzgljady E.D. Polivanova", V la 1 : 3,
1957. 55-76; Leontev 1961; "Iz neopublikovannogo nasledstva
E.D. Polivanova, V Ja 12: 3, 1963. 96-98; Lepschy 1966. 63, 73,
catatan 65) demikian juga kuliah yang diberikan oleh H.E.
Palmer yang, terlepas dari Saussure (Jespersen 1925. 11-12),
telah menekankan pentingnya pembedaan antara language "lan-
gue" dan speech "parole (langage)" (Palmer 1924. 40). Seperti
yang telah kita lihat terjemahan PLU yang merupakan pener-
jemahan pertama kali, merupakan penerbitan yang sangat
berhasil.
EROPA UTARA. Pengaruh Saussure kuat dan nampak
dengan jelas. Pengaruh tersebut di Norwegia tampil dalam karya
Sommerfelt, yang diwarnai oleh sosiolinguistik Saussure(bdk. A.
Sommerfelt, "La linguistique science sociologique", Norsk Tid-
skrift for Sprogvidenskap 5, 1932. 315-331, Sommerfelt 1962,
passim, Leroy 1965. 145-146) dan penerusnya Borgstroem (1949,
1963. 4-5). Di Swedia, meskipun Collinder melancarkan polemik
(1962), tradisi yang diciptakan oleh Noreen {infra 507 dst) telah
memudahkan penyebaran pengaruh Saussure yang terungkap
melalui Malmberg (Vendryes 1950. 455) dan para ahli linguistik
lain. Para ahli filsafat juga telah merasakan dari saat ke saat
pentingnya PLf/(Regn611 1958. 10, 140, 175, 1858-6, 187). Di
Denmarklah pengaruh Saussure khususnya dirasakan (Birnbaum
439

1957. 10): terkenal sebagai anggota Academic (supra 458), ia


sering dimintai pendapat: Brondal (1943. 90-97) yang sering
diperdebatkan sebagai tidak jelas menghayati substansi dan ga-
gasan Saussure (Frei 1955. 50, dan bdk. misalnya V.B., Les par
ties du discours, terjemahan Perancis, Kopenhagen 1948, hal. 11-
12, 75 dst., 142 dst.)„ L. Hjelmslev dengan penghayatan yang
sama sekali berbeda(Hjelmsley 1928,1947, 72,1951. 62; 1961.7;
Borgstroem 1949, Ege 1949. 23-24, Wells 1951. 564, Siertsema
1955. 1-13,54-57,95,146, Cikobava 1959.160 dst., Coseriu 1962.
176, Sopimerfelt 1962. 59, 90) dan kaiim glosematik (lihat infra
481).
RUSIA. Peninggalan Saussure di negara ini sangat ber-
lainan. Gagasan Saussure pertama kali diperkenalkan oleh S.
Karcevskij yang telah mengikuti kuliah Saussure di Jenewa sejak
tahun 1905; setelah memperoleh gelar licencie es lattres pada
tahun 1914, ia kembali ke tanah airnya, tahun 1917 dan menjelas-
kan kepada kaum muda Moskow doktrin Saussure(R. Jacobson,
N. S. Trubetzkoy) yang telah merasukinya dan akan tetap mem-
pengaruhinya. Doktrin tersebut semula disajikan pada Akademi
ilmu di Moskow, kemudian sebagai guru besar linguistik, di
Ekaterinoslav (Dniepropetrovsk), dan akhirnya dalam esai pe-
herapan ke bahasa Rusia (Vvedenskij 1933. 20, Stelling-Michaud
1956, Jakobson 1956. 9-10, Pospelov 1957, Jakobson 1962. 631).
Bahkan setelah lingkaran Moskow dibubarkan, Saussure tetap
menjadi perhatian, seperti yang dibuktikan, misalnya, oleh R.
Sor, Jazyk v obSiestvo, Moskow 1926, atau Volosinov 1930. 60-
65. Pada tahun 1933 akhirnya terbit terjemahan Suhotin (lihat
supra). Kata pengantar yang panjang lebar D. N. Vvedenskij,
yang meskipun menggarisbawahi ciri "borjuis" dari ideologi yang
menurut pendapatnya implisit dalamjpuj, mengakui dan meng
garisbawahi pentingnya karya tersebut. Tetapi eksklusivisme
Marxis telah merusak pentbahasan karya tersebut yang pada
awalnya terbuka (Cohen 1956. 29-30, Leroy 1965. 172-173).
Baru setelah tahun 1950 ada sumbangan baru yang penting dari
Budagov, Cikobava, Zirmunskij, Saumjan dan yang lain. Slu-
sare-va pada tahun 1963 telah menyusun ikhtisar yang pertama.
Saussure (demikian juga Hjelmslev) sangat mempengaruhi
karya-karya akhir S. Saumjan dan I. I. Revzin (Birnbaum 1957.
10).
440

Saussure menjadi pusat perdebatan terbuka pada tahun


1965 oleh Abaev: tuduhan-tuduhan (subjektivisme dalam kon-
sepsi bahasa, formalisme, anti-historisisme dalam pemisahan
antara sinkroni dan diakroni: Abaev 1965. 27-28) telah disangkal
pada tataran umum oleh sambutan hangat pada "hal-hal baru" di
dalam linguistik A. B. Gladkij dan I. I Revzin (V./a 14:3, 1965.
44- 59,15:3,1966. 52-59) dan pada tataran yang lebih khusus Ju.
V. Rozdestvenskij. "O sovremennom stroenii jaiykoznanija",
V Ja 14:3, 1965. ^-69, pada halaman 62 (pentingnya Saussure
bagi linguistik mana pun), L.P. Zinder,"O novom v jazykovede-
nii", V Ja 15:3, 1966. 60-64 (halaman 61: pentingnya Saussure
dan Baudouin bagi linguistik sinkronis), A. Cikobava 1966. 47-49
(membandingkan Saussure dengan Kant dan menggambarkan
pentingnya pembedaan sinkroni dan diakroni) dan akhirnya,P.S.
Kuznecov,"ESce o gumanizme i degumanizacii", V Ja 15:4,1966.
62-74, yang menjelaskan komposan historis daripemikiran Saus
sure untuk menyangkal tuduhan anti-historisme dan menyanggah
peiidapat yang menyatakan Saussure lebih dari seorang struk-
turalis(hal. 65 dst).
AMERIKA SERIKAT DAN NEGARA BERBAHASA
INGGRIS. Dari seberang Atlantik tak ada yang menjawab sim-
pati Saussure kepada Whitney. Di antara tokoh-tokoh linguistik
Amerika abad XX, Sapir menampilkan pendekatan yang mena-
rik bagi Saussure, tetapi ia sangat tidak bergantung kepadanya
(Wartburg Ullmann 1962,157, Mikus 1963.11-12, Wein 1963. 5).
Hubungan dengan Bloomfield lebih rumit. Bloomfield, yang
mengikuti gagasan Sapir, menetapkan jPLU sebagai "sebuah
dasar teoritis bagi kecenderungan baru di dalam telaah linguistik"
(Bloomfield 1922), penilaian yang dua tahun kemudian dimuat
lagi di dalam ikhtisar^LC/ (Bloomfield 1924). Juga, dua tahun
kemudian Bloomfield menggarisbawahi "hutang gagasan" pada
Sapir dan Saussure (Bloomfield 1926. 153), tetapi beberapa
tahun sesudahnya, di dalam langue, nama Saussure muncul hanya
sekali (hal. 19) di dalam sejarah doktrin-doktrin linguistik.
Blommfield sempat mengakui secara pribadi hutang budinya
kepada Saussure. Kesaksian yang berharga tentang hal itii
diberikan oleh Roman Jakobson (surat pribadi tertanggal 4-3-
1968): "Dalam percakapan dengan saya, Bloomfield menyebut-
441

kan bahwa di antara empat dari lima karya yang begitu


berpengaruh padanya, hanyalah Cours de LiHguistique General
karya Saussure." Tetapi, penyebutan nama Saussure dalam
Languge secara terkucil cukup memperlihatkan bahwa disitulah
mulainya keruntuhan Saussure, ciri linguistik post-Bloomfield.
"Di Amerika (terutama Amerika Serikat) pada umumnya orang
menganggap bahwa Language karangan Leonard Bloomfield
adalah buku linguistik umum yang terpenting yang pernah terbit
masa kini"(R. Hall. La linguistik americana dal 1925 al 1950",
Ricerche linguistiche, I, 1950. 279). Hockett 1952 membantah
adanya pengaruh apa pun dari Saussure pada diri Bloomfield
yang secara umum dianggap memiliki otonomi terhadap Saussure
(Garvin 1944. 53-54, Wells 1951. 558, Martinet 1953. 577, Benve-
niste 1954. 134, Coseriu 1962. 117, Waterman 1963. 93). Birn-
baum (1957. 10) mengakui bahwa ada sesuatu yang lebih
daripada hanya pendekatan sesekali. Adalah keliru kalau kita
mengecilkan arti sikap Amerika seolah hanya chauvinisme.
Sebenarnya pada diri pengikut Bloomfield terdapat kekhawatir-
an akan jatuh lagi dalam mentalisme kalau mereka meninggalkan
bidang behavioris dan berbicara tentang langue. Coseriu (1962:
117) menegaskan dengan jelas bahwa bagi orang Amerika bahasa
tak lain dan tak bukan adalah "keseluruhan ujaran didalam
semua situasi". (Z.S, Harris, Methods in Structural Linguistics,
Chicago 1951. 27,dan lihat infra PLU27 catatjjn 60).
Tentu saja kita boleh melupakan bahwa salah satu essai
menyeluruh yang lengkap mengenai Saussure berasal dari Ame
rika Serikat(Wells 1947). Tetapi penilaian seperti yang dilakukan
Waterman (1956, 1963. 61) yang menyebutkan Saussure sebagai
"kritikus terbesar dari era baru" merupakan pengecualian. Baru
setelah munculnya kembali perhatian pada apa yang terdapat "di
balik" keanekaragaman tanpa batas dari ujaran, pada mekanisme
langue yang menghasilkan ujaran, orang tertarik kembali kepada
Sausstire: asal mula perhatian baru ini kemungkinan besar
terd^ipat dalaih sikap tebri Chomsky (lihat rnehgenai hubungan-
nya yang problematis dengan Saussure, infra 5li8). Hasilnya
muncul dengan segera : Dinneen (1967) menulis panjang lebar
dan terus menerus mengacu pada Saussure; dan Godel (1969)
442

muncul dalam "Indian University Studies in the History and


Theory of Linguistics". Hockett bahkan untuk selanjutnya me-
ngubah sikap. la menggarisbawahi hutang budinya (dan juga
hutang budi Bloomfield) pada Saussure: bdk. The State of the
Art, Den Haag 1968,Bab I, passim.
Tanpa berbicara tentang diamnya kaum post-Bloomfield,
penilaian yang keras dan riegatif dari Ogden dan Richards(1923)
telah membatasi kehadiran Saussure di negara-negara Anglo-
Saxon: Saussure adalah ilmuwan yang tergiur oleh "sophisme"(4-
5 dan catatan), "naif (hal. 5), rumit yang tidak perlu (id), tidak
mampu mendeskripsikan bekerjanya langage(hal. 232).
Di universitas-universitas Inggris, kehadiran Saussure me-
lalui.cara tertentu didukung oleh A. Gardiner (Sommerfelt 1962.
90, Robins 1963. 13 dan bdk. juga Gardiner 1932. 59-60, 62, 68-
93, 106 dst., Gardiner 1935, Gardiner 1944) dan Jones (1950. VI,
213; Lepschy 1966. 135), dan dari sana oleh Firth (1935. 50 dst.,
1956. 133; mengenai Firth lihat Lepschy 1966:135 dan 147). Perlu
disebut terpisah Ullmann, orang Hongaria yang menjadi Inggris,
yang telah banyak dipengaruhi Saussure dan menyebarkan
gagasannya di kalangan ahli bahasa Roman dan ahli semantik
(Ullmann 1949, Ullmann 1953. bdk. juga Antal 1963. 19 dst., 81
dst., Sommerfelt 1962. 91, Rosiello 1966. XXIX dst.), meskipun
beberapa orang menyatakan bahwa ia tidak dirasuki secara
mendalam oleh pemikiran Saussure (Godel 1953, Frei 1955. 50-
61).
Secara lebih menyolok daripada di Amerika Serikat,
kehadiran Saussure di masa mendatang diperkuat di Inggris
berkat Ilmuwan seperti R.H. Robins {General Linguistics. An
introductory Survey, London 1964. hal. 32, 62, 78, 129, 378),
R.M.W. Dixon {What is language? A new Approach to Linguistic
Description, London 1965, hal 73-78) dan terutama J. Lyons
(Lyons 1963. 31,35,37, Lyons 1968. 38 dan passim).
SWISS. Peninggalan Saussure di tanah airnya malahan
tidak sebanyak yang disangka (Frei 1949). Lebih dari sekadar
pengaruh Saussure yang kabur terdapat sederet tokoh penting
yang telah mengikuti, secara kurang lebih ditandai, dari karya
master Jenewa itu. Pertama perlu disebut nama Bally yang
sering ditampilkan perbedaan pahamnya dengan Saussure (Segre
443

1963. 12-13, 15-16). Penekanan pada nilai-nilai afektif langue


dan, hal yang dipegang teguh oleh Bally sendiri (Bally 1909, I,
VII) yaitu keasliannya (Alonso 1945. 29-30, Godel 1947, Frei
1949. 54, Clikobava 1959. 84 dst., Wartburg-Ullmann 1962. 249,
Segre 1963 cit. dan 14; Bolelli 1965. 391 dst.). Dan di samping
Bally, Sechehaye mungkin lebih dekat pada pemikiran Saussure,
khususnya mengenai kesemenaan (Alonso 1945, 30, Godel 1947,
Frei 1949. 55, Godel 1956. 59); Keduanya membentuk "aliran
Jenewa", basil pengajaran Saussure (Sechehaye 1927, Grammont
1933. 155, Devoto 1928, Frei 1949, Godel 1961, Mourelle-Lema
1969, Godel 1969, Lepschy 1970. 52, dll) yang telah mereka
sebarluaskan dan mereka jaga seperti miliknya sendiri. Polemik
mereka yang mempertahankan butir-butir tertentu dari/PL1/
tak terhitung jumlahnya: menghadapi "serangan" pertama dari
Doroszewski yang menentang pengertian fonem (Bally 1933),
menghadapi kritik Wartburg dan kaum Praha mengenai "pemi-
sahan" sinkroni dan diakroni (Bally 1937, Sechehaye 1939 dan
1940, bdk. Alonso 1945. 19, 26), menghadapi Buyssens (Seche
haye 1944), dll. Tulisan yang bertanda minta maaf diganti,
dengan munculnya "generasi kedua dalam aliran Saussure"
(Burger, Frei, Godel), oleh hasrat menyusun tafsir yang sering
disertai pandangan-pandangan baru: sehingga Frei (Sollberger
1953. 45-46, Martinet 1955. 45) pada akhirnya terjun dalam
polemik untuk mempertahankan dan menjelaskan prinsip-prin-
sip Saussure (kesemenaan : Buyssens 1941, Frei 1950, Buyssens
1952, Antal 1963. 81; sinonim: Frei 1961. 39). Perlu diingatkan
pula di dalam setiap halaman komentar dan catatan ini, adanya
sumbangan R. Godel kepada tafsir dan pendalaman pemikiran
Saussure. Akhirnya, di dalam menilai kehadiran Saussure di
tanah aimya, jarigan dilupakan pula nama-nama Karcevskij
(lihat supra 472), sumbangan A. Burger (1955, 1961), essai dan
kegiatan penerbitan oleh R. Engler ilmuwan Swiss ahli bahasa
Jerman (m/ra 478,514).
NEGARA-NEGARA EROPA TIMUR. Di Polandia (di
mana terdapat terjemahan PL17 sejak tahun 1961), penihg-
galan Saussure berkaitan dengan tradisi peninggalan Baudouin
dan Kruszewski dan dengan kegiatan Witold Doroszewski (1930,
444

1933, 1933 b, 1958), yang khususnya tertarik pada interpretasi


sosiologis dari gejala- gejala semantik (Schaff 1965, 17 dst.), dan
J. Kurylowicz yang telah menelaah kembali masalah dalam
Membire di bidang historis komparatif (supra 419) dan masalah
dalam PLU di bidang teori. Di Polandia, seperti juga di Swedia,
lingkungan filsafat tertarik pada gagasan Saussure, yang menjadi
pusat dalam karya A. Schaff(1965 dan 1964). <5
Di Hungaria, ilmuwan pertama yang menganalisis dan
memperdalam masalah yang dikemukakan Saussure adalah
Witolg Gombocz yang menyusun ikhtisar PLU pada tahun
1925 (Gombocz 1925) dan mempergunakan gagasan Saussure
secara luas di dalam karya tulisnya yang kecil mengenai
semantik (Jelentestan, Budapest 1926: bdk. Rosiello 1966, XVII
dst.) dan di dalam karya lainnya (J. Melich, G.Z. "emlekezete",
Kuldnlenyomat a magyar nyelv 32, 1936. 65-86). Berbagai
ilmuwan telah mengikuti arah yang sama: Laziczius (1939, 1939
b, 1945, 1961. 15, 174. dst.), Fonagy (1957 dan Zeichen und
System I, 52) Antal (1963. 17 dst., 81 dst.) , E. Ldrinczy telah
menyiapkan terjemahan dalam bahasa Hungaria (Budapest
1967), mengenai kriteria dan masalahnya bdk. E. Ldrinczy,
"Saussure magyar forditasa ele", Kuldnlenyomat a magyar nyelv
1966.279-285.
Di Cekoslowakia, medan untuk penyebaran/PLf/ telah
disiapkan oleh berbagai ilmuwan. Pertama oleh seorang tokoh
yang orisinal, filsuf dan politikus Thomas'Gaiqrigue Masaryk
yang, dalam Zdkladovd konkretrU logiky (Praha 1885; terjemah
an dalam bahasa Jerman 1886, Versuch einer concreten Logik),
merumuskan perbedaan yang jelas antara studi langiie yang statis
dan studi historis, tanda-tanda awal dari pengakuan atas pembe-
daan yang dilakukan Saussure oleh "orang-orang Praha"(Jakob-
son 1933. 167, Alonso 1945.13). Kami akan membahas lagi nanti
hubungan antara lingiiis Praha dengan Saussure, tetapi untuk
sementara marilah kita catat sumbangan yang diberikan pada
aliran Saussure oleh V. Mathesius (1933)dan Vachek (1939. 95-
96).
NEGARA-NEGARA BERBAHASA SPANYOL. Perta
ma, terjemahan yang sangat baik dan gamblang Prd/ogo dari
karya A. Alonso pada tahun 1945, kemudian, kegiatan dan
445-

penelitian yang dilakukan E. Coseriu (1958, 1962) yang telah


rpengajarkan selama bertahun-tahun di Montevideo dan telah
membantu memperkenalkan karya Saussure, meskipun dinilai
kurangbaik(D. Alonso 1950.19- 33,599-603, Catalan Menendez
Pidal 1955. 18, 20. 28-29, 33-37). Terdapat penggunaan yangluas
dari gagasan Saussure dan teori-teori yang berasal dari Saussure,
di dalam buku pegangan yang monumental karangan F. Rodrf-
gues Adrados LinguisHca estructural, 2jilid, Madrid 1969. Peneli-
tian-penelitian ahli linguistik Argentina L. Prieto, yang mencapai
puncaknya dalam Principes de noologie, Den Haag 1964,
menunjukkan sumbangan yang paling nyata bagi pembangunan
bidang semantik yang sejalan dengan gagasan PL U-
NEGARA-NEGARA BERBAHASA JERMAN. Kecuali
Streitberg 1914, Junker 1924, Lommel, penerjemah PLU,
mereka yang berjasa bagi penyebaran karya Saussure di negara-
negara berbahasa Jerman adalah yang mengkritik Saussure:
Wartburg berkali-kali mengkritik pembedaan antara sikroni dan
diakroni (1931, 1937, 1962); Ammer (1934) dan Rogger (1941,
1942) telah mengkritik butir-butir tertentu dari PLU. Sebalik-
nya, mereka yang memuji Saussure (dan Humboldt) adalah L.
Weisgerber dan J. Trier (Weisgerber 1932, Trier 1934. 174; bdk.
-juga Springer 1938. 168, Quadri 1952. 143- 144, Hjelmslev 1961.
47, Wein 1963. 11, Antal 1963. 19 dst, Schaff 1964. 12). Baru
setelah perang dunia kedua, universitas- universitas Jerman
mulai memperhatikan gagasan Saussure.
ITALIA. Bagi para ahli linguistik Italia seperti Bartoli,
Battisti, Bertoldi, yang belajar di Wina sebelum Perang Dunia
Pertama, 'Tengantar Linguistik Umum merupakan.... hal
yang baru", namiin dikaburkan oleh ketakjuban Gillieron dan
oleh pendapatnya bahwa ia telah berhasil "membebaskan diri"
dari PLU "dengan jalan mendominasinya"(C. Battisti, Vittorio
Bertoldi," Arch. Glott itah 39. 1953. 1-19, hal 1-2). Sikap
B. Terracini tidak berbeda, mulai dari ikhtisar PLt/ yang isinya
masih meraba-raba (Terracini 1919) sampai pada icritik yang
sambung menyambung (1929, 1942, 1949. 23-24, 37, 40-43, dll,
1957. 9, 10, 51, 1963. 24^ 26, 37, 48, 51, 62), sedemikian rupa
sehingga di dalam karya salah satu muridnya (C. Schick, II
446

linguaggio. Natura, structturu, storidta delfatto linguistico, Turin


1960), nama Saussure muncul empat kali, dikaitkan dengan teori
suku kata, pengertian hubungan asosiatif dan dengan nama
Terracini, yang teiah menyusun pengertian bahasa yang berbeda
dengan PLU (hal. 63, 73, 83, 197). v. Pisani (1966. 298)
menganggap,seeara pribadi, bahwa PLU adalah "kasar".
Kritik-kritik yang diilhaini sejarah telah dilontarkan pada
PLU dengan tujuan menyusun kembali pengertian-pengertian
dasar Saussure, oleh G. Devoto (1928, 1951. 3-15), A. Pagliaro
(1930. 86 dst., 1952. 48-61, 1957. 32, 198, 367-368, 377-378), G.
Nencioni (1946), T. Boielli (1949. 25-58, 1965. 8, 150-152, 358-
359). Terlihat pada para ahli linguistik generasi berikutnya,
seperti L. Heilmann, W. Belardi, M. Lucidi (mengenai mereka
bdk. singkatan), suatu pembauran (adhesion) yang lebih nyata,
kalau tidak dengan penyelesaian masalah, atau paling tidak
dengan masalah-masalah yang terdapat dalam \PLU. Sum-
bangan yang berarti bagai tafsir Saussure berasal dari G. Lepsehy
(1962, 1965, 1966, dll.) dan G. Derossi (1965). Tradisi mental
"anti-Saussure" di dalam linguistik Italia nampak mulai hilang
sejak Leroy(1965. 160-161 dan catatan).
Perlu dicatat pula bahwa para filsuf menaruh perhatian
yang besar pada jPLUf, seperti misalnya G. Delia Volpe (Critica
del gusto, ed. pertama Milano 1960, hal. 91-100 dan passim) atau.
F. Lombardi (Aforismi inattuali sull'arte, Roma 1965, hal. 65-162
(="Noterelle in tema di lingiiagio", De Homine 7-8, 1963. 146-
242)(bdk. Derossi 1965. 40-41).
Setelah penerbitan /PLU yang pertama (1967) dapat
diamati adanya suatu kemajuan yang mencolok di dalam keha-
diran Saussure di Italia (Engler 1970). Perlu dicatat, di antara
tahap-tahap yang terpenting, ikhtisar yang dibuat untuk edisi
kritik terhadap R. Engler oleh C. Segre, Strumenti critici 1, 1967.
437-441^ 3, 1969. 58 (dan perhatian Segre pada semiologi, yang
berakar pada masalah besar yang berasal dari Saussure; bdk. I
segni e la critica. Fra strutturalismo e semiologia, Turino 1969, hal
37, 38, 45, 61, 62, 64, 69), V. Pisani, Paideia 23, 1968. 375- 377,
G. Lepsehy, Studi e saggi linguistici 9, 1969. 216-218; penerbitan
cuplikan kuliah linguistik umum yang kedua, oleh R. Simone,
It cannocchiale", n. 5-9, hal. 155-172 (di dalamnya diumumkan
447

adanya terjemahan seluruh catatan kuliah kedua pada jpenerbit


Ubaldini di Roma); pemanfaatan gagasan Saussure secafa luas
dan mendalam oleh para ahli estetika, semiotika dan filsafat (R.
Barilli, G. Derossi, U. Eco,E. Garroni,E, Melandri, G. Morpur-
go Tagliabue, F. Rossi Landi, dll.); pemanfaatan Saussure yang
sangat baik, berkat k^jelasan dari telaah yang mutakhir di dalam
penelitian yang bersifat pranat (berkat para ahli muda dan yang
masih sangat muda) seperti G. Cardona, Linguistica generate,
Roma 1969, R. Simone, Piccolo dizionario delta linguistica
moderna, Turino 1969, A. Varvaro, Storia, problemi e metodi
delta linguistica romanza, ed. baru, Napoli 1968. Dan yang
menarik adalah bahwa pengajaran Saussure (dan Hjelmslev)
sukar dihilangkan pada diri para pengikut Chomsky yang
termuda di Italia: bdk. Introduzione, dari F. Antinucci (hal.VII-
XXXI) sampai Chomsky, Le strutture delta sintassi, Bari 1970.
Apakah hari-hari terakhit "anti-Saussure" y^ng kronis di dalam
linguistik Italia sudah dapat dihitung?

9. Kehadiran Saussure di dalam Berbagai Aliran Linguistik.

Lukisan tentang peninggalan IPLU. di berbagai negara


dapat dilengkapi dengan kehadiran Saussure di dalam berbagai
aliran linguistik. Meskipun kita kesampingkan Bloomfield, keha
diran Saussure tetap minim di kalangan post-Bloomfield, dan
tidak nampak dengan jelas apakah, sekali lagi tanpa persetujuan
leader mereka, pengikut Chomsky tidak mengecilkan Saussure
dengan cara yang sama. Konfrontasi dengan gagasan-gagasan
Saussure lebih sering terjadi di dalam berbagai aliran historis:
dalam beberapa hal (Pagliaro: Leroy 1965. 161-162 dan catatan;
Coseriu: Rosiello 1966. 56-60). Kita dapat berbicara tentang
sintesis antara komposan Saussure dengan segi pandang kaum
historis. Saussure kurang lebih hadir pada diri ilmuwan seperti
Wartburg (lihat supra), Nencioni, Devoto, Terracini(De Mauro
1955. 310 dst.).
Saussure juga diakui olah wakil-wakil aliran sosiologis:
Meillet, Vendryes, Sommerfelt (lihat supra dan bdk. Alonso
1945. 28-29). Mengenai sikap linguistik yang diilhami mate-
448

rialisme dan Marxisme, lihat supra i471(Cohen) dan'472-473.


Konsep-konsep glosematik seperti "bentuk" dan "sistem
valensi" jelas dan eksplisit diilhami Saussure, lihat supra All dan
Wells 1951, Siertsema 1955. 1-13, Cikobava 1959. 160 dst..
Waterman 1963. 83 dst., Lepschy i966. 76-77.
Masalah hubungan Saussure dengan "aliran Praha" tidak
sederhana. Sering ditekankan, dengan tujuan-tujuan polemis,
bahwa aliran Praha, yang misalnya menganggap fonem sebagai
"abstraksi fonetis" (Siertsema 1955. 2), atau pun berkeliling di
sekitar padanan semantis dari "penanda zero" (Jakobson 1939
dan bdk. Gobel 1953, 31 catatan 1) dll., telah methperlihatkan
bahwa mereka dibentuk di lingkungan non-Saussure (Lepschy
1961. 207 dst., De Mauro 1965. 115, Lepschy 1966. 54). Dan
aliran Praha sendiri telah niemproklamirkan bahwa gagasan
mereka tidak dipengaruhi oleh Saussure, dengan menyanjung
primat yang dalam kaitan dengan sederet pengertian ala
Saussure(fonem, sinkroni dan diakroni, dan Iain-lain), yang juga
telah melahirkan berbagai ilmuwan Slavia: pertama Baudouin
dan Kruszewski (lihat infra catatan 7), dan juga Polivanov {supra
All), Fortunatov (Jakobson 1929:1962. 104, L.V. Sderba, T.F.
Fortonatov v istorii nauk o jazyke", V.Ja 12: 5, 1963. 88-93).
§cerba (Jakobson 1929. 8 catatan, Belardi 1959. 67, Cikobava
1959. 118 dst., Leontev 1961. 118 dan seterusnya., Lepschy 1966.
63dst.).
Tak ada yang dapat membantah kehadiran generasi-gene-
rasi non Saussure ini (tetapi bukannya mereka tidak menge-
nal Saussure: cukuplah apabila dikatakan bahwa Baudouin dan
Kruszewski sendiri mengenal pengertian fonem dari Saussure,
lihat supra catatan 7). Di samping itu tak diragukan lagi bahwa
kenyataannya mereka mengenal gagasan master Jenewa ini
pertama-tama dari Karcevskij (lihat supra All), yang merupakan
faktor yang^^penting dan menentukan bagi N.S. Trubetzkoy dan
R. Jakobson. Dalam polemiknya dengan Lepschy 1961 dan De
Mauro 1965.115(yang diperbaiki di sini), E. Garroni justru telah
mempertahankan (1966, 11 dan seterusnya): "bahwa hubungan
antara aliran Praha dan ajaran Saussure adalah hubungan yang
kemudian, alih-alih secara objektif bersifat sejarah....harus dipa-
hami.... hanya dalam maknanya.... bahwa fakta bidang budaya
449

yang melahirkan aliran Praha bukanlah aliran Saussure.... Teta-


pi, tidak bisa dan tidak boleh diingkari bahwa bukan hanya
menentukan seluruh deretan masalah khusus, tetapi juga seji^m-
lah (secara metodologis) asumsi teoretis dan terminologis yang
sederhana yang berasal dari \ Saussure." Kertas kerja yang
disajikan oleh A. Martinet di Arbeitsgemeinschaft fur Phonolo-
gie pada bulan September 1966 di Wina (La phonologie diachro-
nique et synchronique) berada pada posisi yang sama:"Meskipun
^ara fonolog tidak mengikuti Saussure di dalam identifikasi sis-
tem dan sinkroni, mereka sebaliknya tidak akan dapat menging-
kari hutang budi mereka pada orang, yang dengan ketelitian yang
kita semua tahu, telah menegaskan pentingnya pembedaan yang
jelas di antara kedua jurusan sinkroni dan diakroni. Meskipun
demikian, mungkin saja sulit untuk membatasi dengan tepat
sumbangan seorang pemikir atau seorang peneliti bagi perkem-
bangan ilmu di masa mendatang. Tetapi, yang nampak pasti
adalah bahwa pengaruh ilmuwan lain yang memang tepat diang-
gap sebagai pionir dalam fonologi, tanpa adanya gagasan Saus
sure, tidak akan sampai pada pembatasan yang jelas antara
sinkroni dan diakroni..." \(dala.m Phonologie der Gegenwart.
Vqrtrdge und Diskussionen, ed. J. Hamm, Graz-Wina 1967, hal.
64-74, 66). Perbedaan antara epistemologi yang ketat yang
merupakan arah pemikiran Saussure dan pengertian "struktur"
(sebagai satuan ontologis tertentu) dari aliran Praha ditegaskan
pleh F. Lo Piparo,"Saussure e lo strutturalismo praghesd', Anrmli
della Facoltd di Magistero di Palermo, 1970.
Dalam perspektif dialektik itulah kita harus melihat hu-
bungan antara Saussure dengan Jakobson (di samping Jakobson
1962. 631, bdk. Martinet dalam Haudricourt-Juilland 1949. IX,
Burger 1955. 20 dst., Lepschy 1966.120-123), dengan Trubetzkoy
(Terracini 1939, Rogger 1941.193-212,218-224, Alonso 1945.14-
15, Jakobson 1949. XIX, XXVIII, Martinet 1955. 18-19, Burger
1955. 19 dst., Catalan Menendez Pidal 1955. 28-29, Coseriu 1962.
149 dst., Jakobson 1962. 631, Sommerfelt 1962. 90, Lepschy
1966. 60-92)dan aliran Praha pada umumnya(di dalam bibliogra-
fi yang dikutip perlu ditambahkan Jakobson 1933, Grammont
1933. 155, Tesnieres 1939. 83-84, van Wijk 1939. 297, Alonso
450

1945. 13-16, 29, Hjelmsiev 1947. 71, Martinet 1953. 577, Malm-
berg 1954. 10-11, 17, Spang-Hanssen 1954. 93, Catalan Menen-
dez Pidal 1955. 28-29, 33-37, Greimas 1956, Stelling-Michaud
1956". 7, Waterman 1956, Waterman 1963. 68, Garroni 1966. 11-
18, J. Vachek, The ling. School of Prague, London 1966. 4, 18-22,
107, 133, 160 dst.). Mengenai hubungan Saussure dengan teori-
teori Chomsky,lihat infra nomor 5 dalam Catalan Tambahan.
Diakui pula adanya pengaruh Saussure pada diri para
ilmuwan yang sulit digolongkan dalam aliran tertentu, seperti G.
Guiilaume (Guillaume 1952, Benveniste 1962. 93, Valjn 1964. 7)
atau Jespersen, meskipun nampak jelas ketidakpahamannya
(Jespersen, Selected Writings 389, Jespersen 1933. 109 dst.,
Gardiner 1932. 107, Sommerfeit 1962. 90). Lagi pula, karena
perhatikan Saussure pada "langiie hidup", pada parole, orang
bahkan mencari pertemuannya dengan gagasan-gagasan yang
sangat jauh seperti gagasan Gilieron (Jaberg 1937. 123-127,
Terracini 1957. 10. lordan-Bahner 1962. 203-204, 223) dan
gagasan Schuchardt (lordan-Bahner 1962. 80).
Pada batas antara linguistik dan bidang-bidang lain, ga
gasan Saussure telah dimanfaatkan oleh psikologi bahasa (Dela
croix 1930. 9, 53-54, Sechehaye 1930, Kainz,1941. 10-11, 19-21,
Kainz 1954. 334, Kainz 1965. 10-11, 213, Garvin 1944. 54.
Bresson 1963. 15, 27, Ajuriaguerra 1966. 123; mengenai hu
bungan dengan Kantor, bdk. Garvin 1944. 54, Kantor 1952. 69,
162, 172), ilmu tempat Osgood (1966. 204-205) membedakan lagi
antara langue dan parole untuk membedakan linguistik dari
psikolinguistik. Gagasan Saussure telah pula dimanfaatkan di
dalam linguistik terapan pada pengajaran bahasa (Guberina
1961, Titone, 1966. 43-44, M.A.K. Halliday, A. Mclntosh, P.
Strevens, The Linguistic Sciences and Language Teaching, Lon
don 1964. 148), dalam teori matematika komunikasi dan teori
bahasa (Mendelbrot 1954. 7 dst., 13, 26, Guiraud 1959. 19, Ellis
dalam Zeichen und System 48, Wein 1963.5, LI. Revzin,|Mode/s
of Language, London 1966. 2): khususnya G. Herdan 1966. 13
menegaskan: "Ada suatu pertalian yang erat antara buku ini
sebagai suatu penjelasan yang terinci dari linguistik kuantitatif
dan linguistik umum yang klasik, Pengantar Linguistik Umum
451

dari de Saussure, dan sejauh mana, karya saya mungkin


digambarkan sebagai hitungan pembagian dua bagian langue-
parole dari Saussure (bdk. Herdan 1956. 80, De Mauro,
"Stastistiea linguistica", dalam Enciclopedia italiana, App. Ill, 2
Jilid, Roma 1961). Gagasan-gagasan Saussure telah pula masuk
dalam sosiologi (G. Braga, Comunicazionae e sosietd, Milano
1961. 193, 197 dst) dan dalam karya Marcel Mauss dalam bidang
antropologi (C. Levi Strauss, "L'analyse structurale en linguisti-
que et en antropologie". Word 1,1945. 33-53, hal. 35).
Saussure kurang dikenal oleh para filsuf, Biihler telah me-
manfaatkan dan memperdebatkan/PLt/ (Laziczius 1939). 162-
167, Lohmann 1943, Garvin 1944. 54, Laziczius 1945). Orang
telah mencari pendekatan antara Saussure dan Cassirer (Giintert
1925. 9, Lerch 1939. 145), yang sebenarnya tidak pernah
mengutip Saussure di dalam Philosophie der symbolischen Far-
men dan hanya menyebut namanya sekali dalam karya lain
(Cassirer 1945. 104). Dengan cara yang sama orang mencoba
untuk mendekatkan Saussure dengan Husserl(Pos 1939. 358-359,
Urban 1939. 50, Alonso 1945. 8, Merleau-Ponty 1967. 119 dst.)
Derossi 1965. 33-34), Morris (Wein 1963. 5-6), Wittgenstein
(Verburg 1961, Wein 1963. 5, De Mauro 1965. 133 dst, 152 dst.)
dan bahkan Croce (Leroy 1953. 461-462, Lepschy 1966. 19-20),
yang tidak mengutip Saussure sama sekali (lihat infra nomor 4
dalam Catatan Tambahan) dan tidak mengetahui adanya/PLt/
(yang tidak dimilikinya di perpustakaan), tetapi yang merasakan
sekali masalah identitas bentuk-bentuk bahasa yang baginya,
seperti bagi Saussure, pada taraf penampilan konkret yang
sederhana secara mutlak berbeda yang satu dengan yang lainnya,
dan yang di dalam karya tulis terakhir mulai menelaah langue
dalam hubungannya dengan kehidupan sosial (De Mauro 1965.
156 dst.).
Bahkan dapat dikatakan bahwa penemuan kembali
pemikiran Saussure di dalam bentuknya yang asli telah mem-
ibangkitkan perhatian yang makin besar pada gagasan Saussure
di dalam diri mereka yang dengan berbagai cara melibatkan diri
di dalam analisis peristiwa langue. Cuplikan berikut ini tidak
hanya penting bagi para penulisnya, danjtidak pula hanya penting
artinya bagi lingkungan i psikolinguistik yang memang luas:
452

"Kami menganggap bahwa pembedaan klasik oleh Saussure


antara langue dan parole diperlukan bila akan dijadikan bidang
yang sama kompleksnya seperti pemfungsian bahasa. Deskripsi
bahasd, dalam arti demikian, adalah deskripsi pengetahuan
bahasa yang telah diinternalisasikan oleh 'pendengar-penutur'
yang dewasa dan ideal "(R.J. Wales, J.C. Marshall, 'The
Organization of Linguistic Performance", dalam Psycholinguistics
Papers, Edinburg 1966. 29-80, hal. 29).

10. Masalah para pendahulu.

Sebuah teks yang penyebarannya seluas PLU tidak mung-


kin dalam perjalanan hidupnya tidak menemui tantangan dan
sanggahan dalam berbagai bentuk. Salah satu dari yang paling
umum, dan secara akademis paling tepat dan paling tidak
mungkin diserang, yang mengatakan diri menentang PLU
adalah pernyataan para "pendahulu". Tentu saja, di antara
sejumlah penelitian yang dikutip di bawah ini terdapat unsur-
unsur yang secara ilmiah sahih : unsur tersebut adalah maksud
yang dapat dipertanggungjawabkan secara historis untuk mene-
mukan para auctores yang perlu diperhatikan di dalam pemben-
tukan Saussure. Jadi, halaman-halaman berikut ini bertujuan.
ganda; di satu pihak mengingat kembali, melalui analisis para
"pendahulu" yang disajikan di sini, segi apa yang telah mempe-
ngaruhi oposisi yang sukar disembunyikan terhadap PLf/, di
lain pihak menyediakan materi yang dirasakan mdndesak bagi
penelitian luas mengenai pembentukan Saussure (Lepschy 1966.
48) dan sumbangan apa yang dapat diberikan oleh penelitian ini
di halaman-halaman terdahulu (mengenai Pictet, Whitney,
Baudouin dan Kruszewski, 410-471, 422-423, 432-433) seperti
juga yang tertera di halaman selanjutnya dan di dalam Lampiran
mengenai Noreen (507-511).
Panini, ahli tata bahasa India abad V atau TV sebelum
Masehi, dengan Astadhydyi seharusnya telah menyediakan titik
tolak bagi Saussure di dalam menelaah pengertian "tanda zero"
(PLU Lamp. B), demikian ahli-ahli modern yang lain seperti
453

Sweet, dan lain lain (W.S. Allen, Phonetics in Ancient India,


Oxford 1933, hal,13 catatan 4). Hal itu telah dinyatakan secara
polemis oleh Collinder (1962. 6-11, 15) dan secara lebih objektif
oleh Allen (1955. 112). Memang teks seperti karya Panini VI 1
66-67 lopoveh "pelemahan v" menyatakan hubungan lopa de-
ngan petanda "zero", yang sesuai dengan definisi lopa sebagai
adarsana 'ketidakhadiran': yang diberikan dalam I 1 60 (bdk.
juga L. Renou, Term. Gramm. du Sanscrit, Paris 1957, lopa,
lap-)
Stoici veteres, Augustin (analisis tajam mengenai gagasan-
gagasan linguistik Augustin dalam hubungannya dengan semiolo-
gi modern telah dibuat oleh R. Simone,"Semiologia agostiniana.
La culture 7, 1969. 88-117, Suger, H. Gomperz (Robins 1951.
26, 82-83, diulang oleh Jakobson, 1966. 22-23) seharusnya
merupakan para pendahulu pembedaan antara petanda dan
penanda, dan bagi Saussure mengenai kegandaan tanda bahasa.
Juga di dalam Crisippe (S.V.F. 2. 48, 18) terdapat pasangan
oT)(iaivovTa-aT)^tv6(xevo;;nyatanya, seperti juga unsur-unsur lain yang
dianggap "stoicien", sebenarnya adalah pembedaan konsep-
tual dan terminologis yang sudah ada pada Aristoteles(bdk. Poet
1457a,rat oT)(xa(vovTa«dioposisikan dengani , dan Rhet. 1405 b
8 t6 oiiiioiv6|Aevov- "signifie") dan yang secara tradisional telah
dianggap sebagai "stoicien"(sama halnya seperti oirang mengang-
gap gagasan yang sebenarnya berasal dari Locke atau Leibniz
sebagai aliran Humboldt). Pembedaan diturunkan melalui Aris
toteles kepada Augustin oleh Crisippe (Robins cit. dan K.
Barwick, Problema der stoichen Spachlehre und Rhetorik, Berlin
1957, hal. 8 dan seterusnya), kemudian ditemukan kembali
dalam logika abad pertengahan, khususnya dalam doktrin modi
significandi Suger dan terakhir, pada diri H. Gomperz. la ini
(mengenai dirinya bdk, juga Ogden dan Richards 1923. 274 dan
seterusnya), guru pribadi di Berne pada tahun 1900, adalah
penulis sebuah Weltanschauungslehre (2 jilid, I6na 1905-1908
yang jilid keduanya (yang dikutip Jakobson) berjudul Noologie:
"noologi" Gomperz berkisar pada ilmu tentang tanda (semasiolo-
gi) dan ilmu tentang kenyataan tanda tersebut (alethologi). Tak
ada satu jilid pun karya Gomperz di perpustakaan Saussure.
Meskipun demikan tidak dapat dibantah bahwa Saussure telah
454

diilhami tata istilah tersebut, dengan mengganti konsep dan


gambar akustik (PLU Bagian I t § 2) dengan petanda dan
pewanda, di dalam kuliah linguistiknya.
Interpretasi prinsip Saussure, yang konvensionalis dan
banal, mengenai kesemenaan {PLU Bagian I, § 2) telah menim-
bujkan anggapan bahwa prinsip tersebut berasal dari sejumlah
pendahulu: daftar mutakhir terdapat dalam E. Coseriu, "L'ar-
bitraire du Signe. Zur Spatgeschiehte eines aristotelisches Ber-
griffes". Arch. f.d. Stadium der neueren Sprachen a. Lit. 204,
1967. 81-112. Tercatat khususnya sebagai pendahulu, Plato
(Robins 1955. 10 dan seterusnya., Jakobson 1966." 25), tetapi
tepat pula kalau disebut. juga Parmenide, sebagai anggota
golongan tukang bual (sophiste), Democritus, Aristoteles, kaum
stoicien, sebagian anggota kaum Epicure, Augustih (khususnya
teks Conf. I 8 yang besar .artinya bagi Wittgenstein. Phil.
Unters.% 1), dan Iain-lain; di samping itu disebutkan pula Leibniz
(Perrot 1953. 12), artinya (dapatkah dianggap) buku III dari
Nouveaux essays sur I'entendement humain (Opera philosophi-
ca,ed. J. Erdmann, Berlin 1860, hal. 296-335), buku yang meng-
ambil kembali segi pandang yang sama dengan Locke(An Essay
Concerning the Understanding, Knowledge, Opinion and Assent,
1. Ill, khususnya Bab II, § 8)". Turgot, "Etymologie", dalam
Encyclopedie besar (Perrot 1953. 12); G. Boole, An Investigation
on the Laws of Thought, London 1854, hal. 25-26 (lihat Benve-
niste 1964. 131-132); A. manzoni, Prose Minori, ed. ke-2, Flo
rence 1923, hal. 317 (dikutip dalam Bolelli 1965. 85); P. Valdry,
ringkasan Essai de semantique tulisan M. Br6al (OEuvres II,
1453; dikutip dalam Benveniste 1964. 132-133); Madvig (Jesper-
sen 1917); Whitney(Jespersen 1917, Sechehaye 1917. 9,Delacro
ix 1930. 62, Bolelli 1965. 152, Jakobson 1966. 25).
Telah ditemukan pendahulu-pendahulu semiologi yang di-
proklamirkan Saussure dalam l.VI dari De dignitate etaugmentis
scientiarum (F.B. Opera omnia, Frankfurt 1665. 144-47), khusus
nya dalam doktrin characteres non nominales :"Maka dari itu
inilah yang perlu dinyatakan dengan terus terang; bahwa apa saja
yang dapat dipisahkan menjadi perbedaan-perbedaan yang
cukup banyak jumlahnya untuk menjelaskan banyaknya konsep-
455

konsep (dengan syarat perbedaan-perbedaan tersebut dapat


ditangkap oleh penyerapan pancaindb-a) dapat menjadi sarana
pikiran-pikiran tentang manusia di dalam manusia itu sendiri"
(bdk. Verburg 1952.203-208);juga dalam semiotica Lx^ke(Wein
1963. 6,) dan Ch.s. Peirce (Wein 1963. 6, Jakobson 1966. 23-
25)'2. ^
Apel (1963. 117 dan seterusnya) berusaha menjelaskan
perbedaan De vulgari eloq. tulislan Dante (locutio, sermo loquela,
lingua ydioma) dengan mempergunakan pembedaan Idngue dan
parole, sedangkan ahli lain mencari asal kedua istilah Saussure ini
di dalam pengertian "peristiwa sosial" kepunyaan Durkheim
(Doroszewski 1930, Doroszewski 1933. 146, Doroszewski 1933b,
Dofoszewski 1958. 544 catatan 3 {contra Meillet yang dikutip
Doroszewski 1933. 147 dan iSommerfelt 1962. 37, 89-90], Mathe-
sius [Doroszewski 1933. 147], Vvedenskij 1933. 16-18, Budagov
1954. 11, 13, Kukenheim 1962. 83) dan dalam pengakuan
peranan individu yang dicetuskan oleh Tarde (Delacroix 1930.
66, Doroszewski 19336, Doroszewski 1958. 544 catatan 3, SM
282).
Telah disebutkan pula sebagai pendahulu pembedaan
langue dan parole yang dianggap sejajar dengan "basil budaya
kolektif dan "penggunaan basil budaya secara individual" H.
Paul yang di dalam Prinzipien der Sprachgeshichte(ed. ke-1 Halle
1880, ed. ke-5, Halle 1920), membedakan Sprachusus dan
indivuelle Sprechtdtigkeit (bal 31 dst., 286 dan seterusnya),
dengan cara tertentu yang dianggap sama dengan Sauissure,
menggariskan sirkuit parole (bal. 14; perlu dicatat, antara lain,
babwa Paul bicara tentang Seele tentang otak), dan membabas
"deskriptive Gratnmatik" meskipun dengan merumuskannya
sebagai "eine Abstraktion" (bal. 404) dalam pengertian umum
dan negatif (Alonso 1945. 23 dan seterusnya, lordan-Babner
1962. 326, Wartburg-Ullmann 1962. 41, Coseriu 1962. 18, 282,
dan terutama Vvedenskij 1933. 6 dan seterusnya). Dengan cara
yang sama telab disebut Sprachwissenschaft tuWsdSi Gabelentz
(1891. 3-4) di mana ia membedakan "Babasa sebagai suatu
fenomena, sebagai suatu sarana tertentu untuk mengutarakan
buab pikiran yang tertentu"(i?ede = parole) dan "Babasa sebagai
suatu kumpulan atau keutuban dari keseluruban sarana-sarana
456

pengungkapan seperti itu untuk setiap buah pikiran, sebagai


suatu kumpulan dari kemampuan dan sebagai faktor penentu
dari bentuk makna pemikiran tersebut serta bahan pembicaraan
itu."(— Sprache = langue)(L. Spitzer, Aufsatze zur romanischen
Syntax and Stilistik, Halle 1918, hal. 345, Kainz 1941. 20^21,
Meier 1953. 529, lordan-Bahner 1962. 326, Coseriu 1962. 282,
Rensch 1966. 33-36). Hjelmslev (1928. 112-113) mengamati pada
Gabelentz pembedaan antara Stoff substansidsin Form-bentuk;
bdk. juga E. dan K. Zwirner, Grundfr. der Phonometrie,ed. ke-
2. Berne-New York 1966, hal.81,101-105,166.
Kita telah melihat pendahulu lain yang membedakan
langue dan parole,d\ dalant F.N. Fink, Die Aufbau und GUeder-
ung der Sprachwissenchaft,PidWe. 1905 (Jaberg 1937. 128-130,
Coseriu 1962.282).
E. Coseriu ingin untuk kembali sekali lagi pada hubungan
Gabelentz-Saussure. Menurut dia, k;ecuali dua ahli Spitzer dan
iordan (Coseriu 1967. 75), "Orang tidak mengetahui hubungan
yang sangat erat antara gagasan Ferdinand de Saussure dengan
gagasan Gabelentz." Lepas dari perhatian Coseriu bahwa ahli-
ahli lain, kecuali Jordan dan Spitzer, sudah memperhatikan
adanya persamaan antara pengertian-pengertian Saussure de
ngan gagasan dalam Sprachwissenchaft (lihat diatas). Meskipun
demikian perbedaan radikal antara /PLU dan Sprachwissens-
schaft tidak terlewatkan oleh Coseriu""Saussure jauh lebih siste-
matis daripada Gabelentz... Bahkan la (Gabelentz)tidak sampai
pada kesimpulan seperti yang didapat Saussure dari pengamatan
yang sama atau hampir sama (saya yang menggarisbawahi).
Kedua, Saussure hampir selalu merumuskan secara eksplisit
pengertian-pengertian dasar dari sistemnya. Gabelentz, sebalik-
nya sering membatasi diri dengan menggunakan pembedaan yang
telah diakui penggunaannya dalam linguistik Jerman... Tetapi,
terutama, pada Gabelentz tidak ada pengertian yang jelas dari
kefungsian dan oposisi... la tidak sampai pada pengertian oposisi
pembeda. Tak ditemukan apa pun pada Gabelentz yang dapat
dibandingkan dengan PLJ7 bagian ke-2 (linguistik sinkronik)
dan, khususnya, pada bab mengenai identitas dan nilai-nilai
bahasa";.... (hal 138); "Diakui bahwa gagasan yang pada Gabe-
457

lentz sering kali hanya merupakan institusi atau bahkan, kadang-


kadang pengamatan sambi! lalu, pada Saussure menjadi gagasan
yang dirumuskan secara eksplisit, dan merupakan bagian dari
suatu sistem...."(hal 147). Dari kenyataan ini, Coseriumencatat
pentingnya perbedaan antara Gabelentz, yang menelaah dengan
banyak menggunakan,common jense, perbedaan antara basil
budaya kolektif dan penggunaan bahasa secara individual, antara
deskripsi suatu bahasa pada periode tertentu dan deskripsi
perkembangan bahasa tersebut, antara sejarah bentuk dan fungsi
suatu langue dan sejarah kultur dan kebudayaan (pembedaan
yang dilakukan sekian banyak ilmuwan abad XIX yang dicatat
sebagai pendahuluan Saussure;.lihat hal.485, 495). Di lain pihak,
manusia genius yang bersama ilmuwan lain yang tidak banyak
jumlahnya (Peirce, Noreen), takluk pada tuntutan suatu sistema-
tisasi formal dari apa yang dleh para ahli yang lebih kompeten,
telah dianggap sebagai tuntutan intuitif, dan mengubah akal
menjadi ilmu. Oleh sebab itu, pemanfaatan penelitian Coseriu
oleh V. Pisahi nampaknya tidak ada dasarnya ketika ia menulis
(Paideia, 22, 1967, 377-378 catatan 3) bahwa "di antara pujaan-
pujaan terhadap Saussure.ini ada pengakuan baginya (bagi
Saussure) sebagai pencipta teori-teori yang telah ditemui sejak
Gabelentz dan bahwa ahli linguistik Jenewa itu telah melakukan-
nya: bdk. E. Coseriu, "G.v.d. Gab et la linguistique synchroni-
que", yang terbit dalam Milangue Martinet,yang mungkin telah
dilihat dalam manuskrip."
Godel menulis secara seimbang dan teliti, mengenai masa-
lah hubungan antara Saussure dan Gabelentz (Godel 1967. 116-
117); "Di antara pendahulu-pendahulunya (pendahulu Saussure)
dalam hal itu (sihkroni- diakroni), orang sering menyebut G.
von der Gabelentz. Tahun lalu pun, di dalam majalah Phonetica,
seorang yang bernama R.H. Rensch telah mengamati bahwa di
dalam bukunya Die Sprachwissenschaft,dan Iain-lain, von der
Gabelentz telah memisahkan dan mengoposisikan "sebelum
Saussure" die sprachgeschichtliche dan die einzelsprachliche Fors-
chung. Di samping itu masih ada persamaan lain. Saussure tidak
pernah mengutip dia; dan di dalam sebuah catatan tahun 1894
(bdk. SM 33)ia menulis bahwa ia telah meyakini sejak bertahun-
tahun bahwa linguistik adalqh sebuah ilmu ganda (artinya
458

sinkronik dan diakronik). Ini berarti bahwa hanya bualanlah


kalau ia dinyatakan mengambil gagaisan tersebut dari sebuah
buku yang terbit paling lama tiga tahun sebelumnya [memang,
bdk. buku ini hal, 420, 421, 430, bukti-bukti adanya intuisi
perbedaan antafa linguistik statis dan linguistik evolutif yang
berasal dari Mimoire, tesis dan kuliah-kuliah di Paris tahun
1881, "hal ini membuat masalah sumber-sumber hampir tidak ada
relevansinya, demikianlah pengamatan G. Mounin, 1968:46].
Dalam hal ini maupun dalam hal lain, kita terpaksa membatasi
diri dengan menyatakan adanya persesuaian pandangan, tanpa
berbicara tentang pengaruh atau keterikatan. Lagi pula Saussure
sangat berhati-hati mengenai hal ini: ia tidak memprioritaskan
penemuan nasal sonan yarig telah diperolehnya sebelum Brug-
man, ia sering kali mengakui hutang budinya pada linguis
Amerika W.D. Whitney, dan menonjolkan penghargaannya
secara khusus bagi para ahli linguistik tdiran Kazan,Baudauin de
Courtenay dan Kruszewski."
Sebenarnya,lebih dari sekadar"fetisisme:, masalah sumber-
sumber Saussure nampaknya dirusak oleh pendapat bahwa
keaslian Saussure terdapat dalam pengungkapan beberapa segi
pandang tertentu. Saussure sendiri, di dalam percakapannya
dengan Riedlinger pada tanggal 19-1-1909, mentranskripsikan hal
ini(hal 450) yang memungkinkan kita untuk menyanggah penda
pat di atas: 'Teori harus merupakan sistem yang sama ketatnya
dengan bahasa. Ini merupakan butir mengajukan pernyataan
setelah pernyataan yang lain mengenai pandangan bahasa, yang
penting adalah menyusun pertanyaan dan pandangan itu dalam
sistem." Kami menghargai sekali semangat renungan mendalam
pada diri Godel yang telah menjelaskan paling baik dari segala
segi, jalan pikiran Saussure yang mendalam:"Kita berhak bicara
tentang linguistik aliran Saussure. Seandainya linguistik Saussure
memang terselip di antara aliran gagasan yang telah disaksikan
pertama kalinya oleh Whitney dan Winteler, aliran Saussure ini
tidak berkurang keasliannya. Lebih dari linguistik yang lain,
Saussure telah bersusah payah mendalami masalah-masalah,
menggali prinsip ilmu bahas:a yang sebenarnya, yang tidak
dibawahi oleh psikologis maupun dibatasi oleh studi historis, dan
459

menyusun prinsip-prinsip tersebut dalam suatu aksioma yang ke-


tat. Semua ini merupakan pengungkapan semangat filosofis..."
Kelompok pendahulu yang lain terdiri dari mereka yang
telah lebih dafaulu membedakan sinkronis dan diakronfs G;I.
AscoH (Terracini 1929, dan secara kurang nampak, Terracici
1949, 134 dst.; mengenai hubungan pribadi antara Ascoli dan
Saussure, bdk. Gazdaru 1967), demikian Juga Baudoin (Jakob-
son 1933. 637 dan diatas catatan 7). Masaryk (di atas 477), A.
Comte (dengan pembedaannya antara sosiologi stalls dan sosio-
logi dinamis: Schuchardt 1917 = Schuchard 1922. 329-330),
Gabelentz (Rensch 1966. 36-38), Marty (Funke 1924. 20-25,
Wartburg-UIlman 1962. 9, Coseriu 1962. 282), yang telah
disebutkan di atas dan yang perlu diteliti lebih lanjut*^.
Kelompok terakhir terdiri dari mereka yang, sebelum atau
pada saat yang sama dengan Saussure, telah membedakan reali-
sasi fonis konkret, khusus, dan ciri-ciri realisasi fungsional,
antara bunyi dan fonem, antara fonetik tanpa fqngsi (phonologic,
Saussure, phonMque phonetics, fonetica kami) dan fonetik fung
sional (phonologic aliran Praha, phonemics, phorUmatique,
fonem (at) ica,foneticafunzionale) Di samping para linguis Slavia
yang telah disebut di atas (Baudouin, Kruszewski Sderba,
Fortunatov: diatas catatan 7), perlu dicatat:
J. Winteler yang di dalam Die kerenzer Mundart des
Kantons G/arns,Leipzig 1876 (karya yang dimiliki Saussure
di perpustakaannya) telah memisahkan pembedaan-pembedaan
fonis yang berhubungan dengan pembedaan-pembedaan seman-
tik gramatikal dan pembedaan-pembedaan fonis lainnya (Tru-
betzkoy 1933. 288, Malmberg 1954. 22, Belardi 1959.66 dst.,
Lepschy 1966. 60); H. Sweet yang di dalam A Handbook of
Phonetics, Oxford 1877, hal 103 dst., telah membedakan antara
suatu "transkripsi kasar" yang dibatasi pada menstranskripsi
dengan aksara lain bunyi yang "muncul di dalam bahasa tertentu,
digunakan untuk membedakan sebuah kata dari kata lainnya"
dan suatu "transkripsi saksama" yang mengungkapkan secara gra
fts berbeda sampai pada bunyi yang berbeda makna dalam langue
tertentu: prinsip ini telah digunakan sebagai dasar penelitian
Phonetic Teacher's Association (1886) yang mencakup, di
460

samping Sweet, P. Passy (murid Saussure: supra 428), O.


Jespersen, W. Vietor, A. Lundell, dan kemudian menyusun pada
tahun 1888 International Phonetic Alphabet, kemudian pada
tahun' 1897 bemama Assosiation Phonetique Internationale -
A.P.I. (The Principles of International Phonetic Association,
London 1949, hal. 2-4 pada sampul dan hal. 1).
O. Jespersen, Lahrbuch der Phonetik, Leipzig-Berlin 1904,
ed. ke-2, 1913 (digunakian dalam PLU) berada pada posisi yang
sama.

Mengenai kaum neogramatik, orang telah mencatat dengan


tepat cara Saussure mengasimilasi pendirian-pendirian mereka
yang berciri kebetulan, tak "spiritual" maupun teologis, dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dan mengubah sistem (Ku-
kenhein 1962. 114, Alonso 1945-28 dan lihat catatan 176 dst.,
pada PLU).
Terakhir perlu dicatat penyumbang Saussure yang terbe-
sar, yaitu Whitney dan Humboldt.
Kanti telah berbicara panjang lebar di dalam catatan ini,
mengenai hubungan Saussure dengan Whitney (diatas 423,
460 461) : menurut Sechehaye (1917. 9) La vie du langage
mempengaruhi Saussure ketika ia masih sangat muda; khususnya
Saussure telah dirangsang oleh doktrin institusionalitas langue,
seperti yang dikemukakan Whitney di dalam menyusun teori
kesemenaan (Saussure, Notes 1954.60 dan bdk. Jespersen 19l7,
Jakobson 1966. 26) dan seperti juga Whitney, ia mendeduksikan
(dengan cara yang tak henti-hentinya mengejutkan ahli yang
mengikuti akal sehat) berdasarkan doktrin tersebut (dan kemu
dian berdasarkan dokrin kesemenaan) bahwa individu uti si-
ngulus hanya memainkan peran kecil di dalam keteraturan dan
perubahan cara kerja bahasa karena konvensionalitas kode itu
pun mengandung super individualitas kode (Delacroix 1930. 62,
Derossi 1965. 20-22). Padahal, seperti yang telah ditonjolkan
oleh Crose (yang penilaiannya, lepas dari aspek negatifnya,
nampak perlu diperhatikan), "Whitney kembali.... kepada
doktrin dari parole yang menadai dan setengah mengungkapkan
pikiran manv&id!' (Estetica corrie scienza delT espresssione e
linguistica generale. Teoria e storie, ed ke-8, Dari 1945, hal. 449).
461

Memang, menurut Whitney (La vita e lo sviluppo dellinguaggio,


terjemahan Italia, Milano 1876), "pertama-tama kami punya
gagasan dan setelah itu kami memberinya sebuah nama"; seperti
yang kita lihat, terbatasnya teori Whitney mengenai koriven-
sionalitas bahasa adalah bahwa teorinya berhenti pada petanda,
yang dianggap sebagai data pralingtii&tik, Ibgis-alami, sehingga
langue dianggap sebagai sistem penamaan, atau daftar kata biasa
di mana kesemenaan terjadi hanya pada taraf bentuk luar. Kalau
setelah sekian lama Saussure menghindari, berbicara tentang
konvensionalitas(5M 195), hal itu disebabkan oleh impHkasi di
atas dan oleh teori Whitney mengenai konvensionalitas (Derossi
1965. 94-95) yang, padahal bagi Saussure merupakan langkah
pertama menuju konsepsi kesemenaan langueyang radikal.
Kalau kesemenaan tersebut dipahami dalam bentuk riilnya,
kesemenaan merupakan sihonim kesejarahan radikal dari segala
sistematisasi langue, dalam arti bahwa suatu sistematisasi memili-
ki, tidak di luar dirinya tetapi di dalam dirinya, norma yang di-
jadikan patokan untuk memisahkan pengalaman manusia dalam
petanda dan bunyi dalam penanda : oleh karenanya, nOrma
tersebut bukan berkaitan dengan struktur objektif benda-benda
atau realitas akustis , melainkan dengan menerima realitas ter
sebut sebagai materi, norma pada dasarnya diatur oleh masyara-
kat, yang berdasarkan kebutuhanhya melahirkan norma. Oleh
karenanya bahasa secara radikal bersifat sosial dan historis. Dari
segi penafsiran ini, pertemuan-pertemuan dengan pendirian yang
lebih tua dari Whitney dan kaum neogramatik atau dengan para
ahli filsafat bahasa zaman romantik yang kita kenal sekarang,
yang sama sekali tidak mengadakan pembaharuan, melainkan
mengambil kembali filsafat bahasa dari abad XVII dan XVIII
(Verburg 1952. 413-417, 468-469, De Mauro 1965.47-63), tidak
lagi merupakan keanehan biasa. Antinomies linguistiques (Paris
1896) tulisan Victor Henry, yang telah mengaitkan Saussure
dengan gagasan Hegel mengenai dialektik proses riil dan kognitif
(Jakobson 1933. 637-638, Alonso 1945. 10), seharusnya malah
dapat mendorong Saussure untuk menelusuri jalan yang telah
ditempuh dengan cara lain oleh "penemu antinomi linguistik yang
terkenal" (Jakobson 1962, 237). Sebenarnya, seperti yang telah
462

kami kemukakan (supra 411-412, 462), Saussure ada kaitannya


dengan para filsuf abad romantik dan dengan Hegel sejak masa
kanak-kanaknya, berkat Pictet dan, dengan perantaraannya,
dengan Saudara perempuan kakeknya, Albertine-Adrienne. Jadi
bukannya tidak mungkin kalau Saussure memang melihat dari
dekat teori tanda Fr. Schlegel (Niisse 1962, 26, 70) dan bahwa ia
memanfaatkan penelitian gaya Humboldt yang telah dilakukan
oleh Steinthal (Hjelmslev 1928. 112-113, Buyssens 1961. 26).
Bahkan bes'ar kemungkinan ia paling tidak mengenal karya
fundamental Steinthal, Charakteristik der hauptsdchlichsten
Typen des Sprachbaues (Berlin 1860), yang disunting kembali
oleh ahli linguistik Swiss Franz Misteli (1841-1903), guru besar di
Bale, dalam edisi tahun 1893, yang merupakan jilid II dari Abriss
der Sprachwissenschaft tulisan Steinthal dan Misteli (Arens 1955.
217 dst., 325,Tagliavini 1963.136-137).
Dalam rangka itu, pertemuan-pertemuan dengan Hum
boldt menimbulkan beberapa kemungkinan (Mathesius 1933
Trier 1934. 174, Porzig 1950. 396). Karya Humboldt yang terbit
setelah ia meninggal, Uber die Verschiedenheit des menschlichen
Sprachbaues und ihren Einflus auf die geistige Entwickelung des
Menschengeschlechts (Berlin 1836), dengan pengertian "bentuk
bahasa dalam"(CVII-CVXII) mungkin telah menyumbang pada
Saussure gagasan mengenai ciri amorf dari pemikiran di luar
bentuk yang diberikan oleh petanda suatu bahasa (PLf/'204
dst., Alonso 1945. 9, Buyssens 1961. 26); pembedaan ergon -
energeia (hal.LVII). Seharusnya mendahului pembedaan langue-
parole (Laziczius 1939, Coseriu 1962. 52, lordan-Bahner 1962.
426; hanya Verhaar 1964. 749 yang mencatat dengan tepat bah
wa Humboldt mengakui kesalahannya bahwa die Sprache me
rupakan ergon, sehingga pertemuannya dengan Saussure lebih
merupakan kontradiksi), pembedaan antara Form dan Stoff(Y\a\.
LXI dst.) seharusnya mendahului pembedaan antara bentuk dan
substansi (Coseriu 1962. 178) dan pembedaan bahasa sebagai
bentuk (Harmann 1959 = 1963. 24-26); sehingga Saussure dapat
dianggap telah dipengaruhi oleh "holisme", yakni mengenai
pengertian sistematis satuan-satuan bahasa (hal. LIX dan LXII:
Chomsky 1964. 60), dan pembedaan (hal. XVIII) antara studi
463

komparatif dan studi bahasa sebagai suatu "orgnisme yang saling


bergantungan"(Wartburg-Ullmann 1962. 9-10).^'^

CATATAN

1. Burnet 1930. Biografi yang terinci mengenai Saussure tidak ada. Sumber
catatan biografis, di samping daftar .riwayat hidup yang terdapat di Swiss,
secara kronologis adalah : Bally 1913b; F.d,S (—Ferdinand de Saussure
(1857-1913), penerbitan yang tidak diperjualbelikan tanpa tanggal, disusun
atas inisiatif nyonya Marie de Saussure bertanggal Maret 1915, ed. Jenewa,
dicetak kembali pada tahun 1962 oleh Jacques dan Raymond de Saussure),
ditambah dengan artikel-artikel dan pidato peringatan (lihat infra, daftar
singkatan pustaka acuan); Streitberg 1914(pada hal. 204 dapat dilihat bahwa
la mengacu padaj5oMvemr5 versilain: lihat infra; Duchosal 1950, Benveniste
1965, Fleury 1965 (kedua karya yang terakhir ini penting sekali dan" segi
periode Paris). Memo ditemukah di dalam Rec. (=Recueil des publications
scientifiques de Ferdinand de Saussure, Jenewa 1922, dengan kata pengantar
dari Ch. Bally dan L. Gautier) dan di dalam catatan serta surat-surat
Saussure sendiri (daftar lengkap dalam Godel 1960) yang telah diterbitkan
sampai kini adalah : Notes(= Notes incites de F.d,S. suntingan R. Godel,
CFS ., 12,1954. 49-71), Souvenirs (Sauv. de.F.d.S. concernautsa jeunesse et
ses etudes, disunting oleh R. Gobel,' CFS ., 1960. 12-25), Lettres (Lettres de
F. deS. a Antoine Meillet, suntingan E. Benveniste,;CF5 . 21,1964. 89-130).
Catatan murid-murid yang menghadiri kuliah linguistik umum jelas penting
sekali: buku catatan kuliah kedua diterbitkan mulai dari tahun 1957 (F.d.S.
Cours de linguistique generate (1908-1909). Introduction,' CFS . 15, 1957. 3-
103;terjemahan ke bahasa Italia dengan kata pendahuluan yang disusun oleh
R. Simone, Roma 1970: terjemahan ini dibuat dengan sangat memperhati-
kan naskah yang diperoleh berkat bantuan R. Godel sendiri), dan buku
catatan E. Constantin sejak tahun 1959 (R. Godel, Nouveaux documents
saussuriens. Les ^ahires E.G., CFS . 18, 1959. 23-32). Semua bahan yang
ditulis tangan mengenai linguistik umum dan buku catatan para mahasiswa
kini terdapat di dalam edisi kritik PLU\, susunan R. Engler (Wiesbaden
1967 dst.). Keterangan yang berasal dari sumbar lisan, terdapat di dalam
karya pokok filologi Saussure: SM (= R. Godel, Les sources manuscrites du
Cours de linguistique generate de F.d.S., Jenewa-Paris 1957; karya ini dicetak
kembali pada tahun 1969). Teks-teks Saussure yang lain baru-baru ini
diterbitkan: teks mengenai anagram di dalam Starobinski 1964, 1967, 1969;
surat menyurat dengan Ascoli di dalam Gazdaru 1967, Morphologie (tiga
kuliah selanria periode iJenewa 1894t1895) di dalam. Godel 1969. 26-38; teks
mengenai pengertian simbol dan mengenai pengungkapan di dalam komen-
tar ini (lihat infra). Ditemukan pula fragmen-fragmen yang tidak diterbitkan
di dalam Engler 1969.
464

Pengumpulan sisa surat menyurat de Saussurc dan penelaahan secara


teliti buku-buku catatan kuliah bahasa Indo-Eropa, filologi Germania, dll.,
merupakan tugas yang menanti bagi filologi Saussure. Mengenai gambar
Saussui;e bdk. Benveniste 1965 ad. 21 (potret yang berasal dari zaman
Mimoire, karya Boissonnas, milik Jacques de Saussure); Benveniste 1965,
34-Fleury 1965. 35(reproduksi potret cat minyak yang dilukis di atas kanvas
oieh Horace de Saussure, milik Jacques de Saussure, tersimpan di Vufflens,
berasal dari periode Paris); Fleury 1965. 52-53 (potret "Gazette de
Laussanne" berasal dari tahun-tahun terakhir, wajah dan dua pertiga dua);
Streitberg 1914 potret dari tahun-tahun terakhir, wajah menengok ke kiri
dibubuhi tanda tangan; mungkin berasal dari klise yang sama dengan milik
F.H. Jullien dalam Oltramare 1916. 257); Duchosal 1950(wajah menengok
ke kanan, klise buatan Amor, juga berasal dari tahun-tahun terakhir
kehidupan Saussure).
2. Mengenai keluarga dan lingkungan pendidikan Saussure, bandingkan M.
Champion,ICuvier dan Anon:"Saussure (Nicolas de), S.(Horace-Benedict
de), S. (Nicolas-Theodore de)" dalam Biographie universelle ancienne et
moderne, Paris s.d. vol. 38 hal. 75-79; Nouvelle biographie genirale, vol, 43
Paris 1867, Saussure; Meillet 1913. CLXV (= F.d.S.69; "kakek" diperbaiki
menjadi "buyut"), David 1913, De Crue dalam F.d.S. 15-23, Streitberg 1914.
204, Burnet 1930. Di dalam semua buku panduan Jenewa terdapat
keterangan mengenai kedua rumah Saussure, meski secara singkat sekali-
pun. Cuplikan oleh H.A.L. Fisher berasal dari Storia d'Europa, vol II ed
ke-1, Bari 1938, hal. 125, 129.
3. Mungkin tokoh yang disebut oleh F. de Crue didalam pidatonya (F.d.5. 16)
adalah P. Oltramare :"Keturunan yang terhormat dari para ilmuwan besar
(Saussure) setelah dididik di Jenewa, khususnya oleh ajaran seorang
pembimbing suka rela,seorang teman sejati yang saya lihat di sini, dst". Prof.
Godel menulis dengan ramah kepada saya (surat pribadi tertanggal 20
Januari 1967);"Saya telah mencek pada M. Leopold Gautier yang, berdasar
ingatannya sendiri dan dari Prof. Paul-E. Martin, mengatakan pada saya
bahwa tokoh yang disebut oleh Dekan De Crue, mungkin sekali Paul
Oltramare."

4. Mengenai paragraf ini, bdk. Saussure, Souvenirs 16-20, dan juga Streitberg
1914. 204, Favre dalam F.d.S.27-2&; David 1913.37, Meillet 1913(= F.d.S.
70-71, menggantt "gimnasium" dengan "kolese negeri" dan/TOTO^ dengan
TExaxnTat tetapi kesaksian ini penting untuk memperlihatkan bobot yang di-
berikan Saussure sendiri bagi periode tsb.). Bally 1913. Mengenai Wertheim-
er, bdk. juga Diction hist, etbiograph. de la Suisse; mengenai Pictet, ringkas-
an tahun 1878 penting sekali, khususnya hal. 391, 394, 395, dari Recueil.
Essai sur les langues dikutip dalam Souvenirs,16 sebagai Systime ginirale du
langage tetapi diberi judul ibid. 19 Essai begitu pula penyebutan nama
Bally 1913(= Le langage dll. ed. ke-3,147),sebagai orang yang telah melihat
465

naskahnya yang kemudian hilang; mengenai tanggalnya. Bally mengatakan


17 tahun, berarti tahun 1874,tetapi pada tahun tersebut episode rekonstniksi
nasalis sonans dan pengetahuan teori maupun teknis Saussure mengenai
bahasa Sanskerta nampak lebih matang sehingga tahun 1872 yang terdapat
dalam Souvenirs lebih tepat; lagi pula bahasa Sanskerta hampaknya tidak
dipergunakan di dalam Essai sehingga pengetahuan mengenai bahasa
tersebut (1874) merupakan terminus ante quern yang baik.
5. Dijumpai perlawanan dan kesenyapan khususnya mengenai teorip sebagai
koefisien sonantik dari did(Mim. 135 = Rec. 127 dst). Berkat teori tersebut,
kedua tipe alternasi itu dianggap sebagai rumus tunggal. Di antara penge-
cualian, perlu diingat nama mereka yang pertama mencoba menginter-
prestasil^ sebagai laringal: N. Pick, dalam "Gott. Gelehrt. Anzeig/' 1880.
437, H. Moller, "Zur Conjugation . . . Die Entstehung des o",Paul und
Braune's Beitrdge, zur Gesch. d. deutschen Sprache und Lit. 7, 1880. 492,
catatan 2, H. Pedersen,"Das Prasensinfix", IF 2, 1893. 285-332, khususnya
292, A. Cuny,"Notes de phonetique historique. Indoeuropeenjet semitique",
Revue de phonetique 2, 1912. 101-132, H. Pedersen, Vergleich. Gramm, d.
keltischen Spr.yl ]\\\d, Gottingen 1903, I. 173, 177. Mengenai pengecualian
lain, di mana terdapat nama Noreen, bdk. J. Wackernagel, Altindische
Gramm.,II Gottingen 1897, hal. 81, A. Debrunner dalam J. Wackernagel,
op. cit., Nachtrdge zu B. /,Gottingen 1957, hal. 46-47, E. Polome, 'The
laryngeal Theory So Far: A Critical Bibliographical Survey", dalam Evidence
for Laryngeals, Den Haag 1965, hal. 9-78. Tetapi, mengenai Memoire dan
kemudian mengenai PLU., sikap umum para ahli linguistik benar-benar
disanggah melalui kalimat yang dilontarkan oleh C.J.S. Marstrander kepada
karya-karya awal Kurylowicz: "Linguistik bukan matematika, sistem suatu
bahasa tidak selalu ditentukan oleh ekuasi" (Norsk Tidsskrift for Sprogvi-
3,1929,290-296, hal. 290).
6. Penanggalan periode antara bulan Maret dan September 1880 didasarkan
pada kesaksian Muret (F.d.S. 43), yang akan dikutip seluruhnya nanti.
Penanggalan ini diterima oleh Benveniste. Tetapi, para ahli linguistik lain
meragukannya. G. Redard (di dalam artikel dalam Journal de Genive,
tanggal 22-2-1963 yang berkat kebaikan hati R. Godel diberitakan kepada
saya) menempatkan perjalanan Saussure sembilan tahun kemudian, yaitu
pada tahun 1888-18.89, ketika "Saussure meminta dengan segera agar
meiidapat cuti bebas tugas selama satu tahun karena alasan kesehatan"
(Fleury 1965. 41, dengan acuan pada dokumen-dokumen arsip). Menurut
Godel (surat pribadi tanggal 1 -7 -1970), deduksi Redard "amat sangat
mungkin" karena "tidak mungkin Saussure berdiam diri selama satu tahun".
Meskipun demikian, alasan ini nampak terlalu lemah untuk meragukan
kesaksian Muret yang eksplisit. Perlu ditambahkan bahwa sejak 1888-1889,
Saussure memberi kuliah pada "lima murid yang telah menggunakan hasrat
mereka untuk memulai studi bahasa Lituavi" (Fleury 1965. 66): ia harus
sudah menguasai pengetahifan yang cukup langsung dan lengkap tentang
466

bahasa Lituavi, yang memungkinkannya (ingat ketelitiannya yang besar


dan ketat) untuk memberi kuliah "pengantar'' bahasa tersebut. Jadi tahun-
tahun 1888-1889 merupakan terminus ante quem bagi karya wisata ke
Litudnia, yang nampak cukup dapat dibuktikan apabila diletakkan pada
tahun 1880 seperti yang dinyatakan oleh Muret.
7. Jan Ignacy (atau, menurut orang Rusia, Ivan Aleksandrovid) B. de C. lahir
pada tahun 1845 di sekitar Warsawa tempat ia belajar, kemudian memperda-
iam pengetahuan di Praha, lena, Berlin, Saint-Petersbourg. Ia menjadi guru
di Kazan sejak 1874, di situ ia mempunyai seorang murid yang terpengaruh
olehnya, Kruszewski. Baudouin memusatkan perhatian khususnya pada
fonologi. Tiga teks Saussure mengacu langsung pada Baoudouin de
Courtenay: 1)sebuah surat Saussure kepada B. de. C. tertanggal 16 Oktober
1889, yang sebagian diterbitkan oleh N.Slusareva 1963. 28, yang nampaknya
ditulis setelah putus hubungan lama, sebagai akibat "epistolophobi" Saus
sure: "Saya tidak tahu (diperbaiki oleh E. Benveniste, Slusareva memba-
canya "pergi") apakah saya masih boleh berharap bahwa Anda masih ingat
pada kesempatan yang bagi saya menyenangkan, pada saat saya menjumpai
Anda 7 tahun yang lalu" (lihat infra); 2) Di dalam kuliah pembukaaiv tahun
1891 di Jenewa(SM 37, 51 catatan 42, dan Saussure Notes 66): "Bukan para
ahli linguistik seperti Friedrich Miiller, dari universitas Wina yang mengenal
serba sedikit semua langue di dunia, yang tidak pernah menjajagi pengetahu-
* an tentang langue; melainkan nama-nama yang seharusnya dikutip adalah
nama para ahli bahasa Roman seperti ahli Gaston Paris, Paul Meyer dan
Schuchardt, nama para ahli bahasa Germania seperti Hermann Paul, nama-
nama dari aliran Rusia, nama rnereka yang mengkhususkan diri dalam
bidang bahasa Rusia dan Slavia, seperti N. Baudouin de Courtenay dan
Kruszewski"; 3) Dalam catatan tahun 1908 mengenai ringkasan Programmes
et Methodes dari Sechehaye:"Baudouin de Courtenay dan Kruszewski adalah
yang paling dekat dari segi teori bahasa, dan ini tanpa keluar dari peninjauan
linguistik murni; mereka juga tidak dikenal oleh sebagian besar ahli bahasa
Barat(5M5/)."
Slusareva memberi bukti lain mengenai perkenalan orang Jenewa ini
dengan ahli linguistik Polandia, yaitu berupa cuplikan surat dari |B. de.
C. kepada J. Karlowitch bertanggal 21 November 1881, dimana sambil
mengacu pada pertemuanIdimanaia dipilih sebagai anggota Society, Bau
douin menulis bahwa "de Saussure juga hadir". Mengenai hal ini Ben
veniste 1964. 129-130 memberikan, berbagai perincian yang penting:
tanggal 19 November 1881. B. sebenarnya hanya diperkenalkan (oleh A.
Chodzko dan H. Gaidoz) kepada Societe dan berpartisipasi dalam perte
muan sebagai "asisten asihg", sedangkan Saussure tidak hadir; sebaliknya, ia
dipilih sebagai anggota pada tanggal 3 desember 1881, dan Saussure hadir
{MSL 5. 1884. vi); sepanjang kedua pertemuan tersebut, dan di dalam
pertemuan-pertemuan berikutnya, 17 Desember 1881; 7 Januari, 4 Maret
dan 4 November 1882, Baudouin menyajikan kepada Soci6te, karya tulisnya
467

dan karya tulis M. Kruszewski (daftarnya terdapat dalam 1 BSL . 5, 1881.


LI). Surat kepada Karlowitch itu mengandung makna bahwa Saussure telah
sangat dikenal di lingkungan Baudouin. Paling tidak Baudoin mendengarkan
analisis fonologis dialek Fribourg yang disajikan oleh Saussure pada tanggal
3 Desember 1881 dan pada tanggal 17 Desember 1881 dan 7 Januari 1882,
Saussure mendengarkan kertas kerja Baudouin "mengenai berbagai segi
fonetik Slavia".
PengertiaiT fonem yang dfperkenalkan pada tahun 1873 oleh A.
Dufriche-Desgenettes dan dikenal oleh Saussure melalui L. Havet, di-
sampaikan kepada dua rlmuwan Rusia (Trubetzkoy 1933. 229, Jakobson
1967. 14,17, 19)terutama dengan perantaraan Memo/re(yang secara positif
mengacu sekaligus pada karya-karya Brugmann dan terlebih pada M.
Kruszewski, khususnya mengenai segi metode: N. Kruszewski, Novejsija
otkrytja v oblasti ario-evropejskago vokalizma, Russkijfllologiseskij vestnik:
1880 33-45). Di lain pihak, bukan tidak mungkin bahwa Versuch einer
Theorie phonetischer Alternatiomen. Ein Kapitel aus der Psychophonetik(
Strasbourg 1895) tulisan Baudouin telah memperkuat keyakinan Saussure
(yang telah nampak, seperti yang telah kami kemukakan, dalam kuliah-
kuliah di Paris pada tahun 1881: lihat supra\A30) mengenai pemisahan kedua
cabang iTmir, yang satu mengenai bunyi dan yang lain mengenai satuan
pembeda. (Jadi menerima, sambrf meredam, gagasan Lepschy 1966. 60-61)
dan bahwa sederet usul (mengenai sintagmatik dan asosiativitas, aspek
sistematis peristiwa-peristiwa bahasa, dll) telah diajukan kepada Saussure
melalui pembacaan tulisan-tulisan Kruszewski: yaitu disertasi doktomya
(dikritik oleh majalah-majalah Jerman dan oleh karenanya makin dikagumi
oleh Saussure) Uber die Lautabwechslung, Kazan 1881, dan mungkin Oderk
nauki o jazyke (Kazan 1883; terjemahaii Jerman oleh P. Techmer,
"Prinzipien der Sprachentwicklung", Internationale Zeitschriftfur allgemeine
Sprachwissenschaft, 1,1884,11, 22, 2,1885. 33-44, 3, 1886. 555-556, 5,1890.
77-88: lihat infralsfi). Masalah ini telah diperdebatkan untuk menekankan
maupun untuk memperkecil arti hutang>.budi para ahli linguistik Praha
kepada pendahulu mereka dari Slayia karena adanya kekurangan maupun
/kelebihan dari hutang budi mereka kepada Saussure (Trubetzkoy 1933. 243
dst., Jakobson 1953, Jakobson 1962. 232-33, Jakobson 1967; dan bdk, fiiga
Vendryes 1950. 446, Hjelmslev 1951. 60, Martinet 1953. 577, Malmberg
1954. 22, Scerba 1957. 94-95, Belardi 1959. 66 dst., Cikobava 1959, 86-87,
Leontev 1961, Collinder 1962. 13, Benveniste 1964. 129-130, Pisani 1966.
297, Lepschy 1966. 60-62).
Masalah tersebut patut diperdebatkan lagi sampai tuntas, sambil
mengembangkan perbandingan antara prinsip Saussure dan prinsip kedua
ahli linguistik Slavia; mengenai D .de. C.telah ditelaah sebagaian oleh H. G.
Schogt (1966. 18, 29), dan mengenai Kruszewski oleh Jakobson (1967) yang
menganggap bahwa Kruszewski jauh lebih kompeten daripada gurunya
B. de. C. Di samping usul-usul khusus,. Saussure pasti telah menarik
468

keuntungan dari pcrkenalannya dengan B dan K, yaitu kesadaran bahwa


dirinya bukan satu-satunya yang merasakan pentingnya teori umum bahasa
dan suatu teori linguistik. Surat yang dikirim pada tanggal 2 Mei 1882 oleh
Kruszewski kepada Baudouin di Perancis, mungkin telah > di.tulis oleh
Saussure. Sambil memberi tabu gurunya mengenai kelanjutan Oderky K
menulis: "Saya tldak tabu apa nantinya judui karya saya; pokok masalabnya
adalab sebagai berikut^ 1)di samping ilmu babasa yang sudab ada seharusnya
ada ilmu iagi yang lebib umum, yang serupa dengan fenomenologi babasa; 2)
sudab nampak suatu bentuk awal (tidak disadari) dari ilmu ini di dalam ke-
lompok yang baru-baru ini dibentuk oleb Junggrammatiker, tetapi prinsip
yang mereka pertabankan tidak dapat diterapkan untuk membangun suatu
ilmu yang scjenis dengan ini, ataupun tidak memadai; 3) mungkin untuk
menemukan dasar yang kuat bagi ilmu tersebut di dalam /«ngMelsendiri."(J.
Baudouin de Courtenay, Szkice jezykoznawczCy Warsawa 1904, balaman
134-135, dikutip dalam Jakobson 1967. 7). Sambil menegaskan pendapat
yang dikemukakan di sini, Saussure pada tabun 1891 seperti juga pada tabun
1908 menekankan secara kbusus kenyataan babwa B dan K telab berjasa
kbususnya karena telab menyusun "pandangan teori" bagi keseluruban
langue. Hal ini adalab yang terpenting. K. datang ke linguistik dari aliran
studi filsafat besar yang dipimpin bleb M. Troicki, "abii fanatik aliran pe-
mikiran Inggris sejak Bacon sampai Locke, Hume dan Mill" (Jakobson
1967.2), dan kami mengetabui dari Baudouin babwa K. membentuk diri
melalui membaca dengan penub kesabaran, meringkas dan mengumpulkan
kembali karya para abli empirisme yang besar dari abad ke 18. K.
merupakan mata rantai yang mengbubungkan konsepsi struktur Saussure
dan konsepsi-konsepi besar dalam linguistik yang berasal dari filsafat Eropa
sebelum Kant.

8. Pada awal setiap kuliab, dengan optimisme pedagogis yang menyakinkan,


Saussure memberitabu murid-muridnya babwa ia menganggap mereka telab
mengenai babasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, "yang
pasti membuat mereka kebilangan kepercayaan pada diri sendiri"(Ducbosal
1950). Tema kuliab adalab sebagai berikut(sumber atau nama- nama maba-
siswa yang catatannya masib tersimpan di perpustakaan umum dan universi-
tas Jenewa: SM 16-17): 1891-92 Sejarab babasa-bahasa Indo-Eropa(SM 24,
39); 1892-93 Fonetik Yunani dan Latin. Sejarab verba Indo-Eropa(SM 24);
1893-94 studi etimologi Yunani dan Latin (Bally), verba Yunani (5Af 24);
1894-95 studi piliban mengenai prasasti-prasasti Yunani kuno. Studi menge
nai deklinasi Yunani (Bally; SM 25); 1895-96. Dialek-dialek Yunani dan
prasasti Yunani kuno. Studi etimologis dan gramatikal mengenai Homerus.
Prasasti Persia dari raja Acbemenides (Bally); 1896-971. Kuliab kosakata
dalam Hesycbius, dengan studi bentuk penting bagi tata babasa dan dialek-
tologi (Bally); 1897-98 tata bahasa Gotik (Bally, Dusbosal); 1898-99 babasa
Jerman Kuno (Bally); tata babasa bandingan Yunani dan Latin (Bally, P.
469

Bovet); 1899-1900 Anglo-saxon (Bally); 1900-1901 studi dialek Homerik dan


masalah-masalah penting yang berkaitan dengannya (Bally, Bovet); 1901-
1902 bahasa Lituavi (Bally) 1902-1903 Linguistik geografis Eropa (kuno dan
modern), dengan pengantar mengenai objek linguistik geografis; 1903-1904
dialektologi Yunani; 1904-1905 bahasa Norse Kuno (Bally); 1905 Tata
bahasa Inggris dan Jerman (selama musim dingin Saussure berada di Napoli
dan Ronia): 1906-1907 Tata bahasa historis Jerman: 1907-1908 Tata bahasa
historis Yunani dan Latin (Riedlihger); 1908-1909 Tata bahasa historis
Yunani dan Latin (dengan studi khiisus mengenai bahasa Latin). Gqtik dan
Sakson Kiino, dipelajari sebagai pengantar ke tata bahasa Germania (A.
Riedlinger, L. Gautier); 1910-1911 Urgermanisch. Pengantar ke tata bahasa
historis Jerman dan Inggris (Riedlinger, Degallier, Ny. P. Laufer-Gautier);
1911-1912 Gotik (Riedlinger). Etimologi Yunani dan Latin: turunan kata-
kata dan proses derivasi (Briitsch).
9. Di dalam Nouvelle classification des sciences. Etude philosophiqUe (Paris
1901), A. Naville menyusun kembali seluruh tulisan di masa lampau {De la
classification des sciences. Etude logique, Jenewa-B^le 1888); pada bab V
(ilmu-ilmu psikologis), paragraf B, yang membicarakan sosiologi, ia menulis
(halaman 103-106):
"Sosiologi adalah ilmu hukum-hukum kehidupan mahluk yang sadar -
khususnya manusia — di dalam masyarakat. Ilmu ini harus memasukkan
sebagai data, semua syarat yang tanpa mereka kita tidak mungkin
menampilkan kehidupan masyarakat. Apa syarat tersebut? Saya tidak tahu
apakah ilmu telah memisah-misahkan dan mendaftar hukum tersebut secara
memadai.
Salah satu di antara yang paling ihenonjol, adalah hadirnya tanda yang
dipergunakan oleh makhluk yang bermasyarakat untuk saling menyam-
paikan perasaan, pikiran, kehendak.
De Saussure menekankan pentingnya ilmu yang sangat umum, yang
disebutkannya semiologi, yang menelaah hukum kreasi dan transformasi
tanda dan maknanya. Semiologi adalah bagian terpenting dari sosiologi.
Kalau sistem tanda terpenting adalah langage konvensional manusia, ilmu
semiologis yang termaju adalah linguistik atau ilmu hukum kehidupan
langage. Fonologi dan Morfologi menelaaah kata secara khusus, sedangkan
semantik menelaah makna kata. Tetapi pasti ada kegiatan timbal balik antara
kata dan makna; keinginan untuk memisahkan pengkajian kedua unsur
tersebut sama dengan menyalahartikan objek studi. Para ahli linguistik
mutakhir telah meninggalkan penjelasan yang murni biologis (fisiologis) di
dalam fonologi dan dengan. sadar menganggap linguistik sebagai ilmu
psikologis.
Linguistik adalah, atau paling tidak cenderung makin menjadi, ilmu
hukum-hukum,ilmu ini akan makin jelas dibedakan dari sejarah langage dan
tata bahasa.
Syarat lain di dalam kehidupan masyarakat —adalah kendala
470

(contrainte)... Perkembangan langage itu sendiri mengharuskan kenda-


la
Di antara sekian banyak ilmu sosial yang patut di telaah, hanya satu di
samping linguistik, yang nampaknya mendekati persyaratan yang benar-
benarilmiah,—yahu ekonomi,
10. Bandingkan. G.W.F. Hegel, Precis de VEncyclopedie des sciences philo-
sophiques, terjemahan Perancis oleh J. Gibelin, jParis 1970, ha!29(§1):
"Filsafat tidak memiliki kesempatan baik seperti ilmu-ilmu lain, yaitu
kemungkinan mempraanggap objeknya sebagai data langsung melalui
pengungkapannya, demikian pula metode pengetahuan untuk memulai dan
melanjutkan penelitian, seperti yang telah dikokohkan di muka. Objek
ilmu filsafat memang sama dengan agama.... Kemungkinan besar filsafat
dapat saja menduga suatu pengetahuan mengenai objeknya, bahkan harus
menduganya, dan juga perhatian bagi objeknya, pertama dengan alasan
bahwa alam sadar memiliki perwujudan objek sebelum memiliki penger-
tiannya {Begriffe) dan bahwa jiwa yang berpikir, akan mencapai renungan
yang mengenai dan memahami hanya melalui perwujudan dan dengan jalan
memberi masukan pada perwujudan tersebut.
Padahal pikiran yang mengamati segera melihat bahwa pengkajian
tersebut menuntut agar ditunjukkan perlunya isi dan mengupas makhluk
maupun penunjukan objeknya. Jadi, pengenalan objek secara sekadarnya
terasa tidak memadai, demikian pula mengajukan atau menerima dugaan
dan pernyataan tidak diizinkan. Meskipun demikian, kesulitan untuk me
mulai muncul pada saat yang sama karena suatu awal, sebagai kesegeraan,
menimbulkan suatu praanggapan, atau lebih tepat, memang merupakan
praanggapan."
11. Namun, perlu disebutkan bahwa pengacauan pada Leibniz sebagai ahli
teori arbitrer menurut pengertian Aristoteles adalah yang paling dapat
dipertanggungjawabkan: bersama Locke dan Vico, Leibniz mempertahan-
kan konsepsi langue sebagai bentuk sejarah (juga dari segi semantik), meski
pun pada dirinya masih teramati, seperti juga pada Vico dan dengan cara
yang berbeda pada Locke, Berkeley dan Hume, beberapa sisa universalis
(bdk. cuplikan yang dikutip dalam De Mauro 1965. 58, dan mengenai
masalah ini seluruhnya, pada hal. 55-59). Tidak mungkin kalau Saussure
mengenai secara langsung tulisan Locke, Hume, Leibniz: cara dia dihu-
bungkan dengan "para ahli filsafat" tidak mungkin dijelaskan dengan jalan
lain tanpa petunjuk gagasan Aristoteles, Port-Royal, Rasionalis. Nampak
nya lebih mungkin bahwa ia menghayati hakekatnya melalui pengetahuan-
nya tentang gagasan Kruszewski {supra catatan 7).
12. Locke menggunakani cryjixetcdTVKilj di paragraf terakhir Essay (IV 21, 4)
dalam pengertian "doktrin tanda":'Tugasnya adalah menganggap hakekat
' tanda yang dipergunakan jiwa untuk menyebut benda, atau untuk menyam-
paikan pengetahuannya pada yangliain." Bertentangan dengan pendapat
yang diajukan oleh N. Abbagnano di dalam Dizionario di fUosofia yang
471

sebenarnya patut dihargai {semioticd)^ dapat dikatakan bahwa semiotika


Locke sangat berbeda dengan 'logika tradisional". Sebenarnya ini satu di
antara tiga kawasan besar pengetahuan manusia (yang lain adalah "fisika"
dan "praktek") di mana logika hanya sebagian darinya. Mungkiri sekali
penggunaan semiotika oleh Locke berbeda dengan yang digunakan para
dokter; bdk. <rp<fctfi)TtK«5v "ilmu simptom" dalam Galien, Op. XIV
689 Kuhn. Seperti yang digarisbawahi oleh Abbagnano^ muncul
sebagai judul bagian ketiga ddLxiNeues Organon karya J.H. Lambert(Neues
Organon ader Gedanken. uber die Erforschung und Bezeichnung des
Wahren und dessen Unterscheidung von frrthunr emd Sehein,.Z ]'i\\d^ Leipzig
1764). Tetapi 14 tahun sebelumnya, semiotika sudah muncul di dalam
sinopsis Aesthetica karya Baumgarten (ed. Bari 1936. hal. 53)sebagai judul
Bab III dalam Aesthetica theoretica, atau sebagai sebutan bagi ilmu "de
signis pulcre cogitatorum et dispositorum"(op. cit 58); tetapi pars altera dari
karya itu terbit pada tahun 1758, kira-kira berhenti pada akhir Bab.t, dan
tidak ada kelanjutannya karena kematian Baumgarten (1763). Meskipun
demikian, hal ini nampaknya memperlihatkan bahwa istilah tersebut
seharusnya telah digunakan di dalam kalangi^ Leibniz dan Wolff, bahkan
sebelum Lambert.

13. Bersama A. Noreen, Anton Marty mengalami nasib kurang mendapat


perhatian: ia secara kebetulan disebut, tanpa indikasi khusus, di dalam
Tagliavini 1963. 201, dan di antara berbagai buku pelajaran sejarah doktrin
linguistik. Hanya Arens 1955. 386-87 menyebut sambil memberikan ring-
kasan dari gagasannya. Padahal, kalau kita memperhitungkan dekatnya
hubungan pemikirannya dengan Saussure (di dalam perpustakaan Saussure
tidak terdapat jejak karya Marty) dan kenyataan bahwa ia mengambil
bagian yang cukup penting di dalam pembentukan R. Jakobson (seperti
yang disampaikan kepada saya olehnya sendiri), ia seharusnya pantas
mendapat perhatian yang lebih besar(Otto 1954^.3,. Vidos 1959. 109).
Marty berasal dari Swiss (1874-1914), murid Brentano, adalah guru
besar di Deutsche Universitas di Praha dari tahun 1880 sampai tahun 1913
dan di sana, bersama Meinong dan Ehrenfels, mendirikan aliran (filsafat)
Praha"(bdk. Oesterreich 1923. 500-502). Karyanya yang terpenting, seperti
juga Van atau PLU., mengalami banyak kesulitan di dalam
penerbitannya: jilid pertama, berjudul Untersuchung zur Grundlegung der
allgemeinen Grammatik und Sprachphilosophie, I.B., terbit pada tahun
1908 di Halle, di mana pada tahun 1910, terbit bukan jilid ke-2 melainkan
lampiran dari jilid kedua,Zur Sprachphilosophie. Die logische""leokalistis-
che" und andere Kasustheorien, Sebagian dari jilid kedua muncul lama
setelah itu, berkat karya O. Funke.
Menurut Marty, "falsafah bahasa" adalah bagian dari "ilmu bahasa"
yang menelaah "semua masalah yang berkaitan dengan hal-hal umum dan
hal yang sudah ditentukan oleh hukumnya yang terdapat dalam iFenomena-
fenomena bahasa". yang tidak mungkin dikaitkan dengan psikologi (hala-
472

man 9). Ilmu ini tcrdiri dari "dcskriptif dan "gcnetik" (halaman 21).
Pemisahan ini mencakup bagian, yang pada awal studi petanda, paling kaya
dengan penjelasan yang^menarik,7aitu "Semasiologi": "Secara alamiah kita
membagi Semasiologi dalam keldmpok yang deskriptif dan genetis, dan tak
perlu ditekankan bahwa prinsi-prinsip dasar metodik ilmiah yang benar
pada umumnya menuntut pembedaan antara pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat deskriptif dan yang bersifat genetis, dan penyelesaiannya hanya
dapat saling dihubungkan (digabungkan) jika hal ini dapat merupakan
bantuan ataupun tahap awal dalam mencari penyelesaian masing.masing.
Dalam cabang-cabang lain dari ilmu ini, pemisahan seperti disebutkan di
atas, yakni antara penelitian deskriptif dan genetis di satii pihak sudah
dilakukan penerobosan (saya ingatkan akan pembagian dari geologi dalam
geognosi dan geologi dalana^arti sernpitnya, pembagian biologi dalam
anatomi dan fisiologi, dan Iain-lain), dan'di lain pihak sudah termasuk
dalam pelaksanaannya (halaman 52)." Bentuk awal yang logis dan efektif
diterapkan pada penelitian deskriptif (halaman 52). Dengan suatu revival
yang dapat dipahami dari problematik gagasan Leibniz (bdk. catatan 10)
dan pendahulu yang mengagumkan dari gagasan Chomsky, Marty menegas-
kan bahwa berbagai struktural semasiologi langue berimplikasi (seperti
yang diperkirakan oleh Steinthal dan Humboldt) ketidakmungkinan mere-
konstruksi logika tunggal dan sahih secara universal bagi keseluruhan
pemikiran manusia (bdk, halaman 86 dan seterusnya). Halaman-halaman
99-203 menelaah penolakan implisit terhadap ekuasi Form — bentuk
ekstern, Stoff = kiandiingan semSifik, dan sebaliknya pengertian tetap
dipertahankan. Pengertian ini penting sekali artinya bagi pengkajian
petanda dan perubahan penanda dan secara, lebih umum, untuk dapat
mengerti yang dirumuskan sebagai suatu "totalitas organik" (meskipun.
terdapat beberapa kekosongan), yang secara universal manusiawi, tetapi
semena (halaman 3).
14, Di hadapan sekelompok gagasan awal dan pendahulu, kita dapat berpikir
bahwa R.-L. Wagner (1947. 21) benar ketika ia menyatakan bahwa
Saussure harus dimasyhurkan "lebih dari sekadar mengajukan pandangan
revolusioner, tetapi karena telah mensistematisasi dalam bentuk yang
sangat padat, pengertian-pengertian, yang sampai saat itu, agak mengam-
bang". Hanya selangkah lagi untuk menyimpulkan, bersama B. Collinder
(1962), bahwa Saussure hanya sekadar mengulangi gagasan-gagasan baik
orang lain.
Pernyataan semacam ini dapat dijawab dengan berbagai cara. Dengan
jalan menjelaskan proses semrawut dari pembentukan gagasan-gagasan
Saussure (5M/7rfl 448-457), dengan jalan mengungkapkan gagasan-gagasan
tersebut dalam bentuk yang seasli-aslinya j(5Mprfl 457-466), dengan jalan
mengamati ketidakpahaman yang meliputi mereka yang seperti Noreen dan
Marty merupakan orang-orang terdekat di dalam pemikiran (supra 492
in/ra 507-544^j IceltdakpaTi^ah'y^ tanda awal dari be
berapa gagasan yang dimiliki rata-rata ilmuwan masa kini. Meskipun
473

demikian, masih ada cara lain untuk menjawab. Dari ciri Crisippe sampai
Fine, tak satu pun di antara mereka yang disebut sebagai pendahulu
Saussure yang tidak menikmati sederet kritik dan kadang-kadang umpatan
yang menyertai P.L.U. Bahkan suatu deskripsi peninggalan karya Saus
sure, tidak dapat mengesampingkan reaksi semacam ini.
Konsepsi kesemenaan yang dimengerti sebagai sekadar tidak adanya
motif petanda (lihat catatan 137 dalam ^ FLU) telah diserang dari berbagai
segi: konsepsi tersebut.hanya mencapai sebagian realisasi bahaisa konkret,
poetik, dan hidup yang seharusnya bermotivasi dan simbolik (Lerch 1939,
Alonso 1950. 19-30); konsepsi tersebut memperkenalkan secara tersamar
kenyataan ekstra-bahasa (Pichon 1937. 25-30, Jakobson 1966. 22 dan
seterusnya.., 1962. 653. Pichon 1941); dengan merumuskan konsepsi terse
but, Saussure telafi menggeneralisasi secara salah kondisi yang khas
kedwibahasaan Swiss (Pichon 1937 ck.) dan telah berdosa karena "tidak
tahu sama sekali terhadapat prosedur yang normal" dari proses perumusan
dan, singkatnya, karena "ketidaktahuan" (Ogden dan Richards 1923. 5
catatan 2), Tautologia, kontradiksi, "sedikit sekali" di dalam definisi tanda,
di antara yang lain, telah dikemukakan oleh Ogden dan Richhards (ck.),
Graur (dalam Zeichen and System, 59) Nehring 1950, K Otto 1954. 8.
Pembedaan antara langue dan parole menujii pada konsepsi "abstrak"
bahasa (Meillet 1916. 35, Schuchardt 1917, Budagov 1954), menciptakan
"akibat fatal"(Palmer 1945. 195), berbau psikologi bagi Antal (1963. 17 dan
seterusnya), matematika bagrSchuchardt
| ^>. idealis bagi Cohen (1956.
89-90), positivis bagi Pisani (1959. 10). Demikian pula halnya, pembedaan
antara sinkroni, kalau tidak dianggap kuno dan sudah dikenal sejak lama,
dibuang dengan berbagai alasan (lihat catatan 176 dalam \ PLU). Saussure
akhirnya diberi predikat "gelap"(Biihler 1934.17), tidak mampu menerang-
kan bagaimana bahasa berfungsi (Ogden-Richards 1923. 232). "secara
filosofis" (Pisani 1966. 298).
Dapat ditemukan rangkuman pernyataan yang kemudian menjadi loci
cqmmunes antisausurisme di dalam ringkasan PLU yang ditulis olah H.
Schuchardt, kemudian dipompakan sebanyak-banyaknya di dalam Hugo
Schuchardt-Brevier (<^sunfmg oF^h L. Spffzer, Halle 1922);^ Saussure
berdosa karena psikologisme (411-412), karena menjauhkan diri dari
konkret (418), karena anti-historisme di dalam pembedaan antara diakroni
dan sinkroni (420), karena matematisme (434), karena sosiologisme dan
positivisme yang kasar di dalam konsepsi sinkroni (318-320, 329-330),
karena abstraksi (368-387). Pengumpul pernyataan-pernyataan yang baik
tersebut adalah Roger 1941: Saussure adalah aprioris, pendapat-
pendapatnya "mengambang"(164), ia menunjukkan tugas-tugas tetapi tidak
mengatakan bagaimana menyelesaikannya (163), tidak meninjau bahasa
dari kesengkarutannya yang konkret (165-166), berbau logika di dalam
teori kesemenaan (166-167), generik di dalam perumusan bahasa sebagai
"fakta sosial"(167-168), mendapat pengaruh buruk dari sosiologi (167-173).
NOREEN DAN SAUSSURE

Noreen, yang tidak dikenal dalam sejarah lihguistik ma-


na pun (bdk. misalnya Let-oy 1965, Bolelli 1965, dll.), telah
dicatat oleh B. Collinder, muridnya (Hjelmslev 1944. 140-141),
sebagai pemrakarsa fonologi aliran Praha (Collinder 1938,
Lepschy 1966. 70-71) dan sebagai sesepuh Saussure (Collinder
1962. 6, 13, 14). Sayangnya, Collinder memusatkan perhatian
bukan pada menganalisis teori-teori Noreen, melainkan pada
mempermasalahkan keaslian pendirian-pendirian Saussure dan
pendirian-pendirian aliran Praha. Tetapi memang benar bahwa di
dalam berbagai kelompok "pemrakarsa" Saussure, Noreen adalah
satu di antara mereka yang jarang menuntut perhatian khusus.
Adolf Gotthard Noreen (bdk. B. Bergmann, nekrologi
dalam Svenska Akademiens Handlinger 1925. 11-Al, Lotz 1954),
yang tiga tahun lebih tua dari Saussure (Herresta 13-3-1854 -
Artemorks 13-6-1925), doktor dalam bidang filsafat pada tahun
1877 di Uppsala, kemudian dosen (sejak 1877) dan pengarah
seminar berbahasa Eropa Utara (sejak 1878) di kota yang sama,
datang ke Jerman pada tahun 1879 untuk memperdalam pengeta-
huan dan tinggal di Leipzig tempat ia menjalin hubungan dengan
A. Leskien dan para ahli di sekitarnya. Sekembali ke tanah air
pada tahun 1887., ia menjadi dosen bahasa-bahasa Eropa Utara.
Setelah menyelesaikan tesisnya (Frykdalsmdlets Ijudldra, Up
psala 1877)ia mengkhususkan diri dalam bahasa Germania Utara
dan khususnya bahasa Swedia (sama seperti Whitney yang
mengkhususkan diri dalam bahasa Inggris dan Saussure yang
kemudian mendalami fonologi Perancis), dalam persepektif
sihkronis dan dalam hubungan dengan masalah linguistik umum
(perlu diingat, sebagai komentar, kata-kata Saussure di dalam
475

kuliah pembukaan di Jenewa pada tahun 1891: "Bukan para ahli


linguistik ...yang mengenal sedikit banyak semua bahasa di dunia
pernah melangkah lebih lanjut di dalam mengenal bahasa;
melainkan nama-nama yang dikutip adalah nama para ahli
bahasa Roman ... bahasa Germania ...., berbagai nama dari
aliran Rusia yang mendalami secara khusus bahasa Rusia dan
bahasa Slavia ...-.Notes 66).Noreen beradadi antara mereka yang
sedikit, yang mengakui nilai teori-teori di dalam Mimoire yang
berasal dari Saussure; Saussure juga mengutip dari Noreen
Altislandische und altnorwegische Gramm. unter Beriicksich-
tigung des Urnordischen (Halle 1884; yang disunting kembali
dengan judul Altislandische Gramm., 1892,1903, 1923) di dalam
sebuah catatan MSL 6, 1889. 53 = Rec.408); dan mengenalnya
mungkin dalam hal sikap yang memuji Mdmoire, atau penelitian-
penelitian ahli bahasa Germania ini di dalam Grundriss tulisan
Paul (Gesch, des nord. Sprachen, Strasbourg 1889) dan di dalam
Sammlung tulisan Braune (Altschwedische Gramm. mit Eins-
chluss des Altgudnischen, Halle 1904). Apakah Noreen mengenal
teori-teori umum Saussure? Murid Saussure, satu-satunya yang
datang dari Swedia, dalam kuliah di Paris. Anders A. Enander,
ahli bahasa Keltik yang menghindari kuliah-kuliahnya pada
tahun 1882-1885 dan 1885-1886 (Fleury 1965. 46), seharusnya
menjadi perantara; karena justru pada tahun 1885-1886 Saussure
memberi "beberapa kuliah khusus mengenai garis besar metode
linguistik dan kehidupan langage" (Fleury 1965. 62 dan Benve-
niste 1965. 33). Sebaliknya sulit dibuktikan bahwa Noreen
mengambil manfaat dari penemuan semiologi Saussure yang
disebabkan oleh A. Naville pada tahun 1901 |(lihat 502
Catatan 9). sebaliknya, kalau memang benar Saussure tidak
menguasai bahas,a Swedia (keterangan dari R. Jakobson, tetapi
sebenarnya bagi seorang ahli bahasa Germania, sebuah teks
Swedia tidak menimbulkan kesulitan yang berarti) mungkin
sekali ia tidak membaca Vdrt Sprdk. Tentu saja masuk akal
kalau kita menganggap bahwa artikel Noreen yang panjang Uber
Sprachrichtigkeit, terjemahan dari bahasa Swedia (Om Sprdk-
riktighet, ed. ke-2, Uppsala 1888) oleh A. Johannson. IF 1,1892.
95-157, tidak luput dari perhatian Saussure. Dalam artikel
tersebut Noreen mempertahankan dalam polemik dengan Detail-
476

forschungen yang predominan, kegunaan linguistik umum dan di


dalam kesimpulan ia menyatakan bahwa "Bahasa (langue) adalah
seperti halnya dengan pakaian, tempat tinggal, perkakas,
pada* dasarnya merupakan produk buatan , yang selalu
berubah oleh karena digunakan dan dapat menjadi usang ..."
(hal. 156). Perlu ditambahkan bahwa nama Saussure tidak ada di
dalam daftar peserta dan tabulae gratulatoriae dari kedua
karangan gabungan yang disusun untuk menghormati Noreen
(Nordiska Studier, Uppsala 1904 dan Nordiska Ortnamn, Uppsa
la 1914). Bagaimanapun juga, tidak adanya bukti yang pasti yang
menyatakan pengetahuan timbal balik mengenai teori umum,
pertemuan secara kebetulan antara teori Saussure dan Noreen
hanya dapat dijelaskan sebagai dua teori yang berkembang
sejajar. Kecuali Folksetymologier (Stokholm 1880) yang dengan
koleksi "karangan menyeramkan", mengawali pendapat Saussure
mengenai Volksetymologie, pertemuan-pertemuan secara kebe
tulan terjadi terutama di sekitar/PLt/ da.n\V&rt Sprak. Riwayat
penerbitan karya tersebut bukan alang kepalang senjgkarutnya
(Lotz 1954). Di sini cukup dicatat bahwa seri 1-5 dari jilid I terbit
di Lund pada tahun 1903, bersamaan dengan seri 1 dari jilid IV;
pada tahun 1905 terbit seri 1 dari jilid III, pada akhir tahun 1906
muncul seri 6 dan terakhir pada jilid I; antara tahun 1907 dan
1924 terbit sebagian besar seri-seri yang lain dari ke-10 jili<3
yang membentuk karya tersebut. Pada tahun 1923, dan ternyata
disunting oleh Noreen sendiri, terbit sebuah sintesis dalam
bahasa Jerman: Pengantar pandangan Ilmiah. Sumbangan untuk
metode dan terminologi gramatika, terjemahan bagian-bagian
karya-karya bahasa Swedia yang telah dipilih, dilihat dan
disetujui oleh penyusunnya "V.S." von H.Pollak. Memang
mengherankan bahwa di dalam tulisan tersebut, Noreen yang 30
tahun lebih awal dari semua ahli melihat jelas pentingnya karya
seperti Vermenschlichung der Sprache tulisan J. Baudouin de
Courtenay, Hamburg 1893, Etudes sur les changements phoneti-
ques, Paris 1890 karangan Paul Passy (hal. 144 dan alibi) dan
khususnya karya Marty, satu-satunya yang dapat dibandingkan
dengan Saussure dan Kruszewski, Untersuchungen zur Grundle-
gung der allgemeinen Grammatik und Sprachphilosophie, vol. I.
477

Halle 1908 (hal. 222), yang malah tidak pernah menyebut PLU.
Di bawah ini adalah cuplikan mengenai "bunyi yang ditetapkaiT
secara kualitatif(fonem) yang oleh Lepschy (1966.71) dianggap
sebagai"menakjubkan"dan tritunggal (tripartition) dalam linguis-
tik yang lebih menakjubkan lagi.
[Bunyi yang secara kualitatif ditetapkan dalam oposisi
dengan bunyi lain tidak kami artikan sebagai bunyi yang sama
dengan bunyi itu sendiri dalanl keadaan apa pun. Sebaliknya
yang kami maksud, misalnya bunyi i bahasa Swedia modern,
sejumlah varian yang begitu serupa satu dengan lainnya, baik
secara akustis maupun genetis umumnya, bahwa varian-varian
tersebut tidak menimbulkan perbedaan makna. Atas dasar ini
sekelompok bunyi-bunyi sederhana yang secara minimum berbe-
da dapat dianggap secara masuk akal sebagai sama sekali
homogen, sehingga setiap individu fonis dari kelompok tersebut
dapat menyandang penyebutan yang sama (misalnya "bunyi /")
tanpa masalah, nama yang merupakan sebutan, bagi kategori,
bukan nama diri)].
Langue yang sebagai substansi merupakan basil rekaan,
seperti pakaian, rumah, alat, hams dapat dianalisis dari segala
jurusan dari segi material (artinya dari apa dibuat), dari segi isi
(artinya apa yang "ditampilkan" oleh hasil atau apa yang
"dibicarakan"; tugas yang hams dilakukan; akhir hayatnya), dan
dari segi bentuk (cara tugas tersebut dilaksanakan dengan
bantuan material yang digunakan; struktur arsitektur). Pandang-
an-pandangan ini menentukan pemisahan pokok dalam tata
bahasa...
1. Ilmu bunyi atau fonologi, yang menelaah materi fisik
bahasa mempakari dasar yang paling penting. Bahasa lisan di-
bentuk dari "bunyi-bunyi vokal yang dilafalkan" dan berkat
bunyi-bunyi tersebut isi gagasan dapat dibedakan. Fonologi tidak
boleh, seperti yang acap terjadi, dirancukan dengan ilmu penun-
jang terpenting,"fonetik". Dan fonologi tentu saja boleh dipisah-
kan dari ilmu penunjang fonetik, yaitu "akustik"...
2. Ilmu makna atau semologi, yang membicarakan isi psikis
bahasa: gagasan-gagasan yang dibedakan oleh bunyi-bunyi vokal
dan yang atas dasar bunyi tersebut membentuk "makna" gagasan
tersebut. Semologi tidak boleh hanya dibedakan secara tegas
478

dengan ilmu penunjangnya yang terpenting, "filsafat langage",


tetapi juga dengan bagiah psikologi yang menelaah penampilan
dan isi kesadaran yang lebih tinggi lagi, sekaligus dan terutama
dengan "logika", ilmu kbnsep seperti adanya (dan bukan karena
konsep tersebut menemukan ungkapan bahasa) dan hubungan-
nya (dan bukan hubungan ungkapan bahasa). Sebenarnya
bagaimana pun juga kita tidak dapat mengatakan bahwa satu
konsep tertentu berhubungan dengan setiap ungkapan bahasa
yang mengandung makna, dan hal yang sebaliknya lebih tidak
benar lagi. Sementara itu, konsepsi yang keliru dan perancuan
kedua ilmu yang berasal dari kekeliruan tersebut terjadi karena
kekacauan dalam tata bahasa dan terlebih lagi dalam logika; hal
ini kurang lebih sama dengan fonologi, meskipun dalam ukuran
yang lebih kecil, yang telah menderita pertukaran antara huruf
dan bunyi dan sebagai akibatnya terjadi kerancuan antara fono
logi dan ejaan.
3. Ilmu bentuk atau morfologi, bertugas mendeskripsikan
cara bagaimana mated fonis dibentuk bagi kepentingan isi yang
mengandung arti dalam "bentuk-bentuk bahasa". Morfologi
menduduki tempat pusat dan penting dalam tata bahasa karena
berkat morfologi tata bahasa jelas bedanya dengan ilmu-ilmu
lain. (Catatan penerjemah Perancis: teks Noreen ini tidak
diterjemahkan dan bahasa Swedia, melainkan dari terjemahan
Italia karya T. de Mauro).
Cuplikan dan konsep tersebut di atas tidak dikenal oleh
Saussure, tetapi mungkin dikenal oleh Hjelmslev dan, bagaimana
pun juga, "semologi" Noreen adalah yang terpenting bagi siapa
pun juga yang kini menganalisis bentuk isi semantis (bdk.
mengenai bal ini, Malmberg 1966. 53), Malmberg terpengaruh
pula oleh ilmuwan Swedia yang tidak beruntung, Carl Svedelius,
yang pada tahun 1897 mencoba di dalam disertasinya, menyusun
"aljabar tata bahasa" yang diterapkan dalam bahasa Perancis;
sama seperti E. Wellander, dalam "svenska dagbladet" 29. 3.
1946, Malmberg (1966. 54) mempertanyakan apakah Svedelius
tidak memberi pengaruh pada Saussure, tetapi harus dipertanya-
kan pula dari segi mana Noreen mempengaruhi Svedelius,
pengaruh yang jelas lebih mungkin daripada pengaruh pada
Saussure).
CATATAN TAMBAHAN

1. Perpustakaan Pribadi Saussure

Pada tahun 1921, Jacques dan Raymond de Saussure


menyerahkan kepada perpustakaan umum Jenewa, 465 jilid dan
kumpulan berbagai karangan yang bemomor, yang kecuali
tulisan Regard tahun 1919 (c. 337), merupakan milik pribadi
Saussure dan sebagian memuat catatan tulisan tangannya. Paling
banyak adalah tulisan mengenai linguistik historis kqmparatif
bahasa Indo—Eropa (326 dari 465), sedangkan tulisaii mengenai
linguistik umum hanya 10, dan dapat ditambahkan pula 26 tulisan
mengenai fonetik dan fonologi. Jadi, kita berada di perpustakaan
seorang sejarawan ahli linguistik yarig memperlihatkan dengan
jelas perhatian khusus pemiliknya pada studi bahasa Germania
(132 judul, atau lebih dari 1/4 tulisan yang ada) dan bahasa-
bahasa rumpun Baltik (36 judul). Di samping itu, perhatian yang
lebih umum nampak bagi bahasa Yunani, Latin dan India kuno.
Sekelomppk tersembunyi karya-karya dan beberapa kumpulan
karangan (23) khususnya berisi siklus legenda dari berbagai
masyarakat Indo-Eropa, khususnya Germania; banyak pula
yang berisi telaah metrik (13 judul). Kelompok karya dan
kumpulan karangan (seluruhnya 27) yang membicarakan fonolo
gi historis dan deskriptif, fonetik eksperimental, grafemis, yang
cukup banyak bagi ukuran zaman itu. Dalam kelompok itu
dipisahkan karya-karya Baudouin de Courtenay (c. 2), Studies
from the Yale Psychological Laboratory, Yale 1902 (phpn6tique
exp6rimentale). P. Passy, Etude sur les changements phon^tiques-
(lihat supra 431, 509 dan bdk. Catatan 116), E. Sievers,
480

Grundzuge der Phonetik, Leipzig 1881, J; Winteler, Die Kerenzer


Mundart, dll.(lihat JMpra492).
Di antara karya linguistik utnum yang jarang itu, patut
dicatat F.N. Finck, Die Haupttypen des Sprachbaus, Leipzig 1910
(sebaliknya tidak terdapat Aufbau und Gliederung: lihat supra
489), berbagai esai tulisan Whitney (165), V. Henry, ^itude sur
I'analogie, Lille 1883 (sebaliknya tidak ada tulisan mengenai
antinomi bahasa: supra 495) dan terakhir terjemahan dalam
bahasa Jerman karya dasar tulisan Kruszewski (lihat supra 433):
perlu dicatat bahwa, baik nama Kruszewski maupun judul karya-
nya (Prinzipien, dll.) tidak terdapat dalam katalogus Jenewa;
karena karya tersebut telah diterbitkan dalam salah satu nomor
majalah Internationale Zeitschrift fiir Allgemeine Sprachwissens-
chaft, satu-satunya judul majalah yang tercatat dalam katalogus
(146—150, sesuai dengan nomor-nomor yang memuat karya
ilmuwan besar Polandia ini). Kruszewski (dan ilmuwan Slavia
lainnya) juga disebut dalam sebuah seri dari kumpulan berbagai
buletin (32). Prinzipien, karya H. Paul, tidak ada di antara buku-
buku Saussure {supra 488). Namun, janganlah kita terlalu
mencari-cari apa yang tidak ada dalam perpustakaan Saussure,
cukup diperhatikan bahwa tidak terdapat Essai de Semantique
karangan Breal dan Programme et Mithodes karangan Seche-
haye, dua buah buku yang dikenal dengan baik oleh Saussure
sedemikian rupa sehingga ia hampir menyusun ringkasannya
(Bibliotheque publ., Ms fr. 3951.16 dan 3951. 21).
Rekonstruksi secara lebih lengkap dari perpustakaan priba-
di Saussure bagaimana pun juga memerlukan penelitian di per
pustakaan Bally. Misalnya eksemplar Sprachwissenschaft tulisan
Gabelentz yang menjadi milik Saussure terdapat di antara buku-
buku Bally dan tidak dicatat di antara 465 jilid yang dikatalogus-
kan sebagai milik Saussure. Menurut R. Godel, kasus ini tidak
hanya terjadi pada Saussure, (informasi pribadi yang diperoleh
berkat kebaikan hati yang bersangkutan).

2. Noreen,Saussure dan Bahasa Swedia


Ditemukan, seperti yang telah dlduga semula, di perpusta
kaan Saussure, Altislandische Grammatik tulisan Noreen edisi
481

tahun 1884 dan 1903 (Catatan 43 dan 418: lihat supra 507). Tak
ada tulisan Noreen yang lain terdapat dalam katalogus. Meskipun
demikian, untuk melengkapi apa yang telah kami sebutkan
mengenai penguasaan bahasa Swedia Saussure, perlu diperhati-
kan bahwa di dalam perpustakaan Saussure terdapat berbagai
karya berbahasa Swedia (380, 110) dan juga Praktisches Lehr-
gang der Schwedischen Sprache, Leipzig 1882, susunan E. Funk,
dan Grammaire suidoise susunkn A. Th. Paban. Jadi, nampak-
nya Saussure memang bisa membaca teks berbahasa Swedia.
3. Saussure, Wackernagel, dan Ahli Linguistik Penutur
Bahasa Jerman

Leopold Gautier, yang dekat dengan Saussure pada tahun-tahun


terakhir dan yang telah memberi kami artikel dan bukti berharga
untuk mengenai pikiran dan kehidupan master ini (lihat 56, 380,
405, 416-418, 423), memiliki dua buah suratyang dikirim Saus
sure kepadanya pada tanggal 30 Januari dan 20 Juli 1908, ketika
ia mengikuti kuliah di Universitas Gottingen. Keduanya mem-
perlihatkan perhatian penuh kasih sayang selama Saussure me
ngikuti para ilmuwan muda dan sekaligus perasaan terpencil
yang dideritanya (lihat supra II—III dan 456). Surat kedua, yang
ditulis beberapa saat setelah upacara bulan Juli 1908 {supra 456),
menjawab sebuah ucapan selamat yang telah dikirim kepadanya
dari Gottingen dari para mahasiswa dan ilmuwan, di antaranya
Trautmann dan Wackernagel. Saussure menulis: "Saya sangat
terharu mendengar, di antara penandatangan telegram, ada
nama guru kita bernama Wackernagel, dia akan menerima
sebutan ini (dari saya dicoret) karena saya lebih banyak belajar
darinya melalui tulisannya daripada melalui tulisan guru yang
tidak efektif." Perlu diingat, untuk lebih dapat menilai kata-kata
Saussure bukan hanya penampilan ahli bahasa India dari Bale
yang istimewa ini, tetapi juga kenyataan bahwa tokoh ini
termasuk mereka yang sangat sedikit disebut secara pantas dalam
Mimoire (lihat supra Catatan 5, halaman 498). Di hadapan
kekaguman Saussure terhadapnya, Wackernagel menjawab di
samping di dalam Altindische Grammatik dan ringkasan PLU
pada tahun 1916, muncul pula sebuah artikel di dalam Journal de
Geneve (24 April 1922), yang dikutip oleh L. Gauteier, Le
482

silende de Saussure,Journal de Geneve 22-23 April 1961, hal. 18.


Kasus Wackernagel penting dan tidak berdiri sendiri.
Peninggalan Saussure di negara-negara berbahasa Jerman
(kecuali kekecualian yahg jarang dan mutakhir) sebagian besar
berkaitan.dengan para ilmuwan yang berasal dari Swiss yang
telah menulis dalam bahasa Jerman dan juga mengajar di
universitas'universitas Jerman. Di samping Wackernagel, terda-
pat kasus W. von Wartburg (lihat supra 478) atau Glinz (jnfra
Catalan 219), karyanya yang perlu diingat Die innere Form des
Deutschen. Fine neue deutsche Grammatik, Berne 1952, yang
sejak dalam pendahuluan telah mengungkapkan inspirasinya
yang diperoleh dari Saussure. Harapan kami, paragraf kecil yang
membicarakan peninggalan Saussure di negara-negara ber
bahasa Jerman (supra 478) akan nampak beberapa tahun lagi
sebagai bukti suatu situasi yang telah dilalui oleh linguistik
Austria dan linguistik kedua negara Jerman.

4. Penilaian Croce yang Negatifterhadap Saussure.


PLU dan Saussure, menurut seorang ahli linguistik tua
Italia, Vittore Pisani, adalah sebuah buku "kasar". V. Pisani
menulis beberapa waktu yang lalu di dalam majalah yang di-
pimpinnya Paideia "Profile storico della linguistica modema", P
21, 1966. hal. 297—308, pada hal.' 297— 98:'Tempat terhormat
yang diberikan (oleh Leroy) kepada Saussure ... dapat dirasakan
oleh beberapa orang di antara kita sebagai pandangaii berlebihan
dan menyesatkan ... Dan saya ingin mengingatkan di sini
penilaian, kalau tidak salah, dari Croce (tetapi saya tidak berhasil
menemukan di mana) terhadap PLU sebagai buku kuno dan
kasar." Kami tidak ingin membahas di sini pendapat-pendapat
ilmuwan Milano itu tetapi menelaah satu aspek dalam hubungan
Croce-Saussure.
Croce pasti mengetahui kehadiran Saussure. Memang di
dalam indeks yang kaya dalam "editio ne varietur" delle opere di
B.C. (Napoli 1960) tulisan Fausto Nicolini yang baru saja
meninggal, nama Saussure tidak pernah muncul. Padahal banyak
yang masih ingat bahwa Saussure telah disebut paling sedikit
sekali Oleh filsuf Napoli ini, dan tepatnya di dalam ringkasan
buku karangan G, FlQncxom (Idealismo e realismo nella scienza
483

del linguaggio, Florence 1946)'yang berjudul "Sulla nature e


rufficio della linguistica", terbit dalam Quaderni delta Critica 6,
1946, 33—37, kemudian dalam Letture di poeft*,Bari, 1950, 247—
251. Judul asli tertulis hal.34).

"Makna 'ridenti' dan 'fuggitivi' tidak diambil dari kamus maha


pun karena hanya ^iteitiukan pada sajak dan lagu karya Leopar-
di. Penerimaan untuk amanhya ini tidak berakibat bahwa setiap
penelitian suatu kata, dari "bahasa dalam dirinya sendiri dan
untuk dirinya" (seperti dikatakan de Saussure dan diulang oleh
Neticioni) tidak memperhatikan ungkapan fantastis, niusik dan
puisi yang merupakan satu-satunya kenyataans bahasa, tetapi
sesuatu yang bukan bahasa, dan bahwa itu di luar bahasa dan lain
dari bahasa ...Jadi, apa sebenarnya kata-kata tunggal itu, objek
penelitian demikian? "Parole", tepatnya, bukan, aHu hanya
sebagai cara untuk berkata biasa ... Saya telah mengusulkan dan
kembali mengusulkan untuk menyebutnya 'taml^ :|anda bunyi
(fonis), mimik, gratis atau kombinasi di antara rjfereka, atau
lainnya yang disebutkan satu per satu dan diklasifikasi." ■

Ungkapan-ungkapan yang dipergunakan C^oce dalam


teks di atas jelas memperlihatkan bahwa penyebutan Saussure
berasal dari tangga kedua. Lalu di mana letak' cu^iikan yang
diingat Pisani tanpa ingat tempatnya? Dengan membalik-balik
halaman Indeks dan jilid-jilid karangan Croce, didapat lagi
pengacuan pada Saussure. Di dalam catatan di awal tahun 1932
dilaporkan penilaian yang tajam yang dilontarkan Leo Spitzer,
dalam rangka penerbitan Silloge linguistica..^ Ascoli (Turino
1929), kepada linguistik Italia (dalam Indogerpi^nische Fors-
chungen, 50, 1932; 147-153). Menurut Spitzer, Jinguistik Italia
setelah Ascoli (kecuali teori-teori Croce) tidak' tnenghasilkan
apa pun yang periting dan baru, seperti yang sebaliknya dihasil-
kan di Rusia dengan iTrubetzkoy dan Jakobsohi rdi Terancis"
dengan Saussure dan Meillet, dll. Croce mengUtip kalimat Spitzer
dan di dalamnya nama Saussure sparse, jilid II, Bari,
1960, hal. 395).
Kalau kita melihat kenyataan bahwa PLU terdapat di
perpustakaan Croce, kita tergoda untuk mengesampingkan teks
tulisan Croce yang diingat oleh Pisani, dan menganggapnya
484

sebagai tidak pernah ada. Padahal teks tersebut ada (dan telah
ditemukan kembali oleh ilmuwan Belgia, M. Deneckere, yang
menyiapkan penelaahan yang sungguh-sungguh atas gagasan-
gagasan linguistik Croce), yaitu ikhtisar terjemahan buku W. von
Wartburg edisi pertama, Problimes et mithodes de la linguistique
(Quaderni delta Critica, 8, 1947, hal. 80-82, dicetak kembali
dalam Nuove pagine sparse, 11. Metodologia storigrafica. Osser-
vazioni su libri nuovi, Napoli, 1949).
Berbicara mengenai karya Wartburg, Croce menulis:

Saya mengambil sebagai contoh dan menegaskan hal yang telah


saya tulis mengenai konsep linguistik yang melemahkan dan mem-
bingungkan para ahli linguistik. Telah saya batasi pada halaman-
halaman pendahuluan ... Hal.6: "Bersama Saussure, kami meng-
gunakan pembedaan yang ketata antar langue dan langage di satu
pihak, dan parole di lain pihak. Langue adalah fakta sosial,
sedangkan parole adalah fakta individual. Langue mencakup
semua yang penting, ia membentuk cakupan yang luas: parole-
membatasi diri pada telaah suatu bagian yang lemah dari ke-
seluruhan itu. Parole berfungsi mereproduksi isi kesadaran
sementara dan benar-benar individual. Penekanan itu dilakukan
oleh saya. Dengan demikian, manusia yang berbicara tidak
menciptakan bahasa, tetapi hanya mengalihkan beberapa bagian
dari suatu massa yang terdapat di luar dirinya;jadi diciptakan oleh
siapa? Mungkin oleh masyarakat ? Dan apakah masyarakat itu
bukan terdiri dari individu ? Tetapi penulis (hal.4-5) telah
meletakkan parole di bawah ketergantungan masyarakatnya, se-
perti dalam kalimat ini "Parole, bila kita membuat abstraksi se
mentara dari monog, mensyaratkan setidaknya dua orang"; dan
dengan penyisipan "bila" berarti mengurangi panjang kalimat yang
mengatakan parole, bila dibuat abstraksi dari monolog, itu bukan
monolog tetapi dialog ... Sekarang, penulis yang adalah ahli
linguistik dan tidak memiliki kemampuan dan pengalaman filoso-
fis tentang analisis konsep-konsep, tidak berpikir untuk bertanya
apa itu, di mana, bagaimana lahirnya, oleh siapa bahasa itu
diciptakan yang oleh penuturnya akan diambil beberapa bagian
secara cepat. Bila pertanyaan itu diajukan, bila benar-benar
mengikuti, mungkin perlu untuk sampai pada konsekuensi bahwa
bahasa hanyalah suatu ens rationis, dibentuk dari tata bahasa, dan
bahwa satu-satunya kenyataan adalah individu-individu yang
485

berbicara dan menciptakan kata-kata dan bahasa secara terus-


menerus ...Ens rationis (langue) ini berhubungan dengan suatu
kenyataan bahwa adalah tepat tujuan itu untuk bahasa yang
dibentuknya, pertama-tama didascalico—estetico, dan kemudian
interprestasi sejarah, yaitu variasi makna dari kata dan dari
bentuk ucapan; hal ini mengacu pada sej'arah adat istiadat atau
sejarah peradabari. Tetapi, kesimpulan dihindarkan • oleh ahli
linguistik, dan Saussure, yang telah meletakkan langue sebagai
fakta penting dan terutama, serta langage sebagai angin lain dan
sampingan, bahkan telah menstabilkan, dengan Ipgika yang lugu
atau kasar, pembedaan bahasa secara mutlak, antara sinkronis
dan diakronis, kebersamaan dan keberurutan, deskripsi linguistik
saat ini sejarah masa lampau: telah 40 tahun lebih ketika ahli
linguistik Hermann Paul mengingatkan bahwa telaah bahasa
adalah selalu telaah sejarah(him 7—11-).
Jadi Pisani benar dengan berbicara, meskipun tidak jelas,
tentang penilaian negatif Croce atas Saussure. Meskipun demi-
kian perlu dicatat, untuk jelasnya, bahwa Sasusspre yang dituduh
oleh Croce "logika yang lugu atau kasar" adalah Saussure yang
dikenalnya melalui W. von Wartburg, artinya Saussure dari "edisi
kasar", dan bukan Saussure asli dalam FLU,buku yang nampak-
nya tidak pernah dibaca oleh Croce. Tetapi kalau kita ingat pada
ketidakhadiran efektif hubungan logis antara berbagai "segi" yang
mengurangi kenangan pada Saussure antara tahun 1920 dan
1950-55, dan kalau kita iiigat bahwa Saussure ini yang pasti
diacu Croce melalui Wartbiirg, penilaian negatif dari filsuf Italia
ini nampak kurang dapat dipertanggungjawabkan dibandingkan
dengan pandangan pertama. Yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan adalah penilaian tersebut diulang lagi, dan bahkan
diulang lagi oleh para ahli yang seharusnya dapat dan harus
membaca mengeiiai pemikiran Saussure yang otentik.

5. Saussure dan Chomsky.


Persoalan hubungan antara Saussure dan Chomsky menim-
bulkan beberapa masalah. Chomsky dididik dalam aliran Z. S.
Harris (Lepschy 1970. 126 dst.), artinya di dalam lingkungan
aliran Bloomfield di mana (lihat supra 473) Saussure secara
prinsipal tidak dikenal. Seperti yang akan kita lihat nanti.
486

beberapa unsur yang khas Bloomfield juga masih terdapat dalam


teori-teori Chomsky (K.V.. Teeter juga mencatat unsur-unsur
Bloomfield pada diri Chomsky, "Leonard Bloomfield's Linguis
tics, Language Sciences, 7 Oktober 1969.1-4). Sehingga wajarlah
apabila pada masa tulisan pertamanya ("Semantic considerations
in grammar", dalam Meaning and Language Structure, Washing
ton 1955, hal 141-155, Syntactic struture. Den Haag 1957), ia
tidak memanfaatkan/PLC/. Sebaliknya kita pun tahu bahwa sejak
tulisan-tulisan pertamanya, Chomsky memberontak terhadap
sederet segi pandangan Bloomfield. Ia juga membantah secara
khusus induktivisme, gagasan bahwa bertolak dari atialisis suatu
korpus ujaran yang terbatas orang mungkin dan harus merekon-
struksi suatu langue-, ia menentang penelaahan korpus, yang
tanpa setahu orang-orang Amerika telah dibahas Hjelmslev.
Seperti yang kita semua tahu, Hjelsmlev, untuk menteorikan
sistem tersebut, telah mempergunakan, menata, dan mengam-
bangkan teori-teori Saussure mengenai langue sehingga wajarlah
apabila Chomsky, yang berjalan di jalur yang sama, pada titik
tertentu bertemu dengan Saussure.
Pada awal tahun 60-an Saussure sering disebut secara
positif. Chomsky-Miller 1963. pasal 6. 2 dan Chomsky 1964. 86
menggarisbawahi kesahihan teori fonetik PLU. 63 dst., Choms
ky 1963, pasal. 1.1 (yang jelas merupakan kepercayaan Saussure)
dan Chomsky 1964. 52 dan 60 menyatakan setuju sepenuhnya
dengan pembedaan antara langue dan parole dan dengan konsep-
si langue. Pada dokrin masa itu, Chomsky membatasi keterika-
tannya dengan doktrin Saussure dengan menyatakan tidak ingin
menelaah segi semantik bahasa (1963. pasal 1.1) dan dengan
mengkritik Saussure yang telah mengesampingkan rekursivitas
hukum-hukum sintaksis(Chomsky 1963. pasal 1.1 dan 1964. 59-
60). Tetapi pembatasan ini tidak mengganggu penilian positif
secara menyeluruh: ia membicarakan "ketajaman pandangan "
Saussure di dalam menghayati masalah-masalah pokok, dan ia
meyatakan bahwa Saussure adalah pionir linguistik ilmiah mo
dern (pernyataan yang, bagi seorang ahli linguistik Amerika
sebelum Chomsky dan bahkan sekarang sesudah Chomsky,
merupakan tindak pidana berat).
487

Namun demikian, perlu dicatat bahwa pada pertengahan


tahun 60-an, sikap Chomsky berubah. Pada awal Aspects-
(Chomsky 1965. 4) Saussure masih disebut dengan hormat,
tetapi ia mulai dituduh memiliki"panda ngan yang naif" terhadap
bahasa (sebenarnya yang "naive" adalah pemahaman Chomsky
ketika membaca Saussure: lihat catatan 225 dalam PLU).
Kemudian Saussure akan dikaitkan dengan Whitney (gagasan ini
telah ada dalam Chomsky 1964, 59) dan dituduh memiliki
konsepsi yang "miskin" mengenai bahasa(Chomsky 1968).
Jadi hubungan antara FLU dan tata bahasa transformasi
jauh dari sejalan dan jelas. Banyak yang cenderung menyatakan
adanya beberapa unsur kesesuaian dan kesinambungan. Mi-
salnya, pandangan beberapa pengikut Chomsky mengenai diko-
tomi langue-parole dan competence-perfomance (Ruwet 1967. 18
dan 50 dst., Antinunni 1970. XIII dan XVIII) dan mengenai
pengertian tata bahaSa (Ruwet. 1967. 366); mengikuti jejak
Chomsky 1963 dan 1964, mereka mengulangi bahwa Chomsky
berbeda dari Saussure khususnya karena ahli linguistik Jenewa
ini tidak mengerti bahwa kalimat menjadi bagian bahasa, atau
pun tidak mengerti ciri kreatif langue (Ruwet 1967. 51, 375,
Antinucci 1970. XVIII) dan mengesampingkan pembedaan
antara "rule ehanging creativity" dan "rule governed creativity"
(Ruwet 1967. 51).
Ilmuwan yang lain juga menegaskan adanya aspek kesi
nambungan. Memang, berhadapan dengan beberapa pengikut
Chomsky, sukar bagi kita untuk menahan diri dari godaan untuk
menunjukkan apa-apa yang merupakan hutang Chomsky kepada
para pendahulunya, terutama kepada Saussure. Robert Godel
menulis misalnya ": "Chomsky dan ... para pengikutnya ... tidak
mempertentangkan langue dan parole, melainkan performance-
dan competence. Bedanya, menurut pendapat saya, adalah
terutama pada istilah, karena kritik Chomsky yang dilancarkan
pada Saussure tidak seluruhnya beralasan" Godel menambah-
kan: 'Tidak benar kalau Saussure menganggap sistem bahasa
hanya sebagai klasifikasi, dengan menempatkan segi penciptaan
langage pada parole, ia pun bukannya tidak mengenai kreativitas
teratur (rule-governed creativity) yang tampil dalam penggunaan
langage sehari-hari. Tetapi ia hanya memberi petunjuk ringkas
488

mengenai "mekanisme bahasa"{PLU. 226-231 bdk; 222-223); dan


khusiisnya ia telah mengamati tataran morfologi dan bukan
sintaksis, ketika menelaah kreasi analogis {PLV bag. ke-3.,
Bab iV). Sama halnya, pada tataran itu pula, di samping kreasi
pembaharu (rule-changing creativity), ia menemukan kreasi -
- atau kreasi ulangan - (PLU hal. 290-291: analogi laten).
"(Code! 1970. 35-36).
Dengan cara tersebut, orang juga melihat gambaran
Chomsky yang menjauhkan diri dari Saussure terutama karena ia
transformasionalis. Sebenarnya, pemisahannya lebih bersifat
radikal daripada mendalam. Tentu saja ada kesamaan. Yang
terpenting adalah penolakan bersama terhadap metodologi in-
duktif dan terhadap epistomologi positif, atau penolakan bersa
ma terhadap apa yang oleh Mulder (1968:1), yang mengutip
Bacon, telah dirumuskan sebagai "the way of the ant", jalan orang
yang puas dengan mengumpulkan fakta. Tetapi dalam perspektif
yang sangat umum ini pun, sudah muncul perbedaan-perbedaan.
1) Nampaknya tidak benar kalau Saussure dikatakan,
seperti juga Chomsky, lebih tertarik pada teori daripada pada
metodologi penelitian (Ruwet 1967. 380): dari segi biografis
(karena Saussure bertolak dari kesadaran akan sulitnya peneli
tian linguistik yang konkret) maupun dari segi teori (bdk. catatan
305 dan "kerangka" pemikiran yang diikuti Saussure dalam 427-
429 B. Engler), epistemologi Saussure meramalkan bagi linguis
tik "the way of the bee"(kami mempergunakan perbandingan a
la Bacon yang dipakai oleh Mulder), jalan menuju penyusunan
suatu teori dalam dialektik sinambung dengan mempergunakan
materialitas fakta. Chomsky sebaliknya mengikuti "the way of the
spider", jalan menuju kalkulasi teori inkondisional.
2) Saussure menaruh perhatian yang mendalam pada "segi
etnografis" langue yang sama sekali tidak ada pada Chomsky dan
para pengikutnya. Berkat perhatian ini, Saussure selalu melihat
langue dalam hubungan dengan alat dan sistem komunikasi lain
dan ia mencari cara untuk memberi batas pandang semiologis
pada linguistiknya. Sebaliknya, pandangan semiologis, sama
sekali tidak ada pada Chomsky.
3) Saussure juga sampai pada gagasan perlunya menghu-
bungkan linguistik umum dengan semiologi karena dalam
489

mencari suatu aksiomatisasi dan formalisasi yang efektif bagi


teorinya, ia tidak dapat mengesampingkan definisi €kspUsit dan
teori tanda: tanda bahasa hanya satu kategori khusus di dalam
jagat tanda yang lebih luas, demikian pula langue yang hanya satu
di antara berbagai semiplogis yang mungkin ada. Sia-sia mencari
di halaman-halaman buku Chomsky suatu definisi tanda(Mulder
1968. 33). Dan bahkan apa yang baginya merupakan dasar,
misalnya kategori tunggal tanda bahasa yang ditelaah artinya bagi
kalimat (secara sempit dianggap sebagai kalimat verbal), hams
dikatakan bahwa "pengertipn kalimat adalah, dalam tata bahasa
generatif, digunakan dengan pengertian teoretis yang primitif,
tak terumus" (Ruwet 1967. 366). Tidak adanya perhatian pada
semiologi berkaitan dengan tidak adanya perhatian pada
penyusunan suatu teori semiologi untuk menempatkan teori
linguistik, dan hal ini bertolak dari keyakinan (seperti yang
dicatat oleh Mulder, 1968. 33, yang menyatukan Chomsky
dengan musuh-musuhnya dari aliran Bloonifield)yang mengung-
kapkan dengan jelas apa yang disebut tanda clan bagaimana
mengindentifikasinya.
4) Justm karena masalah kunci dari teori semiologi dan
linguistik aliran Saussure adalah definisi dan identifikasi tanda,
bagi Saussure, "dasar dari segala penelitian" linguistik harus
mengikutsertakan penelaahan m'akna tanda. Sejalan dengan
tidak adanya pandangan yang semiologis dan formal ketat, dan
mungkin, karena tidak adanya perhatian pada segi "etnografi"
dari langue, Chomsky sebaliknya memilih meletakkan pengka-
jian segi semantik dalam langue di luar rangka teori. Bahwa satu-
satunya segi ekstern suatu tanda, suatu deretan yang oleh
pengikut Bloomfield dan Chomsky disebut "bentuk", pada
dasarnya suatu "rangkaiart", yaitu dari segi intrinsik lepas dari
segala perubahan nilai yang diberikan pada rangkaian tersebut
oleh masyarakat penutur, itulah yang bagi Chomsky merupakan
keyakinan,seperti juga bagi pengikut Bloomfield (Mulder).
5)Singkatnya, Chomsky menggoyahkan teori-teori Bloom
field. Teori-teori tersebut dikuasai oleh keyakinan induktivis ;
bertolak dari pengkajian "utterances" dalam bentuk akustis dan
dalam kaitannya dengan rangsangan berwujud, pengikut
Bloomfield mengira akan dapat menginduksi, tanpa melihat ke
makna, dan dengan cara yang sama, menginduksi struktur
490

langue. Sebaliknya Chomsky berpikir bahwa mungkin untuk


mempelajari struktur itu sendiri, dengan mengesampingkan atau
menganggap pengkajian semantis sebagai sekunder, "dangkal".
Hal ihi telah dikritik, baik di dalam maupun di luar alirannya
(bdk. Bibliografi dalam de Mauro, Introduction d. la semantique,
Paris 1969), tetapi tanpa basil yang nyata. Kedua konsepsi itu,
dari Bloomfield dan Chomsky muncul dan, dari berbagai segi,
memang berbeda akibat: bagi pengikut Bloomfield segi fisik
parole adalah seluruhnya, dan, berdasarkan satu-satunya patok-
an pada telinga atau alat perekam dan pada distribusi statistik,
mereka menganggap diri menyusun dan bahkau-"mengatur"
langue-, bagi Chomsky, parole tidak masuk hitungan, aspek
semantis dan fonetis merupakan "pengungkapan" murni dan
sederhana dari kenyataan bahasa, yang seharusnya dapat diketa-
hui melalui jalan analisis begitu kita mengetahui kemampuan
universal dari susunan otak manusia. Sementara itu, orang
menyadari bahwa kedua teori tersebut mengesampingkan hal-hal
yang sama : permainan mencipta dan bebas massa penutur yang
mengobrak-abrik sesukanya hubungan antara parole dan meka-
nisme bahasa sehingga mekanisme dari segala langue harus
dipelajari secara khusus dan pada umumnya sedikit sekali yang
dapat dikatakan mengenai hal-hal yang berlaku bagi segala
mekanisme (mungkin ini yang menyebabkan Saussure mem-
perhatikan hal yang kecil-kecil di dalam membicarakan meka
nisme ini); kesemenaan yang menguasai setiap tataran bahasa
dan menyerahkan, mengangkat, mengubah nilai (jaringan
hubungan formal) dari satuan-satuan fonis dan semantik sliatu
langue. Padahal justru di situlah titik dasar teori linguistik
Saussure: ciri mekanisme bahasa yang berguna untuk mengung-
kapkan dan menafsirkan tanda bahasa, yang secara sosial tidak
selalu terjadi dan pada saat tertentu usang, dan akhirnya kese-
rnenaan, dari tanda-tanda dan mekanisme itu sendiri.
6) Teori semiologi dan linguistik Saussure berusaha men-
jelaskan bagaimana kemampuan tunggal dan universal langage-
(mengidentifikasi ciri-ciri permanen langage bagi Saussure meru
pakan salah satu tugas linguistik, tak lebih dan tak kurang hanya
salah satu tugas) melahirkan suatu kemajemukan langue, dengan
berbagai cara sesuai dengan tataran mana pun dari "mekanisme"
491

pengungkapan dan penafsiran, berubah dalam penggunaan sin-


kronis dan dijelajahi oleh ketegangan-ketegangan yang berten-
tangan dan oleh tendensi-tendensi yang naenggeneralisasi, dalam
transformasi diakronis yang berkelanjutan. Teori Saussure
berhasil menjelaskan hubungan ini, hubungan antara satuan
biologis makhluk manusia dengan kemajemukan historis la-
ngue, berkat teori ciri semena pada setiap bagian dari sistem
bahasa (aspek pusat dari ciri kesemenaan di dalam bangunan
teori Saussure tidak akan pernah digarisbawahi secara pantas).
Keliru apabila dikatakan bahwa teori Chomsky "tidak mampu"
menjelaskan hal tersebut: lebih tepat kalau dikatakan bahwa
teori tersebut tidak mengurusi atau tidak mau mengurusi hal
tersebut. Dunia variasi dan jadian historis suatu langue memben-
tuk, seperti yang ditulis Chomsky dan Halle dalam kata pengan-
tar Cartesian Linguistics, "masih menimbulkan teka-teki feno-
mena perubahan bahasa". Yang pertama-tama menarik perhatian
mereka adalah competence yang bertentangan dengan langue
Saussure, tidak mengakui adanya kemajemukan, merupakan
suatu satuan (dalam hal ini sama dengan langage Saussure) yang
begitu lahir menjadi bagian yang tak terpisahkan' dari otak
manusia.
Berhadapan dengan pertentangan antara kewajiban dan
kesejarahan, antara langage dan langue, yang dicetuskan oleh
Saussure, Chomsky menentang godaan untuk mendalami seng-
karutnya dan bervariasinya dunia sejarah imobilitas (yang di-
praanggap) alam, dan variasi biologis. Tidak adanya perhatian
pada segi-segi etnografis dan semantis, tidak adanya pandangan
semiologis, tidak adanya pendalaman yang memadai mengenai
teori kesemenaan, membuat Chomsky dan para pengikutnya
hanya menempuh satu-satunya jalari yang telah disebut di atas.
Jalan yang sama sekali berbeda dengan jalan yang di atasnya
terdapat penelitian senyap ■ dan problematis yang dilakukan
Saussure.

Tullio de Mauro.
CATATAN

(1) Lihat halaman 389-390 dst,413-415,418-420 dst.


(2) Mengenai Wertheimer, lihat supra 379-380, mengenai
pergantian 415-417.
(3) Mengenai ketiga Pengantar,lihat supra 415-417 dst.
Catatan tersebut terdapat dalam notes yang disunting oleh
R. Godel berdasarkan salinan Sechehaye, di dalam CPS 12,1954,
49-71; tujuh yang pertama berasal dari berkas Phonologie, yang
tidak dapat ditemukan kembali, mungkin berasal dari tahun 1897
(5M 13); yang ke sembilan adalah fragmen dari sebuah buku
yang naskahnya disusun antara tahun 1893 dan 1894 (SM 36,
supra 418-420); catatan 10 sampai 16 berasal dari naskah sebuah
artikel mengenai Whitney yang disusun Saussure selama musim
panas dan musim gugur 1894 {supra, 420-421); catatan 17 adalah
kesimpulan dari kuliah pembukaan perkuliahan di Jenewa, yang
diucapkan pada tahun 1891, kelompok catatan 19-21 (sangat
penting bagi pemunculan gagasan kesemenaan semantik dan ciri
opositif dan bagi sistem realitas semantik) bertanggal sesudah
tahun 1894 {SM 37). Catatan 8, 18, 23 tidak bertanggal. Semua
catatan naskah tulisan tangan yang berhubungan dengan linguisti
umum kita sedang diterbitkan dalam kolom ketiga dari edisi
kritik (disini kita mengacu pada F. Engler).
(5) Mengenai ketekunan Bally dan Sechehaye dalam ku
liah Jenewa, lihat 404-405. Mengenai Memoire, lihat supra 383-
384 dst.
(6) Beberapa dari sumber tulisan tangan yang diperguna-
kan oleh para penyunting tidak terdapat di perpustakaan umum
493

dan Universitas Jenewa, dan untuk beberapa kasus (misalnya


buku catatan P. Regard), catatan tersebut bahkan tidak dapat
ditemukan kembali oleh Engler. Sebaliknya buku catatan yang
tidak diperhatikan oleh penyunting telah disimpan dan dipergu-
nakan oleh Engler, misalnya buku catatan F. Bouchardy dan E.
Constantin. Seluruh bahan tulisan tangan diterbitkan kembali
dalam edisi kritik susunan Engler yang telah kami sebutkan di
atas. Mengenai penyimpanan siimber-sumber lainnya, bdk SM
15, Godel 1959,24, Godel 1960, CLG Engler XI-XII.
(7) Yaitu catatan kuliah etimologi Yunani dan Latin(1911-
1912) yang ditulis oleh L. Briitsch dan dipergunakan dalam
lampiran C,PLU.
(8) A. Riediinger mengikuti kuliah linguistik historis Saus-
sure pada tahun 1907, 1908-9, 1910-11, 1911-12 {supra 344 C.8)
dan kuliah linguistik umum pada tahun 1907 dan 1908-9 supra,
415-417), dan mencatat dengan teliti {SM 96). la juga bergaul
dengan Saussure di luar universitas, dan kami memiliki jejak
yang berharga dari peiiemuan-pertemuan mereka dalam Inter
view de M.F. de S. sur un cours de linguistique ginirale(19 Janua-
ri 1909), yang disimpan dalam perpustakaan Jenewa {SM 17 dan
29-30).
(9) Mengenai sumbangan khusus dari Sechehaye, lihat
infra c. 13 dan bdk.SM 97.
(10) Dengan jarak waktu lima puluh tahun kita diizinkan
untuk menyatakan ketidaksetujuan dengan penilaian para pe
nyunting: sejak tahun 1957, telah diterbitkan secara menyeluruh
dan berurutan catatan-catatan mahasiswa pada kuliah kedua:
Cous de linguistique generate(1908-09). Introduction {d'apr^s des
notes d'etudiqnts), CPS 15, 1957, 5-103. Suntingan Engler yang
berisi seluruh materi di dalam catatan, disusun berurutan sesuai
dengan urutan kuliah yang disusun para penyunting; suatu
jaringa acuan intern dan sebuah indeks akhir memungkinkan kita
untuk membaca secara sinambung sumber-sumber tulisan tangan
dalam urutan aslinya.
(11) Mungkin sekali gagasan untuk memberikan antologi
catatan telah diusulkan oleh P. Regard yang menulis beberapa
494

tahun setelah penerbitan/pLl/; "Mengenai buku itu sendiri dan


masalah penerbitan menyeluruh setelah Saussure meninggal, kita
hanya dapat bergembira atas sukses cemerlang dari usaha coba-
coba Bally dan Sechehaye. Sudah pasti, dan mereka pun merasa-
kannya lebih dari siapa pun, bahwa gambaran yang telah mereka
susun dan ungkapkan dapat dikritik. Seorang murid yang telah
mendengar sendiri bagian terpenting dari ajaran-ajaran F. de
Saussure mengenai lingustik umum dan mengenai berbagai doku-
men yang mendasari penerbitan tersebut, jelas merasa kecewa
karena tidak menemukan kembali daya tarik luar biasa dan
mencekam dari pelajaran-pelajaran yang diberikan master terse
but. Dengan risiko beberapa pengulangan, bukankah penerbitan
catatan-catatan kuliah lebih menjamin kesahihan pemikiran F. de
Sausssure, berikut kekuatan dan keasliannya? Dan variasi-variasi
yang ditakutkan para penyunting akan muncul, bukankah justru
merupakan masalah tersendiri yang menarik?"(Regard 1919,11-
12).
(12) Kuliah ketiga merupakan dasar karya tersebut, tetapi
tidak merupakan dasar organisasinya. Kuliah dimulai dari ana-
lisis bahasa-bahasa, melalui analisis ini mahasiswa harus
menyadari sifat bergantung dan secara historis kebetulan dari
organisasi penanda dan petanda dalam setiap langue sampai ke
analisis aspek-aspek universal, dan sama bagi semua langue ataur
pun sampai ke analisis langue pada umumnya. Seharusnya kemu-
dian orang berpindah dari analisis bahasa pada umumnya ke ana
lisis "pengungkapan" individual/(5upra 417-418, dan PLU. c.65,
C.291, C.305). Karena para penyunting, sebaliknya, berangkat
dari gagasan bahwa "kenyataan yang pertama" harus disajikan
ditempat pertama dalam buku (SM 98) dan berdasarkan penya-
taan lain yang sejenis (c.65), mereka telah merusak urutan
tersebut. Akibatnya, dalam iPLU orang pertama-tama bicara
tentang langue, kemudian tentang beberapa masalah "pengung
kapan" dan terakhir tentang langue(FLUc.269).
Bagaimanapun juga, catatan-catatan kuliah ketiga adalah
sumber utama dari pendahuluan (dikurangi Bab V dan Frinsip-
prinsip fonologi), bagian pertama, kedua dan keempat dan dari
kedua bab terakhir dari bagian kelima. Kuliah pertama sebalik
nya menjadi dasar bagian ketiga (linguistik diakronik) dan dari
495

Bab III dari bagian kelima (rekonstruksi). Kuliah kedua telah


dipergunakan sebagai sumber pelengkap, tetapi juga sebagai
dasar beberapa bab yang meskipun di dalam "pembacaan" tradisi-
onal PLU, tetap memiliki kepentingan kunci bagi rekonstruksi
yang lebih otentik dari pemikiran Saussure: Pendahuluan,Bab V
(unsur-unsur intern dan ekstern langue; Saussure menggarisba-
wahi pentingnya linguistik ekstern dan bukannya, seperti yang
dikira "jiplakan Saussure", ketahpagunaan atau ketaksahan unsur
tersebut); bagian kedua, Bab III (identitas, realitas, nilai: ini
adalah incipit yang sebenarnya dari ceramah Saussure), Bab VI
(mekanisme langue), Bab VII (tata bahasa dan bagian bawahan-
nya); bagian ketiga, Bab VIII (satuan-satuan identitas dan
realitas diakronis); bagian kelima, Bab I (kedua perspektif
linguistik diakronik), Bab II {langue tertu^ dan prototipe).
(13) Besar kemungkinan tidak bisa dihindari, di dalam
pekerjaan yang peka ini, bahwa para penyunting melakukan ber-
bagai jenis kesalahan yang kini mulai disadari berkat tafsir yang
teliti oleh R. Godel dan R.Engler. Kasus yang benar-benar patut
dihina sangat jarang {PLU. g.23, c.277). Yang paling sering
terjadi, para penyunting telah menyusun teks sedemikian rupa
sehingga mereka kehilangan nuansa-nuansa yang berharga yang
ditemukan kembali dalam catatan {PLU c.26, c.32, c.64, c.82,
C.129, C.148, C.221)/ atau juga telah menyembunyikan kebim-
bangan konseptual {PLU. c.53, c.128, c.129, c.212, atau
terminologis {PLU c. 38, c. 87, c. 128, c. 130, c. 140, c. 162).
Sekali diputuskan untuk mengisi bagian-bagian yang kadang-
kadang terpencar, tidak dapat dihindari bahwa dalam teks ter-
dapat penyisipan dan tambahan karena tidak dapat dihindari
untuk membuat eksplisit apa-apa yang dalam catatan implisit
sifatnya, untuk dapat menyusun teks yang benar dari segi tata
bahasa. Di sana sini, nampak bahwa para penyunting kurang
puas, dan pemikiran Saussure dipaksakan {PLU c. 49, c.70,
C.116, C.139, C.147, C.161, c.l85, c.192, c.l93, c.l99, c.250).
Konsekuensi dari pekerjaan menempel dan mengisi ini kadang-
kadang lebih parah dari pemahaman pemikiran Saussure yang
otentik {PLU, c.51, c.lll, c.l32, c.l36, c.l45, c.l83). Didapati
pula di berbagai butir pengolahan kembali yang menjurus kepa-
da kesemenaan {PLU c.63, c.65, c. 74, c. 128 dan 129). Tak
496

kurang pula terjadi pemalsuan yang sebenarnya, yang kadang-


kadang sangat gawat, dengan menaruh istilah-istilah yang telah
dihindari oleh Saussure dengan alasan tertentu (JPLU c.lll,
c.156;c.166, C.182, c.192, c.204, c.206, c.228, c.235, c.240, c.256,
C.257, C.259, c.270, c.301). Kalimat terakhir dalam PLU. yang
terkenal itu (hal 373) merupakan kasus"pengkultusan" yang tidak
sesuai dengan maksud Saussure. Sangat sulit untuk melihat siapa
di antara penyunting yang bertanggung jawab atas perubahan-
perubahan tersebut (lihat beberapa contoh catatan 46 dan 119).
(14) Istilah Semantik bagi penyunting mengacu, seperti
yang mereka jelaskan secara lebih balk dalam catatan mereka
dalam PLC/ pada disiplin "yang mengkaji perubahan-perubahian
makna"; mereka menambahkan dalam catatan yang sama bahwa
Sausurre telah memberikan pada hal 156-157, prinsip dasar bagi
semantik yang bermakna seperti itu, artinya semantik diakronis,
halaman-halaman yang memang sangat penting bagi lahirnya dia
kronis struktural. Pengertian para penyunting merupakan satu-
satunya makna semantik pada zaman itu (Malmberg, 1966,186).
Meskipun demikian, kalau kita mengartikan semantik bukan
hanya telaah diakronis tetapi juga telaah sinkronis dan telaah
umum petanda, dengan sendirinya Saussure membangun,dengan
pengertian kesemenaan tanda dan pembedaan yang berkaitan
dengannya, antara penanda dan petanda, prinsip-prinsip dasar
sektor linguistik ini dengan sangat jelas, yang selama berpuluh
tahun hanya Noreen yang mengerti (supra dan Malmberg, 1966,
185,194).
(15) Lihat PL£/,juga catatan 305.
(16) Baru sekarang inilah maksud mulia para penyunting
mendapat sambutan, dan kritik dapat membedakan antara "mas
ter" dan "penafsir-penafsirnya". Masalah kesahihan penyusun-
an jPLU yang diajukan dengan sangat terus terang dan halus oleh
penyunting, dipertanyakan kembali (supra 408-409, 417-418 dan
catatan 11) ternyata tetap terkecuali. Pada tahun 1931, pada ke-
sempatan kongres internasional linguistik di Jenewa, salah satu
penyuntinglah yang mengingatkan lagi para ilmuwan akan ada-
nya "kesalahan penulisan" menurut pendapatnya (lihat c.ll5)
497

di dalam sebuah teks PLU yang mengenai fonem. Tetapi


peringatan tersebut sekali lagi tidak mendapat sambutan, dan
para ilmuwan terns membicarakan \PLU seolah-olah penuHsan
PLU sudah sahih dan padu (Godel 1961.295). Akibatnya
terbentuklah "semacani jiplakan ideal.;.dari Saiissureisme, yang
diserap oleh pemikiran Eropa (paling tidak mengenai butir-butir
pokok tertentu dalam PLU), tanpa penghayatan' masalah
rekonstruksi (atau kemungkinan rekonstruksi) yang tepat dari
pendirian-pendirian Saussure" (Lepschy, 1962.69-70); seperti
yang kami akan tegaskan lebih lanjut, PLt/" tidak dihayati oleh
berbagai aliran linguistik Eropa secara menyeluruh ... lebih tepat
kalau dikatakan bahwa butir-butir tertentu dalam PLU lah yang
mendapat sukses, dan butir-butir tersebut sering dipisahkan dari
konteks pemikiran Saussure ..." (Lepschy, 1961. 200-201).
"Butir-butir" tersebut sampai sekarang masih terdapat di dalam
buku-buku pegangan tertentu, dalam keadaan terpisah-pisah dan
dilepaskan dari induknya (lihat, misalnya Leroy 1965, 77-94,
Lepschy 1966,42-53; Malmberg 1966,55-70). "
Gara memamerkan pemikiran Saussure yang seperti ini
telah lewat waktunya. Sejak tahun 1939, dengan dimulainya
kontroversi mengenai kesemenaan (lihat c.l37) orang mulai
sadar bahwa PLU telah membentuk suatu pemikiran yang
bentuknya mengambang. Hal ini'mungkin karena alasan-alasan
konseptual yang mendalam atau yang lebih pasti karena pemikir
an tersebut dikemukakan melalui segala kekurangan dan keragu-
raguan yang terdapat dalam pelajaran yang diberikan secara
lisan. Pada tahun 1950, dalam sebuah artikel yang lama terselip di
antara hal^man-halaman majalah yang kurang dikenal (Engler
1964, 32, Godel 1966, 62), M. Lucidi dengan sengaja menggaris-
bawahi sifat kabur teks PLU dan menunjukkan secara tepat
sebab-sebabnya (Lucidi, 1950. 185 dst). Dua tahun kemudian, di
dalam rangka mencari makna riil (yang disangka menjauh dari
makna sebenarnya) dari perbedaan dan oposisi, Frei untuk per-
tama kalinya mencoba untuk menelaah sumber-sumber tulisan
tangan (Frei, 1952. SM. 196 dst, Godel 1961, 295). Barulah
orang menyadari betapa besarnya kerja menambal sulam dan
mengolah yang dilakukan para penyunting, dan yang juga sudah
diumumkan dengan jelas.
yA

KEMENTERIAN PEMD'DiKAN fjASlOHAl


| 498

Pada tahun 1954, Malmberg tidak hanya mempermasa-


lahkan masalah ini, masalah selisih paham dan kebimbangan
yang dapat dikatakan sinkronis, inheren dalam pemikiran Saus-
sure sekitar tahun 1910 dan mungkin disembunyikan oleh para
penyunting. la juga mernpermasalahkan masalah stratifikasi
diakronis teks, yang tersamar oleh arsitektur penyatu yang dipilih
para penyunting di dalam menyusun materi PLU Dalam
nomor yang sama majalah CPS. dimana muncul artikel Malm
berg,"bentuk pertama yang kuno" diterbitkan lagi dalam salinan
yang dibuat oleh Seehehaye (lihat PLU c.4). Dampaknya
segera terasa: dua atau tiga halaman terakhir artikel Martinet
mengenai artikulasi ganda dan kesemenaan nampaknya seperti
hasil membaca Notes 19-21 (bdk. c.l37 dan Martinet 1957).
Notes disajikan oleh R. Godel yang ditugasi pekerjaan rumit
menjelajahi sumber tulisan tangan: (sources manuscrites): dalam
waktu tiga tahun lahirlah karya yang kami acu di sini dengan
singkatan SM Saussure muncul kembali dalam bentuk baru
(Heinemann 1959) dan bahkan beberapa segi memang benar-
benar baru. Selangkah lebih jauh dari hal-hal baru di mana
komentar mengenai[PLU berhenti, terdapat pembaharuan yang
mendalam dari jenis hubungan kami dengan Saussure. Dihadap-
kan pada masalah formasi teks dan, terlebih lagi, formasi
pemikiran Saussure itu sendiri, arsitektur penyatu yang dipaksa-
kan oleh para penyunting hancur dan runtuh: dari sini terpancar
secara problematis, otentik, pokok pemikiran Saussure yang
terbebas dari apa yang oleh para penyunting, dengan maksud
yang sangat baik, diberi kesan dogmatis dan cuma-cuma (lihat
C.65). Pada pokoknya pemikiran Saussure muncul seperti apa
adanya: bukan sebagai sekelompok dogma, melainkan penjela-
jahan yang sabar di dalam kaitan-kaitan (yang sebenarnya tidak
dikenal oleh "jiplakan ideal") di antara berbagai "segi pandang",
seperti yang dikatakan oleh Godel,1961. 295.
Kata-kata Godel tersebut patut disejajarkan dengan kata-
kata pembukaan Wittgenstein dalam Philosophiche Unter-
suchungen :"Setelah berkali-kali gagal mencoba untuk memadat-
kan hasil-hasil penelitian saya dalam bentuk yang menyeluruh,
saya mengerti bahwa saya tidak akan berhasil. Bahwa hal-hal
499

terbaik yang saya tulis mungkin akan tetap hanya berupa catatan-
catatan filosofis; bahwa pikiran saya lumpuh bagitu saya menco-
ba untuk memaksakan padanya.suatu arah pasti yang berlawanan
dengan arusnya yang wajar. Hal ini mungkin sekali bergantung
dari jenis pengkajian itu sendiri. Pengkajian memang mengharus-
kan kita untuk menjelajahi bidang pemikiran yang luas dari
segala jurusan. Catatan-catatan filosofis dalam buku ini dapat
dikatakan merupakan penghayatan pemandangan-pemandangan
yang lahir dalam perjalanan yang panjang dan berputar-putar ini.
Butir-butir yang sama atau yang hampir sama, tidak henti-
hentinya didekati melalui jalan yang datang dari berbagai
jurusan, yang selalu memberikan gambaran baru" (Investigation
philosophiques, terjemahan Perancis oleh P. Klossowski, Paris
1961, hal.111).
Kalau orang tahu bahwa "bidang yang luas" yang dijelajahi
Wittgenstein adalah sama dehgan bidang yang dijelajahi oleh
Saussure dan bahwa banyak jalan setapak yang saling bertemu,
bahkan bertumpang tindih (Verburg 1961, De Mauro 1965. 156,
168, 173, 184, 202 dan PLU. c.90, c.129, c.l57, c.186, c.223),
orang mengerti bahwa kesamaan kesulitan yang dijumpai pada
saat orang bergerak di ruang budaya yang kurang dikenal oleh
tradisi intelektual dan ilmiah Kant di awal abad XX, membawa
orang Wina dan orang Jenewa itu kepada langkah yang sama dan
"metode" yang sama. Jadi, wajar sekali kalau kata-kata Wittgen
stein nampak bergema dalam tulisan-tulisan Saussure enam
puluh tahun lebih awal, di dalam catatan yang tetap tidak
diterbitkan, pada saat ia menyusun "tanpa semangat" buku
linguistik umum ini yang pernah dibicarakannya dengan Meiilet
pada tahun 1894.
Jadi memang ada kekurangan titik tolak yang tidak dapat
dihindari, dan apabila seorang pembaca bersedia mengikuti jalan
pikiran kami dari awal sampai akhir jilid ini, kami yakin bahwa ia
akan mengakui bahwa memang tidak mungkin mengikuti urutan
yangketat.
Kami sengaja mengulangi sampai tiga atau empat kali
gagasan yang sama kepada pembaca karena memang nyatanya
500

tidak ada titik tolak satu pun yang lebih tepat untuk mendasari
demonstrasi tersebut'YA^ofei, 56-57).
Namun, di antara semua masalah yang inheren dalam
demoiistrasi tersebut, bahkan selania tahun-tahun itu dan lebih
lagi selama tahun-tahun berikutnya, Saussure mempersoalkan
terutama masalah di mana mulai dan bagaimana menata materi
sedemikian rupa sehingga ia sama sekali menganggap pernyataan
nya yang mana pun tidak ada artinya, dan memberi perhatian
hanya pada urutan penyajian pernyataan tersebut dan pembenar-
annya (supra, 415—417, 329-330). Pada masa kuliah kedua dan
ketiga, ia kemungkinan besar mulai melihat suatu penyelesaian
yang sahih, dan ia menunjukannya sebagaimana adanya pada
murid-muridnya (PLU c.305, c.216). Tetapi, penyelesaian yang
berkaitan dengan penyusunan materinya, baru baginya dan
hanya merupakan suatu hipotesis karyanya, suatu karya yang ti
dak sempat dilaksanakannya karena kematian telah datang. Me-
mang masih pada masa ketiga kuliah linguistik umum,"pikiran-
nya berkembang ke segala arah tanpa saling berkontradiksi", de-
mikianlah tulisan para penyunting sekali lagi dengan penangkap-
an yang tepat(PLU,57-58). Kini, sekali SM dan tulisan Engler
memecahkan masalah kulit teks secara tuntas, sekali "butir-butir"
dari jiplakan ideal" dikembalikan ke konteks asalnya, disitulah
kami menemukan kembali, melalui penghayatan yang memper-
kaya penafsiran dan ajakan untuk melakukan penelitian-peneliti-
an baru. Didalam catatan tulisan tangan, catatan pertemuan-
pertemuan, catatan murid-murid yang dapat kami nilai sesuai
dengan suara master tersebut (CLG Engler XI paragraf ke-2),
terakhir dan terutama di dalam sekian banyak halaman buku
PLU di mana para penyunting telah berhasil memadatkan secara
efektif gagasan Saussure berdasarkan sumber-sumber tulisan
tangan, kami menemukan kembali mobilitas gagasan tersebut,
kemampuannya merangsang keinginan untuk melakukan peneli-
tian baru yang berkembang secara subur ke berbagai arah: itulah
ciri-ciri gagasan tersebut yang membuat kagum para murid dan
membimbing mereka.
(17) Edisi kedua(PLU, terbit pada tahun 1922. Mengenai
koreksi yang paling penting, lihat PLU c.89, c.94, c.l09, c.l93,
C.286. Lihat c. 272 mengenai kekeliruan cetak yang patut
501

disesalkan dalam edisi kedua tahun 1922. Di sana sini masih


terdapat ketidaksempurnaan dan kegelapan bentuk, terutama di
dalam penggunaan kata ganti orang (PL(/147—148, paragraf ke-
3, ia (maskulin) mengacu pada gagasan (feminim); 176, paragraf
terakhir, mereka(maskulin) mengacu pada hukum-hukum (femi-
nin, jamak)(terjemahan Alonso, hal 163); 338 paragraf terakhir,
ia (feminin, tunggal) mengacu pada perubahan-perubahan (mas
kulin,jamak dll). bdk.juga SM 120-121.
(18) Edisi ketiga |pL(/, terbit pada tahun 1931 (dampak
kongres Den Haag?); edisi keempat sebaliknya harus menunggu
delapan belas tahun untuk muncul (1949). Selanjutnya interval
makin pendek: pada tahun 1955 terbit edisi kelima yang dicetak
ulang pada tahun 1959, 1962, 1965, 1968, dst. Mengenai
terjemahan [PLLJ dan pencetakan ulangnya, lihat supra 433—434.
Pada tahun 1967, penerbit Harrassowitz di Wiesbaden mulai
menerbitkan edition critique yang penting sekali, tulisan Rudolf
Engler(menurut rencana akan diterbitkan dalam empat nomor),
(19). Pengertian-pengerian mengenai sejarah linguistik
yang skematis tetapi tidak digambarkan semestinya oleh para
penyunting, diberikan oleh Saussure di dalam beberapa catatan
tulisan tangan (lihat, misalnya infra c.32) dan khususnya di
dalam pelajaran-pelajaran perkuliahan ir(5Af 75: linguistik dari
1816 sampai 1870 dan junggrammatiche Richtung,) yang dipergu-
nakan pula oleh para penyunting di dalam PLU 351 dst., dan di
dalam pelajaran pertama perkuliahan ketiga'(5Af 77). Anggapan
negatif yang dikemukakan di sini atas tata bahasa normatif
tradisional harus diintegrasikan pada penilaian positif dari segi
pandangannya yang pada pokoknya sinkronik, yang dilakukan
dalam pelajaran-pelajaran perkuliahan ketiga mengenai linguis
tik statis dan dipergunakan oleh para penyunting di dalam
PLf7,165-166.
(20) Mengenai terjemahan istilah kunci langue ini di dalam
PLf/,lihat c. 68.
(21)Bahkan dalam teks ini objek digunakan dalam penger-
tian teknis tradisi skolastik, atau sama dengan kata Yunani teAo^
dan berlawanan dengan ma^m: lihat PLUc.40,c.305.
502

(22) Lihat supra c. 19 dan PLU Mengeriai kritik Saussure


yang lain terhadap kategori gramatikal tradisional yang berasal
dari Aristoteles, lihat PLt/catatan-catatan.
(•23) Teks yang disajikan oleh para penyunting tidak dapat
dipahami kalau kita tabu bahwa F.A. Wolf pada usia 18 tahun,
belum menulis apa pun yang penting pada tahun 1777. Sebenar-
nya di dalam catatan-catatan kuliah terbaca "F.A. Wolf, pada
tahun 1777, ingin diangkat sebagai filolog" (9 B Engler) dan,
lebih jelas iagi, di dalam catatan Constantin: "pada tahun 1777,
sebagai mahasiswa, F. Wolf ingin diangkat sebagai filolog"(9 B.
Engler). Melalui catatan-catatan tersebut jelas bahwa Saussure
ingin mengacu pada masa itu, yang mungkin telah dibacanya di
dalam karya Sandys yang baru saja terbit, yang menjelaskan
pendaftaran Wolf di Universitas Gottingen: ia meminta untuk
didaftar sebagai mahasiswa dalam studi filologi (studiosus philo-
logiae); rektor menolak dan mengusulkan padanya penyebutan
yang sudah lazim studiosus theologiae; tetapi Wolf yang memu-
tuskan hubungan dengan tradisi sekuler bertahan dengan tuntut-
annya dan berhasil, lama kemudian, untuk memasukkan istilah
studiosus philologiae dalam daftar resmi universitas (J.E.San
dys, A History of Classical Scholarship, ed. ke-1. New York 1908,
dicetak ulang pada tahun 1958, jilid III, hal.51; bdk. juga Meillet
1937.463).
(24) Filologi dapat saja, dengan cara yang sama dengan
caranya mengkaji "sejarah kesusasteraan, adat istiadat, pranata",
mengkaji langue untuk kepentingan teks. Namun, langue terse
but bukan "objek" (dalam pengertian teknis: PLU c.40)
studinya yang tetap berupa kritik atas teks-teks. Pembedaan
antara linguistik dan filologi adalah salah satu tema kesukaan
Saussure, sampai ke obrolan pribadi: "la sering menasehati kami,
kami kaum awam lainnya, untuk jangan sekali-kali merancukan
filologi yang tua itu dengan linguistik, ilmu yang baru yang
memiliki hukum-hukum ..."(De Crue, dalam FdS 18). Kalau
kesaksian De Crue ini benar, berarti bahwa bagi Saussure
pembedaan antara pendekatan filologis dan pendekatan linguis
tik pada peristiwa-peristiwa bahasa terletak dalam ciri sistematik
pendekatan kedua yang membawa fakta-fakta kepada "hukum-
hukum", pada sistem (lihat PLU c.40 dan Bab V). Pendek
503

kata, penekanannya pada tema tersebut keniungkinan besar


merupakan Wxahzih (residu) oposisi antara linguistik dan filologi,
yang berlangsung selama awal abad XIX dan menjadi tenteram,
paling tidak sebiagian, dengan munculnya karya G. Curtius (G.
Thomsen, Historia de lit Linguistica, terjemahan dari bahasa
Denmark. Madrid 1945, hal. 92-93, Meillet 1937, 462-63,*L.
Rocher,"Les phiioloques classigues et les ddbuts de la gfammaire
comparee" Revue de I'Universiti de Bruxelles 10, 1958, 251-86,
Leroy 1965, 31-32; mengenai Curtius khususnya lihat PLU
C.31). Sementara itu, pembedaan antara linguistik dan filologi
tetap problematis: di satu pihak diperlihatkan bahwa penerimaan
hipotesis strukturalis memaksa analisis linguistik untuk mencari
ketetapan filologis yang paling besar (lihat supra 412-413); di
lain pihak orang menopang bahwa filologi secara intrinsik adalah
suatu "terjemahan" (Mounin 1963. 243—45). Ditemukan pula
integrasi yang erat antara linguistik dan filologi di dalam kritik
semantik Pagliaro (Saggi di critica iemanft'ca ed. ke-1. Messine-
Florence 1953, ivi ke-2 1961, hal VII dst., A^mov/ saggi di critica
serhantica, ibi 1956, hal. 236-58). Lihat juga FLUc.81.
(25) Friedrich Wilhelm Ritschl (1806-76) mengabdikan diri
pada pengkajian Plato dan sangat tertarik pada linguistik kelatin-
an arkaik sehingga ia merupakan satu dari yang pertama kali
menjelajahinya.
(26) Fr. Bopp (1791-1867), pada akhir kunjungannya di
Paris, di dalam ia mempelajari bahasa Sanskerta, Arab, dan
Persia, menerbitkan karya di dalam teks:Uber das Conjugations-
system der Sanskritsprache in Vergleichung mitjenem der griechis-
chen, iateinischen, persischen und germanischen Sprache, Frank
furt SM 18li6. Karya Bopp yang utama adalah Vergleichende
Grammatik des Sanskrit, Send, Armenischen, Griechischen,
Lateinischen, Altslavischen und Deutschen,ed. ke-1, Berlin 1833-
52, ed. ke-2 1857-63, ed. ke-3 1868-70. Mengenai masalah posisi
Bopp dalam sejarah linguistik, bdk. De Mauro, 1965, 60-62, 73
dst. (tetapi contra T. Bolelli, Saggi e studi linguistici 6, 1966,
207-08), dan Mounin 1967, 152-59, 168-75. Mengenai butir
khusus ini dan mengenai segala transformasi di dalam linguistik,
Saussure memiliki pendapat-pendapat yang lebih jelas dan lebih
504

bernuansa daripada apa yang tertera dalam teks, seperti yang


ditunjukkan oleh sumber tulisan tangan yang dapat dilihat dalam
B 18-25 Engler.
"Orang mengganggap linguistik lahir (berdirinya) sejak
karya F. Bopp yang pertama, Du systeme de la conjugaison
sanscrite compare avec celui des langues latine, grecque, persane et
germanique, 1816. Meskipun berasal dari Mayence, Jerman, di
Parislah terutama selama empat tahun (1808-1812),(menyiapkan
karya pertamanya ini), Bopp berkenalan dengan bahasa-bahasa
tersebut dan dengan Schlegel, Humboldt. Yang merupakan ha!
baru dalam karya tersebut adalah bahwa (tepatnya) bukan untuk
pertama (kalinya) bahasa Sanskerta dianggap dan diterapkan
sebagai saudara dekat bahasa Yunani dan Latin: dan (besar
kemungkinan berkat perkenalannya dengan bahasa Sanskertalah
Bopp menemukan rumpun bahasa Indo-Eropa; tetapi) bukan
Bopp yang menemukannya uhtuk pertama kali (analogi bahasa
Sanskerta dengan bahasa-bahasa Indo-Eropa lainnya). Ahli-ahli
bahasa India yang pertama pasti sudah melihat hubungan
rumpun ini. Perlu disebutkan di sini, meskipun hanya sebagai
tanda pengakuan,seorang ahli Perancis(di Pondichery)P. Coeur-
doux (1967), yang telah menjawab pertanyaan Abbe Barthelemy
(penganut hellenisme) dengan sebuah karya tulis yang disajikan
di Academie des Inscriptions: D'ou Vient que dans la langue
samscroutane (il y ait un grand nombre de mots communs avec le
grec et surtout avec le latin). W. Jones,, (ahli bahasa Timur
berkebangsaan Inggris yang sangat terkenal) 1786, yang selama
tinggal di India (9 tahuh: f 1794), dikenal sebagai salah seorang
dari filolog pertama yang menelaah bahasa Sanskerta, dan
menyajikan karya tulis di Academie de Calcutta mengenai
baihasa Sanskerta (dalam tulisan itu ia berkata:"Bahasa Sansker
ta, betapapun antiknya, memiliki struktur yang lebih sempurna
daripada bahasa Yunani dan Latin", dan ia menyatakan kerum-
punan bahasa-bahasa tersebut). Ia mengelompokkan dalam
beberapa baris keturunan terpenting dalam rumpun Indo-Eropa
yang berada di sekitar bahasa Sanskerta dan ia menggambarkan
hubungan saudara (bukan ayah!) di dalam rumpun tersebut. Ia
sudah bicara tentang bahasa Gotik dan Keltik (yang belum
505

diketahui orang(hampir)sama sekali) ... Tetapi beberapa (coba-


coba yang terkucil ini, dan beberapa) kilat (yang muncul secara
tepat) tidak berarti bahwa pada tahun 1816 orang sudah berhasil
(secara umum untuk memahami nilai bahasa Sanskerta). (Yang
membuktikan keadaan ini adalah) Mithridates order allgemeine
Sprachenkunde (karya) Christophe Adelung, deskripsi segala
bahasa di dunia yang diakui prang tanpa kritik (atau tendensi
ilmiah); bahasa Sanskerta tert'era (hanya) di antara bahasa-
bahasa Asia yang tidak monosilabik, namun hal ini tidak
menghalanginya untuk menulis 26 halaman kata-kata Sanskerta
yang dibandingkan dengan kata-kata Yunani, Latin dan Jerman;
(ia mengakui adanya analogi), tetapi tak sedetikpun terpikir
olehnya untuk (mengubah) kerangka katanya, untuk memin-
dahkan bahasa yang ini atau yang itu dan mengklasifikasikan
mereka dalam satu rumpun yang sama. Jilid pertama karya
Adelung bertanggal 1806: (ini adalah) tanggal (yang) menarik,
sebelum 1816! Seorang penjmsun katalogus langue seperti Ade
lung, meskipun mendapat penjelasan dari kata-kata Jones, tidak
sanggup menangkap konsekuensi (mendalam) yang berasal dari
kesamaan tersebut. Baginya, hal seperti ini cukup mengherankan
dan memalukan. "Nampaknya, kesamaan itu tertangkap, kata
Breal, dan (para filologi) hanya bisa menyerahkan urusannya
(kepada etnolog dan sejarawan)". Orisinalitas Bopp besar (dan
di sinilah letak keorisinalannya: yaitu telah memperlihatkan
bahwa kesemenaan antar langue bukan suatu fakta yang hanya
menjadi urusan sejarawan dan etnolog, melainkan suatu fakta
yang patut dikaji dan dianalisis secara mandiri). Jasanya bukan
karena telah menemukan hubungan rumpun antara bahasa
Sanskerta dengan bahasa-bahasa Eropa lainnya, (atau bahwa
bahasa Sanskerta menjadi bagian suatu kelornpok yang lebih
luas), melainkan karena melihat bahwa ada materi pengkajian di
dalam hubungan-hubungan yang tepat antara satu bahasa dengan
bahasa lain yang serumpun. Gejala keanekaragaman languesdi
dalam kerumpunan mereka nampak sebagai suatu masalah yang
patut dikaji untuk kepentingan gejala itu sendiri. Menjelaskan
suatu bahasa dengan bahasa lain, (menjelaskan kalau mungkin
suatu bentuk dengan bentuk lain) inilah yang belum pernah
506

dilakukan orang; (bahwa ada sesuatu) yang perlu dijelaskan


dalam suatu langue, semua orang tahu: bentuk-bentuk adalah
sesuatu(yang tersedia, yang harus ditelaah)."
(27) Mengenai William Jones (1746-1794) lihat catatan
sebelumnya dan bdk. Waterman, 1963.15-16,21.
(28)Perlu dicatat bahwa Saussure menggunakan di sini dan
di tempat lain lambang g dengan tanda diakritik untuk mentrans-
kripsi lambang devanagari palatal bersuara sedangkan sejak
kongres orientalis ke TX yang diselenggarakan tepatnya di
Jenewa,orang menggunakan lambang j.
Herman 1931 mengritik Saussure yang telah memberi
contoh bentuk janassu karena bentuk ini, menurutnya, "satu-
satunya bentuk lokatif yang baru dari pemberitahuan yang tanpa
arti" Sebenarnya janassu dan janahssu sama-sama ada dalam
bahasa Sanskerta dan janassu, bentuk yang sesudah veda,
merupakan bentuk tertua dari segi kronologi relatif (bdk. A.
Thumb, R. Hauschild, Handbuch des Sanskrit, Heidelberg 1958,
1,1 paragraf 333 dan 150). Terakhir,janassu adalah bentuk yang
paling jelas untuk tujuan yang ingin dicapai Saussure di sini.
• (29)J. Grimm (1795-1863) adalah penulis karya monumen
tal Deutsche Grammatik (di mana Deutsche bukan berarti"Jer-
man" melainkan lebih tepat "germanik"), jilid I, ed ke-I,
Gdttingen 1819,ed. ke-21822,jilid II-IV,ibi 1822-36.
August Friedrich Pott (1802-1887), yang terkenal kare
na Etymologische Forschungen auf dem Gebiete der indogerma-
nische Sprachen, ed. ke-1, 2 jilid, Lemgo 1833-36, mempunyai
andil yang penting di dalam pengesampingan pengkajian seman-
tik untuk kepentingan pengkajian segi-segi morfofonologis baha-
sa-bahasa(Meillet 1937,462).
Adalbert Kuhn mendirikan "KZ" pada tahun 1852. artinya
"Zeitschritf fur vergleichende Sprachforschung" (Meillet 1937,
463-64); lihat P.L.C/, hal/362.
Theodor Benfey(1809-1881), orientalis dan linguis, pernah
menjadi dosen di Gdttingen.
Theodor Aufrecht menyajikan, tak lama setelah Miiller
{infra) edisi teks veda yang sampai kini merupakan karya dasar
507

(Die Hymmen des Rigveda, ed. ke-1, 2 jilid, Bonn 1851-63, ed.
ke-21877). .
(30) Max Miiller (1823-1900), murid Bopp, penyunting
teks veda di Inggris, tempatnya menetap, penyebar linguistik
yang berhasil, khususnya berkat Lectures on the Science, of
Language (Oxford 1861) yang diterjemahkan ke berbagai ba-
hasa.
(31) Georg Curtius (1820-1885), penulis karya-karya dasar
Grundziige der griechischen Etymologie, Leipzig 1858-62, ed.
ke-5 ibi.1879, guru K. Brugmann dan Saussure, menyambung de-
ngan membuat linguistik bandingan dapat diterima oleh para
filolog klasik (lihat supra c. 24).
(32) August Schleicher (1821-68), penulis Compendium der
vergleichenden Grammatik der indogermanischen Sprachen, ed.
ke-1, Weimar 1861, karya yang termasyhur itu, memainkan
peran yang sangat penting dalam sejarah glojologi (Leroy 1965,
33 dst., Bolelli 1965,120-36). Di dalam Notes 59.(= 52 F'Engler)
terdapat lebih dari apa yang dikatakan Saussure di dalam kuliah-
kuliahnya, dan yang ditulis para penyunting, penilaian tajam
orang Jenewa ini pada Schleicher:
"Akan menjadi (di setiap saat) bahan pemikiran filosofis-
lah, bahwa selama periode lima puluh tahun, ilmu linguistik,
yang lahir di Jerman, berkembang di Jerman, dimuliakan, di
Jerman oleh kategori individu yang tak terhitung jumlahnya,
tidak pernah memiliki keberanian untuk bangkit sampai ke
tingkat abstraksi ini, yang diperlukan untuk menguasai di satu
fihak apa yang dilakukan, di lain pihak dalam hal apa yang
dilakukan memiliki legalitas dan kehalalan di dalam keseluruhan
ilmu; (tetapi) hal. kedua yang mengherankan (adalah melihat
bahWa) pada saaf akhimya, ilmu tersebut nampaknya (keluar)
dari kepasifannya, ia muncul sebagai esai Schleicher yang patut
ditertawakan, yang runtuh akibt kekonyolannya sendiri. Begitu-
lah prestise Schleicher, yang hanya telah mencoba mengatakan
sesuatu yang umum mengenai langue yang nampaknya seperti
sesuatu figur ganjil (pun sampai kini) di dalam sejarah pengka-
jian linguistik, dan bahwa kita melihat para linguis memasang
muka serius yang menggelikan, apabila berhadapan dengan
508

tnasalah figur besar tersebut ... Dari apa pun yang dapat kami
kontrol, jelas bahwa itu merupakan hal sepele sama sekali (yang
bukannya tidak berpretensi)."
'(33) Teori yang terbentuk mengenai alternasi vokalik
dalam bahasa Indo-Eropa yang untuk pertama kalinya disistema-
tisasi adalah di dalam Memoire karya Saussure (hdk,supra 383-
387).
(34) Friedrich Christian Diez (1794-1876), penulis Gram-
matik der romanischen Sprachen, 3 jilid, Bonn, 1836-43, adalah
pendiri linguistik reman yang bersama linguistik Germania selalu
dianggap oleh Saussure sebagai sektor terpenting dalam linguis
tik. Bdk. FLt/348,353.
(35) Sudut pandang ini, yang telah dikemukakan Saussure
dalam kuliah pembukaan perkuliahan di Jenewa (lihat cuplikan,
supra 0.7), juga telah dipertahankan dengan teguh oleh K.
Brugmann dan oleh H. Osthoff di dalam kata pengantar Morpho-
logische Untersuchungen auf dem Gebiete der indogermanischen
Sprachen,I, Leipzig 1878.
(36) Mengenai Whitney, lihat 332-334, 360-361, 382, 397-
389-393,426-429,454-455,460-462 dan PLC/halaman 76,157-
-158.
(37) Meskipun pimpinan gerakan neogramatik telah melan-
carkan polemik keras terhadap teori-teori rekonstruksi dan metor
de-metode analisis struktural pemuda Saussure (bdk. supra 384—
388), Saussure tetap bersikap sangat menghormati mereka
sebagai pribadi-pribadi dan bahkan menghormati gagasan-
gagasan pokok tertentu dari junggrammatische Richtung. K.
Brugmann (1849-1919), pengajar di Leipzig selama Sausssure
belajar di sana, yang berkesempatan mendekatihya {supra 381—
383), menjadi dosen di universitas yang sama sejak 1882. H.
Osthoff(1847-1909)dosen di Heidelberg, memberi kuliah juga di
Leipzig ketika Saussure berada di sana (supra 381-383) dan
mendapat kritik yang paling tajam dari Saussure dan Moller
(supra 384—386). W. Braune dan E. Sievers adalah direktur
majalah studi Germania yang terpenting, Beitrdge zur Geschich-
te der deutschen Sprache und Literatur, bersama Hermann Paul
(1846-1921), penulis salah satu karya teori zaman itu yang pasti
paling banyak dikutip, Prinzipien der Sprachgeshichte, Halle
509

1880. Di samping kuliah sejarah bahasa Jerman dari Braune di


Leipzig, Saussure juga mengikiiti kuliah bahasa Slavia dan
Lituavi dari A. Leskien (1840-1916), orang yang pertama
mempertahankan prinsip keteraturan evolusi fontik 381-
383). Mengenai hubungan antara teori-teori Saussure dan anti-
teleogisme kaum neogramatik,lihat supra 460—461
(38) Peristilahan merupakan masalah yang kohstan di
dalam riwayat intelektual Sausshre : lihat supra 426—427. Bagi
setiap istilah yang digunakan, Saussure segera memeriksa moti-
vasinya: "orang tidak percaya sedang berhadapan dengan promo-
tor prinsip kesemenaan lambang"(Engler 1966, 39). Sebenarnya
justru karena ia mempertahankan prinsip kesemenaan, dan
dengan sendirinya mempertahankan pengertian langue sebagai
bentuk yang justru ditetapkan oleh artikulasi substansi fonis dan
semahtik yang sama, Saussure tabu sekali bahwa sudut pandang-
nya di dalam meninjau fakta-fakta bahasa penting sekali untuk
dapat menyajikan fakta-fakta tersebut sebagaimana gelaja fonis
murni, kognitif maupun psikologis, dst. {supra 427—429). Inilah
dasar perhatiannya yang ekstrem pada segala yang berkaitan
dengan sudut pandangnya mengenai "benda/hal" (P.L.U. c.68)
tak kurang dari yang mengenai peristilahan (c. 133). Ini pulalah
asal dari sifat hati-hatinya yang ekstrim di dalam memperkenal-
kan maupun di dalam membuang istilah-istilah. Mengenai orga-
nisme khususnya.,.lihat infra P.L.U~c.S3. Mengenai istilah-istilah
Saussure lainnya lihat P.L.Uc. 40 dan 41 ; c.53; c.63 sampai 68;
C.70; C.78; c.83; c.l03; c.lll; c.115; c.l22; c.l23; c.l28; c.l30;
C.134; C.140; c.145; c.155; c.156; c.162; c.l69; c.l78; c.l82; c.l90;
C.199; C.204; c.206; c.211; c.231; c. 236; c. 240; c. 247; c. 248; c.
250; C.255; c,259; c. 266; c. 282.
Sadar akan barunya masalah-masalah yang ditelaah, Saus
sure tidak hanya mengutuk metafora-metafora "animis" yang
bodoh, tetapi terlebih lagi, mencari lagi terus menerus perban-
dingan yang dapat memperjelas konsep-konsep yang sangat
dirasakan sebagai baru sama sekali.
Langue adalah suatu simfoni yang bebas dari kekeliruan
pagelaran {P.L.U 85); langue adalah seperti permainan catur:
untuk memainkannya tidaklah penting kita mengetahui bahwa
catur berasal dari India atau Persia (lihat c.90), catur memiliki
510

aturan-aturan bagi setiap geraknya (181—182): langue adalah


seperti abjad Morse, yang tidak tergantung dari cara kerja
peralatan transmisi elektriknya (85) langue adalah perjanjian
\\52)\'langue adalah aljabar dengan istilah-istilah sengkarut(85);
langue sama dengan sungai yang mengalir terus tanpa istirahat
(245)langue adalah gaun yang dipenuhi tambalan-tambalan yang
bertambah bersama waktu, yang dibuat dengan kain yang sama
(289).
Hanya dari segi-segi tertentu saja langue dapat dibanding-
kan dengan tumbuhan yang mencari makannya dari luar (89)
sebenarnya ia hidup dengan kekuatan internnya sendiri, sama
saja seperti permadani yang berbentuk seperti apa adanya karena
oposisi warna-warna, sedangkan teknik pembuatannya tidak
penting (103); segalanya terletak dalam kombinasi biji-bijinya,
seperti pada setiap langkah permainan catur(198);
Suatu lambang mempersatukan petanda dengan penanda
dalam hubungan yang jauh lebih nyata daripada hubungan
antara jiwa dengan badan (193—194), lebih tak terpisahkan
daripada senyawa kimia (193—194). Petanda dan penanda sama
seperti recto dan verso dari lembar kertas yang sama (206, 208—
209), lambang-lambang sama seperti riak air yang muncul ke
permukaan laut akibat kontak dengan angin (205)Identitas suatu
bahasa sama dengan identitas suatu set permainan catur: yang
penting bukan dari apanya ia dibuat melainkan bagaimana cara
kerjanya (202—203; sama dengan kereta api pukul dua puluh
empat puluh lima atau sebuah jalan yang dibangun kembali, yang
hakekatnya tetap sama (200). Langue tidak sama dengan
identitas bajumu yang dicuri orang dan yang kalau kauganti
dengan baju yang sama tapi, kainnya baru, bukan lagi milikmu.
(201) Identitas suatu bahasa sama dengan identitas huruf pada
abjad: yang penting huruf-huruf itu tidak rancu satu dengan
lainnya (214-215). Sebuah kata sama seperti sebuah mata uang:
tidak penting apakah ia dibuat dari logam atau kertas, yang
penting adalah nilai nominalnya(209—210,213-214).
Langue, dalam keadaan statis, sama seperti batas sederajat
logaritma: kita merumuskannya meskipun kita tidak akan menca-
painya (191-192); keadaan itu seperti pantulan suatu tubuh di
atas latar tertentu, dan tubuh itu adalah diakronis (201); bentuk-
511

nya seperti penampang melintang, sedangkan penampang seja-


jarnya adalah diakronis (172—173); sama seperti keadaan per-
mainan catur, ia tidak tergantung dari keadaan sebelumnya (172-
-173,174-175, lihat juga 211-212). Suatu pemandangan tergam-
bar pada titik yang tetap: hanya seperti demikianlah, hanya
dalam keadaan statislah, orang dapat menyajikan lukisan larigue
(1654-165). Tetapi langue juga selalu diterjunkan dala'm waktu,
selalu berriasib untuk berubah: orang yang membayangkan
bahwa bahasa itu tidak berubah, sama seperti seeker babon yang
menger.ami telur bebek: anak bebek lahir dan pergi membawa
maunya sendiri(158—159).
(39)Sumbernya adalah kuliah pembukaan dari perkuliahan
ke-3(28 Oktober 1910).
(40) Bagi Saussure, materi adalah himpunan dari segala
fakta yang, dalam sehari-hari, dapat dianggap sebagai "kebaha-
saan". Massa yang semacam ini heteroklit sifatnya {PLU 73 dst).
dan, oleh karenanya dapat dikaji oleh berbagai disiplin. Dalam
hubungan dengan disiplin-disiplin tersebut, linguistik memiliki
sifat tersendiri karena obyeknya adalah langue. C.H. Borgstrom-
lah, 1949, I (bdk. juga H. Frei, "Apropos de I'editorial du vol.
IV",A.L5,1949 dan jawaban L. Hjelmslev, demikian juga untuk
meksud yang sama, Hjelmslev 1954, 163), yang telah menggaris
bawahi pentingnya pembedaan antara materi dan objek.
Istilah yang terakhiir itu digunakan oleh Saussure dengan
makna "tujuan suatu kegiatan ", artinya dalam arti skolastik di
mana obiectum, seperti kata Aristoteles, merupakan istilah suatu
kegiatan dan, dalam kasus obiectum suatu ilmu, adalah materi
pengetahuan sebagaimana ia dipelajari dan dikenal ("obiectum
operationiS'terminat et perficit ipsam et est finis eius", menurut
Ibomas d'Aquin,In 4 libros sent. mag. Petri Lombardi, 1,1.2.1;
bdk. juga Duns Scot,"Opus Oxoniense",Prol. q. 3,a. 2, c. 4;dan
mengenai hubungannya dengan kata Yunani bdk. De
Mauro,"II nome del dat. e la teoria dei casi gresi". Rend. Accad.
Lincei, 1965, hal. 1-61, hal.59). Makna ini tetap hidup di dalam
tradisi filsafat (Eisler 1927, Abbagnano 1961 s.v.). Sehingga,
misalnya J. Dewey menulis di akhir bab IV dari Logicnya:
"Kata objek akan digunakan bagi materi yang diolah dalam
bentuk yang sistematis selama penelitian; jadi objek adalah sa-
saran penelitian. Ambiguitas yang mungkin ditemui di dalam
512

pemakaian istilah "objek" dengan pengertian tersebut (karena


peraturan mengharuskan agar kata tersebut diterapkan pada hal-
hal yang diobservasi atau yang dipikirkan)jelas ada. Sebenarnya,
hal hanya ada bagi kita sebagai objek kalau mereka sebelumnya
telah ditetapkan sebagai hasil penelitian."
Hubungan dengan materi dan kenyataan yang terdapat di
dalam kedua bab ini, sesuai untuk menunjukkan bahwa bagi
Saussure langue bukanlah benda yang, dengan mengesamping-
kan yang lain, seharusnya diteliti oleh linguistik, melainkan
sebaliknya, langue adalah obiectum penelitian linguistik yang,
dengan bertitik tolak dari semua yang dengan satu dan lain cara
dikualifikasikan sebagai "kebahasaan" dan dengan mengolah
kembali secara kritis kesadaran subjektif para penutur (PLU,
Lamp.B dst), harus berhasil menyusun sistem langue yang
bergerak di dalam situasi historis tertentu. Keseluruhan fakta
yang dikualifikasikan sebagai "kebahasaan" adalah materi,
sedangkan langue sebagai sistem formal adalah objek.
Sudah barang tentu, objekdi dalam banyak teks bermakna
lazim yaitu "benda/hal": lihat misalnya FLU, 172—173.
Kesalahan interprestasi \PLU sebagian besar adalah
akibat persepsi yang buruk dari pembedaan ini: sekali objek
dipahami dalam pengertian banal, artinya dengan makna materi,
dan sekali orang melupakan prolog bab kedua ini, seperti juga
orang melupakan teks-teks lainnya, orang akan mencap Saussure
sebagai berpandangan eksklusif linguistik, yang mematahkan
jembatan dengan disiplin-disiplin lainnya (lihat |PLt/ c.51) dan
hanya mengurusi sistem, langue, dan bukan mengurusi semata-
mata wawasan integral fakta-fakta bahasa yang menetapkan
langue di dalamnya, in re dan bagi linguis tersebut. Oleh
karenanya misalnya, pendapat Saussure menurut Rogger
1941,163 adalah "bagi peneliti bahasa, yang penting hanyalah
menetapkan hubungan antara masing-masing gejala yang ter
dapat dalam suatu bahasa". Padahal linguistik Saussure adalah
sebaliknya, sangat memperhatikan setiap tipe penelaahan (psiko-
logis dan sosiologis, fisiologis dan stilitis)fakta bahasa, dan hanya
mempermasalahkan masalah permanen, yaitu mengkoordinasi
kemajemukan penelaah di dalam kesatuan tujuan yang khusus,
rekontruksi sistem nilai-nilai yang membuat suatu satuan bahasa
513

menjadi satuan bahasa khusus. Ungkapan R. Jakobson ("Ling-


uista sum: linguistici nihil a me alienum puto") merupakan
ungkapan segi pandang yang otentik Saussure, yang penerapan-
nya tercermin di berbagai bidang penelitian (mengenai ke-
terangan tentang bidang-bidang ini, bdk. De Mauro, "Unita e
modernity della linguistica" dalam Alamanaco letterario^ Bo'm-
piani 1967, Milano 1966, hal. 162-165, dan bdk. Heilmann 1966,
XXIV-XXV dan N. Chomsky, M. Halle, Preface hal. IX-XI,
dalam Chomsky 1966). Lihat juga FLU c.83. Menentang
penafsiran ini: B. Vardar, dalam Quinzaine litteraire 57, 16-30
Septembar 1968; setuju: Baumer 1968. 88-89, Engler 1969. 16,
Godel 1970. 38.
(41) Dalam PLU, sejarah sering nampak beroposisi
dengan deskripsi dan sama dengan diakroni. Beberapa keberatan
muncul dalam PLU, mengenai kemungkinan penggunaan isti-
lah sejarah, yang dianggap dengan benar sebagai dapat mengacu,
baik pada evolusi maupun keadaan. Memang, Saussure sendiri
telah menerima di dalam kuliah pembukaan di Jenewa, se
jarah dengan makna yang sama sekali berbeda.
"Makin orang mengkaji langue, makin orang sampai pada
kenyataan bahwa segala sesuatu yang mengenai langue adalah
sejarah, artinya langue adalah objek analisis sejarah dan bukan
analisis abstrak, langue dibentuk dari fakta-fakta dan bukan dari
hukum-hukum, dan bahwa semua yang nampaknya organis di
dalam langue sebenarnya tidak selalu terjadi dan sama sekali
kebetulan"(dikutip oleh Engler 1966,36).
Teks ini harus digabung dengan teks lain, yang lebih awal
dari kuliah pertama ("tak satu hukum pun yang bergerak di an-
tara istilah-istilah inutakhir yang mempunyai makna wajib" varia-
si yang dicoret: "kekuatan wajib", "makna paksaan" SM 51 dan
catatan-catatan.), dan dengan penelaahah yang dikembangkan
dalam teks tahun 1894 mengenai Whitney yang membicarakan
konvergensi yang kadang terjadi antara bahasa Perancis dan ba
hasa Semit {Notes 61-62 dan PLU366 dst). Sudut pandang ini dan
juga konsepsi yang berbau kebetulan dan antiteleologis dalam
diakroni, tidak pernah ditinggalkan oleh Saussure, bahkan apabi-
la segi pandang tersebut dibatasi oleh pandangan yang berbeda
mengenai sinkroni(lihat supra PLU 162—187 dan catatan).
514

(42) Masalah kesemestaan langage sampai ke Saussure


melalui Breal, Les idees latentes du langage, Paris 1868, khusus-
nya hal. 7-8 (bdk. Mounin 1967. 218-19). Masalah tersebut
diajukan lagi akhir-akhir ini, secara jelas: pertama dalam artikel
B. dan E. Aginsky,"The importance of Language Universals," W
3, 1948. 168-72, semula memang jarang, kemudian, berdasarkan
gagasan teori R. Jakobson dan N. Chomsky, makin sering (bdk.
Lepschy 1966, 38, 76, 124-28). Bdk. juga Mounin 1963, 191-223
dan passim, dan lihat c.199,PLU c.305.
(43) Mengenai penilaian Saussure akan pentingnya tugas
tersebut demi praanggapannya mengenai kesemenaan, lihat
supra 429, dst.
(44) Saussure di sirii jelas mengacu pada antropologi
sebagai disiplin biologis, dan bukan pada antropologi budaya,
yang di Amerika Serikat berhubungan sangat erat dengan
linguistik: bdk. Jakobson 1953, Martinet 1953, H. Hoijer,
"Antropological linguistics", dalam Trends in European and Ame
rican linguistics 1930-1960, Utrecht-Anvers 1961, hal. 110-127
Leroy 1965,144-45.
(45) Di sinilah teks yang pertama tempat Hjelmslev 1943,
37 dst. mencatat hadirnya pengertian langue sebagai "skema",
atau juga sebagai "bentuk murni" (lihat juga PLU c.76, C.IO3'
C.234, dst., dan PLU c.65 mengenai sejarah masalah ini); di
samping pengertian ini terdapat juga pada Saussure pengertian-
pengertian langue sebagai norma pengungkapan, atau sebagai
bentuk materiil(PLUc.70)dan /anguc sebagai kebiasaan (usage)
atau sebagai "himpunan kebiasaan verbal (PLU, 86, 159-
160). Permasalahan (problematique) yang diajukan Hjelmslev ini
yang merupakan basil pembacaan pertama yang seksama dari
keseluruhan CLG,kemudian dibicarakan lagi oleh Frei, Coseriu
(lihat PLU c.65) dan oleh Martinet (PLU c.232). Mengenai
pengertian yang berasal dari Hjelmslev yang disebutkan di sini,
lihat catatan 225.
(46) Sumber-sumber paragraf 1 adalah kuliah kedua dari
perkuliahan ketiga (4 November 1910: SM 77), kuliah pertama
dari bagian kedua perkuliahan yang sama(25 April 1911:SM 81),
kuliah pertarna dari perkuliahan kedua(SM 66) dan, di samping
itu, dua catatan tulisan tangah,satu bertanggal 1893-94(Notes 55
515

dst.), yang digunakan atas usul Sechehaye{SM 97)dan yang lain


pasti ringkasan karya Sechehaye, Programme et M4thodes dsb
Jenewa 1908. Catalan 1893-94, yang seharusnya ingin dikesam-
pingkan oleh Bally, digunakan di dalam alinea kedua bab ter-
sebut: "alinea ini mungkin menggunakan jalinan renungan F.
de.S."(5Af 136).
(47)Lihat PLI/C.4C.
(48) Seperti yang telah dinyatakan oleh Jakobson 1938 =»
1962. 237, Saussure adalah "penggali agung antinomi linguistik",
ini merupakan bakat alami {supra 379—380,424—425)yang dapat
dipeirkuat(dan diciptakan) dengan membaca Antinomies iinguis-
tiques (Paris 1896) tulisan Victor Henry: penjelasan mengen^
antinomi telah dibuat dalam Notes antara 1891 dan 1894.
(49) Teks ini menarik untuk memperlihatkan bagaimana
cara para penyunting menjelaskan, dengan kadang-kadairg me-
maksakan sedikit pemikiran Saussure. Kebalikan dari apa yang
muncul dalam teks para penyunting, Saussiixe tidak mengaitkan
masalah bahasa anak dengan masalah asal bahasa. Dalam rangka
menerangkan usaha coba-coba untuk mepemukan "objek inte"
gral" dengan bertitik tolak dari analisis suatu segi tertentu dari
kenyataan bahasa, ia mengutip usaha coba-coba yang bertitik
tolak dari analisis bahasa anak (146 B Engler), yang sama tidak
memuaskannya dengan lisaha yang lain. Ia langsung menam-
bahkan kalimat"Sehingga, dari suatu segi dst.". Kalimat diantara-
TfyaX^idak, karena ini adalah gagasan yang sangat dst.") berasal
dari kuliah yang lain sama sekali (147 B Engler) dan kata-kata
'Tidak, karena" adalah tambahan dari para penyunting untuk
menghubungkan kembali masalah bahasa anak dengan masalah
asal baha^. Mehgenai acuan yang lain dari bahasa anak, lihat
PL{/c.69,c.37,c.106,c.205,c.231.
(50)Tesis mengenai asal bahasa telah dikemukakan oleh H.
Paul, untuk menunjang posisi negatif yang diambil linguistik
abad XIX yang pengungkapan khasnya adalah keputusan Societe
de Linguistique de Paris {MSL 1, 1868, hal. Ill) tahun 1866
untuk tidak menerima makalah yang membahas masalah terse-
but. Meskipun demikian, masalah tersebut telah dibicarakan
kembali akhir-akhir ini: bdk. A. Tovar,"Linguistics and Pfehis-
tory", W. 10, 1954. 333 -350, A. Leroi- Gourhan, Le geste et la
parole,2jilid,'Paris 1964-65, dan lihat infra catatan 54,55.
516

(51) Naskah yang memuat kalimat ini menyatakan :"Untuk


memberi tempat pada linguistik, kita tidak boleh meninjau
langue dari segala arah. Jelas kalau demikian, banyak ilmu
(psikologi, fisiologi. antropologi, tata bahasa, blologi, dll) akan
dapat menuntut langue sebagai objek mereka. Jadi, jalan analisis
tersebut tidak pernah berujung pada kenihilan. "Dapat dilihat
di sini, seperti juga di dalam teks-teks lain, tidak adanya catatan
tulisan tahgan yang memuat kalimat tambahan "yang kami
pisahkan dengan jelas dari linguistik". Kalimat ini kontras dengan
tesis Saussure (lihat PLV 81-82 dst.) yang menyatakan bahwa
linguistik adalah dari psikologi sosial. Kalimat terseblit konstras
pula dengan sikap Saussure, yang sangat tertarik, sebagai linguis
historis dan ahli teori bahasa, pada ilmu-ilmu yang berdekatan,
dari fonetik sampai etnografi, sampai ekonomi politik, dll. Yang
menjadi pemikiran Saussure, baik di sini maupun di tempat lain,
adalah menetapkan apakah ada tujuan yang pasti bagi penelitian
bahasa, dan apakah tujuan itu; jadi masalahnya bukan bagaima-
na menutup pintu terhadap pertukaran gagasan dengan disiplin-
disiplin lain, padahal para penyunting juga mengikuti gagasan
yangsama.
(52) Mengenai masalah-masalah yang ditemukan di sekitar
konsep langue Saussure, lihat PLU c.65. Mengenai definisi di
dalam sumber tulisan tangan,lihat m/ru PLl/C.64.
(53) Saussure, asalnya, telah berpikir secara lain. la
menulis da\am Notes 61 (artinya dalam sebuah teks bertariggai"
1891): langue dan langage adalah hal yang sama; yang satu adalah
generalisasi dari yang lain"(bdk.SM 142). Pembedaan ini masih
belum ada pada awal kuliah kedua(SAf 132).
(54)Masalah kealaman langage kini terletak di persimpang-
an sektor-sektor penelitian yang berkembang dengan pesat.
Baru beberapa tahun yang lalu (1955), orang menghubungkan
penemuan jenis homo dengan protoanthopus atau arkantropus
(pitekantropus,sinantropus, atlantropus), dan bangsa australopi-
tek yang sekali orang yakin akan asalnya, telah dianggap sebagai
pre-hominides (menurut A. Leroi-Gourhan, Les hommes de la
prihistoire, Paris 1955). Tetapi pada tahun 1959, suami istri
Leakey menemukan(Oldoway,Tanganyika)tengkorak australo-
pitek dan alat-ajat: sehingga kini orang berpikir bahwa bangsa
517

australopitek adalah nenek moyang manusia(R. Furon, Manuale


di preistoria, Turino 1961 hal. 161-62). Karena "alat dan langage
berhubungan secara neurologis" dan karena "satu dan lainnya tak
terpisahkan di dalam struktur masyarakat manusia"(A. Leroi-
Gourhan,Le geste et la parole, I: Technique et /ongage, Paris 1964
hal. 163),"kemungkinan" adanya bahasa, maju sampai ke zaman
pemunculan australopitek, artinya pada akhir zaman tersier,
kira-kira satu juta tahun (hdl ini, demi melengkapi PLU.
c.50,263, memungkinkan usul penelitian apa pun yang cenderung
untuk membentuk hipotesis mengeiiai bentuk bahasa pada
zaman yang sama lampaunya dibanding dokumen-dokumen
bahasa yang pertama). "Kemungkinan" seperti ini dipertegas
dengan kenyataan bahwa, dengan mengesampingkan pengecua-
lian cuping frontal otak (mengenai hal ini lihat infra c.57),
pusat cerebral langage verbal sudah berkembang dalam diri
australopitek (Leroi-Gourhan, op. cit 370 c. 45). Jadi, kemam-
puan berbahasa berasal dari zamaii dahulu kala dan asal
kronologisnya menyatu dengan asal makhluk horrio.
Masalahnya kemudian dirumitkan oleh banyaknya pengka-
jian yang tidak selalu memberi kejelasan mengenai komunikasi di
kalangan makhluk lain yang termasuk primat, dan di kalangan
jenis binatang lain (Cohen 1958. 43-48, Animal sounds and
communication, disunting oleh W.E. Lanyon, W.N. Tavolga,
Washington 1960), yang mengungkapkan bahwa kemampuan
(capasit^) diskriminatif antara berbagai situasi yang mengasb-
siasikan secara timbal-balik kelas-kelas keadaan (4tat) dan kelas-
kelas lambang (jenisnya banyak; mimik-visual, non-vokal-
auditif, dll) sama di kalangan makhluk jenis lain dengan jenis
manusia. Jadi, m£ikhluk manusia memiliki langage sendiri sejak
tahap-tahap awal evolusinya. Jadi, perolehan masyarakat tidak
tergantung dari banyaknya kemampuan bahasa maupun pemilik-
an suatu langue tertentu, tidak juga dari banyaknya kemampuan
diskriminatif semantik dan komunikatif maupun pemilikan dis-
kriminasi khusus lambang-lambang khusus langue tertentu.
(55) Mengenai hubungan antara Saussure dan Whitney
lihat c. 36. Tesis Whitney yang telah di bicarakan di dalam
ceramah memperingati Whitney pada tahun 1894(5M 44, 166-
518

68 F Engler) dibicarakan kembali dalatn perkuliahan kedua (166


B Engler). Tesis tersebut telah disajikan oleh para ahli linguistik
Amerika dalam Life and Growth, cit, hak 291 dan dalam
Language and the study oflanguage, cit., baJ. 421-23.
Hubungan antara bahasa isyarat dan bahasa verbal telah
dianggap sebagai hubungan urutan kronologis, pertama oleh N.
Marr, kemudian oleh J. van Ginneken, La reconstruction typolo-
gique des langues archaiques de fhumaniti. Den Haag 1939,
karena keduanya mengira bahwa manusia hanya memperguna-
kan lambang-lambang isyarat-visual sampai ke zaman yang relatif
mutakhir(3500 sebelum Masehi). Tesis ini tidak didasarkan pada
fakta apa pun, seperti juga pernyataan mana pun mengenai ciri-
ciri langue manusia pada zaman pra-sejarah; bdk, Cohen 1956.
75,150. Komunikasi isyarat-visual yang diartikulasikan sama
kayanya dengan komunikasi audiovokal tentu saja sangat mung-
kin, seperti yang telah sekian kali ditunjukkan sejak penelitian
G. Mallery, Sign Language (First annual report of the bureau
american anthropology). New York 1891 (tetapi perhatian yang
seperti ini sudah lama ada, ingat saja "chironomie"; V. Requeno,
Scoperta delta Chironomia ossia Dell'Arte di gestire con le mani,
Parma 1797), sampai ke penelitian yang lebih mutakhir yang
dilakukan oleh G. Cocchiara,IIlinguaggio delgesto, Turino 1932
(bibliografi kaya), M. Critchley, The Language of Gesture,
London 1939, P. Vuillemey, La pensie et les signes autres que
ceux de la langue, Paris 1940 dan sampai kepenelitian mengenai
komunikasi taktil dan visual dan mengenai "kinesika" kelompok
Explorations (1953-1959).' bdk. antologi Explorations in com
munication, disunting oleh E. Carpenter dan M.McLuhan
Boston 1960.
Mengenai lambang isyarat-visual dan lambang verbal yang
saling melengkapi, bdk, G. Meo-Zilio,"Consideraciones sobre et
lenguaje de los gestos", Boletin de filologia (Santiago di Chili)
12, 1960. 225-48, El lenguaje de los gestos en el Uruguay",
ibid.,13, 1961. 75-162. Mengenai hal-hal yang berhubungaii
dengan penggunaan langue secara tertulis (dan terkecuali kasus
komik, dan cerita bergambar) kesalinglengkapan tersebut
biasanya tidak ada, dan dampaknya jelas nampak dalam susunan
bahasa tertulis dibandingkan dengan susunan bahasa lisan: lihat
PLUcM.
519

(56) Dengan menerapkan apa yang dicetuskan Saussure


dalam PLU 70-71 ('Tugas linguistik nantinya adalah... meneliti
kekuatan-kekuatan yang berperan secara tetap dan universal di
dalam segala langues") kita dapat menangkap di siiii tanda perta-
ma dari suatu "kesemestaan" bahasa (lihat FLU. c.42), Kemam-
puan untuk membentuk suatu sistem penanda (diskriminasi
antar pelambang yang mun^kin) dan petanda (diskriminasi
psikis (lihat PLU. c.70) dari r^^alisasi fonis yang mungkin) yang
diasosiasikan dalam lambang-lambang sudah lebih dulu ada
dibaiiding pembentukan langue \ta sendiri, sangat penting dalam
hubungan dengan lambang-lambang (sedemikian rupa sehingga,
meskipun lebih dahulu ada daripada setiap langue tertentu,
kemampuan tersebut tidak ada tanpa unsur tertentu dari langue
tersebut). Meskipun demikian, kemampuan itu ditentukan (con-
ditionne) oleh kemampuan mengolah "seluruh sistem 'skema'
yang memperbanyak segi-segi tertentu dari struktur kelis dan
hubungan"(di mana "skema" berarti... segala sesuatu yang terge-
neralisasi pada suatu kegiatan tertentu"), menumt pengungkapan
J, Placet, "Le langage et les operations intellectuelles", hal. 54,
-dalam ProbUmes depsycholinguistique, Paris 1963, hal. 51-56).
(57) Pada tahun 1861 ahli bedah Perancis P. Brdca
menunjukkan bahwa seorang penderita telah kehilangan kemam
puan untuk berbicara karena kerusakan pada sirkonvolusi ketiga
bagian kiri depan (W. Penfield, L. Roberts, Langage et mica-
nismes cerebraux, Paris 1963, hal. 11-12). Penemuan ini meniberi
sumbangan baru bagi penelitian mengenai lokalisasi fungsi-fungsi
mental di dalam otak. Kini, peta daerah kortikal yang menjadi
tempat interpretasi, konsepsi, dan artikulasi bahasa, adalah lebih
kompleks daripada apa yang pemah dikira Broca dan, karena
peralatan yang dimilikinya, ditulisnya praktis, berbagai daerah
sisi kiri memberi pengaruh (Penfield, Roberts, op. cit„ hal. 126
dan seterusnya), demikian pula pusat-pusat subkortikal {ibid. 220
dan seterusnya) bdk. juga Brain function. Otak adalah pusat
bahasa,seperti yang diulang berkali-kali oleh Saussure {PLU79-
80, 81—82, 91—92 dan lihat infra c. 64).
520

(58) Lihat infra c.60 dan 68.


(59) Sumber-sumbernya adalah ketiga kuliah dari perku-
liahan ketiga, kedua (tanggal 4 November 1910) dan dua kuliah
tanggal 25 dan 28 April 1911.
(60) Perlu dicatat bahwa terdapat titik tolak yang sama
pada diri Bloomfield dan kaum post-Bloomfield, meskipun bagi
mereka satu-satunya kenyataan bahasa yang efektif adalah
tingkah laku kebahasaan individual, yaitu deret tindak parole, se-
dangkan langue merupakan "penataairt" murni ilmiah (Garvin,
1944. 53-54 dan lihat supra 440—441).
(61) Sebaliknya, seperti yang kita ketahui kini, pendengar-
an sama sekali tidak dapat dianggap sebagai hanya mekanisme
reseptif, perekaman pasif. Lihat misalnya kesimpulan yang di
tarik oleh G. A. Miller, Langage et communication, Paris 1956,
hal.lll:"Menangkap wacana bukanlah hal yang pasif dan otoma-
tis. Orang yang menangkap mengasumsikan fungsi selektif de-
ngan menjawab pada aspek-aspek tertentu dari situasi global dan
bukan aspek yang lain. la menjawab rangsangan-rangsangan
sesuai dengan organisasi yang dipaksakan pada mereka. Dan ia
menggantikan rangsangan yang tidak ada atau kontradiktif secara
sebanding dengan kebutuhan-kebutuhannya dan pengalamanya
di masa lalu. "Bdk. A. Thomatis, L'oreille et le langage, Paris
1963.
(62) Lihat supra c.56.
(63) Dari segi penyuntingan, pengolahan kembali, naskah
160 B Engler telah mengurangi kejelasan definisi Langue dan di
sini definisi parole. Dalam naskah terbaca: "Langue adalah
himpunan konvensi yang diperlukan dan diterima oleh masyara-
kat untuk memungkinkan penggunaan kemampuan bahasa yang
dimiliki para individu (definisi). Kemampuan bahasa adalah
fakta yang berbeda dari bahasa tetapi yang tidak dapat berfungsi
tanpa bahasa. Paro/emenunjukkan tindakan individu yang
merealisasi kemampuannya dengan menggunakan konvensi so-
sial, yaitu langue (definisi). "Definisi ini menghilangkan segala
ambiguitas: orang yang seperti Valin 1964. 23 yang mengkritik
Saussure telah salah jalan karena tidak memakai istilah wacana
(discours) untuk parole. Sehingga pernyataan Belardi dalam
Lucidi 1966. XVII hanya sebagian benar: "Bagi Saussure ...
521

'parole' bukanlah res acta melainkan pada dasarnya 'wicara'


individu; lihat P.L.U. c.67.
(64) Inilah sumber tulisaii tangan bagi teks tersebut yang
jelas sangat penting (229-240 Engler): "Bagian reseptif dan
koordinatif, inilah yarig membentuk simpanan pada berbagai
individu, yang berhasil menjadi sangat sesuai pada diri sentiia
individu. Langue adalah produk masyarakat. Kita bisa mengetav
hui produk ini secara sangat^ tepat. Kalau saja kita dapat
memeriksa simpanan gambar verbal dalam diri seorang individu,
yang terpelihara, dan ditempatkan dalam susunan dan klasifika-
si tertentu, kita akan dapat melihat di sana kaitan sosial yang
membentuk langue. Bagian sosial ini sama sekali bersifat mental,
psikis (lihat (sebuah) artikel Sechehaye: "/angwe hanya berkedu-
dukan di otak", "Suatu keseimbangan terjadi di antara semua
individu"). Setiap individu memiliki pada dirihya produk
masyarakat ini. Langue adalah harta yang tersimpam yang
mengambil apa yang dalam otak kita, dalanl otak sekumpulan
individu di dalam masyarakat yang sama,l^gkap dalam massai,
kurang lebih lengkap dalam setiap individu."^
(65) Pembedaan antara langue dan paroletentii saja
mempunyai dialektik (bdk. Frei ^ 1952); langue (di sini juga
dianggap sebagai "skema": PLU c.AS) adalah sistem batas-batas
(semena secara alami dan, oleh karenanya disebut berasal dari
masyarakat dan sejarah: 146-'-147j dst.^ 245—246, dstv) di
mana terdapat "perlambangan' dan realisasi fonis dafi parOld
yang teridentifikasi secara fungsional {PLU ci217);; Artihya
perlambangan dan bunyi dari tindak parb/e dan berada di atas
parole. Di sinilah terletak kehalalan kehadiranhya (batas-
batasnya, artinya pembedaan antara suatu penanda dengian yang
lain, antara suatii ^sattian petanda dengan . yang' lainr tidak
tergantung dari Wbab^ penentu apa pun yang inhereii dalath
hakekat dunia dan jiwaj atau dari jenis'bunyi-bunyi) sehingga
orang dapat nrengatakan bahwa langue^ hanya hidup urituk
memerintah parole.
Mbnurut Hjelmslev 1942.' 29 (— 1959: 69)-pembbdaan ini
iperupakan; "tesis titaina'^ fLU Hal ini tmingkin sekali b^haf
dalam arti krohblogis: sejak tahuh-tahutt ^di Leipzig dan perjalaH
nan ke Lituania, SfeuSsnre teiah menangkap pfembedaan' antafa
tinjauan rasional satuan-satuan bahasa dan tinjauan fisiologis.
522

tinjauan rasional satuan-satuan bahasa dan tinjauan fisiologis,


antara pengkajian "historis" dan pengkajian "psikologis" bunyi-
bunyi (lihat 353—354, 360—361, 383—384), meskipun pembedaan
terminologis antara langue dan paro/ebaru ada lama kemudian
{SM 142). Secara logis pernyataan Hjelmslev harus dihubungkan
dengan pernyataan-pernyataan lain dan bukannya dikoreksi.
Penerbitan diskusi-diskusi dengan Riedlinger {SM 30) menegas-
kan bahwa bagi Saussure , pada tahun 1911, pembedaan memang
"kenyataan pertama" dari sistem linguistik umumnya; di lain
pihak, selama perkuliahan ketiga, Sassure menyajikan "keseme-
naan lambang" sebagai "prinsip pertama"(PLU 147-148). Tidak
terdapat kontradiksi di antara dua hal tersebut, asal orang
memahami secara mendalam pengertian kesemenaan lambang
dari Saussure.
Di pihak lain, untuk memahami pengertian yang terakhir
ini, kita perlu berangkat dari penelaahan parole dalam aspek
konkretnya. Hanya melalui penelaahan semacam inilah kita
dapat melihat kenyataan bahwa, karena perlambang dan bunyi-
bunyi dalam tidak parole khususnya dianggap sebagai kenyataan
individual dan tak terulang (PLU 199-200), kita dapat mengin-
dentifikasi (sebagaimana yang dilakukan orang setiap saat ia
berbicara) dua bunyi berbeda dari perlambangah )rang berbeda
seperti "kata yang sama" yang memiliki "penanda yang sama",
dengan satu syarat: yaitu mengambil sebagai dasar identifikasi
bukannya kenyataan fonis-akuistis bunyi-bunyi atau kenyataan
psikologis perlambangan (yang di tataran psikologis maupun
akuistis tetap berbeda), melainkan apa yang penting dari bunyi
dan perlambangan tersebut, yaitu nilainya. Cara mengatakan
perang berbeda setiap saat di dalam wacana yang sama, makna
istilah tersebyt dapat berbeda setiap saat, dan perbedaan fonis-
akustis dan psikis-semantis makin besar kalau kita memperhati-
kan masing-masing individu: identitas antara berbagai realisasi
ini hanya mungkin apabila orang menganggap bahwa mereka
mengungkapkan nilai yang sama. Seperti juga dua mata uang
lima franc yang berbeda, tetap mata uang yang "sama" karena
keduanya memiliki nilai yang sama (PLU 209-210); demikian
pula kereta express Jenewa- Paris pukul dua puluh empat puluh
lima tetap sama setiap hari, meskipun karetanya, penumpang-
523

nya, dsb., berbeda {PLU 200-201). Nilai bunyi adalah penanda


suatu langue, nilai porlambangan adalah petanda. Nilai-nilai ini,
yang tidak ditetapkan oleh bunyi maupun oleh perlambangan^
bersifat semena dari segi pandang fonis-akustis dan logis-
psikologis. Mereka sating membatasi, artinya mereka meinben-
tuk suatu sistem {PLU 285—286). Dan sistem nilai ini adalah
sesuatu yang berbe4a (secara dialektis dan mendasar) dari
pengungkapan fonis lambang fbnis dan signifikatif (lihat C. 231)
tindak parole tertentu.
Perlu ditambahkan segera bahwa oleh karenanya sistem
nilai penanda dan petanda ini tidak dibentuk dari material fonis^
akustis dan logis-psikologis, tetapi ia justru mengubah material
tersebut dalam bentuk-bentuk tertentu: dalam pengertian ini
sistem merupakan bentuk {PLU206—207). Bentuk ini abstrak da
ri sudut pandang kekonkretan yang teraba (tetapi Saussure me-
ngalami kesulitan untuk mengatakannya, setelah satu abad se-
tengah orang meneinukan kata konkret:{infra c.70). Bentuk ber-
sifat konkret dalam alam sadar para penutur yang mengacu pada-
nya pada saat mereka bicara {PLU 193, dst). Menarik kesahihan
dari para penutur dan hanya dari para penutur, membuat langue,
sebagai bentuk (justru sebagai bentuk), bersifat sosial{PLU 159.
dst). Ciri-ciri formal langue ini hanya dapat dinilai dalam sikroni,
tetapi karena ciri-ciri ini merupakan hasil kebetulan-kebetulan
dalam perjalanan waktu {PLU 160—161), langue sebagai bentuk
juga bersifat historis (/bid).
Kalau penafsiran kami betul (penafsiran ini akan dicek
setiap saat dalam catatan-catatan mengehai berbagai butir yang
dikutip) orang akan memahami sekaii apa yang dimaksud oleh
Saussure ketika ia berbicara tentang "kenyataan pertama" dan
:prinsip pertama". Kesemenaan lambanjg mempunyai tempat
utama dalam ordp rerum: ia merupakan dasar yang di atasnya
berdiri langue sebagai bentuk, ia adalah aturan pokok segala
permainan bahasa. Pembedaan ag|ya /ongwc sebagai bentuk dan
parole sebagai pengungkapan signifikatif dan foriis-akustis adalah
kenyataan pertama yang ditemukan orang begitu ia mengakui ciri
kesemenaan pada lambang. Untuk mengenali ciri ini, kita harus
"turun kembali sampai ke konkret"(Prieto)tindak parole khusus,
individual dan terulang. Ini berarti bahwa prius dalam penyajian.
524

seharusnya bukan "tesis utama"atau "pr^sip pertama", melainkan


analisis konkret, artinya pembicaraan tentang masalah yang kita
baca dalam 1759-1765 B Engler, dan yang membawa kita untuk
bertaiiya atas dasar apa para penutur mengidentifikasi dua
tindakan yang , dari juriisan fonis-akustis dan psikis-semantis.
Dengan kata lain, kalau seluruh penafsiran ini benar, PLU se
harusnya dibuka pada halaman 302-304 dan 199-202 mengenai
identitas diakronis dan sikronis, kemudian diikuti oleh pengenal-
an ciri kesemenaan dalam lambang, jadi ciri formal langue, dan
akhifnya disimpulkan, di bagian pertama, oleh pembedaan
metodologis antara penelaahan suatu gejala bahasa sebagaimana
ia mengungkapkan nilai tertentu (langue) atau sebagai pengung-
kapan fonis-akustis atau psikologis (parole).
Sebaliknya, terpukau oleh materialitas pernyataan Saus-
sure kepada Riedlinger mengenai prioritas pembedaan antara-
langue &m parole, para penyunting telah meletakkan pembedaan
tersebut di awalpn/-;tanpa konteks apa pun,tanpa pembenaran
lain kecuali tujuan menjamin para linguis akan adanya atonomi
(lihat C.51), pembedaan tersebut nampak tanpa dasar sehingga ia
dengan berbagai cara, ditentangkan dan disalahmengertikan.
Dengan cara yang sama telah disalahmengertikan "prinsip perta
ma" yaitu kesemenaan yang dilepaskan dari seluruh pembenaran-
nya (kecuali contoh didaktis yang sangat kecil) dan diletakkan
padja pembukaan bagian pertama (lihat PLU 147-149). Segala
komentar ini bertujuan mengimbangi komentar mereka yang
menyatakan bahwa tesis besar Saussure "mengambang" (Rog-
ger); tetapi kita harus mengakui bahwa sebelum Godel (SM)
men3msuh kembali makna otentik dari pemikiran SaUSsure,
kesan keluarga Rogger memang sulit dihindari (hanya seorang
yang genius seperti Hjellev dapat menyusun kembali dasar
yang kokoh dan mendalam bagi tesis Saussure). Seluruh komen
tar ini bertyjuan mengimbangi mereka yang telah menyajikan
dan sedang menyajikaii gagasan Saussure sebagai himpunan tesis
yang silih berganti tanpa hubungan logis intern: tetapi penyajian
semacam itu memang tidak dapat dihindari, jika orang bertolak
dari "jiplakan" PLU, dimana hubungan timbal balik antara
berbagai tesis, hubungan yang telah dicari Saussure selama
hidupnya, kacau balau karena penempatan bagian-bagian yang
dilakukan oleh para penyunting, keliru.
525

Karena sebab-sebab diatas, semula tak terhindari, bahwa


penafsiran tradisional menafsirkan pembedaan antara langue dan
parole sebagai pembedaan antara dua kenyataan yang terpisah
dan bertentangan, dua "hal" yang berbeda (satu ada dalam
masyarakat, yang lain berada sedikit banyak dalam jiwa indi-
vidu); sehingga orang tinggal menyalahkan Saussure, dengan
berbagai cara (sebagai idealisme oleh para materialis, sebagai
posisitivisme kasar oleh para spiritualis), mengenai pemisahan
tersebut.
Catalan riwayat masalah tafsir dan perkembangan teori:
Coseriu 1951=1962. 18 dst., Spence 1957 (bdk. juga Spence
1962), Slusareva 1963. 35 dst. (kritik di U.S.S.R.).
Berikut ini adalah daftar pustaka yang lebih khusus
mengenai pembedaan tsb: Absil 1925, Amman 1934.
261-62 (ciri abstrak langue), ,267-68 (kesulitan pembedaan),
Baldinger 1957. 12 (langue bernilai kolektif, parole individual
teraktualisasi), 21 (pembedaan adalah fondasi pembedaan antara
semasiologi dan stilistik). Bally 1926, Bolelli 1949. 25-58, Brondal
1943. 92 dst. Budagov 1954. 11 (mengkritik abstraksi/angwe),
Cikobava 1959. 97-99, Devote 1951. 3-11, Doroszewski 1930.,
1933 a dan b, 1958 (sumber-sumber pembedaan), Gardiner
1932.62, 106 dst. (mempertahankan pembedaan di hadapan
kritik), Gardiner 1935, Gill 1953, Gipper 1963. 19 dst., Herman
1936. 11, Jespersen 1927. 573 dst., 585 dst. (kritik sangat negatif),
1933. 109 dst. (id.). Selected Writings 389 (id.), Jespersen 1925.
11, 12, 16-23, 125, Junker 1924. 6 dst., Kofinek 1936, Laziczius
1939 a dan b, Lepschy 1966. 45-46, Leroy 1965. 85-87, Lohmann
1943, Malmberg 1945. 5-21, 1954. 10-11, 1963. 8 dst., Moller
1949, Otto 1934, 179 dst., Pagliaro 1952. 48-61, Pagliaro 1957.
377, Palmer 1954. 195, Penttila 1938, J.L. Pierson "Three
linguistic problems", SL 7, 1953, 1-6, "Langue-parole? Signi-
fiant signifie-signe?" SL 17, 1964; 13-15., Rogger 1941. 173-83,
Rogger 1954 (melawan tesis aktualisasi), Scerba 1957, Schmidt
1963 (langue sebagai potensialitas, parole sebagai aktualitas),
Sechehaye 1933, Sechehaye 1940, Spang-Hanssen 1954. 94,
Terracini 1963. 24,26 (abstraksi), Tezisy 1962, Vasiliu 1960,
Vendryes 1921 (=1952. 18-25), Verhaar 1964. 750 dst., Vidos
1959. 108-10, Vinay-Darbelnet 1958,18-31, Volkov 1964, Wart-
burg-Ullmann 1962. 4-6, Waterman 1963. 64.
526

Mengenai pendahuluan pembedaan gaya Saussure, lihat


supra 454 dst; perlu ditambahkan pendapat Pisani yang mengata-
kan bahwa pembedaan seharusnya dituturkan "dengan penampil-
an soSiologis" dari A. Schleicher dan dari Max Miiller.
Mengenai kesejajaran pembedaan gaya Saussure dalam
linguistik matematis dan dalam teori informasi dan semiotika
gaya Morrosse dan dalam filsafat Wittgenstein yang terakhir,
bdk. Herdan 1956. 80, Ellis dalam Zeichen u. System 1,48, Wina
1963. 3 dst., dan bdk. supra 449—450, infra c. 68.
Pembedaan gaya Saussure karena idealis dibuang oleh
Cohen 1956. 89-90 (bdk. juga S. Timpanaro,"Considerazioni sul
materialismo", Quaderni piacentini 5:28,1966. 76-97, hal. 96-97,
yang dibicarakan dalam De Mauro, "Strutturalismo idealista?".
La Cultura" 5, 1967.113-116).
(66) Jadi penafsiran langue sebagai "kode" berasal dari
Saussure : segi pandangan ini ditemukan lagi pada Martinet 1966.
29, Lepschy 1966. 30-31, dll.
(67) Jadi parole bagi Saussure adalah sekaligus kegiatan
komunikasi dan basil khususnya, material bahasa khusus yang
dipergunakan dalam kegiatan sebagaimana ia dipakai dalam
tindak komunikasi tersebut (lihat supra c. 63). Sampai kini orang
masih bicara, misalnya Prieto 1964, untuk menunjuk kedua muka
parole tentang "perlambang" dan "bunyi': kedua istilah adalah
nomina actionis yang juga digunakan sebagai nomina rei. Orang
dapat saja menyalahkan Saussure karena tidak membedakan
secara terminologis antara Sprachhandlung dan Sprachwerk
(untuk mengulangi pembedaan dan perincian Biihler 1934. 48
dst.), tetapi di dalam teks ini pembedaan termonologis memang
lazim, untuk kasus-kasus yang sama, dalam bahasa-bahasa Indo-
Eropa maupun dalam tata istilah linguistik. Vachek 1939. 95-96
sebaliknya mempertahankan bahwa telah terjadi kekeliruan kon-
septual, apabila 1° ('kombinasi yang ...') menjadi bagian bidang
langue. Gagasan Saussure goyah pada butir ini: PLU c.25\.
(68) Pernyataan ini berbau positifis: terdapat di awal
Trattato di sociologia generale tulisan V. Paretto (I, 1, 108-119).
Sebenarnya,"diskusi dengan hal-hal kenyataan bahwa kita "be-
rangkat dari hal dan bukan kata", dll., merupakan khayalan para
guru, atau metafora yang menyesatkan. Kita tidak pernah akan
527

terbebas dari jaring lambang-lambang verbal yang kita gunakan


untuk mengidentifikasi pengalaman kita: kecuali apabiia kita
dapat meninggalkan sebuah jaring dan menggantinya dengan
yang lain, atau mengubah jaring yiang tersedia dengan memper-
kayanya, menyetnpurnakannya, dan seterusnya. Lagi pula te^ia-
pat bukti bahwa Saus^ure tidak pernah akan terbebas dari kata-
kata di dalam kesulitan, diskusi, polemik di sekitar masalah
penerjemahan trio langue-parole-langage ke bahasa-bahasa lain
(tetapi justru hal ini membuktikan bahwa karya ilmiah dapat
mengatur kembali, sesuai dengan cara tertentu untuk tujiian
teknis tertentu, penggunaan bahasa yang lazim). Di bawah ini
kami telaah penerjemahan trio tadi dalam berbagai bahasa:
ARAB: lisdn 'langue", kaldm "parole"(Kainz 1941. 19-20).
MESIR: madet'langue", ro "parole"(Gardiner 1932. 107).
YUNANI: "langue",'^<To?'langage" (Kainz, 1941.
19-20)
LATIN: lingua "langue", sermo "langage-parole", oratio
"langage-parole"(Kainz 1941. 19-20).
JERMAN: Lebih dari bahasa Inggris, seperti yang kita
akan lihat di bawah ini, penerjemahan istilah-istilah Saussure
dalam bahasa Jerman menimbulkan masalah: pada tingkatan
sehari-hari, istilah Sprache berada di antara nilai langue dan
langage, istilah Rede di antara langue, parole dan discourse. Itu
sebabnya, pada tingkatan bahasa teknis diperlukan istilah ketiga
dan sekaligus menetapkan makna kedua istilah yang sudah ada.
Akibatnya, terdapat berbagai usaha coba-coba yang membeber-
kan tidak adanya jalan keluar yang disetujui bersama. Jalan
keluar terjepiahau Lommel (hal. 13 dst.) adalah menetapkan
Sprache dengan arti langue,menyebut langage dengan menschlis-
che Rede ('wacapa manusia") dan parole dengan das Sprechen
(^'parole", ini adalah jalan keluar yang diterima secara kurang
lebih stabil oleh Diet-Bruriner 1950. 3, 16, Wartburg-Ullmann
1962.4, Gipper 1963. 19). Yang lain memilih untuk menyebut pa
role dengan Rede (Baldinger 1957. 12, 21, Penttila 1938,
Wartburg-Ullmann 1962.6); karena adanya dwi atau trimakna
Sprache pada tingkatan bahasa sehari-hari, membuat orang,
karena ingin lebih jelas, menggunakan kata majemuk dan
528

derivasi yang berbagai macam : Sprachtum "langue", Sprechakt


"parole", Sprache "langage" (Herman 1936.11, Otto 1934.
179, 182); Sprachgebilde "langue", Sprechakt "parole", Sprache
"langage"(Trubetzkoy 1939.5); Sprachbesitz "langue", Gesprdch,
das wirkliche Sprechen "parole", Sprache "langage" (Porzig 1950
108); (Mutter) Sprache atau (Einzel) Sprache "langue", Sprech
(akt) "parole", Sprach(fdhigkeit) "langage"(Gipper 1963.22 dst).
INGGRIS : Penerjemahan ketiga istilah Saussure lebih
tepat dikatakan problematis. Kata pinjaman dari bahasa Perancis
kuno language lazimnya lebih bermakna "idiom" dari pada
"kegiatan bahasa", dan jelas merupakan padanan langue (bdk.
Palmer 1924. 40, Jespersen 1925. 11-12, Gardiner 1932, 107 dst.
sampai ke terjemahan mutakhir oleh Baskin, tetapi Lepschy
dalam indeks istilahnya yang dibuat dalam lima bahasa dalam
Martinet 1966. 207 dst., mengusulkan langsung language sebagai
padanan ambigu dari langue dan langage). Terjemahan parole
dan langage lebih ragu-ragu lagi, dan orang telah menerima
istilah-istilah speech dan speaking dengan berbagai pengertian
dan nilai. Speech sama dengan parole menurut Gardiner 1932.
107(tetapi lihat infra .), Kainz 1941. 19-20. Sommerfelt 1952. 79,
Carroll 1953. 11-12, Malmberg 1963. 9, tetapi istilah ini nampak-
nya bermakna langage bagi Gardiner yang itu juga 1935. 347
(lihat Coseriu 1962. 24)dan bermakna langage bagi Palmer 1924.
40, Jespersen 1925. 11-12. Terjemahan W. Baskin merupakan
jalan keluar yang cerdik (brillant) yang dapat diperkirakan akan
tetap: ia telah memilih language untuk langue, speech atau human
speech untuk langage dan speaking "wicara" xxnivik parole.
SPANYOL : Lengua, lenguaje dan habla (bdk. misailnya
terjemahan A. Aloson, hal. 54 dst.) merupakan padanan tepat
daii langue, langage dan parole (meskipun demikian didapatkan
juga circuito de la palabra, palabras, hal. 53-54)
BELANDA : Penggunaan istilah-istilah bahasa ini juga
ragu-ragu; taal umumnya bermakna langue(Gardiner 1932. 107),
spraak bermakna langage dan parole, dan makna yang kedua ini
dapat pula disebut rede (Gardiner, tetapi bdk. Kainz 1941. 19-
20).
HONGARIA : Langue diberi padanan nyelv ("idiom").
529

parole dipadankan beszed ("wacana"), langage dipadankan nyel-


vezet(E. Ldrinczy, Saussure mqgyar fordltdsa eld, cit., hal. 282).
ITALIA : Penerjemahan pasangan langue-langage tidak
menimbulkan kesulitan apa pun karena dapat dipadankan secara
sempurna dengan lingua-linguaggio. Penerapan makna kedua
istilah tersebut dengan makna Saussure cukup lazim: hariya
beberapa filsuf ilmu dan langage, yang terpengaruh oleh istilah
Inggx'xs language dan yang sama sekali tidak tabu mengenai hal-
hal yang berhubungan dengan bahasa, terus mempergunakan li-
nguaggip dengan makna langue (terjemahan mutakhir dari karya
L. Wittgenstein, Philosophische Untersuchungen Turino 1967,
oleh M. Trinchero, hal I. 9, 10 dst.) Sebaliknya penerjemahan
parole menimbulkan masalah. Padanan Italia yang paling de-
kat jelas parola. Di luar konteks, terjemahan tersebut nampak-
nya memuaskan: dari 21 pengertian kata parole yang misalnya
disajikan oleh Petit Larousse, hanya satu (porter la parole) yang
hampir tidak berpadanan atau salah padanahnya dengan istilah
Italia parola, dan di dalam kamus Italia yang besamya sama
dengan Larbusse, dalam Zingarelli misalnya, semua pengertian
parola dapat dipadankan dengan paro/e. Tetapi analisis kedua
kamus tersebut memperlihatkan suatu divergensi di dalam
jienggunaan nyata kedua istilah tersebut di dalam berbagai
pengertian mereka: dari ke-21 yang disajikan oleh Larousse,
hanya satu yang dekat dengap "vocah/e", sedangkan kedua puluh
yang lainnya lebih dekat dengan "facon de s'exprimer (cara
mengutarakan pikiran), manifestation verbale (manifestasi verba-
le)"; hal sebaliknya terjadi dalam kamus Italia dimana separuh
dari contoh-contohnya dekat dengan "vocable". Dan, kalau
dianalisis lebih teliti lagi, tampak bahwa kalimat-kalimat Italia di
mana kata parola bermakna "manifestation verbale", relatif
merupakan keistimewaan (arkais: Se io ho ben la tua parola
intesa, gaya sermonial: La parola del Signore, il dono della paro
la, gaya semibirokratis: chiedere la parola, dare la parola) dan
sebaliknya, penggunaan parola dalam arti "vocable" lazim,
sedangkan situasinya dalam bahasa Perancis adalah sebaliknya.
Dengan kata lain, di dalam sebagian besar kasus, kata Italia
parola bukan sama dengan kata Perancis parole melainkan
dengan kata Perancis mot. Inilah yang jelas merupakan asal
530

kesulitan: dalam teks yang tidak membicarakan mot, parole


dapat saja diterjemahkan d^ngan parola, dengan sedikit memak-
sakan kebiasaan yang lazim; tetapi di dalam teks yang membica
rakan' sekaligus mot dan parola dalam pengertian vocable ter-
jemahan paro/e dengan parola menimbulakan ambiguitas bagi
kita. Meskipun demikian terjemahan ini telah diterima oleh
Pagliaro 1957, 32, Lepschy dalam Martinet 1966, terjemahan ini
telah dihindari dalam terjemahan] PLU ke bahasa Italia. Ada
pula cara lain yang telah diterima atau yang mungkin: mencetak
PAROLA apabila kata tersebut bermakna parole, dan parola
apabila bermakna mot(Devoto,surat pribadi tanggaH2 Februari
1964); menerjemahkan dengan "atto linguatico" (M.E. Conte,
Sigma 10, 1966. 45) berarti menghilangkan ambivalensi kata
parole (lihat supra c. 66). Menerjemahkan dengan (il) parlare
atau espressione, akan melindungi kita dari bahaya yang tersebut
di atas tetapi menciptakan ungkapan yang sangat kaku di satu
pihak, dan di lain pihak ada resiko kita berhadapan dengan
ambiguitas yang kultural sifatnya karena ada kaitan pada
tingkatan sangat resmi antara espressione dan konsepsi estetis-
linguistis dari Croce. Lebih baik tetap menggunakan kata
Perancis dalam bahasa Italia.
POLANDIA: Langue berpadanan jezyk^ langage berpa-
danan mowa dan parole berpadanan mowa jednostkowa.
RUSIA : Langage diterjemahkan dengan perifrase recivaja
dejateV nost'(Vvedenskij 1933.12;Lepschy dalam Martinet 1966.
211 sebaliknya memberikan padanan jazyk), langue dsn parole
diterjemahkan dengan jazyk dan re£' (Vvedenskij cit., Volkov
1964, Lepschy cit., dll.).
SWEDIA: Langue dipadankan dengan sprak, parole
dapat dipadankan dengan tal, tetapi lebih tepat dengan rincian tal
som konkret fenomen (atau rincian yang sejenis), dengan per-
timbangan tal yang berdiri sendiri dapat juga dipadankan dengan
langage (Regnell 1958. 10, B. Malmberg, Sprdket och mannis-
kan, Stockholm 1964, hal, 12, dan Kainz 1941. 19-20).
Sulit bagi kita untuk tidak menyimpulkan bahwa Saussure,
meskipun kepercayaannya pada "hal-hal", telah berhasil me-
nyusun dengan lebih mudah tripartisi klasiknya karena ia me
nggunakan bahasa Perancis (mengenai hal ini lihat Kronasser
1952. 21).
531

(69) Mengenai masalah pengajaran bahasa ini, L. Wittgen


stein telah menulis karya yang di masa mendatang dianggap
klasik dan sangat berbau Saussure (Pfiilosophische Unter-
suchungen, § 1 dst.).
Masalab pengajaran bahasa ibu oleh anak hanya dibahas
sedikit oleh iaassure (lihat supra PLU c. 49); kini terdapat
pustaka yang luas sekali yang berasal dari karya-karya sintesis
seperti G. Miller, Langage et communication, Paris 1956 (masih
banyak kegunaannya kalau dibaca hal. 191-234, yang diilhami
segi pandang asosiasionis), Language Acquisition, Bilingualism
and Language Change (essai J.B. Carroll, R. Jakobson, M.
Halle, W. F. Leopold, J, Berko dan yang lain) dalam Psycho-
linguistics, New York 1961, hal 331 dst., R. Titone, La
psicolinguistica oggi, Zurich 1964. Perlu diperhatikan bahwa
karena sebelum kemampuan mempergunakan suatu langue yang
sifatnya historico-natural, bagi Saussure terdapat kemampuan
ganda membedakan dan mengelompokkan makna-makna dalam
petanda dan pengungkapan dan fonis dalam penanda, yang
mengasosiasikan satu dengan lainnya (lihat catatan 56),/PLU
membentuk teori pengajaran, lebih dalam keserasian dengan
pendirian J. Piaget (c. 56) daripada pendirian-pendirian be-
havioris dan asosiasionis. Inilah sebabnya mengapa di dalam
penelaahan mutakhir mengenai teori pengajaran orang meng-
gunakan secara luas tesis-tesis Saussure: G. Francescato, II
linguaggio infantile. Strutturazione e apprendimento, Turino
1970, hal. 25, 26, 78-79, 107, 109-111, 113, 114, 119, 192, 195.
(70) Menurut Hjdlmslev 1942. 37 dst, harus pula dilihat
dalam teks ini kehadiran pengertian langue sebagai norma yang
mengatur perilakii bahasa dalam berbagai kelompok sosial (lihat
PLU c. 45).
Perlu dicatat bahwa dalam sumber tulisan tangan alinea
keempat tidak terdapat satu pun acuan pada aksara (263-269
Engler). Jadi, gagasan yang menegaskan segi konkret dan
terungkap dari lambang-lambang dalam kemungkinannya dite-
tapkan secara tertulis bukan berasal dari Saussure, melainkan
merupakan usaha para penyunting untuk menafsirkan gagasan.
Kini, dalam rangka epistemologi yang sangat berbeda
dengan epistemologi tempat Saussure mengembangkan gagasan-
532

nya, istilah-istilah mengenai masalah ini jelas bagi kita. Saussure


telah menunjukkan bahwa identifikasi dua bunyi atau dua
perlambangan yang berbeda tidak didasarkan dan tidak dapat
didasarkan pada tataran kesamaan fonis atau psikologis, tetapi
didasarkan pada penafsiran bunyi yang satu dan yang lain dan/
atau perlambangan yang satu dan yang lain sebagai replika yang
tipenya sama, sebagai penggunaan yang secara fisik maupun
psikologis berbeda dari satuan-satuan bahasa yang identik.
Identitas ini, yang terlepas dari pembenaran fisis-akustis maupun
logis-psikologis, merupakan satu-satunya jaminan bahwa nyata-
nya di dalam suatu masyarakat atau budaya tertentu, perlam
bangan diklasifikasikan dalam kelas-kelas tertentu dan bukan
yang lain (petanda), dan realisasi fonis dalam kelas-kelas tertentu
dan bukan yang lain (penanda) karena introduksi pembatasan
dalam massa perlambangan dan dalam massa bunyi merupakan
introduksi semena (tak bermotif dari segi fisiologis, akustis,
psikologis, logis, dll.). Pembatasan semacam ini merupakan
skema abstrak tempat tersusunnya perlambangan dan bunyi
konkret. Dengan sendirinya abstraksi semacam ini beroperasi
secara sangat "konkret" pada saat ia mengatur perilaku bahasa
individual.
Dengan menarik kesimpulan ganda ini (ciri "abstrak"
satuan-satuan bahasa dan efektivitas "konkret" mereka), Saus
sure terbentur pada kesulitan epistemologis dan terminologis
yang berasal dari zamannya dan budayanya. Analisis Saussure
dilatarbelakangi epistemologi Kant, idealis, positivis. Dalam
epistemologi semacam ini, abstraksi merupakan "Suatu perhatian
negatif (Kant), adalah keterbatasan, pemisahkan, atau juga
"kepalsuan" (Hegel), abstraksi tidak memiliki kekuatan "fakta"
dalam penafsiran positivis yang paling dasar (Eisler 1927 dst.
Abstrakt, Abstraktion, Abbagnano 1961 dst. astrazione). Sedang-
kan Abstrakt adalah "satuan terkecil, dasar pengertian yang tidak
sempurna" (Hegel, Werke, V, hal. 40), mahluk hidup adalah
"sungguh konkret"(Eisler, cit)
Gerakan reevaluasi "abstrak" memiliki akar yang rumit dan
banyak: dari jurusan filsafat dan epistemologi dapat disebutkan
penemuan peran satuan-satuan lainbang konvensional dan abs
trak yang sudah jadi, dengan bertolak dari berbagai pendirian.
533

melalui Cri. S. Peirce, Coll. Pop. 4.235, 5. 304; E. Mach, i5r-


kenntnis und Irrtum. Skizzen zur Psycholdgie der Formen,
Leipzig 1905. bab VII, E. Cassker, Philosophie der symbolischen
Formen, ed. ke-2, 3 jilid. Oxford 1954, J. Devfey, Logic, Theory
of Inquiry, New York 1938, Bab 23, R. Camap, ^'Empiricism,
Semantics and Ontology", Revue Internationale de PhUosopHU,
4, 1950. 20-40, dan bdk. ketidakpahaman dan diskusi yang di'
kutip bleh F. Barone, II neopo^tivismo logico, Turin 1953, hal.
371 dst. A. Marty telah memainkan peran dalam gerakan iSlsafat
(bdk. Eisler, Abstrakt). Di samping para filsuf, perlu d^iingat
beberapa sektor ilmiah; psikologi persepsi, epistemologi genetis
telah menyumbang dengan berbagai cara satuan-satuan abstrak.
Saussure termasuk pencetus gerakan ini. Tetapi, dengan alasah
yang sama. tidak adanya acuan epistemologis yang sahib, dart
tata istilah yang memadai,ia terpaksa di satu pihak mehgakuidan
menggarisbawahi ciri nonkonkret, formal, jadi abstrak, dari
satuan-satuan bahasa PLU 206—207); di lain^pihak, karena:ter-
ikat dalam tata istilah dan epistemologi di maha abstrak hanya
beimakna "marginal" (Peirce), "tak nyata", "palsu", ia terpaksa
menyatakan bahwa satuan-satuan bahasa "sama sekali tidak
abstrak"(263 Engler), apabila mereka beroperasi secara efektif
(PLU 239,305 dst.). Dan, untuk menonjolkan ciri nonkonkret,
nonesensial, ia berpetualang dengan mengatakan bahwa satuan-
satuan bahasa bersifat "spiritual"(263 Engler), meskipun ia sama
sekali bukan spiritualis (lihat acuan tetap pada kenyataan
neurologis dan cerebral langue: PLU. 76, 78—80, dll); atau
"psikis"(265 Engler). Di hadapan kesulitan yang sama, para pen-
yunting telah memberikan penafsiran seadanya (yang tidak me^
muaskan sama sekali) mengenai gagasan Saussure, dengan ihe-
masukkan acuan pada aksara, yang tidak terdapat dalani suniber.
(71) Sumber-sumber paragraf ini adalah empat kuliah: dua
(4 November 1910 dan 25 April 1911) dari perkuliahan ketiga,
dan dua (12 dan 16 November 1908) dari perkuliahan kedua:
bdk. 5M 66-67, 103.
(72) Pasti karena pengolahan dan kontrol berfungsinya
sistem-sistem semiologi lain yang mungkin, bagi manusia!, berada
di dalam sembarang bahasa historis. Lagi pula suatu bahasa
historis, dan di sinilah bedanya dengan sistem-sistem semiologi
534

non bahasa, dibangun sedemikian rupa untuk membuat setiap


pengalaman' manusia yang mungkin ada menjadi bermakna
(keadaan hampir) "tak terungkap" hanya terjadi apabila dalam
hubui^gan dengan ungkapian lain yang lebih balk, keadaan ini
harus selalu diungkapkan dengan satu dan lain cara supaya orang
dapat membicarakannya.
(73)Saussure kemungkinan besar telah memikirkan semio-
logi sebelum tahun 1900, ia membicarakannya dengan Navile
pada tahun 1901 (lihat, c.9).
Mengenai istilahnya, lihat 454—455 dan c. 12.
Mengenai hubungan dengan Peirce, lihat PLU c.l39.
Mengenai semiologi (yang kegunaannya diperdebatkan;
Borgeaud- Brocker-Lohmann 1943. 24) bdk. Frei 1929. 33, 246,
Firth 1935. 50 dst., E. Buyssens, Les langages et les discours.
Essai de linguistique fonctionnelle dans le cadre de la simiologie,
Brussel 1943, Spang-Hanssen 1954.103-105, Hjelmslev 1961. 107
dst. (yang di samping karya-karya Buyssens, melihat penerapan
semiologi dalam penelitian etnologi struktural P. Bogatyrev).
Dalam bidang ini, penelitian yang paling sistematis dan maju
telah dikembangkan oleh L. Prieto, lihat Principes de Noolo-
gie, Den Haag 1964 dan Messages et signaux, Paris 1966.
Mengenai penafsiran yang terkenal dari bidang ini,, bdk. juga
karya R. Barthes, Elements de semiologie, Paris 1964.
(74)Sumber-sumber tulisan tangan memperlihatkan bahwa
Saussure lama sekali mengulang-ulang kritik konsepsi langue se-
bagai tata nama (302 dst. Engler). Pembicaraan ulang terdapat
dalam Hjelmslev 1961. 49 dst.(berasal dari 1943), Martinet 1966.
15-17 (berasal dari 1960). Kritik tersebut tidak diketahui oleh
para penyunting- PLt/, seperti juga bagi sebagian besar linguis-
tik kontemporer, yang tidak mengerti maksudnya dan terus
berpegang pada konsepsi tata nama yang berasal dari Aristoteles
(De MaurQ 1965. 73 dst). Contoh-contoh terdapat dalam teori-
teori semantik S. Ullmann atau L. Antal (De Mauro 1965.
170-173; mengenai Ullmann lihat juga supra dan c.l29). Jadi,
dapat sangat dimengerti bagaimana pengertian kesemenaan lam-
bang dalam jPLU telah dapat sekian lama ditutupi oleh sebuah
contoh yang menyedihkan dan, terutama, oleh penafsiran banal:
pengertian ini disadari oleh penemuan kesemenaan pengelom-
535

pokan dan perlambangan dalam petanda yang discret, peneniuan


yang berkaitan dengan kritik terhadap konsepsii/flngwe sebagai
tata nama. Mengenai hal ini, lihat PLU 147-149 dan catatan-
catatan.
(75) Sumber-sun^ber bagi bab ini adalah kuliah-kuliah
dalam perkuliahan kedua dan ketiga: SM 103.
(76) Ini adalah pengertian /nngMe-skema menurut Hjelm-
slev (lihat PLU c.45). Meskipnn demikian bdk. PLU 127, di
mana dibuat tempat tertentu bagi gejala kebisuan alat-alat
ucap sebagai syarat struktur sistem fonemotik. Tetapi, kondisi-
kondisi tersebut, yang tidak berpengaruh secara pasti, pembe-
daan fonematik pembunyian dapat dan memang berbeda pada
setiap bahasa sehingga penelaahan pembunyian tidak mem-
berikan rangka bagi sistem fonematik.
Perbandingan hubungan langue-parole dengan hubungan
simfoni pengungkapan muncul juga secara berarti pada diri
pengikut Chomsky: J. J. Katz,P.M. Postal, Ah Integrated Theory
of Linguistic Description, Cambridge (Mass) 1964, hal, IX.
Di dalam paragraf berikutnya, di mana terdapat bekas
efektivitas tak langsung dari alterasi fonetis pada organisasi
langue, menurut Hjelmslev muncul pengertian /angnesebagai
kebiasaan, lihat PLU c. 159.
(77) Mengenai penggunaan istilah psikis untuk memberi
sifat langue dan penelaahannya, lihat supra, c. 65.
(78) Lihat supra c. 65.
(79) Mengenai penafsiran langue sebagai "model" dan lebih
umum lagi mengenai penggunaan model-model dalam linguis-
tik, bdk. Ouiraud 1959. 19, De Mauro, "Modelli semiologici.
L'arbitrariet^ sem'antica," Langua e stile I, 1966. 37-61, pada
hal. 37-41 dan 1.1. Revzin, Models of Langufige, terjemahan dari
bahasa Rusia, London 1966.
(80) Lihat c. 63, PLD c.67, C.251.
(81) Suatu pendapat yang luas mengatakan mengenai
parole bahwa, karena parole adalah "das standing Wechselnde",
ia "nicht Gegenstand der Wissenschsft sein kann" (Brocker
1943.382). Sebenamya, orang tidak mengerti mengapa deskripsi
ilmiah harus hanya mengurusi kenyataan-kenyataan yang tidak
meragukan; deskripsi mengurusi kenyataan tersebut dengan
536

mendapatkan variabel-variabel dari keragii-raguan. itu. Dan


variabel parole bukanlah satuan-satuan bahasa melainkan varia-
bel psikologi, fisiologi dan akustik.
Mengenai linguistik parole, lihat Buyssens 1942,/C)ikobava
1959, 111-125, Skalitka 1948. Mengenai primat linguistik parole
("pada mulanya tersebutlah parole": lihat PLU 184—185),
bdk. Sechehaye 1940. 9, Quadri 1952. 84. Di Italia, A. Pagliaro
telah melakukan analisis objektif dan ilmiah mengenai parole
dengan kritik semantiknya sendiri, yang menipakan linguistik
parole yang sebenarnya (Pagliaro 1957. 377-378).
Mengenai psikolinguistik sebagai linguistik parole(menurut
Osgood) lihat supra.
(82) Sumber utama bab ini adalah sebuah kuliah dalam
perkuliahan kedua, yang disajikan bulan November 1908 (S.M.
68-69). Judul kuliah tersebut, dalam catatan Riedlinger adalah
Division interiure des choses de la linguistique. Memang judul
yang dipilih para penyunting untuk bab ini tidak begitu tepat:
seharusnya lebih baik mengganti linguistique dengan langue.
(83) Inilah catatan tulisan tangan Riedlinger, sumber bagi
paragraf pertama bab ini:
'Telah diajukan keberatan mengenai penggunaan istilah
organisme: langue tidak dapat dibandingkan dengan makhluk
hidup karena merupakan haisil mereka dan tempatnya bergan-
tung. Meskipun demikian kata tersebut dapat digunakan tanpa
mengatakan bahwa langue adalah suatu mahluk tersendiri, yang
lahir di luar jiwa, berdiri sendiri. (Kalau dianggap lebih baik),
daripada bicara tentang organisme, orang dapat memakai sistem.
Hal ini lebih baik walau hasilnya sama saja. Jadi — (definisi) —
linguistik ekstern = semua yang menyangkut langue tanpa masuk
dalam sistemnya. Dapatkah orang bicara tentang linguistik
ekstern? Kalau orang ingin teliti, orang dapat menyebut: pengka-
jian intern dan ekstern linguistik. Yang termasuk segi ekstern
adalah sejarah dan deskripsi ekstern, yang dari sudut pandang ini
termasuk hal-hal yang penting. Kata linguistik hkususnya menim-
bulkan makna gagasan himpunan tersebut"(370-374 Engler).
Seperti yang kita lihat, pengkajian ekstern langue bagi
537

Saussure adalah bagian penting dari linguistik karena faktor-


faktor ekstern berperan penting dalam pembentukan langue.
Bandingkan juga Regard 1919.10-11. Pembedaan antara pengka-
jian ekstern dan pengkajian intern telah dijajaki bleh Paul 1880.
12. Meskiptin demikian baginya, linguistik seharusnya hanya
mengurusi hubungan-hubungan tempat Vorstellungsinhah men-
dapat ungkapan: seperti yang kita lihat, ini adalah tesis eksklusi-
vis (pengkajian ekstern bukan'linguistik) yang dipersalahkan
pada Saussure (lihat PLU c.40). Vvedenskij 1933. 12 mengkri-
tik pembedaan tersebut sebagai "borjuis" justru atas dasar
tuduhan yang tanpa bukti ini. ■
(84) Mengenai pandangan-pandangan lain mengenai butir
ini, lihat PLU 337—345, 360—373 dan catatan, dan bdk. Amman
1934. 276-277.
(85) Mengen^ hubungan antara peristiwa sosial politik dan
peristiwa bahasa, bdk. mengenai pengantar pada masalah dan
daftar pustaka, Cohen 1956. 273-354.
Mengenai romanisasi linguistik Italia lihat De Mauro,
Storia ling, dell'Italia Unita, Bari 1963. 306 dst.; mungkin
Saussure berpikir tentang A. Budinszky, Die Ausbreitung der
lateinischen Sprache uber Italien und die Provinzen des romischen
Reiches, Berlin, 1881, atau pada karya-karya Schuchardt.
Mengenai metamorfose di Norwegia, yang setelah mfiim-
buang bahasa sastra kuno abad pertengahan, menggunakan
bahasa Darimark (riksmaal) selama seluruh periode penyatuan
dengan Danmark, kemudian_meneiptakan kembali (dengan
wicara petani) sua^tu bahasa sastra otonom (landsmaal), of. G.
Indrebd, Norsk malsoga, Bergen 1951, A. Seip, Norsk
spr<Pkhistorie till omkring 1370, ed. ke-2, Oslo 1955.
Mengenai pengertian bahasa khusus (atau lebih tepat,
penggunaan khusus suatu langue), bdk. Cohen 1956.175-226,De
Mauro, II linguiaggio della critica d'arte, Florens 1965. 21-28.
(86)Orang bertopang pada teks ini untuk mempertahankan
bahwa Saussure tetap terikat pada prasangka positivis mengenai
segi non alami dari penggunaan sangat resmi dan sastra suatu
langue, prinsip yang telah dipertahankan oleh Paul 1880. 48, dan
orang telah mengaitkan teks ini dengan PLU 256—260 (lihat c.
273). Sebenarnya.di sini Saussure mengusulkan suatu gagasan
538

yang sangat berguna, yang baru dapat kita hayati sekarang ini.
Seperti yang kita ketahui untuk selanjutnya,suatu lambang baha-
sa tak tertafsir di luar hubungan dengan situasi tempatnya dihasil-
kan(De Mauro 1965,147 dst. ). Di dalam penggunaan bahasa se-
cara iisan, hubungan ini memanfaatkan kemajemukan penggu
naan yang hilang dari kebiasaan tertulis. Itulah sebabnya menga-
pa bahasa tertulis harus ditata dengan aturan-aturan tambahan
(urutan kata, kesistematisan danjcepaduan sintagmatis, pembe-
daan grafis dari urutan fonematlT yang identik, dll.) sehingga
kalau perlu orang sampai pada pembentukan (seperti yang telah
diamati oleh L. Prieto dalam bahasa Perancis, yang sebenamya
merupakan kasus terbatas) suatu langue lain, yang sistemnya
berbeda (lihat PLU 92-93 dst.)
(87) Lihat PLU 317 dst. Mengenai penggunaan kata orga-
nisme lihat di atas c. 83.
(88) Dalam teks ini kalimat "Mari kita ambil sebagai
sontoh..." sampai "suatu bahasa berkembang" adalah tambahan
dari catatan-catatan kuliah: para penyunting telah mengambil
dari 61.
(89) Teks edisi 1922 dan yang selanjutnya mengandung
variasi kalau dibandingkan dengan teks edisi 1916. Teks 1916 ini
menyatakan: "Mengenai bahasa-bahasa tertentu seperti Zend_
dan Paleoslavia, orang bahkan tidak tahu bangsa apa yang
menggunakannya". Tetapi di dalam naskah tertulis (409 B
Engler), secara lebih sesuai dengan keadaan masalahnya: "Ada
bahasa-bahasa yang tidak diketahui^aBpaPbangsa apa yang
menggunakannya (sehingga 'ibahasa 2^nd: bahasa Bangsa
Medes? Paleoslavia: apakah ini bahasa kuno yang menunjukkan
bahasa Bulgaria daiT Sloven?) "Berdasarkan informasi yang
didapat dalam ringkasan Wackemagel 1916. 166, para penyun
ting menambahkan, untuk menekankan teks edisi pertama,
adverbia "secara pasti". Mengenai variasi lain antara edisi
pertama dan kedua,lihat PLUc.94,c. 109,c.286, dan lihat c. 17.
Kalimat yang digunakan untuk menyimpulkan paragraf ini
("pokoknya...") adalah tambahan para penyunting.
(90)Ini adalah perbandingan yang kita tabu sangat disukai
Saussure: lihat PLU 172-175, 202-203, c.223. Perbandingan ini
539

muncul la^ dalam Philosophische Untefsuchungen tulisan L.


Wittgenstein (§ 31,136' 200); bdk. Verburg 1961 catatan 16 dan
38.
(91) Konsepsi langue sebagai sistem (/angue^skemanya
Hjelmslev: PLC/ c.45), yang telah disebutkan di sini untuk
pertama kalinya didefinisikan paling jelas. Mengenai pentin^ya
konsepsi tersebut ba^ linguistik dan bagi epistomologi ilmiah
modern mana pun, bdk. Frei 1^9. 39, Jakobson 1929 = 1962.16
dst. ("penunjang teori bahasa mutakhir"), Brondal l943. 92 dst.,
Cassirer 1945. 104, Cikobava 1959. 13, Gipper 1963. 20, Benve-
niste 1966. 21, Rosiello 1966, Gaironi 1966. 14rl6, Mounin 1966.
(92) Sumber-sumber paragraf ini adalah dua kuliah dari
perkuliahan ketiga {SM 11,19,103). Mengenai masalah hubung-
an antara penggunaan langue secara lisan dan penggunaan langue
secara tertulis, lihat PLU c. 86; mengenai penelaahan semiologis
aksara, Iihat PLC/c. 238. Bdk Laziczius 1961, 15.
(93) Hal ini bukan lagi suatii yang istimewa sekarang ini.
Bahkan untuk bidang yang sangat sedikit ditelaaK seperti bahasa
Italia, sudah ada sejumlah pusat tempat pengumpulan dokumen-
dokumen lisan, yang utama adalah archivio etnico linguistico-
miwma/e di Perpustakaan Nasional.
(94) Sumber-sumber paragraf ini: di samjping kuliah kedua
dari perkuliahan ketiga yang telah disebutkan pada catatan 92,
keterangan-keterangan diambil dari kuliah-kuliah lain (SM
104). Pada baris keempat sebelum akhir paragraf kedua di dalam
PLf/edisi kedua(dan yang berikutnya) terbaca "gambarah yang
sama setianya dari..." dst.; dalam edisi tahun 1916 terbaca:
"gambaran yang lebih setia dari ..."dst. Di sini juga terjadi
pemaksaan.teks haskah (Saussure mengatakan bahwa bahasa
Lituavi, karena k^kunoannya,"lebih rnenguntungkan bagi linguis
daripada l>ahasa Latin yang dua abad Sebelum Masehi": 453
Engler), yang diperbaiki setelah Wackernagel campur tangan
1916. 166. Lihat di atas PLU c. 17 dan 89.
Mengenai lambatnya perubahan-perubahan fonetis yang
tidak tercatat oleh aksara, bdk. Men6ndez-Pidal l956. 532-533.
(95) G. Dechamps (lahir tahun 1861), poligraf Perancis
540

yang sangat terkenal di akhir abad lalu, telah menyatakan pada


tahun 1908, ketika bicara mpngenai Academic P.E.M. Berthelot
(1827-1907), bahwa ilmuwan ini "menentang penghancuran ba-
hasa Perancis" dengan menyatakan kontra terhadap usaha-usaha
reformasi abjad yang dilakukan oleh para pejabat Perancis antara
tahun 1901 dan 1905 (F. Brunot, Ch. Bruneau, Precis de
grammaire historique de la langue francaise, ed. ke-4, Paris 1956,
hal XXXIII dan 474 B Engler).
(96) Mengenai sumber-sumber paragraf ini, lihat c. 94
(SM 104).
(97) Mengenai aksara pada periode-periode-yang lebih
kuno, bdk. I. J. Gelb, A Study of Writing. The Foundation of
Grammatology, London 1952, M. Cohen, La grande invention
de Vicriture, 3 jilid, Paris 1958 dst., Ch. F. Hockett, A Course in
Modern Linguistics, New York 1958, hal. 539-549, Belardi 1959.
39-45, R. H. Robins, General Linguistics, London 1964, hal 121-
125, A. Leroi-Gourhan, Le geste et la parole, 2 jilid, Paris 1964-
.65, I, hal. 261-300, II, hal. 67-68, 139-162, Mounin 1967. 28-32,
35-47,52-57,71-81.
(98) Mengenai sumber-sumber, lihat c.94 {S.M. 104).
(99) Mengenai sumber-sumber paragraf ini, lihat supra c.
94 {S.M. 104).
(100) Karena terdapat hubungan timbal balik antara seba:
gian besar fonem Latin dan sebagian besar huruf abjad Latin
(kecuali kedua belas fonem vokalik dan semivokalik yang
dipadankan secara grafis hanya dengan lima huruf), dan karena
sistem fonematik maupun aksara bahasa sastra Italia tetap dekat
dengan bahasa Latin, oposisi antara grafi dan bunyi relatif jarang
dalam bahasa Italia. Perhatian misalnya bahwa lafal (</) ditrans-
kripsikan, sesuai dengan konteks, dengan grafem c (cena) atau
oleh diagram ci (ciocco); sedangkan pada kasus lain, grafem
c ditranskripsikan dengan [tj\ (cena) atau dengan [k](caro), dll.
(101) t>alam evolusi fonologi Italia, kecenderungan untuk
meminjam terjemahan lafal pada aksara, telah menduduki
tempat yang utama: bdk. De Mauro, Storia linguistica dellTtalia
unita, Bari 1963, hal. 258-60.
541

(102) Sumber-sumher paragraf ini merigingatkan kita pada


dua hal.Palam perkuliahan kedua, kita ingat akan kecerobqhan
pengikut Bopp mengenai fonologi, dan pada perhatian para rieo-
grammar(SM 104 dan 75) pada satu pelajaran dalam perkuliah
an ketiga (Desember 1910;SM 104 dan 79). Mengen,ai hubungan
antara apa yang disebut fonologi, berasal dari catatan tangan
Saussure sendiri (640 F Engler)
(103) Phonology dipakai di negara-negara Anglo-Saxon
sejak 1817 oleh P.S. Diiponceau (Abererombie 1967, 169). Di
Peranci^, penggunaan phonologic berasal A. Dufriche-Des-
genettes,"Sur les differents especes d'r et d'l", BSL 3-14,1875,71-
76 dan la diambil kembali serta digeneralisasi oleh Saussure (lihat
FLU c. 111). Mengenai hubungan phonologie-phoriitique
menurut Saussure, bdk. Dieth-Brunner 1950. 8. Pada umum-
nya kini orang orang tidak lagi mengacu paida. phonitlque-
phonetics-fonetica dan istilah-istilah lain yang sempa dengan studi
diakronis atau sinkronis mengenai suatu sistem fonematik (mesr
kipun demikian, khusUsnya dalam linguistik historis Indo-Eropa,
penggunaan istilah kuno tersebut masih memiliki bobot tertentn,
misalnya seperti yang dapat ditemui dalam karya-karya Meillet
dan murid-muridnya: bdk. misalnya dalam A. Meillet, J. Veh-
dryes, Traite de la grammaire comparie du grec et du latin, ed. ke-
2, Paris 1948, hal. 26: "Pengetahuan orang tentang fonetisme
Yunani dan Latin tentu saja tergantung dari cara bunyi-bunyi
tersebut dicatat; artinya bahwa pengkajian fonetis kedua bahasa
ini harus dimulai dengan penelaahan abjad"); tetapi orang lebih
mengacu pada pengkajian (artikulatoris, auditif, akustis) parole.
Pengkajian aspek-aspek fonis langue secara fungsional, sinkronis
daft diakronis dispbut dengan istilah-istilah seperti phonerriics
atau fonematica, atau juga, dengan memutarbalikkan kebiasaan
Saussure yang-diikuti di Perancis oleh M- Grammot, dengan
istilah phonologic dan di dalam karya-karya kaum Praha ber-
bahasa Jerman, Phonologic(mengenai pemutabalikan ini, lihat c.
115). Di Italia, fonctica ummnnya diguhakan bagi pengkajian
fisik, sedangkan pengkajian fungsional sinkronis dan diakronis
disebut dengan istilah-istilah fonematica atan fonologia. Sama
halnya di Perancis yang menyebut kasus pertama defigan phon-
etique dan kasus kedua dengan phoncmatique atau phonologic.
542

(104) Sumber-sumber paragraf ini dan paragraf berikutnya


adalah beberapa kuliah dajam perkuliahan ketiga (SM 104 dan
79-80).
(105) Orang telah mengikuti dua cara yang berbeda untuk
mengungkapkan secara grafis gejala-gejala fonis: a) pengung-
kapan non-alfabetis, dengan menggunakan lambang-lambang
khusus bagi setiap gerakan atau dari setiap modalitas artikulasi
(jadi akan terdapat satu lambang dari sonoritas, lambang lain
untuk ketidakhadiran sonoritas, satu lambang untuk segi vokal,
dan satu lambang untuk segi non-vokal, satu lambang untuk segi
dental, dst.), b) pengungkapan alfabetis, yaitu menunjuk dengan
satu lambang setiap kombinasi yang mungkin dari gerakan dan
modalitas artikulasi (jadi akan terdapat lambang untuk kombina
si oklusif bersuara dental non-sengau, lambang untuk kombinasi
vokal depan non-sengau, dst.). •
Sistem yang pertama pada abad XIX telah mengilhami
Visible Speech karya A.M. Bell (jangan dirancukan dengan
penelitian-penelitian spektografis R.K. Potter, G.A. Kopp,
Harriet C. Green,Visible Speech, New York 1947), dan pencatat-
an non-alfabetis O. Jespersen (diambil dan dipergunakan lagi
dalam PLU dst., tetapi sesudahnya• tidak begitu sukses lagi:
Abercrombie 1967, 144, 174)! Sistem kedua telah mengilhami
berbagai usaha coba-coba, di ant^ranya..karya Marey, Rousselot,
F. Techmer(bdk Zur vergleichenden Physiologic der Stimme und
Sprache. Phonetik, Leipzig 1880, khususnya hal. 55-58 dan
catatan), J. Pitman, sampai Standard Alphabet karya Lepsius
(mengenai usaha coba-coba yang pertama, bdk. R.W. Albright,
"The International Phonetis Alphabet: its Backgrounds and De
velopment", International Journal of American Linguistics^ Part
in, 24: I, 1958, hal 19-37). Berdasarkan salah satu sistem inilah,
di dalam Romic karya H. Sweet(Albright, op. d/r, 37-42), telah
dikembangkan. begitu Association Phon^tique Internationale
didirikan, Abjad Fonetik Int(ernasiqnaL"yang sekarang ini meru-
pakan sistem transkrijjsi yang paling,tersebar luas (Albright cit.
47-65, dan bdk. The Principles of the I. Ph. Ass. being a
Description ofthe lhternational Phonetic Alphabet, London 1948,
edisi baru 1958, dan N, Minissi, Principi di transcrizione, Napoli,
s.d).
543

Pandangan Saussure mengenai masalah transkripsi kini


nampaknya patut diperdebatkan: meskipun demikian, seperti
yang akan kita lihat, kritik yang diajukan murni berbau Saussure.
Saussure di sini nampaknya yakin bahwa untuk sampai pada
transkripsi fonetik (atau, untuk menggunakan istilah-istilah-
nya, "fonologis") "yang bukan samar-samar" yang didasari dleh
analisis pendahuluan mengenai "pertuturan" dalam "unsur-
unsur"nya yang berurutan, dan mengenai klasifikasi, atas dasar
yang selalu hanya fonetik, dari segmen-segmen ini. Keyakinan ini
seharusnya dapat dipertahankan seandainya, terbalik dari apa
yang ditunjukkan Saussure di bagian lain, gejala-gejala fisio-
akustis memiliki sembarang kemampuan intrinsik dan sembarang
alasan untuk disatukan dalam kelas-kelas yang berbeda dan
seandainya, di dalam urutan fonis, terdapat batas-batas yang
sifatnya fisio-akustis. Kemungkinan besar Saussure telah menun-
jang segi pandang tersebut pada zaman ketiga seminar mengenai
fonolcgi (lihat PLU c. Ill dst.) dan pada zaman perkuliahan
linguistik umum, untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan
masalah transkripsi yang terbatas (segi pandang ini tetap memi
liki pembela di kalangan linguis Amerika sesudah Bloomfield
seperti Pike, Bloch, dll., yang yakin akan kemungkinan
memotong-motong rantai akustis, tanpa mengacu sama sekali
pada fonerri-fonem, dalam segmeh-segmen yang dapat diklasifi-
kasi atas dasar yang mutlak fonetis dalam "rumpun bunyi" atau
"fonem"). Tetapi justru hal ini dibantu oleh halaman-halaman
buku Saussure yang mengenai hakekat intrinsik amorf dari
substansi fonis: lihat PLf/ Larhp Bag. IV, §1 dst., dan lihat juga
PLU c. 111. Dengan mengembangkan segi pandang Saussure
ini, sebaliknya orang menarik kesimpul£n bahwa suatu segmeiita-
si yang tidak memperhatikan analisis fonematis pendahuluan
tidak mungkin, atau, lebih tepat, yang membawa orang pada
hasil yang bervariasi dari parole ke parole atau, bagi parole yang
sama, bervariasi menurut artikulator yang diambil sebagai titik
acuan di dalam menilai maxima dan minima yang seharusnya
menetapkan segmen-segmen (bdk. mengenai demonstrasi ini,
Belardi 1959. 124-132); dengan cara yang sama, suatu klasifikasi
segmen-segmen parole atas dasar yang sama sekali fisiologis atau
akustis menghasilkan hal-hal yang paling tak terduga dan.
544

pendek kata, tidak bertemu dengan satuan-satuan fungsional


fonematik (mengenai segala masalah ini, bdk. De Mauro 1967).
Akibatnya, klasifikasi melalui grafem artikulasi yang teramati di
dalatn' parole sampai pada hasil yang bermacam-macam, atau
kalau klasifikasi tersebut mempraanggap segmentasi atas dasar
kriteria fonematik, selalu sampai pada hasil yang sampai titik
tertentu mendekati dan, sehingga, samar-samar: mengingat cara
melafalkan kata cane (anjing) seorang penutur pada waktu
tertentu, kita dapat mentranskripsikan ['ka: ne] untuk mene-
kankan penjangnya [a)]['ka:+ne] untuk menekankan ciri artiku
lasi di depan; ['k-l-a:+ne] untuk menambahkan -keterangan
mengenai ciri sedang [k,] ['k-l-a:-l-ne] untuk sekali lagi menam
bahkan keterangan mengenai tertutupnya [e,] dst., dst. Penam-
bahan keterangan sebanyak-banyaknya tidak pernah akan sesuai
dengan jumlah ciri fonis-akustis yang tak terbatas dari suatu
pertuturan konkret. Itulah sebabnya mengapa transkripsi fonetik
selalu cenderung menyederhanakan sehingga samar-samar apa-
bila dibandingkan dengan paro/e konkret. Tentu saja, batas
kesamar-samaran ini dapat dikurangi sesuai dengan tujuan
transkripsi fonetik: justru inilah sebabnya mengapa penting
untuk diketahui "untuk apa dan untuk siapa orang mentranskrip"
(bdk. A. Martinet, "savwar purkwa pur ki I'o traskri", Le
Maitre phonetique, 1946. 14-17, G. Hammarstrdm,"Representa
tion of Spoken Language by Written Symbols", Miscellanea
Phonetica 3, 1958. 31-39).
Mengenai penafsiran yang berbeda dari pendirian Saus-
sure, lihat infra PLU c. 111.
(106) Mungkin Saussure berpikir tentang kasus-kasus se-
perti afrikat, yang ditulis dalam abjad fonetik internasional
dengan [tS],[ttS], [pf],[ppf] dll., atau tentang konsonan sengau
tak bersuara, yang ditulis [hm], [hn], dll. (bdk. The Principles,
cit. hal. 14-16).
(107) Meskipun telah ada penelaahan oleh Saussure dan
kemudian oleh yang lain, usul reforrnasi aksara sering muncul
kembali, bahkan ada kalanya hal ini tidak begitu perlu. Misalnya
kasus abjad Italia yang, dibandingkan dengan abjad Eropa
lainnya, hampir fonologis(bdk. c. 100) dan masih tunduk (paling
545

tidak dalam hasrat dan dalam tulisan-tulisan beberapa ilmuwan)


pada reformasi berkala. Lihat mengenai masalah ini E. Castel-
lani, "Proposte ortografiche",5fMdi linguistici italiani 3, 1962.
(108) Lihat supra di atas c.104.
(109) Dalam edisi tahun 1916 diikuti keterangan mengenai
avestika (687 Engler) yang telah diambil para penyiinting secara
skematis dari catatan-catatan para mahasiswa. Keterangan ini
dikritik pleh Wackernagel 1916. 166 dan Meillet 1916. 23,
sehingga dihilangkan dalam edisi tahun 1922.
(110) K. Nyrop, Grammaire historique de la langue fran-
gaise, 6 jilid, Fed. ke-3., Kopenhagen 1908 (II-VI, 1930).
(111) Mengenai sumber dari paragraf ini dan paragraf -
paragraf selanjiitnya, lihat infra c. 112.
Istilah fonem digunakan untuk pertama kalinya oleh ahli
fonetik Perancis A. Dufriche-Desgenettes(mengenai hal ini bdk.
SM 160) di dalam sebuah karya tulis bagi Societe Linguistique
de Paris tertanggal 24 Mei 1873 berjudul "Sur la natura des
consonnes nasales" (BSL 2 : 8, 1873 LXHI), diringkas dalam
Revue critique I, 1873. 368 oleh seorang anonim yang mengang-
gap "kata fonem ...untung ditemukan untuk menyebut secara
umum vokal dan konsonan". Istilah ini dan juga istilah fonologi,
muncul dalam karya-karya A. Dufriche-Desgenettes yang lain
(lihat. PLU cat. 103). Istilah tersebut digunakan Saussure di
dalam Memoire dengan penyesuaian pada nilai yang lebih mo
dem yaitu "unsur dalam suatu sistem fonologi di mana, meski
dilafalkan bagaimana pun, ia tetap berbeda dari unsur lain mana
pun"{SM 272, dan bdk. Rec. 114).
Di dalam ringkasan kritik dari karya-karya Brugmann dan
dari Mimoire, Kruszewski menggunakan istilah ini lagi, dengan
mendasari ciri dengan penggunaan dalam McmoiVe, ia mengusul-
kan pembedaan antara "bunyi" dan "fonem", yang kemudian
diterima oleh Baudouin de Courtenay (Versuch Theorie
phonetischer Alternationen. Bin Kapitel aus der Psychophonetik,
Strasbourg 18 95. hal.6 dst; lihat juga supra c. 7). baginya
fonem adalah "suatu gambaran (dalam pemikiran) yang seragam
yang tercakup dalam dunia fonetis, yang muncul dalam jiwa aki-
bat penggabungan secara psikis antara kesan-kesan yang terkan-
546

dung dalam pengucapan suatu bunyi yang sama = padanan psikis


dari bunyi bahasa. Keseragaman gambaran (pemikiran) yang di-
maksud di atas juga meliputi gambaran-gambaran antropofonis
dalam suatu jumlah tertentu".
Jadi fonem ditangkap oleh B. de Courtenay sebagai suatu
pengungkapan psikis abstrak dari bunyi-bunyi bahasa. Dan ini
adalah konsepsi Trubetzkoy. Dan dari jurusan ini, tepatlah kalau
dikatakan bahwa ada poros Kruszewski-Courtenay-Trubetzkoy
dan Saussure mengambil tempat yang sangat terbatas di dalam-
nya (Trubetzkoy 1933, 229 dst.. Firth 1934, Jones 1950. vi dan
213j Fischer Jorgensen 1952. 14 dst., Lepschy 1966. 60-61 dan
catatan). R. Jakobson (surat pribadi tertanggal 4.3.1968) menam-
bahkan pendapat pribadi yang penting "Pengenalan Trubetzkoy
atas gagasan Baudouin sangat terlambat, demikian juga halnya
dengan gagasan Saussure. Saya harus mengakui bahwa pengaruh
awal pandangan Saussure dan Baudouin atau pun Scherba
diterima oleh Trubetzkoy melalui saya yang bergantung pada
konsepsi saya dan istilah "fonologi" (kemudian diterima oleh
Trubetzkoy dan aliran Praha) dari Sechehaye dalam bukunya
Programme et Methodes, lihat dalam tinjauan saya atas Phonolo
gy karya van Wijk, yang dicetak ulang dalam SW saya, volume
1".
Saussure memang telah mendalami pengertian "unsur
dalam sistem fonologi", yang disebut dalam Memoire dengan
istilah fonem, sampai kepada menganggapnya sebagai suatu
unsur pembeda rhurni dan opositif, suatu skema murni yang
terlepas dari struktur bunyi tertentu mana pun, dan akibatnya
tidak mungkin untuk mengabstraksikan pengungkapan bunyi
(lihat. infra).
Dari sinilah penolakannya untuk menyebut unsur terse-
hutfonem:"Karena kata-kata dalam bahasa bagi kita merupakan
gambar akustis, maka kami harus menghindari berbicara tentang
"fonem" yang membentuk kata-kata tersebut" {PLU 146). Oleh
karenanya Saussure dengan hati-hati telah menghindari pembica-
raan tentang fonem di dalam kuliahnya ketika ia ingin mengacu
pada "satuan-satuan tak teruraikan" dari signifiant(PLU 230-
231). Sebaliknya dengan istilah fonem ia ingin mengacu pada
satuan-satuan teridentifikasi di dalam parole, di dalam pengung-
547

kapan fonis: definisi dalam PLU mengenai hal ini sama sekali
tidak meragukan.
Penafsiran sikap Saussure tersebut sesuai dengan penolak-
an untuk menyebut studi fungsional "unsur-unsur tak teruraikan"
dari penanda sebagai fonologi (lihat supra PLU c.2) dan dengan
perhatiannya di dalam menghindari penggunaan istilah fonis di
daiam kutiahnya untuk mengaQu pada penanda {PLU catatan 204
dan 206). Lebih lagi, penafsirah tersebut berada dalam kesera-
sian yang sempuma dengan konsepsi bahasa sebagai bentuk
(Pf.U 206-207) dan dengan konsepsi yang berkaitan dengan
"satuan-satuan konkret bahasa" {PLU 493 dst.), konsepsi-
konsepsi yang mendeduksi penafsiran tersebut; sedangkan kedua
konsepsi tersebut memiliki premi konsepsi tentang kesemenaan
lambang yang dipahami sebagai bebas dari organisasi penanda
dan petainda dalam hubungannya dengan ciri intrinsik'dari
substansi fonis dan substansi yang mengandung makna {PLU,
146-147.) '
Sayangnya, makna posisi Saussure kurang jelas bagi para
penyunting yang, sambil melakukan kekeliruan dengan tidak
"menganggap penting penonjolan yang diucapkan dalam kuliah
ketiga ...melawari istilah/onem" {SM 113), telah memperkenal-
kan istilah tersebut dalam sederet butir yang Saussure sendiri
tidak pemah menggunakannya karena alasan yang telah disebut-
kan di atas. Dengan tidak berbicara tentang realisasi fonis, tetapi
tentang satuan-satuan tak teruraikan (lihat. PLU 230—231 C. 236,
198, 284), mereka juga telah memperkenalkan secara keliru
istilah /onis yang mengacu pada penanda {PLU, 193—196, 215—
217, 226, .2;70"271). Perlu ditambahkan bahwa bertentangan
dengan maksud Saussure, linguistik struktural terus mengguna-
kan istilah fonertt (dan padanannya dalam bahasa-bahasa lain)
untuk menyebut satuan-satuan fungsional terkecil. Jadi, dapat
dipahami kekacaubalauan" yang terjadi di dalam tafsir selama
berpuluh-puluh tahun di sekitar formulasi-formulasi Saussure
(lihat. PLU C.115), karena kritik-kritik bahwa apa yang disebut
Saussure dengan fonem adalah suatu satuan materiil dan bukan
formal yang dapat dideteksi bukan pada tataran langue melain-
kan pada tataran parole, bahwa fonem dapat dikatakan sebagai
pendahulu "segmen" nya Pike (dan bahwa merupakan masalah
548

fonetikal untuk memutuskan apakah segmen terkecil tertentu


dapat disendirikan {individualisable) pada tataran fonetik murni,
seperti pendapat Pike, atau sebaliknya tidak dapat disendirikan
tanpa mengadakan 'secara diam-diam' suatu analisis akustis
sebelumnya, seperti pendapat yang lain: lihat PLU c. 105)
sedangkan, di lain pihak, apa yang oleh hampir kita semua sebut
fonem sebenamya sama dengan "satuan-satuan tak teruraikan"
d^ri Saussure, yang murni membedakan formal.
Meskipun demikian hams diakui pula bahwa Saussure
sedikit sekali menyediakan patokan untuk menghindari keran-
cuan ini (menurut Malmbefg 1954. 20-21, ia cuma telah menjadi
korban) dengan konsepsinya mengenai satuan-satuan tak ter
uraikan dan penanda sebagai "gambar akustis": sesuai dengan
pendapatnya mengenai ketidakgiatan mutlak dari alat dengar
(lihat. FLU c.61), kemungkinan besar ia sebenamya ingin mene-
kankan ciri non-operatif, tetapi skematis murni dan formal dari
satuan-satuan penanda. Hasilnya ternyata malah meningkatkan
kerancuan: karena hakekatnya yang diakui operatif jadi "mate-
nil" (non-formal) dari persepsi auditif, artinya karena begitu
banyaknya persepsi auditif yang termasuk di dalam skema penan
da yang sama, dan karena Saussure juga menyebutkan satu muka
dari parole dengan akustik (lihat c. 113), orang jadi semakin mu-
dah mengira bahwa Saussure menganggap penanda sebagai absr
traksi (fonis-)akustis, sebagai himpunan unsur-unsur yang sama
yang memiliki sejumlah (realisasi-)pefsepsi.
(112) Paragraf ini dan paragraf lainnya dalam bab ini dan
juga dalam bab-bab berikutnya dari lampiran berasal dari
persenyawaan dua sumber yang berbeda: sekelompok kuliah di
awal perkuliahan pertama (1906, SM 54 nomor 4-6) dan catatan
steno yang dibuat Ch. Bally pada tiga ceramah tahun 1897 me
ngenai teori persukuan kata. Malmberg 1954.11-17 mungkin me-
lakukan kekeliruan karena ia tidak melihat bahwa ketika Saus
sure bicara tentang fonem, ia bermaksud mengacu pada suatu
yang lain sama sekali dari fonem (lihat supra c. 111). Sehingga ia
telah meragukan mutu karangan para penyunting dan telah me-
nekankan secara tepat tentang kenyataan bahwa untuk mema-
hami apa yang dianggap Saussure sebagai fonem (dalam penger-
551

Trendelenburg, dalam Manual of Phonetics, Den Haag 1957, hal.


19-21) dan Hugo Pipping.
(115) Mengenai apa yang berkaitan dengan perhatian pada
analisis implisit yang menjadi dasar kurang kuat bagi penemuan
aksara abjad, bdk. (di samping bibliografi yang disebut dalam
catatan 97) A. Meiljet, Apergu d'une histoire de la langue
grecque, ed. kesatu, Paris 1913, ed. ketujuh 1965, hal. 56-60, dan
khususnya A. Meillet, "La langue et recriture," Scientia 13:90,
1919, 290-293. Di dalamnya mungkin terdapat gema pengajaran
Saussure (dan juga gemajPLt/).
Mengenai definisi fonem, sesuai dengan apa yang telah
kami bicarakan supra c.lll. Dan seperti yang telah kami garis-
bawahi, bertolak dari definisi inilah berkembang apa yang dapat
kami sebut, seandainya rasa hormat kami pada para pesertanya
tidak menghalangi kami, sebagai komedi kerancuan. Dalam
kongres linguistis kedua, sanggahan W. Doroszewski terhadap
ekspose Mathesius (Mathesius 1933) menyerang definisi/onem
tersfebut karena mengira bahwa definisi tersebut mengacu pada
"satuan-satuan tak teruraikan^terkalahkan", pada fonem dalam
pengertian non-Saussure. Bally, dengan menunjukan kekeliruan
yang telah dilakukan para penyunting, dengan suka rela turun ke
arena untuk mempertahankan guru tersebut (Bally 1933. 146): ia
menegaskan bahwa di sini Saussure tidak memandang fonem
sebagai satuan fungsional, tetapi bunyi, satuan fonetik murni,
dan hal itu memang benar; tetapi, alih-alih menerangi kenyataan
bahwa terdapat tata istilah yang berlainan yang khas Saussure,
yaitu menyebut satuan fonetik dengan fonem (dan "satuan" atau
"unsur tak teruraikan" satuan fungsional dari langue). Bally
menambahkan bahwa penggal itu adalah "kesalahan penulisan".
Padahal sebenarnya tidak ada "kesalahan" apa pun. Di dalam 752
B Engler memang terbaca: "fonem—kumpulan kesan akustis dan
tindak artikulasi, satuan yang terdengar dan dikatakan, yang satu
menjadi syarat yang lain". Meskipun maksud baiknya tak
diragukan lagi. Bally menambah gawat keadaan dengan menam
bahkan: "Di dalam karya master tersebut, kami mendapat
definisi sebenarnya dari fonem: suatu bunyi yang memiliki fungsi
di dalam langue, fungsi yang pada dasarnya ditetapkan oleh ciri
pembedanya". Padahal, definisi ini benar bagi satuan dalam
552

langue yang kami sebutfonem (dan yang kita lihat disebut fonem
dalam PLU hanya karena kekeliruan para penyunting; lihat.
supra c. Ill dan PLU c.235), tetapi tidak benar bagi apa yang
disebut Saussure denganfonem. Untuk,"mempertahankan diri",
Bally menyokong kerancuan penafsiran yang telah dilakukan
oleh R. Jakobson. Meskipun demikian, Jakobson, sebaliknya
dari Bally yang pada waktu itu memiliki naskah Saussure di
depan hidungnya, sangat berhak untuk melakukan kekeliruan
berdasarkan teks PLU la mengamati berdasarkan PLU ini
(1929 = 1962. 8) bahwa orang mengambil penggal dari PLU,113
sebagai ciri perumus fonem karena unsur itu merupakan unsur
terkecil dalam deret fonis, dari PLU 115—117 karena unsur itu
merupakan kombinasi simultan dari ciri-ciri partinen, dan dari
PLU 213-214 karena unsur itu adalah suatu satuan "apositif,
negatif dan relatif
Mungkin perlu dipertanyakan kalau-kalau ada penghalusan
yang gencar dari tafsir tersebut sehingga dapat menonjolkan
kerancuan yang dilakukan oleh Jakobson karena, pada akhirnya,
kedua ciri yang diberikannya pada apa yang disebut fonem (ka
rena berwenang, berdasarkan keadaan PLU, orang dapat
mengira bahwa Saussure juga menyebut/onem) adalah juga ciri-
ciri dari "satuan tak teruraikan" itu yang tidak disebut/onem oleh
Saussure, tetapi yang meskipun demikian merupakan biang tak
sah, di dalam tataran konsep, dari fonem Sapir, kaum Praha, dari
semua linguistik post-Saussure. Kami memang yakin bahwa perlu
adanya penegasan mengenai kerancuan tersebut: dengan me-
ngaitkan kedua ciri yang telah disebutkan (dan yang hanya satu,
yang pertama, juga merupakan ciri dari apa yang disebut
Saussure fonem) dengan ciri satuan fonis-akustis yang khas bagi
fonem Saussure, Jakobson sampal pada konsepsi fonem (dan
secara lebih umum konsepsi penanda) sebagai himpunan ciri
fonis-akustis yang, dalam realisasi fonetis, tetap konstan untuk
menghindari kerancuan dengan unsur-unsur yang lain di dalam
sistem. Fonem, dan secara lebih umum satuan distingtif, jadinya
kehilangan cirinya sebagai bentuk murni untuk mengasumsikan
ciri "abstraksi fonetis".
Mungkin dapat ditambahkan bahwa aspek kerancuan dari
pengertian/onem pada Saussure telah memberi jalan bagi keran-
553

cuan lain: yaitu yang telah membuat orang berpikir bahwa


fonologi berarti bagi Saussure studi sinkronis dari sistem unsur-
unsur pembeda terkecil(fonem dalam pengertian post-Saussure).
Kerancuan tersebut telah menimpa pula E. Alarcos Llorach,
Fonologia espanola, ed. kedua, Madrid 1954, hal. 23. Kami
menonjolkannya karena mungkin bahwa kerancuan ini telah
memainkan peran di dalam pemutarbalikan arti fonologi dalam
masa perpindahan dari Saussute ke kaum Praha (c. 103)i Di
samping ambiguitas arti fonem, kerancuan mungkin telah diper-
mudahkan oleh pembauran antara ciri idiokronis dari fonologi
strukturalis post-Saussure dan ekstratemporalitas dari fonologi
Saussure: 'Tonologi berada di luar waktu," terbaca di dalam
PLU 103
(116) Kalimat "akan dapat ditemukan ..." adalah tambahan
dari para penyunting, salah satu dari tambahan-tambahan yang
bertujuan membuat CLG. nampak seperti buku pegangan
linguistik umum yang selesai. Inilah daftar lehgkap karya-karya
yang dikutip dalam catatan oleh para pen)ainting: E. Sievers,
Grundz. d. Phon.,&d. ke-5., Leipzig 1901; 0. Jespersen, Lehr-
buch d. Phon., ed. ke-2, Leipzig 1913,ed ke-15,1932; L. Roudet,
Elements de phondtique ginirale, Paris 1910.
Dalam kuliah-kuliahnya Saussure menegaskan (709 B
Engler): "Kini terjadi kemajuan yang besar. Vietor di Jerman;
Paul Passy di Perancis " (atau juga, 709 C Engler; "Vietor
(Jerman), P. Passy di Perancis: telah membentuk kembali
gagasan tsb"). Sebenarnya lebih berguna kalau para penyunting
mengutip W. Vietor, Elemente der Phonetik des Deutschen,
Englischen and Franzosischen, ed. ketujuh. Leipzig 1923, dan
terutama jilid yang baik sekali dari murid Saussure, P. Passy,
Petite phonitique cotnpar^e des principales langues europeennes,
Leipzig 1901, yang nampaknya memberi ilham pada Saussure
khususnya dalam pengakuan peran terpenting rongga mulut di
dalam artikulasi (agak kabur di dalam PLU 115 alinea 3, lebih
jelas di dalam 777 B Engler).
(117) Mengenai data terinci dari karya Jespersen, lihat
supra c. 116. Malmberg 1954. 22 menegaskan bahwa pada halam-
an 115-117 tidak hanya terdapat gagasan kabur, tetapi sistemati-
sasi pertama dari ciri pertinent. Mungkin sekali bahwa secara
554

historis halaman-halaman tersebut telah dibaca dan memberikan


pengaruh seperti halaman-halaman di mana dibicarakan "unsur-
unsur pembeda" dari satuan-satuan terkecil (sehingga dikagumi
oleh Jakobspn dan tidak dikenal oleh Godel, dan juga oleh
Lepschy dalam 1964. 24 c. 7), artinya ciri partinent fonem dalam
pengertian post Saussure; tetapi, apa pun yang telah dikemu-
kankan {supra catatan 111, 113, 115), pembicaraan tersebut
sebenarnya bagi Saussure mengacu pada unsur-unsur pembeda
dari berbagai jenis satuan fonetis.
(118)Mengenai sumber-sumber bagi paragrafini, WhaXsupra
c. 112. Mengenai pembukaan mulut, bdk. Grammont 1933.59.
(119) Paragraf ini dan paragraf-paragraf berikutnya dalam
bab ini adalah satu di antara bagian-bagian yang jarang dari
PLU yang disusun oleh hanya satu penyunting, yaitu Ch. Bally
{SM 97).
Seluruh bab ini penting bagi teori suku kata (Malmberg
1954. 23-21). Segmen-segmen fonis (fonem dalam pengertian
Saussure)dapat dikatakan hidup dalam suku kata. Dari sebuah
deret fonem Inggris /m/ /a/ /i/ /t/ /r/ Id /i/ /n/ kita akan mendapat
dua deret berbeda tergantung apakah itu /mai trein/ atau /mait
rein/. Dalam kasus yang pertama terdapat ai "fully long", t
"strong", r "voiceless"; dalam kasus kedua terdapat ai "shorter
allochrone", t "weak", r "fully voiced", atau terdapat variasi "nop
pertinent" menurut pandangan kaum Praha yang, meskipun
demikian, memberikan pada tataran norma petunjuk-petunjuk
yang berharga mengenai struktur suku kata (jadi monematik),
seperti yang terjadi dalam bahasa Italia dalam realisasi un'amica
(seorang teman wanita)dan una mica (secuil)dan di dalam kasus-
kasus serupa lainnya (bdk. B. Malmberg,"Remarks on a Recent
Contribution to the Problem of the Syllable", SL 15, 1961. 1-9;
analisis spektografis jenis Visible Speech telah mengambil kemba-
li, dengan alat-alat analisis baru, intuisi Saussure: bdk. Martinet
1955. 23-24).
(120) Saussure berpikir (883 B Engler) misalnya pada H.
Sweet, A Handbook of phonetics, Oxford 1877, A Primer of
Spoken English, Oxford 1890.
Dari penegasan Saussure tersebut, muncul sikap yang
cenderung untuk mencari,juga pada bidang fonetik, hal-hal yang
555

pokok; bdk. Puebla de Chaves 1948.100.


(121) Mengenai penulisan paragraf ini, lihat c. 119. Pada
alinea terakhir ("Telah diberikan teorinya kritik ditujukan ,
pada A. Meillet, Introduction a I'etude dst., (Meillet 1937), ed.
pertama, Paris 1903, hal.98.
(122) Banyak sekali dari paragraf ini yang berasal dari
tulisan steno Bally (969-982, 984-90 B Engler). Hal ini berlaku
pula bagi paragraf-paragraf selanjutnya.
(123) Mengenai penulisannya, lihat supra catatan 119, 112. •
Mengenai teori suku kata Saussure, bdk. Vendryes 1921. 64
dst., Frei 1929. 102 dst., Grammont 1933. 98dst., Dieth-Brjunner
1950. 376, Rosetti 1959.13, Laziczrius 1961.174 dst.
Meskipun sudah ada istilah yang lazim, yaitu konso-
nan (yang dipertentangkan dengan vokat), di sini Saussure mem-
perkenalkan istilah consonante untuk menamai unsur-unsur non-
sonantis.
Mengenai istilah-istilah ini, bdk. Abercrombie 1967. 79-80
C.15, Relliquiaephilologicae, Cambridge 1895, hal. 194 dst., bagi
istilah adsonant.
(124)Lihat catatan 119,122.
(125) Lihat, c. 119,122.
(126)Lihat c. 119,122.
(127) Sebenarnya Saussure bermaksud mengacu pada
Brugmann (1059,1061 B Engler).
(128) Selama memberikan kuliah yang ketiga (5M 82 c.
114) dalam pelajaran tanggal 2 Mei, Saussure membahas bab dua
dari bagian "Langue". Setelah membahas bab "Langue terpisah
dari langage"(SM 81, c. 11), yang dipergunakan para penyun-
ting sebagai dasar pendahuluan|/>L17 (76 dst.), ia berpindah ke
bab kedua yang semula diusulkannya untuk diberi judul; Hake-
kat lambang bahasa". Dalam lambang, "suatu gambar akustis
diasosiasikan dengan suatu konsep"(PLf/,1095 B Engler ). Dua
rpinggu kemudian, dalam lampiran pelajaran tanggal 19 Mei
(SM 85,c. 124), Sassure kembali ke bab kedua dengan mengusul-
kan judul baru dan memperkenalkan dua istilah baru. Judul
barunya adalah ; "Langue sebagai sistem lambang"(1083-1084 B
Engler). Jelaslah bahwa setelah kedua prinsip dasar diperjelas
dan dibicarakan dan setelah konsekuensi-konsekuensi mengenai
556

satuan-satuan langue ditemukan {SM 83-84), Saussure dengan


sendirinya menangkap dengan jelas kemungkinan untuk mengu-
sulkan tema bab bukan lagi penelitian umum mengenai "hakekat
lambang", melainkan tesis yang jelas mengenai interpretasi
langue sebagai sistem lambang.
Judul baru ini tidak diketahui para penyunting, sedangkan
istilah-istilah baru adalah dua istilah yang cukup dikenal, kunci
pokok dari sistematisasi yang dilakukan oleh Saussure:'Tenyem-
purnaan dapat dilakukan pada kedua rumus ini (dari pelajaran-
pelajaran 2 Mei) dengan mempergunakan istilah-istilah berikut:
penanda, petanda"(1084 B Engler). Apa arti dari dimasukkan-
nya kedua istilah tersebiit? Di sini nampak adanya pinjam
terjemahan dari pasangan istilah stoik (lihat hal. 453-454).
Sebenarnya, pemasukan ini dari segi tata istilah merupakan bukti
kesadaran penuh akan otonomi langue sebagai sistem bentuk,
dalam kaitannya dalam hakekat auditif atau akustis, konseptual,
psikologis atau dengan objek substansi yang disusunnya,;
dan petanda adalah "organisator", "pembeda" substansi yang
dikomunikasikan dan substansi yang mengkomunikasikan. Arti-
nya perkenalan kedua istilah merupakan konsekuensi dari prinsip
kesemenaan radikal dari lambang bahasa. Para penyunting telah
mencampur (karena khawatir kehilangan hal yang penting)
istilah yang lama dan yang baru. Oleh karenanya mereka malah.
kehilangan, yaitu arti dari kontras yang mungkin di antara kedua
istilah tersebut dan hubungan antara istilah yang baru dengan
prinsip kesemenaan yang paling dasar.
(129) Mengenai konsepsi langue sebagai tata nama yang
berasal dari Aristoteles dan mengenai bertahannya konsepsi
tersebut di zaman modern dalam tata bahasa rasionalis dari Port-
Royal, bdk. De Mauro 1965. 38-47, 56-58, 73-83. Setelah
Saussure, kritik terhadap konsepsi tersebut dilontarkan lagi oleh
para linguis terutama L. Hjelmslev sejak 1943 (Hjelmslev 1961.
49-53) dan A. Martinet, 1966. 15-17. Mengenai tradisi filsafat,
konsepsi yang sama, setelah dikritik pada abad XVII dan XVIII
(De Mauro 1965. 47 dst.; hipotesis bahwa kritik-kritik tersebut
saling berkaitan,melalui Kruszewski ke Saussure dengan berbagai
cara, tidak dapat dikesampingkan: lihat supra 399-400), muncul
557

kembali pada abad XIX dan dipertahankan secara padu pada


abad XX oleh L. Wittgentein dalam Tractatus dan kemudian,
dikritiknya secara radikal dalam Philosophische Untersuchungen.
Dalam karyanya yang terakhir ini Wittgenstein mempertahan-
kan bahwa bukan objek yang merupakan dasar makna kata,
melainkan sebaliknya, adat bahasa katalah yang menggabung
berbagai pengalaman perseptif sehingga membentuk, dalam
kondisi dan karena alasan soisial tertentu, apa yang disebut
"objek". Oleh karenanya meskipun titik tolaknya sangat berbe-
da, Wittgenstein sampai pada konsepsi yang sangat mirip dengan
konsepsi Saussure (De Mauro, Ludwig Wittgenstein. His Place
in the Development of Semantics, Dordrecht 1967). Keliru kalau
orang mengira bahwa kritik-kritik tersebut telah dipahami oleh
linguis pada umumnya. Ogden dan Richards 1923. 11, dengan
mengusulkan "segitiga semantik" di mana lambang fonis ber-
kaitan (dalam hubungan sebab akibat) dengan sebuah gagasan
(thought) yang pada gilirannya ditetapkan secara kausal oleh
"benda"(referent) berada jelas di luar kritik.Saussure dan menun-
jukkan bahwa mereka tidak memahami gagasan (PLU. c. 104).
Dan bahkan, di antara orang-orang yang setia pada gagasan
Saussure, S. Ullmann, dengan menerima segitiga semantik
Ogden dan Richards (Ullmann 1962. 55-57), menunjukan bahwa
ia pun tidak menghayati subtansi posisi Saussure(Godel 1953,De
Mauro 1965. 172-73): "semantik Ullmann berada di era pra-
Saussure"(Frei 1955-51). Konsekuensi ketidakpahaman ini dapat
dibandingkan dengan konsekuensi ketidakpahaman akan penger-
tian fonem: keduanya telah sangat mengurangi kemungkinan
untuk memahami doktrin Saussure mengenai kesemenaan lam
bang, langue sebagai bentuk, dan nilai. Mengenai kritik Saus
sure, bdk. antara lain Mounin 1963. 21-26.
Kelanjutan dari penggal ini merupakan hasil gabungan dua
sumber yang berbeda. Yang utama adalah catatan-catatan dari
pelajaran-pelajaran dalam kuliah ketiga; "Bagi beberapa filolog,
nampaknya isi langue yang dibeberkan dalam ciri-ciri per-
tamanya, hanya merupakan tata nama. Tetapi meskipun sean-
dainya asal langue adalah suatu tata nama, dapat ditunjukkan
bahwa unsur bahasa terdiri dari objek (gambar pohon, kuda),
nama (arbos e^«o5).Memang ada dua unsur; di satu pihak
558

sebuah objek, yang berada di luar subjek; di Iain pihak nama,


unsur yang lain - vokal atau mental: arbos dapat ditelaah dalam
kedua makna yang berbeda ini"(1085, 1092, 1087, 1093,1090 B.
Engler). Dalam penggal ini, seperti juga dalam penggal selanjut-
nya, catatan-catatan tersebut merupakan tiang penopang bagi
bab. Hal ini untuk digarisbawahi karena sifat catatan itu sendiri
yang jelas merupakan wacana ad mum Delphini, yang skemanya
adalah sebagai berikut: "Kalau memang seandainya langue me
rupakan tata nama (meskipun tidak mungkin), ciri ganda dari
bahasa malah makin menonjol." Jadi, wacana berkembang jelas
ke arah didaktis: hal ini perlu diingat untuk menilai beberapa
rumuslain.
Sumber lain, yang diterima hanya sebagian oleh para pe-
nyunting yang memadatkannya dalam tiga kalimat("konsepsi ter
sebut ...segi", "prinsip ... tersebut", "terakhir, ...benar") adalah
catatan tangan yang panjang yang sebagian telah disunting (Notes
68 dst.) berdasarkan catatan yang dibuat Sechehaye dan di sini
dikutip sebagaimana adanya (1085-1091, 1950-1956 F Engler).
"Masalah langage muncul dalam benak sebagian besar
orang hanya dalam bentuk tata nama. Pada Bab IV dalam
Gen^se, kita melihat Adam yang memberi nama (...). Pada bab
semiologi: sebagian besar konsepsi yang dibentuk, atau paling
tidak diusulkan oleh para ahli filsafat mengingatkan kita pada
nabi Adam yang memanggil berbagai binatang yang berada di
sekitarnya dan memberi mereka nama. Tiga hal tidak hadir
dalam data yang oleh para ahli filsafat dikira data langage.
1° Pertama, kenyataan yang tidak akan kami tegaskan lagi
bahwa dasar langage tidak dibentuk oleh nama-nama. Kalau
lambang bahasa berkaitan dengan sebuah objek tertentu untuk
menimbulkan makna seperti un cheval ('seekor kuda'), le feu
('api'), le soleil ('matahari'), dan bukan dengan suatu gagasan
seperti tOixe 'ja meletakkan', itu hanyalah suatu kecelakaan.
Betapapun pentingnya hal ini, tidak ada alasan yang jelas,
sebaliknya malah, untuk menganggapnya sebagai tipe langage.
Kemungkinan besar hal ini dalam arti tertentu hanya bagi yang
menganggapnya demikian sebuah kesalahan dalam contoh.
Meskipun demikian, di sini secara implisit ada suatu
559

kecenderungan yang tak dapat kita anggap sepi maupun


kesampingan mengenai apa yang nantinya merupakan (secara
tetap) langage: yaitu tata nama objek-objek. Objek yang sebe-
lumnya ada. Pertama, objeknya, kemudian lambangnya: jadi
yang selalu kita sangkal dasar luar yang diletakkan bagi lambang
dan lukisan langage, melalui hubungan berikut ini:

* —^ a
objek * b nama
♦ ^ C

padahal lukisan yang sebenamya adalah: a- b -c, di luar seluruh


(pengetahuan tentang hubungan efektif seperti - a yang didasar-
kan pada suatii objek).
Seandainya sebuah objek dapat, di mana pun, merupakan
unsur yang menetapkan lambang, linguistik akan segera berhenti
menjadi apa yang ada sekarang, dari puncak sampai ke dasar;
begitu pula bagi jiwa manusia, seperti yang dijelaskan dalam
pembicaraan ini. Tetapi ini, seperti yang baru saja kami jelaskan,
hanya serangan yang akan kita lancarkan pada cara tradisional
untuk menelaah langage apabila orang ingin memperlakukannya
secara filsafat.
Sangat disayangkan bahwa orang mulai menganggap data
tersebut sebagai unsur utama dari objek yang ditunjuk, yang
sebenamya tidak membentuk unsur apa pun. Meskipun demi-
kian, ini tidak lebih dari sebuah contoh yang salah dipilih, dan
dengan mengganti lyxto?, ignis atau Pferd dengan sesuatu seperti
[], orang menempatkan diri di luar godaan untuk melihat langue
sebagai sesuatu yang berada di luar.
Lebih parah lagi adalah kesalahan kedua yang sering
dilakukan para ahli filsafat, yaitu menampilkan:
2°, Sekali sebuah objek ditunjuk oleh nama, terjadi suatu
keutuhan yang akan dikombinasikan, tanpa gejala-gejala lain
yang dapat diramalkan! Paling tidak kalau suatu perubahan ter
jadi, ini hanya pada tataran nama (dikhawatirkan begitu), misal-
nya fraxinus menjadi frine (nama sejenis pohon). Tetapi ter-
nyata pada tataran gagasan juga terjadi perubahan :[ ]. Ini saja
sudah membuat orang berpikir mengenai perkawinan suatu
560

gagasan dengan sebuah nama apabila muncul faktor tak terduga


ini, yang sama sekali tidak dikenal dalam filsafat, yaitu WAKTU.
Tetapi faktor ini tidak mencolok, tidak khas, bukan sesuatu yang
merupakan ciri khas langue, seandainya tidak ada kedua jenis
perubahan ini, dan jenis perpecahan pertama di mana gagasan
meninggalkan tanda secara spontan, dan apakah tanda berubah
atau tidak. Kedua hal tersebut sampai di sini merupakan satuan-
satuan terpisah. Yang khas adalah adanya kasus yang tak ter-
hitung jumlahnya di mana perubahan tanda yang berubah,
gagasan itu sendiri dan di mana tiba-tiba nampak bahwa tidak
ada perbedaan apa pun, dari saat ke saat, antara jumlah gagasan
yang membedakan.
Dua tanda teracu karena perubahan fonetis; gagasan,
dalam batas tertentu (ditentukan oleh himpunan unsur-unsur
lain) akan teracu.
Suatu tanda dibedakan oleh proses buta yang sama: mau
tidak mau, perbedaan yang baru saja lahir mengandung makna.
Penjelasan di atas adalah contoh, tetapi mari kita nyatakan
segera tak berartinya suatu segi pandang yang bertolak dari
hubungan suatu gagasan dengan suatu tanda di luar waktu, di
luar transmisi, satu-satunya yang menjelaskan pada kita secara
eksperimental, nilai Suatu tanda.
(130) Mengenai penggantian istilah konsep dan gambar
akustis dengan petanda dan penanda, lihat supra c. 128. Menge
nai akustis, lihat PLUc.lll, mengenai gambar, lihat FLUc.145.
Mengenai definisi tanda oleh Saussure, lihat daftar pustaka
dalam PLU 147—149 catatan, dan bdk. khususnya: Weisgerber
1927, Weisgerber 1928. 310 dst.. Bally 1939, Lerch 1939,
Lohmann 1943, Gardiner 1944, Broker-Lohmann 1948, Nehring
1950 I, Spang-Hanssen 1954. 94 dst.. Otto 1954. 8, Fdnagy 1957,
Ammer 1958. 46 dst., Vinay-Darbelenet 1958. 28-31, Hjelmslev
1961. 47, Christensen 1961. 32,179-91, Graur dalam Zeichen and
system I. 59, Gipper 1963. 29 dst. Miclau 1966.175.
Nampaknya, dengan istilah tanda, Saussure bermaksud
mengacu (seperti yang diperlihatkan, yang meskipun polemis
oleh acuan, pada nama) pada satuan yang lebih kecil dari
kalimat, mungkin pada kata; meskipun Saussure yang sama
561

menulis di tempat lain: "Menurut aturan, kami tidak bicara


tentang tanda-tanda yang terpisah, melainkan tentahg kelompok
tanda, tentang massa yang tersusun yang juga merupakan tanda"
{PLU 227), sehingga Godel 1966. 53-54 dapat menyatakan
dengan benar bahwa definisi ini sesuai bagi satuan linguistik
mana pun:(mqnem,frasa, kalimat). Untuk menghindari keran-
cuan, Lucidi 1950 mengusulkan untuk memperkenalkan istilah
hiposem untuk menunjukkan vinsur-unsur fungsional yang diha-
silkan oleh analisis tanda, dan dipahami sebagai produk tindak
bahasa sengkaiiit (Lucidi 1966. 67 dst)
Buyssens 1960 juga merasakan perlunya memperjelas
definisi Saussure: tanda bahasa adalah segmen terkecil yang, baik
melalui lafal maupun arti, memungkinkan dua kegiatan yang
saling melengkapi: menghubungkan kalimat-kalimat yang berbe-
da dan mengoposisikan kalimat-kalimat yang sama.
Mengenai pergeseran makna tanda dari "tanda" ke "penan-
da"lihatPLt/c. 133. ' .
(131) Mengenai penggunaan istilah psikis oleh Saussure,
lihat PLU C.70.
Mengenai ditinggalkannya istilahfonem yang terjadi kemu-
dian, lihat PLU c.lll.
(132) Ini adalah salah satu penggal yang memperlihatkan
konsekuensi cukup parah dari campur tangan para penyunting
yang nampaknya sederhana. Hanya dua skema yang berasal dari
sumber catatan tangan: skema ketiga, dengan gambar pohon
merupakan tambahan, begitu pula panah-panah di ketiga skema
kalimat "Kedua unsur tersebut bersatu padu dan saling memicu"
(kalimat yang menerjemahkan panah-panah dalam kata) dan
penggunaan istilah kata untuk menunjuk arbor. Hasil dari
tambahan ini pembaca berkesan bahwa bagi Saussure penanda
adalah kata, petanda adalah gambar benda/hal, dan bahwa yang
satu memicu yang lain seperti yang dipertahankan oleh mereka
yang mengira bahwa langue adalah suatu tata nama. Demikianlah
orang bergeser ke arah konsepsi yang bertentangan dengan
konsepsi Saussure. bdk SM 115-116.
(133) Di sepanjang penggal ini nampak dengan jelas sifat
hati-hati yang khas Saussure, yaitu menghindari segala neologis-
me teknis: mengenai sikap tersebut yang mungkin menyebabkian
562

adanya beberapa ambiguitas di permukaan dalam 'PLU, tetapi


yang jelas ketidakhadiran segala mistifikasi, lihat c. 38 dan bdk.
SM 132-133, Engler 1966. Mengenai sjkap yang sama pada diri
pendiri ilmu modern ini, yang orang lain kini dapat melihat telaah
yang cerdik dari L. Altieri Biagi, Galileo e la termionologia
tecnico-scientifica, Florensia 1965. Mengenai tanda = penanda,
lihat c. 155.
(134) Lihat PLU c. 128. Mengenai teks-teks yang mung-
kin mendorong Saussure untuk memperkenalkan kedua istilah
ini, lihat 452—453.
Kata signifiant'petanda',signifie 'penanda' sebagai partisip
yang dijadikan kata benda belum menjadi tradisi bahasa Perancis
sebelum Saussure dan menimbulkan masalah penerjemahan ke
berbagai bahasa: penerjemah Saussure dalam bahasa Jerman dan
Inggris telah menggunakan istilah das Bezeichnete dan das Be-
zeichnende, dan signified serta signifier. Bahasa Itali mengguna
kan significato untuk petanda yang sebenarnya berpadanan
dengan signification 'makna' Perancis, demikian pula halnya
dengan significado dalam bahasa Spanyok Sering kali orang
mendapat kesan bahwa, dengan adanya padanan bahasa ini,
istilah Saussure (teknis dan, seperti yang akan kita lihat, tidak
menimbulkan kerancuan sama sekali) menjadi "kabur dan tak te-
rumus"(Lucidi 1966,75) karena kata lazim signification berkono-
tasi lain dan, di dalam bahasa-bahasa lain, terjadi pula dengan
kata-kata seperti Sinn, Bedeutung, meaning, signification, dsb.
(135) "Prinsip pertama yang penting sekali: tanda bahasa
bersifat semena. Sehingga konsepf soeur 'saudara perempuan'
tidak ada kaitannya dengan apa pun, dsb. "f(1121, 1123, 1224 B
Engler). Mengenai sumber catatan tangan dari paragraf ini, bdk.
Engler 1959. 128-131 dan infra.
(136) Kalimat ini mencampur rumusan pertama yang
diberikan oleh Saussure (lihat c. 135) dengan rumusan yang
diberikan setelah memperkenalkan istilah penanda-petanda
(lihat supra c. 128 dan SM 86 c. 124):"Hubungan yang memper-
satukan penanda dengan petanda secara radikal bersifat semena"
(1122 B Engler). "Secara radikal" hilang dalam teks para
penyunting: kalau kita ingat pada rumusan yang berulang kali
direnungkan Saussure, tidak mungkin bahwa adverbia ini diguna-
563

kan sebagai pleonasme penguat biasa. Lebih tepat kalau di-


anggap bahwa adverbia ini mengandiing maknanya yang penuh di
sini: hubungan bersifat semena radicitus, bahkan di dalam pbtn-
bentiikannya, dengan pengertian ia men^ubungkiani dua satuan
yang diproduksi secara sama berkat pemisahan semena menjadi
substansi akustis dan dalam substansi bermakna (lihat c. 231).
(137)Kalau pengertian semena dilihat sebagai tidak adanya
motivasi dalam penanda dari dua bahasa yang berbeda dalam
hubungannya dengan "petanda" yang dianggap stabil dan sama,
orang dapat menuduh Saussure tidak padu (lihat PLU c. 138 dan
141) dan orang dapat menganggapnya penerus mereka, kaum
sofis sejak Plato dan Aristoteles (dan bukan hanya kaum stoik)
sampai Boole dan P. Val6ry, yang telah melihat langue sebagai
tata nama, artinya sebagai suatu himpunan nama-nama yang
masing-masing secara e4aei,"konvensional" ditempelkan pada
benda/hal atau pada padanan mental mereka yang^raura itant"sama
bagi semuanya" (lihat supra 452—453). Sumbejr langsung dari
konsepsi konvensionalis tersebut bagi Saussure pastilah Whitney
(lihat supra 389—390): bdk. Language and the study of language
cit., hal. 32 ("Tak ada satu pun hubungan dalam dan pokok
antara gagasan dan kata dalam bahasa apa pun yang ada di dunia
ini" sehingga lambang bersifat "arbitrer dan konvensional"), 71,
102, 132, 134, 400 ("arbitrary signs for thought"), dst.; Life and
growth of language cit., hal 19, 24, 48, 282, 288. Perlu diamati,
dari jurusan tata istilah bahwa bagi Whitney, arbitrary dalam
berbagai konteks, berasosiasi erat dengan conventional:, seperti
yang telah kita lihat {supra 454—455), istilah ini dengan hati-hati
dihindari oleh Saussure pada tahun 1894 dan kemudian, dengan
alasan teoretis, ketika ia menyatakan dengan nalar yang tepat
bahwa konvensionalitas man tidak mau berimplikasi suatu
konsepsi petanda dan penanda sebagai dua fakta yang diasosiasi-
kan (secara sekunder) oleh konvensi manusia. Dengan kata lain,
seperti yang telah kita lihat, konvensionalisme tidak berakibat
anggapan langue sebagai tata nama. Itu sebabnya Saussure
meninggalkan istilah conventional sebagai sifat lambang; dan
nampaknya pada suatu saat ia cenderung untuk mengganti juga
istilah lain dalam pasangan Whitney dengan (tanda) betas {SM
45, 143 dan lihat c. 140) atau tak bermotif. Semua ini perlu
564

diperhatikan untuk dapat menghayati penggunaan kata semena


dalam PLU kita tidak dapat sic et simpliciter mengaitkan
Saussure dengan konsepsi konvensionalis: IPLU (lihat supra c.
128 dan 129 dan jPLU 204 dst) justiii menentang konsepsi
tersebut. Saussure akhirnya menggunakan semena karena adjek-
tif ini mengungkapkan dengan jelas tidak adanya aiasan alami,
logis, dst., di dalam penetapan artikulasi substansi akustis dan
semantis. Meskipun demikian, pada 147—149 PLU(nampaknya
beberapa orang hanya membaca kedua halaman ini) terdapat
konsepsi semena dari Whitney, dan bersamanya konsepsi langue
sebagai tata nama. Whitney, mungkin memainkan peran tertentu
di dalam kedua halaman ini, artinya di dalam pelajaran tanggal 2
Mei, yaitu menimbulkan pergeseran, kembalinya Saussure ke
konsepsi-konsepsi yang dikritik dan dihapusnya sendiri. Meski
pun demikian, mungkin pula bahwa Saussure, dengan contoh
soeeur dan boeuf 'sapi', dan dengan mengingatkan kembali
konsepsi konvensional dari semena, hanya ingin memberikan
gambaran, pemikiran pertama, mengenai kesemenaan "radikal"
(lihat c. 136)lambang, seperti juga untuk memberikan gambaran
mengenai dualitas tanda yang mendasar, ia mengingatkan kem
bali pada murid-muridnya konsepsi langue sebagai tata nama
(lihat PLU 145-146 dan c. 129).
Lucidi pada tahun 1950 telah memahami bahwa masalab
yang timbul di sekitar kedua halaman ini (lihat infra c. 138)
telah terlalu didramatisir: "penggal-penggal ... itu mengandung
perkiraan ini yang merusak seluruh penampilan PLU, akibat
yang tidak terhindari mengingat asal mula buku ini, yang disusun
dan lahir dari kuliah-kuliah lisan dan diselenggarakan dalam
sejumlah tahun kuliah dan tidak ditujukan untuk penerbitan.
Sehingga, misalnya kalimat "petanda "boeuf memiliki penanda
b-d-f d\ sisi yang satu dari perbatasan, dan o-k-s (Ochs) di sisi
lain" tidak benar kalau kita mengingat perkembangan sebelum-
nya dari teori Saussure. Selama petanda nierupakan hanya rekan
imbangan penanda, kita tidak mungkin berbicara tentang petan
da "boeuf" pada umumnya yang beroposisi dengan penanda b-d-f
dan o-k-s, melainkan tentang petanda "boeuf" dan petanda
"Ochs". Namun, kekeliruan ini hanya di kulit karena kontradiksi
565

yang tak tersangkal dengan pengembangan teori Saussure yang


sebelumnya dapat dibuktikan apabila kita amati bahwa cara yang
tidak tepat untuk mengungkapkan kalimat tersebut diimbangi
oleh kenyataan bahwa Saussure di sini masih menggunakan
definisi sementara(petanda = konsep)(Lucidi 1966. 49). Penggal
terakhir ini lebih menonjol lagi karena telah ditulis beberapa
tahun sebelum analisis catatan tangan Saussure menunjukkah
bahwa contoh yang menyedihkart ini(1124 B Engler) berasal dari
pelajaran pertama yang diberikan Saussure, jadi lebih awal dari
perkenalan istilah-istila;h yang lebih tepat, yaitu penanda dan
petanda (lihat supra c. 128).
(138) Paragraf ini adalah pencerminan setia dari catatan
tangan (1125-1127 B Engler), catatan Constantin (tidak diguna-
kan oleh para penyunting) lebih jelas lagi: "tempat hierarkis bagi
kebenaran itu adalah di puncak. Lambat laun barulah orang man
mengaku betapa fakta-fakta yang berbeda hanyalah pengelom-
pokan sekunder, konsekuensi yang tersingkap dari kebenaranm
tersebut" (1225-1227 E Engler). Penggal ini penting karena dua
alasan: penggal ini mendorong kita untuk mengamati bahwa di
dalam prinsip kesemenaan, Saussure telah menemukan prius dm
sistematisasinya dalam "teorem" teori linguistik (lihat c. 65); di
samping itu, untuk menegaskan catatan sebelumnya, nampak
bahwa dengan rumusan tersebut Saussure menganggap
hanya melakukan langkah pertama di jalan menuju pemahaman
mendalam dari prinsip kesemenaan. Implikasinya adalah bahwa
makna dalam dari prinsip kesemenaan, seperti yang ditunjukkan
oleh Saussure sendiri, harus dipahami bukan hanya dengan
melihat rumusan dalafn kedua halaman tersebut, tetapi dengan
melihat keseluruhan jPLl/ : pertama-tama kita harus melihat
langue sebagai bentiik (PLU 206,) kedua dokrin pelengkap,
yaitu, bahwa pembedaan-pembedaan dalam langue "tergantung"
(lihat c. 137) dari ciri-ciri intrinsik substansi semantis dan
substansi akustis di mana terjadi pembedaan tersebut. Meskipun
demikian, untuk sampai pada kesimpulan penafsiran tersebut,
diperlukan "jalan memutar" di dalam polemik di sekitar keran-
cuan ini dan dalam pendebatan yang sulit mengenai"kesemenaan
lambang".
Sejarah masalah kesemenaan: Engler 1962, Lepschy 1962,
566

Engler 1964. Leory 1965. 81-84, Derossi 1965. 70-103. Penafsiran


kesemenaan Saussure yang konvensionalis pada awalnya sangat
lazim: bdk. Jespersen 1917, Devoto 1928. 123, Amman 1934. 263
dst., Jaberg 1937. 133-134, Pichon 1937. 25-30 (menganggap
Saussure berpandangan konvensionalis, menurutnya lambang
bersifat konvensional dalam hubungan dengan objek; kritiknya
adalah karena sebaliknya ada suatu "persatuan spiritual "antara
penanda dan petanda, dan ia melihat suatu rasionalisasi dari
pengalamart bilinguistik di Swiss). Beberapa pendirian Pichon
diikuti oleh Benveniste dua tahun kemudian, di dalam artikel
tentang "Nature du signe linguistique", yang diterbitkan dalam
Acta linguistica nomor 1 (AL I, 1939. 23-29 = Bennveniste
1966. 49-55). Benveniste juga menekankan bahwa hubungan
antara penanda dan petanda memang; "perlu" dan bukan
semena. Tetapi, berbeda dengan Pichon (yang kemudian mela-
kukan kekeliruan dengan penutur haknya sebagai pemula masa-
lah kesemenaan: Pichon 1941), Benveniste menggarisbawahi(de
ngan benar) kontras antara prinsip kesemenaan yang dipahami
secara konvensional (dan orang hanya akan memahami hal ini
atas dasar halaman 148—149)dan bagian lain pemikiran Saussure.
Hal ini, yang mengkritik konvensionalisme dan konsepsi langue
sebagai tata nama membawa kita pada kesimpulan bahwa tidak
mungkin melihat "petanda" otonom dalam hubungan dengan "pe
nanda" suatu bahasa tertentu. Sehingga tidak mungkinlah me-
ngambil suatu petanda "bceuf sebagai suatu satuan yang sama di
dalam dua bahasa, dan dengan sendirinya menunjukkan bahwa
karena bentuk fonis penanda yang di dalam dua bahasa menun-
juk petanda yang dianggap sama, berbeda, penanda itu pun
semena. Beveniste, dengan benar, melihat substansi pemikiran
Saussure dalarri PLU, dan di dalam konsepsi langue sebagai
sistem nilai yang rasional sehingga sebagaimana adanya tidak
dapat dibandingkan. Artikel Benvenistelah yang terutama
membuka jalan bagi sejumlah kritik yang menyerang Saussure
dengan menganggapnya berposisi konvensionalis dan dengan
mempertahankan bahwa tanda tidak semena: Lerch 1939, Rog-
ger 1941. 166-167, Naert 1947, Bolelli 1949. 36-40 (mengenai
keracuan ini, Lucidi 1966. 56, 63-64), Bolinger 1949, Alonso
1952. 19-33, Jakobson 1962. 653, Jakobson 1966. 26 dst. Yang
567

lain, yang turun ke arena sering kali karena mempertahankan


secara membuta (seperti yang telah disebutkan oleh Lucidi 1950,
penunjuang-penunjang posisi Saussure ini mempertahankan
kesahihan konvensionalisme), makin menonjolkan bahwa Saus
sure memang seorang konvensionalis: Bally 1940, Bally, Seche-
haye, Frei 1941, Ullmann 1959. 83 dst. (bdk. halaman 85:
Adakalh alasan yang hakiki atas keberadaan, dalam bahasa
Inggris, sebuah kata yang menandakan "arbor" (pohon).
Jawabannya tentu saja: ya. Alasannya terletak pada keberadaan
segi-segi dalam dunia nyata di luar bahasa yang harus diberi
nama: justru inilah yang disangkal oleh PLU Bag II, Bab IV,§1
dst.; tetapi, mengenai batas-batas Saussurisme pada diri Ullmann
lihat supra 442 dan c. 129), Waterman 1963. 62-63, Abercrombie
1967. 12.
Di antara kritik-kritik, yang beranggapan bahwa tanda ber-
motif dari sudut pandang onomatope, estetika, spiritual, dsb, dan
para penunjangnya, yang beranggapan bahwa lambang bersifat
semena karena kita mendapati penanda yang berbeda di dalam
berbagai bahasa bagi petanda yang sama, pada mulanya terdapat
sekelompok kecil yang menyadari adanya dua kebutuhan. Yang
pertama adalah kebutuhan untuk mendalami interpretasi anali-
tis dari teks PLU, yang mulai dirasakan adanya benang-benang
yang terlepas, tisikan yang dipaksakan, tambahan yang ambigu.
Yang kedua adalah kebutuhan untuk mendalami riilai intrinsik
dari pengertian kesemenaan itu sendiri, khususnya mengenai
semantik: karena fonematik telah mendalami secara bertahap
pengertian Saussure tentang segi relasional dari nilai-nilai fone-
matis, sedangkan, pada zaman perdebatan, ketika beberapa
orang menelaahnya, semantik secara umum tetap terikat pada
kepercayaan Aristoteles pada kesemestaan penanda. Kaitan
problematis antara kedua kebutuhan ini jelas nampak pada
Buyssens 1941 (hal.86: semena berarti bahwa pilihan bunyi tidak
dipaksakan oleh bunyi itu sendiri), Sechehaye 1942. 49(dan bdk,
juga Sechehaye 1930. 341), Borgeaud-Brocker-LoWmann 1943,
Gardiner 1944 (khususnya halaman 109-110), Rosetti 1947. 13,
Wells 1947, Ege 1949, Lucidi 1950(=Lucidi 1966), Devoto 1951.
12-15, Mandelbort 1954. 7 dst. Karya Lucidi dan Ege jelas
568

memperlihatkan kebutuhan untuk mencek kembali sumber-


sumber teks PLU. Di lain pihak pendalaman pengertian langue
sebagai bentuk murni, dan pengertian bentuk isi yang dicetuskan
oleh Hjelmslev, menerangi ciri semena ganda dari tanda dan ciri
petanda yang seluruhnya relasional. SM karya R. Godel adalah
jawaban bagi kebutuhan pertama. Dan pada zaman yang sama,
di dalam Cahiers Ferdinand de Saussure, artikel A. Martinet,
"Arbitraire linguistique et double articulation" (Martinet 1957.
105-116) pada pokoknya merumuskan penyelesaian masalah itu:
"Pembaca (PL[/)lah yang harus menemukan bahwa hubungan
"semena" dari suatu penada dengan petanda tertentu hanyalah
satu segi dari suatu otonomi bahasa, yang muka lainnya mengan-
dung pilihan dan pembatasan petanda. Sebenarnya, kebebasan
langue terhadap kenyataan non-bahasa muncul, terlebih lagi
pada pilihan berbagai penanda, pada cara langue menafsirkan
unsur-unsurnya sendiri melalui kenyataan tersebut. Sehingga
kemungkinan besar, dengan jalan konsultasi dengan kenyataan
tetapi juga dengan jalan menguasai,langue membentuk apa yang
disebut konsep dan yang akan kami sebut secara lebih tetap,
Oposisinya."
(139) Perlu dicatat bahwa pada baris-baris berikut "alat
pengungkapan" dan "sistem pengungkapan" tidak barasal dari
catatan tangan di mana dibicarakan "sistem-sistem yang lain dari
kesemenaan" (128 B Engler) dan "sistem semena" (1129 B
Engler). Dalam penggal ini, dan lebih jelas lagi dalam sumber
catatan tangan, Saussure mengusulkan bahwa salah satu tugas
semiologi adalah mengklasifikasi berbagai sistem menurut ciri
mereka yang kurang lebih semena: "Di mana batas semiologi?"
Sulit dikatakan. Ilmu tersebut akan melihat bahwa bidangnya
meluas terus. Lambang-lambang, gerak sopan santun, misalnya
akan termasuk di dalamnya. Semua ini impersonal kecuali
nuansa, tetapi orang juga dapat mengatakan hal yang sama untuk
tanda bahasa. Tanda bahasa tidak dapat diubah oleh individu dan
hidup di liiar individu. Menjadi tugas semiologi juga untuk
mencatat berbagai kadar dan perbedaan."(1131 B Engler).
Tugas semiologi tersebut, yang baru dikenal oleh Saussure,
sebenarnya telah dibahas oleh Ch. S. Peirce di dalam tulisan-
569

tulisannya yang kurang dikenal sampai penerbitan Collected


papers, 6 jilid, Cambridge, Mas. 1931-1935. Di dalam karyanya
Semiotic (yang pada tahun 1867 diusulkannya untuk diberi judul
Universal Rhetoric: Ogden dan Richards 1923, 282) wg/w dibeda-
kan dalam icons, indices dan symbols sesuai dengan kadar
kesemenaan mereka. Tesis Peirce ini telah berulang kali diguna-
kan oleh R. Jakobson untuk menekankan hadirnya unsur non-
simbolis, tetapi ikonis di dalam lambang bahasa: bdk. Jakobson
1966. 24,27 dst. dan bunga rampai essai Jakobson 1966. 7, 27,57
dst.,68 dst.).
040)Istilah symbole telah digunakan Saussure pada tahun
1894 di dalam karangan kenangan pada Whitney: "Para ahli
filsafat, logika, dan para psikolog telah mengajarkan pada kita
tentang kontrak mendasar antara gagasan dan simbol (tulisan
pertama, yang kemudian diperbaiki: antara sebuah simbol kon-
vensional dan jiwa), khususnya simbol yang menampilkannya.
Simbol bebas artinya kategori simbol yang memiliki ciri utama,
yaitu tidak memiliki hubungan apa pun yang dilihat dengan mata,
dengan objek yang ditunjuk dan juga tidak dapat tergantung dari
objek, meskipun secara tidak langsung, di dalam kelanjutan jalan
hidupnya" (cit dalam SM 45). Kemudian ia memilih untuk me-
ngesampingkan lambang ini mengingat alasan yang disebutkian
dalam PLU, dan berasal dari kuliah yang kedua (dalam kuliah
pertama,simbol muncul sekali lagi). Meskipun demikian, seperti
yang telah kita lihat, petanda juga tidak memuaskan Saussure,
sepenuhnya, yang masih memikirkan pergeseran dari "satuan
bermuka dua" ke "muka luar dari satuan" (FLU). Dari sinilah
rnuncul usaha coba-coba untuk memperbaharui tata istilah yang
lerdapat dalam sebuah catatan tanpa tanggal (tetapi lihat infra):
kata, argumentasi catatan itu, yang mati dan mengecil sampai ke
substansi fonis hanya berupa massa amorf, sebuah some (dan ia
menambahkan:"hubungan makna dengan some bersifat semena",
Sedangkan kata yang hidup merupakan sebuah sem', SM 51).
Dalam catatan ini Saussure pun telah menggarisbawahi sulitnya
mencari istilah-istilah yang menunjukan tanda secara menyeluruh
tanpa adanya pergeseran salah arti hanya pada salah satu muka.
570

Kemungkinan besar justru keyakinan akan terhindarinya risiko


kerancuan inilah yang membawa Saussure, setelah kuliahnya
yang pertama di mana tanda tak terhindari(SM192), untuk kem-
bali ke istilah tanda (dan lihat e. 155).
Penolakan Saussure terhadap istilah simbol telah dikritik
dengan pedas oieh Ogden dan Richards 1923. 5^6 c.2, yang telah
melihat "contoh" "kenaifan" yang menurut mereka akan menjadi
ciri Saussure.
Mengenai simbol dan tanda bdk. Frei 1929. 132 dan
terutama Buyssens 1941. 85 yang mengamati (melawan Lerch
1939) bahwa tanda bahasa, apa pun nilai onomatope dan
ikonisnya yang ingin ditonjolkan orang,.ditandai oleh kenyataan
bahwa istilah ini gramatikai, solider dalam satu sistem, dan dari
sinilah, dan bukan dari aspek "simboles" atau "ikonis" sementara,
muncul nilainya yang sebenarnya.
(141) Mengenai makna semena dan pembicaraan mengenai
penggal ini, bdk. supra cdXaVdn 136, 137, 138.
(142) Jespersen 1922.410(bdk. Kantor|l952.172) mengkri-
tik tesis Saussure mengenai onomatope dan mengganggapnya
merancukan sinkroni dan diakroni. Jelas bahwa Saussure sama
sekali tidak rancu karena dia hanya mengingat pada partisan asal
kata dari onomatope (artinya pada mereka yang melupakan segi
sinkronik fungsional dan bukan onomatope sehingga hanya me.-
lihat kata ketika kata tersebut seakan onomatope), bahwa se-
baliknya, sering kali, kata-kata yang nampaknya onomatope
ternyata bukan onomatope asalnya. Lagi pula, kata-kata yang
pada mulanya fonosimbolis atau yang nampaknya demikian pada
zaman tertentu, hanya merupakan minoritas tak berarti dalam
kata. Dan apa yang diamati Buyssens 1941. 85 juga ditunjukkan
pada kata-kata tersebut: artinya, selama mereka diintegrasikan
dalam sistem tata bahasa dan sistem fonematis tertentu, dan
keduanya terlepas dari hubungan dengan onomatope, mereka
memang sebagaimana adanya. Mengenai tesis Saussure, lihat
juga Derossi 1965, 62.
Keliru pula kalau kita menyarigkal fakta bahwa di dalam
masyarakat bahasa tertentu, orang mungkin melihat nilai fono
simbolis di dalam kata-kata tertentu atau dalam kelas kata
571

tertentu: dan kita tahu bahwa yang puitis, mungkin saja peran
tertentu diberikan pada penanda karena pehulis beranggapan
mengeksploitasi nilai fonosimbolis dari penanda tersebut; menge-
nai pustaka yang sangat luas tentang kedua pendapat tersebut,
bdk. karya Ullmann 1959. 266 dst., 305. Grammont 1933, dengan
penelitian dan pengarnatan atas "fonetik impresif, dan banyak
ilmuwan lain setelah dia, telah mencoba untuk memberikan
dimensi pankronis pada tipe penelitian ini, dengan memperta-
hankan, misalnya bahwa orang akan mengasosiasikan gagasan
"kecuali" dengan bunyi seperti [i] (dengan mengutip kata-kata
seperti piccino, minor, minimus, petit, little)-, tetapi mudah untuk
menemukan kata-kata yang dekat dengan makna "kecil" tanpa
adanya lafal [i] {small, parvus), dan kata-kata yang mengandung
[i] yang dekat dengan makna yang sebaliknya (big, infini) dan
adanya sejumlah besar kata-kata dalam berbagai bahasa yiang
mengandung [i] yang maknanya tidak berhubungan dengan
"besar" dan "kecil" maupun dengan kesan sejenisnya.
• Namun, kenyataan yang gamblang di atas tidak mengha-
langi bahwa, secara berkala, para ilmuwan masih melewatkan
waktu untuk membicarakan masalah yang sama. Dan orang
menulis berhalaman-halaman untuk membuktikan bahwa burung
layang-layang bernama Emma(Morgenstern jelas menegaskan di
dalam satu puisi liriknya bahwa burung ini bernama Emma).
Anehnya, atau mungkin melalui synnoemi pankronis, kita ingat
ketika membaca karya sastra yang indah ini, pada sebuah
anekdot tentang Benedetto Croce, Suatu hari, ia menjawab
seorang embisil yang bertanya kepadanya dengan, sungguh-
sungguh, apa nama kucing "manis" yang berkeliaran di kamar
kerjanya. Ahli filsafat ini menjawab dengan ketus; "Aiida
maunya bernama apa? Sudah jelas namanya kucing."
(143) Fonagy di dalam Zeichen und system I. 52 dan
Guiraud 1966. 29 dst., mengkritik pernyataan Saussure karena
menurut pendapat mereka interjeksi memang konvensional,
tetapi bukan tanpa motif, Vendryes 1921. 136 dan J. Wackerna-
gel, Vorlesungen iiber Syntax, 2 jilid. Bale 1926, I. 70 dst.,
menekankan, secara lebih tepat, fakta bahwa interjeksi berada di
batas sistem bahasa. Hal ini jelas kalau dipandang dari sudut
572

pandang struktur seperti juga struktur konsistensi fqnematis: di


dalam banyak bahasa, banyak sitnbol fonis yang sulit dimasukkan
dalam rangka sistem fonematis yang biasa dan sering kali me-
nimbulkan masalah untuk trasnskripsi grafis justru karena ke-
khasan mereka ini.
(144) Paragraf ini juga berasal dari gabungan pelajaran
tanggal 2 Mei (SM 83 c. 115) dan tanggal 19 Mei (5M 85 c.
123). Yang terakhir ini lebih muda dari pengenalan pasangan
penanda-petanda {supra c. 128). Sedangkan prinsip yang pertama
dalam prinsip semiologi umum yang berlaku bagi macam lam-
bang apa pun (5 M 203 dan Godel 1966. 53-54);'jprinsip yang
kedua hanya mengenai penanda, jadi khusus bagi tanda-tanda
dengan penanda akustis yaitu lambang-lambang dalam langage
verbal. Mengenai masalah penafsiran, lihat c. 145.
(145) Penanda dari tanda bahasa, yang bukan merupakan
"gambar" dalam pengertian bahasa, tetapi suatu "figur" (satu
kelas dalam suatu konfigurasi) substansi akustis (1138 B Engler),
disusun sedemikian rupa sehingga unsur-unsurnya menyebar
dalam urutan. Unsur-unsur tersebut bagi Saussure adalah sin-
tagma dan satuan konkret langue, atau juga monem menurut
istilah Frei, dan sama sekali bukan fonem. Sumber tulisan tangan
(1168-70 B khususnya E Engler)lebih menjelaskan penafsiran di
atas: "Dari prinsip itulah muncul berbagai penerapan. Ini
gamblang. Kalau kita dapat memotong-motong kata-kata dalam
kalimat, ini juga akibat dari prinsip itu. Prinsip tersebut meng-
ungkapkan salah satu syarat bagi semua sarana yang tersedia
bagi linguistik. Bertentangan dengan jenis lambang tertentu
(lambang visual misalnya) yang mungkin menimbulkan kompli-
kasi di berbagai tataran, lambang akustis hanya menimbulkan
komplikasi dalam ruang, yang mungkin digambar dalam bentuk
garis. Segala unsur lambang harus berturutan, membentuk suatu
rangkaian. Pengacuan pada "memotong kata-kata dalam kalimat"
menghilangkan segala keraguan bahwa sebenarnya Saussure
mempergunakan tanda dan penanda dalam pengertian yang
sangat luas (supra PLU c. 130), dan di lain pihak^ tidak mengacu
pada urutan "satuan-satuan tak teruraikan" atau pada urutan
fonem dalam pengertian non-Saussure (lihat PLU c. 111). Penje-
573

lasan sama, lihat Godel SM 203 dst.


Prinsip Saussure pada umumnya dipahami sebagai yang
terutama mengacu juga pada urutan fonem (dalam pengertian
non-Saussure): bdk. misalnya Martinet 1966. 21 ("Ciri linier
ujaran menjelaskan adanya urutan monem dan fonem. Dalam
urutan tersebut, susiinan fonem bernilai distingtif persis sama
dengan pilihan fonem tertentu... Situasinya agak berb'eda pada
satuan-satuan artikulasi pertarha"). Prinsip ini telah dipahami
dalam pengertian yang sama oleh R. Jakobson sehingga ia
menyapgkal definisi fonem sebagai "rangkaian ciri pembeda
yang berbarengan"(Jakobson 1956. 60-61. 1962. 207). Tentu saja
kita dapat menyanggah Jakobson bahwa definisi/onem di dalam
PLU 115 dst. bukan fonem dalam pengertian non-Saussure,
melainkan dalam pengertian Jacobson (lihat PLU c. 115 dan c.
117), artinya bukan apa yang disebut Saussure "satuan tak
teruraikan" dan yang kini kita sebut "fonem". Tetapi keberatan
yang menentukan ada di tempat lain. Saussure bicara tentang
suatu prinsip yang mengatur struktur penanda. Dia tidak berpikir
tentang "satuan tak teruraikan" (baik sesuai maupun tidak bagi
satuan tersebut sebagai kombinasi ciri pembeda) karena satuan
tersebut merupakan unsur dari penanda dan bukan penanda:
bagi Saussure penanda tidak ada tanpa petanda, tidak ada
penanda yang lain kecuali yang merupakan recto dari verso
semantik, dan "satuan tak teruraikan" tidak mengandung petan
da bukan tanda melainkan unsur-unsur berturutan dalam tanda.
Prinsip linearitas tidak berlaku bagi satuan ini, tetapi berlaku ba
gi penanda sehingga tidak mungkin terjadi kontradiksi antara
prinsip ini dengan hakekat satuan tak terkalahkan yang pada
dasafnya beraneka ragam,atau fonem dalam pengertian modem.
■ Mengenai masalah ini bdk. juga Lepschy 1965 (yang sebe-
narnya masih, bersama Jakobson, menganggap bahwa PLU 115-
117 mengacu pada fonem dalam pengertian non-Saussure (c.7).
Karya ini berguna untuk menjelaskan berbagai masalah dan
kritik lain yang mempermasalahkan prinsip Saussure yang kedua,
khususnya yang berhuburigan dengan pengertian sintagma.
(146)Sumber-sumber paragraf ini dan paragraf selanjutnya
adalah pelajaran-pelajaran di akhir bulan Mei 1911 yang lang-
sung mengikuti kelompok pelajaran mengenai satuan konkret
langue, mengenai batas-batas kesemenaan, dan mengenai
574

penjelasan terinci dari kedua prinsip yaitu kesemenaan dan


linearitas tanda (SM 85-86, c. 125-130). Saussure sendiri (1175
B Engler) telah mengingatkan mahasiswanya bahwa bah ini yang
mengenai ketakterubahan dan keterubahan. tanda terletak tepat
setelah bab mengenai hakekat tanda bahasa, dan petunjuk ini
telah ditaati oleh para penyunting.
Bab ini terletak di daerah yang paling tidak terbaca dalam
PLU terjepit di antara halaman-halaman mengenai keseme
naan dan yang mengenai pembedaan antara sinkroni dan
diakroni yang telah mengacaukan perhatian para ahli, sampai
menghipnotis mereka. Padahal, makna non konvehsionalis dari
kesemenaan Saussure, kesadaran yang mendalam akan keseja-
rahan sistem bahasa, dijelaskan secara terinci dan jelas dalam
halaman-halaman yang dilewatkan pembaca ini. Kalau kita
membaca halaman-halaman ini, sulit untuk percaya apakah
Saussure seharusnya dipuji atau dipersalahkan sebagai pencipta
linguistik anti-historis dan perawan, pencipta pandangan langue
sebagai sistem statis di luar kehidupan sosial dan jalan sejarah.
Padahal orang lebih sering memerangi bayangan daripada Saus
sure sendiri.
(147) Sumber-sumber catatan tangan sebenarnya membi-
carakan "asal mula bahasa-bahasa"(dan bukan "langage"}; 1191
B Engler). Mengenai sikap Saussure di dalam menghadapi
masalah ini, lihat PLU c. 49 dan 50. Pada akhir paragraf
terdapat kata-kata; "artinya bertahan'terhadap substitusi semena
apa pun". Ini tambahan para penyunting di mana semena
digunakan dalam pengertian biasa, yaitu "tak terduga, tergantung
dari kesemenaan individual", artinya pengertian non-Saussure,
dan tambahan ini diletakkan justru di dalam konteks di mana
dibicarakan (lihat akhir paragraf sebelumnya)kesemenaan dalam
pengertian Saussure.
(148)Perlu dicatat bahwa butir ini, yang oleh para penyun
ting diletakkan di tempat keempat (meskipun dengan menyebut-
kan kenyataan bahwa butir ini "paling penting" di antara yang
lain), terdapat pada tempat pertama di dalam sumber catatan
tangan (1226 B Engler).
(149) Inilah konsep keharusan sejarah bagi lambang yang
575

sangat ditekankan oleh A. Pagliaro 1952. 60-61.


(150) Seandainya petanda mencerminkan pembedaan
objektif yang ada sebelum mereka, seandainya penanda karena
sebab-sebab yang inheren disesuaikan dengan substansi akus-
tis, seandainya hubungan antara petanda dan penanda tergan-
tung dari analogi di antara mereka, seandainya, ringkastiya,
tanda tidak semena secara radikal, tradisi akan mengatur mereka
secara berbeda hanya pada permukaannya, sedangkan struktur
dalam tanda tidak ada hubungannya dengan sejarah (sehingga,
mungkin saja orang berpindah secara berbeda di atas tiang-tiang
penyangga, di atas batu-batu Jalan Suci dan di atas jalan modern
kita yang beraspal: tetapi semua ini hanya perbedaan dangkal
yang tidak berakibat bagi mekanisme dasar dari gerakan itu
sendiri). Seandainya tanda tidak semena, bagaimana pun juga,
berada di luar sejarah. Dan,sebaliknya,fakta bahwa diskriminasi
perlambang dalam petanda, pembedaan bunyi-bunyi dalam
penanda, asosiasi antara berbagai petanda dan berbagai penanda
atau fonem didasari oleh pilihan historis, sementara, ditetapkan
secara geografis maupun sosial. Semua ini, artinya kesejarahan
tanda, membuat tanda berciri Semena.
(151) Mengenai sumber-sumber paragraf ini, lihat supra c.
146; kedua alinea terakhir pada 158 berasal dari catatan tangan
mengenai Whitney (lihat infra c. 157,158).
(152) Catatan para penyunting pada penggal ini memperli-
hatkan dengan jelas kebingungan mereka menghadapi diakuinya
dialektika yang terdapat dalam langue, antara kesinambungan
dan perubahan. Lihat juga sikap tidak paham Rogger'1941. 169
dst.
(153) Saussure berpikir tentang morfologi diakronis, ten-
tang semantik diakronis, dst., dan, seperti yang tercantum dalam
sumber catatan tangan, tentang teori di bidang-bidang penelitian
ini (1246 B Engler).
(154) Di sini kita menemukan bukti bahwa bagi Saussure-
studi diakroni dilakukan dalam kaitan dengan penelitian tentang
fungsi sistem secara umum. Berikut ini, rumusan yang tidak
diketahui oleh para penyunting, padahal begitu tersusun rapi,
yang terdapat dalam catatan Constantin:
576

"Jangan membicarakan alternasi tanda seperti yang baru


saja kita lakukan karena itu hanya sementara sifatnya, hanya
demi lebih jelasnya. Penjelasan seperti ini membuat kita mengira
bahwa yang dibicarakan hanya fonetik: perubahan dalam bentuk
kata, perubahan bentuk" gambar akustis, atau juga perubahan
arti. Ini buruk. Apa pun macamnya faktor-faktor alternasi dan
hakekat mereka yang sangat berbeda, semua bergerak secara
serasi dan menghasilkan alternasi hubungan antara gagasan dan
tanda, atau hubungan antara penanda dan petanda. Mungkin
lebih baik dikatakan: menghasilkan perpindahan hubungan
antara gagasan dan tanda "(1248-1250 E Engler).
Atau: seberapa pun bedanya dan kebetulannya perubahan
bagian-bagian tangue, selama perubahan tersebut terjadi di
bagian-bagian yang berkorelasi secara sistematis, a) bergerak
secara "serasi", b) mendorong perpindahan tempat dalam hu
bungan antara penanda dan petanda, artinya menuju ke konfi-
gurasi sistem yang berbeda lihat PLU c. 176.
(155) Ini catatan salah satu dari sekian banyak tempat di
mana, dalam catatan tangan sekali pun, tanda bergeser mak-
nanya dan bernilai penanda; lihat PLU c. 133, dan mengenai
tanda dalam pengertian penanda, PLU--16, 78, 82-83, 212-214,
dst.
(156) Ungkapan "materi fonis" di sini juga berasal dari para
penyunting: lihat/PL(/ c. 111.
(157) Alinea ini berasal dari catatan tahun 1894 mengenai
Whitney. Kami kutip teksnya (1261 dst. F Engler) karena ia di
sini menekankan ciri yang membedakan sejarah berbagai bahasa
dan sejarah pranata yang lain yang tidak semena. Teks ini hilang
dalam suntingan.
"Memang pranata yang lain didasari dengan kadar yang
berbeda oleh hubungan alami, oleh kesesuaian antara benda-
benda sebagai prinsip akhir. Misalnya, hukum suatu bangsa, atau
sistem politik, atau pun mode busana, bahkan mode aneh yang
menetapkan busana kita yang tidak mungkin dipisahkan sekejap
pun dengan proporsi tubuh manusia. Ternyata semua perubahan,
semua pembaharuan... terus tergantung pada prinsip pertama
yang bergerak di tataran yang sama, yang tempatnya tidak lain
berada di dasar jiwa manusia. Tetapi, langage dan tulisan tidak
577

didasari oleh hubungan alami benda-benda... Ini yang tidak


bosan-bosan diulang oleh Whitney untuk lebih menekankan
bahwa langage adalah suatu pranata murni. Cuma ini membukti-
kan lebih banyak lagi karena langage adalah pranata yang khas
(kalau tulisan disertakan) dan benar-benar tidak masuk akal
kalau kita mengira bahwa sejarah langage harus sama dengan
sejarah pranata yang lain, dari jauh sekali pun" (1261, 1264 F
Engler).
B. Croce sejak tahun 1908 telah menekankan (Filosofia
della pratica, ed. pertama Bari 1908, ed. ke-6 Bari 1950, hal 148,
379-380) ciri institusional langue, tetapi dengan tujuan lain
karena ia lebih tertarik pada hubungan antara ungkapan
individual dan koordinasi antar penutur di dalam ungkapan.
Dari segi pandang ini (di mana Croce mengambil kembali,
dengan meminjam dari Woldetpar karya F.E. Jacobi, perban-
dingan antara langue dan hukum, yang digunakan para ahli
sejarah abad XIX) langue nampak seperti suatu "kebiasaan",
suatu "pranata". Ini telah dikembangkan terutama oleh para
linguis Italia seperti Nencioni 1946. 155 dst. dan G. Devoto,Studi
di stilistica,. Florensia 1950, hal. 3-53, Devoto 1951 (bdk. P,
Piovani, Mobilitd, sistematicitd, isdtuzionalitd della lingua e del
diritto dalam Studi in onore di A.C. ^/emo/o,!j cuplikan, Milano
1962, De Mauro 1965. 158-160, 165-168). Terakhir bdk. G.
Devoto, "II metode comparativo e le correnti linguistiche
attuali", makalah pada Kongres Internasional Linguistik ke X
(Bukares,28 Agustus-2 September 1967), hal. 13 dari cuplikan.
Yang lebih dekat dengan dasar posisi Saussure adalah
istilah petanda sebagai "adat bahasa" (Gebrauch) yang diperta-
hankan oleh Wittgenstaein dalam Philosophische untersuchungen
(bdk. de Mauro 1965, 169 dst.).
(158) Mengenai petunjuk-petunjuk tentang Whitnfey, lihat
supra PLU c. 137.
(159) Mengenai semua yang membicarakan berbagai ba
hasa "semesta" dan berbagai bahasa "Internasional pelengkap"
yangYekaan, karya L. Couturat, L. Leau, Histoire de la langue
universelle, Paris 1907, melukiskan usaha coba-coba. Mengenai
perdebatan yang mutakhir, bdk. Actes du sixieme congrds
578

international de linguistes, Paris 1949, hal. 93-112, 409-416, 585-


600, dan akhirnya, Leroy 1965. 146rl47.
(160) Mengenai pendalaman nnasalah ini, lihat baris-baris
berikutnya dan PLI/.
(161) Inilah, menurut Hjelmslev 1924. 37 dst., penggal
Saussure yang melukiskan dengan jelas gagasan langue-adat
bahasa: lihat PLU c. 45. Seluruh bagian FLU ini, dan apa
yang telah kami jelaskan supra c. 146, membuktikan betapa
dalam pengertian sejarah di dalam pandangan Saussure menge
nai/angue secara utuh.
(162) Seperti yang disebutkan dalam catatan tangan, orang
dapat bicara tentang "antikesejarahan langage" apabila itu
mengenai suatu keadaan sederhana, selama "posisi apa pun yang
ada memiliki ciri khas yaitu didahului oleh pendahulu"(1484 F
Engler): inilah satu-satunya gagasan yang dianggap orang berasal
dari Saussure. Sebenarnya, kami menemukan di dalam peng
gal PLU ini pengembangan yang lebih awal dari gagasan dan
makna utuh perbandingan langue dengan permainan catur:
"Sebuah langue hanya dapat dibandingkan dengan gagasan leng-
kap permainan catur, yang sekaligus mengandung perubahan dan
keadaan"{\A%9 F Engler). Dalam pengertian inilah objek linguis-
tik "dapat bersifat historis". (1485 F Engler). Ketika Malmberg
1967. 4 menulis "faktor waktu adalah ekstra linguistik", ia
mencerminkan gagasan Saussure mengenai keadaan sederhana
langue, dan bukan mengenai langue, bukan pula "bahpsa hidup"
yang merupakan realitas sementara, historis.
(163) Sumber-sumber paragraf ini dan dari paragraf selan-
jutnya adalah kelompok pelajaran di akhir perkiiliahan ketiga
(SM 86-88, c. 130-139) dicampur dengan beberapa catatan dan
perkuliahan kedua dan beberapa catatan tangan(5M 106).
(164) Wells 1947, 30-31 mengkritik pandangan Saussure
dan menegaskan bahwa astronomi, geologi, dan sejarah politik
pun dapat ditelaah, baik secara sinkronis maupun secara diakro-
nis; tetapi Saussure justru berpendapat demikian (lihat khusus-
nya PLU Bab I, Bab III, §1), dan ia hanya ingin menyusun
suatu penahapan: ilmu-ilmu di mana faktor waktu secara defacto
tidak dikenal atau sekunder (tetapi mungkin berguna untuk
diperkenalkan, dengan membedakan telaah sinkronis dan di-
579

akronis), sampai ilmu-ilmu di mana nilai perbedaan sinkroni dan


diakroni hanya de facto, dan sampai ilmu-ilm'u seperti linguistik
di mana perbedaan harus dilakukan, selama hanya perbedaan
antar substansi yang bemilai, artinya bahwa nilai hanya terdiri
dari suatu sistem perbedaan.
(165) Penggal ini menarik karena memperlihatkan bahwa
Saussure tidak saja memperhatikan debat sosiologi antara Dur-
kheim dan Tarde(lihat 454-455), tetapi juga(dan di sini kami da-
pat mengatakannya dengan yakin karena kesaksian pribadinya
yang eksplisit) memperhatikan perdebatan antara aliran "historis"
dan aliran "teoretis" dalam ekonomi politik di zamannya: perde
batan itu adalah mengenai Methodenstreit yang menyala setelah
pada tahun 1883 Carl Menger menyerang(dengan Untersuchurig-
en liber die Methode der Socialwissenschaften and der Politischen
Oekonomie insbesondere, Leipzig 1883) aliran historis yang di-
pimpin oleb Gustav von Schmoller (bdk. J. A. Schumpeter,
History of Economic Analysis, New York 1955, hal. 809, 814-
815). Sulit untuk menemukan di dalam pustaka yang sangat luas
di dalam Methodenstreit, karya-karya mana yang diacu oleh
Saussure: di dalam kuliah-kuliahnya (1314 B Engler)ia berbicara
tidak hanya mengenai karya-karya "mutakhir", tetapi "yang cen-
derung ilmiah"; ini mungkin mengacu pada Manuale di economia
politica karya Vilfredo Pareto yang terbit pada tahun 1906 dan
diterjemahkan ke bahasa Perancis tahun 1909, merupakan karya
yang khas karena didasari matematika. Mengenai disinggungnya
masalah ekonomi, lihat PLU 208-210 dan mengenai disinggung
nya nama Pareto, lihat c. 68.
(166) Kalimat terakhir hanya sebagian, yaitu paruh yang
pertama, mencerminkan pemikiran Saussure seperti yang nam-
pak dalam sumber catatan tangan:"Dengan ekonomi politik kita
berhadapan dengan pengertian nilai tetapi dengan kadar yang
kurang dibandingkan dengan linguistik dan dengan sistem nilai.
Ekonomi politik menelaah keseimbangan antara nilai-nilai sosial
tertentu: nilai pekerjaan, nilai modal" (1317, 1318 E Engler).
Bagian kedua dari kalimat (di dalam kedua ilmu...penanda")
merupakan tambahan para penyunting, yang cukdp semena
karena perbandingan yang dikandungnya(5M 116).
(167) Penggal ini memperlihatkan'dengan jelas hubungan
580

antara kesemenaan tanda dan metode analisis sinkronis. Mari


kita telusuri sekali lagi jalan pikiran Saussure: tanda bahasa
secara radikal semena di dalam kedua komponennya, yaitu
petanda dan penanda. Akibatnya, satu-satunya nalar yang
menentukan konfigurasi khusus sebuah petanda atau sebuah
penanda adalah fakta bahwa petanda lain atau penanda lain yang
hadir bersamanya di dalam sistem yang sama membatasinya
secara semena dan bukan secara lain. Dari sudut pandang
objektif, hal ini berarti bahwa nilai tanda yang mana pun, di
dalam sistem, tergantung dari masyarakat yang menghidupi sis
tem secara keseluruhan, maka tergantung dari ulah historis
masyarakat (ini adalah tesis dari bab sebelumnya, yang tidak
diperhatikan oleh mereka yang menganggap Saussure sebagai
anti sejarah) sehingga nilai bahasa secara radikal bersifat sosial
dan secara radikal bersifat historis (atau, istilah yang lebih tepat
kebetulan). Dari segi pandang metode penelitian, hal ini berarti
bahwa untuk meneliti suatu tanda sebagai tanda perlu ditelaah di
dalam sistem di mana tanda tersebut niemiliki nilai. Bertentang-
an dengan apa yang dinyatakan Trubetzkoy 1933.243 dst., kita
harus mengkaji bahwa tekanan Saussure pada sinkroni tidak
tergantung dari alasan yang murni polemis dan kebetulan.
(168) Lihat PLU c. 41, c. 162 dan PLU lihat juga c. 199.
(169) Sumber catatan tangan menunjukkan kebimbangan
yang lebih besar lagi, yang tidak ada dalam teks para penyunting
ketika mereka mengusulkan kedua istilah "statis' dan "evolutif
(1338-1342 BEngler).
Mengenai pengembangan pengertian "keadaan langue",
lihat PLl/dan bdk. Frei 1929, 29-30.
(170) Dalam pasangan istilah ini, yang merupakan pening-
galan Saussure yang sangat berharga, hanya yang kedua, yaitu
diakronis yang ditemukan oleh Saussure: istilah ini terbaca untuk
pertama kalinya di dalam sebuah buku catatan (SM 48 c. 12) di
mana muncul juga semiologi: buku tersebut nampaknya lebih
lambat dari tahun 1894 {SM 47, c. 26).
Saussure lebih memilih untuk menggunakan idiosinkronis:
lihat infra c. 191. Mengenai anteseden pembedaan Saussure, lihat
454-457.
581

(171) Lihat supra c. 163.


(172) Meskipun penampilannya sama sekali berbeda,
reaksi-reaksi L. Spitzer terhadap pelajaran neo-gramatik W.
Meyer-Lubke sebagiah sama:'Tetapi ketika saya mulai mengha-
diri kuliah linguistik Perancis guru besar saya Wilhelm Meyer-
Liibke, kita tidak diberi gambaran tentang masyarakat Perancis
atau tentang semangat bahasa mereka: di dalam kuliah-kuliah
itu... kami tidak pernah memandang suatu gejala yang berhenti,
kami tidak pernah bertatapan muka dengannya: kami selalu
melihat tetangganya atau pendahulunya, kami selalu melihat
yang di balik pundak kami ... Untuk menjelaskan suatu bentuk
Perancis tertentu, Meyer-Lubke mengutip bentuk-bentuk Portu-
gis kuno, Bergamas modern, bentuk-bentuk Jerman, Keltik,
bentuk-bentuk Latin arkaik ... "(L. Spitzer, Critica stilistica e
semantica storica, Bari 1966, hal. 74). Kebutuhan akan suatu
deskripsi ilmiah sinkronis pasti sudah dirasakan. Pada tahun 1910
K. von Ettmayer di dalam artikel yang berjudul "Bendtigen wir
eine wissenschaftlich deskriptive Grammatik?" dalam Prinzipien-
fragen der romanischen Sprachwissenschaft, 2 jilid. Halle 1910
hal. 1-16 berkesimpulan: "Dengan demikian saya berpendapat
bahwa di sini telah dirintis suatu jalan menuju ke suatu tata
bahasa yang modern, dan secara ilmiah bersifat deskriptif —
secara sadar keseluruhan sasaran-sasaran historis serta latar
belakang pemikiran harus disingkirkan, dan fungsi-fungsi kata
harus diteliti sepanjang kata-kata tersebut dapat dibeda-bedakan
secara sintaksis (dari segi sintaksis)" (hal 16). Menjadi tugas
Saussure untuk melaksanakan tuntutan umum ini, untuk mencari
dan memberi pembenaran teoritis yang mendalam (lib. c. 167).
(173) Lihat PLU c. 19. Penilaian kembali terhadap Gram-
maire Port-Royal telah dilakukan dengan hati-hati oleh Verburg
1952. 330 dst., dan baru-baru ini ditekankan oleh Chomsky,
Cartesian linguistics, New York 1966, hal. 33 dst. Yang mengga-
risbawahi segi-segi negatif dari karya ini(keprasejarahan, univer-
salisme, apriorisme, contenutisme) adalah: Glinz 1947. 28 dst.,
De Mauro 1965. 57, 171 dst., Mouniri 1967. 126—128. Lihat PLU
catatan 219, 221.
(174) Paling tidak, seperti yang diharapkan Saussure,
linguistik statis yang baru seharusnya memelihara jejak studi
582

diakronis: Vendryes 1933. 173 dengan gembira mengamatinya


sebagai berlakunya secara riil antitesis antara studi diakronis dan
sinkronis. Meskipun demikian, penilaian kembali tata bahasa
rasionalis gaya Chomsky membuka kemungkinan bahwa dengan
mengesampingkan Saussure sekali lagi, iinguistik hanya mengu-
nisi studi statis tanda sejarah dan berilusi(yang disebut "hipotesis
penelitian") bahwa bahasa-bahasa mencerminkan (kalau perlii
pada tataran dalam yang tak teraba) aturan-aturan dan struktur
logis universal yang bawaan lahir, di dalam "jiwa" manusia.
(175) Lihat supra catatan 163.
(176) Kita berada di depan crux 'persilangan' lain dari
penafsiran dan penerusan gagasan-gagasan Saussure. Hampir
semua yang turut mengambil bagian setuju dengan "dilaluinya"
"pemisahan" antara sinkroni dan diakroni. Semua mengira bahwa
bagi Saussure pembedanya terletak in mv objek, yaitu "lan-
gue" memiliki sinkroni dan diakroni, seperti tuan Durand yang
memiliki topi dan kaus tangan. Di hadapan makna pembeda yang
seperti ini, muncul berbagai keberatan dari pihak historisis dan
pihak strukturalis: dikatakan bahwa unsur-unsur diakronis hadir
dalam sinkroni (arkaisme, neologisme, munculnya kecenderung-
an baru, matinya bagian-bagian dari sistem), dan dikatakan pula
bahwa sistem juga berfungsi"dalam diakroni dan bahwa evolusi
diakronis didominasi oleh maksud. Untuk menyatakan bahwa"
evolusi sebaliknya bersifat kebetulan dan tidak membentuk
sistem, Saussure harus tetap dikaitkan dengan evolusi Iinguistik
dari perspektif neo-gramatik atau dengan strukturalisme: dengan
kata lain ia anti historis Jcarena telah mengesampingkan kecen-
derungan statis dan evolutif dalam langue.
Perdebatan dibuka oleh kaum Praha pada tahun 1929: Ja-
kobson, Karcevskij, Trubetzkoy 1929 menyerang konsepsi sistem
("fonologis") yang anti-teleologis dan mempertahankan bahwa
perubahan sistem terjadi "sesuai dengan" reoganisasi sistem itu
sendiri. Pendirian "buta" mengenai transformasi sistem ini(PLU
261-262) telah diserang kembali dalam Theses tahun 1929 di
583

mana orang beranggapan bahwa tidak boleh memasang "pengha-


lang yang tak terlewati" di antara analisis sinkronis dan analisis
diakroriis karena di satu pihak dalam sinkroni terdapat kesadar-
an dalam diri penutur akan adanya tahapan-tahapan yang akan
hilang atau usang sehingga kita tidak dapat meniadakan telaah
diakronis dalam telaah sinkronis (Thdse 1929. 7-8). Di lain pihak
konsepsi sistem fungsional juga diterima dalam diakroni karena
perubahan terjadi dalam sistem (TMse 1929. 78). Penunjang
kaum Praha datang dari pihak yang lebih tradisional, seperti W.
von Wartburg yang di dalam sejumlah karyanya (Wartburg 1931,
1937, 1939, Wartburg-Ullmann 1962. 11. 137-147) menekankan
sekali lagi perlunya perhatian diakronis di dalam deskripsi
sinkronis, dan dari pihak yang lebih modern, seperti van Wijk
1957, 1939a, 1939b. 305-308 yang menekankan sebaliknya, yaitu
perlunya kita memperhatikan sistem di dalam analisis diakronis.
Kaum Praha menyerang pembedaan Saussure berulang kali:
Trubetzkoy 1933.245, Trnk 1934 dan terutam^ Jakobson (lihat
Jakobson 1928a, 1928b) 1929. 17 et passim, 1931. 218,1933. 637-
638. Meninggalkan pembedaan gaya Saussure menjadi tema
serombongan besar karya: Amman 1934. 265-273. 281, Rogger
1941. 183-193, 203 dst., Porzig 1950. 255 dst., Benveniste 1954 =
1966. 9, Budagov 1954. 18, Zirmunskij 1958, Vidos 1959. 108-
121, Cikobava 1959. 105-111, Zirmunskij 1960, Leroy 1965. 88-
90. Aliran-aliran linguistik nasional juga mengkritik pembedaan
gaya Saussure: ahli linguistik Spanyol (CataMn Men6ndez Pidal
1955. 28-29, 33-37), Rusia (Slusareva 1963. 44 dst). Menghadapi
berbagai serangan ini, kaum Jenewa mengundurkan diri dalam
apa yang disebut Alonso 1945.19(lihat juga hal. 12 dst)"honrosa
retirada": Bally 1937 (polemik dengan Wartburg 1931), Seche-
haye 1939, Sechehaye 1940. Terakhir mereka yang melihat nilai
pembedaan gaya Saussure (misalnya Lepschy 1966. 44) merasa-
kan perlunya menelaah kemungkinan suatu "diakroni struktural"
seperti "yang diinginkan /PLU,< meskipun Saussure sendiri
tidak melihat kemungkinan untuk melakukan penelaahan secara
teliti terhadap butir-butir "ketidakseimbangan", "batas tak jelas"
dalam sistem, artinya sektor-sektor di mana sistem berubah dan
yang menyebabkan model sinkronis nampak tidak memuaskan"
(Lepschy 1966. 45).
584

Seperti juga perdebatan lain mengenai PLU, perdebatan


yang terakhir ini telah mengalami kesalahanpahaman (lihat c.
183). Sikap fondamental Saussure adalah bahwa oposisi antara
sinkroni dan diakroni merupakan oposisi "sudut pandang";
oposisi ini bersifat metodologis, menyangkut penelitian dan
objeknya (dalam makna yang dijelaskan dalam PLU c.40) dan
bukan himpunan benda yang ditelaah peneliti, yaitu materi-
nya. Seorang peneliti selalu berhadapan dengan suatu zaman
bahasa: mengenai hal ini, Saussure bukan saja tahu tetapi lebih
dari itu, ia mengatakan secara eksplisit (keterlaluan kalau orang
lupa) bahwa "setiap saat langage mencakup sekaligus suatu sistem
dan suatu evolusi; setiap saat langage merupakan pranata
mutakhir dan basil masa lalu"; dan ia menambahkan: "Pada
pandangan pertama nampaknya sangat mudah membedakan
antara sistem dan sejarahnya, antara apa yang ada dan apa yang
telah terjadi; pada kenyataanya, hubungan yang menyatukan
kedua hal ini begitu erat sehingga sulit sekali dipisahkan" {PLU
74—75). Saussure, yang dituduh memberikan petunjuk kosong,
tanpa pernah bersusah payah mencoba mencek (Rogger 1941;
lihat 351) di sini justru menuju jalan realisasi (seperti juga dalam
hal-hal lain). Halaman-halaman mengenai "analogi dan evolusi"
{PLU 285-291) membenarkan thesis yang pernah dikemukakan:
tidak pernah berhenti menafsirkan dan memecah satuan-satuan
yang tersedia baginya.... Harus dicari sebab dari perubahan ini di
dalam massa faktor yang begitu besar yang terus menerus meng-
ancam analisis yang diterapkan pada langue"(286-287);"apa pun
asal perubahan penafsiran tersebut, hasilnya adalah munculnya
bentuk-bentuk yang analogis" (287-288); "dampak paling peka
dan paling penting dari analogi adalah mengganti pembentukan
yang kuno, tak teratur dan tak jelas, dengan yang lebih wajar
dibentuk oleh unsur-unsur yang hidup. Kemungkinan kejadian-
nya tidak selalu sederhana: gerak langue ditandai oleh keraguan
tak terbatas, kira-kira setengah analisis. Tidak pernah suatu idi
om memiliki sistem satuan yang sempurna dan tetap"(288-289).
Segi dinamis dari keadaan suatu idiom digarisbawahi kembali da
lam PLU 336. Jadi Saussure memang sadar akan tuntutan butir-
butir ketidakseimbangan, batas tak jelas di dalam langue mana
585

pun. Pengertian "ekonomi" bahasa (meskipun istilah ini nampak-


nya datang dari para penyunting: bdk. PLV c. 282)sangat diton-
jolkan dalam PLt/. Penelitian-penelitian seperti yang dilakukan
Frei 1929, Malmberg 1942 adalah kelanjutan dari pengertian ini
karena penelitian ini menggarisbawahi fakta bahwa di dalam
satuan idiom, di dalam langue sebagai himpunan kebiasaan
kolektif {FLU 159-160) hadir bersama suatu sistematisasi fung-
sional yang majemuk (Malmberg 1945 22-32. Coseriu 1958).
Jadi, keliru kalau kita menuduh Saussure sebagai teiah melalai-
kan fakta bahwa di dalam suatu keadaan bahasa tertentu dijum-
pai kecenderungan-kecenderungan yang berakar di masa lalu dan
kecenderungan-kecenderungan yang mendahului masa depan
(lihat juga FLU 301, alinea 2).
Mengenai konsepsi tentang perubahan bahasa, sebelum
menyangkai fakta bahwa pada diri Saussure terdapat pandangan
diakronis yang struktural, kita harus melihat bahwa di dalam
pandangan tersebut, yang ditampilkan oleh karya-karya Praha,
van Wijk, Martinet, hadir dua unsur yang berbeda: a) teleologis-
me (anggapan bahwa perubahan terjadi "dengan nalar", untuk
memperbaiki sistem atau paling sedikit membentuk sistem yang
berbeda); b) anti-atomisme (anggapan bahwa perubahan terjadi
pada dirinya sendiri, ditentukan oleh sistem yang berubah secara
kebetulan). Dari kedua unsur ini, hanya yang pertama yang tidak
dikenal Saussure, tetapi yang kedua dikenalnya. Dari segi
pandang ini, kesimpulan essai tentang adjektif tipe caecus
merupakan contoh yang jelas {Rec. 599). FLU sebenarnya
sangat jelas mengenai hal ini: perubahan-perubahan muncul
secara kebetulan, tanpa tujuan, memukul suatu satuan atau
kelompok satuan secara membabi buta, dan ini bukan dengan
maksud untuk membentuk susunan baru bagi sistem, tetapi
justru karena langue, yang berkat adanya analogi, tunduk pada
sistem; perubahan "menenfukan" sistem (169 alinea 4), perubah
an suatu unsur dapat melahirkan sistem yang lain (169 alinea 3,
171 alinea 4).Peniadaaan teleologisme sama kuatnya dengan per-
tanyaan tentang kesisteman akibat-akibat perubahan mana pun,
meskipun sangat sedikit: "Nilai suatu istilah dapat diubah tanpa
harus mengenai maknanya atau bunyinya, tetapi hanya karena
suatu istilah yang dekat dengannya mengalami perubahan"{\FLU
215-216). Oleh karenanya Burger 1955. 20 dst. dapat menyata-
586

kan secara benar bahwa kritik-kritik atas konsepsi perubahan


Saussure mengarah kehampaan, sedangkan di dalam penilaian
perubahan tersebut, dan pengacuan pada sistem, kritik-kritik
tersebut tidak memiliki tujuan yang jeias karena acuan Saussure
jelas dalam PLU, yaitu di dalam perbandingan dengan dampak
yang ditimbulkan suatu gerak sederhana pada sistem permainan
catur {PLU 173-174). Kalau sebaliknya, yang dituju adalah thesis
ciri akibat-akibat perubahan yang tak texduga, kritik tersebut
berhadapan langsung dengan tesis Saussure yang menurut Burger
tidak mudah disangkal: untuk dapat menyangkai, para partisan
perubahan-perubahan teleologis harus memberi jiwa pada langue,
sehingga mereka kembali ke posisi mitologis yang diserang
Saussure dengan menyatakan kembali bahwa langue tidak mera-
malkan apa pun" {PLU 174-175), dan juga oleh Frei yang
menggarisbawahi bahwa tidak mungkin kita meramalkan apakah
dan bagaimana suatu pembaharuan tertentu akan diterima (Frei
1929, 125).
Jadi Saussure yang menyadari adanya segi dinamis dalam
situasi bahasa pada masa tertentu, juga sangat menyadari adanya
akibat-akibat perubahan pada sistem. Seperti juga yang dinyata-
kan oleh Ullmann 1959. 36, "bukannya bahasa yang diakronis
atau sinkronis melainkan pendekatan terhadap bahasa metode
penelitian, ilmu bahasa". Dari sudut pandang metode penelitian.
dan penyampaian, tak terbayangkan bagaimana orang dapat
menyangkai gandanya perspektif diakronis: mungkin orang ingin
mempertahankan bahwa nilai suatu satuan bahasa tergantung
dari nilai yang dimilikinya di fase bahasa yang telah lampau?
Kalau begitu, tanpa perlu mengajukan sangkalan lain, lalu apa
nilai pembentukan baru? Atau mungkin yang dimaksud adalah
bahwa organisasi sinkronis suatu langue mcnentukan perubahan
di masa depan? Kalau begitu, bagaimana menerangkan perubah
an dari suatu organisasi sistem tunggal ke berbagai idiom ? Dan
mengapa karena benda itu disebut langue, lalu perkembangannya
di masa depan tidak mungkin diramalkan? Sebenarnya linguis-
tik tidak dapat menghindari perspektif ganda, atau harus me
nyangkai bahwa nilai suatu satuan tergantung dari permainan
sinkronis yang dimainkannya, atau juga jatuh dalam pandangan
587

animis atau determinis keliru mengenai perubahan bahasa.


Kedua perspektif metodologis ini, yang merupakan konsekuensi
langsung dari pengertian kesemenaan lambang (Hhat PLU c.
167), merupakan alat yang penting untuk melihat sejarah positif
dari fakta bahasa, dan mereka yang telah menggarisbawahi
nilainya dalam pembaharuan,memang benar(Wein 1963. 11-13).
(177) Lihat supra c. 176.
(178) Lihat supra c. 176. Ungkapan pendampingan, didam-
pingkan berasal dari para penyunting: di dalam naskah hanya
tertera" "Apakah fakta-fakta diakronis paling sedikit cenderung
untuk mengubah sistem? Apakah yang dimaksud perpindahan
dari sistem hubungan yang satu ke yang lain ? Tidak, perubah
tidak terjadi pada sistem melainkan pada unsur-unsur sistem"
(1401-14()2|B Engler).
(179) "Keadaannya yang tak terduga memang ada dan
orang menggunakannya: keadaan-keadaan tak terduga dari un-
sur-unsur. Pada setiap keadaan, jiwa menghidupi materi yang
tersedia memberinya nyawa. Pengertian ini tidak pernah diper-
oleh melalui tatabahasa tradisional (contoh peristiwa diakronis:
lihat PLU 165-167), dan tidak dikenal oleh sebagian besar filsuf
yang menelaah langue. Padahal ini yang terpenting dari segi
filsafat"(1413-1417 B Engler). bdk. juga essai mengenai adjektif
Indo-Eropa tipe caecus yang dikutip pada catatan 176.
(180) Demikian pula halnya di dalam perpindahan dari
bahasa Latin ke bahasa Italia: penghapusan kuantitas sebagai ciri
pembeda dalam oposisi vokalis dan sederet peristiwa kecil
(perpindahan beberapa [i] prevokalis ke [j], dsb.) terdapat
dalam sistem tekanan yang baru. Tekanan dalam bahasa Latin
bersifat mobil dan ditentukan oleh struktur fonematik dalam
frasa bertekanan, sedangkan tekanan dalam bahasa Italia bersifat
mobil dan tidak ditentukan: karena urutan fonetis sudah ada,
posisi tekanan tidak dapat diramalkan (bdk. cdpitano, capitano,
capitano).
(181) Mengenai pengertian "zero" lihat PLU catatan 234.
Herman 1931 mendapat kekeliruan Saussure: slovo dalam kasus
nominatif jamak bukan berbentuk slova, dan keterangan alat
bukan slovemu, jadi lebih baik digunakan contoh dilomu,
dilo, delu, dsb.
588

(182) Ungkapan tanda materiil tidak dikenal dalam sistem


peristilahan -Saussure (5M 112); dan memang di dalam naskah
tertera: "Tidak perlu selalu ada bentuk akustis yang mengungkap-
kan suatu gagasan. Cukup kalau ada satu oposisi dan dapat
diperoleh xlzero" (1441-1442 B Engler).
(183) Di dalam kaiimat pertama dari paragraf ini, proposisi
"tidak mungkin ditelaah di luar dirinya" adalah tambahan para
penyunting (bdk. 1448 B Engler), yang karena ingin menekan-
kan, malah mengkhianati pikiran Saussure: alterasi pasti berada
di luar sistem, tidak ditentukan oleh sistem, baik secara kausal
maupun finalis, tetapi setiap alterasi menimbulkan "akibat di
dalam sistem", nampaknya perlu ditekankan bahwa kita harus
sesedikit mungkin menelaah alterasi dalam hubungan dengan
sistem (lihat iwpra c. 176).
(184) Lihat supra c. 163 dan 38.
(185) Bdk, Godel SM 114 mengenai analisis cara kurang
baik dari para penyunting di dalam menggunakan sumber catatan
tangan.
(186) Perbandingan yang khas Saussure (lihat PLU c. 89
dan 38 dan PLU c. 223) memperlihatkan, seperti yang diamati
Burger 1955. 20, bahwa juga bagi Saussure perubahan apa pun
berakibat bagi keseluruhan sistem.
(187) Sebenarnya, "sistem bahasa dapat dianggap lebi.h
sinkronis daripada permainan catur" karena "aturan permainan
catur, anehnya, mencakup inf'ormasi-informasi tertentu yang
dapat disebut diakronis: misalnya pada suatu saat kita harus tahu
bahwa kalau raja dipindahkan lalu dikembalikan ke tempatnya
semula, untuk menetapkan bahwa kita dapat menyatakan
(ster?), atau kita harus mengetahui apakah pion berpindah
tempat atau tidak setelah suatu gerakan untuk menetapkan
sejumlah gerakan yang mungkin dilakukan dari titik tertentu,
terutama menjelang akhir permainan. Proses semacam ini sama
sekali tidak terjadi dalam langue..."(Lepschy 1966. 44-45).
(188) Judul paragraf ini berasal dari para penyunting,
demikian pula awal paragraf (1493-1494 B Engler). Dalam
paragraf ini telah digunakan pula catatan dari kuliah kedua (lihat
supra c. 163 dan 1498, 1500 dst. B Engler).
589

(189) Mengenai acuan pada "pengetahuan" penutur sebagai


patokan analisis linguistik sinkronis, lihat PLU, 147 dst.
(190) Istilah perspektive prospektive dan perspektive retro-
spektive telah menimbulkan masaiah dalam penerjemahan PLU
ke bahasa Italia: terutama istilah yang pertama prespective dan
prospective hanya memiliki satu padanan (prospettiva). Oleh
karenanya istilah ini diterjemahkan prospettiva prospettica.
(191) Mengenai kedua istilah ini lihat PLU c.l70. Istilah
idiosinkroni digunakan kembali oleh Hjelmslev 1928. 102 dst.
(192) Mengenai pengertian hukum dari Saussure,lihat Frei
1929. 23. Mengenai kritik atas keharusan menyumbang di dalam
hukum masyarakat, bdk. Wells 1947. 30. Perlu diperhatikan
bahwa pengacuan pada hukum juridis berasal dari para penyiiri-
ting, sedangkan naskah Saussure hanya berbicara tentang "pe
ngertian hukum" secara umum (1525-1526 B Engler); bdk. SM
116.
(193) Alinea ketiga dalam PLU jelas diolah kembali
antara edisi 1916 dan 1922. Hal ini pertanda hilangnya semangat
para penyunting yang telah mengubah bagian tersebut secara
mendasar: di dalam halaman-halaman berikutnya "segala pen-
jelasan (fakta semantis, transformasi sintaksis dan morfologis,
perubahan fonetis) berasal dari para penyunting(SM 116).
(194) Lihat supra c. 176.
(195) Gagasan untuk membangun suatu "pankroni" telah
ditelaah kembali oleh Hjelrnslev 1928. 101-111, 249-295, yang
mengusulkan untuk membedakan pankroni, pansinkroni, pan-
diakroni, idiokroni, idiosinkroni, idiodiakroni (bdk. Sommerfelt
1938-1962. 59-65). Mengenai masaiah keuniversalan bdk. PLU
c. 42.
(196) Paragraf ini menggunakan contoh-contoh dari kuliah
kedua: lib. c. 163. Contoh dep/t dalam ungkapan en depit deyang
tidak dikembangkan secara sinkronis melainkan dengan mengacu
pada bahasa Latin in despectu, diambil dari A. Hatzfeld A.
Darmesteter, A. Thomas, Dictionnaire g^niral de la langue
frangaise, depit, I. •
(197) Dasar paragraf ini berasal dari catatan kuliah ketiga.
(198) Lihat PLU c. 63, c. 65 dan 67, c. 81.
580

(199) Penggunaan istilah secara historis yang dipertentang-


kan dengan secara statis berasal dari para penyunting dan tidak
terdapat dalam stimber catatan tangan (1956 B Engler): memang
Saussure nampaknya telah mengira bahwa dirinya benar dengan
menyatakan bahwa pada saat tertentu "historis" dapat diterapkan
sekaligus pada keadaan daii pada evolusi keadaan: lihat PLU
c. 41.
Dengan membedakan keanekaragaman "permukaan" dari
satuan "dalam" di dalam langue, kemungkinan besar Saussure
mengacu pada segi universal dari kenyataan bahasa. Mengenai
hal ini lihat c. 42.
(200) Bab ini berasal dari sebuah kuliah di dalam perku-
•liahan ketiga (5Af. 88-89).
(201)Bdk. Firth 1956.133, Malmberg 1967.1 dst.
(202) Sulit dipastikan, pada tipe penyederhanaan mana
Saussure mengacu. Mungkin, seperti yang dikira Sechehaye di
dalam sebuah catatan tangannya, "Mungkin ini mengenai kon-
vensi yang menganggap pengetahuan bahasa pada semua indi-
vidu sebagai identik, padahal sebenarnya tidaklah demikian
halnya"(dikutip dalam SM 89 c. 98).
Mengenai pengertia'n keadaan langue dan kesulitan untuk
membatasi keadaan tersebut, bdk. Frei 1929, 29-30, Firth 1935.
51 c.l Malmberg 1967.
(203) Sumber-sumber paragraf ini adalah kedua kuliah
tanggal 5 dan 9 Mei 1911 (perkuliahan ketiga), yang diringkas
dalam SM 83. Judul bab tersebut yang diusulkan oleh Saussure
Sebenarnya adalah "Satuan konkret apa yang membentuk lan
gue?(1986 B Engler).
Ungkapan substansifonis diperkenalkan oleh para penyun
ting: lihat c. 111. Seluruh penggal berikutnj.^ berasal dari sumber
catatan tangan yang dikenal oleh para penyunting: "Kalau kita
ambil suatu bunyi, urutan tersebut hanya bersifat kebahasaan
kalau merupakan penuhjang materiil bagi gagasan. Langue yang
tidak dikenali bukanlah langue bagi kita (digunakah pada alinea
3). Kata materi bagi kita adalah suatu abstraksi. Jika berbagai
konsep (aimer 'mencintai', voir 'melihat', maison 'rumah') kita
pisahkan dari tanda pengungkapnya, maka sebagaimana adanya
591

akan merupakan_ konsep yang bukafl langue. Konsep haruslah


hanya merapakan valensi dari gambar akustis. Konsep menjadi
kualitas substansi akustis (1962-97 B Engler).
Gagasan tersebut nampak lebih jelas lagi di dalam catatan
yang sama yang dibuat oleh Constantin (1693-1697 F Engler):
"Jadi, jika kita ambil sisi materiilnya, urutan bunyi hanya bersifat
kebahasaan apabila urutan tersebut diahggap sebagai penunjang
materiil bag! gagasan. Namun, jika dilihat pada dirinya sendiri,
sisi materiil merupakan materi yang bukan langue. Atau materi
yang hanya dapat ditelaah oleh pengkajian parole, jika kulit kata
itu merupakan materi yang bukan langue bagi kita. Langue yang
tidak kita kenal bukanlah langue. Dari sudut pandang tersebut,
dapat dikatakan bahwa kata materiil adalah abstraksi di dalam
linguistik. Sebagai objek konkret, kata tidak menjadi bagian
linguistik. Demikian pula halnya dengan sisi spiritual dari tanda
bahasa. Jika berbagai konsep diambil dari kata itu, dengan
memisahkannya dari pengungkapannya (dari tanda pengung-
kap), kata merupakan urutan objek psikologis: {aimer, voir,
maison). Secara psikologis dapat dikatakan bahwa kata merupa
kan satuan yang sengkarut. Konsep harus hanya merupakan
valensi gambar (akustis) untuk dapat menjadi bagian dari linguis
tik. Atau, jika dimasukkan ke dalam linguistik, konsep harus
merupakan abstraksi. Konsep menjadi kualitas substansi akustis
seperti juga bunyi menjadi kualitas substansi konseptual."
Kedua catatan di atas perlu mendapat perhatian dari segi
tata istilah: penggunaan abstraksi \xnt\xV."hal yang tak riil"(lihat c.
70) dan penggunaan pengungkap, yaitu istilah teknis yang pasti
telah dicoba oleh Saussure untuk menyebut signifiant, atau untuk
tanda yang kemudian bergeser ke arah signifiant, dan yang
anehnya bertemu dengan istilah representamen d&ri Gi. S. Peirce
(Jakobson 1966.24).
(205) Pengembangan perbandingan berasal dari para
penyunting. Saussure puas dengan menunjukkan batas perban-
dingannya, dengan mengatakan bahwa walaupun kedua unsur
gabungan tersebut dipisahkan kita tetap berada dalam "tataran
kimiawi" yang sama. Padahal, dengan memisahkan unsur-unsur
tadi dari "cairan bahasa", kita keluar dari linguistik yang
592

sebenarnya (1699 B Engler). Mungkin pemilahan atom di masa


kini seharusnya memungkinkan Saussure untuk mendapat per-
bandingan yang memadai: dengan memilah atom menjadi parti-
kel dasar, kita berpindah dari satuan yang memiliki kandungan
kimiawi (atau yang terumus oleh valensinya, dll.) ke satuan yang
tidak memiliki kandungan kimiawi dan hanya memiliki kandung
an fisik (massa, tenaga kinestis, dll.) yang bagaimanapun juga
hadir di dalam satuan kimiawi, namun tidak memberinya kualitas
sebagaimana adanya.
(206) Ungkapan "rangkaian fonfs" tidak dikenal oleh Saus
sure: lihat supra c. 204.
(207) Sekali lagi Constantin memberikan versi yang paling
jelas dari pemikiran Saussure: "Sebaliknya, jika cairan bahasa
dipisahkan, kita meninggalkan bidang linguistik. Hanya dengan
begitu timbul asosiasi bahwa kita berada di muka objek linguis
tik yang konkret, kita belum berbuat apa pun tanpa membatasi
satuan tersebut. Membatasinya memang bukan merupakan ope-
rasi materi yang murni, namun diperlukan atau mungkin karena
ada unsur materiil. Apabila kita telah membatasi, kita akan dapat
mengganti istilah unite dengan entite"(1699-1701 E Engler).
Satuan yang dirumuskan oleh Saussure lama digunakan
tanpa nama yang tepat. Frei 1941. 51 mengusulkan nama
moneme (yang pada saat itu dirumuskan sebagai "tanda yang
penandanya tak terwilah"), yang kemudian ditegaskan (Frei
1948, 69 C.24, Frei 1950.162 c.4: "yang penandanya tak terwilah,
artinya tak terbagi menjadi penanda yang lebih kecil"; Frei
1954.136). Pada tahun 1960 Martinet telah. menggunakan istilah
tersebut sebagai istilahnya di dalam Elements, Bab I, pasal 9
(Martinet 1966.20). Bdk. Sollberger 1953.
Di dalam tradisi linguistik Amerika Serikat, satuan minimal
yang sama dengan monem disebut morphemes ("unsur terkecil
yang penuh dengan arti di dalam ujaran": Hockett, A Course,
lihat. hal.93).
Menanggapi posisi pemikiran Saussure itu, Lucidi sebalik
nya mengusulkan nama iposema (bdk. Lucidi 1966.71-72) yang
kemudian digunakan kembali oleh Belardi 1959.20, Godel
1966.62 dengan makna yang sedikit berbeda (bdk. juga De
593

Mauro 1965.32,81,86-87, dst. dan De Mauro 1967).


(208).. Dt sini pun naskah catatan tangan membicarakan
materi fonis yang ciri penampilannya adalah suatu "rangkaian
akustis", "yang langsung merembet ke ciri temporal, yang hanya
memiliki satu dimensi"(1705 B Engler).
Gagasan yang diungkapkan pada klausa terakhir di dalam
kalimat itu grosso modo berasal dari Saussure, namun istilah
signification (makna) tidak terdapat di dalam sumber-sumber
yang membicarakan perlunya "mengasosiasikan gagasan" dengan
apa yang disebut sebagai "untuk melakukan pemutusan" menge-
nai istilah petanda,lihat infra c. 210
(209) Sumber bagi paragraf ini adalah sebuah kuliah di
masa perkuliahan ketiga (5M 83).
(210) Usul untuk mengesampingkan makna demi memba-
tasi satuan bahasa (rnonem atau morfem dan fonem) dibiiat oleh
B. Bloch, "A Set of Postulates for Phonemic Analysis", Lg 24,
1948. 3-46, hal. 5 dst., meskipun ada kritik yang menyerangnya
terang-terangan (bdk. Belardi 1959. 127 dst., P. Naert, "Limites
de la Methode Distributionnelle", SL 15, 1961. 52-54), usulan
tersebut telah diambil lagi oleh N. Chomsky,"Semantic Conside
rations in Grammar", dalam Meaning and Language Structures,
Georgetown Univ. Monograph Series on Language and Linguis
tics" 1955. 141-150, Syntactic Structures, Den Haag 1957, hal. 94,
dan dianggapnya telah diletakkan oleh Martinet 1966. 38-39, R.
Jakobson, C.G. Fant dan M. JiaWc, Preliminaries to Speech
Analysis, Cambridge, Mass. 1963, hal. 11. Di samping itu,
catatan kritis dari Belardi dan Naert, bdk. Frei 1954,1961 dan De
Mauro 1965,135-139,1967.
(211) "Fonis" di sini juga tambahan dari para penyunting:
Ilihat'PLt/c. ill.
(212) Paragraf itu pada dasarnya berasal dari suatu pela-
jaran yang diberikan dalam masa perkuliahan kedua, pada bulan
November 1908. Mengenai kebimbangan gagasan Saussure
menghadapi masalah satuan dan pembatasannya, lihat SM 211
dst.
(213) Bdk. A. Martinet, "Le Mot" dalam Froblemes du
Langage, Paris 1966, hal. 39-53.
594

(214) Bdk. misslnya G. Frege, I Fondamenti dell'aritmati-


ca.terjemahan dari bahasa Jerman oleh L.(Geymonat dalam>lri^
metica e logical Turino 1948, hal. 125; L. Wittgenstein, Tractatus
logico-philosophicus, 3.3 ("Hanya proposisi yang memiliki mak-
na. Hanya dalam kaitan dengan suatu proposisi, nomina mem-
punyai makna. "Pernyataan itu yang dikemukakan lagi oleh
Frege sedikit berbeda di daiam bukunya Phil. Untersuchungen
pasal 37, di mana konteks yang member! makna lebih tepat di-
katakan berpadanan dengan sistem dalam pengertian Saussure
daripada proposisi). Gagasan yang sama muncul dalam B. Groce,
Estetica come scienza dell'espressione e linguistica generale, ed.
ke-1 Palermo 1903, ed. ke-8 Bari 1945, hal. 159; "Ungkapan
adalah sesuatu yang sama sekali tak dapat dipecah-pecah;
nomina dan verba tidak ada dalam kenyataannya, tetapi kita
abstraksikan dengan merusak satu-satunya kenyataan bahasa
yaitu proposisi. Tujuannya adalah untuk dimengerti bukan hanya
pada modus gramatikal semata, tetapi sebagai bentuk ekspresi
dalam arti lengkap, yang secara sama dipahami sebagai ekskla-
masi yang disederhanakan dan suatu puisi yang luas" hal. 163:
"Selain itu, keterbatasan suku kata, seperti halnya kata, adalah
sepenuhnya arbitrer dan dibedakan dengan lebih buruk dalam
penggunaan empiris. Wicara yang primitif atau wicara manusia
yang tak berpendidikan adalah sebuah kesinambungan yang
dirusak oleh setiap kesadaran pembagian wacana dalam kata dan
suku kata, maujud imajinatif yang dibentuk oleh berbagai
aliran."
Bandingkan pada para ahli linguistik, dengan motivasi
teknik, Lucidi 1966. 69: "Tindak bahasa sebagai tindak ekspresif
hanya terungkap secara khas dalam tanda yang utuh, dan bukan
dalam kata atau pun kata sebagaimana adanya. Seseorang yang
berbicara, mengungkapkan diri bukan karena ia melafalkan kata-
kata, melainkan karena dengan melafalkan kata-kata ia melaksa-
nakan tindak bahasa. Jadi, bukan dalam kata-kata yang dilafal-
kan secara mandiri dan bagi dirinya sendiri, melainkan dalam
pelaksanaan tindak bahasalah suatu tanda memberikan makna
pada apa yang telah diungkapkan. Tindak bahasa dan hanya
tindak bahasa, yang dibentuk dari satu atau sejumlah kata-dan
595

jika tindak bahasa terungkap dengan satu kata, kata itu bukan
lagi merupakan kata-merupakan satuan makiiawi dan oleh kare-
nanya sangat mungkin diungkapkan dalam bentuk maujud yang
dapat menyebut dirinya tanda. "Gagasan Lucidi itu sebagian
sama dengan gagasan L. Prieto 1964. 16, yang merumuskan
tindak parole sederhana sebagai penghasii tanda yang memiiiki
petanda (Prieto, yang bertentangan dengan Lucidi, menerima
kemungkinan memilah petanda menjadi noime).
(215) Paragraf ini diturunkan dari masa perkuliahan kedua
(5M 67).
(216)Bab ini sebagian besar diturunkan dari pelajaran yang
diberikan di awal masa perkuliahan kedua (30 November, 3
Desember 1908) dan yang berisi penelaahan kodrat langue yang
dilakukan dari dalam (SM 68). Jadi, bab ini secara kronologis
lebih awal dari bab yang mendahuluinya. Namun, secara logis
juga lebih awal. Bab ini dapat dianggap sebagai pendekatan ideal
di dalam penulisan pikiran Saussure: di dalam pertemuannya
dengan Riedlinger pada tanggal 6 Mei 1911 (SM 30), mengenai
"sistem geometri itu" yang dianggapnya seharusnya "linguistik
umum", Saussure menyatakan bahwa di dalam sistem yang
semacam itu "kebenaran pertama" adalah sebagai berikut: "La-
ngue berbeda dengan parole". Pernyataan itu mau tidak mau
telah meyakinkan para penyunting untuk meletakkan pembe-
daan langue parole di dalam pendahuluan PLU. Namun menga-
pa "kebenaran yang pertama"? Mengapa perlu dibedakan an-
tara laue dan parole! Bab III di dalam pendahuluan Jpl17
berpuas diri memperlihatkan keuntungan dari pembedaan itu:
pembedaan itu berguna, seperti kelihatannya, untuk menjamin
otonomi linguistik. Hanya dari sudut pandang ilmu secara
umumlah (dan bukan dari sudut pandang pengajar linguistik)
pembedaan itu, yang jika satu-satunya alasan adalah untuk
menjamin otonomi linguistik, sama sekali cuma-cuma. Dan
alasan itu nampak sebagaimana adanya bagi banyak ahli linguis
tik karena terancu oleh dasar pikiran yang diberikan dalam
PLU oleh para penyunting. Sebenamya, di dalam bab itu ter-
dapat alasan yang secara ilmiah lebih sahih. Atau lebih tepat,
alasan itu terdapat di dalam perlunya niemberi jawaban pada
596

permasalahan yang diajukan di dalam bab itu. Lagi pula,


pertama-tama, siapa yang dapat dianggap sebagai salah satu
incipit yang paling efektif di dalam linguistik Saussure: lihat
PLU c. 65.
(217) Rumusan Saussure sebenarnya lebih luas: masalah
umumlah (dan bukan hanya masalah sinkronis) di dalam alasan
yang memungkinkan untuk mengidentifikasi dua fakta sebagai
dua penampilan dari sesuatu yang tetap identik. Masalah ini
muncul terutama di dalam pemikiran seorang ahli linguistik abad
XIX, yaitu di dalam unsur diakronis: apa yang memungkinkan
untuk mengidentifikasi kata Perancis chaud 'panas' dengan kata
Latin calidus? Masalah tersebut dan pembahasannya diletakkan
pada halaman 302-304 oleh para penyunting, padahal Saussure
membahasnya dalam hubungan dengan masalah yang lebih
radikial mengehai identitas sinkronis(V759<lst. B Engler), dengan
mengecilkan masalah diakronis terhadap masalah sinkronis.
Masalahnya adalah atas dasar apa kita mengindentifikasi(sebagai
lawan bicara atau sebagai ahli linguistik) dua gejala sebagai
eksemplar dari satu maujud yang sama, sebagai varian dari satu
invarian yang sama(Hjelmslev 1961. 60 dst.).
(218)Juga dalam bab ini, maksud Saussure terutama adalah
destruens, dan cenderung untuk melempar keraguannya pada
keseluruhan kategorisasi dan definisi atas dasar ontologiko-
universalis yang telah diwarisi para ahli tata bahasa modern dari
tradisi aristoteliko-rationalis.
(219) Tuntutan akan adanya suatu kritik mengenai definisi
tradisional mengenai partes orationum dan kategori sintaktis yang
lain sangat dirasakan oleh Saussure (pertemuan dengan Riedlin-
ger yang dikutip SM 29). Kritik yang telah dimulai oleh
Saussure itu diulang oleh Glinz 1947 (yang telah mengutip ka-
limat Saussure langsung setelah catatannya), E. Benveniste,"La
phrase nominale," BSL 46:1, 1950, 19^36 (=1966.51-67), A
Pagliaro, "Logica e grammatica", Ricerche Linguistiche I: 1,
1950.1-38, E.Coseriu, Logicismo y antilogicismo en la gramdtica,
Montevideo 1957, Benveniste 1966.63-74, 168 dst. Hal tersebut
dapat pula dilihat pada karya "Accusativo, transitivo, intransiti-
vo", Rendiconti dell'Accadeniia nazionale del Lincei 14:5-6, 1959.
597

233-258, dan pada usaha coba-coba selanjutnya, "Frequenza e


funzione dell'accusativo in greco", ibid., 15:5-6,1960. 1-22. Arab
kritik itu sayangnya tidak menarik perhatian para ahli linguistik,
yang sebelum Chorhsky sedikit sekali tertarik pada analisis
makna yang formal (meminjam istilah Hjelmslev), dan lebih
banyak mengurusi analisis ungkapan. Hasil yang menyedihkan
dari aliran Chomsky adalah bahwa telaah sintaksis, yang nama-
nya direhabilitasi, akhimya: mengembangkan kategori-kategori
menurut cara yang lapuk, membingungkan dan mengambang,
misalnya verba "yang lewat" dan "yang tidak lewat", pelaku dan
penderita, substansi, peristiwa kebetulan, peristiwa kebetulan di
. antara yang kebetulan, kualitas substansial, dan sebagainya.
Hubungan antara dilupakannya kritik terhadap sintaksis tradisi
rasionalis dan penggunaan kembali kategori sintaksis yang kuno,
nampak misalnya pada Chomsky, yang dengan mengacii pada
tesis-tesis rasionalis dari Port Royal, menyatakan dengan naif-
nya: "Pada umumnya orang mengira bahwa proposisi^proposisi
itu telah dipertajam, atau bahwa pengembangan linguistik yang
sebelumnya telah membuktikan bahwa proposisi itu sama sekali
tidak praktis. Sepengetahuan saya bukan begitu masalahnya.
Atau, lebih tepat lagi, proposisi itu telah dilupakan karena, dsb"
(dalam Problimes du langage, Paris 1966, hal. 16). Lihat juga
PLU c. 173, c. 265.
(220) Kalimat "bertolak ...untuk mengatur fakta-fakta yang
akan ditelaahnya" dirumuskan di dalam SM 116 sebagai
"selipan". Sebenarnya kalimat tersebut diturunkan dari 1801 B
Engler.
(221) Di sini, pada tataran analisis sintaksis, temyata
prinsip "kebineran"(Hjelmslev) tanda bahasa dan maujud peng-
ungkapannya (Miclau 1966. 175) ditegaskan kembali: tidak ada
kategori, maujud, kelas makna di luar individualisasi unsur-unsur
tersebut pada tataran pengungkapan, namun kategori, maujud,
segmen-segmen bahkan tidak terindividualisasi pada tataran
"materi fonis" karena orang tidak mengakui atau bersikeras
untuk tidak mengakui (seperti cara Bloch),bahwa materi fonis
hanya terpilah apabila ada acuan pada "unsur bermakna". Gagas-
an Saussure sebenarnya lebih jelas nampak di dalam catatan para
598

mahasiswa daripada di dalam rumusan para penyunting;"Dapat-


kah kita berbicara tentang kategori? Tidak, karena langage mem-
butuhkan materi fonis; dan karena materi itu bersifat linear, kita
harus selalu memilahnya. Jadi, jelas ada satuan ... Mungkin
gagasan satuan akan lebih jelas bagi sementara orang, jika kita
berbicara tentang satuan bermakna. Namun, yang penting adalah
istilah satuan itu. Kalau tidak digunakan istilah itu, kita mungkin
mempunyai gambaran yang keliru dan mengira bahwa ada kata-
kata yang ada sebagai satuan, lain kepadanya ditambahkan
makna. Padahal sebaliknya, maknalah yang membatasi kata
di dalam pikiran kita"(1802 B Engler). Lihat PLU c.204, c.210
0.267.
(222) Mengenai hubungan valensi: petanda: penanda, lihat
catatan pada bab berikutnya.
(223) Mengenai sikap fungsionalis dan perbandingan de-
ngan permainan catur, kita harus menambahkan di halaman
buku Saussure yang fundamental ini beberapa paragraf dari
Fhilosophische Untersuchungen karya Wittgenstein: misalnya ,6
(terakhir), 35 (alinea 3), 108. Lihat catatan 16, PLU c.90, 125-
126 catatan 186-187. Mengenai analogi di antara Wittgenstein,
bdk. juga De Mauro 1965.156, 168, 173, 184, 202.
(224)Sumber utama dari paragraf ini dan paragraf-paragraf
selanjutnya di dalam bab ini adalah kelompok kuliah terakhir.
dari masa perkuliaihah ketiga, antara tanggal 30 Juni dan 4 Juli
1911. Mengingat mahasiswanya sudah cukup terlatih, (SM.29)
Saussure dapat mulai menerangkan butir-butir yang paling berani
di dalam doktrin languenya.
(225) Di antara semua penggal dalam PLU, penggal ini-
lah mungkin yang menyangkal paling langsung pernyataan tung-
gal Chomsky dalam Aspects ofthe Theory ofSyntax, Cambridge,
Mass., 1965, hal. 7-8, yang menganggap Saussure memancing
"pandangan naif dari bahasa" sehingga memberikan "imaji dari
urutan hubungan ekspresi terhadap urutan Amorf dari konsep-
konsep": namun jika Saussure ingin menyangkal, justru itulah
gambaran langue. Di bumi Amerika, sambil memecah kesenyap-
an post-Bloomfield, Chomsky telah beberapa kali menarik per-
hatian orang pada Saussure, dan telah menyatakan dengan yakin
bahwa hubungan antara posisi-posisi dan masalah-masalah yang
599

diletakkannya di dalam linguistik, dan posisi serta masalah


Saussure, telah dimulai oleh pengakuan baHwa kenyataan bahasa
tidak terbatas pada suatu urutan ujaran, pertuturan, selama di
samping perilaku verbal yang sederhana itu ada langue(Chomsky
1965,4). Meskipun demikian, nampaknya ia tetap tidak memaha-
mi secara sempuma posisi Saussure; justru ini iherupakan sebuah
contoh.
Kritik yang dilancarkan oleh Hjelmslev memiliki bobot
tersendiri. Ia mengetengahkan bahwa thesis kekaburan pra-
linguistik dari "pemikiran" hanya dapat diperlihatkan setelah
"munculnya langue" sehingga apa yang diusulkan Saussure
hanyalah "pedagogical Gendankenexperimenf mungkin efektif
dari sudut pandang didaktis, namun pasti tidak benar dari sudut
pandang teori. Sebenarnya, sesuai dengan thesis yang ingin kita
tunjang, kita harus mengatakan bahwa kita tidak pernah berterhu
dengan isi pikiran yang secara bahasa terumus jelas, yang
memungkinkan kita untuk mengatakan apakah, sebelum /fl/igwe,
pikiran terumus secara jelas atau tidak. Menurut Hjelmslev
1961.49-54(yang merupakan komentar yang terbaik atas penggal
itu) bukti benar tidaknya pernyataan Saussure harus dicari dari
arah lain. Hal itu, dengan menerima usul ahli linguistik Denmark
itu, dapat disajikan sebagai berikut.
Inilah sederet kalimat:
jeg ved det ikke Denmark
/do not know Inggris
je ne sais pas Perancis
en tieda Finlandia
naluyara Eskimo
non so Italia
nescio Latin

Di sini timbul masalah teoretis yang berkaitan dengan hak


mempertentangkan kalimat-kalimat itu dan hanya kalimat-
kalimat itu: kalau kita mempertentangkannya apakah kita tidak
keluar dari idiosinkroni? Hak itu, artinya pembenaran teoretis
dari pertentangan tadi, tepat sama dengan hak yang kita miliki
apabila, bersama Peirce, kita menyatakan bahwa, karena unsur
600

itu sebuah tanda, selalu mungkin kita menemukan yang lain yang
lebih jelas dan lebih eksplisit: pertentangan antara dua tanda
vang berbeda dari langue yang sama mungkin terjadi selama di
dalam sederet keadaan tanda-tanda itu bertugas (meskipun
petandanya berbeda) menandai situasi (referrings) yang sama
atau dengan kata lain, memiliki makna sama. Di atas dasar yang
sama kita dapat mempertentangkan tanda-tanda yang berasal
dari langue yang berbeda. Khususnya, atas dasar kehadiran
makna identik yang mungkin ada, kita dapat menyimpulkan
bahwa ketujuh tanda tadi memiliki sesuatu yang sama. "Faktor
umum ini kita sebut purport. Seperti yang telah dibicarakan,
purport ada secara sementara sebagai massa amorf, kesatuan
yang tak teranalisis, yang ditentukan hanya oleh fungsi-fungsi
ekslernalnya, yaitu fungsinya terhadap kalimat linguistik yang
kita kutip" (Hjelmslev 1961. 50-51). Purport itu dapat dianalisis
dengan berbagai cara. Untuk melambangkan keanekaan analisis
kita harus memilih suatu (meta) langue dan dalam deskripsi:
Hjelmslev loe. cit. menggunakan "un" dalam bahasa Inggris, kami
menggunakan "un" Latin di sini (kita tidak mengatakan "bahasa
Inggris", langue-\d\om yang riil yang walaupun fleksibel, tidak
menerima I know it not sebagai kalimat yang gramatikal, padahal
sebenarnya merupakan kalimat padanan kalimat Denmark, atau
not know-do-I, yang merupakan padanan kalimat Italia. Demi.-
kian pula kita tidak mungkin mengatakan "bahasa latin"). Jalan
keluar masalah suatu meta-langue yang melambangkan petanda
dari berbagai langue, jalan keluar dari masalah suatu "abjad
semantik internasional" merupakan keharusan bagi masa depan
semantik fungsional (atau noologi). "Abjad semantik internasio
nal" yang semacam itu yang dapat disusun oleh himpunan
terminologi ilmiah (De Mauro 1967 pasal 7) dan karena abjad
tersebut dari bahasa Latin (tata nama botani dan telah digunakan
secara luas) atau sangat ditentukan oleh Latinisme, kami akan
menggunakan simbolisme metalinguistik yang berasal dari baha
sa Latin. Dalam istilah metalinguistik, ketujuh kalimat tadi
menjadi:
EGO SCIO ID NGN Denmark
EGO AG(0) NON SCI(RE) Inggris
EGO NON SCI(O) PASSUM Perancis
EGO-NON-FACIO SCIRE Finlandia
NON-SCIENS-(SU)M-EGO-ID Eskimo
601

Italia NONSCIO
Latin NON-SCIO

Keanekaan "bentuk" semantik yang diambil purport di dalam


berbagai langue diperparah lagi oleh kenyataan bahwa di dalam
setiap langue terdapat kalimat-kalimat yang dapat bermakna
sama di samping kalimat-kalimat yang telah kami tunjukkan
(Italia: io nan so, non to so, Vignoro, dsb., Perancis: je n'en sais
rien, je ne le sais pas, je I'ignore, dsb.), dan bahwa deret kalimat-
kalimat itu berbeda di dalam setiap bahasa, sama halnya dengan
ikatan paradigmatis yang berbeda pada setiap unsur ketujuh
kalimat di atas. Jadi, kita melihat bahwa isi (purport) yang tidak
berbentuk yang dapat disarikan dari semua rantai linguistik di-
bentuk dalam setiap bahasa secara berbeda-beda. Setiap bahasa
meletakkan batas-batasnya sendiri dengan "kumpulan. pikiran"
yang tak berbentuk dan di dalamnya menekankan faktdr-faktor
yang berbeda dalam susunan-susunan yang berbe,da, meletakkan
pusat gaya berat di tempat-tempat yang berbeda dan mem-
berikan penekanan-penekanan yang berbeda .... Sama halnya
seperti pasir yang sama dapat dimasukkan dalam cetakan yang
berbeda-beda, dan awan yang sama dapat berganti bentuk baru,
demikian juga isi (purport) yang sama dibentuk atau disusun
dengan cara yang berbeda-beda dalam bahasa-bahasa yang
berbeda pula. Setiap kali, isi (purport)tetap merupakan substansi
untuk bentuk yang baru dan tidak mempunyai kemungkinan
untuk ada (exist) kecuali sebagai substansi untuk suatu bentuk
atau bentuk lain. Jadi, di dalam linguistik kita mengenali makna
(content), dan di dalam proses linguistik, suatu bentuk (form)
yang khas, yaitu bentuk makna (content-form), yang tidak
tergantung pada, dan berdiri dalam hubungan yang bersifat
arbitrer dengan isi (purport), dan menjadikan hal itu substansi
makna (content-substance)(Hjelmslev 1961.52).Keanekaan deret
tanda-tanda yang hadir bersama dengan tanda yang dimaksud
bagi masing-masing dari ketujuh kalimat tadi terletak pada
keanekaan "system of content" yang juga beraneka ragam: sistem
bentuk tempat massa pengalaman yang mungkin ada diungkap-
kan, sistem petanda bagi monem leksikal dan/atau gramatikal
602

berbeda pada setiap langue. Dengan kata lain setiap langue mem-
punyai cara' sendiri sesuai dengan sistem bentuk yang khas,
mengubah pengalaman yang mungkin ada menjadi substansi
makna (content-substance). "Dalam pengertian ini Jelas Saussure
membedakan antara bentuk dan isi pokok"(Hjelmslev 1961.54).
(226) Alinea ini berasal dari masa perkuliahan kedua(1830
B Engler). Hal itu perlu ditekankan di sini karena dari satu segi,
alinea itu tidak mengungkapkan pikiran terakhir Saussure,
namun pikiran sesaat. Terutama ungkapan "peristiwa yang dapat
dikatakan misterius": memang, organisasi sistem bahasa nampak
dan tidak dapat tidak pasti nampak misterius di luar rangka sosial
tempatnya berada, dan secara lebih umum berfungsinya langage
(Saussure berbicara di dalam alinea itu mengenai langage;
langue adalah penggantian oleh para penyunting) tak dapat
dipahami di luar konteks sosial (De Mauro 1965. 152 dst, 169
dst). Setelah pertanyaan yang keras mengenai hubungan langue
dan masyarakat yang berasal dari tahun 1894 (jejaknya terdapat
di dalam alinea terakhir dalam PLU 161 segi sosial yang radikal
dari langue dan langage dilupakan lagi, dan perhatian Saussure
ditujukan pada masalah metodologi linguistik dan pada masalah-
masalah lain. Selama masa perkuliahan kedua, seperti yang telah
diungkapkan di tempat lain (De Mauro 1965.153 dst.), Saussure
menegaskan lagi ciri sosial dari gejala-gejala semiologis, namun
pembicaraan yang mendalam mengenai segi sosial yang radikal
dari langue dan langage baru ada di dalam kuliah-kuliah bulan
Mei 1911 (SM 85-86, catatain 125-129) yang digunakan sebagai
dasar bab mengenai keterubahan dan ketakterubahan tanda
(PLU 152 dst.)
(227) Di dalam catatan tangan, teks berbunyi:"Yang hebat
adalah bahwa bunyi-pikiran (atau pikiran-bunyi) mengakibatkan
pembagian yang berupa satuan akhir dalam linguistik. Bunyi dan
pikiran hanya dapat berkombinasi melalui satuan-satuan itu.
Bandingkan dengan dua massa amorf: air dan udara. Jika
tekanan udara berubah, permukaan air terbagi dalam suatu
urutan satuan: ombak(= rantai perantara yang tidak membentuk
substansi). Gelombang itu melambangkan persatuan, atau perka-
winan antara pikiran dengan rangkaian bunyi itu yang secara
603

mandiri bersifat amorf. Kombinasi mereka menghasilkan suatu


bentuk. Bidang linguistik adalah bidang yang dapat disebut
dalam pengertian yang sangat luas sebagai bidang bersama bagi
artikulasi, artinya bagi articuli, unsur-unsur kecil tempat pikiran
terwujud (Valensi? [Bouchardy: pelajaran tentang va/enji dite-
gaskan oleh Constantin: 1832 E Engler]) melalui bunjn. Di luar
artikulasi itu, satuan-satuan itu, atau kita melakukan telaah
psikologis murni (pikiran), atau telaah fonologi (bunjri)" (teks
Riedlinger dikutip dalam SM 213-214, dan tentu saja oleh
Engler).
Konsep Saussure mengenai langue sebagai bentuk meru-
pakan pendahulu langsung dan dinyatakan begitu dari langue-
skemanya Hjelmslev: lihat PLU c. 45. Konsep tersebut juga
memiliki pendahulu di dalam konsepsi Humboldt mengenai
langue, seperti yang dikoreksi Fischer Jorgensen 1952.11 yang
sudah sering dikemukakan (lihat halaman 455-457).
Mengenai perbandingan dengan selembar kertas yang
terkenal itu, Vendryes 1952. 8 telah memberikan koiiientar dan
menggarisbawahi kesahihannya sebagai unsur psikologis; Wart-
burg-Ullmann 1962.157 mendekatkan sudut pandang Saussure
dengan hipotesis Sapir-Whorf. Namun teramati di dalam hipote-
sis Sapir-Whorf bahwa pikiran tidak memiliki eksistensi otonom
di luar langue sehingga, karena berbagai langue itu berbeda, apa
yang kita namakan pikiran seharusnya berbeda pada setiap
masyarakat. Konsepsi yang sangat tidak mungkin ini dihindari di
dalam konsep Saussure, artinya Saussure hanya mengatakan
bahwa dilihat dari sudut pandang langue, pikiran bersifat amorf
di luar langue. Saussure pun tidak menyangkal bahwa terdapat
penyembunyian yang terlepas dari langue (sebaliknya partisan
hak otonom ilmu pembunyian), tidak menyangkal bahwa ada
suatu dunia persepsi, idealisasi, dan sebagainya yang terlepas dari
langue dan yang mungkin ditelaah oleh ahli psikologi: di sinilah
perbedaan yang jelas dengan Whorf.
(228) Mengenai pengertian kesemenaan, lihat supra
PLU c. 137-138. Kalimat terakhir dari alinea ini adalah sebuah
contoh kesalahan penulisan pikiran Saussure yang otentik.
Sumber-sumber yang dikenal dari para penyunting (dan ditegas-
kan oleh buku catatan Constantin) mengatakan:"Namun valensi
604

tetap sama sekali relatif karena hubungannya sama sekali


semena"(1841 B Engler). Dengan kata lain, kesemenaan radikal
datang lebih dahulu, sedangkan relativitas valensi penanda dan
petanda (articuli di dalam kedua massa amorf itu) merupakan
akibat. Tertulis lebih jelas lagi di dalam 1840-1841 E Engler:
"Seandainya itu tidak semena, kita harus membatasi gagasan me-
ngenai valensi itu, dan akan ada unsur mutlak. Tanpa itu valensi
dalam batas tertentu bersifat mutlak. Namun, mengingat kontrak
itu bersifat semena, valensi akan sama sekali relatif." Di dalam
tulisan para penyunting, relativitas valensi datang lebih dahulu,
"dan itulah sebabnya", tambah mereka, "hubungan .. bersifat
...semena".
(229) Mengenai aspek yang sama sekali sosial dari langue,
lihat supra c.226 dan PLU 152—161 dan catatan. Alinea berikut-
nya adalah asal dari pengertian "bidang semantik": Ullmann
1959.78 dst.
(230) LihatAwpro c.224.
(231) Di dalam ppu terjemahan Italia, kata signification-
dipadankan dengan significazione, dan istilah itu kemudian digu-
nakan secara luas (meskipun istilah itu tidak dikenal secara luas
dalam bahasa Italia, dan dapat dianggap teknisisme) dengan
adjektifnya significazionale, di samping pasangan yang lain, yaitu
significato dan significativo, dan bertentangan dengan pasangan
ini. Terjemahan dan penggunaan terminologis didasari oleh
penerimaan orang akan interpretasi Burger 1961 dan tesistesis
Prieto 1964 (mengenai pembedaan antara signifie, kelas abstrak
dan makna yang terdapat di dalam langue, dan sens atau
signification, penggunaan konkret, individual dari signifie,
"hubungan sosial khusus yang diletakkan oleh tindak semis").
Godel (dalam SM 241-242) menganggap bahwa significa
tion dan sens adalah sinonim dari signifie (dengan mengemuka-
kan sedikit keberatan di dalam teksnya) dan menyimpulkan
bahwa "kemubaziran kata sens, signification, menyolok mata"
(bdk. juga SM, signification) karena Saussure menggunakan
istilah-istilah itu untuk mengacu pada signifie 'petanda', jadi pada
valensi, atau untuk mengacu pada konsep yang abstrak, artinya
sesuatu vang di luar langue.
605

Burger 1961.5-8 telah menunjukkan bahwa tak ragu lagi


Saussure memang ingin membedakan dengan jelas antara
signification dan valeur (seperti yang dinyatakan dalam kuliah
ketiga, yang di sini digunakan oleh para penyunting: "Valensi
bukanlah makna", 1854 B Engler) dan membedakan signification
dari signifie: kalimat dalam PLU 211 ("Kata kerja schdtzen dan
urteilen secara garis besar bermakna sama dengan kata Perancis
estimer 'memperkirakan' dan juger 'menilai'": pencatatan yang
baik dari B Engler 1888) karena bagi Saussure sebuah penanda
hanya dapat memiliki satu petanda, itu sebabnya Saussure ber-
bicara mengenai sebuah "himpunan makna","makna-makna" se
buah kata adalah sesuatu yang berbeda dengan petandanya.
Sebuah kalimat yang membuat Burger ragu-ragu (1834 B Engler:
"Tanda bersifat ganda: kata"^ berpikir bahwa mungkin
pembedaan itu belum dijelaskan oleh Saussure dalam kuliah
kedua, sebaliknya bagi kami merupakan penegasan awal. Kaini
tabu sekali bahwa "suku kata" bagi Saussure adalah suatu realita
"fonologis" dan bukan dari langue, namun dari parole. Jadi,
bukan kebetulan kalau Saussure berbicara mengenai "makna"
dalam hubungannya dengan "suku kata" dan bukan dengan
"konsep" (istilah yang di masa perkuliahan kedua belum diganti
dengan signifie: What supra c. 128). Sehingga,seperti yang terlihat
oleh Burger sendiri, "signification" bagi Saussure sejajar dengan
"phonation" 'pembunyian' (phonie dalam istilah Prieto), artinya
signification merupakan realisaisi dari signifie yang terdapat
dalam suatu signe 'tanda' yang dilakukan di tataran parole,
tataran pengungkapan.
Tesis Burger itu telah diterima oleh Godel 1966.54-56, yang
mengintegrasikan anggapan Burger dengan anggapan Bally
1940.194-195 dan menulis: "Kita melihat bahwa A. Burger, yang
seperti Bally, menempatkan signification di dalam "wacana",
melihat hubungannya dengan valensi dengan kaca mata yang
sangat berbeda. Besar kemungkinan ia menggabungkannya de
ngan konsep Saussure. Kalau begitu, khusus untuk butir itu
606

saya kembalikan dengan suka rela senjatanya. Meskipun demi-


kian, gagasan Bally itu patut diingat: metnang benar bahwa di
dalam parole, petanda menyesuaikan diri dengan kenyataan
sesaat itu, dan mungkin lebih baik menyebut signification
'makna' apa yang dihasilkan oleh persesuaian itu... Jadi kita
dapat mengenakan suatu valensi pada masing-masing unsur yang
menjadi bagian langue, termasuk fonem (bukan dalam penger-
tian Saussure tentu saja, namun dalam pengertian modern),
tekanan, dan sebagainya. Makna, sebaliknya adalah terutama
suatu ciri yang dimiliki ujaran. Makna tidak hanya dihasilkan
oleh valensi yang digunakan di dalam penyusunan amanat,
artinya dari petanda kalimat: makna juga tergantung dari situasi,
hubungan, partisipan komunikasi, pusat minat mereka bersama."
Seperti yang terlihat, walau mengembangkan gagasan Saussure
yang ditafsirkan oleh Burger secara terpisah dari Prieto, R.
Godel bersatu dengan posisi noologi Prieto mengenai hubungan
signification-signifie'makna petanda'.
Dari sudut pandang analisis linguistik yang lebih halus,
Saussure memenuhi tuntutan yang digarisbawahi oleh sejumlah
ahli logika: tuntutan untuk membedakan antara a) acuan
konkret, dengan alat tanda, pada objek tertentu, dan b) cara
tanda itu mengusulkan pada penampilan subjektif kita, objek
tersebut, atau objek lain yang mungkin ada. Tanda Venus memi-.
liki acuan yang berbeda tergantung tanda itu digunakan untuk
menyebut bintang terang yang sedang bersinar atau menyebut
gadis cantik yang lewat di jalan. Dalam kasus yang pertama,
tanda itu dapat memiliki acuan yang sama dengan tanda lain,
bintang pagi. Meskipun demikian, bintang pagi mungkin memili
ki acuan yang bukan Vinus, dan sebaliknya: itu berarti bahwa
kedua tanda tersebut, mengingat acuannya yang berbeda, apabila
mereka kebetulan berada pada posisi yang beracuan sama,
mereka akan menampilkannya dengan cara yang berbeda.
Pembedaan antara acuan konkret dan cara melakukannya ditam-
pilkan oleh Saussure dengan a) signication (atau sens) dan b)
signifi^. G.,Frege^ sebelum Saussure, telah melihatnya dengan
jelas. Di Ibilam "Ueber Sinn und Bedeutung", Zeitschrift fiir
Philosophie un philosophische Kritik, 100, 1892.25-50, hal. 26
membedakan antara a) Bedeutung dan b) Sinn, sambil menelaah
607

kembali masalah-masalah yang telah diajukan oleh Bolzano


(bdk. R. Egidi, Ontologia e Conoscenza matematica. Un saggio
su G. Frege. Roma 1963, hal.213 dst ). Pembedaan Saussure yang
jelas sayangnya sering dikaburkan oleh terjemahan yang buruk:
misalnya C. Ogden, yang menerjemahkan Tractatus karya Witt
genstein, menerjemahkan Bedeutung deng&n meaning dan bukan
referring atau sesuatu yang dekat seperti yang diusulkan secara
benar oleh G.E.M. Anscombe,Introd. al Tractatus, Roma 1966,
hal.l3.
Mengenai hubungan antara valensi dan sistem, bdk. Ipsen
1930.15-16, Cikobava 1959. 102-104, Christensen 1961.179-
191, ditambah artikel yang telah disebutkan oleh Bally 1940.193
dst.
(232) Mengenai kalimat terakhir ini, yang meringkas sudut
pandang Saussure namun tidak sesuai seluruhnya dengan catatan
tangan (1897 B Engler), Martinet 1955. 47 mencatat bahwa
kalimat itu hanya menyangkut bidang penyebaran suatu maujud
bahasa (Martinet khususnya mengacu pada fonem), hanya
dibatasi oleh maujud lain di dalam langue: norma realisasi
merupakan batas lain. Artinya, langue bukan hanya himpunan
ciri pembeda.berbagai maujud(pada tataran fonem,bukan hanya
himpunan apa yang secara fonologis penting artinya)seperti yang
dikira Trubetzkoy, Principes, 1-15, melainkan merupakan him
punan dari semua yang semena, jadi bukan hanya kumpulan
pembeda melainkan juga, pada tataran fonem, kelas-kelas
varian. Ringkasnya, langue merupakan penambahan langue-
skema dan langue sebagai norma realisasinya Hjelmslev (lihat
FLU C.45). Mengenai gagasan yang serupa, lihat Coseriu 1952
=1962.90 dst.
(233) Menurut Malmberg 1954.11-17, paragraf ini dan
khususnya halaman 212-214 merupakan penggal terbaik di dalam
FLU
(234) Mengenai pengertian "zero", di samping Allen 1955
dan Haas 1957.34,41,46, lihat 453. Karena khawatir akan timbul
"legiun hantu" akibat dari teori Saussure mengenai tanda zero
(penggal klasik yang lain: FLU 170-172, 241, 309), Godel 1953
menggarisbawahi bahwa tanda zero bukan tanda yang tidak ada.
608

namun tanda yang implisit, artinya suatu tanda yang petandanya


muncul di dalam hubungan ingatan dan/atau wacana (kalau
tnenggunakan istilah H. Frei) dan yang penandanya tidak
memungkinkan realisasi fonis.
Jakobson 1939.143-152 telah mencari cownterpart semantik
bagi penanda zero, artinya petanda zero. Godel menyanggah
dengan mengatakan bahwa pada tataran petanda yang ada
hanyalah netralisasi(Godel 1953.31 c. 1).
Meskipun demikian dapat dikutip dari tesis Jakobson,
kasus-kasus seperti kalimat iteratif dalam dialek Romawi: sebuah
contoh yang relatif termasyhur adalah awal dari Scoperta de
rAmerica karya C. Pascarella ("Ma che dichi? Ma leva mano,
leva!"), di mana diragukan bahwa leva mengiterasi makna terten-
tu. Namun,ada juga contoh seperti: Si t'acchiappo, sitta, Ma I'hai
sentito, I'hai? So' venuto da casa, so. Dalam hal ini suku-suku
kata yang diiterasi memiliki fungsi irama semata sehingga
merupakan unsur bertanda yang berpetanda zero.
(235)Penggal lain yang penting untuk menjelaskan penger-
tian langue sebagai bentuk murni, di dalam langue skemanya
Hjelmslev: lihat catatan 45.
(236) Di dalam catatan tangan, yang dibicarakan adalah
"unsur fonis" atau "bersuara", dan bukan "fonem", istilah yang
dimasukkan di sini atau di tempat lain oleh para penyunting
untuk menyebut satuan fungsional: lihat c. 111.
(237) Perlu diingat, misalnya, dalam bahasa Italia, sikap
ekstrem orang mengenai daerah artikulasi untuk merealisasi
fonem /r/, demikian juga dalam bahasa Perancis, atau kemung-
kinan melafalkan sebagai konsonan tak bersuara atau bersuara,
konsonan /)/ di dalam kata seperti piede, chiave, dan sebagainya
(238) Di sini Saussure mengulangi sambil memperkuat apa
yang telah disebutkan dalam PLU 93. Yang tertarik pada
masalah pengkajian tulisan tangan adalah Vachek 1939 dan
terutama sejak 1943, Hjelmslev (Hjelmslev 1961.105, dan biblio-
grafi). bandingkan mengenai petunjuk pustaka lainnya mengenai
tema ini, Lepschy 1965.28-29 dan catatan.
(239) Mengenai sumbemya,lihat supra c. 224.
(240) Berkaitan dengan penulisan paragraf ini, dapat
609

diamati bahwa adjektif fonis tidak ada di dalam sumber catatan


tangan. Saussure berbicara tentang "perbedaan berbagai petan-
da" dan "di antara penanda", artinya antara kelas maujud abstrak:
lihatc.lll.
(241) Menurut Godel (SM. 117) mungkin ini selipan dari
para penyunting sejak "perbedaan konseptual" sampai akhir
alinea. la mengingatkan kalimat terakhir PLU169,yangmenurut
pendapatnya juga ditambahkan oleh para penyunting. Sebenar-
nya, 1942-1943 B Engler (catatan dari Riedlinger) menunjukkan
kalimat "bukti...perubahan" sangat sesuai dengan sumbemya, di
situ terbaca: "Seperti juga bagi valensi terikat mana pun dari
faktor sosial, bukannya apa yang masuk di dalam tanda bahasa
yang dapat memberikan gambaran tentang tanda itu. Semua itu
hanyalah mated yang digunakan; valensi dapat bervariasi tanpa
unsur-unsur itu harus bervariasi juga." Kehadiran hal yang sama
ini di dalam sumber catatan tangan tidak menarik jika hanya
dipandang dari sudut pandang filologis; namuu hal itu penting
sebagai penggal teori karena melibatkan in nuce, strukturalisme
diakronis yang menurut pendapat umum Saussure telah melupa-
kannya (lihat PLU c. 176).
(242) Penggal ini penting sekali dari sudut pandang teori.
Kombinasi penanda dan petanda, artinya tanda, merupakan
realitas positif; artinya tanda adalah suatu "maujud konkret". Na-
mun segi konkret itu merupakan basil dari suatu kegiatan
sengkarut dari sistematisasi dalam (dan dalam hubungau dengan)
kelas-kelas abstrak dari bunyi dan makna konkret.
Di antara tanda-tanda muncul hubungan pertentangan yang
cenderung ditangkap Sassure sebagai hubungan yang berbeda
dari berbagai perbedaan (Frei 1952,S.M.196 dst).
Kalimat terakhir dari penggal ini ("bahkan itu satu-satunya
spesies...") adalah tambahan para penyunting: 1949 B Engler.
(243) Inilah gejala irtdividualisasi fungsional yang meme-
nuhi tuntutan umum akan kehematan di mana sebagian unsur
mubazir di dalam suatu fase bahasa tertentu difungsionalkan,
dianggap sebagai distingtif di dalam fase berikutnya. Di tataran
fonematik, adalah kasus gejala fonematisasi dari varian kombina-
toris: misalnya di dalam bahasa Latin abad V [t|j| dan [k]
merupakan varian kombinatoris (lafal dalam distribusi peleng-
kap, di mana yang pertama selalu muncul di depan vokal palatal
610

yang di depannya tidak pernah muncul [k]; dalam bahasa Italia,


setelah berbagai kecelakaan diakronis (/kl/ dan /kw/ Latin
menghasilkan / k/'di depan I'll dan Id, seperti di dalam chi, che,
inchino; galisisme, hispanisme, arabisme yang disesuaikan de-
ngan do-, da-, chi-; peleburan kembali dalam bentuk jamak yang
berakhiran -chi; perpindahan dari bahasa Latin /kjo/, /kja/
menjadi /fo/, / /a/, dsb.) lafal oklusif dan lafal afrikat yang
akhirnya dapat muncul di dalam konteks fonematis yang sama
sehingga tercipta pasangan minima (/ki/ dan Afi/, /'kimit^i/ dan /
/' Jimitli/, /bruka/ dan / bruta/, dan sebagainya) dan perbedaan
antara dua lafal menjadi penting secara fonematis.
Pada tataran leksikal, gejala individualisasi fungsional
muncul di dalam sejarah bahasa Italia mutakhir, misalnya di
dalam pembedaan semantis antara coltura dan cultura, la fronte
dan il fronte, dsb...(bdk. mengenai hal ini De Mauro Storia
Linguistica dell'Italia Unita cit., halaman 31, 178, 260). Sebuah
kasus klasik dari individualisasi fungsional terdapat dalam asal
kata missa "misa", dalam bahasa Latin yang lebih tua dari abad V:
formula akhir dari upacara keagamaan Katolik, Ite, missa est,
mSngambil dari istilah Yunani jiifmerai, "telah dikirimkan",
dengan acuan tak terungkapkan pada ekaristi yang pada akhir
misa telah dikirimkan kepada orang sakit dan yang tidak hadir di
dalam upacara. Kebiasaan itu hilang, namun formulanya masih.
disimpan dengan rapi meskipun tidak dipahami lagi, dan mis
sa yang berbentuk past participle menjadi substantif dan mengha
silkan kata femina missa (bdk A. Pagliaro, Altri saggi di Critica
Semantica, Mesinna Florensia 1962, halaman 129-182).
Kalimat yang berikut adalah tambahan dari para penyun-
ting(1957 B Engler), tidak seluruhnya tanpa alasan.
(244) Menurut Tesniere 1939.174, fonologi Praha berasal
dari penggal ini. Mengenai masalah hubungan fonologi tersebut
dengan Saussure, lihat supra 449 dan lihat PLU c.l03, c.105,
c.145, C.176.
(245) Di sini /angue juga merupakan bentuk murni,"skema"
Hjelmslev: lihat c.45.
(246) Sumber bagi paragraf ini adalah pelajaran yang
diberikan pada bulan Januari 1909 di dalam masa perkuliahan
kedua {SM 72-73 catatan 74 dan 75) dan dua pelajaran tanggal 27
dan 30 Juni 1911 dalam masa perkuliahan ketiga {SM 72-73.
catatan 143-147).
611

Didalam pengembangan bab ini, Saussure mengulangi


penjelasan (PLU 76, 79 daii'lihat c.56 pada FLU) kemampumi
"m^ngartikulasikan" substansi fbnis dan maknawi, kemampuan
yang menjadi dasar langue. "Kemampuan mengasosiasi dan
mengkoordinasi" yang semacam itu terungkap di dalam pemben-
tukan "kelompok" kata. Yang kami maksud dengan "kelompok",
Saussure menjelaskan (1892 B Engler yang tidak terdapat di
dalam teks para penyunting), iidalah "hubungan" antara contre,
contraire, rencoutrer, dsb., demikian pula "hubungan" antara
contre 'lawan' dan marche 'anak tangga' dalam contremarche
'tinggi anak tangga'. Atau (seperti yang ditegaskan dalam
pelajaran di masa perkuliahan kedua: SM 72) pada kasus
pertama terdapat "satuan-satuan asosiasi", atau "kelompok de
ngan makna keluarga", dan dalam kasus kedua "satuan-satuan
wacana", atau "kelompok dalam makna sintagmatis". Jakobson
1967.8-9, 19-20 menunjuk Kruszewski sebagai sumber gagasan
hubungan bertipe ganda.
(247) Dengan mengambil kembali istilali-istilah di dalam
kuliah kedua (lihat supra c.246), Frei 1929.33 mengusulkan
untuk merumuskan hubungan sintagmatis sebagai hubungan
"wacana". Perlu dicatat bahwa para penyunting mendapati di
dalam sumber-sumber, tanpa menggunakannnya, istilah "struk-
tur" untuk menyebut apa yang mereka sebut"pertuturan"(1986 B
Engler); lihat c.259..
(248) Frei 1929,33 mengusulkan untuk merumuskan hu
bungan asosiatif sebagai hubungan "ingatan". Adat bahasa telah
menggunakan istilah paradigmatis, yang tidak ada dalam Saus
sure namun disinggung dalam penggal-penggal di mana paradig-
ma fleksi dikutip'sebagai contoh khas hubungan asosiatif: bdk.
misalnya FLU 223—224, 229, 238 Mengenai hubungan antara
hubungan asosiatif dan sintagmatis, bdki antara lain Vendryes
1933. 176 (=1952.30), Otnbredane 1951.280, Spang-Hanssen
1954.101-103, Lepschy 1966. 46-48.
(249)Lihat supra c.246.
(250) Di dalam sumber catatan tangan, Saussure di dalam
kebimbangan mengenai butir ini (lihat infra c 251). hanya
menggunakan sebutan sederhana ("ungkapan seperti s'il vous
platf:' 2014 B Engler). Contoh yang lain berasal dari para
612

penyunting (yang nampaknya berpikir tentang sintagma, yang


dari sudut pandang semantis itierupakan metafora yang dikristali-
sasi dan kosong .makna). Perlu dicatat, di dalam penggal yang
ditambahkan, penggunaan kata signification yang sama sekali
tidak ketat (lihat c.231).
(251) Itulah salah satu dari butir "terbuka" dalam konsepsi
Saussure, dan kita harus berterima kasih kepada para penyun
ting, yang dalam hal ini tidak berusaha menutupi kebimbangan
Saussure. Alasan kebimbangan itu dinyatakan dengan cukup
jelas. Di satu pihak kombinasi sintagma yang luas dikuasai oleh
variasi mengenai tempat unsur-unsur pembentuk, variasi yang
tergantung dari pilihan bebas dan individual: jadi, sintagma pada
keluasan tertentu, dan khususnya kalimat, sebagai yang di kuasai
oleh pilihan bebas individu nampakn^'a menjadi bagian bidang
parole (PLU c.63, c.67). Di lain pihak, bukan hanya unsur-
unsur minimum (monem)melainkan juga sintagma seperti cheval
'kuda', le cheval 'kuda', chevalin 'daging kuda'. il est a cheval 'ia
berkuda', dan sebagainya, menjadi bagian inventaris ingatan,
jadi nampaknya menjadi bagian langue. Ada juga fakta yang
lebih rumit: meskipun suatu sintagma mungkin saja tidak dikenal
oleh seorang individu, "tipe" sintagmatik menjadi bagian langue:
misalnya, meskipun orang tidak pernah menggunakan substantif
chomskisation 'penchomskian',sintagma ini berada dalam langue
selama dibentuk berdasarkan "tipe" sintagmatik tertentu. Menu-
rut Saussure,"di dalam kalimat akan terjadi hal yang sama"(2021
B Engler): model-model yang teratur, tipe-tipe yang umum dari
kalimat menjadi bagian langue. Dalam arti ini, semua sintagma
yang mungkin ada, termasuk kalimat, nampaknya menjadi
bagian langue.
Masih dengan arti yang sama bahwa kalimat menjadi
bagian langue, dua data yang lain yang terdapat dalam |pLC/
dan yang ditegaskan oleh sumber catatan tangan dapat menjadi
saksi: 1)dalam PLU81(= 258 A B C E Engler)dinyatakan,sam-
bil menggunakan ungkapan Constantin, bahwa "apabila kita me-
lihat bahasa mati, organismenya masih ada meskipun tak seorang
pun berbicara bahasa itu": jadi jelas bahwa bahasa mati tampil di
hadapan kita melalui kalimat-kalimat yang nampak seperti
sesuatu yang lain daripada parole-, 2) dalam /PLU (=258
Engler) dinyatakan bahwa parole mencakup "kombinasi indi-
613

vidual, yang tergantung dari kehendak mereka yang berbicara",


dan sumber melengkapi "kombinasi individual, kalimat, tergan
tung dari kehendak individu dan sesuai dengan pikiran indi
vidual" (258 E Engler): atau dapat pula kalimat dan sintagma
menjadi bagian parole selama keduanya tergantung dari kehen
dak pribadi, jadi tidak menjadi bagian paro/e dalam realitasnya
yang utuh.
Kebimbangan pikiran Saussure mengenai masalah ini dia-
nalisis secara teliti dalam SM 168-179. Seperti yang dilakukan
Wells 1947 pasal 19, Godel tergoda untuk melengkapi pikiran
Saussure dengan mencoba meraih arah evolusinya yang menda-
sar. Hal itu kemungkinan besar sesuai dengan kedua jalan keluar
itu, lebih sesuai dengan yang kedua daripada yang pertama: yaitu
jalan keluar di mana semua sintagma,termasuk kalimat, menjadi
bagian langue "secara potensial". Godel(SM 178-179) meri^tip
"observasi mendalam yang dilakukan pada masalah kreasi analo-
gis", artinya pernyataan yang berasal dari masa perkuliahan
pertama: "Misalnya kata indicorable 'terhiasi" secara potensial
ada di dalam langue, dan realisasinya merupakan peristiwa yang
tidak penting dibandingkan dengan kemungkinan pembentukan-
nya" (Godel kemudian menyempurnakan tesis interpretatif dan
teoretisnya: Godel 1970; dalam arah yang sama, R. Amacker sa-
ngat penting, "La sintagmatica di Henri Frei" dalam La sintassi.
Atti del in convegno internazionale di studi della Societd di Lingu-
istica italiana (Roma 17-18 Mei 1969), Roma 1970 halaman 45-
111). Saussure cenderung menerapkan sudut pandang yang sama,
yang "mendalam" ini pada semua sintagma: "Kita bicara hanya
dengan sintagma, dan mekanisme yang mungkin adalah bahwa
kita memiliki tipe-tipe sintagma itu di dalam kepala" (2073 B
Engler). (Penerapannya bersifat sinkronis dan bukan diakronis
seperti yang dinyatakan Lyons 1963.31-32, yang sebenarnya me-
mahami dengan baik hubungannya dengan Chomsky). Sebenar
nya, bukan kebetulan kalau kita mengatakan "kalimat-kalimat di
dalam suatu langue": kalimat menjadi bagian /angwe seperti juga
unsur-unsur pembentuknya. Fakta yang didapati di sini, demi-
kian pula secara lebih umum di dalam berbagai sintagma dengan
keluasan tertentu, kebebasan tertentu tidak boleh menghambat
kita untuk mengakuinya di dalam langue: demikian pula pada
tataran monem dapat dijumpai pilihan antara dua urutan yang
berbeda secara fonematis, namun sepadan secara monematis
614

(alomorf), misalnya di dalam pasangan-pasangan bahasa Italia


devoldebbo, tralfra, dan sebagainya., atau dalam bahasa Perands
je peux/Je puis,dan sebagainya, dapat dijumpai pada tataran
sintagma pilihan antara dua urutan yang berbeda secara mone-
matis, namun sepadan secara sintagmatis. Jadi, dengan mengang-
■gap bahwa kedua kalimat berikut ini sepadan dalam kenyataan-
nya, dari sudut pandang petanda (yang dapat terbukti seandainya
semua makna yang mungkin ada dari kalimat yang satu juga
makna dari kalimat-kalimat yang lain dan sebaliknya), ifratelli e
le sorelle sono arrivati, sono arrivati ifratelli e le sorelle, kita akan
memperoleh dua kalimat dalam hubungan alosintagmatis. Pen-
jelajahan teori kalimat sebagai fakta bahasa baru merupakan
awal dari apa yang menyentuh makna, dengan telaah yang dila
kukan secara terpisah dari Tesni^re, Prieto dan Chomsky. Me-
ngenai tataran ungkapan, hal itu telah dikembangkan di Amerika
Serikat oleh kaum post-Bloomfield: bdk. misalnya Hockett, A
Course cit., hal.199 dst., 307 dst.
Kemungkinan besar penerapan telaah itu pada langue
khusus akan membuat kejutan, dalam arti dalam bahasa Italia
pun yang menikmati sesuai dengan communis opinio kebebasan
sintagmatis yang besar pada tataran kalimat, jumlah kalimat yang
benar-benar alosintagma (atau benar-benar sepadan dari sudut
pandang petanda, dalam arti terbatas di atas) temyata jauh lebih
kecil daripada yang diharapkan.
(252) Lihat c.246.
(253) Mengenai hubungan asosiatif dalam ingatan bdk.
Frei
1942, Bresson 1963.27. Gagasan bidang asosiatif temyata sangat
berguna dalam semantik bagi ancangan struktural terhadap
leksikon: Weisgerber 1927,1928, Bally 1940, Wartburg-Ullmann
1962.156, Lyons 1963.37 dst.
Teori Freud mengenai lapsus linguae dapat dianggap seba
gai penegasan klinis bagi hipotesis linguistik dari Saussure (bdk.
misalnya S. Freud, Psychopathologie de la vie quotidienne,
Paris, Payot, hal. 5 dst,). Setelah studi Jung mengenai asosiasi
verbal (C.G. Jung, Studies in Word-Associations, i&x]emahan
Inggris, London 1918) yang tidak lagi dilihat dari perspektif
615

patologis melainkan sebagai fakta fisiologis dan wajar, sekelom-


pok telaah psikologis yang paling penting bag! ahli linguistik
terkumpul pada arah ini(bdk.Miller, Langage et Communication
cit., bab IX, haI.236-251) yang menegaskan ad abundantiam
intuisi mendasar yang diwarisi Saussure dari Krusz6wski.
Godei 1953.49 mengingatkan kembaU bahwa deret asosiasi
yang didasari hanya oleh kesamaan fonematis (enseignement
'pengajaran'-c/^men/ 'murah hatV-justement 'justru'...) di dalam
grafik haiaman 175 merupakan tambahan para penyunting. Hal.
itu tidak seluruhnya benar: meskipun contoh-contohnya dari para
penyunting, gagasan dasamya berasal dari Saussure, seperti yang
tampak pada sumber, menyatakan:"mungkin di sini ada asosiasi
hanya demi petanda: enseigment 'pengajaran', instruction 'pen-
didikan apprentissage, 'pembelajaran, Education 'pendidikan',
dan sebagainya dan kata lain lagi. Dapat pula orang memperoleh
kelompok gambaran bunyi: blau (biru), durchblduen (memu-
kuli) dan sebagainya"(2026 B Engler). Contoh blau-durchbauen
telah digunakan oleh para penyunting di dalam catatan 253 dan
283.
(254) Tesis Saussure telah disangkal oleh Jakobson yang
menganggap nominatif, yang merupakan kasus zero, sebagai
yang pertama di dalam paradigma fleksi (Jakobson 1966.49).
(255) Paragraf ini berasal dari banyak sumber: sebuah pe-
lajaran dari masa perkuliahan pertama mengenai ketergantungan
dua pelajaran unsur dari konteks sintagmatis(S.M 59, c.27); dua
pelajaran pada masa perkuliahan kedua(11 dan 14 Januari 1909)
mengenai hubungan, di dalam "mekanisme s;uatu keadaan lan-
gu^', antara hubungan sintagmatis (atau wacana) dan asosiatif
(atau intuitif)(SM 72-73 catatan 74 dan 76); sebuah pelajaran
pada masa perkuUahan ketiga mengenai berbagai sintagma yang
telah digunakan dalam PLU 219-222(5M 89 c. 143).
(256) Alinea pertama dan kedua merupakan sulaman khas
para penyunting dengan menggunakan unsur-unsur yang seba-
gian campuran ("perbedaan fonis dan konseptual" adalah ungkap-
an yang sangat lazim bagi para penyunting, namun tidak pemah
digunakan Saussure: SM 113 dan lihat c.l31), sebagian lagi
lebih pasti berasal dari Saussure: inisalnya ungkapan "solidaritas
sintagmatis"(dan "asosiatif). Untuk ini bdk. 2105 B Engler.
616

(257) Kalitnat terakhir dalam alinea ini adalah tambahan


dari para penyunting(2053 B Engler dan S.M. 117), yang didasari
oleh kesalahpahaman. Saussure mengatakan secara sangat eks-
plisit bahwa sebuah sintagma roulis 'ayunan (kapal)' dianalisis
sebagai roul^is, dan menegaskan:"+ karena sebagaimana lazim-
nya ada urutan, x karena roulis merupakan hasil di mana roul-
dan -is adalah faktor-faktomya (2052 B Engler). Atas dasar ini,
para penyunting meminjam gagasan lain dari Saussure perlu
diketahui bahwa valensi sintagama tidak hanya tergantung dari
jumlah dan dari hasil komponen-komponennya, melainkan juga
dari hubungan antara jumlah + hasil secara utuh komponen-
komponennya. Kesalahpahaman berasal dari/PLf/233: "dix-neuf
'sembilan belas' solider ... secara sintagmatis dengan unsur-unsur
dix 'sepuluh' dan neuf'sembilan'".
j^erlu dicatat bahwa incipit dari alinea berikutnya ("Itulah
prinsip umum..") seperti ketiga kalimat dalam alinea sesudah itu
relatif merupakan tambahan para penyunting yang mubazir.
Khususnya, pada alinea terakhir dalam paragraf itu, keberatan
yang dikemukakan (kalimat monorem dan monomonematis
seperti oui, nan, dejd) tidak berarti sama sekali: bila kita dapat
mengatakan bahwa monem dibentuk oleh fonem-fonem meski-
pun ada monem monofonematis, kita juga dapat mengatakan
bahwa sintagma dibentuk dari monem, meskipun ada kalimat
yang monomonematis.
(258) Sumber dari paragraf ini adalah dua pelajaran pada
masa perkuliahan kedua(SM 72-73, catatan 75-76).
(259) Kami mendapati di dalam alinea terakhir paragraf ini
salah satu dari sekian banyak kemunculan/onem dan unsur-unsur
fonologis Saussure secara keliru. Dalam hal ini, meskipun selipan
itu keliru, jelas bahwa penggal semacam ini tidak mengurangi
motivasi untuk menyusun teori komunitasi fonem (lihat c.l31).
Sumber catatan tangan (2079 B Engler) hanya membicarakan
unsun

Lebih Ianjut muncul istilah struktur, yang bagi penggal ini


justru tidak ada di dalam sumber tulisan tangan (2086 Engler),
namun jelas didapat dari Saussure di dalam penggal-penggal yang
lain: lihat c. 247 dan PLU 298-310 (269 B Engler) dan (2807 B
Engler). Jadi istilah itu memang berasal dari Saussure: tidak benar
617

kalau dikatakan bahwa Saussure t.idak pernah menggunakan


struktur (Benveniste 1962 =1966.92, namun Benveniste juga be-
nar ketika mengatakan bahwa uhtuk menyebut sistem, Saussure
tidak menggunakan istilah struktur namun sistem: lihat infra )
atau ia menggunakannya hanya untuk menolaknya (Mounin
1966.24): sebenarnya, karena hal ini lebih jelas di dalam sumber
catatan tangan daripada di dalam FLf/ 298 Saussure lebih tepat
dikatakan bimbang mengenai istiiah konstruksi, dan bukan bim-
bang mengenai istilah struktur. Di lain pihak, Kukenheim sama
sekali terserat ketika menulis tentang Saussure: "Apa yang ter-
utama diingat dalam dua pertiga abad XX adalah kata sakti struc
ture"(Kukenheim 1962. 94). Pada dua pertiga abab XX struktur
telah digunakan secara sangat beranekaragam dan pada proporsi
yang jauh lebih besar daripada penggunaan Saussure yang seder-
hana, dan yang tidak menggunakan istilah itu sebagai salah satu
kata kunci (bdk. Benveniste yang dikutip).
Terakhir, perlu dicatat bahwa di dalam semua penggal di
dalam catatan tangan atau di dalam PLU di maha muncul kata
struktur, kata itu selalu mengacu pada pengelompokan sintag-
matis, linear: artinya kata itu digunakan dalam arti yang berkem-
bang di Amerika dan bukan arti yang dikembangkan oleh stnik-
turalisme Eropa.
(260) Sumber paragraf ini adalah dua pelajaran dari masa
perkuliahan ketiga, bulan Mei 1911 {SM 84 c.l21).
(261) Di dalam sumber catatan tangan (2100 B Engler)
cohtohnya adalah si- dalam bahasa Perancis (siparer 'memi-
sahkan',siduire 'merayu',selection 'seleksi') yang dipertanyakan
Saussure "sampai sejauh mana unsur itu ada" sebagai "prefiks
yang dikenal".
(262) Mengenai kesemenaari relatif, bdk. Bally 1940, Cata
lan . Menendez Pidal 1955.18, Zawadowski 1958, Wartburg-
Ullmann 1962,129, Antal 1963.81, Jaberg 1965.146. Petunjuk
lain di dalam Ullmann 1959.86 dst.
(263) Penulisan kalimat terakhir di dalam alinea ini adalah
karya para penyunting (2112, 2114 B Engler dan SM 117-118).
Namun, seluruh sisa paragraf ini, yang melukiskan dengan jelas
pandangan historis niengenai dinamika bahasa, mencerminkan
catatan tangan dari pelajaran-pelajaran yang diberikan Saussure.
618

(264) Penelitian mengenai bahasa leksikologis dan grama-


tikal -telah dilaksanakan secara berhasii: perbandingan antara
bahasa Jerman,.gramatikal, dan bahasa Perancis, leksikologis,
telah ditelaah kenibali oleh Bally, Ling. Gin. cit. hal. 341-345;
W. von Wartburg, La posizione delta lingua italiana, Florensia
1940, hal. 93 dst. sebaliknya membandingkan bahasa Perancis
yang lebih leksikologis dan bahasa Italia yang lebih gramatikal.
Pengamatan Saiussure dan pengertian ekonomi bahasa yang
disusun mengikutl jejak Saussure oleh Martinet meinberikan
kerangka teori yang lebih jelas bagi telaah tipologis yang
memperhitungkan fakta dan metode objektif dalam linguistik
ilmiah.
(265) Sumber paragraf ini adalah dua pelajaran yang ber-
beda dari masa perkuliahan kedua:SM72(c.73)dan 73-74(c.80).
(226) Mengenai keengganan menggunakan istilah historis
dalam kaitannya dengan tata bahasa,. lihat PLU c.41, 116.
(267) Sumber paragraf ini adalah berbagai pelajaran dari
masa perkuliahan kedua: SM 72 (c,73) dan 73 (c.76-78). Dari
sudut pandangan metode telaah sintaksis, pengamatan Saussure
mempunyai nilai yang paling tinggi; juga dibicarakan lagi di da
lam bab berikutnya dan di dalam PLU302,pengamatan itu mem-
bongkar sampai keakarnya metode sintaksis yang sangat domi-
nan dan meluas, dan sintaksis yang disebut historis. Tuntutan di
dalam analisis sintaksis manapun, untuk berangkat dari pengaku-
an adanya kelas-kelas kunci yang terindividualisasi pada tataran
bentuk ungkapan telah ditegaskan kembali, misalnya oleh H.
Spang-Hanssen, dalam Actes du VP congris international de Li-
nguistique, Paris 1949, hal. 379-391, pada halaman 390, dan J.
Whatmough, Language. A Modern Synthesis, London 1956,
hal. 390. Bdk. De Mauro, Frenquenza efunzione dell' accusativo
m greco, cit. Lihat juga C.219.
(268) Sumbernya adalah pelajaran dari masa perkuliahan
ketiga: SM 83-84 (c. 120). Dalam pelajaran itu, tampak betapa
Saussure enggan harus menggunakan istilah abstrak untuk
menunjuk proses dan skema yang hadir secara efektif pada diri
penutur: lihat catatan 70.
(269) Dalam bab ini terdapat sulaman yang khas, para
penyunting menggunakan sumber-sumber yang berlainan:
619

sebuah pelajaran dari masa perkuliahan pertama (SM 61 c.32),


dua pelajaran yang relatif berjauhan dari masa perkuliahan ke-
dua(SM 70, c.67, dan 74 c.83), sebuah pelajaran dari masa per
kuliahan ketiga(SM 78, ICK)).
Di dalam bab-bab berikutnya dalam bagian itu, para pe-
nyunting telah menggunakan, dengan nienyebamya secara ber-
beda, pelajaran-pelajaran dari masa perkuliahan pertama yang
mengikuti Pendahuluan dan 'Prinsip Fonologi (SM 55-63, c.9,
11-18, 25, 26, 28, 31, 32, 35-39). Di dalam kerangka Saussure,
analisis gejala sejarah-evolutif harus tidak mengikuti namun
mendahului penyajian langue (lihat supra catatan 12,65). Pasti,
seandainya para penyunting mengikuti jalan itu, bagian ketiga,
keempat,dan kelima di dalam PLU akan ditelaah secara lebih te-
liti, dan pandangan histdris terhadap langue yang disusun Saussu
re, akan nampak lebih jelas bagi pembaca. Sebaliknya, bukan sa-
ja telaah itu tidak pernah ada, namun para ahli yang biasanya
tanggap telah berpikir dan menyatakan bahiWa paruh dua PLU
tidak penting dan tidak mengandung pembahanian khusus: bdk.
Jaberg 1937.136 dan A. Varvaro, Storia, problemi e metddl delta
linguistica romanza,. Napoli 1966, hal, 212)
^270) Lihat catatan 269. Pada awal paragraf pertama terba-
ca di dalam sumber catatan tangan seperti biasa,wn^wr, dan seper-
ti biasa pula para penyunting, bertentangan dengan maksud Saus
sure, telah memasukkari istilah/onem; lihat c.l31. Seluruh kali-
mat pertama di paragraf kedua adalah kalimat para penyunting.
(271) Kita dapat menafsirkan perubahan "spontan" sebagai
proses fonematisasi dari varian bebas dan perubahan "kombina-
toris" sebagai proses fonematisasi dari varian kombinatoris.
(272) Teks edisi 1916 adalah "hanya ada dalam..."(2281 A
Engler): setelah edisi 1922 muncul kesalahan cetak ("tidak ada
dalam ...") yang mengubah sama sekali kalimat itu dan menjadi
keliru.
(273) Warfburg-Ullmann 41 pasti akan menegur Saussure
mengenai kalimat itu: lihat catatan 86.
(274) Dalam sumber catatan tangan tidak ada pembicaraan
mengenai tanda, namun lebih tepat mengenai lambang
fonetis(SM ni cM).
620

(275) Mengenai sifat "buta" dalam evolusi fonetik menurut


Saussure dan mengenai ppleniik yang timbul, lihat catata'n 176.
(276) Lihaft catatan 269.'
(277) Seperti yang telah dikemukakan dari(Hennan 1931)
bizan bukan berasal Germanika barat pada umumnya, namun
khusus Jerman Tinggi. Dalam hal ini, sekali lagi kesalahan bukan
pada Saussure karena di dalam sumber catatan tangan (2366 B
Engler) tidak disebutkan dari bahasa mana kata itu berasal.
Di dalam perpindahan dari bahasa Latin ke bahasa Italia
juga terjadi (namun jauh lebih jarang mengingat sistem fonema-
tis Toscan yang konservatris) kasus putusnya hubungan gramati-
kal pada kata-kata dalam tradisi langsung: misalnya domus dan
domesticus menghasilkan duomo dan domestico (dengan inter-
vensi evolusi petanda yang menyebar), dan (aquae) ductus
menghasilkan doccia dan acque-dotto.
(278) Ungkapan "perbedaan fonis", seperti biasa, tidak ada
di dalam catatan tangan (lihat c.l31).
(279) Mengenai sumbernya, lihat c.269.
(280) Mengenai konsepsi analogi gaya Saussure, bdk. Frfei
1929.27, Delacroix 1930.265, Wartburg-Ullmann 1962.60. Di
samping itu lihat supra c.251 mengenai peranan yang dimainkan
analogi di dalam pembentukan sintagma: peran penting jika di-
perhatikan bahwa bagi Saussure, sintagma bukan hanya "kata-
kata" melainkan juga kalimat sehingga analogi merupakan sum
ber kreativitas dalam langue, xalan tempat langue membangkit-
kan himpunan kalimat yang secara teoretis tak terbatas. Saussure
memberi judul pelajarannya yang membicarakan pokok tnasalah
ini secara tepat: Analogi, prinsip umum kreasi langue (SM 57),
judul yang digunakan para penyunting pada paragraf ketiga
dalam bab ini: jinfra 279
(281) Lihat catatan 176.
(282) Istilah eA:onomi nampaknya tidak ada di dalam
catatan tangan (2570 B Engler). Untunglah istilah itu dimasuk-
kan oleh para penyunting untuk menyebut perimbangan antara
berbagai kecenderungan yang bereaksi pada langue. Istilah itu
telah digunakan lagi dengan makna yang sama oleh A. Martinet
1955 yang membuatnya menjadi istilah kunci bagi konsepsi
m

struktural modern mengenai realitas bahasa.


(283) Mengenai sumbernya, lihat c.269.
Mengenai etimologi rakyal terdapat pustaka yang cukup
luas, misalnya bdk. Ullmann 1959.91. Mengenai polemik anti-
Saussure antara lordan, Wartburg dan Ullmann,lihat infra c.286.
Bdk juga J. Orr, "L'^tymologie populaire"/?ev. Ling. Rom. 18,
1954. 129-142 dan J. Vendryes,"Pour une 6tymologie statique",
BSL 49: I, 1953. 1-19. Th.' Hristea, 'Tipuri de etimologie
popuIarS,", Limba Rom&nd, 16, 1967.237-251 menggunakan
kembali klasihkasi Saussure.
(284) Ujian universitas (yang mungkin menghasilkan tesis
aspek patologis di dalam Volksetymologie) merupakan siimber
yang cukup baik dari etimologi rakyat yang sulit ditandai oleh se-
orang dosen yang kurang teliti: benyak mahasiswa filsafat klasik
yakin bahwa kekeliruan Homerus dapat dikatakan disebabkan
oleh kurangnya perhatian para penyair Yunani (quandoque
bonus..); hanyak yang mengira bahwa penanda adalah orang
yang mengatakan sesuatu, dan sebagainya.
(285) Contoh lain dari etimologi rakyat: dalam bahasa
Italia, doppiare ("mendubbing" film) dipungut dari argot to dub
dan dilekatkan pada doppio ("ganda"). Dalam bahasa Perancis,
ouvrable 'buka' dikaitkan pada omvnr 'membuka'(sebenarnya,
oeuvrer = "bekerja").
(286) Dalam edisi 1916, penggal ini (2670 A Engler)
tertulis: "Etimologi rakyat merupakan gejala patologis; jadi
hanya muncul, dan seterusnya." Kata est sampai elle dihilangkan
pada edisi 1922, kemungkinan besar untuk menghormati kecen-
derungan linguistik zaman itu, yang cenderung menganggap
langue sebagai himpunan onomatope,interjeksi, kata-kata "afek-
tif, etimologi rakyat, dan sebagainya. Namun,gagasan Saussure
yang sebenarnya justru telah dikoreksi dan disensor oleh para pe-
nyunting:"Di sini ada (dalam etimologi rakyat) sesuatu yang da-
pat dianggap menjijikkan, patologis, meskipun itu merupakan
penerapan yang amat sangat khusus dari analogi" (2670 B
Engler). Bdk. lordan-Orr 1937.173 c.l= lordan-Bahner 1962.204
c.l Wartburg-Ullmann 1962.125 menentang pendapat Saussure.
(287) Mengenai sumbernya lihat c.269. Mengenai aglutina-
622

si, bdk. Frei 1929.109. Perlu dicatat halaman 244, diskusi


niengenai istilah struktur, untuk itu lihat c.259.
(288) Bab ini, yang sangat penting bagi asal masalah
Salissure (lihat catatan 216 dan 217), merupakan himpunan ber-
bagai pelajaran dari masa perkuliahan kedua {SM11,catatan 60,
64, 69, 71). Di antara pelajaran-pelajaran itu muncul pelajaran
mengenai "masalah identitas"(SM 60) yang telah dibagi dua oleh
para penyunting sehingga meletakkan masalah identitas diakro-
nis di sini menaruh masalah dasar lainnya mengenai identitas
sinkronis di PLU 199(SM 119).
Analisis "keadaan" bahasa Yunani primitip sangat penting
artinya untuk menggambarkan konsepsi Saussure mengenai dia-
kroni prospektif: urutan yang khusus, yang pada mulanya tidak
penting karena sebab-sebab yang kebetulan, menjadi asal suatu
reorganisasi sengkarut dari sistem sintagmatis dan morfosintaksis
dalam bahasa Yunani klasik, di saat terjadi penghilangan valensi
otonom dari genitif. Perlu dicatat sekali lagi bahwa antiteleologis-
me Saussure tidak berimplikasi seluruh penyangkal an terhadap
pandangan organis dari gejala evolutif; namun hanya berimplika
si tentangan keras terhadap konsepsi mistik mana pun yang me
ngenai perubahan. Lihat c.l76.
(289) Judul bagian dari teks ini sejak edisi 1916 dan semua
edisi berikutnya adalah Lampiran pada bagian ketiga dan keem-
pat. Sebenarnya bagian itu merupakan lampiran dari bagian ke
dua dan ketiga: namun bagian kedua dan ketiga semula direnca-
nakan menjadi bagian ketiga dan keempat oleh para penyunting
yang membayangkan menyusun bab mengenai aksara dan fonolo-
gi(FLU 92-108)sebagai bagian pertama, yang sebenarnya sesuai
dengan skema masa perkuliahan pertama (SM 54). Pada suatu
waktu, besar kemungkinan dalam hubungan dengan seluruh arsi-
tektur penyusunan karya Saussure (lihat c.65), halaman-halaman
mengenai aksara dan fonologi dicakup oleh Pendahuluan, dan
bagian ketiga (sinkroni) dan keempat (diakroni) menjadi bagian
kedua dan ketiga, namun para penyunting lupa mengoreksi judul
lampiran itu (bdk 5M100).
Untuk hal-hal yang menyangkut catatan tangan ketiga
kuliah dari perkuliahan pertama(SM 110).
623

(290) Mengenai sumbemya, lihat c.7. Menunit Malkiel


(infra), Saussure (artinya para penyunting) menaruh pembi-
caraan mengenai etimologi di dalam lampiran karena sektor
penelitian ini tidak otonom. Mengenai status metodologis umum
dari cabang penting di dalam penelitian linguistik, bdk. Y.
Malkiel, "Etymology and general linguistics", dalam Linguistic
Essays on the Occasion ofthe Ninth Inter. Congr. of Linguists, W
18, 1962.198-219. Malkiel juga Wembuang usul Vendryes, Pour
une itymologie stat. cit. (lihat c.283).
(291) Dalam konsepsi akhir yang dimiliki Saussure untuk
menjelaskan teori-teori linguistiknya, halaman-halaman menge
nai "langue" harus terletak di muka: dari sudut pandang pedago-
gis, pembaca awam (dan kita tabu betapa Saussure mementing-
kan hal ini supaya linguistik tidak menjadi bidang milik para ahli
yang kurang sekali dihargai olehnya, PLU 71—72) dan terutama
mahasiswa linguistik(dan Saussure selalu peka terhadap segi-segi
didaktis: supra, 339, 403^06, 417) pada pokqknya ak^ ber-
urusan dengan kebetulan sejarah yang mendomihasi kehidupan
langue. Bertolak dari sudut pandang tersebut, Saussure membu-
ka masa perkuliahan ketiga dan terakhir dengan kuliah-kuliah
mengenai kemajemukan bentuk-bentuk bahasa, mengenai
jaringan dan persenyawaan idiom-idiom dalam ruang dan waktu,
"mengenai mutasi mereka ("tidak ada ciri permanen" SM 81),
mengenai hubungan mereka dengan peristiwa-peristiwa sejarah
ekstem, dll.(SM 77-81, c.97-110). Bertolak dari pandangan segi
sejarah konkret ini, pembaca dan mahasiswa kemudian akan
dibawa untuk menyadari adanya suatu dimensi umum dalam
gejala-gejala bahasa, dan pembicaraan akan berpindah dari
"berbagai langu^ ke "langue" (lihat infra 417). Susunan
materi ini telah ditelaah (lihat c, 65). Dan, sebagai hasil puncak
dari pemutarbalikan tersebut, materi yang seharusnya membuka
^LU telah gagal di kedua bagian tersebut.
Mengenai keteraturan fonis dan psikis yang dijelaskan
dalam alinea terakhir, lihat c.42.
(292) Lihat c. 291.
(293) Lihat c. 291.
Mengenai komentar atas bab ini, bdk. Amman 1934.273-
276.
624

(294) Kemudian atlas bahasa makin bertambah. Mengenai


pengantar terperinci ke "verdadera montana de estudios de
geografita lingiiistica''(A. Alonso)bdk. S,Pop,La dialectologies 2
jilid,Louvain 1950. Bdk juga Vidos 1959. 44-90; Malmberg 1966.
82-107; C. Grassi menyiapkara sintesis baru sebagai pefigantar
pada materi tersebut.
Penelitian mengenai patois-patois Roman, acuan Saussure
pada halaman 333 adalah Glossaire des patois de la Suisseroman-
de, disusun oleh L. Gauchat, J. leanjaquet, E. Taf^let, E.
Mtiret, P. Aebischer, O. Keller dan Iain-lain, yang semula di-
pimpin oleh K. Jaberg. Pengumpulan bahan dimulai pada tahun
1899.
(295) Mengenai sumber, lihat catatan 291.
Mengenai hubungan dinamis antara "kekuatan hubungan"
dan "semangat kesukuan" bdk. Frei 1929. 292.
Mengenai masalah hubungan antara perubahan fonetis dan
pungutan bdk. Jakobson 1962. 239.
Di akhir paragraf ini, "pungutan fonem" hanya merupakan
"pungutan" sumber catatan tangan: lihat PLU
(296) Karya J. Schmidt adalah tahun 1872, bukan tahun
1877, tanggai yang diulang lebih jauh, 3058, 3059 B. Engler.
(297) Para penyunting di sini menggunakan kuliah-kuliah
dari masa perkuliahan kedua {SM 74, c. 81) dan masa per-,
kuliahan pertama {SM 63, c.41) yang telah digunakan. Seluruh
bagian kelima adalah kumpulan tuHsan-tulisan yang tidak diguna
kan di tempat lain: lihat c. 291.
Mengenai kedua perspektif ini, lihat PLU 167 dan catatan
176,128, dan bdk. Ullmann 1959. 38.
(298) Judul berasal dari para penyunting; dalam edisi
pertama terbaca "dan langue primitif, yang kemudian dikoreksi
menjadi "prototipe"(3108 Engler).
Halaman-halaman ini berasal dari kuliah-kuliah di masa
perkuliaha:n kedua(SM 75) yang membicarakan sejarah linguis-
tik dari Bopp sampai neo-gramatik, halaman-halaman yang
diringkas oleh para penyunting di dalam bab pertama pendahulu-
an (PLU 63-69)
(299) Mengenai Pictet, lihat supra 362-363 dan 377-378
625

(300)Sumbemya berasal dari kelompok kuliah-kuliah masa


perkuliahan pertama mengenai La methode reconstructive et sa
valeur (SM 64-65): Saussure menyebut untuk pertama kalinya
di sini tema langue sebagai bentuk murni (lihat c. 45):"Cara yang
sebenarnya untuk menampilkan unsur-unsur fonis suatu langue
bukanlah dengan menganggap mereka sebagai bunyi-bunjd yang
memiliki nilai mutlak, melainkan dengan nilai yang mumi opo-
sitif, relatif, negatif ...Langue selalu menuntut perbedaan ....
Dalam kenyataan tersebut kita seharusnya melangkah lebih jauh
lagi dan menganggap nilai apa pun dzxx langue sebagai opositif,
dan bukan positif, mutlak"{SM 65).
Kita berhadapan dengan anggapan "kuno": mungkin sekali
inti pertama dari renungan teori Saussure yang lahir dalam pe-
ngalaman di Memoire di bawah tekanan polemik dengan Osthoff,
kontak dengan penelitian Kruszewski dan Baudouin, bertujuan
memaksa para ahli linguistik untuk "memahami apa yang mereka
perbuat". ..
(301) Dalam catatan tulisan tangan,"fakta" sebenarnya ada
"dua": yang pertama dan kedua. Fakta ketiga ditambahkan
sebagai fakta ketiga oleh para penyunting {SM 119), padahal
sebenarnya fakta tersebut lebih merupakan kondisi umum dari
fakta pertama dan kedua.
(302) Di dalam seluruh bab, para penyunting mencampur
kuliah dari masa perkuliahan kedua mengenai kekeliruan linguis
tik post Bopp (lihat supra c.298) dan kuliah pangantar pada
"tabel" kekerabatan bahasa di mana Saussure menekankan tesis
dasar dari segi-segi historis kebetulan dari sistematisasi bahasa:
'Tidak ada ciri permanen, yang bebas dari gerak waktu" {SM
80)-
Mengenai langue dan ras dalam Saussure, bdk. Amman
1934. 276-277.
Halaman 364 beau-frere -suami adik" adalah kekeliruan
yang terdapat dalam catatan tulisan tangan, seharusnya "beau-
frere -saudara laki-laki suami")= Yunani ISniJip, : bdk. SM 121.
(303) Mengenai tema Saussure ini, bdk. Amman 1934.277-
280 dan Ullmann 1953. Tujuan kritik-kritik Saussure berasal dari
pretensi untuk menarik deduksi mengenai ciri "jiwa" atau "bakat"
626

suatu bangsa yang bertolak dari penelaahan fakta-fakta fonomor-


fologis. Tetapi hal ini sama sekali tidak berarti bahwa linguistik
harus menganggap,sepi bahwa karena sangat berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa sejarah, suatu langue hanya hidup dalam
kaitannya dengan masyarakat tertentu, tenggelam dalain nasib
historis, sesuai dengan tesis PLU 152 Pengakuan akan prinsip
kesemenaan,selama pengakuan ini meniadakan bahwa organisa-
si pertuturan manusia direproduksi pada tingkatan pengungkap-
an dan pada tingkatan isi stuktur-struktur fonis-akustis dan
psikologis-antologis "alami" yang terbentuk sebelumnya, berim-
plikasi bahwa segala sesuatu dalam langue, penanda dan petanda,
hanya ditunjang oleh konsensus sosial. Hal ini hartya menemukan
batas dan syarat di dalam kebutuhan untuk menjamin dan
melanjutkan di dalam waktu pembedaan-pembedaan yang ber-
operasi di tingkatan penanda dan petanda dengan masih meng-
hormati tuntutan kreativitas, artinya kemungkinan untuk mem-
produksi himpunan tak terbatas dari tanda-tanda baru berkat
mekanisme analogi. Pandangan semacam ini pada berfungsinya
langue, esensi vitalnya, dan kehidupanya yang sebenarnya,
memaksa linguistik untuk mengatur penelitiannya dalam kaitan
dengan di satu pihak teori umum mengenai tanda dan di lain
pihak penelitian sosio-psikologi sesuai dengan klasifikasi dalam
PLU 82-84. Meskipun demikian, tidak ada gejala yang di dalam
langage umum dikualifikasikan sebagai linguistik, yang dapat
dikeluarkan dari cakrawala penelitian linguistik yang mumi
Saussure; macam fakta bahasa apa pun adalah materi bagi di-
siplin itu(PLU70-72,88-91),justru selama dipaksakan padanya
tugas untuk mencari "norma dari segala manifestasi langage yang
lain"(PLU 75), artinya langue yang dibentuk dari pertuturan.
Mengenai tipe penafsiran ini, lihat catatan 40,51,56,65,83,129,
137, 138, 150, 167, 176, 204, 225, 226, 227, 231.
(304) Bab terakhir ini juga dibangun dengan cuplikan-
cuplikan kuliah tersebar di dalam perkuliahan ketiga (SM 80-
81, c. 105, 106, 109).
(305) Seperti yang dikemukakan pertama kali oleh R.
Godel (SM 119 dan 181), alinea terakhir CLG adalah
"kesimpulan paira penyunting": dengan kata lain, dalam catatan
tulisan tangan tidak ada yang menunjukkan bahwa Saussure
"627

mehgucapkan kalimat yang masyhur ini, dan jelas sama sekali


tidak mengungkapkan "gagasan dasar" dari pengajarannya.
Menurut Jaberg 1937. 128-130 otonomi lingiiistik di dalam
konsepsi Saussure terdapat dalam kalimat terakhir tersebut.
Padahal dalam pernyataan Jaberg terdapat garis batas mengenai
ketidakjelasan ini yang menurut pendapat kami dapat membuat
konsepsi tersebut diterima. Ungkapan yang jelas dari ketidak
pahaman makna objek itu daii dari usulan akhir mana pun
terdapat di dalam tulisan seperti karya Leroy: "Akhirnya ada
penegasan yang menutup /PLU dan menjelaskan serinya:
'linguistik memiliki objek sebenarnya dan tunggal, langue yang
ditelaah dalam dirinya dan bagi dirinya". Apa yang merupakan
kesimpulan meditasi yang lama, yaitu Cours de linguistique
ginerale, dirumuskan sebagai linguistik par excellence adalah
sama dengan apa yang pada masa sebelumnya disebut linguistik
intern yang dipertentangkan dengan linguistik ekstern ... Priori-
tas perhatian yang diberikan pada sistem membuat linguistik
menganggap gejala-gejala ekstern sebagai sekimder" (Leroy
1965. 90-91). Meskipun semua ini, seperti yang akan kita lihat,
patut diperdebatkan dari segi penafsiran konkret pemikiran
Saussure, Leroy sangat benar ketika ia menggarisbawahi "fungsi
program yang dikemukakan kalimat tersebut ....di dalam per-
-kembangan doktrin linguistik empat puluh tahun terakhir ini"
(hal. 91): memang benar sekali bahwa sebagian besar linguistik
yang diilhami strukturalisme telah mengira bahwa menghormati
Saussure berarti tidak mengakui ketimpangan sistem, dinamik
sinkronik, kondisi sosial, gejala-gejala evolutif, kaitan antara
yang terakhir ini dengan peristiwa-peristiwa sejarah, seluruh
gejala bahasa yang membuat langue terbentuk. Penambahan
kalimat terakhir adalah sumber manipulasi penyuntingan dari
catatan-catatan Saussure yang sebagian bertanggung jawab atas
sikap ekslusif strukturalisme, khususnya di dalam alinea post-
Bloomfield di Amerika Serikat.
Para penyunting pasti tidak menciptakan e nihilo untuk
menulis kalimat tersebut: Godel sebelumnya telah menggarisba
wahi kenyataan bahwa mereka telah merasa melukiskan sesuatu
yang sesuai dengan prinsip PLU 75: "yang utama kita harus
menempatkan diri di lahan langue dan mengambilnya sebagai
628

norma dari segala pengungkapan langage yang lain". Tetapi


Saussure, seperti yang telah berkali-kali dijelaskan (supra Cata
lan 303) sama seKali tidak bermaksud melalui kalimat tersebut
mendekritkan suatu sikap ekslusif. Langue adalah norma dan
bentiik suatu materi yang sama sekali heterogen dan beraneka
rupa yang semuanya masuk dalam (PLU 70-72) bidang yang
legal dari penelaahan linguistik. Jadi langue adalah objek spesifik
linguistik, bukan dengan arti awam "Gegenstand" (Lommel),
"benda", melainkan dalam arti prinsip yang mengatur pengeta-
huan bahasa (lihat catatan 40). "Mari kita kembali pada kerang-
ka. Mari kita ambil kembali istilah ini: berbagai langue. Linguis
tik hanya mempelajari produk sosial, yaitu langue. Tetapi produk
tersebut diungkapkan oleh /cngwe yang bermacam-macam (jadi,
objek konkret produk sosial ini yang disimpan dalam otak setiap
orang). Tetapi apa yang nampak adalah berbagai langue. Kita
terlebih dahulu harus menelaah berbagai langue, kebhinekaan
langue. Dari pengamatan berbagai langue ini orang menyarikan
apa-apa yang sifatnya universal, sehingga ia akan berhadapan
dengan sekumpulan abstraksi: langue lah nantinya tempat kita
menelaah apa yang teramati di dalam berbagai langue. Pada ke-
sempatan ketiga kita tinggal mengurusi individunya. Pelaksanaan
memang penting, tetapi bukan yang pokok. Janganlah mencam-
purkan dalam penelaahan kita, gejala yang sifatnya umum dan
mekanisme pelaksanaan individual" (427-429 B Engler). Berba
gai langue, alat yang disusun oleh badan-badan sosial dengan
kesejarahan yang pasti, pada pengakuan segi-segi universal dari
teknik linguistik, yang ditelaah lebih jauh dari heterogenitas
"dangkal" dalam "satuan dalam"nya(PLU 186), pada penelaahan
"segi eksekutif (PLU 80), "segi pelaksanaan individual" yang
diperbaharui: inilah Umweg yang diusulkan Saussure bagi linguis
tik.
DAFTAR SINGKATAN PUSTAKA ACUAN

Singkatan-singkatan yang lain, khususnya singkatan karya


Saussure, lihat halaman 413, catatan 1. Dalam daftar ini,
singkatan mengacu pada majalah: AL: Acta Linguistica, BSL:
Bulletin de la Societi de Linguistique de Paris, CPS: Cahiers
Ferdinand de Saussure, IF: Indogermariische Forschungen, IPS:
Journal de psychologie normale et pathologique, KZ: Zeitschrift
fur vergleichende Sprachforschung, Lg: Language, Nph: Neophi-
lologus, PBB: Paul und Braune's Beitrdge ziir Geschichte der
deutschen Sprache und Literatur, TCLC: Travaux du Cercle
linguistique de Copenhague, TCLP: "Travaux du Cercle linguis
tique de Prague", VJa: Voprozy Jazykoznanija, VR: "Vox
Romanica", W: Word, ZRPh: Zeitschrift fiir romanische Philo-
logie.
KEPUSTAKAAN

Abaev, V.I.
1965 "Lingvisticeskij modernizm kak degumanizacija nauki o
jazyke", VJa. 14.3, 1965. 22-43.
Abbagnano, N.
1961 Dizionario difilosofia. Turino.
Abegg,E.
1923 "Wissen und Leben".(timbangan buku CLG)10 Agus-
tus 1923: 919-920.
Abercrombie,D.
1967 Elements ofGeneral Phonetics. Edimbourg.
Absil,Th.
1925 Sprache und Rede. Zu de Saussure's "Allgemeiner
Sprachwissenschaft", N.ph. 10, 100-108,186-193.
Ajuriaguerra, J. de
1906 "Speech Disorders in Childhood" di dalam Brain Func
tion. 117-130.
Allen, W.S.
1955 "Zero and Panmi'lndian Linguistics 16: 106-113.
Alonso, A.
1945 "Prdlogo a la edicion espahola" di dalam P. d. S., Curso
de lingiiistica general. Buenos Aires. 7-30.
Alonso,D.
1950 Poesia espahola. Ensayo de mitodos y limites estilisticos
(Edisi pertama). Madrid (Edisi kedua 1952).
Ammann, H.
1934 "Kritische Wiirdigung einiger Hauptgedanken von
F.d.S. Grundfragen der Sprachwissenschaft," di dalam
I.E. 52: 261-281.
631

1934 "Grundfragen der allgem. Sprachwiss6nschaft" (tim-


bangan buku F. d. 5.)di dalam I.F 52: 304.
Ammer,K.
1958 EinfuhrungindiejSprachwissenschaftyVlsiile.
Antal,L
1963 Questions of\Meaning, Den Haag.
Antinucci, F.
1970 "Introduzione" di dalam N. Chomsky, Le strutture delta
sintassi. Terjemahan dan pendahuluan oleh F.A. Bari.
VII-XXXI.
Apel,K.O.
1963 Die Idee der Sprache in der Tradition des Humanisrnus
von Dante bis Vico(Arsip F. Begriffgesch, VIII). Bonn.
Arens, H.
1955 Sprachwissenschaft. Der Gang ihrer Entwicklung von
der Antike bis zur Gegenwart. Monaco^
Baldinger, K.
1957 Die Semasiologie. Versuch eines Uberblicks ("Deutsche
Akad. der Wissens. zu Berlin. Vortrage und Schriften"
Heft61). Berlin.
Bally, Ch.
1908 di dalam Journal de Geneve 18 Juli(= F.d.S. 32-33).
1909 Traite de Stylistique Frangaise. 2jilid. Heidelber.
1913 di dalam La semaine litteraire, 1000. 1 Maret|(=F.d.5.
51-57).
1913 F. de Saussure et I'etat actuel des itudes linguistiques.
Legon d'ouverture du cours de linguistique generate, lue
le 23 octobre, Jenewa.(= Le Langage et la vie, edisi
ke 3. Jenewa. 1952.147-160).
1926 "Langue et Parole"!di dalam JPs 23: 693-701.
1933 lihat Mathesius.
1937 "Synchronie et diachronie", di dalam V R, 2: 345-352.
1939 "Qu'est-ce qu'un signe?" di dalam J Fs 36:161-174.
1940 "L'arbitraire du signe. Valeur et signification", di dalam
"Le Frangais Moderne", 8:193-206.
1940 "Sur la motivation des signes linguistiques" di dalam
B S.L 41: 75-88(= Linguistique genirale et linguistique
frangaise, edisi ke-2. Bern 1944:197-212).
632

1940 lihatV. Martin.


Baumer,I.
1968 "Corso di linguistica generale" (timbangan buku F. de
Saussure), pendahuluan, terjemahan dan komentar
oleh T. de Mauro, edisi pertama 1967, di dalam CFS
24:85-94.
Belardi, W.
1959 Elementi di Fonologia Generale. Roma.
Benveniste, E.
1939 "Nature du signe linguistique", di dalam AL ■ 1: 23-39
(= 1966. 49-55).
1954 "Tendances recentes en linguistique generale", di dalam
IPs. 47-51; 130-145(= 1966. 3-17).
1962 "Structure en linguistique", di dalam R. Bastide (ed)
Sens et Usage du Terme "Structure" dans les Sciences
Humaines et Sociales. Den Haag. (terjemahan Italia,
Usi e Significati del Termine "Struttura", Milano 1965.
27-35)(= 1966. 91-98).
1963 "Saussure apres un demi-siecle", di dalam CFS \ 20: 7-
21(= 1966, 32-45).
1964 "Documents pour I'histoire de qlielques notions sSus-
suriennes", dikumpulkan dan disajikan oleh E.B. di
dalam C F5 21:131-135.
1964 = Saussure, Lettres 91,126,129-130.
1965 "Ferdinand de Saussure a I'ecole des Hautes Etudes", di
dalam Ecole Pratique des Hautes Etudes, IVe Section,
Annuaire 1964-1965. 21-34.
1966 Problimes de linguistique generale. Paris.
Birnbaum,H.
1957 "F.d.S. och den modema sprakvetenskapen. Till 100
arsjubileet av hans fodelse", di dalam Filol. meddelaride
f. Ryska inst. v. Stochholms hogskola, I: 7-10 (litogr.).
Bloomfield, L.
1922 "Langage" (timbangan buku Sapir) di dalam Classical
Weekly, 15: 142-143.
1924 timbangan buku CLG di dalam Modern Language
Journal, 8: 317-319(= CFS ■ 21, 1964. 133-135).
633

1926 "A set of|Postulates for the Sciences ofjLanguage', di


dalam Lg. 2:153-164.
1933 Language. New York.
Bolelli.T.
1949 Tra storia e linguaggio. Arona.
1965 Per una storia delta ricerca Unguistica. Napoli.
Bolinger, D.L.
1949 'The isign is not arbitrary", di dalam Boletm del Institute
Carey Cuervo. 5: 52-62.
Borgeaud, W., W.Brocker,J. Lohmann.
1942 "De la nature du signe", di dalam A L 3, 1942-43:
24-30.
Borgstrom, C.H.
1945 'The Technique of Linguistic Descriptions", di dalam
A,L 5,1945-49:1-14.
1963 Innfdring i Spregvidenskap, edisi ke 3. Oslo-Bergen-
Lund.
Bourdon. B.
1917 timbangan buku \CLG di dalam Revue Philosophique.
Januari. 90-96.
Breal,M.
1913 "Le Temps"25 Februari di dalam F.d.S. 49-50.
Bresson,F,
1963 "La signification" di dalam Preblemes de psychelinguis-
tique. Paris, halaman 9-35.
Brocker, W.
1943 "Uber die Prinxipien einer allgemeiner Grammatik", di
dalamt ZRPh 63: 367-383.
——,J.Lohmann.
1948 "Vom WesenDes sprachlichen Zeichens", di dalam
Lexis I: 24-43.
Brondal, V.
1943 "Linguistique structurale" di dalam Essais de linguistique
genirale. Kopenhagen.
Budagov,R.A.
1954 Iz isterii Jazykeznanija (Sessjur i sessjurianistve). Mos-
kow.
634

Buhler,K.
1933 "Die Axiomatik der Sprachwissenschaft" di dalam
Kantstudien 38:19-90.
1934 Sprachtheorie. Die Darstellungsfunktion der Sprache.
lena.
Burger, A. -
1955 "Phon6matique et diachronie. A propos de la palatalisa
tion des consonnes romanes" di dalam C F.S 13:19-33.
1961 "Significations et valeur du suffixe verbal fran§ais -e", di
dalam CF5 18:5-15.
Bumet,E.L.
1930 "S., F. de" di dalam Dictionnaire historique et biogra-
phique de la Siiisse. Neuchktel.6 jilid.
Buyssens, E.
1940-41 "La nature du signe linguistique", di dalam A L 2:
83-86.
1942 "Les six linguistiques de F. de S", di dalam Revue des
Langues Vivantes: 15-23, 46-55.
1949 "Mise au point de quelques notions fondamentales de la
phonologie", di dalam C F 518? 37-60.
1952 "Dogme ou libre examen?", di dalam C F S. 10: 47-50.
I960 "Le structuralisme et I'arbitraire du signe" di dalam
Omagiu lui At. Graur: Studii si Cercet&ri Lingvistice 11:
403-416.
1960 "Le signe linguistique" di dalam Revue beige de philo-
logie et d'histoire 38: 705-717.
1961 "Origine de la linguistique de Saussure", di dalam C F S
18:17-33.
Carrol,J.B.
1953 The Study of Language. A Survey of Linguistics and
Related Disciplines in America. Cambridge, Mass.
Carterette, E.C.(ed.)
1966 Brain Function HI: Speech, Language and Communica
tion. Los Angeles.
Cassirer, E.
1945 "Structuralism in Modern Linguistics", di dalam W 1:
99-120.
635

Catala n Mene ndez Pidal, D.


1955 La escuela linguistica espanola y su concepcion del
lenguaje. Madrid.
Chomsky, N.
1963 "Formal Properties of Grammars", di dalam Handbook
of Math. Ling, (lihat Chomsky, Miller) halaman 323-
418.
1964 "Current Issues in Linguistic Theory", di dalam J.A.
Fodor, J.J. Katz (ed.) (The structure of Language.
Reading in Philosophy of Language. Englewood Cliffs.
N.J.
1965 Aspects ofa Theory ofSyntax. Cambridge, Mass.
1966 Cartesian Linguistics. A Chapter in History of Rationa
listic Thought. New York,(terjemahan bahasa Perancis,
Paris 1969).
1968 Language and Mind. New York, (terjemahan bahasa
Perancis, Paris 1970).
Chomsky, N., dan G.A. Miller.
1963 "Introduction to the Formal Analysis of Natural
Languages" di dalam R.D. Luce, R.R. Bush, E.
Galenter (ed.) Handbook of Mathematical Psychology,
2 jilid. New York. Jilid II, halaman 269-322.
Christensen, N.E.
1961 On the Nature of Meaning. A Philosophical Analysis.
Kopenhagen.
Cikobava, A.S.
1959 Problema jazyka kak predmeta jazykoznanija. Moskow.
1966 "K voprosu o putjah razvitija sovremennoj lingvis-
tiki", di dalam V Ja. 15: 4. 45-61.
Cohen, M
1956 Pour Une Sociologie du Langage. Paris.
Collinder, B.
1938 "Lautlehre und Phonologismus", di dalam Actes du 4e
Congr, int. des linguistes, 1936. Kopenhagen. 122-127.
1962 "Les origines du structuralisme", di dalam Acta Societatis
linguisticae Uppsaliensis 1,1-15.
Coseriu, E.
1958 Sincronia, diacronia e historia. Montevideo.
636

1962 Teoria del ienguaje y lingUistica general. Cinco estudios.


Madrid.
1967 "Georg von Gabelentz et la linguistique synchronique"
di dalam Word 23: 74-100.
Croce,B.
1946 "Sulla natura e I'ufficio della linguistica" di dalam
Quaderni della Critica 6: 33-37 (Letture di poeti, Bari,
1950, hal. 247-251).
David,J.E.
1913 Gazette de Lausanne, 25 Februari(= F.d.S. 35-39).
Delacroix, H.
1930 Le langage et la pensee. Edisi ke 2. Paris.
De Mauro,
1955 "Studi italiani di filosofia del linguaggio"(1945-1955) di
dalam Rass. difilosofia 4: 301-329.
1965 Introduzione alia semantica. Bari (edisi ke 4 1972),
terjemahan bahasa Perancis, Une Introduction a la
Semantique, Paris, 1969.
1967 "Eliminare il sense?", di dalam Lingua e stili 2:131-151.
Derossi,G.
1965 Segno e struttura linguistici nel pensiero di F.d.S.
Trieste.
1968 Timbangan buku F. de Saussure Corso di linguistica
generale, pendahuluan, terjemahan, dan komentar
oleh T. De Mauro, Bari 1967, di dalam II Pensiero 3:
327-330.
Devote, G.
1928 "Una scuola di linguistica generale" di dalam La Cultura
7: 241-249.
1951 Ifondamenti della storia linguistica. Florence.
Dieth,E.
1950 Vademekum der Phonetik. Phonetische Grundlagen fur
das wissenschaftliche und praktische Studium der
Sprachen, unter Mitwirkung von R. Brunner. Bern.
Dinneen, F.P.
1967 An Introduction to General Linguistics. New York.
Doroszewski, W.
1930 • "Langue" et "Parole" (satu halaman tentang sejarah
pemikiran umum dalam linguistik), di dalam Otbitka z
prac filolog. 45; 485-497.
1933 "Sociologie et linguistique (Durkheim et de Saussure)"
di dalam Actes du 2e Congres International de linguistes.
Jenewa 25-29 Agustus 1931. Paris. 146-148.
637

1933 "Quelques remarques sur les rapports de la sociologie et


de la linguistique: Durkheim et F. de Saussure." di
dalam m 30: 82-91.
1958 "Le Structuralisme linguistique et les etudes de geo-
graphie dialectale", di dalam Proceedings of VIII Int.
Congr. Ling. Oslo. 540 dan seterusnya.
Duchosal, H.
1950 "Les Genevois celebres. Notes et souvenirs sur un
linguiste de genie: F.d.S.", di dalam Tribune de Geneve
27 Desember.
Ege, N.
1949 "Le signe linguistique est arbitraire" di dalam TCLC.
5(= Recherches structurales 1949. Interventions dans le
debat glossematique publiees d ['occasion du cinquante-
naire de M. Louis Hjelmslev, Kopenhagen).
Eisler, R.
1927 Worterbuch der philosophischen Begriffe. Historisch-
quellenmdssig bearbeitet, edisi ke4. Berlin.
Ellis, J.
t.t Di dalam Zeichen und System I, 48.
Engler, R.
1959 "CLG. und SM.: eine kritische Ausgabe des 'Cours de
linguistique generale' di dalam Kratylos 4: 119-132.
1962 "Theorie et critique d'un principe saussurien: I'arbitraire
du signe", di dalam CPS 19: 5-66.
1964 "Complements a I'arbitraire", di dalam CPS 21: 25-32.
1966 "Remarques sur S., son systeme et sa terminologie", di
dalam CPS 22: 35-40.
1969 Lexique de la terminologie saussurienne. Utrecht-
Antwerpen.
1970 Timbangan buku F. de Saussure, Corso di linguistica
generale, pendahuluan, terjemahan, dan komentar oleh
T. De Mauro, edisi ke 1, Bari 1967, di dalam VR (cetak
lepas 19 halaman).
Favre, E.
1913 "Allocution de M.E.F. prononcee a la seance du 24
fevrier 1913", di dalam Bulletin de la Societe d'histoire et
d'archeologie de Geneve 3: 8, 342-346 = P.d.S. 27-34.
638

F.d.S. (= Ferdimand de Saussure (1857-1913), edisi yang tak


diperjualbelikan, edisi pertama, Jenewa, 1915. Edisi
kedua' 1962).
Firth, J.R.
1934 "The word 'phoneme" di dalam Le Maitre Phonetique,
April-Juni: 44-46.
1935 "The Technique of Semantics" di dalam Transaction of
the Philological Society. 36-72.
1956 "Linguistic Analysis and Translation" di dalam For
Roman Jakobson. Essays on the Occasion of his Sixtieth
Birthday. Den Haag. 133-139.
Fischer Jorgensen, E.
1952 "On the Definition of Phonemic Categories on a
distributional Basis" di dalam AL 7; 8-39.
Fleury, M.
1965 "Notes et documents sur F.d.S. (1880-1891)" di dalam
Ecole Pratique des Hautes Etudes, bagian ke 4.
Annuaire 1964-1965: 35-67.
Fonagy, I.
1956-57 "Uber die Eigenart des sprachlichen Zeichens (Be-
merkungen zu einer alten Streitfrage)", di dalam
Lingua 6: 67-88.
t.t Di dalam Zeichen und System I. 52.
Frei,H.
1929 La Grammaire desfautes. Paris-Jenewa-London.
1941 "Qu'est-ce qu'un dictionnaire de phrases" di dalam
CPS 1: 43-56.
1942 "Ramification des signes dans la memoire" di dalam
CFS 2: 15-27.
1948 "Note sur I'analyse des syntagmes" di dalam VP. 4: 65-70.
1945-49 "La linguistique saussurienne a Geneve depuis 1939",
di dalam AL 5:54-56.
1950 "Zero, vide et intermittent" di dalam Zeitschrift f.
Phonetiki: 161-191.
1950 "Saussure contre Saussure?" di dalam CFS 9: 28.
639

1950 Timbangan buku V. Brondal, Theorie des prepositions.


Introduction d une semantique rationnelle, terjemahan
oleh P. Naert, Kopenhagen di dalam CFS. 13. 1955:
45-50.
1952 "Langue, parole et differenciation" di dalam JPs. 45:
137-157.
1954 "Criteres de de limitation" di dalam W. 10:136-145.
1955 Timbangan buku Ullmann, Principles, di dalam CFS
13: 50-61.
1961 "Desaccords" di dalam CFS 18: 35-51.
Funke, O.
1924 "Innere Sprachform: cine Einfiihrung" di dalam A.
Marty's Sprachphilosophie. Reichenberg.
Gabelentz, G. von der.
1891 Die Sprachwissenschaft, ihre Aufgaben, Methoden und
bisherigen Ergebnisse. Leipzig.
Gardiner, A.H.
1932 The theory of Speech and Language edisi pertama.
London (dicetak kembali oleh Oxford 1951,1960).
1935 "The Distinction of Speech and Language" di dalam Atti
dels. Congr. Internaz. dilinguisti. Florence. 345-353.
1944 "De Saussure's Analysis of the signe linguistique" di
dalam AL 4: 107-110.
Garroni, E.
1966 Introduzione a II Circolo Linguistico di Praga, Le tesi
del'29. Milano. 11-18.
Garvin, P.L.
1944 "Referential Adjustement and Linguistic Structure", di
dalam AL 4:53-60.
Gauthiot, R.
1914 di dalam Bulletin de I'lAssociation des eleves et anciens
eleves de I'Ecole Pratique des Hautes Etudes. 49-55 (=
F.d.S. 87-95).
Gautier, L.
1916 "La linguistique generale de F.d.S." di dalam Gazette de
Lausanne 13 Agustus.
640

Gazdaru, D.
1967 "Correspondancia F.d.S.-G.I. Ascoli" di dalam Contro-
versias ^ documentos linguisticos. La Plata. 179: 184.
Geschiere, L.
1961 "Plaidoyer pour la langue" di dalam N.ph. 45: 21-37.
1962 "La 'langue': condamnation ou sursis?" di dalam N.ph.
46. 201-210.
Gill, A.
1933 "La distinction entre langue et parole en s6mantique
historique" di dalam Studies in Romance Philology and
French Literature presented to John Orr. Manchester.
90-101.
Gipper, H.
1963 Bausteine zur Sprachinhaltsforschung. Neuere Sprach-
betrachtung im Austausch mit Geistes- und Naturwis-
senschaft. Diisseldorf.
Glinz, H.
1947 Geschicte und Kritik der Lehre von den Satzgliedern in
der deutschen Grammatik. Bern.
Godel, R.
1947 "Ch. Bally" di dalam CFS 6: 68-72.
1953 Timbangan buku S. Ullmann Precis de semantique fran-
gaise di dalam CFS 11: 49-50.
1953 "La question des signes zero" di dalam CFS 11: 31-41.
1956 Timbangan buku A. Martinet \Economie des chang.
phonet. di dalam CFS 14: 56-59.
1958-59 "Nouveaux documents saussuriens; les cahiers E.
Constantin" di dalam CFS 16: 23-32.
1960 "Inventaire des manuscrits de F.d.S. remis a la biblio-
theque publ. et univ. de Geneve" di dalam CFS 17:
5-11.
1961 "L'ecole saussurienne de Geneve", di dalam Trends in
European and American Linguistics 1930-1960, oleh C.
Mohrmann, A. Sommerfelt, J. Whatmough (ed.) Utre-
cht-Anvers. 294-299.
1966 "De la theorie du signe aux termes du systeme" di dalam
CFS 22: 53-68.
641

1967 "F.d.S. et les debuts de la linguistique moderne" di


dalam Semaine d'dtudes Genive 1967. Aarau. 115-124.
1970 "Theorie de la phrase" di dalam La sintassi. Atti del III
convegno della Societd di Linguistica Italiana. Roma. 11-
41. Godel, R.(ed)
1969 A Geneva School Reader in Linguistics. Bloomington.
Gombocz,Z.
|925 Timbangan buku F.d.S. CLG di dalam Magyar
A(ye/v 21: 41-43.
Grammont, M.
1917 Timbangan buku CLG di dalam Revue des languef
romanes 59: 402-410.
1933 Traiti de phonetique edisi pertama. Paris. Edisi kedua
1939.
Graur, Al.
di dalam Zeichen und System. I, 59.
Gregoire, A.
1923 Timbangan buku CLG ^ di dalam Revue beige de
philol. et d'hist. 107-108.
Greimas, A.J.
1956 "L'actualite du saussurisme" di dalam Le Frangais
Moi/eme 24:191-203.
Guberina,P.
1961 "La methode audio-visuelle structuro-globale et ses
implications dans I'enseignement de la phonetique" di
dalam Studia romanica etanglica Zagrabiensia 11: 3-20.
Guillaume, G.
1952 "La langue est-elle ou n'est-elle pas un systeme?" di
dalam Cahiers de linguistique de 1'University de Quibec
I, Quebec.
Guiraud,P.
1959 Problemes et methodes de la statistique. Dordrecht.
1966 La Semantica. Milano.(diterjemahkan ke dalam bahasa
Italia dari La Simantique,Paris 1955).
Giintert, H.
1925 Grundfragen der Sprachwissenschaft. Leipzig.
642

Hass, W.
1957 "Zero in Linguistic Description" di dalam Studies in
Linguistic Analysis, Oxford. 33-53.
Harris, Z.S.
1941 Timbangan buku Trubetzkoy di dalam Lg. 17: 345-349.
Hartmann, P.
1959 Die Sprache als Form. Den Haag.
1963 Theorie der Grammatik. Den Haag.
Hattori, Sh.
1957 "Saussure no langue to Gengokateisetsu" di dalam
Gengo Kenkyu 32; 1-42.
Haudricourt, A.G. dan A.G. Juilland.
1949 Essai pour une histoire structurale du phonetisme fran-
gais. Paris, (dengan pendahuluan oleh A. Martinet,
halaman ix-xiv).
Havet, L.
1908 Timbangan buku Melanges de linguistique offerts d
M.F.d.S. di dalam Journal de Geneve, 16-23 Novem
ber.(lihat Favre 1913).
Heilmann, L.
1966 "Introduzione" di dalam Jakobson VII-XXV.
Heinimann,S.
1959 "F. de Saussure Cours de ling, gen.in neuer Sicht" di
dalam ZRPh 75: 132-137
Herdan, G.
1956 Language as Choice and Change. Groningen.
1966 The advanced Theory of Language as Choice and
Change. Berlin.
Herman,H.
1931 Timbangan buku F.d.S. Grundfragen der Sprachwis-
senschaft, terjemahan oleh H. Lommel di dalam
Philologische Wochenschrift 51: 1388-1390.
Herman, K.
1936-38 Die Anfdnge der menschlichen Sprache, 2 jilid.
Praha.
Hintze, F.
1949 "Zum Verhaltnis sprachlichen Form zur Substanz" di
dalam Studia Linguistica 3: 86-106.
643

Hjelmslev, L.
1928 Principes de grammaire generale.Kopcnhagen.
1942 "Langue et Parole" di dalam CPS 2: 29-44 (=
Hjelmslev, 1959; 69-81).
1944 Timbangan buku B. Collinder Introduktion i sprakve-
tenskapen. Stockholm. 1941. di dalam AL 4: 140-141.
1961 Prolegomena to a Theory of Language, terjemahan dart
bahasa Denmark ("Omkring sprogteoriens grundlaeg-
gelse", di dalam Festskrift udgivet af Kobenhavns Uni-
versitet i anledning af Universitets Aarsfest, November
1943, 3-133 edisi pertama dalam bahasa Inggris terjema
han oleh F.J. Whitfield, Memoir 7 dari "Internal.
Journal of American Linguistics", Baltimore, 1953) edisi
kedua, Madison.
1947 "Structural Analysis of Language" di dalam Studia
Linguistica I: 69-78(= Hjelmslev 1959, 27-35).
1951 "Metod strukturnogo analiza v lingvistike" di dalam
AL 6: 57-67.
1954 "La stratification du langage" di dalam W. 10: 163-188.
1959 Essais linguistiques(TCLC 12). Kopenhagen.
Hockett, Ch. F.
1952 Timbangan buku TCLC 5, 1949. di dalam Inter
national Journal of American Linguistics 13: 86-99.
lordan,1.
1962 "Einfiihrung in die Geschichte und Methoden der
romanischer Sprachwissenschaft" di dalam deutsche
iibertragen, ergdnzt und teilweise neubearbeitet dari W.
Bahner. Berlin.
Ipsen,G.
1930 Sprachphilosophie der Gegenwart. BerWn.
Tzui,H.
1963 "Recent Trends in Japanese Linguistics" di dalam Trends
in Modern Linguistics, 38-55.
Jaberg, K.
1937 "Ferdinand de Saussure's Vorlesungen uber allgemeine
Sprachwissenschaft (di dalam Sonntagsblatt des Bundes
644

17-12-1916. 790-795, 24-12-1916. 806-810 =)Sprachwis-


senschaftliche Forschungen und Erlebnisse", edisi perta-
ma. Paris-Zurich-Leipzig.
1965 Sprachwissenschaftliche Forschungen und Erlebnisse,
edisi kedua,2jilid. Zurich.
Jakobson,R.
1928 "O hlaskoslovnem zakonu a teleologickem hlaskoslovi"
di dalam casopis pro moderni filoligii 14; 183-184 =
Jakobson, 1962. 1-2.
1928 "Ouelles sont les methodes les mieux appropriees a un
expose complet et pratique de la grammaire d'une
langue quelconque?" di dalam Premier Congris Interna
tional de Linguistes, -Propositions. Nimegue. 36-39 =
Jakobson,1962.3-6.
1929 "Remarques sur revolution phonologique du russe
comparee a celle des autres langues slaves" di dalam
TCLP2 - Jakobson, 1962. 7-116.
1931 "Prinzipien der historischen Phonologie" di dalam
TCLP 4: 2Al-2(fl (terjemahan dan perbaikan dalam
Trubetzkoy, 1949:315-336) = Jakobson, 1962. 202-220.
1933 "La scuola linguistica di Praga" di dalam La Cultura 12:
633-641.
1938 "Sur la theorie des affinites phonologiques entre les
langues" di dalam Actes du 4e Congres international de
linguistes tenu a Copenhague du 27 aout au ler septem-
bre 1936. Kopenhagen, 48-58 = Trubetzkoy, 1949. 35-
165 = Jakobson, 1962. 234-246.
1939 "Signe zero" di dalam Melanges Ch. Bally. Jenewa. 143-
152.
1949 "Notes autobiographiques de N.S. Trubetzkoy com-
muniquees par R. J". di dalam Trubetzkoy. xv-xxix.
1953 An Apparaisal of Anthropology Today disunting oleh
S. Tax, L.C. Eiseley, T. Rouse, C.F. Voegelin. Chicago.
310-311.
1956 "Two Aspects of Language and Two Types of Aphasic
Disturbances" di dalam R. Jakobson, M. Halle, Funda
mentals of Language. Den Haag. 53-82.
645

1956 "Serge Karcevski" di dalam CFS 14: 9-13.


1962 Selected Writings I: Phonological Studies. Den Haag.
1966 "A la recherche de I'essence du langage" di dalam
Probleme du Langage. Paris. 22-38.
1966 Saggi di linguistica generale. Milano.
1967 "L'importanza di Kruszewski per lo sviluppo della
linguistica generale" di dalam Richerche slavistiche
(1965) 1-20.
Jakobson, R., S. Karcevski], N.S.'Trubetzkoy.
1929 di dalam Actes du Premier congrds international de
linguistes a La Haye. Leiden.(Mei)33-36.
Jespersen, O.
1917 Timbangan buku CLG di dalam Nordisk Tidskrift for
Filologi 6: 37-41.(= Jespersen, 1933, 108-115).
1922 Language, Its Nature, Development and Origin, edisi
pertama. London,dicetak kembali 1949.
1925 Mankind, Nation and Individualfrom a Linguistic point
of view. Edisi pertama. Oslo (dicetak kembali di
London 1946).
1927 "L'individu et la communaute linguistique" di dalam
JPs: 573 dan seterusnya.(= Jespersen, 1933. 119-133).
1933 Linguistica. Selected Papers in English, French, and
German. London,
t.t. Selected Writings. London-Tokyo.
Jones, D.
1950 The Phoneme. Its Nature and Use. Cambridge.
Junker, H.F.J.
1924 "Die indogermanische und die allgemeine Sprachwis-
senschaft", di dalam Stand und Aufgaben der Sprachwis-
senschaft. Festschrift fiir Wilhelm Streitberg. Heidel
berg. 1-64.
Kainz, F.
1941 Psychologic der Sprache, 5 Jilid: 1. Grundlagen der
allgemeinen Sprachpsychologie. Stuttgart.; III. Phy-
siologische Psychologic der Sprachvorgdnge. Stuttgart.
1954; V, 1. Psychologic der Einzelsprachen, Stuttgart,
1965.
646

Kantor, J.R.
1952 An Objective Psychology of Grammar. Bloomington
(Ind). •
Kobalava, I.
1964 "Ponologiis ist'oriidan (Ponologiis sak'itxebi P. de-
Sosiurtan), di dalam Iberiul-k' avk'asiuri enatmecniere-
ba 14: 89-99.
Kolmar-Kulleschitz, F.
1.960 '1st das Phonem ein Zeichen?" (Stratifizierung der
Bedeutung)di dalam Phonetica 5: 65-75.
1961 "Einige Bemerkungen zum de Saussureschen Zeichen-
schema (Stratifizierung der Bedeutung)" di dalam Pho
netica 6: \37-161.
Konnek,J.M.
1936 "Einige Betraehtungen iiber Sprache und Sprechen" di
dalam TCLP 6: 23-29.
Kronasser, H.
1952 Handbuch der Semasiologie. Kurze Einfuhrung in die
Geschichte, Problematik und Terminologie der Be-
deutungslehre. Heidelberg.
Kukenheim, L.
1962 Esquisse historique de la linguistique frangaise et de ses
rapports avec la linguistique generale. Leiden.
Laziczius, J. von
1939 "Das sogennannte dritte Axiom der Sprachwissenschaft"
di dalam AL 1: 162-167.
1939 "Die Scheidung langue-parole in der Lautforschung" di
dalam Proceedings of the 2nd Intern. Congr. Phonetic
Sciences 1938. GdiUd. 13-23.
1945 "La definition du mot" di dalam CPS 5: 32-37.
1961 Lehrbuch der Phonetik. Berlin.
Leontev, A.A.
1961 "LA. Boduen de Kurtene i peterburgskaja skola russkoj
lingvistiki" di dalam VJa. 10: 4, 112-124.
Lepschy, G.
1961 "Aspetti teorici di alcune correnti della glottologia
contemporanea" di dalam Ann. Scuola Norm. Sup. di
Pisa 30:187-267,34:1965. 221-295.
647

1962 "Ancora su I'arbitraire du signe" di dalaiti Ann. Scupla


Norma. Sup di Pisa 31: 65-102.
1965 "Sintagmatice ellinearia" di dalam S.S. linguistici 5: 21-
36.
1966 La linguistica strutturale. Turino.(perbaikan dari Leps-
chy, 1961; Lepschy, 1965. 221 dan seterusnya), ter-
jemahan bahasa Perancis, La linguistique structurale.
Paris, 1967.
1970 A Survey of Structural Linguistics. London,(diperbaiki
oleh Lepschy, 1966).
Lerch,E.
1939 "Vom Wesen des sprachlichen Zeichens oder Symbols"
di dalam AL/: 145-161. .
Leroy, M.
1953 "Benedetto Croce et les etudes linguistiques" di dalam
Revue internat. de philosophie 7: 342-362.
1965 Profdo storico delta linguistica moderna, terjemahan
dalam bahasa Italia dari A. Davies Morpurgo, dengan
pehambahan dan koreksi (Les grands courants de la
linguistique moderne, Paris-Brussels, 1963). Bari.
Lohmann, J.
1942-43 "Karl Biihlers Drittes Axiom" di dalam AL 3: 5-16. .
Lommel, H.
1921 Timbangan buku CLG dalam Gotting. Gelehrt.
Anzeig. 232-241.
1922 Timbangan buku CLG dalam Philologische Wochen-
schrift 42: 252-257.
1924 Timbangan buku CLG dalam Deutsche Literaturzeit
45: 2040-46.
Lotz, J.
1954 "Plan and Publikation of Noreen's jVart Spi'Sk" di
dalam Studia Linguistica 8: 82-91.
Lucidi, M.
1950 "L'equivoco de I'arbitraire du signe L'iposema" di dalam
Cultura neolatina 10: 185-208.(= Lucidi, 1966. 47-76).
1966 Saggi linguistici. Napoli.
648

1944 "Die Quantitat als phonetisch-phonologischer Begriff"


di dalam Eine allgemeinnnsprachliche Stuide, Lund-
Leipzig.
Malmberg, B.
1945 "Systeme et methode. Trois etudes de linguistique
generate" di dalam Vetenskaps-societeten i Lund.
Arsbok.
1947 "Till . gan om spra kets systemkaraktar, di dalam
Vetenskaps-societeten i Lund.\Arsbok. 147-175
1954 "F. de Saussure et la phonetique moderne" di dalam
CPS 12:9-28
1963 Structural Linguistics and Human Communication.
Berlin -Gottingen-Heidelberg.
1966 Les nouvelles tendances de la linguistique. Paris.
1967 "Synchronie et diachronie", makalah pada Kongres
Internasional para Linguis ke 10 (28 Agustus - 2
September 1967), Bukares.
Mandelbrot, B.
1954 "Structure formelle des textes et communication" di
dalam Word 10: 1-27.
Marouzeau, J.
1922 Timbangan buku CLG^ di dalam Revue des etudes
latines I: 61-62.
Martin, V., Ch. Bally.
1947 "Albert Sechehaye" di dalam CPS 6: 63-67.
Martinet, A.
1949 "La double articulation linguistique" di dalam TCLC
5: 30^37.
1953 "Structural linguistics" di dalam Anthropology Today^
An Encyclopedic Inventory. Chicago. 574-586.
1955 Economie des changements phonHiques. Traite de pho-
nologie diachronigue. Bern.
1957 "Arbitraire liguistique et double articulation" di dalam
CF5 15: 105-116. •
1966 Elementi di linguistica generale (terjemahan dari Ele
ments de linguistique generale, Paris 1960) edisi perta-
ma, Bari. Edisi kedua 1967.
649

Mathesius, V.
1933 "La place de la linguistique fonctionnelle et structurale
dans le developpement general des etudes linguistiques"
di dalam Actes du T congres internat. de linguistes.
Jenewa 24-29 Agustus 1931, Paris. 145-146.
Meier, G.F.
1952-53 "Ein Beitrag zur Erforschung der Zusammenhange
von Sprache und Denken und der Entwicklungsge-
setzmassigkeiten der Sprachen" di dalam Wissen-
schaftliche Zeitschrift der Kqrl-Marx-Universitdt
Leipzig. Gesellschafts- und sprachwissenschaftliche
Reihe 4-5: 517 dan seterusnya.
Meillet, A.
1913 "F.d.S," di dalam BSL 18: 61. CLXI-CXXXV (=
Linguistique historique et ling, generate, II. Paris, 1936.
174-184) = F.d.S. 69-85.
1916 Timbangan buku CLG, di dalam BSL 20: 64. 32-
36.
1917 Timbangan buku CLG di dalam Revue critique de
philologie et d'histoire 83. 27 Januari: 49-51.
1937 Introduction a I'etude comparative des langues indo-
europeennes (edisi pertama. Paris, 1903). Edisi kedela-
pan, Paris.
Menendez Pidal, R.
1956 Origines del espanol. Edisi keempat. Madrid.
Merleau-Ponty, M.
1960 Signes. Paris.
MiclSu, P.
"Le signe dans les fonctions du langage" di dalam
Zeichen und System, III: 174-194.
Mikus, F.
1963 "Edward Sapir et la syntagmatique" di dalam CFS
11: 11-30.
Moller, K.
1949 "Contribution to the Discussion concerning Langue and
Parole" di dalam TCLC 5: 87-94.
650

Mounin, G.
1963 Les problimes theoriques de la traduction. Paris.
1966 "La notion de systeme chez Antoine Meillet" di dalam
La Linguistique 2: 1, 17-29.
1967 Histoire de la linguistique des origines au XX" siecle.
Paris.
1968 Saussure ou le structuralisme sans le savoir. Paris.
Mourelle-Lema, M.
1969 "The Geneva School of Linguistics: a Biobibliographical
Record" di dalam Godel, 1-25.
Muret, E.
1913 Journal de Geneve, 26 Februari = F.d.S. 41-48.
Mulder, J.W.F.
1968 Sets and relations in phonology. An Axiomatic approach
to the description of speech. Oxford.
Naert, P.
1947 "Arbitraire et necessaire en linguistique" di dalam
Studia Linguistica I: 5-10.
Nehring, A.
1950 "The problem of linguistic sign" di dalam AL 6: 1-16.
Nencioni, G.
1946 Idealismo e realismo nella scienza del linguaggio. Flo
rence.

Niedermann, M.
1916 Timbangan buku CLG di dalam Zurcher Zeiting.
Agustus.
Niisse, H.
1962 Die Sprachtheorie Friedrich Schlegels. Heidelberg.
Ogden, C.E. dan LA. Richards.
1923 The Meaning of Meaning. A Study of Influence of
Language upon Thought and of Science of Symbolism.
Edisi pertama. London, (kutipan-kutipan berasal dari
edisi ke 10, 1949; terjemahan ke dalam bahasa Italia
oleh L. Pavolini, Milano, 1966).
Oesterreich, T.K.
1924 Die deutsche Philosophie des XIX Jahrhunderts und der
Gegenwart(Friedrich Uberwegs Grundiss der Gesch. der
651

P/1//05., Ill T edisi ke 12). Berlin.


Oltramare, A.
1916 "La resurrection d'un genie" di dalam La semaine
litteraire, 27 Mei. 256-259.
Ombredane, A.
1951 L'aphasle et I'ilaboration de la pensee explicite. Paris.
Osgood, Ch.E.
t.t. "Contextual Control in Sentence Understanding and
Creating" di dalam Brain Function, 201-229.
Otto, E.
1934 I "Grundfragen der Linguistik" di dalam IF 52: 177-195.
1954 Stand und Aufgaben der allgemeinen Sprachwissen-
schaft. Berlin.
Pagliaro, A.
1930 Sommario di linguistica arioeuropea. Roma.
1952 II segno vivente. Saggi sulla lingua e altri simboli.
Napoli.
1957 La parola e I'immagine. Napoli.
Palmer, H.
1924 Memorandum on Problems of English Teaching. Tokyo.
Palmer, L.R.
1954 The Latin Language. London.
Paul, H.
1920 Prinzipien der Sprachgeschichte. Edisi pertama. Halle
1880. (kutipan-kutipan berasal dari edisi kelima).
Penttila, A.
1938 "Einige Bemerkungen iiber die Unterscheidung von
Sprache und Rede" di dalam Actes du 4" Congrts
international de linguistes. Kopenhagen. 157-163.
Perrot, J.
1953 La linguistique. Paris.
Pichon, E.
1937 "La linguistique en France. Probldmes et m^thodes." di
idalam Jps 34: 25-48. .
1940-41 "Sur le signe linguistique. Complement a Particle de
^ M. Benveniste" di dalam AL 2: 51-52.
652

Pipping, R.
1946 "Om nagra grundtankar i F.d.S. foreslasningar over
allman sprakvetenskap" di dalam Vetenskaps-societeten i
Lund. Arsbok. 17-28.
Pisani, V.
1959 Saggi di linguistica storica. Scritti scelti. Turino.
1966 "Profile storico della linguistica moderna" di dalam
Paideia 21: 297-308.
Porzig, W.
1950 Das Wunder der Sprache. Probleme, Methoden and
Ergebnisse der modernen Sprachwissenschaft. Bern.
Pos, H.J.
1939 "Phenomenologie et linguistique" di dalam Revue Inter
nationale de philosophie I: 354-365.
Pospelov, S.
1957 "O lingvistideskom nasledstve S. Karcevskogo" di dalam
VJa. 6: 4. 46-56.
Prieto, L.
1964 Principes de noologie. Den Haag.
Puebla de Chaves, M.V.A.
1948 Problemas de fonetica experimental, La Plata.
Quadri, B.
1952 Aufgaben und Methoden der onomasiologischen For-
schung. Fine entwicklungsgeschichtliche Darstellung.
Bern.
Redard, G.
1957 "F.d.S. Pionnier de la linguistique" di dalam Journal de
Geneve, 23-24 November.
Regard, P.F.
1919 Contribution a I'etude des prepositions dans la langue du
Nouveau Testament. Paris.
Regnell, H.
1958 Semantik. Filosofiska och sprakvetenskapliga grundfrd-
gor inom betydelseldran. Stockholm.
Rensch, R.H.
1966 "F.d.S. und Georg von der Gabelentz" di dalam
Phonetica 15: 32-41.
653

Robins, R.H.
1951 Ancient and Medieval Grammatical Theory in Europe,
with Particular Reference to Modern Linguistic Doctrine.
London.
1963 "General Linguistics in Great-Britain, 1930-1960" di
dalam Trends in Modern Ling. 11-37.
RoggCT, K.
1941 "Kritischer Versuch uber de Saussure's Cours gendral"
di dalam ZRP/i. 61: 161-224.
1941 Timbangan buku Sechehaye, 1940, di dalam ZRPh
62: 98-106.
1954 "Langue-parole und die Aktualisierung" di dalam
ZRPh 70: 341-375.
Ronjat, J.
1916 "Le Cours de linguistique de F.d.S." di dalam Journal de
Gendve, 26 Juni.
Rosetti, A.
1947 Le Mot. Esquisse d'une theorie genirale. Edisi kedua.
Kopenhagen-Bukarest.
1959 Sur la theorie de la syllabe. Den Haag.
Rosiello, L.
1962 La Semantica moderna e I'opera di S. Ullmanti, lihat
Ullmann.

1966 Struttura, uso e funzioni della lingua. Florensia.


Rossi, A.
1968 "Gli anagrammi di Saussure: Poliziano, Bach e Pascoli"
di dalam Paragone-Letteratura 19: 113-127.
Rudhardt, J.
1964 "Reflexions philosophiques k I'occasion d'un exercice de
traduction" di dalam CPS 21: 55-85.
Ruwet, N.
1967 Introduction a la grammaire genirative. Paris.
Scerba, L.V.
1912 Russkie glasnie v kadestvennom i kolidesivennom otnoSe-
nii. Petersburg.
1957 "LA. Boduen de Courtenay i jego znadenievnauke o
654

jazyke" di dalam Izbrannie raboty po russkomu jazyku.


Moskow. 85-96.
Schaff, A.
1964 Sprache und Erkenntnis(terjemahan dari Jezik a pozna-
nie. Warsawa, 1964). Wina.
1965 Introduzione alia semantica (terjamahan dari Wstep do
semantyki, Warsawa, 1960). Roma.
Schmidt, W.
1963 Lexikalische und aktufille Bedeutung. Ein Beitrag zur
Theorie der Wortbedeutung. Berlin.
Schogt, H.G.
1966 "Baudouin de Courtenay and Phonological Analysis" di
dalam La Linguistique 2: 1, 15-29.
Schuchardt, H.
1917 Timbangan buku CLG, Literaturblatt fiir germanische
und romanische Philologie 38: 1-9(= Hugo Schuchardt-
Brevier, disunting oleh L. Spitzer, edisi pertama. Halle,
1922. Edisi kedua, 1928, halaman 135,318-320,329-330,
408-409, 411-412, 418, 420, 434).
Sechehaye, A.
1908 Programme et mithodes de la linguistique thiorique.
Psychologie du langage. Paris-Leipzig-Jenewa.
1917 "Les problemes de la langue k la lumiere d'une th6orie
nouvelle" di dalam Rev. Philos. 84: 1-30.
1927 "L'ecole genevoise de linguistique generate" di dalam
/F 4: 217-241.
1930 "Les mirages linguistiques" di dalam JPs 27: 337-366.
1933 "La pensee et la langue ou comment concevoir le
rapport organique de I'individuel et du social dans le
langage?" di dalam JPs 30: 57-81.
1939 "Evolution organique et Evolution contingentielle" di
dalam Melanges Bally. Jenewa: 19 dan seterusnya.
1940 "Les trois linguistiques saussuriennes" di dalam VR 5:
1-48.
1940-41 "Pour I'arbitraire du signe" di dalam AL 2: 165-169.
1942 "De la definition du phoneme a la definition de I'entite
de langue" di dalam CPS 2: 45-55.
655

1944 Timbangan buku Buyssens 1942 di dalam CFS 4: 65-


69.
Segre, C.
1963 "Nota introduttiva" di dalam Ch. Bally, Linguistica
generate e linguistica francese, terjemahan dart bahasa
Perancis.' Milano. 11-35.
Siertsema, B.
1955 A Study of Glossematics. Critical Survey of its Funda
mental Concepts. Den Haag.
Skalidka, V.
1948 'The Need for a Linguistics of la parole" di dalam
Recueil linguistique de Brastislava I: 21-38.
Slusareva, N.
1963 "Quelques considerations des linguistes sovietiques k
propos des idees de F. de Saussure" di dalam CFS 20:
23-46.
Sollberger, E.
1953 "Note sur I'unite linguistique" di dalam CFS 11: 45-46.
Sommerfelt, A.
1938 "Points de vue diachronique, synchronique et panchro-
nique en linguistique generale" di dalam Norsk Tids-
skrift for Sprogvidenskap 9: 240-249 = Sommerfelt
1962. 59-65.
1952 "Tendances actuelles de la linguistique gen^rale" di
dalam Diogene 1: 77-84.
1962 Diachronic and Synchronic Aspects of Language. Den
, Haag.
Spang-Hanssen, H.
1954 "Recent Theories on the Nature of the Language Sign"
di dalam rCLC 9: 95-99.
Spence N.C.W.
1957 "A Hardy Perennial: the Problem of la langue and la
parole" di dalam Archivium linguisticum 9: 1-27.
1962 "Langue et parole yet again" di dalam NFh 46: 192-
201.
Springer, O.
1938 "Probleme der Bedeutungslehre" di dalam The Germa-
656

nic Review 13: 157-174.


Starobinski, J.
1964 "Les ariagrammes de Ferdinand de Saussure, textes
presentes par J. S., di dalam Mercure de France 350,
Februari. 243-262.
1967 "Les mots sous les mots" textes inedits des cahiers
d'anagrammes de Ferdinand de Saussure" di dalam To
Honor Roman Jakobson. Essays on the Occasion of his
Seventieth Birthday. Den Haag-Paris, 1906-1917.
1969 "Le nom cache. Textes inedits extraits des cahiers
d'anagrammes de F.d.S." di dalam L'analisi del
linguaggio teologico: it nome di Dio. Roma, 55-70.
Stelling-Michaud, S.
1956 "Notice biographique" (Serge Karcevskij) di dalam
CFS 14: 5-7.
Slreitberg, W.
1914(1915) "F.d.S." di dalam Indogermanisches Jahrbuch 2:
203-213.
Sturtevant, E.H.
1947 An Introduction to Linguistic Science. New Havetv.
Tagliavini, C.
1963 Introduzione alia glottologia, 2 jilid. Bologna.
Terracini, B.A.
1919 Timbangan buku CLG di dalam Bollettino di filofogia
classica 25: 73-78.
1929 "Paleontologia ascoliana e linguistica storica" di dalam
Silloge linguistica dedicata alia memoria di G.I. Ascoli.
Turino. 649-655.
1942 Timbangan buku Trubetzkoy di dalam Revista de
filologia hispanica 4: 173-180.
1949 Guida allo studio della linguistica .storica. Roma.
1957 Pagine e appunti di linguistica storica. Florensia.
1963 Lingua libera et libertd linguistica. Introduzione alia
linguistica storica. Turino.
Tesniere, L.
1939 "Phonologic et melange de langues" di dalam TCLF
8: 183-194.
657

Tezisy dokladov na konferencii "jazyk i re^. Moskow.


"Theses. Melanges linguistiques dedies au premier congres des
philologues slaves," di dalam TCLP 1. 1929. 5-29.
Titone, R.
1966 Le lingue estere. Metodologia didattica. Kerja sama
dengan J.B. Carrol. Zurieh.
1934 "Deutsche Bedeutungforschung" di dalam Ger-
rnanische Philologie. Festschrift fiir O. Behagel. Heidel
berg. 174-200.
Trnka, B.
1934 "Synchronie a diachronie v strukturalnim jazykozpytu"
di dalam Casopis pfo moderni filologii 20: 62-64.
Trubetzkoy, N.S. (Trubeckoj)
1933 "La Phonologie actuelle" di dalam JPs 30: 227-246.
1939 Grundziige der Phonologie(= TCLP 7),. Praha.
1949 Principes de phonologie, terjemahan dari Trubetzkoy
1939 oleh J. Cantineau, edisi pertama Paris, (edisi
kedua 1964), dengan catatan otobiografi oleh R. Jakob-
son, xv-xxix.
Uhlenbeck, C.C.
1923 Timbangan buku CLG di dalam Museum, Juli. kol.
257.
Ullmann, S.
1949 "Word-form and Word-Meaning" di dalam Archivum
linguisticum 1: 126-139.
1951 The Principles of Semantics. Edisi pertama. Glasgow-
Oxford. Edisi kedua (dengan tambahan) 1959.
1952 Semantics: An Introduction to the Science of Meaning.
Oxford, (terjemahan Italia, Bologna, 1966, dengan
pendahuluan oleh L. Rosiello, vii-xlvi).
1953 "Deseriptive Semantics and Linguistic Typology" di
dalam W. 9:225-240.
Urban, W.M.
1952 Lenguaje y realidad. La filosofia del lenguaje y los
principios del simbolismo (terjemahan dari bahasa
Inggris, Language and Reality, London, 1939). Mexico.
658

Vachek, J.
1939 "Zum Problem der geschriebenen Sprache" di dalam
rCLP 8: 94-104
Val'in, R
1964 La methode comparative en linguistique historlque et en
psychomecanique du langage. Quebec.
Vallini, C.
1969 "Problemi di metodo in Ferdinand de Saussure in-
doeuropeista" di dalam Studi e saggi linguistici 9 (diam-
bil mulai dari 84 halaman).
Valois, N.
1913 "F.d.S." di dalam Timbangan buku Academie des in
scriptions 68-70 = Saussure Lettres 126-128.
Vasiliu, E.
1960 "Langue, parole, stratification" di dalam Revue de
linguistique 5; 27-32.
Vendryes, J.
1921 "Le caractere social du langage et la doctrine de F.d.S."
di dalam JPs 18: 617-624 = Vendryes, 1952: 18-25.
1921 Le langage. Introduction linguistique a I'histoire. Edisi
pertama. Paris. Edisi kelima, Paris, 1950.
1933 "§ur les taches de la linguistique statique" di dalam./Ps
30: 172-184 = Vendryes, 1952. 26-38.
1952 "Sur la denomination" di dalam BSL 48: 1-13.
1952 Choix d'etudes linguistiques et celtiques. Paris.
Verhaar, J.V.M.
1964 "Speech, Language, and Inner Form (Some Linguistic
Remarks on Thought)" di dalam Proceedings of the 9th
Internat. Congress of Linguists. Cambridge, Mass.,
1962, Den Haag. 748-755.
Verburg, P.A.
1952 Taal en funktionaliteit. Wageningen.
1961 "Het schaakspel-model bij F.d.S. en bij Wittgenstein" di
dalam Wijsgering perspectief op maatschappij en weten-
schap. Amsterdam. 227-234.
Vidos, B.E.
1959 Manuale di linguistica romanza. Terjemahan dari baha-
659

sa Belanda. Florence.
Vinay, J.P. daa J. Darbelenet.
1958 Stylistique comparee du francais et de I'anglais. Paris.
Volkov, A.G.
1964 "O teoreticesckich osnovanijaeh dichotomiceskoj gipo-
tezy jazyka i reel F. de Sosjura" di dalam Vestnik
Moskovskoga Universiteta VII, 19: 2,40-53.
Volosinov, V.N.
1930 Marksism i filosofija jazyka. Leningrad.
Vvdenskij, B.N.
1933 "F.d.S. i ego-mesto v lingvistike" di dalam F.d.S. Kurs
obscej lingvistiki, Moskow. 5-30.
Wackernagel, J.
1916 "Bin scheiwerisches Werk uber Sprachwissenschaft" di
dalam Sonntagsblatt der Easier Nachrichten, 15 dan 22
Oktober. 165-166, 172.
Wagner, R.L.
1947 Introduction a la linguistique francaise. Jencwa.
■j Wartburg, W. von.
I 1931 "Das Ineinandergreifen von deskriptiver und histori-
scher Sprachwissenschaft" di dalam Berichte tiber die
Verhandlungen der Sdchsischen Akademie der Wissens.
I zu Leipzig. Phil-Hist. K1 83: 1. 1-23.
' 1937 "Betrachtungen iiber die Gliederung des Wortschatzes"
di dalam Z./?.F/z. 57: 296-312.
1939 "Betrachtungen iiber das Verhaltnis von historischer
und deskriptiver Sprachwissenschaft" di dalam Melanges
■ de ling, offerts a Ch. Bally, Jenewa. 3-18. (sebagian
diambil dari W.v.Wartburg, Von Sprache und Mensch,
Bern, 1956, 159: 165).
1962 "Einfiihrung in Problematik und Methodik der Sprach
wissenschaft" (edisi pertama Halle, 1943), di dalam
zweite, unter Mitwirkung von S. Ullmann verbesserte
und erweiterte Auflage. Tubingen.
Waterma, J.T.
1956 "F.d.S. Forerunner of Modern Structuralism" di dalam
660

Modern Language Journal 40: 307-309.


1963 Perspectives in Linguistics. An Account of the Back
ground of Modern Linguistics. Chicago.
Wein, H.
1963 Sprachphilosophie der Gegenwart. Eine Einfuhrung in
die europdische und amerikanische Sprachphilosophie
des 20. Jahrhunderts. Den Haag.
Weisgerber, L.
1927 "Die Bedeutungslehre - ein Irrweg der Sprachwissen-
sehaft?" di dalam Germanisch-Romanische Monats-
schrif \5'. 171-183.
1928 "Vorschiage zur Methode und Terminologie der Wort-
forschung" di dalam IF 46; 305-325.
1932 rimbangan buku F.d.S. "Grundfragen der allgemeinen
Sprachwissensehaft" di dalam Teuthonista 8: 248-249.
Wells, R.S.
1947 "De Saussure's System of Linguistics" di dalam W. 3: 1-
31.
1951 Timbangan buku Recherches structurales 1949 (=
TCLP 5) di dalam Lg. 27: 554-570.
Wijk, N. van.
1937 "Umfang und Aufgabe der diachronischen Phonologie"
di dalam Melanges de ling, et de philol. offerts d /.v.-
Ginneken. Paris. 93-99.
1939 "De Saussure en de phonologisehe School" di dalam
Album philolog. voor Th. Baader. Amsterdam. 9-14.
1939 "L'etude diachronique des phenomenes phonologiques
et extraphonologiques" di dalam TCLP 8: 297-300.
Zawadowski, L.
1958 "The So-Called Relative Motivation in Language" di
dalam Proceedings of 8th Congr. Ling. Oslo. 420-422.
1958 "The So-Called Relative Motivation in Language" di
dalam Omagiu lui lorgu Jordan. Bukarest. 921-921.
"Zeichen und System der Sprache, Veroffentliehung des
1. Internationalen Symposium Z.u.S.d.S." vom 28. 9.
bis 2. 10. di dalam Erfurt, 3 jilid. Berlin. 1961-1964.
661

Zirmunskij, V.M.
1958 "O sinhronii i diahronii v jazykoznanii" di dalam VJa 7:
5, 43-52.
1960 O sootnosenii sinhronnogo analizia i istorideskogo izu6e-
nia jazyka. Moskow.
INDEKS

Abjad, lihat aksara; Alterasi tanda 156


—pinjaman 97 dan selanjut- — bahasa, selalu sebagian 169,
nya. 171
—Yunani, keunggulannya 112 Altemasi 286 dan selanjutnya
Ablaut 270 dan selanjutnya, 272 definisi 269
Afasia 76 yang sifatnya tidak fonetis 269 dan
Aglutinasi, definisi 296 selanjutnya
tiga fase aglutinasi 297 hukum — 271
berlawanan dengan analogi 297 sinkronis dan gramatikal 271 dan
dan selanjutnya selanjutnya
selalu mendahului ~ 299, Catatan Anak-anak, peran mereka yang da-
Aksara dan langue 81 lam evolusi fonetis 275
~ dibandingkan dengan sistem Analogi 274 ~ 291
-- bahasa pentingnya 235
perlunya studi tentang aksara 92 imbangan perubahan fonetis 274
berbeda dari langue 93 definisi 274
bukan syarat stabilitas bahasa 93 kekeliruan ahli-ahli linguistik per-
kepentingannya lebih besar bagi tama mengenai — 276
bahasa tulis 94 — adalah ciptaan, bukan perubah
berubah lebih lambat dari langue an 277 dan selanjutnya
96 dan selanjutnya mekanismenya 277
dipinjam 97 dan selanjutnya analogi bersifat gramatikal 279
tidak konsekuennya — 98 dan se asalnya dalam parole 279 dan se
lanjutnya lanjutnya, 285
—etimologis 97 bentuk analogis 275, 279, 281
eksplosif dan implosif yang di- dua teori analogis 281 dan selan
tandai oleh - 129,130,137,139 jutnya
~ fonologis 103 dan selanjutnya — dan unsur pembentuk 276 — 287
tidak dapat diganti oleh ejaan — sebagai faktor evolusi 286-289
yang lazim 104 indeks perubahan-perubahan pe-
Aksara, sistem — 95 dan selanjutnya nafsiran 286 dan selanjutnya
—ideologis (bahasa Cina) 95 dan sebagai faktor percakapan 290 dan
selanjutnya selanjutnya
fonetis 96 berlawanan dengan etimologi po-
silabis (bahasa Cyprus) 112, puler 292 dan selanjutnya
konsonantis (bahasa Arab) 113 — berlawanan dengan aglutinasi
Alat bunyi 114 dan selanjutnya 297 dan selanjutnya.
664

Analisis objektif 305 dan selanjutnya 135


— subjektif 305 dan selanjutnya Bopp 64, 94, 306, 351
Antropologi dan linguistik 71, 360 Broca 76
Area peristiwa dialektal 329 dan Bunyi, ciri — yang kompleks 74
selanjutnya — dan kesan akustik 111 dan
Artikulasi dan impresi akustik 73 selanjutnya
gambaran — 151, Catalan — dan suara 122
dua makna dari kata — 76, 205 — laring 115 dan selanjutnya
dan selanjutnya — yang tidak terdapat dalam ba
— oral, variasinya 116 dan selan hasa 213
jutnya Bunyi, klasifikasi — 117 dan selan
nilainya bagi linguistik bunyi 117 jutnya
dan selanjutnya — bersuara, — tak bersuara 117
tenggang atau artikuisi panjang dan selanjutnya
128, 141, Catalan — tertutup dan terbuka 128
Asosiasi, keadaan asosiasi 79 tersemar 130,131,358
Aspek verba 211 sifat — yang tidak konsisten 204
Atlas bahasa 332, dan selanjutnya

B
Curtius, Georges 66
Bacaan dan aksara 103 Catur, permainan —
Bahasa-bahasa Germania 354 dibandingkan dengan sistem baha
telaah — Germania 68 ■ sa 91,172, dan selanjutnya, 202
— reman 353
telaah — reman 68, 348 D
salah satu ciri sintaktisnya 367
Dental 70 dan selanjutnya
Bahasa sastra dan aksara 95
Derivasi, hasil analegi 298
dan diaiek lekal 89, 323 dan selan
Densinensi 308
jutnya
Diakreni lihat juga linguistik diakre-
tidak tergantung dari aksara 324
nis 165
dan selanjutnya
Diaiek alami, tidak ada 332
stabilitasnya yang relatif 245, 258,
dan selanjutnya
perbedaan antara — dan bahasa-
Batas kesemenaan, dasar telaah ba
bahasa 334 dan selanjutnya
— dan bahasa susastra 89,323 dan
hasa 233 dan seterusnya
selanjutnya
Batas suku kata 133 dan selanjutnya
Dialektal 266 — 267
Batasan satuan-satuan bahasa 213
bentuk — pinjaman 266 ~ 267
dan iselanjutnya
Dialektal, sifat-sifat 332
— fenem-fenem 112
Diez 68
Bentuk kembar,sifat nen fenetis 266
Diferensiasi bahasa, di kawasan
dan selanjutnya
yang sinambung 328 dan selanjut
Bersuaranya fenem 117
nya
perannya dalam persukuan kata
665

— di kawasan terpisah 341 dan bahasa 217


selanjutnya Filologi, metodenya 63,71
Diftong, rangkaian implosif 138 — komparatif 64
menaik 138 Fisiologi bunyi, lihat fonologi
Dominus 365 Fisiologi dan linguistik 71
etimologi — 365 dan selanjutnya Fonem, dalam jumlah tertentu 82,
Dinasalisasi 105, 113, 213, 358
bunyi — 117 pembatasannya yang didasarkan
Dualitas kebahasaan 73 dan selanjut pada tata akustik 111
nya deskripsinya pada tindak artiku-
lasi 113
cara mengidentifikasi — 115 dan
E selanjutnya
sifatnya yang membedakan 130,
Ekonomi politis 163 213,359
Etimologi bahasa rakyat 292 dan — dan bunyi 146
selanjutnya hubungan sintagmatis dan asosia-
— tanpa perubahan 293 tifnya 85, 246
— dengan perabahan 293 Fonetik 102 dan selanjutnya
tidak lengkap 293 dan selanjutnya berbeda dari fonologi 102 dan
perbandingan dengan analogi 292, selanjutnya
294, dan selanjutnya berasal dari linguistik diakronis
Etimologi 313 246
ketidakpastian — 363 dan selanjut — dan gramatikal 85 dan selanjut
nya nya, 261
— dan ortografi 97, 100 apa yang — tidak bermakna 85,
Etnisme 361 dan selanjutnya 246
— Italia-Jerman 366 Fonografis, teks — 92
Etnografi dan linguistik 71,88,360 Fonologi 102, 111-141
Etruski kekeliruan yang disebut fonetis
Bahasa Etruski dan Latin 362 102
Evolusi Bahasa 74 berasal dari wicara 103
dimulai dalam kata-kata 86,184 ~ — kombinatif 126
185 Fonologis
fakta tata bahasa 248 Jenis —,lihat Jenis
fonetik, lihat perubahan fonetis Frikatif 119 dan selanjutnya

Fakta tata bahasa dan satuan-satuan Gambaran akustik 78,82,151, Cata


lan
666

hakekat psikisnya 146 mereka merupakan dasar pemba-


= penanda 147 gian gramatikal 237 dan selanjut
— grafis 82, 94 nya
Gelombang inovasi 333, 338 dua jenis — sintegmatis 221
Gerakan artikulatoris dalam perse- dua ciri hubungan asosiatif 223
suaian 130 aturan bahasa 176 dan selanjutnya
Gilli6ron 332 — sinkronis, sifatnya umum tetapi
Glotis 114 dan selanjutnya tidak wajib 176 dan selanjutnya
Gotik 353 — diakronis, bersifat wajib tetapi
Grafi tak langsung 98 tidak umum 176 dan selanjutnya
— mengembangkan 98 dan selan — fonetis 178 dan selanjutnya
jutnya rumusan hukum fonetis yang keli-
lihat juga Aksara ru 253 dan selanjufnya
Gramatika — alternasi 270
definisi 235 Hukum Verner 253 dan selanjutnya
— umum 191
— komparatif 64
— tradisional atau klasik, sifatnya
yang normatif 63
dan statis 116 Identitas sinkronis, 199 dan selanjut
"historis" 235, 248, 249, Catalan nya
Grimm, Jacob 65,94 — diakronis 303 dan selanjutnya
Guttural 117 dan selanjutnya Idiom 317 dan selanjutnya
Iklim dan perubahan linguistik 255,
274
H Ilmu Ekonomi 163
. hirupan 127 dan selanjutnya
H beraspirasi 123 rentang waktunya 137 dan selan
— beraspirasi dalam bahasa Pe- jutnya
rancis 100 Indo-Eropa
Harmoni vokalis dalam bahasa- Bahasa Indo-Eropa, sifat-sifatnya
bahasa Ouralo-Altaik 371 369 dan selanjutnya
Hiatus 136 Institusi sosial
Hirt 363
/
langue adalah suatu — 76, 82
Htibungan darah dan masyarakat Isoglos
bahasa 361 Garis-garis 333
Hubungan sintagmatis dan asosiatif
219
interdependensi mereka 227 dan
selanjutnya
peran mereka di dalam penetapan Jamak dan dual 211
fonem 230 Jenis fonologis 113
667

sifatnya yang abstrak 129 — konkret bahasa 193 dan selan


Jenis kata 201; kategore kata 240 jutnya
Jones 64 — abstrak 239 dan selanjutnya
Junggramatiker 68, 307 Kesemenaan tanda;
definisi 148
semena = tanpa motif 149
K
— faktor ketidakterubahan langue
Kalimat, tipe sintagma 221 154
— dianggap sebagai satuan 197 — faktor alterasi 157 - 158
ekuivalen dari — 227 — absolu dan — relatif 231
Kartografi bahasa 332 dan selanjut- hubungan dengan perubahan
nya fonetik 260,274 dengan analogi
Kata, berbeda dari satuan 196 dan 281
selanjutnya, 207 Ketidakkonsekuenan aksara 103 dan
Kata dasar, definisi 309 selanjutnya
ciri-ciri — dalam bahasa Jerman Koin^ atau bahasa sastra Yunani 324
310 Komparatis(kaum)
dalam bahasa Perancis 310 dan kekelituan aliran — 66 dan selan
selanjutnya jutnya 94,277,342,dan selanjutnya
dalam bahasa Semit 310, 371 dan 351
selanjutnya Komposisi
Kata dasar atau tema 308 hasil analogi 297 dan selanjutnya,
Kata pinjaman 89, 107, 266, 364 299, Catatan
Keadaan bahasa 192 — germania 246 ~ 247, 366
Keadaan(? kemampuan) bahasa 75, — bahasa-bahasa Indo-Eropa 299,
76 dan selanjutnya Catatan, 366
— untuk mengkonotasikan tanda Konsep 78, 147
79 = petanda 147, 193, 207, dan
— asosiasi 78 selanjutnya
Keanekaragaman bahasa 317 dan Konsonan 132 dan selanjutnya
selanjutnya Konsonan 122, 132 dan selanjutnya
— di dalam rumpun 317, 326 — cara atau "alat" 104 dan selan
— mutlak 319 jutnya
Kebetuian Konstruksi dan struktur
sifat — dari keadaan bahasa 168 berbagai makna kata-kata itu 298
dan selanjutnya Koordinasi
Kelompok Bahasa 369 keadaan dari — 79
Kemampuan berubah pada tanda Kuhn, Adalbert 65,363
156 dan selanjutnya Kuno, tiga makna kata ~ 352
Kenyataan sinkronis 201 — diterapkan pada langue 352
— diakronis 300 dan selanjutnya
Keseluruhan
668

Kurangnya usaha kal" 234, 278, dan selanjutnya


sebab perubahan fonetis 256 — khusus 89
— buatan 158 dan selanjutnya
Laring 114 dan selanjutnya
Lateral
konsonan — 121 dan selanjutnya
1 dental, palatal, velar, nasal 121
Lautverschiebung, lihat pergeseran
Labial 118 dan selanjutnya
konsonantis
Labio-dental, 120
Leksikologi
Lafal dan aksara 98 dan selanjutnya
tidak dapat dipisahkan dari gra-
ditetapkan oleh etimologi 100
matika 236 •
diubah oleh aksara 100 dan selan
Letupan 127 dan selanjutnya
jutnya
renteng waktunya 136 dan selan
kebebasan relatif pada — 213 dan
jutnya
selanjutnya
Likuida 117, 121 dan selanjutnya
Lambang
Linguistik
dipertentangkan dengan tanda 149
berasal dari semiologi 82 dan se
Langage
lanjutnya
Langage, langue et parole 159
— langue dan parole, dilihat langue
sifat — yang heteroklitus 75
— ekstern dan — intern 88 dan
—, keadaan alami 75
selanjutnya
— diartikulasikan 76
— sinkronis atau statis 164 — 165,
Langit-langit
186, 191 dan selanjutnya
Langue
— "historis" 164 dan selanjutnya
norma fakta-fakta kebahasaan 75
atau evolutif atau diakronis 164—
tidak dapat diringkas manjadi se-
165, 189,245 dan selanjutnya
buah daftar 83, 145
— geografis 317 dan selanjutnya.
bersifat sosial, homogen, dan kon-
Lituania, bahasa 93, 352
kret 80 dan selanjutnya
Luette 114
berbeda dari parole 80 dan selan
jutnya, 85, dan selanjutnya, 159,
280
M
meskipun demikian solider 86
modus eksistensi — 87 Makna dibedakan dari valensi 207
bahasa merupakan bentuk, bukan Massa peutup 159
substansi 206,218 Mekanisme bahasa 226 dan selanjut
Langue nya, 229, 279 - 280
batas bantara — 334 dan selanjut Metode komparatif 66 dan selanjut
nya nya
— yang bertumpang tindih di satu — linguistik ekstern dan linguistik
wilayah 321 dan selanjutnya intern 91
— "leksikologis" dan — "gramati- — linguistik sinkronis dan linguis
tik diakronis 174 dan selanjutnya
669

— prospektif dan retrospektif 347


dan selanjutnya
Metrik, lihat persajakan Palatal 117, 119 dan selanjutnya
Migrasi 335. Palaeontologi linguistik 363 dan se-
teori migrasi 342 I lanjutnya
Modus 157 - 158, 260 Paleoslavia 90, 353
Morfologi Panjang secara alami dan — karena
tidak dapat dipisahkan dari sintak- posisi 137 dan selanjutnya
sis 235 Pankronis
Motivasi pandangan — di dalam linguistik
bermotivasi 231 dan selanjutnya 181 dan selanjutnya
Muller, Max 65 Paradigma fleksi
tipe hubungan asosiatif 223 - 224
Parole
N tindak individual 80
berbeda dari lingue, lihat Idngue
Nama-nama serumpun dalam bahasa 86 dan selanjutnya
Germania 364 cara hadir — 87
Nasal 119, parole merupakan ajang segala
— tak bersuara 119 perubahan bahasa 86, 184 dan
Nilai umum 163 dan selanjutnya selanjutnya, 249 Catatan,
faktor konstitutif — 208 dan selan Parole, sirkuit kata-kata 77 dan se
jutnya lanjutnya
Nilai kebahasan 202 dan selanjutnya Participe
aspek konseptualnya 207 dan se bentuk participe present bahasa
lanjutnya Perancis 182
berbeda dari signification 207 Paul 68
aspek mateialnya 212 dan selan Pelestarian bentuk-bentuk linguistik
jutnya dua faktor - 291
Pembunyian
tidak dikenal dalam bahasa 85
O Pemisahan Geograhs dan pembeda-
an bahasa 341 dan selanjutnya
Oklusif 118 dan selanjutnya Penanda, definisi 147
Onomatope 149 dan selanjutnya sifatnya yang linear 150, 219
Oposisi dan perbedaan 216 - 217 — hanya ada karena petanda dan
Ortografi 95 sebaliknya 193
lihat juga Aksara dan Grafi Perbandingan berbagai langue yang
Osthoff 68 tak serumpun 319
670

berbagai langue yang serumpun jutnya; lihat juga fonetik


319 Perubahan semantis 177—178
— di dalam lingkup serumpun — morfologis dan sintaksis 177—
tercakup rekonstruksi 66 dan 178
selanjutnya, 328, 355 Petanda, lihat penanda 147 dan se
Penghembusan nafas 115 dan selan lanjutnya, 193
jutnya Pictet, Adolphe 353, 362
Perbedaan-perbedaan, perannya da Pikiran
lam pembentukan valensi 208 dan sifatnya yang inkonsisten 204
selanjutnya, 163 dan selanjutnya Pita suara 114
hanya ada — dalam langue 216 Pott
Pergeseran hubungan antara penan- Prasejarah dan linguistik 71, 362 dan
da dan petanda 157 dan seterusnya selanjutnya
Pergeseran konsonatis 94, 251, 338 Praverba, tidak dikenal dalam ba
Perjanjian hukum atau kekuatan hasa Indo-Eropa 301
menyatu 337 dan selanjutnya Prefiks 311
dua bentuk kegiatannya 338 Preposisi, tidak dikenal dalam ba
Perluasan bahasa-bahasa secara geo- hasa Indo-Eropa 301
grafis, lihat linguistik geografis 89 Prosedur dibedakan dari proses 296
dan selanjutnya Prospektif, perspektif, lihat pers
Permainan catur, lihat Catur pektif
Permainan kata dan lafal 106 dan Psikologi sosial dan linguistik 71, 82
selanjutnya Pungutan
Permutasi
sinonim dari alternasi 272
Persajakan 106 R
Perspektif sinkronis dan — diakronis
165, 172 dan selanjutnya, 175 r getar dan r grasseye 121
— prospektif dan — retrospektif Rangkaian bunyi (atau oral)
165, analisisnya 112, 125, dan selanjut
Perubahan bahasa nya, 127 dan selanjutnya kombi-
selalu berasal dari parole 86, 184 nasi letupan-hirupan
selalu sebagian 169, 171 — letupan-hirupan 131
Perubahan fonetis 250, 272—273 — hirupan 131 dan selanjutnya
tidak termasuk sistem bahasa 85 — letupan 133
dan selanjutnya — terputus 131 dan selanjutnya,
mengenai bunyi, bukan kata 179— 133, 136
180 Ras
keteraturannya 250 dalam hubungannya dengan ba
— mutlak dan kondisional, spon- hasa 360
tan dan kombinatif 251 dan selan — dan perubahan fonetis 254
671

Rasa kesukuan 337 dan selanjutnya 228 dan selanjutnya, 177 dan selan
Rekonstruksi bahasa 355 jutnya
Resonansi nasal 115 dan selanjutnya Satuan kata dan perubahan fonetis
Retrospektif, perspektif, lihat Per- Schleicher 66
spektif Schmidt, Johannes 333, 342
Rongga Sejarah linguistik 63 dan selanjutnya
— mulut 114 dan selanjutnya — politik dalam hubungannya de
— hidung 114 dan selnjutnya ngan langue 88
Rotasisasi dalam bahasa Latin 251, dengan perubahan fonetis 258
253-254 Selaput langit-langit
Rumpun-rumpun bahasa 70, 318 Semantik 84, catatan
tidak bersifat permanen 369 Semiologi
rumpun Indo-Eropa 64, 335 dan definisi 82
selanjutnya, 342 dan selanjutnya didasarkan terutama hanya pada
— Bantu 318 sistemn tanda yang semena 148
— Finn-Ugrika 318 dan selanjutnya
Rumus artikulasi bunyi 118 Semi vokal 122
Seruan 150
Sievers 68, 135, 139, 140
Sinkronis 165
lihat linguistik sinkronis
Sanskerta Sintagma 219
temuan — definisi, lihat hubungan
nilainya bagi ilmu bahasa Indo- Silbenbildend dan silbisch 130, 139
Eropa 64 dan seterusnya Sintaksis
peran yang dilebih-lebihkan dalam hubungannya dengan morfologi
hubungan dengan — 351, 353 235
kekunoannya 352 dengan sintagmatik 238
Satuan bahasa 194 dan selanjutnya Sirkuit ujaran dan pembagiannya 78
definisi dan batasan 115 dan selan dan selanjutnya
jutnya Sistem aksara, lihat aksara
— kompleks 197, 221 Sistem bahasa, lihat mekanisme 74,
masalah —, pentingnya 203 91, 154 dan selanjutnya, 163, 206,
sifat — yang membedakan 216 dan 232
selanjutnya Sistem fonologis 105, 359
— dan fakta gramatika 217 dan Solidaritas sintagmatis dan asosiatif
selanjutnya 226, 232
pembagian baru — 286 dan selan Sonan 134
jutnya, 300, Sonan Indo-Eropa 127, 141
diakronis 302 Sosiologi dan linguistik 71
Satuan bawahan dari kata 197, 226, Spiran 119 dan selanjutnya
672

Stabilitas politik dan perubahan fo- Tidak bermotivasi, lihat kesemenaan


netis 258 dan selanjutnya Tingkat vokalisme 67
Substratum bahasa yang awal dan Tipe bahasa dan mentalitas kelom-
perubahan fonetis 259 dan selan pok sosial 366 dan selanjutnya
jutnya — dan rumpun bahasa 369
Sufiks 311, 312 Titik vokalis 134
Suku kata 125, 133 dan selanjutnya Toleransi dalam lafal 213 dan selan
jutnya
Trombetti 319
Tulisan tidak langsung
— pengisi •
Tanda bahasa lihat juga aksara
komposisinya 146 dan selanjutnya
stabilitasnya 156
kemampuannya untuk berubah U
157 dan selanjutnya
— ditinjau secara keseluruhan 215 Umlaut dalam bahasa Germania 94,
dan selanjutnya 167, 268-269
— yang tidak bermotif dan — Unsilbisch 139
yang relatif bermotif 231 Uvula
— zero 171, 212-213, 311
Tanda kesopanan 149
Taraf buka
dasar klasifikasi bunyi 117 dan
selanjutnya Velar 119, 120
— dan bunyi rendah dan tertutup Velum 114
129 Verner, hukum — 253
Tekanan pada suku kata 136 Vibrasi 121
Tekanan bahasa Latin dan — bahasa Vibrasi langit-langit 115
Perancis 170 Vokal
Tema atau kata dasar 212-213 dipertentangkann dengan konso-
Tenggang 128 dan catatan 1 (halam- nan 122
an 141) dipertentangkan dengan sonan
Terbuka 134 dan selanjutnya
bunyi-bunyi — 128 — terbuka dan — tertutup 123
Terminologi linguistik — desah 123
yang tidak tepat 69, catatan — tak bersuara 123
— fonologi yang tidak sempurna
117
Tersamar
bunyi-bunyi, lihat bunyi
-•

673

BUKU SERI ILDEP

Seri ILDEP, diterbitkan dalam kerangka Indonesian Linguistics


Development Project 2, kerja sama antara Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudaya-
an Republik Indonesia, dan Jurusan Bahasa dan Kebudayaan
Asia Tenggara dan Oceania, Fakuitas Sastra Universitas Negeri
Leiden, Belanda (Ministerie van Onderwijs en Wetenschappen en
Ministerie voor Ontwikkelingssamenwerking).

Buku Seri ILDEP dapat diperoleh pada penerbit berikut:


1. Penerbit Djambatan
Jl. Kramat Raya 152
Jakarta 10420
Tel. 324 332 - 322 810

2. Penerbit Balai Pustaka


Jl. Wahidin 1
Jakarta 10410
Tel. 374 711

3. Gadjah Mada University Press


Jl. Grafika - Bulaksumur
Kampus UGM
Yogyakarta
4. Penerbit Kanisius
Jl. P. Senopati 24
Yogyakarta 55121
5. Penerbit Gramedia
Jl. Palmerah Selatan
Jakarta 10270

iite
674

Buku Seri ILDEP yang telah terbit:


1. Uhlenbeck, E.M. Ilmu Bahasa; Pengantar Dasar, diterje-
mahkan oleh Alma E. Almanar, dari buku Taalwetenschap:
Een eerste inleiding, 1982,IX + 90 hal. Penerbit: Djambatan.
2. Kats, J. dan M. Soeriadiradja. Tata Bahasa dan Ungkapan
Bahasa Sunda, diterjemahkan oleh Ayatrohaedi, dari buku
Spraakkunst en Taaleigen van het Soendaasch, 1982, X +
213 hal. Penerbit; Djambatan.
3. Badudu, J.S. Morfologi Bahasa Gorontalo, 1982, XII + 270
hal. Penerbit Djambatan.
4. Uhlenbeck, E.M. Kajian Morfologi Bahasa Jawa, diterje
mahkan oleh Soenarjati Djajanegara, dari buku Studies in
Javanese Morphology, 1982, XIV -t- 417 hal.iPenerbit:
Djambatan.
5. Kaseng, SjBahasa Bugis Soppeng: Valensi Morfologi Dasar
Kata Kerja, 1982, XII + 195 hal. Penerbit: Djambatan.
6. Salombe, C. Bahasa Toraja Saqdan; Proses Morfemis Kata
Kerja, 1982, XV + 324 hal. Penerbit: Djambatan.
7. van Ophuijsen. Ch. A. Tata Bahasa Melayu, diterjemahkan
oleh T.W. Kamil, dari buku Maleisch Spraakkunst, 1983,
XXX -1-251 hal. Penerbit: Djambatan.
8. Simatupang, Maurits D. Reduplikasi Morfemis Bahasa Indo
nesia, 1983, IX -1- 160 hal. Penerbit: Djambatan.
9. Zoetmulder, P.J. Kalangwan; Sastra Jawa Kuno Selayang
Pandang, diterjemahkan oleh Dick Hartoko, dari buku
Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature. Kata
Pengantar: Haryati Soebadio, cetakan pertama 1983, kedua
1985, XIII + 648 hal. Penerbit: Djambatan.
10. Sudaryanto. Predikat- Objek dalam Bahasa Indonesia, 1983,
XX -t- 359. Penerbit: Djambatan.
11. Dardjowidjojo, Soenjono. Beberapa Aspek Linguistik In
donesia, diterbitkan sebagai edisi dwibahasa bersama naskah
aslinya: Some Aspects of Indonesian Linguistics, 1983, IX -f
318 hal. Penerbit: Djambatan.
675

12. Robins, R.H. Sistem dan Struktur Bahasa Sunda; Kumpulan


Karangan, diterjemahkan oleh Harimurti Kridalaksana, dari
buku System and Structure in Sundanese, 1983, XV + 277
hal. Penerbit: Djambatan (edisi Dwibahasa).
13. Kaswanti Purwo, Bambang. Deiksis dalam Bahasa Indone
sia, 184, XIV + 305 hal. Penerbit: Balai Pustaka.
14. Muhajir. Morfologi Dialek Jakarta; Afiksasi dan Reduplika-
si, 1984, XII + 203 hal. Penerbit: Djambatan.
15. Ardiwinata, D.K. Tata Bahasa Sunda, diterjemahkan oleh
Aytrohaedi, dari buku Elmoening Basa Sunda, 1984, XIX +
110 hal. Penerbit: Djambatan.
16. Halim, Amran. Intonasi; Dalam Hubungannya dengan Sin-
taksis Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Tony S. Rach-
madie, dari buku Intonation; in Relation to Syntax in
Indonesian, 1984, IX + 164 hal. Penerbit: Djambatan.
17. Soebadio, Haryati. Jhanasiddhanta, diterjemahkan oleh
Dick Hartoko, dari buku Jhanasiddhanta, 1985, XIII + 297
hal. Penerbit: Djambatan.
18. Ayatrohaedi. Bahasa Sunda di daerah Cirebon, 1985,
XXVIII + 367 hal. Penerbit: Balai Pustaka.
19. de Hollander, J.J. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu,
diterjemahkan oleh T.W. Kamil, dari buku Handleiding bij
de beoefening der Maleische taal en letterkunde, 1984, XIV +
318 hal. Penerbit: Balai Pustaka.
20. Gerth van Wijk, D. Tata Bahasa Melayu, diterjemahkan
oleh T.W. Kamil, dari buku Spraakleer der Maleische taal,
1985, XXVI + 219 hal. Penerbit: Djambatan.
21. Coolsma,S. Tata Bahasa Sunda, diterjemahkan oleh Husein
Widjajakusumah dan Yus Rusyana, dari buku Soendanees-
che Spraakkunst, 1985, XX + 338 hal. Penerbit: Djambatan.
22. Moeliono, Anton M. Fengembangan dan Fembinaan Baha
sa; Ancangan Alternatif di dalam Ferencanaan Bahasa, 1985,
XI + 208 hal., Penerbit: Djambatan.
23. Blust, R.A. Telaah Komparatif Bahasa Nusantara Barat,
diterjemahkan oleh B. Kaswanti Purwo dan James T.
Collins, (edisi dwibahasa) 1985, XII + 247 hal. Penerbit;
Djambatan.

1. liiiakliiiic
676

24. Fox, James J. Bahasa, Sastra, dan Sejarah; Kumpulan


karangan mengenai masyarakat Pulau Roti, diterjemahkan
oleh Sapardi Djoko Damono dan Ratna Saptari, (edisi
dwibahasa), 1986, X + 371 hal. Penerbit: Djambatan.
25. Todorov, Tzvetan, Tata Sastra, diterjemahkan oleh Okke K.
S. Zaimar, Apsanti Djokosuyatno, dan Talha Bachmid dari
buku Poetique, 1986, XIV + 8 hal., Penerbit: Djambatan.
26. Sasrasoeganda, K. Kitab jang Menjatakan Djalannja Bahasa
Melajoe. Kata Pengantar: Harimurti Kridalaksana, 1986, 168
hal. Penerbit: Balai Pustaka.
27. Verheijen, J.J. Pulau Komodo; Rakyat dan Bahasanya,
diterjemahkan oleh A. Ikram, dari buku Komodo; het
eiland, het volk en de taal, 1987, XXIII + 287 hal. Penerbit:
Balai Pustaka.
28. Martinet, Andre, llmu Bahasa: Pengantar diterjemahkan
oleh Rahayu Hidayat dari buku Elements de Linguistique
Generale, 1987, 248 hal., Penerbit: Kanisius.
29. Stokhof, W. A. L. Fonemik Bahasa Woisika diterjemahkan
oleh Hans Lapoliwa dari buku Woisika II; Phonemics. 1987,
X + 196 hal. Penerbit: Balai Pustaka.
30. Vredenbregt, Jacob. Pengantar Metodologi untuk Ilmu-ilmu
Empiris, diterjemahkan oleh A.B. Lapian dan E.K.M. Masi-
nambow, dari buku Inleiding tot de Metodologie der Empiris-
che Wetenschappen, 1985, IX + 69 hal. Penerbit: Gramedia.
31. Ikranegara, Kay. Tata Bahasa Betawi Melayu diterjemahkan
oleh Muhajir dari buku Melayu Betawi Grammar. Penerbit:
Balai Pustaka.
32. Gonda, J. Linguistik Bahasa Nusantara; Kumpulan karya
diterjemahkan oleh T.W. Kamil. Penerbit: Balai Pustaka.
33. Kridalaksana, Harimurti. Beberapa Prinsip Perpaduan Lek-
sem dalam Bahasa Indonesia. 1988, 248 hal. Penerbit:
Kanisius.
677

34. Samarin, William, J. Ilmu Bahasa Lapangan, diterje-


mahkan dan disunting oleh J.S. Badudu, dari buku Field
Linguistics; A Guide to Linguistic Field Work.

Menyusul terbit:
Dick, S.C. dan J.G. Kooij. Ilmu Bahasa; Fengantar, diterjemah-
kan oleh T.W. Kamil, dari buku Beginselen van de Algemene
Taalwetenschap.
Kaswanti Purwo, Bambang. Serpih-serpih Telaah Pasif Bahasa
Indonesia; Kumpulan karangan (edisi dwibahasa).
678

Buku terbitan Gadjah Mada University Press dalam bidang


Bahasa/Sastra: ■

1. Sutrisno. Sulastin, Darusuprapto dan Sudaryanto (ed.). Bahasa


Sastra Budaya, 1985, XIII + 762 hal.
2. Soedjarwo. Beginilah Menggunakan Bahasa Indonesia, 1988, V +
124 hal.
3. Kratz, E.U. Bibliografi Karya Sastra Indonesia Dalam Majalah,
1988, XLIX + 901 hal.
4. Marsono. Fonetik, 1986,IX + 139 hal.
5. Anwar, Khaidir. Fungsi dan Feranan Bahasa, Sebuah pengantar,
1984, V + 98 hal.
6. Sutrisno, Sulastin. Hikayat Hang Tuah,Analisa Struktur dan Fungsi,
1983, XIX + 428 hal.
7. Anwar, Khaidir. Indonesian; The Development and Use of A
National Language, Get. ke-2,1985, VIII + 205 hal.
8 Winter, C.F. dan R. Ng. Ranggawarsita, Kamus Kawi Jawa, Get.
ke-2, 1988,IX+ 311 hal.
9. Sudaryanto. Linguistik: Esai Tentang Bahasa dan Pengantar ke
Dalam Ilmu Bahasa, Get. ke-2,1985, XIX + 339 hal.
10. Sudaryanto. Metode Linguistik: Bagian Pertama, Ke Arah
Memahami Metode Linguistik, Get. ke-2,1988, XII + 84 hal.
11. Sudaryanto. Metode Linguistik: Bagian Kedua, Metode dan Aneka
Teknik Pengumpulan Data, 1988 ,VIII + 39 hal.
12. Verhaar, J.W.M. Pengantar Lingguistik, Get.ke-14, 1988, XIII +
128 hal.
13. Pradopo,Rahmat Djoko. Pengkajian Puisi, 1987, XI + 262 hal.

"1
PtRi"'L-ts I
BADAM OAHASA
KEfcEeiAAH P:mD;C:KAH NASiO'iM.
Pel" u taka

Anda mungkin juga menyukai