Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

PESTISIDA PERTANIAN
ACARA IV
UJI CARA MASUK INSEKTISIDA

Disusun oleh :
Nama : Pekik Ndaru Prakoso
NIM : 16/398760/PN/14731
Golongan : C5.2
Asisten : 1. Gracia Melsiana A
2. Renik B

SUB LABORATORIUM TOKSIKOLOGI PESTISIDA


DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
ACARA IV
UJI CARA MASUK INSEKTISIDA

I. TUJUAN
1. Mengetahui cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pestisida merupakan suatu zat atau senyawa kimia, organisme renik, virus dan zat-
zat lain yang digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman. Petani menggunakan
pestisida untuk membasmi hama dan gulma dengan harapan hasil produk pertanian
meningkat. Disamping dapat meningkatkan hasil produk pertanian, pestisida juga memiliki
dampak negatif apabila dalam penggunaannya tidak sesuai dengan anjuran yang ditetapkan
seperti, berkurangnya keanekaragaman hayati, pestisida dengan spektrum luas dapat
membunuh hama sasaran, parasitoid, predator, hiperparasit serta makhluk bukan sasaran
seperti lebah, serangga penyerbuk, cacing dan serangga bangkai (Bishnu et al., 2008).
Insektisida merupakan bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang
digunakan untuk mengendalikan serangga. Cara kerja insektisida dalam melumpuhkan
serangga berbeda-beda antara satu jenis insektisida satu dengan jenis insektisida lainnya
sehingga mekanisme resistensi insektisida juga berbeda-beda. Semakin spesifik suatu
insektisida maka akan semakin mudah terjadi resistensi. Mekanisme resistensi umumnya
merupakan gabungan faktor-faktor dari biokemis, fisiologis dan perilaku (Alfiah, 2010).
Menurut Sigit dan Hadi (2006) terdapat tiga komponen insektisida, yaitu formulasi,
macam bahan aktif dan konsentrasi bahan aktif. Formulasi merupakan wujud atau hasil
proses pengolahan bahan teknis untuk memperbaiki berbagai aspek seperti efektifitas,
penyimpanan, kemudahan aplikasi, keamanan serta biaya. Bahan aktif merupakan bahan
kimia bersifat insektisida, sedangkan konsentrasi bahan aktif merupakan kandungan bahan
aktif suatu insektisida. Pemilihan formulasi insektisida penting dilakukan untuk
memastikan masuknya bahan aktif di dalam tubuh serangga sasaran.
Berdasarkan cara masuk ke dalam tubuh serangga, insektisida dapat dibedakan atas
racun pernafasan, racun kontak dan racun perut. Racun Pernafasan digunakan untuk
membunuh serangga tanpa harus memperhatikan bentuk mulutnya, insektisida ini
berbentuk gas. Penggunaan insektisida ini harus hati-hati terutama pada ruang tertutup.
Insektisida sebagai racun kontak merupakan insektisida yang bekerja apabila terdapat
kontak antara serangga yang ingin dikendalikan dengan insektisida yang digunakan.
Insektisida sebagai racun perut merupakan insektisida yang bekerja dengan cara insektisida
tersebut harus masuk ke dalam tubuh serangga melalui mulut. Serangga yang dikendalikan
dengan insektisida ini umumnya memiliki bentuk mulut penggigit dan penghisap.
Berdasarkan cara kerjanya, insektisida terbagi menjadi lima kelompok yaitu mengganggu
sistem saraf, menghambat produksi energi, mempengaruhi sistem endokrin, menghambat
produksi kutikula dan menghambat keseimbangan air. Mengetahui cara kerja insektisida
akan bermanfaat dalam memilih dan merotasi insektisida yang ada untuk mendapatkan
hasil yang optimal dalam rangka pengelolaan resistensi (Joharina dan Alfiah, 2011).
III. METODOLOGI
Praktikum Pestisida Pertanian cara VII yang berjudul ‘Uji Cara Masuk Insektisida’
telah dilaksanakan pada Jumat, 3 Mei 2019 di Laboratorium Toksikologi Pestisida,
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Pada praktikum ini, alat yang digunakan antara lain adalah sarung tangan
lateks, masker, gelas piala volume 100 ml, gelas ukur dan labu takar volume 100 ml.
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain insektisida Regent dan
Baycarb, gelas plastik, kain trico, bibit padi dan serangga Nilaparvata lugens.
Cara kerja pada praktikum ini diawali dengan mempersiapkan alat dan bahan yang
akan digunakan. Setelah alat dan bahan siap, dibuat beberapa seri konsentrasi insektisida,
yaitu sesuai 1/2 dosis, 1/4 dosis, 1/8 dosis dan kontrol. Metode yang digunakan pada
praktikum ini adalah metode pencelupan daun. Mula-mula bibit padi dicelupkan ke dalam
seri konsentrasi insektisida selama 20 detik kemudian dikering anginkan. Selanjutnya bibit
padi dimasukkan ke dalam gelas plastik berlubang dan gelas platik berlubang tersebut
dimasukkan kembali kedalam gelas plastik yang tidak berlubang serta ditambahkan sedikit
air agar bibit padi tetap hidup. Setiap konsentrasi dimasukkan 10 serangga Nilaparvata
lugens dengan 4× ulangan. Mortalitas serangga diamati setelah 24 jam.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 1. Mortalitas Nilaparvata lugens pada berbagai konsentrasi insektisida
Insektisida Konsentrasi (%) Mortalitas (%)
Kontrol 17.50
0.125 95.00
Baycarb
0.25 97.50
0.5 97.50
Kontrol 9.30
0.125 43.90
Regent
0.25 35.71
0.5 58.54

B. Pembahasan
Pestisida merupakan bahan, produk atau campuran termasuk bahan aktif dan bahan-
bahan lain yang digunakan untuk mengontrol, mencegah, memusnahkan atau menjauhkan
organisme pengganggu tanaman yang merugikan manusia. Pestisida digolongkan berdasarkan
sasaran yang dikendalikan, yaitu insektisida (serangga), fungisida (jamur), bakterisida
(bakteri), nematisida (nematode), akarisida (tungau), rodentisida (tikus), moluskisida (siput)
dan herbisida (gulma) (Herdiani, 2014).
Insektisida merupakan semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik, serta virus
yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah organisme yang dapat menyebabkan
kerugian. Cara kerja insektisida dalam tubuh serangga dikenal dengan istilah mode of action
dan cara masuk atau mode of entry. Mode of action merupakan cara insektisida memberikan
pengaruh melalui titik tangkap didalam tubuh serangga. Titik tangkap pada serangga biasanya
berupa enzim atau protein. Cara kerja insektisida yang digunakan dalam pengendalian hama
terbagi menjadi lima kelompok yaitu mempengaruhi system saraf, menghambat produksi
kutikula, dan menghambat keseimbangan air. Mode of entry merupakan cara insektisida masuk
kedalam tubuh serangga, dapat melalui kutikula (racun kontak), alat pencernaan (racun perut),
atau lubang pernafasan (racun pernafasan) (Kementrian Kesehatan RI, 2012).
Insektisida yang digunakan pada praktikum kali ini adalah Baycarb dengan bahan aktif
BPMC yang bersifat kontak dan Regent dengan bahan aktif Fipronil yang bersifat sistemik.
Berdasarkan cara kerjanya dalam membunuh hama, insektisida dibedakan menjadi 3, yaitu: (1)
racun perut, pestisida yang termasuk golongan racun perut umumnya dipakai untuk membasmi
serangga-serangga pengunyah, penjilat dan penggigit dan daya bunuh melalui perut; (2) racun
kontak, pestisida jenis racun kontak membunuh serangga sasaran dengan masuk kedalam tubuh
melalui kulit, menembus saluran darah atau dengan melalui saluran pernafasan; dan (3) racun
gas, jenis racun ini disebut juga fumigan, digunakan terbatas pada ruangan-ruangan tertutup
(Al-Maqassary, 2014).
Efek toksisitas suatu insektisida umumnya tercapai apabila suatu rangsangan mencapai
suatu nilai tertentu sehingga timbul mekanisme biologis yang nyata. Toksisitas merupakan
salah satu kemampuan yang melekat pada suatu bahan untuk menimbulkan keracunan.
Pengujian senyawa toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi dua golongan, yaitu uji toksisitas
umum dan uji toksisitas khusus. Pengujian toksisitas umum meliputi berbagai pengujian yang
dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada serangga uji
(Safirah et al., 2016).
Mekanisme kerja insektisida bahan aktif Fipronil yaitu dengan mengganggu sistem
saraf pada serangga dengan menghambat transfer ion klorida melalui reaksi dengan reseptor
asam gamma aminobutirat (GABA). GABA merupakan inhibitor pada sistem saraf pusat, yang
akan menyebabkan hiperpolarisasi membran dengan cara membuka kanal ion yang
menyebabkan membran lebih permeabel terhadap ion K+ yang keluar dari sel atau ion Cl- yang
masuk ke dalam sel, karena perbedaan gradien konsentrasi yang besar (Campbell et al., 2004).
Jika terjadi reaksi antara Fipronil dengan reseptor GABA yang terdapat pada membran sel,
maka GABA tidak dapat berikatan dengan reseptornya. Akibatnya proses hiperpolarisasi
membran tidak terjadi, karena kanal ion Cl- dan K+ tidak terbuka yang menyebabkan kedua ion
tersebut tidak dapat masuk atau meninggalkan sel. Kondisi ini akan mengakibatkan sel tidak
akan mengalami hiperpolarisasi. Hiperpolarisasi dibutuhkan sel dalam mempersiapkan
potensial aksi berikutnya. Sel saraf akan mengalami periode refraktori setelah potensial aksi,
yaitu periode pada saat sel tidak akan terdepolarisasi (Widiastuti, 2002 cit. Campbell et al.,
2004). Jika sel tidak mengalami hiperpolarisasi ataupun refraktori akibatnya tubuh tidak dapat
memberikan tanggapan terhadap impuls selanjutnya. Jika terjadi gangguan pada sistem
koordinasi pada serangga akan mengakibatkan semua proses yang terjadi pada serangga
menjadi terganggu. Gangguan pada sistem saraf akan mengakibatkan terganggunya proses
penyerapan glukosa dan masuknya oksigen ke dalam tubuh serangga. Sehingga proses
pembentukan ATP akan terhambat. Sementara ATP diperlukan serangga dalam proses
metamorfosis dan pertumbuhan. Gangguan pada produksi ATP dan kerja sintesis hormon
juvenil dan ekdison, akan mengakibatkan proses metamorfosis dan pertumbuhan serangga
akan mengalami gangguan, bahkan terhenti.
BPMC merupakan insektisida non-sistemik dengan cara kerja terutama sebagai racun
kontak dan digunakan untuk mengendalikan wereng dan thrips pada beberapa tanaman
termasuk padi. BPMC (Biphenil Methil Carbamat) dapat menimbulkan rangsangan pada
sistem saraf pusat, merusak otak sehingga kerja organ otot serta organ tubuh lainnya akan
terhambat dan akhirnya menyebabkan kematian. Insektisida berbahan aktif BPMC, berasal dari
golongan karbamat (Anticholinesterase Carbamate) yang memiliki daya kerja sebagai racun
kontak dan racun lambung yang sangat kuat. Insektisida golongan organophospat dan karbamat
merupakan racun saraf yang sebagian besar sasarannya adalah menghambat aktivitas suatu
enzim yang disebut dengan asetilkolinesterase (AChE) (Stenersen, 2004 cit. Carmo et al.,
2005).
5.8800
y = 0.1707x + 5.9101 5.8600
R² = 0.75
5.8400

5.8200

5.8000

5.7800

5.7600

5.7400

5.7200
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0

Gambar 1. Grafik Regresi Konsentrasi Insektisida Baycarb Terhadap Mortalitas Nilaparvata lugens
Berdasarkan grafik hasil analisis tersebut diketahui bahwa fungsi regresinya yaitu y =
0.1707x + 5.9101. Fungsi tersebut dapat diartikan bahwa setiap kenaikan atau penambahan
konsentrasi dari insektisida Baycarb diikuti dengan meningkatnya angka mortalitas dari
Nilaparvata lugens sebanyak 5 individu. Berdasarkan R2 yang didapatkan, yaitu 0.75, maka
pengaruh konsentrasi insektisida terhadap mortalitas Nilaparvata lugens sebesar 75%. Hal
tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara konsentrasi dengan mortalitas berbanding lurus,
dimana semakin tinggi konsentrasi insektisida yang diaplikasikan maka akan diikuti dengan
bertambahnya mortalitas Nilaparvata lugens. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Safirah et al. (2016), dimana semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka
peningkatan efek racun juga semakin tinggi sehingga akan semakin tinggi pula mortalitasnya.
Kasumbogo (2006) menambahkan bahwa cara masuknya insektisida ke dalam tubuh
serangga diantaranya sebagai racun perut yang masuk melalui saluran pencernaan makanan
atau perut. Senyawa toksik serangga akan menembus dinding usus yang selanjutnya akan
mengganggu metabolisme serangga akan menyebabkan kekurangan energi yang diperlukan
untuk aktivitas hidupnya, kejang dan lambat laun akan menyebabkan kematian.
5.1

y = 0.64x + 5.0526 4.9


R² = 0.3868
4.8

4.7

4.6

4.5

4.4

4.3
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0

Gambar 2. Grafik Regresi Konsentrasi Insektisida Regent Terhadap Mortalitas Nilaparvata lugens
Berdasarkan grafik hasil analisis tersebut diketahui bahwa fungsi regresinya yaitu y =
0.64x + 5.0526. Fungsi tersebut dapat diartikan bahwa setiap kenaikan atau penambahan
konsentrasi dari insektisida Baycarb diikuti dengan meningkatnya angka mortalitas dari
Nilaparvata lugens sebanyak 5 individu. Berdasarkan R2 yang didapatkan, yaitu 0.3868, maka
pengaruh konsentrasi insektisida terhadap mortalitas Nilaparvata lugens sebesar 38.68%. Hal
tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara konsentrasi dengan mortalitas berbanding lurus,
dimana semakin tinggi konsentrasi insektisida yang diaplikasikan maka akan diikuti dengan
bertambahnya mortalitas Nilaparvata lugens. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Safirah et al. (2016), dimana semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka
peningkatan efek racun juga semakin tinggi sehingga akan semakin tinggi pula mortalitasnya.
Berdasarkan kedua grafik diatas dapat diketahui bahwa pestisida baycarb dengan bahan
aktif BPMC memiliki kemampuan mematikan serangga yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan pestisida regent dengan bahan aktif fipronil. Hal tersebut karena kandungan bahan aktif
pada pestisida baycarb lebih tinggi jika dibandingkan dengan pestisida regent. Insektisida
berbahan aktif BPMC (O-sec-butylphenyl methylcarbamate) 500 g/l, berasal dari golongan
karbamat (anticholinesterase carbamate) yang memiliki daya kerja sebagai racun kontak dan
racun lambung yang sangat kuat.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
Rifampicin efektif mengendalikan bakteri sasaran karena bekerja menghambat RNA
Polimerase (RNAP). RNA Polimerase adalah suatu enzim yang membantu mempercepat
proses pembentukan RNA. Kegagalan dalam pembentukan RNAP dapat menyebabkan
gagalnya pembentukan RNA dan DNA. Akibatnya, metabolisme dan reaksi dalam sitoplasma
tidak dapat terjadi. Pembentukan energi ATP juga tidak dapat dilakukan sehingga organisme
sasaran akan mati. Zona penghambatan yang paling besar terbentuk pada konsentrasi yang
paling rendah yaitu 0.05%. Pada kultur Ralstonia solanacearum perlakuan Agrept® 20 WP,
zona hambat bakterisida tidak terbentuk.
DAFTAR PUSTAKA

Aarestrup, F. M., Y. Agerso, P. Ahrens, J.C.O. Jorgensen, M. Madsen dan L.B. Jensen. 2000.
Antimicrobial susceptibility and presence of resistance genes in staphylococci from
poultry. Vet. Microbiol. Vol. 74: 353-364.

Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology 5th Edition. Academic Press, California.

Arwiyanto, T. 2014. Ralstonia solanacearum: Biologi, Penyakit yang Ditimbulkan dan


Pengelolaannya. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Asrul, T. Arwiyanto dan Maryudani. 2004. Effect of Tomato Seed Treated with Pseudomonas
putida Pf-20 against Bacterial Wilt (Ralstonia solanacearum). Agrosains. Vol. 17: 419-
430.

Campbell, E. A., N. Korzheva, A. Mustaev, K. Murakami, S. Nair, A. Goldfarb dan S.A. Darst.
2001. Structural mechanism for rifampicin inhibition of bacterial RNA Pomymerase.
Cell 104: 901-912.

Cronbach, L. dan Snow, R. 1977. Aptitudes and Instructional Methods: A Handbook for
Research on Interaction. Irvington, New York.

Dancer, S. J. 2004. How antibiotics can make us sick: The less obvious adverse effects of
antimicrobial chemotherapy. Lancet Infect Dis. Vol. 4(10): 611.

Extonet. 1995. Streptomycin.<http://pmep.cce.cornell.edu/profiles/extoxnet/pyrethrins-


ziram/streptomycinext.html>. Diakses 2 Mei 2019.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi. Edisi Kelima.
Penerbit Institut Tekhnologi Bandung, Bandung.

Nasrun, Christanti, T. Arwiyanto dan I. Mariska. 2007. Karakteristik fisiologis Ralstonia


solanacearum penyebab penyakit layu bakteri nilam. Jurnal Littri. Vol. 15: 43-45.

Nattadiputra, S dan Munaf, S. 2009. Aminoglikosida dan Beberapa Antibiotika Khusus.


Kumpulan Kuliah Farmakologi, Jakarta.

Pathania, R., E. D. Brown. 2008. Small and lethal: Searching for new antibacterial compound
with novel model of action. Biochemistry and Cell Biology. Vol. 86: 111-115.

Prajnanta, F. 2011. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rachmawati, A. 2009. Pengaruh Perlakuan Matriconditioning Plus Bakterisida Sintetis atau


Nabati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas campestris p.v.
oryzae) Terbawa Benih Serta Meningkatkan Viabilitas dan Vigor Benih Padi (Oryza
sativa L.). Institut Pertanian Bogor, Bogor. Skripsi.

Springs, A., Darwin, Katherine, Nhulunbuy dan T. Creek. 2015. Spray Adjuvant.
<http://www.health.nt.gov.au/library/scripts/objectifyMedia.aspx?file=pdf/50/49.pdf
&site ID= 1&str_title=Rifampicin.pdf>. Diakses 2 Mei 2019.
Sumardiyono, C. 2013. Pengantar Toksikologi Fungisida. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Suwandi, U. 1992. Mekanisme Kerja Antibiotik. Cermin Dunia Kedokteran No.76, Pusat
Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, Jakarta.

Tsiantos, J., P. Psallidas. 2002. The effect of inoculum concentration and time of aplication of
various bactericides on the control of fire blight (Erwinia amylovlora) under atificial
inoculation. Phytopathol Mediterraneae. Vol. 41: 246-251.

Anda mungkin juga menyukai