Anda di halaman 1dari 3

MENGANALISIS CERPEN HARKITNAS (PUTU WIJAYA)

Oleh : Muhammad Hanif Fuadi Ahna

180110170021

Nilai Sosial : Nilai sosial yang ada dalam cerpen Harkitnas Putu Wijaya ini penulis dapat
tunjukan berdasarkan kutipan berikut ini: “…“Makanya bangun! Ini Hari Peringatan
Kebangkitan Nasional tahu! Kita kan sudah janji untuk memperingati dan berdoa
bersama-sama agar negeri kita yang sedang terpuruk ini bangkit lagi. Ayo! Anak itu sudah
besar nggak usah ditetekin lagi nanti kena Oedipus Complex!”

Dari kutipan diatas, kita harus sadar bahwa kita harus selalu dapat membantu orang
lain selagi kitamampu karena kita harus sadar bahwa pada hakikatnya kita adalah mahluk
sosial

Nilai Patriotisme ​: “Ya Tuhan, jadi inilah sebabnya kami tidak pernah maju. Satpam-satpam
kami mabok semua! Para petugas tidak melaksanakan tugasnya. Kami semua amatir dalam
segala hal. Guru amatir, politikus amatir, budayawan amatir, agamawan amatir, pemerintah
dan rakyat semua amatir. Tidak ada yang peduli lagi ini Hari Kebangkitan Nasional. Tidak
ada yang peduli hari ini, 100 tahun yang lalu, cita-cita Indonesia dilahirkan.

Dari kutipan diatas, dapat kita ketahui bahwa semua orang sudah melupakan hari
kebangkitan nasional dan tidak bisa membangkitkan semangat perjuangan yang telah
dicita-citakan para veteran indonesia 100 tahun yang lalu.

Nilai Religi​ : “Allahu Akbar, Allahu Akbar.... Ashadu Allah....’’”


Suara itu melayang masuk ke rumah Ali. Mengusap lembut telinga semua yang tidur. Hanya
beberapa detik terlambat, kemudian setiap orang membuka mata. Tak seorang pun yang tidur
lagi. Tanpa ada yang memerintah apalagi menggertak, serentak mereka bangkit. Bahkan anak
kecil itu tersenyum.

Dari kutipan dan penjelasan yang disampaikan pengarang, kita sadar bahwa suara
kumandang adzan subuh dapat menggerakkan manusia untuk bangun dan segera menunaikan
salat subuh.

Nilai Ekonomi : Semua orang hanya peduli kepentingan pribadi! Bangsa ini sudah tidur dan
bangkrut! Hanya guru SMP yang miskin, tidak punya rumah sendiri, yang merangkap jadi
tukang ojek dan pemulung untuk hidup, yang dijerat utang dan tidak tahu apa yang akan
dimakan besok pagi, yang dipecat karena menolong anak didiknya lulus UN, hanya kecoak
seperti aku ini yang masih ingat apa itu Kebangkitan Nasional, apa itu Indonesia.

Dari penjelasan di atas, kita tahu bahwa Ali memiliki kondisi ekonomi yang terpuruk.
Hanya dia yang mengingat hari Kebangkitan Nasional, sedangkan yang lainnya tidak
mengingatnya dan menghiraukan Ali begitu saja
Amanat
Pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang adalah sebagai manusia kita harus
seimbang dalam segala bidang. Tidak hanya kepentingan golongan/bangsa yang harus kita
tegakkan, tetapi tak lupa menjalankan kewajiban kita untuk beribadah sebagai makhluk
ciptaan Tuhan.

Gaya Bahasa​ :

Majas Perbandingan

- Begitu puting tetek ibunya menyumpal mulut, anak itu langsung terdiam, seperti
bekicot yang menarik lagi tubuhnya masuk ke dalam rumah pelindungnya. Lalu
meneruskan tidur sambil merintih-rintih manja.
- Seluruh ruangan menjadi terang-benderang bagaikan teriakan yang lantang dalam
malam yang gelap-gulita itu​, karena para tetangga semuanya memadamkan listrik
akibat ancaman tarif listrik yang baru.
- Ia mengeluh, berfilsafat dan memberikan kesimpulan, seperti seorang kandidat
doktor yang mengucapkan puncak dari disertasinya sesudah membeberkan
pembuktian dengan tumpukan data dan fakta.

Majas Fabel : Suara Ali keras mengejutkan beberapa ekor cicak yang sedang berburu
nyamuk di dinding.

Majas Hiperbola :
- Suara itu melayang masuk ke rumah Ali. Mengusap lembut telinga semua yang
tidur.
- Suara itu langsung memenuhi ruangan lalu terlontar keluar rumah, menyerbu
keheningan para tetangga. Berserak juga ke pos penjagaan.

Majas Personifikasi :
- Kendaraan mulai berderak.
- Ibu Kota gemeletuk bangkit.
- Lalu bumi sekan-akan bergerak.

Biografi Singkat Penulis


Putu Wijaya memiliki nama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya, lahir di Puri
Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944. Putu, dikenal sebagai seorang budayawan sastra yang
telah menelurkan ribuan karya yang terdiri dari cerpen, novel serta naskah drama dan film.
Putu sendiri adalah bungsu dari lima bersaudara seayah dan tiga bersaudara seibu. Ayah
Putu, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawai yang keras dalam mendidik
anak-anaknya.
Putu diharapkan bisa menjadi dokter oleh kedua orang tuannya itu, telah
menulis 30 novel, 40 naskah drama, ribuan cerpen, ratusan esei, artikel lepas dan kritik
drama. Bahkan Putu juga telah menulis skenario film dan sinetron. Selain itu, Putu juga
seorang dramawan dengan memimpin Teater Mandiri sejak 1971. Bersama teather itu,
dirinya telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Bahkan puluhan
penghargaan diraih atas karya sastra tersebut. Karya skenarionya pun telah dua kali meraih
piala Citra Festival Film Indonesia (FFI), untuk PERAWAN DESA (1980) dan KEMBANG
KERTAS (1985). Sementara karya bukunya yang banyak diperbincangkan di antaranya,
Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali,
dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai