Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH MATA KULIAH PANGAN FUNGSIONAL

Pembuatan Biskuit Menggunakan Tepung Tapioka dengan Modifikasi Fisik


HMT

Disusun Oleh:
Daniyal Kahfi 240210160058
Firmansyah F 240210160063
Bernadetha Winona 240210160085
Ahmad Reza Taufan 240210160110
Dinar Triastuti Dewantary 240210160113

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberi nikmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga makalah, "Pembuatan
Biskuit Menggunakan Tepung Tapioka dengan Modifikasi Fisik HMT" ini
dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun dan dibuat berdasarkan materi-materi yang didapatkan
selama kuliah dan pustaka yang didapatkan. Materi-materi ini bertujuan agar dapat
menambah pengetahuan dan wawasan. Penulis ucapkan terima kasih kepada
seluruh dosen pengampu yang telah memberikan arahan dan dukungan kepada
penulis, mulai dari awal hingga selesainya makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini, dapat membantu kita untuk mampu
menghadapi masalah-masalah atau kesulitan-kesulitan yang timbul dalam belajar
dan dengan harapan semoga kita semua mampu berinovasi dan berkreasi dengan
potensi yang dimiliki, Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa
penyusunan makalah ini masih belum sempurna, sehingga kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat
dibutuhkan.

Jatinangor, 9 Mei 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 4
1.2 Tujuan ..................................................................................................... 5
BAB II .................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 6
2.1. Tepung Terigu ......................................................................................... 6
2.2. Cookies.................................................................................................... 7
Tabel 1. SNI Cookies ............................................................................................. 8
2.3 Heat Moisture Treatment ........................................................................ 8
BAB III ................................................................................................................. 11
METODE PEMBUATAN .................................................................................. 11
3.1 Tepung Terigu HMT ............................................................................. 11
3.2 Cookies.................................................................................................. 13
BAB IV ................................................................................................................. 15
MANFAAT PRODUK SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL ....................... 15
BAB V................................................................................................................... 17
KESIMPULAN .................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Makanan fungsional merupakan makanan produk segar ataupun makanan
olahan yang tidak hanya memberikan rasa kenyang namun juga memberikan
keuntungan bagi kesehatan serta dapat mengurangi resiko penyakit pada konsumen
(Silalahi, 2006). Salah satu produk yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
makanan fungsional adalah makanan ringan, jajanan atau cemilan. Makanan ringan,
jajanan atau cemilan tidak dapat lagi dipisahkan dari kebutuhan masyarakat, namun
makanan ringan yang dikonsumsi sering kali kurang baik karena tidak memberi
kontribusi zat gizi yang beragam dan tentunya juga bisa diterima secara organoleptik
(Ginting, 2012).
Tepung tapioka, tepung singkong, tepung kanji, atau aci adalah tepung yang
diperoleh dari umbi akar ketela pohon atau dalam bahasa indonesia disebut singkong.
Tapioka memiliki sifat- sifat yang serupa dengan sagu, sehingga kegunaan keduanya
dapat dipertukarkan. Tepung ini sering digunakan untuk membuat makanan, bahan
perekat, dan banyak makanan tradisional yang menggunakan tapioka sebagai bahan
bakunya.
Tapioka adalah nama yang diberikan untuk produk olahan dari akar ubi kayu
(cassava). Analisis terhadap akar ubi kayu yang khas mengidentifikasikan kadar air
70%, pati 24%, serat 2%, protein 1% serta komponen lain (mineral, lemak, gula) 3%.
Tahapan proses yang digunakan untuk menghasilkan pati tapioka dalam industri adalah
pencucian, pengupasan, pemarutan, ekstraksi, penyaringan halus, separasi,
pembasahan, dan pengering (Whister, dkk, 1984).
Kandungan serat dan pati pada tepung tapioka cukup tinggi sehingga
menjadikannya bahan yang baik sebagai produk olahan dengan daya cerna lambat serta
dan sebagai penyuplai asupan serat. Dalam tepung tapioka terdapat berbagai jenis-jenis
pati, untuk meningkatkan kandungan pati yang memilki daya cerna lambat (PDCL)

4
perlu dilakukan perlakuan khusus menggunakan suhu dan kadar air tertentu seperti:
annealing, hmt dan mht.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah memberikan informasi dalam
pembuatan produk pangan fungsional yang dapat dicerna dalam waktu yang lama
sehingga dapat menjaga kadar glukosa dalam darah tetap stabil dalam waktu yang
lama.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tepung Terigu


Tepung terigu merupakan tepung yang diperoleh dari biji gandum yang digiling
(Matz, 1972). Sifat yang dimiliki tepung terigu yaitu kemampuan dalam membentuk
gluten pada adonan membuat adonan elastis dan tidak mudah hancur pada proses
pemasakan hingga pencetakan. Kualitas terigu yang dikehendaki yaitu memiliki
kandungan air 14%, kandungan protein 8-12%, kandungan abu maksimal 0,60%, dan
gluten basah 24-36% (Astawan, 2004). Gluten pada tepung terigu terbentuk ketika
tepung terigu dicampurkan dengan air. Gluten terbentuk dari dua kompleks yang
dikenal sebagai gliadin dan glutenin.
Glutenin membantu terbentuknya kekuatan dan kekerasan adonan. Gliadin
lebih lembut dan liat sehingga mempengaruhi elastisitas adonan (Widianto dkk., 2002).
Berdasarkan kandungan gluten, tepung terigu dapat dibagi menjadi 3 macam (Astawan,
1999) yaitu :
a) Hard flour merupakan tepung dengan kandungan protein sebesar 12%- 13%.
Tepung ini dihasilkan dari penggilingan gandum keras dan biasa digunakan dalam
pembuatan roti dan mie dengan tingkat kekenyalan yang tinggi.
b) Medium hard flour, merupakan tepung dengan kandungan protein 9,5%- 11%.
Tepung ini dihasilkan dari pencampuran hasil penggilingan gandum 8 keras dan
gandum lunak. Tepung jenis ini cocok digunakan dalam pembuatan kue basah,
roti, dan mie.
c) Soft flour, merupakan tepung dengan protein sebesar 7 - 8,5%. Tepung ini
dihasilkan dari penggilingan gandum lunak. Penggunaan tepung yaitu sebagai
bahan pembuatan berbagai jenis kue dan biskuit yang teksturnya tidak terlalu
mengembang.
Menurut Winarno (1993), tepung terigu memiliki kandungan gluten yang
sebagian besar terdiri dari protein, lengket seperti karet, dan dapat diperoleh dari
adonan tepung terigu yang dicuci dengan air. Tepung dengan kandungan gluten apabila

6
dicampur dengan tepung tanpa kandungan gluten akan menghasilkan tepung campuran
dengan kadar gluten yang lebih rendah. Subarna (1992), menjelaskan bahwa tepung
terigu dengan kandungan protein 7,5 - 8% cocok digunakan dalam pembuatan crackers.
Hal ini akibat dari sifat tepung yang menyerap air sedikit dan adonan kurang elastis
2.2. Cookies

Cookies merupakan kue kering yang memiliki citarasa manis dengan bahan
berasal dari tepung yang tidak mengandung protein tinggi yang diolah dan
dipanggang hingga keras disertai bahan pndukung menggunakan bahan bahan baku
seperti gula, mentega, tepung terigu, dan telur (Hayatinufus, 2005). Menurut
Wijayanti (2013) bahwa biskuit atau cookies sangat diminati banyak kalangan
terutama anak-anak karena adonan lunak (jumlah lemak dan gula yang digunakan
lebih banyak) atau keras, relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya
potongannya bertekstur kurang padat.
Cookies yang bermutu tinggi yang sangat ideal dan cocok adalah tepung terigu
lunak atau soft wheat. Tepung terigu jenis soft wheat digolongkan sebagai tepung terigu
yang mengandung protein rendah, sulit diaduk dan diragikan. Sebelum digunakan
tepung sebaiknya diayak terlebih dahulu supaya tidak terjadi over mixed. Pada
pembuatan cookies diperlukan tepung terigu dengan kadar protein yang rendah karena
penggunaan tepung yang kaya protein akan menghasilkan cookies yang lebih keras dan
kurang remah (Indriyani, 2007). Tepung terigu soft wheat memiliki kadar protein 6% -
8% (Aptindo, 2012).

7
Tabel 1. SNI Cookies
Kriteria Uji Klasifikasi
Air (%) Maksimum 5
Protein (%) Minimum 9
Lemak (%) Minimum 9,5
Karbohidrat (%) Minimum 70
Abu (%) Maksimum 1,6
Logam berbahaya Negatif
Serat kasar (%) Maksimum 0,5
Kalori (kal/ 100 gram) Maksimum 400
Bau dan rasa Normal
Warna Normal

Sumber: SNI 01-2973-1992

2.3 Heat Moisture Treatment


Heat Moisture Treatment (HMT) didefinisikan sebagai metode modifikasi pati
yang dilakukan secara fisik yang melibatkan perlakuan panas dan pengaturan kadar air
(Collado and Corke, 1999). Selanjutnya Collado et al. (2001) Menyatakan bahwa
pemanasan yang di lakukan pad metode HMT di lakukan di atas suhu gelatinisasi pati
(80-120 derajat celcius) namun pada kadar air yang terbatas (<35%b/b) dengan waktu
tertentu. Studi yang dilakukan klup dan Lorenz (1981) seperti yang disitasi oleh
Olayinka et al. (2006), modifikasi HMT dapat merubah karakteristik pati karena selama
modifikasi pati terbentuk kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan
penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati.

Secara umum dilaporkan bahwa HMT menurunkan viskositas puncak,


menurunkan viskositas breakdown, meningkatkan suhu pasting, meningkatkan suhu
gelatinisasi dan menurunkan kapasitas pembengkakan granula pati. beberapa
parameter lain seperti morpologi granula, tipe kristalit dan kristalinitas, kapasitas
pemebengkakan, solubilitas dan tekstur dilaporkan dengan hasil berbeda.

Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan


dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan amilopektin di

8
dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi
granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan
interkasi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak
menyebabkan adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan
berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang
di lakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi
yang ditinjukan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT
yang dilihat melalui studi diffraksi sinar X (Hoover dkk, 1996), dan studi bentuk
granula dengan miskroskop polarisasi cahaya atay SEM (Scanning Electrone
Microscope) (Pukkahuta et al. 2008 dan Vermeylen et al. 2006).

Imbibisi air selama modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya


pengaturan kembali (rearangement) molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula
pati (Singh et al. 2005 dan vermeylen 2006). Adanya pengaturan kembali ini
berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik maupun sifat kimia pati. Perubahan
sifat fisik yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain perubahan profil
gelatinisasi (Collado and Corke 1999; Lawal and Adebowale 2005; Collado et al. 2001;
Purwani et al. 2006; Olayinka et al. 2008), perubahan swelling volume dan perubahan
kelarutan (Collado and Corke 1999). Sementara itu perubahan kimia yang terjadi pada
pati termodifikasi HMT antara lain terjadi nya peningkatan fraksi pati yang mempunyai
berat molekul pendek (Lu et al. 1996 dan Vermeylen et al. 2006). HMT menyebabkan
perubahan konformasi molekul pati dan menghasilkan struktur kristalin yang lebih
resisten terhadap proses gelatinisasi (Jacobs dan Delcour 1998; Collado dan Corke,
1999; Stute, 1992; Singh et al. 2005; Vermeylen et al.2006; dan Pukkahuta dan
Varavinit, 2007).

Modifikasi berlangsung saat fase amorphous pati berada pada


kondisi rubbery yang bersifat fluida, dimana mobilitas titik percabangan amilopektin
meningkat dan mengakibatkan peningkatan interaksi di bagian kristalit. HMT
mengubah konformasi molekul pati dengan memperkuat interaksi molekuler di daerah
kristalin dan daerah amorphous. Pengaturan ulang struktur molekul disebabkan oleh

9
penurunan stabilitas kristal rantai panjang, terbukanya sebagian double heliks,
pembentukan ikatan intermolekuler pada double heliks amilopektin rantai pendek,
antara amilosa dengan amilosa dan atau amilopektin dan pembentukan kompleks
amilosa lemak (Jacobs dan Delcour, 1998)

10
BAB III
METODE PEMBUATAN

3.1 Tepung Terigu HMT


3.1.1 Alat dan Bahan
a. Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan tepung terigu termodifikasi HMT antara
lain adalah Loyang, botol semprot, gelas ukur, neraca analitik, plastic HDPE, oven
pengering, blender, ayakan 60 mesh

b. Bahan
Bahan utama yang diperlukan tentu saja adalah tepung terigu merek “segitiga
biru” dan akuades.

3.1.2 Pembuatan Tepung Terigu HMT


Heat Moisture Treatment dilakukan berdasarkan parameter optimum yang
diperoleh Adawiyah (2012). Kadar air awal tepung terigu diukur terlebih dahulu.
Kemudian untuk menjadikan kadar air pati menjadi 20% dilakukan penghitungan
dengan menggunakan neraca massa sehingga diperoleh banyaknya pati yang ditimbang
dan banyaknya akuades yang harus ditambahkan dengan cara menuangnya secara
perlahan sambil diaduk dan diremas secara manual guna meratakan air pada tepung.
Formulasi kesetimbangan masa diperoleh bedasarkan persamaan berikut:
(100% - KA1) x BP1 = (100% - KA2) x BP2
Keterangan:
KA1= kadar air kondisi awal (%bb)
KA2= kadar air pati yang diinginkan (%bb)
BP1 = bobot pati pada kondisi awal
BP2 = bobot pati setelah mencapai KA2 (BP1 + Bair)

11
Kadar air pati dijadikan 20% (b/v berat basah) dengan mencampurkan
sejumlah air terukur ke dalam pati. Setelah itu pati lembab ditempatkan ke dalam
plastik HDPE ukuran 35x20 dan dimasukan ke dalam refrigerator semalam untuk
menyeragamkan kadar air. Tepung yang akan dimodifikasi ditempatkan pada wadah
gelas bertutup untuk dimasukan ke microwave. Modifikasi HMT pada microwave
dilakukan selama 2 jam pada mode pemanasan rendah (low). Tepung kemudian
dibiarkan dingin dan dipisahkan dari sebagian tepung yang tergelatinisasi (ditunjukan
dengan gumpalan gel yang jernih). Tepung kemudian di keringkan selama 1 jam pada
suhu 50oC. Tepung kemudian di blender dan di ayak pada ayakan 60 mesh serta
kemudian dimasukkan ke dalam plastik PP untuk disimpan. Adapun diagram alir
proses modifikasi heat moisture treatment (HMT) dapat dilihat pada gambar dibawah
ini.

Tepung Tapioka

Penambahan akuades hingga kadar air


20%

Diratakan campuran akuades dan


tepung(diaduk dan diremas)

Pati Basah

Ditempatkan dalam plastic HDPE


dan didiamkan di refrigerator
semalam

Ditempatkan ke dalam wadah gelas


bertutup dan dimasukan ke microwave
mode pemanasan low selama 2 jam
12
Didinginkan

Dikeringkan oven suhu 50oC


selama 1 jam

Dihaluskan dengan blender

Diayak pada ayakan 60


mesh

Tepung Termodifikasi
HMT

Gambar 1. Diagram Pembuatan Tepung Termodifikasi HMT


(Modifikasi Lewadowicz et al, 1997)

3.2 Cookies
3.2.1 Alat dan Bahan
a. Alat
Alat yang digunakan adalah oven, mixer, cetakan, baskom, dan sendok.
b. Bahan
Bahan yang digunakan adalah tepung tapioca HMT, gula halus, menteha, dan
telur.
3.2.2 Pembuatan Cookies

13
Pembuatan cookies dilakukan dengan disiapkan bahan-bahan sesuai dengan
takaran. Ditimbang gula halus dan mentega. Dikocok telur hingga mengembang. Gula
halis dan mentega dimasukan ke dalam telur. Kemudian diikocok hingga warna
menjadi lebih putih. Dimasukkan tepung tapioca sedikit demi sedikit hingga adonan
kalis atau dapat dicetak. Dipanggang dengan suhu 1800C selama + 25 menit.

14
BAB IV
MANFAAT PRODUK SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL

Tepung terigu memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki tepung lain
(tepung beras, maizena, sorgum) yaitu mengandung gluten. Gluten adalah protein yang
secara alami terdapat dalam tepung terigu. Karakteristik khas dari tepung terigu
tersebut dapat dimodifikasi untuk meningkatkan sifat fungsional tepung terigu agar
dapat diaplikasikan secara meluas pada industri pangan yang menggunakan tepung
terigu sebagai bahan dasar. Salah satu upaya modifikasi tepung adalah dengan heat
moisture treatment. Heat moisture treatment (HMT) diklasifikasikan sebagai proses
hidrotermal dengan proses pemanasan granula pati di atas temperatur glass transisinya
(Tg) selama waktu tertentu (1 – 24 jam) di bawah kondisi kadar air relatif rendah
(kurang dari 35%) dan menggunakan temperatur proses yang tinggi (80-140 C). 0

Perlakuan ini mengubah struktur granula pati pada kondisi yang terkontrol dari
temperatur dan kadar air sehingga memberikan perubahan pada sifat dan karakteristik
fisik dari pati (BeMieller dan Huber, 2015). Perlakuan ini biasanya aman, lebih murah
dan cara yang lebih ekologis daripada modifikasi kimia. HMT akan mengubah sifat
fisikokimia dari pati seperti peningkatan suhu gelatinisasi, pelebaran kisaran suhu
gelatinisasi, mengurangi swelling power dari granula dan amylose leaching, dan
peningkatan stabilitas termal (Zavareze dan Dias, 2011).
Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan
dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan amilopektin di
dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi
granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan
interkasi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak
menyebabkan adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan
berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang
di lakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi
yang ditinjukan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT
yang dilihat melalui studi diffraksi sinar X (Hoover dkk, 1996)

15
Imbibisi air selama modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya
pengaturan kembali (rearangement) molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula
pati (Singh et al. 2005 dan vermeylen 2006). Adanya pengaturan kembali ini
berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik maupun sifat kimia pati. Perubahan
sifat fisik yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain perubahan profil
gelatinisasi, perubahan swelling volume dan perubahan kelarutan (Collado and Corke
1999). Sementara itu perubahan kimia yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara
lain terjadi nya peningkatan fraksi pati yang mempunyai berat molekul pendek (Lu et
al. 1996 dan Vermeylen et al. 2006). HMT menyebabkan perubahan konformasi
molekul pati dan menghasilkan struktur kristalin yang lebih resisten terhadap proses
gelatinisasi (Jacobs dan Delcour 1998)
Proses gelatinisasi selama proses modifikasi HMT tidak terjadi karena kadar
air yang digunakan untuk proses modifikasi dibatasi (27%) sehingga tidak cukup untuk
proses gelatinisasi karena menurut Ratnayake et al. (2002) bahwa proses gelatinisasi
dapat terjadi jika sejumlah pati/ tepung
dipanaskan dalam jumlah air yang berlebih sehingga granula pati yang
membengkak akan pecah. Pecahnya granula pati jagung diikuti dengan hilangnya
sifat birefrigen pati jagung. Kemampuan swelling volume pati termodifikasi secara
HMT terbatas karena pembentukan ikatan hidrogen antara air yang berada di luar
granula dengan molekul pati baik amilosa maupun amilopektin menjadi lebih sulit
(Miyoshi, 2001). Metode modifikasi HMT menyebabkan
berkurangnya leaching amilosa sehingga kelarutan pati ubi jalar termodifikasi secara
HMT menjadi lebih rendah dari kelarutan pati ubi
jalar alami (Collado et al., 2001). Pati sagu yang dimodifikasi secara HMT
mempunyai derajat putih yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati alaminya.
Selanjutnya persentase sineresis pati termodifikasi HMT lebih rendah bila
dibandingkan dengan pati alaminya (Herawati, 2009). Berdasarkan hasil penelitian
Ahmad (2009), pati jagung HMT memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi dari
pati alami. Lebih lanjut Herawati (2009) melaporkan bahwa pati sagu HMT
memiliki swelling volume dan kelarutan yang terbatas.

16
BAB V
KESIMPULAN

Tepung terigu memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki tepung lain
(tepung beras, maizena, sorgum) yaitu mengandung gluten. Salah satu upaya
modifikasi tepung adalah dengan heat moisture treatment. Heat moisture treatment
(HMT) diklasifikasikan sebagai proses hidrotermal dengan proses pemanasan granula
pati di atas temperatur glass transisinya (Tg) selama waktu tertentu (1 – 24 jam) di
bawah kondisi kadar air relatif rendah (kurang dari 35%) dan menggunakan temperatur
proses yang tinggi (80-140 C). HMT akan mengubah sifat fisikokimia dari pati seperti
0

peningkatan suhu gelatinisasi, pelebaran kisaran suhu gelatinisasi, mengurangi


swelling power dari granula dan amylose leaching, dan peningkatan stabilitas termal
(Zavareze dan Dias, 2011).

17
DAFTAR PUSTAKA

Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO). 2013. Laporan APTINDO


Tahun 2013. APTINDO. Jakarta.
Astawan M. 2004. Sehat bersana aneka sehat pangan alami. Tiga serangkai. Solo.
Astawan, M. 1999. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta.
BeMieller, J.N dan Huber, K.C. 2015. Physical Modification of Food Starch
Functionalities. Annual Review Food Science Technology (6) : 21.1–21.51
Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates, dan H. Corke. 2001. Bihon-type of noodles
from heatmoisture treated sweet potato starch. Journals of Food Science 66
(4): 604-609
Ginting, E., J.S. Utomo dan R. Yulifianti. 2012a. Aneka Produk Olahan Kacang dan
Umbi. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 48 hlm.
Hayatinufus, C.H. 2005. Cookies. Kue-kue kering klasik dan modern. Gramedia.
Jakarta
Hoover, R. dan H. Manuel. 1996. The effect of heat-moisture treatment on the structure
and physicochemical properties of legume starches. Food Research
International Vol. 29 (8): 731- 750
Indriyani, Ari. 2007. Cookies Tepung Garut dengan Pengkayaan Serat Pangan. Skripsi.
Unniversitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Jacobs, H. dan J.A. Delcour. 1998. Hydrothermal modifications of granular starch, with
retention of the granular structure: a review. Journals of Agriculture and Food
Chemistry 46 (8): 2895- 2905.
Jansen Silalahi. 2006. Makanan Fungsional. Yogyakarta: Kanisius. h.118-24.
Lewandowicz, Fornal, and Jankowski. 1997. Effect of microwave radiation on physic
chemical properties and structure of potato and tapioca starches. Journal
Carbohydrate Polymers Vol. 42. Pg. 193-199
Matz, S.A. 1972. Bakery Technology and Engineering. Second Edition. The AVI
Publishing Company. Westport. Connecticut
Pukkahuta C, Shobsngob S, Varavinit S. 2007. Effect of osmotic pressure on starch:
new method of physical modification of starch. Starch/Stärke 58:78-90
Ratnayake, W.S., R. Hoover and W. Tom. 2002. Pea starch: composistion, structure
and properties – review. Starch/Starke. 54: 217 – 234.
Subarna. 1992. Baking Technology. Pelatihan Singkat Prinsip-prinsip Teknologi
Pangan Bagi Food Inspector. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB.
Bogor.
Vermeylen, R.B., Goderis, dan J.A. Delcour. 2006. An X-ray study of hydrothermally
treated potato starch. Carbohydrate Polymers 64 2: 364-375.
Whistler, R.L. J.N. BeMiller dan E.F. Paschall. 1984. Starch: Chemistry and
Technology. Academic Press. Inc. Toronto. Tokyo.
Widianto, K. Hairiah, D. Suharjito, dan M. A. Sardjono.2003. Fungsi dan Peranan
Agroforestri. ICRAF. Bogor.

18
Wijayanti, Y. R., 2007. Substitusi Tepung Gandum (Triticum aestivus) dengan Tepung
Garut (Marantha arundinaceae L) pada Pembuatan Roti Tawar, Skripsi,
Jurusan Teknologi pengolahan Hasil Pertanian, Fak. Pertanian, UGM :
Yogyakarta
Winarno, F. G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Zavarese, E. R., & Dias, A. R. G. 2011. Impact of heat moisture treatment and
annealing in starches: A review. Carbohydrate polymers, 83, 317-328.

19

Anda mungkin juga menyukai