Disusun Oleh:
Daniyal Kahfi 240210160058
Firmansyah F 240210160063
Bernadetha Winona 240210160085
Ahmad Reza Taufan 240210160110
Dinar Triastuti Dewantary 240210160113
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberi nikmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga makalah, "Pembuatan
Biskuit Menggunakan Tepung Tapioka dengan Modifikasi Fisik HMT" ini
dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun dan dibuat berdasarkan materi-materi yang didapatkan
selama kuliah dan pustaka yang didapatkan. Materi-materi ini bertujuan agar dapat
menambah pengetahuan dan wawasan. Penulis ucapkan terima kasih kepada
seluruh dosen pengampu yang telah memberikan arahan dan dukungan kepada
penulis, mulai dari awal hingga selesainya makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini, dapat membantu kita untuk mampu
menghadapi masalah-masalah atau kesulitan-kesulitan yang timbul dalam belajar
dan dengan harapan semoga kita semua mampu berinovasi dan berkreasi dengan
potensi yang dimiliki, Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa
penyusunan makalah ini masih belum sempurna, sehingga kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat
dibutuhkan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
perlu dilakukan perlakuan khusus menggunakan suhu dan kadar air tertentu seperti:
annealing, hmt dan mht.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah memberikan informasi dalam
pembuatan produk pangan fungsional yang dapat dicerna dalam waktu yang lama
sehingga dapat menjaga kadar glukosa dalam darah tetap stabil dalam waktu yang
lama.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
dicampur dengan tepung tanpa kandungan gluten akan menghasilkan tepung campuran
dengan kadar gluten yang lebih rendah. Subarna (1992), menjelaskan bahwa tepung
terigu dengan kandungan protein 7,5 - 8% cocok digunakan dalam pembuatan crackers.
Hal ini akibat dari sifat tepung yang menyerap air sedikit dan adonan kurang elastis
2.2. Cookies
Cookies merupakan kue kering yang memiliki citarasa manis dengan bahan
berasal dari tepung yang tidak mengandung protein tinggi yang diolah dan
dipanggang hingga keras disertai bahan pndukung menggunakan bahan bahan baku
seperti gula, mentega, tepung terigu, dan telur (Hayatinufus, 2005). Menurut
Wijayanti (2013) bahwa biskuit atau cookies sangat diminati banyak kalangan
terutama anak-anak karena adonan lunak (jumlah lemak dan gula yang digunakan
lebih banyak) atau keras, relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya
potongannya bertekstur kurang padat.
Cookies yang bermutu tinggi yang sangat ideal dan cocok adalah tepung terigu
lunak atau soft wheat. Tepung terigu jenis soft wheat digolongkan sebagai tepung terigu
yang mengandung protein rendah, sulit diaduk dan diragikan. Sebelum digunakan
tepung sebaiknya diayak terlebih dahulu supaya tidak terjadi over mixed. Pada
pembuatan cookies diperlukan tepung terigu dengan kadar protein yang rendah karena
penggunaan tepung yang kaya protein akan menghasilkan cookies yang lebih keras dan
kurang remah (Indriyani, 2007). Tepung terigu soft wheat memiliki kadar protein 6% -
8% (Aptindo, 2012).
7
Tabel 1. SNI Cookies
Kriteria Uji Klasifikasi
Air (%) Maksimum 5
Protein (%) Minimum 9
Lemak (%) Minimum 9,5
Karbohidrat (%) Minimum 70
Abu (%) Maksimum 1,6
Logam berbahaya Negatif
Serat kasar (%) Maksimum 0,5
Kalori (kal/ 100 gram) Maksimum 400
Bau dan rasa Normal
Warna Normal
8
dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi
granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan
interkasi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak
menyebabkan adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan
berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang
di lakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi
yang ditinjukan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT
yang dilihat melalui studi diffraksi sinar X (Hoover dkk, 1996), dan studi bentuk
granula dengan miskroskop polarisasi cahaya atay SEM (Scanning Electrone
Microscope) (Pukkahuta et al. 2008 dan Vermeylen et al. 2006).
9
penurunan stabilitas kristal rantai panjang, terbukanya sebagian double heliks,
pembentukan ikatan intermolekuler pada double heliks amilopektin rantai pendek,
antara amilosa dengan amilosa dan atau amilopektin dan pembentukan kompleks
amilosa lemak (Jacobs dan Delcour, 1998)
10
BAB III
METODE PEMBUATAN
b. Bahan
Bahan utama yang diperlukan tentu saja adalah tepung terigu merek “segitiga
biru” dan akuades.
11
Kadar air pati dijadikan 20% (b/v berat basah) dengan mencampurkan
sejumlah air terukur ke dalam pati. Setelah itu pati lembab ditempatkan ke dalam
plastik HDPE ukuran 35x20 dan dimasukan ke dalam refrigerator semalam untuk
menyeragamkan kadar air. Tepung yang akan dimodifikasi ditempatkan pada wadah
gelas bertutup untuk dimasukan ke microwave. Modifikasi HMT pada microwave
dilakukan selama 2 jam pada mode pemanasan rendah (low). Tepung kemudian
dibiarkan dingin dan dipisahkan dari sebagian tepung yang tergelatinisasi (ditunjukan
dengan gumpalan gel yang jernih). Tepung kemudian di keringkan selama 1 jam pada
suhu 50oC. Tepung kemudian di blender dan di ayak pada ayakan 60 mesh serta
kemudian dimasukkan ke dalam plastik PP untuk disimpan. Adapun diagram alir
proses modifikasi heat moisture treatment (HMT) dapat dilihat pada gambar dibawah
ini.
Tepung Tapioka
Pati Basah
Tepung Termodifikasi
HMT
3.2 Cookies
3.2.1 Alat dan Bahan
a. Alat
Alat yang digunakan adalah oven, mixer, cetakan, baskom, dan sendok.
b. Bahan
Bahan yang digunakan adalah tepung tapioca HMT, gula halus, menteha, dan
telur.
3.2.2 Pembuatan Cookies
13
Pembuatan cookies dilakukan dengan disiapkan bahan-bahan sesuai dengan
takaran. Ditimbang gula halus dan mentega. Dikocok telur hingga mengembang. Gula
halis dan mentega dimasukan ke dalam telur. Kemudian diikocok hingga warna
menjadi lebih putih. Dimasukkan tepung tapioca sedikit demi sedikit hingga adonan
kalis atau dapat dicetak. Dipanggang dengan suhu 1800C selama + 25 menit.
14
BAB IV
MANFAAT PRODUK SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL
Tepung terigu memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki tepung lain
(tepung beras, maizena, sorgum) yaitu mengandung gluten. Gluten adalah protein yang
secara alami terdapat dalam tepung terigu. Karakteristik khas dari tepung terigu
tersebut dapat dimodifikasi untuk meningkatkan sifat fungsional tepung terigu agar
dapat diaplikasikan secara meluas pada industri pangan yang menggunakan tepung
terigu sebagai bahan dasar. Salah satu upaya modifikasi tepung adalah dengan heat
moisture treatment. Heat moisture treatment (HMT) diklasifikasikan sebagai proses
hidrotermal dengan proses pemanasan granula pati di atas temperatur glass transisinya
(Tg) selama waktu tertentu (1 – 24 jam) di bawah kondisi kadar air relatif rendah
(kurang dari 35%) dan menggunakan temperatur proses yang tinggi (80-140 C). 0
Perlakuan ini mengubah struktur granula pati pada kondisi yang terkontrol dari
temperatur dan kadar air sehingga memberikan perubahan pada sifat dan karakteristik
fisik dari pati (BeMieller dan Huber, 2015). Perlakuan ini biasanya aman, lebih murah
dan cara yang lebih ekologis daripada modifikasi kimia. HMT akan mengubah sifat
fisikokimia dari pati seperti peningkatan suhu gelatinisasi, pelebaran kisaran suhu
gelatinisasi, mengurangi swelling power dari granula dan amylose leaching, dan
peningkatan stabilitas termal (Zavareze dan Dias, 2011).
Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan
dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan amilopektin di
dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi
granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan
interkasi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak
menyebabkan adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan
berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang
di lakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi
yang ditinjukan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT
yang dilihat melalui studi diffraksi sinar X (Hoover dkk, 1996)
15
Imbibisi air selama modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya
pengaturan kembali (rearangement) molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula
pati (Singh et al. 2005 dan vermeylen 2006). Adanya pengaturan kembali ini
berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik maupun sifat kimia pati. Perubahan
sifat fisik yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain perubahan profil
gelatinisasi, perubahan swelling volume dan perubahan kelarutan (Collado and Corke
1999). Sementara itu perubahan kimia yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara
lain terjadi nya peningkatan fraksi pati yang mempunyai berat molekul pendek (Lu et
al. 1996 dan Vermeylen et al. 2006). HMT menyebabkan perubahan konformasi
molekul pati dan menghasilkan struktur kristalin yang lebih resisten terhadap proses
gelatinisasi (Jacobs dan Delcour 1998)
Proses gelatinisasi selama proses modifikasi HMT tidak terjadi karena kadar
air yang digunakan untuk proses modifikasi dibatasi (27%) sehingga tidak cukup untuk
proses gelatinisasi karena menurut Ratnayake et al. (2002) bahwa proses gelatinisasi
dapat terjadi jika sejumlah pati/ tepung
dipanaskan dalam jumlah air yang berlebih sehingga granula pati yang
membengkak akan pecah. Pecahnya granula pati jagung diikuti dengan hilangnya
sifat birefrigen pati jagung. Kemampuan swelling volume pati termodifikasi secara
HMT terbatas karena pembentukan ikatan hidrogen antara air yang berada di luar
granula dengan molekul pati baik amilosa maupun amilopektin menjadi lebih sulit
(Miyoshi, 2001). Metode modifikasi HMT menyebabkan
berkurangnya leaching amilosa sehingga kelarutan pati ubi jalar termodifikasi secara
HMT menjadi lebih rendah dari kelarutan pati ubi
jalar alami (Collado et al., 2001). Pati sagu yang dimodifikasi secara HMT
mempunyai derajat putih yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati alaminya.
Selanjutnya persentase sineresis pati termodifikasi HMT lebih rendah bila
dibandingkan dengan pati alaminya (Herawati, 2009). Berdasarkan hasil penelitian
Ahmad (2009), pati jagung HMT memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi dari
pati alami. Lebih lanjut Herawati (2009) melaporkan bahwa pati sagu HMT
memiliki swelling volume dan kelarutan yang terbatas.
16
BAB V
KESIMPULAN
Tepung terigu memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki tepung lain
(tepung beras, maizena, sorgum) yaitu mengandung gluten. Salah satu upaya
modifikasi tepung adalah dengan heat moisture treatment. Heat moisture treatment
(HMT) diklasifikasikan sebagai proses hidrotermal dengan proses pemanasan granula
pati di atas temperatur glass transisinya (Tg) selama waktu tertentu (1 – 24 jam) di
bawah kondisi kadar air relatif rendah (kurang dari 35%) dan menggunakan temperatur
proses yang tinggi (80-140 C). HMT akan mengubah sifat fisikokimia dari pati seperti
0
17
DAFTAR PUSTAKA
18
Wijayanti, Y. R., 2007. Substitusi Tepung Gandum (Triticum aestivus) dengan Tepung
Garut (Marantha arundinaceae L) pada Pembuatan Roti Tawar, Skripsi,
Jurusan Teknologi pengolahan Hasil Pertanian, Fak. Pertanian, UGM :
Yogyakarta
Winarno, F. G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Zavarese, E. R., & Dias, A. R. G. 2011. Impact of heat moisture treatment and
annealing in starches: A review. Carbohydrate polymers, 83, 317-328.
19